3 3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Pengumpulan Data dan Informasi Data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis
yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan pengamatan secara langsung di lapangan. Pengumpulan data primer di lapangan dilakukan untuk memperoleh data dan informasi langsung dari sumbernya di lapangan dengan cara : (1)
Observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan tentang faktor- faktor strategis yang mempengaruhi sistem MCS kelautan secara umum dan secara khusus dalam bidang perikanan tangkap.
(2)
Kuesioner, yaitu dengan menyebarkan daftar pertanyaan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian.
Responden yang diwawancarai adalah para pakar atau expert pihak-pihak terkait yang relevan dengan pengembangan dan pemanfaatan MCS nasional kelautan. Pemilihan responden dilakukan secara purposive sampling, agar diperoleh hasil wawancara yang memenuhi kriteria expert judgement. Pengamatan langsung dilakukan terhadap sistem MCS yang sudah ada dan mengunjungi objek-objek penerapan sistem MCS yang didekati secara kritis, di salah satu dari 9 (sembilan) zona penangkapan ikan dan yang dipilih adalah Kepulauan Riau dengan pertimbangan geografis berupa kepulauan dan berbatasan dengan negara- negara tetangga serta pertimbangan sosial ekonomi dengan banyaknya masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari perikanan tangkap serta banyaknya pelanggaran yang terjadi di laut.. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber yang relevan yaitu instansi yang terkait dengan Bakorkamla sesuai Keputusan Presiden no 81 tahun 2005 dan berbagai instansi lain yang terkait serta penelusuran dari situs internet. Data primer sepenuhnya merupakan data yang bersifat kualitatif dalam rangka melakukan identifikasi kebutuhan sistem MCS nasional kelautan. Data sekunder yang dikumpulkan disamping selain data kualitatif juga data kuantitatif. Disamping data dan informasi dari persepsi responden yang terkait dengan pengembangan sistem MCS nasional kelautan, data dan informasi yang dikumpulkan antara lain : (1)
Keragaan desain sistem MCS nasional terkait bidang kelautan yang telah diterapkan oleh berbagai instansi selama ini.
(2)
Keragaan pelaksanaan MCS bidang kelautan dari berbagai negara yang berhasil dikumpulkan informasinya.
32
(3)
Kebijaksanaan pembangunan terkait dengan bidang kelautan nasional.
(4)
Kebijakan pembangunan bidang kelautan dan perikanan dan instansi terkait lainnya yang relevan.
(5)
Data-data statistik potensi sumberdaya perikanan dan kelautan, produksi, perdagangan, kapal, perikanan tangkap
dan data statistik lain terkait
dengannya, termasuk jumlah pelanggaran dan praktek-praktek ilegal. (6)
Data dan informasi mengenai berbagai hukum, peraturan, perundangan dan perjanjian-perjanjian terkait dengan kelautan dan perikanan baik nasional maupun internasional.
(7)
Peta nasional yang memuat wilayah-wilayah perbatasan laut,
zona-zona
tertentu dan wilayah laut yang dilindungi serta alur laut kepulauan Indonesia (ALKI). (8)
Data dan informasi lainnya yang relevan
3.2
Waktu Penelitian dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 8 bulan mulai dari bulan Februari 2006 sampai dengan bulan September 2006. Penelitian difokuskan pada lokasi di Jakarta dan untuk pengamatan langsung terhadap salah satu zona perikanan tangkap dilaksanakan di Kepulauan Riau yang ditentukan berdasarkan hasil wawancara dan rekomendasi dari para experts yang diwawancarai, terutama experts dari Departemen Kelautan dan Perikanan. 3.3
Metode Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode permodelan analisis sistem, dengan lima
tahapan analisis yaitu tahapan identifikasi, tahapan analisis, tahapan rekayasa atau rancang bangun model, tahapan verifikasi dan tahapan perumusan usulan kebijakan operasional. Tahapan identifikasi dilakukan dengan pendekatan studi literatur dan pengumpulan data dan informasi dari sumber-sumber yang relevan. Tahapan analisis dilakukan dengan pendekatan analisis tabulasi silang dan deskriptif serta naratif untuk menyusun alternatif-alternatif model abstraksi berdasarkan contoh-contoh model yang sudah ada dengan membandingkan sistem MCS yang sudah ada dan kemungkinan penyempurnaannya.
33
Pada tahapan ketiga dilakukan penetapan rancang bangun model berdasarkan hasil analisis sebelumnya dengan mempertimbangkan tingkat kesesuaian model berdasarkan hasil analisis kebutuhan atau identifikasi dari wawancara dengan para pemangku kepentingan atau stakeholders yang relevan.
Tahap ketiga akan
menghasilkan rancang bangun atau desain model secara deskriptif. Tahapan keempat dari penelitian adalah melakukan verifikasi model dengan kasus perikanan tangkap. Pada tahapan ini dilakukan pengujian apakah kerangka konseptual desain model sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Pengujian model disamping menggunakan input- input data sektor perikanan, dilakukan verifikasi melalui pendekatan analisis expert judgment. Analisis expert judgment ini untuk mengumpulkan pendapat dan justifikasi dari calon-calon pengguna model (expert dari stakeholders) terutama instansi terkait misalnya Departemen Kelautan dan Perikanan, Asosiasi Pengusaha Perikanan, Bakorkamla, dan lain- lain. Tahapan ke lima adalah menetapkan kerangka konseptual model MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia dan rumusan usulan kebijakan operasionalnya. Rumusan kebijakan operasional yang disusun akan menyangkut aspek-aspek kebutuhan perangkat hukum, perangkat kelembagaan dan kebijakan operasional yang diperlukan dalam rangka pengembangan dan pelaksanaan sistem MCS kelautan nasional terpadu dalam rangka pembangunan kelautan Indonesia. Berkaitan dengan analisis terhadap identifikasi kebutuhan sistem dan verifikasi model, disamping mengandalkan analisis expert judgment juga akan dilakukan analisis prospektif. Analisis prospektif adalah studi tentang kemungkinankemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Analisis prospektif dilakukan dengan menggunakan metoda wawancara untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci MCS nasional kelautan yang mempengaruhi kondisi pembangunan kelautan dalam masa yang akan datang. Setidaknya terdapat dua hal kegunaan analisis prospektif, yaitu (1) mempersiapkan tindakan-tindakan strategis yang perlu dilakukan pada masa yang akan datang terhadap suatu kasus tertentu; dan (2) melihat atau mengetahui apakah dibutuhkan suatu perubahan pada masa yang akan datang.
34
3.4
Pendekatan Pembahasan Hasil Analisis
Hasil analisis penelitian ini akan dibahas dan ditelaah serta disajikan dengan pendekatan kelembagaan. Hal ini berdasarkan pada kegiatan MCS tangkap,
kenyataan yang ada bahwa
nasional kelautan Indonesia, khususnya dalam bidang perikanan
dilaksanakan
oleh
institusi- institusi
pemerintahan
yang
bersifat
kelembagaan. Masing- masing kelembagaan menjalankan kegiatan surveillance ini berdasarkan mandat hukum yang tertuang dalam Undang-Undang tentang kelembagaan yang bersangkutan. Dapat terjadi adanya Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang saling tumpang tindih. Oleh karena itu dalam pembahasan hasil analisis perlu dilakukan pendekatan secara kelembagaan (Likadja 1988; Subagyo 1993). Disamping dengan pendekatan tersebut, dalam rangka menyusun suatu ulasan rekomendasi
kebijakan
operasional,
akan
mengarah
kepada
upaya
untuk
mengembangkan sistem MCS nasional kelautan yang lebih terarah (efektif) dengan proses yang lebih ringkas (efisien). Salah satu metoda pembahasan yang dapat dipakai dalam kancah manajemen organisasi adalah benchmarking strategy. Benchmarking (patok duga) merupakan proses pembelajaran dari yang terbaik. Spendolini (1992) mendefinisikan benchmarking sebagai: a continuous, systematic process for evaluation the products, services, and work processes of organization that are recognized as representing best practices for the purpose of organizational improvement. Analisis benchmarking berangkat dari bukti dan anggapan bahwa tidaklah sepenuhnya benar jika dinyatakan bahwa MCS nasional yang ada sekarang sekalipun masih parsial memiliki kinerja yang buruk dan berdasarkan kasus beberapa lainnya yang berhasil dikumpulkan data dan informasinya akan menunjukkan bahwa MCS berjalan dengan sangat baik. Oleh karenanya perlu ditarik pelajaran dari pengalaman MCS yang berhasil, sehingga MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia mampu melakukan proses benchmarking (patok duga) guna meningkatkan kinerjanya pada masa yang akan datang. Proses benchmarking (patok duga) merupakan suatu proses belajar dari pihak lain yang lebih baik kinerjanya. Proses belajar ini untuk menghadirkan informasi
35
penting yang berguna untuk membangun gagasan-gagasan perbaikan yang dibutuhkan. Sebaliknya, proses patok duga bukannya suatu proses untuk memperoleh jawaban secara mudah atau sekedar proses peniruan secara membabi buta. Jika antara MCS dapat dilakukan patok duga terkait dengan produk dan servis maupun proses kerja, kelembagaan dan organisasinya, maka patok duga antara MCS nasional dalam pembangunan kelautan Indonesia dapat dilaksanakan secara terpadu, efisien dan efektif. 3.4.1
Analisis tingkat kepentingan dan kinerja Untuk pengembangan MCS Indonesia, salah satu hal yang perlu diperhatikan
adalah
kondisi faktor-faktor MCS yang berpengaruh dalam pelaksanaan MCS
kelautan. Untuk itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang dianggap penting oleh para ahli di bidang kelautan dan selanjutnya sistem diupayakan menghasilkan kinerja sebaik mungkin. Oleh karena itu, perlu dilakukan “importance and performance analysis”. (1)
Metode analisis data Dalam menganalisis data penelitian digunakan metode deskriptif kualitatif – kuantitatif. Untuk menjawab sampai sejauh mana penerapan MCS di Indonesia, maka digunakan importance and performance analysis (IPA) atau analisis tingkat kepentingan dan kinerja pelaksanaan MCS. Untuk tingkat kepentingan digunakan 4 skala yang terdiri dari : 1) sangat penting diberi bobot 4; 2) penting diberi bobot 3; 3) kurang penting diberi bobot 2; dan 4) tidak penting diberi bobot 1. Untuk kinerja digunakan 4 skala yaitu: 1) jika penilaian kinerja MCS mempunyai kemampuan yang baik diberi bobot 4; 2) jika sistem MCS sudah memiliki kemampuan yang baik, tapi masih memerlukan sedikit tambahan, diberi bobot 3; 3) jika sistem MCS telah ada, tapi masih belum memadai diberi bobot 2; dan 4) jika tidak ada sistem MCS atau sangat tidak memadai diberi bobot 1. Berdasarkan hasil penilaian tingkat kepentingan dan hasil penilaian kinerja, maka dihasilkan suatu perhitungan mengenai tingkat kesesuaian antara tingkat kepentingan dan tingkat kinerjanya. Tingkat kesesuaian
adalah
hasil
perbandingan skor kinerja dengan skor kepentingan. Tingkat kesesuaian inilah
36
yang akan menentukan urutan prioritas peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pengembangan MCS di Indonesia. Dalam penelitian ini terdapat dua buah variabel yang diwakilkan oleh huruf x dan y, dimana x adalah merupakan tingkat kinerja MCS, sedangkan y merupakan tingkat kepentingan MCS. Adapun rumus yang digunakan adalah:
Tki = Xi x 100% Yi dimana : Tki = tingkat kesesuaian responden Xi = skor kinerja MCS Yi = skor penilaian tingkat kepentingan MCS Selanjutnya sumbu mendatar (X) akan diisi oleh skor tingkat kinerja MCS, sedangkan sumbu tegak (Y) akan diisi oleh skor tingkat kepentingan MCS. Dalam penyederhanaan rumus, maka untuk setiap faktor yang mempengaruhi pelaksanaan MCS adalah dengan : _ X = S Xi n dimana :
_ Y = S Yi n _ X = skor rata-rata tingkat kinerja _ Y = skor rata-rata tingkat kepentingan n = jumlah responden
Diagram Kartesius merupakan suatu bangun yang dibagi atas empat bagian yang dibatasi oleh dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik-titik (X, Y), dimana X merupakan rata-rata dari rata-rata skor tingkat kinerja seluruh faktor atau atribut dan Y adalah rata-rata dari rata-rata skor tingkat kepentingan seluruh faktor yang mempengaruhi pelaksanaan MCS. Maka rumusnya menjadi: = n X = Si = 1 Xi K
= n Y = Si = 1 Yi K
dimana : K = banyaknya atribut atau faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan MCS
37
Selanjutnya tingkat unsur-unsur tersebut akan dijabarkan dan dibagi menjadi empat bagian ke dalam diagram Kartesius seperti ditampilkan pada Gambar 6. Y Kepentingan
Prioritas utama A
Pertahankan prestasi B
= Y C Prioritas rendah
D Berlebihan
Kinerja = X X Gambar 6 Diagram Kartesius (Sumber: Supranto 2006). Keterangan: A : menunjukkan faktor yang dianggap mempengaruhi pelaksanaan MCS, termasuk unsur- unsur yang dianggap sangat penting, namun kinerjanya belum sesuai dengan yang diharapkan, sehingga mengecewakan/tidak puas. B : menunjukkan unsur MCS yang telah berhasil dilaksanakan, untuk itu wajib dipertahankan, dianggap sangat penting dan sangat memuaskan. C : menunjukkan beberapa faktor yang kurang penting pengaruhnya dan dalam pelaksanaan MCS biasa-biasa saja, dianggap kurang penting dan kurang memuaskan. D : menunjukkan faktor tingkat kepentingan MCS yang kurang penting, akan tetapi pelaksanaannya telah cukup baik/berlebihan, dianggap kurang penting tapi sangat memuaskan.
38
(2)
Operasional penelitian Bagan alir importance and performance analysis ditampilkan pada Gambar 7.
Variabel MCS
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lisensi Legislasi Koordinasi antar lembaga Pelatihan MCS Prosedur inspeksi Sistem perencanaan data Kapasitas di laut Identifikasi kapal Penggunaan VMS
Variabel tanggapan responden
Tingkat kepentingan
Tingkat kinerja
Pelaksanaan MCS
Gambar 7 Bagan alir importance and performance analysis (Sumber: Supranto 2006)
3.4.2 Analisis SWOT Analisa secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan matriks IFE, EFE, IE dan QSPM. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan suatu organisasi dalam menghadapi lingkungan internal dan eksternal dengan cara mendapatkan angka yang menggambarkan kondisi organisasi terhadap kondisi lingkungannya. Matriks IFE dan EFE diolah dengan menggunakan beberapa langkah berikut (Rangkuti 2006): (1) Identifikasi faktor internal dan eksternal Langkah awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi faktor internal, yaitu dengan mendaftarkan semua kelemahan dan kekuatan organisasi. Kekuatan diidentifikasi terlebih dahulu, baru kemudian dikenali kelemahan. Daftar dibuat spesifik dengan menggunakan prosentase, rasio atau angka perbandingan. Faktor eksternal diidentifikasi dengan mendata semua peluang dan ancaman. Data eksternal diperoleh dari hasil wawancara atau kuesioner dan diskusi dengan para pakar di bidangnya, serta data penunjang lainnya. Hasil kedua identifikasi faktor- faktor di atas tersebut menjadi faktor penentu internal dan eksternal yang selanjutnya akan diberikan bobot atau rating.
39
(2) Penentuan bobot setiap peubah Penentuan bobot dilakukan dengan jalan mengajukan identifikasi faktor- faktor strategis eksternal dan internal tersebut kepada para pakar dengan menggunakan metode paired comparison (Kinnear & Taylor 1991). Metode tersebut digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu internal dan eksternal. Untuk menentukan bobot setiap peubah digunakan skala 1, 2, dan 3. Skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah : 1 = jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal 2 = jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal 3 = jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal Bentuk penilaian pembobotan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1 Penilaian bobot faktor strategi internal Faktor strategis internal
A
B
C
D
.....
Total
A B C D ..... Total
Tabel 2 Penilaian bobot faktor strategi eksternal Faktor strategis eksternal
A
B
C
D
.....
Total
A B C D ..... Total
40
Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai rataan dari setiap peubah terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah dengan menggunakan rumus (Kinnear & Taylor 1991): Ai =
xi n ? Xi i=1
Dimana : ai = bobot peubah ke- i Xi = nilai peubah ke- i i = 1, 2, 3, ..., n n = jumlah peubah
(3)
Penentuan Peringkat (Rating) Penentuan rating (rating) oleh manajemen atau pakar dari organisasi yang
dianggap sebagai decision maker dilakukan terhadap peubah-peubah dari hasil analisis situasi organisasi. Untuk mengukur pengaruh masing- masing peubah terhadap kondisi organisasi digunakan nilai peringkat dengan skala 1, 2, 3, dan 4 terhadap masing- masing faktor strategis yang menandakan seberapa efektif strategi organisasi saat ini, dimana untuk matriks EFE skala nilai peringkat yang digunakan yaitu: 1 = Rendah, respon kurang 2 = Rendah, respon sama dengan rata-rata 3 = Tinggi, respon di atas rata-rata 4 = Sangat tinggi, respon superior Untuk faktor- faktor ancaman merupakan kebalikan dari faktor peluang, dimana skala 1 berarti sangat tinggi, respon superior terhadap organisasi. Skala 4 berarti rendah, respon kurang terhadap organisasi. Untuk matriks IFE, skala nilai peringkat yang digunakan dalam kolom rating dengan skala 1 – 4, pada masing- masing faktor internal yang ada dalam organisasi saat ini. Untuk faktor kekuatan dan kelemahan, yaitu (1) kelemahan utama, (2) kelemahan kecil, (3) kekuatan kecil, (4) kekuatan utama. Selanjutnya nilai dari pembobotan dikalikan dengan nilai rataan peringkat pada tiap-tiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk
41
memperoleh total skor pembobotan. Hasil pembobotan dari peringkat (rating) berdasarkan analisa situasi dimasukkan dalam Tabel 1 dan Tabel 2. Nilai IFE dikelompokkan dalam : Tinggi (3,0 – 4,0); Sedang (2,0 – 2,99); dan Rendah (1,0 – 1,99). Sedangkan nilai-nilai EFE dikelompokkan dalam : Kuat (3,0 – 4,0), Rata-rata (2,0 – 2,99) dan Lemah (1,0 – 1,99) (David 1998).
Tabel 3 Matriks IFE Analisis SWOT Faktor Strategis Internal
Bobot
Rating
Skor
Rating
Skor
A. Kekuatan 1. 2. 10. Jumlah (A) B. Kelemahan 1. 2. 10. Jumlah (B) Total (A+B) Tabel 4 Matriks EFE Analisis SWOT Faktor Strategis Eksternal
Bobot
C. Peluang 1. 2. 10. Jumlah (C) D. Ancaman 1. 2. 10. Jumlah (D) Total (C+D)
42
Terdapat 8 tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu: 1)
Tentukan faktor-faktor peluang eksternal.
2)
Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal
3)
Tentukan faktor-faktor kekuatan internal
4)
Tentukan faktor-faktor kelemahan internal
5)
Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S – O.
6)
Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi W – O.
7)
Sesuaikan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi S – T.
8)
Sesuaikan kelemahan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi W – T.
Selanjutnya dalam menyusun matriks QSPM perlu dilakukan langkah- langkah sebagai berikut: 1)
Membuat daftar kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman di kolom sebelah kiri.
2)
Membuat bobot pada masing- masing kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman.
3)
Menuliskan
dan
mengidentifikasikan
strategi
alternatif
yang
harus
dipertimbangkan, yang selanjutnya mencatat strategi-strategi tersebut atas baris QSPM. 4)
Menetapkan AS (attractiveness score), yaitu nilai yang menunjukkan kemenarikan relatif untuk masing- masing strategi yang terpilih. Batasan nilai AS adalah 1 sampai 4. Nilai 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = secara logika menarik, 4 = sangat menarik.
5)
Menghitung TAS (total attractiveness score) dari hasil perkalian bobot yang terdapat pada matriks IFE dengan AS yang diperoleh. TAS menunjukkan kemenarikan relatif dari masing- masing alternatif strategi.
6)
Menjumlah semua TAS pada masing- masing kolom QSPM. Berdasarkan nilai TAS yang didapat, nilai TAS dari alternatif strategi yang tertinggilah yang
43
menunjukkan bahwa alternatif strategi itu yang menjadi pilihan utama. Nilai TAS terkecil menunjukkan bahwa alternatif strategi ini menjadi pilihan terakhir. Ilustrasi QSPM dapat dilihat pada Gambar 8. . Faktor kunci :
Bobot Strategi 1 AS TAS
Alternatif Strategi Strategi 2 Strategi 3 AS TAS AS TAS
Peluang Ancaman Kekuatan Kelemahan Total Gambar 8 Matriks QSPM (Sumber: Umar 2001).
44