Wali Hakim Bagi Calon Mempelai Yang Berpindah Agama (Studi Kasus Penetapan PA Jakarta Selatan NO.112/Pdt.P/2011/PA JS dan NO.84/Pdt.P/2012/PA JS) Puspa Ayu Utaminingsih1 dan Wismar ‘Ain Marzuki2 Program Studi S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia ABSTRAK Skripsi ini membahas tentang wali hakim bagi calon mempelai yang berpindah agama (masuk Islam). Bagi pasangan berbeda agama sulit melaksanakan perkawinan. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan berpindah agama. Pasangan non muslim biasanya berpindah masuk agama Islam. Akibatnya ia tunduk pada rukun nikah. Wali nikah adalah salah satu rukun terpenting dan harus dipenuhi. Permasalahan terjadi ketika calon mempelai wanita tidak memiliki wali nikah karena wali tidak memenuhi syarat atau enggan menikahkan (adhol). Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif. Sumber data penelitian adalah data sekunder dengan mengumpulkan secara studi pustaka dan dianalisis secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukan 1)bagi Calon pengantin yang tidak memiliki wali nikah akibat berpindah agama dapat mengajukan permohonan penetapan wali hakim ke Pengadilan Agama, dan 2) meminta penetapan Pengadilan Agama untuk menunjuk wali hakim untuk menikahkan mereka. Kata Kunci : Berpindah Agama; Calon Mempelai; Wali Hakim
ABSTRACT This thesis discuss about judge guardian (wali hakim) for bridegroom who convert their religion (into Islam). For some interfaith couple find it difficult to get married. One of the ways that they usually did is religion convert. One of Non muslim couple generally convert their religion into Islam. In the aftermath, he/she must bent down to marriage pillar(rukun nikah). Marriage of guardian (wali nikah) is important of requisition to fulfill to be performed is valid. The problem comes up when bride doesn’t has wali because wali not qualified to performed the marriage contract or wali reject the consent of marriage (adhol). Method which used in this research is descriptive analysis research method and juridical normative. Data source used is secondary data and be analyzed qualitatively. The result of the research showed 1) For the bridegroom who has no wali because their convert religion into Islam allowed to request guardian judge (wali hakim ) to religion court and 2) plead for the religion court to ordered appointed judge guardian as substitute wali to performed their marriage contract Keyword
: Religion conversion; Bridegroom; Judge Guardian (Wali Hakim).
1 2
Mahasiswa S1Paralel Fakultas Hukum Universitas Indonesia Angkatan 2010 Dosen Pembimbing Skripsi dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
I. PENDAHULUAN Perpindahan agama karena Perkawinan
merupakan hak asasi setiap penduduk
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UUD1945 yang menyatakan bahwa3: “Negara berdasarkan ketuhanan yang maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat sesuai keyakinan”. Dari ketentuan tersebut dikatakan bahwa Indonesia memberikan kebebasan bagi setiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing serta dimungkinkan pemeluk agama untuk berpindah ke agama lain. Pindah agama bukanlah suatu larangan. Namun tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Sebab perpindahan agama memiliki konsekuensi tersendiri. Pihak yang berpindah agama bukan hanya merubah status agama saja, namun juga perlu dibuktikan dengan suatu perubahan hukum dan peralihan sosial mana mereka beralih. Perpindahan agama dalam Islam dikenal dengan dua cara yaitu Masuk dan Keluar Agama Islam. Sebagai agama universal yang menghargai keberagaman, Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk memaksakan agama pada umat yang lain seperti dalam Al-Quran Al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Isam sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat (QS Al-Baqarah (2) : 256)”. Bagi non-Islam yang telah berpindah masuk agama Islam menjadi mualaf maka dianggap bahwa dirinya telah menundukan diri pada hukum Islam dan setiap kegiatan serta perbuatan hukumnya didasarkan pada ajaran agama Islam dan berusaha menjauhi apa yang dilarang agama untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, termasuk, masalah perkawinan. Perkawinan harus dilaksanakan secara Islam dengan melaksanakan syarat dan rukun nikah agar perkawinan dinyatakan sah. Salah satu rukun nikah yang harus dipenuhi adalah keberadaan wali nikah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19 KHI bahwa: “Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkan”4.
3
4
Indonesia, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD 1945, Pasal 29 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Pasal 19
2
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
Ketiadaan wali nikah bagi perkawinan secara Islam dapat menyebabkan pernikahan menjadi batal serta dinyatakan tidak sah, Landasan ini berdasarkan Hadis Nabi Muhammad SAW yaitu: “Rasulullah SAW bersabda : Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil (HR Ahmad bin Hambal)”5. Namun untuk menjadi wali nikah haruslah memenuhi persyaratan terlebih dahulu. Adapun syarat menjadi wali nikah adalah laki-laki, beragama Islam, Akil, Baliqh, dan Adil. Apabila tidak terpenuhi salah satu unsurnya, orang tersebut tidak memenuhi syarat sebagai wali dan tidak bisa menjadi wali nikah. Berdasarkan pasal 22 KHI menyatakan bahwa apabila wali tidak memenuhi syarat maka hak perwalian wali nikah akan bergeser kepada wali nikah derajat lain. Seringkali calon mempelai wanita mualaf dan baru saja masuk Islam kesulitan memenuhi rukun nikah ini. Ayah kandung yang menjadi wali nasab dan paling berhak menikahkan anak perempuannya tidak bisa menjadi wali akibat beragama Non-Islam sehingga tidak memenuhi syarat menjadi wali nikah. Bila terjadi keadaan seperti itu maka calon mempelai wanita dapat meminta bantuan wali hakim sebagaimana Pasal 23 KHI yang menyatakan bahwa:“Wali hakim dapat bertindak apabila wali nasab tidak ada…”. Disamping KHI ada juga peraturan lain mengenai wali hakim yaitu Peraturan Menteri Agama No.30 tahun 2005 tentang Wali Hakim. Seorang Wali Hakim yang menggantikan wali untuk menikahkan bukanlah seorang hakim Pengadilan melainkan seorang kepala Kantor Urusan Agama (KUA) yang ditunjuk penetapan Pengadilan Agama untuk bertindak sebagai wali nikah. Calon mempelai wanita yang mualaf
dapat meminta bantuan menunjuk wali hakim dengan cara
mengajukan permohonan wali hakim ke Pengadilan Agama setempat. Pada kasus yang penulis analisis, karena calon mempelai wanita berdomisili di wilayah kotamadya Jakarta Selatan maka Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan perkara ini adalah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dari uraian latar belakang permasalahan di atas, dapat dikemukakan beberapa perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
5 M. Idris Ramulyo,dkk (Tim Pengajar) . Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Islam : Buku Ajar. (Depok:FHUI,2010). hal. 60.
3
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
1. Bagaimana analisis terhadap pertimbangan hakim
Pengadilan Agama dalam
menetapkan Wali Hakim bagi calon mempelai wanita yang berpindah masuk agama Islam (mualaf) pada Penetapan PA Jakarta Selatan No. 112 /Pdt.P/2011/PAJS; 2. Bagaimana analisis terhadap pertimbangan hakim
Pengadilan Agama dalam
menetapkan Wali Hakim bagi calon mempelai wanita yang walinya enggan menikahkan (adhal) dengan alasan calon suaminya baru berpindah masuk agama Islam (mualaf) pada Penetapan PA Jakarta Selatan No. 84/Pdt.P/2012/PA JS. Adapun tujuan dari Penelitian ini adalah untuk menelaah dan memahami alasanalasan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam menetapkan Wali Hakim bagi calon mempelai wanita yang tidak memiliki wali nasab yang memenuhi syarat akibat berpindah masuk agama Islam (mualaf) dan bagi calon mempelai wanita yang walinya enggan menikahkan (adhal) dengan alasan calon suami dianggap tidak mampu menjadi kepala keluarga karena dirinya baru masuk Islam (mualaf). II.
TINJAUAN TEORITIS
Wali Nikah memiliki keistimewaan dalam Islam dan menjadi unsur pembeda dari hukum perkawinan agama lain. Bagi pemeluk agama Islam, sah atau tidaknya perkawinan adalah dengan terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat dan rukun nikah, dimana keberadaan Wali Nikah merupakan salah satu rukun nikah yang harus dipenuhi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 19 KHI, bahwa : ‘Wali Nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya’. Imam syafi’I, Maliki, dan Hambali menyatakan bahwa izin dan keberadaan Wali Nikah merupakan bagian dari rukun perkawinan dan dilarang melangsungkan perkawinan tanpa adanya izin wali. Adapun hadis Nabi Muhamad SAW yang menjadi landasan pendapat ini: “Dari Aisyah r.a. berkata sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : Barangsiapa wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal (diucapkan tiga kali). Jika suami isteri tersebut sudah bercampur maka berikanlah mahar sebagai hak istri. Jika kedua pihak (wanita dan Wali Nikah) tersebut berselisih
4
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
maka sulthan (hakim) lah yang menjadi wali. Sesungguhnya sulthan (hakim) adalah wali bagi orang-orang yang tidak berwali ”(HR Abu Daud)6”. Wali Nikah adalah seseorang dari pihak calon mempelai wanita yang dimintai izinnya dalam suatu perkawinan dan menjadi pengucap ‘Ijab’ dalam sighat akad nikah karena pada hakikatnya wanita adalah pemalu. Selain itu, keberadaan Wali Nikah merupakan suatu bukti bahwa pernikahan tersebut telah mendapat izin atau restu dari orangtua dan keluarganya7. Wali dalam perkawinan terbagi menjadi dua macam yaitu Wali Nasab dan Wali Hakim8. Pengertian Wali Nasab adalah seorang laki-laki yang memiliki hubungan keturunan dari garis patrilineal dengan anak perempuan atau wanita yang akan dinikahkan9. Adapun yang menjadi Wali Nasab ialah ayah, kakek, anak laki-laki, saudara laki-laki, dll dari pihak keluarga ayah calon mempelai wanita (partilineal) yang memenuhi persyaratan menjadi Wali Nikah. Penarikan garis nasab menurut keturunan ayah merupakan ketentuan yang dianut mazhab syafi’I . Beberapa Jumhur ulama memang memiliki pendapat yang berbeda mengenai nasab. Menurut Imam Syafi’I, wali nasab adalah ayah, kakek, dan seterusnya dari garis keturunan ke atas pihak ayah calon mempelai wanita, Menurut Imam Hanafi, semua kerabat dekat mempelai wanita termasuk seorang laki-laki dari hubungan nasab dapat menjadi wali nikah10. Orang yang akan menjadi Wali Nikah harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Apabila wali tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh hukum perkawinan Islam maka perwaliannya tidak sah. Pasal 20 ayat (1) KHI mengatur bahwa, seseorang yang dapat bertindak sebagai Wali Nikah adalah seorang laki-laki, muslim, aqil, baligh, dan adil. Pada prinsipnya semua syarat di atas harus dipenuhi oleh seseorang yang akan menjadi Wali Nikah. Jika tidak memenuhi salah satu ketentuan syarat itu, maka orang itu tidak dapat menjadi Wali Nikah. Pasal 22 KHI menyatakan bahwa: “Seseorang yang tidak memenuhi syarat sebagai Wali Nikah, atau oleh karena Wali Nikah itu menderita tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi Wali Nikah bergeser pada Wali Nikah lain yang memenuhi syarat pada derajat berikutnya.” 6
Yaswirman, Hukum Keluarga : Karateristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hal 191. 7 Kamal Muchtar , Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang), hal. 93 8 Indonesia. Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, Ps. 20 ayat (2). 9 Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta:Tintamas, 1983), hal. 59 10 Amir Syarifudin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 76
5
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
Berdasarkan perumusan Pasal 22 KHI tersebut, seseorang yang tidak memenuhi syarat tidak dapat menjadi Wali Nikah dan kehilangan hak nya menjadi Wali Nikah. Hak Wali Nikah kemudian akan bergeser kepada Wali Nikah pada derajat keturunan berikutnya selama orang tersebut mampu untuk memenuhi persyaratan Wali Nikah. Berkaitan ini ada baiknya juga membahas mengenai wali aqrab dan wail ab’ad. Wali Aqrab adalah wali yang memiliki hubungan darah yang dekat dengan calon mempelai pengantin wanita dan diutamakan menjadi Wali Nikah, sedangkan Wali Ab’ad adalah wali yang memiliki hubungan darah yang jauh. Wali ab’ad tidak dapat menikahkan perempuan di bawah perwaliannya selama wali aqrab masih hidup seperti dalam Al-Quran: “…orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu (QS Al-Anfal(8): 75).”11 Serta berdasarkan hadis Nabi Muhamad SAW : “Rasulullah SAW bersabda : Apabila seorang wanita akan dinikahkan oleh dua orang wali, maka (wanita tersebut) milik (dinikahkan oleh) wa.li pertama (HR At-Tarmidzi)12” Perpindahan wewenang dari Wali Nasab aqrab kepada Wali Nasab ab’ad dapat terjadi apabila wali aqrab tidak memenuhi persyaratan menjadi wali nikah sebagaimana yang telah diatur Pasal 22 KHI. Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan ashabah13, dimana kelompok satu didahulukan dari kelompok lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan. Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 21 mencantumkan urutan wali nasab sebagai berikut: a. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas, yaitu ayah kandung, kakek; b. Kelompok kerabat laki-laki garis menyamping, yaitu saudara kandung laki-laki,
saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki sekandung, dll; c. Kelompok kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung dari ayah, saudara laki-laki
seayah dari ayah,dll; 11
Said Thalib Al-Hamdani, Risalah al-Nikah, terj. Agus Salim (Jakarta : Pustaka Amani, 1990), hal.84 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Marham min Adillatil Ahkam, terj. Dani Hidayat, (Jakarta : Pustaka Alhidayah, 2008), hal 73 13 Ashabah adalah kerabat seseorang dari pihak bapak dalam disiplin ilmu hukum waris, ashabah adalah orang yang dapat memiliki harta waris semuanya dan bisa mendapatkan sisa harta setelah terbaginya bagian harta orang-orang yang masuk dalam ketegori ashhabul furud (Dari : Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara, 1980) h.76 12
6
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
d. Kelompok kerabat ayah dari ayah (kakek) yaitu saudara kandung laki-laki kakek,
saudara laki-laki seayah dari kakek, anak saudara laki-laki sekandung kakek, anak saudara laki-laki seayah dari kakek, dll. Bagi calon mempelai wanita beragama Islam harus mendapatkan izin dan persetujuan dari orangtua nya, terutama ayahnya sebagai wali nikah, sebelum melangsungkan akad nikah. Apabila terdapat keadaan dimana wali nikah enggan atau menolak menikahkan, maka calon mempelai wanita dapat meminta bantuan Wali Hakim sebagai pengganti wali dalam pelaksanaan akad nikah. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad yang berbunyi: "Dari aisyah r.a., bahwa Rasulullah S.A.W bersabda : Wanita manapun yang kawin tanpa izin walinya maka nikahnya batal (diucapkan sebanyak 3x). Apabila mereka (wanita dan wali nikah) bersengketa maka sulthan adalah walinya (HR Empat Imam kecuali Nasa'I)14". Sulthan yang dimaksud dalam hadis tersebut ialah pemimpin tertinggi. Di Indonesia, Pemimpin tertinggi Negara adalah Presiden, yang kemudian, menunjuk Menteri Agama untuk menyeleksi dan memberi kuasa kepada pegawai pencatat nikah yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai Wali Hakim. Penunjukan Wali Hakim ini juga di tegaskan dalam Pasal 1 huruf (b) KHI yang berbunyi : "Wali Hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama / pejabat lain dan diberi hak untuk menikahkan." Meskipun dikenal dengan istilah Wali Hakim namun pihak yang ditunjuk bukanlah hakim dari pengadilan, tetapi biasanya, adalah penghulu atau pegawai pencatat nikah lain yang berasal dari Kantor Urusan Agama (KUA) berdasarkan penetapan Pengadilan Agama atas. permohonan mempelai wanita yang mengalami kesulitan menghadirkan wali nasab15. Berdasarkan Pasal 23 KHI bahwa Wali Hakim baru dapat bertindak apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin dihadirkan, tidak diketahui tempat tinggalnya atau enggan (adhol). Selain kondisi tersebut, calon mempelai wanita tidak dapat memohon wali hakim. Seringkali calon mempelai wanita mengajukan permohonan wali hakim lantaran walinya enggan menikahkannya dengan calon suaminya (adhal). Kata Adhal menurut etimologi berasal dari Bahasa Arab yang artinya mencegah ataupun menghalang-halangi. Definisi wali adhal menurut Wahbah Al Zulaili adalah :
14 Imam Syafi’I. Al-Umm (Kitab Induk) Jilid 8, Terjemahan Ismail Yakub, (Kuala Lumpur: Victory Agency, 1984), hal. 93 15 Sayuti Thalib, Loc.Cit.
7
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
“Penolakan wali untuk menikahkan anak perempuannya yang berakal dan sudah baligh dengan laki-laki yang sepadan dengan perempuan itu. Jika perempuan tersebut telah meminta kepada walinya untuk dinikahkan dan masing-masing calon mempelai saling mencintai maka penolakan demikian menurut sya’ra dilarang”16. Pernikahan yang tidak dihadiri oleh wali karena adhol akan menyebabkan syarat dan rukun pernikahan dalam Islam gagal untuk dipenuhi oleh calon mempelai dan berakibat pernikahan tidak dapat dilangsungkan. Untuk mengatasi permasalahan wali adhol, calon mempelai dapat mengajukan permohonan penetapan wali adhol ke pengadilan agama yang sesuai dengan wilayah hukum dimana calon mempelai wanita bertempat tinggal. Salah satu Ahli Fikih dan Hukum Islam, Imam syafi’I , pernah berkata berkata: “Diharuskan dalam mencari kepastian bahwa seorang wali itu adhal hanyalah di muka hakim. Sedangkan perempuan berikut laki-lakinya juga hadir untuk mempersaksikannya (tentang adhalnya wali). Apabila wali hadir di muka hakim dan menyatakan ketidaksetujuannya melangsungkan perkawinan maka ia tidak bisa melangsungkan perkawinannya dengan wali dari golongan kerabat (wali jauh), Hakim akan mempertanyakan alasan adhal. Apabila pelamar dianggap telah sekufu dan wanita tersebut telah rela menerima pinangannya maka (wali) hakim yang akan mengawinkan pasangan tersebut.”17. Setelah majelis Hakim dari Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan permohonan Wali Adhol, Majelis Hakim akan menunjuk seseorang, biasanya, Kepala KUA kecamatan tempat tinggalnya, untuk menjadi Wali Hakim untuk menikahkannya. Akad nikah akan dilangsungkan dengan kedua calon mempelai, saksi, serta Kepala KUA sebagai Wali Hakim. Sebelum akad terlaksana, Wali Hakim akan meminta kembali Wali Nasab untuk menikahkan calon mempelai wanita sekalipun sudah ada penetapan. Tindakan ini menunjukan bahwa keberadaan Wali Hakim ditujukan bukan untuk menghilangkan hak menikahkan yang dimiliki orang tua sebagai Wali Nasab tetapi hanya sebagai bentuk perlindungan hak bagi kaum wanita agar dapat dinikahkan dengan walinya secara layak dan pernikahannya sah baik secara hukum maupun Islam18.
16
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu. (Al Fiqh Al Islami Wa Adillahu). (Syed Ahmad Syed Hussain ,dkk.Penerjemah). (Jakarta: Gema Insani,2011), hal 238
17
Imam Syafi’I, Loc.cit Rachmadi Usman, . Aspek-aspek hukum perorangan dan kekeluargaan di Indonesia. Cet.1 (Jakarta : Sinar Grafika.2006), hal. 284 18
8
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
III. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunkaan jenis penelitian hukum normatif berupa kajian pada asas hukum dan hukum positif dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang akan menitikberatkan pada pengamatan terhadap pengaturan hukum positif perkawinan di Indonesia, berdasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Al-Quran dan Hadis, Kompilasi Hukum Islam, dan Peraturan Menteri Agama No. 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim terhadap pertimbangan hakim menetapkan wali hakim dalam kasus wali nasab yang
berbeda agama / non muslim dengan pengumpulan bahan secara
penelitian kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier 2. Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang diperoleh dari data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan yang diuraikan antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain dan dikoreleasikan sedemikian rupa sehingga dapat disajikancdalam penelitian sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun bahan hukum terdiri dari Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, Bahan Hukum Tersier. Bahan hukum Primer yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Al-Quran dan Terjemahan, serta beberapa kitab fikih mengenai hukum pekawinan Islam, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Menteri Agama No. 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim, Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, serta peraturan lain yang berkaitan dengan permasalahan tentang penetapan wali hakim. Bahan hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa buku-buku dan artikel yang berkaitan dengan perananan wali hakim. Serta Bahan hukum Tersier yaitu bahan penelitian yang juga dipergunakan sebagai pelengkap pemahaman atas informasi yang didapat dari bahan hukum primer dan sekuder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan Ensiklopedia19.
19
Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penelitian FHUI, 2005), hal. 4.
9
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
3.Pendekatan Penelitian Cara pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini ada dua yaitu dengan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan merupakan penelitian pada produk-produk hukum, sedangkan pendekatan kasus merupakan pendekatan mengenai alasan dan pertimbangan hukum atas putusan atau penetapan suatu perkara wali hakim. Pendekatan ini kemudian dianalisis secara keseluruhan dengan menggunakan analisis kualitatif mengkaji analisis berdasarkan teori, doktrin, dan pendapat para ahli sehingga mendapat gambaran utuh mengenai penyelesaian permasalahan tentang wali hakim bagi pasangan mempelai yang berpindah agama Islam (mualaf).
IV. HASIL PENELITIAN Analisis penelitian ini dilakukan secara kualitatif berdasarkan kasus guna melihat penerapan teori untuk menyelesaikan permasalahan mengenai wali hakim yang terdapat dalam objek penelitian yang penulis pilih yaitu Penetapan No.112/Pdt.P/2011/PA JS dan Penetapan No.84/Pdt.P/2012/PA JS. Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan menggunakan sumber hukum Islam dan hukum positif dalam peraturan perundang-undangan untuk dijadikan dasar pertimbangan memutuskan perkara yaitu Kompilasi Hukum Islam dan Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim. A. Penetapan No.112/Pdt.P/2011/PA JS 1.Kasus Posisi Pada tanggal 6 Juni 2011, calon mempelai dengan inisial nama Ny.A dan Tn.B mendapatkan Surat Penolakan Perkawinan No. KK.09.1.9/Pw.01/364/VI/II dari KUA sehingga mereka sulit untuk melangsungkan keinginan mereka menikah sebab tidak adanya pernyataan izin dari wali nikah yaitu ayah Pemohon. Lalu, Ny.A sebagai Pemohon mendaftarkan Surat Permohonan Penunjukan Wali Hakim di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 7 Juni 2011.
10
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
Adapun alasan pemohon mengajukan permohonan wali hakim karena Pemohon adalah mualaf yang baru saja masuk Islam. Sebelumnya pemohon beragama katolik. Dikarenakan Ayah Pemohon beragama Non-Islam menolak untuk menikahkan anak perempuannya dengan calon suaminya yang beragama Islam. Selain itu Ayah Pemohon dan semua anggota keluarga Pemohon beragama Non-Islam sehingga tidak memenuhi syarat menjadi wali nikah sehingga Pemohon tidak memiliki wali. Agar tetap dapat melangsungkan perkawinan secara Islam, Pemohon memerlukan bantuan wali hakim untuk menikahkan. 2. Penetapan Majelis Hakim memberikan penetapan atas permohonan yang isinya sebagai berikut : i. Mengabulkan permohonan Pemohon. ii. Menetapkan Ayah Pemohon sebagai Wali Nasab tidak memenuhi persyaratan sesuai syariat agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. iii. Menunjuk Kepala KUA Kecamatan Mampang Prapatan sebagai Wali Hakim yang akan menjadi wali dalam pernikahan Pemohon dengan Calon Suami Pemohon. iv. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 516.000 (lima ratus enam belas ribu rupiah). 3. Analisis Kasus permohonan wali hakim dalam penetapan ini merupakan bagian dalam hukum perkawinan Islam dimana ayah pemohon yang dianggap sebagai wali nasab yang sempurna untuk melakukan akad nikah, justru sebaliknya, tidak memenuhi syarat menjadi wali nikah akibat memiliki keyakinan berbeda dengan anak perempuannya, yaitu beragama Katolik. Menurut Al-Quran QS 2:221, QS 3:28, QS 5:51 serta Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam. Wali Nasab yang dapat menikahkan anak perempuannya adalah seorang pria yang beragama Islam , berakal, dewasa dan memiliki kecakapan bertindak. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, otomatis ia tidak berhak dan tidak dapat menjadi wali nikah. Sehingga calon mempelai wanita dapat memiliki kesulitan menghadirkan ayahnya sebagai wali nikah karena terhalang tidak memenuhi syarat. Dikarenakan pemohon tidak memiliki wali lain yang beragama Islam, maka majelis hakim berpendapat ia tidak lagi memiliki wali untuk menikah sehingga dapat mengajukan permohonan wali hakim. Kondisi pemohon 11
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
yang tidak memiliki wali yang memenuhi syarat dianggap memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) PMA No.30 Tahun 2005 yang menyebutkan bahwa “calon mempelai wanita yang wali nasabnya tidak memenuhi syarat dapat mengajukan permohonan wali hakim ke pengadilan agama di wilayah hukum tempat tinggalnya”. Maka dengan alasan tersebut , pemohon mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Majelis Hakim pun mengabulkan permohonannya dengan menetapkan wali nya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah dan menetapkan kepala KUA kecamatan Mampang Prapatan sebagai wali hakimnya. Dari analisa ini sepertinya keseluruhannya nampak telah selaras dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hingga, penulis menemukan bahwa dasar hukum yang dituliskan majelis hakim adalah Pasal 23 ayat (2) KHI yang mengatur tentang penetapan wali adhal. Ada kemungkinan ini merupakan salah satu bentuk kelalaian dalam pencetakan surat penetapan, namun apabila benar demikian hal tersebut sangatlah disayangkan, sebab tidak semua permohonan wali hakim berdasarkan keengganan wali nasab. Ada kondisi-kondisi lain yang juga harusnya diperhatikan untuk mendapatkan penetapan wali hakim. Penulis menganggap majelis hakim kurang sesuai menetapkan hal tersebut sebab penetapan ini bukanlah kasus wali adhal, dan berpendapat bahwa sebaiknya pasal 22 dan Pasal 23 ayat (1) KHI yang digunakan majelis hakim sebagai dasar hukum putusan.
B. Penetapan No.84/Pdt.P/2012/PA JS 1. Kasus Posisi Ny.C (inisial) adalah calon mempelai wanita yang mendaftarkan surat permohonan Penunjukan Wali Hakim di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada tanggal 10 Mei 2012 setelah KUA Kecamatan Pasar Minggu menolak pendaftaran pencatatan perkawinan kepada Pemohon melalui Surat Penolakan Pernikahan No. KK 09.1.3/PW.01/219/2012 dengan alasan penolakan bahwa Ayah Pemohon tidak menyukai Calon Suami Pemohon masuk Islam dan menjadi mualaf hanya untuk menikah dengan Pemohon dan khawatir Calon Suami Pemohon belum mampu menjadi Imam dan Kepala keluarga yang baik bagi rumah tangga anak perempuannya 12
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
tersebut. Pemohon menganggap alasan keengganan ayahnya menjadi wali nikah tidak sesuai syariat agama dan tidak berorientasi pada kebahagiaan Pemohon sehingga meminta Pengadilan menetapkan adhol ayahnya sebagai wali nikah. 2. Penetapan Majelis Hakim memberikan penetapan atas permohonan yang isinya : i. Mengabulkan permohonan Pemohon. ii. Menetapkan Ayah Pemohon sebagai Wali Adhol. iii. Menunjuk Kepala KUA Kecamatan Pasar Minggu sebagai Wali Hakim yang akan menjadi wali pernikahan Pemohon dengan Calon Suami Pemohon. iv. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 616.000 (enam ratus enam belas ribu rupiah). 3. Analisis Kasus permohonan wali hakim dalam penetapan ini merupakan kasus wali adhal. Wali dianggap adhal apabila ia enggan untuk menikahkan perempuan yang berada di bawah perwaliannya dengan alasan yang tidak sesuai syariat agama. Orangtua termasuk wali nasab pada dasarnya memiliki hak ijbar. Hak ijbar adalah hak bagi wali nasab untuk menentukan calon suami yang terbaik untuk dinikahkan dengan anak perempuan atau wanita yang berada di bawah perwaliannya. Sebenarnya hak ijbar bukanlah bentuk pemaksaan melainkan suatu perlindungan seorang ayah atau wali kepada anak perempuannya untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik melalui pernikahan. Namun bagi wali yang memiliki hak ijbar tidak boleh memaksakan kehendaknya apabila anak perempuannya tidak menyetujui pilihan yang diberikan. Sebab pada hakikatnya perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan kerelaan dari dua belah pihak, bukan saja mempelai melainkan juga wali nikah dan keluarganya. Apabila ayah menggunakan hak ijbar untuk menolak calon suami pilihan anak perempuannya dengan alasan yang memenuhi syara maka kerabat bahkan hakim sekalipun harus menerima keputusan ayahnya dan menolak adanya perkawinan. Namun apabila ayah menolak dengan alasan yang tidak sesuai syara maka wali tersebut dianggap adhal sebab telah menghalang-halangi terjadinya perkawinan.
13
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
Alasan penolakan ayah pemohon adalah karena calon suaminya mualaf (baru masuk Islam). Dalam penetapan, pemohon menganggap hal ini tidaklah beralasan sebab peristiwa perpindahan agama calon suaminya ke dalam Islam merupakan suatu hal yang bagus, dan bukanlah sebuah perbuatan yang dilarang. Bahkan dengan perpindahan calon suaminya masuk Islam, antara pemohon dengan calon suami tidak lagi memiliki penghalang untuk melangsungkan perkawinan. Karena alasan adhol ini tidak diatur dalam KHI maupun PMA No.30 Tahun 2005, maka majelis hakim pun menyetujui pendapat pemohon lalu mengabulkan permohonannya untuk menetapkan ayahnya sebagai wali adhal dan menunjuk kepala KUA Kecamatan Pasar Minggu sebagai wali hakim untuk menikahkannya. Jika diperhatikan dari dasar Pasal 23 ayat (2) KHI dan PMA No.30 Tahun 2005 yang digunakan majelis hakim sebagai dasar hukum penetapan, memang tidak terdapat hal yang bertentangan dimana Pemohon sebagai calon mempelai wanita terhalang untuk menikah sebab walinya adhal lalu ia mengajukannya ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Hal ini terlihat benar, namun dirasa kurang tepat, sebab, Jika majelis hakim mempertimbangkannya dari kajian hukum-hukum fikih dimana terdapat ketentuan mengenai alasan apakah wali bisa dianggap adhal maupun tidak jika menolak menikahkan anak perempuannya, maka dasar hukum yang majelis hakim gunakan untuk memberikan pertimbangan dirasakan kurang tepat. Amir Syarifudin pernah mengutip sebuah kitab fikih L’anatut Tholibin karangan Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatho Ad-Dimyathi As-Syafi’I. Pada Juz ke-3 halaman 319 dikemukakan ketentuan mengenai wali dapat menolak kehendak perkawinan apabila calon suami anak perempuannya adalah pemabuk, pengguna nakoba, berbeda agama, fasiq, dll yang dianggap membawa kemudharatan bagi anak perempuan tersebut20.
Sebetulnya dari kesaksian bibi pemohon dalam penetapan
bahwa alasan ayah pemohon menolak bukan saja karena calon suami mualaf melainkan karena calon suami pemohon memiliki masa lalu yang buruk yaitu mantan pengguna narkoba. Ayah pemohon khawatir perilaku calon suami nya tersebut dapat kembali dan nantinya akan membuat hidup pemohon menderita. Kekhawatiran ini 20
Amir Syarifudin. Op.Cit., hal. 82
14
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
sebenarnya bisa membuat ayah pemohon tidak ditetapkan adhal dan ayah pemohon dapat menggunakan hak ijbarnya untuk menolak. Jika hal ini dipertimbangkan, kemungkinan permohonan pemohon bisa tidak dikabulkan. Sangat disayangkan, karena majelis hakim hanya mempertimbangkan dari sisi kepentingan pemohon yang ingin segera melangsungkan perkawinan, tanpa mempertimbangkan mengenai kekhawatiran dan alasan adhalnya ayah pemohon.
V. PEMBAHASAN Imam Safi‟i bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya pernikahan Sedangkan menurut madzhab hanafi, wali tidak menjadi syarat untuk sahnya suatu pernikahan, tetapi sunah saja hukumnya boleh ada wali dan boleh tidak ada wali, yang terpenting adalah harus ada izin dari orang tua pada waktu akan menikah baik dia pria maupaun wanita. Di Negara Indonesia yang kebanyakan menganut Madzhab Syafi‟i wali merupakan syarat sahnya pernikahan, jadi apabila pernikah tanpa wali, maka pernikahanya tidak sah, dan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkanya (Pasal 19 KHI), wanita yang menikah tanpa wali berarti pernikahanya tidak sah. Adapun pihak yang berhak menjadi wali adalah wali nasab, yaitu wali dari pihak keluarga mempelai perempun dan apabila wali nasab sama sekali tidak ada, maka yang berhak menikahkan adalah wali hakim. Tentang pelaksananan penentuan wali hakim bagi anak perempuan yang berpindah masuk agama Islam ataupun wali hakim bagi anak perempuan yang walinya adhal sebab tidak setuju menikah dengan calon suami yang mualaf sebenarnya telah terdapat ketentuannya secara umum dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No.30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim. Pasal 2 ayat (1) PMA No.30/2005 menentukan pada kondisi apa saja calon mempelai perempuan dapat mengajukan permohonan wali hakim : 1. tidak memiliki wali nasab yang berhak; 2. wali nasab tidak memenuhi syarat; 3. wali nasab mafqud (hilang); 15
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
4. wali nasab sedang ihram/ibadah haji; 5. wali nasab enggan menikahkan (adhal). Maka yang berhak untuk menikahkan calon mempelai wanita tersebut adalah wali hakim. Wali hakim adalah seorang kepala KUA Kecamatan yang ditunjuk oleh pemerintah (Menteri Agama) untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Memperhatikan Pasal 2 tersebut, maka kedua kasus di atas memenuhi kondisi dimana calon mempelai wanitanya
dapat meminta bantuan wali hakim untuk melaksanakan
perkawinannya sehingga majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan pun mengabulkan kedua permohonan tersebut. Hanya saja dasar hukum dan pertimbangan hukum majelis hakim pada penetapan kurang dijelaskan dengan rinci, dimana penulis hanya mendapatkan pernyataan bahwa majelis hakim menggunakan dasar hukum yang sama terhadap kedua penetapan itu, yaitu Pasal 23 ayat (2) KHI dan Pasal 2 PMA No.30/2005 tentang Wali Hakim. Padahal berdasarkan uraian analisa di atas, telah ditemukan bahwa kasus ini memiliki alasan permohonan yang berbeda sehingga dasar hukum yang digunakan penetapan dirasa kurang tepat jika ditafsirkan berdasarkan ketentuan yang berada dalam peraturan perundang-undangan tersebut.
VI. KESIMPULAN A. Dalam penetapan No.112/Pdt.P/2011/PA JS bahwa Pasal 23 ayat (2) KHI yang dijadikan sebagai dasar hukum yang digunakan Majelis Hakim dalam penetapan ini kurang sesuai sebab pada pasal 23 ayat (2) merupakan penetapan adhol bagi wali nikah yang enggan, sedangkan dasar hukum yang sesuai untuk penetapan ini adalah Pasal 22 KHI yang membahas mengenai perpindahan perwalian bagi wali yang tidak beragama Islam dan tidak memenuhi syarat B. Dari Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No.84/Pdt.P/2012/PA JS bahwa dasar yang digunakan majelis hakim untuk menetapkan wali adhal berdasarkan Pasal 23 KHI benar, namun majelis hakim dalam penetapan ini kurang mempertimbangkan dari sisi syariat dan hanya menetapkan berdasarkan kepentingan pemohon saja.
16
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
VII. SARAN A. Penulis berharap Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga peradilan negara bertugas dan berwenang memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi mereka yang berperkara wali adhol diharapkan lebih berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara wali adhol agar tidak ada pihak-pihak yang memanfaatkan putusan atau penetapan pengadilan agama sebagai salah satu upaya penyelundupan hukum untuk melangsungkan perkawinan beda agama. B. Penulis berharap Hakim sebagai pihak yang memeriksa dan menetapkan permohonan perkara wali adhol diharapkan tidak saja mengedapankan kepentingan pemohon namun juga perlu memberikan kesempatan bagi orangtua calon mempelai wanita atau
termohon
untuk didengarkan
alasannya
enggan
menikahkan
dan
dipertimbangkan pula kepentingannya agar tetap tercipta suasana harmonis dan kekeluargaan bahkan setelah majelis hakim menjatuhkan penetapan. C. Penulis menyarankan kepada orang tua atau wali nasab agar tidak mempersulit peminangan terhadap calon mempelai wanita dengan pertimbangan pribadi dan tidak sesuai dengan alasan yang diatur syariat dan peraturan perundang-undangan agar calon mempelai wanita dapat melangsungkan perkawinannya tanpa perlu berwali hakim. VIII. KEPUSTAKAAN Imam Syafi’I. Kitab Induk (Al-Umm). ( Ismail Yakub,Penerjemah). Kuala Lumpur: Victory Agency, 2000. Muchtar, Kamal. Asas-asas hukum Islam tentang perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1974. Ramulyo,idris.et.all (Tim Pengajar) . Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Islam : Buku Ajar. Depok:FHUI,2010. Sarwat,Ahmad. Seri Fiqih Kehidupan Jilid 8: Pernikahan, Jakarta: DU Publishing, 2011 Siddik, Abdullah. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Tintamas, 1983. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 2006.
17
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994. Syarifudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fikih dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana,2008. Thalib, Sajuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press,2009. Usman,
Rachmadi.
Aspek-aspek
Hukum
Perorangan
dan
Kekeluargaan
di
Indonesia. Cet.1. Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Yaswirman, Hukum Keluarga : Karateristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat dalam Masyarakat Minangkabau. Jakarta, Rajawali Press,2011. Zuhaili,Wahbah. Fiqih Islam Wa Adilatuhu. (Al Fiqh Al Islami Wa Adillahu). (Syed Ahmad Syed Hussain ,dkk.Penerjemah). Jakarta: Gema Insani,2011.
18
Wali Hakim..., Puspa Ayu Utaminingsih, FH UI, 2014