3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Wilayah Studi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Tapak PLTN Ujung Lemah Abang (ULA) Muria Jateng dengan radius 35 km dari pusat PLTN tersebut. Lokasi PLTN berada pada koordinat 6o25’40’’ Lintang Selatan serta 110o47’20’’ Bujur Timur yang meliputi Wilayah kabupaten Jepara, sebagian Pati, sebagian Demak, dan sebagian Kudus Jawa Tengah. Daerah sekitar lokasi ke sebelah Utara merupakan lautan dan kesebelah selatan merupakan Daratan. Waktu penelitian dilaksanakan mulai pada bulan Maret 2008 dan berakhir tahun 2010. Gambar 19 menunjukkan lokasi wilayah studi penelitian.
Gambar 1 Foto udara wilayah studi (http://www.googleearth.com, 2009) 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Dalam penelitian ini digunakan bahan berupa: a.
Peta rupa bumi kabupaten Jepara, Pati, Kudus dan Demak
a.
Perangkat Lunak Arcview, ArcGis, SPSS, Minitab, MS-Excel
b.
Peralatan Laboratorium untuk analisis tanah (Atomic Absorption Spectofotometer, peralatan gelas, dan lain-lain.)
c.
Data BMG, BPS, BATAN
3.3 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur dan observasi baik data primer maupun data sekunder. Jenis data yang dikumpulkan berupa data
kuantitatif dan kualitatif dan materi kajian pendukung dari berbagai data kajian terdahulu yang berkaitan dengan PLTN ULA Muria. Data primer yang diolah meliputi data analisis tanah wilayah studi untuk mengetahui kandungan unsur utamanya pada radius wilayah studi dan data observasi geografis kondisi real terkini di wilayah studi. Data sekunder meliputi data curah hujan, arah angin, tata guna lahan yang diperoleh dari lembaga-lembaga terpercaya seperti BMG, BATAN dan BPS
yang diproses dan diolah kembali sesuai dengan tujuan
penelitian. Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan meliputi 1) Data yang berkaitan dengan sekenario kecelakaan PLTN dan eksplorasi data berkenaan dengan peluang terjadinya kerusakan reaktor yang akan dibangun di PLTN Muria; 2) Data jenis dan karakter radionuklida yang berkaitan dengan inventory reaktor yang berpeluang akan ke luar lingkungan pada saat terjadinya kecelakaan; 3) Data karakteristik wilayah studi meliputi data atmosfir wilayah studi, data curah hujan dan cuaca tahunan wilayah studi, data karakteristik tanah, vegetasi di wilayah studi kaitannya dengan radionuklida; 4) Data peta wilayah studi yang meliputi batas wilayah administrasi tiap desa, tiap kecamatan dan kabupaten; 5) Konsentrasi radionuklida di dalam inventory dan konsentrasi radionuklida hasil perhitungan yang akan memasuki wilayah studi 6) Perhitungan konsentrasi radionuklida yang terdeposisi disebabkan pengaruh hujan serta
perhitungan
konsentrasi radionuklida disebabkan serapan tanah dan vegetasi ; 7) Data referensi kecelakaan nuklir berkenaaan dengan distribusi radionuklida ke lingkungan serta referensi hasil perhitungan sesuai dengan fakta kecelakaan yang pernah terjadi. 3.4 Metode Analisis Analisis penelitian menggunakan rujukan yang berasal dari International Atomic Energy Agency (IAEA) dalam Regulatory Control of Radioactive Discharges to the Environment, Safety Standards No. WS-G-2.3, (2000), bahwa di dalam pengembangan model distribusi radionuklida di suatu fasilitas nuklir mengikuti langkah-langkah berikut: a) penentuan asumsi-asumsi dasar kecelakaan dan jumlah paparan yang akan mencapai jarak tertentu yang diawali dari kajian sebelumnya berkenaan dengan jumlah inventory dan dosis dalam inventory reaktor, b) perhitungan jumlah radionuklida yang akan sampai pada jarak tertentu
menggunakan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan lingkungan studi dan beberapa asumsi standar berkaitan dengan kondisi-kondisi distribusi, c) dosis hasil perhitungan dikonfirmasi dengan data kejadian serupa pada literatur untuk melihat penyimpangan yang ada, d) diperlukan perbandingan dengan referensi yang ada untuk memutuskan bahwa peta spasial tersebut dapat direkomendasikan. Dengan merujuk pada Safety Standards No. WS-G-2.3, IAEA (2000), maka untuk pengembangan model distribusi spasial radionuklida di wilayah studi dengan mengumpulkan data dengan rancangan kerja dapat digambarkan dengan flowchart rancangan kerja penelitian seperti pada Gambar 20
yang dimulai
dengan asumsi kecelakaan, seleksi radionuklida penting yang berpeluang memasuki lingkungan, selanjutnya penentuan densitas radionuklida di udara, dilanjutkan dengan penentuan densitas radionuklida di darat dengan menghitung faktor deposisi, faktor serapan tanah dan akar, selanjutnya dilakukan pemodelan menggunakan software aplikasi AcGis 9.3 agar diperoleh model distribusi spasial radionuklida di wilayah studi.
ASUMSI KECELAKAAN
Seleksi RADIONUKLIDA CEMARAN
Tidak VALIDASI
PENENTUAN DENSITAS CEMARAN
Pemodelan dengan ArcGIS 9.3
(UDARA)
Ya PENENTUAN Kecepatan degradasi cemaran
PENENTUAN FAKTOR DEPOSISI Wil Studi PENENTUAN DENSITAS CEMARAN (Tanah)
Model Distribusi spasial Radionuklida di Wilayah studi
PENENTUAN DENSITAS CEMARAN (Tumbuhan) KESIMPULAN
Gambar 2 Flowchart rancangan kerja penelitian. Penentuan model distribusi spasial radionuklida di masa depan dimulai dengan pemodelan distribusi spasial radionuklida untuk kondisi nyata ketika
dilakukan penelitian dengan memperhitungkan faktor perubahan luasan tata guna lahan di wilayah studi untuk tahun t, maka dapat ditentukan luasan distribusi radionuklida pada tahun-tahun mendatang seperti flowchart perkiraan luasan pada Gambar 21. Start
Luasan cemaran tanah
Luasan cemaran vegetasi
Perubahan tanah pertahun wil studi
Perubahan vegetasi pertahun wil studi
Luasan cemaran vegetasi tahun t
Luasan cemaran tanah tahun t
Analisis spasial (merge) Validasi model (statistik)
Model luasan cemaran Perkiraan di darat tahun t1,….tx.
Gambar 3 Flowchart perkiraan luasan pada kecelakaan PLTN di masa depan. . Tujuan penelitian, jenis data yang dikumpulan, cara pengumpulan data serta analisis data untuk memperoleh model distribusi spasial radionuklida di lingkungan udara, lingkungan tanah dan lingkungan vegetasi untuk setiap radionuklida yang berpotensi mencemari lingkungan pada saat terjadinya kecelakaan disajikan pada Tabel 9 berikut ini.
Tabel 1 Tujuan, jenis, pengumpulan dan analisis data No 1.
Tujuan Untuk mengetahui faktor kondisi, jarak dan waktu yang berpengaruh terhadap distibusi setiap jenis radionuklida pada kecelakaan PLTN;
2.
Untuk mengetahui pola distribusi radionuklida di lingkungan pada kecelakaan PLTN dan dapat menentukan laju degradasi di lingkungan darat dengan GIS dari waktu ke waktu;
3
Untuk dapat menentukan zonasi kedaruratan apabila kecelakan nuklir terjadi di wilayah studi.
4
Untuk dapat memperkirakan luasan distribusi radionuklida dari kecelakaan PLTN di masa depan.
Rekomendasi
Jenis data yang diperlukan Asumsi-asumsi kecelakaan PLTN Jenis radionuklida inventory reaktor Karakteristik distribusi tiap radionuklida Kondisi iklim wilayah studi Jenis dan kecepatan angin wilayah studi Koefisien Dinamika Radionuklida di udara Densitas paparan ke udara Faktor dinamika radionuklida di tanah dan vegetasi Sifat Kimia-Fisika Tanah Data distribusi radionuklida di udara, vegetasi, tanah Teknik-teknik pemodelan Sifat Kimia-Fisika vegetasi Peta Rupa Bumi 4 kabupaten Waktu degradasi radionuklida Faktor deposisi Densitas paparan ke darat Peta luasan wilayah studi dalam satuan desa Luasan vegetasi • Luasan Tanah • Data zonasi kedaruratan
Pengumpulan • Data pekunder • Studi pustaka kecelakaan PLTN
Teknik Analisis Harapan out put • Analisis • Gambar dan Tabel Statistika faktor-faktor yang (SPSS,Minitab, berpengaruh Excel) terhadap distribusi radionuklida
• • •
Data primer Data pekunder Studi pustaka kecelakaan PLTN
• Analisis • Laboratorium • Analisis Spacial (Arcview GIS) • • Analisis Statistika (SPSS,Minitab, • Excel)
Gambar Peta zonasi radionuklida di wilayah studi Peta pola distribusi radionuklida di udara, dan darat Laju degradsi radionuklida
• •
Data pekunder Studi pustaka kecelakaan PLTN
• Analisis Spacial • (Arcview GIS) • Analisis Statistika (SPSS,Minitab, • Excel)
Luasan dengan tingkat kedaruratan cemaran radionuklida Gambar peta zona kedaruratan
Model distribusi spasial radionuklida Tataguna lahan dan luasan wilayah studi Data Statistika penggunaan lahan
• •
Data primer Data pekunder
• Analisis Spacial • (Arcview GIS)
Gambar Peta zona distribusi pada kejadian di masa depan
•
MODEL DISTRIBUSI SPASIAL RADIONUKLIDA PADA KECELAKAAN PLTN MURIA
3.4.1 Asumsi Kecelakaan Asumsi awal adalah bahwa semua penghalang di dalam reaktor maupun pengungkung tidak dapat menahan keluarnya radionuklida diperoleh dari referensi kecelakaan yang pernah terjadi, peluang terjadinya kerusakan reaktor, sebab-sebab terjadinya kerusakan, konsentrasi inventory reaktor yang akan terdistribusikan ke
lingkungan. Kecelakaan tejadi karena berbagai kemungkinan kegagalan yang menyebabkan bocornya teras reaktor PLTN berjenis PWR
(Pressurized Water
Reactor). Kecelakaan diasumsikan melebihi batasan konsekwensi lokal Level 4 INES (The International nuclear and radiological event). Oleh karena itu, asumsi kecelakaan yang diperhitungkan dalam distribusi radionuklida adalah dengan Level ≥ 5 sampai dengan 7 skala INES yang memiliki konsekwensi luas. Asumsi berikutnya berkenaan dengan waktu penanganan sumber pada saat kecelakaan PLTN. Dalam penelitian ini sumber pencemar yang keluar dari reaktor dapat diatasi segera sehingga radionuklida tidak terus menerus keluar mencemari lingkungan, batasan maksimum waktu yang diperlukan untuk menutup sumber agar radionuklida tidak terus menerus menuju lingkungan adalah selama 7 hari. Sebab-sebab radionuklida ke ingkungan adalah karena adanya kegagalan reaktor oleh suatu sebab di luar perkiraan sebelumnya. Kejadian tersebut menyebabkan bocornya teras reaktor PLTN Jenis PWR. Kegagalan yang menyebabkan kecelakaan disajikan dalam Tabel 10. Tabel 2 Sekenario kondisi kecelakaan Kegagalan
Sebab
Penghalang
Gagal-1
Kisi kristal Pecah akibat temperatur terlalu tinggi Kisi Kristal dan Kelongsong pecah
Kelongsong
Gagal-2
Gagal-3
Gagal 4
Kisi Kristal dan Kelongsong pecah, Sistem Pendingin primer bocor Kisi Kristal dan Kelongsong pecah, Sistem Pendingin primer bocor, tabung pengungkung bocor
Sistem Pendingin primer Tabung Pengungkung (containment)
Cerobong
Dampak Lingkungan Radionuklida tidak keluar Radionuklida tidak keluar Radionuklida keluar dalam media air dalam tabung pengungkung Radionuklida keluar melewati cerobong ke udara.
Penggolongan Kejadian Kejadian
Kecelakaan
Kecelakaan parah
Penyebaran cemaran radionuklida akibat kecelakaan nuklir yang parah akan menuju ke semua arah mata angin dan memiliki pola sebaran mengikuti karakter iklim wilayah studi. Penelitian diasumsikan bahwa sebaran cemaran radionuklida akan bergerak
menuju 16 grid arah mata angin seperti dalam
Gambar 22 berikut.
Gambar 4 Grid arah mata angin Keterangan : S BD B BL U TL TG T-TG
= Arah Selatan S-BD = Arah antara Selatan dan Barat Daya = Arah bar Daya BD-B = Arah antara Barat Daya dan barat = Arah Barat B-BL = Arah barat dan Barat Laut = Arah Barat laut BL-U = Arah antara Barat Laut dan Utara = Arah Utara U-TL = Arah Antara Utara dan Timur Laut = Arah Timur Laut T = Arah Timur = Arah Tenggara TG-S = Arah antara Tenggara dan Selatan = Arah antara Timur dan Tenggara
3.4.2 Seleksi Karakteristik Radionuklida Radionuklida diseleksi berdasarkan daya jangkau sebaran dengan kriteria jangkauan terjauh dan kriteria sifat fisika kimia yang paling mengganggu lingkungan studi, serta faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kemudahan dalam analisisnya, serta perbandingan dengan fakta-fakta kecelakaan nuklir yang telah terjadi. NRPB (1995) dan
IAEA (1997) melaporkan bahwa radionuklida
inventory reaktor PWR 1000Mwe yang sudah beroprasi 18 bulan pada 30 menit setelah shutdown
terdapat 55 radionuklida hasil belah; 20 radionuklida
diantaranya dapat berpotensi keluar reaktor pada saat kecelakaan. Pada fakta
kecelakaan PLTN yang pernah terjadi, tidak semua radionuklida keluar menuju lingkungan. Jangkaun dan distribusi radionuklida akan bergantung karakteristik fisika kimia setiap radionuklida dan berkaitan dengan iklim wilayah saat kecelakaan. Potensi radionuklida yang berpeluang menjadi pencemar lingkungan disajikan dalam Tabel 11 berikut. Tabel 3
Inventory radionuklida reaktor jenis PWR 1000 Mwe (30 menit setelah reaktor padam dan reaktor telah beroprasi 1 siklus (18 bulan)).
Kr-85
Kr-85m
Kr-87
Kr-88
Rb-86
Sr-89
Sr-90
2,0700E+13
8,0800E+14
1,7400E+15
2,0700E+15
9,6200E+11
3,4800E+15
1,3700E+14
Sr-91
Y-90
Y-91
Zr-95
Zr-97
Nb-95
Mo-99
4,0700E+15
1,4400E+15
4,4400E+15
5,5500E+15
5,5500E+15
5,5500E+15
5,9200E+15
Tc-99m
Ru-103
Ru-105
Ru-106
Rh-105
Te-127
Te-127m
5,1800E+15
4,0700E+15
2,6600E+15
9,2500E+14
1,8100E+14
2,1800E+14
4,0700E+13
Te-129
Te-129m
Te-131m
Te-132
Sb-127
Sb-129
I-131
1,1500E+15
1,9600E+14
4,8100E+14
4,4400E+15
2,2600E+14
1,2200E+15
3,1500E+15
I-132
I-133
I-134
I-135
Xe-131m
Xe-133
Xe-133m
4,4400E+15
6,2900E+15
7,0300E+15
5,5500E+15
3,7000E+13
6,2900E+14
2,2200E+14
Xe-135
Xe-138
Cs-134
Cs-136
Cs-137
Ba-140
La-140
1,2200E+15
6,2900E+15
2,7800E+14
1,1100E+14
1,7400E+14
5,9200E+15
5,9200E+15
Ce-141
Ce-143
Ce-144
Pr-143
Nd-137
Np-239
Pu-238
5,5500E+15
4,8100E+15
3,1500E+15
4,8100E+15
2,2200E+15
5,9200E+18
2,1100E+12
Pu-239
Pu-240
Pu-241
Am-241
Cm-242
Cm-244
7,7700E+11
7,7700E+11
1,2600E+14
6,2900E+10
1,8500E+16
8,5100E+14
Sumber: NRPB (1995), IAEA (1997)
Radionuklida memiliki sifat kimia fisika yang berbeda-beda dengan Jangkaun dan distribusi radionuklida akan bergantung pada berat jenis dan waktu paruh yang dimilikinya serta berkaitan dengan pergerakan angin dan iklim wilayah pada saat kejadian kecelakaan. Radionuklida diseleksi berdasarkan daya jangkau sebaran terhadap jarak di wilayah studi dengan kriteria jangkauan terjauh dan kriteria sifat fisika kimia yang paling mengganggu lingkungan studi, serta faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kemudahan dalam analisisnya, serta perbandingan dengan fakta-fakta kecelakaan PLTN yang telah terjadi.
3.4.3
Penentuan Densitas Radionuklida ke Lingkungan Udara Radionuklida yang terdistribusi ke udara sampai pada titik tertentu di
lingkungan bergantung pada konsentrasi inventory reator. Bila terjadi kecelakaan parah pada inti reaktor maka radionuklida inventory
akan terkumpul pada
pengungkung (containment) yang dirancang untuk menahan semua radionuklida agar tidak ke luar lingkungan. Tetapi jika pertahanan ini tidak berfungsi, selanjutnya radionuklida terlepas ke atmosfir. Setelah pelepasan radionuklida ke atmospir, maka selanjutnya akan mengalami pergerakan akibat dorongan angin (adveksi) dan proses pencampuran (difusi bergolak). Bahan radioaktif akan juga dipindahkan dari atmospir ke atas permukaan tanah dengan deposisi basah atau deposisi kering atau keduanya. Mekanisme penting adalah distribusi disebabkan oleh dorongan angin sebagai dasar pelepasan radionuklida ke udara. Dorongan angin akan menempatkan konsentrasi radionuklida, dan data dorongan angin diperlukan dalam data rata-rata tahunan yang akan menjadi dasar perkiraan konsentrasi radionuklida di udara pada lokasi wilayah studi (Till 1983). Satuan radionuklida di udara adalah dalam satuan konsentrasi Bq/m3 (CA). Ilustrasi pergerakan radionuklida seperti digambarkan pada Gambar 23
Hujan Difusi Adveksi
Angin
Difusi Bergolak
h cerobong Pencucian Pengendapan Basah
Pengendapan Kering
Sumber: Safety Reports Series No.19, IAEA ( 2001 ); Till, J.E. & Meyer, H.R.( 1983).
Gambar 5 Ilustrasi mekanisme radionuklida di udara. Perhitungan Dispersi Radionuklida Analisis konsentrasi distribusi radionuklida dengan asumsi bahwa telah terjadi lepasnya radionuklida inventory reaktor menyebar melewati cerobong atau
celah akibat kecelakaan. Distribusi radionuklida di atmosfir digambarkan dengan model penyebaran asap gaussian yang telah diterima secara luas dalam kaitannya dengan radiologi (IAEA 1980). Fraksi pelepasan dihitung dengan asumsi bahwa stabilitas atmosfir konstan, pelepasannya secara kontinyu (IAEA 2001; Umbara 2001). Distribusi radionuklida digambarkan dengan model penyebaran asap gaussian. Model ini dipergunakan dalam menghitung dispersi radioaktif dalam waktu yang lama di atmosfir, model ini telah diterima secara luas dalam kaitannya dengan radiologi. ( IAEA 1980). Model ini dapat mewakili distribusi pelepasan radionuklida dalam jangka pendek dalam hari maupun jangka panjang pada jarak beberapa kilometres dari sumber radiasi (Heinemann 1980a). Radionuklida disebarkan dari ketinggian cerobong dengan tinggi efektif h oleh angin yang berkecepatan µ disebarkan radionuklida ke arah sumbu x dan secara vertikal - horisontal ke arah sumbu z dan sumbu y. Luas penyebaran radionuklida didistribusikan sangat tergantung pada cuaca dan stabilitas atmosfer di wilayah studi. (Till 1983, Gifford 1968, NCRP 1984) C A = X (x,y,z) =
• •
2σ π σy
Qi G z
μ z
− y2 exp σ 2 2 y
(1)
Atau Q
C A = X (x,y,z; H) = σσi 2p y
μ z
2 üù ìï é- y 2 ùé ìï - (z - h)2 ü ï ï ïý + exp ïí - (z + h) ïýú ê úêexp ïí expσ ú 2 2 σ ê2 2 úê ï σ ï 2 y ïï 2 z ïï ú ê îïï ê yû úë ë ï ïû þ îïï þ
Keterangan CA X Y z Q µ σy σz h λ t
= X (x,y,z) = Konsentrasi campuran cemaran di udara pada koordinat x, y dan z (Bq/m3) = Jarak searah angin (m) = Jarak tegak lurus dengan searah angin (m) = Jarak ketinggian dari atas tanah (m) = laju pelepasan campuran (Bq/detik) = Kecepatan angin rata-rata ( m/detik) = standar deviasi lebar beluk arah horisontal y, arah vertikal z = Tinggi pelepasan efektif (m) = tetapan waktu paruh = Waktu peluruhan (detik)
Tahap awal perhitungan sebagai teknik skrining yang paling umum dan paling pesimis untuk menghitung jumlah radionuklida yang sampai pada suatu titik, menggunakan persamaan yang dirumuskan dalam IAEA Safety Report Series No.19 (2001) dengan sketsa gambar aliran udara dalam zona perpindahan
(2)
dengan asumsi kepulan asam cemaran radionuklida berada pada ketinggian lebih dari 2,5 kali ketinggian bangunan Penyederhanaan
dalam
cara
seperti terlihat pada Gambar 24.
perhitungan
radionuklida
adalah
dengan
mengasumsikan bahwa konsentrasi radionuklida berada dalam satu titik tertentu yang berada di udara digambarkan dan dirumuskan seperti persamaan 3 berikut.
Sumber: Safety Reports Series No.19, IAEA ( 2001 );
Gambar 6 Aliran udara dalam zona perpindahan (H >2.5 HB). Efek tinggi bangunan tidak dipertimbangkan. Asumsi bahwa tinggi kepulan asap H lebih besar dari 2,5 kali tinggi bangunan yang ada di sekitarnya, akan mengikuti persamaan berikut ((IAEA 2001). (3) Keterangan CA Pp ua F Qi
= Rata-rara konsentrasi distribusi di udara pada dorongan angina pada sector p (Bq/m3), = Fraksi angin selama satu tahun yang mendorongan terhadap penerima di sector p = Kecepatan angin rata-rata pada ketinggian terjadinya penyebaran per tahun (m/s), = Faktor difusi gaussian pada ketinggian h terjadinya penyebaran dan pada jarak dorongan angin x dalam satuan (m–2), = Laju rata-rata radionuklida i yang terdistribusikan (Bq/s).
Nilai Qi diperoleh dari inventory reaktor yang disajikan dalam Tabel 11 halaman 82 yaitu berbagai unsur radionuklida yang berpeluang memasuki lingkungan akibat kecelakaan reaktor.
3.4.3.1 Penentuan Faktor Dispersi oleh Dorongan Angin (Nilai Pp) Nilai Pp merupakan praksi angin selama selang waktu rata-rata yang mendorong radionuklida menjauhi titik sumber, dan nilai ini spesifik berdasarkan kondisi wilayah. Untuk mendapatkan nilai Pp, maka penelitian ini menggunakan luasan udara dibagai ke dalam 16 arah mata angin untuk menentuakan fraksi berdasarkan dorongan angin pada masing-masing mata arah angin. Persamaan yang digunakan untuk menghitung faktor dispersi (X/Q) tahunan setiap sektor digunakan persamaan:
æX ö P p = çççèQ ÷÷÷ø÷ = p
N M . å p 2p x j= 1 2
æ 2 exp çç- (h) σ 2 çè σ
2 zj
ö ÷ ÷ ÷ ÷ k Pp , jk ø .åμ k= 1
zj
(4)
jk
Keterangan: N Pp,jk M x µjk σzj h
= jumlah arah mata angin = frekwensi arah angin p, kategori atmosfir f dan kelas kecepatan angin k = jumlah kategori atmosfir = jarak searah angin (m) = kecepatan angin rata-rata pada kategori atmosfir f dan kelas kecepatan angin k ( m/detik) = standar deviasi lebar beluk arah vertikal z = tinggi pelepasan efektif (m)
Apabila mengabaikan pengaruh wilayah studi untuk tujuan pengujian awal dalam menghitung radionuklida yang jatuh di permukaan tanah nilai Pp dapat diusulkan menggunakan nilai Pp = 0.25 (NCRP 1989 & 1996). 3.4.3.2 Penentuan Standar Deviasi Lebar Beluk (Nilai σy dan σz) Nilai Parameter
σy
dan σy
atau standar deviasi lebar beluk arah
horisontal y (Nilai σy) dan arah vertikal z (σz) dari pergerakan angin di atmosfir dari jarak titik sumber persamaan σz = σ . x
σy
=
diperoleh dari parameter lingkungan studi dengan 0,67775. Ө.
(a + a Log x + (log x)^2) 1 2
(5
-log
x)x
dan
persamaan
(IAEA 1980; Umbara 2001).
2.4.3.3 Penentuan Faktor Difusi Gaussian (F) Faktor difusi gaussian (F) pada ketinggian h adalah faktor penyebaran pada jarak x oleh dorongan angin dapat dihitung dari persamaan berikut. ` é ïì - z - h 2 ïü ïì - (z + h)2 ïüù ( )ï ê ú ï ï ï F = G z = êexp í σ 2 ý + exp í σ 2 ýú ïï 2 z ïï ú ê ïïîï 2 y ïïþ ï ïî ïû þ ë
(5)
3.4.3.4 Penentuan Laju Pelepasan (Faktor Fraksi Hasil Belah) Hasil belah inti dengan sinar radiasi yang terus menerus terpancar sampai fraksi belahnya habis dipengaruhi oleh sifat fisika kimia masing-masing radionuklida. Laju pelepasan radionuklida dari kebocoran reaktor menurut Pane (2006) ekivalen dengan laju kebocoran yang diasumsikan dengan X % per hari atau:
Q(t) = Qo (t)
X , 2400
maka fraksi belah yang terus menerus keluar selama waktu t
dapat ditulis menjadi: Qi (t) X 1 X = . 1-Exp - λ + t X Qio 2400 2400 λ + 2400
Keterangan:
Qio Qi (t) X
λ
(6)
= kuat sumber awal radionuklida (Bq/t) = konsetrasi sumber akhir setelah waktu t (Bq/t) = persentasi kebocoran per satuan waktu = perioda waktu paruh (1/t1/2) (det-1)
3.4.3.5 Penentuan Faktor Peluruhan Radionuklida Radionuklida sebagai cemaran berbahaya adalah jumlah radionuklida yang sedang meluruh menuju kestabilan. Banyaknya bagian radionuklida yang meluruh terus menerus yang merupakan bagian sisa yang akan menjadi sumber pencemar yang akan bergerak terdorong angin dapat diperoleh dari persamaan berikut. C At = C Ao e- l t
Keterangan:
λ CAt CAo t
3.4.4
= = = =
(7)
konstanta peluruhan (1/t1/2) (det-1) rata-rara konsentrasi radionuklida pada waktu t (Bq/m3) rata-rara konsentrasi radionuklida awal (Bq/m3) waktu peluruhan (detik)
Penentuan Densitas Radionuklida di Lingkungan Darat Radionuklida yang sampai lingkungan darat, baik yang berada di tanah
non-vegetasi ataupun yang berada di vegetasi ditentukan oleh densitas radionuklida yang datang dari udara. Oleh karena itu, penentuan radionuklida di darat adalah hasil dari densitas dari udara yang dipengaruhi oleh faktor deposisi pengaruh hujan, yang selanjutnya dipengaruhi oleh serapan tanah maupun serapan vegetasi yang ada di wilayah studi..
3.4.4.1. Iklim wilayah studi Iklim wilayah studi mempengaruhi jumlah radionuklida yang memasuki wilayah darat. Penentuan iIklim wilayah studi diamati berdasarkan
stasiun
pengamatan Daerah Ujung Lemah Abang Jepara serta stasiun-stasiun pengamatan yang dimiliki BMG. Kemudian diproses menjadi karakteristik udara wilayah studi berdasarkan jam pengamatan yang meliputi arah angin, kategori angin dan kecepatan angin. Dari stasiun pengamatan BMG (2009), data Penelitian BMG 30 tahun (1971-2000), Laporan NEWJEC (1996) diperoleh data prakiraan curah hujan dalam mm yang merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar sehingga dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air setinggi satu millimeter. Wilayah studi ditentukan curah hujan bulanannya dan dikategorikan termasuk memiliki curah hujan rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi dengan ketentuan curah hujan 0-100 mm dengan kategori rendah, 101-300 curah hujan kategori sedang, 301- 400 kategori curah hujan tinggi dan >400 dikategorikan curah hujan sangat tinggi. Pola musim dari Data tersebut, maka wilayah studi dapat dikelompokkan menjadi data kondisi curah hujan normal atau di atas/di bawah normal. Jika memiliki nilai 0-84% dari rata-rata tahunan dikategorikan di bawah normal, jika memiliki nilai 85-115% dikategorikan normal, dan nilai > 115% dapat dikategorikan di atas normal.
3.4.4.2 Penentuan Faktor Deposisi Aktivitas radionuklida di tanah perbandingan
dapat dihitung dengan menggunakan
jumlah aktivitas terdeposit di tanah per satuan waktu dengan
konsentrasi udara di tingkat bawah. Perbandingan disebut koefisien deposisi (Gifford 1968 ; Pasquill 1983). Total laju deposisi di tanah dengan konsentrasi radionuklida di udara disajikan dapat ditulis . di = (Vd + Vw) CA
(8)
Keterangan: di Vd Vw
= total laju deposisi rata-rata harian di tanah yang diberikan oleh radionuklida i dari deposisi basah dan kering dipermukaan tanah dan vegetasi ((Bq.m–2.d–1) = koefisien deposisi kering radionuklida (m/d); = koefisien deposisi basah radionuklida (m/d).
Nilai deposisi total adalah gabungan dari deposisi basah dan kering (Brenk 1981). Kecepatan pengendapan telah direkomendasikan sebagai koefisien deposit
total (VT ) yaitu nilai (Vd + Vw) oleh NCRP (1998) yang dapat digunakan dalam perhitungan konservatif untuk menghitung jumlah cemaran radionuklida di permukaan tanah sebesar 1000 m/hari (Kohler 1991). Di lingkungan udara, awan radiasi akan mengalami deposisi karena cuaca atau karena curah hujan yang tinggi yang dikenal dengan pengendapan basah. Pengendapan basah radionuklida sangat bergantung pada besarnya curah hujan. Semakin tinggi curah hujan semakin besar radionuklida yang akan terendapkan pada permukaan tanah. Perhitungan intensitas pengendapan radionuklida akibat curah hujan dapat dihitung dengan persamaan Vinther (1984) Lg = c x p a
(9)
Keterangan: Lg= koefisien pengendapan (1/det) c =tetapan (1/mm) untuk Radionuklida bentuk gas atau aerosol p = intensitas pengendapan basah (mm/det) a = tetapan (0,6 untuk gas, 0,5 untuk aerosol)
Nilai deposisi total adalah gabungan dari deposisi basah dan kering (Brenk 1981). Kecepatan pengendapan telah direkomendasikan sebagai koefisien deposit total (VT ) yaitu nilai (Vd + Vw) direkomendasikan oleh NCRP (1998) sebesar 1000 m/hari dapat digunakan dalam perhitungan konservatif jumlah cemaran radionuklida di permukaan tanah (Kohler 1991). Di lingkungan atmosfir udara, awan radiasi akan mengalami deposisi karena cuaca atau karena
curah hujan
yang tinggi yang dikenal dengan
pengendapan basah. Pengendapan basah radionuklida sangat bergantung pada pada besarnya curah hujan. Semakin tinggi curah hujan semakin besar radionuklida yang akan terendapkan pada permukaan tanah. Perhitungan intensitas pengendapan radionuklida akibat curah hujan dapat dihitung dengan persamaan Vinther (1984) serta menggunakan Tabel 12. Lg = c x p a Keterangan: Lg= koefisien pengendapan (1/det) c =tetapan (1/mm) untuk Radionuklida bentuk gas atau aerosol p = intensitas pengendapan basah (mm/det) a = tetapan (0,6 untuk gas, 0,5 untuk aerosol)
(10)
Tabel 4 Hubungan koefisien pengendapan dan curah hujan No 1 2 3 4 5 6 7
Curah hujan (mm/jam) 0,06 0,10 0,50 1,00 3,00 10,00 100,00
Lg (1/det) 10-5 1,3 x 10-5 3,0 x 10-5 4,0 x 10-5 10-4 2,0 x 10-4 10-3
Sumber: F Vinther (1984); Kartodiwirio (1995)
3.4.4.3 Penentuan Densitas Radionuklida di Tanah Non-Vegetasi Wilayah studi merupakan wilayah dengan cakupan luas dalam radius 35 km. Sifat tanah dengan komposisi kandungan unsur berbeda memiliki kemampuan serapan radionuklida akan berbeda, untuk itu perlu dilakukan analisis unsur penting di tanah wilayah studi dan dilakukan uji statistika terhadap keberagaman unsur-unsur dalam tanah di berbagai titik koordinat yang mewakili. Kandungan unsur penting tanah wilayah studi di berbagai titik koordinat yang mewakili dilakukan analisis tanah untuk dapat mengetahui kandungan mineral penting anorganik Si, Al dan Fe,. Adanya kandungan mineral ini dalam wilayah studi dapat berperan di dalam kapasitas serapan radionuklida. Analsis mineral dilakukan dengan menggunakan peralatan Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS). Penentuan faktor serapan tanah terhadap radionuklida dipengaruhi oleh faktor kinetika sorpsi dan disorpsi karakteristik tanah wilayah studi dan telah dilakukan oleh Setiawan (1999) yang telah melakukan uji kinetika radionuklida pada tapak PLTN Muria. Jumlah radionuklida yang terserap tanah dan terlepas kembali dari tanah dapat diekspresikan sebagai persentase reversibilitas: % Reversibiltas desorpsi = (Cs - Cs*)/Cs
(11)
Keterangan: Cs : kuantitas Cesium pada tanah sebelum desorpsi; Cs*: kuantitas Cesium pada tanah setelah desorpsi
3.4.4.4 Penentuan Densitas Radionuklida di Vegetasi Densitas radionuklida yang ada di permukaan vegetasi ditentukan oleh radionuklida yang memasuki darat dari udara serta ditentukan oleh kemampuan akar dalam menyerap radionuklida yang ada dipermukaan tanah. Radionuklida yang terserap tanah akan diikat akar tanaman, sehingga terjadi pengurangan
aktivitas radionuklida pada tanah. Untuk menentukan jumlah radionuklida yang terserap tanaman,
menurut Sukmabuana (2005) dapat digambarkan seperti
Gambar 25 berikut: k12
A1 (tanah)
A2 (tanaman) k21
Gambar 7 Model serapan radionuklida dari tanah ke tanaman Perpindahan radionuklida dari tanah ke tanaman dapat dirumuskan dQ1 = k21Q2 - (k12 + l )Q1 dt dC k12 = Q1 - (k21 + l )C dt Y
(12) (13)
Keterangan:
Q1 = konsentrasi radionuklida dalam tanah (MBq/satuan berat)
Q2 = konsentrasi radionuklida dalam tanaman (MBq/satuan berat) C = konsentrasi radionuklida dalam tanaman (MBq/satuan berat) Y = Produksi tanaman ג λ = konstanta peluruhan (1/hari) k12 = Koefisien laju perpindahan dari tanah ke tanaman (1/hari)
k21 = Koefisien laju perpindahan dari tanaman ke tanah(1/hari) Karena penyerapan umumnya terjadi oleh tanaman terhadap tanah, maka persamaannya menjadi: dQ1 = - (k12 + l )Q1 ; dC = - (k21 + l )C dt dt Dengan mengalikan konsentrasi Q1 tanah dengan berat tanah serta mengalikan konsentrasi C pada tanaman dengan berat kering tanaman, maka diperoleh persamaan: dA1 dA2 = - (k12 + l ) A1 ; = - (k21 + l ) A2 dt dt Persamaan diatas dapat diselesaikan menjadi:
A1 = A1(0) e- ( k12 + l )t
(14)
A2 = A1(0) (e- l t - e- ( k12 + l )t
(15)
Keterangan: A1 = Aktivitas dalam tanah (MBq) A2 = Aktivitas dalam tanaman (MBq)
Serapan radionuklida oleh tanaman dapat dihitung dengan percobaan dan membuat grafik ln ( A1(0) / A1 ) terhadap waktu (t).
3.4.5 Distribusi Spasial Radionuklida di Darat Model distribusi spasial radionuklida di darat dibuat dengan langkahlangkah teknisnya sebagai berikut: 1) Penyiapan peta 260 luasan wilayah studi melalui digitasi peta rujukan; 2) Titik sampel disebarkan pada radisus 200 m 35.000 m untuk setiap arah angin untuk 16 arah mata angin sesuai koordinat titik peta wilayah studi; 3) Pembuatan gambar model dengan nilai error sekecil mungkin; 4) Analisa output data hasil perhitungan untuk setiap wilayah (260 desa) melalui pendekatan model; 5) Validasi model.
3.4.5.1 Pembuatan 260 Peta Wilayah Desa Dgitasi peta dengan software ArcView 3.3 dan ArcGis 9.3 dilakukan untuk membuat peta wilayah studi, peta tata guna lahan, batas administrasi kabupaten, kecamatan dan wilayah-wilayah yang berada di kabupaten Jepara, Demak, Kudus dan Pati. Selain itu, dibuat peta wilayah darat bervegetasi dan peta wilayah luasan tanah yang ditutup bangunan/tanah kosong. Untuk keperluan tersebut diperlukan peta rupa bumi beberapa kabupaten dari Bakosurtanal antra lain: peta kabupaten Jepara, kabupaten Pati, kabupaten Kudus dan kabupaten Demak dengan skala 1:25.000. Data yang diperlukan untuk keperluan tersebut antara lain: Peta rupa Bumi lembar 1409-344, 1409-341, 1509-133, 1409-622, 1409-332, 1509-411, 1409-331, 1409-323, 1409-342, 1409-314, 1509-131, 1409324, 1409-612, 1409-334, 1409-343, dan RBU 1409-621. Peta rupa bumi tersebut selanjutnya di-digitasi kembali dengan ArcView 3.2 untuk membuat 260 peta wilayah desa. Data berupa angka-angka berkaitan dengan penggunaan lahan di kabupaten tersebut diperolah dari hasil pengolahan data BPS yang diolah lanjutan menjadi data yang diperlukan untuk keperluan wilayah studi. Hal ini dimaksudkan untuk dapat memperkirakan jumlah radionuklida yang akan mencemari permukaan tanah wilayah studi.
3.4.5.2 Metoda Spasial dengan Software ArcGIS 9.3 Pusat cemaran merupakan lokasi PLTN pada ketinggian cerobong 49 m sesaui data dokumen teknis rancangan reaktor PWR IAEA No.955 (1977), dengan koordinat 6o25’40’’ LS, 110o 47’20’’ BT. Selanjutnya dilakukan inputinput titik cemaran hasil perhitungan distribusi radionuklida di udara pada peta yang telah dibuat dengan jarak 0.2 km, 0.5 km, 1 km, 2 km, 3 km, 4 km, 5 km, 1035 km untuk masing-masing arah angin untuk masing-masing arah angin dari 16 arah mata angin. Terdapat 13 titik untuk setiap arah mata angin yang selanjutnya titik-titik tersebut digabungkan dalam 360 derajat. Dilakukan pembuatan peta spasial daerah studi terhadap (13 x 16 x 2 = 416 data) pada ArcGis untuk satu waktu setelah kejadian kecelakaan. Dilakukan pemodelan spasial untuk urutan kejadian meliputi: 7 hari setelah kejadian, 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210, 240, 270, 300, 330 sampai dengan 360 hari setelah kejadian kecelakaan. Berdasarkan penjelasan BAPETEN (2003) dan IAEA (1997)
bahwa
dalam tindakan penaanggulangan kedaruratan nuklir wilayah cemaran akibat kecelakaan fasilitas nuklir diklasifikasikan sebagai berikut: a) Precautionary Action Zone (PAZ) yaitu wilayah di sekitar PLTN dimana tindakan penanggulangan direncanakan dan ditetapkan sesegera mungkin setelah pernyataan terjadinya kecelakaan; b) Urgent Protective Action Planning Zone (UPZ) yaitu wilayah di sekitar PLTN yang disiapkan dan sesegera akan ditetapkan tindakan penanggulangan berdasarkan hasil pemantauan lingkungan; c) Longer Term Protective Action Planning Zone (LPZ) yaitu wilayah sampai dengan jarak yang relatif jauh dari UPZ, dimana tindakan penanggulangan dilaksanakan dalam jangka waktu panjang. dilaksanakan dalam jangka waktu panjang. Klasifikasi cemaran pada model distribusi spasial sesuai dengan Tabel 13 di atas luasan dibuat dalam 5 zona: (1) Dikategorikan aman apabila cemaran 0-50 mSv
(0 – 18.5 kBq/m3) dengan istilah A atau LPZ; (2) Zona relokasi lingkar 2
dengan cemaran 50 -350 mSv (18.5 – 129 kBq/m3) dengan kode UPZ-2; (3) Zona relokasi lingkar 1 cemaran 350-1000 mSv (129-370 kBq/m3) dengan kode UPZ-1; (4) Zona darurat lingkar 2 cemaran 1000 – 10000 mSv (370.0-3700 kBq/m3) dengan kode PAZ-2 dan (5) Zona darurat lingkar 1 untuk cemaran > 10000 mSv
(> 3.700 kBq/m3) dengan kode PAZ-1.( ARPNSA 2000 ; ICRP 1990; BAPETEN 2003; IAEA 1997)
Tabel 5 Klasifikasi cemaran pada wilayah studi NO 1 2 3
Cemaran (Penyesuaian Konversi) 0- 50 mSv 50 -350 mSv 350-1000 mSv
Keterangan**
0 – 18.5 kBq/m3 18.5 – 129 kBq/m3 129-370 kBq/m3
Zona Kedaruratan* LPZ UPZ-2 UPZ-1
Aman Relokasi 2 Sakit (hitungan Bulan) bila terus menerus 4 1000 – 10000 370.0-3700 kBq/m3 Sakit Parah (hitungan PAZ-2 mSv Bulan) bila terus menerus 5 > 10000 mSv > 3.700 kBq/m3 Meninggal (hitungan PAZ-1 minggu) bila terus menerus. Sumber :** ARPNSA 2000 ; ICRP 1990; * BAPETEN, 2003 dan IAEA Tecdoc-955, 1997
3.4.5.3 Rancangan Model Spasial dan Validasi Model Langkah awal sebelum model spasial diputuskan sebagai model, maka dilakukan beberapa tahapan terlebih dahulu: a) evaluasi data untuk menghindari data yang keliru serta posisi koordinat yang salah penempatan; b) membuat percobaan model dengan beberapa fungsi di dalam Arcgis 9.3 geostatistik diantaranya menggunakan kriging, IDW maupun radial basis fungsi; evaluasi model menggunakan data statistik dan data geostatistik; c) pembuatan peta secara spasial; d) validasi hasil peta pasial; e) keputusan pendekatan metoda yang digunakan. Memodelkan data secara spasial dengan cara interpolation spasial dari titik-titik sampel pada ruang wilayah studi dengan asumsi bahwa karakteristik lokasi yang diramalkan memiliki kemiripan kondisi dengan lokasi sampel yang diukur. Unsur-unsur yang dijadikan dasar intrapolasi adalah: titik kontrol ditambah metoda intrapolasi dengan beberapa asumsi: a) data adalah kontinyu, b) hipotesis permukaan,
c) terdapat
hubungan spasial dengan melakukan
autocorrelation ruang dengan melakukan penilaian bahwa titik-titik yang berada dalam lokasi secara bersama-sama diyakini memiliki kemiripan dengan titik-titik lain berikutnya. Metoda pemodelan menggunakan model lokal dengan dengan pilihan metoda: inverse distance weighting (IDW), krigging dan radial basis fungsi (RBF). Langkah-langkah teknis pemodelan adalah: 1. Penyiapan peta wilayah studi sebanyak 260 luasan wilayah melalui digitasi dari data gambar foto udara.
2. Titik sampel disebarkan pada radisus arah 200 m, 500 m, 1 000 m, 2 000 m, 3 000 m, 4 000 m, 5 000 m, 10 000 m, 15 000 m, 20 000 m, 25 000 m, 30 000 m dan 35 000 m untuk masing-masing arah angin sebanyak 16 arah mata angin pada wilayah studi dengan memassukan koorbinat titik pada peta wilayah studi. Nilai cemaran radionuklida pada titik-titik tersebut di gabungkan dengan dalam cakupan koordinat wilayah studi seperti digambarkan pada Gambar 26. 3. Pembuatan gambar model dengan memperhatikan nilai error sekecil mungkin. 4. Analisa output data dari perhitungan data cemaran yang akan diperoleh oleh masing-masing wilayah dari 260 wilayah desa melalui pendekatan model tersebut. 5. Validasi model perhitungan yang dihasilkan program. Data nilai cemaran radionuklida yang dihasilkan pada suatu wilayah hasil dari pemodelan, diuji signifikansi secara statistika untuk membedakan berbeda nyata atau tidak beda nyata antara nilai perkiraan model dengan nilai perhitungan teoritis.
Gambar 8
Sebaran titik sampel pada koordinat wilayah studi
Keluaran model spasial berupa luasan zona cemaran radionuklida yang akan diterima oleh setiap wilayah dan akan diperoleh luasan (zona) dengan
dampak besar dan luasan (zona) dengan dampak kecil pada urutan waktu setelah kejadian kecelakaan. Pembuatan distribusi radionuklida secara spasial dengan cara interpolation dari titik-titik sampel pada ruang wilayah studi dengan asumsi bahwa karakteristik lokasi yang diramalkan memiliki kemiripan kondisi dengan lokasi sampel yang diukur. Metoda pemodelan menggunakan pilihan metoda: inverse distance weighting (IDW), krigging dan radial basis fungsi (RBF), selanjutnya dilakukan uji validasi dari data hasil yang ada (Lukaszyk 2004; Lloyd 2007) serta membandingkan hasil model dengan kejadian kecelakaan nuklir yang
pernah terjadi. Metoda spasial digunakan dalam penelitian untuk memperkirakan nilai berdasarkan variasi ruang, dimana nilai yang ingin diketahui tersebut berada dalam lokasi yang tidak terobservasi, menggunakan input data sampel yang terdistribusi. 3.4.5.4 Analisis Statistika Identifikasi dan klarifikasi data hasil dari percobaan dilakukan uji-uji statistik diantaranya untuk melihat sebaran data, rata-tata maupun variansinya. Diuji data hasil dan dibandingkan dengan data pengukuran, mengamati perbedannaya serta melihat error yang dihasilkan dari model. Analisis statistik dalam pemilihan model, pengujian model dan pengambil keputusan model melalui pengujian data dengan staristika software SPSS 13.0 /Minitab 14.
3.4.6
Penentuan Laju Degradasi Radionuklida di Darat Laju degradasi radionuklida di permukaan tanah ditentukan dengan
ekperimen terhadap data hasil dengan melakukan pengujian terhadap orde satu atau orde dua. Degradasi order satu ditentukan oleh satu konsentrasi radionuklida yang terdegradasi. Untuk order reaksi satu, laju degradasi ditentukan oleh satu konsentrasi unsur yang mengalami degradasi. Hukum laju reaksi dapat ditulis sebagai berikut. •
−
dc kc = dt
(16)
Dimana k adalah konstanta laju degradasi yang sangat tergantung dengan pengaruh perubahan waktu. Secara eksperimen laju reaksi dapat ditentukan dengan menentukan hubungan antara konsentarasi yang ada dalam reaksi terhadap
waktu reaksi. Pada t=0 yaitu pada konsentrasi awalnya sama dengan c0, dan persamaan di atas jika diintegrasikan menghasilkan persamaan berikut. c
t
c c dc = k ∫ dt dan − ln = ln 0 = kt atau dt c0 c c0 0
−∫
log
c0 k = t , bentuk persamaan ini dapat diubah menjadi c 2,303
k (17) log c = − t + log c0 2,303 Oleh karena itu, tetapan laju reaksi degradasi dapat ditentukan dengan membuat plot grafik antara log
c0 dengan t, atau membuat plot grafik antara log c dengan t. c
Slope yang dihasilkan dapat menentukan nilai tetapan laju reaksi degradasi k order pertama. Jenis reaksi order satu ini dapat digunakan untuk menentukan karakteristik waktu paruh dari suatu unsur kimia yaitu dengan memisalkan konsentrasi setelah degradasi sebanyak setengah dari konsentrasi awalnya, 1 c = c0 . Persamaan di atas dapat diubah menjadi 2 log
c0 k = t1 1 2 c0 2,303 2
Laju degradai
sehingga
t1 = 2
0, 693 k
(18)
order reaksi kedua, ditentukan oleh satu reaktan dan satu
produknya atau oleh dua reaktannya. Hukum laju reaksi kedua dapat ditulis seperti berikut ini, −
dc kc 2 , dan persamaan di atas jika diintegrasikan = dt
menghasilkan persamaan berikut. c −c 1 1 dc = k ∫ dt dan − = kt atau 0 = kt 2 c c c0 c0 c 0 c0 c
−∫
t
(19)
Nilai tetapan laju order kedua dapat ditentukan dengan memplot 1/c dengan t, slope yang dihasilkan merupakan laju reaksi order kedua. Waktu paruh reaksi order kedua dapat dirumuskan menjadi persamaan berikut. t1 = 2
1 kc0
(20)
3.4.7 Penentuan Perkiraan Luasan Radionuklida pada Kecelakaan PLTN Luasan tanah bervegetasi dan luasan tanah non-vegetasi akan mengalami perubahan dan komposisi sesuai dengan perubahan waktu dan sesuai dengan rancangan tata wilayah. Oleh karena itu, perkiraan perubahan luasan di tahun mendatang dibuat untuk dapat meramalkan luasan cemaran yang akan terjadi akibat kecelakaan PLTN di masa depan. Prosedurnya adalah peta spasial cemaran di tanah dan divegetasi dikonversi dengan faktor perubahan lahan dari waktu ke waktu sehingga dapat menghasilkan perkiraan luasan cemaran pada kecelakaan di waktu yang akan datang.