22
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.1.1
Single Beam Echo Sounder Penelitian dengan menggunakan instrumen single beam echo sounder
dilaksanakan pada tanggal 14 April – 15 April 2012, berlokasi di perairan sekitar Pulau Kongsi dan Pulau Burung yang termasuk dalam gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu – Jakarta Utara. dengan kedalaman relatif dangkal yang berkisar antara 2 – 4 m. Pemilihan lokasi diusahakan memiliki tipe sedimen yang berlainan sehingga data akustik yang akan didapat bisa mewakili tipe substrat yang berbeda. Gambar 14 menunjukkan peta lokasi penelitian. Pengolahan data akustik single beam dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB. Analisis sampel sedimen dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah – Bogor. 3.1.2
Multi Beam Echo Sounder Untuk multi beam, penelitian ini mengambil lokasi pengkajian di perairan
Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara, yang telah disurvei pada tanggal 17 September 2011 menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV milik BPPT. Area survei dibatasi oleh koordinat : 124º 42’ 04” – 124º 42’ 26” Bujur Timur, dan 0º 50’ 03” –
0º 50’ 28” Lintang Utara. Gambar 15 dan 16
menunjukkan lokasi pengkajian. Transek survei ditunjukkan pada Gambar 17. Pengolahan data multi beam dilakukan di Balai Teknologi Survei Kelautan, BPPT – Jakarta.
23
Gambar 14 Lokasi pengambilan data dengan instrumen single beam.
24
Gambar 15 Lokasi pengkajian data multibeam.
Sumber : citra satelit Google Earth
Gambar 16 Batas-batas area survei multi beam.
25
Gambar 17 Peta transek survei multi beam di Teluk Buyat
26
3.2 Perangkat dan Peralatan Penelitian 3.2.1 Single Beam Echo Sounder 3.2.1.(1) Instrumen Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder Pengambilan data akustik menggunakan perangkat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder. Alat ini terdiri dari tiga bagian yaitu interface black box (RS-232 serial data), transduser single beam, dan software yang dijalankan di PC. Frekuensi transduser tersedia dua pilihan yaitu 50 kHz dan 200 kHz. Data akustik akan terlihat pada layar monitor dalam bentuk grafik analog yang menggambarkan kekuatan sinyal echo dari target. Pada layar monitor juga bisa ditampilkan posisi kapal (lintang – bujur) serta kecepatan kapal, dengan syarat interface black box harus terhubung dengan GPS. Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder Spesifikasi Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder Operating Voltage Output Power
Depth Capability
Operating temperature Interface Box Transducer
Operation setting 9.5 to 16.0 VDC, 0.05 amps nominal, 4.7 amps peak at max power 2560 watts peak-to-peak (320W RMS). 25KW DSP processed power (3200 WRMS) Minimum Depth - 3 feet (1m) 1000 feet or more at 200kHz for both shallow and deep water high resolution 2500 Feet or more at 50kHz - See screenshot with PcFF80 working at 2750 feet (840 m) and also see screenshot of PcFF80 detecting fish at 680 feet (207 m). 0 to 50 deg Celsius ( 32 to 122 deg Fahrenheit) 100 x 80 x 50 mm (4 x 3.2 x 2 inch). Powder Coated Aluminum Extrusion Dual Frequency 50/200kHz, Depth/Temperature, Glass reinforced nylon thru-hull with 30 foot (9,7m) cable. Transom mount and bronze transducers also available
27
Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder (lanjutan)
Spesifikasi
Operation setting
Signal Processing
2 analog and 2 Digital Processing (DSP) modes Analog Mode #1: Fixed gain Analog Mode #2: Time varying gain (TVG) DSP Mode #1: Using correlation DSP Mode #2: Using quadrature correlation
3.2.1.(2) Alat Pengambil Contoh Sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan menggunakan pipa paralon berdiameter 8 cm (3 inch) panjang 10 cm yang ditancapkan tegak lurus ke dasar perairan (Gambar 18).
Gambar 18 Pipa paralon ukuran 3 inch panjang 10 cm. Secara garis besar peralatan yang digunakan dalam penelitian akustik dengan menggunakan sistem single beam ini dapat dilihat pada Tabel 3.
28
Tabel 3 Peralatan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan Alat dan bahan Fishfinder
Jenis CruzPro PcFF80 PC Sonar Fishfinder
GPS Notebook/Laptop
Garmin 12 XL Toshiba A-275
Kamera bawah air Pipa paralon Kapal
Kegunaan Pengambilan data akustik
Penentuan posisi Pemrosesan dan penyimpanan data akustik Kodak Waterproof Dokumentasi obyek 3m bawah air PVC 3 inch panjang Pengambilan contoh 10 cm sedimen dasar perairan Kapal nelayan, Wahana survei dan panjang 7 m lebar 2 m tempat pemasangan instrumen akustik
3.2.2 Multi Beam Echo Sounder 3.2.2.(1) Elac Seabeam 1050D Multi beam Elac Seabeam 1050D adalah sistem peralatan untuk mengumpulkan data batimetri dan data backscatter, merupakan hasil kombinasi dari kinerja sistem Multi beam Seabeam 1180 dan Seabeam 1050; memiliki 126 beam dengan sudut bukaan sebesar 1.5º untuk tiap-tiap beam. Sistem ini dapat dioperasikan pada laut dangkal dan laut dengan kedalaman medium, yaitu tidak lebih dari 3000 meter, memiliki kemampuan untuk memetakan wilayah laut secara luas dengan lebar sapuan mencapai 153°. Gambar 19 menunjukkan transducer Elac Seabeam 1050D. Elac Seabeam 1050D hanya memiliki satu unit sonar processor dan memiliki dua frekuensi yang dapat digunakan, yaitu 50 kHz dan 180 kHz. Kemampuan deteksi menggunakan frekuensi 180 kHz mencapai kedalaman 580 meter, sedangkan frekuensi 50 kHz bisa mencapai kedalaman 3000 meter. Gambar 20 menunjukkan lebar sapuan (coverage) multibeam Elac Seabeam 1050D pada frekuensi 50 kHz dan 180 kHz.
29
Gambar 19 Transducer Elac Seabeam 1050D (Sumber : L-3 Communications Elac Nautic GmbH).
(a).
(b). Gambar 20 (a) Lebar sapuan multi beam Elac Seabeam 1050D pada frekuensi 50 kHz dan (b) pada frekuensi 180 kHz (Sumber : L-3 Communications Elac Nautic GmbH).
30
Daya jangkau sapuan alat multi beam Elac Seabeam 1050D dapat disesuaikan dengan sudut pancaran (lebar beam) yang diatur sebesar 153°, 131°, 108°, 86°, 63°, dan 41°, dengan masing-masing jangkauan adalah 8.3 kali kedalaman, 4.4 kali kedalaman, 2.7 kali kedalaman, 1.9 kali kedalaman, 1.2 kali kedalaman, dan 0.7 kali kedalaman. Sebagai contoh, untuk kedalaman 500 meter, sudut pancaran 153°, maka jangkauannya adalah sebesar 8.3 x 500 = 4100 meter. Spesifikasi alat dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Spesifikasi teknis multi beam Elac Seabeam 1050D Specifications Number of Beams Beam Width Power Supply
Frequency 50 kHz 180 kHz 126 (fewer selectable) 126 (fewer selectable) 153° 153° 115 / 230 V AC, user 115 / 230V AC, user selectable selectable
Max. Pulse Power
3.5 KW per transducer array
500 W per transducer array
Max. Source Level Pulse Length
234 dB 1 μPa/1 m 0.3, 1, 3, 10 ms; selectable
220 dB 1μPa/1 m 0.15, 0.3, 1.3 ms; selectable
Bandwidth
12 kHz, 3.3 kHz, 1 kHz; selectable
12 kHz, 3 Hz, 1 kHz selectable
Sidelobe Suppression
36 dB (transmission and reception)
36 dB (transmission and reception)
Survey Speed
up to 16 knot for continuous seafloor coverage
up to 16 knot for continuous seafloor coverage
Sonar Processor Unit (SEE 30) : Dimensions: 480 x 540 x 360 mm Weight: approx. 33 kg Transducer (LSE 237) : Dimensions: 530 x 290 mm each Weight w/ cable: 60 kg Transducer (LSE 307) : Dimensions: 390 x 280 mm each Weight w/o cable: 17 kg Motion : DMS-2, Octans, POS M/V, MRU 5 Heading : NMEA 0183 standard, sentence HDT Position : NMEA 0183 standard, sentence GGA or VTG Sound Velocity : Data input via RS 232 Software Elac HDP 4061, Caris, Coastal Oceanographics, EIVA
31
3.2.2.(2) Coda Octopus F-180 Peralatan ini digunakan untuk menentukan posisi geografis dengan sistem navigasi inersial dimana pengukuran gerakan inersial kapal diintegrasikan dengan arah geografis kapal secara real time, kontinyu dan presisi (BPPT 2010). Sistem ini terdiri dari : Inertial Measurement Unit (IMU) dan receiver GPS dengan dua antena. Fungsi alat ini untuk pengukuran teliti gerakan rotasi kapal (attitude) dan posisi geografis yang cocok digunakan untuk aplikasi survei hidrografi. Secara keseluruhan peralatan yang digunakan dalam survei multi beam ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Alat dan bahan yang digunakan dalam survei multi beam Alat dan bahan MBES (Multi Beam Echo Sounder)
Jenis Elac Seabeam 1050D
Sistem Navigasi
Coda Octopus Untuk sistem penentuan F-180 posisi secara real time Hypack Untuk mengolah dan menampilkan data navigasi yang berasal dari Coda Octopus F-180
Software Navigasi
Software Akuisisi data multibeam Software pengolah data batimetri Software pengolah data backscatter Alat penginti comot Wahana survei
Hydrostar
Kegunaan Pengambilan data batimetri dan data akustik dasar laut
Untuk mengontrol dan menampilkan sistem multi beam secara realtime Caris HIPS & Untuk mengolah dan SIPS 6.1 menampilkan data batimetri MBSystem Untuk mengolah dan version 5 menampilkan data backscatter dasar laut Grab sampler Untuk mengambil contoh sedimen dasar laut KR.Baruna Untuk tempat instalasi Jaya (BJ IV) peralatan survei dan (BPPT) melaksanakan survei
3.3 Metode Pengambilan Data 3.3.1 Single Beam Echo Sounder 3.3.1.(1) Pengambilan Data Akustik
32
Pengambilan data akustik dilakukan menggunakan instrumen CruzPro PcFF80 PC Sonar Fishfinder. Gelombang suara dipancarkan secara vertikal ke dasar perairan melalui transmitting transducer. Selanjutnya gelombang suara yang dipantulkan oleh dasar perairan akan diterima oleh receiving transducer. Alat ini dioperasikan pada frekuensi 200 kHz, power yang ditransmisikan 80 watt (adjustable), source level sebesar 163 dB re 1 μPa/1 m, serta kecepatan rambat suara dalam medium air laut sebesar 1546.8 m/dtk. Pada saat pengambilan data akustik, kapal diatur pada posisi stasiun yang telah ditetapkan, kemudian diikat dengan menggunakan jangkar pada bagian haluan dan buritannya, sehingga diharapkan kondisi kapal diam/stasioner. Kondisi seperti ini diharapkan data akustik yang direkam hanya berasal dari tipe substrat dasar perairan. Diagram alir pengambilan data akustik dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Diagram alir pengambilan data akustik.
33
3.3.1.(2) Pengambilan Contoh Sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada 9 stasiun pengamatan yang memiliki data akustik. Lokasi stasiun pengamatan berada di perairan sekitar Pulau Kongsi dan Pulau Burung yang berada dalam gugusan Pulau Pari. Proses pengambilan
contoh
sedimen
dilakukan
melalui
penyelaman
dengan
menggunakan pipa paralon panjang 10 cm berdiameter 8 cm (3 inch) yang ditancapkan secara tegak lurus ke dalam dasar perairan. Selanjutnya contoh sedimen dibiarkan berada dalam paralon, kemudian ujung atas dan ujung bawah paralon ditutup dengan penutup paralon. Contoh sedimen dari 9 stasiun pengamatan ini kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis, meliputi analisis tekstur, porositas, dan densitas. 3.3.2 Multi Beam Echo Sounder 3.3.2.(1) Pengambilan Data Akustik Pengambilan data akustik yang berupa data kedalaman dan backscatter menggunakan instrumen Elac Seabeam 1050D multi beam echo sounder yang dioperasikan pada frekuensi 180 kHz. Data multi beam yang diperoleh merupakan data yang telah terkoreksi terhadap pergerakan kapal seperti pitch, roll, yaw,dan heading. Koreksi tersebut dilakukan menggunakan sensor attitude and positioning Coda Octopus F-180. Koreksi posisi sensor dan transduser (offset correction) yang digunakan terhadap center line kapal BJ IV dilakukan dengan menggunakan DGPS Sea Star 8200 VB. Sistem navigasi yang digunakan dalam kapal BJ IV dikontrol dengan perangkat lunak Hypack yang secara langsung terhubung dengan sistem akuisisi data multi beam. Data navigasi yang berasal dari Coda Octopus F-180 terbaca di Hypack. Parameter geodesi yang digunakan pada saat perencanaan dan pelaksanaan survei meliputi : ellipsoid reference WGS84, projection UTM, zone, 51 N, Northing offset 10000000 meter, dan Easthing offset 500000 meter. Akuisisi data multibeam dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Hydrostar. Output data dalam format XSE. Gambar 22 menunjukkan diagram alir proses pengumpulan data akustik.
34
Gambar 22 Diagram alir sistem kerja Multibeam Elac Seabeam 1050D. 3.4 Metode Pengolahan Data 3.4.1 Single Beam Echo Sounder 3.4.1.(1) Pengolahan Data Akustik Data yang diperoleh dari instrumen CruzPro PcFF80 PC Sonar Fishfinder dalam bentuk raw data (echogram) selanjutnya diekstrak dengan menggunakan software Excel. Nilai-nilai amplitudo yang ditampilkan menggambarkan kekuatan echo atau gelombang suara yang dipantulkan oleh dasar perairan. Nilai-nilai ini kemudian disimpan dalam format *txt untuk selanjutnya ditampilkan dalam workspace Matlab. Kemudian dengan menggunakan program Matlab, data diolah lebih lanjut sehingga bisa didapatkan nilai-nilai untuk beberapa parameter akustik yang berkaitan dengan dasar perairan serta bisa dimunculkan echogram pada tiap – tiap stasiun. Parameter – parameter akustik ini meliputi Surface Backscattering Strength (SS), Volume Backscattering Strength (SV), dan Echo Level (EL). 3.4.2 Multibeam Echo Sounder 3.4.2.(1) Pengolahan Data Backscatter Data backscatter diekstrak dari time series traces yang terkandung dalam tiap-tiap beam. Footprint beam yang terletak pada swath bagian terluar (outer swath) dapat mengandung beberapa trace backscatter sebagai fungsi dari panjang pulsa dan dimensi elips across-track seperti terlihat pada Gambar 23 (Diaz 2000).
35
Sumber : Diaz 2000
Gambar 23 Pola ensonifikasi multibeam. Elips pada bagian kiri menunjukkan intensitas dalam beam (grayscale). Elips pada bagian kanan menunjukkan time series traces untuk beam yang sama pada panjang pulsa tertentu. Untuk mendapatkan data backscatter dari dasar laut, digunakan perangkat lunak MBSystem yang berbasis lynux Poseidon. Tahapan langkah-langkah pengolahan data backscatter mengacu pada Schmidt et al. (2004). Terhadap raw data .*XSE, pertama diterapkan mbclean, yaitu proses filter terhadap beam-beam yang nilainya buruk, berlangsung secara otomatis. Selanjutnya mbedit, yaitu proses identifikasi data batimetri swath sonar yang masih dikategorikan buruk. Beam yang tergolong buruk divisualisasikan berwarna, sehingga bisa dilakukan pengeditan. Pada proses ini dilakukan pengeditan secara manual pada tiap line. Mbnavedit, merupakan proses koreksi terhadap navigasi data swath sonar akibat pengaruh heave, pitch, dan roll, dimana data-data yang outlier bisa dihilangkan. Mbvelocitytool, adalah proses untuk mengalibrasi nilai kecepatan suara sepanjang lintasan survei, dengan cara memeriksa sound velocity profile (SVP) yang didapatkan dari file data swath, CTD atau dari database, dan selanjutnya mengoreksi profil kecepatan suara yang salah, disesuaikan dengan SVP yang benar. Proses mbvelocitytool akan melakukan perhitungan ulang batimetri sesuai dengan raytracing pada model SVP. Mbbackangle, program ini akan membaca file data swath sonar yang mengandung amplitudo beam, dan memunculkan tabel nilai amplitudo rata-rata
36
sebagai fungsi dari grazing angle dengan dasar laut. File yang dihasilkan berekstensi .*aga. File ini mengandung tabel sederet amplitudo vs grazing angle. Tahapan terakhir adalah mbprocess, yaitu proses untuk menggabungkan seluruh kalibrasi yang telah dilakukan, meliputi : merging navigation, perhitungan kembali batimetri berdasarkan waktu tempuh dan data sudut raytracing melalui model kecepatan suara pada perlapisan air, perubahan draft kapal, roll bias, pitch bias, pengeditan batimetri, serta koreksi nilai amplitudo beam sehingga dihasilkan keluaran dengan format tertentu. Data awal yang semula berekstensi .*XSE berubah menjadi .*mb94. Gambar 24 menunjukkan diagram alir pengolahan data backscatter.
Gambar 24 Diagram alir pengolahan data backscatter dasar laut.
37
3.4.2.(2) Pengolahan Data Batimetri Survei multi beam akan menghasilkan permukaan batimetri .
Permukaan
ini merupakan hasil dari serangkaian proses meliputi kalibrasi, filtering, reduksi, gridding
dan
smoothing.
Pengolahan
data
batimetri
dilakukan
dengan
menggunakan software Caris HIPS and SIPS versi 6.1. Tahap awal pengolahan data adalah pembuatan file kapal (vessel file) dalam format HVF (HIPS Vessel File). HVF mengandung informasi yang diperlukan (seperti sensor offset yang direferensikan terhadap titik pusat gravitasi kapal) untuk mengkombinasikan semua data sensor sehingga dihasilkan posisi akhir/rekaman kedalaman. Beberapa sensor yang berpengaruh terhadap ketelitian data posisi batimetri antara lain sensor transducer, antena GPS, dan sensor gerak inersial. Ketiga sensor ini memiliki nilai jarak offset terhadap salib sumbu kapal sebagai kerangka acuan (Gambar 25). Dalam koreksi offset, jarak dari masing – masing sensor ke salib sumbu dibuat nol sehingga ketiga sensor tersebut diasumsikan berhimpit dalam satu titik yaitu titik RP (Reference Point) yang terletak di tengah – tengah salib sumbu. Titik RP berada pada pusat gravitasi kapal, dan
digunakan
sebagai pusat
gerakan rotasi kapal pada saat
mengaplikasikan parameter – parameter heave, roll, dan pitch.
Sumber : Caris Training Manual 2006
Gambar 25 Salib sumbu kapal. Transducer yang terpasang di kapal Baruna Jaya IV ada dua yaitu di lambung kiri dan lambung kanan kapal. Nilai offset transducer yang terdapat dalam ship parameter sebagai berikut.
38
TXPOS_P_X
= -0.185 (transducer position port side X axis)
TXPOS_P_Y
= 3.76
(transducer position port side Y axis)
TXPOS_P_Z
= 1.30
(transducer position port side Z axis)
TXPOS_S_X
= -2.25 (transducer position starboard side X axis)
TXPOS_S_Y
= 3.76 (transducer position starboard side Y axis)
TXPOS_S_Z
= 1.30 (transducer position starboard side Z axis)
Antena GPS terpasang di atas anjungan kapal. Nilai offset navigasi yang terdapat di dalam ship parameter adalah : NAVPOS_X
= 0.0
NAVPOS_Y
= 0.0
NAVPOS_Z
= -4.6
Sensor gerak inersial memiliki nilai offset sebagai berikut : HRPPOS_X
= -0.98 (heave roll pitch position X axis)
HRPPOS_Y
= -0.23 (heave roll pitch position Y axis)
HRPPOS_Z
= -4.66 (heave roll pitch position Z axis)
Pengaturan tanggal pada pembuatan file kapal ini disesuaikan dengan tanggal pada saat akuisisi data dilaksanakan. Langkah selanjutnya adalah pembuatan proyek baru (create new project), dimana penamaan proyek tidak boleh menggunakan spasi. Berikutnya adalah proses convert raw data dimana file raw data dengan ekstensi .XSE yang merupakan hasil akuisisi data lapangan dikonversi menjadi file dengan ekstensi .hsf menggunakan menu conversion wizard. Pada tahap ini data batimetri sudah bisa diolah dengan menggunakan software Caris HIPS & SIPS 6.1. Proses berikutnya adalah clean auxiliary sensor data yaitu untuk mengecek dan membersihkan data navigasi GPS, gyro, dan gerakan sensor data, yang mencakup dua tahap, yaitu navigation editor dan attitude editor. Navigation editor adalah proses untuk menghilangkan pengaruh pergerakan dan kecepatan kapal yang memiliki nilai di luar kisaran, dimana pengamatan posisi tidak tepat bersamaan waktunya dengan pengamatan kedalaman, sehingga diperlukan interpolasi terhadap nilai-nilai yang dihasilkan. Kecepatan kapal yang tidak konstan akan menyebabkan data batimetri yang diperoleh mengalami tumpang
39
tindih. Sehingga perlu dikoreksi untuk menjaga kualitas data tetap baik. Gambar 26 menunjukkan contoh koreksi terhadap kecepatan kapal. Attitude editor adalah proses untuk memanipulasi dan memfilter data sensor, yaitu data gyro, data heave, data pitch, dan data roll. Gambar 27 menunjukkan contoh koreksi terhadap attitude kapal yang dilakukan pada menu attitude editor. Setelah proses editing data, langkah selanjutnya adalah memasukkan parameter-parameter yang mempengaruhi nilai kedalaman, yaitu kecepatan gelombang suara dan pasang surut melalui menu sound velocity correction dan load tide.
Gambar 26 Koreksi terhadap kecepatan kapal.
40
Gambar 27 Koreksi terhadap attitude kapal. Format raw data seperti XSE mengandung dua kali waktu tempuh (two-way travel time) dan sudut pancaran beam (beam launch angle). Untuk menghasilkan posisi sounding dan kedalaman yang memiliki referensi geografis dari data ini, diperlukan dua koreksi, yaitu : koreksi kecepatan suara (sound velocity correction, SVC), adalah prosedur untuk menghitung panjang gelombang suara dan lintasan dari gelombang suara yang melewati kolom air, untuk tiap beam, sehingga diperoleh profil kecepatan suara (sound velocity profile, SVP). Pengukuran Sound Velocity Profile (SVP) dilakukan pada setiap area yang mewakili dengan menggunakan alat CTD Seabird SBE 9 plus. Gambar 28 menunjukkan SVP di lokasi penelitian. Sumbu X merupakan cepat rambat gelombang akustik (m/dtk), sedangkan sumbu Y merupakan kedalaman (m).
41
Gambar 28 Sound Velocity Profile di area survei multibeam. Pasang surut merupakan fluktuasi muka air laut yang disebabkan oleh gaya tarik benda – benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap masa air laut di bumi. Perubahan permukaan air laut akibat perubahan pasang surut laut diperhitungkan sebagai koreksi pasut. Mengacu pada koreksi pasut ini, semua titik kedalaman diukur terhadap bidang acuan yang sama yaitu Mean Sea Level (MSL). Pengukuran pasang surut di area survei multi beam dilakukan dengan menggunakan instrumen Tide Gauge Valeport 740 selama sepuluh hari, dengan interval waktu pengamatan setiap 10 menit. Gambar 29 menunjukkan kurva pasang surut di lokasi penelitian dimana sumbu x adalah waktu perekaman data, dan sumbu y merupakan level ketinggian permukaan air (m).
Gambar 29 Kurva pasang surut di lokasi penelitian.
42
Hasilnya berupa kedalaman sepanjang along-track dan across-track untuk tiap beam. Yang kedua adalah proses merge yang akan mengubah kedalaman sepanjang along-track dan across-track untuk tiap beam, menjadi kedalaman berdasarkan posisi lintang bujurnya. Dalam proses merge diperhitungkan offset horisontal dan offset vertikal dalam file HVF, serta parameter-parameter seperti : nilai kedalaman yang teramati, navigasi, gyro, pasang surut, parameter kalibrasi, serta gerakan sensor data (heave, pitch, roll). Selanjutnya adalah mendefinisikan lembar lapangan baru (new field sheet) dimana penamaannya tidak boleh mengandung spasi serta membuat BASE surface (Bathymetry Associated with Statistical Error) di dalam lembar lapangan. BASE surface terdiri dari 3 pilihan yaitu : Swath angle surface, Uncertainty surface, dan CUBE surface (Combined Uncertainty and Bathymetry Estimator). Ketiga tipe surface ini akan menghasilkan smooth surface yang tetap mempertahankan resolusi sonarnya. Berikutnya adalah process swath data dengan menggunakan menu swath editor, yang bertujuan untuk membersihkan data sounding, memfilter data swath, serta menghilangkan artifact refraksi. Kemudian process subset data yaitu dengan membagi-bagi lembar lapangan menjadi beberapa area yang lebih kecil (subset). Proses ini bertujuan untuk pengeditan dan pemeriksaan data kedalaman. Gambar 30 menunjukkan contoh koreksi swath yang dilakukan terhadap line_006. Beam yang berasal dari transducer lambung kanan kapal dilambangkan dengan warna hijau, sedangkan yang berasal dari transducer lambung kiri dilambangkan dengan warna merah. Beam yang berwarna kuning merupakan outlier sehingga harus di Reject untuk menghilangkan pengaruhnya terhadap data secara keseluruhan.
43
Gambar 30 Koreksi swath pada line_006. Dilanjutkan dengan proses finalisasi BASE surface, yaitu untuk perhitungan dan pembentukan ulang BASE surface, serta tipe terakhir dari BASE surface yang akan dipilih. Langkah selanjutnya adalah membuat Product Surface yang dibuat melalui Field Sheet Editor sehingga bisa digunakan untuk menghasilkan produk batimetri seperti pembuatan garis kontur yang smooth. Sebagai langkah terakhir adalah melakukan Export data, bisa dalam format ASCII ataupun JPEG. Diagram alir pemrosesan data batimetri ditunjukkan pada Gambar 31.
44
Gambar 31 Diagram alir pengolahan data batimetri.
45
3.4.2.(3) Identifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut Untuk dapat melakukan identifikasi jenis sedimen dasar laut, diperlukan pengetahuan tentang sebaran nilai amplitudo pada data coring yang ada. Setiap sampel coring memiliki titik koordinat pada saat pengambilan data. Kemudian dari hasil pengolahan data backscatter, diekstrak data yang berupa koordinat, beam, kedalaman, dan amplitudo kemudian disimpan dalam suatu file berekstensi.*txt. Untuk mengetahui
jenis sedimen dasar laut, dilakukan
pencocokan koordinat pada sampel coring dan hasil ekstrakan. Berdasarkan nilai amplitudo pada titik koordinat yang sama ini, maka dapat ditentukan jenis sedimennya. 3.5 Metode Analisis Data 3.5.1
Single Beam Echo Sounder
3.5.1.(1) Komputasi Acoustic Bottom Backscattering Konsep “scattering strength” dimunculkan untuk mengkuantifikasi scattering yang berasal dari dasar laut maupun permukaan laut. Sedangkan “backscattering strength” merujuk pada bagian dari gelombang akustik yang dipantulkan kembali ke arah pemancar pada sistem sonar monostatik (Urick 1983). Acoustic bottom backscattering terdiri dari beberapa besaran yaitu surface backscattering strength (SS), volume backscattering strength (SV), dan echo level (EL). Nilai SS diperoleh dengan menggunakan persamaan (Manik 2012) : SS = – RS – SL + 2TL + VR + AG ; VR = 20log A ; A=
........................................................................................... (14)
dimana RS = Receiving Sensitivity SL = Source Level TL = Transmission Loss VR = Voltage Receiving (dB) AG = Amplifier Gain A = Amplitudo
46
DN = Digital Number. Untuk nilai SV diperoleh dengan menggunakan formula Manik (2011)
Ss =
...................................................................................... (15)
dengan S s = surface backscattering coefficient, S v = volume backscattering coefficient, c = kecepatan suara (m/s),
= pulse length,
equivalent beam angle for surface scattering,
= instantaneous
= equivalent beam angle for
volume scattering. Pada peak bottom echo nilai
, sehingga persamaan (15) menjadi
S v = S s (2 / cτ) ................................................................................... (16) Dalam satuan decibel, persamaan (16) dapat dituliskan sebagai SV = SS – 10 log (cτ / 2) .................................................................... (17) dimana SV = 10 log S v , dan SS = 10 log S s . Kemudian untuk menghitung nilai intensitas echo maksimum (EL) digunakan persamaan (Lurton, 2002) : EL = SL – 2TL + SS ......................................................................... (18) 3.5.1.(2) Komputasi Acoustic Reflection Sedimen Dasar Perairan. Meskipun dasar laut bukan merupakan permukaan yang rata dan homogen, namun pengidealan kondisi permukaan dasar laut sangat bermanfaat untuk keperluan komputasi, sehingga memungkinkan untuk mendefinisikan besaran koefisien refleksi. Koefisien refleksi (R) merupakan besaran yang tidak berdimensi yang didefinisikan sebagai perbandingan antara energi tekanan gelombang suara yang dipantulkan (P r ) dengan energi tekanan gelombang suara yang datang mengenai dasar perairan (P i ). Secara matematis dinyatakan sebagai (Medwin & Clay 1998) ......................................................... (19)
47
Pada kondisi normal incidence dimana gelombang suara yang datang mengenai dasar perairan adalah tegak lurus terhadap permukaan dasar perairan, maka koefisien refleksi dapat dinyatakan dalam besaran impedansi akustik, sebagai : =
................................ (20)
dimana Z 1 , ρ 1 , c 1 dan Z 2 , ρ 2 , c 2 masing-masing adalah impedansi akustik, densitas dan kecepatan suara di kolom air dan lapisan sedimen pertama. Kadang-kadang besaran koefisien refleksi dinamakan juga sebagai Bottom Loss (BL) yang dinyatakan dalam decibel (dB) sebagai bilangan positif (Medwin & Clay 1998) dalam bentuk logaritma, yaitu : BL = - 20 log 10 R .......................................... (21) 3.5.1.(3) Analisis Sedimen Contoh sedimen yang berasal dari sembilan stasiun selanjutnya dianalisis sifat fisiknya seperti tekstur, densitas dan porositas dari sedimen tersebut (ruang pori total). Hasil analisis ini akan digunakan sebagai data pembanding dari hasil hidroakustik. Tekstur sedimen adalah susunan relatif dari besar butir sedimen, terdiri dari pasir berukuran 2-0.0625 mm, lanau berukuran 0.0625-0.0039 mm dan liat berukuran 0.0039-0.0002 mm (Thurman 1993). Penetapan tekstur sedimen dilakukan dengan menggunakan metode ayakan bertingkat untuk memisahkan butiran sedimen berdasarkan fraksi ukuran butiran. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1. Contoh sedimen diambil minimal 100 gram basah beratnya. 2. Substrat tersebut kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 100 ºC sampai benar-benar kering (± 24 jam). 3. Contoh diayak dengan Shieve shaker berukuran 2 mm. 4. Berat kering contoh ditimbang kemudian diambil 10 gram.
48
5. Selanjutnya ditambahkan H2O2 30% sebanyak 100 ml dan HCl 0,2 N 100 ml (untuk melarutkan CaCO₃) kemudian dididihkan selama 20 menit untuk menghilangkan bahan organik. 6. Kemudian ditambahkan air sambil diaduk, lalu didiamkan selama satu malam. 7. Fraksi pasir dipisahkan dari lanau dan liat dengan menggunakan ayakan berukuran 325 mesh (mesh = banyaknya lubang (hole) dalam 1 mm²). 8. Hasil ayakan ini kemudian dimasukkan ke dalam Shieve shaker (5 ukuran mata ayakan) untuk kemudian diayak lagi sehingga menghasilkan 5 ukuran besar butir sedimen yang nantinya akan digolongkan ke dalam substrat pasir. 9. Hasil lain dari ayakan berukuran 325 mesh dalam keadaan cair ditambahkan 50 ml larutan Na2P2O7 . 10H2O (Natrium-hexametafosfat). Selanjutnya dianalisis untuk mengetahui substrat lanau dan liat yang dilakukan dengan cara pemipetan dengan ukuran pipet 20 cc. 10. Untuk menentukan fraksi lanau, larutan didiamkan selama 1 – 15 menit. Selanjutnya untuk fraksi liat yang memiliki ukuran sangat kecil, maka larutan tersebut didiamkan selama 6 jam sampai 24 jam untuk selanjutnya ditentukan persentasenya. Selain tekstur sedimen, dilakukan juga analisis ruang pori total (porositas) dan berat isi (densitas) yang terkandung dalam sedimen. Densitas sedimen merupakan berat suatu volume sedimen dalam keadaan utuh yang dinyatakan dalam g/cc. Sedangkan porositas adalah volume seluruh pori-pori dalam suatu volume sedimen dalam keadaan utuh yang dinyatakan dalam persen. Pengukuran densitas sedimen dilakukan dengan menggunakan ring berukuran tinggi 5 cm dengan diameter 5 cm. Jika densitas telah diketahui, maka ruang pori total dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Ruang pori total =
....................... (22)
Untuk klasifikasi tipe substrat di lokasi penelitian, digunakan diagram segitiga Shepard (Gambar 32), dimana sedimen dikelompokkan dalam tiga jenis substrat yaitu pasir (sand), lanau (silt), dan liat (clay). Metode segitiga Shepard lebih sesuai digunakan untuk klasifikasi contoh sedimen yang memiliki ukuran butiran lebih kecil.
49
Sumber: Shepard 1954
Gambar 32 Diagram segitiga Shepard. 3.5.1.(4) Principal Component Analysis Principal Component Analysis (PCA) merupakan prosedur matematis yang menggunakan sebuah transformasi ortogonal untuk mengubah variabelvariabel pengamatan yang memiliki korelasi menjadi sekumpulan nilai dari variabel-variabel yang tidak memiliki korelasi secara linear yang dinamakan komponen utama (Principal Component). Banyaknya komponen utama adalah kurang dari atau sama dengan banyaknya variabel awal. Bentuk transformasi ini didefinisikan sedemikian rupa sehingga komponen utama yang pertama memiliki kemungkinan variance yang terbesar, dan tiap-tiap komponen berikutnya secara berurutan memiliki kemungkinan variance tertinggi dengan batasan harus ortogonal terhadap komponen sebelumnya (www//http/Principal component analysis PCA.htm). PCA melibatkan sebuah kombinasi linear dari parameter-parameter awal atau dengan kata lain suatu rotasi dari sumbu-sumbu awal ke bentuk sumbusumbu koordinat yang baru yang ortogonal ((Bailey & Gatrell 1995 diacu dalam Siwabessy et al. 1999). PCA juga merupakan metode yang lazim untuk memilih kombinasi yang sesuai dari parameter-parameter klasifikasi (Reed & Hudson 1989 diacu dalam Penrose et al. 2005).
50
Teknik analisis komponen utama menganalisa tabel data hasil pengamatan yang digambarkan oleh beberapa variabel terikat kuantitatif yang saling terkorelasi satu sama lain. Pada dasarnya Penggunaan PCA bertujuan untuk menyusutkan dimensi data yang saling berkorelasi satu sama lain dengan cara mengekstrak informasi penting dari tabel dan menggambarkannya dalam bentuk sekumpulan variabel ortogonal baru yang dinamakan komponen utama. Kemudian menampilkan pola kesamaan dari pengamatan dan variabel-variabel sebagai titiktitik di dalam peta (Abdi & Williams 2010). Menurut Bengen (2000), PCA digunakan untuk memudahkan dalam menarik suatu kesimpulan yang lebih representative atau keterwakilan dengan menyederhanakan berbagai faktor dan variabel dari struktur data yang diberikan. Penggunaan PCA dalam penelitian ini bertujuan untuk mengelompokkan parameter-parameter akustik dan sifat fisis sedimen ke dalam kelas-kelas terpisah yang secara akustik homogen berdasarkan metode statistik. 3.5.1.(5) Cluster Analysis Analisis kluster/kelompok merupakan metode penganalisaan data yang bertujuan
untuk
mengelompokkan
data
berdasarkan
karakteristik
yang
dimilikinya. Data yang memiliki karakteristik yang sama akan dikelompokkan dalam satu kelompok, dan data dengan karakteristik yang berbeda akan dimasukkan dalam kelompok yang berbeda. Data-data yang berada dalam satu kelompok akan memiliki banyak kesamaan, dibandingkan dengan data dalam kelompok yang berbeda. Prinsip utamanya adalah memaksimalkan kesamaan antar data yang berada dalam satu kelompok, dan meminimalkan kesamaan antar kelompok. Pada akhirnya, kluster-kluster yang terbentuk memiliki homogenitas internal yang tinggi dan heterogenitas eksternal yang tinggi pula. Hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan data dan menyajikannya dalam bentuk grafik. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan metode clustering. Dua pendekatan utama adalah clustering dengan pendekatan partisi dan clustering dengan pendekatan hirarki. Clustering dengan pendekatan partisi atau sering disebut dengan partition-based clustering mengelompokkan data dengan memilah-milah data yang dianalisa ke dalam kluster-kluster yang ada.
51
Clustering dengan pendekatan hirarki atau sering disebut dengan hierarchical clustering mengelompokkan data dengan membuat suatu hirarki berupa dendogram dimana data yang mirip akan ditempatkan pada hirarki yang berdekatan
dan
yang
tidak
pada
hirarki
yang
berjauhan
(http://yudiagusta.wordpress.com/clustering/, 19 Juni 2012). Dalam penelitian ini akan digunakan clustering
dengan pendekatan
hirarki, yaitu untuk melihat hubungan antara respon akustik dan sifat-sifat fisik sedimen. Clustering dengan pendekatan hirarki mengelompokkan data yang mirip dalam hirarki yang sama dan yang tidak mirip di hirarki yang agak jauh. Ada dua metode yang sering diterapkan yaitu agglomerative hieararchical clustering dan divisive hierarchical clustering. Agglomerative melakukan proses clustering dari N kluster menjadi satu kesatuan kluster, dimana N adalah jumlah data, sedangkan divisive (pemecahan) melakukan proses clustering yang sebaliknya yaitu dari satu kluster menjadi N kluster (http://yudiagusta.wordpress.com/clustering/, 19 Juni 2012). Hal penting dalam metode hirarkhi adalah bahwa hasil pada tahap sebelumnya selalu bersarang di dalam hasil pada tahap berikutnya, membentuk sebuah pohon. Beberapa metode hierarchical clustering yang sering digunakan dibedakan menurut cara mereka untuk menghitung tingkat kemiripan. Ada yang menggunakan Single Linkage, Complete Linkage, Average Linkage, Average Group Linkage dan lain-lainnya. Salah satu cara untuk mempermudah pengembangan dendogram untuk hierarchical clustering ini adalah dengan membuat similarity matrix yang memuat tingkat kemiripan antar data yang dikelompokkan. Tingkat kemiripan bisa dihitung dengan berbagai macam cara seperti dengan Euclidean Distance Space. Berangkat dari similarity matrix ini, kita bisa memilih lingkage jenis mana yang akan digunakan untuk mengelompokkan
data
yang
dianalisa
(http://yudiagusta.wordpress.com/
clustering/, 19 Juni 2012). 3.5.2 Multi Beam Echo Sounder 3.5.2.(1) Konversi Nilai Amplitudo (mV) ke Backscatter (dB) Konversi
dari
nilai
amplitudo
menjadi
backscatter
menggunakan formula (L-3 Communication Seabeam Instrumen 2000) :
dilakukan
52
SS = 20 log 10 dimana SS
= nilai acoustic backscattering strength (dB)
Vi
= nilai amplitudo (mV)
V ref
= nilai amplitudo referensi sesuai dengan instrumen multibeam yang digunakan .
Pada pemakaian frekuensi 180 kHz, nilai V ref sebesar 10500 mV (berdasarkan buku Maintenance Manual for Seabeam 1000 Series, 2006). 3.5.2.(2) Ketelitian Batimetri Ketelitian batimetri yang dihasilkan dari survei multi beam ini dihitung dengan menggunakan formula yang telah ditetapkan oleh IHO (International Hydrographic Organization) tahun 2008. Menurut standar ketelitian survei hidrografi (S – 44 IHO, 2008), area survei ini termasuk dalam orde 1a, yaitu area dengan kedalaman hingga 100 m, dimana batas nilai toleransi untuk kesalahan kedalaman dihitung dengan menggunakan formula
Keterangan : : nilai batas toleransi ketelitian kedalaman (m) : konstanta kesalahan kedalaman (0.5) : faktor pengganti kesalahan kedalaman (0.013) : kedalaman (m).