91
3. KERANGKA PEMIKIRAN LANDASAN IDEOLOGI DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Seperti dapat dicermati dalam Stimson et al, (2006) ataupun Stimson dan Stough (2008), bahwa tata kelola pemerintahan merupakan prasyarat yang sangat penting bagi para pelaku ekonomi (entrepreneurs) lokal agar sukses dalam kompetisi global dengan cara menemukenali (recognizing) berbagai keunggulan lokal (comparative advantage) untuk dikelola agar menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage). Namun pada masa transisi dari perencanaan terpusat ke pada tata kelola desentralisasi seperti yang berlangsung di Indonesia belakangan ini umumnya bisa menjadi periode kritis. Tatanan kelembagaan formal yang semula terpusat, tidak mudah untuk beralih kepada kelembagaan lokal secara serta merata. Transfer tanggung jawab memerlukan berbagai tahapan proses yang tidak sepenuhnya mudah untuk dikontrol. Padahal tatanan kelembagaan formal dalam periode tersebut bisa megalami turbulensi yang sangat mempengaruhi tatanan kelembagaan lokal, dan pada akhirnya juga mempengaruhi kinerja (L)eaderships maupun (E)ntrepreneurships yang ada, apalagi dalam negara yang punya kultur patriaki yang sangat kuat seperti di Indonesia umumnya. Dalam periode itu pula, koordinasi seringkali menjadi simpul-simpul lemah, (I)nstitutions yang punya peranan sentral bagi berlangsungnya pengambilan keputusan yang mendasari setiap aksi bersama (collective action) dalam setiap aktivitas masyarakat di setiap wilayah (tidak terkecuali aktivitas yang bermotifkan ekonomi) seringkali menjadi tidak efektif. Menurut Stimson et al, (2003; 2005 dan 2009) keefektifan dari setiap koordinasi merupakan cerminan dari kuatnya (L)eaderships di suatu wilayah. Sedangkan kuatnya (L)eaderships hanya mungkin dibangun bila ada institusi yang efektif pula. Institusi itu sendiri merupakan tata aturan dan norma-norma yang memungkinkan hubungan antarindividu untuk melakukan segala macam bentuk transaksi secara adil, tanpa ada yang khawatir diciderai dalam bentuk kecurangan ataupun dalam bentuk kerugian lainnya. Prasyarat ini tidak sepenuhnya mudah untuk dipenuhi pada periode desentralisasi di Indonesia, yang kemudian banyak menimbulkan berbagai
92
kerusakan pada sumberdaya alam ataupun common pool resources (CPRs) lainnya, tidak terkecuali sumberdaya hutan (lihat Resosudarmo, 2005). Fenomena seperti itu juga dialami oleh wilayah Provinsi Lampung, yang kemudian menyebabkan klimaksnya deforestasi, yang berakibat pada degradasi fungsi intrinsik hutannya, kongesti permintaan bahan baku bagi sektor-sektor agroindustri yang kemudian menimbulkan fenomena skala pengembalian yang terus menurun (DRS: Decreasing Return to Scale), stagnasi capaian indikator makro ekonomi wilayahnya seperti pertumbuhan ekonomi yang rendah disertai PDRB/Kpt yang rendah pula, dan kemiskinan yang pervasive serta IPM yang tertinggal dari rata-rata nasional. Gejala the limit to growth (Meadow et al., 1972 dikutip Hayami, 2001 dan Sorensen&Whitta-Jacobsen, 2009) atau Ricardian trap (Hayami, 2001) tersebut harus dipecahkan melalui perencanaan pembangunan ekonomi wilayah (RED: Regional Economic Development) secara komprehensif. Simpul dari semua pertautan masalah itu adalah bahwa fungsi intrinsik hutan harus segera direstorasi melalui kegiatan aforestasi/reforestasi (A/R). Selain karena sangat esensial dalam pemulihan fungsi intrinsik hutan tersebut, kegiatan A/R di Popinsi Lampung juga menjadi potensi untuk program akselerasi pengembangan (E)ntreprenuership lokal sehubungan dengan peluang pemasaran jasa karbon global [M] melalui CDM (clean development mechanism) dalam skema Protokol Kyoto. Protokol tersebut merupakan kesepakatan kelembagaan global (global institution) yang harus diimplementasikan pada tataran lokal (on farm) sehingga juga dapat menjadi peluang untuk mengembangkan jiwa (E)ntrepreneurships petani sekaligus pengembangan (L)eaderships maupun (I)nstitustion-nya di tingkat lokal pula ke depan. Di Provinsi Lampung terdapat sekitar 2 juta ha yang memenuhi semua persyaratan untuk CDM (lihat Mudiyarso et al., 2006). Selanjutnya dengan pulihnya fungsi intrinsik hutan ini dan makin berkembangnya ketiga faktor endogenik (L, I, & E tersebut), maka diharapkan dapat memecahkan Ricardian trap melalui peningkatkan produktivitas sektorsektor primer (perkebunan; pertanian bahan pangan; peternakan dan perikanan), untuk memecahkan masalah ―excess demand” akan bahan baku dalam sektorsektor agroindustri yang telah beraglomerasi di subwilayah hilir. Mengingat
93
sektor-sektor agroindustri ini merupakan penyerap sekitar 77% dari total tenaga kerja di Provinsi Lampung dalam kurun 2000-2005 (Affandi, 2009) maka sangat beralasan untuk berharap lebih jauh pada peningkatan capaian kinerja RED yaitu berupa peningkatan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan IPM (peningkatan indeks konsumsi, peningkatan kesehatan serta peningkatan pengetahuan). Harapan itu sangat mungkin dapat dicapai terutama bila dikembangkan kelembagaan yang mengatur sinergi hulu-hilir melalui skema PES (Pay for Environmental
Service)
bagi
subwilayah
hulu
dari
peningkatan
rente
perekonomian di subwilayah hilir dimana telah terjadi aglomerasi sektor-sektor agroindustri yang mencapai IRS: Increasing Retun to Scale (lihat Krugman 1991, 2010a, 2010b; Grajeda, 2010 dan Rending, 2009). Optimisme tersebut juga beralasan mengingat peningkatan kontribusi kinerja RED dari sektor-sektor agroindustri yang telah beraglomerasi di subwilayah hilir tersebut mampu membangkitkan imbas pengetahuan dari pemanfaatan ipteks (knowledge spillover) maupun imbas pengetahuan karena terjadi kompetisi pasar demi mengejar efisiensi (pecuniary externality) yang juga sangat menentukan bagi penempaan jiwa (E)nterpreneurship di suatu wilayah. Proses-proses ini berakumulasi sedikit demi sedikit awalnya melalui face to face interaction, yang umum dikenal sebagai niche learning region (Igliori, 2008). Selama proses-proses tersebut berlangsung juga terbangun internalisasi normanorma yang beriringan dengan penempaan (L)eaderships di subwilayah hilir. Hasil-hasil penelitian Hein (2010) di Vietnam melaporkan bahwa perkembangan faktor E sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang berjalan beriringan dengan investasi di sektor-sektor publik lainnya. Peningkatan kredit kepada usaha mikro dapat memacu akselerasi perkembangan jumlah (E)ntrepreneurships, tetapi peningkatan pajak belum tersimpulkan. Pelajaran yang patut dipetik dari temuan Hien (2010) tersebut adalah: penting sekali untuk merancang suatu intervensi kebijakan publik dalam rangka pengembangan ketiga faktor endogenik pertumbuham ekonomi wilayah, baik untuk subwilayah hulu, hilir ataupun untuk keseluruhan wilayah di Provinsi Lampung. Dengan intervensi itu (by design) maka, pengembangan faktor-faktor
94
endogenik diharapkan dapat diakselerasi lebih cepat, yang pada gilirannya akan bermuara pada cepatnya pertumbuhan
ekonomi secara
endogenik dan
berkesinambungan. Namun demikian untuk melakukan semua kegiatan tersebut (dalam rangka memulihkan stagnasi kinerja perekonomian wilayah Provinsi Lampung) maka tindakan yang juga kritis untuk dilakukan adalah karakterisasi terhadap faktorfaktor endogenik yang ada di provinsi ini. Kecuali itu mengingat semua kinerja pembangunan ekonomi wilayah juga sangat dipengaruh oleh kinerja fiskal otoritas lokal yaitu: (i) penerimaan daerah, (ii) alokasi belanja untuk investasi publik, dan (iii) alokasi belanja berbagai jasa layanan umum, maka ketiga macam fungsi fiskal tersebut perlu untuk dikarakterisasi pengaruhnya terhadap perilaku (I)nstitution maupun terhadap (L)eadership lokal. Apabila kedua unsur endogenik
(L dan I) tersebut dapat dimodelkan
sebagai fungsi dari kinerja fiskal dari otoritas Provinsi Lampung, maka pengembangan (E)ntrepreneurship dimungkinkan untuk dapat distimulasi melalui intervensi kebijakan fiskal otoritas lokal tersebut. Pada gilirannya peningkatan kinerja E diharapkan mampu menjadi tumpuan dalam menghela pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan pangsa sekor industri yang dilandasi oleh sektor pertanian. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut, maka dapat dirancang lebih lanjut pendistribusian benefit dari hasil aksi bersama itu untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (HDI) secara agregat di Provinsi Lampung. Secara diagramatik kerangka pemikiran untuk pemecahan masalah ini disajikan pada Gambar 17.
3.2. Ideologi Pembangunan dan Asumsi Dasar dalam Pemecahan Masalah 3.2.1 Landasan Ideologi Pembangunan yang Digunakan Mengingat setiap perencanaan mempunyai dimensi waktu ke depan, sementara itu banyak kejadian di masa depan yang mengandung unsur ketidakpastian, maka para perencana pembangunan atau para pemegang kebijakan publik akan senantiasa dihadapkan pada pilihan landasan ideologi pembangunan tertentu. Pilihan ideologi itu, akan menjadi pijakan utama dalam pegembangan kerangka pemikiran untuk pemecahan masalah tersebut. Selanjutnya berbagai
95
tahapan pemecahan masalah tersebut dapat diskenariokan, dan akhirnya segala implikasi pilihan kebijakan pun dapat disajikan. Secara generik ideologi dapat dimaknai sebagai keyakinan yang dapat diwujudkan di masa depan. Untuk mewujudkan keyakinan tersebut tentu memerlukan berbagai upaya perjuangan dan pengorbanan. Masalahnya seringkali demi dan atas nama perjuangan (atau baca: pembangunan), ada sebagian dari sekelompok masyarakat tertentu yang dikorbankan kepentingannya demi untuk masyarakat yang lain. Sekalipun pilihan itu seringkali dimaksudkan hanya untuk sementara, tetapi ini menyangkut etika dan moral: siapa yang ―layak‖ untuk dikorbankan dan siapa yang ―layak‖ mendapatkan manfaatnya, sampai kapan dan apa pula kompensasi wajar yang harus diberikan. Apalagi kesementaraan tersebut seringkali sengaja dilupakan atau dibiarkan berubah menjadi permanen. Perilaku alpa semacam itu akan berdampak pada moral hazard, yang akan lebih serius lagi jika sekelompok masyarakat yang dikorbankan tersebut adalah generasi yang akan datang, yang tentu saja belum memiliki kesempatan untuk memperjuangkan hak-haknya di masa kini. Karena itu pemerintah sebagai fihak yang diberi otoritas pengambil kebijakan publik (pemegang social contract ala J. J. Reusseau yang didapat via pemilu, lihat Randall, 1987) idealnya harus mampu untuk mengontrol moral hazard tersebut agar tidak berujung pada kegagalan pemerintah (government failure). Untuk itu, maka kajian-kajian akademik (terutama yang didasarkan pada penelitian yang komprehensif) perlu dilakukan untuk memfasilitasi para pemegang social contract ini dengan berbagai alternatif kebijakan yang obyektif agar terhindar dari peluang terjadinya moral hazard tersebut.
96 Masalah Stagnasi Kinerja Pembangunan Ekonomi Wilayah Provinsi Lampung
Deforestasi Akut & Degradasi Lingkungan
Ricardian Trap : Excess Demand Bahan Baku Agroindusti
Stagnasi Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri
M A S A L A H
Pertumbuhan Ekonomi & Capaian HDI Rendah
Merancang Praksis Pembangunan Ekonomi Wilayah:
Teori Kendala Sumberdaya
Teori Transformasi Struktural Perekonomian
Teori Pertumbuhan Endogenik
Model Perilaku Fiskal Propinsi Lampung
Pilihan Etika
P R A K S I S
Model Pembangunan Ekonomi Wilayah [RED: Regional Economic Development]
Skema Reforestasi
Intervensi Kebijakan Fiskal PPropinsi L Peningkatan Pendapatan/Kpt Sektor Pertanian
Peningkatan Pertumbuhan Pangsa Sektor Industri Pendapatan/Kpt Sektor Pertanian Pertumbuhan Ekonomi
Daya Beli Masyarakat
Meningkatnya Capaian HDI Gambar 17. Kerangka Pemikiran untuk Pemecahan Masalah
S O L U S I
97
Menurut Sen (2001 dikutip Yudhoyono, 2004) pembangunan itu sendiri merupakan proses perjuangan nilai-nilai, utamanya nilai-nilai yang dipandang baik (virtues) oleh sekolompk orang ataupun oleh komunitas yang berada di suatu ruang wilayah dan periode waktu tertentu. Periode waktu dalam perjuangan ini menjadi penting, karena virtues senantiasa berkembang sesuai dengan fase capaian perjuangan itu sendiri. Adanya pola umum IKC (Inverted Kuznets Curve) dalam siklus pembangunan suatu bangsa misalnya merupakan refleksi dari perubahan virtue yang diperjuangkan untuk tiap fase pembangunan. Kata virtue dalam praksis pembangunan kini bermetafora menjadi Vision (Adi Cita), yang nilai-nilainya diperjuangkan secara operasional yaitu melalui suatu misi. Dalam konteks pembangunan dalam arti luas, menurut Perance da Tunner et al., (1990) ada 2 ideologi besar yang telah berkembang yang bersifat universal: tidak terikat ras, agama, aliran golongan, maupun waktu. Kedua ideologi tersebut adalah Technocentric dan Ecocentric yang masing-masing mempunyai dua varian: yaitu (1) Technocentric Conurcopian, (2) Technocentric Accomodating, (3) Ecocentric Communalist dan (4) Ecocentric Deep Ecologist. Adapun ciri green label, tipe perekonomian, strategi manajemen yang perlu dikembangkan, etika yang dianut serta label kebersinambungan dari keempat varian ideologi ini secara rinci disajikan dalam Tabel 7. Berdasarkan ciri-ciri ideologi tersebut maka pilihan ideologi tidak mungkin untuk dijatuhkan pada dua ekstrim yaitu pada Technocentric Conurcopian ataupun Deep Ecologist.
Ideologi Technocentric_Conurcopian
punya implikasi pada perilaku yang eksploitatif terhadap berbagai (Re)source endowment yang telah kita miliki demi mengejar pertumbuhan, sedangkan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan diyakini dapat disubstitusi oleh penemuan atau capaian teknologi. Ideologi ini dikatagorikan beretika instrumental value terhadap sumberdaya alam ataupun Re lainnya. Ideologi Technocentric_Conurcopian ini tidak kompatible bagi kita yang umumnya belum mampu melakukan substitusi teknologi terhadap berbagai kerusakan akibat pembangunan yang bersifat eksploitaitif. Lagi pula ideologi ini mempunyai tingkat keberlanjutan yang sangat rendah. Demikian pula sebaliknya pada pilihan Deep Ecology. Sekalipun ideologi ini mempunyai indikator
98
keberlanjutan yang paling besar, kita masih memerlukan pertumbuhan perekonomian untuk menopang pertumbuhan penduduk yang belum dapat ditekan pada pada level zero growth. Tabel 7. Ideologi dan Label Keberlanjutannya dalam Pembangunan Ekonomi TECHNOCENTRIC GREEN LABLE
TYPE OF ECONOMY
MANAGEMENT STRATEGIES
ETHICS
ECOCENTRIC
Conurcopian
Accomodating
Communalist
Deep Ecology
Resource exploitative, growth orientation position Anti green economy, unfettered free market
Resource conservationist, and managerial position
Resource preservationist position
Extreme preservationist position
Green economy, green market guided by economy, incentive instrument (e,g, pollution charge) Modified economic growth (adjusted green accounting to measure GNP)
Deep green economy, steady-state economy regulated by macroeconomical standards Zero population growth
Very deep economy, heavily regulated to minimize resourcetake
Primary economic policy objective, maximize economics growth (GNP) Taken as axiomatic that unfettered free market in conjucton with technical progress will ensure substitution posibilities, capable of mitigating all scarcity limits’ constraint (Enviromental suource & sinks) Support for traditional ethical reasoning: right and interests of contemporary individual human; instrumental value (i.e. of recognize value to humans) in nature VERY WEAK
SUSTAINABILITY LABLES Sumber: Pearce and Turner (1990)
Decoupling important but infinite, Substitution rejected, Sustainability rules: constant capital rule, Therefore some scale change,
Decoupeling plus no increase in scale, “Systems’ prespective – health’ of whole ecosystem very important; Gala Hypothesis and implications,
Extention of ethical reasoning: caring for others’ motive-intra & intergeneration equity (i.e. contemporary poor and future people); instrumental value in nature
Further extention of ethical reasoning: interrest of the collective take precedence over those of the individual; primary value of ecosyatems and secondary value of component functions and services
WEAK
STRONG
Berarti pilihan ada di antara
Scale reduction imperative; at the extreme for some there is a literal interpretation of Gala as personalized agent to which moral obligation are owned
Acceptance of bioethics (i.e. moral right/interest conferred on all non-human species and even abiotic parts of the environment); intrinsic value in nature (i.e. valuable in its own right regardless of human experience), VERY STRONG
ideologi Technocenric_Accomodating
ataukah pada ideologi Ecocentric_Communalism. Dari sisi tentang label keberlanjutannya, ideologi communalism cukup penting bagi masyarakat kita. Tetapi ideologi communalism berimplikasi pada tututan perilaku setiap warga sedimikian rupa agar pertumbuhan perekonomian dan pertumbuhan penduduk
99
sampai ke level zero. Prasyarat ini sangat berat sehingga pilihan kepada ideologi ini juga tidak realistis pada periode atau fase pembangunan di Indonesia saat ini pada umumnya. Dengan demikian untuk masa sekarang bagi Indonesia secara umumnya, pilihan ideologi Technocentric_Accomodataing adalah pilihan yang realistis. Walaupun jaminan keberlanjutan dalam idelogi ini memang masih rendah (weak sustainability), namun surplus hasil-hasil pembangunan ekonomi bisa kita investasikan untuk pengembangan human resource melalui pendidikan dan riset untuk mengejar ketertinggalan teknologi, membangun kelembagaan, membangun pranata hukum, maupun social capital agar mampu memasuki taraf perekonomian pola Kuznets dan mampu keluar dari perangkap perekonomian Marxian (Hayami, 2001). Dengan perkembangan ini kita mempunyai kesempatan untuk melanjutkan dan beralih ke ideologi lingkungan ke Ecocentric_Communalism yang mempunyai indikator keberlanjutan pembangunan yang besar itu. Dengan begitu, maka kontinum ideologi tersebut perlu untuk dicapai agar pembangunan dapat dicapai secara berkesinambungan sesuai dengan fase perkembangan ekonomi wilayahnya.
3.2.2 Asumsi yang Dipergunakan Beberapa asumsi yang perlu untuk dipenuhi dalam pengembangan model pemecahan masalah ini adalah: (1) Pertumbuhan populasi masih melampaui pertumbuhan bahan pangan maupun pertumbuhan sektor industri, ketika upah riil mulai naik secara sementara, (2) Variabel L, I dan E saling bebas dan memenuhi asas aditivitas, dan (3) Kebocoran wilayah maupun sebaliknya dapat diabaikan.
3.3 Hipotesis yang Diajukan Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini meliputi: (1) Untuk pencapaian target indeks pembangunan manusia ke depan tidak ada toleransi bagi adanya deforestasi lebih lanjut baik untuk di subwiayah hulu maupun hilir.
100
(2) Faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah [(L)eadership; (I)nstitution
dan
(E)ntrepreneurship]
berpengaruh
nyata
terhadap
pertumbuhan pangsa sektor industri, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia. (3) Hutan rakyat, hutan negara maupun akses kepada pasar berpengaruh nyata terhadap pendapatan per kapita di sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi dan indeks pembangunan manusia. (4) Faktor-faktor endogenik pertumbuhan ekonomi wilayah dapat digunakan secara handal untuk merancang praksis pembangunan wilayah secara berkesinambungan jika ditopang oleh kinerja sumber daya hutan. (5) Kinerja kewiraushaaan atau (E)ntrepreneurship dari kalangan industri kecil lebih efektif untuk dijadikan penghela proses transformasi struktural perekonomian wilayah dibandingkan kinerja E dari kalangan industri sedangbesar, (6) Kerapatan jumlah koperasi (sebagai pewakil bagi L) berperan positif nyata bagi pengembangan kinerja E dan intensitas kejahatan (sebagai pewakil bagi I) adalah sebaliknya, (7) Rezim tata pemerintahan (RZ) berpengaruh nyata terhadap kinerja faktor endogenik dan pertumbuhan pangsa industri, pertumbuhan ekonomi, dan indekss pembangunan manusia (HDI).
(8) Perilaku fiskal (yang meliputi pajak-retribusi daerah, belanja aparatur, belanja publik, dan belanja bantuan sosial) dari pemerintah Provinsi Lampung berpengaruh nyata terhadap kinerja faktor endogenik dan kemudian juga berpengaruh pada pertumbuhan pagsa sektor industri, pertumbuhan ekonomi dan akhirnya pada HDI secara agregat di Provinsi Lampung.
(9) Di bawah skema reforestasi, alokasi pembelanjaan kombinasi antara belanja publik dengan belanja sosial akan lebih efektif dalam peningkatan penerimaan pajak dan retribusi daerah Pemerintah Provinsi Lampug ketimbang alokasi seluruhnya untuk belanja publik jika keefektivan ersebut diukur dengan indeks nilai tukar petani maupun HDI.