19
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir Kebakaran hutan yang sering terjadi di Indonesia berkaitan erat dengan dua faktor utama yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kemungkinan terdapat karakteristik yang dapat ditemukan baik pola waktu maupun pola lokasi terjadinya kebakaran yang disebakan kedua faktor utama tersebut. Karakter waktu dapat ditemukan pada beberapa faktor alami penyebab kebakaran hutan seperti iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya). Adanya kemungkinan bahwa kebakaran hutan terjadi pada musim musim tertentu dan periode bulan tertentu memberi asumsi terdapatnya pola secara temporal terjadinya kebakaran hutan. Faktor manusia sebagai penyebab kebakaran hutan dipicu oleh kegiatan perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah, pola perilaku manusia setempat, dan pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit. Terdapat kemungkinan bahwa pembukaan hutan yang dilakukan oleh para pemegang HPH dan petani tradisional dengan perladangan berpindah pindah dilakukan pada periode waktu tertentu. Misalnya periode waktu dimana kondisi alam mendukung dilakukannya pembakaran seperti kondisi musim kering, tidak lembab dan sebagainya. Hal ini juga memberikan asumsi bahwa kebakaran hutan memiliki pola temporal dalam periode waktu tertentu dan spasial pada lokasi lahan para pemegang HPH dan petani tradisional. Meskipun perilaku masyarakat seperti kebiasaan dalam membakar tanah gambut, semak belukar dan sebagainya muncul sebagai kondisi bebas kapanpun dan dimanapun dapat terjadi kebakaran hutan. Dari asumsi – asumsi tersebut maka terdapat kemungkinan bahwa kebakarn hutan memiliki karakter-karakter pola persebaran tertentu secara spatiotemporal. Sangat diperlukan pengenalan pola karakter kebakaran hutan baik itu secara spasial maupun temporal dalam mengatasi kebakaran hutan. Dimana secara logis berdasarkan Hukum Geografi 1 Tobler hotspot akan mengelompok karena kedekatan lokasi dan waktu sehingga terdapat kemungkinan bahwa hotspot tidak
20
tersebar secara acak tetapi terdapat pola penggerombolan secara alami. Jika lokasi dan pola persebaran kebakaran hutan diketahui maka pihak terkait mampu melakukan perencanaan dalam melakukan manajemen pengelolaan kebakaran hutan. Misalnya untuk daerah yang dinilai rawan dalam waktu tertentu dan lokasinya pada batas administrasi maka diperlukan pengelolaan yang terpadu pada wilayah yang bersangkutan yang pada saat ini pengelolaannya dipisahkan. Saat ini tingkat kerawanan kebakaran hutan dilakukan dengan melakukan metode expert dan densitas, dimana kedua metode ini menggerombolkan hotspot kebakaran hutan tidak secara alami yaitu dengan membagi kelompok berdasarkan kedekatan sifat pada setiap hotspot melainkan dengan mengukur densitas kelompok kebakaran hutan yang berada di suatu lokasi tertentu. Sehingga kelompok kebakaran hutan tidak selalu memiliki karakter yang sama baik secara lokasi maupun waktu. Metode yang telah digunakan tidak sesuai dengan Hukum Geografi 1 Tobler yang seharusnya mengelompok karena kedekatan karakter baik lokasi maupun waktu. Alternatifnya adalah melakukan penggerombolan hotspot kebakaran hutan dengan
menggunkan
suatu
metode,
dimana
metode
tersebut
akan
mengelompokkan hotspot berdasarkan kedekatan karakter dari hotspot tersebut baik lokasi maupun waktu secara alami. Tehnik yang sesuai dengan metode ini diantaranya
adalah
DBSCAN
dan
ST-DBSCAN.
DBSCAN
melakukan
penggerombolan dengan mengukur kedekatan anggota dalam setiap gerombolnya dengan jarak tertentu. ST-DBSCAN melakukan penggerombolan dengan mengukur kedekatan anggota dalam setiap gerombolnya dengan jarak dan waktu tertentu. Sehingga dengan melakukan penggerombolan menggunakan DBSCAN dan ST-DBSCAN dapat diperoleh gambaran penggerombolan yang anggota penggerombolannya memiliki sifat yang mirip satu dengan lainnya. Terdapat kemungkinan
ditemukannya
karakter
dan
pola
spasiotemporal
dari
penggerombolan yang dihasilkan dimana karakter dan pola tersebut sangat diperlukan menyangkut isu-isu manajemen pengelolaan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Kerangka berpikir pada penelitian ini terdapat pada Gambar 8.
21
Masukan Analisis
Rujukan Teori Teori Hukum Geografi 1 Tobbler Masalah Solusi - Hotspot biasanya muncul, bisa teratur atau tidak teratur - Untuk mengendalikan hotspot diperlukan pengenalan karakter
Penelitian Asumsi
Hotspot tidak tersebar secara acak tetapi memiliki pola penggerombolan diantaranya disebabkan faktor manusia dan faktor alami
- Penggerombolan DBSCAN (jarak) - Penggerombolan ST-DBSCAN (jarak dan waktu) digunakan untuk mengetahui pola persebaran hotspot kebakaran hutan
Gambar 8 Kerangka berfikir 3.2. Tahapan Penelitian Pada penelitian ini untuk mendeterminasi penggerombolan titik-titik rawan kebakaran hutan dengan menggunakan metode DBSCAN dan ST-DBSCAN tahap–tahap yang akan dilakukan terdapat pada Gambar 9. Mulai
Penggerombolan ST-DBSCAN
Pengumpulan Data dan Praproses
Data Hasil Praproses
Penggerombolan DBSCAN
Output Penggerombolan
Analisis
Visualisasi Penggerombolan
Selesai
Output Penggerombolan
Gambar 9 Diagram alir tahap-tahap penelitian 3.2.1. Sumber Data dan Praproses Badan
Nasional
Penanggulangan
Bencana
(BNPB)
pusat
telah
mengidentifikasi daerah rawan kebakaran hutan Sumatera Selatan merupakan salah satu diantaranya. Selain Sumatera Selatan terdapat juga provinsi Riau, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
22
Data spasial yang digunakan adalah hotspot kebakaran hutan di Sumatra Selatan tahun 2002-2003. Data hotspot yang digunakan diperoleh dari Fire Information For Resource Management System (FIRMS) yang merupakan data hotspot MODIS yang disediakan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA). Data Sumatera Selatan dan data tahun 2003 sudah cukup mewakili pengembangan metode dalam melakukan salah satu usaha pemecahan masalah kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Hal ini dikarenakan Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah rawan bencana kebakaran. Analisis time series dalam melakukan prediksi bencana kebakaran masih memerlukan cakupan data dengan periode tahun yang lebih panjang. Tahapan praproses dilakukan terhadap semua data yang digunakan. Tahapan praproses data yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pemilihan Data Pada proses ini dilakukan pemilihan data hotspot yang terjadi di provinsi Sumatra Selatan pada tahun 2002-2003. Pada data tersebut akan dilakukan pemilihan field data yang diperlukan untuk mempercepat perhitungan data. Field data yang diperlukan yaitu lintang, bujur, dan tanggal. Untuk penggerombolan menggunakan DBSCAN, data dikelompokkan per bulan sedangkan penggerombolan ST-DBSCAN seluruh data akan diproses tanpa melakukan pengelompokan data. 2. Tranformasi Data Tanggal Data tanggal akan disamakan dalam format dd-mm-yyy, setelah itu sebelum diolah dalam Matlab akan diubah lagi dalam format number. 3. Pembersihan Data Pada semua data dilakukan pembersihan data untuk mengganti nilai atribut yang hilang atau kosong. 3.2.2. Perhitungan Jarak Dalam perhitungan radius epsilon (Eps) dan untuk mengukur kesamaan suatu titik apakah dimasukan dalam satu penggerombolan atau tidak digunakan suatu parameter dist (jarak). Pengukuran jarak menggunakan Euclidean distance untuk mengukur jarak antara titik i dan j dari persamaan berikut:
23
Dimana
dan j
merupakan objek data dua
dimensi. Pada data DBSCAN digunakan satu parameter jarak yaitu Eps untuk mengukur persamaan data spasial sedangkan pada data ST-DBSCAN digunakan dua parameter jarak yaitu Eps1 untuk mengukur persamaan jarak data spasial yaitu jarak titik geografis dan Eps2 untuk mengukur persamaan data non spasial dalam penelitian ini menggunakan atribut waktu (tanggal terjadi kebakaran). 3.2.3. Penentuan Eps dan MinPts Menentukan parameter Eps dan MinPts dari penggerombolan terkecil pada basis data dapat dilakukan melalui observasi k-dist (Gambar 10). Berikut langkahlangkah penentuan nilai Eps dan MinPts dari k-dist. k-dist Ambang batas
noise
penggerombolan point
Gambar 10 Grafik nilai Eps 1. Komputasikan k-dist untuk seluruh titik pada beberapa k. Urutkan dalam urutan menurun dan plot nilai yang telah diurutkan. 2. Perubahan tajam pada nilai k-dist yang berhubungan dengan nilai Eps dan nilai k gunakan sebagai MinPts yang sesuai. 3. Poin yang k-dist lebih kecil dari Eps akan disebut sebagai core point (titik inti), sementara titik lain akan dilabeli sebagai titik noise atau titik border. 4. Jika k terlalu besar maka penggerombolan kecil (ukuran kurang dari k) cenderung diberi label sebagai titik noise. Jika k terlalu kecil maka titik noise atau outlier akan salah diberi label sebagai penggerombolan. Eps dipilih yang kurang dari jarak yang ditentukan oleh lembah pertama.
24
3.2.4. Penggerombolan DBSCAN Data hasil praproses yang telah dikelompokkan per bulan akan dilakukan penggerombolan menggunakan DBSCAN. Setelah ditemukan nilai Eps dan MinPts yang sesuai dengan algoritma sebagai berikut (Tan et al. 2006 ): Menghilangkan titik noise dengan 1. Melakukan
pengelompokan
pada
titik
yang
tersisa
dengan
cara
menghubungkan semua titik inti (core) dengan jarak yang kurang dari Eps satu sama lain 2. membuat setiap kelompok dari titik inti yang terhubung menjadi penggerombolan yang terpisah 3. menetapkan setiap titik perbatasan ke salah satu penggerombolan rekanannya 3.2.5. Penggerombolan ST-DBSCAN Setelah diperoleh nilai Eps1 dan Eps2 data hasil praproses akan dilakukan penggerombolan dengan menggunakan algoritma ST-DBSCAN dengan dimulai dengan titik pertama p dalam basis data D dan mengambil semua titik density reachable dari p sehubungan dengan Eps1 dan Eps2. 1. Titik p diproses sesuai dengan algoritma DBSCAN dan titik berikutnya diambil. 2. Fungsi Retrieve_Neighbors (objek, Eps1, Eps2) mengambil semua titik density reachable dari objek yang dipilih sehubungan dengan Eps1, Eps2 dan MinPts. Jika titik yang kembali berada dalam Eps neigborhood lebih kecil dari nilai MinPts, objek dinilai sebagai titik noise. 3. Titik noise dapat diubah kemudian jika titik bukan directly density reachable tetapi merupakan density reachable. 4. Jika titik dipilih adalah titik core, maka sebuah penggerombolan baru dibangun. Kemudian seluruh titik directly density reachable neighborhood dari titik core akan dimasukkan dalam penggerombolan. 5. Kemudian algoritma secara iteratif mengumpulkan objek density reachable dari core objek. 6. Jika objek tidak ditandai sebagai titik noise atau tidak dalam penggerombolan dan perbedaan antara nilai rata-rata dari penggerombolan dan nilai baru lebih kecil dari ΔE, ia ditempatkan ke dalam penggerombolan tersebut.
25
7. Jika dua kelompok C1 dan C2 dekat satu sama lain, sebuah titik p mungkin milik kedua C1 dan C2. Kemudian titik p dimasukkan dalam penggerombolan pertama yang menemukan titik tersebut. 3.3. Pengembangan Prototipe Visualisasi Metode yang digunakan dalam pengembangan aplikasi penggerombolan ST-DBSCAN dan DBSCAN adalah prototipe. Metode prototipe merupakan jenis metode yang memiliki siklus pengembangan. Metode ini digunakan karena dalam pembangunan atau pengembangan suatu aplikasi, proses yang dilakukan akan selalu bersifat dinamis atau selalu mengalami perubahan (update) sesuai dengan perkembangan jaman. Metode prototipe dimulai dari komunikasi untuk mendiskusikan tujuan keseluruhan dari perangkat lunak tersebut, mengidentifikasikan kebutuhan, dan menguraikan permintaan klien. Pada prototipe tahap perencanaan dan perancangan dilakukan secara cepat. Perancangan tersebut difokuskan pada tampilan akhir dari perangkat lunak yang dibangun. Perancangan ini mengarah kepada pembuatan prototipe dari perangkat lunak. Kemudian prototipe tersebut diserahkan dan dievaluasi untuk menghasilkan feedback yang akan digunakan untuk menyempurnakan permintaan kebutuhan dari perangkat lunak tersebut. 3.4. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Perangkat Lunak dan Ilmu Informasi (Software Engineering and Information Science /SEIS) dimulai bulan Januari 2012 sampai dengan bulan September 2012.