25 TAHUN PEL AYANAN PDT. SUTA PRAWIRA
TALI TIGA LEMBAR
TIDAK MUDAH DIPUTUSKAN p e n g k h otba h 4 :12b
25 Tulisan Seputar Pasutri dari Para Sahabat
Tali Tiga Lembar Tidak Mudah Diputuskan Pengkhotbah 4:12b 25 Tulisan Seputar Pasutri dari Para Sahabat Penanggung jawab: Majelis Jemaat GKI Gunung Sahari Pendamping: Pdt. Royandi Tanudjaya Penulis: Pdt. Em. Flora Dharmawan Pdt. Royandi Tanudjaya Pdt. Nurhayati Girsang Pdt. Imanuel Kristo Pdt. Suta Prawira Pdt. David Sudarto Pdt. Merry R. Malau Pdt. Febe Oriana Hermanto Pdt. Arliyanus Larosa Pdt. Daniel K. Listijabudi Pdt. Em. Samuel Santoso Kristina Simare-mare, S.Si.Teol. Yohanes Putra Pratama, S.Si.Teol. Ayunistya Dwita Prawira Editor: Rudy Umar, Yulia Desain & Layout: Dina Isyana Penerbit: PT. Adhitya Andrebina Agung 2
Daftar Isi Kata Pengantar..................................................................... 5 Kata Sambutan Majelis Jemaat GKI Gunung Sahari.............. 9 Ha Ishah (Perempuan)........................................................ 11 Azzab (Meninggalkan)........................................................ 15 Bicara Tentang Hakekat Perempuan................................... 19 Ketika Dua Menjadi Satu.................................................... 29 Kasih Selalu Memberi Kebaikan......................................... 37 Panjang Sabar Itu Pahit, Tapi Buahnya Manis..................... 43 Kasih Bukan Sekedar Kata................................................... 49 Cemburu Tidak Memperkuat Kasih.................................... 55 Kasih Tidak Memegahkan Diri............................................ 61 Kasih Tidak Sombong......................................................... 67 Kasih Tidak Melakukan Yang Tidak Sopan.......................... 71 Kasih Itu Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri............... 75 Kasih Itu Tidak Pemarah..................................................... 81 “Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi....”........................ 89 Kasih Pasti Berlaku Adil...................................................... 99 Kasih Menutupi Segala Sesuatu....................................... 105 Kasih Percaya Segala Sesuatu........................................... 109
3
Elpizo................................................................................ 113 Hupomone........................................................................ 117 Hupotasso........................................................................ 121 Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan......................................... 127 Hidup Bijaksana Bersama Pasangan................................. 137 Jika Matamu Menyesatkan, Cungkillah!........................... 145 Cepat Mendengar............................................................. 151 Diam Bersama Dengan Rukun.......................................... 145 Biodata Pendeta Suta Prawira.......................................... 163 Kasih Setia Tuhan.............................................................. 165
4
Kata Pengantar
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan yang menyatakan panggilan-Nya kepada saya melalui Gereja Kristen Indonesia baik di jalan HOS Cokroaminoto Cianjur, jalan Kebonjati No. 100 Bandung dan jalan Gunung Sahari IV/8 Jakarta, sehingga saya dapat tiba di persinggahan 25 tahun pelayanan. Dimana sejenak saya dapat menengok ke belakang, melihat betapa ajaibnya pekerjaan-Nya, yang membuat saya tidak ragu untuk melangkah ke depan hanya untuk kemulian bagi nama-Nya. Terima kasih kepada Majelis Jemaat GKI Gunung Sahari yang memungkinkan Pengucapan Syukur 25 Tahun Pelayanan ini terselenggara. Penulisan renungan-renungan seputar pasangan suami istri ini dalam rangka Pengucapan Syukur 25 Tahun Pelayanan adalah prakarsa “Pertemuan “Kamis”-an para pendeta GKI Gunsa, bukan karena kebiasaan, tapi supaya manakala pengucapan syukur pelayanan diselenggarakan ada sesuatu yang bermanfaat yang bisa diberikan bagi pembangunan jemaat, terlebih khusus bagi relasi suami dan istri. Saya menghaturkan terima kasih yang dalam atas dorongan rekan-rekan sepelayanan. 5
Kata Pengantar
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang turut berkontribusi memperlengkapi buku ini dengan pelbagai ragam tulisan, rekan-rekan sepelayanan di GKI Gunsa yang saya kasihi: Pdt. Em. Flora Dharmawan, Pdt. Royandi Tanudjaya, Pdt. Nurhayati Girsang, Pdt. Imanuel Kristo, Pdt. David Sudarto, Pdt. Merry R. Malau, Pdt. Febe Oriana Hermanto, dan Sdri. Kristina Simare-mare, S.Si.Teol.; rekan-rekan yang saya hormati: Pdt. Daniel K. Listijabudi, Pdt. Arliyanus Larosa dan Pdt. Em. Samuel Santoso, serta generasi penerus yang terus menerus mencari kehendak Tuhan bagi jalan hidupnya: Sdr. Yohanes Putra Pratama, S.Si.Teol. dan Sdri. Ayunistya Dwita Prawira. Terima kasih juga untuk sebuah lagu “Kasih Setia Tuhan” yang dibuat istri saya yang lebih suka menggunakan inisial anak-anak kami, Judea (Julita, Devita dan Ayunistya), untuk karya-karyanya - turut menyemarakkan saat-saat yang diliputi rasa syukur ini. Terima kasih pula kepada Sdri. Yulia dan Sdr. Rudy Umar yang bekerja keras dalam melakukan editing dan juga kepada Sdri. Dina Isyana untuk kreativitasnya membuat desain dan lay out buku ini serta PT. Adhitya Andrebina Agung yang telah mencetak tulisan-tulisan ini menjadi sebuah buku. Tak lupa pula kepada Pnt. Johannes Dhartono bersama seluruh rekan-rekan panitia yang tidak saya sebutkan namanya satu persatu. Judul buku Pengucapan Syukur 25 Tahun Pelayanan ini diambil dari penggalan kata-kata bijak sang Pengkotbah (Pengkhotbah 4:12b) yang membandingkan kehidupan manusia yang individualistis dan kehidupan manusia dalam kebersamaan. Dimulai dengan paparan betapa berat dan sia-sianya hidup dalam kesendirian dan dilanjutkan dengan manfaat menjalani hidup dalam kebersamaan 6
Kata Pengantar
(bisa antara seseorang dengan sahabatnya atau antara seseorang dengan pasangan hidupnya) dan diakhiri dengan sebuah frasa yang menjadi judul buku ini: “Tali Tiga Lembar Tidak Mudah Diputuskan”, sebuah nasihat bijak untuk membuat hidup bersama menjadi hidup yang berkelanjutan. Apa yang dimaksud dengan “Tali Tiga Lembar”, mengapa tidak “empat atau tujuh lembar”? Ahli pembuat tali mengatakan, “Untuk membuat tali yang bersinggungan dan mengikat satu sama lain, paling banyak kita memakai 3 utas. Jika talinya kurang seutas, hanya dua utas, tali itu akan kurang kuat. Tetapi, jika ditambah menjadi 4 (empat) utas, tali itu tetap tidak lebih kuat, karena 4 utas tidak membuat seluruh tali bersinggungan dan mengikat satu sama lain. Tetapi tali 3 lembar tak akan mudah putus, sekalipun salah satu lembar tali, bahkan dua lembar tali mulai terlepas karena tegangan yang berat, asalkan lembar tali ke-3 masih tetap utuh.” Apabila benar bahwa kearifan pembuat tali ini yang ada dalam pikiran Pengkotbah, maka Pengkotbah hendak menyampaikan sebuah pesan penting: kalau kita ingin ikatan persahabatan atau ikatan antara suami istri tidak mudah putus mesti ada tali ke-3 dalam relasi kita, yaitu tali yang membuat dua tali bukan hanya sekedar bersinggungan tetapi mengikat satu dengan yang lainnya. Jadi apabila kita membayangkan dua tali itu adalah dua orang sahabat, atau dua tali itu adalah sepasang suami istri, lalu siapakah yang dimaksud dengan tali ke-3 - tali yang sanggup membuat dua tali saling bersinggungan dan saling mengikat? Satu-satunya tali yang sanggup membuat dua hati bertaut dan dua hati saling mengikat yaitu talinya Allah. Selama dalam
Kata Pengantar
kehidupan persahabatan dan juga dalam kehidupan berpasangan antara suami dan istri, kita memberi tempat bagi Allah maka tali kebersamaan kita menjadi tali yang tidak mudah diputuskan. Buku ini berisi tulisan-tulisan yang mengungkapkan bagaimana hatinya Allah yang berguna bagi pasangan suami Istri dalam menjalani kehidupan bersama, sehingga diharapkan tulisantulisan dalam buku ini dapat memperlengkapi jemaat yang sedang mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan pernikahan dan menyegarkan kembali jemaat-jemaat yang sedang menjalani kehidupan pernikahan mereka. Biarlah ketika jemaat membacanya mereka selalu memberi tempat pada kehadiran Allah dalam relasi mereka, tali ke-3 yang membuat dua tali saling bersinggungan dan melekat serta mengikat.
Pdt. Suta Prawira
8
Kata Sambutan
Majelis Jemaat Gereja Kristen Indonesia Jalan Gunung Sahari IV/8, Jakarta 10610
Dalam kehidupan ini, kita sesungguhnya tidak pernah benarbenar sendiri walaupun terkadang kita mungkin menginginkannya. Kita selalu terhubung satu sama lain, mulai dari yang paling dekat atau intim sampai dengan mereka yang berada dalam arak-arakan kehidupan. ‘Sendirian’ sebenarnya tidak benar-benar ada, kalaupun ada, mungkin itu ada di dalam perasaan kita saja. Pemazmur dalam perenungannya tiba pada sebuah kesimpulan bahwa dalam ‘kesendiriannya’ ternyata Sang Mahahadir yaitu Allah yang adalah Gembala yang baik selalu ada bersamanya, bahwa tak ada satu ruang pun adalah ruang yang hampa kehadiran Allah. Mazmurnya itu dapat kita jumpai dalam pasal 139 “Dari belakang dan dari depan Engkau mengurung aku, dan Engkau menaruh tangan-Mu ke atasku” (Mazmur 139:5). Jadi, kehidupan kita selalu ada di dalam relasi dengan yang lain dan tiada ruang di mana yang lain nirperan dalam realitas obyektif yang kita jalani. Terlewatinya 25 tahun masa pelayanan seorang pendeta, di samping ucapan syukur pribadi dan keluarga, adalah ucapan syukur
9
Kata Sambutan
gereja dan para sahabat kepada Allah Tritunggal- Bapa, Anak dan Roh Kudus. Perjalanan pelayanan seseorang sesungguhnya adalah arak-arakan pelayanan keluarga, sahabat-sahabat, jemaat bahkan jemaat-jemaat, dalam pertolongan dan penyertaan Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Salah satu bentuk ucapan syukur yang kita rayakan dalam rangka 25 tahun masa pelayanan Pendeta Suta Prawira, Majelis Jemaat menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Tali Tiga Lembar Tidak Mudah Putus”. Buku ini berisi tulisan-tulisan para sahabat Pendeta Suta Prawira yang dipersembahkan dalam rangka perayaan syukur ini. Majelis Jemaat sangat berterima kasih kepada para sahabat yang telah dengan rela mempersembahkan tulisannya, juga kepada panitia dan semua pihak yang telah ikut serta dalam perayaan syukur ini. Semoga tulisan-tulisan dalam buku ini, semakin memperlengkapi kita untuk semakin arif dalam kehidupan termasuk di dalamnya semakin cakap memelihara relasi dengan Allah dan sesama dalam kearifan. Akhirnya, dengan hati yang mengucap syukur, Majelis Jemaat menyampaikan selamat kepada Pendeta Suta, selamat kepada keluarga dan selamat kepada kita sebagai gereja dan sahabat untuk anugerah yang kita terima ini. Selamat membaca, Tuhan memberkati. Jakarta, 13 Mei 2016 Majelis Jemaat Gereja Kristen Indonesia Jalan Gunung Sahari IV/8, Jakarta 10610
Pdt. David Sudarto Ketua Umum
10
Pnt. Erdi Sutanto Chandra Sekretaris Umum
Ha Ishah (Perempuan) “Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” (Kejadian 2 : 23) Pdt. Daniel K. Listijabudi
Dalam kisah Penciptaan versi Kejadian 2:18, awalnya TUHAN Allah (Adonay/YHWH Ellohim) membawa segala binatang hutan dan burung di udara yang IA bentuk kepada Adam untuk diperiksa dan diberi nama (sambil memberi kesempatan kepada Adam untuk menemukan penolong yang sepadan di antara para binatang itu). Ini sungguh kisah yang rada satir namun juga humoris! Dinarasikan bahwa setelah Adam melakukan tugas itu, yakni memberi nama (sambil mengamat-amati apakah ini dan itu (catat: binatang) cocok sebagai penolong yang sepadan baginya, maka hasilnya negatif. Tak ada satupun yang cocok (syukurlah!). Karena semua calon gagal, maka! TUHAN Allah terlibat lebih jauh dan melakukan sesuatu yang baru dalam kebelarasaan yang bertindak. TUHAN Allah membuat Adam tertidur dan dari rusuk (tsela) Adam, seorang lelaki (ish), dibangunNya (banah) seorang perempuan (ishah). Adam (artinya bisa berarti 11
Ha Ishah (Perempuan)
“manusia”) sendiri, tadinya, dibentuk (yatsar) dari debu tanah (avar haadamah) oleh TUHAN Allah, menjadi manusia laki-laki (ish). Dalam perbandingan dengan perempuan, kita mendapati ada perbedaan bahan baku (debu tanah dan rusuk) dan juga cara kerja (membentuk dan membangun). Namun mereka, keduanya, yakni lelaki dan perempuan, ish dan ishah mengandung suatu resonansi, gaung, yang mendasar. Kata yang dipakai untuk perempuan dalam Kejadian 2, adalah ishah (bandingkan dengan kata ish untuk lelaki). Apa maksudnya? Secara umum, dalam bentuk yang reguler, akhiran “ah” pada kata benda berbahasa Ibrani, merujuk pada genus feminin singular. Jadi kata “ishah” ini sama dengan kata “ish” (laki-laki), namun bergender feminin. Pertanyaan teologis, muncul di sini. Misalnya: apakah ini berarti perempuan adalah “the second sex” (yakni sebagai “the other” sedangkan laki-laki adalah “the self ”) seperti kritik yang diajukan dengan tajam oleh tokoh feminis seperti Simone Beauvoir? Harus diakui, di sini, ada semacam ketegangan. Di satu pihak, dalam teks Kejadian 2:23 dikatakan bahwa ”ia akan disebut perempuan karena ia diambil dari laki-laki”. Frase “diambil dari” bisa disalah mengerti sebagai ekspresi “the other yang keluar dari the self”. Namun, ada opsi kedua, yang justru terletak pada pemberian tekanan bahwa teks ini mendukung kritik yang diajukan oleh Beauvoir, bahwa hakikat perempuan adalah hakikat yang bernilai eksistensial dalam realitas kemanusiaan (bukan hanya laki-laki yang boleh dibilang eksis sebagai manusia). Kata “ishah” menempatkan perempuan sejajar dengan“ish”. Pembedaan pada “ah”, tidak merujuk pada mutu yang kurang atau keberlainan yang subordinatif, namun merujuk pada gender (jenis) dari kualitas 12
Ha Ishah (Perempuan)
kemanusiaan yang sama. Menjadi “lain” tidak harus berarti “subordinat”, “kurang” atau “pelengkap”. Jika kita membandingkannya pemasangan lelaki – perempuan dalam Kejadian 2 dengan teks Kejadian 1:27, yang menyebut lelaki dan perempuan sebagai “zakar” dan neqebah”, maka atmosfer teks Kejadian 2 yang menyebut lelaki perempuan sebagai “ish” dan “ishah” menekankan pada keberpasangan, jadi bisa diartikan juga sebagai “suami” dan “istri” (namun dengan menekankan kesamaan hakikat dalam perbedaan gender-nya). Yang hendak dikatakan, agaknya, tak lain tak bukan adalah: kesatuan dalam perbedaan, kemanunggalan dalam keragaman. Itulah sebabnya Adam berkata, ”Inilah dia tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku” (ayat 23). Pernikahan pertama, mengandung perbedaan dan semangat kesatuan. Inilah pesan bagi semua pernikahan. Bagi calon pengantin yang sedang merancang hidup baru dan bulan madu hal semacam ini terasa menggairahkan, namun bagai suami istri yang sudah lama berumah tangga, perbedaan dalam kesatuan bisa jadi beban bahkan beban berat! Mungkin persoalannya bukan terletak pada perbedaan itu sendiri tapi pada pemikiran kita mengenai perbedaan. Alkitab mengajarkan bahwa pernikahan memang mengandung perbedaan. Perbedaan itu dirahmati TUHAN Allah. Siapa yang pintar mengelola perbedaan akan menemukan kesepadanan. Ish dan ishah, keduanya adalah manusia yang bereksistensi. Kelelakian dan keperempuanan merayakan keunikan dalam kesamaan hakikat, mengakui mendasarnya kemanusiaan dalam keragaman gender yang saling berpadu padan. Indahnya.....
13
14
Azzab (Meninggalkan) “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kejadian 2:24)
Pdt. Daniel K. Listijabudi
Mengenai teks Kejadian 2:24, terutama tentang makna kata “meninggalkan”, di bagian berikut ini saya tuliskan ulang penelitian saya soal pernikahan di Israel kuno, dalam artikel di buku bunga rampai berjudul Perceraian di Persimpangan Jalan (BPK, 2015). Dalam perayaan perkawinan yang penuh kegembiraan itu, yang menjadi acara pokok adalah masuknya mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki (de Vaux, 1965:33). Namun menurut King dan Stager (2010:62), perayaan mungkin dimulai dengan datangnya mempelai laki-laki dan teman-temannya ke rumah mempelai perempuan (Kidung Agung 3:6-11) baru kemudian pengantin perempuan diboyong ke rumah mempelai laki-laki. Dengan diiringi teman-teman perempuan dari mempelai perempuan yang memainkan tamborin, dan dengan dandanan yang elok serta penuh perhiasan, mempelai perempuan yang memakai mahkota dan bercadar menuju ke rumah mempelai lelaki.
15
Azzab (Meninggalkan)
Ini terkait dengan sistem sosial bahwa “perempuan bergabung dengan klan suaminya”. Tentu dalam hal ini kita tahu bahwa patriarkalisme mempolakan sistem tertentu sehingga pihak perempuan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan suaminya di lingkup keluarga besar si suami. Namun demikian, tentulah dengan cepat kita mengingat bahwa di bagian favorit dari Alkitab yang sering dikutip dalam ibadah perkawinan yakni di Kejadian 1, ada informasi soal model alternatif. Dalam resensi saya terhadap buku Gerrit Singgih yang berjudul Dari Eden ke Babel (Kejadian 1-11) terbitan Kanisius, tahun 2011, diskusi ini sudah pernah terapungkan. Dalam bukunya Singgih menunjukkan bahwa dalam rumusan di akhir Kejadian 2:24 terkandung nada matrilinial mengingat ”manusia akan meninggalkan ayah ibunya dan bersatu dengan istrinya”. Seperti Walter Lempp (yang juga menulis tafsir tentang Kejadian 1), Singgih melihat ini sebagai sesuatu yang aneh. Alasan dari keanehan ini karena ”di Israel kuno pada zaman penulis Yahwist, sistem yang berlaku adalah patrilinial, di mana istri yang meninggalkan ayah dan ibu untuk bergabung dengan suami. Apa gerangan maksud penulis?” demikian Singgih menelisik (2011:9798). Ia mengemukakan bahwa penulis mazhab Yahwist ”mau mengingatkan pembaca di zamannya, bahwa sistem patrilinial yang berlaku bukanlah sesuatu yang dari sono-nya sudah demikian.... (sehingga) pembaca tidak bisa menerima sistem yang ada sebagai sesuatu yang mutlak.... Adat istiadat ini tidak perlu dianggap sebagai alasan untuk menganggap istri atau perempuan lebih rendah dari laki-laki (Singgih, 2011:98). Saya paham, bahwa Singgih hendak ”menggembosi” patriarkalisme. Namun sebetulnya dalam diskusi tentang Y atau J (mazhab Yahwist) ada pendapat yang setapak lebih 16
Azzab (Meninggalkan)
berani maju daripada pendapat yang mengatakan bahwa Yahwist hendak mengimbangi patriakalisme. Pendapat itu dimunculkan oleh Harold Bloom dan David Rosenberg dalam buku ”The Book of J”. Di buku ini mereka berani mengambil kesimpulan bahwa Yahwist adalah perempuan! Salah satu kalimat yang mengajukan posisi tegas misalnya menyatakan, “My primary surmise is that J was a woman, and that she wrote for her contemporaries as woman, in a friendly competition with her only strong rival among those contemporaries, the male author of the court history narrative in 2 Samuel” (“Dugaan saya yang paling mendasar adalah bahwa J adalah perempuan, dan bahwa ia menulis untuk orang sezamannya sebagai perempuan, dalam suatu kompetisi yang bersahabat dengan satu-satunya rival kuat di antara rekan sezaman, yakni penulis lelaki dalam perhelatan sejarah narasi dalam kitab 2 Samuel”), sebagaimana ditulis oleh Bloom dan Rosenberg, The Book of J, 1990:9. Itu sebabnya nada matrilinial muncul dalam Kejadian 2:24. Jadi ini bukan penggembosan patriarkalisme, namun memang adalah pengetengahan matrikalisme dengan terang benderang namun sekaligus simpatik. Pendapat Bloom-Rosenberg bisa saja dianggap sebagai pendapat yang tidak dominan. Mungkin benar demikian. Namun kenyataan bahwa kita mendapati rumusan yang berjuta posisi terhadap rumusan umum dalam dunia Israel Alkitab semestinya membuat kita terbuka pada tilikan bahwa terkait dengan gerak absortif “siapa terhisap ke klan siapa”, maka diskusi tentang patriarkalisme dan matriarkalisme tidak bersifat sub-ordinatif absolut dalam praksis masyarakat dan atau gagasan ideal tentang perkawinan.
17
18
Bicara Tentang Hakekat Perempuan Pdt. Merry R. Malau
Perbedaan perempuan dan laki-laki membuahkan persoalan walaupun dalam kenyataannya mereka saling membutuhkan. Untuk itulah, menafsirkan Kejadian 2:18 khususnya kata רֶזֵע ֹּדְגֶנְּכ-‘Ezer Kenegdo’ (penolong yang sepadan) diharapkan memberikan kontribusi positif atas ketegangan yang ada di antara perempuan dan laki-laki. Laki-laki vs Perempuan Perempuan dan laki-laki sejak dulu kala ada dalam ketegangan abadi; dan perbedaan di antara mereka disebut sebagai penyebabnya. Karena kondisi fisik, Perempuan dibatasi peran sosialnya yang mengakibatkan keterpenjaraan dan bahkan kemudian dianggap sebagai manusia golongan kedua. Hal itu dapat dilihat dalam banyak catatan sejarah, bagaimana para perempuan pernah mengalami masa kelam diperbudak oleh laki-laki. 19
Bicara Tentang Hakekat Perempuan
Kekejaman dan kekelaman hidup yang diterima kaum perempuan itu menjadi latar belakang lahirnya revolusi kaum perempuan pada zaman pencerahan di Eropa. Satu gerakan emansipasi kaum feminis yang kemudian mendunia sebab ternyata kondisi serupa dialami perempuan secara global. Perjuangan kaum feminis dulu memang sudah menghasilkan beberapa perubahan. Walaupun demikian harus diakui bahwa emansipasi menjadi suatu perjuangan panjang yang masih dilakukan sampai saat ini. Di era post modern sekalipun masih banyak perempuan di berbagai belahan dunia menderita karena pembedaan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Perempuan Dalam Budaya Patriarki Pergerakan kaum feminis global menjadi tanda bahwa budaya patriarki (budaya yang menerima pandangan laki-laki sebagai penentu norma sosial) telah menjadi pola umum di dunia. Bahkan, jika diperhatikan patriarki nampaknya tidak hanya menjadi suatu budaya tetapi telah menjadi ideologi yang sulit dihilangkan. Pernyataan di atas dilatarbelakangi kenyataan bahwa walaupun peradaban telah memberikan ruang bagi kaum lemah otot untuk bisa tampil prima, akan tetapi ternyata kesetaraan menjadi isu yang terus diperjuangan kaum perempuan di berbagai tempat di seluruh dunia. Mengapa demikian? Tidak lain karena stereotipe tentang perempuan sulit dihapuskan yang terjadi akibat pewarisan tradisi dimana agamapun ikut mempunyai andil di dalamnya.
20
Bicara Tentang Hakekat Perempuan
Melihat Posisi Perempuan Dalam Kejadian 2:18 Sebagai Upaya Memahami Karya Cipta Allah
Bicara soal agama tentu kita akan bicara soal konsep teologi yang menjadi latar belakang ajaran agama. Untuk itulah kita akan mengkaji salah satu ayat yang sering disebutkan sebagai dasar pemahaman bahwa hakekat perempuan lebih rendah laki-laki yaitu dalam Kejadian 2:18. Dalam Kejadian 2:18 pada Alkitab terjemahan LAI, TUHAN Allah berfirman, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Ayat ini harus mendapat penafsiran yang tepat sehingga tidak disalahartikan. Sebab jika dibaca sekilas, kalimat tersebut mampu mendeskriditkan kaum perempuan. Kata ‘penolong’ dipakai untuk merendahkan perempuan sebagai subyek yang nampak tidak penting dibandingkan dengan laki-laki yang menjadi subyek pertama dalam penciptaan manusia oleh Allah. Atau dapat diungkapkan dengan pertanyaan yang lebih sederhana, “wanita diciptakan Allah sebagai tambahan dengan kedudukan yang lebih rendah daripada manusia laki-laki “. Untuk mencari kejelasan maka kita akan mencoba menelaah kata ‘penolong’ (Ezer Kenegdo) yang disebut sebagai kunci memahami hakekat perempuan di mata Allah sebagai pencipta-Nya. Hebrew (www.bible.ort.org) menuliskan Kejadian 2:18 demikian: ׃וֹּדְגֶנְּכ רֶזֵע וֹּל־ּהֶׂשֱעֶא וֹּדַבְל םָדָאָה תוֹיֱה בוֹט־אֹל םיִהֹלֱא הָוהְי רֶמאֹּיַו
21
Bicara Tentang Hakekat Perempuan
Dengan Hebrew translit interlinear : VAYOMER {dan Dia berkata} YEHOVAH (dibaca: ‘Adonay, TUHAN) ‘ELOHIM {Allah} LO-TOV {tidak baik} HEYOT {dia menjadi} HA’ADAM {manusia itu} LEVADO {dia sendirian} ‘E’ESEH {aku akan menjadikan}-LO {bagi dirinya} ‘EZER {penolong} KENEG’DO {yang seperti dirinya/sepadan} Sedangkan dalam Alkitab terjemahan King James Version teks Kejadian 2:18 diterjemahkan sebagai: “And the LORD God said, It is not good that the man should be alone; I will make him an help meet for him.” Jika teks-teks di atas diperhatikan maka kita bisa melihat bahwa Allah bermaksud menciptakan sosok penolong bagi manusia (baca: laki-laki) untuk keluar dari situasi kesendirian yang tidak baik. Sosok penolong itu disebut sebagai yang sepandan atau yang seperti manusia (baca: laki-laki). Menangkap Makna Kata ‘Ezer Kenegdo’ Yang Menjadi Identitas Perempuan Dalam Kejadian 2:18 R. David Freedman dalam bukunya “Woman, A Power Equel to a Man”, Biblical Archeology Review 9 [1983]:56-58 (yang sudah diunduh dan dilihat dalam godswordtowomen.org/googleweblight. com) menjelaskan bahwa istilah kata ezer dalam bahasa Ibrani merupakan suatu bentuk gabungan dari dua akar kata: ‘-z-r yang berarti “menyelamatkan, menolong “ dan ‘g-z-r yang berarti “menjadi kuat”.
22
Bicara Tentang Hakekat Perempuan
Untuk itu, Kejadian 2:18 dapat dibaca sebagai “Aku akan menjadikan kuasa (atau kekuatan) yang sepadan dengan laki-laki.” Freedman kemudian mengatakan bahwa kedua kata dalam ungkapan Ibrani yang ditemukan dalam ayat ini sebaiknya diartikan setara. Jika memang demikian, maka dalam Kejadian 2:18 ini kita dapat melihat bahwa Allah menjadikan bagi laki-laki itu seorang perempuan yang sungguh setara dan sungguh sesuai dengannya. Dengan demikian, maka kesendirian yang tidak baik bagi manusia (laki-laki) akan lenyap. Perempuan Sebagai Yang Setara Untuk itu, dalam terang pemahaman yang disodorkan oleh Freedman maka perempuan tidak pernah dimaksudkan sebagai “pembantu” atau “rekan penolong” bagi laki-laki. Istilah mate (rekan) terselip ke dalam bahasa Inggris karena istilah ini sedemikian dekatnya dengan istilah meet (tentu) dalam bahasa Inggris kuno yang berarti “cocok dengan” atau “sesuai dengan” lakilaki itu. Istilah tersebut berasal dari kalimat serupa dengan yang pemah saya ungkapkan yang berarti “setara dengan”. Maka dalam terjemahan Bahasa Inggris pun posisi perempuan adalah diciptakan Allah untuk menjadi suatu “kuasa” atau “kekuatan” bagi laki-laki yang dalam segala hal akan “sesuai dengan laki-laki” atau “menjadi setara baginya”.
23
Bicara Tentang Hakekat Perempuan
Perempuan dan Hakekatnya Sebagai Penolong Kejadian 2:18-25 menjelaskan kepada kita bahwa perempuan adalah ciptaan Allah yang dibentuk dari unsur yang sama dengan laki-laki (ayat 21 menyebutkan bahwa Allah mengambil tulang rusuk laki-laki untuk dijadikan unsur untuk membangun perempuan). Dengan kata lain ayat ini menjelaskan bahwa perempuan dan lakilaki berada dalam kualitas yang sama sehingga sebagai manusia layak untuk diperlakukan sama pula. Karena itu perbedaan fisik yang seringkali disebut sebagai penyebab lain adanya diskriminasi terhadap perempuan karena dianggap sebagai makhluk yang lemah juga harus dikaji ulang sudut pandangnya. Sebab terlalu sempit jika menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah hanya dengan membandingkan massa otot saja dan tidak melihatnya secara utuh. Kita tidak boleh melupakan bahwa Allah menciptakan perempuan sebagai penolong laki-laki, artinya Allah pasti meletakkan kemampuan/kekuatan dalam diri perempuan sehingga ia mampu menjadi penolong yang sepadan dengan laki-laki. Kejadian 2 juga menegaskan bahwa kehadiran perempuan merupakan insiatif Allah yang melihat kebutuhan laki-laki untuk menjadi baik (sebab sendiri adalah tidak baik). Untuk itu kehadiran seorang penolong bagi laki-laki tidak kemudian memberikan keistimewaan bagi laki-laki untuk memperlakukan perempuan sebagai budak pemenuh kebutuhannya; sebab Allah menghadirkan perempuan karena ada ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh perempuan agar semua menjadi baik. Dengan kata lain kehadiran 24
Bicara Tentang Hakekat Perempuan
perempuan menjadikan hidup laki-laki menjadi utuh dan kokoh. Untuk itu jelas bagi kita bahwa sebenarnya Kejadian 2:18 tidak dapat menjadi alasan pembedaan antara perempuan dan laki-laki sebab jika dibaca utuh maka nampak dalam teks secara utuh (Kejadian 2:18-25) peran perempuan istimewa sebab tidak ditemukan laki-laki pada ciptaan Allah yang lain (lihat ayat 20). Relasi Perempuan dan Laki-laki Dalam Perkawinan Kristiani
Dalam Kejadian 2 kita juga dapat melihat Allah menciptakan suatu relasi yang baik antara perempuan dan laki-laki. Allah menciptakan suatu persekutuan yang kudus antara dua makhluk yang berbeda yang dipersekutukan untuk saling melengkapi. Lembaga perkawinan merupakan satu persekutuan yang Allah prakarsai dengan tujuan mendatangkan kebaikan. Hal itu nampak jelas ketika Allah dalam Kejadian 2:22 mengantarkan perempuan yang telah dibangun dengan tangan-Nya itu kepada laki-laki, maka selayaknya pula seorang ayah mengantarkan anak perempuannya kepada laki-laki dalam ibadah pemberkatan pernikahan. Oleh karena itu dalam pernikahan Kristiani, laki-laki dan perempuan berada dalam relasi kesetaraan yang saling menerima dan saling membangun. Sebab kehadiran laki-laki dan perempuan merupakan insiatif Allah, oleh karena itulah keduanya harus saling menghargai sebab satu dengan yang lain diberikan Allah sebagai rahmat yang mendatangkan sukacita (baca: hidup yang lengkap).
25
Bicara Tentang Hakekat Perempuan
Kekristenan menolak pemahaman diskriminatif terhadap kaum perempuan, karena ketika jika kita menganggap perempuan kurang berkualitas daripada laki-laki maka hal tersebut menjadi suatu bentuk penghinaan kepada sosok yang memberikannya yaitu Tuhan yang berinsiatif dan berkarya menciptakan perempuan sebagai jalan keluar dari persoalan kesendirian (laki-laki) yang tidak baik. Kekristenan juga tidak melihat perempuan sebagai budak pemuas kebutuhan laki-laki, sebab perempuan adalah patner laki-laki untuk menjalani kehidupan yang Tuhan anugerahkan. Karena itu dalam perkawinan Kristen hubungan laki-laki dengan perempuan ada dalam satu relasi kasih dimana mereka saling melayani. Hal itu didasarkan pemikiran bahwa dalam kehendak Allah yang baik, IA ingin menjadikan persekutuan laki-laki dan perempuan sebagai persekutuan mereka solid dan mendatangkan kesejahteraan. Dalam pernikahan Kristiani, perbedaan perempuan dan lakilaki dirayakan sebagai anugerah. Sebab Allah dengan sengaja menghadirkan sosok yang berbeda (yaitu perempuan) namun dalam perbedaan yang ada baik perempuan maupun laki-laki hadir untuk saling memberikan kontribusi sehingga mereka saling menopang dan menjadi kuat. Oleh karena itu dengan penghayatan akan kesederajatan lakilaki dan perempuan sebagai pribadi yang setara, maka Kekristenan ada dalam pola perkawinan monogami yaitu antara satu laki-laki dengan satu perempuan.
26
Bicara Tentang Hakekat Perempuan
Penutup Dengan demikian jelaslah bahwa Kejadian 2:18-25 menolong kita melihat bahwa Allah tidak meletakkan dasar perbedaan harkat dan martabat antara perempuan dan laki-laki. Kata ‘penolong’ yang dikenakan kepada perempuan menjelaskan kekuatan yang dimiliki serta kesesuaiannya dengan laki-laki. Perempuan memiliki peran istimewa bagi laki-laki sehingga layak untuk mendapat perlakuan yang terhormat. Kita juga melihat bagaimana Allah menghadirkan hubungan saling mengisi antara perempuan dan laki-laki agar satu sama lain saling memberi diri untuk mendatangkan kebaikan dalam hidup persekutuan yang Tuhan anugerahkan.
27
28
Ketika Dua Menjadi Satu Pdt. Merry R. Malau
Pernikahan adalah lembaga sosial yang hadir dalam insiatif Allah. Dan Kejadian 2:24 khususnya kata “Dabaq” menjadi fondasi pernikahan Kristiani. Untuk itu penting bagi kita memahaminya guna menyikapi dinamika pernikahan. Dimulai Dengan Kejadian 2:23-24 Kitab Kejadian bagi Kekristenan menyuguhkan beberapa fondasi pemahaman iman sebab dalam kitab ini ada hal-hal mendasar yang menjadi sudut pandang suatu ajaran seperti halnya pernikahan. Dan Kejadian 2:23-24 secara khusus mengkaji pernikahan dalam kehidupan Kekristenan. Berikut ini adalah tiga terjemahan yang dipilih dengan pertimbangan cukup mewakili dan memberikan kejelasan proporsional. Hebrew, ׁשיִאֵמ יִּכ הָּׁשִא אֵרָּקִי תאֹזְל יִרָׂשְּבִמ רָׂשָבּו יַמָצֲעֵמ םֶצֶע םַעַּפַה תאֹז םָדָאָה רֶמאֹּיַו ׃תאֹּז־הָחֳקֻל 29
Ketika Dua Menjadi Satu
Translit, VAYOMER HA’ADAM ZOT HAPA’AM ‘ETSEM ME’ATSAMAI UVASAR MIBSARI LEZOT YIQARE ‘ISYAH KI ME’ISY LUKOKHAH-ZOT ׃דָחֶא רָׂשָבְל ּויָהְו וֹּתְׁשִאְּב קַבָדְו וֹּמִא־תֶאְו ויִבָא־תֶא ׁשיִא־בָזֲעַי ןֵּכ־לַע Translit, ‘AL-KEN {sebab itu} YA’AZAV {dia akan meninggalkan} -’ISH {seorang laki-laki} ‘ET-’AVIV {dari ayahnya} VE’ET-’IMO {dan dari ibunya} VEDAVAQ {dan dia bersatu} BE’ISH’TO {dengan istrinya} VEHAYU {dan mereka menjadi, Verb Qal Perfect 3rd Com. Pl.} LEVASAR {kepada daging} ‘EKHAD {satu} King James Version: And Adam said, This is now bone of my bones, and flesh of my flesh: she shall be called Woman, because she was taken out of Man. Therefore shall a man leave his father and his mother, and shall cleave unto his wife: and they shall be one flesh. Lembaga Alkitab terjemahan baru: 2:23 Lalu berkatalah manusia itu, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” 2:24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Sosok Tak Asing Dari perbandingan kedua teks di atas kita bisa melihat dengan mudah adanya permainan kata yang menjelaskan satu pemahaman yang menjelaskan keterkaitan perempuan dengan laki-laki. Khusus 30
Ketika Dua Menjadi Satu
ayat 23, kata Ibrani untuk “orang laki-laki” adalah ׁשיִא- ‘ISH/ ISY’, dan kata “perempuan” adalah הָּׁשִא- ‘ISHAH, secara harfiah adalah “orang betina”. Dinamai ’ISYAH sebab ia diambil dari ’ISH. Dengan kata lain pembentukan kata “ishah” terjadi saat ‘ish’ mendapat akhiran feminim ‘ah’ sehingga berubah menjadi kata benda feminim tunggal yang artinya perempuan. Karena itulah maka bagi laki-laki, perempuan bukanlah sosok asing. Sebab perempuan adalah sosok yang telah dikenalnya (tulang dan dagingnya sendiri). Kita dapat pula merasakan penerimaan yang penuh dengan persahabatan dan kasih dari laki-laki atas perempuan yang adalah pemberian dari Allah. Meninggalkan Ayah dan Ibu Selain itu, lewat teks kita juga melihat dampak dari penerimaan laki-laki pada perempuan adalah lahirnya social institution (lembaga sosial) baru. Hal itu terjadi karena seorang laki-laki kemudian meninggalkan orang tuanya untuk ada dalam pernikahan dengan istrinya. Kata meninggalkan yang digunakan dalam bahasa Ibrani adalah “yeazab”. “Yeazab” adalah kata kerja qal imperfek, orang ketiga maskulin tunggal yang artinya ia (laki-laki) akan meninggalkan. New International Version (NIV) menggunakan kata leave yang berarti “meminta diri untuk berpamitan”. Untuk itu jelas bagi kita bahwa saat laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya berarti bukan hanya meninggalkan begitu saja seperti peribahasa “kacang lupa kulitnya” atau tanpa berterima kasih dan tanpa pamitan namun laki-laki meninggalkan orangtuanya 31
Ketika Dua Menjadi Satu
tentunya dengan restu karena ada tujuan yang jelas yaitu bersatu dengan istrinya. Kata meninggalkan ini juga tidak boleh menjadi pijakan sikap tidak hormat pada orangtua. Sebab kata meninggalkan ini sebenarnya hendak memberi gambaran situasi baru yang menandakan kedewasan yang mandiri. Anak yang semula ada dalam perlindungan ayah dan ibunya kemudian menjadi satu pribadi yang mandiri karena ia meninggalkan kenyamanan hidupnya untuk menjadi satu dengan istrinya. Di sini terlihat adanya suatu penegasan bahwa posisi hubungan suami istri lebih erat daripada hubungan orangtua dengan anak. Sebab pernikahan adalah kesatuan sosial dan spiritual yang juga mewadahi kesatuan seksual. Satu lembaga sakral sebab Allah menjadi saksi peristiwa tersebut. Bersatu Dalam Pernikahan Laki-laki setelah meninggalkan orangtuanya kemudian bersatu dengan istrinya. Kata Ibrani yang digunakan adalah “dabaq”. Istilah “dabaq” diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai cling dan dalam bahasa Indonesia berarti melekat, berpaut, terikat yang kemudian diterjemahkan LAI menjadi bersatu. Kata bersatu memiliki arti yang penting karena bukan hanya sekedar together
atau bersama-sama. Cling artinya adalah
“berpegang teguh, berdampingan atau berlengketan, melengket atau melekat. Seorang suami bersatu dengan istrinya berarti benarbenar melekat dan bukan hanya hidup secara bersama dalam satu rumah. 32
Ketika Dua Menjadi Satu
Konsep dabaq itu kemudian digambarkan sebagai satu wujud nyata yaitu menjadi satu daging. Kata Ibrani yang dipakai adalah “wehayu lebasar ekhad”. Kata “wehayu” ini dapat diartikan become atau take place yang artinya “dan mereka akan menjadi”. “Lebasar” adalah gabungan dari kata dasar “basar” dengan awalan l. (le), “basar” dalam bahasa Inggris adalah flesh yang artinya daging sedangkan “ekhad” artinya adalah satu. Dengan demikian “wehayu lebasar ekhad” artinya adalah “dan mereka akan menjadi satu daging”. Potret Pernikahan Seperti yang disebutkan di atas bahwa pernikahan adalah lembaga sosial manusia, maka keberadaan manusia dengan budaya yang membangun kehidupannya memegang peranan penting yang juga menentukan bagaimana pernikahan itu dijalani. Karena itu kita bisa melihat kehadiran manusia membuat pernikahan menjadi tidak berwujud tunggal tetapi mengikuti siapa yang menjalaninya. Pemikiran ini ada karena kita menemukan pernikahan yang monogami tapi ada juga yang poligami. Tidak hanya sampai di situ, sebab kemudian kita juga dapat melihat adanya kejadian perceraian antara suami dan istri. Hal-hal inilah yang menuntut kejelasan sikap dan membutuhkan penegasan konsep teologis. Apa dan bagaimana konsep pernikahan Kristinani? Kejadian 2:23-24 menyediakan jawabannya yaitu sebagai berikut: 1. Monogami atau poligami? Secara etimologi kata monogami berasal dari bahasa Yunani 33
Ketika Dua Menjadi Satu
yaitu monos yang artinya satu atau sendiri, dan gamos yang berarti pernikahan. Jadi monogami adalah kondisi hanya memiliki satu pasangan pada pernikahan. Sedangkan poligami asal katanya polus yang artinya banyak dan gamos yang berarti pernikahan. Dalam kasus poligami kita menemukan bentuk lain yang harus dibedakan yaitu poliandri. Poligami secara khusus menggambarkan seorang pria yang menikahi lebih dari satu perempuan (polus yang berarti banyak dan gune yang berarti perempuan). Sedangkan poliandri asal katanya polus (banyak) dan andros (manusia laki-laki). Dalam Kejadian 2:23-24 dituliskan bahwa Allah meletakkan suatu hukum kelembagaan pernikahan adalah sebagai berikut: a. Pernikahan yang digagas Tuhan bersifat monogami, sebab IA mempertemukan satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Pemahaman ini dilatarbelakangi peristiwa saat Allah membawa seorang perempuan (kata feminim tunggal) kepada seorang laki-laki. b. Persekutuan antara laki-laki dan perempuan adalah suatu ikatan yang unik “menjadi satu daging”. Hal ini menunjukkan kesatuan biologis, rohani bahkan kesatuan jiwa dan kehendak. Dalam pernikahan hadir suatu keintiman total dari keduanya yang membuat keduanya ada dalam komitmen yang terwujud dalam kesatuan dua pikiran dan perasaan. Dan kesatuan sempurna macam itu hanya mungkin terjadi dalam pernikahan satu orang lakilaki dengan satu orang perempuan.
34
Ketika Dua Menjadi Satu
2. Selamanya atau bisa bercerai? a. Lembaga pernikahan adalah suatu perwujudan kehendak Allah sebab atas inisiatif Allah terjadi peristiwa pernikahan; dan teks kita dengan tegas menyatakan Adam tidak berinisiatif tetapi ia bertindak meresponi kehendak Allah. Dengan demikian Allah yang mengatur dan memberkati lembaga pernikahan ini sejak awal. b. Frasa דָֽחֶא רָׂשָבְל- LEVASAR ‘EKHAD didahului dengan verba Qal dengan tenses perfek: ּויָהְו- VEHAYU merupakan wujud pernyataan kehendak Allah tentang persekutuan lakilaki dan perempuan dalam lembaga pernikahan yang tetap. Sehingga oleh Tuhan Yesus kemudian hal ini dinyatakan bahwa “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Penutup dan Refleksi Setelah melihat dan memahami Kejadian 2:23-24 kita menemukan banyak hal yang memperlengkapi cara pandang terhadap pernikahan. Hal ini tentu saja tidak sekedar pengetahuan belaka sebab dalam perjalanan memahami terjadi suatu perjumpaan berharga yaitu memahami kehendak Allah. Sepanjang pemaparan kitab Kejadian 2:23-24 ini, kita dapat merasakan kasih Allah yang sempurna. IA nampak begitu memahami kebutuhan manusia sehingga Tuhan melihat ketidakbaikan saat manusia tidak memiliki teman. Kita juga dapat melihat bagaimana Allah merawat kehidupan manusia saat IA menciptakan seorang penolong yang kemudian menghadirkan kehidupan baru bagi 35
Ketika Dua Menjadi Satu
manusia. Tuhan juga memberikan cara menjalani kehidupan pernikahan sebagai tahapan baru bagi laki-laki dan perempuan. Hal itu nampak dari bagaimana Allah mengambil inisiatif dan mendorong pertumbuhan diri manusia (menjadi dewasa) dan berkembang melanjutkan kehidupan. Dengan demikian, jelas bagi kita bahwa pernikahan bukan sekedar kesenangan semata. Sebab keberadaannya yang baru itu membuat laki-laki dan perempuan mengalami kehidupan baru yang baik dimana kasih dan tanggung jawab menjadi bagian di dalamnya. Pernikahan adalah satu kesatuan solid antara laki-laki dan perempuan yang melibatkan Tuhan sebagai penggagas utama; satu persekutuan manusia yang tidak boleh diceraikan sebab Tuhan sudah merancangnya dengan sempurna. Dengan demikian jelas bagi kita pernikahan bukan urusan manusia semata tetapi Tuhan hadir di dalamnya. Untuk itu maka keberadaannya harus dihormati dan dirawat secara bertanggung jawab demikian juga dengan hubungan yang ada di dalamnya. Sebab bukankah itu adalah satu bentuk ibadah terhadap kehendakNya yang mulia? Kiranya berkat Tuhan hadir bagi setiap rumah tangga.
36
Kasih Selalu Memberi Kebaikan “Kasih tidak pernah berkesudahan” He agape udepote ekpiptei (1 Korintus 13:8) Pdt. Royandi Tanudjaya
Jika kepada kita ditanya, “Mengapa sih mengerjakan kasih itu selalu lebih sulit daripada membicarakan kasih?” Apakah jawab kita? Di antara banyak jawaban yang bisa kita berikan, menurut hemat saya, inilah jawaban yang paling tepat. Jawabnya adalah membicarakan kasih saja sudah sulit bukan main, apalagi mengerjakannya! (Mungkin ini juga salah satu penyebab mengapa para pendeta tidak pernah habis-habisnya membicarakan kasih dalam khotbah-khotbahnya). Rasul Paulus pun tampaknya sependapat, ketika ia katakan, “betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus … kasih melampaui segala pengetahuan” (Ef. 3:18-19). Dengan perkataan lain, kasih itu bisa dirasakan, tapi sulit untuk dikatakan, apalagi dilakukan. Mengapa kasih sulit dikatakan atau dibicarakan? Sebabnya adalah berbicara tentang kasih itu sama saja dengan berbicara tentang Allah. Seperti Yohanes berkata dengan tegas, “Allah adalah 37
Kasih Selalu Memberi Kebaikan
kasih” (1 Yoh. 4:8,16). Dan, berbicara tentang Allah yang tidak kelihatan itu bukankah selalu sulit dan tidak pernah mudah? Berbicara tentang kasih pun sama dengan berbicara tentang Yesus Kristus. Sebab, kasih Allah paling nyata dalam Yesus. Seperti Yohanes katakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Padahal berbicara tentang Yesus juga tidak pernah mudah, apalagi bila menyangkut diri-Nya yang seratus persen manusia dan seratus persen Allah. Apakah kepala kita nggak mumet dibuatnya? Begitu eratnya kaitan kasih dengan Allah dan Kristus, sehingga – saya setuju dengan pendapat seorang ahli Alkitab yang mengatakan – setiap kata “kasih” dalam Alkitab sesungguhnya dapat diganti dengan kata “Allah”, atau “Yesus”. Dan, karena Allah atau Yesus yang bangkit itu hidup kekal, maka kasih pun ikut bersifat kekal. Karena kasih bersifat kekal, Rasul Paulus benar ketika berkata, “Kasih tidak pernah berkesudahan.” Untuk kata “berkesudahan”, ia memakai kata Yunani “ekpiptei” yang berasal dari kata kerja “ekpipto”. Kata “ekpipto” sendiri berasal dari akar kata “ek”, berarti “dari”, dan kata “pipto”, berarti “jatuh”. Seperti bunga layu yang jatuh dari carangnya ke tanah, atau seperti air terjun yang jatuh dari tebing yang tinggi ke sungai. Namun dalam perkembangannya, orang memakai kata “ekpipto” dalam pengertian hilang, habis, berhenti, berakhir. Karena itu, perkataan Rasul Paulus dapat diterjemahkan, “Kasih 38
Kasih Selalu Memberi Kebaikan
tidak pernah ‘ekpipto’, atau hilang, atau habis, atau berakhir”. Atau seperti terjemahan LAI, “kasih tidak pernah berkesudahan”. Lalu, bagian apakah dari kasih yang tidak pernah hilang atau habis atau berakhir atau berkesudahan? Segala kebaikan yang dikerjakan oleh kasih! Itulah yang tidak pernah hilang, atau habis, atau berakhir, atau berkesudahan. Seperti kata Rasul Paulus, “Kasih tidak berbuat jahat” (Rom. 13:10). Atau dengan perkataan lain, “Kasih selalu berbuat baik”. Berbuat baik itulah yang Allah kerjakan setiap hari di dalam kehidupan manusia dan dunia ini. Seperti kata Yesus, “Allah selalu berbuat baik dengan terbitkan matahari bagi orang yang jahat dan baik, dan turunkan hujan bagi orang yang benar dan tidak benar.” (Mat. 5:45). Dalam bahasa Indonesia, “kasih” yang adalah terjemahan dari kata Yunani “agape”, justru menemukan kedalaman pengertiannya. “Kasih” itu padanan kata dari “memberi”. Dan memang, pengertian “kasih” identik atau sama dengan pengertian “selalu memberi kebaikan”. Karena “kasih” juga identik dengan “Allah” dan dengan “Kristus” yang selalu memberi kebaikan, maka kita yang kenal dan percaya Allah dalam Kristus perlu membuktikan pengenalan dan kepercayaan kita itu dengan mempersaksikan “kasih” yang selalu memberi kebaikan kepada sesama dan dunia ini. Jika ada yang bertanya, “Kasih itu memberi kebaikan yang seperti apa, sih?” Maka jawabannya adalah sesungguhnya kasih merangkum semua kebaikan. Dan bila kebaikan itu ingin lebih dikonkritkan, Rasul Paulus pun berkenan memberikan contohnya. 39
Kasih Selalu Memberi Kebaikan
Menurut Rasul Paulus, secara konkrit, kebaikan yang bersumber dari kasih, di antaranya, adalah “panjang sabar, baik hati; menaruh kepercayaan, sehati-sepikir, rendah hati, sopan, mencari keuntungan orang lain, menguasai diri, mengampuni, bersikap adil dan benar” (1 Kor. 13:4-6). Mengapa Allah mau agar kita yang percaya kepada-Nya juga mau mengasihi dengan selalu memberi kebaikan kepada sesama kita manusia? Sebab hanya kasih yang demikian dapat memenangkan hati manusia yang jahat kepada-Nya. Allah sendiri telah membuktikannya. Hanya dengan terus memberi kebaikan kepada kita manusia yang memuncak pada pemberian Yesus, Anak Tunggal-Nya, Ia telah berhasil memenangkan hati kita manusia dari yang tadinya jahat menjadi manusia yang percaya dan taat kepada-Nya. Karena itulah, menurut Rasul Paulus lagi, sebagai orang Kristen, kita harus berupaya untuk memenangkan kejahatan hati manusia bagi Allah dengan kasih yang selalu memberi kebaikan. Seperti seruan Rasul Paulus, “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan (kasih yang selalu memberi) kebaikan!” (Rom. 12:21). Pada akhirnya kasih selalu menang atas kejahatan. Seorang istri Kristen pernah mengalami betapa amat susahnya mengerjakan kasih itu. Pernikahannya dengan suami Kristennya pernah berada di tubir kehancuran. Karena apa? Beberapa tahun setelah pernikahan, sang istri tahu bahwa suaminya masih bermain judi. Sang istri menuduh suaminya telah berbohong kepadanya. 40
Kasih Selalu Memberi Kebaikan
Suami bertahan dengan alasan bahwa dia ingin tapi tidak bisa meninggalkan judi, karena judi sudah jadi bagian dari hidupnya. Setelah itu, keributan demi keributan terjadi, sehingga perkataan cerai mulai terlontar dari mulut keduanya. Pada saat yang kritis, sang istri bertemu dengan pendeta. Setelah banyak mendengarkan, pendeta menasihati agar ia tetap mengasihi suaminya. Jika perlu dengan memberi lebih banyak kebaikan di samping berdoa. Hanya itu yang dapat memungkinkan suaminya berubah. Sejak itu sikap sang istri terhadap suaminya berubah nyaris seratus delapan puluh derajat. Ia nyaris tidak pernah marah dan memicu pertengkaran lagi. Sebaliknya, ia selalu ramah, hangat, perhatian, bahkan tak pernah lagi melarang suaminya berjudi. Suatu hari malah sang istri memaksa diri untuk menemani suami berjudi dari malam hingga dini hari. Ternyata hal itu berlanjut. Setiap kali suaminya bermain judi, ia menunggu suaminya di mobil. Biasanya sampai tertidur. Sementara itu suaminya bermain judi dengan teman-temannya. Akibatnya? Lama kelamaan hati suami tersentuh. Hatinya menaruh rasa kasihan dan tidak tahan melihat istrinya yang baik, sabar dan tak pernah mengeluh menunggu dirinya di mobil, sementara ia sendiri bermain judi. Suatu hari, suaminya mengambil salah satu keputusan terbesar dalam hidupnya. Demi mengasihi, ia juga mau memberi kebaikan kepada istrinya dengan berhenti berjudi, untuk selamanya! Kedua suami-istri Kristen itu membenarkan perkataan Rasul Paulus, “Dengan selalu memberi kebaikan, kasih mampu 41
Kasih Selalu Memberi Kebaikan
mengalahkan kejahatan!” Ya, benar, kasih selalu memberi kebaikan. Dan, kebaikan dari kasih tidak pernah berkesudahan. Pada segala waktu dan keadaan. Sebab, kasih dan kebaikan dari kasih, bukan hanya berawal dari, tetapi juga akan berakhir pada Allah yaitu pada kekekalan.
42
Panjang Sabar Itu Pahit, Tapi Buahnya Manis “Kasih itu panjang sabar” He agape makrothumei (1 Korintus 13:4) Pdt. Royandi Tanudjaya
Dedi dan Dina (keduanya bukan nama sebenarnya) adalah pasangan suami istri. Mereka dikaruniai Tuhan sepasang anak perempuan. Kedua anaknya bahkan sudah berangkat remaja. Hidup keluarga itu tampak rukun-rukun saja. Bila sesekali ada keributan-keributan kecil itu biasa. Kala hari Minggu tiba, mereka juga nyaris tidak pernah absen berkebaktian di gereja. Sampai suatu hari terjadi peristiwa di mana Dedi hilang. Ia seperti ditelan bumi. Habis pergi kerja pada pagi hari biasanya ia pulang ke rumah pada sorenya. Tapi hari itu Dedi tidak pulang, dan begitu pada hari-hari selanjutnya. Selidik punya selidik, akhirnya Dina dan kedua anak remaja perempuannya tahu. Suami dan ayah mereka bukan hilang diculik orang. Bukan juga karena kena amnesia, semacam penyakit hilang 43
Panjang Sabar itu Pahit, Tapi Buahnya Manis
ingatan, sehingga ia lupa keluarga dan rumahnya. Ternyata ia minggat ke luar kota dengan seorang perempuan muda. Sejak itu Dina dan kedua anaknya hidup prihatin. Mereka harus menanggung aib dan hidup susah. Tak sedikit orang di dalam dan di luar gereja yang menyuruh Dina untuk menceraikan saja suaminya. Tapi setiap kali Dina berkonsultasi, pendetanya selalu menasihati dirinya untuk bersabar. “Justru pada saat suami jatuh ke dalam dosa, kita harus mengasihinya. Kita teladani Tuhan yang telah berbuat demikian juga kepada kita orang berdosa. Karena mengasihi, Tuhan sabar dan tetap berbuat baik kepada kita sampai akhirnya kita bertobat. Semoga Ibu dan anak-anak juga mau bersabar dan tetap berbuat baik dengan mendoakannya terus-menerus. Semoga akhirnya ia bertobat dan kembali kepada keluarganya!” begitu nasihat Pendetanya kepadanya. Bersabar memang tidak pernah mudah. Sebab, bersabar selalu terkait dengan penghinaan, kesusahan, penderitaan, dan biasanya untuk suatu masa yang relatif panjang. Sebagai “Pendeta”, Paulus juga menasihati jemaat di Korintus untuk bersabar. “Kasih itu panjang sabar,” katanya. Kata Yunani yang dipakai Paulus untuk panjang sabar adalah kata makrothumei yang berasal dari kata kerja “makrothumeo”. Kata tersebut berasal dari dua kata yaitu “makros” yang berarti panjang atau lama, dan “thumos” yang berarti hati, keberanian, semangat, murka. Secara hurufiah, makrothumeo berarti hati yang mau dan mampu menahan murka untuk masa yang lama. Atau, dalam kaitan dengan nasihat Paulus, makrothumeo berarti panjang sabar, teristimewa 44
Panjang Sabar itu Pahit, Tapi Buahnya Manis
terhadap perbuatan jahat atau tidak adil dari orang lain, tanpa diri sendiri tergoda untuk membalas dengan perbuatan yang sama. Karena itulah Rasul Paulus mengaitkan sabar itu dengan kasih. “Kasih itu panjang sabar.” Bahkan, ia masih menambahkan “Kasih itu baik hati.”1 LAI menerjemahankan dengan kata “murah hati”. Terjemahan yang lebih tepat adalah “baik hati”. Bandingkan, terjemahan NRSV, “love is kind”. Perhatikan, Paulus juga mensejajarkan “panjang sabar/kesabaran” dan “baik hati/ kebaikan” dengan kasih, sebagai buah Roh, dalam Galatia 5:22. Bila menghadapi perbuatan jahat dan tidak adil dari orang lain, seorang Kristen bisa panjang sabar dan tetap berbuat baik, maka dapat diyakini bahwa ia sudah memiliki kasih. Tapi, bila sebaliknya, ia malah berbuat yang sama maka ia belum memiliki kasih. Lebih jauh, kepada jemaat di Korintus, sebetulnya Paulus mengaitkan panjang sabar dan baik hati itu dengan kasih kepada diri sendiri, orang lain dan Allah (1 Kor. 13:4-7). Demi mengasihi diri sendiri, mereka harus sabar berbuat baik dengan tidak iri hati, tidak memegahkan diri, tidak menyombongkan diri, tidak melakukan yang tidak sopan, dan tidak mencari kepentingan diri sendiri (ayat 4). Demi mengasihi orang lain, mereka harus sabar berbuat baik dengan tidak lekas marah, tidak menyimpan kesalahannya dan tidak bersukacita atas keadilan (tetapi turut bersukacita atas kebenaran) (ayat 4-5). Maksudnya, seorang yang sudah atau belum memiliki kasih itu dapat diketahui ketika ia menghadapi orang lain yang berbuat jahat atau tidak adil kepadanya.
1
45
Panjang Sabar itu Pahit, Tapi Buahnya Manis
Demi mengasihi Allah, mereka harus sabar berbuat baik dengan memikul, mempercayai, mengharapkan dan menanggung segala sesuatu (ayat 5-6). Dengan demikian, makrothumeo atau panjang sabar itu bersifat aktif, bukan pasif. Dalam segala kesusahan dan penderitaannya, seorang yang panjang sabar akan tetap berbuat segala kebaikan kepada dirinya, sesamanya dan Allah. Allah sendiri adalah kasih (1 Yoh. 4:8,16). Dalam kasih-Nya, Ia selalu panjang sabar. Di gunung Sinai dan di hadapan Musa, Allah berjalan lewat sambil berseru, “TUHAN, TUHAN, Allah … pengasih, panjang sabar …” (Kel. 34:6). Sambil memohon pengampunan atas sungut-sungut bangsa Israel, Musa meyakini bahwa Allah itu, “berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah” (Bil. 14:18). Terhadap orang-orang yang meragukan janji kedatangan kembali Yesus, Petrus katakan, “Tuhan tidak lalai menepati janjiNya, … tetapi Ia sabar … karena Ia menghendaki … supaya semua orang berbalik dan bertobat” (1 Pet. 3:9). Dalam kasih-Nya, Allah juga selalu berbuat baik kepada semua orang, khususnya yang berdosa. Kepada orang jahat atau baik, kepada orang benar atau tidak benar, Ia menerbitkan matahari dan menurunkan hujan (Mat. 5:4548). Ia mengorbankan Kristus dengan membiarkannya mati di kayu salib semata-mata demi manusia yang masih berbuat dosa dan belum bertobat (Rom. 5:8). Karena itu, para pengikutnya, termasuk setiap anggota keluarga 46
Panjang Sabar itu Pahit, Tapi Buahnya Manis
Kristen, juga harus saling mengasihi. Mereka harus menyatakan atau mengerjakan kasih itu lewat panjang sabar dan kebaikan hatinya kepada orang lain (Kol. 3:12; 2 Kor. 6:4,6). Kembali kepada Dina. Sesuai dengan nasihat pendetanya – yang sesuai pula dengan nasihat “Pendeta” Paulus! – dalam segala kesusahan dan penderitaannya, ia coba berpanjang sabar dengan tetap mendoakan suaminya supaya bertobat. Sementara itu, ia bekerja keras untuk mendapatkan nafkah setiap hari dan untuk tetap bisa menghidupi keluarganya. Beberapa tahun kemudian, saat anak-anak tidak di rumah, tibatiba saja, suatu hari, Dedi, suami Dina pulang ke rumah. Di hadapan Dina, Dedi langsung tersungkur, sambil menangis bercucuran air mata. Ia mengakui kesalahannya telah minggat dan selingkuh dengan seorang perempuan lain. Ia menyesal. Ia bertobat. Ia sudah tinggalkan perempuan muda selingkuhannya. Ia mau kembali lagi hidup bersama Dina dan kedua anaknya. Hati Dina tidak segera percaya dan tersentuh, apalagi luluh. Tapi melihat kesungguhan pengakuan dan penyesalan Dedi, akhirnya Dina mau mengampuninya. Dina mau memberi kesempatan lagi kepada Dedi untuk jadi suami dan ayah yang baik dan setia. Biarpun semula tidak bisa menerima ayahnya kembali, melihat kasih ibunya yang tetap mau berbuat baik dan mengampuni suaminya, akhirnya mereka pun mau menerima kembali ayahnya ke dalam kehidupan mereka. Dalam perjalanan waktu, kedua anak perempuan mereka berhasil jadi sarjana, berhasil memperoleh jodoh yang sepadan, dan 47
Panjang Sabar itu Pahit, Tapi Buahnya Manis
berhasil pula dalam pekerjaan mereka. Di masa tuanya, Dedi dan Dina bukan hanya dapat kembali hidup berbahagia sebagai suami istri. Mereka juga amat sangat dibahagiakan oleh kedua anak perempuan, mantu dan cucu-cucu mereka. Tapi, bagaimana seandainya jika Dedi sebagai suami tidak pernah kembali lagi kepada Dina istrinya? Apakah Dina masih akan berbahagia juga? Ya, Dina pasti akan tetap berbahagia! Sebab, ia tetap dapat menjadi teladan dari kasih Allah yang – dalam segala keadaan – tetap dengan sabar mau berbuat baik kepada dirinya, orang lain dan Tuhan. Tanpa suaminya kembali lagi sekalipun, ia akan tetap berbahagia. Sebab, kedua anak, mantu serta cucu-cucunya yang diberkati Tuhan pasti akan terlebih lagi membahagiakan dirinya. Semua itu hanya dapat terjadi, karena Dina mau “berpanjang sabar”, dan dalam panjang sabarnya ia tetap mau “berbaik hati”. Semoga bukan hanya Dina, tetapi setiap anggota keluarga Kristen pun boleh mengalami kebenaran perkataan, “Panjang sabar itu pahit, tapi buahnya manis”.
48
Kasih Bukan Sekedar Kata Kristina Simare-mare, S.Si.Teol.
Mudah bagi kita untuk mengatakan bahwa kita mengasihi seseorang. Akan tetapi tidak selalu mudah bagi kita untuk mewujudnyatakan kasih. Terlebih karena kencenderungan manusia adalah lebih mengasihi diri sendiri dan menjadikan diri sendiri sebagai yang utama. Akan tetapi tidak demikian dengan pasangan suami-istri dalam kisah berikut. Mereka tidak sekedar mengatakan kasih tetapi mewujudnyatakan kasih itu. Suatu hari sepasang suami-istri yang baru menikah datang kepada Bunda Teresa dan memberi kepadanya sejumlah uang yang sangat besar. “Dari mana kalian mendapatkan begitu banyak uang?” tanya Bunda Teresa. “Dua hari yang lalu kami menikah. Sebelum kami menikah kami telah memutuskan untuk tidak mengadakan pesta pernikahan. Kami telah memutuskan bahwa uang untuk biaya pesta pernikahan kami ini akan kami berikan kepada orang-orang miskin,” jawab salah satu dari mereka. 49
Kasih Bukan Sekedar Kata
“Mengapa kalian melakukan ini?” Bunda Teresa kembali bertanya. “Karena kami saling mencintai satu sama lain dan ingin memulai kehidupan pernikahan kami dengan sebuah kebaikan,”
jawab
mereka. Bunda Teresa kagum melihat kemurahan hati mereka. Sungguh suatu pemberian dari Allah untuk bisa berbagi dengan orang lain. Murah hati merupakan salah satu wujud dari kasih yang sudah semestinya dihidupi oleh orang-orang percaya tanpa terkecuali. Demikianlah yang tertulis dalam I Kor. 13:4: “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.” Kata kerja bahasa Yunani untuk murah hati adalah khresteumai. Kata ini hanya dipakai pada teks 1 Kor. 13:4 dalam Perjanjian Baru. Akan tetapi kata tersebut digunakan beberapa kali dalam dua bentuk yang berbeda. 1. Kata sifat khrestos yang berarti baik hati, menunjukkan kedermawanan yang aktif tanpa didasari motif tertentu (Luk. 6:35, Ef. 4:32) 2. Kata benda khrestotes yang berarti kegunaan, kebaikan, keunggulan (Kol. 3:12, Tit. 3:4) Khresteumai menunjukkan sikap baik hati dan dermawan. Motif yang terdapat dari sikap murah hati adalah keinginan untuk mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Jika seseorang melakukan tindakan kebaikan tetapi motifnya untuk kepentingan tertentu maka orang itu tidak dapat dikatakan sebagai orang yang murah hati. 50
Kasih Bukan Sekedar Kata
Dikisahkan ada seorang serdadu yang bernama Martinus. Pada suatu malam yang sangat dingin, Martinus bertemu dengan seorang miskin yang hampir tidak berpakaian. Tubuh orang itu menggigil kedinginan. Orang itu sedang berusaha mengemis kepada orangorang yang lewat di pintu gerbang kota. Martinus tidak memiliki apa-apa kecuali senjata dan mantel yang sedang ia kenakan. Kemudian ia mengeluarkan pedangnya, memotong mantelnya menjadi dua bagian. Kemudian memberikan satu bagian kepada pengemis itu untuk menutupi badannya. Orang-orang yang menyaksikan perbuatan Martinus tertawa pada penampilannya sekarang yang menjadi aneh, mengenakan mantel yang tinggal separuh sementara yang lainnya merasa malu karena tidak dapat menolong untuk meringankan nasib malang pengemis itu. Pada malam itu dalam tidurnya Martinus melihat Kristus memakai pakaian setengah baju yang ia berikan kepada pengemis itu dan mendengar Ia berkata, “Martinus, engkau telah menutupi tubuhku dengan pakaian ini.” Melalui kisah ini kita diajak memahami bahwa sikap murah hati terwujudkan dalam sebuah pemberian. Pemberian yang mengorbankan diri. Pemberian yang cuma-cuma, yang tidak mengharapkan balasan kepada orang yang menerima pemberian maupun kepada Allah. Pemberian semata-mata hanya didasari keinginan untuk mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Namun pengertian murah hati tentu tidak terbatas pada sebuah tindakan memberi sesuatu. Sikap murah hati adalah wujud nyata dari kasih yang dapat dirasakan oleh orang lain. Salah seorang Bapa Gereja, Origenes memaknai murah hati sebagai sebuah sikap
51
Kasih Bukan Sekedar Kata
berbaik hati kepada semua orang. Dengan demikian kasih itu berlaku bagi siapapun. Penelaahan makna murah hati juga memberikan kesimpulan kepada kita bahwa kasih bukan sekadar kata atau bersifat pasif. Kasih secara aktif melakukan hal-hal yang mencerminkan kemurahan hati yang senantiasa mengusahkan kebaikan bagi orang lain. Ketika setiap orang mampu untuk melakukannya maka sangat mungkin tercipta relasi yang dipenuhi dengan cinta kasih. Rasanya tidak ada keluarga yang dapat merasakan kebahagian jika anggota keluarganya tidak memiliki sikap murah hati. Mewujudnyatakan sikap murah hati membutuhkan pengorbanan juga hasrat untuk mengutamakan pasangan. Persoalannya adalah siapa yang lebih dulu bersedia untuk berkorban dan mengutamakan pasangannya. Kenyataannya masih banyak orang yang menghayati bahwa ketika menikah maka ia harus dilayani senantiasa. Bahkan ada yang beranggapan bahwa tidak ada gunanya menikah jika masih terus melakukan berbagai tugas dalam urusan rumah tangga. Hal ini jelas bukanlah sikap kasih yang murah hati sebab diri sendiri masih ditempatkan sebagai fokus dalam relasi pernikahan. Atau sebaliknya, ketika kita menganggap bahwa kita sudah mengasihi pasangan kita secara berlebihan. Jika demikian, berarti kita belum cukup mengasihinya. Oleh karena itu sikap murah hati menjadi sikap yang penting untuk dikerjakan dalam relasi suami istri. Suami dan istri hendaknya mengusahakan kebaikan bagi pasangannya dengan melakukan tindakan yang memancarkan kebaikan hati. Ketika kita mengasihi pasangan kita berarti kita melakukan tindakan yang disukai oleh pasangan kita. Ketika kita
52
Kasih Bukan Sekedar Kata
mengasihi pasangan kita berarti kita mau melakukan tindakan yang mendatangkan kebaikan untuk pasangan kita. Dengan melakukannya kita pun beroleh sukacita dan kebahagian. Misalnya kita tahu benar bahwa pasangan kita adalah orang yang menyenangi keteraturan dan kerapian, maka kita pun berusaha untuk turut menjaga keteraturan dan kerapian barang-barang dalam rumah. Kita menyadari bahwa bukanlah suatu hal yang mudah untuk senantiasa mengusahakan kebaikan bagi pasangan. Bukan hal yang mudah pula untuk mengutamakan pasangan. Akan tetapi bukan berarti hal itu tidak dapat dilakukan. Akan lebih membuat menderita lagi jika mengutamakan kebaikan pasangan hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja. Mungkin akan ada penderitaan yang dialami oleh salah satu pihak tersebut. Ketika terus demikian yang terjadi maka keharmonisan bahkan keutuhan rumah tangga dapat terancam. Oleh karena itu dalam relasi suami-istri kata ‘saling’ menjadi kunci untuk menyatakan sikap murah hati. Hendaknya pasangan suami istri saling melakukan tindakan kebaikan dan saling mengutamakan pasangan. Semangat untuk melakukan tindakan yang mendatangkan kebaikan bagi pasangan akan muncul dengan sendirinya ketika kasih menjadi dasarnya. Seorang istri merasakan begitu kelelahan ketika ia harus melakukan bermacam pekerjaan yang sudah didaftarkan oleh suaminya. Ia melakukannya dengan perasaan terpaksa untuk suaminya yang sesungguhnya tidak dicintainya. Ia menikah dengan suaminya hanya karena mengikuti perjodohan yang dilakukan orangtua mereka. Hingga pada suatu hari sang suami meninggal
53
Kasih Bukan Sekedar Kata
karena sakit. Selang beberapa waktu setelah suaminya meninggal, ia menikah lagi dengan pria yang dicintainya. Pada suatu kali setelah selesai melakukan bermacam pekerjaan rumahnya, ia menemukan daftar pekerjaan yang pernah dibuat suaminya yang sudah meninggal. Ia menyadari bahwa daftar pekerjaan itu adalah pekerjaan yang juga dilakukannya saat ini. Akan tetapi yang berbeda adalah ia tidak merasakan kelelahan yang begitu berarti sebab ia melakukan itu semua untuk orang yang ia kasihi. Kasihlah yang menjadi dasar. Hiduplah dalam kasih sebagai pasangan suami-istri yang saling mengusahakan kebaikan dan mengutamakan pasangan.
54
Cemburu Tidak Memperkuat Kasih Kristina Simare-mare, S.Si.Teol. Apakah, cemburu adalah tanda cinta? Pemaknaan cemburu yang diidentikkan dengan cinta di dalam sebuah relasi kerap memunculkan anggapan bahwa cinta harus diikuti dengan kecemburuan. Akibatnya tanpa kecemburuan dianggap tidak ada cinta atau kadar cintanya berkurang. Umumnya, seseorang menjadi cemburu karena takut dan tidak ingin kehilangan orang yang dicintainya, oleh karenanya cemburu sering dianggap menjadi bukti bahwa seseorang mencintai. Tetapi fakta membuktikan justru kecemburuan seringkali membuat sebuah relasi menjadi rusak. Cemburu membuat seseorang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan, melukai, dan mendatangkan penderitaan. Misalnya seorang suami melarang istrinya melakukan aktivitas apapun di luar rumah karena kuatir istrinya menjalin hubungan dengan mantan pacarnya semasa kuliah. Atau seorang istri melarang suami ambil bagian melayani di gereja karena iri melihat suaminya seolah bebas dari tanggung jawab mengurus pekerjaan rumah tangga. Bahkan seringkali kita
55
Cemburu Tidak Memperkuat Kasih
juga mendengar berita tentang seseorang yang tega menganiaya pasangannya karena dibakar api cemburu. Cemburu membuat seseorang merasa diri paling benar, cenderung ingin membalas dan menjatuhkan orang lain. Rasa cemburu dapat membuatnya hilangnya kepekaan seseorang kepada kehendak Tuhan. Dengan demikian cemburu tidak selalu identik dengan tanda cinta. Allah sendiri memerintahkan kita untuk mengasihi. Rasul Paulus memaknai bahwa kasih tidak cemburu. Apa Itu Cemburu? Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus mencatat, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.” (1 Kor. 13:4) Di dalam teks tersebut kita melihat bahwa Paulus memperlihatkan bagaimana cara kasih itu “bekerja”. Paulus hendak mengatakan bahwa kasih bukan hanya sekadar emosi atau perasaan. Paulus memperlihatkan bahwa kasih bukanlah semata-mata apa yang dirasakan oleh seseorang melainkan apa yang dilakukannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cemburu diartikan: a. merasa tidak senang atau kurang senang melihat orang lain beruntung dsb.; b. sirik; c. kurang percaya; d. curiga (iri hati). Berdasarkan pengertian tersebut kata cemburu dalam bahasa Indonesia cenderung mengarah kepada arti negatif. Oleh karenanya cemburu yang seringkali dipahami cenderung bernuansa negatif. Akan tetapi dalam Alkitab kata cemburu tidak selalu mengarah pada arti negatif tetapi dapat digunakan untuk menggambarkan arti yang positif pula. 56
Cemburu Tidak Memperkuat Kasih
Kata ‘cemburu’ yang digunakan dalam I Kor. 13:4 adalah dari kata kerja bahasa Yunani zeloo. Kata bendanya adalah zelos. Zeloo dan zelos keduanya dapat dipergunakan dalam arti yang positif juga dalam arti yang negatif. Dalam arti yang positif kata zeloo mengandung makna ‘berusaha’ atau ‘bersemangat dengan gairah yang menggebu-gebu dalam mengejar sesuatu’. Misalnya dalam 1 Kor. 14:1 kita dipanggil untuk mengejar kasih dan berusaha memperoleh karunia-karunia Roh. Kata zeloo juga bisa berarti suatu sifat baik pemberian Allah yang ingin melindungi seseorang yang dikasihi dari bahaya. Mengasihi sedemikian rupa untuk menjaga jangan sampai yang dikasihi tersesat dan menjadi tidak setia. Dalam arti yang positif inilah, Allah dikatakan sebagai Allah yang ‘cemburu’. Dikatakan Allah yang ‘cemburu’ karena Allah begitu mengasihi umat-Nya dan tidak menghendaki umat-Nya mendua hati. Alkitab dengan jelas menggambarkan bahwa Allah sebagai “mempelai laki-laki” dari umat-Nya sebagai “mempelai perempuan”. Maka untuk menggambarkan tuntutan kesetiaan umat Allah ini juga digunakan kata zelos. Allah yang Esa, sifat kesucian-Nya menuntut hak-Nya sebagai Satu-satunya Allah yang layak disembah dan Dia tidak sudi berbagi kemuliaan-Nya dengan berhala; Allah ‘cemburu’, karena Dia adalah satu-satunya Allah, dan Allah tidak menghendaki umat-Nya menyembah berhala, patung, sesuatu dan siapa pun juga. ‘Cemburu’ Allah ini timbul untuk mempertahankan kekudusan-Nya. Jadi, manusia yang digambarkan sebagai mempelai perempuan harus memberikan kehormatan dan kemuliaan kepadaNya, karena itu adalah mutlak hak-Nya seutuhnya.
57
Cemburu Tidak Memperkuat Kasih
Zeloo dan zelos dapat juga digunakan dalam arti yang negatif. Dalam arti yang negatif zeloo berarti ‘iri hati’ atau ‘kecemburuan’. Kedua kata tersebut bisa mengandung maksud suatu emosi yang keliru dan menyimpang terhadap seseorang. Dalam pengertiannya cemburu tidak persis dapat diartikan dengan: begrudge (iri akan posisi dan hak), covet (keinginan memiliki), emulating (keinginan untuk menjadi seperti orang lain), bahkan dengan jealousy (khawatir direbut). Kita akan membandingkan cemburu dengan perasaan-perasaan tersebut: a.
Begrudge adalah keinginan supaya orang lain tidak memiliki apa yang ia sendiri inginkan. Seorang mahasiswa bisa iri pada teman sekelasnya yang mendapatkan kekasih yang cantik, karena diam-diam ia pun ingin memiliki gadis itu.
b.
Covetous adalah keinginan pada sesuatu yang dimiliki orang lain, tanpa cemburu pada pemiliknya. Misalnya, ketika seorang melihat rumah baru milik tetangganya, maka ia juga ingin memiliki rumah seperti milik tetangganya.
c.
To emulate adalah keinginan untuk menjadi sama dengan orang lain. Perasaan ini baik, karena mendorong seseorang untuk memiliki kemajuan hidup, tetapi mudah tergelincir menjadi cemburu.
d.
To be jealous adalah perasaan kuatir jika yang dimilikinya direbut orang lain. Dibandingkan dengan covetous maka jealousy adalah kekuatiran yang kebanyakan positif. Allah disebut pencemburu (Kel.20:5), karena Ia tidak ingin bahwa Israel umat-Nya diambil dari pada-Nya. Meski demikian, jealousy bisa juga berarti negatif, yaitu ketika perasaan itu
58
Cemburu Tidak Memperkuat Kasih
muncul tanpa alasan yang benar, bahkan didasarkan pada kecurigaan yang tidak beralasan dan cara berpikir yang tidak sehat (paranoid tendency). Konteks kata ‘cemburu’ dalam 1 Kor. 13:4 dapat kita bandingkan dengan Kel. 20:17, “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.” Ketika seseorang mengasihi maka ia akan menyatakan kasihnya melalui sikap tidak ‘cemburu’. Sebagai umat Allah, kita diajak untuk menghargai orang lain seutuhnya. Bukan hartanya atau materinya. Pribadi seseorang lebih penting daripada materi yang mereka miliki. Umat percaya diajar untuk tidak membenci. Tetapi sikap ‘cemburu’ atau ’iri-hati’ terhadap milik orang lain bisa membawa manusia untuk berbuat dosa. Sikap ‘cemburu’ seperti ini bukanlah sifat dari kasih. Kasih tidak ‘cemburu’, justru bermakna ia dengan sukacita mengakui sukses dan prestasi orang lain. Cemburu Dalam Relasi Pasangan Suami-istri ‘Cemburu’ adalah sifat manusiawi yang dapat muncul pada siapa saja. Akan tetapi kita harus waspada terhadap reaksi yang muncul akitab perasaan ‘cemburu’ itu. Caranya dengan mencari penyebab munculnya rasa cemburu dalam diri kita.
Penyebab tersebut
lah yang hendaknya dikomunikasikan kepada pasangan. Jikalau cemburu dibiarkan menguasai diri kita bahkan mengakibatkan perbuatan yang mengakibatkan dosa maka akan terjadi keretakan relasi dalam hubungan suami-istri. Hal ini dapat pula menimbulkan 59
Cemburu Tidak Memperkuat Kasih
konflik dan perpisahan.Dengan demikian pastilah relasi suami-istri menjadi jauh dari suasana harmonis. Misalnya ketika suami dan istri seringkali konflik karena salah satu pihak terbakar oleh api ‘cemburu’ buta yang tidak benar atau ‘cemburu’ yang mengarah kepada sikap mengekang pasangannya. Surat 1 Kor. 13:7 mengatakan, Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih, percaya akan kesetiaan orang lain. Kasih, belajar melihat apa yang terbaik dalam diri pasangan, sehingga kita pun berhenti berprasangka buruk atau mencurigai pasangan kita. Jika kita memiliki kasih yang percaya, kecemburuan akan lenyap! Di pihak yang lain, kepercayaan yang diberikan juga sudah semestinya untuk dijaga. Hendaknya suami-istri menyadari kebutuhan masingmasing. Suami-istri hendaknya mampu saling menjaga perasaan dengan baik. Suami-istri tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan kecemburan. Misalnya ketika kita tahu bahwa pasangan kita akan ‘cemburu’ jika kita pergi berdua dengan mantan kekasih kita maka sebaiknya kita pun tidak melakukannya. Baik suami maupun istri perlu pula mengerti batas-batas yang boleh dan harus mereka taati dan yang tidak boleh mereka langgar. Misalnya senantiasa saling terbuka dan jujur terhadap satu dengan yang lain; memberikan informasi yang jelas jika pasangan bertanya terkait hal-hal yang mengitari kita. Dengan demikian tidak ada lagi rasa cemburu melainkan terciptanya hubungan yang sehat dan kuat dalam keharmonisan.
60
Kasih Tidak Memegahkan Diri Ou Perpereuomai Pdt. Imanuel Kristo
Saling Memegahkan Diri Adalah Kerugian Ijinkan untuk saya memulai tulisan ini dengan sebuah ungkapan yang mengatakan: “Para pria menjadi termotivasi dan bersemangat saat mereka merasa dibutuhkan..... sementara wanita menjadi termotivasi dan bersemangat saat mereka dicintai. Itulah sebabnya seorang pria memilih menjadi pasif dan kehilangan gairah saat mereka merasa tidak di butuhkan – tetapi jika mereka tampak begitu dibutuhkan maka mereka akan semakin bersemangat dan antusias untuk memberi lebih banyak. Sementara jika seorang wanita merasa semakin tidak dicintai maka mereka akan melakukan segala sesuatunya dengan perasaan terpaksa dan merasa sangat kelelahan tetapi jika perasaan dicintai itu terpenuhkan maka ia akan memberikan lebih banyak dari apa yang dapat dibayangkan. Seorang pria akan beranggapan bahwa dirinya pantas mendapatkan nilai yang tinggi jika ia mampu melakukan sesuatu yang tampak hebat bagi pasangannya, padahal bagi seorang wanita 61
Kasih Tidak Memegahkan Diri
apapun yang dilakukan oleh seorang pria adalah sama – itu adalah kewajiban cinta. Perhatikanlah kasus ini: James dan Jeany adalah sepasang suami istri yang memasuki pernikahan karena alasan cinta. Sampai sekali waktu Jeany berkata, “Saya telah melakukan begitu banyak bagi James – tetapi apa yang saya dapat? Dia mengabaikan saya dan dia hanya memperhatikan pekerjaannya saja.”
Menanggapi hal itu James berkata, “Dari
pekerjaan itulah saya dapat membangun rumah yang bagus untuknya, mengajaknya berlibur tiap tahun – bukankah seharusnya dia merasa bahagia?” Dari pembicaraan itu mereka kemudian bertengkar semakin hebat, saling menyalahkan satu sama lain – dan saling memegahkan diri atas yang lain. James adalah seorang profesional yang berhasil dalam pekerjaannya, dia selalu berpikir bahwa semakin banyak yang dapat dia kumpulkan dan hasilkan dari pekerjaanya – maka semakin sedikitlah kewajiban yang harus dia berikan di rumah terhadap keluarganya. Sementara Jeany merasa telah memberi lebih banyak dengan kesunguhannya mengurus dan mengelola rumah. Mereka berdua saling memegahkan diri atas apa yang dilakukannya, dan dengan semua itulah jua mereka menjadi saling melukai. Menemukan Keindahan Cinta Cinta pada dirinya sendiri adalah keutamaan yang luar biasa: agung, luhur dan mulia. Cinta adalah awal dari segala sesuatu, pemberi warna yang indah dalam kehidupan. Bukankah kita ada karena cinta, kita menjalani semua aktivitas kita juga karena cinta. 62
Kasih Tidak Memegahkan Diri
Hati yang bahagia dan hati yang kecewa juga karena cinta, begitu luar biasanya cinta sehingga Jeane Moureau berkata, “Usia tidak pernah melindungi Anda dari cinta – tetapi cinta melindungi Anda dari usia.” Itulah sebabnya siapapun yang memiliki cinta maka merekalah yang akan memiliki kebahagiaan. Hal kedua tentang hebatnya cinta adalah karena cinta maka duri menjadi mawar dan cuka menjadi anggur. Cinta selalu menghadirkan keindahan bagi siapapun juga yang memilikinya. Karena cinta maka kebencian hilang dan permusuhan menjadi persaudaraan – karena cinta juga maka siapapun juga yang ada di hadapan kita tampak menjadi begitu istimewa. Itulah yang seharusnya ada dalam relasi suami istri. Suami istri yang memiliki cinta akan mampu memiliki yang lain. Hal itulah yang dipaparkan oleh Rasul Paulus dalam surat kirimannya kepada jemaat di Korintus. Betapa cinta atau kasih dilukiskan dengan begitu indah oleh Paulus.... salah satunya adalah “cinta tidak pernah memegahkan diri”. Kata memegahkan diri dalam surat pastoral Paulus ditulis dengan kata Ou Perpereuomai (Oυ Perpereuomaι), dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan “I show myself off ”. Pribadi yang demikian adalah pribadi yang gemar melakukan segala sesuatu tidak lebih sebagai sebuah upaya sebatas penampilan demi untuk membuat orang lain mengagumi dirinya. Paulus menegaskan bahwa kasih yang sungguh tidaklah demikian. Segala sesuatu yang dilakukan oleh suami istri yang saling mencinta pertama-tama dilakukan bukanlah untuk mendapatkan pujian dan penghargaan dari orang lain, bukan untuk dipertontonkan sehinga dirinya mendapatkan penghormatan. Tetapi semua itu dilakukan dengan tulus sekalipun tidak ada satu orangpun yang melihat 63
Kasih Tidak Memegahkan Diri
dan menghargainya – karena cinta tidak pernah membutuhkan penghargaan di luar diri pelakunya. Cinta hanya cukup untuk cinta, dalam kepenuhan dirinya seutuhnya. Dan kebahagiaan mereka yang menjalaninya tidak pernah bergantung pada penilaian orangorang di sekitarnya, tetapi kebahagiaannya diciptakan oleh mereka yang menjalaninya. Ou Perpereuomai (Oυ Perpereuomaι) juga diterjemahkan dengan “I am boastful”. Itu artinya dalam kata tersebut terkandung unsur kebohongan, apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan dalam pemahaman kata tersebut sangat kuat unsur membualnya. Suami istri yang ada dalam sikap demikian adalah suami – istri yang mewarnai kebersamaannya dengan kebohongan dan praktek membual. Dan itu pastilah bukan cinta kasih yang sesungguhnya, karena mereka yang mempraktekkan cinta kasih yang sungguh pastilah tidak akan pernah berpikir untuk
melakukan segala
sesuatunya dengan kebohongan. Suami istri yang saling mengasihi akan menjalani segala sesuatunya dengan kejujuran. Cinta kasih yang dilakukan dalam kebohongan bukanlah cinta kasih. Bentuk-bentuk kemesraan dalam perkataan dan perbuatan yang diekspresikan oleh suami istri seharusnya dilakukan dalam ketulusan. Pengertian yang ketiga dalam kata Ou Perpereuomai (Oυ Perpereuomaι) adalah sikap dan perilaku yang angkuh. Padahal dalam cinta kasih yang sejati semua yang kasar, tidak bersahabat dan angkuh tidak mungkin diberi tempat. Dalam cinta kasih yang sunguh antara suami istri maka yang dikembangkan adalah sikap keramahan yang tulus, santun dan sikap mau merendahkan diri bagi kekasihnya tanpa keangkuhan.
64
Kasih Tidak Memegahkan Diri
Usaha Bersama Akhirnya, keberhasilan pasangan suami istri dalam menjalani kehidupan berkeluarga adalah hasil usaha bersama. Oleh karena itu tidak boleh ada yang memegahkan diri di atas yang lain. Tidak pernah ada kebahagiaan keluarga yan dibangun hanya oleh salah satunya. Sikap memegahkan diri dari salah satunya hanya akan memperlemah hubungan di antara keduanya. Setiap hubungan selalu bisa mengalami saat-saat sulit, dan saat-saat itu muncul karena berbagai alasan. Dalam kondisi yang demikian maka yang terindah untuk dilakukan bersama adalah komunikasi yang penuh cinta. Dalam komunikasi yang penuh cinta itulah mereka berdua akan mampu mengatasi kekecewaankekecewaan mereka. Di situlah keduanya saling berpartisipasi dalam kegembiraan dan menikmati keindahan berkeluarga.
65
66
Kasih.... Tidak Sombong Ou Phusioo
Pdt. Imanuel Kristo
Antara Pria dan Wanita John Gray, dalam bukunya: “Men are from Mars, Women are from Venus” mengungkapkan perbedaan antara pria dan wanita. Menurut Gray, pria cenderung menghargai kekuasaan, keterampilan, efisiensi dan prestasi. Harga diri seorang pria dirumuskan melalui kemampuan mereka mencapai hasil-hasil. Mereka akan mengalami kepuasan terutama melalui sukses dan prestasi. Kaum pria asyik dengan hal-hal yang dapat menolong mereka mengungkapkan kekuatan dengan menciptakan hasil-hasil dan mencapai sasaransasaran mereka. Sementara wanita menghargai cinta, komunikasi dan hubungan. Mereka menghabiskan banyak waktu untuk memberikan dukungan, menolong dan saling melayani. Bagi mereka komunikasi, berbagi dan membangun hubungan dianggap jauh lebih penting daripada mencapai sasaran atau keberhasilan. Dua perbedaan itulah yang acapkali membuat relasi antara pria dan wanita menjadi relasi yang tidak selamanya mudah untuk 67
Kasih.... Tidak Sombong
dijalani – termasuk bagi pria dan wanita yang telah bersepakat untuk hidup bersama sebagai suami dan istri. Seorang pria atau seorang suami, akan merasa lebih nyaman menyendiri dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapinya sendiri. Sementara wanita lebih suka berkumpul bersama dengan banyak teman dan secara terbuka membicarakan masalah-masalah yang mereka hadapi. Jarak di antara mereka akan semakin jauh satu sama lain, ketika mereka mempertahankan kehendaknya masing-masing, ketika diri dan hati mereka di penuhi “kesombongan” dengan jalannya masing-masing.
Ou Phusioo - Oυ Phusioo Ketika Paulus bicara soal kasih, maka Paulus menempatkannya sebagai sesuatu yang agung. Kasih menjadi sesuatu yang oleh Paulus ditempatkan di atas segalanya, melebihi segalanya dan mengatasi segalanya. Dan kasih yang demikian adalah kasih yang Ou Phusioo (Oυ Phusioο), sebuah kata yang hendak menyiratkan sifat-sifat yang sombong – dalam pengertian menyombongkan diri, congkak dan angkuh. Ketiganya adalah sifat-sifat yang merusakkan cinta kasih. Mereka yang bersepakat untuk hidup saling mencintai dan mengasihi tidak mungkin dapat menikmati kebersamaan di antara mereka jika di antara mereka ada perasaan “paling” yang berlebihan tentang dirinya sendiri di hadapan pasangannya. Mereka tidak akan dapat menikmati cinta di antara mereka jika ada di antara mereka yang merasa paling berperan dalam relasi tersebut. Carl G. Jung, berkata, “Dimana cinta bertahta maka tidak akan ada kehendak untuk berkuasa, namun bila kehendak untuk menguasai yang bertahta maka cinta akan berkurang”. 68
Kasih.... Tidak Sombong
Tidak jarang, suami atau istri merasa dirinya paling berperan dalam membiayai dan menafkahi kebutuhan keluarga hanya karena mereka merasa bahwa penghasilan yang mereka dapatkan lebih besar dari pasangannya. Saat itu kita merasa demikian maka kita beranggapan bahwa kitalah yang sepenuhnya menghidupi keluarga kita, dan semua orang dalam keluarga tampak bergantung pada kita. Dengan cara itu kita bukan saja tidak menghargai pasangan kita tetapi sekaligus juga menyakiti dan merendahkannya. Dia tampak tidak berguna, dan kemudian yang terjadi adalah dia mulai membatasi perannya – dan ini tidak boleh terjadi. Perasaan yang bertolak belakang antara dua orang yang disatukan dalam ikatan pernikahan sangat berpotensi untuk menghidupkan budaya dominasi dari yang satu terhadap yang lainnya. Ini akan menjadi sesuatu yang tidak sehat sepanjang pernikahan yang mereka jalani. Ketidakseimbangan peran dalam sebuah pernikahan ditambah dominasi yang satu terhadap yang lain akan menjadi pintu masuk bagi banyak hal yang mengganggu pernikahan. Ou Phusioo juga bisa berarti congkak, yaitu merasa dan bertindak,
dengan memperlihatkan diri sendiri sedemikian
rupa sehingga tampak begitu mulia. Padahal yang sesunguhnya tidaklah demikian, pribadi yang demikian adalah pribadi yang menyombongkan diri dengan kebohongan. Dengan demikian, dibalik kesombongannya ada ketidakjujuran dan kebohongan demi untuk sebuah pencitraan. Cinta kasih yang sejati dan relasi yang sehat tentu tidak pernah akan memberi tempat kepada Ou Phusioo (sikap congkak dan kebohongan). Ou Phusioo juga hendak menunjukkan sifat angkuh, yaitu sikap yang suka memandang rendah kepada orang lain. Biasanya hal itu 69
Kasih.... Tidak Sombong
terjadi karena ada perbedaan yang cukup jauh dalam hal pendidikan formal, strata sosial dan popularitasnya di depan umum. Namun hal ini sebaiknya tidak terjadi dan dialami oleh dua pribadi yang bersepakat hidup dalam cinta kasih. Sifat angkuh bukanlah sarana yang baik untuk dapat mengekspresikan cinta. John Wolfgang van Goethe mengatakan, “Kita dibentuk dan diperindah oleh apa yang kita cintai” – sementara Victor Hugo menambahkan, “Kebahagiaan utama dalam hidup adalah harapan bahwa kita dicintai”. Sifat angkuh akan secara perlahan-lahan akan meniadakan rasa dicintai dan mencintai. Kasih adalah Kasih Itulah yang seharusnya mewarnai setiap relasi cinta kasih di antara pasangan suami istri. Cinta kasih pada dirinya sendiri adalah agung dan terhormat, dan oleh karenanya cinta bukanlah cinta jika pelakunya kehilanan penhormatan di hadapan sesamanya. John Powel, mengingatkan..... setidaknya ada tiga segi yang harus terus menerus dijaga ketika kita mencinta dan dicinta, ketiga segi itu adalah: 1.
Cinta berarti menghargai dan mengakui nilai asli dan unik dari orang yang kita cintai.
2.
Cinta berarti mengakui dan mencoba memenuhi keperluan orang yang kita cintai.
3.
Cinta berarti memaafkan dan melupakan kesalahan orang yang kita cintai.
Selamat menempatkan cinta sebagai cinta, dan selamat mempraktekkan cinta dengan penuh kegembiraan bersama dengan dia, yang sudah Tuhan hadirkan dalam kehidupan kita. 70
Kasih Tidak Melakukan yang Tidak Sopan Ou Askemoneo
Pdt. Imanuel Kristo
Inikah Yang Namanya Cinta Rinto dan Rita adalah pasangan suami-istri, yang menikah karena cinta (begitu paling tidak yang mereka selalu ucapkan). Setelah sekian tahun menikah, mereka belum dikaruniai anak, namun tampaknya hal itu tidak terlalu mereka permasalahkan. Kehidupan pernikahan mereka dari luar tampak berjalan seperti biasa. Namun sesungguhnya tidaklah demikian, Rinto bukanlah suami yang senang memanjakan istri – dalam banyak kesempatan dia bahlkan menyakiti hati Rita dengan prilakunya yang tampak tidak pantas ketika dia berada di luar rumah. Kesopanan yang sebelumnya mengesankan Rita, hampir-hampir tidak tampak lagi ketika Rinto berkumpul dengan teman-teman “in group” nya. Tanggapan teman-teman Rita atas keluh kesah dirinya terkait dengan prilaku Rinto seolah-olah menjadi referensi bagi Rita untuk segera mengambil sikap. Rinto juga bukan suami yang memiliki antusiasme dan ambisi tinggi dalam bekerja, seperti yang dilakukan 71
Kasih, Tidak Melakukan yang Tidak Sopan
oleh banyak suami yang bertanggung jawab. Itulah yang membuat Rita harus berjuang keras mencukupkan banyak kebutuhan hidup keluarganya: membayar cicilan kendaraan, asuransi serta kebutuhan hariannya. Berbeda dengan Rita, maka Dina merasa sering dipermalukan oleh Teddy, suami yang menikahinya ketika dia masih menjadi mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Suaminya terpaut usia cukup jauh dengan Dina, mereka berkenalan di sebuah tempat karaoke dimana Dina bekerja sampingan untuk memenuhi kebutuhan keuangan perkuliahan dan sewa kostnya di Jakarta.
Teddy
seorang eksekutif muda yang cukup sukses dalam pekerjaan yang ditekuninya – yang kerap menghabiskan waktu bersama dengan teman-temannya di tempat karaoke di mana Dina bekerja. Karena sering bertemu dan karena alasan cinta maka mereka sepakat untuk menikah. Namun setelah menjalani pernikahan, Teddy acapkali memperlakukan Dina sebagaimana layaknya seorang karyawan karaoke terhadap tamunya. Dina merasa kurang dihargai oleh suaminya sendiri, tidak terkecuali saat mereka juga berada di tempat umum atau saat berkumpul dengan para kerabat mereka. Inikah yang namanya cinta? Karen Sunde, pernah berkata, “Mencintai adalah menerima kebahagiaan dari surga.” Dalam kasus di atas, adakah kebahagiaan surga dirasakan oleh mereka yang menjalani kehidupan berkeluarga...?? Cinta Tidak Melakukan Yang Tidak Sopan Mempunyai pasangan hidup yang didasarkan pada cinta sejati – akan membuat pasangan suami-istri berkembang menjadi sebuah keindahan. Dari sanalah kondisi ideal berkeluarga dipersaksikan. 72
Kasih, Tidak Melakukan yang Tidak Sopan
Namun tidak jarang dalam perjalanan waktu, lewat beragam pengalaman - banyak pasangan kemudian mengalami kekecewaankekecewaan terhadap pasangannya. Sekarang pasangannya tidak lagi dianggap sebagai pribadi yang “paling”. Rasul Paulus dalam surat pastoralnya kepada jemaat Korintus menuliskan: “Ia (kasih) tidak melakukan yang tidak sopan.” Kata tidak sopan ditulis dengan kata dalam bahasa Yunani Oυ Askemoneο. Kata Oυ Askemoneο menurut A Pocket Lexicon to The Greek New Testament diterjemahkan dengan “I am unseemly, I behave unbecomingly, I consider”. Dari beberapa terjemahan tersebut maka menjadi jelas bagi kita bahwa dalam kata Oυ Askemoneο (Ou askemoneo) bukan saja hendak menunjukkan perihal kesopanan, kepantasan tetapi juga penilaian dan pertimbangan. Itu artinya cinta kasih yang sungguh dari seorang kekasih kepada yang di kasihinya (suami terhadap istri dan istri terhadap suami) akan membuat mereka tidak pernah berpikir untuk melakukan hal-hal yang memperlihatkan ketidaksopanan dan ketidakpantasan. Cinta kasih yang sejati senantiasa akan mengupayakan semua yang baik bagi yang dikasihinya. Itulah sebabnya semua yang merusak, menyakiti dan melukai dia yang dikasihinya tidak pernah akan diberi tempat. Cinta bukan lagi cinta jika pelakunya kehilangan penghormatan di hadapan sesamanya. Dalam kesungguhan yang demikianlah cinta kasih dikerjakan oleh mereka yang saling mencinta. Cinta akan selalu membutuhkan sarana agar betul-betul dapat dirasakan, dan sarana itu adalah perbuatan tulus yang dikerjakan atas nama cinta. Di situlah cinta di ekspresikan secara santun, sehingga kita dan orang yang kita cintai
73
Kasih, Tidak Melakukan yang Tidak Sopan
menjadi pribadi yang tampak berharga dan istimewa. Cinta tidak pernah menjadikan kita menjadi pribadi yang lemah, karena cinta selalu menghadirkan semangat. Cinta yang tulus juga tidak pernah membuat mereka yang merasakannya menjadi direndahkan – tetapi selalu menghembuskan pengagungan. Semua tindakan yang tidak sopan, bukanlah tindakan cinta sekalipun di lakukan oleh mereka yang mengaku sedang mencinta. Plato pernah berkata, “Cinta itu adalah daya manusia yang memiliki keterarahan kepada sang baik.” Itulah sebabnya orang yang mencintai mengejar kebaikan, mereka akan mengarahkan diri sedemikian rupa untuk dapat memeluk kebaikan. Karena cinta maka pelakunya rela melepaskan segalanya demi untuk mendapatkan kebaikan. Sementara Spinoza melihat cinta sebagai kegembiraan – tanpa cinta orang akan masuk dalam jurang kesedihan. Seorang suami yang rela mengasihi istrinya dan berkorban penuh demi istrinya dan seorang istri yang dengan rela membaktikan dirinya dengan penuh kegembiraan bagi suaminya adalah pribadi-pribadi yang menghadirkan pesona cinta. Inilah Yang Namanya Cinta Sebuah ungkapan mengatakan: “Di mana ada cinta – di situ ada Tuhan”. Dari ungkapan ini kita di ajak untuk meyakini bahwa tanda nyata dari kehadiran Tuhan adalah lewat cinta yang kita praktekkan. Cinta benar-benar menjadi cinta hanya mungkin lewat narasi kehidupan, yang di dalamnya kematian dirombak menjadi kehidupan dan kabut gelap menjadi cahaya dan sinar yang menyejukkan.
Kasih Itu Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri (ου εαυτου - ‘OUHEAUTOU) Pdt. Febe Oriana Hermanto Secara umum, pemakaian frasa keuntungan diri sendiri adalah kata sifat dalam bahasa Yunani eautou. Dalam bahasa Inggris diterjemahkan not seeks the things of its own. Dalam bahasa Indonesia bisa diartikan tidak mencari sesuatu untuk kepentingan diri sendiri. Tidak mencari sesuatu untuk kepentingan diri sendiri punya makna yang luas. Bisa juga diartikan dengan tidak memaksa orang lain untuk melakukan kemauannya sendiri, mengutamakan keperluan orang lain, dan tidak menuntut orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus hendak mendaftarkan lima belas karakteristik kasih yang seharusnya dimiliki oleh pengikut Kristus, salah satunya adalah tidak berupaya untuk mencari keuntungan diri sendiri. Oleh karena itu, kasih bukan lagi hanya sebatas sebuah perasaan batin atau kata-kata motivasi. Lebih dari itu kasih adalah sebuah tindakan untuk menjadikan 75
Kasih itu Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri
setiap pribadi makin memiliki hidup yang baik dan benar. Di dunia ini kita bisa menyederhanakan dua jenis manusia, yaitu mereka yang selalu menuntut hak-hak mereka (lalu mengabaikan tanggung jawabnya) dan mereka yang masih bersedia melakukan tanggung jawabnya dengan kesadaran dan kerelaan. Kasih yang tidak mencari keuntungan diri sendiri selalu mendorong manusia untuk menyeimbangkan kehidupannya. Seimbang dalam konteks pengikut Kristus adalah lebih banyak memikirkan dan melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya dan tidak selalu berpikir untuk menuntut hak-haknya. William Barclay mengatakan bahwa ketika seorang Kristen selalu berpikir tentang “porsi saya” maka sebetulnya ia sedang menyimpang jauh dari kasih. Berbicara tentang tidak mencari keuntungan diri sendiri sebetulnya terkait erat dengan perintah sekaligus teladan yang Yesus berikan bagi umat-Nya: Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri [eautou]. Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya. Karena Kristus juga tidak mencari kesenangan-Nya sendiri [eautou]…(Roma 15:1-3a) “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. “Segala sesuatu diperbolehkan.” Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun. Jangan seorangpun yang mencari keuntungannya sendiri, tetapi hendaklah tiap-tiap orang mencari keuntungan orang lain.” (1 Korintus 10:23-24) 76
Kasih itu Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri
Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri – Uji Motivasi Berpikir untung atau rugi selalu dekat dengan aktivitas jualbeli. Seorang pedagang tentu saja harus membuat perhitungan secara cermat supaya ia mampu mendapatkan keuntungan. Ia akan merasa malang dan sekaligus gagal jika usahanya justru mengalami kerugian. Tetapi kehidupan pernikahan sama sekali bukan seperti layaknya aktivitas jual-beli dimana kedua pihak selalu berpikir untung dan tidak mau rugi. Kasih dalam kehidupan pernikahan bahkan cenderung tidak memperhitungkan dengan cermat semua usaha (baca: pengorbanan) yang telah dilakukan bagi pasangannya. Ketika memutuskan untuk menerima seseorang menjadi pasangan seumur hidup, manusia seharusnya tidak berpikir ‘aji mumpung’: menikah dengannya membuat tabunganku bertambah banyak, tidak harus bekerja, dan menikmati hidup dengan leluasa. Dan setelah menjalani kehidupan pernikahan beberapa waktu lamanya, seseorang juga tidak boleh berpikir ‘celaka’: harus merawat ketika sakit, hidup pas-pasan, dan lain sebagainya. Memasuki kehidupan pernikahan dan menjalani dinamika setiap harinya adalah sebuah uji motivasi di dalam hati: bukan mencari untung dan pada akhirnya merasa rugi, tetapi mengupayakan satu sama lain bertumbuh dalam Kristus. Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri – Kesediaan Untuk Memberi
Dalam bukunya seni mencinta, Erich Fromm menyebutkan bahwa cinta itu terutama memberi, bukan menerima. Setiap orang akan menjadi pribadi yang lebih berbahagia apabila ia lebih banyak 77
Kasih itu Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri
memberi daripada mengharapkan menerima sesuatu dari seseorang. Jika hal ini yang ada dalam kehidupan keseharian, maka tindakan kasih yang selalu membuat orang lain lebih utama daripada dirinya sendiri bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Tindakan memberi selalu memerlukan inisiatif, bukan menunggu dengan pasif. Jika kehidupan selalu dikelilingi dengan aktivitas yang begitu padat dan merisaukan, maka setiap pribadi seharusnya berinisiatif untuk memberi dan meluangkan waktu bagi sebuah pertemuan atau percakapan yang berkualitas. Jika kerumitan hidup membuat banyak orang tak lagi punya kepekaan untuk peduli, tak lagi bertegur sapa, maka inisiatif untuk pertama-tama memberi perhatian tanpa pamrih sangat diperlukan untuk menjaga api cinta tetap berkobar. Memberi tak pernah rugi Berinisiatif untuk memberi mampu menumbuhkan pesona cinta Sekarang dan selamanya Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri – Kerelaan
Berkorban
Suatu kali ada seorang istri bernama Susan yang baru saja kehilangan penglihatannya akibat kesalahan diagnosa. Mulanya Susan dikenal sebagai pribadi yang aktif dan mandiri. Namun kebutaannya mendadak melemparkannya ke dunia yang gelap gulita, frustasi, tak berdaya, hingga merasa menjadi beban bagi orang-orang disekelilingnya. Namun, betapapun ia sering menangis, ia segera menyadari bahwa situasi sulit ini harus diterima-penghlihatannya tak akan pulih lagi. 78
Kasih itu Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri
Mark, suaminya, adalah seorang perwira Angkatan Udara. Dia begitu mencintai Susan dengan tulus. Mark begitu memahami bahwa Susan tenggelam dalam keputusasaan. Mark bertekad untuk membantunya menemukan kembali kekuatan dan rasa percaya diri yang dibutuhkan Susan untuk menjadi mandiri lagi. Latar belakang militer Mark membuatnya ia terlatih menghadapi situasi sulit, sekalipun baginya ini adalah “pertempuran” paling sulit. Akhirnya Susan siap bekerja lagi, tetapi ia kesulitan untuk bisa sampai ke kantornya. Mark menawarkan untuk mengantarnya setiap hari meskipun tempat kerja mereka terletak di pinggiran kota yang berseberangan. Mulanya kesempakatan ini membuat Susan nyaman dan Mark puas karena dapat memberikan perlindungan penuh kepada istrinya. Namun mereka segera menyadari bahwa pengaturan ini keliru dan terburu-buru. Susan harus belajar naik bus lagi! Selama dua minggu penuh, Mark mengawal Susan dari dan ke tempat kerja setiap hari. Dia mengajari Susan bagaimana caranya melatih indra yang lain, yaitu pendengaran untuk menentukan dimana dia sedang berada. Mark menolong Susan berkenalan dengan sopir bus untuk dapat mengawasi dan menyisakan satu kursi kosong untuk Susan. Setiap pagi mereka berangkat bersama-sama kemudian Mark naik taksi ke kantornya. Akhirnya Susan memutuskan untuk berangkat ke kantor seorang diri. Tibalah hari Senin, Susan memeluk Mark yang pernah menjadi kawan satu bus dan sahabat terbaik. Rasa syukur dan haru meliputi hati Susan karena ia mendapat anugerah seorang suami yang sabar, setia, dan penuh pengorbanan untuk selalu mendampingi hidupnya.
79
Kasih itu Tidak Mencari Keuntungan Diri Sendiri
Senin, Selasa, Rabu, Kamis dijalani dengan sempurna. Susan berhasil sampai ke tempat kerja tanpa dikawal oleh Mark. Dan pada hari Jumat pagi ketika Susan hendak membayar ongkos bus, sopir bus itu berkata kepadanya, “Wah, aku iri kepadamu.” Susan bertanya kepada sopir itu, “Kenapa kau berkata seperti itu kepadaku? Apa maksudmu?” Kau tahu, setiap hari selalu ada seorang pria tampan, berseragam militer berdiri di sudut jalan dan mengawasimu waktu kau turun dari bus. Dia memastikan bahwa kau menyeberang dengan selamat dan mengawasimu terus sampai kau masuk ke kantormu. Setelah itu ia meniupkan ciuman, memberi hormat ala militer dan kemudian pergi. Kau wanita yang sangat beruntung, kata sopir itu. Hati Susan tersentak, rasa haru dan bahagia meliputinya sebab ia sadar bahwa seorang pria yang dimaksudkan sopir itu adalah suaminya, Mark. Mark melakukan lebih dari apa yang mereka sepakati berdua. Mark tak pernah merasa terlalu repot jika harus mengawal dan memastikan keberadaan Susan. Mark selalu melakukan dengan sukacita untuk belahan jiwanya.1 Kisah Mark-Susan membawa kita pada sebuah kenyataan bahwa rela berkorban satu sama lain, bagi seseorang yang dicintai adalah sebuah panggilan. Berkorban tak pernah mencari untung bagi diri sendiri, tapi justru selalu ingin agar orang lain mendapatkankan keuntungan (baca: kebaikan) dalam hidup dan kehidupannya. Selamat saling mencinta bukan dengan kata kunci “saya”, tetapi “kita”! 1
Dikutip dari kisah inspiratif “Chicken Soup for the Couple Soul”
80
Kasih Itu Tidak Pemarah Ou Paroxuno
Pdt. Febe Oriana Hermanto
Ou Paroxuno dalam bahasa Inggris berarti Is Easily Provoked - mudah terpengaruh atau terpancing untuk menjadi marah dan mendendam kepada seseorang. Kasih itu tidak pemarah. Menurut Rasul Paulus, salah satu wujud konkrit tentang kasih adalah ketika seseorang tidak mudah menjadi marah. Sebab marah (Yunani: Orgi, yang berarti kemarahan yang berkepanjangan) adalah tanda kekalahan. Ketika seseorang kehilangan kesabaran, maka ia kehilangan segalanya. Seseorang dapat dikatakan teruji jika ia tetap bersikap tenang saat orang lain kehilangan akal sehatnya. Ketika ia dibenci, ia tidak menyerah pada rasa benci. Orang yang mampu menguasai kemarahannya akan mampu mengatasi segala hal.1
1
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1&2 Korintus, hal. 218. 81
Kasih itu Tidak Pemarah
Sifat pemarah adalah kecenderungan negatif yang harus dipangkas, sebab keberadaannya tak membuat satu orang pun menjadi berbahagia Ada seorang anak yang sangat pemarah. Ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan kepadanya bahwa setiap kali dia kehilangan kesabarannya, dia harus menancapkan sebuah paku di pagar kayu di belakang rumah. Hari pertama anak itu telah menancapkan 37 paku ke pagar. Kemudian secara bertahap menyusut turun. Si anak mendapati bahwa lebih mudah menahan amarahnya daripada untuk menancapkan paku ke pagar tersebut. Akhirnya hari itu datang ketika anak itu tidak lagi kehilangan kesabarannya. Dia bercerita kepada ayahnya tentang hal itu dan ayahnya menyarankan agar sekarang ia mengeluarkan kembali satu paku setiap hari tanda ia mampu menahan amarahnya. Hampir setiap hari ia berhasil mencabut paku-paku tersebut, akan tetapi kadang-kadang ada juga hari dimana ia harus menancapkan paku lagi karena marah. Hari-hari berlalu dan anak itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku sudah habis terambil. Sang ayah mengajak dan menuntun tangan anaknya ke pagar dan berkata, “Nak, lihatlah kamu telah melakukannya dengan baik. Tapi lihatlah lubang-lubang yang ada di pagar. Pagar tidak akan pernah sama dengan sebelumnya. Sudah ada lubang-lubang. Ketika kamu mengatakan sesuatu dengan kemarahan, maka ia meninggalkan bekas.”
82
Kasih itu Tidak Pemarah
Cerita di atas hendak mengingatkan betapa besar resiko yang akan ditimbulkan oleh seseorang yang memiliki sifat pemarah, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Bagi dirinya, hatinya tidak diliputi dengan ketenangan batin sebab hanya akan merasa puas jika sudah melampiaskan amarahnya. Jika terus menjadi pemarah, ia kehilangan sahabat dan rekan, mungkin juga kehilangan segalanya. Bagi orang lain, perkataan, sikap, keputusan Si Pemarah sudah tentu tidak membuat simpatik, meninggalkan kepahitan dan luka hati bagi banyak orang. Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah. Tidak Pemarah – Mencari Data Atau Sumber Yang Tepat Ini adalah salah satu cara yang baik untuk dilakukan agar tidak mudah terprovokasi oleh hal-hal yang berpotensi untuk membangkitkan amarah. Kita hidup dalam dunia yang semakin riskan, ada orang-orang yang sekadar ‘iseng’ dan tentu dengan sengaja membawa berita yang membuat hati kita resah. Ada juga mereka yang memang berniat jahat, mencoba untuk mengobrakabrik kehidupan pernikahan seseorang dengan menghasut, membuat data palsu, dan sebagainya. Oleh karena itu bersikap arif dengan menentukan dan mencari sumber yang tepat adalah bagian untuk mengendalikan amarah. Dalam hal ini, pasangan suami-istri 83
Kasih itu Tidak Pemarah
paling tidak juga berupaya untuk ‘melek’ teknologi, sebab dengan teknologi yang semakin berkembang bisa menjadi cara yang paling mudah dan cepat untuk menghancurkan kehidupan rumah tangga. Tidak Pemarah – Sebuah Upaya Untuk Menjadi Teladan dan Menciptakan Generasi Yang Berkarakter Suatu ketika di sebuah sekolah, diadakan pementasan drama. Pentas drama yang meriah dengan pemain yang semuanya adalah siswa-siswi. Setiap anak mendapat peran dan memakai kostum sesuai dengan tokoh yang diperankannya. Semuanya tampak serius, sebab Pak Guru akan memberikan hadiah kepada anak yang tampil terbaik dalam pentas. Sementara di depan panggung, semua orangtua murid ikut hadir dan menyemarakkan acara itu. Lakon drama berjalan dengan sempurna. Semua anak tampil dengan maksimal. Ada yang berperan sebagai petani, lengkap dengan cangkul dan topinya, ada juga yang menjadi nelayan, dengan jala yang disampirkan di bahu. Di sudut sana, tampak pula seorang anak dengan raut muka ketus, sebab dia kebagian peran pak tua yang pemarah, sementara di sudut lain, terlihat anak dengan wajah sedih, layaknya pemurung yang selalu menangis. Tepuk tangan dari para orangtua dan guru kerap terdengar, di sisi kiri, kanan dan depan panggung. Tibalah kini akhir dari pementasan drama. Dan itu berarti, sudah saatnya Pak Guru mengumumkan siapa yang berhak mendapat hadiah. Setiap anak tampak berdebar dalam hati, berharap mereka 84
Kasih itu Tidak Pemarah
terpilih menjadi pemain drama yang terbaik. Dalam komat-kamit mereka berdoa, supaya Pak Guru menyebutkan nama mereka, dan mengundang ke atas panggung untuk menerima hadiah. Para orangtuapun ikut berdoa, membayangkan anak mereka menjadi yang terbaik. Pak Guru telah menaiki panggung, dan tak lama kemudian ia menyebutkan sebuah nama. Ahha... ternyata, anak yang menjadi pak tua pemarahlah yang menjadi juara. Dengan wajah berbinar, sang anak bersorak gembira. “Aku menang ... aku menang ... aku menang ...,” begitu ucapnya. Ia pun bergegas menuju panggung, diiringi kedua orangtuanya yang tampak bangga. Tepuk tangan terdengar lagi. Sang orangtua menatap sekeliling, menatap keseluruh hadirin. Mereka bangga. Pak Guru menyambut mereka. Sebelum menyerahkan hadiah, ia sedikit bertanya kepada sang jagoan, “Nak, kamu memang hebat. Kamu pantas mendapatkannya. Peranmu sebagai seorang yang pemarah terlihat bagus sekali. Apa rahasianya, sehingga kamu bisa tampil sebaik ini? Kamu pasti rajin mengikuti latihan, tak heran jika kamu terpilih menjadi yang terbaik..,” tanya Pak Guru. “Coba kamu ceritakan kepada kami semua, apa yang bisa membuat kamu seperti ini..” Sang anak menjawab, “Terima kasih atas hadiahnya, Pak. Dan sebenarnya saya harus berterima kasih kepada Ayah saya di rumah. Karena, dari Ayah-lah saya belajar berteriak dan menjadi pemarah. Kepada Ayah-lah saya meniru perilaku ini. Ayah sering berteriak kepada saya, maka bukan hal yang sulit untuk menjadi pemarah 85
Kasih itu Tidak Pemarah
seperti Ayah.” Tampak sang Ayah yang mulai tercenung. Sang anak mulai melanjutkan, “Ayah membesarkan saya dengan cara seperti ini, jadi peran ini, adalah peran yang mudah buat saya...” Senyap ... usai bibir anak itu terkatup, keadaan tambah senyap. Begitupun kedua orangtua sang anak di atas panggung, mereka tampak tertunduk. Jika sebelumnya mereka merasa bangga, kini keadaannya berubah. Seakan, mereka berdiri sebagai terdakwa, di muka pengadilan. Mereka belajar sesuatu hari itu. Ada yang perlu diluruskan dalam perilaku mereka. Pasutri dan calon pasutri yang terkasih, ilustrasi di atas menjadi sebuah peringatan keras bagi kita. Jika Tuhan menganugerahkan anak/anak-anak, maka kita wajib mengelola anugerah tersebut dengan sangat baik, salah satunya adalah berupaya untuk menjadi pribadi yang berkarakter Kristiani. Ketika dalam rumah tangga orangtua tidak menjadi teladan, maka generasi selanjutnya akan hanyut dalam kekelaman. Tidak Pemarah – Kendalikan dan Latihlah Dirimu Melatih diri adalah bagian dari upaya untuk mengendalikan diri agar tidak menjadi pemarah. Latihan ini bersifat kontinu, di dalamnya tentu ada unsur perjuangan dan ketekunan. Melatih diri selalu melibatkan upaya untuk mengenali penyebab utama dan mencabut akar permasalahannya. Hari ini bisa jadi kita berhasil dan esok gagal mengontrol diri. Namun kegagalan adalah bagian dimana kita menjadi sadar bahwa kekuatan kita sendiri tak berarti apa-apa. Oleh karena itu dalam setiap doa-doa yang kita panjatkan, 86
Kasih itu Tidak Pemarah
kita meminta kemampuan dari Dia yang penuh kuasa untuk dapat melatih dan mengendalikan diri kita hingga makin serupa dengan Kristus. “Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang supaya kamu dapat berdoa.”
87
88
“Kalau kamu melakukannya sekali lagi…” Yohanes P. Pratama, S.Si.Teol.
Dengan suara yang bergetar menahan air mata yang sudah di sudut mata, ia berkata,“Alkitab memang menulis bahwa kasih itu... ‘tidak menyimpan kesalahan orang lain’ (1 Korintus 13:5b)’’. “Tetapi kalau kamu melakukannya sekali lagi, aku akan meninggalkanmu!!” Kalimat tersebut meluncur tajam dan deras dari bibir seorang istri kepada suaminya yang baru saja pulang dalam kondisi mabuk, ditambah bau rokok yang sedemikian pekat melekat, dan ada goresan gincu merah pada kerah kemejanya. Mendengar gertak istrinya, sang suami kemudian menyahut, “Aaaarghh….selalu saja cerewet. Minggir kamu, aku mau istirahat.” Kata sekali lagi dan selalu saja cerewet dalam percakapan tersebut seakan menjelaskan bahwa kejadian itu bukan baru pertama kali 89
“Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi...”
terjadi. Mungkin ini kali ketujuh, atau kesepuluh, atau yaa.... mungkin “baru” yang kelima kalinya dalam bulan itu. Belum lagi keluh kesah sang istri itu tak menjadi perhatian suaminya, ia hanya berucap sekenanya cenderung menyakitkan.Sering pula tak ada secuil pun kata yang terucap yang justru membuat hati sang istri makin tersayat. Nampaknya, peristiwa seperti inilah yang dapat menggambarkan refleksi yang dituliskan Gary Thomas, seorang penulis terkemuka, dalam bukunya Sacred Marriage (2011), bahwa “Banyak pria tidak menyadari besarnya luka yang telah mereka goreskan dalam hati pasangan mereka hanya dengan tidak berkata apa-apa.” Hal ini membuat sang istri punya “ritual”. Ritual sang istri adalah sebagai berikut: dengan bersimbah air mata ia pergi ke tetangga sebelah, lalu berkata,“Istri mana yang tak marahbila suaminya pulang dalam kondisi demikian? Istri mana yang mau suaminya tak sehat karena kebanyakan alkohol? Apalagi kali ini ada goresan gincu di kerahnya,istri mana yang tak curiga? Pasti ia bermain perempuan! Persis saat kami masih pacaran dulu, sepuluh tahun lalu itu. ”Sebuah pertanyaan dan pernyataan yang kemudian dijawab dengan pelukan dan tepukan hambar dari tetangga yang sudah jengah melihat tetangganya hampir selalu bertengkar karena alasan yang sama. Paling-paling sang tetangga berkata, “Sabarjeung, coba ditanyakan baik-baik sama suaminya kenapa mabuk terus.Dan, belum tentuia sudah mengkhianatimu. Apalagi gincu itu baru kali ini,‘kan?” Sang istri yang masih sesenggukan itu tak mengindahkan kata-kata tetangganya itu, ia beranggapan suaminya tak peduli lagi dengannya, dan perihal gincu ini sudah pasti sama dengan kejadian masa lalu saat pacaran dulu, 10 tahun yang lalu. 90
“Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi...”
Kisah nyata ini tak ubahnya seperti cerita-cerita sinetron yang fiktif belaka, tapi kali ini adalah fakta! Bukankah cerita semacam ini juga dengan mudah dapat kita saksikan dan dengar dengan mata dan telinga kita?! Atau bahkan, getirnya kisah ini pernah menjadi kisah kita. Bukankah banyak pasangan yang enggan melihat fakta sebenarnya namun justru lebih memilih untuk saling menaruh curiga? Bukankah lebih banyak pasangan yang memilih untuk saling menyimpan kesalahan pasangannya? Bila sudah demikian realitanya, Alkitab berbicara apa? Paulus yang berkata, “Kasih itu, … tidak menyimpan kesalahan orang lain.”
Menarik ketika melihat cerita ini, sang istri masih mampu mengingat sebuah kutipan Alkitab saat marah-marah. Sayangnya, kutipan Alkitab tak mengobatinya namun justru jadi senjatanya. Ayat itu ada dalam tulisan Paulus. Apa maksud Paulus sebenarnya? Apakah
kasih
sedemikian
rupa
menafikan
(menyangkal,
mengingkari) segala fakta menyakitkan yang muncul dalam kehidupan? Atau ada hal lain yang ingin Paulus sampaikan? Mencari makna frasa tidak menyimpan kesalahan orang lain atau yang dalam bahasa Yunani-nya “ou logizetai to kakon,” berarti kita harus melihat konteks dimana teks tersebut berada. Teks ini menjadi bagian dari sebuah penjelasan argumentatif Paulus yang ditujukan kepada jemaat di Korintus yang tengah sibuk meributkan hal karunia-karunia yang diberikan Allah. Bahkan menyeret saudara seimannya ke hadapan orang-orang yang tidak percaya (bandingkan. 1Kor.6:1-6). Terhadap hal ini, Paulus ingin menegaskan pada jemaat 91
“Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi...”
Korintus bahwa karunia-karunia yang mereka pergunjingkan itu hanya suatu yang bersifat lahiriah, yang memiliki masa berlaku. Sehingga dari pada mempersoalkan karunia-karunia lahiriah itu, hendaknya para pengikut Kristus mengutamakan kasih (~H avga,ph– he agape). Dalam menjelaskan pentingnya kasih – “he agape”, Paulus berangkat dari keyakinan bahwa kasih adalah sifat dasar Allah (Rom. 8:37-39). Sehingga setiap jemaat, yang juga anak Allah, sedianya memiliki kasih. Kasih yang terwujud dalam sebuah tindakan nyata. Sebagaimana Yesus sang anak Allah telah secara nyata menunjukkan kasih-Nya dengan lahir, menderita, mati, dan bangkit untuk menebus manusia. Kasih yang nyata dalam kehidupan itu selalu berupa tindakan bahkan kebiasaan. Dan, kasih merupakan tindakan yang senantiasa mengarahkanseseorang pada relasi antar manusia. Maka Paulus menggunakan “Ou logizomai to kakon” sebagai salah satu dari lima belas kata kerja yang jelas juga terdapat dalam relasi antar manusia. Selanjutnya mari kita lihat lebih dalam, tindakan kasih seperti apa yang dimaksud frasa ini, bagian per bagian. ouv logi,zetai – Ou Logizetai Kata ini memiliki akar kata logizomai. Logizomai memiliki beberapa arti di antaranya: menghitung, memperhitungkan, menyimpan, memandang, yakin, berpikir, menyangka. Sementara logizetai sendiri merupakan kata yang biasa digunakan dalam konteks kehidupan persekutuan, sebagaimana yang ada dalam 1 Korintus 13:5 ini. Selain itu, logizetai juga digunakan dalam 92
“Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi...”
Filipi 4:8: Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah (logizetai) semuanya itu. Kepada jemaat di Filipi, Paulus menggunakan kata logizetai yang berarti berpikir. Namun berpikir disini, mengajak mereka tak sekedar berpikirdalam arti berefleksi (merenung/berwacana) atas semua hal itu, namun berpikir praktis yang kemudian mengarahkan mereka pada sebuah tindakan nyata. Sehingga umat tak hanya memiliki pengetahuan namun juga memiliki kehidupan yang serupa dengan Kristus yang telah menebus dosa. Dengan berpikir (berefleksi) seperti Kristus, maka tindakan nyata dari umat terjawantahkan pula dalam hidup berjemaat/berkomunitas. Sebagaimana yang terdapat dalam 1 Korintus 12 dan 14, umat menggunakan karuniakarunianya untuk pembangunan tubuh Kristus (jemaat/gereja). Dengan berpikir seperti Kristus maka umat pun akan mengerti bagaimana Allah melakukan perhitungan. Kata, logizetai dalam bagian Alkitab yang lain (Kej. 15:6; Rom.4:3 dan Yak. 2:23) diartikan sebagai memperhitungkan. Ayat-ayat ini berbicara mengenai bagaimana Allah memperhitungkan iman-kepercayaan Abram (Abraham) sebagai sebuah kebenaran. Hal ini diikuti dengan penjelasan mengenai kaitan iman dan perbuatan yang juga dapat didiskusikan secara lebih lanjut. Namun fokus kita adalah pada kata logizetai yang bisa diartikan berpikir dan memperhitungkan. 93
“Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi...”
Maka kata logizetai dalam ketiga ayat tersebut ingin menunjukkan pula bagaimana Allah melakukan perhitungan dengan manusia. Bila dikatakan Allah juga memperhitungkan perbuatan seseorang dalam hal ini Abraham untuk memberikan anugerah-Nya, sementara dalam diri Yesus menjadi tidak lagi. Sebetulnya bukan tidak lagi, anugerah keselamatan yang diberikan Allah berdasarkan kasih karunia-Nya melalui kematian Yesus Kristus tersebut menanti iman yang di dalamnya seseorang tunduk pada penghakiman (perhitungan, logizetai) Allah, namun juga tunduk pada rahmat Allah serta siap untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah. Maka, perhitungan dan pemikiran yang demikian yang dimaksudkan Paulus dengan menggunakan kata logizetai untuk menerangkan kasih pada 1 Korintus 13:5 ini.
to. kako,n– to Kakon Kata kakon, berakar kata kakos, memiliki arti: buruk, jahat secara moral, salah, sakit, luka, lemah, bahaya, menghancurkan; juga dapat menjadi kata keterangan: dengan cara yang salah/jahat, kejahatan, kemalangan, sangat menderita. Kata kakos ini cukup kontroversial. Dari kata ini dapat muncul pertanyaan mengenai asal muasal, serta relasi antara si jahat/ kejahatan dengan Allah, berikutnya juga antara manusia dengan alam semesta. Ada beberapa pandangan akan kakos; ada yang berpandangan bahwa kakos berasal dari kekuatan ilahi namun juga ada yang beranggapan bahwa kakos adalah bagian dari manusia. Dasar pikiran manusia pada dasarnya berdosa, jahat, dan kotor sehingga tak dapat lepas dari keadaan tersebut. Adapula yang 94
“Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi...”
beranggapan bahwa jahat dan baik merupakan dua pilihan, pilihan yang hanya dapat diambil bila kita memiliki kebijaksanaan atau hikmat. Dalam Perjanjian Baru sendiri ada beberapa ayat yang menggunakan kata kakos. Misalnya, Yakobus 3:8 yang mengatakan bahwa lidah itu jahat, bahkan Terjemahan Baru-LAI menerjemahkan kakos sebagai “buas”. Sementara dalam 1 Timotius 6:10, kakos digunakan dalam rangka menjelaskan bahwa cinta uang adalah akar dari segala kejahatan.Paulus sendiri juga mengatakan bahwa dalam diri kita terdapat ambivalensi diri:kita tahu yang baik namun tak sanggup melakukannya (Rom. 7:19,21). Maka kata kakon dalam ayat ini pun ingin mengatakan demikian. Dan kejahatan ini hanya dapat dibebaskan dengan hidup di dalam Kristus.
~H avga,phouv logi,zetaito. kako,n– He agape
ou logizetai to kakon
Frasa ou logizetai to kakon sendiri diterjemahkan secara beragam: “tidak memikirkan yang jahat” (Alkitab King James Version), “tidak mencatat kesalahan-kesalahan” (Alkitab New International Version/NIV), “tidak menyimpan kepahitan” (Revised Standard Version/RSV); “tidak dendam” (Alkitab Terjemahan Baru Bahasa Indonesia Sehari-hari) dan “tidak menyimpan kesalahan orang lain” (Alkitab Terjemahan Baru-LAI). Variasi ini tentu merujuk pada keberagaman makna yang dimiliki oleh kata logizomai maupun kakon sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Ketika
keduanya
disatukan
untuk
menerangkan
agape
(kasih) maka makna kata logizomai perlu diselaraskan dengan 95
“Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi...”
makna dasar kata kakon. Sehingga dalam frasa ini, nampaknya lebih tepat jika kata logizomai diterjemahkan sebagai (tidak) memperhitungkan. Kita dapat membandingkannya dengan 2 Korintus 5:19 dan Roma 4:3-9 yang mana keduanya juga memuat kata logizomai yang berarti memperhitungkan. Pada kedua ayat tersebut, kata (tidak) memperhitungkan merujuk pada tindakan Allah dalam Kristus yang tidak memperhitungkan kesalahan dan pelanggaran kita. Terjemahan ini jelas dapat dikaitkan dengan kakon yang juga memiliki arti kesalahan/kejahatan yang identik pula dengan pelanggaran/dosa. Maka frasa ini menjadi ajakan, khususnya bagi para pasangan untuk meneladani Yesus yang tidak memperhitungkan kesalahan manusia. Sebagaimana juga terdapat dalam Mazmur 103:12 dan 130:3 yang dengan jelas dikatakan bahwa Ia akan melupakan dosa kita dan membuangnya jauh-jauh. Bila kemudian muncul pertanyaan: Bagaimana kita bisa tidak memperhitungkan kesalahan orang lain? Dan sejauh mana kita harus mengampuni? Maka kita dapat menjawabnya dengan membandingkan kesalahan orang lain pada kita dengan kesalahan kita pada Tuhan. Matius 18:21-35 mencatat, pada saat Petrus bertanya mengenai batasan pengampunan, Yesus memberikan perumpamaan tentang hutang 10 ribu talenta (sekitar 60 juta dinar atau 60 juta x upah harian yaitu 60 juta x Rp. 50.000 = Rp. 3 triliun) dan 100 dinar (100 x upah harian yaitu 100 x Rp. 50.000 = Rp. 5 juta). Yesus ingin mengingatkan bahwa ketika dosa kita adalah hutang kita kepada Allah sebesar 10 ribu talenta sudah dianggap lunas, maka tak ada lagi alasan untuk kita menagih alias memperhitungkan hutang (kesalahan) orang lain kepada kita yang hanya sebesar 100 dinar. Namun ini bukan perkara sepele. 96
“Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi...”
Gary Thomas (Sacred Marriage, 2011) mengatakan bahwa pengampunan (baca: tidak memperhitungkan kesalahan orang lain) adalah tindakan yang tidak alamiah, sehingga kita perlu berlatih untuk bisa sepenuhnya mengampuni. Tak jarang, sekalipun pasangan, orangtua, saudara, atau anak telah mengakui dosa-dosa dan kelemahannya, kita tetap menyimpan pengakuan itu dalam sebuah lemari bekas pikiran kita, yang siap kita gunakan kapan saja untuk membela diri atau menyerang pasangan kita.Bukankah sering terdengarperkataan, “Tetapi, kalau kamu melakukannya sekali lagi aku akan meninggalkanmu!!” Suatu ungkapan yang dalam dunia psikologi sering disebut “batas toleransi terendah”. Menurut Sawitri S. Sadarjoen (dalam kolom Psikologi pada harian Kompas, Sabtu, 23 April 2016), “batas toleransi terendah” menekankan kedalaman nilai dan respon yang baik tentang iklim relasi dengan orang lain dalam diri kita sendiri dan diri orang lain yang bermakna bagi kita. Namun Sawitri mengingatkan, bahwa batasan itu ternyata mengungkap pernyataan bagi diri kita sendiri yang sedang dirundung kekhawatiran dan bukan ancaman bagi orang yang bermakna bagi kita (suami, orang tua, saudara, dan/anak). Ancaman tersebut sebenarnya bermakna, “Saya katakan ini karena saya sayang kamu dan saya benar-benar ngeri melihat kamu minum alkohol. Pikiran saya berkata bahwa kamu tidak lama lagi hidup di sisi saya.” Sehingga Sawitri berpendapat bahwa kekhawatiran perlu diekspresikan, namun bukan keputusan yang kaku dan keras. Hal ini membuat Gary Thomas menyimpulkan bahwa pengampunan yang sejati adalah sebuah proses. Jarang sekali seseorang dapat mengampuni “satu kali saja” lalu masalah terselesaikan. Justru yang lebih sering terjadi adalah kita harus 97
“Kalau Kamu Melakukannya Sekali Lagi...”
berkali-kali melepaskan kepahitan kita dan berkali-kali memutuskan untuk tidak menghakimi orang yang menyakiti kita. Ya! Itulah kasih yang tidak memperhitungkan kesalahan pasangannya. Dalam 1 Korintus 13 ini, Paulus menerangkan kasih,~H avga,ph, dalam bentuk present tense, yang berarti saat ini, terus menerus, tanpa mengerti kapan berakhir. Sehingga, ketika berbicara bahwa kasih tidak memperhitungkan kesalahan orang lain ini tak lepas dari kasih yang tidak berkesudahan (1 Korintus 13:8). Karena pengampunan dan kasih yang terus menerus merupakan undangan paling ampuh untuk mendatangkan pertobatan. Maka para suami dan istri – juga kita semua, katakanlah seorang terhadap yang lain dengan penuh kasih, ”Kalau kamu melakukannya sekali lagi, aku akan memaafkanmu sekali lagi.”
98
Kasih Pasti Berlaku Adil (1 Korintus 13:6)
Pdt. Em. Samuel Santoso
Ini cerita Pak Dadap, seorang pendeta jemaat di sebuah kota kecil. Bermula dari satu keluarga dengan satu ayah dan satu ibu dengan sepuluh orang anak. Sebut saja Pak Waru yang menjadi kepala keluarga. Mereka kaya raya. Bukan hanya memiliki banyak uang tetapi juga barang-barang perhiasan emas intan, dan properti. Ini kondisi sekitar tahun 1950-an. Keluarga ini keluarga Kristiani dan termasuk orang yang aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejawi. Masalah terjadi ketika papa yang meninggal lebih kemudian dari mama. Papa anak-anak ini meninggalkan testamen dalam bahasa Belanda yang kemudian ketika diterjemahkan maka salah satu bagiannya kemudian ditafsirkan memberikan kuasa atas seluruh aset kepada anak sulung. Si anak sulung sendiri juga memahaminya sebagai pemberian seluruh aset yang dimiliki papa hanya bagi dia. Apakah maksud papanya memang demikian atau tidak, walahualambizawab. Singkat cerita si anak sulung ini yang kemudian ‘menguasai’ (boleh dibaca ‘mengangkangi’) harta benda milik orangtuanya. Mulailah sengketa antar anak yang kemudian berlanjut antar anggota keluarga mereka masing-masing dan 99
Kasih Pasti Berlaku Adil
konflik ini berkepanjangan karena sampai ke generasi ke tiga dari keluarga besar ini. Perseteruan ini tidak lagi tertutup tetapi menjadi permusuhan yang terbuka, dan perang saudara selalu lebih seru, lebih keras, dan bahkan lebih kejam ketimbang berseteru dengan orang lain yang tidak ada hubungan darah. Mulai dari saling caci maki kalau berjumpa di jalan, berkelahi secara fisik antar saudara (juga antara om dan keponakan), sampai melibatkan polisi, perkara dibawa ke ranah peradilan mulai dari tingkat paling rendah sampai dengan kasasi yang melibatkan para penasihat hukum (yang ternyata juga mendapatkan keuntungan dari pengurusan perkara ini) sampai menulis surat kepada Majelis Jemaat supaya saudara mereka dikenai penggembalaan khusus (disiasat – mereka masih menggunakan kata ini) dan kalau perlu diusir bila mereka hadir di kebaktian minggu untuk ikut perjamuan kudus. Kondisi semacam ini bukan hanya membuat kisruh hidup berkeluarga tetapi merepotkan juga gereja. Berulang kali anggota keluarga datang sendiri-sendiri memprovokasi – setengah mengancam – agar Pendeta Dadap berpihak kepada salah satu dari mereka. Syukurlah Pendeta Dadap tetap bertahan untuk bersikap netral. Ada jawaban yang satu yang selalu diungkapkan oleh Pendeta Dadap kalau mereka minta beliau ikut berperan aktif menyelesaikan masalah keluarga yang sudah berlarut-larut ini. Pendeta Dadap mengatakan, ”Saya tetap menganggap kalian semua anak-anak Tuhan Yesus. Jadi putuskan lebih dahulu mana yang mau diprioritas utamakan. Hubungan keluarga atau warisan harta benda (kai hwé). Jika yang dinomorsatukan persaudaraan dan kerukunan keluarga maka mari kita berkumpul, berdoa, membaca firman Tuhan lalu harta warisan kita bagi secara adil. Yang masih miskin mendapat lebih banyak dan 100
Kasih Pasti Berlaku Adil
yang sudah kaya mendapat bagian lebih sedikit (padahal tidak satu pun keluarga mereka yang miskin).” Seraya berseloroh Pak Dadap mengatakan kalau mereka sudah kaya semua bisa dihibahkan kepada gereja untuk kepentingan pelayanan (!). “Tetapi kalau bukan kesatuan dan kerukunan keluarga yang menjadi prioritas utama, dan terus saling menuntut di pengadilan maka pada waktunya akan ada vonis tetapi jumlah uang yang sudah dikeluarkan akan sama dengan nilai aset pada waktu dijual nanti!” kata Pak Dadap. Dan mereka tidak pernah kembali lagi, artinya bagi mereka bukan kerukunan dan kesatuan keluarga – seperti yang dikehendaki Tuhan – menjadi yang nomor satu melainkan harta benda. Tuhan pasti menangis. Sampai Pendeta Dadap pindah, masalah itu belum selesai. Paulus mengutip kidung ‘kasih’ dan memakainya untuk mengajar jemaat Korintus yang kaya raya untuk mengambil sikap iman yang benar dalam kehidupan berjemaat dengan segala kekayaannya itu. Kata kasih yang dipakai dalam kidung ‘kasih’ itu adalah agapè - kasih pada tataran dan kualitas yang paling tinggi. Tuhan Yesus – yang tidak pernah memberikan definisi untuk nilai-nilai yang Beliau ajarkan – memberikan semacam definisi untuk ‘agapè’: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada (kasih) seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh. 15:13) Bukan éros – kasih yang berdasarkan tampilan fisik (langsing, cantik), bukan storgé – kasih orangtua kepada anak-anak mereka dan bukan pula philia - kasih pertemanan yang bercirikan take and
101
Kasih Pasti Berlaku Adil
give (dan perhatikan ‘take’ yang di sebelah depan) yang pamrih. Dalam relasi keluarga ketiga jenis kasih ini: éros, storgé dan philia – ada tetapi dengan kesadaran bahwa sehebat apa pun ketiga jenis kasih ini, ia bisa berakhir. Penting dan harus ada tetapi tidak pernah boleh menjadi kata akhir karena ketika ketiganya hambar dan habis maka agapè-lah yang menggantikan dan menyempurnakannya. Kasih agapè inilah yang seharusnya menjiwai éros, storgé dan philia sehingga menjadi kasih yang sempurna. Dalam kasus keluarga Waru, storgé dan philia sudah habis dan mereka merasa sudah habis pulalah persaudaraan mereka, mestinya mereka sadar bahwa di atas storgé dan philia ada agapè. Dalam kasus keluarga Waru, Pendeta Dadap sudah menafsirkan dan menawarkan dengan tepat apa yang dinyatakan oleh Paulus dalam bagian kidung ‘kasih’ ini: Ia (agapè) tidak bersukacita karena ketidakadilan (adikia), tetapi bersukacita (karena) kebenaran (aletheia)!” (1 Korintus 13:6) Pengejawantahan dari agapè adalah berlaku adil (dikaiosunè) dan inilah ‘kebenaran’ dalam hidup beriman. Dalam kasus keluarga Pak Waru, keadilan sudah tidak lagi semua mendapat bagian yang sama besar, tetapi siapa masih miskin dan hidup dalam kekurangan akan mendapat lebih banyak dan yang sudah memiliki banyak akan menerima lebih sedikit. Ini sudah menjadi semacam implementasi etis dari ajaran Yesus. Kata ‘tidak bersukacita’ bermakna ‘tidak merasa nyaman’ atau ‘tidak happy’ atau, bolehkah kalau
102
Kasih Pasti Berlaku Adil
diterjemahkan dengan ‘merasa risi’ kalau terjadi ketidak adilan. Meskipun demikian ‘keadilan’ bukanlah ‘keadilan’ untuk dirinya sendiri karena ‘keadilan’ itu menjadi salah satu pengejawantahan secara etis agapè yang mengedepankan kesediaan berkorban bagi orang yang dikasihi. Keadilan yang adalah implementasi dari agapè juga tidak lepas dari pengejawantahan agapè yang lain yakni ‘persaudaraan’ atau ‘persekutuan’ (koinonia). Dalam upaya untuk mewujudnyatakannya dibutuhkan ‘kesabaran’ (makrothumia – sedia menderita sesaat lagi lamanya), ‘kemurahan hati’ (khrestotès) dan nilai-nilai lain yang dikutip Paulus dari kidung ‘kasih’ ini. Barangsiapa mengasihi dengan kasih agapè maka ia akan mewujudnyatakannya, salah satunya adalah dengan berlaku adil (dikaiosunè) dan inilah ‘kebenaran’ (aletheia). So let us do that!
103
104
Kasih Menutupi Segala Sesuatu (1 Korintus 13:4&7)
Pdt. Nurhayati Girsang ‘Menutupi segala sesuatu’ dalam bahasa Yunani disebut στέγε (dibaca: stegei) yang berasal dari kata dasar stegο (dibaca: stego) memperkuat kata “tegoσ” yang mengandung arti thatch or deck of building yang berarti atap atau penutup dari bangunan. Sementara stegei atau yang dalam bahasa Inggris adalah beareth all things, dapat berarti: 1. to roof over yang berarti memasang atap. Atap merupakan penutup sebuah bangunan. 2. to cover with silence yang berarti menutupi dengan tenang (diam-diam) atau endure patiently for bear, suffer yang berarti memikul/menahan atau menanggung dengan sabar terhadap penderitaan yang terus berlangsung atau bertahan lama. Arti kata di atas dapat disimpulkan bahwa ‘menutupi segala sesuatu’ adalah kemampuan menutupi dengan tenang yakni memikul/menahan atau menanggung dengan sabar akan
105
Kasih Menutupi Segala Sesuatu
penderitaan yang terus berlangsung atau bertahan lama. Sungguh, suatu sikap yang luar biasa. Mungkin itulah sebab kata stegei hanya satu kali ditemukan dalam Alkitab, karena kata stegei yang dikaitkan dengan kasih mengindikasikan sikap menutupi segala sesuatu yang begitu kuat di dalam memaknai kasih. Di dalam I Petrus 4:8 kata ‘menutupi’ ditemukan dalam kaitannya dengan banyak dosa dan sekali lagi dikaitkan dengan sikap mengasihi yang sungguh-sungguh menutupi banyak sekali dosa. Kata menutupi dalam I Petrus 4:8, dalam bahasa Inggris dipakai kata cover yang dalam bahasa Yunani adalah
kaluptο (dibaca: kaluptei) bukan stegei. Meskipun demikian kata ini sangat membantu kita untuk melihat nilai dari kata stegei yaitu kasih yang menutupi segala sesuatu. Tetapi sebelum begitu jauh kita membicarakan tentang kasih yang menutupi segala sesuatu dalam sebuah hidup pernikahan, ada baiknya kita menyadari bahwa ‘menutupi segala sesuatu’ tidak boleh dimaknai sebagai membiarkan secara mutlak berbagai tindak kejahatan seperti penyalahgunaan narkoba, korupsi, perbuatanperbuatan illegal atau tindakan jahat lainnya tanpa ada upaya untuk membongkar dan meniadakannya (membasminya). Tentu pembiaran semacam itu bukanlah pengertian yang sesungguhnya dari stegei, yakni kasih ‘yang menutupi segala sesuatu’. Kembali kita melanjutkan, yaitu kaitan kasih yang ‘menutupi segala sesuatu’ di dalam hubungan kehidupan pernikahan suamiistri. Salah satu perbuatan dosa yang paling menyakitkan dalam kehidupan suami-istri adalah pengkhianatan atau perselingkuhan. Dosa/kesalahan
perselingkuhan
atau
pengkhianatan
dalam
hubungan suami-istri begitu kuat memicu suami/istri mengambil keputusan untuk bercerai. Para pakar atau pemerhati keluarga 106
Kasih Menutupi Segala Sesuatu
berpendapat
bahwa
tingkat
penyebab
perceraian
akibat
perselingkuhan atau pengkhianatan lebih tinggi dibandingkan dengan penderitaan lain seperti sakit penyakit, komunikasi yang buntu, atau faktor ekonomi yang sulit. Meskipun hal-hal lainnya itu dapat pula memicu perceraian. Tetapi selama perselingkuhan atau pengkhianatan belum terjadi, umumnya pasangan suamiistri masih dapat bertahan untuk tidak bercerai meskipun mereka mengalami keadaan ekonomi yang sulit, komunikasi yang buntu, atau salah satu mereka mengidap penyakit yang sulit tersembuhkan. Sikap kasih yang menutupi segala sesuatu adalah sikap yang tidak mudah dilakukan, apalagi oleh seorang yang pernah disakiti khususnya oleh sebab pengkhianatan atau perselingkuhan. Tetapi justru sikap inilah yang dilakukan oleh Allah dalam Yesus Kristus ketika Ia mati di kayu salib untuk manusia yang menyakiti-Nya. Mungkin itulah sebabnya kata stegei atau beareth all things hanya ditemukan satu kali dalam Alkitab yakni di I Korintus 13:7, untuk membuktikan nilai kasih yang sebenarnya. Oleh karenanya tidak seorangpun dapat memiliki kasih yang menutupi segala sesuatu tersebut tanpa terlebih dulu Tuhan menganugerahkan kepadanya. Karena hanya Tuhan pemilik kasih yang sedemikian rupa. Kasih yang sedemikian juga akan dimiliki oleh orang yang bersedia menyambut kasih dari Tuhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa stegei atau bereath all things adalah kemampuan menutupi dengan tenang yakni memikul/ menahan atau menanggung dengan sabar penderitaan yang terus berlangsung atau bertahan lama. Kasih yang menutupi segala sesuatu akan sangat menolong bagi seseorang yang bersalah untuk bertobat. Kasih yang menutupi segala sesuatu membuat orang yang 107
Kasih Menutupi Segala Sesuatu
berdosa atau bersalah dapat tetap dihormati atau dihargai oleh keluarga (orangtua, mertua, saudara-saudara, dan anak-anaknya) ketika ia mengambil keputusan bertobat. Ada seorang istri yang pernah mengalami penderitaan luar biasa yang disebabkan perselingkuhan yang terjadi berulangkali dan berlangsung lama. Ibu tersebut sungguh dimampukan Tuhan melakukan tindakan kasih ‘yang menutupi segala sesuatu’ tanpa mencoba mengungkapkan pengkhianatan suaminya kepada orangtua, saudara-saudara, dan anak-anaknya. Sampai akhirnya suaminya bertobat dan istri tersebut menang oleh karena kasih yang menutupi segala sesuatu. Di kemudian hari tidak sedikit ibu-ibu muda yang mengalami penderitaan yang sama menanyakan rahasia kemenangan kepada ibu tersebut. Ibu tersebut memberi nasihat, “Layanilah suamimu seperti tidak pernah terjadi apa-apa dan tanpa bercerita kepada siapapun.” Sebagian ibu-ibu muda tersebut yang melakukannya dengan pertolongan Tuhan, mereka juga mengalami kemenangan. Tetapi tidak sedikit pula yang gagal karena mereka tidak bersedia melakukan kasih ‘yang menutupi segala sesuatu’ ketika terjadi perselingkuhan. Berbahagialah setiap suami-istri yang berpegang pada kasih yang stegei atau beareth all things, yakni kasih yang menutupi segala sesuatu.
108
Kasih Percaya Segala Sesuatu (1 Korintus 13:4&7)
Pdt. Nurhayati Girsang Kasih itu percaya segala sesuatu (I Kor. 13:7). Kata ‘percaya’ dalam ayat tersebut berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu
πιστεύω (pisteuoo). Dalam bahasa Inggris (KJV) diterjemahkan sebagai believeth. Believeth mengandung makna sebagai berikut: • to have faith in or upon yang berarti memiliki iman di dalam atau di atas • with respect to yang berarti menaruh rasa hormat • to entrust yang berarti mempercayakan • commit (to trust) yang berarti menjalankan atau melakukan kepercayaan • put in trust with yang berarti menaruh kepercayaan dengan Istilah pisteuoo atau ‘percaya’ di dalam kalimat ‘percaya segala sesuatu’ (I Kor. 13:7) adalah istilah yang biasa digunakan untuk menunjuk kepada ‘kepercayaan’ kepada Allah. Kepercayaan kepada Allah selalu disertai dengan anugerah keselamatan atau hidup kekal. Artinya anugerah keselamatan atau hidup kekal akan diberikan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Istilah pisteuoo atau 109
Kasih Percaya Segala Sesuatu
‘percaya’ semacam itu banyak kali digunakan pada bagian Alkitab lainnya, yang semua maknanya menunjuk kepada kepercayaan kepada Yesus Kristus yang memberi hidup kekal, mis Mark. 16:16; Yoh. 5:24; Yoh. 6:40; 47; Kis. 10:43; Rom. 1:16; 4:5; 10:10-11; dan I Pet. 2:6. Pisteuoo atau ‘percaya’ kepada Allah selain memberi dampak anugerah keselamatan, juga
nilai-nilai kehidupan bagi setiap
pemercaya-Nya atau orang yang percaya (Yoh. 6:35, 7:38; 12:44-46; 14:12 ; Roma 9:33; Roma 10:4; 14:2). Contoh lainnya ada dalam Mark. 9:22-23, ketika seorang bapak yang membawa anaknya yang kerasukan roh sejak masa kecilnya untuk disembuhkan oleh Yesus, Bapak itu memohon kepada Yesus, “… jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami.” Yesus menegur keraguan dari bapak yang anaknya kerasukan roh itu dan mengatakan (bahwa), ”Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya!” Setelah bapak itu menggantungkan seluruh ‘percaya’-nya kepada Yesus, akhirnya bapak itu mendapatkan bahwa roh jahat itu keluar dari tubuh anaknya. Dalam I Korintus 13:4 kata kasih yang digunakan dalam bahasa Yunani “agapε” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menggunakan kata “charity” yang berarti “kemurahan hati”. Kasih ini merupakan bentuk kasih Allah kepada manusia berdosa sedangkan dalam ayat 7 disebutkan bahwa kasih yang murah hati itu adalah kasih yang percaya segala sesuatu yang dalam bahasa Yunani disebut “pisteuο” atau bahasa Inggris disebut “believeth”. Kasih ini adalah kepercayaan yang dimiliki oleh orang percaya kepada Allah 110
Kasih Percaya Segala Sesuatu
sehingga berani mempercayakan kehidupannya kepada Allah yang patut dipercayai. Permasalahan kerap kali timbul ketika ‘kasih yang percaya segala sesuatu’ hendak diwujudkan dalam relasi dengan sesama manusia. Pertama, mungkin tidak terlalu sulit ketika kita ‘percaya’, pisteuoo kepada Allah di dalam segala sesuatu karena kita memang yakin bahwa Allah memang patut dipercaya. Namun tidaklah demikian ketika kita berhadapan dengan orang yang pada dirinya memang tidak dapat dipercayai. Kedua, mengingat kasih adalah kemurahan hati atau charity, tetapi pada kenyataannya tidaklah mudah mewujudkannya dalam hubungan kita dengan seseorang yang telah berulang kali mengkhianati dan membuat kita kecewa. Dengan demikian kasih yang percaya segala sesuatu hanya dapat diwujudkan jika mereka sudah memiliki kasih agape, yaitu kasih kemurahan hati tersebut. Sikap kasih yang ‘percaya segala sesuatu’ adalah sikap yang sangat diperlukan di dalam relasi suami-istri, karena sikap tersebut mampu memberi kekuatan bagi pasangan suami-istri untuk tetap kuat menghadapi berbagai tantangan kehidupan, termasuk yang terberat sekalipun, yakni pengkhianatan atau perselingkuhan, seperti pada kedua contoh berikut ini: 1. Karena kasih ‘yang percaya segala sesuatu’ seorang ibu mampu bertahan dalam penderitaan akibat pengkhianatan suaminya. Sebanyak tiga kali, ibu tersebut dikhianati oleh suaminya. Bahkan dalam pengkhianatan yang terakhir itu telah menghasilkan jabang bayi. Tetapi ibu tersebut tetap 111
Kasih Percaya Segala Sesuatu
bermurah hati terhadap suaminya dengan bersikap seperti biasa seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang begitu menyakitkan. Ia tetap melayaninya dengan setia dan penuh kasih. Dari sikapnya yang ‘mengasihi’ dan tetap ‘percaya’ akhirnya menghasilkan buah yang baik yakni pertobatan suaminya dari perilaku yang menyimpang. Kemudian suaminya mempercayakan hidupnya kepada Tuhan bahkan mereka sempat merayakan ulang tahun pernikahan yang ke50 tahun. Ibu tersebut meninggal di usia pernikahan yang ke56 tahun. Sebelumnya ia amat berbahagia dan meninggalkan suami bersama anak, cucu, dan buyut. 2. Demikian juga seorang ibu lainnya, ketika ia dan suaminya sudah memiliki tiga orang anak, bahkan dua di antaranya sudah beranjak dewasa, ia mendapatkan ternyata suaminya berkhianat kepadanya. Suaminya berselingkuh dengan seorang perempuan yang usianya masih remaja. Ibu tersebut baru menjadi seorang Kristen tetapi kasih ‘kasih’ atau kemurahan hati’ begitu memenuhi hatinya. Sehingga, meskipun begitu begitu pahit dan getir apa yang dialaminya ibu tersebut tetap bersedia mengampuni suaminya. Bahkan ia bersedia mengambil dan membesarkan anak hasil perselingkuhan suaminya. Sebagaimana ia sekarang telah mempercayai Tuhan dengan segenap hatinya sehingga rumah tangga mereka tetap utuh dan berbahagia dan kemudian secara bertahap menghantar dua anak mereka memasuki hidup pernikahan. 112
Elpizo Kasih itu.... mengharapkan segala sesuatu (1 Korintus 13:7) Pdt. David Sudarto
Frasa ‘mengharapkan segala sesuatu’ dalam 1 Korintus 13:7 oleh Alkitab Terjemahan Bebas LAI, diterjemahkan dari frasa kata dalam teks bahasa Yunani panta elpizei (panta: segala sesuatu; elpizei dari kata kerja elpizo: berharap atau mengharapkan). Kata elpizo, di dalam Perjanjian Baru muncul sebanyak 30 kali (http:// www.biblestudytools.com). Alkitab versi New International Version (NIV) menerjemahkan kata elpizo dalam arti always hopes (selalu berharap); sementara New King James Version dan American Standard Version, menerjemahkan: hopes all things (mengharapkan segala sesuatu). Terjemahan LAI versi Bahasa Indonesia Seharihari (BIS) agak sedikit berbeda, yaitu: dalam keadaan yang bagaimanapun juga orang yang mengasihi itu tidak pernah hilang harapannya. Terjemahan LAI dalam versi BIS memang berbeda namun sebenarnya hanya secara teknis dan tidak dalam esensinya. Inti dari elpizo memang selalu berharap atau berpengharapan.
113
Elpizo
Pengharapan ini adalah bukan hanya angan-angan kosong, namun sebuah keinginan atau harapan yang didasarkan pada keyakinankeyakinan iman. Kata Elpizo ini misalnya digunakan digunakan dalam Ibrani 11:1, sebuah rumusan iman yang amat mengesankan. Jadi, elpizo sebagai salah satu aspek positif dari kasih adalah selalu mengharapkan segala sesuatu yang berarti kebaikan dalam situasi apapun. Elpizo merupakan kasih dalam wajah optimistik dan positif. Optimis bahwa esok akan lebih baik dan selalu mengharapkan orang lain mengalami kebaikan. Dengan wajah yang optimis dan positif ini, maka kasih menjadi kekuatan yang mendorong seseorang untuk selalu bersemangat, tidak berputus asa dan berkobar-kobar mengerjakan hal-hal yang baik untuk mendatangkan kebaikan bagi orang yang dikasihinya. Kasih dalam wajah elpizo ini, menjadikan hati seseorang tenang sekaligus bernyala-nyala penuh gairah dalam menghadapi segala situasi di masa kini dan di masa depan. Harapan adalah energi yang membuat seseorang memiliki keberanian, keteguhan dan semangat dalam menghadapi berbagai situasi, baik atau buruk. Dalam konteks kehidupan keluarga atau lebih khusus konteks sebagai pasangan suami istri, kasih dalam wajah elpizo ini berarti kasih yang dipraktikkan seseorang yang selalu mengharapkan kebaikan bagi orang yang dikasihinya. Seorang suami akan selalu mengharapkan segala kebaikan bagi istrinya, pun demikian sebaliknya.
Harapan, bukan hanya doa, namun juga adalah
keinginan atau kehendak yang dinyatakan dalam berbagai tindakan, 114
Elpizo
oleh karena itu, kasih dalam bentuk elpizo ini juga berupa upayaupaya atau tindakan-tindakan nyata berupa kebaikan-kebaikan yang diberikan. Tindakan baik ini dilakukan bukan untuk mendapat imbalan bagi dirinya, namun supaya orang yang dikasihi merasakan dan mengalami kebaikan. Kasih dalam wujud elpizo, adalah kasih yang tekun mendoakan dan tanpa henti melakukan segala yang baik bagi orang yang dikasihinya sampai mati. Kasih dalam wajah elpizo, adalah kunci yang membuat pasangan kita benar-benar merasa dikasihi. Kehidupan di bumi selalu berisi berbagai peristiwa dan situasi yang tidak pernah tetap, selalu berubah. Pengkhotbah mengatakan, “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1). Suka-duka, manis-pahit atau untung-rugi, selalu adil dapat menimpa siapa saja. Dalam menghadapi berbagai peristiwa, elpizo selalu menjadi kekuatan dan menjadikan seseorang optimis dan stabil kasihnya. Tatkala orang yang dikasihinya sedang berada dalam situasi terpuruk atau jatuh dalam jurang kelam, maka kasih dalam wujud elpizo ini merupakan energi untuk tetap berpengharapan bahwa sesuatu yang baik akan datang. Habis hujan akan tampak pelangi, demikianlah sebuah keyakinan yang terpelihara untuk terus berpengharapan. Elpizo adalah kasih di mana seseorang sambil mendoakan, ia juga memberi dukungan dan melakukan segala upaya agar keterpurukkan atau kekelaman terlewati, karena Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Kasih itu mengharapkan segala sesuatu, karena itu tatkala sesuatu yang sulit terjadi pada 115
Elpizo
pasangannya, seseorang akan selalu menjadi bahu yang menopang dan lengan yang merangkul. Elpizo adalah kasih dalam wajah yang ramah tamah di dalam situasi yang tidak ramah.
116
Hupomone Kasih itu.... sabar menanggung segala sesuatu... (1 Korintus 13:7) Pdt. David Sudarto
Sabar menanggung segala sesuatu adalah bagian dari artikulasi atau perwujudnyataan kasih menurut penulis Surat 1 Korintus. Kasih itu sabar menanggung segala sesuatu,… (1 Korintus 13:7). Frasa sabar menanggung segala sesuatu dalam Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diterjemahkan dari frasa kata dalam teks Alkitab bahasa Yunani yaitu panta hupomenei (πάντα ὑπομένει). Secara hurufiah, kata hupomone (berasal dari kata hupo yang berarti di bawah dan meno yang berarti tetap mematuhi, tetap
tinggal, tegak berdiri atau menunggu). Jadi, hupomone
sesungguhnya menunjuk segala sesuatu yang diperlukan untuk tetap patuh, berdiri teguh, tinggal atau menunggu (HELPS Wordstudies, Thayer’s Greek Lexicon, http://biblehub.com). Apa yang diperlukan agar dapat bertahan, tegak berdiri, tetap patuh atau tetap menunggu? Segala sesuatu itu bisa berarti steadfastness (kesabaran, ketabahan), constancy (keteguhan atau kegigihan), endurance (daya tahan atau stamina dalam waktu yang lama). Hupomone sering 117
Hupomone
disebut “bertahan untuk bertahan” (to keep on keeping on). Alkitab versi New American Standard Bible dan New King James Version, menerjemahkan kata hupomone sebagai endures. Sementara The New International Version (NIV), menerjemahkan perseveres (bertekun, gigih). Kata hupomone menggambarkan kekuatan dan daya juang seperti pada seorang pelari marathon. Ide dasar kata hupomone adalah kegigihan, daya tahan, ketabahan menanggung dan menghadapi segala sesuatu sampai akhir. Hupomone bukan sekedar sabar dalam pengertian ketabahan pasif namun di dalamnya mengandung unsur ketabahan yang aktif seperti gigih dan bertekun sampai akhir. Dengan amat tajam Joas Adiprasetya, mengatakan bahwa hupomone bukanlah sekadar sebuah kesabaran yang pasif sembari menanti persoalan akan usai dengan sendirinya, seiring dengan berjalannya waktu. Ketabahan adalah sebuah sikap aktif yang bersedia berjalan maju dan memperjuangkan apa yang kita yakini sebagai kebenaran. Hupomone atau ketabahan bukanlah keputusan untuk membelakangi badai dan berlindung dibalik punggung orang lain, namun keputusan untuk berjalan di dalam dan melawan badai. Ia adalah iman pelari marathon, yang mungkin tak cepat lajunya namun konstan, lama, dan tak sudi berhenti jika belum sampai pada tujuan (www. gkipi.org). Apa makna penting hupomone dalam kaitan hubungan suami istri? Suami istri adalah sebuah hubungan antar manusia yang paling intim dan kudus dari dua individu yang berbeda dan sekaligus memiliki kesamaan. Dua individu, suami istri, berbeda dalam banyak hal seperti jenis kelamin, karakter, hobi, talenta, tipe 118
Hupomone
spiritual dan hal-hal lainnya. Namun keduanya memiliki kesamaan tak terbantahkan, yaitu bahwa keduanya sama-sama manusia yang tidak sempurna. Sebagai manusia yang tidak sempurna, masingmasing memiliki kelebihan sekaligus kekurangannya sendiri. Dalam ketidaksempurnaan itulah, setiap hubungan, termasuk hubungan suami istri dapat saja terganggu, retak atau terancam rusak. Salah satu dari keduanya, bisa saja menjadi aktor yang memulai atau melakukan sesuatu yang mengancam keutuhan hubungan dan menghadirkan situasi sulit. Untuk mempertahankan, memelihara serta meningkatkan kualitas hubungan sampai akhir maka hanya kasihlah yang mampu menjadi pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan (Kolose 3:14). Dan salah satu bentuk paling nyata dari kasih adalah ketabahan atau sabar menanggung segala sesuatu khususnya tatkala situasi sulit terjadi. Tatkala keutuhan keluarga sedang dalam situasi diterpa badai, maka praktik cinta kasih dalam bentuk hupomone inilah yang akan menjadi harapan untuk menyelamatkan. Praktik kasih dalam bentuk hupomone itu bukan hanya bersabar dan menahan diri dengan tabah, namun melakukan berbagai upaya dengan gigih untuk menyelamatkan keutuhan. Contoh praktik kasih dalam bentuk hupomone, misalnya kita lihat pada diri Allah di dalam Tuhan Yesus. Melihat situasi relasi antara Allah dan manusia yang rusak, Ia bukan saja menahan diri dengan sabar serta mengampuni. Namun, Ia turun ke bumi, mencari dengan gigih membimbing dengan tekun, berjuang memberi teladan ketaatan sampai akhir, sampai surga dan bumi kembali berdamai. Dalam memperjuangkan pemulihan relasi itu, 119
Hupomone
Tuhan Yesus rela dengan sabar menanggung segala sesuatu sampai tugas dari Allah tuntas dikerjakan. Situasi yang dihadapi Tuhan Yesus amat tidak mudah, namun dalam menghadapi situasi sulit itu, Ia bertekun, gigih, tabah, sabar menanggung segala sesuatu sampai akhir. Dalam kehidupan sebagai pasangan suami istri, situasi sulit atau krisis juga dihadapi tatkala pasangan sedang mengalami kelemahan tubuh, usaha yang sedang jatuh, kehilangan pekerjaan atau musibah yang tak diinginkan terjadi. Dalam saat-saat sulit ini, ketabahan, kesabaran dan kegigihan adalah praktik cinta kasih yang amat diperlukan agar mampu bertahan bahkan memenangkan pertarungan. Pada saat-saat badai atau situasi sulit sedang menerpa, acapkali muncul keinginan atau godaan-godaan untuk lari atau segera mengakhiri kesulitan dan menyerah. Lari atau menyerah, bentuknya secara teknis wujudnya bermacam-macam. Lari dan menyerah, bisa berarti memilih untuk pergi meninggalkan pasangan, mengakhiri hubungan atau melakukan sesuatu yang membuat pasangannya semakin berputus asa. Namun, kasih dalam bentuk hupomone itu berarti kasih dimana seseorang hadir dengan sabar tanpa menjadi lemah di tengah kesulitan, sehingga pasangan mendapatkan suntikan stamina. Bagi pasangan suami istri, kasih dalam wujud hupomone, merupakan sumber ketahanan, sebab setiap peristiwa tidak menjadi peristiwa pribadi namun peristiwa bersama yang harus ditanggung bersama dengan sabar. Hupomone, adalah wujud kasih yang paling diharapkan tatkala sesuatu yang paling tidak diharapkan sedang terjadi. 120
Hupotasso “Hai istri, TUNDUK-lah kepada suami-mu” (Efesus 5:22)
Pdt. Em. Flora Dharmawan
Kata TUNDUK dalam Efesus 5:22 merupakan kata yang dipakai untuk menerjemahkan bentuk kata kerja dari HUPOTASSO (bahasa Yunani = bahasa asli Alkitab Perjanjian Baru). Terjemahan Alkitab – baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris – mengalami kesulitan untuk mencari istilah yang tepat, sesuai dengan yang dimaksud. Hal ini disebabkan bentuk kata kerja dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris hanya mengenal bentuk kata kerja aktif dan bentuk kata kerja pasif (“active voice” dan ‘’passive voice’). Sedangkan bentuk kata kerja dalam bahasa Yunani – selain bentuk kata kerja aktif dan kata kerja pasif, ia juga mempunyai bentuk kata kerja yang disebut sebagai “middle voice” – di mana ‘sang subyek memberlakukan kata kerja pada diri-nya sendiri’. Kata TUNDUK secara umum dimengerti sebagai takluk dan patuh. Takluk bagaikan sikap hamba terhadap tuannya; patuh bagaikan sikap anak terhadap orangtuanya. Paulus tidak bermaksud agar istri bersikap seperti hamba atau seperti anak
121
Hupotasso
terhadap suaminya. Paulus tidak menggunakan bentuk kata kerja aktif dari HUPOTASSO, yang mempunyai arti “menempatkan lebih rendah”. Efesus 5:22 memakai kalimat imperatif dengan bentuk kata kerja “middle voice”. Kalimat imperatif merupakan sebuah perintah, instruksi, ajakan. Bentuk “middle voice” dari kata kerja HUPOTASSO ialah HUPOTASSOMAI. Kata ini menekankan sikap suka rela istri untuk memberi tempat utama kepada suami. Kata HUPOTASSOMAI di dalam New International Version (NIV tahun 2007) diterjemahkan ke dalam kalimat, “Wives, submit to (= tunduk pada) your husbands”. Contemporary English Version (CEV tahun 2009) memakai kalimat, “A wife should put her husband first” – terjemahan ini sudah lebih mendekati apa yang dimaksud dengan kata HUPOTASSOMAI. Kata ini juga mengandung pengertian: dengan tulus ikhlas memberikan kesetiaan dan dukungan. Pada awal penciptaan, manusia laki-laki dan manusia perempuan dijadikan untuk berada dalam persekutuan dengan sesama manusia dan dengan Allah. Dalam kitab Kejadian pasal dua, Allah berfirman, “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” (“I will make him a helper as his partner.”). Partner = EZER (bahasa Ibrani = bahasa asli Alkitab Perjanjian Lama). EZER berarti seseorang yang cocok dengan dia (“One who does match with him.”). Dalam ikatan pernikahan, suami istri dapat mengalami kesatuan (‘partnership’) dengan lebih lengkap dan utuh. Kisah kejatuhan manusia dalam kitab Kejadian pasal tiga, menggambarkan bagaimana manusia laki-laki dan manusia perempuan diperlakukan sama dalam hal tanggung jawab dan dalam hal hukuman. Perhatikan laporan kitab Kejadian 3:16,17
122
Hupotasso
– kepada Hawa: ‘suamimu akan berkuasa atasmu’ dan kepada Adam: ‘dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu’. Pernyataan ini bukanlah suatu ketetapan (prescription) yang Tuhan tentukan. Pernyataan tersebut merupakan gambaran (description) dari kualitas hidup manusia yang jatuh dalam dosa. Bagaimana pun juga, hal itu menunjukkan bahwa manusia laki-laki dan manusia perempuan mempunyai kedudukan dan tanggung jawab yang sama. Pada zaman Yesus hidup di dunia, status perempuan di manamana sangat rendah. Yesus berupaya menempatkan perempuan sebagai manusia penuh, yang sama-sama dihargai, sebagaimana halnya laki-laki. Ini berarti suami dan istri juga mempunyai kedudukan yang sama. Pada zaman Paulus, masyarakat Yunani kuno sangat patriarkat. Laki-laki mempunyai otoritas atas istri dan anak-anak. Di dalam penginjilannya, Paulus mengadakan pendekatan yang tidak secara frontal bertentangan dengan sistim sosial yang berlaku pada waktu itu. Ia mengajak para istri untuk dengan suka rela memberi tempat yang utama kepada suami. Dan para suami agar mengasihi istri. Relasi suami istri ditempatkan dalam konteks pola hidup umat Allah, yaitu: saling menghormati, saling mengasihi dan saling melayani. Zaman kita kini sudah berubah wajah. Perempuan sudah lebih maju dalam banyak hal dan kedudukan mereka sudah lebih baik. Perempuan berkesempatan mengikuti jenjang pendidikan sebagaimana laki-laki. Perempuan juga berpeluang untuk bekerja di hampir setiap sektor usaha dan kerja. Ketika istri menempuh jenjang pendidikan dan mempunyai jabatan yang lebih tinggi dari pada suami, pemahaman yang tepat terkait kedudukan setara suami istri – menolong suami untuk tidak merasa minder dan tertekan; 123
Hupotasso
juga menolong istri untuk tidak merasa superior dan meremehkan suami. Ketika istri mencapai kesuksesan yang disertai penghasilan yang lebih besar daripada suami, pasangan suami istri pun menerimanya sebagai berkat Tuhan bagi mereka bersama. Telaah kata HUPOTASSO sungguh diperlukan, ketika Efesus 5:22 sering salah diartikan dan salah digunakan. Tidak jarang nas ini dipakai untuk menyelesaikan konflik suami istri. Ketika tidak diperoleh titik temu, jalan pintas pun digunakan. Sang suami mengambil Alkitab dan berkata, “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.” Sang istri terpaksa takluk dan patuh pada apa maunya suami – walau sebenarnya sang istri punya pemikiran yang baik dan bijak. Efesus 5:22 telah salah dimengerti. Proses ‘telaah kata’ ini kiranya dapat menolong, agar suami istri terhindar dari kesalahpahaman yang bisa terjadi. Penafsiran yang salah bisa berdampak merugikan hubungan harmonis suami istri. Istri bukanlah bawahan suami; istri tidak lebih rendah dari pada suami. Suami istri merupakan partner (mitra, pasangan) dalam pernikahan. Suami istri mempunyai kedudukan yang sama – dalam urutan yang berbeda. Istri dengan suka rela memberi tempat yang utama kepada suami. Dan suami mengasihi istri, sebagaimana Kristus mengasihi jemaat-Nya. Suami istri mempunyai kualitas dan kedudukan yang sama karena laki-laki dan perempuan diciptakan menurut gambar Allah (cf. Kejadian 1:27). Di dalam menjalani kehidupan bersama, suami istri mempunyai hubungan yang inter-dependen. Ketergantungan satu sama lain 124
Hupotasso
ini menempatkan suami istri dalam relasi yang setara. Ikatan batin semakin erat dirasakan ketika suami istri mempraktekkan kesaling-an dalam keseharian hidup bersama: saling mengasihi dan saling menghormati, saling memberi dan saling menerima, saling menolong dan saling membangun, saling menunjang dan saling menopang, saling mengisi dan saling melengkapi.
Marriage is not what you know, but what you are and what you do.
125
126
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati (I Petrus 3:8)
Ayunistya Dwita Prawira*
Berada di bawah tekanan merupakan situasi yang rentan. Ketika seseorang tidak memiliki nilai-nilai yang kuat dalam dirinya, tekanan dari luar bisa saja membuatnya tidak bisa mengontrol diri serta tidak bisa menyikapi situasi dengan tepat. Situasi yang menekan membuat orang merasa egonya sebagai prioritas utama yang harus dipentingkan, sehingga bisa saja dalam situasi tersebut ia memilih tindakan-tindakan yang merugikan orang lain, atau keluar dari batas-batas moral tertentu. Berada di bawah tekanan yang berat membawa seseorang kepada posisi yang rentan untuk terjatuh, dan mulai tidak lagi memikirkan kepentingan orang-orang di sekitarnya juga kehendak Tuhan dalam hidupnya. Situasi ditekan bahkan ditindas juga dialami oleh jemaat di Asia kecil, yang menjadi tujuan dari Surat 1 Petrus. Penindasan yang 127
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan
dialami komunitas Kristen oleh pemerintahan Romawi saat itu cukup memprihatinkan. Sejak zaman pemerintahan kaisar Nero, orang-orang Kristen menjadi ‘kambing hitam’ di dalam kehidupan sosial-politik. Hal tersebut menyebabkan orang-orang Kristen selalu menjadi pihak yang dipersalahkan jika terjadi hal-hal yang buruk di wilayah mereka, dan hal ini pun terus berlanjut pada pemerintahan-pemerintahan selanjutnya. Hal ini mungkin mirip dengan situasi kolonial Belanda hingga Orde Baru dimana orangorang Tiong Hoa mengalami diskriminasi, baik yang dialami secara kehidupan sosial, dimana mereka menjadi “tipikal kambing hitam” dalam situasi-situasi ketidakpuasan sosial ataupun kerusuhan, bahkan juga diskriminasi yang disistemisasi dalam perundangundangan negara.i Kira-kira demikian pula penderitaan yang dialami oleh komunitas Kristen di Asia kecil. Bahkan, dikatakan juga bahwa orang-orang Kristen yang menjadi budak di rumah-rumah bisa memiliki kehidupan yang jauh lebih baik daripada orang yang bebas, yang sering tidur di jalan-jalan kota atau tinggal dalam ruang-ruang yang sangat murah. Orang-orang Kristen yang menjadi budak mendapatkan tempat tinggal yang layak, makanan dan minuman yang cukup yang diberikan oleh tuannya.ii Dapat dibayangkan penderitaan yang dialami oleh komunitas Kristen pada saat itu. Budak yang biasanya merupakan tanda keterkungkungan seseorang bisa hidup lebih baik daripada orang merdeka. Mereka seakan-akan seperti sekumpulan orang-orang yang tak memiliki nilai di mata masyarakat. Surat 1 Petrus hadir untuk menyemangati orang-orang Kristen 128
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan
menghadapi masalah yang real dan krisis yang menyerang hidup mereka sehari-hari.iii Bagian 1 Petrus 3:8-12 merupakan salah satu bagian yang menunjukkan bahwa mereka diberikan pengharapan serta nasihat. Pertama pengharapan, agar dengan menjalani kehidupannya mereka memiliki harapan bahwa di akhir nanti ada hari-hari baik, dimana Tuhan mendengar permohonan minta tolong mereka di tengah penderitaan. “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu. Ia harus menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik, ia harus mencari perdamaian dan berusaha mendapatkannya. Sebab mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong, tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat.” (1 Petrus 3:10-12)
Kedua nasihat, agar mereka menyadari dan menghayati bahwa apa yang mereka alami juga merupakan bagian dari teladan Kristus, dimana Ia pun telah mati bagi orang-orang yang tidak benar meskipun Ia benar. Mereka tetap diajak untuk berada dalam kebenaran meski menghadapi siksaan, seperti apa yang dialami juga oleh Yesus. Jasmaninya disiksa, tetapi Rohnya hidup (1 Petrus 3:18). Nasihat dalam 1 Petrus 3:8-9 berfokus pada bagaimana mereka 129
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan
hidup dengan sesama mereka, bagaimana mereka memiliki keterikatan antara satu sama lain, agar kesatuan mereka dapat tetap terjaga. Seluruh Perjanjian Baru diwarnai oleh ajakan demi kesatuan umat Kristen di dalam Kristus. Lebih dari itu, kesatuan ini juga bermakna bahwa tidak seorangpun dapat menjalani kehidupan Kristiani dengan maksimal kecuali dalam hubungan pribadinya ia dapat bersatu dengan sesamanya.iv Pergumulan jemaat yang dialami oleh jemaat Kristen awal seringkali berbicara soal penindasan, perselisihan, penganiayaan, ajaran sesat, dan lain sebagainya. Hal tersebut menyebabkan bahwa kesatuan jemaat Kristiani menjadi salah satu nilai utama yang amat perlu dijaga. Terutama dalam jemaat tersebut dimana ada Kristen Yahudi dan juga Kristen non-Yahudi, yang sering kali berselisih paham mengenai tradisi keagamaan. Kesatuan dalam Kristus ini juga yang hendak dipertahankan melalui nasihat 1 Petrus 3:8-12, baik kepada Kristen Yahudi ataupun Kristen non-Yahudi. Seia-sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang, dan rendah hati menjadi nilai-nilai yang merefleksikan kemuliaan dari sebuah persekutuan, yaitu ketika mereka hidup dalam keharmonisan.v Dalam ayat 8, sikap rendah hati, ταπεινόφρονες (tapeinofrones) dalam bahasa Yunani, adalah salah satu cara untuk menjaga keterikatan, kesatuan, serta keharmonisan di dalam satu tubuh Kristus ini. Kerendahan hati merupakan nilai yang Yesus ajarkan ketika Ia membasuh kaki para muridnya dalam Yohanes 13:4-17. Yesus memberi teladan dengan melayani semua muridnya.vi Petrus mengulang peringatan akan teladan Yesus ini kepada jemaat, selain 130
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan
dari 1 Petrus 3:8, juga terutama dalam 1 Petrus 5:5, πάντες δὲ ἀλλήλοις τὴν ταπεινοφροσύνην ἐγκομβώσασθε (pantes de allelois ten tapeinofrosunen egkomboosaste). And all of you must clothe yourselves in humility in dealings with one another – NRS, dan kamu semua, rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain – TB-LAI. Kerendahan hati (1 Petrus 3:8) atau merendahkan diri (1 Petrus 5:5) yang hendak disampaikan adalah keinginan untuk menempati tempat yang lebih rendah, untuk melayani tanpa harus mendapat pujian, dan untuk menaruh kepentingan yang lain terlebih dahulu di depan kepentingan diri sendiri. Prinsip tidak mementingkan kepentingan sendiri sebetulnya sangat dekat dengan kehidupan mereka yang berada dalam dunia perhambaan (mereka menjadi budak dalam rumah-rumah, ataupun menjadi budak sosial yang tinggal di jalan-jalan), dimana seorang hamba secara otomatis harus menempatkan dirinya lebih rendah daripada tuannya. Tantangannya adalah kerendahan hati seorang hamba ini kemudian dinasihatkan agar tidak hanya dilakukan dalam keterpaksaan (posisi seorang budak adalah posisi dimana seseorang terpaksa untuk menempatkan diri lebih rendah daripada tuannya), tetapi terlebih lagi kerendahan hati seorang hamba itu juga muncul dalam relasinya dengan sesamanya (baik Kristen Yahudi ataupun nonYahudi), yang sama sekali bukan tuan atau majikannya. Perilaku ini menjadi penting bagi jemaat agar bisa seia-sekata (have unity in spirit – NRS) meski dalam dua latar belakang yang berbeda (Yahudi dan non-Yahudi), sebagaimana menjadi dasar dari sebuah kesatuan di dalam Kristus.vii Ada dua hal yang diharapkan 131
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan
dengan sikap tersebut. Yang pertama adalah kerendahan hati sebagai pemberian nilai atau penghargaan bagi sesamanya yang sehari-hari tidak memiliki harga di mata masyarakat. Yang kedua, kerendahan hati dapat menjembatani perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi di dalam sebuah komunitas. Hal ini menunjukkan bahwa sikap kerendahan hati menjadi pilar utama dalam kehidupan berelasi. Terkhusus bagi jemaat tersebut, dimana situasi kondisi mereka yang sedang berada di bawah penindasan Romawi, juga perbedaan di dalam komunitas mereka (Kristen Yahudi dan Kristen non-Yahudi) bisa saja membuat mereka meninggalkan iman mereka dan memisah-misahkan diri dari komunitas kekristenan. Maka, sedapat mungkin jemaat Kristen tetap menjaga persekutuan dalam kesatuan komunitas mereka seperti yang dituliskan dalam 1 Petrus 3:8, yaitu seia sekata, seperasaan, mengasihi, dan juga rendah hati. Kerendahan
hati
didasari
oleh
prinsip
mendahulukan
kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri. Prinsip dasar tersebut kemudian memiliki dampak yang luas dalam berbagai aspek berelasi. Menempatkan kepentingan diri lebih rendah dari yang lain bisa menjadi dasar penting dalam berkomunikasi. Kerendahan hati menjadi salah satu unsur penting agar komunikasi dapat tersampaikan dengan baik. Ketika seseorang merendahkan hati dalam bercakap-cakap, ia akan lebih sering mendengar daripada menuntut. Dengan kerendahan hati kita dapat menangkap perhatian dan respon yang positif dari lawan bicara. Sikap ini merupakan unsur yang dapat membuat orang lain merasa lebih dihargai. 132
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan
Pada intinya, kerendahan hati diimplementasikan dengan sikap yang penuh melayani, sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut, dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar.viii Kerendahan hati ini juga tercakup di dalamnya kemampuan untuk mendengar dan mengerti orang lain, sehingga memunculkan rasa saling percaya dan keterbukaan.ix Mementingkan kepentingan orang lain mendahului kepentingan diri menjadi inti dari kerendahan hati yang juga ditekankan dalam bagian teks tersebut, sebab dengan begitu setiap umat merasa dirinya dihargai dan semakin terikat bersama dengan sesamanya. Bagian teks ini tidak secara langsung berbicara soal bagaimana relasi antara suami dengan istri dalam sebuah keluarga. Bagian ini menunjukkan sebuah kerendahan hati secara umum sebagai pilar penting dalam menjaga kesatuan komunitas. Akan tetapi, bukankah keluarga, lebih spesifik lagi hubungan antara suami dengan istri, adalah unit kesatuan terkecil dalam hidup? Dalam relasi suami dengan istri, kerendahan hati menjadi penting, salah satunya dalam hal komunikasi. Untuk saling mengungkapkan perasaan, mendiskusikan berbagai rencana, hingga untuk menyelesaikan berbagai konflik yang muncul. Kerendahan hati yang nyata dalam setiap diskusi dan komunikasi akan menjadi jembatan yang baik 133
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan
bagi dua pendapat yang berbeda, dua hati dan dua pikiran yang berbeda, serta dua latar belakang yang berbeda, seperti bagaimana jemaat Kristen Yahudi dan non-Yahudi juga diajak untuk dapat mencapai unity in spirit dengan merendahkan hati di tengah-tengah perbedaan tradisi yang mereka miliki. Melalui uraian di atas, kita juga melihat bahwa kerendahan hati bukanlah sebuah sikap yang muncul karena situasi keterpaksaan semata, tetapi sikap yang muncul dari kesadaran untuk meneladani Yesus, serta kesadaran untuk bersatu dalam tubuh Kristus. Sikap tersebut bukan sikap yang muncul karena adanya situasi inferioritas semata (seperti tuan dengan budak), tetapi sikap tersebut muncul dari kesadaran untuk mau saling mendengarkan, untuk saling menghargai, dan memiliki tujuan untuk saling memahami yang lain. Suami dan istri merupakan relasi yang dekat. Saking dekatnya, kadang muncul pemikiran bahwa pasangannya harus paling mengerti dirinya dan otomatis paling berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Ketika tuntutan tersebut tidak terpenuhi, maka konflik dan bentrokan terjadi. Masing-masing merasa bahwa dirinya belum terlayani dengan baik, kebutuhannya masih belum terpenuhi. Ego memuncak dan setiap pihak menuntut haknya. Apalagi ketika sedang sama-sama mengalami masalah di dunia pekerjaan masing-masing, semua mulai fokus dengan egonya sendiri, tidak mau mendengarkan, dan merasa dirinya paling benar. Kerendahan hati menjadi hal yang kompromistis, dan mulai dilupakan. Padahal, melalui 1 Petrus 3:8 kita senantiasa diingatkan 134
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan
untuk menjadi dewasa dalam berelasi dengan memiliki sikap rendah hati, meskipun di dalam situasi yang menekan dan dalam berbagai perbedaan pendapat yang bermunculan. Justru jemaat diajak untuk tetap merendahkan dirinya terhadap sesamanya, agar mereka yang sehari-hari diperbudak oleh tuannya, atau selalu ditempatkan di lapisan terbawah masyarakat, merasakan indahnya dihargai dalam sebuah komunitas. Begitu pula dengan keluarga, semestinya di sanalah setiap orang merasakan penghargaan paling besar. Ketika mungkin di luar sana mereka kurang dihargai, fungsi komunitas harus bekerja di sini. Penghargaan tersebut tak akan diperoleh jika setiap orang hanya mementingkan dirinya sendiri. Maka, kerendahan hati dan sikap yang mementingkan kepentingan yang lain terlebih dahulu menjadi titik yang krusial, sebab kerendahan hati mampu menjembatani perbedaan, terlebih memberikan penghargaan bagi sesama kita. *Putri kedua Pdt. Suta Prawira, kuliah di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta
Daftar Pustaka
i Mely G.Tan, Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan, (Jakarta: Obor, 2008), hlm. 239 ii Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary: Peter and Jude, (Michigan: Baker Book House, 1990), 104 iii Dianne Bergant & Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 446 iv William Barclay, Pemahaman Alkitab Sehari-Hari: Surat Yakobus, 1&2 Petrus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), hlm. 359 v Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary: Peter and Jude, hlm. 127-128 vi Simon J. Kistemaker, New Testament Commentary: Peter and Jude, hlm. 127
135
Rendah Hati: Memberikan Penghargaan dan Menjembatani Perbedaan
vii Peter H. Davids, The New International Commentary on the New Testament: The First Epistle of Peter, (Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1990), hlm. 125 viii Ariwibowo Prijosaksono & Roy Sembel, Maximize Your Strength, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2003), hlm. 177 ix Alberthine Endah dkk., Mari Bicara: 100 Kisah Menghangatkan Hati tentang Menjalin Komunikasi dari dan untuk Pasangan Suami Istri di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm. xii
136
Hidup Bijaksana Bersama Pasangan Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! (1 Petrus 3:7a)
Pdt. Arliyanus Larosa
Kisah Secangkir Kopi ”Bayangkan, Pak. Hanya gara-gara secangkir kopi, dia jadi marah besar. Sesuatu yang menurut saya tidak perlu dibesar-besarkan. Bikin kopi kan perkara sederhana. Lagipula, ia memang sudah biasa membuatkan kopi untuk kami berdua.” Inilah kalimat-kalimat pembuka Anton (bukan nama sebenarnya) ketika dia dan Rini (bukan nama sebenarnya), istrinya, datang berkonsultasi dengan saya lebih dari lima belas tahun yang lalu. Mereka sudah dua hari mengalami kedinginan relasi. Bicara seperlunya, tanpa ekspresi. Syukurlah bahwa akhirnya mereka mau datang berkonsultasi. Hubungan yang dingin ini bermula di hari Sabtu sore yang baru lewat. Pada saat itu, pasutri Rini dan Anton sedang asyik menonton sebuah acara di layar kaca. Tiba-tiba Rini berkata kepada Anton, ”Pa, tolong dong bikinin kopi.” Anton dengan santai menjawab, 137
Hidup Bijaksana Bersama Pasangan
”Biasanya juga kamu yang bikinin kopi untuk kita. Ayolah, bikin kopi sana. Papa juga kepengen ngopi, nih.” Mendengar ini, Rini segera meninggalkan ruang keluarga, bukan ke dapur untuk membuat kopi, melainkan ke dalam kamar. Ia masuk ke dalam kamar dengan perasaan yang sangat jengkel. ”Bukan soal bikin kopinya, Pak,” Rini menyahut, setengah menahan tangis. ”Soal bikin kopi memang hal sepele. Biasanya juga saya yang membikinkan kopi untuk kami. Dan saya masih bisa bikin kopi. Tapi, pada waktu itu, saya ingin Anton membuatkannya untuk saya. Saya ingin Anton melakukan hal itu. Sudah lama ia tak melakukan apapun untuk saya. Semua hal harus saya kerjakan sendiri, entah untuknya, entah untuk saya atau untuk anak-anak. Saya ‘kan kepengen juga sekali-sekali dilayani. Saya ingin dicintai seperti dulu ia mencintai saya.” Hiduplah Bijaksana Kata “bijaksana” dalam teks 1 Petrus 3:7a diterjemahkan dari kata Yunani ginoskein. Kata ini memiliki makna yang sangat dalam dan luas. Untuk memahami makna yang lengkap dari kata bijaksana ini, apalagi ketika kita mengaitkannya dengan kewajiban seorang suami kepada istrinya seperti yang diamanatkan dalam surat 1 Petrus. 3:7a ini, kita perlu lebih dulu mengenali makna kata ginoskein tersebut dengan seksama. Edmund P. Clowney menjelaskan kata ginoskein sebagai mengetahui kebutuhan, menjaga perasaan dengan sangat hati-hati. The Interpreter’s Bible menjelaskan kata ginoskein sebagai pencerahan spiritual yang membuat seorang suami disadarkan akan kebutuhan138
Hidup Bijaksana Bersama Pasangan
kebutuhan istrinya dan dengan demikian memperlakukan sang istri sesuai kebutuhannya itu. Pengetahuan tentang kebutuhan ini adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Theological Dictionary of the New Testament
menjelaskan
perkembangan makna kata ginoskein ini dengan luas. Dalam pemakaian umum di bangsa Yunani, ginoskein menunjuk pada usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami sesuatu yang berujung pada aksi yang sesuai dengan pemahaman tersebut. Berbeda dari aisthanesthai, ginoskein
menekankan pemahaman yang bebas
dari unsur sensor. Berbeda dengan dokein, ginoskein menekankan pemahaman apa adanya dan bukan sebuah opini mengenai sesuatu. Di kalangan gnostik, kata ini dipakai dalam kaitan dengan pengetahuan tentang Tuhan. Bukan sembarang pengetahuan, melainkan pengetahuan yang menuntun seseorang ke dalam keselamatan. Dalam Perjanjian Lama makna kata ginoskein dapat dipahami melalui pemakaian kata Yada. Kata Yada mengimplikasian pengertian, pemahaman mengenai apa yang harus dilakukan. Kata yada dipakai untuk mengenal Allah. Mengenal Allah berarti mengakui keberadaan Allah (Ul. 4:39), menghormati nama-Nya, dan melakukan kehendak-Nya (1 Sam. 2:12, Yes. 1:3). Pengetahuan mengenai Allah berarti pengakuan mengenai kemurahan, kekuatan dan kemauan-Nya. Pengetahuan ini bukan sekedar informasi atau hasil kontemplasi melainkan harus mewujud dalam praktek hidup. Di jemaat Kristen mula-mula, kata ginoskein dipakai dalam pengertian mendeteksi, mengenali, mempelajari, mengkonfirmasi. Dengan perkataan lain, pengenalan yang menyeluruh. Pengenalan 139
Hidup Bijaksana Bersama Pasangan
ini didapatkan melalui aktivitas memerhatikan, mendengarkan, bertanya, dan pengalaman bersama. Pengenalan ini tidak pertamatama bersifat kognitif, melainkan berkaitan dengan aksi, sebab di dalamnya terdapat elemen teoritis dan elemen praktis dari pengetahuan. Melanjutkan pemahaman yang ada dalam Perjanjian Lama, kekristenan mula-mula memakai kata ini dalam kaitannya dengan pengetahuan mengenai Kerajaan Sorga yang akan membimbing kepada
pengetahuan
mengenai
misteri
Kristus.
Pencarian
pengetahuan di sini dilandasi oleh kasih dan harus membimbing seseorang kepada aksi yang benar. Pengetahuan ini melahirkan pembaruan yang terus menerus. Dari penelusuran tentang makna kata ginoskein ini kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bijaksana dalam teks 1 Petrus 3:7a ini adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mengenal kebutuhan pasangan untuk kemudian berusaha memenuhi kebutuhan itu. Usaha mengenal ini mesti didorong oleh kecintaan kepada pasangan dan dilakukan secara sungguh-sungguh melalui kesediaan mendengarkan, memerhatikan, mengajukan pertanyaan yang tepat, dan pengalaman atau interaksi bersama pasangan. Dengan pengetahuan ini seseorang dapat memenuhi kebutuhan pasangannya dengan tepat dan memperlakukan pasangannya sesuai dengan kondisi sang kekasih. Meskipun Paulus menujukan nasihat ini kepada suami, namun pesan yang terkandung di dalamnya mesti dilakukan baik oleh suami maupun istri. Alasan Paulus menujukan nasihat tersebut khusus kepada para suami adalah karena dilatarbelakangi oleh
140
Hidup Bijaksana Bersama Pasangan
pemahaman pada masa lampau bahwa perempuan lebih lemah secara fisik dibanding dengan laki-laki. Dengan latar belakang ini maka usaha melayani kebutuhan pasangan semakin penting dalam kaitan dengan kelemahan-kelemahan atau ketidaksempurnaan yang ada dalam diri pasangan. Maka hidup bijaksana bersama pasangan adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami kebutuhan pasangan untuk kemudian dilayani atau dipenuhi secara tepat. Abraham-Sarah-Hagar Sebagai Contoh Tindakan Abraham ketika mengusir Hagar adalah contoh bagaimana memenuhi atau melayani kebutuhan pasangan itu dengan baik. Ketika Sarah, istri Abraham, merasa tak nyaman dengan kehadiran Hagar dan Ismael, anaknya, maka Abraham, sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, memberi perasaan nyaman itu kepada Sara. Ia mengusir Hagar dan Ismael. Mengusir Hagar dan Ismael tentu menyakitkan bagi Abraham. Sebab, Ismael adalah anaknya sendiri dan Hagar pun sudah menjadi istrinya. Namun, karena ia mencintai Sara, istrinya, maka ia rela menanggung rasa sakit itu, demi pemenuhan kebutuhan emosi Sara, istrinya. Dengan mengusir Hagar dan Ismael, maka Abraham sedang menunjukkan kepada Sara bahwa Saralah orang yang paling berharga baginya, melebihi apapun. Ketika harus memilih antara kebutuhan seseorang yang lain dan istrinya, bahkan antara kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan istrinya, Abraham memilih memenuhi kebutuhan istrinya. Sakit memang berpisah dengan Hagar dan anaknya, Ismael, namun Abraham menelan rasa sakit itu demi melayani kebutuhan 141
Hidup Bijaksana Bersama Pasangan
istrinya, memenuhi kebutuhan sang kekasih. Namun, jangan juga pernah lupa bahwa pada saat yang sama, pengusiran Hagar dan anaknya ini, sebenarnya juga memenuhi kebutuhan sosial Hagar. Dengan mengusirnya dari rumah, maka Hagar kini menjadi orang merdeka, bukan budaknya Sara lagi. Meskipun Abraham merasa pedih, ia tetap mengusir Hagar dan Ismael. Sebab, hanya dengan mengusir itulah Hagar dan Ismael menjadi orang merdeka. Dan dengan menjadi merdeka, Abraham memenuhi atau melayani kebutuhan Hagar, yang juga adalah istrinya. Orang yang mencintai memang akan melayani yang dicintainya dengan tulus, tanpa pamrih, bahkan kalau perlu dengan pengorbanan. Suami yang mencintai istrinya, memang akan melayani istrinya sebaik mungkin. Istri yang mencintai suaminya memang akan melayani suaminya sesempurna mungkin. Pelayanan kepada pasangan itu diwujudkan dalam bentuk memenuhi kebutuhankebutuhannya secara menyeluruh. Kebutuhan menyeluruh itu mencakup kebutuhan fisik, emosional, spiritual, sosial, kebutuhan sebagai laki-laki atau perempuan, kebutuhan khususnya sebagai pribadi yang unik. Kebutuhan-kebutuhan ini dapat dipenuhi secara terpisah-pisah, oleh pelayanan yang berbeda-beda; tetapi dapat juga secara sekaligus. Ada sebuah pelayanan kepada pasangan yang hanya memenuhi salah satu atau beberapa dari keseluruhan kebutuhan itu, ada juga sebuah pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan itu secara menyeluruh. Kalau Anton, misalnya, melayani Rini dengan membuatkan secangkir kopi di Sabtu sore itu, maka Anton secara sekaligus telah memenuhi kebutuhan fisik, emosi, dan sosial dari Rini, istrinya. 142
Hidup Bijaksana Bersama Pasangan
Dalam prakteknya, banyak suami atau istri yang cenderung minta dilayani daripada melayani pasangannya. Dengan perkataan lain, ada banyak suami atau istri yang lebih menuntut dicintai daripada mencintai. Itulah sebabnya banyak suami atau istri yang meminta pasangannya mengerti dan memenuhi kebutuhannya daripada belajar mengerti dan memenuhi kebutuhan pasangannya. Ungkapanungkapan seperti, ”Ia tak pernah ada saat aku membutuhkannya,” atau ”Ia tidak peduli pada kebutuhan-kebutuhanku,” atau ”Saya selalu terlihat seperti nomor dua dalam hidupnya, ia lebih mementingkan pekerjaannya,” atau ”Saya punya suami, tetapi saya selalu merasa sendirian,” atau ”Ia selalu sibuk untuk sekedar menemani aku ke dokter,” atau ”Istriku tak pernah memperhatikan yang penting bagiku,” dan ungkapan-ungkapan lain yang senada adalah gambaran betapa suami atau istri cenderung menuntut untuk dicintai daripada mencintai, dilayani daripada melayani, meminta dipenuhi daripada memenuhi kebutuhan pasangannya. Atau kalau mau memenuhi juga, biasanya ada syaratnya. ”Saya memenuhi kebutuhannya kalau ia juga memenuhi kebutuhanku. Saya memperhatikannya kalau ia juga memperhatikanku. Saya bersikap mesra kalau ia juga bersikap mesra padaku.” Cinta seperti ini saya sebut sebagai cinta setengahsetengah. Dan cinta setengah-setengah ini sesungguhnya bukan cinta. Kalau cinta ini yang dipraktekkan oleh suami atau istri maka sesungguhnya di situ tidak ada cinta. Temukan Kebutuhan Pasanganmu Agar seorang suami atau istri sungguh-sungguh membuktikan cintanya
kepada
pasangannya,
maka
ia
perlu
melayani
143
Hidup Bijaksana Bersama Pasangan
pasangannya, memenuhi kebutuhan pasangannya, tanpa syarat. Sebagai langkah awalnya ialah belajar menemukan kebutuhan pasangan. Temukanlah sentuhan atau belaian seperti apa yang menyenangkan pasanganmu. Temukanlah perhatian seperti apa yang membahagiakan pasanganmu. Temukanlah pola relasi dan komunikasi seperti apa yang menggembirakan pasanganmu. Temukanlah pula pengembangan spiritual apa yang menyamankan pasanganmu. Dan ketika engkau telah menemukannya, berilah itu semaksimal dan seoptimal yang engkau mampu. Hanya dengan cara seperti itu engkau telah dan selalu menyatakan dengan kuat kepadanya bahwa engkau mencintainya. Sebab, mencintai berarti melayani, memenuhi kebutuhan pasangan. Akhirnya, selamat membuktikan cinta kepada sang kekasih, suami atau istrimu. Selamat menemukan dan memenuhi kenbutuhan pasanganmu. Dengan ini, pernikahan kita akan semakin kokoh dan memuliakan Tuhan. Bacaan:
Beyer, Ulrich, Tafsiran Alkitab 1 dan 2 Petrus dan Surat Yudas, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979 Buttrick, George Arthur (ed), The Interpreter’s Bible, Vol. 2, New York: Abingdon Press Nashville Buttrick, George Arthur (ed), The Interpreter’s Bible, Vol. 12, New York: Abingdon Press Nashville Clowney, Edmund P., The Message of 1 Peter, Leicester, England: Inter-Varsity Press, 1988Kittel, Gerhard and Friedrich, Gerhard (ed.), Theological Dictionary of the New Testament, Grand Rapids: William B. Eerdsmans Publishing Company, 1990 Larosa, Arliyanus dan Yuwanda, Esther Christiana, Pilar Perkawinan, Mencintai Tanpa Syarat, Kunci Sukses Menuju The Great Marriage, Jakarta: Grafika KreasIndo, 2015 Lemp, Walter, Tafsiran Kejadian (12:4-25:10), Jakarta: BPK Gunung Mulia Rosberg, Garry & Barbara, Renewing Your Love, Wheaton, Illionis: Tyndale House Publishing, Inc., 2003 144
Jika Matamu Menyesatkan, Cungkilllah! (Matius 5:29) Pdt. Em. Samuel Santoso Weitt ! Bagi mereka yang beranggapan bahwa Yesus itu melulu lemah lembut, berkata-kata halus, dan romantis pasti terkaget-kaget ketika membaca pernyataan Yesus ini. Keras dan tajam. Mengapa? Apakah Beliau juga sudah masuk kelompok beragama yang radikal dan seru dengan teror-terornya yang cukup mengganggu rasa aman seperti
ramai diberitakan di Indonesia masa kini?
Bahwa Yesus radikal, iya! Tetapi Beliau bersikap radikal terhadap dosa dan perbuatan berdosa. Beliau juga bersikap radikal dalam menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka dan segala akibatnya. Di sini kita melihat cara Yesus mengajar dan bertindak yang sangat dinamis. Ada kalanya Beliau diam, atau menyapa seseorang dengan lemah lembut tetapi ada waktunya juga Beliau bersikap keras dan marah lalu kita juga sampai sekarang tidak bisa mengerti mengapa Beliau tega mengobrak-abrik para pedagang hewan korban dan penukar uang persembahan di halaman Bait Suci sambil bertanya mengapa tidak bertindak dengan ‘bijaksana’. Tetapi justru pada sikap yang kelihatannya kasar ini Yesus hendak menunjukkan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dan Beliau 145
Jika Matamu Menyesatkan, Cungkillah!
tanggapi. Situasi dan kondisi yang tidak normal dan seperti seharusnya bila sudah keterlaluan harus dihadapi dengan sikap yang sedikit ekstrem supaya jadi tegas dan jelas. Ada ciri khas yang ditampilkan dalam pengajaran Yesus seperti direkam dalam Matius 5-7 di mana Yesus ditampilkan tidak hanya sebagai seorang Guru yang sedang mengajar tetapi juga seperti layaknya para nabi Pra-pembuangan di dalam Perjanjian Lama (seperti Yesaya, Yeremia, Hosea, Amos). Mereka mengajar tetapi sekaligus menegur dan mengingatkan. Gaya bahasanya lugas, tegas, keras, ekstrem, dan terkesan berlebihan. Perbedaan Yesus dengan para nabi itu adalah dalam hal otoritas. Kalau para nabi selalu menggunakan formula “dengarlah firman Tuhan” – mereka hanya menerima dan mengomunikasikannya – Yesus selalu menyatakan, ‘Aku berkata kepadamu!’ – pada diri-Nya Beliau menghadirkan otoritas ilahi. Ketika mesti memberikan penjelasan tentang beberapa contoh detil praktik aturan Taurat. Yang paling dekat adalah perikop yang persis ada di atas Matius 5:29 yakni Matius 5:27-28. Yesus ingin orang bersikap radikal sejak awal dan bukan hanya bersikap defensif reaktif kalau sudah terjadi praktik perzinahan (seorang lelaki melakukan hubungan seksual dengan perempuan isteri orang lain) lalu baru semua orang ribut berbicara tentang hukuman yang harus dijatuhkan kepada mereka (kuratif) tetapi Yesus mau orang bersikap lebih preventif. Setiap lelaki yang (bahkan baru) memandang seorang perempuan dan dipenuhi nafsu seks liar, dia sudah berzinah dalam hatinya (lèbh – hati – bagi orang Yahudi bukan hanya perasaan tetapi menjadi pusat segala pertimbangan sebelum seseorang mengambil keputusan untuk melakukan suatu tindakan). Ketika mata itu memberikan sinyal awal yang diteruskan kepada 146
Jika Matamu Menyesatkan, Cungkillah!
hati untuk dipertimbangkan lalu keputusannya ‘menginginkan’-nya dengan penuh nafsu tanpa memedulikan nilai-nilai luhur lainnya, ia telah berzinah. Begitu juga dengan contoh yang mendahuluinya. Bagaimana seharusnya orang bersikap? Supaya orang tidak berbuat dosa (apa pun juga, bukan hanya perzinahan) maka yang harus dia lakukan adalah bersikap radikal untuk menolak, menampik, dan berusaha dengan sangat keras untuk menghindarinya pada kesempatan yang paling awal! “Maka jika matamu yang kanan menyesatkan (skandalizein menjadi batu sandungan yang menjatuhkan) engkau, cungkillah dan buanglah itu karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa daripada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.” Yesus ingin murid Beliau bersikap preventif dengan bersikap tegas dan lugas pada kesempatan pertama dosa itu menggoda dan tidak memberikan akses sama sekali yang memungkinkan dosa itu kemudian berkembang, beranak pinak lalu pada waktunya menghancurkan kehidupan ini. Bahwa ‘mata’ (ophthalmos) yang digunakan karena orang mulai bertindak karena melihat sesuatu (orang Ibrani berpikir secara konkret ketimbang abstrak – jadi bukan dari olah pikir dulu). Satu tindakan entah benar atau salah dimulai dengan melihat atau memperhatikan sesuatu untuk kemudian dipertimbangkan, dan hasil pertimbangkan itu kemudian diwujudkan dalam tindakan, yang direpresentasikan dengan ‘tangan’ (kheir). Kita diingatkan pada peristiwa kejatuhan 147
Jika Matamu Menyesatkan, Cungkillah!
manusia pertama di taman Eden. Perempuan itu membuka akses bagi ular untuk masuk dan membuat pernyataan yang kelihatan sama tetapi beda. Perempuan itu ‘melihat’ (ra’a – melihat dengan seksama, memeriksa) buah pohon terlarang itu dan nampak sedap lalu dipetiknya, dimakannya, dan dibagikannya kepada suaminya, dan .... mata (ayin) mereka terbuka lalu mereka merasa malu karena mereka telanjang dan bukan menjadi seperti Allah! Ah, seandainya saja matanya tidak melihat ... dan tangannya tidak memetik. Seandainya dia tidak meladeni percakapan ular... Nasi sudah menjadi bubur, mereka harus menerima akibatnya yakni diusir dari taman Eden, dijauhkan dari kebahagiaan, kesejahteraan, dan kenikmatan hidup yang sejati yang sudah disiapkan Tuhan. Tindakan ‘melihat’ dengan menggunakan ‘mata’ ternyata bukan hanya sebuah aktivitas fisik belaka karena ada proses mental yang terjadi juga, malahan proses pengambilan keputusan secara iman. Ketika orang ‘memandang’ dengan ‘motif ’, ‘penghayatan nilai yang salah’ maka tindakan atau perbuatan yang diambilnya juga akan salah, dan akibat lebih lanjutnya adalah kehancuran. Yesus menggunakan ungkapan agamawi ‘dicampakkan ke dalam neraka’ dan ‘binasa’. Yesus tidak bermaksud menyuruh para murid Beliau untuk melakukan ‘tindakan fisik mencungkil mata’ ketika mulai dari mata kita berbuat dosa sebab jika demikian halnya tentu tidak satu pun dari kita sekarang ini yang punya mata yang sehat dan utuh, begitu juga nasibnya dengan ‘tangan’. Beliau memaksudkan agar kita mengambil tindakan radikal yang keras dan tegas terhadap segala kemungkinan yang bisa membuat kita berbuat dosa lebih lanjut. Mencegah jauh lebih baik ketimbang menghukum sesudah sesuatu tindak kejahatan terjadi dan ini bukan hanya secara fisik 148
Jika Matamu Menyesatkan, Cungkillah!
psiko-motorik tetapi ini bagian dari proses mental atau malahan proses menghayati nilai iman kepada Kristus. Barangkali salah satu bentuk penyalahan gunaan ‘mata’ dan ‘penglihatan’ dalam kehidupan murid-murid Beliau pada masa kita berbentuk dalam perilaku yang ‘shopaholic’ – kecanduan shopping. Ketika berbelanja tidak lagi didasarkan kepada kebutuhankebutuhan yang fungsional tetapi hanya berdasarkan nafsu-nafsu yang emosional dan tidak rasional lagi, misalnya hanya karena gengsi terhadap sesama lalu seorang ibu membeli tas tangan yang ‘branded’ dengan harga yang tentu saja sangat mahal dan menggunakan kartu kredit secara tidak bertanggungjawab dan secara tidak disadari sudah di luar kemampuan untuk membayar tagihannya (sebab tidak ada bank yang baik hati, lho!). Ketika tagihan tidak terbayarkan dan menjadi pesakitan akibat pembayaran kartu kredit yang macet dengan ancaman dari para debt collector, keluarga tidak sejahtera lagi. Proses berdosa di taman Eden seperti tersaji dalam Kejadian 3 terulang kembali. Kita mesti belajar bersikap tegas dan keras ketika kita mesti memutuskan untuk konsumsi apakah uang kita itu kita gunakan. Tolak dengan tegas rayuan atau ajakan dari teman – bagaimana pun akrabnya mereka – untuk ‘makan buah terlarang yang menarik dan sedap kelihatannya’ itu. Supaya adil tentu kita ingin mendengar sisi positif
dari
pengajaran Yesus yang tersaji dalam bentuk kalimat yang negatif ini. Kalau begitu bagaimana seharusnya ‘mata’ atau ‘melihat’ harus diperlakukan? Misalnya, marilah dengan ‘mata iman’ kita melihat Yesus yang bangkit itu masuk ke dalam kehidupan kita meski pun kita berada dalam ruang dengan pintu jendela yang tertutup rapat karena ketakutan dan mengucapkan sabda ‘Damai sejahtera bagi 149
Jika Matamu Menyesatkan, Cungkillah!
kamu!’. Dengan demikian kita melihat Yesus yang berdaulat dan punya cara yang kreatif untuk menghadirkan ‘damai sejahtera’ yang berbeda dengan yang diberikan dunia ini (Yoh. 14:27). Melihat dengan mata iman secara jelas bagaimana Yesus peduli terhadap kondisi kita tetapi memberikan damai sejahtera yang bukan hanya berbentuk rasa nyaman, aman tanpa kekurangan suatu apa pun. Damai sejahtera-Nya yang memberikan keberanian, kekuatan serta ketegaran ketika menghadapi ancaman yang menakutkan sekali pun dan membiarkan Dia hadir dengan caranya yang kreatif dalam kehidupan kita. Marilah kita menaikkan doa kita setiap hari dengan isi seperti teks lagu iman berikut: Day by day, day by day O, dear Lord, three things I pray. See Thee more clearly, Love Thee more dearly, Follow Thee more nearly day by day. Follow Thee more nearly day by day.
150
Cepat Mendengar “…Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah” (Yakobus 1:19)
Pdt. Suta Prawira
Nasihat praktis dari Yakobus bagi orang-orang Kristen Yahudi yang tersebar di Asia kecil: Cepat mendengar, lambat berkatakata dan lambat marah. Nasihat ini sederhana tapi begitu penting bagi orang-orang percaya yang panggilannya adalah mewujudkan kesatuan sebagai Tubuh Kristus. Mengapa penting? Sebab pada umumnya orang cepat berkata-kata dan lambat malas mendengarkan. Kata-kata dibalas dengan kata-kata lalu munculah pertengkaran dan akumulasi pertengkaran membangkitkan amarah. Jadi apabila orang-orang Kristen dikuasai kemarahan lalu apa yang sedang dipertontonkan orang Kristen kepada dunia? Cepat mendengar (Yunani: tacuz eiz akouzai) berarti datang mendengar untuk memahami dan mengerti apa yang didengarnya. Akuozai adalah kata kerja yang berasal dari kata akuoo yang berarti to hear (in various senses) - give (in the) audience (of), come (to the ears), (shall) hear (-er, -ken), be noised, be reported, understand. 151
Cepat Mendengar
Dalam Alkitab bahasa Inggris versi NIV,
Yakobus 1:19
diterjemahkan: … Everyone should be quick to listen, slow to speak and slow to become angry. NIV menterjemahkan akouzai dengan kata to listen. Dalam bahasa inggris dibedakan antara to listen dengan to hear. Listening menunjukkan sebuah aktivitas yang disengaja. Berarti kita secara aktif mencoba untuk mendengar, memahami, memperhatikan apa yang kita coba dengar, untuk bisa melakukan listening dengan baik kita tidak hanya menggunakan telinga tetapi seluruh indra kita. Listening menggunakan mata, menggunakan, pikiran, menggunakan perasaan bahkan menggunakan perabaan. Seorang yang melakukan listening tidak hanya terpaku pada katakata, tetapi melihat tampak rupa, merasakan gejolak emosi, bahkan menghayati dengan jelas apa yang tekandung dibalik kata-kata. Ketika hamba Bapa Abraham kehausan, ia meminta minum kepada Ribka dan Ribka bukan hanya memberi minum hamba Bapa Abraham saja tetapi ia juga memberi minum kepada seluruh untanya dan itu berarti ia memberi minum seluruh rombongannya (Kejadian 24:17-20). Kisah ini memperlihatkan seorang yang melakukan listening dengan baik. Sementara to hear menunjukkan aktivitas pendengaran yang tidak disengaja: tiba-tiba saja kita mendengar bunyi deru mobil, suara itu memang mengagetkan tapi lalu setelah itu hilang lenyap dan tidak mempunya dampak apapun terhadap orang yang mendengarnya. Ketika kita membaca koran tiba-tiba kita mendengar pasangan kita meminta sesuatu, kita mendengarnya sambil lalu. Sampai suatu saat kita terkejut…. karena kita tidak ingat apa yang ia minta.
152
Cepat Mendengar
Dalam bahasa Ibrani kata mendengar (shema) adalah kata yang penting. Di dalam kata mendengarkan ada tuntutan untuk berlaku taat. Shema merupakan kata seruan untuk berlaku taat, maka pengakuan iman Israel didahului dengan kata ‘dengarlah!’ “Dengarlah (shema), hai orang Israel! TUHAN itu Allah kita, TUHAN sendiri. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu ... “ (Ulangan 6:4-5). Pada umumnya orang Yahudi mengajar anak-anak mereka shema segera setelah mereka belajar untuk berbicara! Ini adalah sebuah karakter penting untuk orang Yahudi yang memperlihatkan komitmennya kepada Tuhan. Kata shema di sini berarti belajar untuk taat memberlakukan kehendak Tuhan. Itulah sebabnya nabi Yesaya berkata, “Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid” (Yesaya 50:4). Tidak mungkin seseorang bisa taat kepada Tuhan apabila ia tidak mendengarkan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Alkitab mempunyai cara pandang yang berbeda dengan manusia pada umumnya. Banyak kali kita berpikir seorang pemimpin adalah seorang yang pandai berkata-kata, seorang yang pandai untuk berargumentasi atau seorang yang pandai berorasi. Alkitab berpandangan seorang pemimpin adalah seorang yang pandai mendengar: «Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan 153
Cepat Mendengar
bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah Tuhan, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia” (Ulangan 28:13). Mengapa mendengarkan menjadi sesuatu yang jarang dilakukan dalam kehidupan orang-orang Kristen di perantauan? Apakah karena mereka dipengaruhi budaya Yunani yang melatih orang untuk berfilsafat dan beretorika? Rasanya tidak. Sebab banyak filsuf-filsuf Yunani betapapun mereka pandai beretorika, mereka juga mengajarkan moralitas menjadi seorang pendengar. Xenocrates sahabat dari Aristoteles, ketika ia bertemu dengan celaan dari orang lain, ia menyambutnya dengan
diam yang
mendalam, seseorang bertanya kepadanya, “Mengapa ia sendiri diam?” Katanya, “Aku kadang-kadang memiliki kesempatan untuk menyesal bahwa saya telah berbicara, karena tidak pernah aku terdiam.” Cepat berkata-kata dan cepat dikuasai amarah adalah kodrat manusia yang jatuh dalam dosa. Cepat berkata-kata adalah tanda bahwa orang menutup diri terhadap pelbagai masukan, cepat berkata-kata bisa menunjukkan kesombongan dan keangkuhan. Cepat berkata-kata bisa jadi ia sedang menyembunyikan sesuatu yang kotor di dalam dirinya. Maka bukan suatu kebetulan apabila Yakobus mengatakan, “buanglah sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak….” (Yakobus 1:21). Kata kotoran (Yunani: rupharia) berakar pada kata ruphos yang sering digunakan untuk menyebut kotoran telinga. Seolah Yakobus mau mengatakan: tanpa membuang kotoran 154
Cepat Mendengar
telinga, seseorang tidak mungkin dapat mendengar dengan baik. Cepat mendengar berarti kesediaan kita untuk membersihkan alat pendengaran. Alat pendengaran bukan hanya telinga tetapi hati, pikiran, cara pandang dan cara merasa. Selama cara pandang kita, cara berpikir kita dan hati kita dibelenggu oleh dosa, oleh perkaraperkara yang mendukakan hati Tuhan, maka jangan berharap kita akan mampu menjadi pendengar yang baik Banyak persoalan dalam kehidupan bersama bersumber dari ketidaksediaan dan ketidakmampuan untuk mendengar, baik dalam relasi horizontal: kita dan sesama, maupun dalam relasi vertikal: kita dengan Tuhan. Kita tidak mampu atau tidak sedia mendengar karena kita lebih suka hidup dalam perkara-perkara yang kotor dan perkara-perkara yang mendatangkan kejahatan. Banyak orang mendengar Firman tapi hidupnya tidak menyatakan perbuatan yang berkenan di hadapan Tuhan. Sebab ia tidak sungguh-sungguh mendengar atau ia sungguh-sungguh mendengar tapi terhalang oleh banyak kotoran yang menutup pendengarannya. Teguran dan nasihat praktis Yakobus bagi jemaat-jemaat Kristen di Asia kecil menjadi penting. Sebab kalau jemaat tidak bisa mendengar dengan baik maka ia tidak akan bisa menjadi pelaku Firman, dan pada saat yang sama mereka menjadi pelaku-pelaku kejahatan. Nasihat praktis Yakobus juga penting bagi relasi antara suami dan istri, sebab sering kita temukan banyak persoalan komunikasi di antara suami istri karena masing-masing pihak tidak menjadikan dirinya sebagai pendengar yang baik. Bukankah ketika kita 155
Cepat Mendengar
didengarkan dengan baik oleh pasangan kita, kita merasa dicintai dan kita merasa berharga? Dan relasi kita terasa begitu dekat. Tetapi sebaliknya ketika kita tidak didengarkan kita merasa disepelekan, direndahkan dan tidak dicintai. Dan betapapun kita tidur bersama rasanya hati kita begitu berjauhan. Untuk bisa menjadi pendengar yang baik maka pertama-tama kita harus membersihkan pendengaran kita dari pelbagai kotoran. Kotoran dalam mendengarkan adalah sikap meremehkan, merasa sudah tahu apa yang hendak disampaikan, memotong percakapan lalu cepat menyimpulkan dan yang lebih menyakitkan adalah ketika kita tidak memberi hati kita untuk pasangan kita. Bukankah ada banyak persoalan-persoalan rumit dalam pernikahan
bersumber
dari
perkara
yang
sederhana:
ketidakmampuan dan ketidak sediaan untuk mendengarkan? Dan ternyata di luar sana ada banyak orang yang bisa menjadi pendengar yang baik untuk kita, membuat kita lebih dekat dengan teman dan sahabat ketimbang dengan pasangan hidup kita.
156
Diam Bersama Dengan Rukun Sungguh alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun (Mazmur 133:1)
Pdt. Suta Prawira
Kata ‘rukun’ adalah terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia untuk kata Ibrani: yakhad. Sementara Alkitab berbahasa Inggris NIV menerjemahkan kata ini dengan kata unity. Apabila melihat nuansa bahasa Ibrani kuno maka terjemahan bahasa Inggris jauh lebih mendekati bahasa aslinya. Kata yakhad yang berarti tunggal atau kata ekhad yang berarti esa atau satu berasal dari kata induk yang terdiri dari dua konsonan yaitu: khet dan dalet. Dalam bahasa Ibrani kuno setiap huruf yang digunakan untuk membentuk sebuah kata menggambarkan makna yang terkandung di dalam huruf itu sendiri dengan mempelajari makna dari gambar yang membentuk huruf, kita dapat mengenal nuansa yang hendak disampaikan oleh sebuah kata. 157
Diam Bersama dengan Rukun
Misalnya kata Ab (bapa/ayah) terdiri dari dua abjad alef dan beth. Alef ditulis menyerupai gambar tanduk kerbau dan beth menyerupai rumah. Jadi kata Ab mau menyampaikan sosok yang paling berkuasa dalam sebuah rumah yaitu ayah atau bapa. Abjad khet dalam bahasa Ibrani kuno ditulis dalam rupa sebuah dinding atau tembok. Tembok di satu sisi bisa memberi rasa aman tapi di sisi yang lain bisa memisahkan antara yang ada di dalam tembok dengan yang di luar tembok. Tapi apabila dalam sebuah tembok atau dinding pemisah dibuat sebuah pintu maka yang di luar bisa masuk ke dalam dan yang di dalam dapat pergi keluar, sehingga kehadiran sebuah pintu di sebuah dinding pemisah mempersatukan orang yang di dalam dan orang yang ada di luar. Oleh karena itu, kata yakhad yang berarti tunggal dan juga kata ekhad yang sering diterjemahkan dengan kata satu, bersumber dari dua abjad yang menggambarkan sebuah dinding dan sebuah pintu: Selama ada pintu di sebuah tembok pemisah maka selalu ada kesatuan antara mereka yang di luar dan mereka yang di dalam Unity atau kesatuan adalah kunci kebaikan dan keindahan. Ini adalah pesan Daud dalam Mazmurnya. Kesatuan seperti minyak yang baik yang meleleh dari kepala ke janggut dan ke leher jubah. Dan di dalam kesatuan tersedia janji Tuhan, sebab Allah sanggup memerintahkan berkat dari negeri yang memusuhi Israel turun atas umat-Nya. Gunung Hermon yang merupakan gunung tertinggi di Timur Tengah pada waktu itu tidak berada dalam kekuasaan Daud, tetapi berada dalam kekuasaan Syria. Tapi kalau ada kesatuan dalam kehidupan umat Tuhan, maka Tuhan memberi sebuah janji akan 158
Diam Bersama dengan Rukun
memerintahkan berkat bahkan dari tempat musuh sekalipun, yang tidak dalam jangkauan umat-Nya turun membasahi Sion. Kesatuan yang bagaimanakah yang dipesankan oleh Daud melalui Mazmurnya ini? Terhadap dua abjad khet dan dalet ini ditambahkan dua abjad yaitu alef dan yod, sehingga membentuk huruf yakhad. Alef merupakan gambar sebuah kepala kerbau sementara kata Yod dalam bahasa Ibrani kuno digambarkan dengan kelima jari yang mengepal menjadi satu genggaman. Yakhad mau menyampaikan sebuah nuansa kesatuan yang berada dalam satu genggaman tangan yang kuat, tangan yang teracung, bukan tangan manusia tapi genggaman tangan Allah yang telah membebaskan mereka dari tanah perbudakan Mesir; tangan Yahwe yang telah menggenggam dan menuntun mereka di padang belantara; tangan Yahwe yang perkasa yang menuntun mereka memasuki tanah yang dijanjikan-Nya. Mazmur 133 oleh Lembaga Alkitab Indonesia dikelompokkan dalam kategori Mazmur Ziarah, dalam Alkitab berbahasa Inggris dimasukkan dalam kategori Mazmur pendakian atau Mazmur anak tangga. Pada umumnya Mazmur 120 - Mazmur 134 dinyanyikan oleh orang-orang Israel yang berziarah ke Bait Suci dimana mereka sedang menapaki tiap anak tangga, perjalanan mendaki ke Bait Suci. Ketika Bait Suci berdiri tegak dan tembok Yerusalem berdiri kokoh, berziarah ke Bait Suci menjadi perjalanan yang membanggakan. Oleh karena itu orang-orang Israel yang radius rumahnya melampaui ketentuan, mereka rindu untuk datang ke rumah Tuhan. Namun kita dapat membayangkan bagaimana perasaan umat 159
Diam Bersama dengan Rukun
Allah yang sedang berziarah manakala Bait Suci tinggal reruntuhan, sebuah pelajaran sejarah umat yang mahal. Sebab hal ini menjadi sebuah peringatan bahwa Allah tidak memerintahkan berkat dari Hermon turun atas Sion, tapi Allah memerintahkan musuh untuk menjarah dan menunggangbalikkan tembok kota dan membiarkan Bait Suci-Nya tinggal menjadi puing-puing reruntuhan. Allah memerintahkan penghukuman atas umat-Nya karena mereka tidak lagi hidup dalam kesatuan. Ada tembok tebal memisahkan antara mereka yang kaya dan yang miskin, ada dinding yang menyekat antara mereka yang bodoh dan yang pintar, dan tanpa timbangan keadilan, yang kaya menindas yang miskin, yang pintar memperdaya yang lemah. Mereka tidak mau menyerahkan hidup mereka dalam satu genggaman tangan yang kuat, tangan yang terbukti memberi masa depan bagi mereka yang tidak berpengharapan. Karena mereka merasa dengan kekuatan sendiri mereka mampu, atau mereka menganggap ada ilah lain yang sanggup memberi berkat dalam hidup mereka, maka Allah menyerahkan umat-Nya kepada genggaman tangan yang lain, bukan genggaman yang mempersatukan tapi genggaman yang menceraiberaikan. Ajakan Daud untuk hidup dalam kesatuan menjadi penting bukan saja bagi kehidupan berjemaat dan bermasyarakat, tetapi juga penting bagi kehidupan suami dan istri. Bukankah sering kita mendapati suami dan istri hidup bersama tapi tidak hidup dalam kesatuan? Mereka hidup bersama tapi dipisahkan oleh temboktembok tebal yang dibangun oleh masing-masing pihak. Tembok itu dibangun dengan sengaja ataupun tidak disengaja,
160
Diam Bersama dengan Rukun
ketika masa bulan madu telah lewat, kemudian kita mengalami banyak kendala untuk menyamakan bahasa, menyatukan aksi bahkan mengalami banyak benturan keras manakala bersama membicarakan hari esok. Daripada bertengkar lebih baik kita menjaga jarak, ada bagian-bagian yang mana saya tidak akan masuk dan juga sebaliknya ada bagian-bagian mana pasanganku tidak boleh memasuki wilayah yang aku jaga. Bukankah ini menjadi khet - tembok pemisah dalam pernikahan? Pintu masuk yang terbuka lebar manakala masa-masa bulan madu dilalui sekarang terkunci rapat. Aku tidak mau membuka pintu lagi untuknya, terlalu menyakitkan. Atau ada tembok yang dibangun dengan sendirinya oleh karena kita sebagai suami dan istri tidak berdamai dengan masa lalu yang menyakitkan, masa lalu yang menoreh luka, kita sibuk membangun benteng untuk menyembunyikan luka dari pelbagai sentuhan yang menghalangi kita untuk mengenali pasangan kita dan begitu juga sebaliknya. Melalui Mazmurnya, Daud hendak mengingatkan bahwa suami istri tanpa yakhad maka hidup pernikahan tidak akan memperoleh berkat. Tanpa yakhad, hidup pernikahan tidak akan memancarkan keindahan dan kebaikan. Bukankah banyak pelajaran sejarah dari kehidupan, pernikahan bukan menjadi lembaga dimana kita memperoleh bahagia, melainkan sebaliknya pernikahan berubah menjadi neraka yang ada dalam dunia ini. Bisa jadi setiap orang secara alami akan membangun tembok untuk memberi rasa aman bagi dirinya, tapi yakhad mengajak kita untuk menyediakan pintu bagi pasangan kita, agar ia dapat masuk
161
Diam Bersama dengan Rukun
untuk menilik ke kedalaman hati kita, mungkin di dalamnya ada lorong gelap, di dalamnya ada banyak luka mungkin di dalamnya ada anak kecil yang sedang menangis ketakutan. Yakhad mengajak kita menyediakan pintu bagi Allah untuk menerangi setiap lorong yang gelap, setiap luka yang menganga, membiarkan Allah menggendong anak kecil yang berada di sudut sepi di lorong hati kita. Allah tidak akan memaksa masuk, Allah menunggu kita membukakan pintu bagi-Nya, dan Allahpun menawarkan kita untuk membuka pintu hati Allah: ketuklah maka pintu akan dibukakan!!
162
Biodata Pdt. Suta Prawira
Suta Prawira adalah anak ke-4 dari enam bersaudara, lahir di Tasikmalaya pada tanggal 24 Agustus 1965 dari keluarga alm. Bapak Tanu An Hapi dan Ibu Ipoh. Dibesarkan dalam keluarga Kong Hu Cu tapi dididik di sekolah Kristen yang sekarang disebut BPK Penabur. Suta Prawira dibaptiskan pada tanggal 25 Desember 1981 di Gereja Kristen Indonesia, jalan Veteran 49, Tasikmalaya Peran guru-guru Sekolah Kristen BPK Jabar KPS Tasikmalaya dan juga guru-guru sekolah minggu GKI jalan Veteran, Tasikmalaya yang membanggakan dan pelayanan Pdt. Toni Arwadi, serta dua orang sepupu (alm. Tan Swie Djoe dan Tan Swie Hwat) turut memberikan landasan iman percaya dan bertumbuhnya panggilan untuk melayani Tuhan Menyelesaikan S1 di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta pada tahun 1989 dan diteguhkan sebagai Penatua Khusus pada tanggal 2 Juni 1991 di GKI Cianjur dan ditahbiskan ke dalam jabatan pendeta pada tanggal 26 Oktober 1992 dengan basis pelayanan GKI jalan HOS Cokroaminoto 55, Cianjur. 163
Biodata
Menikah dengan Liliek Nofianti, peneguhkan dan pemberkatan pernikahan dilakukan di GKI Cianjur pada tanggal 11 September 1992 dan kemudian dianugerahi 3 orang putri: Julita Tirta Prawira, Ayunistya Dwita Prawira dan Devita Theodora Prawira. Diteguhkan menjadi pendeta GKI jalan Kebonjati 100, Bandung pada tanggal 24 Juni 1996, dan diteguhkan sebagai pendeta di GKI jalan Gunung Sahari IV/8 pada tanggal 11 September 2000. Saat ini selain melayani di jemaat GKI Gunung Sahari IV/8 Jakarta Pusat, juga menjadi Penasihat BPK Penabur Jakarta, Penasihat Badan Pemberdayaan Perekonomian BPMSW GKI SW Jabar dan Ketua Komisi Pengadaan Materi Bina (KPMB) BPMS GKI.
164
165
166