3 Metodologi Penelitian 3.1 Persiapan sampel Sampel kulit kayu Intsia bijuga Kuntze diperoleh dari desa Maribu, Irian Jaya. Sampel kulit kayu tersedia dalam bentuk potongan-potongan kasar. Selanjutnya, potongan-potongan kasar tersebut dikeringkan dengan cara menjemur kemudian digiling hingga menjadi serbuk kulit kayu yang siap untuk diekstraksi.
3.2 Bahan Kimia Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk isolasi senyawa meliputi pelarut-pelarut organik, silika gel, dan reagen penampak noda untuk kromatografi lapis tipis. Pelarut organik yang digunakan adalah pelarut organik teknis diantaranya n-heksana, etil asetat, aseton, dan metanol sedangkan pelarut organik pro analisis (p.a) yang digunakan adalah kloroform. Sebelum digunakan, semua pelarut organik teknis dimurnikan terlebih dahulu dengan cara destilasi biasa. Silica gel yang digunakan dalam penelitian ini ada lima jenis yaitu pelat aluminium berlapis silica gel Merck kiesel gel 60 GF254 dengan ketebalan 0,25 mm untuk kromatografi lapis tipis (KLT), silica gel GF254 dengan ukuran 70-200 mesh untuk impregnasi (penjenuhan sampel ke dalam silica gel), silica gel Merck 60 (200 mesh) untuk kolom kromatografi vakum cair, silica gel Merck 60 PF254 untuk kromatografi radial, dan sephadex LH-20 untuk kolom kromatografi sephadex. Reagen penampak noda yang digunakan adalah larutan serium sulfat (Ce(SO4)2.2 H2O) 1,5% dalam H2SO4 2N. Bahan-bahan yang digunakan untuk karakerisasi senyawa adalah metanol p.a, NaOH, AlCl3, HCl untuk spektroskopi UV-Vis. Untuk pengukuran spektrum IR bahan yang digunakan adalah KBr, sedangkan untuk pengukuran spektrum 1H-NMR digunakan pelarut aseton-d6 dan metanol-d4.
3.3 Alat Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Bahan Alam, program studi Kimia, Fakultas MIPA, Institut Teknologi Bandung. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah peralatan gelas seperti gelas ukur, pipet tetes, botol-botol vial, corong buchner dan chamber KLT, alat evaporator, alat destilasi, kolom untuk Kromatografi Vakum Cair (KVC), alat Kromatografi Radial (KR), dan kolom kromatogradi sephadex. Instrumen yang digunakan untuk karakterisasi adalah spektrofotometer FTIR Shimadzu Prestigrade 21 yang terdapat di Laboratorium Kimia Analitik, spektrofotometer Variant Cary 100 Conc UV-Vis yang terdapat di laboratorium KOBA, dan spektrometer NMR JEOL ECP 400 yang beroperasi pada frekuensi 500 MHz yang terdapat di LIPI Serpong.
3.4 Ekstraksi dan Isolasi Tahapan dalam penelitian ini terdiri atas 2 tahap yaitu tahap ekstraksi dan tahap isolasi senyawa bahan alam.
3.4.1
Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan aseton teknis. Serbuk kulit kayu Intsia bijuga Kuntze sebanyak 2,2 kg direndam dengan 10 L aseton teknis selama 24 jam. Kemudian disaring secara vakum. Filtrat yang dihasilkan kemudian diuapkan menggunakan evaporator hingga dihasilkan ekstrak aseton kering. Proses maserasi ini dilakukan sebanyak 2 kali dan dihasilkan 128 gram ekstrak aseton kering.
3.4.2
Isolasi
Tahap isolasi dibagi menjadi dua yaitu fraksinasi dan pemurnian. Fraksinasi merupakan bentuk pembagian senyawa berdasarkan kepolaran dari ekstrak kasar menjadi fraksi-fraksi yang lebih sederhana sehingga memudahkan dalam mengisolasi senyawa target, sedangkan pemurnian adalah tahap untuk menghilangkan pengotor
dari senyawa target hingga
diperoleh senyawa murni. Fraksinasi pertama dilakukan dengan cara ekstraksi cair-cair antara fraksi n-heksana dengan fraksi metanol. Ekstrak aseton kering (128 gr) dilarutkan dalam 700 mL metanol kemudian diekstraksi dengan n-heksana sebanyak 3 kali @ 700 mL. Proses ini dilakukan untuk mengekstrak senyawa nonpolar. Dari tahap ini diperoleh ekstrak metanol kering sebanyak 49,5 gram dan ekstrak n-heksan kering sebanyak 11,5 gr. 19
Fraksinasi kedua dilakukan menggunakan kromatografi vakum cair (KVC) sebanyak 2 kali. KVC I menggunakan ekstrak metanol kering sebanyak 20 gram, sedangkan KVC II sebanyak 29,5 gram. Berdasarkan kromatogram KLT, eluen yang digunakan untuk KVC adalah n-heksana : etil asetat dengan kenaikan kepolaran sebanyak 10%. Hasil fraksinasi ini diuapkan kemudian dimonitor dengan KLT untuk mengetahui hasil pemisahannya.
(a)
(b)
Gambar 3.1 Kromatogram hasil fraksinasi menggunakan Kromatografi Vakum Cair (a) kromatogram KVC I dan KVC II (b) penggabungan kedua fraksi hasil KVC
Fraksi-fraksi A-F adalah fraksi hasil KVC I, sedangkan fraksi A’-F’ hasil KVC II. Dari kromatogram di atas maka fraksi yang memiliki noda dengan Rf yang sama dapat digabung. Penggabungan yang dilakukan adalah sebagai berikut: A + A’
Fraksi A (FA)
0,09 g
B + C +C’
Fraksi B (FB)
2,06 g
D
Fraksi C (FC)
0,35 g
E + C’
Fraksi D (FD)
0,81 g
F + D’
Fraksi E (FE)
1,70 g
E’
Fraksi F (FF)
2,87 g
Hasil penggabungan ini kemudian dimonitor dengan KLT. (Gambar 3.1 (b)) Selanjutnya, dipilih fraksi yang polar untuk dikerjakan lebih dulu. Dari hasil kromatogram Gambar 3.1 (b), dapat dilihat bahwa senyawa-senyawa dalam fraksi E dan F belum terelusi semua dengan eluen n-heksana : etil asetat =7:3. Hal ini di tunjukkan dengan masih ada noda yang terletak dibawah, yaitu tanin. Untuk mengurangi tanin tersebut, maka dilakukan pemisahan melalui kolom sephadex.
20
Fraksi E sebanyak 1,7 g dibagi menjadi 2 bagian masing-masing 700 mg dan 900 mg. Kemudian masing-masing bagian dilakukan pemisahan melalui kolom sephadex. Hasil pemisahan kedua sampel dimonitor menggunakan KLT untuk digabungkan.
(a)
(b)
Gambar 3.2 Kromatogram hasill pemisahan fraksi E (a) Hasil pemisahan menggunakan kolom sephadex LH-20, (b) Hasil penggabungan fraksi E setelah dipisahkan melalui kolom sephadex
Berdasarkan noda dengan nilai Rf yang sama, maka fraksi-fraksi tersebut dapat digabungkan menjadi: 1 + 1’
Fraksi E1
183 mg
2 + 2’
Fraksi E2
640 mg
3 + 3’
Fraksi E3
98 mg
4 + 4’ + 5’ + 6’
Fraksi E4
59 mg
5
Fraksi E5
18 mg
7’ + 8’
Fraksi E6
29 mg
6 + 7 + 9’ + 10’ + 11’
Fraksi E7
26 mg
Kromatogram di atas dielusi dengan kloroform : metanol = 9:1 (Gambar 3.2), menunjukkan bahwa pada fraksi E7 terdapat dua noda senyawa yang memiliki perbedaan Rf yang cukup signifikan sehingga diasumsikan kedua noda tersebut dapat dipisahkan dengan eluen tersebut. Sebanyak 26 mg fraksi E7 dipisahkan menggunakan kromatografi radial dengan eluen kloroform : metanol 5%. Pemisahan E7 menghasilkan 14 fraksi yang kemudian diuji dengan KLT untuk melihat hasil pemisahannya. Kromatogram hasil pemisahannya dapat diamati pada Gambar 3.3
21
gabung
gabung
Gambar 3.3 Kromatogram hasil pemisahan fraksi E7 dengan kromatografi radial Dari kromatogram di atas terlihat bahwa senyawa target telah berhasil dipisahkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya noda tunggal pada fraksi 5-6 dan pada fraksi 11-13. Karena noda yang terdapat fraksi 5-6 dapat memiliki nilai Rf yang sama maka fraksi tersebut bisa digabung (5 mg), begitu pula dengan fraksi 11-13 (5 mg). Kemudin dilakukan uji kemurnian menggunakan 3 sistem eluen untuk memastikan bahwa kedua fraksi tersebut merupakan senyawa murni.
(a)
(b)
(c)
Gambar 3.4 Uji kemurnian senyawa-1 dan senyawa-2 dengan sistem 3 eluen (a) n-heksana : etil asetat = 1:1, (b) kloroform : metanol = 9:1, (c) kloroform : aseton = 1:1
Hasil uji sistem tiga eluen menunjukkan bahwa kedua fraksi memiliki noda tunggal pada tiap eluen. Hal ini dapat diartikan bahwa noda tersebut merupakan senyawa murni. Fraksi E7(56) kemudian diberi nama senyawa-1 dan fraksi E7(11-13) diberi nama senyawa-2. Isolasi selanjutnya dilakukan terhadap fraksi E4. Pada fraksi E4 terlihat adanya noda utama berwarna orange. Dari kromatogram (Gambar 3.2 (b)) dapat diasumsikan bahwa noda tersebut dapat dipisahkan dari pengotor yang terdapat di bagian atas maupun di bagian bawahnya. Selanjutnya, sebanyak 59 mg fraksi E4 dipisahkan menggunakan kromatografi radial dengan eluen kloroform : metanol dengan kenaikan kepolaran 1%. Hasil pemisahan fraksi E4 ditunjukkan oleh Gambar 3.5.
22
Digabung, dipisahkan lebih lanjut
Gambar 3.5 Kromatogram hasil pemisahan fraksi E4 dengan kromatografi radial Pemisahan fraksi E4 menghasilkan 34 fraksi. Hasil monitoring dengan KLT menunjukkan ternyata senyawa target (fraksi 13-20) masih mengandung sedikit pengotor pada bagian atasnya. Fraksi 13-20 kemudian digabung (28 mg) dan dimurnikan lagi menggunakan kromatografi radial. Pemurnian fraksi E4(13-20) dengan kromtografi radial menghasilan 6 fraksi. Hasil pemurnian senyawa kemudian dimonitor menggunakan KLT dengan eluen kloroform : metanol = 9,5:0,5.
gabung
Gambar 3.6 Kromatogram hasil pemurnian E4(13-20) Kromatogram pada Gambar 3.6 menggambarkan bahwa pengotor yang berada di bagian atas noda senyawa target sudah terpisahkan, dan senyawa target telah berhasil diperoleh pada fraksi 3-5. Untuk memastikan kemurnian senyawa target maka dilakukan uji 3 sistem eluen. Dari hasil uji 3 sistem eluen (Gambar 3.7), ternyata senyawa target tersebut bisa dikatakan murni. Senyawa murni ini dinamakan senyawa-3 yang kemudian dari data spektoskopi diketahui sebagai aromadendrin.
23
Gambaar 3.7 Uji kem murnian senyawa-3 denggan sistem 3 eluen (a) n--heksana : etill asetat = 1:1,, (b) kloroform m : metanol = 9:1, (c) klloroform : aseeton = 1:1
ksi E5 dan E66. Dari krom matogram Gaambar 3.2 Pemisahan selanjutnya dilakukan teerhadap frak n dengan Rf yang sam ma seperti paada E4 mauppun E7. Frakssi E5 dan menunjukkkan adanya noda E6 digabunng karena memiliki m polla noda yang g sama, kem mudian dipissahkan meng ggunakan kromatograafi radial deengan eluen kloroform : etil asetatt = 9:1. Haasil pemisah han E5+6 digambarkaan pada KLT T dibawah inni.
(a)
(b)
(c)
Gam mbar 3.8 Kroomatogram hasil h pemisahhan fraksi E55+6 (a) Hasil pemisa ahan E5+6, (b) ( perbandingan fraksi 3,4,6 dan 7 an fraksi 4. Sistem S eluen yyang digunaka an adalah (c) Uji kemurnia klorroform : etil asetat = 8:2,, kloroform : metanol =9::1, dan nhekksan : aseton = 1:1 (dari kiiri ke kanan)
Dari fraksi E5+6 (944 mg) diperroleh 7 frak ksi hasil peemisahan. K Kromatogram m di atas ngan adanyaa noda tungggal pada frak ksi 3, 4, 6 menunjukkkan pemisahaan yang cukuup bagus den dan 7. Tetaapi ketika keeempat frakssi tersebut diibandingkan,, terlihat bahhwa fraksi 3, 7, dan 8 masih menngandung penngotor sedanngkan fraksi 4 menunjukkkan noda tunnggal. Uji keemurnian terhadap frraksi 4 menuunjukkan bahwa fraksi 4 merupakann senyawa m murni yang kemudian k diberi namaa senyawa-44 (5 mg). Untuk menngetahui tiapp senyawa murni m adalah h senyawa yang y berbedaa maka dilak kukan uji menggunakkan KLT dengan eluen kloroform k : metanol m = 9:11.
24
Gambar 3.9 Perbandingan senyawa-1, senyawa-2, senyawa-3 dan senyawa-4. Kromatogram (Gambar 3.9) memperlihatkan bahwa senyawa-1 dan senyawa-4 memiliki Rf yang sama sehingga diperkirakan senyawa-1 dan senyawa-4 merupakan senyawa yang sama. Sayangnya, dari kromatogram diatas terlihat bahwa senyawa-1 masih mengandung sedikit pengotor sehingga senyawa-1 masih harus dimurnikan lebih lanjut. Analisa terhadap kromatogram fraksi F menunjukkan bahwa fraksi F memiliki noda dengan Rf yang sama seperti yang terdapat pada fraksi E. Berdasarkan hal tersebut maka fraksi F dipisahkan lebih lanjut. Dari hasil kromatogram KVC (Gambar 3.1) menunjukkan bahwa fraksi F masih mengandung banyak tanin. Oleh karena itu, dilakukan pemisahan dengan sephadex untuk mengurangi tanin yang terdapat dalam fraksi F. Sebanyak 2,8 g fraksi F dibagi menjadi 3 bagian, masing-masing 680 mg, 740 mg dan 1400 mg. Hasil pemisahan tannin dari fraksi F digambarkan dalam kromatogram KLT.
(a)
(b)
(c) Gambar 3.10 Pemisahan fraksi F menggunakan sephadex LH-20 (a) bagian 1, (b) bagian 2, (c) bagian 3
Dari masing-masing kromatogram (Gambar 3.10), fraksi yang memiliki noda dengan nilai Rf yang sama dapat digabung. Hasil penggabungan fraksi-fraksi tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.11 25
G Gambar 3.111 Perbandinggan fraksi-fraaksi gabungaan dari bagiann 1, 2 dan 3. Elueen kloroform : metanol = 9:1
Dari kromaatogram di atas, a fraksi-ffraksi yan mengandung m noda dengann Rf yang sama s dari masing-maasing bagiann dapat digaabungkan meenjadi satu fraksi
utam ma F. Pengg gabungan
fraksi-frakssi tersebut diirangkum dallam tabel dib bawah ini : 1 + 1’
F1
170 mg
2 + 2’+ 1” 1 + 2”
F2
1 1096 mg
3 + 3’ + 3”
F3
852 mg
4 + 4’ + 4”
F4
320 mg
5 + 6 + 5’ 5 + 5”
F5
104 mg
6’ + 6”
F6
105 mg
Dari kromaatogram (Gaambar 3.11), dapat dilihatt bahwa frakksi F5 memilliki noda utaama sama seperti padda fraksi E7. Noda tersebbut menunjuk kkan bahwa kemungkina k an pada frakssi F5 juga terkandungg senyawa yaang sama. Olleh karena itu u, fraksi F5 kemudian k dippisahkan lebih lanjut. Fraksi F5 (104 ( mg) dippisahkan meenggunakan kromatografi k fi radial denggan eluen klo oroform : metanol dengan kenaikkan kepolaraan 2,5%. Haasil pemisahaan fraksi ini dapat dilihaat melalui mbar 3.12) kromatograam KLT yanng dielusi denngan kloroform : metanoll = 9:1 (Gam
Gamb bar 3.12 Kroomatogram hasil h pemisah han fraksi F55 dengan krom matografi rad dial. 26
n utama dann kromatogrram hasil peemisahan Dari fraksii total terlihhat adanya 2 komponen menunjukkkan pemisahaan yang cukuup bagus. Pad da fraksi 3 teerlihat noda ddengan Rf yaang sama seperti padda senyawa target pada bagian atas.. Tetapi padda fraksi 3 m masih terlihaat adanya pengotor sedangkan s pada fraksi 5 terlihat ad danya noda tunggal t yang memiliki Rf sama dengan sennyawa targett pada bagiann bawah. Un ntuk melihatt kemurnian senyawa paada fraksi tersebut maka m dilakukkan uji kemuurnian sistem m 3 eluen dan membaandingkannyaa dengan senyawa murni m yang telah diperolehh.
(a)
(b)
Gambarr 3.13 Perbanndingan senyyawa hasil iso olasi dari fraaksi F(5) denngan senyawaa murni (a) fraaksi F5(3) denngan senyawa a-1, (b) fraksi F5(5) dengann senyawa-2
Dari kromaatogram di atas (Gambarr 3.13) terlihaat bahwa padda fraksi 3 m masih terdapaat adanya pengotor di d bagian atass, sedangkann pada fraksii 5 masih terrdapat sedikkit pengotor di d bagian bawah. Oleeh karena ituu, masing-maasing fraksi harus h dimurnnikan lagi. F Fraksi F5(5) dan d astri2 digabunng (23 mg), kemudian dipisahkan n menggunaakan kromattografi radiaal. Hasil pemisahan menghasilkkan tujuh frakksi dengan noda n murni pada fraksi 3 dan 4 den ngan total 3 massa 6 mgg. (Gambar 3.14)
Gamb bar 3.14. Haasil pemurniaan senyawa--2 dan F5(5) dengan krom matografi rad dial.
27
3.5 Diagram Kerja Isolasi
3.6 Uji Bioaktivitas Senyawa yang telah berhasil diisolasi kemudian di uji bioaktivitasnya terhadap sel leukemia murin P-388. Nilai IC50 dari luteolin (senyawa-2) adalah 0,27 μM/mL, apigenin (senyawa4) sebesar 3,6 μM/mL, dan aromadendrin (senyawa-3) sebesar 57 μM/mL. Nilai IC50 menunjukkan kemampuan senyawa untuk menghambat pertumbuhan sel kanker sebanyak setengahnya (50%). Berdasarkan nilai tersebut, dapat dikatakan bahwa luteolin memiliki bioaktivitas yang sangat tinggi dalam menghambat pertumbuhan sel leukemia atau dengan kata lain potensial sebagai antikanker, demikian juga dengan apigenin. Berbeda dengan luteolin dan apigenin, aromadendrin tidak aktif dalam menghambat pertumbuhan sel leukemia. Nilai IC50 dikatakan aktif jika nilainya kurang dari 2 μM/mL.
28