WALI PENGAMPU PADA PAMAN DARI PIHAK IBU DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM: STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK NOMOR 16/Pdt.P/2007/PA Dpk
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
DIANA PERTIWI 105044201449
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/ 2010 M
WALI PENGAMPU PADA PAMAN DARI PIHAK IBU DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM: STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK NOMOR 16/Pdt.P/2007/PA Dpk
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
DIANA PERTIWI 105044201449
Di Bawah Bimbingan Pembimbing
DRS. H. A. BASIQ DJALIL, SH., MA. NIP. 195003061976031001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H/2010 M
ii
G¡+Ýo ¯2Ù{´ ¯2lµo KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan kehidupan yang lebih baik menuju ke kehidupan yang lebih baik baik lagi, dan juga telah memberikan suatu anugerah yang tak terhingga, sehingga bisa melewati ujianujian yang telah diujikan. Shalawat serta salam saya haturkan pada junjungan Nabi besar, agung khotamul anbiya, Muhammad Saw, selaku khalifah dunia yang selalu memberikan pencerahan kepada umat-nya. Tidak terasa sudah empat tahun lamanya, saya menempuh pendidikan di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Usaha-usaha didapatkan bukanlah murni dari diri saya pribadi, tetapi atas dukungan yang berharga, baik materiil dan immaterial, dari keluarga, dosen, rekan-rekan yang selalu mendukung, terutama dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak pelajaran yang berharga yang saya dapatkan dari kampus ini, mulai dari mengenal apa itu organisasi hingga ke tingkat birokrasi. Alhamdulillah, akhirnya saya telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Wali Pengampu pada Paman dari Pihak Ibu dalam Tinjauan Hukum Islam: Studi Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk. Dengan harapan dapat bermanfaat pada hari-hari yang akan datang. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan serta bantuan dan kontribusi yang jelas kepada penulis. Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: iii
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum U I N Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh Pembantu Dekan yang telah memberilan ilmu pengetahuan serta waktu di saat kesibukannya. 2. Drs. H. Basiq Djalil, S.H., M.H, Ketua Jurusan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai Pembimbing skripsi penulis. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kesabaran dan keikhlasan Bapak dalam membimbing dan mengasuh kami. Amin. 3. Kamarusdiana, S.Ag., M.H, Sekretaris Jurusan SAS/Peradilan Agama. 4. Seluruh staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan selama penulis belajar. 5. Pimpinan Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama UIN Jakarta maupun Perpustakaan Syariah dan Hukum, terima kasih atas pelanyanan buku, paper dan lain-lainnya yang sangat menunjang penyelesaian skripsi ini. 6. Kedua orang tua penulis yang telah banting tulang, mendoakan, serta memberikan pengorbanan, baik secara materi dan immateri, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 7. Kakak-kakakku tercinta, yang tanpa henti mendukung dan mendorong penulis untuk menyelesaikan Skripsi. 8. Rekan-rekan kelas angkatan 2005 Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, Ahwal al-Syakhsiyyah, terima kasih atas kebersamaan yang telah kita lalui bersama. Semoga Allah memberikan kita jalan yang selalu diridhai-Nya. Amin. iv
9. Rekan-rekan, sahabat, keluarga, dan semua pihak yang secara langsung ataupun tidak membantu dalam penulisan skripsi ini, semoga Allah SWT megngantinya dengan pahala yang setimpal. Akhirnya, kepada para pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, kupanjatkan do’a kepada Allah SWT, semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan pahalaNya. Ciputat, 1 Maret 2010 Penulis, Diana Pertiwi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................ii v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii DAFTAR ISI ..............................................................................................................vi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................................4 C. Tujuan dan Manfaat penelitian ...............................................................5 D. Studi Review Terdahulu..........................................................................6 E. Metode Penelitian ..................................................................................8 F. Sistematika Penulisan ...........................................................................10
BAB II
PERWALIAN/ PENGAMPUAN ANAK DALAM FIKIH A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam .................... 12 B. Status dan Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih................................21 C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia ................................26
BAB III POSISI KASUS PENGAMPUAN ANAK DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 16/Pdt.p/2007/PA DPK A. Kewenangan Pengadilan Agama dan Bentuk Putusan .........................35 B. Profil Pengadilan Agama Depok ..........................................................43 C. Posisi Kasus atau Duduk Perkara ..........................................................48 D. Keputusan Hakim ..................................................................................51
BAB IV ANALISA PUTUSAN A. Putusan Hakim dalam Tinjauan Tata Hukum di Indonesia ..................64 B. Analisa Putusan Hakim Perspektif Hukum Islam ................................72
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ........................................................................................... 85 B. Saran-saran ............................................................................................ 87 vi
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 88 LAMPIRAN .............................................................................................................. 91
vii
G¡+Ýo ¯2Ù{´ ¯2lµo KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Swt, yang telah memberikan kehidupan yang lebih baik menuju ke kehidupan yang lebih baik baik lagi, dan juga telah memberikan suatu anugerah yang tak terhingga, sehingga bisa melewati ujianujian yang telah diujikan. Shalawat serta salam saya haturkan pada junjungan Nabi besar, agung khotamul anbiya, Muhammad Saw, selaku khalifah dunia yang selalu memberikan pencerahan kepada umat-nya. Tidak terasa sudah empat tahun lamanya, saya menempuh pendidikan di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Usaha-usaha didapatkan bukanlah murni dari diri saya pribadi, tetapi atas dukungan yang berharga, baik materiil dan immaterial, dari keluarga, dosen, rekan-rekan yang selalu mendukung, terutama dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak pelajaran yang berharga yang saya dapatkan dari kampus ini, mulai dari mengenal apa itu organisasi hingga ke tingkat birokrasi. Alhamdulillah, akhirnya saya telah menyelesaikan skripsi yang berjudul Wali Pengampu pada Paman dari Pihak Ibu dalam Tinjauan Hukum Islam: Studi Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk. Dengan harapan dapat bermanfaat pada hari-hari yang akan dating. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari keterlibatan serta bantuan dan kontribusi yang jelas kepada penulis.
i
Oleh karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, M.A., MM. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum U I N Syarif Hidayatullah Jakarta, serta seluruh Pembantu Dekan yang telah memberilan ilmu pengetahuan serta waktu di saat kesibukannya. 2. Drs. H. Basiq Djalil, S.H., M.H, Ketua Jurusan sekaligus sebagai Pembimbing skripsi penulis Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kamarusdiana, S.Ag., MH selaku Sekretaris Jurusan SAS/Peradilan Agama. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kesabaran dan keikhlasan Bapak dalam membimbing dan mengasuh kami. Amin. 3. Dr.KH.Juaini Syukri, Lcs, M.Ag dan Dr.Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, M.A sebagai Penguji Sidang penulis saya ucapkan banyak terima kasih. 4. Seluruh staf pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan selama penulis belajar. 5. Pimpinan Perpustakaan, baik Perpustakaan Utama UIN Jakarta maupun Perpustakaan Syariah dan Hukum, terima kasih atas pelanyanan buku, paper dan lain-lainnya yang sangat menunjang penyelesaian skripsi ini. 6. Kedua orang tua dan kerabat penulis, yang telah banting tulang, berdo’a, serta pengorbanan baik materi dan immateri sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 7. Kakakku tercinta dan kakak kelas, yang tanpa henti mendukung dan mendorong penulis untuk menyelesaikan Skripsi. Rekan-rekan kelas angkatan 2005 Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, Ahwal al-Syakhsiyyah, terima ii
kasih atas kebersamaan yang telah kita lalui bersama. Semoga Allah memberikan kita jalan yang selalu diridhai-Nya. Amin. Sahabat, dan semua pihak yang secara langsung ataupun tidak membantu dalam penulisan skripsi ini, semoga Allah SWT megngantinya dengan pahala yang setimpal. Akhirnya, kepada para pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, kupanjatkan do’a kepada Allah Swt., semoga Dia senantiasa mencurahkan rahmat dan pahala-Nya. Jakarta, Maulud 1431 H Maret
Penulis
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR .................................................................................................i DAFTAR ISI ..............................................................................................................iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................................1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah......................................................4 C. Tujuan dan Manfaat penelitian ...............................................................5 D. Studi Review atau Kajian Terdahulu .....................................................6 E. Metode Penelitian ..................................................................................8 F. Sistematika Penulisan ...........................................................................10
BAB II
PERWALIAN/ PENGAMPUAN ANAK DALAM FIKIH A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam .................... 12 B. Status dan Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih................................21 C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia ................................26
BAB III POSISI KASUS PENGAMPUAN ANAK DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 16/Pdt.p/2007/PA DPK A. Kewenangan Pengadilan Agama dan Bentuk Putusan .........................35 B. Sejarah Profil Pengadilan Agama Depok .............................................43 C. Posisi Kasus atau Duduk Perkara ..........................................................48 D. Keputusan Hakim ..................................................................................51 BAB IV ANALISA PUTUSAN A. Pertimbangan Hakim dalam Penetapan Perkara....................................64 B. Analisa Putusan Hakim Perspektif Hukum Islam ................................72
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ...........................................................................................85 B. Saran-saran ............................................................................................87
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................88 LAMPIRAN ..............................................................................................................91
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu syarat adanya taklif dalam hukum Islam adalah adanya keahlian untuk dibebani (ahliyyah li al-taklif). Di antara syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang dianggap berhak untuk menerima pembebanan adalah adanya akal dan telah baligh. Tanpa keduanya, seseorang dianggap belum mampu dibebani. Dalam hal inilah seseorang yang gila tidak dihitung semua perbuatannya. Perwalian merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau kedua orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 1 Dapatnya seseorang untuk bertindak atas orang lain tersebut karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkannya untuk bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta ataupun atas dirinya sendiri. 2 Perwalian seperti ini juga dikenal dengan istilah wali pengampu dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam hukum Islam, selain perwalian dalam pernikahan, terdapat tiga jenis perwalian dalam arti tersebut di atas, yaitu seseorang yang bertindak sebagai 11
Untuk masalah tersebut, lihat pula, Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), cet. V, h. 228. 2
Amir Syarifuddin, HUkum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Poerkawinan, (Jakarta: Prenada, 2006), h. 69.
1
2
seseorang yang lain, di antaranya adalah wali anak kecil, wali orang gila, dan wali orang yang safih. Pun juga, dari ketiga perwalian tersebut, para ulama fikih, kecuali hanya beberapa saja, sepakat bahwa wali bagi mereka adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak memiliki hak atas perwalian. 3 Selain itu, para ulama fikih tersebut berbeda pendapat dalam penetapan wali ketika ayah tidak ada. Menurut mazhab Hanbali dan Maliki, wali sesudah ayah adalah orang yang amenerima wasiat dari ayah. Jika tidak ada, maka jatuh kepada wali hakim Syar’i. Kakek sama sekali tidak mempunyai hak atas perwalian. Sementara Hanafi menyatakan, bahwa para wali sesudah ayah adalah orang yang menerima wasiat dari ayah. Sesudah itu kakek dari pihak ayah, lalu orang yang menerima wasiat darinya, dan kalau tidak ada, maka perwalian jatuh ke tangan qadhi (hakim). 4 Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa pertama-tama perwalian berada di tangan ayah dan kakek (dari pihak ayah) dalam derajatnya yang sama, di mana masingmasing mereka berkedudukan yang sama untuk bertindak sebagai wali. Kemudian kepada orang yang menerima wasiat dari ayah atau kakek. 5 Dari beberapa ketentuan di atas, dapat dilihat suatu kejelasan bahwa dalam hukum Islam, perwalian seorang anak, baik itu karena usianya yang belum mencapai
3
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. I, h. 166.
4
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,h. 167; LIhat pula, Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 683. 5
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,h. 167
3
baligh, seseorang yang gila, atau seseorang yang safih (lemah akalnya), berada pada ayah, keluarga ayah, orang yang diwasiatkan, atau pada seorang hakim/qadhi. 6 Berbeda dengan konsep tersebut di atas, dalam putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Depok (Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk), hakim menetapkan perwalian tiga orang anak yang belum baligh kepada paman anak tersebut dari pihak ibu (adik ibu). Jika mengacu pada hukum yang telah menjadi kesepakatan Jumhur Ulama di atas, maka secara sekilas terjadi suatu pertentangan antara apa yang diputuskan oleh hakim Agama Depok dengan apa yang tertera dalam fikih. Maka dari itu, berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh bagaimana status atau hukum perwalian (pengampuan) seorang anak yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Depok dalam Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk, terutama dalam perspektif hukum Islam. Untuk lebih memfokuskan masalah tersebut, penulis merangkum tema penelitian ini dalam judul karya ilmiah, yaitu:
Wali Pengampu Pada Paman Dari Pihak Ibu Dalam
Tinjauan Hukum Islam: Studi Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/PA Dpk.
6
Fakta bahwa para ulama menetapkan perwalian hanya dari pihak ayah dapat dilihat dari pendpaat mereka tentang perwalian dalam perkawinan. Lihat lebih lanjut, Muhammad Jawad alMughniyyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 347-348.
4
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Karena luasnya fokus bahasan yang akan diuraikan dalam judul tersebut, penulis membatasi beberapa masalah yang akan dikaji. Sebagaimana diketahui, terdapat dua jenis perwalian dalam hukum Islam, yaitu perwalian atas jiwa (yang sering disebut dengan perwalian dalam perkawinan) dan perwalian harta yang dikenal dengan pengampuan. Penulis hanya akan mengkaji konsep perwalian dalam hukum Islam dalam masalah kedua, yaitu perwalian atas harta atau yang dikenal dengan pengampuan. Hukum Islam yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hukum Islam yang telah dirumuskan oleh para imam atau ulama fikih, terutama pendapatpendapat yang dianggap valid dan representative untuk mewakili prisma pemikiran hukum Islam, yang dikenal dengan istilah fikih. Selain itu, untuk konteks keindonesiaan, penulis akan mengacu pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selain itu, untuk menyempitkan cakupan kasus yang ada, penulis hanya berfokus pada putusan Pengadilan Agama Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk, yang dikeluarkan Pengadilan Agama Depok. 2. Perumusan Masalah Dalam hukum Islam, jika seorang anak tidak memiliki orang tua kandung, maka tindakan-tindakan hukum yang dilakukannnya harus diwalikan oleh keluarganya, terutama ayah atau keluarga dari pihak ayah.
5
Sebagaimana diketahui, perwalian seorang anak yang belum baligh hanya berada di tangan laki-laki dari keluarga ayah dan bukan dari ibu. Dalam Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk tentang Penetapan wali pengampu, Pengadilan Agama Depok menetapkan paman dari pihak ibu sebagai wali pengampunya. Maka dari itu, dalam tinjauan hukum Islam hal ini berbeda secara teoritis dan menjadi fokus penelitian penulis, yang dirangkum dalam pertanyaan penelitian berikut: a. Bagaimana konsep perwalian/pengampuan anak yang belum baligh dalam hukum Islam? b. Apa argumentasi hakim dalam memutuskan Penetapan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk? c. Apakah Keputusan tersebut seiring dengan hukum Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah: a. Mengetahui konsep perwalian/pengampuan dalam tinjauan hukum Islam b. Penelitian ini juga hendak mengetahui pandangan hukum Islam terhadap Putusan Nomor 16/Pdt.p/2007/PA tentang Penetapan Pengampuan Anak kepada Paman dari pihak Ibu. c. Penelitian ini juga hendak mengetahui apakah Putusan tersebut seiring dengan hukum Islam atau tidak.
6
2. Manfaat Penelitian a. Sebagai sumbangan pemikiran dan pengembangan khazanah keilmuwan di bidang hukum keluarga. b. Sebagai salah satu referensi mengenai pemikiran pembaruan hukum keluarga Islam, dan. c. Sebagai bahan pertimbangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap proses perjuangan pembangunan hukum keluarga Islam.
D. Studi Review Terdahulu Terdapat beberapa penelitian yang penulis temukan dan berkaitan dengan judul skripsi ini, di antaranya: 1. Pelaksanaan Sulhu dalam Penyelesaian Sengketa Hadhanah (Studi Kasus di Mahkamah Syariah Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur, Malaysia, oleh Mohammad Norman Shah bin Mohammad Yaziz. Skripsi Konsentrasi Peradilan Agama, Ahwal Syakhsiyyah, Syariah dan Hukum. Kesimpulan dari penelitian ini adalah, oleh karena sebagian besar sengketanya ditangani oleh Mahkamah Syariah wilayah Persekutuan adalah dalam bidang perkawinan, maka penyelesaian secara sulh (perdamaian) sangat sesuai dan wajar sekali. 2. Hak pemeliharaan Anak oleh Bapak Akibat Perceraian, studi Analisa Putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor 492/Pdt/6/2005/PA Bogor, oleh Abdullah, Konsentrasi Peradilan Agama, Tahun 2009. Kesimpulan dari skripsi ini, bahwa Putusan tersebut telah sesuai dengan Undang-undang Perkawinan dan
7
Kompilasi Hukum Islam. Alasan hakim dalam memutuskan perkara pengasuhan anak tersebut karena beberapa faktor, di antaranya: tingkat laku orang yang akan mengasuh, perhatian kepada anak, dan kemampuan ekonomi. 3. Penetapan Hak-hak Anak Akibat Perceraian Isteri Non-Muslim, Analisa Putusan Peradilan Agama, Jakarta Pusat Nomor 443/Pdt.G/2007/PA JP, oleh Roro Tanjung Sari, Konsentrasi Peradilan Agama, Tahun 2009. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perubahan pada pemenuhan hak-hak anak bagi orang tua yang non muslim dan anak tersebut masik tetap mendapatkan haknya. 4. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Hak-hak Pemeliharaan Anak, Oleh Irwan Hermawan, Tahun 2006, Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Kesimpulan yang diberikan peneliti dalam skripsi ini adalah bahwa dengan mengacu kepada Putusan Nomor 674/Pdt.G/2002/PA JS, hakim memutuskan hak asuh anak di bawah umur kepada ayah, karena kemampuan ekonomi dan kesanggupannya. Penelitian ini dan keempat penelitian di atas memiliki persamaan dalam tema penelitian, yaitu tentang pemengasuhan anak yang belum dewasa. Namun, dari beberapa penelitian yang telah penulis dapatkan di atas, serta sejauh yang telah penulis telusuri, penelitian yang penulis lakukan ini memiliki beberapa perbedaan dari penelitian sebelumnya. Jika penelitian di atas dan sejauh sumber yang penulis temukan, untuk permasalahan anak, selalu menjadi pokok bahasan adalah tentang
8
hak asuh anak, baik karena perceraian ataupun bukan. Maka itu, penelitian ini mengambil obyek penelitian tentang Pengampuan Anak, bukan hak asuh anak.
E. Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (penelitian hukum kepustakaan), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 7 Dalam penelitian ini terdapat tiga cakupan besar, yaitu: pertama, dalam bab kedua dibahas tentang konsep perwalian/ pengampuan anak dalam fikih; kedua, ntang posisi kasus pengampuan anak dalam putusan perkara Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/pa Dpk; ketiga, tentang analisa putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/PA Dpk dalam Tinjauan Tinjauan Hukum Islam. 2. Sumber Data Dalam apenelitian ini, data terbagi menjadi dua, primer dan sekunder. Data
primer
adalah
Putusan
Pengadilan
Agama
Depok
Nomor
16/pdt.p/2007/PA Dpk, sedangkan data sekunder adalah buku-buku fikih yang membahas tentang perwalian/pengampuan anak, baik yang tergolong bukubuku klasik atau pun yang disusun oleh ulama/intelektual kontemporer. 7
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), cet. VIII, h. 13.
9
Selain itu, sebagai penguat dan bahan komaprasi, penulis juga merujuk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang di dalamnya dibahas secara rinci tentang perwalian atau pengampuan anak. Pun demikian, penulis akan merujuk pada sumber sekuender lainnya yang mendukung, seperti Koran, majalah, media internet, kamus dan ensiklopedia, dan sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data Data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data sebagai berikut: Bahan hukum, terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku atau putusan pengadilan itu sendiri. Sementara bahan hukum sekundernya adalah bahanbahan yang penulis dapatkan dari buku-buku yang berkaita dengan judul, terutama buku-buku fikih yang menguraikan masalah perwalian anak. Data yang diperoleh dari Putusan Pengadilan Agama Depok tersebut, hasil kajian bahan hukum yang telah penulis kumpulkan, serta penelitian atau pendapat yang dikeluarkan oleh ahli hukum Islam berkaitan dengan perwalian anak, baik menurut hukum Islam atau hukum yang berlaku di Indonesia, akan dianalisis dan ditinjau lebih lanjut, dengan didukung oleh referensi lain yang memperkuat materi hukum.
10
Sementara pengolahan data akan menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu metode yang menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kenyataan di lapangan yang diperoleh dari dokumen hukum yang sah, yaitu keputusan hakim, juga dokumen-dokumen hukum para pakar dan peneliti hukum, baik hukum Islam ataupun hukum yang berlaku di Indonesia. hal tersebut dilakukan dengan cara mengedit data, yaitu memeriksa data yang telah terkumpul dan hal tersebut berhubungan dengan perwalian anak dalam pandangan hukum Islam dan dipaparkan semua pengkajiannya secara sistematis.
F. Sistematika Penulisan Untuk mengarahkan penelitian, skripsi ini akan berfokus pada sistematika penulisan di bawah ini, yaitu: Pada bab Pertama, akan dibahas tentang pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Kedua, berisi tentang konsep perwalian/ pengampuan anak dalam fikih, mencakup pengertian dan cakupan perwalian perwalian dalam hukum Islam, status dan urutan perwalian anak menurut fikih, dan perwalian anak dalam tata hukum di Indonesia.
11
Bab Ketiga akan menguraikan tentang posisi kasus pengampuan anak dalam putusan perkara Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/Pa Dpk, mencakup profil Pengadilan Agama Depok, posisi kasus dan putusan hakim Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/pa Dpk. Bab Keempat, adalah bab yang menguraikan tentang analisa atas putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 16/pdt.p/2007/pa Dpk, mencakup pertimbangan hakim dalam putusan perkara, putusan hakim dalam tinjauan tata hukum di Indonesia, analisa putusan hakim perspektif hukum Islam. Bab Kelima adalah Penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran yang diberikan penulis.
BAB II PERWALIAN/ PENGAMPUAN ANAK DALAM FIKIH DAN TATA HUKUM DI INDONESIA
A. Pengertian dan Cakupan Perwalian dalam Hukum Islam Seyogyanya, seorang anak menjadi tanggungjawab kedua orang tua, baik dari sisi pemeliharaan, pendidikan, ataupun pemenuhan kebutuhan yang lain sampai ia dewasa. Dalam hal inilah, menurut konsep hukum Islam, terdapat istilah hadhanah yang berarti merawat dan mendidik anak yang belum mumayyiz atau kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan keperluannya. 1 Mengutip dari Abd. Rahman Ghazali, wali memiliki arti yang beragam, yaitu: 1. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa 2. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah, yaitu yang melakukan janji nikah dengan mengantin laki-laki. 3. Kepala pemerintah. 2 Kata wali terdiri dari tiga huruf, yaitu: waw, lam, dan ya’. Dari sini kemudian berkembang makna-makna baru, seperti: pendukung, pembela, pelindung, yang
1
Amiur Nurruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2006), cet. III, h. 293. 2
Abd. Rahman Ghazalia, Fiqh Munakahat, (Jakarta Prenada Media, 2003), h. 165
12
13
mengurus, yang menguasai, yang mencintai, lebih utama, teman, anak paman (sepupu), tetangga. Kata yang terdiri dari tiga huruf ini juga sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang bertentangan, yaitu menjauh atau berpaling. Pun juga sering diartikan dengan penguasa. 3 Adanya konsep perwalian/pengampuan ini berangkat dari suatu ketetapan bahwa seseorang yang hendak melakukan suatu tindakan hukum harus berkuasa (mempunyai wilayah) atas suatu akad, sehingga ia mampu untuk melaksanakan hukumnya. Kekuasaan seseorang tersebut, baik karena ia sebagai pemangku/pemilik akad tersebut dan memiliki ahliyyah, sehingga ia mampu pula untuk melakukan tindakan hukum atas dirinya sendiri, atau pun karena ia menjadi wakil (nai`ban) seseorang ataupun menjadi wakil (wakilan) dalam suatu akad. 4 Menurut Abu Zahrah, kekuasaan seseorang (wilayah) tersebut terbagi menjadi dua, yaitu perwalian qashirah dan perwalian muta’addiyah. Wilayah al-qashirah adalah ketiak seseorang mampu untuk melaksanakan tindakan hukum atas dirinya sendiri, yaitu ketika terpenuhi semua syarat dan rukunnya, sementara wilayah almuta’addiyah adalah ketika seseorang tidak mampu menjalankan tindakan hukum dan harus diwakilkan kepada seseorang. 5 Untuk itu, wilayah al-muta’addiyah terbagi menjadi dua, yaitu perwalian atas harta benda dan perwalian atas diri (manusia) yang 3
Muhammad Qurash Shihab, “Wali dan Kewalian Perspektif al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, Vil. II, Nomor 1 Tahun 2007, h. 9. 4
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1950), h. 107
5
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 108.
11
14
sering terjadi dalam pernikahan. Hal senada juga dikemukakan oleh Asaf A.A. Fyzee, bahwa perwalian terbagi menjadi perwalian atas orang, perwalian atas harta benda dan perwlaian dalam perkawinan. 6 Sementara terkait dengan pengampuan, dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-hajr. Al-harju terbatas pada tindakan hukum, baik dalam ucapan ataupun tindakan, seseorang yang berada dalam pengampuan, baik karena safih (bodoh), masih anak-anak, kegilaan, atau karena lilitan hutang. 7 Al-hajru pada asalnya berarti menghalangi. Dengan demikian, al-harju
berarti menghalangi seseorang untuk
melakukan tindakan hukum berupa akad atau interaksi lain yang berbentuk ucapan. 8 Ada beberapa ayat yang mendasari perwalian dalam Islam, di antaranya adalah QS. Al-Baqarah ayat 282, yang berbunyi:
⌧
…
☺ ☺
(٢٨٢ :… )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: ....Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.... (QS. Al-Baqqarah/2: 282)
6
Asaf A.A. Fyzee, Pokok Hukum Islam I, penerjemah Arifin Bey, (Jakarta: Tintamas, 1959),
7
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 437.
h. 259
8
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), cet. II, h. 214
15
Selain itu, terdapat pula firman Allah SWT dalam surat al-Nisa’/4 ayat 5 dan 6, yang berbunyi:
⌧ ☺ ☺
.
⌧
⌧
⌧ ☺ ( ٦-۵ :)اﻟﻨﺴﺎء
⌧
⌧
Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu)
16
bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (QS. Al-Nisa’/4: 5-6) Menurut Ahmad Rafiq, beberapa ayat di atas menunjukkan peran, kewajiban dan hak-hak wali terhadap anak dan harta yang di bawah perwaliannya. Selain berbicara tentang seseorang yang tidak mampu secara akal (terutama seseorang yang berhutang), ayat-ayat tersebut di atas juga mengisyaratkan suatu ketetapan bahwa anak-anak yatim tidak boleh mentransaksikan hartanya sendiri, kecuali oleh seseorang yang bertindak sebagai wakil atau walinya. 9 Abdul Wahab Khalaf juga menyebutkan, QS. Al-Nisa’/4 ayat 5 dan 6 di atas menunjukkan bahwa Allah melarang untuk menyerahkan harta benda kepada seseorang yang belum sempurna akalnya (sufaha’), karena pemberian tersebut hanya akan menyebabkan kehilangan atau kerusakan harta tersebut. Pun demikian jika suatu hubungan bisnis atau perniagaan, hendaknya tetap dipegang oleh walinya, yang menjualbelikan harta tersebut. 10 Penetapan tersebut bukannya tanpa alasan. Sebagaimana dikemukakan pula oleh Abdul Wahaf Khalaf, bahwa dalam pensyariatan perwalian ini terdapat hikmah tasyri’ di dalamnya. Bahwa jika seseorang yang dalam kondisi lemah atau kurang sempurna akalnya, ia tidak akan mampu untuk menilai sesuatu dan tidak akan nampak gambaran ridha atau tidaknya. Orang yang kurang akalnya sama saja dengan
9
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), cet. IV, h.
260. 10
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 215.
17
orang yang kurang waras, sementara anak kecil tidak akan bisa memilih dan menentukan suatu kemaslahatan. Maka itu, dengan pertimbangan dan kemashlahatan tersebut, Syariat Islam tidak membolehkan (melarang) keduanya untuk melakukan tindakan hukum. Pelarangan tersebut hanya untuk menjaga dan melindungi keduanya dari suatu bahaya atau kecelakaan. 11 Untuk itu, beberapa aspek yang berkaitan dengan siapa saja yang harus diwalikan dalam tindakan hukum akan dijelaskan berikut ini: 1. Anak Kecil Belum
dewasa
menjadi
salah
satu
sebab
seseorang
dalam
pengampuan, sehingga ia tidak boleh untuk melakukan tindakan hukum. Hal ini didasarkan pada suatu alasan bahwa anak kecil masih dianggap lemah, belum sempurna akal dan pelaranannya, sementara dalam perjanjian atau interaksi hukum yang menjadi dasar adalah pertimbangan akal dan keridhaan. Jika tidak terdapat akal atau kurang akalnya, maka hilanglah keharusan transaksi tersebut. Para ulama mazhab sepakat bahwa wali anak kecil adalah ayahnya, sedangkan ibunya tidak mempunyai hak perwalian, kecuali beberapa mazhab Syafi’i. Imamiyyah dan Syafi’i menyatakan bahwa seorang anak yang telah mencapai usia sepuluh tahun, wasiatnya dalam hal kebajikan dan kebaikan
11
Ibid., h. 215.
18
dinyatakan sah. Beberapa ulama Imamiyyah pun menyatakan thalak yang dilakukan oleh anak seumur 10 tahun pun sah. 12 Anak kecil tersebut pun terbagi menjadi dua, yaitu anak kecil yang betul-betul belum memiliki ahliyyah dan anak kecil yang tidak hilang sepenuhnya ahliyah-nya. Hal ini dasarkan pada usia anak tersebut dan kemampuannya untuk membedakan mana yang baik atau yang buruk (mumayyiz). Anak yang belum mencapai mumayyiz, menurut Abu Zahrah minimal adalah kurang dari tujuh tahun, maka ia kehilangan secara penuh ahliyahnya. Sementara anak yang telah mencapai usia mumayyiz atau ia telah lebih dari tujuh tahun, maka ia tidak kehilangan secara penuh ahliyahnya, tetapi dalam kondisi kurang. Dalam hal-hal tertentu, anak tidak kehilangan secara penuh ahliyahnya (atau yang telah mencapai mumayyiz) dapat melakukan tindakan hukum, terkhusus pada hal-hal yang bermanfaat baginya dan tidak ada bahaya. 13 Terkhusus untuk anak kecil yang telah mumayyiz ini, para ulama fikih berbeda pendapat. Menurut kalangan Hanafi, sah hukumnya, meski tanpa seizing wali, asalkan sesuatu yang bermanfaat, seperti menerima hibah, 12
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masykur AB, dkk, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 684. 13
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 440; Menurut Muhammad Jawad alMughniyyah, Al-shabiyyi al-mumayyiz, seorang anak yang telah mampu membedakan mana yang berbahaya dan mana pula yang bermanfaat dan pengertian umum, mana yang disebut jual beli, mana yang disebut dengan sewa menyewa dan mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 265.
19
wasiat, dan wakaf tanpa penggantian. Namun dalam hal jual beli,maka tidak sah kecuali dengan izin walinya. Mazhab Hanbali menyatakan bahwa sah jika mendapatkan izin wali, sedangkan yang belum mumayyiz, sah jika dalam urusan yang remeh, sekalipun tidak memperoleh izin dari wali, seperti membeli permen dan barang-barang lain yang biasa dibeli oleh anak kecil. Mazhab Syiah Imamiyyah dan mazhab Syafi’i mengatakan, bahwa semua bentuk mualamah anak kecil secara keseluruhan tidak disyariatkan. Baik itu yang penting, seperti jual beli, ataupun urusan-urusan yang remeh. 14 2. Safih Safih adalah seseorang yang tidak baik dalam membelanjakan (bertransaksi) hartanya atau pemeliharaannya, atau menginfakkan hartanya pada sesuatu yang tidak layak untuk disedekahkan. Pengampuan atas seseorang yang dinyatakan safih ini menjadi kesepakatan Jumhur Ulama. 15 Kesafihan dapat saja menyatu dengan kepandaian dan akal. Safih adalah orang yang tidak cakap mengelola harta dan membelanjakan secara baik, baik dia mempunyai kecakapan tetapi tidak digunakan ataupun karena betul-betul tidak memiliki kecakapan. 16
14
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 265.
15
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 451.
16
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 288.
20
Selain itu, terdapat pula orang yang selalu lalai dalam hartanya. Orang yang lalai tersebut sama statusnya dengan safih, yaitu karena keburukannya dalam mengatur dan memelihara hartanya. Perbedaannya adalah bahwa pada safih terkadang masih terdapat pikiran dan akal, namun secara alamiah ia cenderung merusak hartanya tersebut. Sementara pada seseorang yang lalai, ia tidak cenderung merusak hartanya tetapi bodoh dan tidak perhatian. 17 3. Orang Gila Orang gila dilarang menggunakan hartanya berdasarkan nash dan ijma, baik gila itu akut ataupun temporal. Gila secara temporal dan ia menggunakan hartanya dalam kondisi sadara/sehat, maka akadnya sah. Hal ini didasarkan pada bahwa berakal sehat adalah salah satu syarat syahnya hubungan muamalah. Orang yang tidak sadar dan mabuk, hukumnya sama dengan orang gila. Namun jika seorang gila tersebut berhubungan badan dengan perempuan dan hamil, anaknya masih tetap dinasabkan kepada bapaknya, karena terhitung persetubuhan syubhat. 18 4. Orang yang Berhutang Dalam Islam, jika seseorang yang berhutang tidak mau membayar hutangnya atas dasar kesengajaan, maka orang yang dihutangi (al-da’in) boleh
mengajukan
ke
pengadilan
dan
memperkarakannya,
17
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h. 451.
18
Muhammad Jawad al-Mughniyyah, Fiqh Lima MAzhab,h. 283.
karena
21
memperpanjang hutang adalah kezhaliman. Namun demikian, menurut Abu Zahrah, para fuqaha bersepakat bahwa seseorang yang berhutang berhak atas pengampuan dan jualbelikan hartanya. Pendapat Jumhur ini berbeda dengan Abu Hanifah. Menurut Abu Hanifah, meskipun berada dalam pengampuan, orang yang bertindak sebagai pengampu tidak boleh menjualbelikan hartanya orang yang berhutang. Pengampuan ini terjadi ketika hutang yang dimiliki seseorang tersebut telah menutupi (seukuran) semua hartanya dan pengampuan itu pun harus ditetapkan oleh pengadilan. 19
B. Urutan Perwalian Anak Menurut Fikih dan Syarat-syaratnya Menurut Asaf A.A. Fyzee, dalam hukum Sunni, bapak adalah wali dari anak yang belum dewasa dalam hal harta benda. Jika bapak tidak mungkin untuk melakukankkannya, baik karena telah meninggal dunia atau karena halangan lain, sehingga hilang ahliyah-nya, maka orang-orang yang berhak untuk menjadi wali, dengan urutannya, adalah: penyelenggara (eksekutor) hak-hak bapak, bapak dari bapak (kakek anak tersebut), dan penyelenggara dari hak-hak kakek tersebut. 20 Menurut A.A. Fyzee pula, harus diakui bahwa dalam hukum Islam, terutama Sunni, tidak mengenal adanya perwalian untuk keluarga selain ayah, seperti ibu,
19
Ibid., h. 155; lihat pula, Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariah al-Islamiyyah, h. 216-218. 20
Asaf A.A. Fyzee, Pokok-pokok Hukum Islam, h. 264-25
22
paman ataupun saudara laki-laki, untuk bertindak sebagai wali yang sah. Namun, karena berbagai pertimbangan dan kemashalahan, mereka dapat menjadi wali dengan diangkat oleh suatu Mahkamah atau Pengadilan. 21 Namun, dalam hal demikian Asaf mengkategorikan bentuk perwalian tersebut menjadi dua, yaitu wali secara de facto dan wali secara de jure. Wali de facto adalah mereka yang merasa sanggup untuk mengemban tanggungjawab sebagai wali dan mengajukan permohonan kepada Mahkamah. Dengan demikian, orang tersebut mampu menjadi pelaksana dan penanggungjawab atas harta benda seorang anak tersebut. Wali de facto ini hanyalah bertindak sebagai wali atas perseorangan atau harta benda seorang yang belum dewasa dan tidaklah mempunyai hak apapun juga, melainkan sebaliknya mempunyai kewajiban-kewajiban. 22 Sebagaimana diutarakan di atas, seseorang yang tergolong anak kecil, orang gila atau kurang waras, maka tidak berhak untuk melakukan tindakan hukum (almahjur). Maka itu, senada dengan apa yang dinyatakan oleh Asaf A.A. Fyzee di atas, menurut Abdul Wahab Khalaf, tindakan hukumnya harus dilakukan oleh salah satu dari enam orang yang secara berurutan (tartib) adalah: ayah, orang yang diberi wasiat oleh ayah (eksekutor), kakek, orang yang diberi wasiat oleh kakek (eksekutor), seorang qhadi/ hakim ataupun seseorang yang diberikan wasiat oleh qhadi/hakim
21
Ibid., h. 265.
22
Ibid., h. 166.
23
tersebut. 23 Eksekutor yang dimaksud oleh Asaf A.A. Fize di atas adalah orang yang diwasiatkan adalah orang yang dipilih oleh bapak untuk menjadi wali dari anak sebagai penggantinya (bapak) setelah kematiannya. Perwalian ini hanya terbatas pada pemeliharaan dan perlindungan atas harta saja. 24 Dalam konteks seseorang yang safih atau lalai, maka perwaliannya berada pada tangan hakim, serta seseorang yang nantinya akan ditunjuk oleh hakim, meskipun bapak atau kakeknya ada. Perwalian ini sampai kesafihannya hilang dan sehat. Dengan pendapat dari Ibnu Abidin dalam al-Durr al-Mukhtar, Abu Zahrah menyebutkan bahwa hukum seseorang yang safih dan lali ini sama dengan hukum anak kecil (yang belum baligh) tetapi telah mencapai usia mumayyiz. Hanya saja, yang membedakannya adalah bahwa bapak dan kakeknya tidak boleh menjadi walinya kecuali hakim. Alasannya adalah karena seorang yang safih atau lalai, telah dianggap dewasa, sehingga hilang hak perwalian seorang ayah atau kakek. Kecuali, jika ia ternyata gila atau tidak waras, maka perwalian kembali kepada ayah atau kakeknya, seperti halnya anak kecil.25 Sementara bagi anak kecil, atau orang yang terhukumi sama, seperti orang gila atau kurang waras, maka kewaliannya tetap berada pada wali seperti yang disebutkan di atas, yaitu bapak, orang yang diberi wasiat (eksekutor), kakek, ataupun
23
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
24
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 224.
25
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 465.
24
orang yang diberi wasiat oleh kakek (eksekutor). 26 Sementara menurut mazhab Maliki, hak perwalian hanya ada pada bapak anak tersebut dan orang yang diberikan wasiat, serta pada hakim atau yang diberikan wasiat oleh hakim. 27 Dalam pandangan mazhab Maliki, yang juga diikuti oleh Hanbali (mazhab Imam Ahmad bin Hanbal), seorang kakek tidak masuk dalam urutan perwalian setelah bapak. Jika pun hakim yang menentukan perwaliannya, maka posisinya tidak sebagai wali de jure (menggunakan istilah Asaf A.A. Fyzee). Dalam pernikahan kakek tidak berhak atas perwalian anaknya, maka dalam hal harta benda pun demikian. Mazhab Syafi’i berpandangan seperti yang disebutkan di atas, bahwa urutan wali adalah bapak, kakek, dan orang yang diberikan wasiat.
Maka itu,
menurut pandangan mazhab Syafi’i, ketika bapak tidak ada, maka perwalian secara otomatis jatuh kepada kakek. Hal ini didasarkan pada kedekatan hubungan keduanya. 28 Selain mazhab Syafi’i, pendapat yang mirip juga dikemukakan oleh ahli hukum dari mazhab Hanafi, bahwa perwalian berada pada bapak, orang yang diberi wasiat, kakek dan orang yang diberi wasiat oleh kakek. Berbedaan keduanya, Syafi’i memposisikan orang yang diberikan wasiat di belakang kakek, sedangkan Syafi’i
26
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
27
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 466.
28
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 466.
25
memposisikannya tepat di belakang bapak. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa bapak adalah lebih cocok dan tahu dengan kondisi anak tersebut. Ada beberapa syarat dalam perwalian, terutama orang yang menjadi wali dalam urusan harta benda. Di antaranya adalah syarat umum, seperti sempurna ahliyyah-nya (kemampuan untuk bertindak hukum), berakal, baligh, merdeka, kesamaan agama antara wali dan orang yang berada dalam pengampuan (kecuali jika hakim, maka tidak diharuskan adanya kesamaan agama). 29 Seorang bapak yang berhak menjadi wali bagi anaknya adalah yang diketahui adil (‘adalah) dan tidak pula terindikasi keadilannya tersebut hilang. Jika seorang bapak tersebut adil, maka anak-anak, baik yang laki-laki atau perempuan, yang ada dalam pemeliharaannya atau dalam pemeliharaan orang lain. Jika seorang bapak tersebut kurang baik dalam mengurus harta dan buruk akalnya, ia tetap berhak atas pemeliharaan harta anaknya tersebut, namun tidak semutlak bapak yang adil. Suatu bisnis atau perniagaan yang boleh dilakukan hanyalah perniagaan yang jelas-jelas menguntungkan dan jelas manfaatnya bagi anak tersebut. Namun jika jelas-jelas bapak tersebut menyia-nyiakan atau menghambur-hamburkan harta anaknya tersebut, maka hendaknya perwalian atasnya digantikan dengan orang lain, seperti halnya orang yang tidak mempunyai bapak. 30
29
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
30
Ibid., h. 223.
26
Dari beberapa uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam hukum Islam, terutama seperti yang diutarakan oleh empat imam mazhab, yang paling berhak atas perwalian dalam hal harta benda adalah bapak. Jika bapak tidak ada, dalam pandangan fikih, terjadi perbedaan. Menurut Hanafi, jatuh kepada orang yang diberikan wasiat oleh bapak, kemudian kepada kakek, dan terakhir pada orang yang diberi wasiat oleh kakek. Syafi’i, ketika tidak ada bapak langsung pada kakek. Sementara mazhab Maliki dan Hanbali menyebutkan bahwa kakek tidak berhak untuk menjadi wali. Selain itu, dalam hukum Islam, seorang hakim atau qhadi berhak pula atas perwalian, terutama bagi mereka yang safih atau lalai. Perwalian ini juga boleh dilimpahkan hakim kepada seseorang yang dipercayainya.
C. Perwalian Anak dalam Tata Hukum di Indonesia: Tinjauan KHI, Undangundang Perkawinan dan Hukum Perdata (BW) Dalam Pasal 1 huruf h Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 31 Menurut Ahmad Rafiq, dari pengertian tersebut, wali adalah orang yang diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum demi kepentingan anak
31
Lihat Pasal 1 huruf h Inpres Nomor 1 Tahun 1991tentang Kompilasi Hukum Islam.
27
yang tidak memiliki kedua orang tua atau karena orang tuanya tersebut tidak cakap melakukan tindakan/perbuatan hukum. 32 Perwalian dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 diuraikan dalam satu bab, yaitu Bab XV. Dalam Pasal 107 Bab ini disebutkan, bahwa: (1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. (2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya. (3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut. (4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum. 33 Selain itu, disebutkan pula, bahwa orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia, 34 atau Pengadilan Agama juga dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. 35
32
A. Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 258.
33
Lihat, Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
34
Pasal 108 Kompilasi Hukum Islam
35
Pasal 109 Kompilasi Hukum Islam
28
Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ini juga dikemukakan tentang kewajiban seseorang atau badan hukum yang diberi kekuasaan oleh Pengadilan untuk menjadi wali. Di antara kewajiban tersebut adalah: (1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya. (2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan. (3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya. 36 (4) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah. 37 Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili
perselisihan antara
wali
dan
orang
yang
berada
di
bawah
perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya. 38 Namun jika perwalian tersebut belum usai, dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wali dapat mempergunakan harta
orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang
36
Pasal 110 Kompilasi Hukum Islam
37
Pasal 111 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
38
Pasal 111 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
29
diperlukan untuk kepentingannya sesuai dengan kebutuhan atau bi al-ma`ruf seandainya wali tersebut fakir. 39 Perwalian dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahunm 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam selaras dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan, meskipun dengan sedikit perbedaan. Jika dalam Kompilasi Hukum Islam ukuran dewasa adalah di bawah 21 tahun, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan disebutkan seseorang yang masih terkategori anak dan berhak atas perwalian adalah yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. 40 Selain itu, dalam Undang-undang ini juga disebutkan bahwa perwalian terjadi karena beberapa hal, di antaranya: 1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi. 2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. 41
39
Pasal 112 Kompilasi Hukum Islam
40
Lihat Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Perkawinan.
41
Pasal 51 Undang-undang Perkawinan
30
Dalam hal kewajiban pun antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam relatif tidak terdapat perbedaan signifikan. 42 Yang agar berbeda hanya pada ayat 1 Pasal 51 Undang-undang Perkawinan, di mana disebutkan bahwa wali berkewajiban mengurus anak yang berada di bawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu. Selebihnya, antara keduanya tidak terdapat perbedaan, di mana wali berkwajiban mengurus dan memelihara harta benda anak tersebut. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan juga ditetapkan tentang larangan bagi wali. Dalam Pasal. 52 UU No.1 tahun 1974 menyatakan terhadap wali berlaku pasal 48 Undang-undang ini, yakni orang tua dalam hal ini wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa. Demikian halnya Pasal 53 UU No.1 tahun 1974 menyebutkan wali dapat dicabut dari kekuasaannya, yaitu dalam hal: 1. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwalian tersebut. 2. Wali berkelakuan buruk sebagai walinya. Apabila kekuasaan wali dicabut maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai
42
wali (pasal 53 (2) UU No.1 tahun 1974). Dalam hal apabila wali
Dalam Undang-undang Perkawinan, kewajiban wali diatur dalam Pasal 51.
31
menyebabkan kerugian pada si anak maka menurut ketentuan pasal 54 UU No.1 tahun 1974 menyatakan, wali yang telah menyebabkan kerugian pada harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut. Perwalian juga diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang disingkat dengan KUHPer. Perwalian dalam KUHPer disebut juga dengan Pengampuan atau curatele. Pengamuan berarti suatu daya upaya hukum untuk menempatkan seseorang yang belum dewasa menjadi sama dengan orang yang dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus, pengampunya disebut curator, dan pengampuannya disebut curatele. 43 Dalam Pasal 433 KUHPer disebutkan: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan. 44 selain itu, disebutkan pula dalam pasal 330 ayat (3), bahwa: “Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.
43
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 26. 44
Pasal 433 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
32
Dalam hal ini, terdapat persamaan antara apa yang termaktub dalam Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kemudian dalam Pasal 462 KUHPer disebutkan lagi, bahwa: Seorang anak belum dewasa yang berada dalam keadaan dungu, gila atau gelap mata, tidak boleh ditempatkan di bawah pengampuan, tetapi tetap berada di bawah pengawasan bapaknya, ibunya atau walinya. 45 Selanjutnya, dinyatakan pula dalam KUHPer, bahwa setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri. 46 Jika disistematisasi, perwalian dalam KUHPer terbagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Perwalian oleh bapak atau ibu yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai pasal 354 KUHPerdata. Pasal 345 KUH Perdata menyatakan : ”Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum
45
Pasal 462 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
46
Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
33
dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuanya.” 47 2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri. Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa : “Masing-masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain” 48 Dengan kata lain, orang tua masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka. 3. Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Pasal 359 KUH Perdata menentukan: “Bila anak belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua dan yang perwaliannya sebelumnya tidak diatur dengan cara yang sah, Pengadilan Negeri harus mengangkat seorang wali, setelah mendengar atau memanggil dengan sah para keluarga sedarah dan semenda.” 49 Pengampuan ini terjadi karena adanya keputusan hakim yang didasarkan pada adanya permohonan pengampuan. 50 Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan
47
Pasal 345 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
48
Pasal 355 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
49
Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
50
.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata di Indonesia, h. 27.
34
pengampuan, sebagaimana tertera dan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, adalah sebagai berikut: 1. keluarga sedarah terhadap keluarga sedarahnya, dalam hal keadannya dungu, sakit ingatan, atau mata gelap (Pasal 434 ayat 1 KUHPer). 2. Keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh keluarga semenda dalam garis menyimpang sampai derajat keempat, dalam hal karena keborosannya (Pasal 434 ayat 2 KUHPer) 3. Suami atau isteri boleh meminta pengampuan akan isteri atau suaminya (Pasal 434 ayat 3 KUHPer) 4. Diri sendiri, dalam hal ia tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri (Pasal 434 ayat 4 KUHPer) 5. Kejaksaaan dalam hal gelap mata, keadaannya dungu, sakita ingatan (Pasal 435 KUHPer). Selain itu, dalam hukum perdata juga diatur bagaimana akibat hukum seseorang yang berada dalam pengampuan. Akibat hukum tersebut, bahwa orang yang berada dalam pengampuan sama dengan orang yang belum dewasa. 51 Selain itu, diatur pula bahwa setiap perbuatan orang yang berada dalam pengampuan batal demi hukum. 52 Namun kedua hal ini terdapat pengecualian, yaitu seseorang yang berada dalam pengampuan karena boros, masih boleh membuat surat wasiat, sebagaimana
51
Pasal 452 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
52
Pasal 446 ayat 2 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
35
diatur dalam Pasal 446 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pun demikian disebutkan dalam Pasal 446 ayat 3 KUHPer, orang yang dinyatakan dalam pengampuan karena boros tersebut dapat melangsungkan pernikahan dan membuat perjanjian kawin yang dibantu oleh pengampunya.
BAB III POSISI KASUS PENGAMPUAN ANAK DALAM PUTUSAN PERKARA NOMOR 16/Pdt.p/2007/PA DPK
A. Kewenangan Pengadilan Agama dan Bentuk Keputusan 1. Profil Pengadilan Agama di Indonesia Peradilan Agama merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang. Kekuasaan kehakiman di Pengadilan Agama meliputi beberapa hal, di antaranya adalah: a. Pengadilan Agama (Pengadilan Tingkat Pertama) b. Pengadilan Tinggi Agama (Pengadilan Tingkat Banding) Peradilan agama juga memiliki Pengadilan khusus, yaitu di Nangroe Aceh Darussalam, yaitu Mahkamah Syariah (Pengadilan Tinggkat Pertama) dan Mahkamah Syariah Provinsi (Pengadilan Tingkat Banding). Kekuasaan kehakiman Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung. 1 Peradilan Agama memiliki visi, yaitu: Terwujudnya putusan yang adil dan berwibawa, sehingga kehidupan masyarakat menjadi tenang, tertib, dan damai, di bawah lindungan Allah SWT. Sementara misi yang diemban oleh
1
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Profil Peradilan Agama, (Jakarta: Dirjen Peradilan Agama, 2006), h. 2.
35
36
Peradilan Agama adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan Perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam Indonesia, di bidang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah,. Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Ekonomi Syariat secara cepat, sederhana dan biaya ringan. 2 Selain itu, wewenang khusus yang dimiliki oleh Mahkamah Syariah di Aceh memiliki kewenangan yang lebih luas, yaitu meliputi al-Ahwal alSyakhsiyyah (hukum keluarga), Mu’amalah, dan Jinayat (hukum pidana Islam), yang diatur secara rinci dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001dan Qanun Nangroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002. 2. Kewenangan Pengadilan Agama dalam Perwalian Dalam sejarah hukum Islam di Indonesia, terutama setelah masa kemerdekaan, secara resmi Peradilan Agama mengalami dua kali perubahan dalam kewenangan absolutnya. Pertama adalah ketika diundangkan Undangundang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama dan kedua ketika Undang-undang ini direvisi dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
2
Direktoral Jenderal Badan Peradilan Agama, Profil Peradilan Agama, h. 3; Lihat pula, Pasal 52Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
37
Pengadilan Agama di Indonesia memiliki beberapa tugas pokok, di antaranya
adalah
kewenangan
mengadili,
memberikan
keterangan,
pertimbangan, dan nasehat hukum Islam kepada instansi pemerintah. Kewenangan lain yang ditetapkan oleh Undang-undang adalah untuk Pengadilan Tinggi Agama, yaitu berwenang untuk mengadili dalam tingkat banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif serta mengawasi jalannya persidangan. 3 Adapun kompetensi absolut atau batasan yang ditentukan oleh bidang yurisdiksi yang dilimpahkan Undang-undang bagi Pengadilan Agama tercantum dalam Pasal 49 Ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan ditambah Pasal 49 dan 50 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama Republik Indonesia, disebutkan: (1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah.
3
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama: Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 133.
38
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undangundang mengenai perkawinan yang berlaku. (3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masingmasing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. 4 Mengacu kepada Pasal tersebut di atas, dapat dimengerti bahwa Pengadilan
Agama
memiliki
kewenangan
khusus,
terutama
dalam
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Terkait dengan kewenangan dalam perkawinan, dijelaskan pula dalam Penjelasan Undangundang Nomor 7 Tahun 1989, yaitu beberapa hal terkait dengan: izin beristeri lebih dari satu, izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dan dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus berbeda pendapat, dispensasi perkawinan, penolakan kawin oleh Pegawan Pencatat Nikah, pembatalan perkawinan, gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri, perceraian karena talak, gugatan perceraian, penyelesaian harta bersama, mengenai kekuasaan anak-anak, ibu memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana bapak (yang seharusnya bertanggungjawab) tidak memenuhi kewajibannya, penentuan kewajiban
4
Pasal 49 Undang-undang Nomor Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
39
memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri. 5 Kemudian Pengadilan Agama juga berwenang untuk menangai putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak, putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, menunjuk seorang wali bagi seorang anak yang belum berumur 18 tahun, yang ditinggal kedua orang tuanya tanpa adanya penunjukan wali oleh seorang/kedua orang tuanya, pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali yang menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya, penetapan asal usul seorang anak, putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran, pernyatan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain. 6 Jika mengacu kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menurut Yahya Harahap, hampir semua perkara perkawinan
5
Lihat, Penjelasan pasal 49 ayat 2 Undnag-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; lihat pula, Padmo Wahjono, Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Depan, dalam Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 169 6
Lihat, Penjelasan pasal 49 ayat 2 Undnag-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; lihat pula, Padmo Wahjono, Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Depan, h. 169
40
masuk dalam kekuasaan Pengadilan Agama. Namun, ada suatu masalah yang tidak masuk, yaitu permasalahan perjanjian perkawinan. Menurutnya, hal ini tidaklah mengurangi jangkauan cakupannya yang telah meliputi segala aspek sengketa perkawinan. 7 Demikian pula kalau dihubungkan dengan fokus kajian dalam penelitian ini, ada beberapa perkara yang berkaitan, yaitu kewenangan Peradilan Agama dalam pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, menunjuk seorang wali bagi seorang anak yang belum berumur 18 tahun, yang ditinggal kedua orang tuanya tanpa adanya penunjukan wali oleh seorang/kedua orang tuanya, pembebanan kewajiban ganti rugi terhadap wali yang menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya. 8 Setelah terjadi revisi atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama ditambah dengan beberaoa perkara, yaitu zakat, infaq, dan ekonomi syariah. Pasal 49 Undangundang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama menyebutkan:
7
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 139.
8
Penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989.
41
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. 9 Selain itu, Undang-undang ini juga menetapkan peradilan agama yang menyelesaikan perkara-perkara tertentu, termasuk pidana Islam, yaitu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Mahkamah Syari'ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang. 10 Di dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam, sebetulnya telah ditetapkan terlebih dahulu bahwa Mahkamah Syariah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang a) ahwal al-Syakhsiyyah; b) mu’amalah, dan; c) jinayah. 11
9
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 10 11
Lihat Penjelasan Pasal 3 A Undnag-undang Nomor 3 Tahun 2006.
Pasal 49 Qanun Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. Qanun edisi lengkap dikutip dari Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi: Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Ciputat: Logos, 2003), h. 324.
42
3. Bentuk Putusan Pengadilan Agama Peradilan Agama memiliki dua bentuk keputusan sebagai produk yang dapat dijatukannya, yaitu penetapan dan putusan. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 57 ayat (2), Pasal 59 ayat (2), pasal 60, pasal 61, pasal 62, Pasal 63, dan pasal 64, serta yang ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 60 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 12 Menurut penjelasan Pasal 60 Undang-undang Peradilan Agama, penetapan adalah keputusan Pengadilan atas perkara “permohonan”, sehingga bentuk putusan sangat terkait dengan corak atau bentuk gugat. Dalam keputusan ini tidak ada sengketa, 13 sehingga, gugat permohonan, menurut Yahya Harahap, disederajatkan ekuivalensinya dengan keputusan penetapan, yang lazim disebut dengan beschiking secara umum. Putusan ini tidak mengikat siapapun, kecuali hanya berlaku pada diri pemohon saja. 14 Sementara keputusan Peradilan Agama yang lain, putusan, merupakan keputusan Pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa, 15 yang lazim disebut dengan gugatan contentiosa. Keputusan Pengadilan agama yang berbentuk putusan ini bersifat condemnatoir atau “menghukum” dan
12
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339.
13
Penjelasan pasal 60 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
14
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339.
15
Penjelasan pasal 60 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
43
eksekutorial atau “eksekusi”. 16 Dalam hal keputusan yang besifat memaksa ini, Pengadilan dapat menggunakan alat negara dalam melaksanakan eksekusi ketika pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela. 17
B. Profil Pengadilan Agama Depok 1.
Profil Pengadilan Agama Depok Pengadilan Agama Depok Kelas IB beralamat di Jalan Boulevard Sektor Aggrek Komplek Perkantoran Kota Kembang Grand Depok City Depok dan beroperasi pada alamat tersebut setelah diresmikannya gedung Pengadilan Agama Depok bersamaan dengan diresmikannya gedung Pengadilan Tinggi Agama Bandung pada tanggal 20 Februari tahun 2007 oleh Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, M.CL., di Jalan Soekarno Hatta 714 Bandung. 18 Pengadilan Agama Depok dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 tanggal 28 Agustus 2002 yang peresmian operasioanalnya dilakukan oleh Wali Kota Depok di Gedung Balai Kota Depok pada tanggal 25 Juni 2003 dan mulai menjalankan fungsi
16
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339.
17
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2004), cet. V, h. 313. 18
Pengadilan Agama Depok, Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/visi-dan-misi pada 27 Januari 2010.
44
peradilan sejak tanggal 01 Juli 2003 di Jalan Bahagia Raya No.11 Depok dengan menyewa rumah penduduk sebagai gedung operasionalnya. 19 Daerah
hukum
Pengadilan
Agama
Depok
adalah
meliputi
Pemerintahan Kota Depok sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 yang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2002 Pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa “Daerah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi wilayah Pemerintahan Kota Depok Propinsi Jawa Barat” Pengadilan Agama Depok yang daerah hukumnya meliputi Wilayah Pemerintahan Kota Depok yang terdiri dari ( sebelum pemekaran adalah 6 Kecamatan dengan 60 Kelurahan) 11 Kecamatan dengan 64 Kelurahan dengan mayoritas penduduk beragama Islam, dengan beban kerja rata-rat tiap bulan 162 perkara. Dalam melaksanakan tugasnya Pengadilan Agama Depok didukung dengan kekuatan pegawai sebanyak 38 Orang dan secara formal pelaksanaan tugas Pengadilan Agama Depok harus dipertanggung jawabkan dalam bentuk laporan ke Pengadilan Tinggi Agama Bandung selaku atasan. 20 Pengadilan Agama Depok sesuai dengan tugas dan kewenangannya, yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, warisan dan wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh dan
19
Pengadilan Agama Depok, Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok.
20
Pengadilan Agama Depok, Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok.
45
ekonomi syari’ah dan tugas dan kewenangan lain yang diberikan oleh atau berdasarkan Undang-undang. 21 2. Visi dan Misi Peradilan Agama Depok Tentang visi dan misi yang menjadi pedoman Pengadilan Agama Depok adalah visi dan misi Mahkamah Agung. Visi Mahkamah Agung adalah menjadi lembaga peradilan yang mandiri, efektif, efisien, serta meraih kepercayaan publik, profesional dan memberikan pelayanan hukum yang berkualitas, etis terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat dan mampu menjawab panggilan pelayanan publik. 22 Sementara misi yang diemban oleh Mahkamah Agung dan menjadi pedoman pula oleh Pengadilan Agama Depok adalah: 1. Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan Peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. 2. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen 3. Memperbaiki akses pelayanan publik di bidang peradilan pada masyarakat. 4. Memperbaiki kualitas internal pada proses peradilan
21
“Profil Pengadilan Agama Depok”, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/profil-pa pada 27 Januari 2010. 22
Visi dan Misi Pengadilan Agama depok.go.id/portal/visi-dan-misi pada 27 Januari 2010.
Depok,
diakses
dari
http://www.pa-
46
5. Mewujudkan institusi peradilan yang efektif dan efisien, bermartabat serta dihormati. 6. Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan. 23 Berlandaskan pada visi dan misi yang dikembangkan oleh Mahkamah Agung ini, Pengadilan Agama Depok mempunyai visi, yaitu: Mewujudkan Peradilan Agama yang berwibawa dan bermartabat, serta terhormat dalam menegakkan hukum untuk menjamin keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat. Sementara misi Pengadilan Agama adalah, sebagai berikut: 1.
Meningkatkan pelayanan penerimaan perkara.
2. membuka akses publik seluas-luasnya. 3. mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat dan biaya ringan 4. mewujudkan putusan/penetapan yang memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum, dan dapat dilaksanakan (eksekutabel). 5. meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. 6. meningkatkan pelaksanan pengawasan terhadap kinerja dan perilaku aparat Pengadilan agar berlaku jujur dan berwibawa serta agar Peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya. 24
23
Ibid.
47
3. Wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Depok Wilayah hukum Pengadilan Agama Depok meliputi Wilayah Kota Depok. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6° 19’ 00” – 6° 28’ 00” Lintang Selatan dan 1° 60 43’ 00” - 160° 55’ 30” Bujur Timur. Secara geografis, Kota Depok berbatasan langsung dengan Kota Jakarta atau berada dalam lingkungan Jabodetabek. 25 Bentang alam kota Depok dari Selatan ke Utara merupakan daerah dataran rendah – perbukitan bergelombang lemah, dengan elavasi antara 50 – 140 meter di atas permukaan laut dan kemiringan lerengnya kurang dari 15%. Kota Depok sebagai wilayah tertunda di Jawa Barat, mempunyai luas sekitar 200,29 km². Kondisi geografis dialiri oleh sungai-sungai besar, yaitu sungai Ciliwung dan Cisadane, serta 13 sub satuan wilayah aliran sungai. Di samping itu, terdapat pula 25 Situ. Data luas Situ pada pada tahun 2005 sebesar 169,68 Ha, dengan kualitas air rata-rata buruk akibat tercemar. Kondisi topografis berupa dataran rendah bergelombang dengan kemiringan lereng yang landai menyebabkan masalah banjir di beberapa wilayah, terutama kawasan
24 25
Ibid.
“Peta Yuridiksi Pengadilan Agama Depok”, depok.go.id/portal/yuridiksi-pa pada tanggal 27 Januari 2010
diakses
dari
http://www.pa-
48
cekungan antara beberapa sungai yang mengalir dari Selatan menuju Utara: Kali Angkek, Sungai Ciliwung, Sungai Pesanggrahan, dan Kali Cikeas. 26
C. Posisi Kasus Atau Duduk Perkara Kasus pengampuan anak ini berawal pada tanggal 8 Maret 2007 di Pengadilan Agama Depok. Pada tanggal tersebut, terlah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Depok Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA DPK tanggal 9 Maret 2007. Adapun posisi atau permasalahan dalam permohonan ini adalah tentang tiga orang anak, masing-masing bernama Yusi Suharyono berumur 12 tahun (berinisial YS), Jelita Listia, berumur 7 tahun (berinisial JL), dan Wulandari Agustin, berumur 4 tahun (berinisial WA), yang hendak diwalikan oleh Pemohon berinisial SO. 27 YS telah bersekolah di tingkat SMP, JL di tingkat SD, sementara WA belum memasuki jenjang pendidikan sama sekali. Jauh sebelum ketiga anak ini dilahirkan, kedua orang tua anak tersebut (masing-masing bernama Bambang Sunaryo bin Kabar (inisial BS) dan Silistiyowati binti Sutarmin (inisial SS) tersebut telah melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pasar Rebo, jakarta Timur, Kutipan Akta Nikah Nomor: 453/59/X/1994, tanggal 17 Okotober
26 27
Ibid.
Untuk nama sengaja dirahasiakan oleh Pengadilan Agama Depok, sehingga penulis pun, untuk tulisan selanjutnya, tidak mencantumkan nama asli pihak-pihak yang bersangkutan dalam Putusan ini, kecuali hanya inisial saja.
49
1994, pada tanggal 15 Oktober 1994. Dalam perjalanan waktu, ketiga anak ini lahir dari hasil pernikahan keduanya. Namun, karena terkena sakit, bapak dari anak-anak tersebut (BS) meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 2005. Tak lama berselang, kira-kira dua tahun dari peristiwa meninggalnya BS, ibu (SS) dari ketiga anak tersebut meninggal dunia pada tanggal 26 Januari 2007. Dengan demikian, pada tanggal 26 Januari 2007, ketiga anak tersebut telah berstatus sebagai anak yatim piatu, karena kedua orang tuanya telah meninggal. Atas dasar pertimbangan bahwa anak-anak tersebut masih dalam status belum dewasa, sehingga tidak dapat pertindak secara hukum (masih dalam pengampuan), maka adik dari SS, yaitu Sutrisno bin Sutarmin (inisial ST) yang berposisi sebagai paman mereka (anak-anak), usia 31 tahun, beragama Islam, pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA), pekerjaan swasta, bertempat tinggal di Perumahan Kopassus Pelita I, Jalan Cempaka Blok C-8, RT 04/09, Kelurahan Sukarami, Kecamatan Cimanggis, Kotya Depok, mengajukan permohonan pengampuan anakanak tersebut kepada Pengadilan Agama Depok. Pengajuan tersebut diajukan oleh Pemohon dengan beberapa alasan, di antaranya adalah: 1. Gaji Pemohon setiap bulannya sebesar Rp. 1.200.000 (Satu juta dua ratus ribu rupiah); 2. Harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua ketiga anak tersebut berupa 1 (satu) buah rumah dan kontrakan 4 (empat) pintu. Hasil
50
kontrakan tersebut setiap bulannya adalah Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). 3. Ibu dari ketiga anak tersebut mempunyai hutang di bank dengan cicilan sebesar Rp. 7.00.000,- (tujuh ratus ribu rupiah), sehingga menyisakan uang sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) yang dipegang oleh nenek ketiga anak tersebut. Selain itu, Pemohon juga mengajukan beberapa alasan, di antaranya: 1. Bahwa kedua orang tua ketiga anak tersebut yang bernama BS telah meninggal dunia pada tanggal 2 Mei 2005 karena sakit dan SS telah meninggal pada tanggal 26 Januari 2007 karena sakit; 2. Setelah kedua orang tua dari ketiga anak tersebut meninggal dunia, ketiganya berada di bawah pengasuhan dan pemeliharaan Pemohon dan isteri Pemohon; 3. Ketiga anak tersebut masih memerlukan bimbingan dan perlindungan serta pendidikan untuk masa depan mereka; 4. Ketiga anak tersebut merasa lebih dekat dengan Pemohon dan isteri Pemohon; 5. Untuk menjamin dan terlindungnya kepentingan hukum dari ketiga anak tersebut sampai dewasa, baik di dalam maupun di luar pengadilan, Pemohon bersedia menjawi Wali Pengampu dari ketiga anak tersebut; 6. Hubungan Pemohon dengan ketiga anak tersebut adalah sebagai paman, karena Pemohon adalah adik kandung dari ibu ketiga anak tersebut;
51
7. Pemohon merasa dan mmapu menjadi Wali Pengampu dari ketiga anak tersebut, dan dari isteri Pemohon juga menyatakan bersedia membantu Pemohon dalam mengurus kepentingan ketiga orang anak tersebut; 8. Keluarga pemohon dan keluarga lain dari Almarhum BS telah sepakat menunjuk Pemohon sebagai wali pengampu dari ketiga anak tersebut.
D. Keputusan dan Pertimbangan Majelis Hakim Penetapan Pengadilan Agama Depok Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA DPK tanggal 9 Maret 2007 terkait dengan permohonan Pemohon terhadap perwalian tiga orang anak. Dengan pertimbangan dan bukti yang telah diyakini oleh para hakim tentang kebenarannya, dan bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan Wali Pengampu terhadap (3) tiga orang yang bernama: YS (usia 12 tahun), JL (usia 7 tahun), WA (usia 4 tahun), maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok atas Perkara Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA Dpk, mengadili: 1. Mengabulkan permohonan Pemohon; 2. Menetapkan Pemohon (ST) sebagai WALI PENGAMPU dari ketiga anak masing-masing bernama, YS usia 12 tahun, JL usia 7 tahun, dan WA usia 4 tahun; 3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 166.000,- (seratus enam puluh enam ribu rupiah). Penetapan yang telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Depok ini didasarkan atas beberapa pertimbangan, di antaranya yang masuk dalam “hukumnya”
52
adalah bahwa pemohon sanggup menjadi Wali Pengampu dari ketiga anak tersebut. Selain itu, Pemohon adalah paman dari ketiga anak tersebut dan pada kenyataannya ketiga anak tersebut memerlukan wali dalam pengurusan dan pemeliharaan semua harta dan kepentingan mereka. Di samping itu pula, menurut Majelis Hakim yang menyelesaikan perkara ini, diketahui pula bahwa semua keluarga, baik dari pihak bapak (ketiga anak tersebut) ataupun dari pihak ibu, sepakat jika Pemohon menjadi wali pengampu bagi ketiga anak tersebut, serta dalam pergaulan dan kehidupan sehari-hari, pemohon dikenal berkelakukan baik, arif dan bijaksana. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim juga masih menetapkan bukti-bukti, di antaranya adalah: 1. Bahwa benar Almarhum BS dan SS telah meninggal dunia dan meninggalkan tiga orang anak; 2. Bahwa benar Pemohon adalah paman dari ketiga anak yang ditinggalkan oleh almarhum dan almarhumah, yaitu adik dari SS; 3. Bahwa benar, sepeninggal ketiga anak tersebut, yang mengasuh ketiga anak tersebut adalah Pemohon dan isteri Pemohon; 4. Bahwa benar Pemohon sanggup dan mampu menjadi Wali Pengampu atas ketiga orang anak tersebut; 5. Bahwa benar, Pemohon mengajukan permohonan Wali Pengampu atas ketiga anak tersebut demi untuk melindungi kepentingan hukum ketiga anak tersebut, baik di muka maupun di belakang pengadilan.
53
Selain itu, Majelis Hakim juga menghubungkan fakta-fakta tersebut di atas dengan beberapa Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undnag Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 50 dan 51, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 107 sampai 112. Dalam Pasal 50 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan, bahwa: 1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. 2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. 28 Sementara Pasal 51 Undang-undang ini menyebutkan: 1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. 2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. 3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
28
Pasal 50 Undang-undang Perkawinan
54
4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu. 5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya. 29 Berdasarkan atas ini, Majelis Hakim berkesimpulan bahwa Permohonan pemohon dapat dikabulkan dan Pemohon dapat menjadi Wali Pengampu dari ketiga anak tersebut, yang bernama YS berusia 12 tahun, JL berusia 7 tahun, dan WA berusia 4 tahun. Majelis hakim yang terdiri dari tiga orang, yaitu Drs. Bustanuddin Jamal, M. Hum, sebagai Hakim Ketua, serta dua orang hakim anggota, masing-masing Drs. H. Asadurrahman, MH dan Drs. H. A. Baidhawi, ini membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 166.000,- (seratus enampuluh enam ribu rupiah) kepada Pengadilan. Demikian Penetapan Pengadilan Agama Depok atas perkara Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA DPK tanggal 9 Maret 2007, yang bertindak sebagai Pnitera Pengganti adalah Defrialdi, SH. Penetapan
Hakim
Pengadilan
Agama
Depok
atas
Perkara
Nomor
16/Pdt.P/2007/PA Depok, sebagaimana dalam bab sebelumnya, didasarkan pada beberapa pertimbangan, yang akan penulis jelaskan berikut ini.
29
Pasal 51 Undang-undang Perkawinan.
55
Menurut Majelis Hakim, paman dari ketiga anak yang berada dalam pengampuan berkedudukan sebagai Pemohon ini mengajukan sendiri permohonannya ke Pengadilan Agama Depok. Dengan Surat Permohonan yang dibacakan oleh Mejlis Hakim ini, ada beberapa hal penting terkait dengan Pemohon dan niatnya untuk menjadi wali pengampu. Di antaranya adalah: 1. Bahwa gaji Pemohon setiap bulannya sebesar Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah). 2. Bahwa harta warisan yang ditinggalkan oleh orang tua ketiga anak tersebut berupa: 1 buah rumah dan kontrakan 4 (empat) pintu, hasil kontrakan tersebut setiap bulannya sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). 3. bahwa ibu dari ketiga anak tersebut mempunyai hutang di bank dengan cicilan sebesar Rp. 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah) perbulan, diambilkan dari uang kontrakan dan sisanya sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah) dipegang oleh nenek ketiga anak tersebut. 30 Selain itu, dalam pertimbangan Majelis Hakim ini juga dikemukakan tentang bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon, di antaranya adalah: 1. Photo-copy KTP An. Pemohon Nomor 32.77.1005/7644/3184180, tanggal 7 Maret 2007, dari Camat Kecamatan Cimanggis Kota Depok, yang ditandai dengan P.1;
30
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 2.
56
2. Photo-copy Surat Keterangan Kematian, nomor: 474.3/1/3/2007, tanggal 5 Maret 2007, An. Sulistiowati, yang diterbitkan oleh Lurah Kelurahan Sukatani, Kecamatan Cimanggis Kota Depok, yang ditandai dengan P.2; 3. Photo-copy Akta Kelahiran, nomor: 7289/98, tanggal 2 Juli 1998, An. JL, yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Catatan Sipil, Kabupaten Bogor, yang ditandai dengan P.3; 4. Photo-copy Akta Kelahiran, Nomor: 26.487/U/JT/2002, tanggal 12 September 2002 An. WA, yang diterbitkan oleh Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya jakarta Timur, yang ditandai dengan P.4; 5. Photo-copy Akta Kelahiran Nomor: 2481/2005, tanggal 27 Mei 2005, An. YS, yang diterbitkan oleh Kepala Dina kependudukan dan Catatan Sipil Kota Depok, yang ditandai dengan P.5; 6. Surat Keterangan Tentang Silsilah Keluarga Pemohon yang diketahui oleh Lurah Sukatani, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, tangga; 7 Juli 2007, yang ditandai dengan P.6; 7. Surat Pernyataan dari Endang Sulistiyanik, kakak kandung dari Alm. BS (Ayah dari ketiga anak tersebut), tanpa tanggal, yang ditandai dengan P.7. Selain bukti-bukti tersebut di atas, diajukan pula oleh Pemohon beberapa orang saksi, di antaranya adalah: 1. SK, umur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di Perum Kopasus Pelita I, Nomor 11 Rt. 04/09, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
57
Setelah mengangkat sumpah menurut Agama Islam, saksi ini memberikan keterangan kepada Pengadilan Agama Depok, sebagai berikut: a. Bahwa saksi adalah isteri Pemohon, saksi kenal dengan Pemohon dan saudara-saudaranya. b. Bahwa benar kedua orang tua dari ketiga orang anak tersebut telah meninggal dunia. c. Bahwa saat BS meninggal dunia, saksi tidak tahu, karena saksi belum menikah dengan Pemohon. d. Bahwa benar semasa hidupnya BS bekerja sebagai polisi. e. Bahwa benar BS meninggalkan satu buah rumah dan 4 (empat) petak kontrakan yang dahulunya dikelola oleh isteri BS yang bernama SS dan setelah SS meninggal dunia dikelola oleh orang tua Pemohon. f. Bahwa benar selama ini saksi ikut membantu dan mengurus ketiga anak tersebut, dari hasil kontrakan peninggalan orang tua ketiga orang anak tersebut. g. Bahwa benar selama ini ketiga anak tersebut tinggal dengan mertua saksi, sedangkan rumah peninggalan BS dan SS masih kosong. h. Bahwa benar alasan Pemohon wali pengampu dari ketiga orang anak tersebut, karena Pemohon sebagai anak tertua dari keluarga SS; i. Bahwa selama ini Pemohon dikenal sebagai orang yang berfikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakukan baik.
58
j. Bahwa saudara-saudara Pemohon yang lainnya sudah sepakat, Pemohon ditunjuk sebagai wali pengampu dari ketiga orang anak tersebut, dan Pemohon tidak ada maksud tertentu untuk itu, walaupun Pemohon punya anak juga. k. Bahwa benar keluarga dari BS telah sepakat, ketiga orang anak tersebut di bawah wali pengampu Pemohon dan saudara dari BS bernama Endang (EG) sudah datang ke rumah Pemohon untuk membicarakan masalah ini dan EG tidak berkeberatan jika ketiga anak tersebut diasuh oleh Pemohon dan ketiga anak tersebut senang tinggal di rumah orang tua Pemohon. l. Bahwa saudara angkat BS yang bernama Neni (NN) juga pernah datang ke rumah Pemohon pada saat orang tua Pemohon meninggal dunia untuk membicarakan masalah ini, dan NN juga tidak berkeberatan ketiga orang anak tersebut diasuh oleh Pemohon. 31 2. ES binti TB, umur 56 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di Perum Kopassus pelita I, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Setelah mengangkat sumpah, saksi memberikan keterangan sebagai berikut: a. Bahwa saksi adalah ibu kandung pemohon, saksi kenal dengan Pemohon, karena Pemohon adalah anak kandung saksi.
31
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 3.
59
b. Bahwa benar SS meninggal dunia pada tanggal 26 Februari 2007, sedangkan BS meninggal dunai lebih dahulu dari SS, dan setelah BS meninggal dunia, SS tidak pernah menikah lagi sampai akhir hidupnya. c. Bahwa benar dari perkawinan BS dengan SS telah dikarunia 3 (tiga) orang anak. d. Bahwa benar BS semasa hidupnya bekerja sebagai Polisi. e. Bahwa benar BS meninggalkan 1 (satu) buah rumah milik sendiri dan 4 (empat) petak kontrakan, pada saat meninggal dunia, BS punya harta dari pemberia ibu angkatnya yang benama Ibu Gito. Namun, harta tersebut sekarang dikelola oleh anak kandung ibu angkat BS tersebut yang bernama NN. f. Bahwa mengenai surat-surat rumah BS tersebut, saksi tidak tahu. g. Bahwa selama ini, saksi ikut membantu dan mengurus ketiga orang anak BS dan SS, dan segala kebutuhan ketiga anak tersebut ditanggung oleh saksi, tapi saksi tidak sanggup menjadi wali pengampu dari ketiga anak tersebut. Dan dari hasil musyawarah keluarga ditunjuklah Pemohon sebagai saksi pengampu dari ketiga anak tersebut, karena pemohon adalah anak tertua dari saksi sekarang. h. Bahwa selama ini ketiga anak BS dan SS tinggal dengan saksi, sedangkan rumah peninggalan BS dan SS masih kosong.
60
i. Bahwa benar alasan Pemohon menjadi wali pengampu dari ketiga orang anak tersebut karena ketiganya lebih dengan Pemohon, untuk mengurus ASABRI BS dan untuk melanjutkan penyelesaian hutang-hutang Bank. j. Bahwa selama ini, Pemohon dikenal sebagai orang yang berfikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. k. Bahwa benar saudara-saudara Pemohon lainnya sudah sepakat Pemohon ditunjuk sebagai wali Pengampu dari ketiga orang anak tersebut. l. Bahwa keluarga BS telah sepakat di bawah wali pengampu Pemohon, dan saudara BS yang benama ED sudah datang ke rumah Pemohon untuk membicarakan masalah ini, dan EG tidak berkeberatan ketiga orang anak tersebut diasuh oleh Pemohin. Dan ketiga orang anak tersebut senang tinggal di rumah orang tua Pemohon. 32 3. NN binti GT, usia 34 tahun, agama Islam, pekerjaan dagang, tempat tinggal di Komplek BTN Kopasus Blok D.42 Nomor 11, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Setelah mengangkat sumpah, saksi memberikan keterangan sebagai berikut: a. Bahwa saksi adalah tetangga Pemohon, saksi kenal dengan Pemohon dan saudara-saudara Pemohon, dan orang tua Pemohon, karena saksi adalah saudara angkat dari BS.
32
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 4.
61
b. Bahwa BS menjadi anak angkat dari Ibu kandung saksi, Ibu Gito, sejak sebelum menikah dengan SS. c. Bahwa benar dari perkawinan BS dan SS telah dikarunia 3 (tiga) orang anak. d. Bahwa benar setelah menikah dengan SS, BS tinggal di rumah orang tua saksi, dan punya rumah di Klaten Jawa Tengah, punya tanah juga dekatjalan Tol Cimanggis seluas 200 m2, sedangkan surat-surat tanah tersebut ada di Bank BRI sebagai jaminan hutang BS. e. Bahwa 4 (empat) petak rumah kontrakan tersebut sekarang atas nama SS, dahulunya atas nama ibu kandung saksi yang telah diberikan kepada anakanak BS dan SS, sedangkan sertifikatnya ada di Bank. f. Bahwa saksi pernah diajak musyawarah masalah wali pengampu ketiga anak tersebut, dan saksi setuju Pemohon sebagai wali Pengampu ketiga orang anak tersebut, tetapi sertifikat rumah tersebut belum diserahkan kepada Pemohon sampai ada Putusan Pengadilan Agama, sedangkan hasil kontrakan, saksi yang mengumpulkan diberikan kepada tiga orang anak tersebut melalui Pemohon sebesar Rp. 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) setiap bulannya. 33 4. NM binti AD, umur 25 tahun, agama Islam, pekerjaan dagang, tempat tinggal di Sukatani Ciherang, Rt. 04/07, kelurahan Sukatani, Kecamatan Cimanggis,
33
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 5.
62
Kota Depok. Setelah mengangkat sumpah, saksi memberikan keterangan sebagai berikut: b. Bahwa saksi adalah tetangga Pemohon, saksi kenal dengan Pemohon dan saudara-saudaranya. c. Bahwa benar kedua orang tua dari ketiga orang anak tersebut sudah meninggal dunia. d. Bahwa saksi tahu alm. BS meninggal dunia terlebih dahulu dari isterinya SS. e. Bahwa benar selama ini, ketiga orang anak BS dan SS tinggal dengan neneknya. f. Bahwa benar alasan Pemohon mengajukan sebagai wali pengampu dari ketiga orang anak tersebut dengan alasan karena Pemohon dekat dengan ketiga orang anak tersebut, saksi yakin Pemohon sanggup sebagai wali pengampu dari ketiga orang anak tersebut, saksi juga tahu Pemohon sayang kepada ketiga orang anak dimaksud. g. Benar bahwa Pemohon selama ini dikenal baik dan taat beragama. h. Bahwa benar Pemohon bekerja, tapi saksi tidak tahu di mana tempat kerjanya. 34 Menurut pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok terhadap permohonan wali pengampu ini, Pemohon membenarkan atas keterangan 4 (empat)
34
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 5.
63
orang saksi tersebut. Kemudian, setelah dilakukan pemeriksaan terhadap permohonan Pemohon ini, Majelis Hakim juga menyatakan bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan secara lisan tentang maksudnya ini, yang pada pokoknya tetap pada permohonannya semula, yaitu hendak menjadi wali pengampu dari ketiga orang anak BS dan SS. 35
35
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 6.
BAB IV ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DEPOK Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA Dpk
A. Keputusan Hakim dalam Tinjauan Tata Hukum di Indonesia Dari sifat dan bentuk keputusan Majelis Hakim perkara Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA Dpk termasuk dalam penetapan, karena perkaranya berbentuk permohonan dan di dalamnya tidak ada sengketa. Keputusan yang berbentuk penetapan ini tidak bersifat eksekutorial, tetapi disederajatkan ekuivalensinya dengan keputusan penetapan, yang lazim disebut dengan beschiking. Putusan ini tidak mengikat siapapun, kecuali hanya berlaku pada diri pemohon saja. 1 Terkait pokok perkara, penetapan hakim ini berhubungan dengan perwalian, di mana Majelis Hakim memberikan kewenangan kepada seseorang (yaitu Pemohon) untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 2 Dalam perkara ini, ketiga orang anak yang diajukan pengampuannya, karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
1
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama:Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 339. 2
Pasal 1 huruf h Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
64
65
Orang tua ketiga orang anak tersebut meninggalkan harta warisan, yaitu 1 buah rumah dan 4 (empat) petak kontrakan, dengan hasil kontrakan Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) perbulan. Selain itu, ibu dari ketiga anak tersebut juga meninggalkan hutang di Bank dengan cicilan sebanyak Rp. 700.000,- (tujuh ratus ribu rupiah), yang diambil dari hasil kontrakan. Sementara sisa pembayaran hutang tersebut (Rp. 300.000,-) dipegang oleh nenek ketiga orang anak tersebut. Dengan demikian, Pemohon yang menjadi wali pengampu ketiga anak ini secara otomatis akan bertanggungjawab atas pemeliharaan harta dan urusan hutang-piutang dari ketiga anak tersebut. Dengan merujuk pada keterangan yang diberikan oleh para saksi, keputusan Majelis Hakim dapat dikatakan seiring dengan apa yang tertera dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari beberapa hal yang termaktub dalam Penetapan, di antaranya adalah ketiga orang yang berada dalam pengampuan secara nyata dan sah terbukti belum dewasa (belum mencapai usia 21 tahun) atau menikah, perwalian meliputi atas diri dan harta kekayaan, wali berasal dari kerabat dan berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. 3 Sebagaimana dalam Penetapan Nomor Perkara 16/Pdt.p/2007/PA Dpk, tentang status kedua orang tua yang telah meninggal dunia, dibuktikan dengan photocopy Surat Keterangan Kematian, nomor: 474.3/1/3/2007, tanggal 5 Maret 2007, An. Sulistiowati, yang diterbitkan oleh Lurah Kelurahan Sukatani, Kecamatan Cimanggis
3
Lihat, Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
66
Kota Depok. 4 Di samping itu, bukti tertulis ini dikuatkan pula oleh para saksi, di antarnaya adalah SK (isteri Pemohon), ES (ibu kandung Pemohon yang juga ibu SS), NN (tetangga dan saudara angkat BS), serta kesaksian dari NM binti AD (tetangga Pemohon yang juga teman dari SS dan BS). Kemudian tentang bukti kelahiran ketiga orang anak dan usia mereka yang belum dewasa dibuktikan dengan photo-copy Akta Kelahiran, nomor: 7289/98, tanggal 2 Juli 1998, An. JL, yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Catatan Sipil, Kabupaten Bogor, photo-copy Akta Kelahiran, Nomor: 26.487/U/JT/2002, tanggal 12 September 2002 An. WA, yang diterbitkan oleh Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kotamadya Jakarta Timur, dan photo-copy Akta Kelahiran Nomor: 2481/2005, tanggal 27 Mei 2005, An. YS, yang diterbitkan oleh Kepala Dina kependudukan dan Catatan Sipil Kota Depok. 5 Adapun mengenai hubungan Pemohon dan ketiga orang anak tersebut dibuktikan dengan Surat Keterangan Tentang Silsilah Keluarga Pemohon yang diketahui oleh Lurah Sukatani, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, tanggal 7 Juli 2007 dan Surat Pernyataan dari Endang Sulistiyanik, kakak kandung dari Alm. BS. Bukti surat-menyurat yang telah diterima oleh Majelis Hakim dan dijadikan dalil-dalil oleh Pemohon, jika ditinjau dari hukum acara Peradilan Agama (dan hukum acara perdata secara lebih umum), berposisi sebagai bukti terkuat. Alat bukti
4
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 3.
5
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 3.
67
surat dipahami sebagai segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian (alat bukti). 6 Ditinjau dari macam alat-alat bukti surat di atas, dapat dikatakan bahwa, kecuali Surat Pernyataan yang diberikan oleh Endang Sulistiyanik, semua bukti surat termasuk pada bukti otentik, karena dibuat menurut ketentuan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya, dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, tentang segala hal yang tersebut dalam surat itu dan juga tentang yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja. 7 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alat-alat bukti yang diajukan oleh Pemohon merupakan akta atau surat yang sempurna dan mempunyai kekuatan bukti, baik secara materil ataupun formil. Kemudian, mengenai bukti saksi dalam persidangan perkara ini. Saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami
6
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), cet. V, h. 148. 7
M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata dan Mahkamah Syariah, (Jakarta: Prenada Media, 2007), cet. III, h. 36; Lihat, Pasal 165 HIR jo 285 R.Bg.
68
sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau kedaan tersebut.8 Bukti saksi ini diatur dalam pasal 168 – 172 HIR atau 165 – 179 R.Bg. Sebagaimana di atas, saksi harus memenuhi syarat-syarat, formil atau materil. Lalu, bagaimana dengan status atau sahnya para saksi dalam perkara ini? Menurut Mukti Arto, syarat formil saksi adalah: berumur 15 tahun ke atas, sehat akalnya, tidak ada huungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali undang-undang menentukan lain, tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah, tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun telah bercerai (Pasal 145 (1) HIR), menghadap ke pesidangan, mengangkat sumpah menurut agamanya, berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa atau dikuatkan dengan alat bukti lain., dipanggil masuk ke ruangan sidang, dan memberikan penjelasan secara lisan. 9 Sementara alat bukti materil adalah menerangkan apa yang dilihat, ia dengar dan ia alami sendiri, diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwa tersebut, bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi, saling kesesuaian satu sama lain, dan tidak bertentangan dengan akal sehat. 10
8
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, h. 165.
9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, h. 165.
10
Lihat, Pasal 171 HIR/308 R.Bg, Pasal 171 ayat (1) HIR/ 308 R.Bg, Pasal 171 ayat (2) HIR/ 308 ayat (2) R.Bg, dan Pasal 170 HIR.
69
Dari sini, dapat dilihat bagaimana status para saksi di atas. Secara formil, tidak terdapat masalah terhadap keempat orang saksi, kecuali terdapat dua orang saksi yang merupakan keluarga sedarah dan semenda dari Pemohon, yaitu SK sebagai ibu Pemohon dan ES binti TB sebagai isteri Pemohon. 11 Sementara kedua saksi lain, tidak memiliki hubungan darah (baik kandung atau semenda) dengan Pemohon, meskipun saudara NN adalah saudara angkat dari alm. BS. 12 Kedua saksi selain keluarga ini (yaitu NN dan NM binti AD) adalah tetangga Pemohon yang telah diangkat sumpah oleh Majelis Hakim. Dengan demikian, secara formil, dua orang saksi yang bukan berasal dari keluarga Pemohon telah terpenuhi syarat-syartanya, serta telah keluar (bebas) pula dari azas unus testis nulus testis yang menyatakan bahwa satu orang saksi tidak dianggap sebagai saksi. 13 Apalagi, dalam perkara ini, alat-alat bukti telah menguatkan dalil-dalil pemohon, sehingga alat bukti saksi (dua orang ini) telah didukung pula oleh bukti lain. Dari pengakuan para saksi tersebut, dapat diketahui beberapa hal sehubungan dengan Pemohon. Pertama, dari keterangan para saksi, baik dari isteri dan ibu Pemohon ataupun dari kedua saksi yang lain, bahwa pemohon dikenal berkelakuan
11
Dalam hukum acara Peradilan Agama, keluarga dekat (baik karena hubungan darah atau semenda) hanya boleh menjadi saksi dalam perkara syiqaq (perceraian) saja, sebagaimana diatur dalam pasal 76 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 12
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 5.
13
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, h. 169.
70
baik, berfikiran sehat, adil, jujur, dan taat beragama. 14 Hal ini disebutkan oleh keempat orang saksi, kecuali saudara NN binti GT. Kemudian, dari keterangan saksi ES binti TD dan NM binti AD, diketahui bahwa alasan Pemohon menjadi wali pengampu adalah karena Pemohon lebih dekat dengan ketiga orang anak tersebut, dan pengakuan dari isteri Pemohon (saksi SK) bahwa Pemohon adalah anak tertua dari keluarga SS (almh. Ibu ketiga orang anak) dan ikut membantu ketiga orang anak tersebut yang sebelumnya tinggal bersama ES binti TD (nenek ketiga anak tersebut). Selain itu, sebagaimana disebutkan oleh ES binti TD, ibu Pemohon, alasan Pemohon menjadi wali pengampu adalah untuk mengurus ASABRI dan melanjutkan penyelesaian pembayaran hutang-piutang dengan Bank. Artinya, selain sebagai wali pengampu yang mengurusi, memberikan pendidikan dan keterampilan kepada ketiga orang anak tersebut, Pemohon juga memiliki beban atau kewajiban untuk menyelesaikan urusan harta benda ketiga anak tersebut (sebagaimana dicantumkan dalam 110 Kompilasi Hukum Islam), yang merupakan urusan hutang piutang kedua orang tua mereka. Kemudian, dari para saksi (terutama ES binti TD) juga diketahui bahwa ketiga orang anak tersebut tinggal bersama nenek mereka (ES binti TD). Namun, menurut pengakuan ES binti TD pula, ia tidak sanggup untuk menjadi wali pengampu bagi
14
Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 51 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1971 Tentang Perkawinan
71
ketiga. Dengan demikian, seperti dinyatakan oleh para saksi kecuali NM binti AD, bahwa telah terjadi suatu musyawarah antara keluarga BS dan SS untuk menentukan status perwalian anak tersebut. Dari musyawarah ini, diketahui bahwa keluarga dari pihak BS telah sepakat untuk menyerahkan hak wali pengampu bagi ketiga orang anak tersebut kepada Pemohon. Persetujuan ini, menurut isteri Pemohon, diketahui dari saudara kandung BS yaitu Endang yang secara langsung datang ke rumah Pemohon, serta dari saudara NN binti GT, yang merupakan saudara angkat BS, dalam suatu musyawarah keluarga yang dimaksud di atas. Dari beberapa keterangan dan kesaksian para saksi ini, dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa terdapat kesesuaian antara masing-masing saksi terkait dengan perkara pengampuan ketiga orang anak tersebut. Di samping itu, saksi-saksi tersebut mengemukakan apa yang mereka lihat, dengar, dan alami secara langsung, dan karena kedekatan hubungan (baik karena keluarga atau tetangga), dapat diketahui sebab-sebab pengetahuan para saksi tersebut. Terakhir, keterangan para saksi tidak ada yang bertentangan dengan akal sehat. Artinya, dapat dikatakan, bahwa baik secara formil atau pun materil, syaratsyarat saksi telah terpenuhi dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, para saksi mempunyai nilai pembuktian bebas, yang oleh Majelis Hakim dapat dinilai kesaksian-kesaksian tersebut sesuai dengan
72
hati nuraninya, 15 serta masing-masing saksi yang berhubungan satu sama lain, dapat menguatkan keterangan dan dalil Pemohon untuk menjadi pengampu dari ketiga anak tersebut.
B. Analisa Putusan Hakim Perspektif Hukum Islam Dari Penetapan Pengadilan Agama Depok dalam Perkara Nomor Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk dapat diketahui beberapa hal sehubungan dengan hukum Islam. Perwalian yang berfokus pada tanggungjawab harta benda dan diri seseorang yang belum dewasa, safih, tidak pandai mengurus harta, kurang waras, atau orang terlilit hutang termasuk dalam masalah al-hajru ( ) اﻟﺤﺠﺮ. 16 Sebagaimana diketahui, dalam hukum Islam – terutama kalangan Sunni – hak perwalian seorang anak yang masih kecil atau terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan suatu perjanjian, maka yang berhak untuk menjadi walinya adalah bapaknya. 17 Artinya, selain ayah, semua keluarga yang meskipun dekat hubungannya dengan anak, tidak berhak untuk menjadi wali. Bagi kalangan Hanafiyyah, bagi anak kecil atau orang yang terhukumi sama, seperti orang gila atau kurang waras, maka kewaliannya tetap berada pada wali, yaitu bapak, orang yang diberi wasiat (eksekutor), kakek, ataupun orang yang diberi wasiat 15
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, h. 168.
16
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, , (Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1950), h. 437.
17
Asaf A.A. Fyzee, Pokok-pokok Hukum Islam, penerjemah Arifin Bey, (Jakarta: Tintamas, 1959), h. 265.
73
oleh kakek (eksekutor). 18 Demikian pula menurut kalangan Malikiyyah, hak perwalian hanya ada pada bapak anak tersebut dan orang yang diberikan wasiat, serta pada hakim atau yang diberikan wasiat oleh hakim. 19 Kalangan Hanabilah (mazhab Imam Ahmad bin Hanbal) menyebutkan bahwa seorang kakek tidak masuk dalam urutan perwalian setelah bapak. Sementara mazhab Syafiiyyah berpandangan, bahwa urutan wali adalah bapak, kakek, dan orang yang diberikan wasiat. Menurut pandangan Syafiiyyah, ketika bapak tidak ada, maka perwalian secara otomatis jatuh kepada kakek. Hal ini didasarkan pada kedekatan hubungan keduanya. 20 Secara sekilas tampak perbedaan antara apa yang disebutkan oleh para Imam mazhab dan apa yang termaktub dalam keputusan Pengadilan Agama Depok, karena dalam hukum Islam tidak dikenal perwalian dari pihak ibu, sementara dalam Penetapan Pengadilan Agama Depok sangat jelas bahwa Pengadilan memutuskan bahwa perwalian ketiga orang anak di bawah umur ini berada di tangan paman (Pemohon), saudara laki-laki dari ibu kandung ketiga anak tersebut. Untuk menjembatani hal tersebut, kiranya cukup penting untuk mengutip kembali pendapat dari Asaf A.A. Fyzee yang telah penulis kemukakan pada bab sebelumnya, yaitu bahwa dalam hukum Sunni memang tidak dikenal adnaya 18
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, , (Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), cet. II, h. 222. 19
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 466.
20
Imam Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,h. 466.
74
perwalian kecuali kepada bapak. Namun, dalam hal-hal tertentu dan darurat, maka diperbolehkan untuk mengangkat wali pengampu tersebut berdasarkan putusan yang diberikan oleh Mahkamah atau Pengadilan. 21 Asaf A.A. Fyzee mengkategorikan bentuk perwalian tersebut menjadi dua, yaitu wali secara de facto dan wali secara de jure. Wali de facto adalah mereka yang merasa sanggup untuk mengemban tanggungjawab sebagai wali dan mengajukan permohonan kepada Mahkamah. Dengan demikian, orang tersebut mampu menjadi pelaksana dan penanggungjawab atas harta benda seorang anak tersebut. 22 Dengan demikian, dapat diambil suatu penalaran bahwa Penetapan Pengadilan Agama Depok atas Pemohon yang mengajukan perwalian terhadap ketiga orang anak alm. BS dan almh. SS didasarkan pada wali secara de facto, karena jika melihat urutan perwalian dalam Islam, yang berhak untuk menjadi wali adalah kakek atau orang yang diberikan wasiat, seperti yang disebutkan di atas. Pemohon yang berstatus sebagai paman dari ketiga anak tersebut telah merasa siap dan sanggup untuk menjadi wali pengampu atas ketitga orang anak tersebut, yang dapat diketahui dari Penetapan dan kesaksian yang diberikan, baik oleh pemohon ataupun oleh para saksi. Kesanggupan ini dapat pula dilihat dari pengakuan yang diberikan oleh ibu Pemohon (saksi ES binti TD) yang menyatakan, bahwa meskipun
anak-anak
tersebut
tinggal
bersamanya,
21
Asaf A.A. Fyzee, Pokok-pokok Hukum Islam, h. 265.
22
Ibid., h. 166.
namun
karena
75
ketidaksanggupannya untuk menjadi wali pengampu, ia menyerahkan perwalian tersebut kepada Pemohon. 23 Artinya, dengan penyerahan tanggungjawab ini, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Pemohon telah merasa siap dengan segala konsekuensi dan tugasnya untuk menjadi wali bagi ketiga orang anak tersebut. Berdasarkan uraian ini, penulis memberikan suatu kesimpulan sementara, bahwa pada dasarnya penetapan Pengadilan Agama Depok dalam Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk dapat dikatakan sah dalam pandangan hukum Islam. Hanya saja memang, perwalian yang berada pada paman (Pemohon) ini bukan merupakan perwalian secara de jure, tetapi secara de facto karena alasan dan kondisi yang terjadi. Kemudian terkait dengan syarat-syarat perwalian. Sebagaimana dalam penetapan dan keterangan dari para saksi, bahwa Pemohon dikenal berkelakuan baik, berfikiran sehat, adil, jujur, dan taat beragama. Hal ini disebutkan oleh keempat orang saksi, kecuali saudara NN binti GT. Lalu bagaimana pandangan hukum Islam terkait dengan status dan syarat seseorang yang berhak menjadi wali. Terdapat syarat umum yang ditetapkan dalam hukum Islam, yaitu sempurna ahliyyah-nya (kemampuan untuk bertindak hukum), berakal, baligh, merdeka, kesamaan agama antara wali dan orang yang berada dalam pengampuan. 24 Dalam hal ini, Pemohon yang mengajukan permohonan wali pengampu bagi ketiga orang anak tersebut dapat dilihat kriterianya dengan syarat-syarat di atas. Hemat penulis,
23
Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 4.
24
Abdul Wahab Khalaf, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati, h. 222.
76
Pemohon yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Depok atas perwalian ketiga orang anak ini telah memenuhi syarat-syarat umum. Berdasarkan dari pengakuan saksi dan bukti lain, seperti KTP An. Pemohon Nomor 32.77.01.1005/7644/3184180, telah cukup untuk menjelaskan bahwa Pemohon termasuk berakal, baligh, dan merdeka (tidak sebagai budak). Selain itu, dalam identitas Pemohon juga dicantumkan secara jelas bahwa ia berusia 31 tahun dan beragama Islam. Dengan demikian, mengenai syarat yang terakhir, yaitu adanya kesamaan agama antara anak yang berada dalam pengampuan dan wali pengampu telah terpenuhi, karena ketiga anak tersebut juga beragama Islam. Selain itu, dengan adanya pengakuan bahwa Pemohon berkelakukan baik dan kesepakatan anggota keluarga – berdasarkan musyawarah keluarga – untuk memberikan hak perwalian ketiga anak tersebut kepada Pemohon cukup menjadi bukti bahwa Pemohon layak untuk menjadi wali Pengampu dalam pandangan hukum Islam. Permasalahan lain yang terkait dengan Penetapan Majelis Hakim atas perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk dan hubungannya dengan hukum Islam adalah masalah saksi di pengadilan. Para saksi yang – berjumlah 4 (empat) orang – diajukan ke Pengadilan Agama Depok ini semuanya perempuan. Lalu bagaimana pandangan hukum Islam terhadap hal ini? Sementara posisi boleh atau tidaknya saksi sangat menentukan keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim, dan dalam hukum Islam,
77
perempuan hanya diperbolehkan untuk menjadi saksi bersama-sama dengan lakilaki. 25 Pendapat tidak bolehnya perempuan menjadi saksi berdasar pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 282, yaitu: ...
☺ ⌧ (٢٨٢ : )اﻟﺒﻘﺮة... Artinya:
☺ ☺
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. (QS. Al-Baqarah: 282) Menurut al-Qurthubi, dalam ayat ini Allah menetapkan bahwa batas minimal kesaksian adalah dua orang, baik dalam masalah harta benda, keluarga, hudud, dan perkara-perkara lain, kecuali perzinaan. Kemudian, ayat ini juga menyebutkan bahwa posisi seorang laki-laki dan dan dua orang perempuan adalah sama dalam persaksian, sehingga ketiganya (satu laki-laki dan dua orang peempuan) dianggap memenuhi syarat dua orang persaksian. 26
25
Pendapat ini dari Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dikutip oleh Salam MAdzkur. Lihat, Muhammad Salam Madzkur, Peradilan dalam Islam, penerjemah Imron AM, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 98. 26
Syamsuddin al-Qurthubi, Jami’ li Ahkami al-Qur’an, tahqiq Hisyam Syamir al-Bukhari (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M), juz III, h. 389 dan 391.
78
Permasalahan kesaksian perempuan ini terdapat perbedaan pendapat ulama dan para ulama membagi dalam urusan pidana (hudud dan qishash) dan dalam masalah muamalah. Menurut Jumhur Ulama, di antaranya adalah Hanafiiyah, malikiyyah, Syafiiyyah, Hanabilah, bahwa persaksian perempuan dalam masalah pidana tidak dapat diterima, 27 baik sendirian ataupun bersama-sama dengan lakilaki. 28 Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Wahbah Zuhaily, mengingat perempuan tidak tidak cukup kuat melihat darah. 29 Menurut kalangan Zhahiriyyah, diterima kesaksian perempuan dalam perkara hudud dan qishash, jika bersama-sama dengan laki-laki dan perempuan lebih dari satu orang. Pendapat ini didasarkan pada ayat di atas. 30 Sementara dalam urusan muamalah, para ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyyah, Zhahiriyyah, Atha’, Hamad, Jabir ibn Zaid, Iyas ibn Muayah, al-Sya’bi, al-Tsauri, dan riwayat dari Ahmad, bahwa boleh atau diterima kesaksian perempuan dan laki-laki secara bersamaan dalam urusan muamalah secara mutlak, baik dalam urusan harta benda ataupun pernikahan. Sementara al-Nakha’i, al-Zuhri, Imam Malik,
27
Ali Abu Fashl, Syahadatu al-Nisa’ fi al-Fiqh al-Islami, dalam Majallat Jamiah alDimasyqa, (Damaskus), edisi 17 Nomor 2 Tahun 2001, h. 150. 28
Imam al-Qhadi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad ibn Muhammad ibn RUsyd alQurthubi al-Andalusi, Bidayatu al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz II, h. 348. 29
Wahbah Zuhaily, Kebebasan dalam Islam, penerjemah Ahmad Minan dan Salafuddin Ilyas, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 273. 30
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, juz II, h. 348.
79
Ahlu Madinah, Imam Syafii, dan sebagian dari Hanabilah, tidak diterima persaksian perempuan bersama laki-laki kecuali dalam penetapan harta benda. 31 Hal serupa juga dinyatakan oleh al-Barwazi, bahwa menurut ijma’ Ulama, tidak boleh kesaksian dalam urusan pidana (hudud dan qishash) dan ijma’ menyebutkan pula bahwa boleh hukumnya kesaksian perempuan bersama dengan laki-laki dalam urusan harta benda. 32 Sementara Imam Malik, tidak menerima kesaksian perempuan dalam urusan privat, seperti pernikahan, thalak, dan ruju’. 33 Kembali kepada konteks ayat yang mengharuskan kesaksian laki-laki bersama dua orang perempuan di atas, menurut El-Bahnassawi, para ulama menyebutkan bahwa ayat ini berlaku hanya pada masalah transaksi bisnis, hutang piutang, dan kontrak. Ketentuan ini, demikian menurut El-Bahnassawi dengan mengutip pendapat para Ulama, tidak lebih dari upaya kehati-hatian ketimbang diskriminasi, lantaran transaksi-transaksi semacam itu jarang dilakukan oleh perempuan, sehingga mereka kurang mengerti tentang seluk-beluknya dan lebih mungkin keliru memaparkan keterangan-keterangan tersebut. 34
31
Ali Abu Fashl, Syahadatu al-Nisa’ fi al-Fiqh al-Islami, h. 153.
32
Imam Abu Abdullah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtilaf Ulama’, (Beirut: ‘Alam alKutub, tth), h. 282 33 34
Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, juz II, h. 348.
Dikutip dari Mashood A. Baderin, Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin, (Jakarta: Komnas HAM RI, 2007), h. 103.
80
Menurutnya pula, dalam konteks ayat ini, harus diingat bahwa Islam menempatkan pembedaan jenis kelamin dalam kodrat alamiahnya masing-masing, kendatipun ia telah mengakui penciptaan keduanya dari satu asal yang sama. Hal ini tidak menunjukkan kerendahan perempuan, tetapi menyentuh secara langsung pada kepentingan masyarakat dan memelihara keadilan. Apabila laki-laki memberlakukan kesaksian perempuan setara dengan laki-laki, ketika kondisi perempuan kurang berpengalaman dan kurang cakap kala itu, maka hal itu akan bertentangan dengan maksud keadilan dan kepentingan pihak yang melakukan perjanjian. 35 Dalam hal kesaksian perempuan ini, menurut hemat penulis, terdapat beberapa benang merah yang dapat ditarik. Pertama, dengan mengutip ayat di atas dan konteks masyarakat Arab saat itu, para Ulama cenderung melarang kesaksian perempuan dalam masalah pidana (hudud dan qishash). Kedua, mereka membolehkan kesaksian perempuan dan laki-laki secara bersamaan dalam masalah harta benda dan keluarga (privat), asalkan perempuan lebih dari satu orang. Ketiga, penetapan kesaksian perempuan setengah dari saksi laki-laki tidak lebih dari suatu sikap kehatihatian yang berkaitan erat dengan kondisi perempuan muslim kala itu. Dengan demikian, sehubungan dengan perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk yang semua saksinya adalah perempuan, menurut pendapat penulis, terlepas dari kenyataan bahwa hukum acara Peradilan Agama di Indonesia menggunakan hukum Acara Perdata dari Belanda (HIR dan R.Bg) yang nota bene tidak membedakan
35
Ibid., h. 104
81
kesaksian perempuan dengan laki-laki, kesaksian keempat orang tersebut adalah sah dalam tinjauan hukum Islam. Sahnya kesaksian ini kembali pada pembahasan di atas, pertama, karena masalah yang diselesaikan bukan dalam bidang pidana (hudud atau qishash); kedua, para saksi perempuan ini telah melebihi batas bolehnya kesaksian, yaitu dua orang. Jika pun yang digunakan adalah perspektif bahwa kesaksian dua orang perempuan dihitung dengan kesaksian satu orang laki-laki, maka para saksi tersebut telah mencapai ukuran, yaitu dihitung dua orang. Kemudian masalah yang terkait dengan hukum Islam adalah tentang persaksian dari anggota keluarga. Sebagaimana diketahui dalam hukum Islam terjadi perbedaan kalangan ulama tentang persaksian dari keluarga tersebut. Dengan mengacu pada konsep ulama fikih, Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Nizham al-Qadha’ fi al-Islam, sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, menyebutkan beberapa hal yang menimbulkan kecurigaan dalam kesaksian, di antaranya adalah adanya permusuhan antara orang saksi dengan salah satu pihak yang bersengketa, hubungan suami isteri, anggota kongsi dagang, dan hubugan kerabat dekat. 36 Menurut Sufyan dan kalangan Ahli Ra’yi, tidak boleh kesaksian kedua orang tua ataupun anak satu sama lain, serta kakek dan nenek. Sementara kelaurga yang lain boleh. Hal ini dinyatakan pula oleh Imam Malik, al-Syafii dan Imam Ahmad bin
36
Lihat, Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media, 2004), cet.. II, h. 69-71.
82
Hanbal. Sementara al-Hasan berpandangan bahwa kesaksian anak atas bapaknya adalah boleh, tetapi tidak sebaliknya karena bapak berhak untuk mengambil harta anaknya semaunya. 37 Pandangan ini dipegang oleh Jumhur Ulama, demikian menurut Satria Effendi. 38 Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa kesaksian semua kerabat (keluarga) adalah boleh, asalkan mereka bersifat adil, kecuali kesaksian bapak atas anaknya dan anak atas bapaknya. Pendapat ini diriwayatkan pula oleh Qutadah, Abu Bakr ibn ‘Amru ibn Hazm, serta Umar bin Abdul Aziz, yang menyatakan bahwa boleh kesaksian anak atas bapaknya. 39 Di samping itu, seperti diutarakan oleh Satria Effendi, kalangan Zhahiriyyah membolehkan kesaksian bapak atau ibu atas anaknya dan sebaliknya selama ia bersifat adil. Menurut kalangan ini, seseorang yang bersifat adil maka tidak akan tergoda untuk memberikan kesaksian yang benar oleh adanya hubungan kekerabatan. 40 Dengan demikian, kembali kepada ketetapan Majelis Hakim di atas, dapat ditinjau beberapa hal, yaitu: jika menggunakan pendapat Jumhur Ulama, demi kehatihatian obeyektifitas para saksi, adanya hubungan keluarga membatalkan kesaksian seseorang. Sehingga, kesaksian yang diberikan oleh kedua anggota keluarga (yaitu
37
Imam Abu Abdullah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtilaf Ulama’, h. 282
38
Satria Effendi M. Zein, Probelatika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h. 72.
39
Imam Abu Abdullah Muhammad ibn Nashr al-Marwazi, Ikhtilaf Ulama’, h. 282
40
Satria Effendi M. Zein, Probelatika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, h. 73.
83
SK sebagai isteri Pemohon dan ES binti TD sebagai ibu Pemohon) pada prinsipnya tidak sah, karena adanya hubungan kekerabatan. Sementara jika menggunakan Ishaq, Abu Tsaur, Qutadah, Abu Bakr ibn ‘Amru ibn Hazm, dan kalangan Zhahiriyyah, maka kesaksian tersebut boleh dan sah, asalkan keduanya dinyatakan telah adil. Di samping hal tersebut, menurut penulis, perlu juga diperhatian beberapa hal tentang kesaksian keluarga dalam masalah perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk ini. Pertama, yang dikhawatirkan oleh Ulama ketika saksi adalah keluarga adalah dalam masalah yang terdapat sengketa (yang dalam hukum acara Peradilan Agama disebut dengan gugatan contentiosa), 41 sedangkan dalam Penetapan wali pengampu ini masuk dalam perkara permohonan yang tidak terdapat sengketa di dalamnya. Artinya, kekhawatiran untuk terjadi in-obyektifitas dalam persaksian juga terhindar, sehingga persangkaan adanya kecurangan pun hilang. Kedua, dengan adanya pengakuan dari Ibu Pemohon, yang nota bene sebagai pengasuh ketiga orang anak dalam pengampuan ini ketiga kedua orang tua mereka meninggal, bahwa ia tidak sanggup untuk menjadi wali pengampu ketiganya. Artinya, persaksian ES binti TD dalam perkara ini justru menepis asumsi adanya kecurangan salah satu pihak, karena yang diharapkan oleh semua pihak, baik Pemohon ataupun para saksi dalam kasus ini, adalah murni untuk kesejahteraan ketiga anak tersebut. Terakhir, dengan adanya musyawarah yang dilakukan terlebih dahulu dari masing-masing anggota keluarga, baik dari pihak alm. BS atau almh. SS,
41
Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agam, h. 339.
84
dan kesemuanya sepakat untuk menetapkan pengampuan kepada Pemohon, menguatkan kembali anggapan tidak adanya persekongkolan salah satu pihak terhadap kesaksiannya. Dengan demikian, berdasarkan beberapa fakta dan bukti di atas, menurut hemat penulis, adanya larangan persaksian karena hubungan kekeluargaan, baik itu antara orang tua dan anak atau hubungan suami isteri, tidak dapat digunakan dalam perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Dpk dan Penetapan yang telah dikeluarkan oleh Majelis Hakim melalui keputusannya ini telah seiring dengan hukum Islam.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian penulis dalam bab-bab sebelumnya, akan diambil beberapa kesimpulan dari penelitian ini, yaitu: 1. Pengampuan anak dalam hukum Islam dikenal dengan istilah al-harju, yaitu larangan seseorang yang dianggap tidak mampu melakukan tindakan hukum karena kekurangan yang dimilikinya, termasuk adalah anak kecil. Dalam hukum Islam, terutama dari kalangan Sunni, diakui bahwa yang paling berhak untuk menjadi wali pengampu anak yang belum baligh adalah bapak atau kakeknya, ataupun orang yang diberikan wasiat oleh keduanya ketiga keduanya meninggal (wali de jure). Namun demikian, Mahkamah atau pengadilan dapat menetapkan wali pengampu pengganti (wali de facto) ketika yang berhak untuk menjadi wali ini tidak ada. Sementara dalam konteks keindonesiaan, menurut Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 107 Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, perwalian adalah hak semua keluarga yang dianggap dekat dengan anak tersebut, asalkan ia dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. 2. Mengenai Penetapan Majelis Hakim dalam perkara Nomor 16/Pdt.p/2007/PA Dpk tentang penetapan wali pengampu kepada paman telah ini didasarkan 85
86
pada Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam, bahwa wali berasal dari kerabat dan berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Selain itu, karena Pemohon (Sutrisno bin Sutarmin) merasa sanggup untuk memelihara dan menjadi wali pengampu bagi ketiga anak tersebut, maka Pengadilan telah memutuskannya sebagai Wali Pengampu. 3. Penetapan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok tentang penetapan wali pengampu kepada Pemohon telah seiring dengan hukum Islam, dengan beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama, Majelis Hakim atau Pengadilan berhak untuk menentukan wali pengampu de facto kepada Pemohon yang merasa lebih siap dari anggota keluarga yang lain. Kedua, Pemohon yang ditetapkan sebagai wali pengampu ini telah memenuhi syarat-syarat perwalian yang ditetapkan oleh hukum Islam. Ketiga, para saksi adalah orang-orang yang secara langsung mengetahui dan mengalami peristiwa-peristiwa hukum mengenai ketiga anak tersebut, serta menginginkan hal terbaik bagi ketiganya, sehingga adanya kecenderungan persekongkolan ataupun in-obyektifitas dalam memberikan keterangan pun terhindar. Keempat, Penetapan yang diberikan oleh Majelis Hakim ini adalah untuk kemashlahatan dan keberlangsungan kehidupan ketiga anak tersebut, yang telah ditinggal oleh kedua orang tuanya.
87
B. Saran-saran Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini adalah: 1. Kepada Mahkamah Agung, terutama Direktorat Jenderal Peradilan Agama, hendaknya mensosialisasikan lebih luas tentang hukum Islam dan penerapannya di Pengadilan Agama, baik kepada para Hakim Agama ataupun kepada masyarakat luas. Sosialisasi dan penyebarluasan ini diharapkan akan meningkatkan kinerja para hakim dan penguasaannya dalam hukum Islam, serta mendukung proses persidangan di Pengadilan Agama. 2. Kepada para hakim Pengadilan Agama di seluruh Indonesia hendaknya meninjau kembali ketetapan-ketetapan hukum Islam yang telah dibuat oleh para Ahli Fikih. Meskipun tidak dijadikan rujukan utama, tetapi menjadi bahan pertimbangan dan perbandingan, karena ketika Putusan atau Penetapan Majelis Hakim seiring dengan hukum Islam, maka legitimasinya pun lebih diakui. 3. Untuk para orang tua, hendaknya menetapkan wasiat terkait dengan urusan anak, terlebih ketika terdapat anak-anak yang berada di bawah umur. Hal ini menjadi penting mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang tidak terlalu senang berurusan dengan hukum, seperti pengadilan. Artinya, dengan adanya wasiat, setidaknya tidak perlu untuk bermusyawarah ataupun sampai bertengkar dalam menentukan hak perwalian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an dan Terjemahnya Arto, Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2004, cet. V. Baderin, Mashood A., Hukum Internasional Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam, penerjemah Musa Kazhim dan Edwin Arifin. Jakarta: Komnas HAM RI, 2007. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Profil Peradilan Agama, (Jakarta: Dirjen Peradilan Agama, 2006), h. 2. Fashl, Ali Abu, Syahadatu al-Nisa’ fi al-Fiqh al-Islami, dalam Majallat Jamiah alDimasyqa, (Damaskus), edisi 17 Nomor 2 Tahun 2001. Fauzan, M., Pokok-pokok Hukum Acara Perdata dan Mahkamah Syariah. Jakarta: Prenada Media, 2007, cet. III. Fyzee, Asaf A.A., Pokok Hukum Islam I, penerjemah Arifin Bey. Jakarta: Tintamas, 1959. Ghazaly, Abdurrahman, Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003, cet. I. Harahap, Yahya, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama: Undangundang Nomor 7 Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini, 1997. Khalaf, Abdul Wahab, Ahkam Ahwal al-Syakhsiyyah fi al-Syariati al-Islamiyyati. Kuwait: Dar al-Qalam, 1990), cet. II. Madzkur, Muhammad Salam, Peradilan dalam Islam, penerjemah Imron AM. Surabaya: Bina Ilmu, 1993. Marwazi al, Imam Abu Abdullah Muhammad ibn Nashr, Ikhtilaf Ulama’. Beirut: ‘Alam al-Kutub, tth. Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mazhab. Penerjemah Masykur AB, dkk. Jakarta: Lentera, 2001.
88
89
Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi: Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Ciputat: Logos, 2003. Nurruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata islam di Indonesia. Jakarta: Prenada, 2006, cet. III. Penetapan Perkara Nomor 16/Pdt.P/2007/PA Depok, h. 5. Pengadilan Agama Depok, “Peta Yuridiksi Pengadilan Agama Depok”, diakses dari http://www.pa-depok.go.id/portal/yuridiksi-pa pada tanggal 27 Januari 2010 _________, “Profil Pengadilan Agama Depok”, diakses dari depok.go.id/portal/profil-pa pada 27 Januari 2010.
http://www.pa-
_________, “Visi dan Misi Pengadilan Agama Depok”, diakses dari http://www.padepok.go.id/portal/visi-dan-misi pada 27 Januari 2010. Qurthubi al, Syamsuddin, Jami’ li Ahkami al-Qur’an, tahqiq Hisyam Syamir alBukhari. Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M, juz III. Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, cet. V Rusyd Ibnu, Imam al-Qhadi Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad ibn Muhammad, Bidayatu al-Mujtahid. Beirut: Dar al-Fikr, tth, juz II. Shihab, Muhammad Qurash, “Wali dan Kewalian Perspektif al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi al-Qur’an, Vil. II, Nomor 1 Tahun 2007. Simanjuntak, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2005), h. 26. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, cet. VIII. Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Prenada, 2006. Wahjono, Padmo, Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Pembentukan Hukum di Masa Depan, dalam Amrullah Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam 86
90
Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Zahrah, Imam Abu, al-Ahwal al-Syakhsiyyah. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1950. Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Prenada Media, 2004, cet.. II Zuhaily, Wahbah, Kebebasan dalam Islam, penerjemah Ahmad Minan dan Salafuddin Ilyas. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Pasal 49 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (HIR/ R.Bg) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam