31
3 BAHAN DAN METODE
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dalam tesis ini adalah garis pantai sebelah Utara pulau
Jawa. Secara administratif wilayah kajian penelitian mencakup garis pantai dari 22 desa pesisir dari wilayah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang Provinsi Jawa Barat. Posisi geografis yang menjadi Area of Interest (AOI) penelitian terletak antara 107° 48' 0,572" – 108° 15' 0,576" BT dan 6° 7' 29,766" – 6° 22' 29,766" LS, seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Pelaksanaan penelitian dibagi atas tiga tahapan yaitu a) pengumpulan data dan informasi terkait melalui laporan-laporan dan literatur terkait, dalam hal ini, survei telah dilakukan pada bulan Oktober 2008, b) pengolahan data, serta c) penyusunan laporan penelitian tesis.
3.2
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian, adalah: 1) Perangkat komputer, 2) Perangkat lunak pengolah citra dan sistim informasi geografis (SIG) berupa; ER Mapper 7, ArcGIS 9.3 beserta pluggin trial/free yang diperlukan dalam kemudahan digitasi dan analisis SIG, berupa: X-tool, ETGeowizard, Hawths Tool, Spatial Analysis (ArcGIS), dll. 3) Global Positioning System (GPS) 4) Scanner untuk penyiaman peta-peta dasar dan tematik 5) Alat tulis menulis. Bahan berupa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah; 1. Data dasar berupa; a) Peta rupa bumi/topografi (RBI) skala 1: 25.000 Bakosurtanal produksi terakhir b) Peta LPI skala 1 : 50.000 Bakosurtanal produksi terakhir c) Citra Landsat-5 TM path/row: 121/64 tahun 1991, serta Landsat-7 ETM dari path/row yang sama tahun 2003 (Tabel 4)
Pa ti
m
Pa trol Lor
ari
ng
haji
Bugel
Ilir k
nG rea Pa
n ira
g
Cemara
Paseka Karangany
Sumber : - Peta Rupa Bumi Indonesia 1:25.000 Bakosurtnal, 1999 - Laporan Atlas Sumberdaya Pesisir Pantura Jabar (Bappeda Jabar, 2007) - Cek Lapang Tahun 2008
la Bu
Eretan Wetan
Eretan Kulon Kertawinangun
Gambar 7 Peta lokasi dan garis pantai yang menjadi Area of Interest (AOI) penelitian tesis.
Kel/Desa pd Kab. Subang
Kel/Desa pd Kab. Indramayu
PatrolBaru
108°12'E
g
Laut Jawa Area of Interest (AOI)
n
108°6'E
krin
Kel/Desa Pesisir AOI
ba
108°0'E
g Can
Daerah Kajian
KETERANGAN :
Pangarengan
Te g
al t
am
an em
6°0'0"S 7°20'0"S 6°40'0"S
6°12'S
6°18'S
Ujung Geba r Ad
u tar
Sum u
107°20'0"E
8 Km 108°40'0"E
108°40'0"E
Jawa Barat Jawa Barat
Jawa Barat
107°20'0"E
4
FAIZAL KASIM C551060031
2
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
0
Ü 6°0'0"S 7°20'0"S 6°40'0"S
ma
Meka rs
La
Su k a
gon Wetan
107°54'E
32
ng
33
Tabel 4 Dataset Landsat yang digunakan analisis perubahan garis pantai
2.
Akuisisi (dd-mm-yyyy)
(hh-mm:ss)
Path / row
1991 Landsat-5 / TM
05-07-1991
02:46:00 GMT
121/064
30 m
2003 Landsat-7 / ETM
27-05-2003
02:42:23 GMT
121/064
30 m
Tahun
Satelit /Sensor
Resolusi spasial
Pasang surut dari: Data global tide jenis merged-dataset satelit Topex / Poseidon, Jason dan ERS-1/ERS
3.
Gelombang; Data pengamatan ECMWF
4.
Perubahan Muka Laut: Data pengamatan Satelit Topex/ Poseidon (Ocean Observation, AVISO)
5.
Geomorfologi; Peta Rupa Bumi 1:25.000 (Bakosurtanal), Peta Geologi (Puslitbang Geologi) dan Peta Landsystem (Balai Penelitian Tanah Nasional)
3.3
Metode Penelitian Metode pengumpulan data enam variabel yang terdiri atas kelompok
variabel faktor geologi (mencakup: laju perubahan garis pantai, geomorfologi, dan kemiringan pantai atau slope) serta kelompok variabel proses fisik (meliputi: laju perubahan muka laut, rerata tinggi gelombang, dan rerata kisaran pasang surut) disesuaikan menurut tujuan penelitian. Pendekatan dalam metode penelitian meliputi integrasi metode penginderaan jauh (inderaja), SIG dan MCA. Pendekatan teknik inderaja pengolahan data Landsat TM (1991) dan ETM+ (2003) untuk perhitungan perubahan garis pantai dikerjakan menggunakan perangkat lunak Er-Mapper. Pengolahan data citra mencakup tahapan standar dalam pengolahan data, yakni: registrasi, koreksi citra, serta penajaman citra pada kedua dataset Landsat. Pendekatan SIG terutama digunakan untuk membangun basis data dan analisis kerentanan. Untuk mendapatkan hasil ekstraksi berupa fitur titik, garis, dan poligon yang sesuai AOI dikerjakan menggunakan tahapan cropping, statistic overlay, resample, interpolasi, serta konversi. Pendekatan MCA digunakan dalam standarisasi ranking variabel kerentanan. Tahapan standarisasi mencakup pula kajian pustaka serta pembuatan matriks.
Gambar 8
ETM+ 2003
Peta LPI
Slope (%)
Diagram alir tahapan dalam metodologi penelitian.
Peta Indeks Kerentanan (CVI)
Hitung Skor CVI
Peta RBI Data Model
Peta Kerentanan GroupVariabel
Ranking Resiko (Kerentanan )Tiap Variabel
Grid Garis Pantai
Rerata tinggi Gelombang Signifikan (meter)
Data Penelitian ECMWF 10 tahun (19992009)
Proses Fisik
Peta Kerentanan Tiap Variabel
Rerata Laju Perubahan muka laut (mm/Tahun)
TOPEX/POSEIDO N 17 Tahun (AVISO)
Dataset / featureset Basisdata Variabel Kerentanan CVI
Geomorflogi (skor)
(1:24.000)
Peta-peta Kerentanan Pantai Teluk Indramayu
Topo-Batimetri
(1:50.000)
− − → Prosedur Penilaian CVI Biasa ∙ − ∙ → Prosedur Penilaian CVI MCA
Keterangan :
Perubahan Garis Pantai (meter/tahun)
TM 1991
Data Citra Landsat
Geologi
Pendekatan Indeks Kerentanan Pantai (CVI)
Penelusuran Informasi (literatur dan data Kerentanan Pantai)
Standarisasi Ranking Variabel (Lowest & Highest) dan Ranking Kelompok Variabel CVI
MCA
Rerata tinggi Pasang Surut (meter)
Data model Pasang Surut Global
34
Basis data terdiri atas berbagai fiturset (point, line, polygon) dari keenam
variabel CVI di diregistrasi menggunakan Sistim Proyeksi Mercartor (UTM) Zona 49 (SUTM 49). Basis data dibangun dalam satuan shoreline grid yang dibuat
bersumber dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:25.000 (Bakosurtanal).
Tahapan metode penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8.
SIG
35
3.4
Pengolahan Data Landsat untuk Deliniasi Garis Pantai Teknik deliniasi yang digunakan mencakup beberapa pendekatan, yakni;
metode Single Band Threshold, Band Ratio (rationing), serta False Color Composite FCC RGB 543. Tahapan teknik deliniasi darat-air untuk mengekstrak garis pantai dari kedua dataset Landsat disajikan pada Gambar 9.
Citra Landsat TM (1991) & ETM (2003) (Terkoreksi )
Band Ratio b2/b4>1, b2/b5>1
Treshold Band-5
Citra Treshold TM (1991) ETM+ (2003)
FCC RGB 543
Citra komposit FCC RGB 543 TM (1991) ETM (2003)
Citra Band Ratio TM (1991) ETM+ (2003) Pengalian kedua jenis citra Konversi Raster-Vektor (Digitasi) Citra Biner TM (1991) & ETM (2003)
Garis Pantai 1991
Garis Pantai 2003
Gambar 9
Metode deliniasi darat-laut untuk mengekstrak garis pantai dari dataset Landsat Tahun 1991 dan Landsat ETM+ Tahun 2003.
Deliniasi dengan teknik single band (Band-5) pada kedua dataset Landsat TM dan ETM+ digunakan untuk membagi secara langsung antara laut dan darat berdasarkan nilai spektral Band-5 yang menjadi nilai threshold batas darat-air bagi masing-masing dataset TM (1991) dan ETM+ (2003).
Hasil analisis
histogram Band-5 yang digunakan sebagai nilai threshold batas darat-air pada kedua dataset Landsat ditunjukkan pada Gambar 10. Masing-masing adalah; 10 untuk TM (1991) dan 17 untuk ETM+ (2003). Berdasarkan kedua nilai tersebut, piksel-piksel dengan nilai lebih kecil dari nilai threshold diklasifikasikan sebagai
36
badaan air (laut)), sebaliknyya piksel deengan nilai lebih besaar dari nilaii threshold diklaasifikasi sebbagai kelas darat. d
A
B
Gam mbar 10 Haasil analisis histogram nilai thresh hold (A) Baand-5 data T TM Tahun 1991 dan (B)) ETM+ Taahun 2003 yang digunnakan untukk ekstraksi infformasi gariis pantai berrdasarkan metode m singlle band. u penenntuan batas Metode single bandd seperti di atas sangat sesuai untuk daratt-air pada daerah pantaai berpasir, namun n mem miliki kelem mahan diteraapkan pada daeraah pantai berlumpur dan d bervegetasi. Untuk k mengatasi keterbatasaan tersebut digunnakan metoode Band-R Ratio sehinggga diperolleh batas niilai piksel yyang lebih inforrmatif. Pada meetode Band Ratio, rasioo Band-4 dan d 2 (b4/b22) akan mennghasilkan batass darat-air pada p daerahh pantai yanng tertutup oleh o vegetaasi. Daerah darat yang tidakk bervegetassi ikut terkelaskan ke dalam pikssel air (lautt). Sebaliknnya dengan rasioo Band-5 daan 2 (b5/b2)) maka dipeeroleh garis pantai darii daerah yanng tertutup oleh pasir dann tanah. Untuk U mempperoleh ko ombinasi dari kedua informasi, ( ett al. 2001); selannjutnya diguunakan algooritma sebaggai berikut (Winarso
37
If (b4/b2) >=1 then 1 else if (b5/b2) >=1 then 1 else 2 . ...................... (1) Menurut Alesheikh et al. (2007) bahwa jenis citra biner yang dihasilkan dari algoritma Persamaan (1) sebenarnya telah memadai untuk mengekstrak garis pantai, namun jika diamati lebih teliti terdapat kecenderungan batas air-darat yang masuk ke dalam piksel kelas air. Sehingga untuk mengatasi permasahan tersebut sekaligus untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang lebih baik untuk batas darat-air disarankan untuk membuat citra baru yang dibuat dari perkalian kedua jenis citra (citra single band threshold Band-5 dan citra band ratio) yang telah dihasilkan. Pendekatan jenis citra komposit RGB digunakan dalam rangka membantu pengenalan informasi secara visual bagi keseluruhan pendekatan deliniasi yang dilakukan maupun pada hasil konversi raster to vector.
3.5
Basisdata Kerentanan dan Ekstraksi Data Variabel Basisdata dibangun dari data hasil ektraksi tiap variabel dalam masing-
masing shoreline grid (grid garis pantai). Ukuran shoreline grid yang menjadi satuan penilaian kerentanan tiap variabel ditentukan berukuran 1 menit (± 1,8 km) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 11. Tidak terdapat aturan mengenai penerapan ukuran grid yang menjadi dasar pembuatan basis data penilaian kerentanan tiap variabel dalam metode CVI. Beberapa literatur melaporkan penggunaan ukuran shoreline grid yang berbeda menurut luas cakupan penilaian. Misalnya, Pendletton et al. (2005) menggunakan grid berukuran 500 meter bagi total garis pantai sepanjang 60 km di daerah Taman Nasional, Samoa-Amerika. Sebelumnya, Pendletton et al. (2004A) ; (2004B) menggunakan ukuran 1’ (1 menit) atau sekitar 1,8 km untuk penilaian sepanjang 195 km bagi garis pantai Cape Hatteras National Seashore (CAHA), North Carolina-Amerika serta garis pantai sepanjang 60 km di daerah Assateague Island National Seashore (ASIS), daerah Maryland dan Virginia-Amerika. Thieler and Hammar-Klose (2000) menggunakan grid berukuran 3’ (3 menit) atau sekitar ±5 km untuk total garis pantai sepanjang 8.058 km yang digunakan untuk penilaian daerah pantai Teluk Meksiko-Amerika.
6°12'S
6°18'S
Gambar 11
49 8--25 48 7--25
51 8--26 50 7--26
Sumber : - Peta Rupa Bumi Indonesia 1:25.000 Bakosurtnal, 1999 - Laporan Atlas Sumberdaya Pesisir Pantura Jabar (Bappeda Jabar, 2007) - Cek Lapang Tahun 2008
43 47 8--23 8--24 46 7--24 45 6--24 42 44 5--23 5--24 39 40 41 4--21 4--22 4--23 37 38 3--20 3--21 36 2--20
108°12'E
0
2
8 Km 108°40'0"E
108°40'0"E
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
FAIZAL KASIM C551060031
107°20'0"E
Jawa Barat Jawa Barat
Jawa Barat
107°20'0"E
4
Ü
Shoreline grid yang menjadi dasar pembangunan basis data tiap variabel kerentanan. (Keterangan: entitas yang menjadi atribut tiap variabel dikumpulkan dengan arah seaward/landward dari garis pantai dalam tiap h li id)
Desa AOI Desa Pesisir
15 11--5 14 10--5 13 9--5 12 17 8--5 8--6 16 18 19 21 7--6 7--7 7--8 7--9 20 22 24 6--9 6--10 6--11 23 26 5--11 5--12 25 27 29 4--12 4--13 4--14 28 30 31 33 3--14 3--15 3--16 3--17 32 34 35 2--17 2--18 2--19
Daerah Kajian (AOI) Grid Seaward Grid Landward Grid AOI
KETERANGAN :
2 3 5 8 11--0 11--1 11--2 11--3 11 1 4 7 10--0 10--2 10--3 10--4 10 6 9--3 9--4 9 8--4
108°6'E
6°0'0"S 7°20'0"S 6°40'0"S
108°0'E
6°0'0"S
7°20'0"S 6°40'0"S
107°54'E
38
.
39
Pertimbangan penggunaan ukuran grid sebesar 1 menit atau ± 1,8 km dalam penelitian ini lebih didasarkan atas kesesuaian ukuran tersebut dengan ukuran grid terkecil dalam Nomor Lembar Peta (NLP) peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1: 25.000 (Bakosurtanal). Diasumsikan bahwa ukuran shoreline grid representatif bagi pengamatan gradasi fitur dari masing-masing variabel dalam kawasan garis pantai yang dinilai dalam AOI sepanjang ±101 km. Secara keseluruhan terdapat 405 buah grid dalam AOI, terdiri atas 27 (baris) x 15 (kolom). Jumlah tersebut sudah termasuk 51 buah grid yang menjadi shoreline grid. Penyeleksian grid menjadi shoreline grid menggunakan proximity tool bagi tiap grid yang bersinggungan dengan garis pantai hasil ekstraksi dari peta rupa bumi (RBI).
3.5.1 Ekstraksi Data Variabel Laju Perubahan Garis Pantai Bahan untuk analisis laju perubahan garis pantai adalah vektor (polygon dan polyline) yang dihasilkan dari konversi raster to vector pada tahapan deliniasi. Tahapan metode ekstraksi mendaparkan nilai laju perubahan garis pantai disajikan
Data Citra Biner Landsat
Gambar 12.
Garis Pantai (1991)
TM 1991
ETM+ 2003
Raster to Vektor
Garis Pantai2003 Koreksi Pasang Surut
Kondisi Pasut Akuisisi Citra
Metode End Poin Rate
Line Poligon Akresi & Erosi 12 tahun
Laju Perubahan Garis Pantai (meter/thn)/Grid Metode Single Transect
Terain TopoBatimetri
Grid Garis Pantai
Peta RBI
Peta LPI
Gambar 12 Metode pengumpulan dan analisis data variabel laju perubahan garis pantai dengan penerapan koreksi pasang surut.
40
3.5.1.1 Koreksi Pasang Surut Tahapan koreksi pasang surut dimaksudkan untuk menghasilkan batas darat-air yang menjadi fitur garis pantai sesuai kondisi pasang surut. Oleh karena itu, data yang diperlukan adalah kondisi pasang surut menurut akuisisi kedua dataset Landsat. Rekaman data lapangan untuk kebutuhan ini tidak tersedia sehingga digunakan data prediksi (model) menurut waktu akuisisi kedua dataset Landsat yang diturunkan dari pengolahan perangkat lunak MIKE21 (DHI Software, 2007) seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5
Kondisi pasang surut waktu akuisisi citra berdasarkan hasil ekstraksi data keragaan pasang surut yang diolah dari perangkat lunak MIKE21 (DHI Software, 2007) Jenis Data Landsat
Tahun
Waktu Akuisisi
Kondisi Pasang Surut
(dd-mm-yyyy)
(hh-mm:ss) GMT
(hh-mm:ss) Lokal
Tinggi Relatif (m)
Kondisi
1991
TM
05-07-1991
02:46:00
10:46:00
0,18**
Pasang
2003
ETM+
27-05-2003
02:42:23
10:42:23
0,19**
Pasang
Keterangan: *) merupakan nilai ketinggian menuju pasang dimana ketiggian pada menit ke-46 adalah hasil interpolasi antara ketinggian pasang surut pukul 10:00 dan 11:00 **)
merupakan nilai ketinggian menuju surut dimana ketiggian pada menit ke-42 adalah hasil interpolasi antara ketinggian pasang surut pukul 10:00 dan 11:00
Teori pendekatan yang digunakan dalam pengoreksian pasang surut terhadap ekstraksi fitur garis pantai disajikan seperti pada Gambar 13. Berdasarkan pada tahapan deliniasi data citra akan diperoleh batas darat-air yang menjadi fitur garis pantai. Perubahan posisi garis pantai akan mengikuti bentuk profil lereng pantai bersangkutan apakah jenis pantai akresi atau erosi. Sifat air senantiasa menciptakan permukaan yang datar. Oleh karena itu fluktuasi ketinggian batas darat-air yang menyebabkan pergantian darat ke air dan sebaliknya merupakan proses normal yang diakibatkan oleh ketinggian air akibat proses pasang surut. Pada kondisi lereng pantai yang normal, titik ketinggian batas darat-air tertinggi dan terendah diwakili oleh titik HHWL0 – LLWL0. Secara teori, proses akresi dan erosi menyebabkan kawasan batas tertinggi dan
41
terendah tersebut mengalami perubahan. Bagi jenis pantai yang mengalami akresi yakni daratan mengalami penambahan ke arah laut, kedua titik menjadi HHWL1 – LLWL1. Sebaliknya pada jenis pantai yang mengalami erosi, daratan menghilang berganti menjadi laut (air) sehingga kedua titik diwakili oleh HHWL2 – LLWL2. Hal yang sama juga berlangsung pada titik batas darat-air yang menjadi ketinggian rerata muka air laut (titik MSL1 dan MSL-2). Posisi titik batas daratair ini bergradasi spasial baik secara menegak (vertical) maupun melintang (horizontal).
Gambar 13
Penampang tegak dan melintang diagram kawasan pantai beserta titik-titik ketinggian air pada jenis lereng pantai normal, akresi dan erosi
Berdasarkan rekaman citra (Landsat) diperoleh hasil ekstraksi berupa sebaran spasial (gradasi) posisi fitur batas darat-air secara melintang. Untuk itu digunakan data ketinggian muka air (pasut) menurut waktu akuisisi dataset citra satelit yang digunakan untuk mereferensikan sebaran melintang fitur batas daratair yang mencerminkan posisinya secara menegak terhadap profil elevasi (lereng). Dengan demikian diperoleh hasil ekstraksi posisi batas darat-air yang menjadi sebagai fitur garis pantai dari hasil ekstraksi dataset citra menurut kondisi sebenarnya secara spasial baik melintang dan menegak. Berdasarkan pendekatan seperti ini maka pengekstraksian fitur garis pantai berdasarkan kondisi pasang surut membutuhkan data profil lereng pantai bagi masing-masing dataset menurut waktu akuisisinya. Menurut Siregar dan Selamat
42
(2009) bahwa keragaan batimetri digital untuk menggambarkan profil topografi dasar perairan dapat dibangun dari metode interpolasi. Terkait dengan hal tersebut, penyediaan informasi profil lereng pantai bagi kedua dataset Landsat TM tahun 1991 dan ETM+ tahun 2003 dibuat berbentuk keragaan digital file bati-topografi (raster). Karena pengekstraksian garis pantai terdiri atas 2 dataset (1991 dan 2003) maka raster profil lereng pantai ini juga terdiri atas profil lereng dataset Tahun 1991 dan Tahun 2003. Bahan pembuatan kedua profil lereng (raster) adalah: 1) titik elevasi topografi bersumber dari peta RBI Bakosurtanal (1:25.000), 2) garis kontur kedalaman bersumber dari peta LPI Bakosurtanal (1:50.000), dan 3) garis kontur ketinggian air pasang surut menurut waktu akuisi masing-masing dataset Landsat (1:30.000). Penyeragaman acuan referensi menegak (vertikal) bagi seluruh dataset menggunakan ketinggian rerata muka laut atau Mean Sea Level (MSL). Keragaan raster bati-topografi berdasarkan gabungan elevasi topografi dan kontur batimetri disajikan pada Gambar 14. Prosedur tahapan langkah pembuatan keragaan raster topo-batimetri dan pengekstraksian fiturset garis pantai berdasarkan koreksi kondisi pasang surut adalah sebagai berikut: 1) Menyamakan referensi seluruh bahan fiturset ke referensi datum vertikal MSL. Pada tahapan ini, masing-masing ketinggian air (Tabel 5) dijadikan atribut bagi masing-masing fiturset polyline hasil ekstraksi garis pantai tahun 1991 dan 2003; 2) Membuat raster keragaan terrain topo-batimetri dari seluruh gabungan fiturset yang dibedakan atas atas raster untuk dataset Tahun 1991 dan Tahun 2003. Sebagai acuan pembeda pembuatan kedua dataset raster adalah kontur garis pantai berdasarkan kodisi pasang surut fiturset tahun 1991 dan tahun 2003. Luaran kedua raster dibuat beresolusi 30 meter; 3) Membuat kontur pada kedua raster menurut ketinggian pasang surut kedua waktu akusisi Landsat sehingga diperoleh masing-masing fiturset garis pantai 1991 dan 2003 berdasarkan perlakuan tahapan koreksi pasang surut.
Low : -36,0952
High : 13,0318
108°12'E
Sumber : - Titik Elevasi Peta Rupa Bumi Indonesia 1:25.000 (Bakosurtanal, 1999) - Garis Kontur Kedalaman Peta Lingkungan Lingkungan Pantai Indonesia 1:50.000 (Bakosurtanal, 1999)
108°6'E
6°12'S
6°18'S
0
2
8 Km 108°40'0"E
108°40'0"E
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
FAIZAL KASIM C551060031
107°20'0"E
Jawa Barat Jawa Barat
Jawa Barat
107°20'0"E
4
Ü 6°0'0"S 7°20'0"S 6°40'0"S
Gambar 14 Keragaan terain topo-batimetri yang dibangun menggunakan gabungan kontur batimetri dari Peta LPI Bakosurtanal (1:50.000) dan titik elevasi topografi dari Peta RBI Bakosurtanal (1:25.000).
Tinggi
Profil Bati-topografi (meter)
108°0'E
6°0'0"S 7°20'0"S 6°40'0"S
Wilayah AOI Penelitian Garis Pantai MSL (Bakosurtanal) Grid Garis Pantai
KETERANGAN :
107°54'E
43
44
3.5.1.2 Penghitungan Laju Akresi/Erosi Penentuan laju perubahan garis pantai dalam penelitian ini menggunakan kombinasi antara modifikasi metode single transect untuk ekstraksi informasi jarak perpindahan tiap lokasi garis pantai, serta metode end point rate untuk pengitungan statistik nilai laju perubahan tiap titik lokasi tersebut (Thieler et al.2001 ; Hapke et al. 2010). Modifikasi metode single transect dilakukan karena daerah kajian menghasilkan kondisi fiturset garis pantai yang kompleks, terutama di sebelah Barat dan Timur wilayah AOI. Sehingga penentuan transek sangat menguras waktu dan tenaga serta menghasilkan banyak menghasilkan error. Di lain pihak, end point rate dipilih sebagai metode pendekatan penghitungan statistik laju perubahan mengingat penggunaan deret waktu rekaman citra Landsat dalam penelitan ini yang hanya terdiri atas 2 dataset (1991 dan 2003) sangat sesuai dihitung menggunakan metode tersebut. Modifikasi metode single transect dilakukan terhadap baseline yang menjadi dasar untuk pembuatan transek. Pada metode single transect yang sebenarnya, baseline dibuat menggunakan buffer-tool. Pada baseline ini dibuat garis-garis transek tegak lurus berjarak spasi tetap sebagai titik pengukuran. Besar perubahan/perpindahan posisi garis pantai (meter) selanjutnya ditentukan pada panjang tiap transek yang menjadi titik perpotongan antara garis pantai-1 dengan garis pantai-2. Panjang jarak titik perpotongan (panjang transek) yang mewakili perpindahan garis pantai pada pantai maju (akresi) ditandai sebagai nilai positif (+), sebaliknya ditandai negatif (-) jika jarak titik perpotongan tersebut merupakan garis pantai mundur (erosi). Modifikasi dimaksud pada metode single transect adalah dengan tidak membuat baseline tersebut menggunakan buffer tool. Melainkan transek langsung dibuat pada masing-masing fitur polyline yang menjadi entitas akresi dan erosi dari hasil overlay fiturset garis pantai 1991 dengan 2003. Pada fiturset polyline ini garis-garis transek tegak lurus dibuat dan dengan jarak spasi tiap titik pengukuran sebesar 100 meter. Perbedaan komponen antara metode single transect asli dan modifikasi bisa dilihat pada Gambar 15. Sedangkan contoh penentun garis transek menurut
45
masing-masing entitas akresi/erosi dalam tiap shoreline grid disajikan pada Gambar 16.
Gambar 15
Perbedaan komponen pada metode single transect asli dan modifikasi untuk penentuan jarak perubahan/perpindahan antar posisi garis pantai.
Berdasarkan penentuan perpindahan posisi garis pantai dari pendekatan single transect maka diperoleh beberapa parameter perhitungan, sebagai berikut: 1) jumlah garis transek dalam tiap shoreline grid menurut entitasnya masingmasing, 2) panjang keseluruhan garis transek berdasarkan penjumlahannya menurut masing-masing tanda entitas yaitu negatif untuk erosi dan positif untuk akresi, serta 3) rentang waktu kedua dataset Landsat TM dan ETM. Berdasarkan ketiga parameter di atas maka penghitungan statistik dengan pendekatan metode end point rate untuk laju perubahan garis pantai pada tiap shoreline grid secara matematis diformulasikan sebagai berikut: ∑
.
.................................................................... (2)
46
di mana ; Vc = Rerata kecepatan perubahan maju/mundur garis pantai tiap shoreline grid (meter/tahun), Lae = Panjang keseluruhan single transect pada tiap shoreline grid (meter) menurut entity Akresi (+) dan Erosi (-), ΣNae = Jumlah transek pada tiap shoreline grid, Y = Rentang waktu hasil ekstraksi fiturset garis pantai 1991 dan 2003 (12 tahun)
108°12'E
108°14'E
6°14'S
Ü
0 0,375 0,75
1,5 Km
Keterangan Shoreline Grid Akresi Erosi Tetap (Darat) Tetap (Laut)
6°16'S
Jawa Barat Jawa Barat
Entity
Transek akresi Transek erosi
FAIZAL KASIM C551060031
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Gambar 16 Contoh pembuatan garis transek dalam tiap shoreline grid berdasarkan masing-masing entitas akresi/erosi yang dibentuk oleh hasil overlay polyline antara fiturset garis pantai 1991 dan 2003.
3.5.2 Variabel Geomorfologi Pengekstraksian jenis-jenis landform geomorfologi dilakukan dengan merujuk pada daya resistensi jenis variabel geomorfologi terhadap erosi menurut orisinalitas dalam literatur CVI sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 6. Jenis-jenis landform seperti pada Tabel 6 diekstrak dari jenis landuse/landcover pada Peta Rupa Bumi Indonesia, Peta Geologi, dan Peta Landsystem. Pengekstrasian ranking jenis landform variabel geomorfologi berdasarkan jenis landuse dan landcover pada peta RBI, mencakup sebagai berikut:
47
•
Landform Daratan Aluvial dikekstrak dari atribut layer; Empang, Penggaraman, Sawah Irigasi, Sawah Tadah Hujan, Tegalan/Ladang
•
Landform Rawa Payau (salt marsh) dikekstrak dari atribut layer: Belukar/Semak dan Rawa.
•
Landform Hutan Bakau dikekstrak dari atribut layer; Hutan Bakau dan Hutan Rawa.
•
Landform Bangunan Pantai dikekstrak dari atribut layer; Gedung dan Pemukiman.
•
Landform Estuari, Laguna dan Delta dikekstrak dari atribut layer; Air Tawar dan Garis Pantai.
•
Landform Pantai Berpasir dikekstrak dari atribut; Pasir Pantai dan Pasir Darat.
Tabel 6
Ranking variabel geomorfologi berdasarkan pembagian tingkat resistensi masing-masing kelompok landform pantai terhadap erosi (Sumber: Thieler and Hammer-Klose, 2000 ; Pendleton et al. 2004A, 2004B ; 2005 ; Gutierrez et al. 2009)
Very Low Low Moderate High 1 2 3 4 Pantai berbatu Bertebing sedang, Bertebing Bangunan Pantai, bertebing tinggi, pantai berlekuk rendah, Glacial Estuary, Lagoon Fjords (Indented Coasts) Drift, dataran Alluvial
Very High 5 Barrier Beaches, pantai berpasir, Salt Marsh (rawa payau), Mudflats (berlumpur), Deltas, Mangrove, Coral Reefs
Di samping pengekstraksian menggunakan peta RBI untuk jenis landform geomorfologi pantai seperti di atas maka peta geologi dan landsystim digunakan sebagai bahan pembantu mengenali pengkelasan jenis-jenis tiap layer. Dari hasil pengekstraksian jenis layer landform di atas diperoleh luas fiturset polygon tiap layer. Sehingga untuk mentransformasi nilai luas tiap jenis landform menjadi ranking pada tiap shoreline grid digunakan matrik seperti ditunjukkan pada Tabel 7. Selengkapnya tahapan dalam metode yang dilakukan untuk mengekstraksian variabel geomorfologi ditampilkan pada Gambar 17.
48 Sebaran Endapan dan Landform (dibatasiAOI)
Peta Landsystem (teregistrasi)
Transformasi Kualitatif ke Kauntitatif (Matriks )
Cropping dan Ekstraksi Layer
Peta Geologi (teregistrasi)
Ranking Kerentanan Varibel Geomorfologi Tiap Grid Garis Pantai
Peta RBI (teregistrasi) Grid Garis Pantai
Gambar 17 Metode ekstraksi data variabel geomorfologi bagi tiap shoreline grid Pada analisis matriks, luas jenis landform yang dominan dalam tiap shoreline grid ditransformasi menjadi skor nilai ranking variabel geomorfologi. Transformasi luas tiap layer landform menjadi ranking melibatkan faktor bobot yang tidak lain merupakan kelas ranking masing-masing landform menurut pembagian kelompok erobilitasnya masing-masing seperti pada Tabel 6. Hasil transformasi dari matriks selanjutnya diperoleh nilai skor ranking variabel geomorfologi (1 – 5) yang menjadi atribut tiap shoreline grid. Tabel 7
No Grid
Matriks transformasi jenis-jenis landform variabel geomorfologi untuk menentukan dominansi kelompok layer landform menurut luas poligonnya masing-masing. Very Low 1
Low 2
Pantai Bertebing berbatu sedang, bertebin pantai g tinggi, berlekuk Fjords (Indented Coasts)
n
LPk=1
LPk=2
Moderate
High
Very High
3
4
5
Bertebing rendah, Glacial Drift, dataran Alluvial
Bangunan Pantai, Estuary, Lagoon
Barrier Beaches, pantai berpasir, Salt Marsh (rawa payau), Mudflats (berlumpur) , Deltas, Mangrove, Coral Reefs
LPk=3
LPk=4
LPk=5
Luas Seluruh Kelas Poligon
LKg=∑
Nilai Ranking Morfologi (NK)
.
49
di mana: n = Nomor shoreline grid, LP = Luas poligon landform diperoleh dari hasil kali luas tiap layer landuse/landcover terhadap kelas ranking (bobot) masing-masing ke-k pada shoreline grid ke-n, LKg = Jumlah luas seluruh poligon landform berdasarkan jumlah faktor pengali ranking ke-k pada shoreline grid ken, diformulasikan sebagai; ∑
............................................................... (3)
NK = Nilai ranking variabel morfologi pada shoreline grid ke-n, diformulasikan sebagai; ∑
.
...................................................... (4)
k = Ranking (bobot) variabel geomorfologi (1 – 5)
3.5.3 Variabel Kemiringan Pantai (Slope) Sumber data yang digunakan mengekstrak kemiringan pantai (slope) adalah keragaan raster terrain bati-topografi yang sebelumnya digunakan dalam pengoreksian garis pantai terhadap pasang surut. Pada Gambar 18 ditunjukkan metode pengumpulan data kemiringan pantai. Peta LPI (Garis Kontur) 1 : 50.000
Raster Terain BatiTopografi (Resolusi 30 m)
Surface Analysis
Interpolasi
Peta RBI (Poin Elevasi) 1 : 24.000
Spasial Statistik
Nilai Slope Tiap Grid (%)
Kemiringan (Slope) Pantai (%)
Grid Garis Pantai
Gambar 18 Metode pengumpulan nilai (rerata) variabel kerentanan kemiringan pantai (slope) dalam tiap shoreline grid. Nilai kemiringan diekstrak menggunakan surface analysis tools dengan konfigurasi luaran adalah slope dengan satuan persen (%). Sedangkan ekstraksi nilai variabel slope pada tiap grid garis pantai dilakukan menggunakan statistic tool. Pengekstraksian nilai slope ini dilakukan pada daerah pantai berjarak 1 km
50
ke arah laut maupun darat (seaward/landward) dari garis pantai yang ada pada tiap grid.
3.5.4 Variabel Laju Perubahan Muka Laut Sumber data yang digunakan untuk tinggi rerata perubahan muka laut (mm/tahun) adalah data pengamatan satelit altimeter Topex/Poseidon selama kurun waktu 17 tahun (Oktober 1992 hingga Juli 2009), diperoleh dari alamat http://.aviso.oceanobs.com/. Jenis data berformat NetCDF (*.nc) dan memiliki resolusi grid berukuran 0.25o (± 27.8 km) dengan jenis koreksi mencakup inverted barometer serta radiometer wet troposphere. Pengaruh faktor lokal seperti sebaran land subsidence, up-lift, dan tingkat penggunan air tanah tidak diperhitungkan dalam menilai rerata laju kenaikan muka laut karena ketiadaan data yang dibutuhkan secara spasial, sehingga nilai laju perubahan muka laut yang digunakan untuk wilayah AOI adalah murni merupakan faktor perubahan muka laut global atau mutlak (Soemarwoto, 1992. Pengolahan data mencakup tahapan cropping (wilayah Laut Jawa dan sekitarnya), sorting, serta filtering. Keseluruhan tahapan tersebut dilakukan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View (ODV), MS Excel dan Surfer. Dari tahapan ini diperoleh luaran berupa data XYZ yang merupakan poin grid rerata tinggi perubahan muka laut (Gambar 19). Data Model Trend Perubahan Muka Laut (+/-) Data (TOPEX/PSOIDON) selama 17 Tahun 1992-2009 (*.nc)
Arrange Menjadi XYZ (Rera ta Ta hun) di MS Excel
Olah & Croping di ODV
File XYZ
Interpolasi (Krigging) di Surfer
File TXT
File Grid Data Rerata Laju Kenaikan Muka Laut Tiap Grid (mm/tahun)
Cropping &Konversi di Global Ma pper
Olah di AcGIS
Grid Garis Pantai
File Grid XYZ (.txt)
Gambar 19 Tahapan konversi dalam metode ekstraksi data Network Common Data Format (.*nc)
51
Untuk menghasilkan peta raster beresolusi 30 meter yang dijadikan sumber untuk mengekstrak nilai variabel rerata perubahan muka laut dilakukan dengan menggunakan metode interpolasi (krigging) dan resample menggunakan teknik raster to feature point. Pengekstrasian nilai rerata laju perubahan muka laut dalam tiap shoreline grid dilakukan menggunakan zonal statistic tool.
3.5.5
Variabel Rerata Tinggi Gelombang Sumber data yang digunakan dalam penelitian untuk mengekstrak
parameter tinggi rerata gelombang adalah data Mean Significant Wave Height yang diperoleh dari ECMWF (European Centre for Medium-Range Weather Forecasts) dan bisa didownload dari internet beralamat di http://ecmwf.int/. Tinggi gelombang yang digunakan adalah interval data pengamatan tiap 6 jam pada domain perairan Laut Jawa dan sekitarnya dari tahun 2002 - 2003 (Gambar 20). 107°30'0"E
109°35'0"E
111°40'0"E
0°25'0"S
Ü Kalimantan
0 30 60
120 108°0'0"E
180 Km 120°0'0"E
14°0'0"S 6°0'0"S
2°30'0"S
2°0'0"N 10°0'0"N
INSET
Keterangan
4°35'0"S
Daerah kajian (AOI) Daratan Point Grid Gelombang
FAIZAL KASIM C551060031
6°40'0"S
Laut Jawa
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Gambar 20 Domain poin grid untuk menurunkan data significant wave height ECMWF (meter). Data significant wave height dari ECMWF ini memiliki resolusi spasial sebesar 1,5° DD. Tahapan metode pengumpulan data rerata tinggi gelombang
52
disajikan pada Gambar 21. Pengolahan seluruh data dikerjakan pada sistim proyeksi UTM zona 49 (SUTM 49).
Data Model Gelombang ECMWF (Indonesia)
Poin Grid Tinggi gelombang Musiman
Hitung Tinggi Musiman
Data Rerata Tinggi Gelombang Tahunan Tiap Grid (meter)
Spasial Statistic
Raster Tinggi gelombang Musiman
Interpolasi (Spline)
Cropping dan Resample
Raster Tinggi gelombang Tahunan (AOI)
Overlay Statistic (mean)
Raster Tinggi gelombang Tahunan
Grid Garis Pantai
Gambar 21 Metode pengumpulan data tinggi rerata gelombang dan relasinya dalam basis data Selengkapnya pengolahan data gelombang hingga menjadi basis data dalam tiap shoreline grid adalah sebagai berikut: 1. Membuat domain sebaran poin grid yang diinginkan (domain Indonesia untuk perairan sekitar pulau Laut Jawa dan sekitarnya), di mana waktu pengamatan adalah 1 siklus tahunan (Desember 2002 – November 2003). 2. Menghitung seasonal mean wave height dari data interval 6 jam-an pada tiap bulan. Data ini diolah lanjut sehingga dihasilkan luaran data grid poin mean seasonal significant wave height menurut cakupan domain yang telah ditentukan. 3. Melakukan resample yakni menginterpolasi luaran data musiman (tahap-2) menggunakan metode spline interpolation (Hemer et al. 2007). Dari tahapan ini dihasilkan luaran berupa raster seasonal mean wave height beresolusi spasial 0.009090909091° DD (ekuivalen dengan ±1 km). 4. Mengolah data spasial seasonal mean wave height yang dihasilkan pada tahap-3 menjadi annual mean height menggunakan statistic overlay
53
sehingga diperoleh luaran raster tinggi rerata gelombang tahunan melalui penapisan musim. 5. Melakukan langkah smoothing data luaran annual mean wave height untuk menghasilkan data yang beresolusi seragam dengan data variabel lain (30 meter) yang menjadi atribut tiap shoreline grid. Untuk kebutuhan ini digunakan teknik cropping, konversi data (raster to poin) dan interpolasi (spline). 6. Mengidentifikasi nilai variabel tinggi rerata gelombang (annual mean significant wave height) pada tiap shoreline grid menggunakan zonal statistic tool.
3.5.6 Tinggi Rerata Kisaran Pasang Surut Sumber data yang digunakan adalah time series tidal prediction of height grid point berukuran spasial 0,25° (DD) untuk tahun 2007 (1 Januari 2007 – 1 Desember 2008). Interval data waktu pengamatan adalah 1 jam meliputi domain seperti ditunjukkan pada Gambar 22. 106°0'0"E
107°5'0"E
108°10'0"E
Ü 0 15 30
60 108°0'0"E
90 Km 120°0'0"E
6°35'0"S
14°0'0"S 6°0'0"S
2°0'0"N 10°0'0"N
5°30'0"S
INSET
Keterangan: Daerah kajian (AOI) INDRAMAYU SUBANG Domain Poin Grid Pasut
Jaa Barat
7°40'0"S
FAIZAL KASIM C551060031
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Gambar 22 Domain poin grid untuk menurunkan data time series tidal prediction of height grid point (meter).
54
Data tersebut merupakan data asimilasi hasil pengamatan satelit altimetri Topex/Poseidon dan beresolusi spasial 0,5° (DD). Pengekstraksian data ini menggunakan perangkat lunak MIKE21 (DHI Software, 2007) dan dihasilkan data poin grid kisaran pasang surut (maskimum/minimum). Selengkapnya tahapan yang dikerjakan dalam metode pengekstrasian data variabel rerata tinggi pasang surut dapat dilihat pada Gambar 23.
Koordinat Pasut (domain sekitar P.Jawa)
Data Pasut TimeSeries Pasut
Tinggi Pasut Maksimum (meter)
Interpolasi (spline)
Tinggi Pasut Minimum (meter)
Peta Sebaran Tinggi Rerata Maksimum Pasut
Tinggi Rerata Kisaran Pasang Surut Tiap Grid (meter)
Zonal Statistic
Peta Sebaran Tinggi Rerata Kisaran Pasang surut (AOI)
Resample Raster
Grid Garis Pantai
Peta Sebaran Tinggi Rerata Minimum Pasut
Spasial Math (minus)
Peta Sebaran Tinggi Rerata Kisaran Pasang Surut (meter)
Gambar 23 Tahapan metode pengumpulan data tinggi rerata pasang surut Tahapan untuk memperoleh data variabel rerata kisaran pasang surut tahunan dalam tiap shoreline grid dari data pasang surut yang diturunkan dari perangkat lunak MIKE21 dilakukan dengan tahapan, sebagai berikut: 1. Menentukan domain poin grid keragaan pasang surut. 2. Menurunkan data kisaran pasang surut (maksimum-minimum) berdasarkan data pengamatan interval 1 jam untuk deret waktu 1 tahun (bulan Januari – Desember 2007). 3. Pengolahan seluruh data pengamatan interval 1 jam selama setahun untuk mendapatkan data tinggi rerata maksimum tahunan (mean annual high water) dan tinggi rerata minimum tahunan (mean annual low water). 4. Mengkonversi data pada tahap-3 menjadi data raster sehingga diperoleh data raster mean annual high water dan raster mean annual low water.
55
5. Melakukan penapisan pada kedua data raster pada tahap-4 untuk menghasilkan tinggi kisaran pasang surut tahunan (annual mean tidal range) yang merupakan perbedaan antara tinggi rerata air maksimum (mean annual high water) dengan tinggi rerata air minimum (mean annual low water) tahun 2007 (Gornitz et al. 1997), biasa dituliskan dalam persamaan sebagi berikut (DHI Software, 2007); ....................................... (5) di mana MTR = Kisaran Pasang Surut,
= Nilai maksimum
tinggi muka laut selama periode 16 hari dari data tiap jam,
=
Nilai minimum tinggi muka laut selama periode 16 hari dari data tiap jam. Di lingkungan aplikasi SIG, pembuatan keragaan raster berdasarkan persamaan di atas dikerjakan menggunakan metode statistic overlay (minus function) pada kedua raster. 6. Melakukan cropping data tinggi rerata kisaran pasang surut menurut cakupan wilayah kajian (AOI) menggunakan teknik resample raster untuk data yang dihasilkan pada tahap-5. 7. Mengintegasikan data annual mean tidal range hasil resample pada tahap5 (resolusi 30 meter) ke dalam atribut masing-masing shoreline grid menggunakan zonal statistic tool.
3.6
Analisis Kerentanan Pantai Sesuai tujuan khusus dalam penelitian maka analisis kerentanan pantai
selanjutnya dibedakan atas analisis menggunakan pendekatan CVI-biasa dan pendekatan CVI-MCA. Pada pendekatan CVI-biasa input analisis menggunakan empat sistim ranking USGS dan sistim ranking nilai minimum-maksimum data tiap variabel. Pada pendekatan CVI-MCA input analisis sistim ranking menggunakan aturan jangkauan persentil pada data hasil standarisasi tiap variabel.
3.6.1
Pendekatan analisis CVI-biasa Penilaian kerentanan dalam metode CVI memiliki konsep sederhana.
Potensi kerentanan (ranking) tiap variabel dinilai berdasarkan kisaran nilainya masing-masing menurut sistim ranking yang ditetapkan oleh USGS. Ranking
56
variabel terdiri atas 5 diskrit (1=sangat rendah, 2=rendah, 3 moderat, 4=tinggi, 5=sangat tinggi). Selanjutnya potensi kerentanan simultan (indeks kerentanan) dinilai berdasarkan hasil perhitungan masing-masing nilai ranking tiap variabel melalui persamaan, sebagai berikut (Thieler and Hammer-Klose, 2000 ; serta Pendleton et al. 2004A ; 2004B): ...................................................................... (6) di mana; CVI = nilai (skor) Indeks Keretanan Pantai, a = ranking variabel geomorfologi, b = ranking variabel perubahan garis pantai, c = ranking variabel slope pantai, d = ranking variabel rerata tinggi gelombang, e = ranking variabel rerata pasang surut, f = ranking variabel perubahan muka laut. Berdasarkan nilai skor dari persamaan (6) maka distribusi kategori kerentanan (indeks) di sepanjang kawasan pantai yang dinilai menggunakan aturan jangkauan kuartil (25%, 50%, dan 75%). Dengan pendekatan ini masingmasing shoreline grid dikelompokkan menurut skornya masing-masing terhadap kelas diskrit kategori menggunakan aturan jangkauan kuartil tersebut. Berdasarkan aturan jangkauan kuartil ini maka kategori indeks kerentanan dibedakan atas kategori; rendah (skor <25%), moderat (skor 25 – 50%), tinggi (50 – 75%, dan sangat tinggi (>75%).
3.6.2
Pendekatan Analisis CVI-MCA Standarisasi data tiap variabel dilakukan menggunakan matriks yang
terdiri atas baris dan kolom. Pada baris diisi dengan seluruh shoreline grid (51 buah) yang menjadi basis data penilaian kerentanan, sedangkan kolom diisi dengan masing-masing data keeanam variabel kerentanan. Standarisasi nilai variabel selanjutnya dilakukan dengan menambahkan 2 buah baris virtual atau 2 buah shoreline grid virtual. Baris virtual tambahan pertama berisi nilai-nilai terendah dari tiap variabel, sebaliknya baris virtual kedua berisi nilai tertinggi dari tiap variabel. Kedua nilai tertinggi dan terendah tiap variabel tersebut datanya dikoleksi dari hasil ekstraksi data keenam variabel di daerah kajian (AOI), juga bersumber dari kajian literatur keenam variabel di berbagai tempat di dunia.
57
Nilai standarisasi bagi tiap variabel (kriteria) dalam tiap shoreline grid selanjutnya ditentukan menggunakan persamaan sebagai berikut; (Susilo, 2006); ...................................................................... (7) di mana;
= nilai standar dari variabel ke-i pada shoreline grid ke-n,
asli dari variabel ke-i pada shoreline grid ke-n,
= nilai
= nilai variabel tertinggi,
= nilai variabel terendah. Bobot dari tiap variabel atau kelompok variabel diasumsikan sama. Sehingga dalam standarisasi ini tidak melibatkan bobot dari masing variabel atau kelompok variabel. Hasil dari standarisasi menyebabkan nilai tiap variabel memiliki kisaran minimum dan maksimum antara 0 hingga 1. Berdasarkan pendekatan pada metode CVI yang membagi selang ranking variabel atas 5 diskrit maka pembagian kelima diskrit ranking pada nilai tiap variabel hasil standarisasi diterapkan menggunakan aturan jarak persentil yaitu: 0,20; 0,40; 060; dan 0,80. Dengan pembagian seperti demikian, diskrit kategori ranking tiap variabel pada nilai tiap variabel hasil standarisasi menjadi: sangat rendah (<0,2), rendah (0,2-0,4), moderat (0,4-0,6), tinggi (0,6-0,8), dan sangat tinggi (>0,8). Dari sistim ranking tersebut penghitungan nilai skor indek kerentanan mengacu pada pendekatan yang sama seperti pada persamaan (6). Jika diperhatikan bahwa dengan mensimulasikan ranking variabel dalam seluruh shoreline grid tiap kawasan pantai berisi seluruh nilai ranking tertinggi (5) dan sebaliknya yakni nilai ranking terendah (1) maka pada prinsipnya akan dihasilkan kisaran luaran skor indeks terkecil 0,41 (dihasilkan oleh nilai ranking 1 pada seluruh shoreline grid) dan terbesar 51,03 (dihasilkan oleh nilai ranking 5 pada seluruh shoreline grid). Dengan demikian baik pada pendekatan CVI biasa maupun pendekatan CVI-MCA, atau pun penilaian kerentanan di manapun berdasarkan pendekatan CVI dengan penghitungan skor indeks seperti pada persamaan (6) akan senantiasa menghasilkan luaran skor nilai yang bersifat baku. Berdasarkan sifat baku seperti itu maka hubungan nilai skor antar kawasan pantai di manapun dilakukan penilaian kerentanan menggunakan pendekatan
58
metode CVI akan senantiasa menghasilkan luaran kisaran nilai skor indeks minimum dan maksimum yang memenuhi hubungan seperti berikut: 0,41 ≤ min ≤ Skor CVI suatu kawasan ≤ max ≤ 51.03. ........................... (8) Dari hubungan nilai skor indeks seperti pada persamaan (8) maka standarisasi nilai skor indeks khusus bagi pendekatan CVI-MCA dapat dilakukan menggunakan pendekatan normalisasi nilai skor indeks yang diformulasikan sebagai berikut (Teknomo, 2006); .......................................................... (9) di mana; NS = skor nilai indeks baru, OS = skor nilai indeks asli, nub = batas tertinggi skor nilai indeks baru, nlb = batas terendah skor nilai indeks baru, oub = batas tertinggi skor nilai indeks asli, olb = batas terendah skor nilai indeks asli. Dengan normalisasi maka kisaran nilai skor indeks minimum (0,41) dan maksimum (51,03) berubah masing-masing menjadi 0 dan 1. Sehingga pembagian diskrit kategori indeks kerentanan berdasarkan aturan jangkauan kuartil seperti halnya pada pendekatan CVI-biasa akan memenuhi hubungan seperti berikut: 0 ≤ min ≤ Skor CVI ≤ max ≤ 1 ............................................................. (10) 0 ≤ Skor CVI ≤ 1 .................................................................................. (11) Dengan dilakukannya standarisasi ranking variabel dan normalisasi nilai skor indeks kerentanan maka penilaian kerentanan pantai untuk skala berbeda dapat dilakukan. Untuk penilaian kerentanan pantai skala lokal yang relatif (spesifik) dapat menggunakan persamaan (10), selanjutnya penilaian kerentanan kawasan tersebut pada skala diatasnya (regional dan global) atau penilaian untuk perbandingan kerentanan antar kawasan pantai dapat menggunakan persamaan (11). Selengkapnya, algoritma standarisasi nilai variabel dan normalisasi skor indeks kerentanan pantai berdasarkan pendekatan metode integrasi CVI-MCA ditampilkan seperti pada Gambar 24.
59 Selesai
Mulai
Buat Matriks, Kolom : Variabel, Baris : Grid Variabel
Peta Indeks Kerentanan Pantai Global (Baku)
Peta Indeks Kerentanan Pantai Lokal (relatif)
Peta Ranking Kerentanan Kelompok Variabel
Kuartile 0,25, 0,50, dan 075
Peta Ranking Kerentanan Variabel
Persentile 0,20; 0,40, 0,60, 0,80,
0 CVI AOI 1 0 min CVI AOI max 1
Hitung indeks tiap Segmen/Grid :
CVI
Buat 2 Grid Virtual (Sebagai Hipotesa Acuan)
Masukkan nilai data masing-masing variabel tiap Grid (Xin ) sesuai hasil analisis /perhitungan
Standarisasi nilai atribut menjadi Ranking Baku: ( xin min xin ) X in (max xi min xi ) 0 x in 1
(a * b * c * d * e * f ) 6
NormalisasiSkor Indeks Baku Lama; 0,41 CVI 51,03 Ke skor Indeks Baku yang Baru 0 CVI Baru 1
Gambar 24 Algoritma standarisasi nilai variabel dan skor indeks untuk penentuan ranking dan kategori indeks kerentanan pantai berdasarkan pendekatan metode integrasi CVI-MCA 3.7
Entropy Diversitas Kerentanan Dalam pendekatan metode CVI, perbandingan distribusi spasial gradasi
(keragaman) tiap kategori indeks kerentanan ditunjukkan dengan menggunakan penghitungan statistik frekuensi kumulatif. Dengan teknik ini pengelompokan masing-masing kategori indeks kerentanan dalam tiap shoreline grid ditunjukkan sebagai besar proporsi masing-masing kategori indeks menyusun kerentanan di sepanjang pantai yang dinilai (Hammer-Klose and Thieler, 2001). Mengingat bahwa dalam penelitian ini pengamatan gradasi dimaksud tidak saja mencakup kategori indeks, namun meliputi pula ranking tiap variabel baik dengan standarisasi (CVI-MCA) maupun tanpa standarisasi (CVI-biasa) yang secara keseluruhan berbeda, maka entopy (teori informasi) pengamatan gradasi yang digunakan adalah entropy Simpson, biasa dikenal juga dengan istilah Indeks Simpson (Coastalwiki, 2008 ; Rocchini et al. 2010; Maryland Sea Grant, 2011).
60
Dengan entropy, satuan pengamatan pengaruh pendekatan terhadap luaran hasil penilaian kerentanan adalah distribusi spasial dari gradasi tiap diskrit ranking dan kategori kerentanan (indeks) pada masing-masing shoreline grid. Seperti halnya pada metode frekuensi kumulatif yang menekankan pengamatan keragaman distribusi pada proporsi munculnya masing-masing diskrit kategori indeks kerentanan dalam tiap shoreline grid di sepanjang garis pantai yang dinilai, maka penerapan pendekatan entropy Simpson untuk pengamatan pada proporsi tiap kejadian dalam hal ini ranking dan kategori kerentanan dalam tiap shoreline grid selanjutnya dapat dituliskan, sebagai berikut: ...................................................................................................(12) di mana;
= Peluang munculnya jenis diskrit ranking (untuk kerentanan
variabel) atau kategori (untuk indeks kerentanan) dalam tiap shoreline grid,
=
Jenis diskrit ranking variabel atau kategori indeks kerentanan ke-j pada segmen ke-i,
= Jumlah shoreline grid. Selanjutnya peluang secara acak dari dua buah shoreline grid memiliki
kesamaan diskrit baik ranking variabel atau kategori indeks kerentanan dalam seluruh shoreline grid atau diistilahkan sebagai nilai Indeks Simpson, selanjutnya dituliskan sebagai berikut: ∑ di mana;
...............................................................................................(13)
= Nilai nilai Indeks Simpson tiap ranking variabel atau kategori indeks
kerentanan sepanjang garis pantai. Kebalikan dari entropy Simpson (indeks kemerataan) adalah entropy diversitas (indeks keragaman) dan diekspresikan sebagai nilai peluang secara acak dari dua buah shoreline grid memiliki ranking variabel atau kategori indeks kerentanan yang berbeda dari seluruh shoreline grid. Ini dituliskan sebagai berikut: 1 – D ........................................................................................................(14)