15
3.
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap di perairan Teluk Jakarta dan didaratkan di TPI Cilincing dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai Desember 2010 dengan interval pengambilan contoh dua minggu (14 hari). Selanjutnya data sekunder diambil dari bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 di TPI Cilincing. Berikut ini disajikan peta lokasi daerah penangkapan ikan terisi (Nemipterus balinensis) di perairan Teluk Jakarta yang didaratkan di TPI Cilincing (Gambar 5).
Gambar 5. Peta lokasi penangkapan ikan terisi (Nemipterus balinensis)
16
3.2. Metode Kerja 3.2.1. Alat dan bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan digital, penggaris dengan ketelitian 1 mm, wadah, alat bedah, alat tulis dan alat dokumentasi. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ikan terisi (Nemipterus balinensis) yang didaratkan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Cilincing.
3.2.2.Pengumpulan data Ikan terisi (Nemipterus balinensis) yang digunakan sebagai contoh diperoleh dari nelayan pengumpul ikan di TPI Cilincing. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengukuran panjang dan bobot ikan untuk mengetahui pola pertumbuhan individu dan pertumbuhan populasi ikan terisi. Proses pengambilan ikan contoh dilakukan secara acak dari kapal nelayan. Panjang ikan terisi yang diukur adalah panjang total dengan menggunakan penggaris. Panjang total adalah panjang yang diukur dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya (Effendi 1979). Bobot ikan terisi yang diukur adalah bobot basah total dengan menggunakan timbangan digital. Menurut Busacker et al. (1990) in Syakila (2009), bobot basah total adalah bobot total jaringan tubuh ikan dan air yang terdapat di dalamnya. Untuk mengetahui jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad ikan terisi, maka dilakukan pembedahan terhadap ikan. Jumlah ikan terisi yang diambil secara acak selama penelitian berjumlah 472 ekor. Pada pengambilan contoh I tanggal 23 Oktober 2010 jumlah ikan terisi yang diambil secara acak dari dua kapal nelayan dogol berjumlah 62 ekor. Pada pengambilan contoh ikan II (6 Nopember 2010) secara acak jumlah ikan yang diambil dari dua kapal nelayan dogol berjumlah 60 ekor. Pengambilan contoh III (20 Nopember 2010) jumlah ikan yang diambil secara acak dari tiga kapal nelayan dogol berjumlah 112 ekor. Pada pengambilan contoh (IV 4 Desember 2010) jumlah ikan yang diambil secara acak dari tiga kapal nelayan dogol berjumlah 108 ekor, dan pada pengambilan contoh V (18 Desember 2010) jumlah ikan terisi yang diambil secara acak dari tiga kapal nelayan berjumlah 130 ekor. Pada pengambilan contoh II
17
hingga V ikan terisi dibedakan berdasarkan jenis kelaminnya dan dilihat tingkat kematangan gonadnya (TKG). Pengambilan contoh ikan dilakukan dalam interval waktu 14 hari. Selain itu data primer juga diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan ikan terisi di TPI Cilincing. Informasi dari hasil wawancara terhadap nelayan tersebut antara lain unit penangkapan ikan terisi, kegiatan operasi penangkapan, daerah penangkapan, dan biaya penangkapan. Sedangkan data sekunder berupa data harga dan produksi hasil tangkapan ikan terisi. Data-data tersebut diperoleh dari dokumen TPI Cilincing.
3.3.Analisis Data 3.3.1. Sebaran frekuensi panjang Panjang total ikan terisi yang didaratkan di TPI Cilincing digunakan sebagai data dalam penentuan sebaran frekuensi panjang. Untuk menganalisis data frekuensi panjang ikan terisi dilakukan tahapan-tahapan (Walpole 1993) sebagai berikut: (a) Menentukan jumlah dan selang kelas Menentukan nilai maksimum dan nilai minimum dari data panjang total ikan terisi. (b) Menentukan nilai tengah kelas nilai tengah =
batasbawah batasatas 2
(c) Menentukan kelas frekuensi dan memasukkan frekuensi masing-masing kelas dan panjang masing-masing ikan contoh pada selang kelas yang telah ditentukan. Setelah distribusi frekuensi panjang ditentukan maka selang kelas yang sama diplotkan dalam sebuah grafik. Dari grafik tersebut akan terlihat pergeseran sebaran kelas panjang setiap 14 hari. Pergeseran tersebut menggambarkan jumlah kelompok umur yang ada. Jika terjadi pergeseran modus sebaran frekuensi panjang maka terdapat lebih dari satu kelompok umur.
18
3.3.2. Plot Ford-Walford L∞, K dan t0 Plot Ford-Walford merupakan salah satu metode yang paling sederhana untuk menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang tetap (King 1995). Berikut adalah persamaan Von Bertalanffy. Lt = L∞ (1-e[-K(t-t0)]) (1) atau, (2)
Lt adalah Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu), L∞ adalah
Panjang
maksimum secara teoritis (panjang asimtotik), K adalah koefisien pertumbuhan (per satuan waktu), t 0 adalah umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol. Untuk t sama dengan t+1, persamaaan (3) menjadi: Lt+1 = L∞ (1-e[-K(t+1-t0)]) (3)
sehingga,
= L∞ e-K(t-t0)[1-e-K]
(4)
dengan mendistribusikan persamaan (2) ke (4), di peroleh (5)
atau,
= L∞ [1-e-K] + Lte-K
(6)
19
Persamaan (4) merupakan bentuk persamaan linear y = a + bx, dengan Lt (sumbu x) diplotkan terhadap Lt+1 (sumbu y) sehingga garis lurus yang terbentuk akan memilki kemiringan (slope) (b) sama dengan e(-K) dan intersep (a) sama dengan L∞ (1-e[-K]). Umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1983) sebagai berikut. Log (-t0) = -0,3922 – 0,2752 (Log L∞) – 1,0380 (Log K)
3.3.3. Hubungan panjang bobot Analisis pertumbuhan menggunakan parameter panjang dan bobot, dengan pendekatan regresi linier maka hubungan antara kedua parameter dapat dilihat dengan rumus. Korelasi parameter dari hubungan panjang dan bobot dapat dilihat dari nilai konstanta b. Analisis pola pertumbuhan ikan terisi menggunakan hubungan panjang bobot ikan dengan menggunakan persamaan (Efendie 2002) : W= aLb Keterangan: W = Bobot ikan L = Panjang ikan a = Intersep (perpotongan kurva hubungan panjang bobot dengan sumbu y) b = Penduga pola pertumbuhan panjang bobot Analisa hubungan panjang bobot ikan bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan di alam. Dapat ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma dan diperoleh persamaan linier sebagai berikut: Log W= Log a + b Log L Untuk mendapatkan parameter a dan b, digunakan log W sebagai y dan log L sebagai x, maka diperoleh persamaan regresi : y = a + bx Untuk menguji nilai b = 3 atau b ≠ 3 dilakukan uji-t dengan hipotesis : H0 : b = 3, hubungan panjang dengan bobot adalah isometrik
20
H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik, dimana: 1. b < 3 menunjukkan bahwa hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik negatif (pertambahan panjang lebih dominan daripada pertambahan bobot) 2.
b > 3 menunjukkan bahwa hubungan panjang dengan bobot adalah allometrik positif (Pertambahan bobot lebih dominan daripada pertambahan panjang)
Keterangan : b1 = Nilai b (dari hubungan panjang bobot) b =3 Sb1 = Galat baku koefisien b Nilai thitung dibandingkan dengan nilai t tabel pada selang kepercayaan 95%. Untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan terisi, maka kaidah keputusan yang diambil adalah: thitung>ttabel thitung
: tolak hipotesis nol (H0) : gagal tolak hipotesis nol
3.3.4. Mortalitas dan laju ekspoitasi Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinierkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) dengan langkahlangkah sebagai berikut. Langkah 1
: Mengkonversikan data panjang ke data umur dengan menggunakan inverse persamaan von Bertalanffy t(L) = t0 – (
Langkah 2
: Menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata ikan untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 (∆t) ∆t = t(L2) – t(L1) =(
Langkah 3
:
Menghitung (t + ∆t/2)
21
t Langkah 4
:
= t0 – (
Menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinierkan dan dikonversikan ke panjang ln
=c–Z*t
Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear dengan kemiringan (b) = -Z Untuk laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999) sebagai berikut : Ln M = -0,0152 - 0,2790 * Ln L∞ + 0,6543 * Ln k + 0,4630 * Ln T Keterangan : M : Mortalitas alami L∞ : Panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy K : Koefisien pertumbuhan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy : Rata-rata suhu permukaan air (°C) Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F=Z–M Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly 1984):
E=
Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum (Pauly 1984) adalah: Foptimum = M dan Eoptimum = 0,5
3.3.5. Nisbah kelamin Nisbah kelamin digunakan untuk melihat perbandingan ikan jantan dan ikan betina. Untuk mencari nisbah kelamin dapat menggunakan persamaan berikut:
22
P=
n 100% N
Keterangan : P = Proporsi ikan (jantan atau betina) n = Jumlah jantan atau betina N = Jumlah total ikan (jantan dan betina)
3.3.6. Faktor kondisi Faktor kondisi yaitu keadaan atau kemontokan ikan yang dinyatakan dalam angka-angka berdasarkan pada data panjang dan bobot. Sebelum ikan dianalisis, ikan dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin yang sama. Ikan yang mempunyai jenis kelamin sama dilihat koefisien pertumbuhannya (b). Setelah pola pertumbuhan panjang tesebut diketahui, maka dapat ditentukan faktor kondisi dari ikan tersebut yaitu (Effendie 2002) : a) Jika pertumbuhan ikan isometrik (b=3) maka digunakan persamaan berikut: K = W.102 / L3 b) Jika pertumbuhan yang ditemukan adalah model pertumbuhan allometrik maka persamaan yang digunakan adalah : K = W / aLb Faktor kondisi dapat naik atau turun. Keadaan ini merupakan indikasi dari musim pemijahan ikan, khususnya ikan betina. Faktor kondisi juga dipengaruhi oleh indeks relatif penting makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Apabila ikan cenderung menggunakan cadangan lemaknya sebagai sumber tenaga selama proses pemijahan, maka ikan mengalami penurunan faktor produksi.
3.3.7. Tingkat kematangan gonad (TKG) Jenis kelamin diduga berdasarkan pengamatan gonad ikan contoh. Kemudian penentuan TKG menggunakan klasifikasi kematangan gonad yang telah ditentukan berdasarkan Tabel 2 (Effendie 1979). TKG ditentukan secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, berat gonad, serta perkembangan isi gonad.
23
Tabel 2. Penentuan TKG secara morfologi TKG I
II
Betina Ovari seperti benang, sampai ke depan rongga permukaannya licin Ukuran ovari lebih besar. kekuning-kuningan, dan terlihat jelas
panjangnya tubuh, serta
Jantan Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh
Warna ovari Ukuran testes lebih besar pewarnaan telur belum seperti susu
III
Ovari berwarna kuning dan secara morfologi telur mulai terlihat
Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar
IV
Ovari makin besa, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut
Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal
V
Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan
Testes bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi
Sumber: Modifikasi Cassie in Effendie 1979
3.3.8. Analisis Ketidakpastian Analisis ketidakpastian dalam perikanan mengikuti hukum peluang dimana terdapat kemungkinan berhasil atau gagal dalam mengahasilkan tangkapan. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya upaya serta harga (price) dari ikan hasil tangkapan. Analisis ketidakpastian dilakukan dengan menggunakan teorema Bayes yang menggunakan probabilitas bersyarat sebagai dasarnya. Teorema Bayes dijelaskan dalam Walpole (1993) yaitu :
Jika kejadian-kejadian B1, B2, …, Bk merupakan kejadian yang saling terpisah antara gabungan ruang contoh S dengan P(Bi) ≠ 0 untuk i = 1, 2, …, k, maka untuk sembarang kejadian A yang bersifat P(A) ≠ 0. Analisis ketidakpastian menggunakan alat bantu berupa program Crystal ball yang merupakan suatu program perangkat lunak analisis data statistik yang dapat digunakan untuk berbagai tujuan. Aplikasi Crystal ball ini biasa digunakan dalam bidang bisnis, penjualan atau peramalan keuangan, model prediksi, simulasi Monte
24
Carlo, dan optimasi. Program Crystal ball dapat membantu menganalisis resiko dan ketidakpastian yang terkait dengan model spreadsheet suite. Program Crystal ball diharapkan dapat membuat keputusan-keputusan taktis yang tepat untuk mencapai tujuan dan mendapatkan keunggulan kompetitif pada kondisi pasar yang tidak pasti (Mayangsoka 2010).