3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian mencakup seluruh pesisir Kabupaten Indramayu yang terdiri dari 11 kecamatan pesisir (Gambar 1). Secara geografis, wilayah studi terletak pada 107°54`54,6``-108°32`25,1`` BT dan 6°13`45,64``-6°31`5,35`` LS. Pada penelitian ini daerah penelitian dibatasi dengan jarak sejauh 1,6 km dari garis pantai ke arah darat, dengan asumsi air laut akan masuk sejauh 1,6 km untuk 30 tahun mendatang.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian beserta daerah pengamatan Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Agustus 2010 hingga September 2011. Survei lapang dilakukan pada bulan November-Desember 2010. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 14
15 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu perlengkapan pengolahan data dan perlengkapan survey. Perlengkapan pengolahan data terdiri dari sebuah Personal Computer (PC) dengan perangkat lunak ArcGIS 9.3 (untuk pengolahan data spasial), Ocean Data View 4 (untuk mengekstrak data dengan format *.nc), WinRAR (untuk mengekstrak data dengan format *.zip), MIKE21 (permodelan data pasang surut global), Grapher 7 (pembuatan grafik), Ms. Excel 2007 (untuk pengolahan data numerik) dan Ms. Word 2007 (untuk penulisan skripsi). Alat yang digunakan untuk survei lapang terdiri dari Global Positioning System/GPS (Lampiran 2), kamera digital dan papan berskala (untuk pengukuran pasut). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data in situ (Tabel 6). Data sekunder yang digunakan berupa data citra yang diperoleh dari beberapa jenis satelit melalui beberapa penyedia data (website), data prediksi dengan menggunakan perangkat lunak Mike21 serta data yang telah disediakan oleh instansi pemerintah yang terkait. Pengukuran data in situ dengan menggunakan papan pasang surut (pasut). Data citra, elevasi, kenaikan paras laut dan data tinggi gelombang diperoleh dengan cara mengunduh dari beberapa situs resmi penyedia data. Data administrasi dan landsystem diperoleh dari instansi yang terkait. Pengukuran pasang surut di lapangan selama 15 hari, sedangkan data pemodelan pasang surut diambil selama 1 tahun.
3.3. Metode Penelitian Data yang diperoleh selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerentanan pesisir menurut Gornitz (1991) seperti yang terdapat pada Tabel 7. Hasil dari klasifikasi tersebut selanjutnya dihitung nilai kerentanan dengan menggunakan persamaan IKP. Pengolahan data dilakukan menggunakan
16 beberapa perangkat lunak, seperti yang dijabarkan pada bagian 3.2. Pengolahan parameter kerentanan akan dijabarkan pada sub bab selanjutnya. Metode penelitian yang dipergunakan untuk pembuatan peta kerentanan pesisir Indramayu dapat dilihat pada diagram alir metode penelitian (Gambar 2). Penelitian ini dikerjakan dengan menggunakan metode penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Penelitian ini terdiri dari 3 tahapan yaitu: perolehan data, pengolahan data dan pembuatan peta kerentanan pesisir. Tabel 6. Data yang digunakan untuk studi kerentanan pesisir. No.
Paramater
1.
Geomorfologi
2.
Elevasi
3.
Perubahan Garis Pantai
4.
5.
6.
Pasang Surut
Data yang digunakan Citra QuickBird GDEM ASTER Versi 2 Peta RBI LANDSAT 7 ETM
Sumber data
Resolusi
Periode
Kementerian Pertanian
0,6 m
2010 – 2011
EarthExplorer – USGS (https://earthexplorer.usgs.gov)
30 m
Oktober 2011
BAKOSURTANAL EarthExplorer – USGS (https://earthexplorer.usgs.gov)
Pengukuran In-Situ
Significant Wave Height
Kenaikan Paras Laut
Mean Sea Level product and image selection Sea Level Time Series
30 m
Survei Lapang
Prediction Tool
Tinggi Gelombang
1:25.000
Mike21 AVISO (http://www.aviso.oceanobs.com)
1°
AVISO (http://www.aviso.oceanobs.com)
0,25°
CU Sea Level Research Group (http://sealevel.colorado.edu)
2006 9 Okt 2000 17 Mei 2011 23 Nov 2010 – 8 Des 2010 1 Jan 2010 – 31 Des 2010 11 Des 2005 – 28 Feb 2010 Okt 1992 – Sep 2011 1993 - 2011
Tabel 7. Sistem pembagian ranking variable kerentanan pesisir yang digunakan pada U.S.A East Coast Ranking Variabel
Geomorfologi
Elevasi (m) Perubahan garis pantai (m/tahun) Pasang surut (m) Tinggi gelombang (m) Kenaikan paras laut (mm/thn)
Sangat Tidak Rentan 1
Tidak Rentan 2
Sedang 3
Rentan 4
Rocky, Cliffed coast, Fjords,Fiard
Medium cliffs, Indented coasts
Low cliffs, Glacial drift, Salt marsh, Coral Reefs, Mangrove
Beaches (pebbles), Estuary, Lagoon, Alluvial plains
≥ 30,1
20,1 – 30,0
10,1 – 20,0
5,1 – 10,0
Barrier beaches, Beaches (sand), Mudflats, Deltas 0 – 5,0
≥ 2,1
1,0 – 2,0
- 1,0 - +1,0
- 1,1 - -2,0
≤ -2,0
≤ 0,99
1,0 – 1,9
2,0 – 4,0
4,1 – 6,0
≥ 6,1
0 – 2,9
3,0 – 4,9
5,0 – 5,9
6,0 – 6,9
≥ 7,0
≤ -1,1
- 1,0 – 0,99
1,0 – 2,0
2,1 – 4,0
≥ 4,1
Sumber : Gornitz, 1991
Sangat Rentan 5
Gambar 2. Diagram alir proses yang dilakukan untuk penyelesaian penelitian 17
18 Peta lokasi kerentanan pesisir dibuat berdasarkan nilai dari perhitungan Indeks Kerentanan Pesisir. Indeks tersebut digolongkan menjadi 5 kelas, yaitu kelas pertama yang mempresentasikan sangat tidak rentan sampai indeks ke lima yang mempresentasikan sangat rentan.
3.3. Pembuatan Peta Genangan Tahapan pertama sebelum pembuatan peta kerentanan pesisir adalah pembuatan peta genangan. Peta genangan akan digunakan sebagai dasar penentuan jarak buffer (daerah penyangga) dalam pengolahan parameter kerentanan pesisir. Batas yang digunakan sebagai dasar pembuatan peta genangan berdasarkan dua faktor utama, yaitu topografi dan hubungan hidrogeologi terhadap laut (Lichter dan Felsenstein, 2012). Peta genangan dibuat dengan menggunakan data DEM ASTER versi 2 yang diunduh melalui situs EarthExplorer-USGS (https://earthexplorer.usgs.gov) dan data kenaikan paras laut (sea level time series) yang diperoleh dari CU Sea Level Research Group (http://sealevel.colorado.edu). Data DEM yang akan digunakan terlebih dahulu dikoreksi dengan perubahan kenaikan paras laut saat ini. Perekaman data DEM ASTER tercatat pada bulan Oktober tahun 2011 sehingga kenaikan paras laut sudah berpengaruh terhadap batas daratan dan lautan pada saat perekaman. Data kenaikan paras laut dihitung dengan asumsi bahwa kenaikan paras laut terjadi secara linear, sehingga digunakan metode regresi linear. Koreksi garis pantai dilakukan dengan cara menghitung perbedaan tanggal perekaman dan kondisi pada saat ini. Hasil dari perbedaan waktu tersebut kemudian dibagi dengan satu tahun (365,25 hari). Data kenaikan paras laut yang telah diperoleh kemudian dikalikan dengan selisih waktu perekaman, sehingga diperoleh garis pantai yang terbaru (Lampiran 3).
19 Garis pantai terbaru yang telah diperoleh kemudian digunakan sebagai dasar (ketinggian 0 meter). Tahapan selanjutnya dilakukan pembagian kelas sesuai dengan skenario genangan pada 10, 20 dan 30 tahun mendatang. Setelah diperoleh daerah genangan sesuai dengan skenario yang telah ditentukan maka dilakukan konversi data dari raster menjadi vektor. Hasil dari konversi data tersebut kemudian dilayout menjadi peta genangan (Gambar 3).
Gambar 3. Prosedur pembuatan peta genangan. 3.4. Geomorfologi Sumber data geomorfologi pesisir Indramayu diperoleh dengan mengidentifikasi citra QuickBird berdasarkan kriteria (deskripsi) geomorfologi berdasarkan seperti yang tertera pada Tabel 7. Penjelasan mengenai klasifikasi variabel geomorfologi yang lebih terperinci dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Tahapan yang dilakukan dalam untuk mengidentifikasi variabel geomorfologi ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Tahapan pengolahan data geomorfologi
20 Crooping atau pemotongan merupakan tahapan pertama yang dilakukan dalam proses pengolahan data geomorfologi. Citra QuicBird dipotong berdasarkan kecamatan yang yang terdapat pada daerah pesisir. Citra yang telah dipotong kemudian diidentifikasi berdasarkan klasifikasi tutupan lahan Badan Standardisasi Nasional (2010. Hasil identifikasi yang telah diperoleh selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi variabel geomorfologi oleh Gornitz (1991) yang terdapat pada Lampiran 4. Tahapan berikutnya adalah pemberian rangking berdasarkan kelas kerentanan pada Tabel 6 atau untuk lebih jelas dapat dilihat pada Lampiran 5.
3.5. Elevasi Data elevasi diperoleh dengan cara mengunduh dari situs EarthExplorerUSGS (https://earthexplorer.usgs.gov). Data yang diunduh dari situs tersebut berupa Digital Elevation Model (DEM). Resolusi spasial yang dimiliki oleh data ini sebesar 1 arc second atau 30×30 m. Pengolahan data elevasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS (Gambar 5).
Gambar 5. Tahapan pengolahan data elevasi
21 Data DEM yang diperoleh dari ASTER pertama tama harus dikoreksi dahulu dengan menggunakan data tpografi yang berasal dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI). Koreksi dilakukan dengan cara digitasi on screen (pada layar) dengan mengambil jarak antara garis kontur dan topografi. Hasil dari koreksi kemudian dikonversi dari kontur menjadi point. Point yang diperoleh kemudian dikonversi menjadi data raster. Tahapan selanjutnya adalah melakukan klasifikasi/reclassify sesuai dengan kelas kerentanan Gornitz (1991) yang terdapat pada Tabel 7. Data raster hasil klasifikasi kemudian dikonversi menjadi bentuk format vektor dengan grid sebesar 30×30 m. Ukuran grid dengan ukuran 30×30 m dipilih dengan pertimbangkan resolusi spasial data ASTER berukuran 1 arc second atau 30×30 m. Data tersebut kemudian diklasifikasikan dan diberikan ranking sesuai dengan pada Tabel 7.
3.6. Perubahan Garis Pantai Parameter perubahan garis pantai (erosi dan akresi) yang dipergunakan diperoleh dengan menggunakan data citra satelit. Citra satelit yang digunakan untuk menganalisis perubahan garis pantai adalah citra Landsat 7 ETM dengan tahun perekaman 2000 dan 2011 dengan resolusi spasial 30 meter. Citra tersebut diperoleh dengan cara mengunduh melalui situs EarthExplorer-USGS (https://earthexplorer.usgs.gov). Koreksi geometrik perlu dilakukan sebelum dilakukan pengolahan citra untuk meminimalisir kesalahan posisi. Citra yang dipergunakan harus terkoreksi secara geometrik. Koreksi geometrik citra dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ERMapper 7. Penajaman citra dilakukan dengan menggunakan False Color Composite 543 (RGB). Garis pantai Indramayu diperoleh dengan cara digitasi on screen dengan menggunakan ArcGIS dan disimpan sebagai feature data dengan sistem
22 proyeksi Universal Transverse Mercantor (UTM) pada zona 49 Selatan. Tahapan pengolahan data perubahan garis pantai ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Tahapan pengolahan data perubahan garis pantai Perhitungan laju perubahan garis pantai dilakukan dengan 2 metode yaitu manual dan ekstensi tambahan Digital Shoreline Analisys System (DSAS). Metode manual digunakan dengan memanfaatkan measure pada ArcGIS. Measure digunakan untuk menghitung jarak antara garis pantai hasil digitasi tahun 2000 dan 2011. DSAS merupakan ekstensi tambahan yang dikembangkan oleh U.S. Geological Survey dan telah banyak digunakan untuk menghitung laju perubahan garis pantai. Data yang diperlukan sebagai masukan untuk ekstensi ini adalah garis pantai dalam format vektor, tanggal setiap lapisan vektor, dan jarak transek (Himmelstoss, 2009). Hasil dari ektraksi kedua metode tersebut kemudian dirata-ratakan untuk mengetahui tingkat perubahan garis pantai setiap tahun. Tingkat dari perubahan garis pantai tersebut akan dihitung untuk seluruh wilayah studi, kemudian nilai hasil rata-rata tersebut kemudian diklasifikasikan dan diberikan ranking sesuai dengan kelas parameternya seperti tertera pada Tabel 7.
3.7. Pasang Surut Parameter pasang surut yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari perangkat lunak MIKE21 dan survei lapang. Data yang diperoleh menggunakan MIKE21 tersebut dibangun berdasarkan global tide model data yang telah terintegrasi dalam perangkat lunak tersebut. Data yang dipergunakan
23 sebagai masukan perangkat lunak ini adalah data posisi koordinat pasut pada saat survei lapang. Pengambilan data peramalan pasang surut berdasarkan model data global selama 1 tahun (Januari-Desember 2010) dengan interval 1 jam, untuk meminimalkan pengaruh spring tide, neap tide serta pengaruh musiman (Dronkers, 1964). Hasil dari program MIKE21 akan menunjukan pasang surut pada koordinat yang diinginkan. Kisaran pasut diperoleh dengan mengurangi pasang tertinggi dikurangi dengan surut terendah (Triatmodjo, 1999). KP HW LW Keterangan : KP = Kisaran pasang surut HW = Nilai maksimum tinggi paras laut selama periode 1 tahun LW = Nilai minimum tinggi paras laut selama periode 1 tahun Data pasang surut diperoleh dari hasil survei lapang selama 15 hari (23 November 2010 s/d 8 Desember 2010) untuk menghindari pengaruh spring tide dan neap tide (Dronkers, 1964). Pengambilan data pasang surut dilakukan dengan menggunakan papan pasang surut (Lampiran 6). Data kisaran pasang surut selanjutnya akan digunakan sebagai pembanding data model. Kisaran pasang surut hasil dari data model selanjutnya akan digunakan pada seluruh lokasi penelitian. Nilai pasang surut tersebut kemudian dikelompokkan sesuai dengan kelas yang tertera pada Tabel 7.
3.8. Tinggi Gelombang Data tinggi gelombang diperoleh dari AVISO dengan data awal berbentuk matriks. Data tinggi gelombang yang dipergunakan pada penelitian ini dibatasi pada koordinat 105°BT - 115°BT dan 3°LS - 6°LS di wilayah sepanjang Pantai Utara Jawa. Kemudian data tinggi gelombang diubah format datanya menjadi bentuk kolom. Hal tersebut perlu dilakukan karena ArcGIS tidak dapat mengolah data dengan bentuk matriks. Tahapan terakhir adalah merata-ratakan data tiap
24 titik koordinat posisi stasiun dengan menggunakan Ms. Excel. Hasil dari rata-rata tiap posisi stasiun tersebut kemudian dilakukan interpolasi dengan jarak 1 Km dengan menggunakan ArcGIS. Hasil dari interpolasi tersebut kemudian dikelaskan sesuai dengan kelas kerentanan pada Tabel 7.
3.9. Kenaikan Paras Laut Data satelit altimeter digunakan sebagai sumber informasi utama bagi tren kenaikan paras laut di daerah penelitian. Data kenaikan paras laut diperoleh dari data kombinasi satelit TOPEX/Poseidon, Jason-1, Jason-2/OSTM dan Envisat yang diunduh melalui situs AVISO (http://www.aviso.oceanobs.com). Data yang telah diunduh akan ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak ODV 4 untuk memperlihatkan pola kenaikan paras laut yang terjadi di Indonesia (6°LU 11°LS dan 95°BT - 141°BT) dan Indramayu Indonesia (6°LS - 6°40‘LS dan 107°52‘BT - 108°36‘BT). Sumber lain data kenaikan paras laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Sea level time series yang berasal dari CU Sea Level Research Group (http://sealevel.colorado.edu). Pengolahan data CU Sea Level Research Group dilakukan dengan menggunakan regresi linear pada perangkat lunak Ms. Excel. Data dari CU Sea Level Research Group akan digunakan sebagai pembanding data dari AVISO. Kenaikan paras laut yang paling besar dari kedua data tersebut akan digunakan sebagai masukan (input) untuk pengolahan data kerentanan pesisir. Hasil dari pengolahan data kemudian dikelaskan sesuai dengan kisaran kerentanan kenaikan paras laut pada Tabel 7.
3.10. Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan seluruh parameter yang telah ditetapkan, yaitu geomorfologi, kenaikan paras laut, selang pasang surut, tinggi gelombang, kemiringan pantai dan perubahan garis pantai (Tabel 7).
25 Perhitungan tingkat kerentanan wilayah pesisir dihitung dengan menggunakan rumus Indeks Kerentanan Pesisir seperti yang digunakan dalam Gornitz, 1991.
IKP
a
b
c
d
e
f
6
Keterangan : a = tingkat kerentanan untuk geomorfologi b = tingkat kerentanan untuk elevasi c = tingkat kerentanan untuk perubahan garis pantai d = tingkat kerentanan untuk pasang surut e = tingkat kerentanan untuk tinggi gelombang f = tingkat kerentanan untuk kenaikan paras laut Penentuan batas indeks dalam pengkelasan ini adalah nilai yang kurang dari sama dengan 0,2 termasuk ke dalam kelas sangat tidak rentan, nilai antara 0,2 sampai dengan 0,4 termasuk ke dalam kelas tidak rentan, nilai antara 0,4 sampai dengan 0,6 termasuk ke dalam kelas sedang, nilai antara 0,6 sampai dengan 0,8 termasuk dalam kelas rentan dan niai lebih dari 0,8 termasuk ke dalam kelas sangat rentan. Hasil dari pengkelasan tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk peta kerentanan pesisir dengan degradasi warna yang berbeda.