3 METODOLOGI
3.1 Pengantar Bab ini berisi deskripsi metode penelitian yang dipakai. Penelitian ini pada pokoknya merupakan studi kualitatif. Format studi etnografi menjadi pilihan utama, sebagai suatu alternatif metode, karena selama ini berbagai metode telah dicoba untuk memahami fenomena destructive fishing, tetapi belum memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa metode penunjang yang juga diterapkan bersamaan dengan metode etnografi ini adalah metode Ethnoscience, metode wawancara semistruktural, indepth interview dan focus group discussion (FGD). Tahap penelitian dibagi dua, yakni tahap pemahaman lokasi dan masalah, kemudian dilanjutkan tahap pendalaman. Tahap pemahaman lokasi dan masalah merupakan pengenalan area dan masyarakat yang diteliti. Proses identifikasi lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan buatan dilakukan. Beberapa alat bantu seperti pembuatan peta, pencatatan statistik kependudukan, penyusunan silsilah keluarga, jaringan sosial, penyusunan kelompok-kelompok kerja nelayan,
penyusunan berkas-berkas perkara nelayan yang menggunakan
teknologi perusak, dan lain-lain.
Setelah memahami kondisi pulau dan
masyarakatnya, maka dilakukan tahap pendalaman terhadap topik-topik yang menjadi perhatian dari disertasi ini. Adapun rincian metodologi selengkapnya lihat pada Tabel 1.
36
Tabel 1 Rangkaian proses penelitian perilaku para pihak dalam kegiatan penangkapan ikan No Proses Cara Hasil 1
Pengumpulan Informasi awal
FGD, informasi awal, diskusi ahli, Gambaran literatur, peta dan buku, klipping umum DF dan koran-koran Ujung Pandang, hasil- area riset hasil penelitian,rujukan dokumen.
2
Masuk masyarakat
Ijin resmi riset, barang perkenalan, rapport baik dari masyarakat jadi anggota keluarga Pa’es
3
Pengumpulan Data
-metode etnografi, wawancara semi-struktural, observasi, FGD, metode sejarah, pendekatan etnosains, rujukan dokumen
data kenelayanan, data fisik dan sosial pulau, kegiatan ekonomi, perspektif stakeholder,
4
Cara Analisis
Pendekatan etnosains dengan cara : -kontekstual data -reduksi data -Perbandingan data
-situasi sosial ekonomi perbedaan perspektif
5
Membahas Analisis
deskriptif, bagan alir, tabulasi, - perspektif emic gambar, taksonomi sosial dan - realita sosial DF decision trees
3.2 Format studi etnografi Manusia mempunyai kecenderungan untuk
memuaskan rasa ingin
tahunya tentang sesuatu hal yang menarik hatinya. Jika keingintahuannya itu ditindaklanjuti dengan perbuatan melakukan pengamatan dan atau percobaan yang diorganisasikan secara sistematis, itulah yang dikatakan penelitian (ilmiah). Dalam praktek banyak cara mengungkapkan pertanyaan (yang berdasar keingintahuan), juga banyak cara sistematis yang dapat digunakan untuk menyelidiki pertanyaan itu. Demikian pula, banyak kemungkinan memberikan interpretasi terhadap setiap jawab dari setiap pertanyaan tersebut.
37
Tugas dalam penelitian ialah bertanya dengan menggunakan pertanyaan yang tepat, memilih strategi cara terbaik untuk mendapatkan jawabnya, dan menginterpretasikan temuannya sebagai dasar dalam membuat kesimpulan. Ketiga tugas inilah yang selalu dikerjakan dalam setiap penelitian. Untuk
keperluan
penelitian
ini
metode
etnografi
dipilih
untuk
mendeskripsikan kebudayaan komunitas Pulau Barrang Lompo. Konsep kebudayaan yang dipilih erat kaitannya dengan penerapan metode etnografi. Bila konsep kebudayaan yang digunakan berbeda maka sangat mungkin hasilnya berbeda, diantaranya adalah sangat mungkin ditemukan unsur-unsur universal yang berbeda dari kebudayaan (Kohl, 1991; Ellen, 1984). Pada dasarnya, ada dua kelompok besar pengertian kebudayaan yang digunakan para ahli antropologi. Pengertian pertama adalah yang melibatkan definisi yang menyeluruh; kebudayaan hampir segala-galanya terdiri dari keseluruhan yang meliputi aspek ideal, aspek tindakan dan aspek material (Koentjaraningrat, 1985). Ada dua implikasi dari konsep ini, yaitu bahwa ada unsur-unsur universal yang bisa ditemukan pada semua kebudayaan, sehingga kebudayaan berbagai suku bangsa dapat dibandingkan; dan implikasi lainnya bahwa metode etnografi ini hanya bisa diterapkan untuk menggambarkan kebudayaan dari masyarakat yang masih ’murni’. Konsep kebudayaan yang lain, misalnya yang diungkapkan oleh Geertz (1993). Kebudayaan adalah keseluruhan alam pikiran - sistem pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat dan merupakan perangkat mekanisme pengendali bagi kelakuan yang terdiri dari rencana-rencana, resep-resep, aturan-aturan dan instruksi-instruksi. Ringkasnya, kebudayaan merupakan prinsip-prinsip atau ide-ide atau pengetahuan yang dipakai sebagai pedoman bertindak, sedangkan tingkah laku dan benda-benda material dapat dikatakan sebagai perwujudan dari kebudayaan.
38
Penelitian ini menggunakan konsep kebudayaan yang kedua. Menurut konsep ini kebudayaan tidak dapat diobservasi tetapi ada dalam alam pikiran anggota masyarakatnya. Dalam membuat deskripsi kebudayaan, dilakukan upayaupaya untuk mengungkapkan prinsip-prinsip yang ada di balik tingkah laku dan benda-benda, sehingga diperoleh pemahaman akan makna yang ditempelkan oleh anggota masyarakat dalam tindakan dan benda-benda. Penerapan konsep tersebut akan memungkinkan terungkapnya apa yang ada dalam pikiran individu dan masyarakat yang menjadi perhatian penelitian ini (Kohl,1991) sehingga bisa diperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengapa fenomena destructive fishing ini berlangsung bertahun-tahun di Pulau Barrang Lompo. Oleh sebab itu,
100
Types of Descriptions
75 50
Social science descriptions
Standard ethnographies Monolingual ethnographies
25
Life histories Ethnographic novels
0
OUTSIDERS’ LANGUAGE (in percent)
The extent to which the description is based on Concepts and meanings in the language of outsiders
Ethnocentric descriptions
0
25
50
75
100
INSIDERS’ LANGUAGE (in percent) The extent to which the description is based on Concepts and meanings in the language of informants
Gambar 4
Ragam pendekatan pengumpulan data dan keobyektifan yang dihasilkan (Spradley,1979) Catatan : Riset investigatif-obyektif tidak terbatas pada wawancara di ruang tamu, tetapi dapat berlangsung hingga ke dapur dan kamar tidur
39
metode yang dipilih adalah yang mendekati obyektivitas dan seminimal mungkin dipilih yang paling rendah kadar subyektivitasnya (Gambar 4). Format studi etnografi dipilih untuk tujuan tersebut.
3.3 Alasan pemilihan area Ketika berangkat dari Bogor, saya masih berpikir-pikir tentang pulau mana yang sebaiknya dipilih sebagai riset area. Membaca beberapa hasil penelitian, khususnya dari Coremap, tidak membuat saya segera menelorkan suatu keputusan, karena hasil riset yang dilakukan tidaklah detil dan tidaklah terkonsentrasi penuh pada destructive fishing. Selain itu, periode riset mereka rata-rata singkat, semacam
kunjungan
riset
(preliminary
research)
membuat
saya tidak
berketetapan hati. Setelah tiba di Makassar dan bertemu banyak orang serta ke pulau Barrang Lompo (selanjutnya ditulis PBL), juga sempat melihat pulau-pulau lain dalam perjalanan ke Pulau Ballang Lompo, akhirnya saya memilih pulau ini dengan alasan : 1) Sejak dulu pulau ini dikenal sebagai sentral kenelayanan destruktif di kepulauan Spermonde, khususnya bom ikan dan dari dulu juga cukup banyak nelayan yang menggunakan bius sebagai alat tangkap. Soal bius yang dikenal paling intensif digunakannya adalah oleh nelayan dari Pulau Barrang Caddi. Pada saat riset ini dilakukan ada teman S-2 IPB PSL yang mengunjungi Barrang Caddi dan melihat langsung pembiusan. Di PBL sudah terbatas sekali bius. 2) Masyarakat di pulau ini paling banyak menerima intervensi dan program dari pemerintah, LSM, universitas, lembaga asing, banyak dilakukan penelitian dan juga kegiatan seperti ketika riset ini dilakukan adalah kegiatan Bakti Sosial dari Universitas Negeri Makassar dan T N I. Tetapi, kenapa tidak berubah-rubah ? (1) Ketika didirikan organisasi pencinta lingkungan laut yang dilantik di Makassar dan dihadiri oleh anggota DPRD juga, anggotanya malah ada yang dihajar massa karena mencoba memberitahu rakyat supaya menghentikan kenelayanan destruktif.
40
(2) Ketika datang Kapolda, Danrem, Kapoltabes, dan utusan pak Walikota ke pulau ini, malah ditentang beramai-ramai oleh masyarakat karena disuruh berhenti dari praktek pengeboman tersebut. (3) Mess Universitas Hasannuddin di pulau ini (marine station) pernah dikepung puluhan nelayan gara-gara banyak pelatihan yang dilakukan di mess Universitas Hasannuddin, diantaranya yang difasilitasi oleh Lemsa (sebuah LSM) tentang penghentian destructive fishing. Haji Sp (bukan nama asli) yang waktu itu membawa nelayannya sekitar 60 orang berkata, ”...lebih baik kamu saya bunuh (kepada penjaga mess Unhas), daripada anak istri saya mati kelaparan.” Dijawab oleh penjaga mess :”...kalau saya mati, itu mati syahid tapi kalau kalian rusak mess ini, akan berurusan dengan polisi.” (4)Beruntung ditemukan dua bom ikan derigen 5 liter yang siap diledakkan di mess Unhas, satu diletakkan di dekat gudang yang lain di dekat asrama. Daeng Sudin yang menjadi provokator dalam hal ini. (5) upaya intensif yang dilakukan oleh berbagai LSM, bahkan sampai anggotanya bertahun-tahun tinggal di PBL, seperti Pak Muis dan Pak Ivan belum juga membuahkan hasil. Bahkan beberapa kali mereka terancam, sehingga Pak Ivan sudah enggan lagi mengadakan penyuluhan ataupun kegiatan yang berkaitan dengan DF Î sejumlah alasan itulah yang menyebabkan saya tertarik untuk memilih pulau ini sebagai area riset saya 3) Masyarakatnya paling makmur, rumahnya indah-indah, fasilitas PAM, listrik dan juga ada beberapa wartel. Masak pakai kompor gas dan sebagian sudah minum air aqua gallon. Di pulau ini sudah ada sekitar 60 sepeda motor. Sayangnya, apresiasi orang tua terhadap pendidikan rendah. Mereka melihat pendidikan hanya membuang-buang uang. Setelah lulus sekolah belum tentu dapat pekerjaan. Kasus Adi anaknya Haji Ilyas, sudah berada di tingkat terakhir Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, dan mencoba melamar pekerjaan hanya ditawari gaji Rp 400 Ribu. Jadi, sekolah berhenti begitu saja, dan konsentrasi penuh pada pekerjaan laut. Di kalangan masyarakat masih banyak kasus perkawinan dini, usia masih belasan tahun sudah menikah, masih SMP sudah menikah.
41
4) Pulau ini dekat dengan kota Makassar, sekitar 45 menit sampai satu jam dengan menggunakan transportasi kapal penumpang yang ada, yaitu kapal Rahmat Karunia Ilahi, kapal Untung Abadi, kapal Murtazam, kapal Novita Sari. Tiap hari, berangkat dari pulau antara pukul 6.30 sampai pukul 07.00. ke Makassar. Siangnya dari Makassar di dermaga Kayu Bengkoah antara pukul 10.30 sampai pukul 11.00. Tetapi, mengapa sikap dan tindakan penduduk tidak berubah ? 5) kawasan laut Indonesia bagian timur merupakan kawasan yang relatif masih berlimpah ikan dibandingkan kawasan laut Indonesia bagian barat. Tidak berlebihan bila dikatakan kawasan laut Indonesia Bagian Timur adalah masa depan kelautan Indonesia. Di kawasan Indonesia Bagian Timur nelayan Makassar dikenal sangat agresif dan berlayar mencari ikan jauh dari kampung halamannya (andun). Oleh sebab itu studi tentang komunitas nelayan Makassar menjadi sangat penting, baik untuk kelestarian SDL (sumber daya laut) maupun untuk produksi perikanan di masa yang akan datang.
3.4 Waktu dan tempat Penelitian ini dilakukan di Pulau Barrang Lompo yang merupakan suatu kelurahan dari Kecamatan Ujung Tanah Kotamadya Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Sesungguhnyalah area penelitian tidak hanya mencakup Pulau Barrang Lompo saja, tetapi juga kotamadya Makassar seluruhnya, karena informan tidak hanya dari nelayan tetapi juga dari berbagai kalangan pengelola perikanan dan penegak hukum yang berada di kota Makassar. Penelitian lapang (fieldwork) dilakukan mulai Juli 2005 sampai dengan September 2005. Waktu penelitian seperti itu memungkinkan kami mengalami musim angin timur, transisi ke musim angin barat, dan awal musim angin barat. Keuntungan lain, nelayan belum intensif ke laut, banyak kegiatan sosial seperti pernikahan yang sering sekali, acara tujuh belasan yang berlangsung padat selama sebulan, ritual ibu hamil dan melahirkan, dan lain-lain. Selain itu banyak kunjungan pejabat dari pemerintahan maupun dari pihak keamanan, sehingga
42
memudahkan kami untuk mewawancarai baik nelayan maupun para pejabat tersebut. Pelaksanaan wawancara dengan pendekatan kualitatif
berupa indepth
interview dengan informan-informan kunci dari masing-masing stakeholder yang instrumental di tingkat kotamadya, seperti Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Angkatan Laut, Kepolisian, Polairud, Polisi Pelabuhan, Polisi Sektor, Petugas Keamanan lainnya, hakim perkara destructive fishing, Petugas TPI, pengusaha perikanan dan LSM . Adapun di tingkat kecamatan mewawancarai aparatur seperti Camat, Pengusaha Perikanan, dan petugas TPI. Sedangkan wawancara mendalam di tingkat desa dilakukan pada informan kunci termasuk tokoh formal, seperti Kepala Desa dan aparat desa lainnya, kepala kampung, bidan desa, guru; tokoh informal seperti tokoh agama, tokoh pemuda dan karang taruna, tokoh nelayan, pengurus PKK dan kelompok nelayan, Koperasi Nelayan, pengusaha perikanan seperti bos, ponggawa, pedagang pengumpul ikan, koordinator dan anak buah kapal, nelayan pengebom, nelayan potas, nelayan bubu, pengambil karang, pemilik warung dan lain-lain.
3.5 Data yang diperlukan Adapun data yang diperlukan bisa dibagi dalam beberapa kelompok besar : 1) data fisik Pulau Barrang Lompo dan perairannya, serta perubahannya; 2) data sosial ekonomi penduduk pulau itu, 3) perspektif dari para nelayan pengguna teknologi perusak, penegak hukum dan pengelola perikanan. Data fisik Pulau Barrang Lompo meliputi 1) kondisi tanah, air tanah, kondisi perairan sekitarnya, cuaca, curah hujan, 2) fasilitas fisik : seperti masjid, toko, warung, perumahan, marine station Unhas, lapangan sepak bola, sumur, kuburan, sekolah, pos Polair, 3) tanaman, hewan piaraan, 4) jenis ikan dan hewan laut lainnya. Data sosial Pulau Barrang Lompo meliputi : 1) profil masyarakat pulau itu termasuk kependudukan, ketenagakerjaan dan pemerintahan,
2) identifikasi
kekerabatan dan kelompok-kelompok sosial yang ada, 3) lembaga-lembaga sosial-
43
ekonomi yang ada, 4) kegiatan-kegiatan ekonomi yang ada, 5) kelompokkelompok usaha kenelayanan, 6) interaksi dengan masyarakat luar, 7) pemilikan barang, 8) kegiatan sehari-hari Data perspektif para stakeholder meliputi : 1) identifikasi pengetahuan mereka tentang fenomena nelayan pengguna teknologi perusak, 2) memahami pola tindakan para stakeholder, yang tentunya termasuk aspirasi mereka, 3) profil para stakeholder, 4) neraca hubungan antara nelayan dengan stakeholder yang lainnya.
3.6 Cara pengumpulan data Semula akan dilakukan survey dengan dengan berbekal sejumlah kuesioner (Form A,B,C,D ) sebagai metode kuantitatif yang akan dikombinasikan dengan metode kualitatif berupa focus group discussion (FGD), metode sejarah dan indepth interview. Survey
tentang pengetahuan lokal dan pola tindakan
nelayan pengguna teknologi destruktif ini semula akan dilakukan dengan mengumpulkan data kuantitatif yang berkaitan dengan : 1) keadaan rumah tangga, terutama yang berkaitan dengan keterangan anggota rumah tangga, pendapatan dan pengeluaran, dan pemilikan dan penguasaan asset rumah tangga, dan 2)pengetahuan dan sikap individu mengenai eksploitasi sumber daya laut. Survei dilakukan pada sejumlah kepala keluarga (ditentukan di lapang jumlahnya). Pemilihan responden dilakukan secara beraturan dari blok sensus di desa ini (bisa berdasar RW/RT, berdasar kelompok kenelayanan, kelompok pengguna jenis teknologi tertentu, dll). Responden untuk pertanyaan rumah tangga adalah kepala rumah tangga, tetapi jika KK berhalangan maka diganti oleh anggota rumah tangga yang dapat mewakili KK. Sedangkan untuk pertanyaan individu, responden dipilih secara acak dari anggota rumah tangga dewasa berumur 15 tahun ke atas dan ada di tempat pada saat wawancara. Kenyataan di lapang menunjukkan resiko yang besar apabila memaksakan penerapan metode survey dan juga kemungkinan hasilnya yang bias. Setelah berkonsultasi dengan para dosen pembimbing (supervisor) dan menimbangnimbang keberlanjutan riset ini, maka metode survey dibatalkan, walaupun
44
kuesioner-kuesioner yang sudah dibuat tetap menjadi acuan kami dalam penelitian ini. Akhirnya, metode kualitatiflah yang dipilih untuk riset ini. Format studi etnografi diterapkan dengan tujuan untuk memahami kondisi pulau dan masyarakatnya secara detil. Beberapa alat bantu digunakan seperti peta, decision trees, bagan alir, kalender aktivitas, tabulasi adat serta pemanfaatan wawancara semistruktural dan observasi. Dalam penerapannya metode ini didukung oleh sejumlah metode lain, yakni focus group discussion (FGD), Ethnoscience, metode sejarah. Desain risetnya bersifat iteratif. Artinya, tiap informasi baru merupakan input untuk langkah perencanaan riset berikutnya. Tahap awal dari riset adalah memahami semua informasi yang ada yang berkaitan
dengan topik riset ini
(literatur, laporan riset, peta, berita-berita di koran tentang destructive fishing, dan interview dengan beberapa pihak yang berkompeten tentang topik riset). Kemudian disusunlah suatu guidance questionaire dengan isu-isu yang jelas. Isu riset adalah item-item yang akan dikembangkan dalam fieldwork. Dalam tahap pertama ini yakni tahap pemahaman desa (village induction), teknik yang digunakan adalah focus group interview (kajian bersama), indepth interview dengan sejumlah key informants, dan observasi langsung pada fenomena dan indikator-indikator yang diidentifikasi penting. Beberapa hal yang akan dicari informasinya adalah : asal usul desa, asal usul penduduk, perubahan ekologis, kegiatan sehari-hari di desa (livelihood) dan adat istiadat, kependudukan dan ketenagakerjaan, pemerintahan dan program pembangunan yang ada, fasilitas umum, pendidikan, dan lain-lain. Pada tahap ini beberapa alat bantu seperti pembuatan peta dan transek, sejumlah flowcharts, hierarchy dan tabulasi data – akan digunakan. Tahap kedua, setelah memahami situasi umum desa, pertanyaaanpertanyaan dari topik-topik yang sudah diidentifikasi akan diobservasi lebih detil dan lebih kritis. Dalam tahapan ini, semi struktur interview memegang peranan penting. Kami tidak akan mempersiapkan suatu daftar pertanyaan yang detil, tetapi dengan suatu daftar dari topik-topik dan subtopik yang siap untuk dikembangkan. Dengan demikian maka metode pengumpulan data ini tidak kaku,
45
tetapi memadai untuk keperluan riset dan analisis lebih lanjut. Dalam tahap ini akan digunakan beberapa metode bantu (supporting method), yaitu metode sejarah, studi kasus, etnosain. Juga beberapa alat bantu akan dimanfaatkan seperti penyusunan taksonomi pengetahuan lokal, decision trees, flowcharts, glossary, dan lain-lain. Responden yang menjadi sample dari riset ini tentu saja bukan hanya nelayan pengguna teknologi destruktif, akan tetapi juga kelompok nelayan lain. Isu tentang sumberdayanya dan kelestariannya, isu kondisi usaha-usaha kelautan, isu keberlanjutan usaha, isu sosial budaya, merupakan beberapa isu utama yang dipelajari di lapang. Beberapa cara yang diterapkan adalah sebagai berikut : 1. Observasi lapangan ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai keadaan desa dan masyarakat di daerah penelitian, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut. 2. Focus group discussion (FGD)- Diskusi kelompok terfokus dengan nelayan di tingkat pulau untuk menyusun tabel perspektif, neraca hubungan para pihak dan tabel solusi masalah. FGD dalam kajian kompatibilitas ini guna memperoleh perspektif dasar mereka tentang lingkungan.
Semula direncanakan akan
diselenggarakan dengan sejumlah responden yang terpilih akan dibagi-bagi dalam beberapa kelompok. Situasi lapangan yang tidak memungkinkan penelitian ini dilakukan secara formal, maka FGD dilakukan secara informal dengan menemui kelompok-kelompok orang yang sedang berkumpul. Kemudian akan diajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Misalnya untuk mencari perspektif dari apa yang mereka anggap problem kehidupan, problem lingkungan dan lain-lain. Contoh pertanyaan adalah sebagai berikut : 1) menurut bapak/ ibu apa problem kenelayanan di daerah ini ? 2) Susunlah problem tersebut dari yang paling penting 3) Bagaimana cara mengatasinya ? 4) Apa saja peraturan / adat/ kebiasaan yang menguntungkan untuk mengatasi masalah tersebut dan yang tidak mendukung untuk mengatasi masalah tersebut ?
46
FGD juga dilakukan secara intensif pada pertemuan para pihak di Paotere yang dihadiri oleh para Punggawa Pa’es, penegak hukum dan aparat pemerintah. Hal yang sama juga dilakukan FGD di pengadilan negeri Makassar dengan para hakim yang pernah mengadili perkara nelayan pengguna teknologi destruktif dan pada saat pembentukan koperasi Ata Matuna di marine station Unhas. 3. Wawancara semistruktural diterapkan untuk mengumpulkan data-data dengan diawali menyusun topik-topik yang akan menjadi panduan dalam wawancara (guidance quesioner). Dari topik-topik yang fleksibel itu disusunlah pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya tidak kaku, bisa berubah tergantung situasi pada waktu wawancara. Misalnya untuk memperoleh informasi tentang pandangan masing-masing stakeholder terhadap fenomena nelayan pengguna teknologi perusak, maka disusunlah sejumlah topik besar : 1) pengetahuan mereka tentang sejarah kenelayanan yang menggunakan teknologi perusak di Pulau Barrang Lompo dan Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, 2) perdagangan ilegal material teknologi destruktif, 3) praktek penggunaan teknologi perusak, 4) hukum dan pengawasan, 5) solusi. Dari topik-topik besar itu disusunlah sejumlah pertanyaan yang sifatnya fleksibel tergantung situasi lapang. 4. Pendekatan ethnoscience
diterapkan untuk memahami perspektif lokal
dengan menerapkan interview etnografi untuk memperoleh sejumlah taksonomi pengetahuan lokal, khususnya tentang strategi adaptasi, etika kelautan dan pengetahuan kelautan, yang tentu saja sifatnya folk knowledge (bentuknya bisa berbeda dengan scientific knowledge) (D’Andrade, 1995; Goodall 2000; Putra, 1997; Spradley, 1979).
Dengan menggunakan metode ini akan dipahami need
dan concern serta pengetahuan lokal dari komunitas di Pulau Barrang Lompo. Adapun jumlah informannya tidak dibatasi, akan tetapi sebanyak mungkin dengan memprioritaskan sejumlah key informants. Metode etnosain yang kami ambil dari disiplin Antropologi akan bermanfaat untuk menyusun sejumlah taksonomi pengetahuan yang ada pada nelayan dan kelompok masyarakat lain di pulau tempat kami melakukan riset ini (kajian multistakeholder). Caranya adalah dengan menerapkan interview etnografi untuk memperoleh pemahaman emic nelayan-nelayan dan kelompok masyarakat lain (perspektif lokal) tentang lingkungan sekitar mereka, khususnya
47
lingkungan kehidupan laut. Asumsi yang dipakai disini adalah lingkungan fisik yang kita lihat sehari-hari akan dipahami berbeda antara satu orang dengan orang lainnya (perceived environment). Pemahaman yang berbeda tersebut akan menuntun seseorang untuk bersikap dan berperilaku yang berbeda dari orang lain pada lingkungan yang sama. Pemahaman yang berupa pengetahuan seseorang tentang lingkungan sekitarnya akan menjadi obyek yang akan dicari dalam menerapkan metode ini. Pengetahuan-pengetahuan lokal yang apabila sudah diperoleh akan disusun dalam bentuk taksonomi-taksonomi (pola ideal). Walaupun pengetahuan tersebut bukan merupakan satu-satunya motivasi seseorang untuk berperilaku tertentu, namun dengan memahami pengetahuan lokal tersebut akan membantu kita memahami bagaimana seandainya kita berada di komunitas tersebut harus berperilaku apa yang “tepat”. Jenis-jenis pengetahuan lokal yang hendak dicari diantaranya adalah seperti kategori stock assessment, spesies target, jenis teknologi, rute pencarian ikan, pola umum pembagian kawasan laut menurut tata guna lahan tradisional, kalender pencarian ikan, kategori nelayan-nelayan lain (competitors),interaksi dengan stakeholder lain dan lain-lain. Selama ini kita memakai kategori berdasarkan perspektif kita atau pemerintah (ethic) dan seringkali melupakan bahwa komunitas lokal juga memiliki sistem pengetahuan tersendiri tentang lingkungannya. Bahkan untuk kelautan, pengetahuan yang kita miliki seringkali terbatas seperti ketepatan data stock asssessment. Kalau kita mempunyai data perspektif lokal tentang stock assessment mungkin akan sangat membantu dalam penyusunan policy. Analisis data untuk menyimpulkan perspektif stakeholder mengikuti langkah-langkah pendekatan Etnosain, sbb.: 1) memberikan pertanyaanpertanyaan deskriptif, 2) membuat analisis domain atas jawaban-jawaban responden, 3) mengajukan pertanyaan-pertanyaan terstruktur, 4) membuat analisis taksonomi berdasarkan jawaban, 5) kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan kontras, 6) membuat analisis komponensial, 7) membagi atas tema-tema kultural jawaban responden
48
Contoh penggunaan etnosains terhadap informasi di lapang Contoh 1 : Hasil FGD dari penelitian di Pulau Barrang Lompo Peneliti : Apa benar bom ikan itu merusak laut ? Kok polisi maupun pemerintah selalu bilang sulit mengatasi pelanggaran ini ? Bngy : ”menyetop pemboman dalam sehari saja bisa” stop barang-barang itu seperti lopis dan pupuk. Pemerintah ternyata membuka terus gudang pupuk dan kepolisian membiarkan terus lopis keluar. Rn : Kalau orang ngebom, akan datang ikan-ikan untuk makan ikan-ikan kecil yang mati, yang berarti akan makin banyak ikan sehingga orang lain dari pulau terdekat bilang ambil-ambil saja, sebaliknya potasa akan menyebabkan karang dan tanaman serta makanan ikan mati bahkan juga anak-anak ikan, warna karang jadi putih sehingga seringkali orang yang melakukan potasa akan dikejarkejar dengn parang. Contohnya kemaren, beberapa nelayan PBL marah karena perairan di sekitar Barang Caddi dan Bonetambung dipenuhi dengan potasa. Potas bagi mereka jahat sekali Catatan : hasil dari FGD ini di cross-check ke sejumlah penduduk lainnya. Hal Persepsi Nelayan Menghentikan bom ikan Mudah Apa merusak SDL ? Tidak merusak SDL Indikator tidak merusak Setelah ngebom, justru datang ikan-ikan Teknologi yang paling Potasa (potasium sianida) destruktif Sumber : hasil fieldwork penulis, 2005 3.7 Cara masuk ke masyarakat Proses masuk ke masyarakat dengan mengerjakan beberapa hal penting. Pertama, ’pendekatan keluarga’, yaitu kita harus punya keluarga yang tinggal di pulau tersebut atau punya ’keluarga angkat’ yang masyarakat identikan kita sebagai bagian dari keluarga tersebut. Pendekatan keluarga ini merupakan cara paling efektif agar bisa diterima masyarakat dan masyarakat bersedia memberikan informasi-informasi rahasia kepada kita. Hal ini nampaknya cara utama dan prasyarat utama apabila kita ingin memperoleh informasi-informasi yang dirahasiakan penduduk di provinsi Sulawesi Selatan. Tanpa cara pertama ini rasanya mustahil kita bisa memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan untuk kelengkapan penelitian kita. Kedua, pemberian ’barang perkenalan’. Cara ini biasa digunakan orang untuk masuk ke dalam masyarakat yang terasing, misalnya suku-suku di Irian Jaya, bisa digunakan garam dan tembakau sebagai ’barang perkenalan’.
49
Pemberian foto merupakan cara untuk cepat mengakrabkan diri kita dengan penduduk Pulau barrang Lompo. Foto yang dimaksud adalah foto-foto penduduk/responden yang kita buat. Dengan menggunakan kamera digital memudahkan saya membuat foto-foto informan dan memberikan hasilnya kepada mereka. Cara ini ternyata efektif dalam menciptakan keakraban kita dengan mereka. Ketiga, ikut aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, misalnya mengurus pernikahan, acara tujuh belasan, panitia pembentukan koperasi Ata Matua dan lain-lain. Menjadi panitia merupakan salah satu cara agar kita identik sebagai bagian dari masyarakat. Sebenarnya ada satu cara lagi yang cukup penting untuk dilakukan, yakni ’main kartu’, suatu permainan yang menjadi kegemaran penduduk pulau itu (bahkan menjadi kegemaran penduduk provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya). Hal ini tidak saya lakukan karena keterbatasan keterampilan dalam bermain kartu.
3.8 Tahap awal riset Validitas sungguh masalah dalam riset ini, apalagi pola riset yang saya lakukan betul-betul ’participation observation’ ala antropolog. Awalnya saya masih berharap bisa menggunakan kuesioner wawancara struktural. Tapi, setelah di kota Makassar bertemu dengan beberapa narasumber, seperti ahli-ahli di Pusat Studi Terumbu Karang Unhas, misal Pak Jamaluddin Jompa, Bu Audi, Pak Syaiful,dll juga dengan 2 antropolog kelautan Unhas yang terkemuka Pak Niel dan Pak Munsi Lampe, dengan beberapa orang dinas kelautan dan Perikanan Kodya Makassar, diskusi dengan DR Satoko Hamamoto dari Jepang yang juga melakukan riset di pulau yang sama (bahkan ketemu di pulau), serta informasi yang saya peroleh dari sekretaris Camat Ujung Tanah dan kantor Gubernur Sulsel maka terbayang sudah betapa susahnya memperoleh ‘rapport’ yang baik dari masyarakat pulau itu. Informasi yang paling mengganggu adalah kabar tertangkapnya pedagang bahan pembuat bom
asal pulau tersebut : Daeng
Nyarrang, dan Haji Nuhung, serta nelayan pengguna bom Daeng Sampe (kelak ketika sudah berhari-hari di pulau tahulah saya bahwa pedagang illegal bahan
50
pembuat bom antar pulau yang posisinya berada di atas semua tersangka, yakni Haji Rustam, berhasil lolos walaupun sudah diincar semenjak lama). ‘Rapport’ atau kepercayaan bahwa saya dalam bahasa mereka : 1) bukanlah mata-mata pemerintah atau mata-mata polisi,
2) bukanlah akan
menyetop usaha kenelayanan mereka yang menggunakan bahan terlarang. Karena sesungguhnyalah ada pihak yang paling dikhawatirkan oleh nelayan, yakni wartawan dan peneliti. Mereka sungguh khawatir kalau tiba-tiba wajah atau nama mereka terpampang di TV atau di koran-koran. Beberapa pengalaman mereka : (1) beberapa tahun yll ada orang Jepang katanya dari universitas, Pak Daud diberi uang dan perlengkapan menyelam, kemudian dibuat filmnya/video ketika dia melakukan pengeboman, katanya hanya untuk keperluan universitas, tidak akan disiarkan ke koran atau majalah apalagi TV janjinya. Sepulang orang itu, tidak lama kemudian ada cerita tentang pengeboman di Pulau Barrang Lompo di TV (kalau tidak salah di RCTI) dengan gambar utama Pak Daud. Habislah dia dimarahin orang sepulau. Selama satu bulan orang pulau tidak berani lagi pergi ke laut, takut ditangkap polisi, (2) sering ada wartawan dulu ke pulau, sepulangnya ada beritanya di koran dan tidak lama kemudian polisi aktif menangkapi mereka atau meminta uang, (3) setelah banyak pelatihan-pelatihan di mess Unhas di pulau ini (khususnya yang dilakukan oleh Forum Mitra Bahari dan sebuah LSM Lemsa, banyak orang yang ditangkapi dan diperketat penggunaan bom ikan itu. Apalagi menjelang riset ini dilakukan ada penangkapan besar-besaran sebagaimana telah disebutkan di atas. Beberapa kelemahan riset ini adalah : (1) sewaktu mengurus perijinan menyebutkan dengan gamblang dalam judul
......destructive fishing..... ini
sungguh membuat mereka langsung menutup diri dan memproteksi diri, dan jaringan informasi mereka cepat dan bagus, saya belum sampai di pulau sudah sampai informasi bahwa
akan datang peneliti kenelayanan destruktif.
Pada
awalnya situasi ini menyebabkan saya frustrasi, tapi tertolong dengan banyaknya kegiatan pernikahan dan tujuh belas agustus-an yang berhari-hari. Saya berperan aktif sebagai panitia, termasuk mengetik undangan, memotret, menghadiri rapatrapatnya, mengikuti pelatihan kesenian, dll.; selain itu, melewati beberapa tokoh masyarakat saya jelaskan bahwa tujuan riset saya bukanlah yang utama tentang
51
bom dan bius, tapi tentang cara berpikir mereka dalam melakukan usaha kenelayanan dan mencari upaya untuk pemberdayaan mereka. Itulah sebabnya, di waktu yang akan datang sebaiknya pihak IPB bersedia memberi surat pengantar riset dengan judul dan mungkin juga sebagian isinya dirubah, apabila judul dan sebagian isinya berkaitan dengan hal-hal yang sensitif bagi masyarakat ; dan (2) keterbatasan dana yang menyebabkan keterbatasan waktu riset. Satoko melakukan riset untuk penyusunan disertasi doktornya selama 2 tahun 8 bulan. Lebih dari 6 bulan dia tidak melakukan kegiatan apapun kecuali bergaul dan mengenal orangorang yang tinggal di pulau.. Setelah itu barulah melakukan riset. (3) mestinya waktu mengurus surat ijin riset juga ditujukan kepada pihak keamanan (polisi, TNI-AL, dll.) agar ketika ikut kapal nelayan untuk melakukan pengeboman, kita aman-aman saja, khususnya bila tertangkap polisi, (4) mestinya juga melakukan riset-riset singkat ke beberapa pulau lain sekitarnya, karena berdasarkan informasi banyak orang, variasi fenomena pulau-pulau lain beserta karakteristik penduduknya dalam kaitan dengan destructive fishing.
3.9 Proses riset Riset dimulai dengan mengurus perijinan dari kantor Gubernur, lalu ke Balaikota. Sebenarnyalah area riset saya ada dua, yakni di Makassar dan di pulau. Di Makassar saya pergi ke Lembaga Penelitian Unhas mengkopi bahan-bahan yang berhubungan dengan topik riset. Juga, bertemu dengan ahli-ahli di Pusat Studi Terumbu Karang dan Pak Neil dari Jurusan Sosiologi-Antropologi Unhas (sorenya saya ke rumah Pak Munsi Lampe yang sedang menyusun disertasi tentang nelayan destruktif di Pulau Sembilan), menghadiri launching dua buku dari DR Nurhidayati pengarang tafsir La Galigo dan ahli tradisi lisan.
Ke
Perpustakaan Mattulada bertemu dengan pengurusnya, pak Mular, yang juga bekas nelayan destruktif, pernah pakai bagang yang menggunakan bom, juga pernah membius. Untuk mengetahui berita-berita tentang Makassar dan pulau-pulau saya juga pergi ke Harian Fajar, koran terbesar di Makassar. Selain bertemu dengan wartawan juga ke Litbangnya untuk mengkopi bacaan-bacaan yang relevan seperti tentang adat dan sosial budaya lainnya. Dari keterangan pihak Litbang dan
52
wartawan memang relatif sedikit berita tentang pulau, dan boleh dikatakan hampir tidak ada berita tentang destructive fishing, karena sulitnya memperoleh berita tersebut, ”sangat tertutup”. Dinas Kelautan dan Perikanan Kodya Makassar juga merupakan kantor yang kami kunjungi dan wawancara dengan banyak orang. Satu hal yang penting kami bertemu dengan orang-orang yang mengurusi proyek pemberdayaan masyarakat. Selain itu kami pergi juga ke koperasi Phinisi yang merupakan badan hukum penyaluran dana-dana pemberdayaan masyarakat dan wawancara intensif dengan pengurus-pengurusnya yang orang pulau Langkai dan Kodingareng dan bekas nelayan pengebom dan pembius. Kami pergi juga ke Kasubdit Pengawasan di Paotere yang bersebelahan dengan TPI Paotere dan CV Bintang Timur tempat penjualan ikan hidup komersial (selain itu, kami juga ke TPI Rajawali tempat dimana orang-orang pulau menjual ikan dan membeli hasil laut). Di sana kami bertemu dengan pimpinannya dan juga penyidik pengawas kelautan dan perikanan, pak Soejarwo yang merupakan satu-satunya penyidik perikanan di kodya Makassar. Di TPI kami memperhatikan masalah jenis produksi laut dan harganya, juga kemana penjualannya. Khususnya di Paotere kami observasi dan wawancara di kapalnya Haji Supa dan Haji Amir dengan para sawinya. Pergi ke pelabuhan dan ke kantor polisi pelabuhan, juga ke kantor polisi sektor 7 yang terletak tidak jauh dari kantor kecamatan Ujung Tanah. Namun wawancara secara efektif saya peroleh justru pada kesempatan lain, yakni di pulau dan di pertemuan segitiga polisi – Departemen Kelautan dan Perikanan – nelayan pengguna bahan terlarang (perusak) di Paotere pada akhir riset saya. Ke kantor pengadilan negeri kotamadya Makassar saya lakukan untuk memperoleh kasus nelayan pengguna bahan terlarang serta memahami pihak pengadilan dalam menyikapi kasus pelanggaran ini. Ke pulau untuk memulai riset dengan hati-hati. Awalnya
mempelajari dulu situasi yang ada. Mempelajari
sistem kenelayanan yang berkembang aktual saat itu. Tapi, yang utama saya pelajari dulu variabel sosial budaya, seperti pendidikan dan ritual orang hamilkelahiran-pernikahan. Mengunjungi SD Inpres dan SD Negeri barranglompo juga SMP 28, sayang belum ada SMA. Sebagian anak melanjutkan sekolah SMAnya
53
ke Pulau Ballang Lompo. Saya juga sempat ke pulau Ballang Lompo dan ketemu guru-gurunya. Berbincang-bincang di rumah-rumah guru juga memperoleh hasil yang jauh lebih banyak. Wawancara juga saya peroleh secara intensif saat acara-acara lomba 17-an. Pak Camat dan Kapolsek serta Bu Camat menjadi juri lomba karoeke tingkat pulau ini, jadi ada kesempatan wawancara bagi kami. Juga dengan anak buahanak buah mereka bisa diperoleh kesempatan wawancara yang intensif, misal dengan Pak Bahar dan Pak Ibrahim yang keduanya ditempatkan di pulau ini. Danrem juga melakukan bakti sosial ke pulau ini dalam rangka acara 17an, khususnya dia menyoroti masalah kepadatan penduduk yang luar biasa dan kemungkinan kriminalitas serta pengangguran di pulau ini.
3.10 Analisis data` Analisis data disesuaikan dengan tiga tujuan dari penelitian ini dan metode pengumpulan data, yaitu : 1) Analisis situasi dengan pendekatan kontekstual yang menerangkan kejadian di lapangan. Analisa ini penting untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai antara lain : (1) keadaan sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraan masyarakat, (2) stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan SDL dan bagaimana bentuknya, (3) keterlibatan mereka serta konflik kepentingan antar stakeholder, (4) kondisi pengelolaan dan perubahan sumber daya laut, dalam hal ini termasuk potensi dan permasalahan yang dapat menjawab isu-isu kunci, seperti kegiatan apa yang dilakukan dalam pengelolaan, mengapa kegiatan itu dilakukan dan bagaimana cara pengelolaan, dan perkembangannya serta dampak pengelolaan terhadap kesejahteraan masyarakat serta kelestarian sumberdaya laut. 2) Analisis reduksi data, yakni dengan melakukan pilihan terhadap jawabanjawaban responden hal-hal yang diperlukan, kemudian dilakukan abstraksi atau disusun dalam bentuk kategori-kategori.
54
3) Analisis perbandingan dari perspektif para pihak (stakeholders), dalam hal ini adalah perspektif pengelola perikanan, pemanfaat perikanan dan penegak hukum terhadap fenomena nelayan pengguna bom ikan. Analisis perbandingan ini juga digunakan untuk memahami hubungan eksploitasi.
3.11 Cara pembahasan hasil analisis Informasi tentang pulau dan masyarakatnya akan diuraikan secara deskriptif. Adapun hasil analisa tentang perspektif dan pola tindakan dibahas dengan cara menyusun deskripsi, sejumlah tabulasi, bagan, taksonomi sosial, bagan alir (flowchart), decision trees, dan selanjutnya diberikan narasinya. Taksonomi sosial (social taxonomy), misalnya adalah klasifikasi nelayan tentang jenis binatang laut untuk dimakan : ikan - panas - makanan sehat ; kima, cumicumi - dingin - bisa merusak kesehatan. Makanan hasil laut
ikan
panas
menyehatkan
Kima, cumicumi,dll
dingin
Bisa membuat sakit
Gambar 5 Klasifikasi makanan menurut masyarakat Pulau Barrang Lompo, Makassar Gambar di atas mencoba memetakan kognisi nelayan tentang jenis makanan yang berasal dari hasil laut. Makanan yang bahannya berasal dari ikan disimbolkan dengan karakter ’panas’ yang menurut nelayan baik untuk kesehatan.
55
Sebaliknya jenis makanan yang bahannya berasal dari kima dan cumi-cumi disimbolkan dingin dan bisa menyebabkan orang sakit, khususnya sakit perut. Sebab itu penduduk biasanya menasehatkan kepada anak-anak supaya jangan terlalu banyak memakan cumi-cumi. Bila seseorang sedang sakit juga dianjurkan supaya tidak memakan kima.