55
3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Gugus Pulau Batudaka pada bulan Oktober 2008 –
Juni 2010 dalam wilayah administratif Kecamatan Una-Una Kabupaten Tojo UnaUna Provinsi Sulawesi Tengah. 3.2
Metode Penelitian Penelitian dirancang menggunakan pendekatan sistem sosial ekologi
(SSE) berdasarkan integrasi pengetahuan untuk menilai sistem dinamis yang terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam (Erb et al. 2008) dalam implementasi pengelolaan Gugus Pulau Batudaka.
Identifikasi
permasalahan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan DPSIR
(Drivers–Pressures–States–Impacts–Responses),
untuk
mengetahui
keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem sehingga dapat digunakan untuk mengukur intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas (wisata dan perikanan) menghasilkan limbah di kawasan Gugus Pulau Batudaka. Penilaian terhadap tekanan ekosistem dianalisis berdasarkan pada pendekatan keseluruhan sistem dan integrasi ekosistem yang berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya (Turner et al. 2000). Penelitian diarahkan untuk memperoleh data kondisi saat ini dan data optimal pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka. 3.3 Metode Pengumpulan Data 3.3.1 Jenis Data 3.3.1.1 Data Biofisik Data biofisik yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode observasi dan pengukuran secara langsung di lapangan terhadap objek penelitian, sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan cara penelusuran berbagai literatur dan pustaka pada instansi terkait sesuai materi yang dikaji (Tabel 9).
56
Tabel 9 Jenis data biofisik yang digunakan dalam penelitian Komponen Biofisik Komponen Biologi Tutupan Komunitas karang (%)
Metode Pengumpulan Data
Sumber Data
Alat/bahan digunakan
LIT/Line Intercept Transect
Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Citra Landsat Insitu, Bappeda, BKSDA, CII Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Laporan Penelitian Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Laporan Penelitian Insitu, Bappeda, BKSDA, CII, Laporan Penelitian
Fin, Masker, Snorkel, GPS
English et al. (1994)
yang
Jenis Terumbu Karang (Genus) Jenis Ikan Karang (Genus)
Fin, Masker, Snorkel, GPS Fin, Masker, Snorkel, GPS
Visual Sensus Ikan
Mangrove (Spesies)
Transek Kuadran
Lamun
Transek Kuadran
Komponen Fisik-kimia Tipe pantai
Observasi
Insitu
Penutupan lahan pantai
Observasi
Insitu
Keterlindungan dari arus, angin dan gelombang
Observasi
Insitu
Ketersediaan air tawar
Observasi
Insitu
Material dasar perairan (fraksi substrat, %) Kedalaman perairan (m)
Observasi
Insitu, analisis Lab.
Observasi
Insitu, Peta Bathimetri
Pasang surut (cm)
Observasi
Insitu, Laporan
Arus (cm/detik)
Observasi
Insitu, Bappeda
Suhu 0C
Observasi
Insitu
Kecerahan perairan (cm)
Observasi
Insitu
Sechhi Disk, GPS, Daftar Isian
Salinitas (‰)
Observasi
Insitu
Refraktometer, , GPS, Daftar Isian
pH
Observasi
Insitu
Oksigen terlarut/DO (dissolved Oxygen (ppm)
Observasi
Insitu
pH meter, Daftar Isian DO meter, Daftar Isian
Meteran, Daftar Isian
GPS,
Meteran, Daftar Isian
GPS,
Meteran, GPS, Daftar Isian Meteran, GPS, Daftar Isian GPS, Daftar Isian
Meteran, GPS, Daftar Isian GPS, Daftar Isian, kantong plastik Tali, pemberat Meteran, GPS, Daftar Isian Papan Berskala, Daftar Isian Current-meter, drift float, GPS, Daftar Isian Thermometer GPS, Daftar Isian
GPS, GPS,
57
3.3.1.2
Data Sosial Ekonomi Pengumpulan data primer sosial ekonomi yang dilakukan melalui
wawancara terhadap stakeholders yang terkait dengan materi penelitian. Data sekunder diperoleh melalui penelurusan penelitian yang bersumber dari Dinas/Instansi/Lembaga terkait tertera pada Tabel 10. Tabel 10 Jenis data sosial ekonomi yang digunakan dalam penelitian Komponen Sosek
Metode Pengumpulan Data*
Sumber Data
Komponen Sosial Kependudukan
Pustaka
BPS Kab. Touna
Mata pencaharian
Wawancara
Kuesioner
Kunjungan Wisatawan
Wawancara, pustaka
Bappeda dan BPS Kab. Touna Disbudpar kabupaten dan provinsi, pengelola wisata nelayan, masyarakat
Pengelola Wisata Pengelola Wisata Pengelola Wisata, Disbudpar kabupaten dan provinsi Nelayan, masyarakat
Kuesioner Kuesioner
Nelayan, masyarakat, DKP UPTD kecamaan, kabupaten dan provinsi
Kuesioner Kuesioner
Daerah penangkapan Ikan Survey, wawancara (fishing ground) Komponen Ekonomi Biaya operasional wisata Kunjungan wisatawan Data wisatawan
Wawancara Wawancara Wawancara, pustaka
Biaya operasional penangkapan
wawancara
Harga ikan Data produksi ikan
Survey, wawancara Wawancara, Pustaka
Alat/bahan yang digunakan
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Keterangan : * Moleong (2005)
3.3.2 Metode Pengambilan Data 3.3.2.1 Metode pengambilan Contoh Biofisik Lokasi pengambilan data komponen fisik-kimia perairan ada 15 (lima belas) stasiun pengamatan
(Gambar 12) dan yang ditentukan secara sengaja
(purposive sampling) dengan pertimbangan lokasi stasiun penelitian adalah yang mempunyai keterwakilan pemanfaatan wisata dan perikanan berdasarkan
58
Gambar 12 Lokasi pengambilan contoh biofisik dan sosial ekonomi
59
pengamatan pada empat titik waktu yakni peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009). Pengamatan terumbu karang dan ikan dilakukan pada stasiun 6, 8 dan 10, selain dengan pertimbangan keterwakilan pemanfaatan tersebut, juga berdasarkan gambaran kondisi dan penyebaran terumbu karang dari hasil pengolahan citra awal. Kebutuhan data primer biofisik untuk ekosistem terumbu karang dilakukan secara horisontal (sejajar garis pantai) menggunakan Line Intercept Transect 100 m dari reef flat sampai reef slope berdasarkan kedalaman 3 m dan 10 m (Supriharyono 2007), persentase tutupan, keanekaragaman jenis dan keseragaman (English et al. 1997). Demikian pula pengamatan ikan karang ditentukan dengan metode Sensus Visual Ikan Karang (Coral Reef Fish Visual Census) (English et al. 1997). Pengumpulan data biofisik pada ekosistem mangrove pada stasiun 2, 3, 12, 13 dan Umpagi (Desa Bomba).
Pada setiap stasiun pengamatan ditetapkan
transek kuadran dengan cara menarik garis lurus dari arah laut tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi hutan mangrove (Bengen 2001; Fachrul 2007). Pada setiap transek kemudian diletakkan secara acak petak-petak sampel (plot) berbentuk bujur sangkar berukuran 10 x10 m2 untuk kelompok pohon (diameter > 10 cm) yang ditempatkan di sepanjang garis transek, jarak antar kuadran ditetapkan secara sistematis terutama berdasarkan perbedaan struktur vegetasi. Kelompok tiang (diameter 2-10 cm) diambil pada petak berukuran 5x5 m2. Kelompok semai (diameter <2 cm) diambil pada petak 1x1 m2 yang ditempatkan pada petak kelompok tiang. Pada setiap petak sampel dilakukan determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, dihitung induvidu tiap jenis, dan ukuran lingkar batang setiap pohon mangrove yang ada, parameter lingkungan (suhu, salinitas, DO dan pH), tipe substrat, dampak kegiatan manusia pada setiap stasiun (Bengen 2001). Identifikasi lamun pada stasiun 2, 5 dan Umpagi (Desa Bomba) ditentukan dengan metode transek kuadran yang ditarik dari pantai menuju ke arah tubir pada ekosistem lamun secara tegak lurus garis pantai sampai batas terumbu karang. Pada masing-masing transek diletakkan plot berukuran 1 x 1 m2, jarak antar
60
plot 10 m dan antar transek berjarak 100 m (Fachrul 2007),dengan kriteria berdasarkan KMNLH No. 200 Tahun 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Penentuan Status Padang Lamun, untuk kondisi baik/kaya (dominan) dengan penutupan >60%, rusak : kurang kaya/kurang sehat (sedang) dengan penutupan 30-59.9% dan miskin (sedikit) dengan penutupan <29.9%. Komponen fisik-kimia yakni tipe pantai, penutupan lahan pantai, keterlindungan dari arus dan gelombang, ketersedian air tawar, material dasar perairan dilakukan dengan mengobservasi komponen tersebut di lokasi penelitian. Fraksi substrat di lokasi mangrove diambil masing-masing sebanyak + 300 g pada stasiun 2, 3, 12, 13 dan Umpagi (Desa Bomba) dan komposisi fraksi dianalisis di laboratorium. Pengukuran pasang surut dengan menggunakan tiang skala semi permanen untuk memperoleh data perubahan elevasi muka air. Tiang skala ditempatkan di daerah yang tetap tergenang air laut pada saat surut terendah. Pengamatan dilakukan dengan pembacaan secara langsung ketinggian air pada tiang skala, dicatat secara kontinyu setiap 1 jam selama 39 jam (metode Doodson) dan minimal selama 15 hari untuk mengamati harmoni pasut (Ongkosongo 1989). Pengukuran kecepatan arah arus dilakukan pada setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan layang-layang arus (drift float) untuk arus permukaan dan current meter untuk mengukur kecepatan arus kedalaman. Pengukuran kecepatan dan arah arus ditempatkan di sekitar penempatan transek, diukur setiap jarak 10 m (Richards 1998). Suhu permukaan perairan diukur dengan menggunakan termometer batang. Sampel air laut dimasukkan ke dalam gelas piala, selanjutnya termometer batang. dimasukkan kedalam sampel air. Air raksa dalam termometer batang menunjukkan nilai suhu permukaan perairan dalam satuan oC. Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual dengan alat bantu secchi disk. Pengukuran kecerahan dilakukan pada saat cuaca cerah antara pukul 09.00– 15.00 dan matahari tidak tertutup awan. Prinsip kerja refraktometer adalah pembiasan cahaya dari larutan sampel pada skala refraktometer yang menunjukkan nilai salinitas. Alat dikalibrasi dengan menggunakan aquadest sebelum digunakan dengan cara pada meja objek diitetesi
61
aquadest, kemudian diamati pada skala lensa (tepat pada angka nol). Larutan sampel (air laut) ditetesi pada meja objek dan dicatat nilai salinitas yang ditunjukkan pada skala lensa. dalam satuan ‰. Derajat keasaman/pH air laut diukur dengan menggunakan pH meter. Alat ini memiliki sensor, dengan cara sensor dimasukkan kedalam wadah berisi sampel air laut. Selanjutnya pembacaan nilai pH yang terdapat pada layar. Pengukuran oksigen terlarut di dalam air laut dilakukan dengan metoda elektrokimia yakni elektroda yang terdiri dari katoda dan anoda yang terendam
dalam larutan
elektrolit (larutan garam) menggunakan DO-meter. 3.3.2.2 Metode Pengambilan Contoh Sosial Ekonomi Data primer sosial ekonomi dilakukan dengan menggunakan metode survei melalui teknik wawancara. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi wilayah penelitian dan persepsi atau sudut pandang stakeholders yang terlibat langsung (responden) yang dianggap mempunyai kemampuan dan mengerti permasalahan yang
terkait dengan
pemanfaatan
sumberdaya pesisir di kawasan tersebut, yaitu dengan responden terdiri dari kelompok wisatawan (lokal dan mancanegara), pengelola wisata, nelayan, tokoh masyarakat, pemerintah dan stakeholders lainnya.
Pengumpulan data primer
dibantu dengan daftar pertanyaan terstruktur (kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Prosedur pemilihan dan penentuan jumlah responden tertera pada Gambar 13. Responden untuk wisatawan dibagi menjadi dua kategori, yaitu wisatawan mancanegara (wisman) dan wisatawan domestik atau nusantara (wisnus). Jumlah Wisnus sebagai responden dalam penelitian ini sebanyak 18 orang dan wisman sebanyak 25 orang. Pemilihan responden wisatawan dilakukan pada beberapa lokasi, dengan pertimbangan di lokasi tersebut telah ada aktivitas wisata. Pelaksanaannya secara accidental sampling, yaitu sampel yang diambil dari siapa saja yang kebetulan ada dan bersedia menjadi responden (Soeratno dan Arsyad 1993). Jumlah desa di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una adalah 13 desa dan lokasi pengambilan contoh sosial ekonomi ada 6 (enam) desa (Gambar 13) yaitu Desa Wakai, Bambu, Siatu, Bomba, Malino dan Kulingkinari.
Jumlah
62
contoh diambil dengan pertimbangan keterwakilan wilayah yaitu desa-desa yang ada di Gugus Pulau Batudaka secara sengaja (purposive sampling) yang diambil langsung untuk setiap kelompok responden sesuai dengan tujuan penelitian dan berdasarkan kriteria tertentu (Adrianto 2007), yakni lokasi penelitian adalah desa yang mempunyai potensi dalam pemanfaatan wisata dan perikanan serta responden yang dipilih berdasarkan pertimbangan : responden dari unsur masyarakat adalah penduduk dewasa yang sekurang-kurangnya telah menetap selama 3 tahun dan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut di Gugus Pulau Batudaka. Responden terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh agama, PNS, nelayan, petani, pedagang. Pengusaha wisata/pemilik guesthouse sebanyak 4 orang . Unit populasi sebagai dasar penentuan responden dari unsur masyarakat dan nelayan adalah Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una. Jumlah KK di 6 desa tersebut pada tahun 2008 (BPS Kec. Una-Una 2009) sebanyak 1 637 KK dengan profesi sebagai nelayan sekitar 50% atau 818 orang, maka berdasarkan perhitungan rumus jumlah sampel (responden) dari persamaan Slovin (1960) yang diacu dalam Sevilla et al. (1993), yaitu :
n
N .............................................................................................. (1) 1 Ne 2
di mana, n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = persentase ketidaktelitian karena pengambilan contoh (10%) diperoleh jumlah sampel masyarakat sebanyak 94 orang (Tabel 11) dan 46 orang nelayan. Tabel 11 Ukuran sampel responden sosial ekonomi No.
Desa
1 2 3 4 5 6
Wakai Bambu Bomba Kulingkinari Malino Siatu
Populasi Rumah Tangga
Jumlah
619 330 285 254 92 93 1 637
Ukuran Sampel 35 19 16 14 5 5 94
63
Data Sosial Ekonomi Jenis Responden Pemanfaat Sumberdaya
Pengambil Kebijakan
PEMDA Masyarakat
N1=1637
Nelayan
N2=818
Wisman
Wisnus
Pengusaha Wisata Purposive sampling
N3
N4
Estimasi Proporsi
N5= 4
N6=8
Ukuran sampel Jumlah unit Responden
n = 94
n=46
n =25
n = 18
Accidental Sampling
Random Sampling
n=8
n=4
Sensus Pemilihan responden
n=231
Gambar 13 Kerangka sampling sosial ekonomi
n =12
64
3.4 Metode Analisis Data
Secara umum analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap. Tahap I, Deskriptif, dengan mengidentifikasi permasalahan menggunakan pendekatan DPSIR sehingga terpetakannya potensi dan pemanfaatan ruang untuk wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka. Tahap II, Kondisi pembatas berdasarkan kelayakan pemanfaatan secara ekologi, ekonomi, sosial kelembagaan. Tahap III, Kolaborasi kondisi pembatas (analisis kelayakan pemanfaatan ruang dan daya dukung lingkungan) yang diintegrasikam dengan optimasi model dinamik. Tahap IV, Implementasi strategi model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka, dan tahapan penelitian tertera pada Gambar 14. Mulai
Identifikasi Permasalahan Pendekatan DPSIR
Tahap I Deskriptif
Tahap II
Wisata
Perikanan
I N P U T
Analisis Kesesuaian Pemanfaatan (GIS)
Kondisi Pembatas Analisis Kelayakan Pemanfaatan : - Ekologi (Ecological Footprint análysis) - Sosial/kelembagaan (HANPP dan CLSA) - Valuasi Ekonomi
Tahap III Kolaborasi
Tahap IV
P R O S E S
Dynamic Modelling (Stella)
Perumusan Model Integrasi
Implementasi Verifikasi dan Validasi Model
Selesai
Gambar 14 Tahapan penelitian model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
O U T P U T
65
3.4.1
Pendekatan DPSIR (Drivers–Pressures–States–Impacts–Responses)
Pendekatan DPSIR untuk mengetahui keterkaitan faktor-faktor penyebab terjadinya tekanan terhadap ekosistem sehingga dapat digunakan untuk menilai intensitas penggunaan sumberdaya oleh manusia dan aktivitas (wisata dan perikanan) di kawasan Gugus Pulau Batudaka.
Penilaian tekanan terhadap
ekosistem dianalisis berdasarkan pendekatan keseluruhan sistem dan integrasi ekosistem yang berkaitan dengan struktur, komposisi dan fungsinya berdasarkan indikator ruang meliputi bentang alam, tata guna air, dan biodiversity (Turner et al. 2000). 3.4.2 Analisis Kesesuaian Pemanfaatan
Analisis variasi spasial karakteristik kualitas perairan antara stasiun pengamatan digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yaitu Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis/PCA) (Bengen 2000). Analisis ini bermanfaat untuk mereduksi variabel yang berukuran besar ke dalam variabel baru berukuran sederhana dan berguna untuk menduga suatu fenomena sekaligus melihat hubungan antar variabel karakteristik perairan. Melalui analisis tersebut diperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai gambaran setiap lokasi pengamatan memiliki karateristik fisika-kimia yang dianggap memenuhi syarat untuk kegiatan pemanfaatan tersebut antara lain kecerahan, salinitas, suhu, pH, dan DO. Analisis PCA dalam penelitian ini menggunakan software XLSTAT 2010. Penentuan kesesuaian pemanfaatan di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan Geographic Information System (GIS) menggunakan ArcGIS ver. 9.2. Secara umum terdapat empat tahapan analisis kesesuaian pemanfaatan yang dilakukan, yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matrik kesesuaian, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) analisis spasial untuk kesesuaian wisata dan perikanan. (1) Penyusunan peta kawasan Gugus Pulau Batudaka Penyusunan peta Gugus Pulau Batudaka menggunakan : (1) Data citra Landsat 7 Enhanced Thematic Mapper (ETM+) tanggal 17 Oktober 2000, dan 12 April 2007 dari BTIC Biotrop, 13 Juli 2000, 16 Juli 2001, 13 Desember 2009, 19 Maret 2010 dan 13 Oktober 2010 (http://glovis.usgs.gov/) (2) Peta Rupabumi
66
Indonesia 1:50.000 wilayah Gugus Pulau Batudaka Lembar 2215-13~14, 221541~42 Tahun 1992 dari Bakosurtanal; (3) Peta informasi bathimetri 1:75.000 perairan Pulau-Pulau Togian-Dishidros Tahun 2008; (4) Data Landuse diperoleh dari pengolahan citra tersebut yang membagi wilayah studi dalam kelas penggunaan lahan untuk pemukiman, terumbu karang, mangrove, padang lamun; (4) Pemanfaatan kegiatan mengacu pada zonasi kawasan yang dirinci dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kepulauan Togean (Bappeda Touna 2007). Proses pengolahan citra Landsat TM untuk pemetaan terumbu karang, mangrove, lamun dengan menggunakan model transformasi Lyzenga (1978) menggunakan software ER Mapper versi 7.0. Klasifikasi penutup lahan dilakukan dengan cara interpretasi visual yaitu dengan cara mendelineasi kenampakankenampakan yang sama ke dalam satu kelas penggunaan atau penutup lahan dengan menggunakan data tutupan lahan yang sudah ada. Penyusunan peta kawasan dengan melakukan query terhadap data GIS dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui. (2) Membuat matriks kesesuaian tiap kegiatan yang ada Penyususnan matriks kesesuaian setiap kegiatan wisata dan perikanan selengkapnya diuraikan sebagai berikut. 3.4.2.1 Wisata
Identifikasi dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas (parameter) setiap jenis kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata, yaitu: 1 Mempunyai keindahan alam yang menarik untuk dilihat dan dinikmati, sehingga
memberikan rasa relaksasi dan memulihkan semangat daya
produktivitasnya; 2 Memiliki keaslian panorama alamnya (pantai berpasir, terumbu karang, ikan hias) dan keaslian budaya; 3 Keunikan ekosistemnya; 4 Di lokasi wisata tidak ada gangguan binatang buas, arus berbahaya, angin besar dan topografi dasar laut yang curam; 5 Tersedianya sarana dan prasarana (mudah dijangkau, baik melalui darat maupun laut, dan kemungkinan pengembangan aksesibilitas cukup baik, dekat dengan restoran, tempat penginapan, dan ketersediaan air bersih).
67
Pemanfataan ruang berdasarkan parameter biofisik untuk kegiatan wisata yakni jenis wisata minat khusus yang memiliki aktivitas yang berkaitan dengan kelautan baik di atas permukaan laut maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut/selam (scuba diving). Matrik kesesuaian kegiatan wisata di Gugus Pulau Batudaka difokuskan pada kegiaatan wisata selam dan snorkeling, terinci pada Tabel 12, dan 13. Tabel 12 Matriks kesesuaian area untuk wisata kategori selam No.
Parameter
Bobot
S1 (3)
Kelas Kesesuaian (Skor) S2 (2) N(1)
1
Kecerahan perairan (m)
25
>10
6-10
<6
2
Tutupan komunitas karang (%)
25
>75
50-75
<50
3
Jenis life form (unit)
15
>12
7-12
<7
4 5 6
Jenis ikan karang (Genus) Kedalaman terumbu karang (m) Kecepatan arus (cm/det)*
15 10 10
>100 5-15 0-15
50-100 15-30 15-50
<50 >30, <5 >50
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai N : Tidak Sesuai (Not Suitable); Modifikasi Yulianda (2007) * : dinamik berdasarkan musim
Tabel 13 Matriks kesesuaian area untuk wisata ketegori snorkeling No. 1 2
Parameter
Bobot
Kecerahan perairan (m) Tutupan komunitas karang (%)
20 20
S1 (3) <6 >75
Kelas Kesesuaian (Skor) S2 (2) N(1) 6-10 >10 50-75 <50
3
Jenis life form (unit)
15
>12
7-12
<7
4 5
Jenis ikan karang (genus) Kedalaman terumbu karang (m)
15 10
>100 1-5
50-100 5-10
<50 >10
6
Lebar hamparan datar karang (m)
10
>500
50-500
<50
7
Kecepatan arus (cm/det)*
10
0-15
1-50
>50
Keterangan: S1 :Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); Modifikasi Yulianda (2007) * : dinamik berdasarkan musim
3.4.2.2 Perikanan
Kesesuaian ruang untuk perikanan tangkap dilakukan untuk spesies tertentu yang dominan sebagai spesies yang bernilai ekonomis penting. Berdasarkan analisis terhadap hasil tangkapan ikan, diketahui bahwa spesies ekonomis penting yang dominan di Gugus Pulau Batudaka adalah ikan lolosi, ikan kakap dan rumput laut sehingga dibatasi untuk kesesuaian penangkapan ikan karang dan budidaya rumput laut. Kriteria yang diperlukan untuk daerah kegiatan perikanan dari aspek alokasi penetapan ruang terinci dalam Tabel 14 dan 15.
68
Tabel 14 Matriks kesesuaian perairan untuk ikan karang No.
Parameter
1 2 3 4 5 6 7
Bobot
Kedalaman perairan (m) Topografi dasar perairan Kecerahan perairan (m) Perubahan cuaca Kondisi terumbu karang Pencemaran Kelimpahan ikan target (ind/350 m2)
20 10 10 10 20 10 20
Kelas Kesesuaian (Skor) S1 (3) S2 (2) N(1) >5 3-5 <3 Curam landai-curam landai > 10 5 – 10 <5 Jarang sedang sering Baik sedang buruk tidak ada sedikit ada > 200 100 – 200 < 100
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); modifikasi DKP (2006)
Tabel 15 Matriks kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut No.
Parameter
Bobot
1 2 3 4 5 6 7 8
Kedalaman perairan (m) Material dasar perairan Kecerahan (m) DO (ppm) Arus (cm/dt)* Suhu (0C)* Salinitas (‰)* pH*
20 15 15 10 20 10 10 10
S1 (3) 3-15 karang berpasir >10 >7 21-30 28-30 30-32 8.2-8.7
Kelas Kesesuaian (Skor) S2 (2) 2-3 atau >15-40 pasir- pasir berlumpur 5-10 5-7 11-<21 atau >30-45 25-28 atau 30-33 25-<30 atau >32-35 7.0-8.2 atau 8.7-9
N(1) <2 atau >40 lumpur <5 <5 <11 atau >45 <25 atau >33 <25 atau >35 <7
Keterangan: S1 : Sangat Sesuai; S2 : Sesuai; N : Tidak Sesuai (Not Suitable); * : dinamik berdasarkan musim Modifikasi Wijaya (2007)
(3) Memberikan pembobotan dan pengharkatan Pada tahap awal dilakukan pembobotan terhadap beberapa parameter yang berpengaruh terhadap pengembangan wisata dan perikanan menggunakan matriks pembobotan (Tabel 12-15). Proses pemberian bobot dan skor dilakukan melalui pendekatan Indeks Overlay Model (Bonham dan Carter 1994) yaitu : n
S
i '
S
j 1 n
j 1
di mana Si’ = Sj = Wj = n =
j
W
W
j
.........................………....…………………….......... (2)
j
Indeks kesesuaian dari kategori ke-i, i = 4 kategori; Skor parameter ke-j; Bobot parameter ke-j; Jumlah parameter
Pembobotan dilakukan secara bertahap, di mana overlay dilakukan terlebih dahulu pada parameter yang berbobot paling tinggi kemudian hasilnya dioverlay kembali dengan parameter yang berbobot lebih rendah dan seterusnya. Selain itu setiap tema akan dibagi menjadi beberapa kelas yang diberi skor berdasarkan
69
tingkat kesesuaiannya dan hasilnya diperoleh ”nilai akhir” atau ”matriks atribut” yang merupakan hasil perkalian antara bobot dengan skor kelas. Kelas kesesuaian pada penelitian ini, dibagi kedalam 3 (tiga) kategori berdasarkan FAO (1976) dalam Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) yaitu : Kategori (S1) : Sangat Sesuai (highly suitable). Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan tingkatan perlakuan yang diberikan. Kategori (S2) : Sesuai (suitable) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukan/tingkat perlakuan yang diperlukan. Kategori (N) : Tidak Sesuai (Not Suitable) Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. Pada kegiatan ini diperoleh range nilai kesesuaian lahan antara 0-500. Range ini selanjutnya dibagi dalam 3 kelas, sehingga pembagian nilai kesesuaian berikut ini. Nilai 100-233 (N) = tidak sesuai Nilai 234-367 (S2) = sesuai Nilai 368-500 (S1) = sangat sesuai (4) Melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian setiap kegiatan yang ada di Gugus Pulau Batudaka Tahapan dalam analisis spasial ini adalah setelah penyusunan matriks kesesuaian berdasarkan kriteria dan persyaratan masing-masing, yang dilanjutkan dengan kegiatan overlay.
Proses pembobotan semua kegiatan berdasarkan
matriks kesesuaian di atas dilakukan untuk kondisi peralihan musim barat (Oktober 2008), musim barat (Desember 2008), peralihan musim timur (Mei 2009) dan musim timur (Agustus 2009), hal ini dilakukan agar hasil akhir dapat mewakili kondisi musim. Hasil kesesuaian yang diperoleh dioverlay (tumpang susun) untuk mendapatkan daerah kesesuaian pada kondisi musim tersebut serta dioverlay dengan Rencana Zonasi Kawasan berdasarkan RDTR Kepulauan
70
Togean.
Selanjutnya dilakukan analisis beberapa faktor yang mempengaruhi
kesesuaian lahan yang diperoleh, yakni : (a) Keterlindungan perairan Memperhatikan keberadaan terumbu karang sebagai pelindung dan pemecah ombak di perairan wilayah pesisir, daerah teluk dan perairan yang terlindung pulau yang besar ombak dan arusnya relatif rendah dan tenang; (b) Wilayah konservasi atau jalur hijau pantai Memperhatikan keberadaan hutan mangrove dan sumberdaya alam pesisir lainnya yang perlu dilestarikan; (c) Aksesibilitas Meperhatikan sarana/prasarana, jaringan jalan dan bentuk pantai. Hasil
analisis
ini
digunakan
sebagai
bahan
pertimbangan
dalam
merekomendasikan daerah yang berpotensi untuk dikembangkan usaha wisata dan perikanan serta pengembangan potensi wilayah pesisir Gugus Pulau Batudaka. 3.4.3 Analisis Daya Dukung (Ecological Footprint Analysis)
Daya dukung pemanfaatan sumberdaya Gugus Pulau Batudaka untuk kawasan wisata dan perikanan dilakukan dengan menggunakan pendekatan Ecological Footprint Analysis (EFA). Daya dukung menjadi fokus perhitungan EFA, agar pemanfaatan sumberdaya alam menjadi optimal terhadap kondisi populasi dan aktual kegiatan ekonominya. Secara teoritis, EFA bertujuan mengekspresikan kesesuaian area yang produktif secara ekologi terhadap kebutuhan penduduk atau tingkat ekonomi tertentu melalui indeks keruangan (Haberl et al. 2001; Adrianto 2006). 3.4.3.1 Daya Dukung Wisata
EFA untuk aktivitas wisata atau Touristic Ecological Footprint (TEF) :
TEF TEFb TEFe TEFc TEFp TEFf TEFs …….....…….… (3) di mana : TEF= total footprint wisatawan ke Gugus Pulau Batudaka (ha/orang/th) TEFb = jumlah agregat komponen built-up land TEFe = agregat fossil energy land; TEFc = agregat konsumsi food and fibre dari arable land/crop land; TEFp = agregat konsumsi food and fibre dari pasture land;, TEFf = agregat konsumsi food and fibre dari forest land; TEFs = agregat konsumsi food and fibre dari sea space.
71
TEF dari perjalanan wisatawan dengan memanfaatkan sumberdaya dan lahan Gugus Pulau Batudaka (built-up land), dibagi beberapa komponen yaitu transportasi, akomodasi, dan aktivitas (Gossling et al. 2002; Li Peng dan Guihua 2007).
TEFb TEFt TEFa TEFea
…………..………………..……..
(4)
di mana : TEFb = footprint built-up land (ha/orang/tahun) TEFt = footprint transportasi (ha/orang/tahun) TEFa = footprint akomodasi (ha/orang/tahun) TEFea = footprint energi untuk akomodasi (ha/orang/tahun) Komponen built-up land untuk transportasi adalah semua perjalanan yang berhubungan dengan wisata yang menuju dan kembali dari Gugus Pulau Batudaka, dengan mempertimbangkan kebutuhan infrastruktur (jalan dan pelabuhan). Total area perjalanan wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur dalam proses perjalanan. Area yang dibutuhkan tiap wisatawan disebut Built-up land dari komponen transportasi, dihitung dengan membagi total area perjalanan dengan jumlah kedatangan wisatawan (domestik, mancanegara) (Disbudpar Sulteng 2008). TEFt
tj xi
tp xi
……………………………..…...……………..…...….. (5)
di mana TEFt = ecological footprint wisata komponen transportasi (ha/orang/th); tj = luasan area untuk infrastruktur jalan (ha) tp = luasan area untuk infrastruktur pelabuhan) (ha) xi = jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th) Footprint perjalanan wisatawan untuk akomodasi terdiri dari area yang diperlukan untuk akomodasi (guesthouse) dan fossil energy land. Total area akomodasi wisata adalah total area yang dibutuhkan untuk infrastruktur (guesthouse, homestay, dll). Total area diperoleh dengan mengalikan luas area setiap jenis infrastruktur dengan jumlah infrastruktur yang tersedia. Footprint dari built-up land dari akomodasi dihitung dengan membagi total area kebutuhan akomodasi dengan jumlah kedatangan wisatawan pada tahun 2007.
72
n
TEFa
a n 1
n
….......………………….………….………….
(6)
xi
di mana TEFa = ecological footprint wisata komponen akomodasi (ha/orang/th); an = luasan area infrastruktur akomodasi (guesthouse, homestay) (ha), xi = jumlah wisatawan tahun ke-i (orang/th) Footprint energi dari komponen akomodasi dihitung
dengan mengalikan
penggunaan energi (penerangan) tiap guesthouse dengan jumlah guesthouse kemudian dibagi dengan jumlah wisatawan. Aktivitas meliputi kunjungan ke lokasi yang spesifik untuk tujuan wisata bawah laut, rekreasi pantai, olah raga dll. Dalam hal ini, Footprint aktivitas wisatawan yang berhubungan dengan ruang laut (luas yang dibutuhkan untuk wisatawan untuk selam/diving dan snorkeling) dan dianggap merupakan bagian dari buil-up land.
Luasan untuk kegiatan wisata tersebut di Gugus Pulau
Batudaka diperoleh dari hasil analisis kesesuaian lahan menggunakan GIS. Fossil energy land untuk menghitung penggunaan energi (penerangan).
Ketersedian energi dihitung berdasarkan data produksi listrik (PLN dan Non PLN) di Kecamatan Una-Una yaitu sebesar 661 KWH (Bappeda Touna 2007), selanjutnya dikonversi dalam satuan Joule atau sebesar 2.38 GJ/ha/tahun. Konsumsi sandang dan pangan untuk wisata merupakan footprint berdasarkan lahan pertanian (crop land), hutan (forest land), produktivitas ruang laut (sea space) dan padang rumput (pasture land) dihitung degan asumsi bahwa kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi seharian di rumah (Li Peng dan Guihua 2007), sehingga footprint sandang pangan dalam Living Planet Report 2008 (WWF 2008) dapat digunakan untuk menghitung data footprint nasional yang dominan mengunjungi lokasi ini (Perancis, Belanda dan Indonesia). Jumlah sumbangan rata-rata tahunan untuk konsumsi sandang dan pangan adalah 5 hari yang merupakan rata-rata lama tinggal di Gugus Pulau Batudaka. Kategori ruang yang berbeda terhadap total footprint dijumlahkan dengan cara mengalikan area yang ada (hasil GIS) dengan equivalent factors, yang menggambarkan produktivitas relatif rata-rata dunia (ha) dalam tipe lahan yang berbeda.
Equivalent factors dapat digunakan dalam perhitungan biocapacity,
dinyatakan dalam satuan global hektar (gha) (Gossling et al. 2002; WWF 2008).
73
Dalam konteks ini, pemanfaatan sumberdaya secara optimal tercapai apabila nilai EF sama dengan nilai kapasitas biologis (biocapacity) dari sumberdaya alam yang dianalisis. Sementara itu biocapacity (BC) dapat dihitung dengan menggunakan rumus BC (Lenzen dan Murray 2001) :
BCi AiYF ......................................…………………………....….. (7) di mana : BCi = biocapacity ruang ke-i yang diperlukan untuk wisata Ai = luas land cover ruang ke-i (ha); YF = yield factor land cover. Yield factor land cover yang digunakan dalam perhitungan biocapacity pada
pendekatan ecological footprint di sini, didasarkan pada setiap tipe land use (Lenzen dan Murray 2001; WWF 2008). Selanjutnya daya dukung lingkungan (CC/carrying capacity) dihitung dengan rumus :
CCi
BCi EFi
…………....………..………………………………….... (8)
di mana CCi = carrying capacity ke-i untuk wisata (orang) BCi = biocapacity ruang ke-i untuk wisata (ha) EFi = ecological footprint wisata ke-i (ha/orang) 3.4.3.2 Daya Dukung Perikanan
Pendekatan ecological footprint/EF secara statis (Moffat 2000) dengan memperhitungkan
kebutuhan
produktivitas
primer
(Primary
Productivity
Requirements/PPR) (Pauly dan Christensen 1995; Wada 1999 dalam Adrianto dan
Matsuda 2004). Secara teoritik, sistem perairan dibagi menjadi 6 yaitu : (1) sistem perairan terbuka (Open Oceanic System), (2) Sistem Upwelling, (3) Tropical Shelves, (4) Non Tropical Shelves, (5) Coastal and Coral System dan (6) Freshwater System (sungai dan danau) (Pauly dan Christensen 1995).
Selanjutnya dinyatakan produktivitas primer (PP/ primary productivity) untuk masing-masing sistem tersebut adalah : (1) 103, (2) 973, (3) 310, (4) 310, (5) 890 dan (6) 290 gC/m2/th. Kebutuhan produktivitas primer tiap jenis ikan dapat dihitung berdasarkan tabel referensi tiap kelompok ikan berdasarkan rata-rata trohpic level (TL) dari sistem perairan. Untuk Gugus Pulau Batudaka ada dua
sistem yaitu Tropical Shelves dan Coastal and Coral System. Tropik level untuk kedua sistem tersebut tertera pada Tabel 16.
74
Tabel 16 Tropik Level berbagai jenis ikan untuk Gugus Pulau Batudaka Sistem Perairan Tropical shelves
Kelompok Spesies Small Pelagics Misc. teleosteans Jack, Mackerel Tuna, bonitos, bilifishes Squids, cuttlefish, octopuses Shrimps, prawn Lobster, crabs, other Sharks, rays, and chimaeras Bivalves and other mollusca Misc. Marine fishes Herrings, sardines and anchovies Seaweeds Jack, Mackerel Diadromous Fishes Shrimps, prawn Turtles
Coastal and Coral System
Tropic Level 2.8 3.5 3.3 4.0 3.2 2.7 2.6 3.6 2.1 2.8 3.2 1.0 3.3 2.8 2.6 2.4
Sumber : Pauly and Christensen (1995).
PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen (1995) yaitu :
PPRi
Ci 10(TLi1) ………..………………………..…..…………... (9) 9
di mana : PPRi = kebutuhan produksivitas primer spesies ikan ke-i; C = hasil tangkapan spesies ikan ke-i, C dibagi 9 sebagai konversi berat atom C (Wada 1999 dalam Adrianto dan Matsuda 2004); TL-i = rata-rata jumlah transfer tropic level produktivitas primer hasil tangkapan ke-i. Estimasi EF sumberdaya perikanan secara statis dimulai dengan produksi utama biomassa ikan di Gugus Pulau Batudaka Kecamatan Una-Una (Tabel 17) dan di perairan Kabupaten Tojo Una-Una (Lampiran 1). Jika rata-rata efisiensi transfer adalah 10% (Pauly dan Christensen 1995) maka ruang ekologis sistem perairan untuk Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung dengan formula (Wada 1999 dalam Adrianto and Matsuda 2004) sebagai berikut. n
EFa
PPR
ia
i 1
PPa
……..…………………………………....………… (9)
di mana : EFa = ruang ekologis sistem perairan a; PPRia = kebutuhan produktivitas primer spesies i di sistem perairan a; PPa = produktivitas primer sistem perairan a; n = jumlah ikan
75
Tabel 17 Produksi ikan di Kecamatan Una-Una Tahun 2005-2008 Nama Indonesia/lokal
Kerapu sunu
Nama Inggris
Grouper Giant sea pearch/Baramundi Frigate mackerel
Kakap Tongkol Teri/lureh/ rono
Commerson's anchovy (Anchovies)
Ekor Kuning/lolosi Teripang
Spotted spanish mackerel (Indopasific king mackerel) Redbely yellow tail fusilier Sea cucumber
Kepiting bakau Udang Barong
Mud carb Spiny lobster
Gurita
Octopuses
Tenggiri
Nama Ilmiah
Volume (kg)* 2005
2006
Sistem
2007
2008
Perairan
Trophic Level
Plecrtopormus leopardus
4 346
5 348
4 229
3 461
2
2.8
Lutjanus sp.
7 963
7 880
5 753
8 060
2
2.8
Auxis sp. Stolephorus commersonii (Stolephorus sp.)
15 200
12 000
12 600
15 060
1
4.0
6 850
7 700
6 685
4 500
1
2.8
450
250
450
150
1
4.0
Caesio cuning
6 220
5 150
4 160
3 831
2
2.8
Stichopus sp Scylla serata Penulirus sp Octopus
2 070
839
624
1 319
2
2.4
80 585
175 75
145 560
185 115
2 2
2.6 2.6
300
230
830
280
2
3.2
Scomberomorus guttatus
Sumber : * Data Primer Terolah, DKP Kec. Una-Una 2006-2009 Keterangan : 1) Tropical Shelves; 2) Coastal and Coral System
3.4.4 HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productvity)
Analisis metabolisme sosial ekologis gugus pulau kecil dapat dilakukan menggunakan pendekatan HANPP yang dikembangkan Haberl et al. (2004). Profil metabolik masyarakat lokal dan regional dapat digambarkan secara statistik melalui pendekatan HANPP berupa pertambahan dan kepadatan penduduk, produksi perikanan laut, serta tata guna ruang perairan. HANPP dapat menggambarkan ekstraksi sumberdaya perikanan pada ekosistem di Gugus Pulau Batudaka berdasarkan kebutuhan produktivitas primer (Primary Productivity Requirements/ PPR). Formula HANPP :
HANPP PPRo PPRh
..................................................................... (10)
di mana : HANPP = Kebutuhan produktivitas primer untuk perikanan (kJ); PPRO = potensial kebutuhan produktivitas primer (kJ) diperoleh dari PPR spesies ikan dihitung berdasarkan Pauly dan Christensen (1995) dikalikan energi spesies ikan (kJ/100 g); PPRh = produksi tiap spesies ikan (volume of landing, kg) dikalikan energi spesies ikan (kJ/100 g) (Adrianto dan Matsuda 2004). Selanjutnya efisiensi tiap spesies ikan dapat dihitung dengan membandingkan HANPP dengan PPRh.
76
3.4.5 Analisis Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir (Coastal Livelihood System Analysis-CLSA)
Analisis sosial dan budaya dengan melibatkan masyarakat dilakukan dengan metode pengkajian CLSA merupakan salah satu penilaian yang objektif dalam menentukan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat pesisir (Adrianto, 2005).
Tahapan yang dilakukan adalah: (1) Pengumpulan informasi tentang mata pencaharian masyarakat dan kondisi sumberdaya alam; (2) Menganalisis pengaruh masyarakat pesisir terhadap kondisi sumberdaya alam; (3) Identifikasi kebutuhan masyarakat pesisir Gugus Pulau Batudaka; (4) Pemilihan insentif; (5) Menyusun strategi pilihan mata pencaharian. 3.4.6
Valuasi Ekonomi Pemanfaatan Gugus Pulau
Perhitungan nilai ekonomi sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil (PPK) dimulai dari analisis supply merupakan identifikasi potensi dan kondisi sumberdaya yaitu tipologi PPK meliputi tipe ekosistem, tipe spesies dan komunitas yang ada di dalamnya yang dilakukan penilaian ekonomi berbasis pada teknik valuasi yang relevan untuk setiap sub-tipologi tersebut (Huttche et al. 2002; Adrianto 2005).
Teknik penilaian ekonomi penelitian ini melalui
identifikasi manfaat dan biaya (benefit dan cost) kegiatan wisata dan perikanan. 3.4.6.1 Wisata
Manfaat objek wisata dan barang-barang lingkungan lainnya digunakan pendekatan valuasi ekonomi objek wisata yakni Travel cost method (TCM). TCM atau metode valuasi dengan biaya perjalanan merupakan salah satu teknik penilaian yang secara konsep dapat dipergunakan untuk: (1) menilai daerah tujuan wisata alam; (2) dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata; (3) biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan, makan, dan penginapan; serta (4) surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut (Kusumastanto2000).
77
Penawaran (supply) wisata pada dasarnya merupakan gambaran dari kuantitas dan kualitas dari jasa yang ditawarkan oleh pihak pengelola wisata pada tingkat harga tertentu. Jasa yang ditawarkan berupa atraksi wisata pada berbagai tingkat harga, ditentukan oleh beberapa faktor seperti: harga atraksi wisata itu sendiri; harga atraksi wisata yang lain; biaya pengelolaan dan tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno, 2002). Laju pertumbuhan penawaran produk wisata akan tergantung dari biaya dan jumlah produk yang ditawarkan, sehingga untuk menduga laju penawaran produk wisata atau mengestimasi kurva penawaran produk wisata bahari diturunkan dari fungsi biaya (khususnya biaya jangka pendek). Beberapa atribut yang mempengaruhi laju penawaran dapat diperoleh melalui analisis regresi linear berganda menggunakan Excel dan kurva penawaran dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Mapple 9.5. Hubungan penawaran/derived supply kunjungan wisata diperoleh dengan melakukan regresi pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan
Perhitungan penawaran wisata terkait dengan kegiatan pelayanan
wisata oleh perusahaan yang berkonsekuensi pada biaya produksi. Total biaya (TC) yang dikeluarkan perusahaan wisata merupakan fungsi penawaran yang nilainya tergantung dari jumlah kunjungan turis (V) atau secara matematis dituliskan TC = f(V). Pada umumnya peubah yang dimasukkan dalam fungsi hanyalah peubah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling berpengaruh dalam hal ini diantaranya adalah biaya konsumsi dan akomodasi (V1) biaya pemeliharaan fasilitas wisata (V2) sebagai peubah bebas dan peubah tidak bebasnya adalah Total cost (TC) yakni biaya operasional yang dikeluarkan pengusaha untuk melayani wisatawan atas semua atraksi/produk wisata yang disuguhkan, sehingga fungsi penawaran produk wisatanya adalah :
TC = β0 + β1 Ln V1 + β2 (V2)2 ............................................. (11) di mana : TC V1 V2 β0 β1 β2
= Total biaya operasional pengusaha wisata (US$) = Biaya konsumsi dan akomodasi (US$) = Biaya pemeliharaan setiap kunjungan wisatawan (US$) = nilai variabel dari total biaya operasional = nilai variabel dari biaya konsumsi dan akomodasi = nilai variabel dari biaya pemeliharaan setiap kunjungan
78
Permintaan (demand) umumnya diartikan jumlah dari suatu barang atau jasa yang dapat dibeli oleh konsumen pada berbagai kemungkinan harga, dalam jangka waktu tertentu dengan anggapan hal-hal lain tetap sama atau ceteris paribus. Permintaan wisata umumnya diapresiasikan dalam bentuk daftar volume
atau tingkat kunjungan yang dilakukan pada berbagai tingkat biaya perjalanan. Keinginan seseorang untuk melakukan rekreasi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti umur, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, waktu luang yang dimilikinya, dan tempat tinggal (Sukirno 2000). Analisis permintaan (demand) untuk wisata dapat digunakan pendekatan Travel Cost Method (TCM) berdasarkan Fauzi (2004) dan Adrianto (2006). TCM
merupakan metode yang mengkaji biaya yang dikeluarkan tiap individu untuk mendatangi tempat wisata di sekitar lokasi penelitian. Prinsip yang mendasari adalah bahwa biaya yang dikeluarkan untuk berwisata ke suatu area dianggap sebagai ’harga’ akses area tersebut. Jarak merupakan faktor yang menentukan biaya perjalanan untuk mengunjungi suatu kawasan wisata. Pendekatana zonasi dapat digunakan bila data mengenai jumlah pengunjung berdasarkan zona (jarak ke kawasan wisata) tersedia. Namun, bila data jumlah pengunjung menurut zona tidak tersedia maka dapat dilakukan pendekatan individu untuk menghitung consumer surplus.
Analisis biaya perjalanan yang digunakan di sini adalah
dengan pendekatan individu, dengan tahapan (Fauzi 2004; Adrianto 2006; Sobari 2007; Yudasmara 2010) : (1) Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisata ke lokasi tersebut (seperti biaya perjalanan, pendapatan, jarak ke lokasi wisata, umur, tingkat pendidikan ; (2) Mengumpulkan data tentang faktor-faktor yang sangat mempengaruhi permintaan, dalam penelitian diperoleh biaya perjalanan, pendaatan, jarak ke lokasi wisata merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kunjungan wisata; (3) Menentukan derived demand diperoleh dengan melakukan regresi pada variabel yang dinilai berpengaruh terhadap jumlah kunjungan. Pada umumnya peubah yang dimasukkan dalam fungsi hanyalah peubah yang memiliki pengaruh yang sangat kuat. Peubah yang paling berpengaruh adalah biaya perjalanan (TC), pendapatan (Y) dan jarak ke lokasi wisata (D). Untuk model
79
zonasi, dilakukan regresi untuk masing-masing zona sehingga diperoleh fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk masing-masing zona. Fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk model zonasi adalah sebagai berikut :
lnVi 0 1 lnTCi 2 lnYi 3 ln Di …………………….… (12) di mana : Vi = trip kunjungan individu ke-i; TCi = biaya perjalanan individu ke-i; Yi = pendapatan individu ke-i; Di = jarak ke lokasi wisata dari lokasi asal individu ke-i; β0 = nilai parameter dari trip kunjungan; β1 = nilai parameter dari biaya perjalanan; β2 = nilai parameter dari pendapatan; β3 = nilai parameter dari jarak ke lokasi wisata; (4)
Menghitung consumer surplus
Setelah mendapatkan kurva permintaan, selanjutnya dapat diperkirakan manfaat ekonomi yang diperoleh dari kunjungan wisata. Manfaat ekonomi tersebut diukur dari surplus konsumen wisatawan. Surplus konsumen adalah perbedaan antara keinginan masyarakat untuk membayar dengan apa yang dibayarkan konsumen, dihitung dengan langkah-langkah berikut : (a) Masukkan rata-rata peubah bebas ke dalam persamaan (12); (b) Selanjutnya CS dihitung dengan menggunakan formula di bawah ini :
CS j _
Vi
1
........................................................................................ (13)
di mana : CSi = consumer surplus individu ke-i; Vi = jumlah kunjungan individu ke-i; β1 = nilai parameter dari total biaya perjalanan (5) Menghitung total benefit (nilai rekreasi) lokasi wisata Dalam model zonasi, maka Total Benefit (TB) diperoleh dengan menjumlahkan benefit per zona dengan formula berikut :
TB
n
CS i 1
di mana : TB CSi TV n
i
TV ....................................................... (14)
= total manfaat ekonomi lokasi wisata = consumer surplus individu i = total kunjungan per tahun (diambil data sekunder) = jumlah pengunjung
80
3.4.6.2 Perikanan
Manfaat dari kegiatan perikanan (Gordon 1954 dalam Ruslan 2005) di Gugus Pulau Batudaka dapat dihitung secara matematis : ……....……..……………....................…...…......…
(15)
P nY Pn X n ………..……....….…….……..…………...……..
(16)
TR TC
di mana : π = keuntungan; TR = total revenue (penerimaan total); TC = total cost (biaya total); Pn = harga per satuan produk ikan (Rp/kg); Y = pendapatan dari total produksi ikan (kg); Xn = jumlah input yang digunakan (unit).
3.4.7 Analisis Dinamik Strategi Pengelolaan
Struktur dasar dari model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka yang dibangun mekanismenya dimulai dari masukan, proses, keluaran dan umpan balik. Mekanisme kerja berkelanjutan yang menunjukkan adanya perubahan menurut waktu atau bersifat dinamis.
Perubahan tersebut akan
menghasilkan petunjuk kerja model yang dapat diamati perilakunya. Adapun struktur model dalam penelitian ini tertera pada Gambar 15. EKOSISTEM
SUB MODEL WISATA
SUB MODEL PERIKANAN
MODEL INTEGRASI OPTIMAL
ARAHAN KEBIJAKAN
Gambar 15 Struktur model integrasi pengelolaan wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka
81
Konsep model awal merepresentasikan secara kualitatif seluruh aspek relevan dari sistem yang akan dibangun (Grant et al. 1997) dengan tahapan sebagai berikut : 1 Penetapan tujuan, yaitu untuk megestimasi daya dukung lingkungan berbasis ekologi kawasan terkait dengan dinamika kegiatan wisata dan perikanan. 2 Batasan sistem yang dibangun pada model integrasi wisata- perikanan adalah : - Sub model wisata - Sub model perikanan Selanjutnya komponen-komponen yang didalam sub model tersebut ditentukan dan dikelompokan sesuai fungsinya. 3
Identifikasi hubungan antar komponen. Secara kualitatif, struktur model yang dibangun digambarkan dalam diagram alir (Causal loop diagram/CLD) untuk memahami bagaimana proses, informasi dan strategi dari struktur sistem yang dibangun (Gambar 16-20). Secara kuantitatif, struktur model yang dibangun diuraikan masing-masing
sebagai berikut.
3.4.7.1 Sub Model Daya Dukung Wisata
Perumusan model wisata Gugus Pulau Batudaka pada kondisi ecological footprint 10 tahun ke depan dan prediksi pertumbuhan jumlah wisatawan sebagai
dasar dalam membangun causal loop dan model dinamik yang diacu dari Solarbesain (2009), yang merupakan pengembangan konsep dan hasil perhitungan touristic ecological footprint (TEF) dan biocapacity secara manual (Lihat Sub
3.3.2) Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan Gugus Pulau ini dengan segala sumberdaya yang ada di dalamnya untuk mendukung jumlah wisatawan yang datang berkunjung di kawasan tersebut. Causal loop model konseptual dari TEF tertera pada Gambar 16.
82
+ Luas Pengnp
+ Luas Pelab
EF Jalan
+
Luas Jalan
+
+
Total EF W isata
+
Existing Pasture Land
+ +
+
EF Energi
+
EF Sandang Pangan
+
Existing Built-up
+ Forest Land
Biocapacity
Konsumsi Energi
+
+
-
+ Existing Energy
+
+ +
+ + Pasture Land
Existing Fishing Ground
Existing Pasture Land
Gambar 16 Causal loop daya dukung wisata 3.4.7.2 Sub Model Perikanan
Pendekatan secara konseptual untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang khas dimana aliran cadangan sumberdaya ikan (flow of fish stock) menjadi faktor penting dalam keberlanjutan kegiatan ini, sehingga dinamika sumberdaya perikanan menjadi titik sentral bagi optimasi pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan ini, selain faktor populasi dan degradasi lingkungan. Sektor Populasi
Verhulst model untuk variabel populasi penduduk di Gugus Pulau Batudaka diberikan sebagai berikut :
N r r0 1 ……….....………………...…………....….……………(16) K di mana r = laju pertumbuhan penduduk ro = laju pertumbuhan awal; N = jumlah populasi penduduk pada waktu tertentu (orang);
+
+
+
+
+
Area W . Pantai
EF Aktivitas
+
Total Turis Existing Cropland
+
+
EF BuiltUp
+
Area Snorkeling
+ +
+
+
Area Selam
+
EF Pelabuhan
+
Lama W isata
EF Penginapan
+
Jumlah energi Sea Space
Forest Land
83
K = batas atas jumlah populasi (orang) Laju pertumbuhan populasi penduduk akan turun pada saat jumlah penduduk
(populasi) sebesar N dan akan sama dengan 0 ketika N = K, di mana parameter K adalah batas atas dari pertumbuhan populasi. Dinamika populasi selanjutnya dinyatakan secara formal sebagai berikut :
N dN rN r0 N 1 .....................................................................(17) dt K Persamaan di atas memiliki solusi :
N
t
N
0
N 0K K N 0 e ro t
................................................ (18)
di mana Nt = populasi pada saat t (orang); N0 = populasi awal (orang); K = populasi maksimal (orang); r0 = pertumbuhan bersih populasi setelah mempertimbangkan fertility, mortality, dan migration multiplier. Causal loop model konseptual dari sektor populasi tertera pada Gambar 17. Emigrasi +
+
Kelahiran
+
Populasi Penduduk
+
+
+
+
-
-
-
-
Kematian
+
Imigrasi
Gambar 17 Causal loop populasi Sektor Produksi Perikanan
Dasar pemikiran untuk sektor produksi perikanan adalah seberapa besar sumberdaya perikanan mendukung konsumsi dan kehidupan penduduk di gugus Pulau Batudaka. Variabel terpenting dalam analisis dinamika perikanan adalah variabel produksi perikanan (yields). Tidak seperti sumberdaya lainnya, cadangan
84
sumberdaya perikanan tidak dapat diestimasi secara langsung. Produktivitas perikanan dapat diduga dengan menggunakan pendekatan model kuantitatif . Dalam literatur perikanan, terdapat 2 tipe model fungsional yang sering digunakan dalam pendugaan produktivitas perikanan yaitu model logistik dan model Gompertz (Tai et al. 2001). Model logistik diberikan sebagai berikut :
X dX rX t 1 t dt K
ht .………..…………………..……...…….. (19)
sedangkan model Gompertz diformulasikan sebagai berikut :
K dX rX t ln dt Xt
ht .....……………….……………..…….....….. (20)
di mana r = intrinsic growth rate, K = daya dukung lingkungan; ht = laju penangkapan (harvest rate) yang biasanya diasumsikan sebagai ht = qEtXt, di mana q adalah koefisien tangkap (catchability coefficient), E adalah tingkat upaya tangkap (fishing effort), dan X adalah biomassa ikan. Untuk menyelesaikan model di atas dan menduga parameter-parameter r, K dan q, digunakan pendekatan model Schnute untuk menyusun persamaan surplus produksi. Pendekatan Schnute tersebut adalah :
CPUET 1 r CPUEt CPUEt 1 q Et Et 1 ..................... (21) Ln r Kq 2 CPUEt Dengan menggunakan pendekatan sistem dinamik, perilaku variabel populasi dan produktivitas perikanan akan dianalisis untuk mengestimasi tingkat pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan. Causal loop model konseptual dari sub-sub model produksi perikanan skala lokal (Kecamatan Una-Una) dan regional (Kabupaten Tojo Una-Una) tertera pada Gambar 18-19.
85
Area lokal + +
Pertumbu han Marjinal
+
+
Produksi Ikan lokal per area
+
Biomassa Ikan
-
-
Produksi Ikan Lokal
+ Fraksi Tangkapan
-
Kematian Ikan
Koefisien Tangkap
+
+
Jumlah armada
+
+
Gambar 18 Causal loop produksi perikanan lokal Area regional + +
Pertumbu han Marjinal
+
+
Produksi Ikan lokal per reg
+
Biomassa Ikan
-
Produksi ikan reg
-
+ Fraksi Tangkapan
-
Kematian Ikan
Koefisien Tangkap
+
+
Jumlah trip
+
+
Gambar 19 Causal loop produksi perikanan regional Sektor Daya Dukung Perikanan
Model dasar daya dukung perikanan berdasarkan Ecological Footprint dinamik dapat diformulasikan dengan persamaan : EFij
DEij Ylokij
IM ij Yregij
EX ij Ylokij
...................................…..…….………… `(22)
di mana : EFij = ecological footprint perikanan di pulau ke-i (ha/orang); DEij = produksi domestik perikanan ke-i (kg/orang); IMij = produksi perikanan yang diimpor dari pulau lain (kg/ ha); EXij = produksi perikaan yang diekspor ke pulau lain (kg/ ha); Ylok ij = yield (produktivitas) perikanan lokal di pulau ke-i (kg/ha); Yreg ij = yield (produktivitas) perikanan regional di pulau ke-i (kg/ha).
86
Elemen dasar dari model tersebut dalam literatur Ecological Footprint disebut konsumsi riil (Apparent Consumption) yang digunakan untuk mengukur konsumsi sesungguhnya terhadap sumberdaya (Haberl 2001). ACt DEt IMt EXt ............................................................................ (23)
di mana : ACt = konsumsi riil (kg) DEt = produksi domestik (kg) IMt = jumlah produksi perikanan yang diimpor pada tahun ke- t (kg) EXt = jumlah produksi perikanan yang diekspor pada tahun ke-t (kg) Impor produk perikanan dapat diestimasi rumus seperti yang diuraikan Adrianto dan Matsuda (2004) :
IM t CPpot CPact t Pt b ………………………....................… (24) di mana IMt = estimasi impor ikan pada tahun ke-t (kg); CPpot = konsumsi ikan potensial pada tahun ke-t (kg/orang); CPact = konsumsi ikan aktual kapita pada tahun ke-t (kg/orang); Pt = populasi pada tahun ke-t (orang); t = waktu; b = koefisien penangkapan. Adapun causal loop model konseptual dari sektor daya dukung perikanan tertera pada Gambar 20.
87
+
+
Data Domestik +
+
Impor EF +
+
Produksi Regional
Laju Konsumsi Domestik
Total EF
-
Produksi Lokal -
EF Perikanan
Area Lokal
Ekspor EF +
+ Data Impor
+
+
Faktor Ekivalen
Data Ekspor
+ Area Regional Gambar 20 Causal loop daya dukung perikanan 3.4.7.3 Analisis Integrasi Wisata Perikanan
Integrasi Wisata-Perikanan digambarkan dalam diagram alir seperti yang tertera pada Gambar 21.
88
+ + Luas Pengnp
+ Luas Pelab
Area Selam
+
+
+
EF Jalan +
+ EF BuiltUp
+ +
Luas Jalan
+
Total EF Wisata Existing Built-up
+
Existing Pasture Land
+ + Existing Pasture Land
+
Existing Fishing Ground
+
Pasture Land
Laju Konsumsi Domestik
+
-
-
-
Kematian
+
-
+
+
Produksi Regional
Imigrasi
Produksi Lokal
+
-
Total EF
-
+
+ Data Impor
Area Lokal
Ekspor EF
EF Perikanan
Faktor Ekivalen
+
Data Ekspor +
+ +
Area Regional +
Forest Land
+
+
Petumbuhan Marginal 2
+ +
+
+
Biomassa Ikan 2
Kematian Ikan 2
+
Impor EF
Sea Space
+
+
+
Jumlah energi
+
EF Sandang Pangan
+
Forest Land
Biocapacity
+ Existing Energy
+
+
Populasi Penduduk
+
+
+
EF Energi
+
+
Kelahiran Konsumsi Energi
+
+ Total Turis
Existing Cropland
+
+
Data Domestik
+
+
+
+
+
+
+
Area W. Pantai
EF Aktivitas
+
+
+ Emigrasi
Area Snorkeling
+
+
EF Pelabuhan
+
Lama Wisata
EF Penginapan
+
+
-
Produksi Ikan Regional per area
Produksi Ikan Regional +
+
-
Jumlah armada
Fraksi Tangkapan 2
+
Pertumbu han Marjinal
Koefisien Tangkap 2 +
+
+
Produksi Ikan lokal per area
+
Biomassa Ikan
-
Kematian Ikan
Produksi Ikan Lokal
+
+
Gambar 21 Causal loop model integrasi wisata-perikanan di Gugus Pulau Batudaka
Jumlah trip
Koefisien Tangkap
+ + Fraksi Tangkapan +
+
89
3.4.7.4 Verifikasi dan Validasi Model
Prediksi alur proses dari pemanfaatan ruang Gugus Pulau Batudaka dianalisis menggunakan software Stella®Research 8.0.2 untuk memperoleh model optimal berdasarkan kesesuaian pemanfaatan dan daya dukung. Tahapan verifikasi model sebagai pembuktian bahwa model komputer yang telah disusun pada tahap sebelumnya mampu melakukan simulasi dari model abstrak yang dikaji (Eriyatno 1999). Adapun tahapan yang dilakukan adalah tahap analisis perilaku model dan evaluasi model. Pada tahap analisis perilaku model, model simulasi komputer digunakan untuk menyatakan serta menentukan bagaimana semua peubah dalam model berperilaku terhadap waktu. Dalam model dinamik ini, yang akan diamati secara cermat adalah bagaimana informasi dari peubahpeubah model dalam sistem pemanfaatan ruang untuk wisata dan perikanan di Gugus Pulau Batudaka berperilaku terhadap semua titik pada jalur waktu. Informasi ini akan sangat berguna dalam proses pengujian atau evaluasi model dan mengestimasi kualitas luaran (output) dari operasi model tersebut. Pada tahap evaluasi model, berbagai uji harus dilakukan terhadap model yang telah dibangun untuk mengevaluasi atau validasi suatu model. Keabsahan suatu model dapat dilihat melalui proses secara iteratif berupa pengujian secara berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Uji ini berkisar dari memeriksa konsistensi logis sampai membandingkan luaran model dengan data pengamatan, atau lebih jauh menguji secara statistik parameter yang digunakan di dalam simulasi model (Masyahoro et al. 2004). Verifikasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun dengan cara yang benar, sedangkan validasi model untuk mengetahui apakah model yang dibangun adalah model yang benar. Penentuan cara pengujian yang paling tepat untuk memvalidasi suatu model dilakukan melalui pendekatan (1) berdasarkan asumsi model, yakni pemeriksaan secara kritis atas asumsi-asumsi dasar yang dibuat pada model yang dibangun, (2) berdasarkan model behavior, yakni hanya menguji kesesuaian antara perilaku model dengan perilaku sistem nyata, (3) berdasarkan asumsi dan perilaku model, yakni pemeriksaan asumsi, dan menguji kesesuaian perilaku model dengan sistem nyata (Murthy et al. 1990).
90
Sintesis dari keseluruhan analisis berdasarkan kerangka pikir penelitian tertera pada tabel berikut. Tabel 18 Keterkaitan tujuan dengan metode penelitian No. 1
Tujuan Menganalisis interaksi sifat ekologis perairan dan mengestimasi daya dukung lingkungan dan sumberdaya kawasan Gugus Pulau Batudaka yang dapat dimanfaatkan bagi kegiatan wisata dan perikanan berkelanjutan
2
Merumuskan pengelolaan wisata-perikanan yang terintegrasi secara spasial di Gugus Pulau Batudaka.
Metode Analisis Kesesuaian Pemanfaatan (GIS) Analisis Kelayakan Pemanfaatan : - Ekologi (Ecological Footprint análysis) - Sosial/kelembagaan (HANPP dan CLSA) - Valuasi Ekonomi Analisis Dinamik