PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN SEMESTER GANJIL 2014/2015 UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Pelindung
: Rektor Universitas Darma Persada
Penangung Jawab
: Wakil Rektor I
Pimpinan Redaksi
: Kepala Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan
Anggota Redaksi
: Prof.Dr. Kamaruddin Abdullah, IPU. Dr. Gatot Dwi Adiatmojo Dr. Ari Artadi Dr. Aep Saepul Uyun, M.Eng. Dra. Irna N. Djajadiningrat, M.Hum.
Alamat Redaksi
: Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Universitas Darma Persada Jl. Radin Inten II (Terusan Casablanca) Pondok Kelapa - Jakarta Timur (14350) Telp. (021) 8649051, 8649053, 8649057 Fax.(021) 8649052 E-Mail :
[email protected] Home page : http://www.unsada.ac.id
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR
iii
Faktor yang Mempengaruhi Upaya Peningkatan Pemahaman Mahasiswa dalam Pelajaran Menyimak Rusdi M. Yusuf, Eka Yuniar
1-13
Analisis Materi Ajar Verba Bentuk –Te Kun MP, Juariah, Riri Hendriati
15-24
Morfologi Bahasa Jepang Analisis dan Pengembangan Ilmu–ilmu Linguistik Bahasa Jepang (Bagian 1) Ari Artadi, Chonan Kazuhide, Dila Rismayanti, Hargo Saptaji, Hermansyah Djaya
25-35
Kualitas Buku Teks Pelajaran Bahasa Jepang Tingkat Dasar “Minna no Nihongo” (Studi Evaluasi di Universitas Darma Persada) Hani Wahyuningtias
37-48
Konstruksi Kalimat Kontraksi dalam Bahasa Mandarin Yulie Neila Chandra, Gustini Wijayanti
49-58
Peningkatan Kompetensi Soft Skills Mahasiswa Sastra Unsada melalui Model Pembelajaran Kontekstual terhadap Karya Sastra Etnis Amerika Agustinus Hariyana, Karina Adinda
59-67
Pengaruh Pembimbing Akademik terhadap Motivasi Belajar Mahasiswa Unsada Program Studi Sastra Inggris. Yoga Pratama
69-76
Kajian Sosiolinguistik Dampak Pemilihan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pertama Anak dalam Keluarga Masyarakat Penutur Bahasa Aceh di NAD terhadap Terkikisnya Bahasa Aceh sebagai Aset Budaya Bangsa Fridolini, Tommy Andrian
77-91
Reflection of Dream Theory in “Bless Me, Ultima” Albertine Minderop
93-102
Strategi Adaptasi Orang Tionghoa di Bekasi Melalui Upacara Cengbeng C. Dewi Hartati, Hin Guan Gunawan
103-113
Reformasi Pendidikan dan Kebangkitan Ekonomi Jepang Pasca Perang Dunia ke II Erni Puspitasari , Dini Fujianti, Indun Roosiani
115-128
~i~
Saigo Takamori dalam Pemberontakan Kaum Samurai Yessy Harun
129-139
Homeless sebagai salah satu Dampak Sosial dari Baburu Keijai Tia Martia, Irawati Agustine, Metty Suwandany,Zainur Fitri
141-150
liáng zhù
Kupu - Kupu Sebagai Lambang Kesetiaan Dalam Cerita 梁 祝 Febi Nur Biduri, Alexandra
151-158
Pengembangan Mesin Penyegaran Udara dengan Tenaga Matahari Kamaruddin Abdullah, Aep Saepul Uyun, Muswar Muslim
159-167
Studi Penerapan Monozukuri Pada Industri Kecil Melalui Teori Difusi Innovasi Untuk Meningkatkan Keberlanjutan Usaha Kasus Industri Mebel Desa Bojong Jakarta Timur Herman Noer Rahman, Asyari, Eko Budi Wahono
169-176
Rekayasa Sosial Untuk Menjamin Keberlangsungan Desa Mandiri Energi Di Desa Cihanjuang Cimahi Jawa Barat Ardi Winata, Nani Dewi Sunengsih, Widiastuti
177-188
Stabilitas Kapal Longline di PPN Pelabuhan Ratu Theresia Dwi Novianti, Shanty Manulang, Shahrin Febrian
189-200
Kajia Efisiensi Pemakaian Bahan Bakar pada Kapal Tugboat dengan Menggunakan Web-based Monitoring and Control System di PT. X. Danny Faturachman, Yoseph Arya Dewanto
201-214
Strategi Penurunan Emisi Kapal Ferry Rute Pelayaran Merak Bakauheni Shanty Manulang, Arif Fadillah, Ginanjar
215-221
Perancangan Aplikasi Monitoring Suhu pada Ruangan DMZ (DeMilitarized Zone) Berbasis Web dan Mobile Adam Arif Budiman, Herianto
223-228
Data Mining Melihat Pola Hubungan Nilai Tes Masuk Mahasiswa terhadap Data Kelulusan Mahasiswa untuk membantu Perguruan Tinggi dalam Mengambil Kebijakan dalam rangka Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Timor Setyaningsih, Adam Arif Budiman
229-237
Pengenalan Pola Huruf Romawi Dengan Jaringan Syaraf Tiruan Perseptron Lapis Jamak Eko Budi Wahono, Suzuki Syofian
239-246
Analisis tingkat Kepuasan Pelanggan Restaurant Mister Bakso (Studi kasus Pelanggan Mister Bakso Ciledug). Sukardi, Endang Tri Pusjiastuti
247-261
~ ii ~
Desain Prototipe Pembangkit Listrik Tenaga Panas Air Laut Aep Saepul Uyun, Arif Fadillah
~ iii ~
263-272
~ iv ~
KATA PENGANTAR
Seminar hasil penelitian para dosen Unsada semester genap tahun akademik 2014/2015 dengan tema “MENINGKATKAN MUTU DAN PROFESIONALISME DOSEN MELALUI PENELITIAN” telah dilaksanakan pada tanggal 2 September 2015 di Universitas Darma Persada. Seminar hasil penelitian para dosen tersebut diadakan diharapkan untuk menghasilkan inovasi-inovasi teori maupun inovasi-inovasi teknologi tepat guna dan juga menyampaikan hasil penelitiannya kepada sesama dosen dilingkungan civitas academika Unsada. Prosiding ini disusun dengan menghimpun hasi-hasil penelitian para dosen yang telah diseminarkan dan telah diperbaiki berdasarkan masukan-masukan pada seminar tersebut. Tujuan disusunnya proseding seminar ini adalah untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian para dosen yang telah diseminarkan. Pada prosiding edisi semester genap tahun akademik 2014/2015 berisi 34 makalah, yang terdiri dari; 16 makalah bidang Humaniora, 9 makalah bidang Teknik, 4 makalah bidang Teknologi Kelautan, 3 makalah bidang Ekonomi dan 2 makalah dari Pascasarjana. Pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada para peneliti, penyaji dan para penulis makalah, penyunting serta panitia yang telah bekerja sama, sehingga prosiding ini dapat diterbitkan. Selanjutnya harapan kami semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi para pihak yang berkepentingan.
Jakarta, September 2015
Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Kepala
~v~
~ vi ~
UPAYA PENINGKATAN PEMAHAMAN MAHASISWA DALAM PELAJARAN MENYIMAK DENGAN MEMPERGUNAKAN STRATEGI BOTTOM UP DAN TOP DOWN Rusydi M. Yusuf (
[email protected]), Eka Yuniar Ernawati (
[email protected]) Fakultas Sastra/Jurusan Sastra Inggris Abstract Listening is a very important language skills, because listening is a receptive skill. Someone who can listen well will gain knowledge easily. A student who has good skill in listening will be able to express their opinions well. The purpose of this research is to improve students' ability in listening comprehension ranging from the simple to the difficult to understand. This research is a Classroom Action Research by using Bottom-up and Top-down strategies applied simultaneously. This research was conducted at the University of Darma Persada Jakarta, the object of the research are the students of English Department. Based on temporary results of this Classroom Action Research that Bottom Up strategy has to be applied earlier than Top Down Strategy, because to be able to listen well to be started from how to pronounce of the word , understand simple paragraphs leads to the more difficult and complicated paragraphs to understand. Key words: Listening, Bottom-up Strategy, Top Down Strategy, Classroom Action Research
1. PENDAHULUAN Menyimak merupakan suatu kemampuan yang bersifat reseptif, karena menyimak berarti menerima apa yang diutarakan atau disampaikan dari luar dirinya. Keterampilan menyimak merupakan salah satu keterampilan yang sangat penting, sebagaimana yang dikatakan oleh Soedjiatno yang dikutip oleh Fahmi Hidayat (http://jurnal-online.um. ac.id/data/artikel /artikel20A237057EB029D6A967281168FE2683.pdf) bahwa menyimak itu sangat penting dalam beriteraksi, yaitu sebagai alat komunikasi. Untuk bisa berkomunikasi secara efektif maka memerlukan proses informasi yang benar, proses infomasi yang benar dan informatif hanya dapat dihasilkan melalui proses mendengarkan dan menyimak yang baik. Listening Comprehension merupakan suatu proses yang baik dalam membangun makna dalam sebuah komunikasi dan proses komunikasi ini akan bertambah mudah untuk difahami dengan juga ikut memahami berbagai berbagai hal seperti, aksen, ucapan, keragaman kosa kata, sifat dari lawan bicara, situasi yang berkembang, di samping isi pembicaraan yang sedang dibicarakan. Maka dari itu setiap orang memerlukan kemampuan mendengarkan yang memadai untuk dapat berkomunikasi
~1~
dengan baik. Seorang pendengar haruslah memahami betul isi sebuah pembicaraan untuk dapat merespon dengan baik, selain itu juga seseorang harus juga kapan suatu pembicaraan dilakukan, apakah suatu pembicaraan bersifat formal atau informal. Memang, kemampuan menyimak sangatlah penting dalam proses belajar bahasa terutama untuk membangun suatu komunikasi yang baik, para peneliti banyak yang memfokuskan diri dalam penelitian listening ini dalam rangka mencari suatu pendekatan atau metode yang cocok dalam proses pembelajaran menyimak ini. karena menyimak adalah salah satu komponen bahasa yang sangat penting, menyimak membutuhkan semua kemampuan yang ada dalam bahasa yaitu kemampuan dalam tata bahasa, kosa kata, membaca, dan yang tak kalah pentingnya adalah kemampuan seseorang beradaptasi dengan budaya bahasa yang dipelajari dalam hal ini adalah budaya Amerika, Inggris, dan Australia sebagai bahasa sumber dalam bahasa Inggris. Apalagi bagi orang Indonesia bahasa Inggris masih merupakan bahasa asing dan belum lagi sebagai bahasa kedua. Meskipun bahasa Inggris merupakan bahasa asing di Indonesia, namun ia sangatlah diperlukan dalam berkomunikasi dengan berbagai kalangan, karena pada saat sekarang ini perusahaan asing sangatlah berkembang pesat di Indonesia perusahan tersebut menempatkan pekerja asing din Indonesia dan mereka membutuhkan pekerja dari Indonesia yang mampu menguasai bahasa asing terutama bahasa lisan dan tulisan sehingga kemampuan menyimak dalam hal ini sangatlah diperlukan guna memahami pesan yang disampaikan oleh para pekerja asing yang ada di Indonesia. (http: //www.pps.unud.ac.id/disertasi/pdf_thesis/unud27-191558789-bab%201-3.pdf) Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar menyimak diterapkan dan faktor apa saja yang mempengaruhi Proses tersebut. Penelitian ini akan dilakukan selama kurang lebih 2 tahun, dan akan dilakukan di Universitas Darma Persada, dalam penelitian ini akan dilakukan pengkajian terhadap mahasiswa Jurusan Sastra. Hasil penelitian ini diharapkan akan mampu menemukan berbagai kendala yang dihadapi oleh mahasiswa dari jurusan Sastra Inggris dalam memahami persoalan dalam bahasa Inggris terutama dalam hal menyimak dengan ditemukannya berbagai kendala tersebut, peneliti akan mencoba mencari solusi yang tepat guna memecahkan persoalan tersebut, dengan ditemukannya kendala dan solusi masalah tersebut diharapkan hal ini dapat meningkatkan proses belajar mengajar pelajaran menyimak dan sekaligus meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Inggris.
~2~
Dalam melakukan penelitian ini akan diterapkan strategi pengajaran Bottom up dan Top Down secara bersamaan, dengan diterapkannya kedua strategi ini diharapkan para mahasiswa akan mampu menyimak setiap bunyi bahasa dengan baik dan sekaligus memahami pesan yang disampaikan. 2. TINJAUAN PUSTAKA Upaya Peningkatan Kemampuan Mahasiswa dalam Pelajaran Menyimak dengan mempergunakan strategi Bottom Up dan Top Down. Menurut para ahli linguistik bahwa belajar bahasa Inggris harus difokuskan pada pelajaran tata bahasa dan bentuk bentuk bahasa, dan pelajaran menyimak adalah salah satu bahasan yang termasuk ke dalam bentuk bahasa
tersebut.
(http://www.mikeswan.co.uk/elt-applied-linguistics/teaching-
grammar.htm). Ketika seorang guru mengajarkan suatu wacana maka seorang guru akan berusaha untuk membedakan antara pengucapan dari huruf vokal dan konsonan, pada tahap selanjutnya mencoba memahami kosa kata, kalimat dan wacana yang sedang didiskusikan tersebut. Menurut Howatt dan Daikin sebagaimana yang dikatakan oleh Abeer H. Malkawi menyimak adalah kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi memahami apa yang dikatakan oleh lawan seseorang. Proses ini meliputi pemahaman terhadap pengucapan, tata bahasa, kosa kata pengertian terhadap makna yang disampaikan oleh seseorang. Menyimak atau mendengarkan sebagaimana yang dikutip oleh Nurul Islam dari L. Miller merupakan media untuk memperoleh lebih banyak ilmu, informasi, pemahaman, dan nilai-nilai kehidupan. Untuk itu para pelajar haruslah dibekali dengan pelajaran menyimak atau mendengarkan yang efektif dan berhasil guna. Sebagai sebuah keterampilan berbahasa, menyimak atau mendengarkan sangat memainkan peranan yang sangat penting dalam pengembangan berbahasa pembelajar. Menurut Krashen (1982) bahwa manusia memperoleh bahasa dengan cara memahami informasi linguistik yang mereka dengarkan. Menyimak atau mendengarkan adalah suatu proses mental dimana sangatlah sulit bagi para ahli untuk menggambarkannya, untuk itu yang perlu diperhatikan pada waktu menyimak atau mendengarkan adalah bagaimana seseorang mampu membedakan antara satu bunyi dengan bunyi lainnya, memahami kosa kata dan tata bahasa yang disampaikan oleh lawan bicara, mampu mengiterpretasikan penekanan dan intonasi bahasa, dan yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana juga memahami kontek sosio kultural dari bahasa yang dipergunakan.
~3~
Dalam kontek pelajaran menyimak atau mendengarkan ada dua strategi yang sering dipergunakan sesuai dengan proses masukan dari bahasa itu sendiri terjadi. Yaitu Bottom Up Strategy dan Top Down Strategy. Pertama adalah Bottom Up Strategy, strategi ini lebih mengedepankan hal yang berkenaan dengan pengenalan terhadap suara yang berbeda-beda, pembedaan kata demi kata, dan tata bahasa yang menghasilkan makna. Bottom Up Strategy meliputi: (http://www.nclrc.org/essentials/listening/stratlisten.htm) 1) listening for specific details, 2) recognizing cognates, 3) recognizing word-order patterns Dalam penggunaan Bottom Up strategi, bahwa mendengarkan adalah proses membaca kata-kata dari fonem hingga teks lengkap. Dalam pandangan ini, unit fonem dibaca dan dihubungkan untuk membentuk kata-kata, kumpulan kata dihubungkan untuk membentuk frasa, frasa dihubungkan akan membentuk ungkapan dan pada akhir akan menjadi sebuah teks lengkap. Menurut Peterson sebagaimana yang dikutip oleh Vargas, (2009) dalam proses pembelajaran menyimak dengan mempergunakan strategi Bottom up, para pelajar diharapkan untuk member perhatian penuh terhadap hal-hal yang detil dari teks yang didengarkan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Brown, bahwa dalam strategi pembelajaran Bottom Up para pembelajar diharapkan mampu memahami tahap demi tahap mulai dari membedakan bunyi, kemudian kata, kemudian makna hubungan antar gramatika. Dengan kata lain proses ini berangkat dari Bottom hal yang bersifat detil menuju ke Top yang pada akhirnya mampu menangkap pesan yang didengarkan. Strategi pembelajaran Bottom Up menurut Dhuha Atalla (2010) mengacu kepada data yang tertulis sebagai sumber dari informasi, dasarnya adalah teks tertulis para pendengar akan bergantung kepada pesan yang terdapat dalam tulisan tersebut maka dari itu kombinasi dari suara, kata, dan tata bahasa akan memunculkan makna yang diinginkan. Para pendengar akan focus kepada kalimat yang disampaikan oleh orang-per/orang. Kedua, adalah Top Down strategy, untuk dapat memahami strategi ini maka seorang pembelajar sudah memiliki latar belakang mengenai topik yang akan disampaikan, kontek atau situasi, jenis materi yang akan dibicarakan, dan yang penting adalah bahasa itu sendiri. Top Down strategy meliputi: (http://www.nclrc.org/essentials/listening/stratlisten. htm) 1) Listening for the main Idea. 2) Predicting, 3) Drawing inferences, 4) summarizing Menyimak atau mendengarkan lebih bersifat suatu proses interaktif, dimana seorang pembelajar akan mempergunakan pengetahuan dan kemampuan lingustik untuk dapat
~4~
memahami suatu pesan. Dengan kata lain bahwa menyimak dengan strategi Top Down mengacu kepada latar belakang pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya untuk dapat memahami pesan yang disampaikan. Prosess Top Down ini, menyangkut keaktifan para pendengar dalam membangun makna berdasarkan dugaan dan pengetahuan yang relevan lainnya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Schwartz yang dikutip oleh Al Qaraghooly bahwa :
Top Down Strategies are listeners based; the listener taps into background knowledge of the topic, the situation or context, the type of the text, and the language. This background knowledge activates a set of expectation that help the listener to interpret what is heard and anticipate what will come next.
Karena kedua strategi ini sangatlah penting, maka dalam proses pembelajaran kedua stragei ini diterapkan secara bersamaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Vargas, bahwa dalam proses belajar mengajar agar menggunakan kedua strategi ini agar dapat memahami bahasa lisan. Dan pengajar harus member kesempatan kepada para pelajar untuk mempergunakan kedua strategi ini.
3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengatahui tingkat kesulitan mahasiswa dalam pelajaran menyimak, faktor apa saja yang menghambat mereka dalam mengikuti pelajaran menyimak, apakah faktor internal ataukah faktor eksternal. Penelitian ini dilakukan karena masih ditemukan mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam memahami wacana yang mereka dengarkan dan itu berpengaruh terhadap pelafalan kata dan kalimat yang mereka ucapkan baik dalam membaca maupun dalam berkomunikasi.
4. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Metode dan desain Penelitian Dalam setiap penelitian seorang peneliti selalu mempergunakan suatu metode dalam rangka mengumpulkan data dan mengolah data tersebut sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Arikunto (1997:151) bahwa “metode penelitian adalah cara yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data penelitian”.
~5~
Dalam melakukan penelitian ini dipergunakan metode penelitian Kaji Tindak (Action Research) dengan pendekatan kuantitatif. Metode penlitian Kaji Tindak atau Action Rresearch menurut Setiyadi (2006: 270) adalah suatu penelitian yang lebih menekankan pada penyempurnaan dalam pelaksanaan pengajaran di Kelas. Penelitian Kaji Tindak (Action Resarch) menurut Iskandar (2011:33) mempunyai beberapa tujuan di antaranya adalah: 1) untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu isi, masukan, proses, serta hasil pendidikan dan pembelajaran di kelas. 2) membantu pengajar mengatasi masalah pembelajaran di dalam dan di luar kelas. 3) mencari jawaban secara ilmiah atas permasalahan yang muncul. 4) meningkatkan sikap profesionalisme sebagai pengajar dan pendidik. 5) menumbuh kembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah, sehingga tercipta perbaikan dan peningkatan mutu pembelajaran secara berkelanjutan. Dalam penelitian Kaji Tindak ini dilakukan pengajaran menyimak terhadap mahasiwa Jurusan sastra Inggris. Mahasiswa diberikan proses pembelajaran Bottom Up strategy, danr Top Down Strategy secara bersamaan. Sebelumnya akan diberikan pre-tes, setelah diperoleh hasil dari pretest tersebut kemudian akan diberikan materi pelajaran menyimak setelah itu akan dilakukan pos-tes untuk mengetahui hasil dari proses belajar mengajar di atas. Dari hasil pos-tes yang dilakukan akan diteliti, diamati dan dianalisis sejauh mana dan apa saja kendala mahasiswa tersebut dalam mengikuti pelajaran menyimak, dan faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya kendala tersebut. Populasi: Menurut Arikuto (1997 : 115) populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Berdasarkan defenisi di atas maka populasi dari penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester II Jurusan Sastra Inggris Universitas Darma Persada. Yang berjumlah 124 Orang. Sample: Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1997: 117) dalam penelitian ini, akan diambil sampel dari mahasiswa semester II Jurusan Sastra Inggris sebanyak 50 orang. Instrumen Penelitian: Menurut Arikunto bahwa instrument mengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti agar kegiatan penelitian mengumpulkan data tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. (1997:138) adapun instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tes: Menurut Arikunto (1997:138) tes adalah serentetan pertanyaan yang digunakan untuk mengukur keterampilan, intelegensia, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh
~6~
individu atau kelompok. Maksud dari tes dalam penelitian ini yaitu tes sound discrimination, fill in the blank, dan Story Telling. 2. Angket atau Kuesioner; Angket atau kuesioner merupakan sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadi atau hal-hal lain yang ia ketahui (Arikunto, 1997: 140) . Ada dua jenis angket yang di yaitu Jenis angket terbuka yang member kesempatan kepada mahasiswa untuk menjawab dengan kalimat mereka sendiri dan jenis angket tertutup yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih. (Arikunto, 1997:141) 4.2 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumulan data dilakukan melalui dua jenis instrument yaitu melalui Tes dan Angket atau Kuesioner. 1. Tes: Tes digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengukur kemampuan mahasiswa dalam pelafalan atau pengucapan kata-kata yang sajikan melalui rekaman yang sudah disediakan dalam bentuk tes minimal pairs, isian kata kata yang kosong dalam wacana dan pemahaman suatu wacana dari yang termudah sampai yang sulit. 2. Angket atau kuesioner: Angket atau kuesioner diberikan kepada mahasiswa semester II Jurusan Sastra Inggris Unsada. Tujuan dari angket ini adalah untuk mengatahui tingkat kesulitan dalam pelafalan, pemahaman wacana, dan apa yang perlu diperbanyak dalam rankga menunjang pencapaian keterampilan tersebut. Angket yang disajikan terdiri dari 20 pertanyaan untuk angket jenis tertutup.
5. HASIL YANG DICAPAI Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan Sastra Inggris Universitas Darma Persada Jakarta, penelitian dilaksanakan pada semester 2 selama lebih kurang 1 semester, yaitu semester Genap 2014-2015. Jumlah seluruh mahasiswa pada semester 2 adalah 124 orang mahasiswa, jumlah sample yang diteliti adalah 50 orang mahasiswa. Instrument penelitian yang dipergunakan ada dua jenis instrument bentuk pertama adalah berupa test yaitu: pre-tes dan pos-tes, bentuk kedua adalah penyebaran angket untuk mengetahui kesulitan yang mereka hadapi dalam mengikuti pelajaran menyimak, apakah kesulitan tersebut ditimbulkan dari masalah internal atau eksternal 5.1 Deskripsi tingkat pamahaman mahasiswa dalam pelajaran menyimak Dalam menyimak diperlukan beberapa keterampilan sebagai syarat untuk bisa melakukan kegiatan menyimak dengan baik, di antaranya adalah 1) Kemampuan mengidentifikasi
~7~
suara, 2) Kemampuan mengindentifikasi unsur-unsur kalimat, seperti kata, phrasa, kalimat, wacana dll., 3) Kemampuan untuk menangkap makna yang terkandung dalam kata, phrasa, kalimat, dll. Dalam penelitian ini, sebelum melakukan penelitian yang dilakukan selama ±3 bulan lamanya, terlebih dahulu diberikan tes dalam bentuk Pre tes untuk mengetahui tingkat pemahaman dalam pelajaran menyimak. Pada tahap berikut diberikan pelajaran menyimak, setelah diberikan pelajaran menyimak maka diberikan tes dalam bentuk Pos tes. Dalam pemberian Pre tes dan post tes ada tiga katagori penilaian yang diambil yaitu: pelafalan kata dalam bentuk minimal pairs, pemahaman phrasa dalam bentuk fill in the blank, dan pemahaman wacana dalam bentuk story telling. Dari hasil pre tes dan post tes dapat dilihat hasil sebagai berikut: Minimal Pairs adalah ucapan dua buah kata yang berbeda baik dalam pengertian maupun dalam penulisan namun hampir sama dalam pengucapan, sebagaimana yang dikatakan oleh Hotton
yang
dikutip
oleh
Martha
Richa
(http://jurnal.untan.ac.id/
index.php/jpdpb/article/download/7814/7908) “minimal pairs consists of two words that differ in pronunciation by only one sound or feature that ultimately changes the meaning of a word”. One assumption underlying the use of minimal pairs is mispronunciations in the words that likely to lead to misunderstandings. Minimal pair is a quick way to sensitize the students’ to differentiate the words that they have listened through dictation. Simply, they are the pairs of words that differ in only one sound Istilah lain yang dikenal dengan Minimal Pairs adalah Test of Sound Discrimination, menurut David P Haris (1969:32) Test of Sound Discrimination is to teach the learner to discriminate between phonetically similar but phonemically separate sounds in the target language. Dalam tes pelafalan dengan bentuk Minimal Pairs, diberikan 30 buah kata dari hasil pre tes terhadap kata yang disajikan nilai rata-rata yang diperoleh adalah 11.804 yang dalam prosentasenya adalah 39%. Dari hasil nilai yang diperoleh pada saat pelaksanaa pre tes bahwa kemampuan untuk mendengarkan kata-kata yang masih sederhana perlu mendapat perhatian, karena ini merupakan dasar dari pelajaran menyimak yang harus perlu ditingkatkan. Bentuk pre tes lain yang diberikan adalah isian dalam berupa melengkapi kata, phrasa, atau kalimat dalam wacana yang dikenal dengan Fill in the blank. Atau Completion Test, menurut Harris, (1969: 27) Completion Test Present a context in which one or more words
~8~
are missing. Sementara menurut Marry Finnochiaro dan Sydney Sako (1983:168) yang lebih mengenal bentuk tes ini dengan Cloze Test mengatakan bahwa: The Cloze Procedure in which every few words in a passage is systematically deleted. Dalam tes isian atau Fill in The Blank, diberikan 12 kata yang kosong dalam wacana yang mereka denganrkan melalui rekaman, dari hasil tes rata-rata nilai yang diperoleh adalah 3,18 atau dlam prosentasenya 26% dari total yang harus diperoleh. Dari hasil yang diperoleh ini, perlu kiranya memperbanyak materi dalam materi palajaran ini untuk masa selanjutnya. Bentuk ketiga dari test yang diberikan adalah dalam bentuk Story Telling, dalam kata lain Finocchiaro memberikan katagori test ini dalam pelajaran membaca, namum juga dapat juga diberikan dalam pelajaran menyimak. Story telling dalam istilah Finocchiaro adalah Paragraph Summarization. (1983: 159) Paragraph Summarization the students will be given a printed page of a book--in reading class—and asked to readsilentrly. They may then give brief summary of the material they have read, presenting the content in their own words. Kita dapat menerapkan bentuk tes ini dalam palajaran Listening Comprehension dengan cara mengganti materi bacaan dengan cara memperdengarkan bentuk cerita dan wacana kemudian palajar bercerita ulang dengan memakai bahasa sendiri untuk mengungkapkan apa yang mereka fahami. Namun menurut bentuk tes ini hanya dapat diberikan kepada mereka yang memang sudah memiliki dasar bahasa yang baik, sebagaimana yang dikatakan Finocchiaro (1983:159) This type of the testing should be used with advance students who already have a good knowledge of foreign language. Maka untuk penerapan dalam pelajaran Listening ini lebih cocok diterapkan dengan mempergunakan stragi Top Down, karena pelajaran dimulai dari materi yang sulit. Dari hasil tes Story Telling, diperoleh hasil rata-rata nilai adalah 9,82 poin atau dalam prosentase adalah 33%. Untuk Story Telling sebagaimana yang dikatakan oleh Finocchiaro bahwa materi ini hanya akan dapat difahami dengan baik oleh mahasiswa yang sudah memiliki tingkat pengetahun bahasa yang lebih baik dalam bahasa target. Setelah diberikan pre tes pada tahap berikutnya adalah peyampaian pelajaran menyimak dengan mempergunakan kedua strategi yang telah disebutkan di atas yaitu Bottom Up dan Top Down Strategy. Peyampaian materi dalam bentuk ini berlangsung 3 bulan. Pada tahap berikutnya adalah melakukan Pos Tes, dengan mempergunakan model materi tes yang telah dipakai dalam Pre Tes. Dalam pemberian Pos Tes tidak semua materi yang diberikan sama dengan yang telah diberikan pada saat Pre Tes, namun materi yang diberikan sudah diberikan
~9~
di kelas dalam pelajaran sehari-hari. Jumlah score penilaian yang diambil dalam Pos Tes sama dengan diambil pada saat Pre Tes. Dari Hasil Pos Tes yang dilakukan diperoleh Score nilai sebagai berikut: dalam tes dengan katagori Minimal Pairs diperoleh nilai 15,431, hasil ini meningkat 3 poin dengan prosentase 51%, naik 12% dari hasil Pre Tes. Sementara dari hasil penilaian pada katagori Fill In the Blank, diperoleh nilai 5,24 hasil ini meningkat 2.06 poin, dengan prosentase 26% meningkat 18%, sementara dari hasil penilaian Story Telling diperoleh nilai 10, 29 meningkat 0,47 poin dengan prosentase 34% meningkat dari hasil pre tes sebesar 1%. Dalam pelaksanaan perkulihan sebelum dilakukan Pos Tes strategi Bottom Up dan Top Down dilaksanakan secara Bersamaan sehingga hasil yang diperoleh tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dan hanya meningkat sangatlah kecil. Guna melengkapi hasil Tes yang diberikan kepada mahasiswa, dalam penelitian ini juga diberikan angket untuk melihat letak kesulitan yang alami oleh mahasiswa, apakah letak kesulitan tersebut disebabkan oleh raktor internal yang ada dalam diri mereka sendiri ataukah diakibatkan oleh faktor eksternal yang ikut mempengaruhi diri mereka. Dari hasil angket yang disebarkan dibagi ke dalam dua katagori jawaban yang diperoleh yaitu yang bersifat internal dan yang bersifat terhadap kesulitan dalam mengikuti pelajaran menyimak adalah sebagai berikut: 5.2 Faktor penghambat Secara Internal Secara umum faktor internal yang menjadi faktor penghambat dalam upaya peningkatan pemahaman mahasiswa dalam pelajaran menyimak tidaklah begitu banyak, namun ada dua faktor yang menghambat dalam upaya peningkatan pemahaman mahasiswa dalam pelajaran menyimak, yaitu pernyataan nomor 4 yang berbunyi: Apakah anda bertanya pada saat pelajaran Listening? Dari jawaban yang diperoleh bahwa hanya 2 orang mahasiswa saja (4%) yang selalu bertanya pada saat mengikuti pelajaran Listening, sedangkan 14 (28%) mahasiswa yang menyatakan bahwa mereka kadang-kadang bertanya pada saat pelajaran Listening, sementara 34 (68%) mahasiswa menyatakan ia tidak pernah bertanya selama mengikuti pelajaran Listening. Bertanya merupakan faktor yang cukup berpengaruh secara internal dalam suatu proses pembelajaran, karena kurangnya seorang pelajar dalam bertanya secara otomatis akan menghambat dirinya dalam memahami suatu materi pelajaran atau keseluruhan pelajaran yang diikuti. Dari pernyataan No. 8 yang berbunyi: Apakah anda belajar di rumah sebelum pelajaran Listening? Dari jawaban yang diperoleh hanya 2 (4%) orang mahasiswa yang menjawab
~ 10 ~
bahwa mereka memang mengulang pelajaran sebelum pelajaran Listening dimulai, sementara 26 (52%) menjawab bahwa mereka hanya kadang-kadang mengulang pelajaran sebelum mata kuliah Listening dimulai, dan 22 (44%) menjawab bahwa mereka tidak pernah mengulang pelajaran Listening sebelum pelajaran atau perkulihan dimulai.secara internal diri bahwa mengulang pelajaran merupakan faktor yang cukup berpengaruh dalam upaya meningkatkan pamahaman seseorang dalam pelajaran menyimak. Karena kurangnya keinginan mahasiswa untuk mengulang materi pelajaran di rumah sebelum pelajaran berikutnya dimulai cukup memberikan pengaruh kepada hasil yang dicapai, yaitu terbukti dengan rendahnya hasil yang dicapai setelah dilakukan pengetesan. Dari dua faktor yang sangat mepengaruhi di atas ada satu faktor yang berbanding lurus dengan kedua faktor di atas yaitu dalam pernyataan No 20. Apakah dalam pelajaran menyimak anda mendapatkan kesulitan dalam memahami percakapan yang sedang berlangsung? Jawaban mahasiswa bahwa 11 orang mahasiswa (22%) menyatakan bahwa mereka merasa kesulitan dalam mengikuti pelajaran mnyimak, 35 orang mahasiswa (70%) menyatakan kadang-kadang, dan sisanya 4 orang mahasiswa (8%)
menyatakan tidak
mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran menyimak. Dari hasil yang diperoleh mereka masih belum yakin apakah mereka bisa mengikuti pelajaran menyimak dengan baik atau tidak. Dari ketiga faktor internal di atas, dua faktor petama cukup menghambat dalam upaya peningkatan kemampuan mahasiswa dalam menyimak, maka kedua faktor di atas perlu mendapat perhatian pada saat pembelajaran mata kuliah menyimak dilangsungkan. 5.3 Faktor penghambat secara Eksternal Dari penyataan No. 6. Apakah anda punya keinginan agar jam pelajaran menyimak ditambah? Yang menjawab perlu adalah 12 orang mahasiswa (24%), yang menyatakan kadang-kadang 17 orang mahasiswa (34%), dan yang menyatakan tidak perlu adalah 21 orang mahasiswa (42%). Dari hasil jawaban tersebut di atas, dengan sedikitnya waktu yang diberikan untuk pelajaran menyimak, maka hasil yang dicapai juga tidak memuaskan, maka perlu adanya penambahan waktu belajar untuk pelajaran menyimak, apabila memang kampus tidak menyediakan alokasi waktu yang cukup maka perlu memberikan pekerjaan rumah tambahan sebagai ganti dari keterbatasan waktu yang ada. Dari pernyataan No. 11. Apakah Pekerjaan Rumah diperlukan dalam pelajaran Listening? Jawaban yang diperoleh bahwa hanya 7 orang mahasiswa (14%) yang menjawab perlu, sementara yang menyatakan kadang-kadang 9 orang mahasiswa (18%) sisanya sebanyak 34
~ 11 ~
orang mahasiswa (68%) menyatakan tidak perlu adanya pekerjaan rumah dalam mata kuliah Listening. Dari hasil ini, ternyata bahwa pekerjaan rumah cukup memberikan pengaruh terhadap perolehan keberhasilan dalam menyimak, terbukti dengan kurangnya pemberian pekerjaan rumah hasil yang diperoleh juga kurang baik.
6. SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian tahap pertama Hibah Bersaing ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Setelah dilakukan penelitian dengan menerapkan strategi Bottom Up dan Top Down secara bersamaan, diperoleh kesimpulan bahwa hasil yang diharapkan belum tercapai secara maksimal, karena kemampuan mahasiswa yang beragam dalam satu kelas, sehingga perlu menyamakan persepsi mahasiswa dengan cara menerapkan satu stategi dalam kurun waktu tertentu. Untuk itu pada tahun kedua penelitian ini;
2.
Perlu melakukan proses pembelajaran dengan menerapkan strategi Bottom Up dan Top Down secara terpisah untuk dapat memperoleh hasil yang lebih baik.
3.
Dari hasil pembelajaran dengan menerapkan masing-masing satu strategi dalam kurun waktu tertentu, tentu akan diperoleh hasil yang maksimal dan pada tahap berikutnya akan dapat menetapkan materi yang akan diberikan.
DAFTAR PUSTAKA Arikuto, Suharsimi. 1997. Manajemen Penelitian. Cetakan ke 7. Jakarta: Rineka Cipta. Finocchiaro, Mary and Sydne Sako. 1983. Foreign Language Testing: A Practical Approach. New York. Regent Publishing Company, Inc. Harris, P. David. 1969. Testing English as a Second Language. Bombay. Tata Mc. Graw Hill Publishing Company Ltd. Iskandar, Dr. M.Pd. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Gaung Persada Press. Jakarta. Nababan, Sri Utari Subyakto.1993. Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta Gramdia Pustaka Utama. Setiyadi, Bambang, AG. 2006. Metode Penelitian untuk Pengajaran Bahasa Asing: Pendekatan Kuantitatif dan kualitiatif. Graha Ilmu. Jogjakarta. Akita, Mamiko Orii. 2014. The Effectiveness of Interactive Teaching Methods in EFL Classrooms: A Comparison with Bottom-Up and Top-Down Methods. http://doe.concordia.ca/copal/documents/32_Orii-Akita_Vol5.pdf Al-Qaraghooly, Dhuha Atalla, Ph.D. 2010. The Effect of Top Down and Bottom Up Processing on Developing EFL Students’ Lestening Comprehension. http://www. iasj.net/iasj?func=fulltext&aId=17458 Amiruddin, Drs., M.Pd.I. Strategi Pembelajaran Menyimak. http://download.portal garuda.org/article.php?article=160993&val=5890&title=Strategi%20%20Pembelaj aran%20Menyimak.
~ 12 ~
Fahrawaty, Bahasa Inggris Sebagai Bahasa Internasional dan Pengaruhnya Terhadap Kurikulum Pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia. http://www.lpmpsulsel. net/v2/ attachments/266_Bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional dalam pembelajaran.pdf Feyten, C.M. 1991. The power of Listening Ability, An Overlooked Dimension in Language Acquisition. The Modern Language Journal 75: 173-80. http://www.jstor.org/discover/10.2307/328825?uid=3738224&uid=2&uid=4&sid= 21102195685201 Hidayat, Fahmi. Kemampuan Menyimak (Horen) Siswa Kelas XI Keterampilan SMA Negeri 6 Malang http://jurnal-online.um.ac.id/data/artikel/artikel20A237057EB029 D6A967281168FE2683.pdf Howatt, A. and J. Dakin. 1974. Language Laboratory Materials, ed. J.P.B. Allen, S.P.B. Aleen. http://www.macrothink.org/journal/index.php/jse/article/download/935/1403 Krashen, D. Stephen. 2009. Principle and Practice in second Language Acquisition. University of Southern Carolina. http://www.sdkrashen.com/content/books /principles_and_practice.pdf Malkawi, Abeer H. 2010. Listening Comprehension for Tenth Grade Students in Tabaria High School for Girls. http://www.academypublication.com/issues/past/jltr /vol01/06/03.pdf Nurul Islam, Mohammad. 2012. An Analysis on How to Improve Tertiary EFL Students’ Listening Skill of English. Journal of Studies in Education ISSN 2162-6952 .2012, Vol. 2, No. 2. PP. 1-10. http://www.macrothink.org/journal/index.php/jse/ article/download/935/1403 Richa Martha, dkk. Teaching Listening Through Minimal Pairs Sound Dictation Technique. (http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/download/7814/7908) Rost, Michel. 2013. Teaching and Researching Listening. London. UK. Longman. http://tesl-ej.org/pdf/ej64/r4.pdf Swan, Michel. 2006. Teaching Grammar, Does Grammar Teaching Work. http://www. mikeswan.co.uk/elt-applied-linguistics/teaching-grammar.htm Vargas, Victor Olaya and Daniel Meija Gonzales. 2009. Applying Bottom Up Listenig Strategies To Eight Grade In a Public High School. http://repositorio.utp.edu.co/ dspace /bitstream/11059/1529/1/3726521O42.pdf Strategies for Developing Listening Skills http://www.nclrc.org/essentials/listening/stratlisten.htm
~ 13 ~
~ 14 ~
ANALISIS MATERI AJAR VERBA BENTUK –TE Kun M. Permatasari , Juariah , Riri Hendriati Sastra Jepang – Fakultas Sastra Abstrak Penelitian ini dilakukan karena adanya keluhan dari mahasiswa tingkat dasar dalam memahami dan menggunakan perubahan kata kerja bentuk-te dalam percakapan, tulisan, dan lain-lain. Sehingga kami merasakan harus adanya perubahan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa mahasiswa-mahasiswa di tingkat dasar tersebut, terutama pada bagian penggunaan pola kalimat bentuk –te yang terdapat pada materi ajar.Hasil penelitian ini ternyata memang banyak terdapat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh mahasiswa yang kami ketahui dari hasil test yang telah dilakukan. Hasil analisa test tersebut, kesalahankesalahan mahasiswa diantaranya karena tidak bisa merubah kata kerja ke bentuk te, salah memilih kata kerja yang tepat, tidak bisa membaca kanji yang terdapat pada soal-soal. Oleh karena itu, kami berkesimpulan akan membuat penelitian lanjutan pada semester berikutnya berkaitan dengan materi ajar bentuk –te, berupa pengembangan materi ajar yang diintegrasikan dengan empat kemampuan berbahasa. Sehingga diharapkan mahasiswa lebih menguasai dan memahami penggunaan bentuk te. Kata Kunci : Verba bentuk-te, bahasa Jepang dasar, perubahan bentuk, Morfologi
1. PENDAHULUAN Di dalam sebuah kelas, seorang pengajar melakukan banyak hal sebagai bagian dari proses instruksional. Seorang pengajar seringkali berperan sebagai seorang motivator, seorang sumber informasi, seorang pemandu aktivitas pembelajaran, dan juga sebagai seorang penguji. Seorang pengajar adalah seorang pembuat keputusan yang mempengaruhi sekelompok siswa ataupun seorang siswa. Seorang pengajar biasanya terikat pada sebuah strategi dan harus bergerak ke sana ke mari di dalam kelas atau mengatur keseluruhan kelas pada saat tertentu sampai dia merasakan bahwa siswa-siswanya telah memahami apa yang dipelajari. Sebuah ciri yang lazim dari suatu pembelajaran adalah banyak dari proses pembelajaran biasanya dilaksanakan oleh seorang pengajar terhadap sekelompok siswa, namun sekarang juga lazim dilakukan pada seorang siswa. Hal ini dimungkinkan dengan adanya atau tersedianya materi ajar. Hal ini tidaklah berarti keberadaan seorang pengajar tidak diperlukan dalam sebuah aktivitas pembelajaran. Bahkan peranan seorang pengajar lebih penting daripada sebelumnya. Seorang pengajar tetaplah berperan sebagai seorang motivator, konselor, evaluator, dan pembuat keputusan.
~ 15 ~
Pemilihan bahan ajar dan media pembelajaran terkait erat dengan pengembangan silabus yang didalamnya terdapat standar kompetensi dan kompetensi dasar, materi pokok, pengalaman belajar, metode, evaluasi dan sumber. Sesuai dengan pengembangan silabus maka materi pembelajaran yang akan dikembangkan seharusnya memperhatikan pencapaian standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan lain-lain sesuai dengan indikator untuk mengembangkan penilaian. Pengembangan materi ajar untuk bahasa Jepang pada mata kuliah Hyougen yang dulunya dikenal dengan Tata Bahasa dilakukan dengan tujuan mengembangkan metode dan materi yang selama ini yang biasanya dilakukan agar mendapatkan dan membuat mata kuliah ini lebih tercapai pada sasaran dan tujuan silabusnya. Pengembangan materi ajar ini ditujukan kepada pembelajar bahasa Jepang tingkat pemula, sehingga materi yang disajikan harus semenarik mungkin sehingga bisa memotivasi siswa untuk tetap mempelajari bahasa Jepang. Dalam penelitian ini akan dibahas lebih dulu penguasaan pola kalimat bentuk te yang terdapat pada buku ajar Minna no Nihongo I, yaitu ~te kudasai, ~te imasu, ~temo ii desu, ~te~te~masu,~te kara. 1.2 Perumusan Masalah Banyaknya pola kalimat dalam bahasa Jepang yang diteliti akan difokuskan pada salah satu penggunaan verba bentuk-te yang
dianggap paling menonjol dan banyak
penggunaannya pada tingkat dasar pembelajar Bahasa Jepang. 1.3 Tinjauan Pustaka Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur), keterampilan, dan sikap atau nilai. Penggunaan bahan ajar dalam pembelajaran tidak tergantung pada pendidik melainkan tergantung pada kebutuhan peserta didik itu sendiri. Untuk memilih bahan ajar yang akan digunakan dalam pembelajaran seorang pendidik seharusnya mengadakan evaluasi dan penyesuaian bahan ajar tersebut. Prinsip-prinsip yang dijadikan dasar dalam menentukan materi pembelajaran meliputi kesesuaian (relevansi), keajegan (konsistensi), dan kecukupan (adequacy). Berikut masing-masing penjelasannya, a) Relevansi atau kesesuaian. Materi pembelajaran hendaknya relevan dengan pencapaian standar kompetensi dan pencapaian kompetensi dasar. Jika kemampuan yang diharapkan dikuasai peserta didik
~ 16 ~
berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta, bukan konsep atau prinsip ataupun jenis materi yang lain. b) Konsistensi atau keajegan Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik ada dua macam, maka materi yang harus diajarkan juga harus meliputi dua macam. c) Adequacy atau kecukupan. Materi yang diajarkan hendaknya cukup memadai dalam membantu peserta didik menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit maka kurang membantu tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak maka akan mengakibatkan keterlambatan dalam pencapaian target kurikulum (pencapaian keseluruhan SK dan KD) dan akan membuang-buang waktu dan tenaga yang tidak perlu untuk mempelajarinya. Materi pembelajaran yang dipilih untuk diajarkan oleh guru dan harus dipelajari siswa hendaknya berisikan materi atau bahan ajar yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Secara garis besar langkah-langkah pemilihan bahan ajar meliputi : (a) mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi acuan atau rujukan pemilihan bahan ajar, (b) mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar, (c) memilih bahan ajar yang sesuai atau relevan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah teridentifikasi tadi., dan (d) memilih sumber bahan ajar. Secara lengkap, langkah-langkah pemilihan bahan ajar dapat dijelaskan sebagai berikut:
Mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu perlu diidentifikasi aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dipelajari atau dikuasai siswa. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran.
Memilih jenis materi yang sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Materi yang akan diajarkan perlu diidentifikasi apakah termasuk jenis fakta, konsep, prinsip, prosedur, afektif, atau gabungan lebih daripada satu jenis materi. Dengan mengidentifikasi jenis-jenis materi yang akan diajarkan, maka guru akan mendapatkan kemudahan
dalam
cara
mengajarkannya.
~ 17 ~
Setelah
jenis
materi
pembelajaran
teridentifikasi, langkah berikutnya adalah memilih jenis materi tersebut yang sesuai dengan standar kompetensi atau kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Identifikasi jenis materi pembelajaran juga penting untuk keperluan mengajarkannya. Sebab, setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi pembelajaran atau metode, media, dan sistem evaluasi/penilaian yang berbeda-beda.
Memilih sumber bahan ajar. Setelah jenis materi ditentukan langkah berikutnya adalah menentukan sumber bahan ajar. Materi pembelajaran atau bahan ajar dapat kita temukan dari berbagai sumber seperti buku pelajaran, majalah, jurnal, koran, internet, media audiovisual, dsb. Dalam rangka pengadaan materi ajar yang sesuai dengan silabus, seorang pengajar dapat
mengadopsi materi ajar yang tersedia. Apabila ini tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka mengadaptasi materi ajar dapat menjadi alternatif berikutnya. Adaptasi materi ajar dapat dilakukan dengan memilih materi yang berhubungan dari literatur atau materi asli (authentic material) dengan beberapa cara seperti (1) memodifikasi isi, (2) menambahkan atau mengurangi, (3) menyusun kembali isi, (4) menghilangkan bagian tertentu, (5) memodifikasi tugas, dan (6) mengembangkan tugas yang ada. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menyederhanakannya apabila materi itu terlalu sulit untuk tingkat tertentu atau dengan cara meningkatkan tingkat kesulitannya apabila materi ajar itu terlalu mudah untuk tingkat tertentu. Menulis sendiri materi ajar dapat dilakukan apabila adaptasi tidak mungkin untuk dilakukan. Hal ini mungkin sulit untuk dilakukan oleh seorang guru karena menuntut kemampuan yang handal dalam materi ajar. Selain itu, wawasan yang luas yang terkait dengan topik tertentu perlu dibutuhkan. Persyaratan ini dapat diselesaikan dengan memberikan pelatihan kepada guru-guru. Dengan memiliki kemampuan yang memadai tentang pengembangan materi ajar, termasuk aplikasinya, akan menjadikan guru terampil dalam menyediakan bahan ajar yang dibutuhkan tanpa bergantung pada pihak lain. Alternatif lain dapat menulis secara bersama-sama. Tujuan pembelajaran haruslah digunakan dalam mengevaluasi setiap rujukan (materi ajar) yang dipilih. Dalam kaitan ini, sangat dimungkinkan untuk menggabungkan beberapa rujukan dalam rangka menghasilkan materi ajar yang lebih baik. Apabila materi ajar tersebut kekurangan satu atau beberapa hal yang berhubungan dengan aktivitas pembelajaran seperti motivasi, keterampilan prasyarat, dan lain lain, maka materi itu dapat diadaptasi sehingga bagian yang kurang dapat dipenuhi agar dapat digunakan oleh siswa. Apabila tidak ada
~ 18 ~
materi yang cocok dari yang tersedia, maka seorang guru diharuskan menulis sendiri materi ajar tersebut. Pengembangan materi ajar walaupun tidak semua pengajar melakukannya, setidaknya mereka harus mengerti langkah-langkah dalam pembuatan materi ajar dengan segala persiapannya yang membutuhkan waktu tersebut. Sehingga dalam melakukan pengajaran, pengajar menggunakan materi ajar dengan sebaik mungkin sehingga siswa akan mendapatkan hasil yang maksimal dengan bantuan materi ajar tersebut. Dan sedikit demi sedikit berusaha membuat pengembangan materi ajar yang sesuai dengan kondisi kelas yang diajarkan. Penelitian materi ajar verba bentuk te sendiri sudah banyak dilakukan dikalangan Universitas dan Sekolah Menengah Atas. Hal ini menandakan bahwa verba bentuk te mempunyai kesulitan dan kerumitan bagi pembelajar Bahasa Jepang tingkat pemula. Misalnya peneiitian yang dilakukan di SMAN 22 Bandung oleh Rita Komara dengan judul penelitian “Analisis Kemampuan Siswa Dalam Mengubah Kata Kerja Bentuk Kamus (jishokei) Menjadi Kata Kerja Bentuk Te (te-kei): Penelitian Deskriptif Pada Siswa Kelas XII SMA Negeri 22 Bandung.” Dengan hasil penelitian bahwa Bahasa Jepang memiliki bermacam-macam perubahan kata kerja dan berbeda pola perubahannya sehingga pembelajar bahasa Jepang di Indonesia sangatlah penting untuk mempelajari perubahan kata kerja. Selain untuk berkomunikasi dengan baik juga untuk menghindari kesalah pahaman dalam berkomunikasi. Tetapi, tidak sedikit pembelajar bahasa Jepang yang mengalami kesulitan saat mempelajari perubahan kata kerja, terutama bagi pembelajar bahasa Jepang di SMA yang berdasarkan angket termasuk materi yang sulit. Contoh penelitian lainnya dengan Judul “Efektifitas Kegiatan Information Gap Dalam Pemahaman Siswa Terhadap Perubahan Kata Kerja Ke Dalam Bentuk Te” yang diteliti oleh Indra Made Widhiary dengan hasil penggunaan information gap efektif dalam pembelajaran materi perubahan bentuk te. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan utama, menganalisis setiap pola kalimat yang menggunakan bentuk-te dalam bahasa Jepang pada buku ajar Minna no Nihongo I agar memperkaya pemahaman bahasa Jepang pemelajar bahasa Jepang. Diharapkan penelitian mengenai bentuk te akan berlanjut dengan penelitian lainnya yang berkaitan dengan bentuk te. 1.5 Manfaat Hasil Penelitian
~ 19 ~
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa mahasiswa dan membantu pengajar untuk mempersiapkan materi dengan baik dan lengkap. 1.6 Metodologi Penelitian Pendekatan yang penulis lakukan untuk penelitian ini adalah metode penelitian kajian kepustakaan dan analisis deskriptif, definisi dari deskriptif yaitu, menjelaskan dan menggambarkan apa yang nyata terjadi dalam suatu keadaan. Selain itu kajian kepustakaan juga digunakan untuk menemukan kaitan dengan teori-teori yang digunakan. Langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan adalah dengan memilih data-data yang sesuai dan dianalisis setiap pola kalimat yang akan diteliti akan difokuskan pada satu unsur yaitu bentuk –te. Melalui metode analisis deskriptif penulis akan menjabarkan kaitan antara data dengan teori. 2. PEMBAHASAN Bahasa Jepang mempunyai sepuluh kelompok kelas kata yakni doushi ‘verba’, keiyoushi ‘ajektiva-i’, keiyoudoushi ‘ajektiva-na’, meishi ‘nomina’, fukushi ‘adverbia’, rentaishi ‘prenomina’, setsuzokushi ‘konjungsi’, kandoushi ‘interjeksi’, jodooshi ‘verba bantu’, dan joshi ‘partikel’, (Sudjianto, 2007:15). Salah satu kelompok kelas kata yang paling produktif adalah doushi. Doushi adalah verba yang bisa berfungsi menjadi predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2008:44). Banyak istilah yang menunjukkan jenis-jenis doushi tergantung pada dasar pemikiran yang dipakainya. Dalam Dedi Sutedi (2008:48) dinyatakan bahwa verba bahasa Jepang berdasarkan pada perubahannya digolongkan ke dalam tiga kelompok berikut. 1. Kelompok I (godan-doushi)
Verba kelompok ini disebut dengan godan-doushi, karena mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu A-I-U-E-O. Cirinya yaitu verba yang berakhiran huruf U, TSU, RU, BU, MU, NU, KU, GU, SU. Contoh: いく、もつ、しる、よぶ、よむ、しぬ、かく、およぐ、はなす。 2. Kelompok II (ichidan-doushi)
Verba kelompok ini disebut ichidan-doushi, karena perubahannya terjadi pada satu deretan bunyi saja.
Contoh: みる、
ねる、たべる
3. Kelompok III (henkaku doushi)
Verba kelompok III merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan dan hanya terdiri dari dua verba berikut.
する、くる
~ 20 ~
Penggunaan verba dalam bahasa Jepang mempunyai perubahan-perubahan disesuaikan dengan situasinya. Perubahan bentuk kata dalam bahasa Jepang disebut katsuyou (konjugasi) (Sutedi, 2008:49). Konjugasi verba bahasa Jepang secara garis besar ada enam macam yaitu: 1.
Mizenkei
未然形
yaitu perubahan bentuk verba bahasa
yang didalamnya
mencakup bentuk menyangkal (bentuk NAI), bentuk maksud (bentuk OU/YOU), bentuk pasif (RERU) dan bentuk menyuruh (bentuk SERU). 2.
Renyoukei 連用形, yaitu perubahan bentuk verba yang
mencakup bentuk sopan
(bentuk MASU), bentuk sambung
(bentuk TE), dan bentuk lampau (bentuk TA). 3.
Shuushikei 終止形, yaitu verba bentuk kamus atau yang
digunakan di akhir kalimat.
4.
Rentaikei 連体形 , yaitu verba bentuk kamus yang
digunakan sebagai modifikator.
5.
Kateikei 仮定形 , yaitu perubahan verba ke dalam
bentuk pengandaian (bentuk
BA). 6. Meireikei 命令形 , yaitu perubahan verba ke dalam
bentuk perintah.
Dalam penelitian ini yang akan dianalisa adalah perubahan bentuk verba Renyoukei bentuk sambung –te dikarenakan untuk mahasiswa tingkat awal perubahan verba ini sangatlah penting dan berkesinambungan dengan perubahan-perubahan verba lainnya. Kegunaan kata kerja bentuk te diantaranya adalah merantai kata kerja, membuat kata kerja progressive bila ditambah dengan iru, menjadi kalimat menyuruh bila ditambah dengan kudasai dan bisa menjadi larangan kalau di tambah wa ikemasen. 1. Cara mengubah godan doushi ke dalam bentuk-te : untuk akhiran つ(tsu)、る(ru)、う(u) gantilah kata tersebut dengan って(tte) contohnya : 待つ(matsu) → 待って(matte), 作 る(tsukuru) → 作って(matte), 使う(tsukau) → 使って(tsukatte). dan untuk akhiran む (mu)、ぶ(bu)、ぬ(nu) gantilah kata tersebut dengan んで(nde) contohnya : 飛ぶ(tobu) → 飛んで(tonde)、読む(yomu) → 読んで(yonde)、 死ぬ(shinu) → 死んで(shinde). Dan untuk tiga yang terakhir adalah く(ku) ganti dengan いて(ite)、ぐ(gu) ganti dengan いで(ide)、dan す(su) ganti dengan して(shite) contoh : 書く(kaku) → 書いて(kaite) 、泳ぐ(oyogu) → 泳いで(oyoide)、話す → 話して(hanashite). khusus kata 行く(iku) maka menjadi 行って(itte). 2. Cara mengubah ichidan doushi ke bentuk-te : kalau ini cukup mudah, tinggal merubah akhiran る(ru) dengan て(te) contohnya : 見る(miru)→ 見て(mite)、食べる(taberu)→
~ 21 ~
食 べ て (tabete) 、 捨 て る (suteru)→ 捨 て て (sutete) 、 助 け る (tasukeru)→ 助 け て (tasukete). 3. Cara mengubah fukisoku doushi ke bentuk-te : dalam kelompok ini yang perlu diperhatikan cuma dua doushi(kata kerja) aja menurut riizhu yaitu する dan 来る dan seperti inilah perubahan ke bentuk-te nya : する(suru) → して(shite)、来る(kuru) → 来 て(kite) cukup itu aja.
Tabel 1 Konjugasi Konjugasi kata kerja ke bentuk-te kata kerja biasa kata kerja bentuk-te Godan doushi/kk 1 tsukau tsukatte katsu katte tsukuru tsukutte yomu yonde asobu asonde shinu shinde kaku kaite kagu kaide hanasu hanashite Ichidan doushi/kk 2 taberu tabete miru mite Fukisoku doushi/kk 3 suru shite kuru kite Penelitian ini diawali dengan pemilihan pola kalimat bentuk –te dan dituangkan dalam bentuk soal-soal yang diujikan kepada pembelajar bahasa Jepang tingkat awal. Dari lima pola kalimat yang terdapat pada buku ajar yang digunakan saat ini, yaitu Minna no Nihongo I yaitu –te imasu, -te kudasai, -temo ii desu, -te kara dan –te wa ikemasen. Dari hasil tes yang berupa 10 bentuk soal pilihan ganda dan 10 bentuk soal isian yang diberikan kepada 1 kelas D3 dan 1 kelas S1 semester 2, ternyata masih didapatkan banyak kesalahan-kesalahan terutama pada bagian soal Isian. Berikut jumlah kesalahan pada masing-masing bagian soal.
~ 22 ~
Tabel 2 Pilihan Ganda
Soal No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
te imasu te imasu te kudasai te mo ii desu te kara te wa ikemasen te imasu te mo ii desu te kudasai te imasu
D3/17 0rg kesalahan 0 3 9 16 2 5 3 2 7 2
S1/25 org kesalahan 0 1 13 17 3 5 1 2 3 1
42 0rg Total 0 4 22 33 5 10 4 4 10 3
S1/25 org kesalahan 5 19 17 17 15 19 5 12 15 15
42 0rg Total 13 34 31 30 26 28 10 23 29 27
Tabel 3 Isian
Soal No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
te mo ii desu te kudasai te wa ikemasen te mo ii desu te imasu te kara te kudasai te mo ii desu te kudasai te kara
D3/17 0rg kesalahan 8 15 14 13 11 9 5 11 14 12
Analisa hasil tes untuk pilihan ganda banyak terdapat kesalahan di soal no 4 (33 orang) tentang pola kalimat –te mo ii desu. Sedangkan untuk isian banyak terdapat di pola kalimat te kudasai (34 orang). Kendala dan permasalahan tersebut ada beberapa yang bisa dirumuskan, yaitu : hanya sedikit yang salah merubah kata kerja kamus ke bentuk-te, salah pemilihan kata kerja atau salah menggunakan pola kalimatnya dan yang terakhir terbanyak lebih dari 50 % adalah mengosongkan jawaban. Dari hasil wawancara berikutnya didapat kesimpulan bahwa mereka menjawab tes berupa isian, karena tidak mengetahui kanji yang terdapat pada soal, sehingga tidak mempunyai gambaran kalimat yang tertera. 3. SIMPULAN Dari hasil analisa yang sudah dilakukan, didapat kesimpulan akhir bahwa pengajaran
~ 23 ~
bentuk-te masih harus diperdalam lagi dan memberikan lebih porsi waktu dan latihanlatihan, baik berupa merubah bentuk kerja kamus ke verba bentuk –te dengan cepat sampai menguasai kanji-kanji mudah yang sudah dipelajari. Dari penelitian ini diharapkan bisa dilanjutkan kepada pengembangan materi ajar khusus verba bentuk-te yang segera bisa digunakan pada pengajaran. DAFTAR PUSTAKA Brown, H. Douglas. 1987. Principle of Language Learning and Teaching. Englewood Cliffs Prentice Inc. Sutedi,Dedi. 2008. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Humaniora Sutedi, Dedi. 2009. Pengantar Penelitian Pendidikan Bahasa Jepang. Bandung: UPI 3A Corporation, 1998. Minna no Nihongo I, Tokyo, Japan
~ 24 ~
MORFOLOGI BAHASA JEPANG Analisis dan Pengembangan Buku Ajar Bidang Linguistik Bagi Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang Ari Artadi, Chonan Kazuhide, Dila Rismayanti, Hargo Saptaji, Hermansyah Djaya Satra Jepang – Fakultas Sastra Abstrak Hingga saat ini di Indonesia sulit ditemui buku pelajaran Linguistik Bahasa Jepang yang sesuai untuk tingkat Perguruan Tinggi. Buku Pelajaran Ilmu-Ilmu Linguistik Bahasa Jepang seharusnya memenuhi 6 syarat berikut ini: 1. Karena diperuntukan bagi mahasiswa Indonesia, maka harus ditulis dengan Bahasa Indonesia. 2. Karena menjelaskan dasar-dasar ilmu Linguistik, maka contoh kalimat harus dalam Bahasa Indonesia atau memiliki terjemahan dalam Bahasa Indonesia. 3. Memberikan contoh bahasa Jepang yang cukup, dan menjelaskan perbandingannya dengan bahasa Indonesia. 4. Penulis tidak memberitahu satu arah, namun membuat siswa berpikir adalah keharusan. 5. Mengunakan teori-teori Linguistik terbaru. 6. Dapat dibagi menjadi sejumlah kuliah dalam 1 semester, jadi sebanyak 14 Bab sesuai jumlah perkuliahan. Oleh sebab itu buku ajar Morfologi Bahasa Jepang Universitas Darma Persada akan memuat 14 pokok bahasan sebagai berikut : 1. Pendahuluan 2. Kelas Kata I 3. Kelas Kata II 4. Kelas Kata III 5. Derivasi dan Infleksi 6. Infleksi Kata Kerja dan Kata Sifat 7. Jenis Kata 8. Perubahan Bentuk dan Affiks 9. Gabungan Kata dan Hukum Migigawa Shuyobu 10. Peralihan Kelas Kata dan Akronim 11. Transitif dan Intransitif 12. Perubahan Menjadi Kata Benda 13. N-V Gabungan Kata 14. VV Gabungan Kata Kata Kunci : Buku Ajar, Morfologi, Kelas Kata, Derivasi, Infleksi 1. PENDAHULUAN Di Fakultas Sastra Jurusan Sastra Jepang terdapat mata kuliah-mata kuliah yang merupakan bagian dari ilmu Linguistik. Menurut kurikulum yang berjalan sekarang, mata kuliah yang merupakan bagian dari ilmu Linguistik dipelajari di semester 2, semester 3, dan semester 4. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipahami bahwa mata kuliah yang merupakan bagian dari ilmu Linguistik tersebut merupakan hal mendasar dan hal yang harus dipelajari saat belajar bahasa asing. Saat mengajarkan mata kuliah – mata kuliah ini tentunya para pengajar membutuhkan buku pelajaran. Namun hingga saat ini di Indonesia sulit ditemui buku pelajaran Linguistik Bahasa Jepang yang sesuai untuk tingkat Perguruan Tinggi. Buku Pelajaran Ilmu-Ilmu Linguistik yang digunakan untuk Jurusan Sastra Jepang harus memenuhi syarat-syarat berikut ini.
~ 25 ~
1. Karena diperuntukan bagi mahasiswa Indonesia, maka harus ditulis dengan Bahasa Indonesia. 2. Karena menjelaskan dasar-dasar ilmu Linguistik, maka contoh kalimat harus dalam Bahasa Indonesia atau memiliki terjemahan dalam Bahasa Indonesia. 3. Memberikan contoh bahasa Jepang yang cukup, dan menjelaskan perbandingannya dengan bahasa Indonesia. Di Eropa dan Amerika , banyak buku tentang Dasar Ilmu Linguistik yang sangat bagus. Misalnya, mengenai Sintaksis Huddleston and Pullum (2005) A Student’s Introduction to English Grammar, Radford (1997) Syntax: A Minimalist Introduction, merupakan buku yang sangat baik. Tetapi ini adalah buku yang ditulis dengan bahasa Inggris, bagi mahasiswa tahun ke-2 dan ke-3 sulit untuk memahaminya. Kemudian, karena contoh dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang tidak ada, siswa tidak dapat menangkap isi yang disampaikan. Oleh sebab itu tidak dapat memnuhi syarat yang ditulis di atas. Untuk buku pelajaran Sintaksis ada Abdul Chaer (2009) yang menulis buku Sintaksis Bahasa Indonesia. Buku ini bagi siswa Indonesia termasuk yang mudah dipahami , dan memenuhi syarat 1 dan 2. Tetapi, bagi mata kuliah yang berikatan dengan Sastra Jepang tidak sesuai. Kemudian untuk dasar ilmu Linguistik secara umum Asas-Asas Linguistik Umum yang ditulis oleh Verhaar (1996 ) cukup baik. Buku ini membandingkan bahasa Indonesia dengan bahasa lain, sehingga lebih baik dari buku Abdul Chaer (2009), namun contoh bahasa Jepang tidak ada. Sebaliknya untuk buku pelajar Sintaksis Bahasa Jepang , terdapat buku Sintaksis Jepang yang ditulis oleh Sheddy Tjandra (2013). Sisi yang sangat baik pada buku ini adalah menitik beratkan pada pemahaman siswa. Tetapi, ada masalah pada buku ini. Buku ini bukan merupakan buku Linguistik Bahasa Jepang, buku ini adalah buku Tata Bahasa Jepang. Kemudian, hal yang sangat disayangkan hampir tidak ada contoh bahasa Indonesia, tidak adanya perbandingan dengan bahasa Indonesia adalah kelemahan dari buku ini. Karena, jika diperuntukan bagi siswa Indonesia, maka sebaiknya dijelaskan dengan mengunakan contoh bahasa Indonesia, lalu contoh bahasa Jepang. Melalui membandingkan bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang, maka siswa dapat mengerti perbedaan kedua bahasa, dan hal ini merupakan hal penting. Jurusan Sastra Jepang seharusnya mengunakan buku pelajar yang selain memenuhi syarat 1 sampai 3 di atas, harus juga memenuhi syarat berikut ini.
~ 26 ~
4. Penulis tidak memberitahu satu arah, namun membuat siswa berpikir adalah keharusan. 5. Mengunakan teori-teori Linguistik terbaru. 6. Dapat dibagi menjadi sejumlah kuliah dalam 1 semester, jadi sebanyak 14 Bab sesuai jumlah perkuliahan. Berkaitan dengan syarat nomer 4 di atas, biasanya pengajar Linguistik mengajarkan dengan model satu arah, sehingga cenderung tidak berkesan. Kemudian, biasanya pengajar memberi tahukan terlebih dahulu teori dan kesimpulan, dan hanya mengajarkan hal tersebut saja. Oleh sebab itu siswa tidak mempunyai minat terhadap Linguistik. Misalnya, ketika mengajarkan urutan kata dalam ( kalimat bahasa Indonesia SVO ) sedangkan ( bahasa Jepang SOV ) , dan bahasa Indonesia ( kata benda + kata sifat ) sedangkan bahasa Jepang ( kata sifat + kara benda ). Kesimpulan seperti ini tidak berikan pada awal, namun kita harus memberi banyak contoh, membuat siswa berpikir dan menemukan sendiri kesimpulan tersebut adalah hal yang tepat. Berkaitan dengan syarat nomer 5 di atas, ini merupakan hal yang biasa, namun buku pelajaran yang memuat syarat tersebut hampir tidak ada. Misalnya, untuk Fonologi teory yang paling tepat adalah Optimality Theory , untuk Sintaksis yang tepat adalah teori Generative Grammar , sedangkan untuk Semantik sangat tepat apabila mengunakan teori Cognitive Linguistics dalam buku pelajaran. Berkaitan dengan poin nomer 6, terkadang hal ini dipandang sepele, namun sesungguhnya merupakan hal yang penting. Bagimanapun baiknya sebuah buku ajar, jika bagiannya terlalu banyak, pengunaanya menjadi sulit. Demikianlah beberapa masalah dalam upaya membuat buku ajar yang benar-benar bermanfaat dan sesuai bagi mahasiswa. Dalam proyek penelitian ini tim kami terdiri dari 1 orang Dosen orang Jepang ahli Tata Bahasa dan Linguistik yang mempunyai pengalaman mengajar Ilmu Lingusitik di Univesitas di Jepang, dan mendalami teori-teori ilmu Linguistik terbaru. 6 orang Dosen orang Indonesia yang ahli dalam bidang ilmu Linguistik mengajar Bidang Linguistik Bahasa Jepang di Universitas Darma Persada. Tim yang berjumlah 7 orang ini, dan akan dibantu oleh mahasiswa Jurusan Sastra Jepang akan membuat dan mengembangkan 6 buah ajar bidang ilmu – ilmu Lingustik terdiri dari Fonologi, Morfologi, Sintaksis , Semantik, Pragmatik dan Sosiolinguistik. Sebagai langkah awal semester genap
~ 27 ~
2015 dan semester ganjil 2015/2016 kami akan menganalisi, membuat dan mengembangkan buku ajar Morfologi. Buku ajar yang selesai nanti tidak hanya digunakan oleh Mahasiswa Universitas Darma Persada saja, namun akan diterbitkan sebagai buku yang mempunyai nilai lebih (value ) dan berguna bagi masyarakat luas. Kemudian, jika buku-buku ini diterbitkan sebagai Seri Linguistik Universitas Darma Persada maka juga akan berguna sebagai alat promosi yang sangat efektif . 1.2 Perumusan Masalah Pada semester ganjil 2015 ini akan dimulai pembuatan dan pengembangan buku ajar Morfologi Bahasa Jepang. Salah satu alasan mengapa memilih Morfologi adalah karena buku ajar Morfologi Bahasa Jepang bisa dibilang belum ada, sehingga kebutuhannya sangat mendesak. Banyak buku-buku Morfologi yang diterbitkan di Indonesia hanya membahas fungsi dan pembentukan kata dari imbuhan seperti me-, ber-, pe-, dan lain sebagainya, lalu mengenai pembentukan kata, akronim, dan lain-lain. Buku Morfologi yang membahas Morfologi bahasa Jepang hampir tidak ada, sehingga meskipun siswa paham isi morfologi bahasa Indonesia, namun itu sulit digunakan untuk memahami Morfologi bahasa Jepang. Oleh sebab itu kondisi pengajaran Morfologi saat ini tidak menarik baik bagi pengajar maupun siswa. Tetapi sesungguhnya Morfologi merupakan mata kuliah yang menarik dan masih perlu dikembangkan, karena sampai saat ini belum ada yang membahasnya dengan menggunakan metode perbandingan bahasa. Mahasiswa pun sangat jarang menulis skirpsi dengan menggunakan metode ini. Misalnya ketika siswa akan menulis perbandingan pola hubungan syarat ( conditional sentances ) , mahasiswa tersebut bukan hanya harus memahami sisi sintaksis nya saja, namun juga harus memahami nuasa yang berbeda yang terkandung dalam setiap pola bahasa Jepang. Untuk dapat memahami kesamaan dan perbedaan bahasa Jepang, selain harus memiliki kemampuan bahasa Jepang yang tinggi, untuk dapat menemukan hal baru bagi mahasiswa merupakan suatu yang sangat sulit. Namun, Morfologi tidaklah demikian. Bentuk huruf , imbuhan dan pembentukan kata yang berbeda antara bahasa Jepang dan bahasa Indonesia membuat siswa segera memahami perbedaan kedua bahasa ini. Kemudian, dari sana siswa juga dapat menemukan aturan dan pola pembentukan suatu kata, sehingga untuk level mahasiswa pun penelitian Morfologi dapat dilakukan secara mandiri. Morfologi utamanya memang hanya membahas aturan terbentuknya kata dan penggabungan kata. Namun, tugas kita sebagai dosen adalah
~ 28 ~
membuat mahasiswa tertarik dengan menekankan bahwa Morfologi adalah salah satu hal penting yang harus dipahami kepada siswa. Kemudian, untuk ilmu Morfologi, landasan teori terbaru dalam bidang Morfologi adalah teori Distributed Morphology yang dikemukakan pertama kali oleh Halle and Marants(1993), dan teori Construction Morphology yang kemukakan oleh Booij(2010). Dengan mengunakan teori-teori ini kita dapat efektif menjelaskan masalah yang ada dalam Morfologi bahasa Indonesia. Yang dimaksud Distributed Morphology adalah dimana unsur pembentuk kata yang biasa disebut root ( akar kata ) bukan merupakan jenis kata tertentu, dan imbuhan merupakan dasar dari pembentuk jenis kata ( jenis kata ditentukan oleh imbuhan ). Berdasarkan teori ini bahasa Indonesia membeli ( kata kerja ) / pembeli ( kata benda ) dapat dijelaskan proses dan aturan pembentukannya. Dan untuk bahasa Jepang kau (買う)kata kerja , kaite (買い手)kata benda bila disusun seperti ini berdasar teori Distributed Morphology merupakan suatu hal yang menarik. Teori Construction Morphology seperti teori Construction Grammar yang diterapkan oleh Goldberg dalam Morfologi, mengatakan bahwa imbuhan tidak memiliki arti, namun imbuhan memiliki skema arti. Dalam penerapan seperti contohnya bahasa Indonesia “membelikan” imbuhan “kan” disini bukan memiliki arti sebagai benefactive , namun kontruksi kata [V [-kan] seluruhnya katanya adalah benefactive. Teori-teori terbaru bidang Linguistik ini sayangnya hanya dipahami oleh segelintir ahli linguistik Indonesia. Jadi kami berpikir untuk membuat buku ajar yang bukan hanya teoriteori ,tetapi selain mengunakan teori terbaru juga memberikan contoh-contoh yang cukup dan sesuai, sehingga tercipta buku ajar yang seimbang dari sisi teori dan contoh kalimat, untuk itu buku ajar Morfologi Bahasa Jepang adalah awalan yang tepat.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah analisis dalam upaya mengembangkan buku ajar Morfologi bahasa Jepang yang pas untuk mahasiswa jurusan Sastra dan Bahasa Jepang. Jika buku ajar Morfologi ini selesai nanti, untuk kedepannya akan digunakan sebagai buku ajar di Jurusan Jepang Universitas Darma Persada. Saat ini, meskipun banyak universitas di Indonesia yang membuka jurusan Sastra Jepang, hampir tidak ada universitas yang menggunakan buku ajar hasil penelitian dan pengembangannya sendiri. Dengan demikian, bagi universitas Darma Persada, hal ini adalah nilai jual yang besar untuk menarik pihak luar. Kemudian, jika ini dapat diterbitkan oleh penerbit maka akan sangat bermanfaat bagi umum.
~ 29 ~
2. METODELOGI PENELITIAN Metodelogi penelitian ini adalah: Pertama, memilih buku-buku acuan dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggris yang berkenaan dengan Morfologi, kemudian seluruh tim peneliti memahami isi buku tersebut. Kemudiaan, bersamaan dengan itu, mencari dan memikirkan contoh dalam bahasa Indonesia berkaitan dengan isi dari buku-buku yang diteliti, dan melakukan perbandingan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jepang. Selanjutnya, hasil dari perbandingan itu menjadi pedoman dalam membuat buku ajar. Terakhir, menentukan bagian yang menjadi tanggung jawab setiap peneliti untuk menyelesaikannya. 3. TINJAUAN PUSTAKA Tahun-tahun terakhir ini di Jepang, banyak buku-buku bidang Lingusitik yang berkaitan dengan perbandingan bahasa antara bahasa Jepang dan bahasa Inggris diterbitkan. Dari buku-buku tersebut, terdapat buku – buku seperti, Mihara・Takami (ed) (2013)『日英対照 英語学の基礎』の第 2 章「形態論」(oleh Namiki), Nishihara (ed) (2012)『朝倉 対照言語学シリーズ 1
日英
言語学入門』の第 2 章「語の構造について」 (Oleh
Nishihara) . Kedua buku ini berisi penjalasan Morfologi Bahasa Inggris yang dibandingkan dengan Bahasa Jepang. Karena yang kami ingin buat adalah Morfologi Bahasa Jepang yang dibandingkan dengan Bahasa Indonesia, maka buku-buku tersebut dapat menjadi pedoman untuk membuat buku ajar. Selain kedua buku yang telah disebutkan tadi, buku Nishiko (ed) 西光(編)(1999)『日英語対照による英語学概論
増補版』第 2 章「形態論とレキシ
コン」(oleh)、影山(1999)『日英語対照による英語学演習シリーズ 2
形態論と意
味』、竝木(2009)『単語の構造の秘密』, merupakan buku-buku yang dapat dijadikan pertimbangan ketika membuat buku ajar Morfologi. Kemudian, buku-buku Linguistik Bahasa Jepang yang digunakan di negara Amerika dan Eropa, seperti buku yang ditulis oleh Tsujimura (2014), An Introduction to Japanese Linguistics, 3rd edition, dan Shibatani (1990), The Languages of Japan, Hasegawa (2015), Japanese: A Linguistic Introduction 。 Pada kedua buku tersebut, Tsujimura (2014) menjelaskan secara detail mengenai Morfologi. Tsujimura (ed.) (1999) The Handbook of Japanese Linguistics, Kageyama (1999) “Word Formation”, Miyagawa and Saito (eds.) (2008) The Oxford Handbook of Japanese Linguistics Nishiyama (2008) “V-V Compound” adalah buku-buku yang menjadi pedoman dalam menyusun buku ajar nanti. Kemudian,
~ 30 ~
Ozeki (1988) yang menulis buku “Morfologi Bahasa Inggris”, lalu buku ajar Linguistik Umum mengenai Morfologi yang ditulis Booij (2007) yang berjudul “The Grammar of Words, 2nd edition” . Khusus untuk bidang Morfologi, Kageyama (1993) 『文法と語形成』, Kageyama ・ Yumoto (1997)『語形成と概念構造』、Ito・Sugioka (2002)『語の仕組みと語形成』、 dan Yumoto (2011)『レキシコンに潜む文法とダイナミズム』. Lalu, buku mengenai Distributed Morfologi yang tulis oleh Halle and Marantz (1993) yang berjudul “Distributed Morphology and the Pieces of Inflection”. Sebagai bingkai Teori, kami akan menggunakan Nishiyama (2008) dan “On the Causative Construction” yang ditulis oleh Harley (2008) . Kemudian, buku yang ditulis oleh Matushansky and Marantz (eds.)(2013) yang berjudul “Distributed Morpholgy Today”, Booij (2010) “Construction Morphology”. Buku-buku di atas merupakan beberapa buku yang
menjadi pustaka acuan pada
penelitian ini. Untuk bagian selanjutnya akan dijelaskan secara singkat isi dari beberapa pustaka acuan yang telah dianalisis. 3.1 Mihara・Takami (ed) (2013)『日英対照
英語学の基礎』の第 2 章「形態論」
Buku ini berisi tentang Linguistik Bahasa Inggris secara umum. Keunggulan dari buku ini adalah, meskipun buku ini berisi tentang pengetahuan Lingusitik Bahasa Inggris, namun di dalamnya dimasukan juga contoh-contoh perbandingan dalam Bahasa Jepang. Dengan membandingkannya dengan bahasa Jepang, pembaca yang merupakan orang Jepang dapat memahami lebih baik isi yang disampaikan. Karena dengan memberikan juga contoh perbandingannya dalam bahasa Jepang pembaca dapat segera mengerti dan mempermudah memahami apa yang disampaikan. Pada buku ini bagian Morfologi ditulis oleh Namiki (2013). Dalam buku ini Namiki membagi Morfologi menjadi 5 bagian besar yaitu : 1. Pengertian awal mengenai Morfologi, 2. Sistim / Cara Utama Pembentukan Kata, 3. Pembentukan Kata dengan Sistim yang lain, 4. Syarat Pembentukan dan Gabungan Kata, 5. Pembahasan mengenai Kata Benda gabungan. 3.2 Kageyama Taro (1999)『日英語対照による英語学演習シリーズ 2 形態論と意味』 Buku ini juga berisi tentang Linguistik Bahasa Inggris yang dibandingkan dengan Bahasa Jepang, dan diberikan contoh dalam bahasa Jepang. Isi dari buku ini lebih dalam dibanding dengan bagian Morfologi yang tulis Namiki dalam buku Mihara・Takami (ed) (2013)『日 英対照
英語学の基礎』の第 2 章「形態論」. Pada buku ini Kageyama tidak hanya
membahas Morfologi juga menambahkan Leksikon dalam penjelasan. Dalam buku ini
~ 31 ~
Kageyama membagi penjelasan menjadi 4 bagian besar yaitu : 1. Kegunaan Morfologi, 2. Sifat-Sifat Khusus dari Kata, 3. Unsur-Unsur Pembentukan Kata, 4. Jenis-Jenis Proses Pembentukan Kata. Sama seperti Namiki, keunggulan tulisan Kageyama adalah menggunakan metode perbandingan antara bahasa Inggris dengan bahasa Jepang. 3.3 Nishihara Tetsuyu ( 2003 ) 『言語学入門』第 2 章 語の構造について(形態論) Buku ini merupakan buku Linguistik Umum. Buku dibagi menjadi beberapa bagian yaitu : 1. Struktur Kata, 2. Pembentukan Kata, 3. Kegunaan Struktur Kata , 4. Apa yang dimaksud dengan Unsur Derivasi dan Unsur Infleksi, 5. Klasifikasi Kata dan Klasifikasi Fungsi, 6. Hubungan Derivasi ・ Infleksi ・ Penggabungan Kata ・ Hubungan Prefiks ・ Suffiks , 7. Kelas Affiks 1 dan 2 berdasarkan Teori Generatif , 8. Hukum Kata bagian kanan penting, 9. Hukum Kedekatan, 10. Penghentian, 11. Proses Pertukaran, 12. Metaanalisis, 13. Akronim, 14. Kata Campuran, 15. Singkatan, 16. Akar kata dan Campuran Jenis kata. 3.4 N. Tsujimura (2007 ) An Introduction to Japanese Linguistics, 4 Morphology Buku ini merupakan buku Linguistik Bahasa Jepang yang ditulis dalam bahasa Inggris. Pada bagian Morfologi, Tsujimura membagi 7 bagian besar yaitu : 1. Part of Speech Categories ( Noun, Verbs , Adjective, Adverbs, Postpositions, Case Particles, Adjectival Nouns, Verbal Nouns ), 2. Morpheme Types, 3. Word Formation ( Affixation, Compounding, Reduplication, Clipping, Borrowing ) , 4. Head, 5. Transitive dan Intransitive Verb, 6. Nominalization, 7. Penggabungan Kata ( Background, N-V Compounds, V-V Compounds, Lexical vs Syntactic V-V Compounds, Lexical V-V Compounds : Semantic Relations, Lexical V-V Compounds: Transitivity dan Argument Structure, Transitive and Intransitive Compound Verb Pairs, Compound Verbs and Nominalization ) . Isi pada bagian Morfologi yang ditulis oleh Tsujimura cukup sederhana dan mudah dipahami karena mencantumkan contoh-contoh bahasa Jepang yang cukup banyak. Kemudian buku ini diperutukan bagi mahasiswa yang belajar Bahasa Jepang, sehingga isinya cukup lengkap. 3.5 Y. Hasegawa (2004 ) Japanese : A Linguistik Introduction Buku ini merupakan buku Linguistik Bahasa Jepang yang ditulis dalam Bahasa Inggris. Pada bagian Morfologi, Hasegawa membagi menjadi 3 bagian besar yaitu : 1. Word Categories , 2. Word Classes ( Nouns, Verbs, Adjectives, Adverb, Pronouns, Particles, Numeral Classifiers, Ideophones ), 3. Word Structure ( Verb Conjugation, Copula Conjugation, I-adjective Conjugation, Casual Speech, Deriving Nouns, Deriving Verbs, Deriving Adjective, Compounding, Abbriviation) . Isi bagian Morfologi pada buku ini, jika
~ 32 ~
dibandingkan dengan Tsujimura (2014) lebih sederhana, namun bagian-bagian penting dalam Morfologi dibahas dengan baik. 3.6 M. Shibatani ( 1990 ) The Languages of Japan Isi buku ini sama seperti buku yang ditulis Tsujimura ( 2014 ) dan Hasegawa (2004), yaitu menjelaskan Lingusitik Bahasa Jepang dalam bahasa Inggris. Namun yang berbeda dari Tsujimura ( 2014 ) dan Hasegawa (2004) adalah, dalam bagian Morfologi dalam buku ini dimulai dengan penjelasan mengenai Lexicon, kemudian dilanjutkan karakteristik Bahasa Jepang, dan sejarah Bahasa Jepang. Bagian berikutnya masuk ke pembahasan mengenai unsur-unsur Morfologi. Untuk lebih jelasnya bagian Morfologi pada buku ini dibagi 2 bagian besar, yaitu : 1. Lexicon ( General Characteristics of the Japanese Lexicon, Loan Words, Onomatope ) , 2. Word Formation ( Lexical Categories, Affixation, Verb Inflection, Transitive – Intransitive Pairs, Componds, Post-Sytactic Componds, Abbrivation. 3.7 Dedi Sutedi ( 2004 ) Dasar- Dasar Linguistik Bahasa Jepang Buku ini adalah buku ajar pertama yang membahas Lingusitik Bahasa Jepang yang ditulis oleh orang Indonesia dan diterbitkan di Indonesia. Isi buku ini membahas Linguistik Jepang secara umum. Pada bagian Morfologi Bahasa Jepang, Dedi Sutedi membagi penjelasan menjadi 5 bagian : 1. Batasan dan Ruang lingkup Morfologi, 2. Morfem dalam Bahasa Jepang, 3. Jenis Morfem Bahasa Jepang, 4. Pembentukan Kata dalam Bahasa Jepang, 5. Perubahan Bentuk Kata dalam Bahasa Jepang. Dalam buku ini pada bagian akhir setiap pembahasan/ bagian disertakan daftar pustaka yang berguna untuk mempelajari lebih bagian-bagian yang menjadi perhatian. Namun, dalam buku ini tidak membandingkan dengan contoh-contoh yang ada dalam Bahasa Indonesia. Sehingga bagi ada beberapa bagian yang sulit dipahami oleh pembaca. Kemudian ada beberapa hal penting dalam Linguistik Bahasa Jepang yang tidak dituliskan. 3.8 J.W.M. Verhaar ( 1996 ) Asas – Asas Linguistik Umum Sesuai dengan judulnya, buku ini menjelaskan Linguistik secara Umum. Pada bagian Morfologi Verhaar (1996 ) menjelaskan secara jelas unsur-unsur dalam Morfologi, berbagai contoh dalam beberapa bahasa ada di dalam penjelasan. Bagian ini dibagi menjadi 4 bagian : 1. Morfologi : Dasar-Dasar, 2. Morfologi : Proses Morfemis Segemental : Afiksasi dan Klitikisasi , 3. Morfologi :Berbagai Jenis Fleksi, 4. Morfologi : Derivasi, Reduplikasi dan Komposisi. Seperti dituliskan di atas buku ini menjelaskan secara jelas dasar-dasar Linguistik umum secara jelas, dan memberikan contoh-contoh dalam berbagai bahasa, namun contoh-contoh
~ 33 ~
dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia tidak cukup. Namun demikian, buku ini masih merupakan buku ajar yang wajib dimiliki dan dibaca oleh para peneliti, guru, maupun siswa yang ingin memahami linguistis secara umum. Demikian 8 buku ajar yang telah kami lihat dan analisis, dari 8 buku ajar ini, pada bagian berikutnya kami akan menyimpulkan, membuat karangka buku ajar, dan memberikan contoh 1 bagian buku ajar yang kami akan tulis.
4. SIMPULAN Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan secara singkat hasil analisis isi 8 buku ajar. Dari 8 buku tersebut terdapat beberapa hal-hal penting yang harus ada di dalam buku ajar Morfologi Jepang. Selain isi, yang juga harus dipikirkan adalah penyesuaian dengan jumlah perkuliahan 1 semester dimana terdapat 14 kali pertemuan. Kemudian, dari hasil analisis diketahui bahwa belum ada buku ajar Morfologi Jepang yang ditulis dengan mengunakan dasar metodelogi perbandingan dengan Bahasa Indonesia. Selain itu, buku ajar yang ada terkadang tidak menjelaskan hal yang sederhana namun sangat penting dalam Bahasa Jepang. Kemudian pada buku ajar ini kami akan memberikan contoh-contoh kalimat dari bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia, sebagai upaya mempermudah siswa memahami unsur-unsur dalam Morfologi Jepang. Berikut, kerangka isi dari buku ajar Morfologi Jepang hasil dari analisis : 1. Pendahuluan : Berisi gambaran singkat mengenai Bahasa Jepang dan Pentingnya mempelajari Mrofologi. 2. Kelas Kata 3. Kelas Kata 1 : Berisi penjelasan mengenai ; Kata Benda, Kata Kerja, dan Kata Sifat. 4. Kelas Kata 2 : Berisi penjelasan mengenai ; Kata Keterangan, Kata akhir Kalimat, dan Partikel. 5. Kelas Kata 3 : Berisi penjelasan mengenai ; Kata Benda Sifat, Kata Benda Kerja. 6. Derivasi dan Infleksi 7. Infleksi Kata Kerja dan Kata Sifat 8. Perubahan Bentuk dan Affiks 9. Gabungan Kata dan Hukum Migigawa 10. Peralihan Kelas Kata dan Akronim 11. Transitif dan Intransitif 12. Perubahan Menjadi Kata Benda
~ 34 ~
13. N-V Gabungan Kata 14. V-V Gabungan Kata Kerangka isi buku ajar di atas terdiri dari 14 pokok bahasan sesuai dengan jumlah pertemuan dalam satu semester. DAFTAR PUSTAKA Hasegawa, Y. (2014 ) Japanese : A Lingusitic Introduction, Cambridge University Press. Huddleston and Pullum (2005) A Student’s Introduction to English Grammar. Cambridge University Press. Radford (1997) Syntax: A Minimalist Introduction. Cambridge University Press. Kuno, S. (1973 ) The Sructure of Japanese Language, The MIT Press. Miyagawa, S. ( 1989 ) Structure and Case Marking In Japanese, Academic Press. Miyagawa, S. and M. Saito (2008 ) The Oxford Handbook of Japanese Linguistics. Oxford University Press. Shibatani, M. (1990) The Language of Japan, Cambridge University Press. Tsujimura, N (2007) An Introduction to Japanese Linguistics, 2nd edition, Blackwell. Dedi Sutedi ( 2004 ) Dasar- Dasar Linguistik Bahasa Jepang, Humaniora Utama Press. Bandung J.W.M. Verhaar ( 1996 ) Asas – Asas Linguistik Umum, Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 景山太郎 (1999)『日英語対照による英語学演習シリーズ 2 形態論と意味』 西原哲雄 ( 2003 ) 『言語学入門』第 2 章 三原健一・高見健一 (編) (2013)『日英対照 英語学の基礎』の第 2 章「形態論」
~ 35 ~
~ 36 ~
INSTRUMEN PENILAIAN BUKU TEKS BAHASA ASING (UJI COBA PADA BUKU TEKS PELAJARAN BAHASA JEPANG “MINNA NO NIHONGGO”) Hani Wahyuningtias Sastra Jepang – Fakultas Sastra Abstrak Buku teks merupakan salah satu media belajar yang berperan penting dalam dunia pendidikan. Mengingat pentingnya fungsi buku teks bahasa asing sebagai media dan sumber pembelajaran, dirasa perlu untuk melakukan evaluasi buku teks untuk mengetahui kesesuaian atau ketidaksesuaian buku teks dalam mencapai tujuan pengajaran yang telah ditentukan. Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode evaluasi dengan teknik analisis isi. Dalam penelitian ini landasan teoretis tentang buku teks yang dikembangkan oleh para ahli ditelaah dan dikembangkan kembali oleh peneliti dalam bentuk konstruk instrumen pengevaluasian buku teks bahasa asing yang telah diujicobakan pada buku teks bahasa Jepang yang digunakan di Fakultas Sastra Jurusan Jepang Universitas Darma Persada. Instrumen ini telah divalidasi pakar dan direkomendasikan untuk mengevaluasi buku teks bahasa asing yang digunakan di Indonesia dengan mengarahkan pertanyaannya secara lebih spesifik kepada setiap bahasa asing yang dituju. Kata kunci: buku teks evaluasi, instrumen penilaian 1. LATAR BELAKANG Buku teks merupakan salah satu media belajar yang berperan penting dalam dunia pendidikan. Menurut Mukundan, Nimehchisalem, dan Hajimohammadi (2011) pemilihan bahan pengajaran bahasa dapat menentukan kualitas prosedur belajar mengajar. Buku teks sebagai salah satu bahan yang digunakan di kelas bahasa sering memainkan peranan penting dalam sukses atau tidaknya pelajar. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan buku teks yang tepat sebagai alat pembelajaran dapat membantu siswa dan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Kata buku teks berasal dari kata serapan bahasa Inggris ‘textbook’ atau ‘coursebook’. Dalam bahasa Indonesia kedua kata serapan itu disebut dengan buku pelajaran. Menurut Brown (2007) buku teks adalah salah satu jenis dari teks, yaitu sebuah buku yang digunakan dalam kurikulum pendidikan. Hal ini menunjukkan pentingnya pemilihan buku teks yang sesuai dengan kurikulum yang berlaku sehingga dapat menunjang kualitas pengajaran. Buku teks pada umumnya berkaitan erat dengan kurikulum yang berlaku. Menurut Tarigan (1989), buku teks yang baik haruslah relevan dan menunjang pelaksanaan kurikulum. Dengan demikian penting dilakukan evaluasi buku teks untuk mengetahui kesesuaian atau ketidaksesuaian buku teks tersebut dalam mencapai tujuan pengajaran yang
~ 37 ~
sudah ditentukan. Cunningsworth (1995) menjelaskan bahwa evaluasi menekankan pada kelebihan dan kelemahan khusus dalam buku teks yang sudah digunakan sehingga kelebihannya dapat dimanfaatkan secara optimal. Adapun kekurangan dari buku teks dapat diperkuat melalui adaptasi atau penggantian materi dari buku lain. Dengan memperhatikan fungsi buku teks sebagai media dan sumber pembelajaran, peneliti akan mengevaluasi apakah buku teks seri “Minna no Nihongo” yang digunakan di Universitas Darma Persada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang telah memenuhi syarat sebagai buku pelajaran bahasa asing yang baik sehingga layak digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Menurut Ogawa (2012) target utama dari buku “Minna no Nihongo” adalah orang dewasa umum. Buku ini direkomendasikan bagi mereka yang melakukan program persiapan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi, dan juga sebagai buku pelajaran intensif di sekolah kejuruan dan universitas. Buku seri pelajaran “Minna no Nihongo” merupakan jawaban atas pendapat dan harapan dari banyak pihak yang bertahun-tahun lamanya melibatkan diri dalam pendidikan bahasa Jepang baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Adegan dan peran yang ada di dalamnya disesuaikan untuk menanggapi keanekaragaman pelajar. Pada adegan pergaulan antara warga asing dan orang Jepang diusahakan tercermin situasi Jepang, kehidupan masyarakat, serta kehidupan seharihari orang Jepang. 2. FOKUS DAN SUBFOKUS PENELITIAN Buku pelajaran bahasa Jepang yang ada sekarang kebanyakan ditulis oleh penutur asli bahasa Jepang (native speaker), sehingga situasi yang disajikan dalam buku masih belum terasa dekat dengan kondisi siswa yang ada di Indonesia. Hal ini menyebabkan siswa sulit mempraktikkan apa yang ditargetkan dalam materi pelajaran tersebut karena siswa kesulitan membayangkan kondisi yang terdapat dalam buku pelajaran tersebut. Dalam penentuan pemakaian buku ajar bahasa asing, terutama buku pelajaran bahasa Jepang perlu dipertimbangkan unsur yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. Salah satu unsur penting yang perlu mendapat perhatian adalah materi pelajaran. Materi pelajaran merupakan sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan berbagai aspek yang terkait dengan buku pelajaran terutama buku pelajaran bahasa Jepang tingkat dasar, penelitian ini difokuskan pada kualitas buku teks bahasa Jepang tingkat dasar yang digunakan di Universitas Darma Persada. Berdasarkan fokus penelitian tersebut, dikemukakanlah subfokus penelitian sebagai berikut ini:
~ 38 ~
1. Standar apa saja yang harus dipenuhi buku teks pelajaran bahasa asing khususnya buku teks Bahasa Jepang. 2. Kelayakan buku teks pelajaran bahasa Jepang seri “Minna no Nihongo” berdasarkan hasil evaluasi buku teks di Fakultas Sastra Jurusan Jepang Universitas Darma Persada.
3. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode evaluasi dengan teknik analisis isi (content analysis). Menurut Arifin (2014) evaluasi adalah satu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas dari sesuatu berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pengambilan keputusan. Sehubungan dengan evaluasi buku teks, rencana evaluasi disusun dengan langkah-langkah sebagai berikut: menyusun kriteria evaluasi; menyusun instrumen evaluasi; validasi pakar; menjaring dan menganalisis data. Dalam penelitian yang menggunakan teknik analisis isi ini, peneliti menyusun instrumen berdasarkan pemahaman peneliti atas teori yang membahas tentang buku teks yang berkualitas yang disampaikan oleh para ahli. Menurut Neuendorf (2002) analisis isi adalah suatu teknik analisis untuk membuat kesimpulan melalui pengidentifikasian secara sistematis dan objektif tentang ciri-ciri khusus dalam teks. Teori tentang buku teks, diolah dan dikembangkan dengan subjektivitas peneliti dan disesuaikan dengan kepentingan penelitian. 4. PEMBAHASAN Instrumen dikonstruksi atas aspek-aspek yang akan diukur dan didasarkan pada teori tertentu. Selanjutnya instrumen dikonsultasikan kepada pakar, dalam hal ini melibatkan satu orang pakar perbukuan dan dua orang pakar bahasa Jepang sehubungan dengan pemberian keputusan apakah instrumen pengevaluasian buku bahasa asing tersebut dapat digunakan tanpa perbaikan, ada perbaikan, atau dirombak total. Hal ini disebut dengan judgment experts yaitu pengujian validitas konstrak dengan meminta pendapat dari ahli (Sugiyono: 2010). Berdasarkan konsultasi dan hasil diskusi dengan pakar diketahui bahwa instrumen ini dengan memperhatikan masukan dari para pakar dapat digunakan dalam pengumpulan data di lapangan. Secara umum instrumen ini dapat digunakan untuk menilai buku teks bahasa asing, namun untuk menilai suatu bahasa asing tertentu, pertanyaan dapat diarahkan secara lebih spesifik kepada bahasa asing yang dituju.
~ 39 ~
Daftar checklist yang dikembangkan oleh Cunningsworth (1995) untuk mengevaluasi buku teks terdiri atas delapan poin yaitu: ‘aim and approaches’, ‘design and organization’, ‘language
content’,
‘skills’,
‘topic’,’methodology’,‘teachers’books’,‘practical
consideration’. Dalam penelitian ini daftar checklist dibagi menjadi empat komponen yaitu: ‘materi/isi’, ‘keterampilan berbahasa’, ‘penyajian’, dan ‘bahasa dan keterbacaan’. Dalam butir-butir komponen tersebut terdapat aspek yang mengandung sudut pandang yang sama dengan penelitian sebelumnya yang dikemukakan para ahli dan tentunya ada butir-butir yang dikembangkan dalam rangka memperoleh gambaran sejauh mana suatu buku teks bahasa asing dapat dinyatakan sebagai buku teks yang bermutu tinggi. Sebagai contoh untuk bagian ‘aim and approaches’ itu dianggap setara dengan komponen materi; ‘design and organization’ itu dianggap setara dengan komponen penyajian; ‘language content’ dianggap setara dengan komponen keterbacaan; ‘skiils’ dianggap setara dengan komponen keterampilan berbahasa yang terdapat pada penelitian ini. Empat butir lain yang disampaikan oleh Cunningsworth masing-masing dimasukkan pada salah satu butir komponen yang ditetapkan dalam penelitian ini. Butir komponen disajikan secara singkat, padat, dan berisi dengan cakupan yang lebih mengena pada sasaran. Komponen materi diurai menjadi lima butir yaitu: 1. Materi/isi naskah buku sesuai dengan tema dan mendukung pencapaian tujuan kurikulum dan SAP 2. Materi/isi naskah buku merupakan karya orisinal, tidak mengandung deskriminasi gender, dan tidak menimbulkan masalah SARA dan pornografi 3. Materi/isi naskah buku memiliki kebenaran keilmuan dan sesuai perkembangan yang mutakhir, sahih, dan akurat dari bahasa yang dipelajari. 4. Materi/isi naskah buku menampilkan kondisi sosiokultural bahasa dewasa ini dan erat dengan konteks sosiokultural setempat. 5. Materi/isi naskah buku memaksimalkan penggunaan sumber-sumber yang sesuai dengan kondisi di luar bahasa yang dipelajari seperti: Indonesia di Asia, Inggris di Eropa dan lain-lain. Butir 1 pada umumnya sesuai dengan pendapat para ahli yang menyatakan bahwa buku teks berperan sebagai silabus (Cunningsworth: 1995; Ansary dan Babaii: 2002). Butir 2 mencakup pandangan beberapa ahli yang menyebutkan bahwa: bahan ajar sebaiknya asli dalam hal bacaan/teks dan tugas (Nunan dalam McGrath: 2002); isi buku teks bebas dari informasi informasi dan gambaran pandangan terhadap suatu kelompok sosial
~ 40 ~
(AbdelWahab: 2013); penentuan kriteria isi buku teks dengan pertimbangan seperti cakupan materi dan kesetaraan gender (Wirawan: 2012); buku teks menyatakan pandangan positif terhadap asal-usul etnis (AbdelWahab: 2013); buku teks menghargai perbedaan individu (Greene dan Petty; Tarigan: 1989); isi harus membangkitkan sikap sosial dan moral yang diatur dalam kehidupan masyarakat dan memberikan kontribusi untuk pengembangan apresiasi nilai-nilai sosial,moral, dan estetika (Seguin: 1989). Pada butir 2 dinyatakan secara jelas bahwa isi buku teks sebaiknya tidak mengandung diskriminasi gender dan hal-hal negatif yang mengarah pada unsur SARAP (suku, agama, ras, dan pornografi). Butir 3 mencakup banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli yaitu: buku teks haruslah dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep yang samar-samar dan tidak biasa agar tidak membingungkan siswa pemakainya (Greene dan Petty dalam Tarigan: 1989); buku teks menyediakan model penggunaan bahasa yang benar dan tepat (Hutchinson dan Waters dalam McGrath: 2002); isi buku teks harus didasarkan pada fakta-fakta ilmiah, tepat dan informasinya terverifikasi dan bebas dari kesalahan (Seguin: 1989); isi buku teks tidak boleh disajikan tidak lengkap atau bersifat ambigu (Seguin: 1989); buku teks menyediakan model penggunaan bahasa yang benar dan tepat (Hutchinson dan Waters dalam McGrath: 2002); bahan pelajaran akurat dan modern (Daoud dan Celce-Murcia dalam Celce-Murcia: 2001); informasi yang disajikan dalam buku teks bersifat terkini (up to date) dan sesuai dengan realitas hidup (Seguin: 1989). Butir 4 dan 5 merupakan butir materi baru yang dikembangkan dalam penelitian ini. Dua butir tersebut merupakan pengembangan dari teori berikut ini: informasi yang disajikan buku teks bersifat terkini (up to date) dan sesuai dengan realitas hidup (Seguin:1989); bahan ajar bersifat merefleksikan dunia luar berkaitan dengan keaslian teks dan tugas (Nunan dalam McGrath:2002); bahan ajar merefleksikan konteks sosiokultural yang akan mereka gunakan (Nunan dalam McGrath:2002); isi buku teks mengandung serangkaian latar belakang budaya dan memungkinkan diskusi yang aman dan menyenangkan tentang hal yang berkaitan dengan lintas budaya (Ur dalam Garinger: 2002). Berkaitan dengan buku teks bahasa Jepang, butir 4 dan 5 dianggap sebagai pengayaan materi buku teks bahasa asing dengan menampilkan konteks kejepangan dan kondisi di luar Jepang yang dianggap relevan sesuai dengan topik yang diangkat dalam pembelajaran. Hal ini dianggap bermanfaat dalam membuka dan meningkatkan cakrawala pengetahuan siswa Di bagian komponen keterampilan bahasa, seperti apa yang disampaikan oleh Taniguchi (2001) bahwa aspek keterampilan berbahasa (gengo ginoo) bersifat produktif atau
~ 41 ~
menghasilkan (sanshutsuteki) dan aspek keterampilan bahasa bersifat reseptif atau menerima (juyooteki). Keterampilan menyimak (kiku) dan membaca (yomu) bersifat reseptif sedangkan berbicara (hanasu) dan menulis (kaku) bersifat produktif. Dalam penelitian ini komponen keterampilan berbahasa dibagi menjadi empat butir yang masing-masing terdiri dari dua bagian yaitu ‘materi’ dan ‘latihan’. Pembagian ini ditujukan untuk mendalami kesesuaian materi keterampilan berbahasa dengan latihan yang menyertainya. Keempat butir aspek tersebut adalah: 1.a
Menyajikan lafal atau bunyi bahasa asing yang tepat untuk disimak dan ditangkap pesannya dalam rangka memahami makna komunikasi yang disampaikan pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan
1.b
Isi CD dengan materi bahan penunjang sesuai dengan keterampilan menyimak yang disiapkan bervariasi dan ditujukan untuk menjalin
2.a
Menyajikan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan/menyatakan ide, pikiran, gagasan, dan perasaan kepada orang lain sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya
2.b
Lembar kegiatan siswa atau tugas bervariasi dan ditujukan untuk menjalin interaksi dan komunikasi di antara para siswa dengan menghadirkan situasi yang dekat dengan kehidupan siswa sesuai dengan keterampilan berbicara yang disiapkan
3.a
Mengandung bahan bacaan yang bervariasi seperti diambil dari: koran, majalah, novel, surat, buku harian,menu, iklan
3.b
Latihan dan tugas membaca bervariasi dan ditujukan untuk mengetahui dan memahami teks secara mendalam sesuai dengan keterampilan membaca yang disiapkan
4.a
Menyajikan kegiatan menyampaikan pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai medianya
4.b
Latihan dan tugas menulis bervariasi dan ditujukan untuk menyampaikan pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai medianya dalam rangka melatih siswa untuk menuangkan ide, pendapat, pikiran, dan gagasan dengan bahasa tulis sesuai dengan keterampilan menulis yang disiapkan
Butir 1a-4b merupakan empat keterampilan berbahasa yang saling terkait satu sama lain, sehingga untuk mempelajari salah satu keterampilan berbahasa, beberapa keterampilan berbahasa lainnya juga akan terlibat. Hal ini sesuai dengan pendapat Cunningsworth (1995) yang menyatakan bahwa buku teks merupakan sumber materi yang akan diajarkan baik lisan
~ 42 ~
maupun tulisan. Berkaitan dengan latihan yang harus dikembangkan dalam empat keterampilan berbahasa, pada intinya latihan atau tugas yang disajikan diharapkan mampu menunjang kegiatan siswa sesuai dengan keterampilan yang disiapkan Hal ini sesuai dengan pendapat dari Garinger (2002) yaitu latihan dan kegiatan sebaiknya disajikan dalam format yang bervariasi sehingga secara terus menerus bisa memotivasi siswa. Dalam keterampilan membaca, bacaan yang dihadirkan diharapkan mendekati realitas seperti: koran, majalah, novel, surat, buku harian,menu, dan iklan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nunan dalam McGrath (2002) yaitu bahan ajar sebaiknya merefleksikan dunia luar dalam hal keaslian teks dan tugas. Komponen penyajian dibagi menjadi delapan butir, yaitu: 1.
Penyajian materi/isi naskah buku dilakukan secara runtut, bersistem, lugas, mudah dipahami (dapat didukung dengan ilustrasi, indeks dan lain-lain)
2.
Perincian materi seimbang dalam hal penyebaran materi, kesinambungan antarbab yang berkaitan dengan pengenalan pola kalimat, pemahaman dan pengembangan latihan, praktik, dan tes keterampilan bahasa
3.
Penyajian materi/isi naskah buku dapat mengembangkan sikap spiritual dan sosial
4.
Pengembangan materi/isi naskah buku mengembangkan keterampilan berbahasa dan menumbuhkan motivasi untuk berpikir lebih jauh dan inovatif
5.
Materi/isi naskah buku dilengkapi dengan buku pegangan untuk guru
6.
Materi/isi naskah buku dilengkapi dengan tes; lembar kerja siswa
7.
Materi/isi naskah buku dilengkapi dengan kaset; CD; dan DVD
8.
Materi/isi naskah buku dilengkapi dengan bahan bergambar, seperti: ilustrasi, flashcards, dan wallcharts Butir 1 penyajian, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Seguin (1989) mengenai
penyajian tema didasarkan atas pertimbangan penguasaan pengetahuan harus progresif dan terurut dari urutan umum ke khusus (rinci) atau sederhana ke kompleks. Adapun mengenai kelengkapan buku berupa ilustrasi dan desain sesuai dengan pendapat Byrd (2001) yang menyatakan bahwa ilustrasi, desain, indeks, appendiks sesuai dengan umur dan tingkat pendidikan siswa serta susunannya terkonstruksi dengan baik. Butir 2 didasarkan pendapat Garinger (2002) yang menyebutkan bahwa latihan yang tersedia pada buku teks sebaiknya seimbang. Butir 3 didasarkan atas pendapat Cunningsworth (1995) bahwa buku teks perlu merefleksikan nilai-nilai sosial dan norma-norma baik secara implisit maupun eksplisit. Sehubungan dengan butir 4 yaitu menumbuhkan motivasi dan cara berpikir yang inovatif,
~ 43 ~
ini merupakan pengembangan konsep yang disampaikan oleh Seguin dan Nunan. Menurut Seguin (1989) buku teks diharapkan mampu memberikan siswa persepsi dan pemahaman dari dunia luar dalam rangka menguasai apa yang telah dipelajari. Nunan dalam McGrath (2002) menguraikan bahan ajar yang berkualitas adalah bahan yang dapat mendorong pemelajar untuk menggunakan keterampilan bahasanya di dunia nyata. Berkaitan dengan butir 5 yaitu kelengkapan buku teks berupa buku pegangan guru, dapat dirujuk pendapat Ansary dan Babaii (2002) tentang fungsi buku teks sebagai pengaman, petunjuk, dan bantuan bagi guru pemula dan Byrd (2001) yang menyebutkan bahwa buku teks dilengkapi dengan buku petunjuk bagi guru untuk mengimplementasikan latihan yang ada. Butir 6 adalah butir kelengkapan buku dalam wujud tes, dan lembar kerja siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Nunan dalam McGrath (2002) yang menyebutkan bahwa buku teks yang baik adalah buku yang dapat mendorong pembelajaran secara mandiri yaitu memungkinkan siswa mengadakan evaluasi diri yang dibangun melalui tugas-tugas. Senada dengan Nunan, Wirawan (2012) menguatkan tentang pentingnya tes, dan lembar kerja siswa dengan pendapatnya yang menyebutkan bahwa syarat buku teks termasuk dalam kualitas tinggi adalah karena salah satunya dilengkapi dengan tes evaluasi. Dalam pembelajaran bahasa asing sangat penting disertai dengan keaslian suara penutur asli yang dapat dijadikan acuan atau model siswa dalam belajar. Butir 7 merupakan unsur yang berkaitan dengan fonologi yaitu ilmu yang mempelajari tentang bunyi sedangkan butir 8 adalah butir yang berkaitan dengan bahan ajar yang bersifat nonkebahasaan. Menurut Takamizawa (2004) bahan ajar yang berbentuk suara dan gambar disajikan dalam bentuk rekaman suara dan video, sedangkan bahan ajar yang bersifat nonkebahasaan dapat disajikan dalam bentuk gambar, foto, skema, grafik, diagram, bentuk/model, realia. Wirawan (2012) menjelaskan bahwa materi disajikan dengan gambar, grafik, dan tabel untuk memudahkan memahami isi buku teks. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa buku teks sangat perlu dipikirkan unsur kelengkapannya dalam rangka menunjang kesempurnaan sebuah buku. Di bagian akhir komponen dicantumkan komponen bahasa/keterbacaan. Menurut McGrath (2002) salah satu kriteria penyeleksian buku yang dipergunakan di kelas adalah pertimbangan logistik seperti keterbacaan. Grant dalam McGrath (2002) juga menguatkan pentingnya keterbacaan dalam buku teks dengan pendapatnya yaitu buku teks sebaiknya sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan siswa. Wirawan (2012) menjelaskan bahwa bahasa yang dipergunakan dalam buku teks sebaiknya disesuaikan dengan tingkat penguasaan
kosakata
siswa.
Kutipan-kutipan
~ 44 ~
tersebut
menunjukkan
pentingnya
bahasa/keterbacaan dalam sebuah buku teks. Adapun ketiga butir aspek dalam komponen bahasa/keterbacaan dalam penelitian ini adalah: 1. Kemudahan membaca instrumen dan materi 2. Bahasa yang digunakan etis, komunikatif (sesuai dengan tingkat pemahaman sasaran pembaca), fungsional, kontekstual, efektif, dan efisien 3. Memiliki kandungan gramatikal dan kosakata yang sesuai dengan level, minat, dan kognisi siswa Butir 1 merupakan butir pengembangan komponen keterbacaan yang dikembangkan dalam penelitian ini. Seperti disebutkan di bagian awal bahwa huruf Jepang terdiri dari huruf kana dan kanji. Huruf kanji bagi pemelajar yang berasal dari orang yang termasuk dalam hikanjikeigakushuusha (pelajar yang pertama kali belajar huruf kanji) dirasa lebih sulit dibandingkan dengan orang yang termasuk dalam kelompok kanjikeigakushuusha (pelajar yang sudah melekat dengan huruf kanji). Menurut Takamizawa (2006) yang termasuk dalam hikanjikeigakushuusha adalah orang Eropa, sebagian besar orang Asia Tenggara, orang Arab, dan orang Afrika sedangkan yang termasuk dalam kanjikeigakushuusha misalnya orang Cina, Korea, Taiwan, dan Singapura. Dalam hal ini, orang Indonesia termasuk dalam kelompok hikanjikeigakushuusha. Oleh karena itu adanya furigana yang ditulis dalam huruf hiragana dianggap memudahkan orang Indonesia dalam membaca huruf kanji. Butir 2 dan 3 dari komponen bahasa dan keterbacaan merupakan pengembangan konsep yang disampaikan oleh para ahli. Hal ini sesuai dengan pendapat McGrath (2002) yaitu salah satu kriteria penyeleksian buku yang dipergunakan di kelas adalah pertimbangan logistik seperti keterbacaan. Dengan demikian, bahasa yang digunakan dalam buku teks bahasa Jepang diharapkan sesuai dengan tingkat pemahaman pembaca. Adapun butir 3 merupakan pengembangan konsep dari Grant dalam McGrath (2002) yang menyebutkan bahwa buku teks harus sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kemampuan siswa. Sehubungan dengan kandungan gramatikal dan kosakata dapat dikutip pendapat ahli yaitu Daoud dan CelceMurcia dalam Celce-Murcia (2001) yang menyebutkan bahwa struktur kalimat diharapkan secara bertahap meningkat kompleksitasnya sesuai dengan perkembangan kemampuan membaca siswa. Dalam hal kosakata diharapkan beban kosakata yang diperkenalkan setiap pelajaran jumlahnya masuk akal untuk siswa tingkat tersebut. Butir aspek ketiga ini perlu diperhatikan karena komponen bahasa dan keterbacaan merupakan sarana penyampaian materi/isi sehingga para penulis buku sebaiknya berusaha keras untuk memudahkan bahasa bagi para pembaca.
~ 45 ~
Instrumen pengevaluasian buku disertai dengan bobot dan skor. Adapun bobot setiap komponen ditetapkan dalam persentase yang berbeda-beda sesuai kepentingan penelitian. Dalam penelitian ini materi/isi diberikan persentase 40%, keterampilan berbahasa 30%, penyajian 20%, dan bahasa/keterbacaan 10%. Penentuan bobot pada butir aspek didasarkan atas kandungan isi yang terkandung di setiap poin. Pemberian skor didasarkan atas skala 12 (tidak terdapat kesesuaian); 3-5 (kurang lebih di bawah 50% sesuai); 6-8 (di atas 50% sesuai); 9-10 (seluruhnya sesuai); dan untuk pertanyaan yang dapat langsung dijawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’ diberikan dua pilihan jawaban yaitu: jika tidak terdapat kesesuaian diberikan skor 1, dan jika terdapat kesesuaian diberikan skor 10. Komponen materi diberikan persentase yang paling besar karena materi/isi merupakan skenario pembelajaran yang menjadi panduan bagi guru dalam menjalankan pembelajaran di kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Cunningsworth (1995) yang menyebutkan enam peranan materi dalam pembelajaran bahasa yaitu: sumber dalam penyajian materi; sumber aktivitas bagi pemelajar dalam praktik dan komunikasi interaktif; sumber referensi bagi pemelajar dalam tata bahasa, kosakata; sumber perangsang dan gagasan dalam aktivitas kelas; silabus para guru dalam merefleksikan tujuan pembelajaran; bantuan bagi guru yang belum berpengalaman dan kurang percaya diri. Keterampilan berbahasa menempati urutan kedua karena dalam pengajaran bahasa asing, keterampilan berbahasa ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kemahiran berbahasa sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Penyajian menempati urutan ketiga karena penyajian yang baik dapat melengkapi kesempurnaan sebuah buku dalam rangka menimbulkan kemenarikan bagi siswa untuk terus mempelajarinya. Adapun bahasa/keterbacaan menempati urutan keempat karena bahasa merupakan sarana penyampaian materi sedangkan keterbacaan berkaitan dengan kemudahan bahasa bagi siswa level yang dituju. Berdasarkan hasil angket diketahui bahwa menurut persepsi delapan orang responden yaitu dosen pengampu mata kuliah bahasa Jepang, keterampilan menyimak yang terdapat pada buku “Minna no Nihongo Shokyu I Chookai Tasuku 25” memiliki kesesuaian 82%. Kesesuaian keterampilan berbicara yang terdapat pada buku “Minna no Nihongo Shokyu I” adalah 81%. Kesesuaian keterampilan membaca yang terdapat pada buku “Minna no Nihongo Shokyu de Yomeru Topikku 25” adalah 76.5%. Kesesuaian keterampilan menulis yang terdapat pada buku “Minna no Nihongo Shokyu I Kanji” adalah 78.1%. Dengan demikian, keempat buku teks Minna no Nihongo dapat dikatakan layak untuk digunakan di Fakultas Sastra Jurusan Jepang Universitas Darma Persada.
~ 46 ~
5. SIMPULAN Dalam penelitian ini, berdasarkan teori yang dikembangkan oleh para pakar pengajaran, dihasilkan instrumen penilaian buku teks bahasa asing yang telah diujicobakan kepada delapan orang responden atas empat buku teks seri “Minna no Nihongo”. Instrumen ini diharapkan dapat menjadi pelopor pengevaluasian buku teks bahasa asing yang tentunya bersifat terbuka untuk terus dikembangkan sesuai kepentingan penelitian, seperti pada bagian ‘bahasa yang dipelajari’ dapat ganti secara lebih spesifik dengan ‘bahasa asing yang dituju’, misalnya bahasa Jepang, Mandarin, dan lain sebagainya. Selain itu, berdasarkan hasil angket diketahui bahwa kualitas keempat buku teks pe;ajaran seri Minna no Nihongo secara keseluruhan dianggap layak untuk terus digunakan di Jurusan Jepang Universitas Darma Persada. DAFTAR PUSTAKA: Abdel Wahab, Montasser Mohamed. (2013). Developing an English Language Textbook Evaluative Checklist. In the IOSR Journal of Research& Method in Education (IOSR-JRME) e-ISSN: 2320-7388,p-ISSN:2320-737X Volume I, Issue 3 (Mar.Apr.2013), pp.55-70. http://www.iosrjournals.org/iosr-jrme/papers/Vol1%20Issue-3/I0135570.pdf. Ansary, Hasan and Esmat Babaii. (2002). Universal Characteristics of EFL/ESL Textbooks: A Step Towards Systematic Textbook Evaluation. The Internet TESL Journal, Vol. VIII, No. 2, February,-. http://iteslj.org. Arifin, Zainal. (2014). Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, Prosedur. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Byrd, Patricia. (2001). Tektbooks: Evaluation for Selection and Analysis for Implementation dalam Teaching English as a Second or Foreign Language. ed. Marianne CelceMurcia. USA: Heinle& Heinle Thomson Learning, 2001), pp. 416-418. Brown, HD. (2007). Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. New York: Pearson Education, Inc. Celce-Murcia, Marianne. (2001). Teaching English as a Second or Foreign Language. USA: Heinle& Heinle. Cunningsworth, Alan. (1995). Choosing Your Coursebook. Oxford: Heinemann. Finney, Denise. (2003). The ELT Curriculum: A Flexible Model for a Changing World. In J.C. Richards & W.A Renandya (Eds.) Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice, (pp. 69-79), Cambridge: Cambridge University Press. Garinger, D. (2013). Textbook Selection for the ESL Classroom. In the EDO-FL-02-10 December2002,http://mcael.org/uploads/File/provider_library/Textbook_Eval_C AL.pdf. Makino, Akiko. (2001). Minna no Nihongo Shokyu I Shokyu de Yomeru Topikku 25. Tokyo: Surie Network. McGrath, Ian. (2002). Materials Evaluation and Design for Language Teaching. (Edinburgh
~ 47 ~
Textbooks in Applied Linguistics). Edinburgh: Edinburgh University Press. Neuendorf, Kimberly A. (2002). The Content Analysis: Guidebook. United Kingdom: Sage Publication Inc. Seguin, Roger. (1989). The Elaboration of School Textbooks, Methodological Guide. Unesco. Takamizawa, Hajime, et al. (2004). Shin Hajimete no Nihongo Kyouiku Kihon Yougo Jiten. Tokyo: Ask. Taniguchi, Sumiko. (2001). Nihongo Nouryoku to wa Nani ka. In Aoki Naoko& Ozaki Akito&Toki Satoshi (Eds.) Nihongo Kyouikugaku o Manabu Hito no Tame ni, (pp.18-33), Kyoto: Sekaishisosha. Tarigan, Henry Guntur and Djago Tarigan. (1989). Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa. Wirawan. (2012). Evaluasi: Teori, Model, Standar, Aplikasi, dan Profesi. Jakarta: Rajawali Press. Yanagisawa, Yoshiaki and Eriko Ishii. (1998). Nihongo Kyooiku Jyuuyoo Yoogo 1000. Tokyo: Baberu Puresu.
~ 48 ~
KONSTRUKSI KALIMAT KONTRAKSI DALAM BAHASA MANDARIN Yulie Neila Chandra, Gustini Wijayanti Program Studi Sastra Cina, Fakultas Sastra
[email protected] Abstrak Makalah yang bertema “Konstruksi Kalimat Kontraksi dalam Bahasa Mandarin” ini memaparkan berbagai konstruksi kalimat kontraksi. Kalimat kontraksi memiliki bentuk menyerupai kalimat tunggal karena tidak memiliki pemarkah hubungan antarklausa (koma), namun memiliki makna seperti kalimat majemuk karena memiliki dua predikator. Melalui metode telaah distribusional dengan teknik pelesapan ditemukan bahwa konstruksi kalimat zhǔ yǔ
wèi yǔ
kontraksi terdiri atas lima kelompok, yakni 1) konstruksi subjek (主语) dan predikat (谓语); guānlián fù cí
2) konstruksi dengan pemarkah adverbia penghubung ( 关 联副词); 3) konstruksi dengan yí wèn dài cí
pemarkah pronomina penanya (疑 问 代词); 4) konstruksi dengan pemarkah konjungsi dan guānliáncí yǔ
adverbia ( 关 联词语 ) seperti kalimat majemuk; chóng fù wèi yǔ dòng cí
dan 5) konstruksi dengan
dòng cí chóng dié
pengulangan/reduplikasi verba ( 重 复谓语 动 词 / 动 词 重 叠). Makna kalimat kontraksi menunjukkan hubungan berurutan, kausatif, pengandaian, pertentangan, dan kondisional. Kata Kunci: kalimat tunggal, kalimat majemuk, kalimat kontraksi, pemarkah hubungan antarpredikator, adverbia penghubung
1. PENDAHULUAN Istilah “konstruksi” juga dikenal di dalam bidang linguistik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (2011:727), konstruksi dalam bidang linguistik adalah susunan dan hubungan kata dalam kalimat atau kelompok kata. Konstruksi itu terdiri atas berbagai macam, antara lain konstruksi absolut, konstruksi antipasif, konstruksi eksosentris, konstruksi endosentris, konstruksi morfologis, konstruksi sintaktis, dan sebagainya yang semuanya berkaitan dengan satuan-satuan bahasa. Berdasarkan pengertian tersebut, konstruksi terjadi dalam tataran morfologi dan sintaksis. Mengingat konstruksi merupakan susunan dan hubungan kata, maka dalam bidang linguistik,
konstruksi tidak dapat
dipisahkan dari struktur. Oleh karena itu, banyak orang yang menyamakan kedua istilah tersebut. Berdasarkan strukturnya, pada umumnya kalimat dalam bahasa Mandarin secara garis dān jù
besar dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu kalimat tunggal ( 单 句) dan kalimat
~ 49 ~
fù jù
majemuk (复句) (Li Dejin dan Cheng Meizhen, 1988). Kalimat tunggal adalah kalimat yang dibentuk oleh sebuah klausa bebas atau klausa lengkap. Sebaliknya, kalimat majemuk adalah kalimat yang dibentuk oleh minimal dua klausa. Kalimat majemuk dikelompokkan bìng liè fù jù
berdasarkan hubungan antarklausa pembentuknya, yakni 并 列复句 ‘kalimat majemuk piānzhèng fù jù
koordinatif’ dan 偏 正 复句 ‘kalimat majemuk subordinatif’. Selain dua kalimat tersebut, duōchóng fù jù
masih ada bentuk kalimat lain yang berhubungan dengan keduanya, yakni 多 重 复句 jǐn suō jù
‘kalimat majemuk campuran’ dan 紧 缩 句 ‘kalimat kontraksi’. Kalimat majemuk campuran adalah kalimat majemuk yang dibentuk oleh minimal tiga klausa yang memiliki hubungan koordinatif dan subordinatif sehingga hubungan antarklausanya membentuk minimal dua hierarki, yakni koordinatif dan subordinatif tersebut. Selanjutnya, kalimat kontraksi ialah kalimat yang berstruktur kalimat tunggal, tetapi mengandung makna kalimat majemuk karena memiliki dua predikator, seperti pada contoh kalimat berikut ini: lù bù xiū bù píng
(1)
路不 修 不 平 。 ‘Jika jalan tidak diperbaiki, maka tidak rata.’ atau ‘karena
jalan tidak diperbaiki, maka tidak rata.’ Kalimat kontraksi pada contoh (1) berbentuk kalimat tunggal, tetapi makna yang dikandungnya membentuk kalimat majemuk subordinatif yang dapat menyatakan hubungan pengandaian atau pun hubungan kausatif. Dengan demikian, maknanya identik dengan contoh (2) atau (3) berikut ini: lù rú guǒ bù xiū jiù bù píng
(2)
路如 果 不 修 , 就不 平 。 ‘Jika jalan tidak diperbaiki, maka tidak rata.’
(kalimat majemuk subordinatif hubungan pengandaian) yīnwéi lù bù xiū suǒ yǐ bù píng
(3)
因 为 路不修 , 所 以不 平 。 ‘Karena jalan tidak diperbaiki, maka tidak rata.’
(kalimat majemuk subordinatif hubungan kausatif)
Dari kedua contoh tersebut di atas terlihat bahwa kalimat majemuk dapat dibentuk menjadi kalimat tunggal tanpa mengubah makna yang dihasilkannya sehingga menjadi kalimat yang lebih sederhana dan hemat.
~ 50 ~
Sementara itu dalam bahasa lain, misalnya bahasa Indonesia dan Inggris, kontraksi dijumpai dalam satuan frase dan kata. Misalnya dalam bahasa Indonesia, frase tidak ada menjadi kata tiada; kata begini menjadi gini; begitu menjadi gitu; itu menjadi tuh; bagaimana menjadi gimana; dan lain-lain, yang pada umumnya kontraksi tersebut menghasilkan kosakata bentuk non-formal. Contoh lain lagi dalam bahasa Inggris, kontraksi juga dijumpai dalam ragam non-formal, seperti: frase going to menjadi gonna; want to menjadi wanna; are not menjadi ain’t; dan lain-lain. Berdasarkan contoh-contoh kontraksi dari ketiga bahasa di atas dapat dikatakan bahwa kontraksi setiap bahasa tidak sama. Dalam KBBI (2011:729), yang dimaksud dengan kontraksi dalam bidang linguistik adalah proses atau hasil pemendekan suatu bentuk kebahasaan, seperti tidak menjadi tak. Pengertian tersebut mengandung maksud bahwa kontraksi terjadi pada satuan kata dan frase di dalam kalimat. Berbeda dalam bahasa Mandarin, kontraksi lebih dijumpai dalam satuan klausa dan kalimat, yakni pada konstruksi sintaktis. Oleh karena itu, kontraksi berkaitan dengan tataran sintaksis dan semantik, khususnya struktur dan makna kalimat. Struktur tersebut meliputi berbagai konstruksi atau susunan/pola-pola kalimat kontraksi bahasa Mandarin, termasuk penggunaan kata tugas seperti adverbia dan konjungsi dalam kalimat tersebut. Konstruksi kalimat ini berkaitan dengan makna yang dihasilkannya. Dalam telaah bahasa Indonesia, Harimurti Kridalaksana (1999) mengungkapkan bahwa kalimat adalah satuan bahasa yang relatif berdiri sendiri, mempunyai ciri utama berupa intonasi final, dan secara aktual maupun potensial terdiri dari klausa. Berdasarkan jumlah klausa di dalam kalimat, kalimat dikelompokkan atas kalimat tunggal, kalimat majemuk, dan dirinci lagi menjadi kalimat majemuk setara, bertingkat, bersusun, dan bertopang. Selain itu, terdapat pula kalimat kombinasi dari keempat jenis tersebut. Selanjutnya, kalimat kombinasi empat kalimat tersebut adalah kalimat yang merupakan gabungan jenis-jenis: (a) kalimat bertopang dan kalimat tunggal; (b) kalimat majemuk dan kalimat tunggal; dan (c) kalimat bersusun dan kalimat tunggal. Menurut La Ode Sidu (2013), berdasarkan jumlah klausanya, kalimat dalam bahasa Indonesia terbagi atas kalimat tunggal, kalimat majemuk setara, kalimat majemuk rapatan, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk kompleks. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa. Kalimat majemuk setara adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa yang setiap klausanya mempunyai potensi atau kemampuan yang sama untuk dapat dijadikan kalimat. Kalimat majemuk rapatan adalah kalimat yang salah satu atau
~ 51 ~
beberapa fungsinya dirapatkan. Selanjutnya, kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat majemuk yang dibangun oleh induk kalimat dan anak kalimat. Terakhir, kalimat majemuk kompleks adalah kalimat majemuk yang dibangun oleh klausa yang setara dan yang tidak setara. Bahasa Indonesia tidak mengenal kalimat kontraksi. Kontraksi hanya terjadi dalam tataran morfologi. Namun demikian, berdasarkan paparan La Ode Sidu (2013), dapat terlihat bahwa kalimat majemuk rapatan memiliki kemiripan dengan kalimat kontraksi dalam bahasa Mandarin. Dalam bahasa Indonesia, kontraksi adalah pemendekan suatu kata, sukukata, atau gabungan kata dengan cara penghilangan huruf yang melambangkan fon di dalam kata tersebut. Dalam tata bahasa tradisional, kontraksi dapat mengakibatkan pembentukan kata baru dari kata yang disingkat tersebut. Kontraksi berbeda dari akronim karena memiliki hasi pembentukan yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia, kontraksi banyak terjadi pada bahasa tuturan ragam nonformal (Wikipedia.org/wiki/kontraksi). Kontraksi (contraction) dalam bahasa Inggris ialah “the shortening of a word or expression, also the shortened form resulting from this process” (Mario A. Pei dan Frank Gaynor, 1954). Dalam bahasa Inggris juga dijumpai konsep informal contraction, yakni bentuk pendek dari kata-kata lain yang orang gunakan pada waktu berbicara santai. Kontraksi
informal
lebih
umum
ditemui
dalam
American
English.
(inggrisku.net/2014/10/kontraksi-informal-informal-contraction/#.VIJHAAAgLA). Contoh: (4)
What are you going to do? → whatcha going to do? → whatcha gonna do?
(5)
Do you want a beer? → do you wanna beer? → D’you wanna beer? → D’ya
wanna beer? → ya wanna beer? → wanna beer? Contoh kalimat-kalimat di atas menunjukkan bahwa kontraksi dalam bahasa Inggris dapat dijumpai di dalam satuan kata dan frase. Li Dejin dan Cheng Meizhen (1988) mengemukakan bahwa jenis kalimat berdasarkan jǐn suō
struktur selain kalimat tunggal dan kalimat majemuk, juga terdapat kalimat kontraksi (紧 缩 jù
句). Kalimat kontraksi ialah kalimat yang berstruktur kalimat tunggal, tetapi mengandung makna kalimat majemuk karena memiliki dua predikator. Suatu hal yang biasanya dinyatakan dalam kalimat majemuk dapat dinyatakan dalam kalimat tunggal. Karena itu, kalimat ini disebut juga kalimat penghematan. Menurut kedua ahli itu, kalimat kontraksi memiliki beberapa fitur gramatikal, yaitu (1) pada umumnya memiliki dua predikat dan satu
~ 52 ~
subjek; (2) kedua predikat tersebut memiliki hubungan seperti hubungan koordinatif, alternatif, progresif, pengandaian, kausatif, kondisional, dan lain-lain; dan (3) dalam ragam tulis, kalimat ini tidak memiliki koma. Contoh: tābìngleméilái
(6) 她病了没来。 ‘Karena ia sakit, maka tidak datang.’ Kalimat kontraksi (6) mengandung makna yang sama dengan kalimat (7) di bawah ini. yīnwéitābìngle suǒyǐméilái
(7) 因为她病了, 所以没来。 Menurut Chen Xinxiong dan kawan-kawan (1989), kalimat kontraksi disebut 紧缩复 句 ‘kalimat majemuk kontraksi’ karena berasal dari kalimat majemuk tetapi berbentuk kalimat tunggal. Kalimat majemuk kontraksi memiliki sebuah subjek, dan maknanya menunjukkan berbagai hubungan seperti pengandaian dan kausatif. Contoh: nǐ yuàn yì qù jiù qù
(8) 你 愿 意去就去。 ‘Kalau kamu ingin pergi, pergilah.’ Zhang Wu dan Chen Changlai (2000) memaparkan bahwa kalimat kontraksi yang jǐn suō jù
jǐn
disebut 紧 缩 句 terdiri atas 紧 yang menunjukkan pelesapan pemarkah antarklausa (koma) suō
sehingga hubungan antarklausa menjadi lebih dekat; dan 缩 yang menunjukkan pelesapan beberapa unsur atau konstituen di dalam kalimat majemuk. Oleh karena itu, kalimat jǐn
suō
kontraksi mencerminkan 紧 dan 缩 kedua hal tersebut. Sebuah kalimat majemuk bila melalui proses pelesapan unsur dan pemarkah klausa akan menjadi sebuah kalimat yang berbeda dari kalimat majemuk, dan juga berbeda dari kalimat tunggal. Dengan demikian, kalimat kontraksi merupakan kalimat yang dibentuk oleh kalimat majemuk, dengan berbagai pelesapan sehingga menjadi bentuk yang lebih sederhana. Kalimat kontraksi memiliki beberapa ciri, yakni (1) adanya pelesapan unsur atau satuan, dan membentuk dua bagian yang berhubungan. Karena itu, kalimat kontraksi juga dapat memiliki kata-kata penghubung yī
jiù
bù
bù
yang membentuk sebuah konstruksi, seperti 一 ...... 就 ...... ; 不 ...... 不 ...... ; dan lain-lain. (2) dalam kalimat kontraksi tidak ada koma sebagai pemarkah antarklausa. Dalam makalah ini dikupas berbagai konstruksi kalimat kontraksi bahasa Mandarin yang mencakup struktur (bentuk) dan maknanya, termasuk unsur-unsur yang dilesapkan, sehingga
~ 53 ~
dapat lebih dipahami keberadaan kalimat tersebut sebagai salah satu keunikan sintaksis bahasa Mandarin. Makalah ini juga dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan linguistik bahasa Mandarin khususnya tataran sintaksis dan semantik. Telaah yang bersifat deskriptif ini dilakukan dengan menggunakan metode telaah distribusional, yakni antara lain melalui teknik pelesapan. 2. HASIL DAN PEMBAHASAN guān
lián cí
Dalam kalimat majemuk, penggunaan konjungsi (连词) atau kata-kata penghubung ( 关 lián cí yǔ
联词语 ) menjadi primadona kalimat tersebut. Maksudnya, konjungsi atau kata-kata penghubung menjadi salah satu pemarkah kalimat majemuk yang sangat penting; dan juga dengan adanya konjungsi atau kata-kata penghubung itu membuat hubungan makna antarklausa di dalam kalimat tersebut menjadi jelas dan tegas apakah mempunyai hubungan koordinatif atau subordinatif. Namun, di dalam kalimat kontraksi hal tersebut tidak berlaku. Kata-kata penghubung pada umumnya sering dilesapkan, sehingga makna yang muncul agak sulit untuk dipahami, khususnya memaknai hubungan makna antarpredikator. Berdasarkan data yang diperoleh penulis ini, kalimat kontraksi dapat dilihat berdasarkan: zhǔ yǔ
wèi yǔ
(1) Konstruksi subjek (主语) dan predikat (谓语); (2) Konstruksi dengan pemarkah adverbia guānlián fù cí
yí wèn dài cí
penghubung ( 关 联副词); (3) Konstruksi dengan pemarkah pronomina penanya (疑 问 代词); guānliáncí yǔ
(4) Konstruksi dengan pemarkah konjungsi dan adverbia ( 关 联词语 ) seperti kalimat chóng fù wèi yǔ dòng cí
majemuk; dan (5) Konstruksi dengan pengulangan/reduplikasi verba ( 重 复谓语 动 词 / dòng cí chóng dié
动 词 重 叠). Berikut penjelasan kelima konstruksi tersebut. zhǔ yǔ
wèi yǔ
2.1 Konstruksi subjek (主语) dan predikat (谓语) Kalimat kontraksi dengan konstruksi subjek predikat mengandung arti bahwa kalimat tersebut dibentuk oleh subjek dan predikat walau ada unsur lain pula seperti objek, keterangan, dan lain-lain. Meskipun demikian, strukturnya berbeda dengan kalimat tunggal. Kalimat kontraksi dengan konstruksi ini dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu 1. Kalimat kontraksi berstruktur satu subjek dan dua predikat, contohnya:
~ 54 ~
pó pó zǒu lù bù xiǎo xīn niǔ shāng le jiao
(9) 婆婆走路不 小 心扭 伤 了脚。 Nenek berjalan kaki tidak hati-hati keseleo PAR kaki ‘Karena nenek berjalan tidak hati-hati, maka kakinya terkilir.’ pó pó
Pada contoh (9), subjeknya adalah nomina 婆婆 ‘nenek’; dan predikatnya adalah verba zǒulù
bùxiǎoxīn
走路 ‘berjalan kaki’ yang diikuti oleh komplemen/pelengkap 不小心 ‘tidak hati-hati’ niǔshāng
jiǎo
dan verba 扭伤 ‘keseleo/terkilir’ yang diikuti oleh objek 脚 ‘kaki’. Kalimat (9) menyatakan adanya hubungan kausatif seperti dalam kalimat majemuk subordinatif yīn guǒguān xi
hubungan kausatif ( 因果 关 系 ). Dengan demikian, konjungsi yang menyatakan hubungan kausatif dilesapkan. 2. Kalimat kontraksi berstruktur dua subjek dan dua predikat, contohnya: wǒqǐngtātābùlái
(10)
我请他他不来。 Saya undang dia dia tidak datang ‘Saya mengundang dia, tetapi dia tidak datang.’ (‘Walaupun saya mengundang dia, dia tidak datang.’) Pada kalimat (10), subjeknya adalah pronomina persona 我 ‘saya’ dan 他 ‘dia laki-laki’; sedangkan predikatnya adalah verba 请 ‘mempersilakan’ dan 来 ‘datang’. Verba yang pertama memiliki objek 他 ‘dia’. Kalimat ini menunjukkan makna pertentangan seperti dalam kalimat majemuk subordinatif hubungan pertentangan (转折关系). Konjungsi sebagai pemarkah kalimat majemuk dilesapkan.
2.2 Konstruksi dengan pemarkah adverbia penghubung (关联副词) Kalimat kontraksi dengan pemarkah adverbia penghubung memiliki unsur pemarkah berupa adverbia yang menunjukkan penghubung antarklausa atau antarpredikator. Konstruksinya dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu 1. Konstruksi dengan adverbia penghubung tunggal, yakni mengunakan berbagai j i ù y ě què yòu hái c á i dōu zà i
adverbia seperti 就, 也, 却, 又, 还, 才, 都, 再. Contohnya: wǒ yǒu yì jiàn wǒ jiù yào tí
(11)
我有意见我就要提。 Saya ada pendapat saya ADV mau kemukakan
~ 55 ~
‘Jika saya mempunyai pendapat, saya akan kemukakan.’ (‘Asalkan saya ada opini, akan saya ajukan.’) wǒ
Kalimat (11) memiliki dua subjek yang sama, yakni 我 ‘saya’ dengan dua predikat yang yǒu
tí
berbeda, yaitu 有 ‘mempunyai/ada’ dan 提 ‘mengemukakan/mengajukan’. Verba yìjiàn
pertama diikuti oleh objek 意见 ‘pendapat/opini’; sedangkan verba kedua memiliki jiù
yào
jiù
keterangan/adverbial 就 dan 要. Adverbia 就 berfungsi sebagai penghubung predikator. Kalimat (11) mengandung makna hubungan pengandaian atau kondisional seperti jiǎshèguānxì
kalimat majemuk subordinatif hubungan pengandaian ( 假设关系 ) atau hubungan tiáojiànguānxì
kondisional (条件关系)。Berdasarkan hal terebut terlihat bahwa konjungsi pemarkah kalimat majemuk dilesapkan dan digantikan oleh adverbia penghubung tersebut di atas. 2. Konstruksi dengan adverbia penghubung lengkap atau ganda, yakni menggunakan bù
fēi
bù
bù
dua adverbia yang membentuk sebuah struktur baku, seperti 不….不….; 非….不….; yuè
yuè
zà i
yě
b ù méi
yě
yī
jiù
越…. 越….; 再…. 也….; 不/没…. 也….; 一…. 就….; dan lain-lain. Adverbiaadverbia penghubung tersebut menggantikan konjungsi dan adverbia di dalam kalimat majemuk. Contohnya: wǒ men fēi xué hǎo bù kě
(12)
我 们 非学好不可。 Kami ADV belajar baik ADV (tidak) boleh ‘Jika kami tidak belajar dari contoh yang baik, maka tidak akan bisa.’ (‘Kami harus belajar.’ Atau ‘kami mau tidak mau harus belajar.’) zhōngguó cài yǐ hòu huì yuè biànyuè hao le
(13)
中 国菜以后会越 变 越好了。 Cina sayur kemudian bisa ADV (makin) berubah ADV (makin) baik PAR ‘Masakan Cina kelak bisa berubah semakin baik.’
Kedua kalimat di atas merupakan konstruksi yang jelas dari kalimat kontraksi. Hal itu disebabkan kalimat tersebut disusun berdasarkan struktur yang tetap atau baku. Pada kalimat xué hǎo
kě
(12), dua predikator 学好 ‘belajar dari contoh yang baik’ (belajar baik) dan 可 ‘boleh’ fēi
bù
dihubungkan oleh dua adverbia penghubung, yakni 非 dan 不, keduanya membentuk sebuah fēi
bù
konstruksi 非 ….不 …. . Maknanya menunjukkan hubungan pengandaian. Selanjutnya, dua hǎo
biàn
predikator dalam kalimat (13), yaitu 变 ‘berubah’ dan 好 ‘baik’ dihubungkan oleh dua yuè
yuè
yuè
adverbia penghubung 越, yang juga membentuk konstruksi tetap 越….越…. . Hubungan tiáojiànguānxì
makna keduanya menunjukkan hubungan kondisional (条件关系). 2.3 Konstruksi dengan pemarkah pronomina penanya (疑问代词)
~ 56 ~
Konstruksi kalimat ini bukanlah berarti menunjukkan kalimat interogatif. Strukturnya shuí
shuí
shénme
shénme
nǎlǐ
membentuk sebuah konstruksi yang tetap, seperti 谁 ….谁 ….; 什么…. 什么….; 哪里…., nǎlǐ
zěnmeyàng
zěnmeyàng
duōshǎo
duōshǎo
哪里….; 怎么样…., 怎么样….; 多 少 …., 多 少 ….; dan lain-lain. Contoh: nǐ ài qù nǎ li qù nǎ li
(14)
你爱去哪里去哪里。 Kamu suka pergi ke mana pergi ke mana ‘Kalau kamu suka pergi ke mana ya pergilah.’ Kalimat di atas menggunakan pronomina penanya sebagai penghubung predikatnya.
Makna yang dimunculkan dari kalimat tersebut dapat menunjukkan hubungan kondisional jiǎ shè guān xì
tiáojiànguānxì
(条件关系) atau hubungan pengandaian (假设 关 系). guānliánc íy ǔ
2.4 Konstruksi dengan pemarkah konjungsi dan adverbia ( 关 联词语) seperti kalimat majemuk Konstruksi ini menggunakan kata-kata penghubung seperti dalam kalimat majemuk; hanya saja tanpa pemarkah hubungan antarklausa atau antarpredikator. Maknanya pun tidak berbeda. Contoh: yào shi bú xià yǔ wǒ men jiù qù dòng wù y
(15)
要是不下雨我 们 就去 动 物园。 KONJ (jika) tidak turun hujan kami ADV pergi kebun binatang ‘Kalau tidak hujan, kami pergi ke kebun binatang.’ Kalimat di atas menggunakan bentuk 要是….就…., yang menunjukkan hubungan jiǎ shè guān xì
pengandaian (假设 关 系); dan hanya koma sebagai pemarkah kalimat majemuk yang dilesapkan. 2.5 Konstruksi dengan pengulangan (reduplikasi) verba Konstruksi ini menggunakan dua buah verba yang sama atau pengulangan verba. Walau tanpa pemarkah jeda dalam ragam tulis, kalimat konstruksi semacam ini dalam ragam lisan diucapkan dengan jeda atau penghentian di antara kedua verba yang menjadi predikatnya. Contoh: nǐ néng lái lái ba
(16)
你 能 来来吧! Kamu bisa datang datang PAR ‘Kalau kamu bisa datang, datanglah!’ jiǎ
Makna yang dimunculkan dari kalimat tersebut menunjukkan hubungan pengandaian (假 shè guān xì
tiáojiànguānxì
设 关 系) atau hubungan kondisional (条件关系).
~ 57 ~
3. SIMPULAN Dalam telaah sintaksis bahasa Mandarin, kalimat kontraksi menjadi salah satu keunikan dalam bahasa Mandarin. Ciri utama kalimat majemuk dalam ragam tulis, yaitu tidak adanya pemarkah antarpredikator yang berupa koma (,). Berdasarkan berbagai konstruksi kalimat kontraksi, ada beberapa kesamaan yang kadang tampak menjadi suatu ketumpangtindihan, misalnya dalam pembagian berdasarkan konstruksi subjek predikat, adverbia penghubung juga muncul; dalam konstruksi dengan pemarkah konjungsi dan adverbia seperti kalimat majemuk juga dapat muncul di dalam konstruksi dengan pemarkah adverbia penghubung baik yang tunggal maupun ganda (lengkap), dan lain-lain. Kalimat kontraksi bahasa Mandarin memiliki perbedaan bentuk atau struktur, khususnya dalam penggunaan adverbia penghubung, serta pelesapan subjek dan konjungsi. Namun, kalimat kontraksi memiliki kesamaan makna dengan kalimat majemuk yang ditunjukkan dengan adanya hubungan di antara dua predikatornya. Pada umumnya, kalimat kontraksi maknanya menunjukkan hubungan berurutan, kausatif, pengandaian, pertentangan, dan kondisional. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, Anton M. Moeliono, Hans Lapoliwa, dan Soenjono Dardjowidjojo. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chen Xinxiong, et.al. 1989/2005. 语言词典 Yuyanxue Cidian. Taipei: Sanmin Shuju. Fang Yuqing. 1992. 使用汉语语法 Shiyong Hanyu Yufa. Beijing: Beijing Yuyan Xueyuan Chubanshe Liang Xiangru dan Gai Jun. 2007. 短期汉语听说教程 (上册&下册) Duanqi Hanyu Tingshuo Jiaocheng (shangce & xiace). Beijing: Peking University Press. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. ________. 1999. Tata Wacana Deskriptif Bahasa Indonesia. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (edisi keempat). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sidu, La Ode. 2013. Sintaksis Bahasa Indonesia. Kendari: Unhalu Press. Yang Yingping. 2001. 青少年趣味知识文库: 儿童笑话 Qingshaonian Quwei Zhishi Wenku. Hailaier: NeimengguWenhua Chubanshe. Zhang Wu dan Chen Changlai. 2000. 现代汉 语句子 Xiandai Hanyu Juzi. Shanghai: Huadong Shifan Daxue Chubanshe. Wikipedia.org/wiki/kontraksi inggrisku.net/2014/10/kontraksi-informal-informal-contraction/#.VIJHAAAgLA
~ 58 ~
PENINGKATAN KOMPETENSI SOFT SKILLS MAHASISWA SASTRA UNSADA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP KARYA SASTRA ETNIS AMERIKA Agustinus Hariyana, Karina Adinda Fakultas Sastra Inggris Universitas Darma Persada
[email protected] Abstract This research aims to develop soft skills competencies of students of English Literature Darma Persada University through the analysis of five American Ethnic Literature works by the Contextual Teaching Learning model. The goal is that, based on the soft skills competencies they are expected to be able to fulfill the expectations of the stakeholders in order to enrich their hardskills competence in the field of English Language and Literature. Beside based on literary research about soft skills, the study was also based on the survey results of understanding the competence softskills and interviews about teaching soft skills through literature. The interim results shows that the students' understanding of this competence remains low. Based on these results, the study will be followed by contextual learning of the works of American Ethnic Literature through the course of Prose Analysis and Literary Criticism and Comparative Literature. Keywords : kompetensi softskills, sastra etnis, pembelajaran kontekstual, literary criticism, prose analysis 1. PENDAHULUAN Sebagaimana tertulis pada proposal penelitian ini, pada tahun 2010, ketika Universitas Darma Persada mengadakan pelatihan penyusunan Kurikulum Berbasis Kompetensi, topik yang menjadi pembicaraan adalah tentang kompetensi soft skills. Pemaparan oleh presenter dari Ibu Dina Mustafa atas nama Dikti itu telah memberi wawasan baru tentang kompetensi yang harus dikuasai para mahasiswa. Dari tingginya presentase peran penentu keberhasilan seseorang dalam karier, yakni lebih dari 80%, maka para peserta berusaha memasukkan kompetensi ini dalam rancangan kurikulum masing-masing jurusan. Yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana kompetensi itu bisa diraih atau diberikan kepada mahasiswa jurusan sastra yang merupakan jumlah terbesar di Universitas Darma Persada. Sebagian dosen Fakultas sastra menyadari betapa tidak mudah mewujudkan pembekalan kompetensi itu. Ketidakmudahan itu semakin ditegaskan oleh ketidaktahuan beberapa mahasiswa tentang manfaat belajar sastra. Kenyataan ini ternyata juga pernah diungkap oleh Arif Rokhman dalam bukunya SASTRA Interdisipliner yang menulis tentang marahnya seorang dekan sastra karena seorang mahasiswanya mempertanyakan faedah belajar sastra
~ 59 ~
(Rokhman, 2003:1). Tujuh tahun kemudian Fajar S. Roekminto dalam tulisannya juga mengungkap tentang ketidakpahaman seorang mahasiswanya akan manfaat belajar sastra (Roekminto, 2012:58). Secara sarkastis ia menjawab bahwa seorang alumni sastra bisa jadi pengamen di bus sambil membaca puisi. Dua permasalahan itu merupakan masalah dasar atau praktis dari ilmu yang sedang dipelajarinya. Berangkat dari dua contoh itu peneliti berusaha mengadakan surveyterbuka sederhana guna menjaring informasi seberapa berguna pembelajaran sastra. Dari 25 mahasiswa yang menuliskan jawab atas pertanyaan berguna tidaknya belajar sastra, 85% menjawab berguna. Fokus kegunaan adalah, mereka bisa mengenal budaya Amerika, Inggris, ataupun Australia, tiga Negara yang dipelajari karena budaya Inggris-nya. Berdasarkan hasil survey dan mengingat pentingnya kompetensi soft skills bagi masa depan karier mereka, maka yang menjadi masalah adalah “apakah karya sastra yang menjadi domain pembelajaran bisa digunakan untuk membekali, bahkan meningkatkan, kompetensi soft skills mereka, baik semasa masih menjadi mahasiswa maupun nanti sesudah kerja. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana strategi yang harus digunakan agar karya sastra bisa meningkatkan kompetensi soft skills mereka. Akhirnya, bagaimanakah pengaruh kompetensi yang diperolehnya bagi kehidupan mereka di kampus maupun di tempat kerja. Apakah kompetensi itu cukup mempengaruhi kinerja mereka. 2. TINJAUAN PUSTAKA Selain melakukan survey terhadap mahasiswa dan studi banding ke Universitas Sanata Darma tentang pengajaran softskills melalui karya sastra, riset ini juga mendasarkan diri pada hasil penelitian sebelumnya (studi pustaka). Sebagaimana sudah ditulis dalam proposal studi pustaka dilakukan dan harus diteruskan adalah riset pustaka yang kredibel. Serangkaian jurnal yang mengupas tentang soft skills jumlahnya belum memadai. Mangala E Rani dalam artikel yang berjudul Need And Importance Of Soft Skills In Students menuliskan tentang pentingnya penguasaan soft skills bagi para mahasiswa (Rani, 2012). Begitu juga dengan J John Sunil Manoah yang menulis tentang pembelajaran soft skills bagi para insinyur melalui karya sastra (Manoah, 2012).Dalam tulisannya ia menampilkan berbagai macam soft skills yang bisa ditemukan dalam karya sastra dengan bermacam genre-nya. Selanjutnya kompetensi soft skills yang berhubungan dengan bahasa dipaparkan oleh DharmarajanThe Significance of Inculcating Soft Skills in Students in the Process of Teaching Hard Skills.Dari sekian contoh penulis jurnal tentang soft skills yang peneliti temukan, ternyata penelitian
~ 60 ~
tentang soft skills melalui karya sastra sangat langka. Selain Manoah yang berfokus kepada pembelajaran soft skills kepada para insinyur, penulis (Dharmarajan,
2012) tentang
pentingnya soft skills dalam berbagai bidang juga dipaparkan oleh Vijayalakshmiyang meneliti tentang analisis soft skills dalam karya sastra novel HarryPotter and the Chamber of Secrets karya JK Rowling (Vijayalaksmi, 2012). Dalam tulisannya ia menampilkan kompetensi soft skills, interpersonal,teamwork dan management. Melalui metoda pembelajaran VARK ia berhasil menampilkan kompetensi itu. Dari pengembangan survey pustaka didapatkan sumber acuan pustaka yang diterbitkan oleh Dirjen Dikti berjudul Pengembangan Softskills dalam Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi (2008). Namun demikian buku ini tidak secara eksplisit menulis pembelajaran sastra dan soft skills. Menurut Siswanto, hal ini terjadi karena pengajaran sastra lebih dititikberatkan kepada pengertian, definisi, dan klasifikasi, serta sejarah sastra (Siswanto 2008: 187). Kendati dalam kurikulum ditegaskan tentang bagaimana seharusnya dan tujuannya belajar sastra, namun para pelajar tidak dibelajarkan untuk secara langsung mengapresiasi dan mengkritik karya sastra. Dengan demikian pembelaran softskills melalui karya sastra sangat kurang. Begitu juga halnya dengan apa yang terjadi di kelas perkuliahan. Para dosen, sejauh pengalaman dan pengamatan, tidak pernah menggunakan atau mengapresiasi karya sastra sedemikian jauh, mengelaborasi analisis karya dengan soft skills. Yang terjadi adalah pembelajaran sastra yang menekankan analisis sosiologis, psikologis, filsafat, kontemporer, antropologis, maupun mitologis. Kalaupun dipaksakan kemunculan soft skills hanya bersifat kebetulan. Berdasarkan referensi terbitan dikti dan paparan para penulis jurnal di atas maka peta jalan lanjutan yang harus diperbaiki atau dilalui adalah pengembangan analisis terfokus. Pada awalnya adalah penguasaan secara intrinsik karya sastra etnis, diikuti oleh penguasaan secara ekstrinsik (multidisplin), dan selanjutnya pengayaan ataupun peningkatan dengan pendekatan berfokus pada kebutuhan dunia kerja, yakni soft skills. Berdasarkan survey di atas, maka tujuan penelitian pada tahap pertama ini adalah, pemetaan penguasaan softskills mahasiswa Sastra Inggris yang didapat melalui serangakian pembelajaran karya sastra. Temuan ini akan sangat bermanfaat untuk penentuan pendekatan pembelajaran yang sudah dipilih dan kedalaman kajian terhadap sastra etnis yang juga sudah dipilih. Manfaat yang diharapkan adalah penganalisaan karya sastra melalui pendekatan yang berfokus pada soft skills. Pendekatan yang selama ini ditawarkan guna mendalami nilai-nilai
~ 61 ~
yang terkandung dalam sebuah karya sastra tidak memasukkan pendalaman kompetensi ini. Guerin dalam Handbook to Literary Criticism hanya mencantumkan 10 pendekatan multidisiplin (Guerin, 2005: iv). 3. METODE PENELITIAN Penelitian pada tahap ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, dengan instrumen penelitian: peneliti, questionaire, dan wawancara. Lokasi penelitian di kampus Universitas Darma Persada, Fakultas Sastra melalui questionaire, dan juga di Universitas Sanata Darma, dalam bentuk wawancara dengan seorang dosen Sastra Inggris. Guna mengetahui lebih lanjut tentang manfaat kompetensi softskills bagi para alumni, maka diadakan survey kepada para alumni Sastra Inggris guna memperoleh gambaran tentang kompetensi apa selain kompetensi berbahasa Inggris yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Untuk mendukung penelitian ini maka diadakan survey tidak hanya hasil penelitian yang relevan, tetapi juga survey terhadap mahasiswa, alumni dan juga wawancara dengan seorang dosen sastra Inggris sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta.
4. HASIL YANG DICAPAI DAN PEMBAHASAN Berdasarkan kurikulum berbasis Kompetensi yang dimiliki oleh Program Studi Sastra Inggris, mata kuliah Sastra diberikan sejak semester pertama hingga semester akhir (bagi yang mengembangkan peminatan Sastra untuk Tugas Akhirnya). Sejalan dengan pendapat Siswanto tentang pendidikan melalui sastra (Siswanto, 170) berdasarkan pengalaman dan hasil pengamatan untuk pembelajaran mata kuliah prosa pembahasannya menekankan pada pembahasan tema, tokoh, perwatakan, alur, sudut pandang, latar, gaybahasa, nilai, dan amanat. Sementara itu untuk mata kuliah puisi berfokus pada struktur fisik, diksi, pencitraan, nada, rima dan amanat puisi. Begitu juga dengan drama pembahasannya mirip dengan prosa. Guna mendapatkan gambaran hasil pembelajaran sastra dengan model pembelajaran konvensial dengan fokus penekanan tersebut dan guna mendapatkan gambaran awal tentang kompetensi softskills yang senantiasa ditampilkan ketika masa pengenalan mahasiswa baru maka peneliti mengadakan survey terbuka tentang manfaat belajar sastra dan kompetensi ini. Dari 25 mahasiswa yang menjawab atas pertanyaan berguna tidaknya belajar sastra, 85% menjawab berguna. Fokus kegunaan adalah, mereka bisa mengenal budaya Amerika, Inggris, ataupun Australia, tiga Negara yang dipelajari karena budaya Inggris-nya. Ketika ditanya tentang apa makna softskills, 100% mahasiswa menjawab tidak tahu. Prosentase ini
~ 62 ~
merupakan gambaran yang ironis, karena pada setiap awal tahun akademik para mahasiswa baru dosen yang ditunjuk sudah memperkenalkan apa yang dimaksud dengan softskills. Akan tetapi kalau melihat kebelumkonsistensian penginternalisasian softskill ke dalam setiap mata kuliah maka ketidaktahuan mahasiswa itu bisa diterima. Hasil survey ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman tentang kompetensi softskills mahasiswa Sastra Inggris, dan sekaligus menunjukkan pula pentingnya kompetensi itu terutama bagi alumni yang merintis kesuksesan di tempat kerja masing-masing. Selanjutnya, mengingat pentingnya kompetensi ini tetapi kurangnya pemahaman para mahasiswa, maka peneliti pada tanggal 12 Juni 2015 mengadakan wawancara dengan Bapak Drs Hirmawan Wijanarka, M.Hum, dosen pengampu mata kuliah drama dan prosa, Jurusan Sastra Inggris Universitas Sanata Darma Yogyakarta. Tujuan wawancara ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengajaran softskills yang terintegrasi dengan pengajaran sastra. Beliau menjawab bahwa dalam mata kuliah yang beliau ampu belum menggabungkan dengan kompetensi softskills. Jawaban ini berbeda dengan apa yang diberikan oleh para alumni yang didapat melalui survey. Survey dengan pertanyaan terbuka dilakukan guna memperoleh gambaran akan pentingnya kompetensi softskills. Adapun pertanyaannya adalah selain kompetensi berbahasa Inggris kompetensi apakah yang paling dibutuhkan oleh dunia kerja mereka (para alumni). Dari 40 alumni yang dikirimi pertanyaan, 13 memberi respon yang menunjukkan bahwa kompetensi berkomunikasi dengan baik menduduk tingkat pertama (sebanyak 10 jawaban), kompetensi kerjasama peringkat ke 2 (6 jawaban), peringkat ketiga kompetensi membuat presentasi dan menghargai perbedaan (masing masing 3) dan sisanya hingga 40 jawaban dengan berbagai macam kompetensi yang masing-masing 1 jawaban. Kompetensikompetensi itu adalah kompetensi beradaptasi dengan baik, analitis, menyakinkan, disiplin, beretika, flexible, berintegritas, jujur, berani, stabil emosi, konsisten, pantang menyerah, percaya diri, rajin, dan tanggung jawab.
~ 63 ~
Ragam Kompetensi adaptabel analitis 1 1 1
1
1
10
1
berargumen 1 1 1 1 1
3 1 6
3
1
1
disiplin
beretika fleksibel integritas
1 jujur berani
Meskipun berbeda prosentase namun jenis-jenis kompetensi dalam tabel di atas merupakan bagian dari berbagai macam kompetensi softskills yang ditampilkan oleh para peneliti softskills yang sudah disebutkan pada bagian latar belakang. Hasil dua survey tersebut menunjukkan adanya keadaan yang belum saling mendukung. Hasil survey pertama menunjukkan kurangnya pemahaman dan penguasaan kompetensi softskills yang diakibatkan oleh kebelumkonsistensian pembelajaran softskills dalam pembelajaran sastra bermetode konvensional. Di sisi lain hasil survey kedua menunjukkan kompetensi yang dituntut oleh dunia kerja di luar kompetensi hard skills yang dimiliki oleh para alumni yang sekaligus merupakan penegasan terhadap hasil survey seperti disebut pada bagian latar belakang penelitian ini. Hasil dua survey ini menunjukkan adanya kesenjangan kompetensi yang harus dijembatani. Pembelajaran sastra dengan model kontekstual menjadi salah satu pilihan pengatasan masalah ini. Meskipun baru 30% dari rencana kegiatan penelitian hibah bersaing, hasil survey sebelum penelitian utama ini telah dipresentasikan dalam seminar penelitian semesteran Semester Genap 2014/2015 Universitas Darma Persada. Hal ini perlu dilakukan karena kompetensi ini harus dipahami oleh semua dosen, terutama dosen sastra yang masih dipandang sebelah mata karena hasil dari proses pembelajaran dianggap kurang bermanfaat langsung. Sesuai dengan jadwal Penelitian maka tahapan selanjutnya adalah Pembelajaran Kontekstual Analisis Karya Sastra. Model pembelajaran ini dipilih karena model ini menekankan pentingnya mahasiswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui
~ 64 ~
keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar, yang berarti proses ini berpusat kepada para mahasiswa(Siswanto,175). Berdasarkan pendapat Yulaelawati (Hasnawati, 2006:58) maka bentuk pembelajaran kontekstual yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Relating (mengaitkan) antara hasil analisis karya sastra Etnis tentang softskills dengan pengalaman hidup, 2. Experience (mengalami) kompetensi softskills yang ditemukan dari kajian yang dilakukan 3. Applying (mengaplikasikan) pengetahuan atau informasi tentang softskills untuk digunakan dalam berbagai situasi kehidupan 4. Cooperating (bekerja sama) dengan menghubungkan atau mengkaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman hidup dengan cara bersama-sama (dalam kelompok) Seiring dengan Hasnawati (2006:60) guna mendapatkan hasil dari pembelajaran ini maka metode penilaian yang dilakukan meliputi penilaian kinerja (performance/demonstrasi) kompetensi softskills mahasiswa, karya tulis (portofolio/paper), observasi sistemik dampak pembelajaran terhadap mahasiswa baik selama proses pembelajaran maupun sesudah pembelajaran. Untuk itu pada semester mendatang (Ganjil 2015/2016) kegiatan ini akan dimulai dengan mata kuliah Prose Analysis. Dalam mata kuliah ini para mahasiswa belajar menganalisis intrinsik secara komprehensif karya sastra etnis. Adapun karya sastra Etnis yang akan menjadi bahan kajian berjudul Ceremony karya Leslie Marmon Silko, Bless Me Ultima karya Rudolfo Anaya, Ten Little Indians karya Sherman Alexie, Women Warrior karya Maxime Hong Kingston dan Joy Luck Club karya Amy Tan. Karya sastra etnis dipilih karena secara umum potensial akan perjuangan para tokoh dengan berbagai macam tantangan kehidupannya. Selanjutnya pada semester genap 2015/16 kegiatan pembelajaran dilanjutkan dalam mata kuliah Literary Criticism, dan Comparative Literature. Dalam mata kuliah ini para mahasiswa harus menganalisis karya sastra yang sudah dikuasai secara ekstrinsik guna mendapatkan kompetensi softskills yang ditawarkan oleh sebuah karya sastra. Pemerolehan hasil analisis ini akan meningkatkan kompetensi softskills sekaligus juga memperkaya daya analisis mahasiswa melalui berbagai macam pendekatan ekstrinsik lainnya. Mengingat pentingnya kompetensi softskills, maka hasil ini bisa menjadi model pembelajaran semua mata kuliah yang mengelaborasi kompetensi softskills.
~ 65 ~
Bersamaan dengan kegiatan pembelajaran dengan model kontekstual ini maka proses penilaian terhadap penguasaan (peningkatan) kompetensi softskills dapat diamati, dilakukan, atau dibangun. Dari hasil penilaian ini diharapkan peningkatan kompetensi softskills mahasiswa meningkat.
5. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil survey baik terhadap bahan pustaka maupun mahasiswa alumni dan dosen dapat disimpulkan sementara bahwa pembelajaran softskills melalui karya sastra sangat perlu dilakukan segera karena adanya kesenjangan pemahaman dan kemampuan yang dituntut stakeholders. Tuntutan dunia kerja akan kinerja yang tidak hanya mengandalkan kompetensi softskills sangat mendesak. Sebagai jurusan yang kajian utamanya karya sastra maka jurusan harus menggunakan kajian yang ada untuk mengajarkan dan meningkatkan kemampuan keduanya dalam waktu bersamaan sehingga mahasiswa dan alumni tidak hanya kompeten tentang hardskills, namun juga softskills guna memenuhi tuntutan para stakeholders. Melalui analisis karya sastra dengan proses pembelajaran berkontekstual peningkatan kompetensi ini bisa ditingkatkan dan pandangan negatif seperti tertulis di bagian pendahuluan tentang manfaat belajar sastra akan terkikis. Agar bermanfaat secara maksimal maka hasil perdana yang merupakan pondasi bagi penelitian selanjutnya ini harus disiapkan menjadi sebuah buku ajar tentang bagaimana memanfaatkan karya sastra untuk pembelajaran / peningkatan kompetensi softskills. Segala bantuan dan saran akan sangat menopang penguasaan softskills. Ucapan Terimakasih Peningkatan kompetensi softskills sangat penting, tidak terkecuali mahasiswa sastra. Usaha untuk mewujudnyatakan harapan ini sudah dan akan berhasil karena peran serta ketua jurusan, dosen dan mahasiswa pembelajar Sastra Etnis, serta pihak Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan yang telah memfasilitasi penelitian ini didanai oleh Dikti melalui program Hibah Bersaing. Peneliti mengucapkan terima kasih atas bantuan implementasi dan dana yang diberikan.
~ 66 ~
DAFTAR PUSTAKA Anaya, Rudolfo (1991) Bless Me Ultima. Bekeley: TQS Publications Dharmarajan(2012) ,The Significance of Inculcating Soft Skills in Students in the Process of Teaching Hard Skills The Malaysian Online Journal of Educational ScienceVolume 1,Issue2http://www.hgsitebuilder.com/files/writeable/uploads/hostgator427959/fil e/ijars209.p Dirjen Dikti (2008) Pengembangan Softskills dalam Pembelajaran di Perguruan Tinggi Guerin, Wilfred L (2005) A Handbook of Critical Approach to Literature 5thed. New York: OUP Hasnawati (2006) PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING LEARNING HUBUNGANNYA DENGAN EVALUASI PEMBELAJARAN Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 3 Nomor 1, April 2006 Kingston, Maxine Hong (1989). Woman Warrior. New York: Random House Latief, Mohammad Adnan(2011) Nurturing Soft Skills through Contextual English Instructions« Vol. V No. 1 Januari Mangala Ethaiya Rani (2010) NEED AND IMPORTANCE OFSOFT SKILLS IN STUDENTS S. Vol.-II 3 Jan-June (Summer) 2010 Manoah, J.John Sunil (2012) Soft Skills for Engineers through Literature Volume:1, Issue:2, October 2012 Mustafa, Dina(2008)Kurikulum Berbasis Kompetensi: Disampaikan pada Pelatihan Penyusunan KBK di KOPERTIS 3. Untuk PS Komunikasi, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, HI & Sekretari, Jakarta, Juli – Agustus 2008 Ratnaningsih, Dewi Juliah (2013) Open and Distance Education Systems: do they enhanceGraduates’ Soft Skills? The results from 2009 Universitas Terbuka Tracer Study Open Praxis, vol. 5 issue 4, October–December 2013, pp. 289– 299http://openpraxis.org/index.php/OpenPraxis/article/view/85/pdf Roekminto, Fajar (2013) Untuk Apa Belajar Sastra, dan Apa Kontribusi sastra? Dialektika thn I Juni 2013 hal 58-68 Rokhman, Arif dkk (2003) SASTRA Interdisipliner. Yogyakarta: Qalam Silko, Leslie Marmon (1977) Ceremony. New York: Penguin Books Siswanto, Wahyudi (2008) Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo Vijayalakshmi & Dr. M. Renuga, (2012)Trainers’ Tool: Adhering to VARK© Learning Styles forTutoring Students in Soft Skills through J.K.Rowling’s Harry Potter and the Chamber of Secrets IOSR Journal Of Humanities And Social Science (JHSS) ISSN: 2279-0837, ISBN: 2279-0845. Volume 4, Issue 1 (Nov. - Dec. 2012), PP 1123
~ 67 ~
~ 68 ~
THE EFFECT OF ACADEMIC ADVISORS TO ENGLISH DEPARTMENT STUDENTS LEARNING MOTIVATION IN DARMA PERSADA UNIVERSITY Yoga Pratama
[email protected] Abstract This research made to know how well is the effect of academic advisor in English department to their students in learning motivation and guiding them to pass the academic and giving advice to graduate as soon as possible from the university. Based from the questioner and survey, all the academic advisor in English department doing a great job in guiding their students. I hope this research can be useful to make English department better in the future. Keywords: motivation, advisor, research, academic English department, DarmaPersada 1. PENDAHULUAN Hampir setiap tahun perguruan tinggi di Indonesia baik swasta ataupun negri setiap tahunnya menerima banyak mahasiswa baru yang baru saja lulus dari SMA atau SMK. Para mahasiswa baru ini memasuki lingkungan kampus tanpa mengetahui sedikitpun tentangapa itu peraturan dan sistem akademik di dalam kampus, seandainya pun ada yang tahu mungkin sekilas dari orang tua atau saudara.Para mahasiswa yang masuk pada umumnya tidak mengetahui apa itu KRS (kartu rencana studi), atau apa itu KHS (kartu hasil studi). Mereka masih awam mengenai semua hal yang berbau akademik dan disinilah peranan pembimbing akademik dibutuhkan untuk membimbing mereka. Di universitas Darma Persada khususnya jurusn sastra Inggris setiap mahasiswa baru di awal semester akan diperkenalkan dengan masing-masing pembimbing akademiknya lalu kemudian diberikanbuku control nilai yang fungsinya sebagai pedoman meraka dalam menempuh pembelajaran selama empat tahun di UNSADA.Walaupun diberikan buku control akademik para mahasiswa tetap saja akan kebingungan tanpa bimbingan pembimbing akademik untuk mengontrol segala sesuatu yang berhubungan akademik mereka. Pembimbing akademik juga memiliki fungsi sebagai jembatan yang memfasilitasi mhasiswa untuk lebih tahu, paham serta mengenal lebih banyak tentang akademik di lingkungan kampus.Pada umumnya dosen pembimbing akademik baru dapat melaksanakan tugas secara administratif. Yang menjadi sebab banyaknya dosen pembimbing akademik yang belum menjalankan peran dan fungsinya secara ideal dikarenakan oleh beberapa faktor
~ 69 ~
diantaranya: belum adanya buku pedoman bimbingan untuk para dosen pembimbing akademik, belum semua dosen pembimbing akademik memahami akan prinsip-prinsip dasar dan teknik bimbingan, psikologi belajar dan teori-teori belajar yang memadai, serta kurangnya memahami terhadap bagaimana cara memfungsikan teknologi baru sebagai sarana informasi bagi dosen yang bersangkutan, dan lain sebagainya. 2. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah kondisi motivasi belajar mahasiswa Universitas Darma Persada di Jurusan sastra Inggris? 2) Bagaimanakah pengaruh peran dosen pembimbing akademik terhadap motivasi belajar mahasiswa Universitas Darma Persada di Jurusan sastra Inggris? 1. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Pengertian Pembimbing Akademik Hendro Saputro (2010: 77—78) mengemukakan bahwa pembimbing akademik adalah tenaga pengajar tetap yang ditunjuk dan diserahi tugas membimbingmahasiswa; tujuan bimbingan adalah membantu mahasiswa mengembangkan potensinya sehingga memperoleh hasil yang optimal dan dapat menyelesaikan studinya dengan waktu yang ditentukan; tugas dankewajiban pembimbing akademik adalah: a)
membantu mahasiswa menyusun kartu rencana studi dan memberikan pertimbangan mata kuliah yang diambil,
b) memberikan pertimbangan kepada mahasiswa tentang banyaknya kredit yangakan diambil, c)
mendorong mahasiswa bekerja dan belajar secara teratur dan kontinyu serta menanamkan pentingnya disiplin diri sendiri dan kemampuanmengenai potensinya sendiri,
d) memberikan saran dan keterangan lain tentang mahasiswa yang dibimbing kepada pihak-pihak yang dipandang perlu, e)
menyampaikan peringatan kepada mahasiswa bimbingan yang berprestasikurang atau turun, dan
f)
Menyampaikan laporan kepada Ketua Jurusan/Dekan bilamahasiswa bimbingannya tidak lolos penilaian I, II, dan penilaian akhir batas studi.
~ 70 ~
Sementara itu, dalam Pedoman Pembimbingan Akademik (2008: 4) disebutkan bahwa pembimbing akademik adalah dosen yang ditugasi untuk memberikan bimbingan dan bantuan kepada individu atau kelompok mahasiswa agar dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungan kampus serta dapatmeningkatkan diri dalam mengikuti kegiatan pendidikan. Y. Gunarsa dan Singgih Gunarsa (1987:12) memberi pengertian bimbingan sebagai bantuan yang diberikan kepada seseorang agar mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki pada dirinya sendiri dalam mengatasi persoalanpersoalan sehingga dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara bertanggung jawab tanpa harus tergantung kepada orang lain. 1.2 Tujuan Pelayanan Pembimbingan 1.
Memahami kemampuan potensial yang dimilikinya serta memanfaatkan potensi itu sebaik-baiknya dalam mengikuti dan menyelesaikan studinya.
2.
Memahami kendala dan kesulitan yang dihadapinya dan mampu memecahkan atau mengatasinya secara tepat hingga kendala dan kesulitan itu tidak menjadi hambatan dalam mengikuti dan menyelesaikan studinya.
3.
Memahami dan memanfaatkan bimbingan yang disediakan untuk menanggulangi kesulitan.
4.
Memahami dan menerapkan prosedur dan peraturan yang berlaku yang dapat memberikan kemudahan untuk mengikuti dan menyelesaikan studinya.
Untuk mempelancar proses pembimbingan mahasiswa dan Pembimbing Akademik harus mengetahui apa yang menjadi fungsi, wewenang dan kewajiban bagi Pembimbing Akademik. Pengetahuan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dan PA sehingga. 1.3 Fungsi Pembimbing Akademik 1.
Membantu mahasiswa menyusun rencana studi sejak semester pertama sampai mahasiswa itu selesai studi.
2.
Memberikan pertimbangan tentang mata kuliah (wajib dan Pilihan) yang dapat diambil pada semester yang akan berlangsung kepada mahasiswa bimbingannya dengan memahami kebutuhan belajarnya.
~ 71 ~
3.
Memberikan pertimbangan tentang banyaknya kredit yang dapat diambil pada semester yang akan berlangsung sesuai dengan keberhasilan studi pada semester sebelumnya dan menyatakan kesetujuannya dengan cara memvalidasi /menandatangani Formulir Rencana Studi (FRS).
4.
Membantu mahasiswa menyalurkan minat dan bakatnya untuk meningkatkan kemampuan akademiknya.
5.
Membantu mahasiswa memahami materi perkuliahan dan manfaat mempelajari ilmu yang diambilnya. 1.4 Wewenang Pembimbing Akademik
1. Memberikan nasihat kepada mahasiswa yang dibimbingnya. 2. Membantu memecahkan masalah akademik mahasiswa yang dibimbingnya. 3. Membantu mahasiswa mengembangkan kemampuan akademiknya. 4. Membantu mengatasi masalah yang menghambat kelancaran studi mahasiswa yang dibimbingnya. 5. Meneruskan permasalahan mahasiswa yang bukan wewenangnya kepada yang berwenang untuk menangani masalah tersebut. 6. Membantu mahasiswa dalam menentukan topik untuk karya ilmiah (Tugas Akhir /Skripsi). 1.5 Kewajiban Pembimbing Akademik 1. Mempunyai wawasan akademik yang luas berupa penguasaan kurikulum program yang diikuti oleh mahasiswa bimbingannya. 2. Memahami dan mengerti situasi akademik jurusan/bagiannya dan jurusan/bagian lain yang terkait. 3. Mengetahui berbagai program kemahasiswaan. 4. Menetapkan dan membuat jadwal pertemuan dengan mahasiswa bimbingannya secara rutin. 5. Menjalin hubungan keakraban akademik dan profesional dengan mahasiswa bimbingannya. 6. Mengikuti, mengamati, dan mengarahkan perkembangan studi mahasiswa yang dibimbingnya secara berkala.
~ 72 ~
7. Mencatat dan mengevaluasi program yang dijalani mahasiswa yang dibimbingnya secara berkala. 8. Jika akan meninggalkan tugas, PA harus melapor kepada Ketua Jurusan/Bagian. Pembantu Dekan bidang akademik, atau kepada Dekan. 3. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui kondisi peran dosen pembimbing akademik mahasiswa Universitas Darma Persada di Jurusan sastra Inggris. 2) Untuk mengetahui kondisi motivasi belajar mahasiswa Universitas Darma Persada di Jurusan sastra Inggris. 3) Untuk mengetahui pengaruh peran dosen pembimbing akademik terhadap motivasi belajar mahasiswa Universitas Darma Persada di Jurusan sastra Inggris. 4. MANFAAT HASIL PENELITIAN Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada yang akan melakukan penelitian yang sama seperti yang saya lakukan, diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Hasil dari penelitian yang saya lakukan diharapkan dapat memberi manfaat kepada para peneliti yang akan melakukan penelitian seperti yang saya lakukan, dan diharapkan juga bisa digunakan sebagai masukan atau acuan untuk penelitian sejenis.
b.
Penelitian yang telah saya lakukan ini seandainya bisa diteruskan dan di kembangkan oleh peneliti lain dapat meningkatkan sistem yang ada di dunia pendidikan khususnya program jurusan sastra inggris agar menjadi lebih baik dan bermutu.
c.
Semoga hasil penelitian ini bisa dipergunakan sebaik-baiknya oleh semua pihak yang ingin mengadakan penelitian atau mempunyai masalah yang sesuai dengan penelitian saya.
5. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian kali ini yang akan menjadi respondennya adalah mahasiswa UNSADA jurusan sastra Inggris semester IV dan VI kelas pagi dan malam yang jika di total jumlahnya menjadi 69 orang mahasiswa. Jika menggunakan purposive sampling saya akan mencoba memaksimalkan semua responden untuk membuktikan penelitian yang saya lakukan ini.
~ 73 ~
Metode yang digunakan dalam penelitian ini penelitian survai. Penelitian survei dilakukan untuk mengambil satu generalisasi dari pengamatan yang tidak mendalam, tetapi generalisasi yang dilakukan bisa lebih akurat bila digunakan sampel yang representatif. Penelitian ini termasuk deskriptif korelasi yaitu penelitian yang menjawab pertanyaan tentang apa atau bagaimana keadaan suatu fenomena dan melaporkan sebagaimana keadaan. Oleh karena itu, berdasarkan permasalahannya penelitian termasuk penelitian deskriptif korelasional karena semua variabel yang dipelajari terlebih dahulu dideskripsikan dan selanjutnya dikorelasikan antara variabel-variabel bebas dengan variabel terikat.Adapun hubungan antara variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : X
Y
Gambar 1. Desain Penelitian Keterangan : X: Peran dosen pembimbing akademik Y: motivasi belajar mahasiswa
Variabel penelitian ini terdiri dari dua variabel, yaitu satu variabel bebas (independent variable), dan satu variabel terikat (dependent variable). Variabel-variabel tersebut adalah variabel yang dipelajari dalam penelitian ini yang terdiri dari variabel bebas yaitu "peran dosen pembimbing akademik" (X) dan variabel terikat yaitu "motivasi belajar mahasiswa" (Y). 6. HASIL & PEMBAHASAN 6.1 Deskripsi Data Variabel dalam penelitian ini meliputi peran dosen pembimbing dan motivasi belajar mahasiswa. Dalam pembahasan ini akan menganalisis deskripsi data mengenai kedua variabel tersebut. Deskripsi data dilakukan untuk mengetahui sebaran data yang diperoleh dari hasil penelitian. Analisis deskriptif data dilakukan untuk mengetahui rentangan data, rata-rata, median, modus dan standar deviasi.Tabel 1 berikut ini ditampilkan deskripsi statistik dari hasil perhitungan dan pengujian yang dilakukan dengan bantuan komputer melalui program aplikasi SPSS 15, serta analisis dan intepretasinya.
~ 74 ~
Tabel 1. Deskripsi Data Penelitian Statis tics
N
Peran Dosen Pembimbing 69 0 62,8406 63,0000 65,00 5,27654 27,842 46,00 75,00 4336,00
Valid Missing
Mean Median Mode Std. Deviation Variance Minimum Maximum Sum
Motivasi Belajar Mahasisw a 69 0 41,5942 42,0000 36,00a 4,25758 18,127 32,00 50,00 2870,00
a. Multiple modes exist. The smallest value is show n
7. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil perhitungan, koefisien korelasi pengaruh variabel bebas peran dosen pembimbing (X) terhadap prestasi belajar IPS (Y) adalah sebesar 0,675 dan koefisien determinasinya
sebesar
45,6%.
Sementara
itu,
persamaan
garis
regresi
yang
̂= 7,355+ 0,545X. merepresentasikan pengaruh variabel Xterdahap variabel Y, yaitu 𝐘 Dari pengujian hipotesis diperoleh bahwa nilai Sig = 0,000 dan dan thitung = 56,153; sedangkan ttabel = 1,661. Karena nilai Sig< 0,05 dan thitung>ttabel maka H0 ditolak yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan variabel bebas X (peran dosen pembimbing) terhadap variabel terikat Y (motivasi belajar mahasiswa). Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh dosen pembimbing akademik terhadap motivasi belajar mahasiswa jurusan sastra Inggris UNSADA.
8. SIMPULAN 1. Dosen pembimbing memberikan peran yang baik dalam membimbing mahasiswa di mata mahasiswa. Rata-rata mahasiswa melihat dosen pembimbingnya aktif dalam melakukan perannya. 2. Rata-rata skor motivasi belajar mahasiswa termasuk tinggi. Dengan kata lain, rata-rata mahasiswa memiliki motivasi belajar sangat baik. 3. Terdapat pengaruh yang signifikan peran dosen pembimbing akademik terhadap motivasi belajar mahasiswa. Dari pengujian hipotesis diperoleh bahwa nilai Sig = 0,000 dan dan thitung = 56,153; sedangkan ttabel = 1,661.Sedangkan koefisien determinasinya sebesar 45,6% menunjukkan bahwa besarnya kontribusi pengaruh peran dosen pembimbing terhadap motivasi belajar mahasiswa adalah sebesar 45,6%, sisanya (54,4%) karena pengaruh faktor lain.
~ 75 ~
Daftar Pustaka Brown, H.Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching. New York: Addison Wesley Longman. Jeremy harmer. 1998. How to Teach English. Pearson longman. Herudjati ,Purwoko. 2000. Penelitian Tindak Kelas Dalam Bahasa Inggris. INDEKS John, Willy. 2000. Collin cobult students dictionary. Target press. Prof. Sugiono. 2008. Metode penelitian pendidikan. ALFABETA. Sri Esti Wuryani Djiwandono. 2006. Psikologi Pendidikan, GRASINDO. Richards, Jack C and Theodore S. Rodger. 2001. Approaches and Methods in Language Teaching. UK: Cambridge University Press.
~ 76 ~
KAJIAN SOSIOLINGUISTIK DAMPAK PEMILIHAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA PERTAMA ANAK DALAM KELUARGA MASYARAKAT PENUTUR BAHASA ACEH DI NAD TERHADAP TERKIKISNYA BAHASA ACEH SEBAGAI ASET BUDAYA BANGSA Fridolini, Tommy Andrian Bahasa Inggris – Fakultas Sastra Abstrak Penelitian ini mengkaji pentingngnya bagi pemerintah Pusat untuk memperhatikan pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam keluarga masyarakat Aceh penutur bahasa Aceh, dapat mengancam terkikisnya Bahasa Aceh sebagai bahsa daerah yang merupakan salah satu aset budaya bangsa. Penelitian akan dilaksanakan tersebar di kabupaten-kabupaten/kota-kota dalam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan tujuan untuk mencari tau faktor-faktor apa saja yang menjadi dasar bagi orang tua etnis Aceh sebagai penutur bahasa Aceh, memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga, padahal bahasa Aceh adalah bahasa daerah yang merupakan salah satu aset budaya bangsa yang harus tetap dipelihara dan dijaga kelestariannya. Wilayah penelitian di NAD meliputi wilayah (1) Kota Banda Aceh, (2) Kabupaten Aceh Besar, (3) Kota Sabang, (4) Kabupaten Pidie, (5) Kabupaten Bireuen, (6) Kabupaten Aceh Utara, (7) Kota Lhokseumawe, (8) Kabupaten Aceh Timur, (9) Kota Langsa, (10) Kabupaten Aceh Jaya, (11) Kabupaten Aceh Barat, (12) Kabupaten Nagan Raya, (13) Kabupaten Aceh Barat Daya, dan (14) Kabupaten Aceh Selatan. Penelitian nantinya akan dilaksanakan secara mendalam. Penelitian juga bertujuan untuk melihat keterkaitan pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga dengan ketidakmampuan generasi muda Aceh berbahasa Aceh. Penelitian akan dilakukan dengan cara mendata anggota masyarakat etnis Aceh di wilayah perkotaan dan di wilayah pedesaan yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga, mendata anggota masyarakat etnis Aceh di wilayah perkotaan dan di wilayah pedesaan yang memilih bahasa Aceh sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga, mengamati dan mendata penggunaan bahasa di kalangan generasi muda etnis Aceh ketika bertutur dengan teman sesuku yang berbahasa Aceh, dan melakukan wawancara dengan informan dengan tokoh-tokoh masyarakat Aceh khususnya masyarakat pemerhati kelestarian suatu budaya. Kata kunci: bahasa Indonesia, bahasa pertama, keluarga masyarakat Aceh, aset budaya bangsa, kajian sosiolinguistik
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di setiap daerah di Indonesia terdapat bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakatnya sebagai alat komunikasi dan interaksi dalam kelompoknya karena umumnya bahasa daerah merupakan bahasa pertama bagi anggota masyarakat di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu dapat dipastikan bahwa setiap anggota masyarakat yang hidup di suatu daerah
~ 77 ~
mengerti dan mampu menggunakan bahasa daerahnya. Biasanya masyarakat daerah menjadikan bahas daerah sebagai Bahasa pertamanya. Namun, tidak demikian halnya dengan kenyataan yang saat ini terlihat dalam masyarakat Aceh. Secara tidak sengaja peneliti menemukan fenomena menarik saat peneliti berkunjung ke Banda Aceh untuk berlibur bersama keluarga. Secara tidak sengaja peneliti melihat banyak penutur bahasa Aceh sudah jarang menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa utama dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan, banyak generasi muda etnis Aceh, terutama anak usia madrasah ke bawah menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa kedua bukan sebagai bahasa pertama. Kenyataan ini sangatlah merisaukan sebab hal ini berarti rasa cinta dan rasa memiliki bahasa Aceh oleh etnis Aceh sendiri semakin memudar. Secara umum, bahasa pertama anak dalam keluarga etnis Aceh, penutur bahasa Aceh, adalah bahasa Aceh sehingga sudah seharusnya setiap orang Aceh (etnis Aceh) pasti bisa berbahasa Aceh. Namun tidaklah demikian yang terlihat di Aceh saat ini. Di sisi lain, hasil pengamatan sementara terhadap kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan kantor baik karyawan kantor pemerintah maupun karyawan swasta yang peneliti temui di hampir semua tempat-tempat “ngupi” di Aceh, dapat dijumpai fenomena berbahasa yaitu mereka tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Aceh. Mereka seolah enggan berbahasa Aceh dan saat ditanya beberapa kata dalam Bahasa Acheh mereka pun berlagak sebagai bukan penutur bahasa Aceh dengan mengatakan tidak tahu, dan saat diminta memberi contoh berbicara dalam bahasa Aceh, mereka berbicara dengan logat seperti orang yang baru belajar bahasa Aceh. Temuan sementara ini menunjukkan bahwa fenomena tersebut terkait erat dengan pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam keluarga. Namun, peneliti yakin masih banyak faktor-faktor lain sebagai penyebab lahirnya fenomena yang demikian menarik untuk dikaji dan perlu dikaji lebih dalam. Hal ini sungguh memprihatinkan karena sejauh ini belum ada perhatian dari pemerintah dan belum ada tindakan dari pemerintah terhadap fenomena ini. Peneliti berpendapat jika kondisi ini terus berlanjut, maka pada suatu saat bahasa Aceh akan punah’ (Harun, 2003). 1.2 Tujuan Khusus Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini berupaya menjawab pertanyaan: 1.2.1 Mengapa orang tua etnis Aceh sebagai penutur bahasa Aceh, di NAD cenderung memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama bagi anak? 1.2.2 Apakah ketidakmampuan generasi muda Aceh berbahasa Aceh terkait dengan pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam keluarga?
~ 78 ~
1.2.3 Bagaimanakah dampak pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama bagi anak terhadap upaya pelestarian bahasa Aceh sebagai salah satu aset budaya bangsa? 1.2.4 Bagaimanakan upaya pemerintah untuk mencegah punahnya Bahasa Aceh dalam rangka menyelamatkan salah satu aset budaya bangsa? 1.3 Urgensi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan penemuan dan masukan yang signifikan bagi pemerintah pusat untuk memperhatikan lebih dalam permasalahan Bahasa daerah di Aceh sebagai upaya pelestarian bahasa Aceh sebagai salah satu aset budaya bangsa. Penelitian ini berkontribusi besar menyadarkan pemerintah bahwa jika kondisi ini terus berlanjut, patut diduga bahwa pada suatu saat, bahasa Aceh akan punah. Hasil penemuan ini diharapkan dapat membantu pemerintah untuk lebih melestarikan Bahasa daerah di Aceh karena setiap bahasa daerah adalah kebanggan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penelitian ini yang mengarah pada kajian bahasa secara sosiolinguistik yang memiliki urgensi yang tinggi untuk dilakukan. Penelitian-penelitian yang menyangkut bidang pemakaian bahasa Aceh dalam konteks Sosiolinguistik yang hingga saat ini dapat dikatakan masih sangat terbatas. 2. TINJAUAN PUSTAKA Di setiap daerah di Indonesia terdapat bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakatnya sebagai alat komunikasi dan interaksi dalam kelompoknya. Umumnya bahasa daerah merupakan bahasa pertama bagi anggota masyarakat di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu biasanya setiap anggota masyarakat yang hidup di suatu daerah mengerti dan mampu menggunakan bahasa daerahnya karena masyarakat daerah menjadikan bahasa daerah sebagai Bahasa pertamanya. Namun, saat peneliti berkunjung ke Banda Aceh, peneliti mengamati fenomena yang menarik yang terlihat dalam masyarakat Aceh dimana banyak penutur bahasa Aceh sudah jarang menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa utama dalam pergaulan sehari-hari. Anak-anak muda di Banda Aceh menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa kedua bukan sebagai bahasa pertama. Di sisi lain, peneliti menjumpai fenomena berbahasa yaitu banyak penduduk Aceh tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Aceh. Berdasarkan pengamatan dan wawancara sementara terhadap kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan kantor baik karyawan kantor pemerintah maupun karyawan swasta, peneliti menemui di hampir semua tempat-tempat “ngupi” di Banda Aceh, mereka seolah enggan berbahasa Aceh dan saat ditanya beberapa
~ 79 ~
kata dalam bahasa Aceh mereka pun berlagak sebagai bukan penutur bahasa Aceh dengan mengatakan tidak tahu, dan saat diminta memberi contoh berbicara dalam bahasa Aceh, mereka berbicara dengan logat seperti orang yang baru belajar bahasa Aceh. Temuan sementara ini menunjukkan bahwa fenomena ini pastilah terkait erat dengan pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam keluarga. Peneliti juga meneliti faktorfaktor lain sebagai penyebab lahirnya fenomena yang demikian menarik untuk dikaji lebih dalam. Sejauh ini belum ada perhatian dari pemerintah dan belum ada tindakan dari pemerintah terhadap fenomena ini. Keengganan dan ketidakmampuan sebagian etnis Aceh bertutur dalam bahasa Aceh membuat peneliti menjadi semakin tertarik dalam meneliti lebih lanjut. Dengan demikian, penelitian ini mengarah pada kajian bahasa secara sosiolinguistik yang memiliki urgensi yang tinggi untuk dilakukan. Selain memiliki urgensi yang tinggi, penelitian-penelitian yang menyangkut bidang pemakaian bahasa Aceh dalam konteks Sosiolinguistik hingga saat ini dapat dikatakan masih sangat terbatas sehingga penelitian ini diharap dapat memperkaya penelitian dalam bidang Sosiolinguistik. Penulis menemukan bahwa I Made Sutama pernah melakukan penelitian tentang penurunan penggunaan Bahasa daerah di sebuah daerah. Dalam penelitiaanya dia mengatakan bahwa loyalitas-bahasa penutur bahasa daerah terhadap bahasanya mengalami penurunan, terutama pada ranah keluarga. I made menggambarkan kemungkinan akan punahnya suatu bahasa yang dicemaskan oleh banyak pihak. I Made juga menggambarkan kondisi orang Indonesia dewasa ini. Bahasa Indonesia diperkenalkan dan digunakan di semua provinsi di Indonesia terutama sebagai akibat dari provinsi-provinsi itu merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagaimana diketahui, bagi NKRI, bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan, yakni: sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara (Halim, 1981). Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki sejumlah fungsi. Pertama, sebagai bahasa resmi kenegaraan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Semua dokumen dan keputusan, serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya ditulis di dalam bahasa Indonesia sehingga penggunaan Bahasa Indonesia meningkat. Menurut peneliti ada alasan mendasar mengapa kepunahan suatu bahasa sangat dikhawatirkan. Bahasa memiliki jalinan yang sangat erat dengan budaya sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan (Reyhner, 1999). Karena begitu eratnya jalinan antara bahasa dan
~ 80 ~
budaya, Dawson (dalam Anonby, 1999) mengatakan, tanpa bahasa, budaya kita pun akan mati. Hal ini bisa terjadi karena, sebagaimana dikatakan oleh Fishman (1996), bahasa adalah penyangga budaya; sebagian besar budaya terkandung di dalam bahasa dan diekspresikan melalui bahasa, bukan melalui cara lain. Dewasa ini Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional justru menurunkan pamor atau peran bahasa daerah sebagai bahasa etnik. Banyak anggota masyarakat dari ibu-ibu muda, remaja, hingga anak-anak menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Fenomena tersebut memiliki segi positif maupun negatif. Segi positifnya adalah di satu sisi, Bahasa Indonesia berkembang dengan baik dan digunakan oleh setiap elemen masyarakat baik tua dan muda di desa maupun di kota. Ini artinya, Bahasa Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya sebagai simbol nasionalisme Bangsa Indonesia. Hal ini menjadi tolak ukur bahwa nasionalisme bangsa Indonesia tidak dapat diganggu gugat dan dicerai berai dari segi kebahasaan. Namun di sisi lain, kerberadaan bahasa daerah mulai bergeser. Masyarakat cenderung memakai Bahasa Indonesia disetiap aspek kehidupan. Jika beberapa dekade yang lalu Bahasa Indonesia hanya digunakan pada situasi formal seperti pada bidang pendidikan, pemerintahan, maupun kesehatan saat ini sebagian besar komponen masyarakat telah menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Mereka beranggapan penggunaan Bahasa Indonesia mencerminkan keadaan sosial penggunanya yang lebih berpendidikan dan secara ekonomi lebih mapan. Lebih lanjut, hegemoni yang berkembang di masyarakat menggambarkan jika penggunaan bahasa daerah dianggap mencerminkan penggunanya yang kurang berpendidikan, dan berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Jika hal ini terus berlanjut dan bertahan dari masa ke masa, maka semakin lama masyarakat mulai meninggalkan bahasa daerah mereka untuk berkomunikasi. Masyarakat lebih memilih menggunakan dan mengajarkan Bahasa Indonesia kepada anak cucu mereka karena faktor sosial dan budaya. Hal ini akan menimbulkan permasalahan dimana bahasa etnik atau bahasa daerah yang menjadi simbol kekayaan kebudayaan bangsa Indonesia lama kelamaan akan punah seiring dengan berkurangnya pengguna bahasa daerah tersebut. Inilah yang terjadi di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya. Sumarsono dalam bukunya Sosiolinguistik (2002, 76) menyatakan bahwa masyarakat aneka bahasa atau masyarakat multilingual adalah masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat aneka bahasa ini terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). Kebanyakan bangsa di dunia memiliki lebih dari satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu dalam wilayah
~ 81 ~
yang dihuni bahasa itu. Termasuk di dalam negara-negara tersebut adalah Indonesia. Indonesia sendiri memiliki lebih dari 500 bahasa yang digunakan sebagai bahasa ibu di setiap dearah yang memiliki penggunanya masing-masing. Keanekabahasaan dalam suatu negara selalu menimbulkan masalah atau paling tidak mengandung potensi akan timbulnya masalah (Sumarsono, 2002:78). Meskipun Indonesia hanya memiliki satu bahasa sebagai bahasa Nasional, namun bahasa daerah di Indonesia sangat beragam. Masing-masing bahasa daerah tersebut menjadi bahasa ibu bagi masing-masing penduduk di daerah tertentu. Dengan kata lain, masing-masing bahasa memiliki masing-masing pengguna bahasa yang berbeda satu sama lain. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Sumarsono (2002, 164) bahwa sebuah negara kadang-kadang hanya mengenal satu dua bahasa, tetapi banyak negara yang secara linguistik terpilah pilah, sehingga tidak mustahil setiap anak menjadi dwibahasawan (blingual) atau anekabahasawan (multilingual). Penguasaan dua atau lebih bahasa dwibahasa atau multibahasa merupakan suatu keterampilan khusus. Dwibahasa atau multibahasa merupakan istilah-istilah nisbi selama para individu memang sangat beraneka ragam dan berbeda dalam hal tipe dan taraf kemahiran berbahasa (Encyclopedia Britannica, 1965 dalam Tarigan, 1984:4). Bilingualisme adalah pengawasan yang mirip asli terhadap dua bahasa. Tentu saja seseorang tidak akan dapat membatasi taraf kesempurnaan yang merupakan wadah seorang pembicara asing yang baik menjadi seorang dwibahasawan: pembedaan itu sangat relatif (Bloomfield, 1933 dalam Tarigan, 1984:4). Kedwibahasaan atau bilingualisme secara praktis ada pada setiap negara di dunia, pada semua lapisan masyarakat dan pada semua kelompok usia (Grosjen, 1982 dan Mc Laughin, 1984:1 dalam Tarigan, 1984:13). Secara Sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain (McKey, 1962 dan Fishman, 1975 dalam Chaer, 2004:84) Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu yakni bahasa ibunya atau bahasa daerah dan bahasa keduanya, dalam hal ini bahasa Indonesia. Sehingga, perlu proses pembelajaran untuk menguasai dengan baik penggunaan bahasa kedua dalam hal ini Bahasa Indonesia disamping bahasa daerah sebagai bahasa ibu mereka. Fenomena kedwibahasaan merupakan suatu yang bersifat nisbi atau relatif. Oleh karena itu, kita akan mempertimbangkan atau menganggap kedwibahasawan sebagai penggunaan secara berselang-seling dua bahasa atau lebih oleh pribadi yang sama (Mackey, 1962). Masalah yang timbul adalah setiap anak-anak diwajibkan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai
~ 82 ~
bahasa pengantar di bidang pendidikan, seperti yang terjadi di beberapa kota Aceh saat ini, sedangkan di lain pihak mereka kembali menggunakan bahasa daerah mereka ketika tidak berada di bangku sekolah. Inilah yang terjadi pada beberapa dekade yang lalu, dimana Bahasa Indonesia belum berkembang dengan baik sebagai bahasa Nasional. Sebaliknya, apa yang terjadi saat ini adalah Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar yang digunakan baik di bidang formal maupun informal, dalam artian, bahasa ini juga digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti beranggapan bahwa penting sekali menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dalam kehidupan sehari-hari. Namun, melestarikan penggunaan berbahasa daerah juga tidak boleh ditinggalkan bagi setiap individu dimana bahasa etnik itu digunakan. Ditambah dengan kebijakan baru pemerintah untuk mempelajari bahasa asing, sebagai contoh Bahasa Inggris, dari tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Hal ini tentu menjadi beban yang berat bagi setiap anak, dimana mereka harus menguasai paling tidak tiga bahasa diusia mereka yang sudah melewati critical period, masa dimana seseorang dapat belajar bahasa dengan baik. Sehingga perlu pembatasan dan penyelarasan agar setiap anak dapat berbahasa dengan baik sesuai dengan konteks bahasa apa yang harus digunakan. Kapan dan dimana seharusnya anak menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Berdasarkan pentingnya bagi nasionalisme, maka perkembangan rasa nasion tersa lebih sulit bagi negara anekabahasa dari pada negara ekabahasa (Sumarsono, 2002:174). Negara anekabahasa ini dapat mendekati masalah ini dengan dua cara: 1) mereka dapat berusaha mengembangkan bahasa nasional, atau 2) mereka dapat mencoba mengembangkan nasionalisme tidak berdasarkan bahasa. Sebagian besar negara mengambil cara pertamatermasuk Indonesia. Untuk itulah, Pemerintah Indonesia mulai menggalakkan pentingnya berbahasa Indonesia bagi setiap warganya di seluruh penjuru negeri. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana warga yang bukan penutur asli bahasa X harus menyesuaikan dengan menggunakan bahasa tersebut dengan baik. Selain itu, bagaimana cara mereka menggunakan bahasa nasional yang baik namun tetap mempertahankan eksistensi bahasa ibu mereka. Hal ini bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini menyangkut pada pergeseran bahasa, pemertahanan bahasa, dan sikap berbahasa. Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai akibat dari suatu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain (Chaer, 2004:142). Kalau seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka
~ 83 ~
akan terjadilah pergeseran bahasa ini (Chaer, 2004:142). Pergeseran bahasa yang dimaksud disini adalah apabila ada sekelompok orang atau individu berpindah tempat dari tempat asalnya ke tempat yang lain, dimana tempat yang baru ini memiliki bahasa yang berbedea dengan bahasa ibu mereka, maka lama kelamaan orang yang tinggal ditempat baru tersebut akan menggunakan bahasa dimana mereka tinggal. Jika keadaan ini terjadi di Indonesia, maka dapat dengan mudah digunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Namun, jika dalam keseharian anggota masyarakat di lingkungan yang baru ini banyak menggunakan bahasa daerah sebagai alat komunikasi, mau tidak mau pendatang baru ini akan menggunakan sedikit demi sedikit bahasa ditempat asal. Dan lama kelamaan apabila bahasa ibu mereka sudah tidak lagi digunakan, maka terjadilah pergeseran bahasa dari bahasa ibu mereka ke bahasa dimana mereka tinggal. Hal inilah yang sedikit banyak mempengaruhi perubahan penggunaan bahasa daerah akhir-akhir ini. Sebagai contoh fenomena perubahan bahasa di Kota Semarang. Karena banyaknya pendatang baru yang tinggal dan bersinggungan dengan penduduk asli, maka dipilihlah Bahasa Indonesia untuk menjembatani perbedaan bahasa daerah antara pendatang baru dengan penduduk asli. Jika kondisi seperti ini berjalan terus menerus dan berkesinambungan, maka lama kelamaan sebagian besar penduduk asli akan menggunakan Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan pendatang baru yang mulai banyak tinggal di Semarang. Penduduk asli pun akan lebih memilih mengajarkan dan menggunakan bahasa daerah kepada anak-anak mereka. Hal ini untuk memudahkan pengajaran dan penggunaan bahasa. Akibatnya, Bahasa daerah itu sendiri mulai jarang digunakan dan diajarkan kepada generasi selanjutnya. Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga mengundang imigran/ transmigran untuk mendatanginya (Chaer, 2004:144). Fishman (1972) telah menunjukkan terjadinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika. Keturunan ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa ibunya (B-ib). Danie (1987) dan Ayotrahaedi (1990) melaporkan ada pergeseran bahasa yang menyebabkan kepunahan bahasa di tempat bahasa itu digunakan karena tidak ada lagi penuturnya atau penuturnya secara drastis sudah sangat berkurang. Hal inilah yang bisa terjadi pada bahasa daerah dimana penggunanya sudah mulai beralih menggunakan Bahasa Indonesia.
~ 84 ~
Peristiwa pergeseran bahasa ini dapat terjadi dimana-mana di muka bumi ini mengingat dalam dunia modern sekarang arus mobilitas penduduk sangat tinggi. Wilayah, daerah atau negara, yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik diserbu dari manamana, sedangkan yang prosesnya suram segera ditinggalkan (Chaer, 2004:146). Sama halnya dengan daerah seperti apa yang memungkinkan terjadinya pergeseran bahasa, bahasa yang memberi prospek untuk kehidupan yang lebih baik akan terus digunakan dan dikembangkan namun, bahasa yang tidak memberi jaminan kehidupan yang lebih baik akan ditinggalkan dan tidak digunakan. Hal ini dapat dicontohkan dengan Bahasa Inggris dan bahasa daerah. Pembelajaran Bahasa Inggris lebih menguntungkan dari pada Bahasa daerah, karena dengan bahasa asing kesempatan untuk menguasai dunia global lebih baik dari hanya sekedar belajar bahasa daerah. Penggunaan bahasa ibu atau bahasa pertama oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual cenderung menurun akibat adanya bahasa kedua yang mempunyai fungsi yang lebih superior (Chaer, 2004:146). Namun, kedwibahasaan masyarakat bukanlah satu-satunya penyebab pergeseran bahasa. Hampir semua kasus pergeseran bahasa terjadi melalui alih generasi dan menyangkut lebih dari satu generasi. Pergeseran bahasa dan pemertahanan bahasa sebenarnya seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, pergeseran bahasa mengacu kepada bahasa yang tergeser oleh bahasa yang lain. Di lain sisi, pemertahanan bahasa merujuk pada suatu bahasa yang tidak tergeser oleh bahasa yang lain (Sumarsono, 2002:231). Kedua kondisi itu merupakan akibat dari pilihan bahasa dalam jangka panjang (paling tidak tiga generasi) dan bersifat kolektif (dilakukan oleh sebagian warga) (Sumarsono, 2002:231). Dalam pemertahanan bahasa, sekelompok pengguna bahasa memilih untuk tetap melanjutkan menggunakan bahasa ibunya meskipun suadah ada bahasa kedua yang masuk kedalam komunitas tersebut. Pemertahanan bahasa daerah baik dari bahasa nasional maupun bahasa asing tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya peran dan kontribusi pengguna bahasa daerah itu sendiri. Keberlangsungan bahasa daerah ini memerlukan sikap positif yang melandasi pengguna bahasa akan normanorma penggunaan bahasa. Garvin dan Mathiot (1968) mengemukakan sikap positif terhadap bahasa Indonesia ini antara lain; 1) kesetiaan bahasa yakni sikap yang mendorong masyarakat suatu bahasa memepertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain, 2) kebanggaan bahasa yakni sikap yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, 3) kesadaran adanya norma bahasa yang mendorong orang menggunakan
~ 85 ~
bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa. Sebaliknya, apabila ketiga sikap ini mulai melemah dan tidak ada dalam seorang pengguna bahasa, maka pengguna bahasa ini dapat dikatakan seorang pengguna bahasa yang buruk. Sikap pengguna bahasa yang buruk ini dapat digambarkan dengan rasa ke-takbangga-an terhadap bahasa yang dipakainya. Rasa ketakbanggaan ini dipengaruhi oleh faktor gengsi, budaya, ras, etnis atau politik (Chaer, 2004:152). Sikap ini akan tampak dalam keseluruhan tindak tuturnya, seperti mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib dan tidak menggunakan kaidah yang berlaku. Pada akhirnya sampailah kita pada simpulan bahwa keberlangsungan suatu bahasa akan nihil hasilnya jika tidak ada peran serta dan penggunaan bahasa yang baik oleh pengguna bahasa itu sendiri. Akan tetapi pengguna bahasa memiliki caranya masing-masing untuk memilih bahasa apa yang akan digunakan dan mana yang tidak. Sehingga, dari sejarahlah nanti kita akan melihat apakah suatu bahasa akan tetap bertahan atau tidak. Begitu juga yang terjadi dengan berbagai bahasa daerah sebagai bahasa etnik yang dimiliki oleh Indonesia. Di tangan kita lah bahasa ini akan terus hidup dan berkembang. Namun di tangan kita pula lah bahasa ini akan mati dan hanya akan ada dalam cerita dan sejarah. Untuk itulah sebagai generasi yag bijak akan lebih baik jika kita terus mewariskan warisan bahasa budaya ini hingga dapat dinikmati juga oleh anak cucu dan generasi mendatang. 3. METODE PENELITIAN dan METODE PENGUMPULAN DATA Berdasarkan peta jalan penelitian diatas, saat ini peneliti melakukan metode triangulasi. Triangulasi adalah metode yang digunakan dalam kualitatif untuk memeriksa dan menetapkan validitas dengan menganalisa dari berbagai perspektif.
Validitas dalam
penelitian kualitatif dilihat berdasarkan akurasi sebuah alat ukur yaitu instrument. Validitas dalam penelitian kualitatif mengacu pada apakah temuan penelitian secara akurat mencerminkan situasi dan didukung bukti. Triangulasi merujuk pada konsistensi suatu penelitian. Patton (2001) memperingatkan bahwa inkonsistensi sebuah analisis tidak boleh dilihat sebagai kelemahan bukti. Jenis penyajian triangulasi yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut : 1. Triangulasi Data Peneliti menggunakan berbagai jenis sumber data dan bukti dari situasi yang berbeda. Ada 3 sub jenis yaitu, orang, waktu, dan ruang.
~ 86 ~
a. Orang, data-data dikumpulkan dari orang-orang berbeda yang melakukan aktifitas yang sama. b. Waktu, data-data dikumpulkan pada waktu yang berbeda. c. Ruang, data-data dikumpulkan ditempat yang berbeda. Peneliti dalam hal ini menggabungkan semua sub-tipe untuk meningkatkan validitas. 2. Triangulasi Metodelogi Pemeriksaan konsistensi temuan yang dihasilkan oleh metode pengumpulan data yang berbeda seperti menggabungkan metode kualitatif dengan dengan data kuantitatif atau melengkapi data wawancara dengan data observasi. Manfaat triangulasi adalah meningkatkan kepercayaan penelitian, menciptakan cara-cara inovatif memahami fenomena, mengungkap temuan dan memberikan pemahaman yang lebih jelas. Kelemahannya adalah memakan waktu. Mengumpulkan data beragam membutuhkan perencanaan lebih besar dan organisasi sumber yang tidak selalu tersedia. Peneliti melakukan wawancara dan menyebar angket untuk membuktikan bahwa saat ini di Aceh Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan daripada Bahasa Aceh. Lalu dari bukti tersebut peneliti mengkaji sebab penggunaan Bahasa Indonesia lebih sering digunakan di Aceh yang mengarah pada pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam keluarga masyarakat Aceh penutur bahasa Aceh. Penelitian ini telah sampai pada tahap dimana penelitian telah meliputi lima kabupaten/kota dalam wilayah Nanggroe Aceh Darussalam ; Banda Aceh, Aceh Selatan, Sabang, Piddie, dan Kabupaten Aceh Jaya. Data didapatkan melalui wawancara dan penyebaran angket/qustioner yang disebarkan langsung di Banda Aceh, Aceh Selatan, Sabang, dan Piddie. Untuk Kabupten Aceh Jaya questioner dikirimkan dan setelah diisi dikirim kembali kepada peneliti. Tapi hingga saat kemajuan penelitian ini dibuat, data dari Aceh Jaya belum peneliti terima. Jadi peneliti hanya mendata Penemuan data penelitian di empat kota di Aceh saja. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif. Penggunaan rancangan atau pendekatan kualitatif dalam penelitian ini berkaitan dengan jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan data. Berbagai metode digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, seperti tinjauan dokumen, pengamatan, wawancara, dan angket. 1. Pengamatan Pengamatan yang peneliti gunakan dalam bentuk etnografi komunikasi, yaitu bidang etnolinguistik atau sosiolinguistik tentang bahasa dalam hubungannya dengan semua
~ 87 ~
variabel di luar bahasa. Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengamati kenyataan dari sudut pandang subjek. Dalam pengumpulan data yang dilakukan adalah metode pengamatan. Metode pengamatan bisa diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan serta sistematis terhadap gejala atau fenomena yang diselidiki. 2. Wawancara Metode Wawancara (interview) adalah peneliti melakukan metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian. a. Wawancara Tak Terstruktur Pada jenis wawancara ini peneliti mengajuka pertanyaan-pertanyaan secara lebih luas dan leluasa, tanpa terikat oleh susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Walaupun demikian akan dipersiapkan “cadangan masalah” yang perlu ditanyakan pada subyek atau narasumber. Pertanyaan ini muncul secara spontan sesuai dengan perkembangan situasi wawancara itu sendiri. Dari wawancara tak terstruktur ini diharapkan terjadi komunikasi yang berlangsung secara luwes, artinya arahnya bisa lebih terbuka sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih kaya dan pembicaraan tidak terlampau “terpaku” dan menjenuhkan. b. Wawancara Terang-terangan Peneliti menggunakan metode ini untuk memperoleh informasi secara leluasa dengan baik dan benar dari narasumber. Peneliti terbuka dan berterus terang bahwa ingin mengetahui beberapa informasi yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dilakukan. 3. Instrumen Pengumpulan Data Penelitian Peneliti menggunakan instrumen pengumpulan data penelitian ini berupa pedoman atau lembar pengamatan dan pedoman wawancara. Teknik pengumpulan data mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: a. Mendata anggota masyarakat etnis Aceh di wilayah perkotaan dan di wilayah pedesaan yang memilih Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga. b. Mendata langsung ataupun tak langsung anggota masyarakat etnis Aceh di wilayah perkotaan dan di wilayah pedesaan yang memilih bahasa Aceh sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga. c. Mengamati dan mendata penggunaan bahasa di kalangan generasi muda etnis Aceh ketika bertutur dengan teman sesuku yang berbahasa Aceh.
~ 88 ~
d. Melakukan wawancara dengan informan, masyarakat, dan dengan tokoh-tokoh masyarakat Aceh khususnya masyarakat pemerhati kelestarian suatu budaya 4. HASIL PENELITIAN YANG DICAPAI Berdasarkan peta jalan penelitian diatas, saat ini peneliti melakukan metode triangulasi. Triangulasi adalah metode yang digunakan dalam kualitatif untuk memeriksa dan menetapkan validitas dengan menganalisa dari berbagai perspektif.
Validitas dalam
penelitian kualitatif dilihat berdasarkan akurasi sebuah alat ukur yaitu instrument. Validitas dalam penelitian kualitatif mengacu pada apakah temuan penelitian secara akurat mencerminkan situasi dan didukung bukti. 4.1 Point point penting hasil wawancara: 1. Di Aceh tidak semuanya memakai Bahasa daerah. Bahasa daerah digunakan untuk berbicara dengan kawan yang satu daerah tapi jika bertemu kawan dari daerah lain yang dipakai Bahasa Indonesia. 2. Faktor merantau Masyarakat aceh yang merantau cukup banyak di Jakarta sehingga setelah pulang mereka membawa tren baru yaitu berbicara dengan Bahasa Indonesia sehingga tidak bisa berbahasa Indonesia dianggap kurang gaul atau tidak gaul. 3.
Pendatang
Faktor pendatang yang banyak tinggal di Aceh juga menjadi salah satu faktor banyaknya Bahasa Indonesia yang digunakan sehari-hari. Seperti contohnya mayoritas masyarakat Sabang menggunakan Bahasa Indonesia karena sebagian besar adalah pendatang 4.
Anak-anak dari TK berbahasa Indonesia
Saat peneliti melakukan wawancara penduduk di perumahan-perumahan di Aceh, mereka mengatakan alasan mereka memakai bahasa indonesia di rumah karena anak-anak minder jika dia tidak bisa berbahasa Indonesia saat mereka masuk TK. 5. Buku-buku sekolah dalam bahasa Indonesia. Menurut narasumber yang peneliti wawancara, buku-buku di sekolah menggunakan bahasa Indonesia. Itulah sebabnya anak-anak Aceh menggunakan bahasa Indonesia di sekolah dalam sehari-hari karena tidak ada buku sekolah yang berbahasa Aceh. 6. Tempat umum Peneliti menemukan fakta-fakta bahwa di tempat umum seperti sekolah, kampus, pasar, masjid dan kedai kopi adalah tempat dimana kebanyakan Bahasa Indonesia digunakan.
~ 89 ~
7. Perkawinan beda suku Perkawinan beda daerah adalah salah satu faktor tidak digunakannya Bahasa Aceh di dalam rumah. Tapi biasanya orang tua mengajarkan Bahasa daerahnya masing-masing ke anaknya untuk menjaga kelestarian Bahasa. 8. Untuk bisnis dan hiburan Warga Aceh, walaupun di daerah untuk urusan berdagang atau bisnis selalu menggunakan Bahasa Indonesia. Umumnya Bahasa Aceh tidak diwajibkan dirumah di daerah kota ataupun desa karena faktor perdagangan, televisi dan lingkungan kerja. 9.
Tsunami
Sejak terjadinya tsunami Banyak bantuan yang datang baik dari luar negri ataupun dalam negri seperti LSM. Banyak orang asing dating ke Aceh baik sebagai anggota LSM maupun tamu negara. Mereka datang untuk membantu rakyat Aceh sehingga rakyat Aceh harus berinteraksi dengan mereka menggunakan Bahasa Indonesia sehingga Bahasa Indonesialah yang digunakan untuk berbicara sehari-hari. 11. Letak geografis yang berdekatan dengan Medan Berdekatan dengan Medan menjadi salah satu factor mengapa Bahasa Indonesia digunakan. Karena banyak impor dari Medan dan berbisnis dengan warga Medan. 12. Berbahasa Indonesia Terkesan Lebih Modern Beberapa narasumber dari berbagai wilayah penelitian mengatakan bahwa dengan penggunaan bahasa Indonesia terkesan lebih modern sehinga memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama bagi anak mereka juga untuk menaikkan gengsi. Tabel Persentase Hasil Survey Questioner Sementara di Aceh No
1 2 3 4
Nama daerah
Banda aceh Sabang Pidi Aceh selatan Total
Jumlah responden 21 orang 16 orang 12 orang 11 orang 60
Responden Menggunakan Bahasa Indonesia 15 11 4 8 38
Responden Menggunakan Bahasa Aceh 6 5 8 3 22
Dari survey sementara penelitian menunjukan bahwa dari empat lokasi daerah di aceh yang terdiri dari 60 responden, 38 orang menggunakan Bahasa Indonesia dan 22 orang menggunakan Bahasa Aceh. Hal ini menunjukan hampir setengahnya atau 55% menunjukan
~ 90 ~
Bahasa Indonesia lebih sering digunakan untuk percakapan sehari-hari di beberapa daerah di Aceh kecuali di daerah pidie dimana bahasa daerah masih kental sekali digunakan oleh masyarakat setempat.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Dari 13 daerah/kota/kabupaten di Aceh. penelitian yang sudah dilakukan meliputi Banda Aceh, Aceh Selatan, Kab Aceh Jaya, Sabang, dan Piddie. Kesimpulan sementara yang bisa diambil berdasarkan langkah-langkah analisis data diatas adalah 55 persen dari nasumber menggunakan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa pertama atau Bahasa sehari-hari. Peneliti mengamati keterkaitan pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga dengan ketidakmampuan generasi muda Aceh berbahasa Aceh. Pembuktian sementara mengarah pada pemilihan bahasa pertama di keluarga masyarakat Aceh dan menunjukkan ketidakmampuan anak muda Aceh berbahasa daerah. Walau pendataan belum meliputi seluruh wilayah Aceh, namun hal ini mulai mengarah pada dampak pada terkikisnya Bahasa Aceh sebagai bahasa daerah di beberapa kota Aceh dan tentunya tidak baik bagi peran Bahasa daerah aset budaya bangsa.
DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, Teuku, dkk. (2003). Ragam bahasa daerah dalam interaksi sosial masyarakat di perbatasan Aceh: Sumut jalur selatan. Hasil Penelitian Balai Bahasa. Ali Zaini dkk. (19840. Sistem perulangan bahasa Aceh. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Alwasilah, A. Chaedar. (1983). Pengantar sosiologi bahasa. Bandung: Angkasa. Asyik, Abdul Gani. (1987). Tatabahasa kontekstual bahasa Aceh. Disertasi the University of Michigan. Ayotrahaedi. 1990. Kubur pun Sudah Digali, Proses Kepunahan Sebuah Bahasa dalam Muhadjir dan Basuki Suhardi (Ed). 1990 dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004 Bloomfield,L. 1933. Language. New York:Holt, Rinehart and Winston dalam Tarigan, H.G (Ed) 1984. Chaer, A and Agustina L. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Danie, Julianus Akun. 1987. Kajian Geografi Dialek Minahasa Timur Laut. Disertasi pada Universitas Indonesia Jakarta dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004. Encyclopedia Britanica, 1965 dalam Tarigan (Ed), 1984. Fishman. 1972. The Description of Societal Bilingualism dalam Anwar S Dill (Ed) 1972 dalam Chaer dan Agustina (Ed). 2004. Garvin, P.L. dan Mathiot, M. 1968. The Urbanization of The Guarani Language: Problem in Language and Culture dalam Fishman (Ed.) 1968.
~ 91 ~
~ 92 ~
REFLECTION OF DREAM THEORY IN “BLESS ME, ULTIMA” Albertine Minderop Sastra Inggris – Fakultas Sastra Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah menunjukkan bahwa novel Bless Me, Ultima karya Rudolfo A. Anaya merefleksikan teori mimpi dari Sigmund Freud. Penelitian ini menggunakan metode content analysis dan deskriptif-interpretatif. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan konflik teologis dan konflik batin yang dialami oleh seorang tokoh anak laki-laki bernama Antonio Marez (Tony) yang tertuang dalam bentuk mimpi. Dari mimpi-mimpi tersebut ia memperoleh pemahaman tentang konsep ketuhanan, pengendalian nafsu, pemahaman nilai budaya, dan ajaran moral yang mencakup sikap: damai, toleran, pemaaf, adil, dan kasih sayang. Kata kunci: teori mimpi, inner and theological conflict, ajaran moral. 1. INTRODUCTION Bless me, Ultima (1972) was written by Rudolfo A. Anaya, is a wonderful story based on the “Chicano” or Northern New Mexico native people culture, religion, and customs. This novel tells us about a young Mexican boy, Antonio Marez, growing up in New Mexico during the mid 1940s. The story begins when he is six years old. This novel shows us how Tony faces a lot of difficulties and has to deal with curses, healings, dead people and mean friends. Tony becomes a man of learning throughout his childhood with Ultima’s help. Through Ultima’s gentle guidance and support, Tony faces his uncertainties and learns to go on with life (http://www.amazon.com/Bless-Me-Ultima-Rudolfo-Anaya/dp/04466 pp. 3). Tony’s parents are opposites, his father being a Marez, people of Ilano (the desert land in New Mexico) is free and not too religious. His mother being a Luna, farmers and people of the moon and the earth, she is quiet, gentle, and very religious. His father wants Tony to grow up free to roam the land and become a vaquero, as he once was. His mother wants him to be a priest, a man of learning. Tony is torn between them regarding his future. The novel contains a rich panorama of visual imagery as it describes the New Mexico landscape of the 1940s, and it also shows realistic concepts about life and living of people. One important view of the novel is the power struggles that is a result of acculturation. (Black, 2000: 146). Rudolfo Alfonso Anaya was born on October 30, 1937 in Pastura, New Mexico. Bless Me, Ultima is largerly autobiographical, as Anaya drew on the religious and political issue that shaped his experience as a Hispanic American living in the Southwest during World War (1939-1945). His father was a vaquero (a sheep and cattle rancher) and his mother was
~ 93 ~
a
devout
Catholic
came
from
a
farming
family
(http://www.novelexplorer.com/category/bless-me-ultima/ pp. 1). During the mid-1960, he wrote prodigiously, expressing his life and his experience through poetry, short stories, and novels. For Anaya, writing became an expressing of freedom. Seeing his people around him “in chains,” he revolted against that world. Breaking those chains was important; his characters would no be enslaved. He realized that if he could write about his experiences and his family, using the town where he grew up as a setting, he could focus on these years and create a sense of being liberated. Using his childhood as the subject matter for a novel, Anaya put together a world filled with ideas and activity. Bless Me, Ultima, then, is a work that examines the various forces that shape the life of Antonio, a young Mexican-American boy who
is
a
main
character
in
the
novel
(http://www.cliffsnotes.com/study_guide/literature/bless-me-ultima/rudolfo pp. 1). Throughout the story, Tony also faces confusion over religion and spirituality. Tony is confused over Catholicism. Though he does believe in God, he wants understanding from Him, answers to his questions. From a very young age, Tony witnesses death, deaths of Lupito, and death of a family friend, Narciso. Tony realizes the power of good over evil and understands that truth is more powerful than that which is prescribed by custom. Religious teachings which Tony knows so far is not aligned with the realities of life which he witnesses. This condition makes him become hesistant about the concept of God. He becomes sceptical in his spiritual beliefs and confused about the concept of morality. Maria hopes, someday Tony became a pastor. His brothers tend to follow in the footsteps of his father, and they often visited the house of entertainment. According to Tony’s view it is not in accordance with the teachings of religion which he knew so far. Much of what Tony learns about his past and his future is revealed to him in dream sequences in which Anaya uses stream of consciousness and flashback techniques to allow Tony to recall his life and to reveal his confusion about place in the world. In one dream he remembers back to his mother’s womb and to the time ultima delivered him. In another, he dreams of Lupito and the soul’s journey the afterlife, he also envisions the death of Ultima. Ten dream sequences unravel throughout the novel, and all relates to events in Tony’s life, but distort the context. Like the myths, the dreams reveal to him how his personal experiences fit into the cosmos. They unravel like myths, and they help Tony make sense of the world around him (http://www.novelexplorer.com/category/bless-me-ultima/ pp. 2).
~ 94 ~
2. READING REVIEW The manifestation of this conflict makes Tony questioning the existence of God. Confusion mind appeared in terrible dreams and adds anxiety to his mind. According to Sigmund Freud, many of our feelinngs, desires, and emotion are repressed or held out of awareness. Sometimes these hidden desires and wishes make themselves known through dreams. In Freud’s psychoanalytic theory of personality, the unconscious mind is a reservoir of feeling, thoughts, urges, and memories that outside of our conscious awareness. Most of the contents of the unconscious are unacceptable or unpleasant, such as feelings of pain, anxiety,
or
conflict
(http://psychology.about.com/od/uindex/g/def_unconscious.htm).
According to Freud, the unconscious continues to influence our behavior and experience, even though we are unaware of these underlying influence. Dreams can be both fascinating and baffling, that is why they have garnered from philosophers, artists, writers for thousand of years. People still disagree about the exact purpose
of
dreams
and
the
possible
interpretation
of
dream
content.
(http://psychology.about.com/od/statesofconsciousness/tp/reams.htm). This area remains the topic of psychologists and researchers. According to Freud, the manifest of a dream includes the the images, thoughts and content contained within the dream. The manifest content is the elements of the dream that we remember upon awakening. The contents of dream
is
related
to
wish
fulfillment
(http://psychology.about.com/od/mindex/g/manifestcontent.htm). The other content is the latent content, which is hidden, is the underlying meaning of these symbols. By uncovering the hidden meaning of dreams, he believed people could better understand their problems and resolve the issue that creates difficulties in their lives (http://psychology.about.com/od/lindex/g/latent-content.htm). Dreams can be mysterous, but understanding the meaning of dreams can be downright baffling. The content of dreams can frighten us with terrifying imagery. The fact of dreams can compel what causes that there must be some to our dreams (File:///D:/Dream Interpretation What Do Dreams Really Mean.htm). One possible approach to the field of social psychology is to analyze today’s social scene; specifically, we might focus on the many current, bothersome social problems that confront our society. War, crime in the street, theological differences violence, ethics in social lives – all these are certainly issues confronting the “individual in society.” Societies are judged according to the helping and hurting behavior of their members in much the same way as
~ 95 ~
individuals are judged. Early conceptions of morality and views on the nurturing of moral behavior in children were often couched in religious terms. The other conception of morality tied religion to the power of rulers. Some philosophers accept the definition of morality that (1) system of morality deal with right ideals or principles of human conduct and (2) moral discourse – moral principles, judgments, admonitions – has a bearing on behavior; what is done may be in harmony or in conflict with what is said (Krech, 1974:733). How do parents structure their children’s moral development? Human infants become emotionally attached to any person who treats them regularly in a nurturant way. Consequently, about midway in the first year of life, children with nurturant parents typically have a strong emotional attachment to them. The parents’ presence and nurturance is highly rewarding and satisfying; their absence is unpleasant, even disturbing. The words, smiles, and gestures associated with their nurturance take on positive value for the child, and scolding, frowning, tenseness that precede withdrawal of nurturance acquire negative value (Krech, 1974:73). Young children are dependent on their parents and other family members for many things, including information about the world they live (Krech, 1974:762). By controlling a child’s information, parents can largely determine his specific beliefs and attitudes. 3. RESEARCH QUESTION The research question is: does this novel reflect the theory of dreams and why Anaya put a lot of dreams experienced by the character of Tony? 4. THE OBJECTIVE OF RESEARCH Based on the research question, the objective of this research is to show that this novel reflects the theory of dreams and to demonstate why Anaya put a lot of dreams experienced by the character of Tony. 5. METHOD The study uses content analysis to explore the moral values found in this novel. The purpose of content analysis is to uncover, understand, and capturing messages of literary work by using psychological approach. That is, firstly, I will construct a concept that would, subsequently entered the literature. Aspects surrounding the outside of literary aesthetic, explored, internalized, and discussed in detailed. Elements highlighted in the content analysis covering, among others: moral/ethical, didactic, philosophical values, and religious values. Procedures related to the procurement of data, including: determining the unit of analysis, sampling, and data recording. Inference and analysis process include the
~ 96 ~
understanding of the symbolic meaning of the literary work. The use of qualitative study with the conceptual realm, in order to obtain a comprehensive literary message include: validity of semantics, understanding the symbolic meaning clings to the context; while reliability is used as the adjustment between the results of the literature review of research that has been formulated (Endraswara, 2008). The paradigm of the research is qualitative approach (Creswell, 1994: 21).
6. THE BENEFIT OF THE RESEARCH The result of this research is expected to provide a new perspective on the relationship between science of literature with the science of psychology, particularly the application of the theory of dreams.
7. RESULT AND DISCUSSION The results of this study were quoted from primary sources, novel Bless Me, Ultima. Analysis of the data gives us knowledge that Tony’s dreams illustrated his inner conflicts and consciousness how to be a wise person and how to face his life later. 7.1 The Concept of Deity Tony experienced theological conflict then became sceptical (Minderop, 2015: 45), and wishes to meet with the Lord appeared in the form of a dream. In accordance with the teachings of which he got from Maria, his mother, that God may grant the request of his people: Virgen the Guadalupe, I heard my mother cry, return my sons to me. Your son will return safely, a gentle voice answered. Mother of God, make my forth son a priest. ... (pp. 43). Although he often doubted the existence of God, subconsciously he tried to believe in the existence of God because Maria always carried out God's command: Yes, my Antonio, she smiled, we who were baptized in the water of the moon which was made holy by our Holy Mother the Church are saved (pp.112). Tony really wanted to meet with God, however, even in the dream he failed to meet Him, which appeared precisely Maria: I looked towards the enchanting light, expecting to see the Virgin of Guadalupe, but in her place I saw my mother! (pp. 112). The concept of God in a dream that he got was not God as known so far. God in dreams was angry and would swallow everything. Tony felt sorry to have made the Lord be angry, because Tony ever wanted to replace God with the existence of other gracious and merciful: No! I pleaded, hear me and I shall be your priest! I can have no priest who has golden idols before him, God answered, and the flames roared and consumed everything
~ 97 ~
(pp. 113). The concept of God that was in the dream was an angry God, no mercy, and God would not be rivaled: I am not a God of forgiveness! The voice roared. Hear me! I begged. Vengeance is mine! He shouted, not even your golden carp would give up that power as a god!... (pp. 165-166). True God, according to Tony perception is Mother Mary, because she was forgiving: I will forgive Tenorio, a soft voice called. I turned and saw the forgiving Virgin (pp. 166). 7.2 Concerned With the Temptation of Lust Tony was concerned with the behavior of his brothers who liked to visit the house of entertainment and hang out with female entertainers. Tony’s rejection to the behavior as it was inconsistent with religious teachings he knew was appearing in the form of a dream: “In the dark mist of my dreams I saw my brothers”: The three dark figures silently beckoned me to follow them. ... to the house of the sinful women.... The door to Rosie’s house opened and I caught a glimpse of the women who lived there. There was smoke in the air, sweet from the fragrance of perfume, and thre was laughing. My brothers pointed for me to enter.A young woman laughed gaily. She bowed and the soft flesh of her breast hung loose and curved like cow udders (pp. 65). His brother laughed at Tony who refused to get along with women entertainers, they thought Tony was very naive: My brothers laughed and pushed me aside. Do not enter, I cried. It is written on the waters of the river that you shall lose your souls to hell if you enter! (pp. 65). Their family was a free people in accordance with the teachings of Gabriel, his father: Bah! Eugene scowled, you beat your breast like a holly roller, but you too will find your way here. You are a Marez! He shouted and entered (pp. 65). His brothers continued to affect Tony, according to them there was no holy man, even the priest was a man: Even priests are men, Leon smiled, and every man is delivered of woman, and must be fulfilled by a woman. And he entered. Andrew, I begged to the last figure, do not enter (pp. 65). According to the subconscious theory of Sigmund Freud, without his realizing, in fact Tony had a passion for women, but the desire was always suppressed and appeared in the form of a dream: When my mother washed her long, black hair she tucked in the collar of her blouse and I could see her shoulders and the cotton pink flesh of her throat. The water wet her blouse and the thin cotton fabric clung around the curve of her breasts (pp. 65). 7.3 Cultural-Values Conflict Causes Inner Conflict Consequently, about midway in the first year of life, children with nurturant parents typically have a strong emotional attachment to them. The parents’ presence and nurturance
~ 98 ~
are highly rewarding and satisfying; their absence is unpleasant, even disturbing. Cultural values conflict experienced by Tony as a result of cultural values conflict between his father and mother: “You are innocent when you do not know, my mother cried, but already you know too much about the flesh and blood of the Marez men (pp. 112). Dreams can be mysterous, but understanding the meaning of dreams can be downright baffling. The content of dreams can frighten us with terrifying imagery. Tony’s soul was torn between his mother and father views, his soul was pushed around and he was very sad: Lies! my father shouted, Antonio was not baptized in the holy water of the moon, but in the salt of the sea! ... I moaned; oh please tell me which is the water that washes my burning eyes! Mother. I cried, you are saved! We are all saved! Yes, my Antonio, she smiled, we who were baptized in the water of the moon which was made holy by our Holy Mother the Church are saved. Lies, lies, my father laughed, through your body runs the salt water of the oceans. It is the water which makes you Marez and not Luna. It is the water that binds you to the pagan god of Cico, the golden carp! (pp. 112). In Freud’s psychoanalytic theory of personality, the unconscious mind is a reservoir of feeling, thoughts, urges, and memories that outside of our conscious awareness. Most of the contents of the unconscious are unacceptable or unpleasant, such as feelings of pain, anxiety, or conflict. In his dream Tony could not withstand the load of his feelings and this condition made him very miserable: Oh, I cried, please tell me. The agony of pain was more that I could bear. The excruciating pain broke and I sweated blood. The lake seemed to respond with rage and fury. It cracked with the laughter of madness as it inflicted death upon the people. I thought the end had come to everything. The cosmic struggle of the two forces would destroy everything! (pp. 112). In his dream Tony felt guilty because he was not consistent with religious beliefs, he had a dream that the Lord was very angry and displayed a terrible incident: There was a howling wind as the moon rose and its powers pulled at the still waters of the lake. Thunder split the air and the lightning bursts illuminated the churning, frothy tempest. The ghosts stood and walked upon the shore (pp. 112). 7.4 Tony’s Perception about Sin and The Afterlife Day The view that on the one hand that man has freedom and on the other hand, humans have to restrain bad attitude as religious doctrine, emerged in the form of a dream: I saw Andrew and the young girl from Rosie’s. They held each other and danced while Narciso pounded at the cold door. She was naked, and her long, flowing hair
~ 99 ~
enveloped Andrew and kept him from helping Narciso. She pulled Andrew away, and he followed her into the frightful fires of hell (pp. 165). In the view of Tony, people who do bad things will soon get a punishment from God when he died: God answered. Your brother has sinned with the whores, and so I condemn him to hell for eternity! In the cracking, frolicking flames I saw the face of Narciso. His face was bloody, and his eyes dark with death. Forgive Narciso! I cried to God (pp. 165). God does not want rivaled by another (pp. 166). Tony became confused because in another dream God forgave the guilty (pp. 166). In his dream, Tony felt no one wanted to help him when he was in trouble. Even Maria, his father, and all went to hell. The world seemed to come to an end and all the wretched: ... Evening settled over the land and the waters. The stars came out and glittered in the dark sky. In the lake the golden carp appeared. His beautiful body glittered in the moonlight. He had been witness to everything that happened, and he decided that everyone should survive, but in new form. He opened hid huge mouth and swallowed everything, everything there was. Good and evil. (pp. 167). Tony still expected the presence of God for the release of this suffering, no one and nothing was reliable. Tony then became sceptical about divinity: Why must I be witness to so much violence! I cried in fear and protest. The germ of creation in lies violence, a voice answered. Florence! I shouted as he appeared before me, is there no God in heaven to bear my burden? Look! He pointed to the church where the priest desecrated the altar by pouring the blood of dead pigeons into the holy chalice. The gods are dying, he laughed. Look! He pointed to the creek where Cico lay in wait for the carp. When the golden carp appeared Cico struck with his spear and the water ran blood red. What is left? I asked in horror. Nothing, the reply rolled like silent thunder through the mist of my dream. Is there no heaven or hell? Nothing. The magic of Ultima! I insisted (pp. 233). 7.5 Moral Teachings There is still a place for Tony, namely Ultima, a woman mystic healer. Ultima was back to nature and in there Tony got peace and quietness: Oh, where is the innocence I must never lose,... It was Ultima, and she pointed west, west to Las Pasturas, the land of my birth (pp. 66). In his dream Tony he felt peacefully as he went back to enjoy the nature, the golden carp as a part of nature that always gave people feeling of peace and secure: That night in my dreams I walked by the shore of a great lake. A bewitching melody fulled the air. It was the song of the mer-woman! I looked into the dark depths of the lake and saw the golden carp, and all around him were the people he had saved. On the bleached shores of the lake the carcasses of sinners rotted (pp. 112). Back to nature also gave him the feeling of love
~ 100 ~
and innocence: She spoke. There in the land of the dancing plains and rolling hills, there in the land which is the eagle’s by day and the owl’s by night is innocence. There where the lonely wind of the Ilano sang to the lovers’s feat of your birth, there in those hills is your innocence (pp. 66). The dream also taught him that humans need to look at things in a holistic manner so that they can obtain comprehensive perception of a problem. Looking at something piecemeal does not make people become wise: “The waters are one, Antonio. I looked into her bright, clear eyes and understood her truth. You have been seeing only parts, she finishes, and not looking beyond into the great cycle that binds us all” (pp. 112). Tony’s dreams taught him not to discriminate people because differences in culture can be complementary and mutually supportive: Stand, Antonio, she commanded, and I stood. You both know, she spoke to my father and my mother, that the sweet water of the moon which falls as rain is the same water that gathers into rivers and flows to fill the seas. Without the waters of the moon to replenish the oceans there would be no oceans. At the same salt water of the oceans are drawn by the sun to the heavens, and in turn become again the waters of the moon. Without the sun there would be no waters formed to slake the dark earth’s thirst (pp. 113). Tony gets a lesson that he should be fair and forgiving to anyone: No! No! I cried, it is Narciso that you must forgive! Intercede for him so that he may gain the joys of heaven. Antonio, she smiled, I forgive all. You cannot! I persisted in my delirium, you must punish Tenorio for killing Narciso! (pp. 113). He began to realize that he had been trapped into a narrow way of thinking, unfair, and selfish; He had to shake the feeling of revenge: And again the laughter rang from the flames. You foolish boy, God roared, don’t you see you are caught in your own trap! You would have a God who forgives all, but when it comes to your personal whims you seek punishment your vengeance. You would have my mother rule my heavens, you also would send all sinners for her forgiveness, but you would also have her taint her hands with the blood of vengeance – (pp. 113). Eventually he gained very valuable moral teachings, he snapped out of his thoughts and bad feelings, and he is conscious to become wiser people: Oh, I cried, forgive me Lord! I have sinned, I have sinned exceedingly in thought, word, and deed. My thoughts have trapped me and made me flee from you! (pp. 113).
~ 101 ~
8. CONCLUSION The contradiction between Tony’s parents-cultural values made his soul oscillated so as to make him become upset and sceptical in religion. His confusion and hope appeared in the form of dreams. He found a way out of this unpleasant conditions by getting closer to nature under Ultima’s guidance (Minderop, 2015: 42). Appreciation of nature made him wise, fair, tolerant, broad-minded, affectionate, and far from the feeling of resentment. This novel might be the reflection of Anaya’s life, and to my perception, perhaps he wants to say to the readers that if someone is difficult to determine a certain position because he is between two conflicting sides, one would be better to choose a middle ground. In this context, Tony did not want to disappoint his parents because he had to choose one party, then he took a middle path that can accommodate both sides. Differences in the two become mutually supportive and complementary. 9. REFERENCES Books: Anaya, A, Rudolfo. Bless Me, Ultima. TQS Publications, California: 1972. Creswell, John W. Research Design – Qualitative & Quantative Approaches. Sage Publication, California 91320: 1994. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra. Penerbit Medpress, Jakarta: 2008. On line International Journals: Minderop, Albertine. Theological Scepticism In “Bless Me, Ultima”, in International Journal of English Language, Literature and Humanities, Volume III, Issue 1, March – ISSN 2321-7065, pp. 45: 2015. -----. Virtues of Appreciating Nature in Rudolfo A. Anaya’s “Bless Me Ultima”, in Literary Quest Journal, ISSN 2349-5650, Vol.1 Issue 10 March, pp. 42: 2015. Websites: http://psychology.about.com/od/statesofconsciousness/tp/reams.htm. Accessed 02/02/2015. http://psychology.about.com/od/uindex/g/def_unconscious.htm. Accessed 2/02/2015. http://psychology.about.com/od/mindex/g/manifestcontent.htm. Accessed 02/02/2015. http://psychology.about.com/od/lindex/g/latent-content.htm. Accessed 02/02/2015. File:///D:/DreamInterpretation What Do Dreams Really Mean.htm. Accessed 02/02/2015.
~ 102 ~
STRATEGI ADAPTASI ORANG TIONGHOA BEKASI DALAM UPACARA CENGBENG C.Dewi Hartati, Hin Goan Gunawan Program Studi Sastra Cina Universitas Darma Persada Abstrak Keanekaragaman suku-bangsa dan golongan sosial, telah memunculkan terjadinya berbagai strategi adaptasi. Pemahaman terhadap strategi adaptasi yang diterapkan mencerminkan bentuk kognitif yang dipelajari melalui sosialisasi dari pendukung suatu budaya, yang kemudian diharapkan mampu memberikan penjelasan terhadap fenomena sosial yang dihadapi. Adaptasi dalam penelitian ini adalah adaptasi yang dilakukan orang Tionghoa sehubungan dengan upacara Ceng Beng. Antropolog memandang religi bersifat adaptif karena dapat mengurangi kecemasan dan ketidakpastian yang menimpa manusia. Strategi adaptasi di satu sisi berusaha mempertahankan tradisi sebagai ikatan dengan leluhur, budaya, di sisi lain berbaur dengan masyarakat setempat. Penelitian ini menggambarkan bagaimana orang Tionghoa Bekasi dapat mempertahankan tradisi Ceng Beng sebagai strategi adaptasi memelihara hubungan dengan leluhur. Kata kunci : adaptasi, strategi adaptasi, kognitif, sosialisasi, cengbeng. 1. PENDAHULUAN Festival Qingming atau di Indonesia lebih dikenal dengan Cengbeng (dialek Hokkian) adalah ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah ke kuburan sesuai dengan ajaran Konghucu. Festival tradisional Cina ini jatuh pada hari ke 104 setelah titik balik matahari pada musim dingin (atau hari ke 15 dari hari persamaan panjang siang dan malam pada musim semi), pada umumnya jatuh pada tanggal 4 dan 5 April. Festival Qīngmíng menandakan dimulainya musim semi, waktu untuk pergi keluar dan menikmati hijaunya musim semi, dan juga ditujukan kepada orang-orang untuk berangkat ke kuburan. Hari Menyapu Kuburan (Hari Pembersihan Pusara) dan Festival Bersih Terang adalah terjemahan yang paling umum dalam mengartikan Qīngmíng. Untuk orang Tionghoa, hari ini merupakan suatu hari untuk mengingat dan menghormati nenek moyang. Setiap orang berdoa di depan nenek moyang, menyapu pusara dan bersembahyang dengan makanan, teh, arak, dupa, kertas sembahyang dan berbagai asesoris, sebagai persembahan kepada nenek moyang. Upacara ini adalah sangat penting bagi kebanyakan orang Tionghoa, terutama petani, dan biasanya dapat dilaksanakan 10 hari sebelum atau sesudah hari Qīngmíng. Pada waktu Qīngmíng, orang melakukan tamasya keluarga, hal populer lain yang melakukan adalah memainkan layang-layang (dalam berbagai bentuk binatang, atau karakter dari Opera Cina).
~ 103 ~
Festival Qīngmíng sendiri diciptakan oleh Kaisar Xuanzong pada tahun 732 (dinasti Tang). Dengan alasan orang Cina kuno mengadakan upacara pemujaan nenek moyang dengan cara terlalu mahal dan rumit. Dalam usaha untuk menurunkan biaya tersebut, Kaisar Xuanzong mengumumkan penghormatan tersebut cukup dilakukan dengan mengunjungi kuburan nenek moyang pada hari Qīngmíng. Di beberapa negara di Asia, dan Indonesia peringatan Cengbeng dianggap sangat penting artinya. Selain perayaan Tahun Baru Imlek, Cengbeng adalah tradisi penting bagi masyarakat Tionghoa, karena pada masa inilah seluruh anggota keluarga berkumpul bersama menghormat dan memperingati leluhur mereka. Marvin Harris (1966) mengemukakan bahwa dunia materi menunjukkan adanya pengaruh deterministik terhadap dunia yang nonmateri. Kebudayaan adalah produk hubungan antara benda-benda.
Upacara Ceng Beng merupakan bentuk
materialisme
kebudayaan yang mendasarkan bahwa kondisi-kondisi materi masyarakat menentukan kesadaran manusia, bukan sebaliknya. Budaya juga sebagai bentuk informasi sosial yang disampaikan dalam kelompok sosial. Pemikiran Budaya sebagai bentuk informasi sosial yang disampaikan dalam kelompok sosial adalah konsep populasi budaya yang dikemukakan oleh William H. Durham dalam Cultural Variation in Time and Space: The Case for a Populational Theory of Culture. Dengan kata lain, konsep populasi budaya menekankan bahwa budaya adalah sistem evolusi yang berada di hak mereka sendiri, dan itu membuka jalan untuk menganalisis perubahan budaya sebagai semacam proses evolusi. Durham menunjukkan dengan cara berpikir tentang budaya yang semacam ini memberi alat baru yang berharga untuk berpikir tentang variasi budaya dalam ruang dan waktu. Hal ini sering disebut "teori coevolusi " atau “model coevolusi budaya dengan hipotesanya bahwa budaya adalah sistem perubahan evolusi sejajar dan berinteraksi dengan gen. Titik awal untuk teori populational budaya adalah mengakui bahwa sistem budaya, untuk semua yang lain bahwa mungkin atau tidak mungkin, terdiri dari informasi yang disampaikan melalui ruang dan waktu dalam kelompok sosial. Kebudayaan mendefinisikan properti, ciri khas, dari perspektif ini adalah transmisi sosial. Tidak peduli seberapa kecil dan tidak signifikan informasi, pada salah satu ujung spektrum, atau berapa besarnya pada ujung lainnya adalah diajarkan dan dipelajari secara sosial adalah bagaian dari kebudayaan. "Suatu budaya," dalam pandangan ini, hanyalah koleksi lengkap informasi yang ditransmisikan secara sosial dalam suatu masyarakat. Definisi ini sengajan terbuka dimaksudkan untuk merangkul berbagai macam informasi atau fenomena ide, termasuk ide-ide, nilai-nilai, keyakinan, makna, dan sebagainya.
~ 104 ~
Awal kemunculan konsep adaptasi berasal dari konsep-konsep biologi dan ilmu pasti. Konsep-konsep biologi dan ilmu pasti
dijadikan dasar untuk menjelaskan fenomena-
fenomena sosial yang ada. Konsep adaptasi datang dari dunia biologi, ada dua poin penting yaitu evolusi genetik, berfokus pada umpan balik dari interaksi lingkungan, dan adaptasi biologi yang berfokus pada perilaku dari organisme selama masa hidupnya, di mana organisme tersebut berusaha menguasai faktor lingkungan, tetapi juga proses kognitif terusmenerus. Adaptasi juga merupakan suatu kunci konsep dalam dua versi dari teori sistem, baik secara biologikal, perilaku, dan sosial yang dikemukakan oleh John Bennet (Bennet, 249250). Adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. Proses adaptasi dalam evolusi melibatkan seleksi genetik dan varian budaya yang dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Adaptasi merupakan suatu proses yang dinamik karena baik organisme maupun lingkungan sendiri tidak ada yang bersifat konstan/tetap. Roy Ellen membagi tahapan adaptasi dalam empat tipe. Antara lain adalah (1) tahapan phylogenetic yang bekerja melalui adaptasi genetik individu lewat seleksi alam, (2) modifikasi fisik dari phenotype/ciri-ciri fisik, (3) proses belajar, dan (4) modifikasi kultural. Adaptasi kultural proses bekerjanya dianggap lebih cepat dibandingkan ke-3 proses di atas karena ia dianggap bekerja melalui daya tahan hidup populasi di mana masing-masing komuniti mempunyai daya tahan yang berbeda berdasarkan perasaan akan resiko, respon kesadaran, dan kesempatan. Adaptasi dapatlah disebut sebagai sebuah strategi aktif manusia (Hardestry, 238-240). Adaptasi dapat dilihat sebagai usaha untuk memelihara kondisi kehidupan dalam menghadapi perubahan. Adapatasi dipahami sebagai suatu strategi penanggulangan oleh manusia dalam merespon umpan balik negatif dari lingkungan hidup suatu makhluk hidup. Umban balik yang dimaksudkan adalah segala perubahan yang disebabkan oleh lingkungan, baik ekosistem/lingkungan biofisik dan sistem sosial. Adaptasi terbagi dalam tiga tipe; adaptasi cara fisiologi, adaptasi cara perilaku dan adaptasi cara kebudayaan Keanekaragaman suku-bangsa dan golongan sosial, telah memunculkan terjadinya berbagai strategi adaptasi. Pemahaman terhadap strategi adaptasi yang diterapkan
~ 105 ~
mencerminkan bentuk kognitif yang dipelajari melalui sosialisasi dari pendukung suatu budaya, yang kemudian diharapkan mampu memberikan penjelasan terhadap fenomena sosial yang dihadapi. Adaptasi diartikan sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Adaptasi selalu mengacu pada suatu lingkungan tertentu. Migrasi cenderung dilakukan orang dengan berbagai alasan, baik faktor ekonomi, sosial dan budaya. Dalam kasus orang Tionghoa, fenomena migrasi tidak lepas dari unsur politik. Adanya pembantaian orang Cina oleh Belanda (1740) banyak kelompok etnis Tionghoa yang tinggal di Batavia pindah ke tempat yang lebih aman, dan memilih Bekasi sebagai tempat menetap. Pada awalnya, mereka hanya mengungsi untuk menghindari pembantaianpembantaian yang terjadi. Namun, lama kelamaan mereka menetap di wilayah ini dan menjadi penduduk kota Bekasi. Ada beberapa proses model adaptasi budaya yang terjadi pada setiap suku bangsa yaitu : yang dilakukan oleh pendatang terhadap penduduk asli, adaptasi yang dilakukan penduduk asli terhadap pendatang dan adaptasi yang tidak dilakukan oleh pihak manapun,di mana masing-masing etnik berdiam diri tanpa melakukan adapatasi. Pada umumnya adaptasi yang paling sering terjadi adalah adaptasi yang dilakukan oleh penduduk pendatang terhadap penduduk asli. Yang menghambat proses adaptasi adalah perbedaan ras, dalam masyarakat Cina Bekasi ras tidak menjadi penghalang karena ciri fisik sama, dan keterpisahan sosial budaya. Sedangkan faktor-faktor yang memperlancar proses adaptasi adalah lamanya menetap, pendidikan, peraturan pemerintah terutama produk Orde Baru, yaitu peraturan tentang ganti nama, agama dan kepercayaan serta adat istiadat orang Tionghoa, yang mendorong orang-orang Tionghoa berintegrasi dengan masyarakat pribumi, asimilasi budaya antara budaya Tionghoa dengan budaya masyarakat pribumi, juga terjadinya kawin campur (amalgamasi). Kaum Peranakan Tionghoa di Bekasi kian bertambah banyak setiap tahunnya. Mereka juga tidak lagi menggunakan nama Tionghoa. Walaupun demikian, kaum Peranakan Tionghoa ini masih tetap menjalankan adat istiadat dan kebudayaan Tionghoa. Adaptasi di sini adalah adaptasi yang dilakukan orang Tionghoa sehubungan dengan upacara Ceng Beng. Cengbeng merupakan suatu unit analisis budaya dalam unsur religi yang lebih luas.malimowski dan banyak antropolog lainnya yang memandang religi bersifat adaptif karena dapat mengurangi kecemasan dan ketidakpastian yang menimpa manusia. Strategi adaptasi di satu sisi berusaha mempertahankan tradisi sebagai ikatan dengan leluhur, budaya, di sisi lain berbaur dengan masyarakat setempat.
~ 106 ~
2. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam masa pemerintahan Orde Baru, terjadi apa yang disebut oleh sinolog Melly G. Tan sebagai “genocide” etnis Tionghoa, berupa pengkondisian yang membuat generasi muda Tionghoa “tercabut” dari akar budayanya karena adanya larangan-larangan untuk menampilkan identitas Tionghoa dari segi nama, penggunaan bahasa, pelaksanaan hari raya Tionghoa dan menonjolkan identitas Tionghoa dalam bangunan rumah tinggal, sehingga terjadi pemandegan perkembangan budaya tradisional Tionghoa. Peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi perkembangan budaya Tionghoa di Indonesia, secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan generasi muda Tionghoa tidak memahami budaya tradisinya sendiri dan kehilangan identitas etniknya. Mereka tidak bisa berbahasa Tionghoa, tidak mengenal tradisi Tionghoa dan tidak menunjukkan identitas Tionghoa pada budaya materinya. Peraturan-peraturan
pemerintah
tersebut
antara
lain
adalah
Kepres
No.127/U/KEP/12/1996 dan Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-06/PresKab/6/1967 yang mengharuskan etnis Tionghoa melakukan ganti nama (nama Tionghoa yang terdiri dari tiga suku kata menjadi nama Indonesia), Instruksi Presidium Kabinet No.37/U/IN/6/1967 tentang pembatasan tempat bagi anak-anak WNA Tionghoa di sekolah Nasional (hal ini berimbas juga bagi anak-anak WNI keturunan di sekolah negeri), Instruksi Presiden No.14/1967 yang melarang perayaan, pesta agama dan adat-istiadat Tionghoa, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.455.2-360/1968 tentang penataan kelenteng di Indonesia, dan surat edaran Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika No.2/SE/Ditjen/PP6/K/1988 tentang larangan penerbitan dan pencetakan tulisan/iklan berbahasa Tionghoa. Hal ini berpengaruh pada setiap segi kehidupan, sosial, adat istiadat, budaya dan religi orang Tionghoa. Orang Tionghoa dipaksa untuk memeluk salah satu agama dari lima agama yang diakui pemerintah. Orang Tionghoa yang pada umumnya beragama Tridarma atau percaya pada tiga ajaran Budha, Konghucu dan Dao menjadi hanya boleh mengakui Budha saja. Memasuki zaman reformasi, dimulai pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, melalui Keputusan Presiden No.6/Tahun 2000, Gus Dur mencabut Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Peraturan pemerintah sebelumnya itu membatasi pelaksanaan budaya tradisional Tionghoa dalam lingkup perorangan atau internal keluarga, termasuk larangan untuk tampil mencolok di depan umum. Peraturan yang baru betul-betul memberikan kebebasan dan negara mengakui budaya tradisional Tionghoa sebagai bagian dari budaya
~ 107 ~
Indonesia, tidak lagi dianggap mengacu pada budaya RRC seperti isi dari INPRES 14/1967, sehingga etnis Tionghoa dapat melakukan ritual dan menjalankan tradisi budaya tradisionalnya secara terbuka. Selanjutnya pada masa pemerintahan Megawati, Tahun Baru Tionghoa (Imlek) dijadikan sebagai hari libur resmi di Indonesia, mengijinkan pertunjukkan barongsai dan mengakui dipergunakannya istilah resmi ‟Tionghoa‟ menggantikan ‟Cina‟ yang mengandung konotasi negatif. Terakhir, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Konghucu dikembalikan menjadi agama resmi. Tulisan ini bermaksud menunjukkan bagaimana orang Tionghoa di Bekasi menjalankan budaya dalam bentuk upacara Cengbeng sebagai bentuk strategi adaptasi pada masa Orde Baru mulai dari tahun 1967 sampai tahun 2000 di mana larangan pelaksanaan budaya Tionghoa dicabut. Hari Menyapu Kuburan (Hari Pembersihan Pusara) dan Festival Bersih Terang adalah terjemahan yang paling umum dalam mengartikan Qīngmíng. Untuk orang Tionghoa, hari ini merupakan suatu hari untuk mengingat dan menghormati nenek moyang. Setiap orang berdoa di depan nenek moyang, menyapu pusara dan bersembahyang dengan makanan, teh, arak, dupa, kertas sembahyang dan berbagai asesoris, sebagai persembahan kepada nenek moyang. Upacara ini adalah sangat penting bagi kebanyakan orang Tionghoa, terutama petani, dan biasanya dapat dilaksanakan 10 hari sebelum atau sesudah hari Qīngmíng. Pada waktu Qīngmíng, orang melakukan tamasya keluarga, hal populer lain yang melakukan adalah memainkan layang-layang (dalam berbagai bentuk binatang, atau karakter dari Opera Cina). Qingming (Cengbeng) merupakan suatu unit analisis budaya dalam unsur religi yang lebih luas. Malinowski dan banyak antropolog lainnya memandang religi bersifat adaptif karena dapat mengurangi kecemasan dan ketidakpastian yang menimpa manusia. Strategi adaptasi di satu sisi berusaha mempertahankan tradisi sebagai ikatan dengan leluhur, budaya, di sisi lain berbaur dengan masyarakat setempat. Keberadaan kelompok komunitas Cina di Bekasi dikatakan berbaur dengan penduduk yang bukan Cina. Orang Cina di Bekasi menempati wilayah-wilayah Pecinan yang disebut Proyek di mana tempat tersebut adalah pusat perdagangan, daerah sekitar Teluk Buyung, Teluk Angsan. Kelompok komunitas Cina di Bekasi ada yang masih mempertahankan kemurnian keluarga dalam arti kawin-mawin di kalangan kelompok komunitasnya serta tradisi dari negeri leluhurnya dan tetap menganut ajaran Konghucu; kelompok komunitas yang sudah mulai membaur dengan penduduk setempat, dikenal sebagai warga “Cina-
~ 108 ~
peranakan” menjadi pendukung budaya lokal disamping tradisi dari negeri leluhurnya; menganut agama seperti Kristen dan Islam dan warga yang dikenal sebagai “Cinaperanakan” hanya karena ciri-ciri fisiknya tetapi telah membaur secara total dengan warga penduduk setempat, memeluk agama Kriste maupun Islam, menggunakan nama yang tidak lagi menunjukkan identitas budaya negeri Adat kebiasaan tradisional Tionghoa yang bersifat magis-religius antara lain pemujaan terhadap leluhur yang dilakukan dengan cara sembahyang. Kegiatan sembahyang pada leluhur ini, mereka lakukan baik di rumah sendiri maupun di rumah-rumah sembahyang terutama di Klenteng. Kalau dilakukan di rumah sendiri biasanya keluarga tersebut memiliki meja sembahyang. Peralatan meja sembahyang yang mereka miliki bervariasi antara keluarga yang satu dengan yang lainnya. Bagi sebagian besar keluarga, pengaturan meja sembahyang sangat sederhana dimana hanya terdiri dari gambar leluhur, bokor abu tempat tancapan batang dupa dan batang dupa. Bagi keluarga Tionghoa yang kaya, meja sembahyang biasanya diatur sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat indah. Sembahyang Ceng Beng biasanya dilakukan di rumah-rumah. Pada hari itu, warga Tionghoa berziarah ke makam leluhur mereka dengan membawa batang dupa, lilin, kertas sembahyang dan sesajen. Bersamaan dengan itu pula makam leluhur dibersihkan. Tempat Pemakaman orang Tionghoa di Bekasi terletak di Teluk Buyung Bekasi Utara dan dikelola oleh Yayasan pancaran Tri Dharma. Pada tanggal 4 dan 5 April pagi-pagi sekali antara pukul 05.00, pengunjung sudah mulai mengunjungi makam untuk berziarah. Orang tua biasanya mengajarkan anak-anaknya untuk tetap menjalankan tradisi dan budaya khususnya dalam menjalankan upacara Cengbeng karena dengan menjalankan tradisi ini dapat menjaga hubungan dengan leluhur sekaligus menunjukkan bakti kepada orang tua.Upacara Cengbeng yang dilaksanakan setiap tanggal 4 dan 5 April setiap tahunnya adalah upacara berdoa kepada leluhur yang dilaksanakan di rumah-rumah dan di kuburan. Meskipun terdapat aturan yang melarang orang Tionghoa untuk menjalankan ibadah ataupun upacara, orang Tionghoa Bekasi tetap menjalankan tradisi Cengbeng karena upacara ini bertujuan untuk menghormati leluhur dan menunjukkan bakti. Orang tua terus mengajarkan kepada anaknya bagaimana menjaga dan melaksanakan upacara ini. Pelarangan tidak dapat membatasi orang untuk tetap menjalankan tradisi sehingga inilah yang dapat disebut sebagai strategi adaptasi untuk mempertahankan budaya.
~ 109 ~
Keluarga melakukan sembahyang CengBeng/ziarah kubur leluhurnya dengan meletakkan sesajian didepan makam/kubur. Orang Tionghoa biasanya mengadakan sembahyang kecil (tuang teh) setiap Che It 初一 (tanggal satu) dan Cap Go 十五 (tanggal 15) setiap bulannya dalam penanggalan Imlek di rumah. Selain sembahyang kecil, ada juga sembahyang besar (sembahyang leluhur) yang merupakan suatu kewajiban bagi yang masih memegang teguh ajaran leluhur. Sembahyang besar ini biasanya memakai san sheng 三牲 (menggunakan tiga hewan bernyawa). Karena itu sembahyang ini juga biasa disebut dengan sembahyang Sam Seng/sembahyang bernyawa.Sembahyang besar ini biasanya dilakukan setahun tiga kali, yaitu pada saat sembahyang Cengbeng (berziarah ke kuburan orang tua/saudara), sembahyang qi yue (bulan tujuh tanggal lima belas), atau yang biasa disebut juga sembahyang rebutan dan sembahyang sincia (Perayaan tahun baru Imlek). Sembahyang Cengbeng biasanya dilakukan pada pagi hari di makam/kuburan orang tua/saudara, sembahyang rebutan biasanya dilakukan pada siang hari di rumah dan sembahyang Sin Cia biasanya dilakukan pada pagi/siang hari dirumah, sedangkan pada malam harinya seluruh sanak saudara biasanya akan berkumpul bersama untuk makan malam sebelum tahun baru Imlek. Untuk sembahyang besar yang biasa dilakukan orang Tionghoa yang masih melaksanakannya, hidangan yang disajikan terdiri dari yang berkuah (basah) dan yang tidak berkuah (kering). Contoh makanan basah misalnya sup aneka jenis, sayuran aneka jenis dan sebagainya. Contoh makanan kering misalnya sate babi manis (tidak pakai lidi/tusukan), udang goreng, ayam goreng, mie goreng, sosis babi buatan sendiri, sunpia dan sebagainya. Untuk samseng 三牲 (tiga hewan bernyawa) seperti daging babi samcan, ikan dan ayam. Jumlah dan ragam masakannya bisa disesuaikan tergantung masing-masing, atau mengikuti kesukaan leluhurnya semasa hidup yang penting seimbang/semua ada. Buah-buahan harus ada dalam setiap sembahyang. Untuk buah-buahan, biasanya yang umum-umum saja asal tidak berduri, seperti pisang, jeruk, apel, pear, anggur, delima, srikaya, nanas (dipotong tangkai daunnya karena tajam) dan sebagainya sebanyak lima buah. Jenis buah-buahan lokal juga bisa dimasukan sebagai variasi. Selain itu juga ada teliao (manisan) misalnya tang ke (manisan buah), ang co (kurma mandarin), dan sebagainya sebanyak tiga jenis manisan. Bisa juga diganti permen/gula-gula atau manisan yang lain kalau tidak ada. Kue-kue yang biasa ada pada saat sembahyang besar leluhur di atas antara lain kue ku’ merah (berbentuk seperti tempurung kura-kura, melambangkan umur panjang) dan kue lapis (melambangkan rezeki yang berlapis-lapis), kue mangkok, kue pisang, kue bugis, kue bika
~ 110 ~
ambon dan sebagainya sebanyak tiga jenis kue. Untuk nasi sendiri biasanya disajikan di mangkuk (untuk leluhur laki-laki) dengan sumpitnya dan di piring (untuk leluhur perempuan). Setiap tanggal 5 April, menurut tradisi Tionghoa, adalah hari Cengbeng, di mana menurut tradisi Tionghoa, orang akan beramai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para leluhurnya untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan ini dilakukan dengan berbagai jenis, misalnya saja membersihkan kuburan, menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan gincua. Tradisi ini tetap bertahan meskipun sudah dimulai sejak zaman dinasti Tang. Perayaan tetap sama misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan.Yang hilang adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan. Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit telur. Permainan layanglayang dilakukan pada saat Chengbeng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang,kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. Sedangkan pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu. Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini disebut burung walet Zitui. Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming. Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming,untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyatpun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya. Di mana ada batu nisan yang tidak ada kertasnya itulah makam ayahnya. Membersihkan kuburan karena dengan tumbuhnya semak belukar dikawatirkan akarakarnya akan merusak tanah kuburan tersebut. Juga binatang-binatang akan bersarang di semak tersebut sehingga dapat merusak kuburan itu juga.Dikarenakan saat itu cuaca mulai menghangat, maka hari itu dianggap hari yang cocok untuk membersihkan kuburan. Selain cerita di atas, ada pula tradisi dimana jika orang yang merantau itu ketika pulang pada saat cheng beng, orang itu akan mengambil tanah tempat lahirnya dan menaruh di kantong merah. Ketika orang tersebut tiba lagi di tanah tempat ia merantau, ia akan menorehkan tanah tersebut ke alas kakinya sebagai perlambang bahwa ia tetap menginjak tanah leluhurnya.
~ 111 ~
3. PENUTUP Banyak orang Tionghoa masih melakukan tradisi secara turun menurun seperti Ceng Beng yang merupakan salah satu cara menghormati leluhur. Menghormati leluhur adalah dengan cara menjaga nama baik keluarga bahkan kalau bisa semakin mengharumkan nama keluarga dan juga mengatur pelimpahan jasa kepada sanak keluarga yang sudah meninggal. Walaupun tradisi Cina dilarang seperti tertulis pada Inpres Nomor 14 tahun 1967 nampaknya hal tersebut hanya sebatas pada public life (front stage) saja akan tetapi dalam private life ( back stage), orang Cina masih menjalankan tradisinya. Konsep front stage dan back stage ini dikemukakan oleh Goffman dalam teori dramaturgis dalam Presentation of Self in Everyday Life, secara ringkas dramaturgis merupakan pandangan tentang kehidupan sosial sebagai serentetan pertunjukan drama dalam sebuah pentas. Dalam Dramaturgi terdiri dari Front stage (panggung depan) dan Back Stage (panggung belakang). Front Stage yaitu bagian pertunjukan yang berfungsi mendefinisikan situasi penyaksi pertunjukan. Front stage dibagi menjadi dua bagian, setting yaitu pemandangan fisik yang harus ada jika sang aktor memainkan perannya, dan Front Personal yaitu berbagai macam perlengkapan sebagai pembahasan perasaan dari sang aktor. Front personal masih terbagi menjadi dua bagian, yaitu penampilan yang terdiri dari berbagai jenis barang yang mengenalkan status social akto dan gaya yang berarti mengenalkan peran macam apa yang dimainkan aktor dalam situasi tertentu. Back stage (panggung belakang) yaitu ruang di mana di situlah berjalan skenario pertunjukan masing-masing aktor. Orang Cina sudah melalui pengalamannya menjalankan tradisi pemujaan leluhur. Karena pemujaan terhadap leluhur dapat berpadu dalam keyakinan religi apapun karena inti dari pemujaan leluhur itulah yang menjadi dasar dalam praktik tindakan keyakinan religius orang Cina. DAFTAR PUSTAKA Erniwati , 2007 Asap Hio di Ranah Minang, Komunitas Tionghoa di Sumatera Barat, Yayasan Nabil Claudine Salmon, Denys Lombard, 2003, Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta Giok, Lan Tan, 1963, The Chinese of Sukabumi: A Study in Social and Cultural Accomodation Ithaca, New York : Cornell University Gondomono, 1996, Membanting Tulang, Menyembah Arwah,, Kehidupan Kekotaan Masyarakat Cina, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus --------------, 2002, Pelangi Cina Indonesia, Jakarta: PT. Intisari Mediatama Kwa, David, 2001,“Chiou-thau”: Ritus Pemurnian dan Inisiasi Menuju Kedewasaan
~ 112 ~
c:\mydocument\david\maret2001\chiou-thauceremony.rtf Keesing, Roger M. 1999,Antropologi Budaya Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Penerbit Erlangga,. Leonard, Blusse, 1988, Persekutuan Aneh Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (Terj) Jakarta : Penerbit Pustazet Perkasa Lohanda, Mona, 2009, Unsur Lokal Dalam Ritual Peranakan, Intisari Nancy B. Graves and Theodore D. Graves. Adaptive Strategies in Urban Migration. Annual Review of Anthropology, Vol. 3 (1974), pp. 117 – 151. Ramona Marotz Baden and Peggy Lester Colvin. Coping Strategies: A Rural Urban Comparison. Family Relation, Vol. 35, No. 2 (Apr 1986), pp. 281 – 288. Nio, Joe Lan, 1961, Peradaban Tionghoa Selajang Pandang, Djakarta : Keng po Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES,. Purnomo, Widjil, 1996, “Cina Benteng” Bekasi Hidup Bersahaja Suara Pembaruan Saifuddin, Achmad Fedyani. 2011. Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya. Institut Antropologi Indonesia, Tan, Thomas TW, 1989, Your Chinese Roots : The Overseas Chinese Story, Singapore : Times Books ---------------------1990, Chinese Dialect Groups : Traits and Trades, ORC Pte. Ltd, Singapore
~ 113 ~
~ 114 ~
REFORMASI PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN EKONOMI JEPANG PASCA PERANG DUNIA KE II Erni Puspitasari, Dini Fujiyanti, Indun Roosiani Univeritas Darma Persada
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan bahwa, Reformasi Pendidikan yang dilakukan Jepang memiliki keterkaitan dengan bangkitnya perekonomian Jepang pasca perang dunia ke II. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode litertur dan metode wawancara secara langsung. Hasil penelitian penelitian sementara bahwa, reformasi pendidikan yang dilakukan Jepang sejak Jaman Meiji yakni dengan pemberlakuan wajib belajar bagi semua warga Negara. Menjelang perang dunia ke II, paham ultranasionalis masuk ke institusi pendidikan. Pelajar dimobilissasi untuk perang. Perang Dunia ke II, ternyata membuat Jepang mengalami kekalahan dan kehancuran infrastruktur. Pasca perang Jepang berada di dalam penguasaan Amerika, sehingga semua kebijakan yang dilakukan Jepang harus berdasarkan arahan dan persetujuan Amerika, termasuk di dalamnya masalah pendidikan. Kebijakan yang diterapkan Amerika dalam pendidikan di Jepang adalah untuk melenyapkan paham ultrasainalis di sekolah sekolah Jepang. Sistim pendidikan dilakukan dengan mencontoh sistim pendidikan di Amerika. Kata kunci : Reformasi Pendidikan, Kebangkitan Ekonomi, Jepang
1. PENDAHULUAN Jepang merupakan salah satu Negara Asia Timur yang memiliki sejarah panjang dan dapat disejajarkan dengan negara-negara maju lainnya di dunia. Setelah terjadinya Restorasi Meiji, yakni adanya pengembalian kekuasaan kepada Kaisar yang menandai babak baru dalam kehidupan masyarakat Jepang, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah pada saat itu. Restorasi Meiji berarti kekuasaan kembali ke tangan Kaisar, setelah sebelumnya Jepang diperintah oleh seorang Shogun atau Jendral. Restorasi Meiji mengubah Jepang menjadi sebuah negara yang modern. Salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintahan baru Meiji adalah reformasi di bidang pendidikan. Pada jaman Meiji,setiap anak laki-laki dan perempuan yang telah berusia 6 tahun, wajib mendapatkan pendidikan dasar selama 6 tahun. Dalam rangka modernisasi pun Jepang mendatangkan tenaga ahli dari berbagai negara, terutama dari Inggris. Selain itu, Jepang juga banyak mengirimkan sarjana dan pegawai pemerintahan untuk belajar berbagai hal, mulai dari politik, ekonomi,teknologi hingga kesusastraan. Menjelang abad ke 20 Jepang telah menjadi negara industri modern, diantaranya berhasil membangun industri kain sutra dan kapal laut. Melalui slogannya yaitu Fukoku Kyouhei
~ 115 ~
(Negara Kaya Militer Kuat) Jepang berhasil membangun berbagai industri, termasuk industri militer. Kemenangan Jepang atas Perang Cina dan Rusia tidak terlepas dari berhasilnya industri militer dan penerapan strategi. Strategi yang dilakukan dan penguasaan teknologi tinggi dalam perang ini tidak terlepas dari peran pendidikan. Melalui pendidikan, Jepang mampu melakukan alih teknologi dengan sukses. Menjelang Perang Dunia II, kekuasaan politik berada di tangan militer, sehingga seluruh industri yang dibangun ditujukan untuk keperluan perang. Selain itu, banyak pegawai dan pelajar yang dimobilisasi untuk ikut wajib militer guna kepentingan bela negara. Keikutsertaan Jepang dalam Perang Dunia II diawali dengan majunya pasukan kekaisaran Jepang ke Cina pada tahun 1931-1945. Dalam masa peperangan ini Jepang berhasil mengalahkan Inggris dan Belanda. Secara beruntun kekuatan militer Jepang pun berhasil merambah ke wilayah Asia Tenggara. Kekuatan Jepang di Asia Tenggara tidak terlalu lama. Hal ini selain disebabkan adanya perlawanan dari daerah yang diduduki, kekuatan tentara Sekutu semakin kuat dan solid. Akhirnya setelah melalui berbagai pertempuran yang hebat, pasukan Jepang berhasil dikalahkan oleh Sekutu. Puncak kekalahan Jepang terjadi setelah dijatuhkannya bom di Nagasaki dan Hiroshima. Pasca kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Jepang segera bangkit dari keterpurukan dan melakukan reformasi di berbagai bidang, diantaranya bidang pendidikan. Reformasi di bidang pendidikan dilakukan dibawah pengawasan Amerika. Kontrol yang dilakukan Amerika diantaranya adalah menekan kemunculan kembali paham militerisme dan ultranasionalisme Jepang, karena hal ini dianggap unsur yang paling membahayakan dalam politik yang akan diterapkan Amerika. Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kebijakan yang diterapkan pemerintahan Jepang dalam rangka Reformasi Pendidikan yang sudah dimulai sejak jaman Meij, serta bagaimanakah peranan Amerika dalam Reformasi Pendidikan Jepang pasca Perang Dunia II. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan adanya berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintahan Jepang dalam bidang pendidikan sejak Restorasi Meiji. Selain itu penelitian ini juga ingin membuktikan bahwa terdapat berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan yang sudah dilakukan Amerika Serikat sebagai negarayang berhasil mengalahkan Jepang.
~ 116 ~
Penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan adanya kebutuhan informasi mengenai Reformasi Pendidikan yang dilakukan pemerintah Jepang pasca Perang Dunia II sehingga mampu membangkitkan perekonomian Jepang. Pertimbangan yang lain adalah belum adanya penelitian yang sifatnya komprehensif. Penelitian sebelumnya hanya bersifat parsial, yang sebagian besar hanya menyoroti masalah sistem pendidikan Jepang, perekonomian, industri atau militerisme saja. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi menurut Spradley dalam Sugiyono dinamakan sebagai situasi sosial yang terdiri dari tempat, pelaku dan aktifitas (Sugiyono, 2006). Tempat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Jepang, kemudian pelakunya adalah orang-orang Jepang dan aktifitas yang dilakukan adalah reformasi pendidikan. Sampel dalam penelitian kualitatif bukan responden, tetapi sebagai nara sumber, informan, teman dan guru dalam penelitian. Penentuan pengambilan sumber data yang diperoleh dari sampl dilakukan dengan cara purposive, yaitu memilih dengan berdasarkan pertimbangan dan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini sampel purposive dipilih dengan mempertimbangkan kemampuan nara sumber dalam hal sejarah Jepang, ekonomi Jepang dan masalah pendidikan, dengan tujuan agar dapat membimbing penulis dalam penelitian. Dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument penelitian adalah si peneliti itu sendiri, maka dalam hal ini yang menjadi instrumen penelitian adalah penulis sendiri. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis historis yang tujuannya mencari “benang merah” untuk mengintegrasikan lintas domain yang ada. Dengan ditemukannya benang merah dari hasil analisis domain tersebut, maka akan tercipta suatu konsep bangunan situasi sosial, obyek penelitian yang sebelumnya remang-remang, setelah dilakukan penelitian akan menjadi lebih jelas. Uji validitas dalam penelitian ini dilakukan dengan uji kredibilitas yang terdiri dari perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negative dan member check.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Pendidikan Jepang Pada Jaman Meiji Hingga Sebelum Perang Dunia II (18681945) Ketika terjadi Restorasi Meiji (1868) yang ditandainya dengan peralihan kekuasaan dari pemerintah keshogunan ke kelas samurai, maka penguasa baru segera mengadakan berbagai
~ 117 ~
kebijakan, diantaranya di bidang pendidikan. Tiga slogan yang didengungkan meliputi (1) civilisasi dan pencerahan, (2) memperkaya negara dan (3) memperkuat militer dan industri. Tidak lama setelah reformasi, Kementrian Pendidikan segera mengumpulkan informasi dan melakukan investigasi ke berbagai negara mengenai sistem sekolah. Maka pada tahun 1872 dibuatlah peraturan pendidikan yang mengambil model Amerika. Sistem sekolah yang ditetapkan terdiri dari 3 tingkatan yaitu Sekolah Dasar (elementary school), sekolah menengah (middle school) dan universitas. Sementara itu Perancis dijadikan model untuk system pusat administrasi pendidikan dan system wilayah sekolah. Dalam pelaksanaanya pendidikan ada yang dileselenggarakan di terakoya atau rumahrumah pribadi yang dipinjam untuk keperluan sekolah. Sementara itu bangunan sekolah baru banyak yang mencontoh gaya arsitektur dari barat. Bukan hanya itu saja, para pengajar pun banyak yang diambil dari bekas samurai yang tidak memiliki pekerjaan setelah restorasi Meiji atau para pendeta yang bisa membaca dan menulis. Dalam rangka percepatan modernisasi di bidang pendidikan, pemerintah banyak mempekerjakan guru-guru asing dengan gaji yang tinggi, mengirim para pelajar untuk belajar ke luar negeri, dan melakukan alih bahasa terhadap buku-buku teks barat. Pemerintah baru ini secara massiv melakukan perubahan yang besar demi mengejar ketertinggalan dengan negara barat. Namun dana yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan masih lebih kecil bila dibandingkan dengan keperluan militer. Percepatan pendidikan yang dilakukan pemerintah baru Meiji mendapatkan benturan dari berbagai pihak, terutama bagi orang tua yang tinggal di pedesaan. Mereka beranggapan bahwa modernisai justru akan merusak nilai-nilai tradisional. Oleh karenanya mereka masih enggan menyekolahkan anak-anak perempuan mereka, meskipun pemerintah Meiji sudah menetapkan adanya persamaan pendidikan dengan kaum pria. Partisipasi perempauan masih sangat rendah bila dibandingkan dengan laki-laki yakni hanya 15,1% (laki-laki 39,9%) pada tahun 1873, dan 21,9% (laki-laki 58,7%) pada tahun 1890 (Watanabe,2011) 2.2 Perluasan dan Diversifikasi Pendidikan Perluasan pendidikan juga dilakukan dalam bidang pemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan diangkatnya Mori Arinori sebagai menteri pendidikan setelah cabinet pada tahun 1885 sistem kabinet pemerintahan diumumkan. Mori Arinori adalah seorang negarawan dengan pengalaman diplomatic di dua negara, yakni Inggris dan Amerika. Salah satu kebijakan yang dilakukan Mori Arinori adalah menetapkan system pendidikan dengan
~ 118 ~
membaginya menjadi 4 yakni, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi. Universitas Tokyo kemudian dijadikan sebagai Universitas Kekaisaran yang diindentifikasikan sebagai lembaga yang mendidik para elit pemimpin dan teknokrat yang dibekali dengan pengetahuan barat dan berbagai ketrampilan. Para lulusan Sekolah Menengah dipersiapkan untuk memasuki universitas ini. Pada tahun 1893 pemerintah mengeluarkan kebijakan pendirian sekolah menengah kejuruan, dan pada tahun 1894 mengeluarkan peraturan mengenai sekolah magang yang ditujukan untuk memberikan pendidikan mengenai indutri dasar. Perluasan peraturan ini terus berjalan hingga ditetapkannya sekolah kejuruan
menjadi beberapa program
diantaranya sekolah menengah industri, sekolah menengah perdagangan, sekolah menengah pertanian,sekolah menengah kelautan dan sekolah menengah kejuruan ketrampilan praktis. Untuk tingkatan selanjutnya didirikan pula Sekolah Tinggi Kejuruan (Senmon Gakkou). Melihat apresiasi yang baik dari masyarakat dalam bidang pendidikan, maka pada tahun 1900 Pemerintah Meiji memutuskan untuk membebaskan biaya pendidikan dasar. Pada tahun 1907 wajib belajar diperpanjang dari 4 tahun menjadi 6 tahun, sehingga pada awal abad 20 angka buta huruf untuk kalangan dewasa telah menghilang. 2.3 Pendidikan yang Mengacu pada Nasionalisme dan Militerisme Kebijakan lain yang dilakukan oleh Mori Arinori adalah menjadikan pendidikan dasar menjadi sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap warga negara, Pada tingkatan ini ditanamkan ideologinasionali yang bertujuan menyelaraskan modernisasi dengan nilainilai spiritual dan moral nasional. Pada tahun 1890 dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Pendidikan yang memberikan penekanan pada perlunya perilaku yang didasarkan kepada nilai-nilai konghucu dan klasik Jepang yang meliputi kebajikan, patriotism dan kesetiaan pada Kaisar. UndangUndang ini tidak berubah sampai Perang Dunia II. Sebagai akibat dari resesi ekonomi dunia yang dimulai pada akhir tahun 1920, Jepang juga mengalami resesi ekonomi yang parah, sehingga memunculkan ide-ide anti demokrasi yang diperkuat dengan dukungan militer. Maka bertepatan dengan ekspansi Jepang ke Cina pada tahun 1937, miiterisme semakin menonjol yang diikuti dengan keterlibatan Jepang pada Perang Dunia II. Pendidikan militer pun mulai diperkuat dan muatan akademis pun tidak lepas dari pengontrolan pemerintah. Mahasiswa dimobilisasi untuk memproduksi bahan makanan
dan perlengkapan militer untuk kepentingan perang. Siswa sekolah
~ 119 ~
menengah dan sekolah tinggi mendapatkan pelatihan militer dan muatan buku-buku pelajaran sekolah disisipkan paham ultra nasionalis. Pada tahun 1941 menteri Pendidikan Jepang menyampaikan pidato yang menyerukan pemberantasan terhadap individualism dan liberalism dan mengembangkan standar moral nasional dengan penekanan pada semangat bela negara. Hal ini mendorong Jepang untuk terlibat dalam Perang Dunia II. Dalam peperangan ini, karena pihak lawan (sekutu) terlalu kuat bagi Jepang, maka Jepang mengalami kekalahan yang ditandai jatuhnya bom atom di kepualauan Hiroshima dan Nagasaki. 2.2 Pendidikan Jepang Sesudah Perang Dunia II (1945-1960) Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II secara otomatis berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Jepang. Pemerintrah Sekutu,yang diwakili oleh Amerika Serikat dengan segera mengambil alih kekuasaan dan melakukan berbagai kebijakan dan reformasi di berbagai bidang, diantaranya adalah bidang pendidikan. Sampai tahun 1945, yakni sebelum Jepang menyerah kepada Sekutu sistem pendidikan Jepang seluruhnya mengikuti kebijakan Pemerintah Meiji yang menitikberatkan pada sentralisasi kerajaan dan pemerintahan pusat dengan penekanan pada keseragaman individu dan orientasi kelompok. Namun setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, sistem tersebut diganti dengan model Amerika yang menekankan pada sistem desentralisasi dan pendidikan yang mengutamakan perkembangan individu. Sebenarnya, reformasi sesudah perang dimulai pada tahun 1946, dengan berdasarkan pada laporan Misi Pendidikan Amerika Serikat dibawah pimpinan Jendral Mac Arthur, komandan tertinggi Pemerintah Sekutu. Kekuatan militer Jepang dan seluruh organisasi yang mendukung perang dihapuskan, tidak terkecuali pendidikan sebagai agen yang paling efektif memelihara nasionalisme dalam pikiran pemuda juga turut dihapuskan. Sehubungan dengan masalah pendidikan, Mac Arthur juga mengeluarkan sejumlah perintah diantaranya adalah ujian untuk para guru dan pejabat pendidikan, penghapusan ideologi Shinto, penghapusan pendidikan moral sebelum perang (shuushin), sejarah Jepang dan geografi, dimana melalui ajaran inilah indoktrinasi ideologi dan militer dilekatkan bagi masyarakat Jepang. Reformasi Pendidikan Jepang yang lebih komprehensif didesign atas inisiatif Misi Amerika yang dipimpin oleh George Stoddard, dan secara revolusioner diterapkan ke dalam masyarakat Jepang. Laporan misi ini mencangkup 5 kategori yakni tujuan dan isi pendidikan, reformasi bahasa, pendidikan atministrasi pada tingkat dasar dan menengah,
~ 120 ~
pendidikan dan pengajaran guru, pendidikan dewasa dan pendidikan tinggi.(Shimabara, 1979:63) Pemerintah pendudukan di bawah Amerika mengeluarkan sejumlah instruksi untuk pemerintah Jepang di antaranya adalah menghapus semua pengaruh militer dan ultranasionalisme. Di sekolah-sekolah mata pelajaran budi pekerti, ilmu bumi dan sejarah Jepang untuk sementara ditangguhkan, karena ketiga mata pelajaran tersebut dipandang sangat mendukung ideologi perang masa lalu. Pejabat edukatif dan guru-guru yang telah melakukan peranan besar dalam mendukung ideologi tersebut diberhentikan. Lebih dari 120 ribu orang guru atau seperempat dari jumlah guru secara keseluruhan telah dibebastugaskan atau mengundurkan diri untuk menghindari ancaman pembersihan tersebut. Tindakantindakan ini dilakukan untuk mempermudah pemerintah pendudukan untuk melaksanakan program perubahan. 2.4 Pendidikan dan Misi Perubahan Amerika Terhadap Jepang Sebelum Jepang jatuh, negara-negara Sekutu di bawah tentara pendudukan Amerika telah membuat perjanjian Postdam pada tanggal 26 Juli 1945 yang diklarasikan pada tanggal 4 Agustus 1945. Deklarasi ini menyatakan bahwa pihak sekutu berjanji mengadakan serangkaian kebijakan yang menguntungkan bagi rakyat Jepang bilamana Jepang menyerah kepada Sekutu. Negara-negara Sekutu berjanji akan menegakkan kebebasan berbicara, beragama, berpikir dan menghormati hak-hak asasi manusia. Dasar pendidikan sebelum perang yang telah mengakar kuat pada masyarakat Jepang secara drastis telah berubah pada akhir paruh waktu tahun 1940an di bawah pengawasan Pemerintah Sekutu. Pemerintah Pendudukan kemudian mengundangkan 5 hukum baru mengenai pendidikan, yakni Hukum Dasar Pendidikan (1947), Hukum Dewan Sekolah (1948), Hukum Guru Publik (1949), Hukum Pendidikan Sosial (1949). (Shimahara,1979:63) Pemerintah pendudukan di bawah Amerika mengeluarkan sejumlah instruksi untuk pemerintah Jepang di antaranya adalah menghapus semua pengaruh militer dan ultranasionalisme. Di sekolah-sekolah mata pelajaran budi pekerti, ilmu bumi dan sejarah Jepang untuk sementara ditangguhkan, karena ketiga mata pelajaran tersebut dipandang sangat mendukung ideologi perang masa lalu. Pejabat edukatif dan guru-guru yang telah melakukan peranan besar dalam mendukung ideologi tersebut diberhentikan. Lebih dari 120 ribu orang guru atau seperempat dari jumlah guru secara keseluruhan telah dibebastugaskan atau mengundurkan diri untuk menghindari ancaman pembersihan tersebut. Tindakan-
~ 121 ~
tindakan ini dilakukan untuk mempermudah pemerintah pendudukan untuk melaksanakan program perubahan. Untuk memperoleh hasil yang konkrit dalam merombak pendidikan, maka pemerintah pendudukan mendatangkan 27 orang ahli pendidikan bangasa Amerika pada bulan Maret 1947, yang dikenal dengan sebutan “Misi Pendidikan Amerika Serikat ke Jepang”. Dalam kata pembukanya dinyatakan bahwa tujuan pemerintah pendudukan adalah membantu Jepang mengembangkan suatu pendidikan baru yang cocok dengan masyarakat demokrasi liberal. Filsafah pendidikan ini mengakui nilai dan martabat individu dan menyiapkan individu menjadi anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. 2.5 Prinsip Fundamental Dalam Reformasi Pendidikan Reformasi Pendidikan Amerika yang diterapkan terhadap Jepang bersifat menyeluruh dan menyangkut berbagai aspek kehidupan. Hal terpenting adalah adanya penghargaan terhadap hak-hak individual seperti kebebasan dan upaya untuk mencapai kebahagiaan. Semua itu dapat terwujudkan hanya melalui proses pendidikan. Sesuai dengan filosofi demokrasi sekolah adalah tempat untuk menggali setiap kebutuhan murid untuk mengembangkan bakat dan minat. Sekolah harus membuat program dan mengadapatasi system yang sesuai sehingga setiap murid mampu mengenal dirinya sebagai anggota masyarakat. Jika setiap individu mampu mengembangkan potensi fisik, mental dan emosional maka ia dapat menjadi manusia seutuhnya. Selain itu, nilai demokrasi juga mengajarkan bahwa setiap manusia adalah sama tanpa membedakan suku, jenis kelamin, ras dan warna kulit. Golongan minoritas yang berbeda ras, budaya dan politik tetap harus dihargai. Sekolah harus menjadi bagian yang integral dengan komunitas masyarakat. Pengalaman yang bersifat formal di sekolah harus berintegrasi dengan kurikulum sekolah yang diharapkan dapat menjadi pembelajaran pada saat mereka keluar dari sekolah. Semua pihak yang terlibat baik murid, guru, orang tua maupun administrator harus berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sekolah, sehingga pengalaman-pengalaman yang dibangun dalam kegiatan tersebut dapat menjadikan anak matang dan dewasa. 2.5.1 Reformasi Bidang Bahasa Perbaikan sistem pendidikan yang dianggap penting dan serius untuk menuju ke arah Negara Jepang yang lebih demokrasi adalah bidang bahasa, karena bahasa menyangkut seluruh aspek cabang pendidikan dari sekolah dasar sampai universitas. Peranan bahasa
~ 122 ~
sejak dini sangat membantu perkembangan anak selama usia sekolah dan berguna bagi proses kehidupannya kelak. Demikian halnya dengan bahasa Jepang, yang memiliki karakter fonetis yang tertulis berupa simbol-simbol. Dalam implementasinya, semua anak Jepang selama rentang waktu masa sekolah dasar, yakni 6 tahun, mereka diharuskan untuk memberikan setidaknya satu setengah dari waktu belajar mereka hanya untuk mengenal dan menulis huruf kanji. Selain itu, selama periode ini dibentuk perilaku dan kebiasaan yang sifatnya mendasar,serta kemampuan verbal dan matematis. Tidak hanya itu, anak-anak Jepang juga dihadapkan pada fenomena sosial dan alam yang lebih kompleks, serta dididik dengan fondasi untuk memahami realitas sosial dan politik demi menciptakan warga negara yang cerdas, melalui pengajaran bahasa tertulis. Anak-anak cukup mampu membaca dengan serius surat kabar, buku atau majalah populer yang membahas masalah-masalah yang sedang berkembang di luar jangkauan anak-anak pada umumnya. Efek dari semua itu adalah hampir sebagian besar anak-anak Jepang kurang memiliki kemampuan berbahasa dan sulit untuk mengembangkan pribadinya sebagai faktor yang penting dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis. Misi Pendidikan menilai, tidak seharusnya murid-murid sekolah dibebani dengan tugastugas yang sifatnya menulis dan membaca, namun jauh lebih penting bahwa mereka harus memiliki kemampuan lain yang dapat dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari, di luar kemampuan akademik di sekolahnya. Pendidikan Jepang kurang memperhatikan dan mengembangkan daya potensi yang dimiliki oleh setiap anak seperti menggali bakat, membebaskan mereka untuk bereksplorasi dan memberikan kesenangan sesuai dengan usia perkembangan anak. Sampai usia sekolah menengah pun, mereka terus menerus diharuskan untuk menguasai huruf kanji dan bahasa tertulis lainnya. Menanggapi hambatan di atas muncullah beberapa rekomendasi untuk mengadakan perbaikan terhadap sistem bahasa tulisan di Jepang, diantaranya adalah 1.
Mengurangi jumlah pengajaran huruf kanji
2.
Menghapuskan semua bentuk huruf kanji dan mengadopsi beberapa huruf kana
3.
Menghapuskan semua pemakaian huruf kanji dan kana, serta menggantikannya dengan huruf romaji Misi pendidikan juga memperhatikan beberapa fakta dan data berkenaan dengan sistem
pengajaran kanji di sekolah-sekolah Jepang dan memberikan rekomendasi agar bahasa dan tulisan kanji yang diajarkan di sekolah-sekolah dapat mengikuti perkembangan standar pemakaian bahasa yang digunakan oleh masyarakat umum. Dengan demikian, semakin
~ 123 ~
banyak masyarakat Jepang yang dapat memahami pengetahuan dan kekayaan budayanya dalam aspek filosofi, ilmu, teknologi dan lainnya. 2.5.2 Pengawasan Sistem Pendidikan Agar sistem desentralisasi pendidikan yang sesuai dengan rekomendasi misi Amerika dapat berjalan dengan baik, komite menempatkan beberapa staff ahli professional di tingkat nasional, prefektur dan wilayah lokal. Tingkat Nasional. Untuk tingkat nasional akan ditempatkan menteri pendidikan yang memiliki wewenang mengontrol system sekolah yang dibantu oleh technical adviser dan konsultan. Menteri Pendidikan harus seorang pendidik yang profesional dan qualifield dan masuk dalam anggota kabinet. Menteri Pendidikan beserta staffnya harus independenm bebas dari pengawasan atau dominasi Menteri Dalam Negeri atau pegawai pemerintahan lainnya. Adapun tugas dan kewajibannya adalah sebagai berikut: a. Sebagai wakil pemerintah dalam semua fungsi pendidikan dan menjalin hubungan dengan negara lain. b. Sebagai penasehat dalam masalah pendidikan untuk tingkat pusat dan parlemen. c. Memberikan rekomendasi kepada parlemen atau perdana menteri untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan ke seluruh negara. d. Memberikan laporan, publikasi, mengadakan survei, penelitian dan pelatihan leadership ke luar negeri. e. Menyediakan ahli atau konsultan yang memberikan pelayanan dalam semua bidang pendidikan
seperti kurikulum, metode pengajaran, materi pengajaran, konstruksi
bangunan sekolah, buku pelajaran dan pelaporan catatan keuangan, f. Memberikan sertifikasi guru yang berdasarkan pada standar pengajaran. g. Memberikan proposal anggaran pendidikan secara nasional kepada parlemen h. Mendistribusikan anggaran pendidikan yang disediakan oleh pemerintah pusat. Tingkat Prefektur. Untuk tingkat prefektur Misi Pendidikan merekomendasikan dibentuknya agen atau komite pendidikan yang dipilih secara independen tanpa ada kepentingan politik apapun. Secara umum, komite ini bertanggung jawab terhadap semua sekolah-sekolah umum di wilayah prefektur. Komite atau agen ini senantiasa berkomunikasi dan memberikan pelaporan ke tingkat Kementrian Pendidikan pada tingkat Nasional. Adapun tugas dan wewenangnya adalah sebagai berikut: a. Mewakili prefektur terhadap masalah-masalah pendidikan yang akan dikonsultasikan kepada Kementrian Pendidikan atau dengan prefektur lain.
~ 124 ~
b. Memberikan masukan mengenai masalah-masalah pendidikan kepada parlemen daerah atau pemerintahan prefektur. c. Memberikan laporan kepada gubernur dan dewan legislative mengenai masalah pendidikan di seluruh prefektur. d. Mengikuti latihan kepemimpinan ke luar negeri dan memberikan supervisi ke sekolahsekolah, e. Menyelenggarakan pertemuan professional atau pelatihan bagi guru-guru untuk meningkatkan teknik pengajaran. f. Merekomendasikan buku teks pelajaran yang akan digunakan di sekolah-sekolah prefektur g. Menegakkan dan mempertahankan standar minimum untuk sekolah-sekolah umum di prefektur. h. Mengakreditasi sekolah atau institusi pendidikan pada tingkatan dasar dan menengah sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan i. Menetapkan standar pendidikan yang sama di setiap prefektur. Tingkat Lokal a. Bertindak sebagai pejabat eksekutif di lembaga pendidikan, b. Mengelola atau mengarahkan program pendidikan di kota atau desa sesuai dengan hukum prefektur dan di bawah kebijakan umum yang diadopsi oleh lembaga pendidikan. c. Mewakili pemerintah kota pada semua masalah-masalah pendidikan dengan menjalin hubungan dengan kota atau biro pendidikan prefektur. d. Menyerahkan rekomendasi mengenai anggaran keuangan sekolah tingkat lokal kepada pemerintah. e. Mengawasi peraturan sekolah, penggunaan bantuan dan sistem pengajaran pada lembaga pendidikan serta menyeleksi buku-buku pelajaran atau materi bahan ajar sesuai rekomendasi Misi Pendidikan. f. Mensurvey area dan menentukan lokasi untuk pembangunan gedung sekolah g. Mendorong organisai guru dan orang tua murid untuk mempromosikan kesejahteraan anak-anak, mendorong belajar di rumah, di sekolah dan menjalin hubungan kerjasama dengan komunitas demi meningkatkan program pendidikan 2.5.3 Bentuk dan Struktur Sekolah Ada beberapa hal yang harus dibenahi dalam bentuk dan struktur sekolah di Jepang sesuai dengan pendidikan demokratif, diantaranya adalah:
~ 125 ~
1. Sekolah Dasar di Jepang terlalu formal. Sebagian besar waktu di sekolah banyak digunakan untuk mengingat informasi dan materi pelajaran tertulis yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan anak-anak. Waktu dan energi sepenuhnya hanya diperuntukkan untuk persiapan ujian masuk sekolah. Karena tidak semua murid memiliki kemampuan akademik yang memadai, sehingga banyak anak-anak yang menolak melanjutkan pendidikan selanjutnya. 2. Sistem pendidikan sekolah yang diterapkan terlalu kaku, sulit dan tidak fleksibel. Tingkat persaingan yang cukup tinggi dan kompetitf untuk mencapai jenjang sekolah selanjutnya sudah selayaknya dihapuskan. Sistem seperti ini cenderung menciptakan stratifikasi sosial ke arah kelas superior dan inferior yang hanya mengukur kedudukan seseorang berdasarkan tingkat intelektual semata. 3. Program pendidikan sekolah dasar 6 tahun harus diikuti setiap anak, bebas biaya dan tidak dibebani oleh mata pelajaran yang terlalu berat. Program pendidikan ini disiapkan untuk anak-anak supaya lebih sehat, aktif dan semangat untuk menggali kemampuan potensi diri untuk kehidupan sosialnya kelak. 4. Misi Pendidikan meyakini secara mental laki-laki dan perempuan adalah sama. Oleh karena itu mereka selayaknya mendapatkan pendidikan yang sama, termasuk tingkat pendidikan menengah. Pada tingkatan pendidikan ini mereka dibebaskan dari biaya pendidikan. Misi Pendidikan merekomendasikan bahwa wajib pendidikan berlaku selama tiga tahun pertama. 5. Pendidikan Sekolah Menengah harus disesuaikan dengan kebutuhan individu semua anak. Mereka harus diberikan kesempatan untuk mengembangkan seluruh bakat dan potensi yang bermanfaat untuk kehidupannya. 6. Bantuan konseling harus tersedia di setiap sekolah untuk membantu mempersiapkan murid yang ingin bekerja. 7. Pendidikan Sekolah Menengah Atas pun harus bersifat terbuka dan bebas biaya. Tingkatan sekolah inipun juga harus memberikan pendidikan yang sama untuk anak lakilaki dan perempuan. Kesempatan yang sama juga diberikan kepada anak-anak yang tidak mampu, sehingga mereka secara bersama-sama mampu mengembangkan kepribadiannya dan berpartisipasi ke dalam berbagai kegiatan. 8. Pelatihan dan kegiatan khusus harus tersedia bagi murid-murid yang cacat fisik dan mental untuk tingkatan sekolah dasar, menengah dan menengah atas. Sekolah khusus harus tersedia untuk anak-anak tuna rungu dan tuna netra.
~ 126 ~
9. Seluruh guru-guru di wilayah Jepang harus didukung oleh organisai profesi yang bersifat nasional. Organisasi ini diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan yang sesuai dengan profesi mereka. Melalui organisasi ini mereka dapat memperjuangkan masalah kesejahteraan guru. Meskipun organisasi ini melakukan kerjasama dengan institusi atau organisasi lain yang memiliki tujuan sama di bidang pendidikan, namun kedudukan organisasi guru tetap bersifat independen, memiliki kebebasan dalam berpikir dan berbicara.
3. KESIMPULAN DAN SARAN Pasca Reformasi Meiji dan Perang Dunia II telah membawa dampak perubahan yang cukup besar dalam bidang pendidikan Jepang. Hal yang sangat jelas terlihat adanya perbedaan pandangan dan ideologi pendidikan pada jaman Meiji dan sesudah Perang Dunia II. Hal ini didasarkan pada orientasi kepentingan penguasa pada masa tersebut. Bila pada jaman Meiji pendidikan bersifat sentralisasi yang mengacu pada kebijakan pemerintahan pusat, maka pada masa sesudah Perang Dunia II pendidikan lebih bersifat desentralisasi, dimana setiap daerah diberi kebebasan untuk mengelola sistem pendidikan,sehingga sifat pendidikan pada jaman ini lebih bersifat liberal dan sangat menghargai kepentingan dan hak-hak individu. Dua perbedaan system pendidikan yang diberlakukan di Jepang ini, memberikan dampak kemajuan yang luar biasa pada masyarakat Jepang, penguasaan teknologi dan kemajuan di bidang industri yang cukup pesat seluruhnya tidak terlepas dari peran pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Amano, Ikuo, Education and Examination in Modern Japan, Tokyo: University of Tokyo Press, 1983 Beauchamp, Edward R, The Development of Japanese Educational Policy, 1945-85 (Jurnal History of Education Quarterly,Vol.27, No.3 (Autumn, 1987) Chang, Irish terj. The Rape of Nanking The Forgotten Holocoust of World War II (Jakarta: Narasi, 2009) Cummings, William K, Pendidikan dan Kualitas Manusia di Jepang. Gajah Mada University Press, 1984 Dewey Jhon. Experience and Education, Indiana: Kappa Delta,1998 Toshimichi, Gary h. Education Reform Mission in Postwar Japan, Tokyo: University of Tokyo, 1993 Murata, Shoji, Technology Education in Japan (Jurnal of Technology Education Vol.5. No 1 Fall 1993) Syah, Muhibin,Psikologi Pendidiakan dengan Pendekatan Baru ( Bandung: Remaja Rosda Karya, 2008)
~ 127 ~
Osaka Shoseki ,Terj. Ed.I Ketut Surajaya,Chuugaku Shakai Rekishiteki Bunya , Depok: UI Press 2001 Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Prenada Media Grup, 2007 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R&D Alfabeta, Jakarta: Serambi Ilmu, 2006 Surajaya Ketut, Pengantar Sejarah Jepang II, Depok: UI Press, 2001 Suryana, Metodologi Penelitian. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010 Wals, Chaterine, Education Reform and Social Change, New York: Lawrence Erlbaun Associates, Inc, 2009 Yamakawa Shuppansha, Ryuugaseino Tame no Nihonshi, Tokyo: Tokyo University of Foreign Studies, 1990 Shimabara, Nobuo. K, Adaptation and Educationin Japan, USA: Praeger Publisher, 1979 Watanabe, Yoko, Women, Work and Educational in Modern Japan an Observation of the Career Life and Social Role of Yayoi Yoshioka, Kyoto:Kyoto University ( Paper ) 2011
~ 128 ~
PERANAN SAIGO TAKAMORI DALAM PEMBERONTAKAN KAUM SAMURAI Yessy Harun Sastra Jepang – Fakultas Sastra Abstrak Saigo Takamori, salah satu tokoh penting dalam menggulingkan keshogunan tokugawa. Penghapusan sistem kelas sosial oleh pemerintah Meiji menimbulkan rasa kekecewaan pada Saigo Takamori. peranan Saigo Takamori dalam pemberontakan kaum samurai sangat penting. Saigo tidak setuju atas kebijakan itu karena dengan adanya kebijakan tersebut maka hak-hak istimewa sebagai samurai pun dihapuskan. Perang yang dipimpin oleh Saigo Takamori ini merupakan perang terbesar dan terakhir dari golongan bekas samurai. 1. PENDAHULUAN Jepang adalah negara dengan bentuk pemerintahan kekaisaran yang berarti secara teoritis, pemegang kekuasaan tertinggi di Jepang adalah Kaisar. Namun dalam praktiknya yang memiliki peran dan kekuatan besar dalam menjalankan roda pemerintahan adalah panglima militer yang disebut dengan Shogun. Kaisar dilain pihak memiliki peran terbatas dalam aktivitas sosial politik sehingga ia kini hanya menjadi semacam simbol. Masing-masing panglima memiliki pasukannya sendiri-sendiri dan tidak jarang timbul perang antar panglima untuk menjadi Shogun yang diakui oleh Kaisar. Terhitung sejak tahun 1603, posisi Shogun di pegang oleh dinasti Tokugawa. Setelah berakhirnya pemerintahan Keshogunan Tokugawa dan pemerintahan kembali ke tangan Tenno, maka dimulailah usaha-usaha untuk memperbaiki sistem feodal. Pemerintah baru mengambil alih pemerintahan dan kekuasaan atas tanah dan rakyat yang pada waktu itu dibawah kekuasaan daimyo dan penghapusan sistem feodal. Perbedaan antara samurai, petani, pengrajin, dan pedagang dihapuskan dan sistem pembayaran pajak kebendaan diganti dengan pembayaran dalam bentuk uang. Saigo Takamori, salah satu tokoh penting dalam menggulingkan keshogunan tokugawa, lahir ditengah-tengah masyarakat feodal yang mulai beralih ke masyarakat modern. Penghapusan sistem kelas sosial oleh pemerintah Meiji menimbulkan rasa kekecewaan pada Saigo Takamori. Kekecewaan Saigo Takamori terhadap pemerintahan Meiji menimbulkan pemberontakan yang dikenal dengan Perang Barat Daya. Saigo yang dikenal sebagai seorang samurai yang memiliki dedikasi tinggi pada atasannya dan ajaran yang dianutnya, menimbulkan permasalahan karena pemberontakan yang dipimpinnya. Hal ini menimbulkan
~ 129 ~
pertanyaan mengapa seorang tokoh penting dalam Restorasi Meiji mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan. Jepang merupakan salah satu negara yang saat ini berkembang dengan pesat. Dari segi ekonomi maupun budaya Jepang seolah menjadi cermin bagi negara-negara di Asia. Salah satu karakteristik yang menonjol dari bangsa nya adalah semangat pantang menyerah, sangat menjaga kehormatan dan harga diri. Karakteristik ini kerapkali disamakan dengan satu golongan istimewa yang terbentuk beratus tahun lalu di Jepang yaitu Samurai. Samurai, dalam hirarki masyarakat Jepang adalah kasta prajurit (warrior) yang mulai eksis sekitar abad ke dua belas. Keberadaan kaum samurai semakin menguat pasca pertempuran dua klan besar, Taira dan Minamoto yang merupakan klan terkuat masa itu. Samurai sebuah golongan istimewa dalam hiraki masyarakat Jepang yang berkedudukan sebagai kaum militer dan terbentuk sejak zaman Heian. Keberadaan mereka banyak berpengaruh bagi perputaran roda pemerintahan Jepang dari masa kuno hingga Jepang mencapai modernisasi. Kedudukan dan fungsi Samurai pada masa awal Restorasi Meiji, hamper tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan Tokugawa, dimana golongan Samurai mendapatkan tempat dan perlakuan yang istimewa dari pemerintah. Tugas mereka tidak hanya sebagai prajurit militer saja, akan tetapi juga merambah ke bidang lain, bahkan ada yang sampai menduduki jabatan pemerintahan. Sayangnya kehadiran mereka tidak dibutuhkan lagi ketika Jepang memulai modernisasinya pada Restorasi Meiji. Padahal peran golongan Samurai dalam keberhasilan Restorasi, cukup penting, mereka menjadi penggerak dan pelaku utama dalam perubahan yang terjadi di Jepang. Pemberontakan Samurai terjadi akibat ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintahan Meiji yaitu penghapusan golongan Samurai dari strata masyarakat Jepang serta perubahan kekuasaan
Daimyo
yang
mengakibatkan
sebagaian
besar
Samurai
kehilangan
pencahariannya, serta terancam eksistensinya. Pada saat itu Samurai-samurai konservatif dibawah pimpinan Saigo Takamori mengundurkan diri dari pemerintahan kemudian menyusun sebuah rencana pemberontakan.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif dengan menggunakan metode Historis yaitu menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Goottschalk, 1986 ; 32). Adapun penulisannya menggunakan studi literatur, yaitu mencari dan menelaah sum ber-sumber yang relevan dengan tema.
~ 130 ~
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan kerangka teoritis yang memfokuskan pada penelitian peranan saigo takamori dalam pemberontakan terakhir pada masa pemerintahan Meiji. Penjelasan mengenai hal tersebut akan mencakupi dari berbagai segi seperti yang terdapat dalam masalah penelitian. Dalam hal ini penelitian berlandaskan teori konspirasi yang berusaha menjelaskan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, tragedi kemanusiaan serta sejarah. Adapun pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Historis yaitu menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Adapun penulisannya menggunakan studi literatur, yaitu mencari dan menelaah sumber-sumber yang relevan dengan tema. 3.1 Pemberontakan Barat Daya Dan Berakhirnya Zaman Tokugawa Selama lebih dari dua ratus tahun menutup negara, Jepang dipimpin oleh keturunan keluarga Tokugawa. Politik pemerintah bakufu yang berpusat pada shogun berhasil membentuk identitas nasional Jepang dan mencegah Jepang dari perang-perang besar. Selain itu, ajaran Budha dan Konfusianisme dikembangkan ke seluruh lapisan masyarakat. Konfusianisme yang dikembangkan di Jepang sedikit berbeda dari Konfusianisme China karena Konfusianisme di Jepang dikembangkan untuk meperkuat posisi shogun dalam masyarakat militer maka ciri khasnya adalah sifat nasionalisnya. Pada masa itu, Konfusianisme adalah ajaran pokok yang memperkuat nasionalisme Jepang. Salah satu penyebab kuat berakhirnya zaman Tokugawa dimulai ketika pada tahun 1853, empat kapal perang Amerika yang dikenal dengan nama Kurofune berlabuh di teluk Edo. Kapal ini dipimpin oleh Matthew C. Perry. Dengan meriam yang dihadapkan ke darat, Perry menyampaikan surat dari presiden Amerika agar bakufu membuka pelabuhan Jepang bagi kapal Amerika sebagai tempat berlabuh dan berdagang. Ancaman Perry membuat bakufu berjanji akan memberikan jawaban atas permintaan Amerika pada tahun berikutnya. Ditahun yang sama pada bulan Agustus, Angkatan Laut Rusia berlabuh di Nagasaki dibawah pimpinan Laksama Putyatin. Tujuan dari Angkatan Laut Rusia ini sama seperti apa yang diinginkan Amerika. Mereka ingin agar Jepang membuka pelabuhannya untuk persinggahan dan perdagangan. Namun, bakufu tidak memberikan jawaban atas permintaan ini dan akhirnya Putyatin kembali ke negerinya.
~ 131 ~
Setahun kemudian, Perry berlabuh lagi di Teluk Edo dengan tujuh kapal perang. Perry mendesak bakufu untuk mengizinkan kapal Amerika berlabuh dan mengadakan perdagangan di pelabuhan Jepang. Menghadapi desakan tersebut, bakufu tidak dapat berbuat banyak dan membuka pelabuhannya. Bakufu kemudian menandatangani “Perjanjian Persahabatan Amerika-Jepang” (Nichibei Washin Joyaku) yang isinya diizinkannya kapalkapal Amerika berlabuh didua pelabuhan yakni Shimoda dan Hakodate. Tujuan dari pembukaan kedua pelabuhan ini adalah untuk mengisi bahan bakar, air, dan makanan. Dengan ditandatanginya perjanjian ini, makan berakhirlah masa isolasi di Jepang. Dihadapkan pada tekanan dari negara asing, pihak istana dan pendukungnya terlibat dalam suatu perdebatan, apakah akan membuka negaranya atau mengusir orang-orang asing tersebut. Dukungan untuk memuliakan status kerajaan dan kelompok yang ingin mengusir orang-orang asing mendukung gerakan yang dikenal sebagai Sonno Joi. Kejadian ini menjadi ancaman terbesar bagi shogun karena sejak tahun 1854 telah menandatangani perjanjian dengan kekuatan Barat dan membuka pelabuhan untuk kepentingan perdagangan luar negeri. Akan tetapi setelah daimyo Satsuma terlibat dalam pertempuran dengan armada Inggris di Kagoshima dan daimyo Choshu terlibat pertempuran dengan kekuatan asing di Shimonoseki, mereka merasa bahwa Jepang sangat tertinggal dalam bidang militer dari Barat. Kedua kelompok daimyo ini akhirnya mengubah pendirian dan memutuskan mendukung untuk membuka keterasingan Jepang. Choshu dan Satsuma akhirnya bersatu dalam menggulingkan shogun dari kekuasaannya. Mereka memperkuat kekuatan militerya dalam rangka menjatuhkan kekuasaaan Tokugawa. 3.2 Latar Belakang Pemberontakan Barat Daya Rasa dari bekas kelas samurai menimbulkan pemberontakan-pemberontakan, diantaranya pemberontakan Saga ( Saga no Ran ) 1876 di Kyushu yang dipimpin oleh Eto Shinpei, pemberontakan Hagi ( Hagi no Ran ) yang dipimpin oleh Hyouku Taisuke dan Maehara. Kemudian pemberontakan yang terjadi pada tahun 1876 di Kumamoto, pemberontakan Jimpuren (Jimpuren no Ran) yang dipimpin oleh Otagura Tomo, dan pemberontakan yang terjadi di Fukuoka disebut dengan pemberontakan Akizuki (Akizuki no Ran) yang dipimpin oleh Imamura Hyaku Kachiro. Satu-satunya
pemberontakan
golongan
bekas
samurai
menggoncangkan Jepang adalah pemberontakan bekas
yang
samurai
terbesar di
dan
Kagoshima.
Pemberontakan di Kagoshima ini disebut dengan Pemberontakan Barat Daya (Seinan
~ 132 ~
Sensou). Pemberontakan ini dipimpin oleh Saigo Takamori dan merupakan pemberontakan bekas samurai yang terakhir. Yang melatar belakangi pemberontakan adalah adanya pertikaian sengit dalam pemerintahan mengenai kebijakan politik luar negeri terhadap. Korea yang disebut dengan Seikan-ron. Dalam masalah Korea ini, pemerintah oligarki pernah mengirimkan armadanya ke Korea, dengan jalan meniru cara-cara yang dilakukan oleh Komodor Perry pada tahun 1853. Namun pemerintah Korea menolak dengan tegas pembukaan yang dilakukan oleh Jepang. Dibalik pembukaan dengan tujuan dagang dengan Korea, tujuan utama pengiriman armada ini adalah untuk menjadikan Korea sebagai daerah jajahan, karena letak geografis negara tersebut sangat strategis untuk melakukan perdagangan dengan negara asing dan sangat dekat dengan Jepang. Selain itu, Korea juga akan dijadikan sebagai penyuplai beras untuk persediaan dalam negeri Jepang. Dengan alasan tersebut maka dikirimkanlah armada Jepang ke Korea. Ketika Korea menolak armada ini, Jepang mendapat penolakan yang tidak sopan dan tidak terhormat oleh Korea. Hal ini dianggap oleh Jepang sebagai penghinaan terutama oleh golongan samurai. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk mengirimkan armada yang lebih besar dan menunjuk Saigo Takamori untuk memimpin armada tersebut. Keputusan ini ditentang oleh sekelompok menteri yang terdiri dari Iwakura Tomomi (1825-1833), Okubo Toshimichi ( 1831-1878), Kido Koin (1833-1877) dan Ito Hirobumi (1814-1909) yang baru pulang dari negara-negara Eropa dan Amerika. Menteri-menteri yang menentang pengiriman armada ini berpendapat bahwa hal-hal penting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah membangun suatu pemerintahan yang kuat dan membangun ekonomi nasional secepat mungkin agar dapat bersaing dengan kekuatan Barat. Dengan kata lain agar Jepang membangun negara yang kuat dibawah Kaisar dengan pusat pemerintahan yang kuat dan kekuatan ekonomi yang kuat pula. Dengan demikian pemerintah tidak akan menguras tenaganya sendiri dengan melibatkan dirinya ke dalam pertentangan-pertentangan dengan negara-negara asing. Kelompok yang mendukung pengiriman armada ke Korea adalah Saigo Takamori, Sanjo Sanetomi (1837-1891), Itagaki Taisuke (1837-1919), Eto Shimpei (1835-1874), Soejima Tanomi (1828-1905), Yamagata Aritomo (1838-1922), Oki Takato (1828-1899), dan Okuma Shigenobu (1838-1922). Setelah dibatalkannya keputusan pengiriman armada ke Korea oleh pemerintah, maka Saigo Takamori dan kawan-kawannya meletakkan jabatan dari pemerintahan kemudian Saigo kembali ke tanah kelahirannya di Kagoshima.
~ 133 ~
3.3 Peranan Saigo Takamori dalam Pemberontakan Terakhir Kaum Samurai tahun 1877 Timbulnya perang di Barat Daya adalah sebagai akibat dari rasa tidak puas Saigo terhadap tindakan yang diambil pemerintah yaitu membatalkan pengiriman armada Jepang ke Korea. Dan adanya kebijakan wajib militer khususnya bagi kaum petani serta penghapusan sistem gaji bagi golongan bekas samurai (shizoku). Saigo tidak setuju atas kebijakan itu karena dengan adanya kebijakan tersebut maka hak-hak istimewa sebagai samurai pun dihapuskan. Setelah adanya penghapusan sistem kelas sosial shinokosho pemerintah mengganti kelas sosial. Golongan bekas samurai diganti dengan shizoku, golongan bangsawan atau bekas daimyo diganti dengan kizoku, dan golongan rakyat biasa yang terdiri dari petani, pedagang, pengrajin diganti menjadi heimin. Setelah Saigo Takamori keluar dari pemerintahan, Saigo kembali ke Kagoshima dan mendirikan sekolah swasta yang dirancang untuk para prajurit muda yang ikut mengundurkan diri bersama Saigo pada tahun 1873. Sekolah ini menitikberatkan pendidikannya pada pengajaran-pengajaran di bidang kemiliteran tradisional dengan dasardasar semangat bushido. Disamping itu Saigo juga mempunyai tujuan untuk menyaingi pembentukan militer baru yang didasarkan atas wajib militer yang berbasiskan kaum tani di bawah pimpinan Yamagata Aritomo dengan memasukkan teori-teori militer Barat. Saigo beranggapan dengan dibentuknya sistem militer baru dimasukannya teori militer Barat, merupakan ancaman bagi golongan bekas samurai yang dianggap sebagai tiang negara dalam bidang pertahanan sebelum Restorasi Meiji. Satu-satunya
pemberontakan
golongan
bekas
samurai
menggoncangkan Jepang adalah pemberontakan bekas
yang
samurai
terbesar di
dan
Kagoshima.
Pemberontakan di Kagoshima ini disebut dengan Pemberontakan Barat Daya (Seinan Sensou). Pemberontakan ini dipimpin oleh Saigo Takamori dan merupakan pemberontakan bekas samurai yang terakhir. Dimulai pada awal Januari 1877 pemerintah Tokyo mengirimkan kapal Sekiryumaru untuk memindahkan mesiu dari Satsuma. Namun kabar itu terdengar oleh para samurai klan Satsuma dan membuat rencana untuk menyerang gudang senjata tanpa sepengetahuan Saigo. Pada malam tanggal 30 Januari murid-murid dari sekolah privat Saigo menyerang gudang mesiu Somuta yang berada di Kagoshima. Mereka menangkap petugas yang sedang menjaga gudang tersebut dan memusnahkan kurang lebih 6000 amunisi. Penyerangan tersebut tidak
~ 134 ~
berhenti sampai disitu. Keesokan harinya mereka kembali menyerang gudang senjata milik pemerintah pusat dan galangan kapal yang berada di Iso dan merampas senjata serta amunisi. Setelah kejadian tersebut berakhir, kekacauan selanjutnya yang terjadi di Kagoshima adalah ditemukannya mata-mata yang bekerja untuk departemen kepolisian nasional. Nakahara Hisao pemimpin dari aksi tersebut dan 21 polisi yang sedang cuti dari tugasnya diperintahkan untuk membunuh Saigo. Kemudian, salah seorang samurai dari Kagoshima juga diperintahkan untuk membunuh Saigo. Hal ini bermula ketika Kawaji, seseorang yang memegang jabatan penting dalam kepolisian di Tokyo, memberikan cuti pada beberapa polisi. Mereka diperintahkan untuk menuju Kagoshima, dengan tujuan menghasut murid-murid sekolah privat agar berbalik memihak pada pemerintah. Jika ada dua kelompok yang bertentangan dan menimbulkan kericuhan dari hal ini, mereka akan memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menghubungi pemerintah yang berada di Tokyo dan segera setelah itu pemerintah akan mengirimkan pasukannya untuk menyerang murid murid dari sekolah privat milik Saigo. Pengakuan yang berbeda datang dari Samurai Kagoshima. Samurai yang tidak diketahui namanya tersebut mengatakan bahwa ia menerima perintah untuk membunuh Saigo dari Okubo, bukan dari pejabat kepolisian. Pada tanggal 20 Februari, pemerintah Meiji mengeluarkan pemberitahuan sebagai berikut : “as the insurgents of Satsuma have forced their way into the Kumamoto ken, unlawfully bearing arms against the Imperial authority, his majesty the Mikado has ordered an expedition to be sent to chastise them, of which his imperial highness prince Arisugawa no Miya has been appointed commander in chief. The above having been telegraphed from the imperial palace, Kyoto, is herebly made known. As many of the insurgents may make their escape to various parts of the empire, strict orders have been given to the authorities of the fu and ken, to take every precaution to have them arrested at once.” Karena para pemberontak Satsuma telah memaksa masuk ke wilayah Kumamoto, melakukan perlawanan terhadap pemerintah, Mikado memerintahkan untuk mengejar mereka, yang dimana Pangeran Arisugawa no Miya ditunjuk untuk menjadi pemimpin. Hal tersebut ditelegraf dari Istana Kaisar di Kyoto. Ada kemungkinan besar bahwa para pemberontak tersebut akan melarikan diri ke daerah lain, perintah tegas telah diberikan kepada penguasa Fu dan Ken untuk menangkap mereka ditempat.
~ 135 ~
Dengan dikeluarkannya pemberitahuan tersebut maka pemerintah mengumumkan bahwa perang dengan pasukan yang dipimpin oleh Saigo pun dimulai. Tanggal 7 Februari, pasukan Saigo menuju Kagoshima. Lalu tiga hari setelah itu, sejumlah pasukan yang akan bertempur bersama Saigo berkumpul. Barisan paling depan pasukan meninggalkan kota pada tanggal 14 Februari. Lalu pada tanggal 15 Februari, divisi pertama dari pasukan inti yang berjumlah 4000 orang meninggalkan kota dibawah komando Shinowara, salah satu pengikut dan orang kepercayaan Saigo. Divisi yang lain meninggalkan kota pada 16 Februari dan setelah itu disambung oleh barisan paling belakang. Lalu pada pagi hari 17 Februari Saigo juga meninggalkan kota ditemani oleh 50 orang pilihannya. Total pasukan Saigo berjumlah 14000 orang dimana 12000 adalah pasukan jalan kaki, dan terbagi atas 6 divisi. Saigo hanya memperbolehkan murid murid dari sekolah privat miliknya yang ikut dalam pemberontakan ini. Padahal, banyak orang-orang yang dengan secara sukarela ingin ikut dalam pemberontakan namun ditolak oleh Saigo. Bahkan saigo juga menolak samurai dari Hiuga yang telah menyiapkan diri untuk bergabung dengan pasukan Saigo. Pasukan terbanyak diambil dari sekolah swasta dan merupakan pasukan inti dari pemberontakan ini. Sekolah swasta ini telah melatih murid-muridnya dengan persenjataan modern. Pasukan ini membawa Snider, Enfield, berbagai macam karabin, pistol dan juga pedang. Dua pasukan meriam membawa semua senjatanya dan tiga puluh mortar. Pasukan ini siap untuk bertempur. Namun, seberapapun kuatnya pasukan ini, mereka tidak mendapat sokongan. Tiap pasukan membawa perlengkapan dan bekalnya sendiri dan tidak akan ada yang memasok ulang bekal dan perlengkapan tersebut. Dengan kata lain, pasukan pemberontak tidak memiliki perlengkapan cadangan. Satu orang hanya diperbolehkan menembakkan seratus buah peluru. Sedangkan pasukan pemerintah disokong oleh pemerintah nasional. Pasukan ini hanya berjumlah empat ribu sampai lima ribu orang tetapi mereka mempunyai perlengkapan cadangan, lebih dari seratus meriam dan enam juta amunisi, empat belas kali lebih banyak dari pasukan Saigo. Dalam perjalanan meninggalkan Kagoshima, pasukan Saigo dibagi melalui dua jalan. Salah satu pasukan melewati jalan utama yang mengarah ke Higo dan pasukan yang lain melewati jalan utama yang dekat dengan batas pesisir barat, melewati Minato, Mukoda dan di Yatsushiro mereka bergabung kembali menjadi satu bagian besar pasukan. Jalan yang mereka tempuh berbukit-bukit dan mereka harus melewati jalan sempit.
~ 136 ~
Peperangan resmi dimulai pada siang hari tanggal 21 Februari ketika pasukan pemerintah menyerang pasukan Satsuma yang berada didekat Kawashiri, sekitar 3 mil di selatan benteng Kumamoto. Para pemberontak menekan pasukan pemerintah dan hari selanjutnya mereka mengepung pasukan Kumamoto. Tanggal 22 Februari terjadi pengepungan benteng di Kumamoto selama 50 hari oleh pasukan pemerintah. Tanggal 9 Maret, pasukan pemerintah tiba di Kagoshima dan merampas alat-alat perang yang ada disana termasuk bubuk mesiu yang berjumlah lebih dari empat ribu barel. Lalu pemerintah mengirimkan bala bantuan berjumlah ribuan ke Kumamoto untuk mematahkan serangan para pemberontak. Sebagai balasannya, Saigo mengirimkan pasukannya ke utara dan pada tanggal 3 Maret, pasukan pemerintah dan pasukan Saigo bertemu di Tabaruzaka, sebuah bukit kecil berjarak dua puluh mil dari benteng Kumamoto. Selama delapan hari pasukan pemerintah berusaha mengusir pasukan Saigo dari puncak bukit Tabaru dan disana terjadi pertempuran yang cukup sengit. Kedua belah pihak mengerahkan sebanyak sepuluh ribu pasukan. Walaupun pasukan pemerintah belum mengerahkan kekuatan penuh, mereka telah menghabiskan lebih dari tiga ratus ribu amunisi perhari dalam penyerangan yang terjadi di puncak bukit tersebut. Pasukan Saigo menderita kerugian karena kekurangan amunisi dan kondisi cuaca yang buruk. Setelah pasukan pemerintah berhasil mengambil alih benteng Kumamoto, Saigo memilih untuk mundur dan mengumpulkan kembali pasukan-pasukannya yang masih hidup. Mereka berkumpul di Hitoyoshi dan mendirikan perkemahan dari pertengahan April hingga akhir bulan Mei. Saigo masih berharap simpatisan dari klan Tosa akan datang mengirimkan bala bantuan untuk Saigo yang pasukannya semakin berkurang. Namu ternyata pada 27 Mei, selang tiga minggu setelah pertempuran, pemerintah melakukan penyerangan di Hitoyoshi dan Saigo memerintahkan pasukannya untuk mundur. Antara bulan Mei dan September 1877, dengan ditarik mundurnya pasukan Saigo dari Hitoyoshi, pasukan ini menjadi pasukan yang terus menerus bersembunyi dan tidak melakukan penyerangan. Pemerintah mengejar para pemberontak ini sampai ke Kyushu. Sekarang pasukan ini hanya berusaha untuk mengusir pasukan pemerintah dan hanya ingin kembali ke rumah. Kekurangan amunisi, mereka akhirnya menggunakan pedang untuk melawan pasukan pemerintah. Keuntungan pada perlawanan kali ini adalah karena pasukan Saigo menguasai medan yang berupa pegunungan dan hutan. Pengejaran dimulai diawal Juni, setelah Saigo
~ 137 ~
mengirimkan pasukannya ke Miyanokojo. Saigo sendiri mempersiapkan dirinya di pantai pasifik, lima puluh mil diseberang timur Kyushu. Pasukan pemerintah mengejar mereka dan mengalahkan pasukan Saigo yang berada di Miyanokojo pada 24 Juli lalu beralih ke utara untuk menangkap Saigo. Pasukan Saigo melarikan diri dari sebelah timur pantai Kyushu ke Nobeoka yang dimana mereka bertemu dengan pasukan pemerintah pada 10 Agustus. Pasukan Saigo lebih unggul karena jumlahnya yang lebih banyak yaitu sekitar tiga ribu orang namun selama seminggu mereka bertempur melawan pasukan pemerintah sebelum tiba di Barat. Pasukan pemerintah berencana untuk mengepung Saigo di utara lereng gunung Enodake, puncaknya sekitar 240 kaki dari utara Nobeoka. Pertempuran ini diharapkan menjadi pertempuran yang terakhir antara pasukan Saigo dengan pasukan pemerintah. 1 September, pasukan Saigo mundur kembali ke Kagoshima dan disana Saigo telah dihadang oleh tujuh ribu pasukan pemerintah. Kemudian Saigo bersiap siap dengan barisan tentaranya di Shiroyama tempat terakhir Saigo bertahan. Pada tanggal 24 September pasukan pemerintah membuka serangan umum di Shiroyama. Dan pada saat itu Saigo tertembak dibagian paha. Lalu Saigo meminta pengikutnya untuk membunuh dirinya dengan cara memotong leher Saigo. Para pengikutnya, Kirino, Murata, Beppu, Ikegami Shiro dan seratus samurai yang lain bertarung sampai akhir demi melindungi Saigo dan menolak untuk menyelamatkan diri sendiri. Jasad Saigo ditaruh didalam sebuah peti dan jasad para pengikutnya ditutupi dengan kain. Jasad Saigo terletak ditengah-tengah makam yang sangat besar. Diatas makam tersebut diletakan sebuah papan besar yang terbuat dari kayu dan disana tertulis nama-nama dari jasad tersebut dan tanggal saat mereka gugur dalam pemberontakan. Perang yang dipimpin oleh Saigo Takamori ini merupakan perang terbesar dan terakhir dari golongan bekas samurai. Didalam perang tersebut terdapat 160 orang gugur maupun bunuh diri. Akibat yang diderita oleh pemerintah dengan adanya pemberontakan ini adalah dibidang ekonomi, karena sangat banyak dibutuhkan biaya-biaya untuk menumpas pemberontakan tersebut walaupun hanya memakan waktu tujuh setengah bulan. Harga-harga barang menjadi naik sehingga menimbulkan kegoncangan dibidang perekonomian. Golongan petani miskin sangat menderita karena mereka tetap ditariki pajak berupa beras. Sepuluh tahun kemudian, Kekaisaran Jepang meminta maaf dan memberikan gelar kemuliaan kepada Saigo Takamori sebagai samurai yang terakhir.
~ 138 ~
DAFTAR PUSTAKA Nurhayati, Yeti. 1987. Langkah Langkah Awal Modernisasi Jepang. Jakarta: PT. Gramedia Surajaya, I Ketut. 2001. Pengantar Sejarah Jepang I. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia Surajaya, I Ketut. 2001. Pengantar Sejarah Jepang II. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia Ravina, Mark. 2004. The Last Samurai:The Life and Battles of Saigo Takamori. New Jersey: Wiley Mounsey, Augustus H. 1879. The Satsuma Rebellion. London: John Murray, Albemarle Street Sumber dari internet http://en.wikipedia.org/wiki/Tokugawa_shogunate http://www.britannica.com/EBchecked/topic/516574/Saigo-Takamori http://en.wikipedia.org/wiki/Boshin_War http://www.merriam-webster.com/dictionary/samurai http://bantingbuaya.blogspot.com/2010/06/pemberontakan-pemberontakan-di.html
~ 139 ~
~ 140 ~
HOMELESS SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK SOSIAL DARI BABURU KEIZAI Tia Martia, Irawati Agustine, Metty Suwandany dan Zainur Fitri (Fakultas Sastra, Universitas Darma Persada) Abstrak Penelitian ini mengenai kaum homeless di Jepang yang terbentuk sebagai dampak dari baburu keizai. Sebagai salah satu negara yang sangat maju di dunia, Jepang pernah mengalami gelembung ekonomi (bubble economy/baburu keizai) yang berawal pada bulan Desember 1986 hingga 1991. Bubble economy ini dipicu oleh terjadinya gelombang ekspor kendaraan bermotor dan elektronik bermodal kecil ke seluruh penjuru dunia. Kemajuan perekonomian Jepang yang pesat pada saat itu mempengaruhi gaya hidup para pebisnis Jepang yang memiliki uang yang berlimpah. Akibat runtuhnya baburu keizai tersebut banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan atau mengurangi jumlah tenaga kerja di perusahaannya. Akibat rasa malu terhadap keluarga maka para tenaga kerja tersebut memilih meninggalkan keluarga dan hidup sebagai homeless. Mereka tinggal di pinggiran toko, di bawah jembatan, taman kota. Kesimpulan dari penelitian ini adalah homeless sebagai dampak sosial dari baburu keizai terlihat dari kaum homeless menjadi jauh dan meninggalkan keluarg akibat rasa malu yang tidak bisa menghidupi semua anggota keluarga dan kaum homeless menjadi beban bagi masyarakat sekitar dan pemerintah, yaitu membuat tidak nyaman atas keberadaan mereka di taman-taman kota. Kata kunci : Homeless, Baburu Keizai, Blue Tent 1. PENDAHULUAN Sebagai salah satu negara yang sangat maju di dunia, Jepang pernah mengalami gelembung ekonomi (bubble economy/baburu keizai) yang berawal pada bulan Desember 1986 hingga 1991. Peristiwa ini hanya berlangsung singkat yaitu selama 51 bulan. Bubble economy ini dipicu oleh terjadinya gelombang ekspor kendaraan bermotor dan elektronik bermodal kecil ke seluruh penjuru dunia. Kemajuan perekonomian Jepang yang pesat pada saat itu mempengaruhi gaya hidup para pebisnis Jepang yang memiliki uang yang berlimpah. Bubble economy yang hanya berlangsung singkat itu akhirnya mengalami keruntuhan pada bulan Januari 1991. Masa itu merupakan anti klimaks dari bubble economy yang hanya berlangsung singkat selama 51 bulan tersebut. Pada masa itu nilai properti menurun dan pertumbuhan ekonomi Jepang yang semula tinggi tiba-tiba menyusut dan hampir mati. Akibat runtuhnya bubble economy tersebut banyak perusahaan yang mengalami kebangkrutan. Sehingga banyak perusahaan yang mengurangi jumlah karyawan baru dan merumahkan karyawan seniornya. Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh karyawan senior tetapi juga oleh mereka yang akan mencari pekerjaan setelah menyelesaikan pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah menengah atas. Merosotnya perekonomian Jepang akibat resesi ekonomi pada bulan Januari 1999 itu sangat berdampak terhadap berbagai aspek
~ 141 ~
kehidupan terutama kehidupan sosial di Jepang. Banyak perusahaan yang terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan dan pemotongan gaji. Pengurangan karyawan lebih banyak pada karyawan yang senior. Hal ini mengakibatkan beberapa tenaga kerja beralih pada pekerjaan lain bahkan tidak sedikit yang kehilangan pekerjaannya. Beberapa tenaga kerja yang beralih profesi masih bisa mempertahankan kehidupan sosialnya namun berbeda halnya dengan beberapa tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya. Karena tidak adanya pemasukan keuangan yang tetap, akibatnya beberapa orang terpaksa tidak bisa membayar uang sewa rumah sehingga akhirnya mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Merosotnya perekonomian Jepang akibat resesi ekonomi pada bulan Januari 1999 itu sangat berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan terutama kehidupan sosial di Jepang. Banyak perusahaan yang terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan dan pemotongan gaji. Pengurangan karyawan lebih banyak pada karyawan yang senior. Hal ini mengakibatkan beberapa tenaga kerja beralih pada pekerjaan lain bahkan tidak sedikit yang kehilangan pekerjaannya. Beberapa tenaga kerja yang beralih profesi masih bisa mempertahankan kehidupan sosialnya namun berbeda halnya dengan beberapa tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya. Karena tidak adanya pemasukan keuangan yang tetap, akibatnya beberapa orang terpaksa tidak bisa membayar uang sewa rumah sehingga akhirnya mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka adalah pengangguran dari perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan karyawan yang bergaji minim. Para pengangguran ini memilih keluar dan menjauh dari keluarganya akibat rasa malu dan ketidakmampuan mereka untuk menghidupi keluarga. Begitu juga dengan para pekerja dengan gaji yang minim mereka tidak mampu untuk tinggal menetap di rumah layak huni. Sehingga para pengangguran dan pekerja bergaji minim memilih tinggal di jalanan, di net café, di trotoar toko dan sebagainya. Rangkaian fenomena inilah yang mengakibatkan munculnya homeless di Jepang. Dalam pelafalan bahasa Jepang kata homeless yang berasal dari bahasa Inggris menjadi homeresu. Homeless berarti tidak memiliki rumah atau tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Masyarakat Jepang juga memiliki istilah tersendiri untuk menyebut orang tidak tidak memiliki rumah yaitu Furousha. Furousha adalah orang-orang yang tinggal di tempat umum seperti taman, pinggiran sungai, pinggir jalan dan stasiun kereta api, tetapi masyarakat Jepang lebih sering menggunakan istilah serapan homeless daripada furousha, sedangkan dalam bahasa Indonesia homeless diartikan sebagai tunawisma. Pada awal tahun 1990-an,
~ 142 ~
kata homeless mulai diperkenalkan pada masyarakat umum melalui media Jepang yaitu Yomiuri dan Asahi Groups. Homeless identik dengan orang yang tidak punya rumah dan meminta minta kepada orang lain, sedangkan di negara Jepang homeless bukanlah peminta minta tapi mereka memang benar-benar tidak memiliki rumah. Homeless di negara Jepang dikenal dengan sebutan blue tent/tenda biru. Hal ini dikarenakan mereka membangun tempat untuk mereka tinggali dengan menggunakan kain terpal berwarna biru. Oleh sebab itu homeless identik dengan blue tent. Pemerintah Jepang juga telah mengatur dan mengeluarkan UU mengenai homeless. UU tersebut dikeluarkan tahun 2002 dengan judul: Hoomuresu no Jiritsu no Shien Nado ni Kansuru Tokubetsu Sochihou atau UU untuk mendukung kemandirian para homeless. Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan homeless adalah orang yang memanfaatkan ruang dan fasilitas publik untuk bertempat tinggal (taman, jembatan, jalan, bantaran sungai, stasiun, dan sebagainya. Pemerintah juga telah menyediakan shelter atau tempat penampungan sementara yang relatif murah (misalnya 3000 yen/bulan) bagi mereka. Hal ini diatur sejak pasca PD II (UU Perlindungan Hidup Sehari-hari, seikatsu hogo). Sekalipun demikian, beberapa dari para homeless tersebut tidak mau memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1999 jumlah homeless di negara Jepang mencapai 20451 orang, sedangkan pada tahun 2003 jumlahnya semakin meningkat 25296 orang. Pada tahun 2003 ini kenaikan jumlah homeless di Jepang cukup signifikan. Kota Tokyo dan kota Osaka merupakan kota dengan jumlah homeless terbanyak di Jepang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa homeless merupakan salah satu dampak sosial dari baburu keizai di Jepang.
2. METODE PENELITIAN Dalam penelitian metode yang digunakan adalah studi literatur dengan menggunakan data sekunder melalui berbagai sumber kepustakaan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Bangsa Jepang adalah bangsa yang belajar dari pengalaman, di mana masyarakatnya berhasil melampaui kesengsaraan yang pernah mereka alami. Jepang merupakan negara yang memiliki masyarakat yang tanggung dalam membangun kemakmuran dan kesejahteraan kehidupan di masa lampau dan di masa depan. Hal ini terbukti terbukti dengan
~ 143 ~
semangat tinggi masyarakatnya dalam bekerja sehingga tingkat perekonomian Jepang yang meningkat pesat. Masa keemasan perekonomian Jepang terjadi pada tahun 1955 – 1970. Hal ini terlihat pada tahun 1956 – 1961 mencapai rata-rata 10.9% bahkan setelah tahun 1965 naik menjadi 11,8% hingga tahun 1970 (Suryohadiprojo, 1987: 84). Tetapi di balik keberhasilan perekonomian tersebut ternyata negara Jepang pernah mengalami Bubble Economy atau dalam bahasa Jepang disebut Baburu Keizai. Kata baburu diimpor dari Bahasa Inggris Bubble yang memiliki arti gelembung. Arus modal besar yang berasal dari Jepang menekan dollar Amerika mendekati hampir 50% antara tahun 1980 dan 1985, kemudian untuk mengangkat kembali nilai dollar. Amerika melakukan kesepakatan agar Jepang mengapresiasikan nilai yen sehingga dollar Amerika dapat naik kembali. Dengan kesepakatan tersebut, membuat ekonomi dalam negeri mencuat pesat dalam bidang saham dan real estate. Jual beli aset dengan harga tinggi, kebijakan dari bank dengan suku bunga rendah menyuburkan transaksi-transaksi dalam saham dan property.
The steep rise in stock and land prices during the second half of 1980s should be thought of as having been created not just by the upturn in the business performance of firms due the boom in the economic, or by the lack of commercial land in the big cities, but over and above this, by people’s expectations of higher price based on the perception of a bullish market (Nakamura, 1994:272) Menurut Lim Hua Sing (2001) Jepang mengalami baburu keizai dikarenakan dua hal yaitu: pertama pada bulan September 1985 dalam kesepakatan Plaza bangsa-bangsa barat yang dipimpin oleh Amerika mengadakan pertemuan dengan Jepang dengan tujuan menekan Jepang agar membiarkan yen mengalami apresiasi sehingga nilai yen menjadi turun drastis atau yang disebut yendaka dari 242 yen per satu dolar Amerika menjadi 100 yen per satu dolar Amerika. Akibatnya nilai aset-aset (saham dan property) meningkat secara subtansial. Kedua, pemerintah jepang tidak dapat memainkan peran aktif apa pun karena pemerintah juga mengalami kendala-kendala pengeluaran fiskal dan sedang terdesak oleh kebutuhan untuk menutupi defisit-defisit yang ditimbulkan oleh berbagai departemen pemerintahan. Pada tahun 1986 sebagai akibat baburu keizai, komoditi ekspor Jepang mencapai puncak dan menyebar hampir ke seluruh. Baburu keizai berawal pada bulan Desember 1986 hingga 1991, dan berlangsung selama 51 tahun. Hal ini disebabkan oleh terjadinya gelombang ekspor kendaraan bermotor dan elektronik bermodal kecil ke seluruh penjuru dunia. Perusahaan-perusahaan Jepang membangun pabrik dengan jumlah yang bertubi-tubi,
~ 144 ~
membeli banyak perusahaan dan property dan berinvestasi dalam berbagai macam jenis proyek pembangunan. Namun pada tahun 1991, baburu keizai mengalami keruntuhan. Nilai properti turun dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tiba-tiba menyusut dan hampir mati. Dampak dari runtuhnya bubble keizai ini dirasakan oleh orang-orang kaya dan perusahaan besar, menengah maupun kecil. The value of one’s stock or real estate holdings begins to slide. If one has paid for the assets out of one’s funds that one went out on a limb to obtain so the prices decline directly reduces the value of the company’s assets and you are still having to pay heavy interest charges. For the same reason, customers and suppliers are seeing their assets value fall (Nakamura 1994: 306) Banyak pula perusahaan yang tidak bisa bertahan sehingga mengalami kebangkrutan mengalami para pekerja yang takut terkena pemotongan gaji atau kehilangan pekerjaan. Banyak orang-orang kaya di Jepang yang kehilangan uang dalam jumlah yang sangat besar dalam sekejap. Merosotnya perekonomian Jepang akibat resesi ekonomi pada bulan Januari 1999 itu sangat berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan terutama kehidupan sosial di Jepang. Banyak perusahaan yang terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan dan pemotongan gaji. Pengurangan karyawan lebih banyak pada karyawan yang senior. Hal ini mengakibatkan beberapa tenaga kerja beralih pada pekerjaan lain bahkan tidak sedikit yang kehilangan pekerjaannya. Beberapa tenaga kerja yang beralih profesi masih bisa mempertahankan kehidupan sosialnya namun berbeda halnya dengan beberapa tenaga kerja yang kehilangan pekerjaannya. Karena tidak adanya pemasukan keuangan yang tetap, akibatnya beberapa orang terpaksa tidak bisa membayar uang sewa rumah sehingga akhirnya mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka adalah pengangguran dari perusahaan yang mengalami kebangkrutan dan karyawan yang bergaji minim. Para pengangguran ini memilih keluar dan menjauh dari keluarganya akibat rasa malu dan ketidakmampuan mereka untuk menghidupi keluarga. Begitu juga dengan para pekerja dengan gaji yang minim mereka tidak mampu untuk tinggal menetap di rumah layak huni. Sehingga para pengangguran dan pekerja bergaji minim memilih tinggal di jalanan, di net café, di trotoar toko dan sebagainya. Rangkaian fenomena inilah yang mengakibatkan munculnya homeless di Jepang.
~ 145 ~
Masalah homeless di negara Jepang saat ini merupakan salah satu masalah sosial yang terjadi di dalam masyarakat Jepang. Pertumbuhan homeless meningkat pertama kalinya pada tahun 1960-an setelah PD II (Hasegawa, 2006:23). Sebelum tahun 1960-an pertumbuhan homeless tidak begitu pesat akibat perekonomian Jepang yang masih baik. Dimana saat itu lahan pekerjaan banyak dan perekonomian Jepang yang pesat sehingga jumlah homeless semakin berkurang. Dalam pelafalan bahasa Jepang kata homeless yang berasal dari bahasa Inggris menjadi homeresu. Homeless berarti tidak memiliki rumah atau tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Sedangkan dalam bahasa Jepang homeless juga di sebut rojouseikatsusha atau furousha. Pada tahun 1995 Tokyo Metropolitan Government (TMG) menggunakan kata rojo seikatsusha untuk menyebut orang-orang yang tinggal di jalanan (Hasegawa, 2003: 16). Rojou seikatsusha diambil dari kata rojou yang berarti di jalan, seikatsu yang berarti kehidupan; penghidupan; hidup dan sha berarti orang, benda. Sehingga rojou seikatsusha berarti orang yang menjalani hidup di jalanan, sedangkan furousha berarti gelandangan. Dalam hal ini homeless yang dimaksud adalah orang yang memanfaatkan ruang dan fasilitas publik untuk bertempat tinggal (taman, jembatan, jalan, bantaran sungai, stasiun dan sebagainya). Ada juga yang tinggal di tempat menginap murah seperti manga kessaten, internet café, pub, atau hotel kapsul. Pada awal tahun 1990-an, kata homeless mulai diperkenalkan pada masyarakat umum melalui media Jepang yaitu Yomiuri dan Asahi Groups. Homeless dalam bahasa Indoneisa diartikan sebagai tunawisma. Tunawisma di Indonesia, mereka identik dengan orang yang tidak punya rumah dan meminta minta kepada orang lain. Sedangkan di negara Jepang homeless bukanlah peminta minta tapi mereka memang benarbenar tidak memiliki rumah. Homeless di negara Jepang dikenal dengan sebutan blue tent/tenda biru. Hal ini dikarenakan para homeless tinggal di tenda tempat tinggal sementara yang dilapisi kain terpal berwarna biru. Kemudian warna biru itu menjadi ikon sebagai tempat tinggal para homeless. Pertumbuhan homeless meningkat pertama kalinya pada tahun 1960-an setelah PD II (Hasegawa, 2006:23). Sebelum tahun 1960-an pertumbuhan homeless tidak begitu pesat akibat perekonomian Jepang yang masih baik. Dimana saat itu lahan pekerjaan banyak dan perekonomian Jepang yang pesat sehingga jumlah homeless semakin berkurang. Pada pertengahan tahun 1960-an mulai tampak keberadaan homeless di Jepang, khususnya pada buruh harian yoseba yang merupakan pekerja tidak tetap.
~ 146 ~
Pada tahun 1999 jumlah homeless di negara Jepang mencapai 20451 orang, sedangkan pada tahun 2003 jumlahnya semakin meningkat 25296 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 82% pria, 3% wanita dan sisanya tidak terdeteksi. Pada tahun 2003 ini kenaikan jumlah homeless di Jepang cukup signifikan. Kota Tokyo dan kota Osaka merupakan kota dengan jumlah homeless terbanyak di Jepang . Sedangkan tahun 2012 jumlah homeless di Negara Jepang sekitar 9 ribu orang. Hal ini menunjukkan adanya penurunan jumlah homeless di negara Jepang. Usia rata-rata homeless di negara Jepang berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, Buruh dan Kesejahteraan pada tahun 2007 adalah 57.5 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa homeless merupakan salah satu dampak sosial dari baburu keizai di Jepang. Beberapa faktor penyebab seseorang menjadi homeless: 1. Faktor kondisi kesehatan atau fisik misalnya cacat 2. Faktor ekonomi misalnya krisis ekonomi dunia, kegagalan atau kebangkrutan usaha dan pemecatan 3. Faktor terjerat bunga hutang atau rentenir yang dalam istilah Jepang dikenal dengan istilah yami kinyuu 4. Faktor mental atau permasalahan individu seperti terjerat judi, maniak pachinko, ketergantungan pada alkohol atau karena orangnya memang malas bekerja Salah satu penyebab seseorang menjadi homeless yaitu faktor ekonomi seperti krisis ekonomi dunia, kegagalan atau kebangkrutan usaha dan pemecatan. Salah satunya adalah dampak runtuhnya baburu keizai yang terjadi di Jepang mengakibatkan banyak perusahaan besar, menengah dan kecil yang mengalami kebangkrutan akibat kelesuan ekonomi. Banyak karyawan senior yang dirumahkan oleh perusahaan Umumnya manusia menginginkan hidup yang normal; diakui keberadaannya di dalam masyarakat sebagai mahluk sosial; dan bekerja demi mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti makan, minum, dan tempat tinggal yang nyaman. Begitu pula dengan para homeless, mereka menginginkan hidup yang normal. Tetapi karena sesuatu hal mereka memilih hidup yang tidak layak. Pilihan menjadi homeless bukan berarti menunjukkan mereka tidak memiliki pekerjaa. Hanya saja penghasilan yang didapat tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kaum homeless banyak muncul di kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, Nagoya. Di Tokyo ada sekitar 6361 orang namun jika ditotal dengan Saitama, Chiba maupun Yokohama jumlahnya bisa mendekati 10 ribu orang. Hal yang sama juga terjadi di Osaka sekitar 7800
~ 147 ~
orang, total di wilayah Kansai (termasuk Hyogo dan Kyoto) berjumlah sekitar 9300 orang. Di Nagoya sekitar 2121 orang, Fukuoka 1187 orang dan prefektur-prefektur di mana terdapat kota-kota besar lainnya seperti Sendai, Hiroshima dan Sapporo tercatat sekitar 200an saja. Pemerintah Jepang juga telah mengatur dan mengeluarkan UU mengenai homeless. UU tersebut dikeluarkan tahun 2002 dengan judul: Hoomuresu no Jiritsu no Shien Nado ni Kansuru Tokubetsu Sochihou atau UU untuk mendukung kemandirian para homeless. Berikut ini adalah kutipan isi dari UU mengenal homeless: 法においては、ホームレスの自立の支援等に関する施 策の目標を明示するとともに、 国及び地方公共団体の責務として、当該目標に関する総 合的又は地方の実情に応じ た施策の策定及び実施を位置付けている。
Dalam UU tersebut, yang dimaksud dengan homeless adalah orang yang memanfaatkan ruang dan fasilitas publik untuk bertempat tinggal (taman, jembatan, jalan, bantaran sungai, stasiun, dan sebagainya. Dalam sebuah artikel Nihon Kousou Kyoukai (NHK), telah mewawancara seorang homeless “walaupun sudah bekerja di perusahaan konstruksi, sudah diberhentikan bekerja oleh perusahaan, kontrakan tempat tinggal pun sudah mengusir. Sambil menginap di penginapan walupun sudah menjadi pekerja harian, bekerja beberapa hari dan berhenti lalu uang yang didapat telah habis. Setelah mengetahui ada suplai makanan terkadang saya dating untuk itu. Tempat menginap hari ini? Yaa. stasiun atau jalan bawah tanah. Kalau tidak menemukan tempat yang hangat terkadang tidak ada jalan lain selain tidur di luar, itu pun menindas badan sendiri “. Berdasarkan artikel di atas, motif seseorang yang telah menjalanihidupnya sebagai seorang homeless yaitu telah diberhentikan dari pekerjaannya yaitu perusahaan konstruksi. Meskipun dia telah bekerja kembali sebagai pekerja harian tentunya pendapatan yang didapat tidak sebanding dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Seperti kebutuhan untuk makan, membayar sewa aparteman sehingga uang yang dimiliki cepat habis. Banyak di antara mereka adalah bekas pegawai dalam bidang bangunan atau industri. Akibat lesunya ekonomi banyak merasionalisasi jumlah karyawan (terutama yang sudah lanjut usia). Kehilangan pekerjaan, dililit hutang, sewa rumah yang sangat tinggi atau sebab dan alasan lain membuat kebanyakan dari mereka terpaksa memilih hidup sebagai gelandangan. Dengan keterbatasan biaya untuk menyewa rumah, kebanyakan para homeless memilih tinggal di taman-taman kota, bantaran sungai, jalan , stasiun kereta dan lain-lain. Tempat-
~ 148 ~
tempat tersebut merupakan tempat umum yang tidak dipungut biaya untuk ditinggali. Selain tempat umum, bagi homeless yang memiliki sedikit uang biasanya mereka tidak memilih tinggal di tempat umum tapi memilih tinggal di manga kissaten, café internet dan sebagaimya. Para homeless menjadikan tempat tersebut sebagai tempat mereka menginap. Mereka memilih tinggal di manga kissaten yang memerlukan biaya sekitar 380 yen sampai 980 yen dalam sehari. Dalam hal ini para homeless tidak mau menyiksa dirinya dengan tidur di luar dengan menggunakan fasilitas umum sebagai tempat untuk tidur. Karena dengan tidur di luar bisa menyebabkan mereka terserang penyakit dan memungkin seseorang untuk berobat dan tentunya menggunakan biaya yang tidak murah. Dengan tempat tinggal yang tidak jelas, sudah tentu perusahaan pun tidak mau mempekerjakan orang yang tidak memiliki alamat tempat tinggal yang jelas. Apalagi dengan usia yang sudah lanjut. Bagi homeless yang sudah lanjut usia tidak memungkinkan untuk bekerja berat seperti kuli panggul atau lainnya. Tetapi untuk para homeless muda, ada pekerjaan yang bisa mereka dapatkan. Tentu saja pekerjaan itu bukan sebagai pegawai tetap di sebuah perusahaan tetapi pekerjaa yang mengarah ke pekerjaan paruh waktu (arubaito), pekerja harian (hiyotoi). Pekerjaan harian ini bisa berupa pengiriman tenaga kerja ke tempattempat konstruksi oleh agen pekerja. Bekerja dalam satu hari, para pekerja harian akan mendapatkan upah sekitar 6000 yen lebih. Dalam satu bulan bekerja pun pendapatannya tidak lebih dari 100000 yen. Dengan jumlah sebesar ini ada bulan saat pekerjaan sedikit, ada juga saat harus istirahat karena sakit. Lalu ada kalanya uang transport yang tidak keluar. Sehingga dengan sisa uang setelah dikurangi biaya sewa di manga kissaten dan biaya makan, yang didapat sudah tentu untuk biaya mereka pergi bekerja lagi. Pemerintah telah menyediakan shelter atau tempat penampungan sementara yang relatif murah (misalnya 3000 yen/bulan) bagi mereka. Hal ini diatur sejak pasca PD II (UU Perlindungan Hidup Sehari-hari, seikatsu hogo). Sekalipun demikian, beberapa dari para homeless tersebut tidak mau memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah Jepang.
4. KESIMPULAN Homeless sebagai dampak sosial dari baburu keizai terlihat dari kaum homeless yang menjadi jauh dan meninggalkan keluarganya akibat rasa malu karena tidak bisa menghidupi semua anggota keluarga. Keberadaan kaum homeless di Jepang menjadi beban bagi
~ 149 ~
masyarakat dan pemerintah, yaitu membuat rasa tidak nyaman saat melihat tempat mereka di taman-taman kota, pinggiran toko maupun di bawah jembatan. Meskipun pemerintah sudah menyediakan tempat penampungan tetapi mereka lebih memilih tinggal di tempat yang tidak layak karena mereka lebih merasakan kebersamaan dengan sesama kaum homeless. UCAPAN TERIMA KASIH 1. UNSADA selaku sponsor dalam penelitian ini. 2. LP2MK selaku fasilitator dalam melaksanakan penelitian ini 3. Fakultas Sastra sebagai tempat kami melakukan penelitian. DAFTAR PUSTAKA Aoki, Hideo. 2006. Japan’s Underclass: Day Laborers and the Homeless. Melbourne: Thrans Pacific Press Gill, Tom. 2001. Men of Uncertainty -The Social Organization of Day Laborers in Contemporary Japan. State University of New York. Hasegawa Miki 2006 We are not Garbage! The Homeless Movement ini Tokyo, 1994-2002. Routledge New York&London Nakamura, Takafusa. 1985. Perkembangan Ekonomi Jepang Modern.Tokyo: Kementrian Luar Negeri Jepang ________.1995. Lecture of Modern Economic History 1926-1994. Tokyo: University of Tokyo Press ________.1995. The Post War Japanese Economic : The Development Economic and Structure 1937 – 1994. Tokyo: University Of Tokyo Press Sumber Internet http://www.mhlw.go.jp/houdou/2003/03/h0326-5.html (diakses 7 Juli 2015) http://www.mhlw.go.jp/houdou/2003/03/h0326-5c.html (diakses 7 Juli 2015) http://brage.bibsys.no/xmlui/bitstream/handle/11250/187848/Paulito%20Elvrum%20%20a nd%20Wei%20Yuet%20Wong%20%282012%29.pdf?sequence=1 (diakses 27 Juli 2015) http://saniroy.wordpress.com (diakses 27 Juli 2015)
~ 150 ~
KUPU - KUPU SEBAGAI liáng zhù
LAMBANG KESETIAAN DALAM CERITA 梁 祝 Febi Nur Biduri Fakultas Sastra Cina Universitas Darma Persada Jakarta
[email protected] Abstrak Karya sastra dibahasa Mandarin mempunyai tingkatan bahasa yang tinggi dan terdapat banyak simbol serta pribahasa yang dipergunakan dalam karya sastra, karya sastra yang akan dibahas dalam makalah ini berjenis folklore atau cerita rakyat. Folklor atau cerita rakyat merupakan sebagian budaya yang penyebarannya umumnya melalui tutur kata atau lisan, maka ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan.Permasalahan yang terdapat dalam makalah ini adalah mengapa kupu-kupu dapat dilambangkan sebagai simbol kesetiaan sepasang kekasih?. Metode penelitian yang dipakai ialah metode kualitatif yaitu meneliti arti simbol kupu-kupu atau dapat disebutkan dengan content analysys. Fokus penelitian ialah berfokus pada isi cerita yang mensimbolkan kupu-kupu sebagai lambang kesetiaan di Masyarakat Tiongkok. Analisis data yang dilakukan ialah menggunakan etnografi yaitu bentuk penelitian yang berfokus pada makna sosiologi melalui observasi tertutup dari fenomena sosiokultural. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui simbol-simbol yang tersembunyi dalam sebuah cerita rakyat masyarakat Tiongkok. Kata Kunci : cerita rakyat, semiotik, semantik, unsur, budaya. 1. PENDAHULUAN Dalam mempelajari arti sebuah makna kita memerlukan dua macam semantik tersebut yaitu semantik linguistik dan philosofi semantik. Akan tetapi, kita haruslah mengetahui bahwa tidak ada kebulatan suara dalam membatasi daerah dari analisis semantik. Semantik adalah pembelajaran dari kalimat maka diperlukan cara untuk menganalisa maksud ucapan pembicara untuk menyimpulkan apa makna kalimat sebenarnya. Semantik linguistik mempelajari makna atau arti dari hasil penggunaan tata bahasa, linguistik semantik tidak akan menciptakan proposisi sebagai keseluruhan. Sedangkan Philosofi semantik bertujuan menetapkan apa itu proposisi dimana yang telah diutarakan oleh kalimat ucapan sipembicara. Dalam philosofi semantik kita harus membangun kemanakah arah maksud pembicara dan apakah hal tersebut itu sudah memadai. Philosofi semantik dapat juga disebut sebagai simple semantic. Sedangkan untuk mempelajari simbol di sebuah karya sastra ilmu yang dipergunakan adalah semiotik yang merupakan cabang dari pembelajaran semantik. Karya sastra dibahasa Mandarin mempunyai tingkatan bahasa yang tinggi dan terdapat banyak simbol serta
~ 151 ~
pribahasa yang dipergunakan dalam karya sastra, karya sastra yang akan dibahas dalam makalah ini berjenis folklore. Permasalahan yang terdapat dalam makalah ini adalah mengapa kupu-kupu dapat dilambangkan sebagai simbol kesetiaan sepasang kekasih dalam cerita ini?. Latar belakang penelitian adalah cerita yang berjudul 梁祝 Liang zhu. Metode penelitian yang dipakai ialah metode kualitatif yaitu meneliti arti simbol kupu-kupu atau dapat disebutkan dengan content analysys. Fokus penelitian ialah berfokus pada isi cerita yang mensimbolkan kupu-kupu sebagai lambang kesetiaan di Masyarakat Tiongkok. Prosedur pengumpulan data yang mungkin dilakukan adalah menyediakan cerita asli dalam bahasa mandarin yang terdapat dalam buku 汉语阅读教程第二册 ”Pemahaman tulis bahasa mandarin tingkat 2”. Analisis data yang dilakukan ialah menggunakan etnografi yaitu bentuk penelitian yang berfokus pada makna sosiologi melalui observasi tertutup dari fenomena sosiokultural
2. ACUAN TEORI 2.1 Semantik dan Semiotika Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari arti atau makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain, Semantik adalah pembelajaran tentang makna. Semantik biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain: sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu. Semantik Linguistik adalah studi tentang makna yang digunakan untuk memahami ekspresi manusia melalui bahasa. Bentuk lain dari semantik mencakup semantik bahasa pemrograman, logika formal, dan semiotika. Kata semantik menunjukkan berbagai ide, sering digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menandakan suatu masalah pemahaman yang datang ke pemilihan kata atau konotasi. Dalam linguistik,
studi semantik mengenai interpretasi tanda-tanda atau simbol yang
digunakan dalam masyarakat di keadaan tertentu dan konteks. Dalam pandangan ini, suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan proxemics memiliki semantik konten (bermakna), dan masing-masing terdiri dari beberapa cabang studi. Dalam bahasa tertulis, hal-hal seperti struktur ayat dan tanda baca menanggung konten semantik, bentuk lain dari bahasa menanggung konten semantik lainnya .
~ 152 ~
Semiotika adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi. Semiotika berkaitan erat dengan bidang linguistik. Mempelajari struktur dan makna bahasa yang lebih spesifik. Namun, berbeda dari linguistik, semiotika juga mempelajari sistem-sistem tanda non-linguistik. Semiotika sering dibagi menjadi tiga cabang:
Semantik: hubungan antara tanda dan hal-hal yang mereka lihat atau makna
Sintaksis: hubungan antara tanda-tanda dalam struktur formal
Pragmatik: hubungan antara tanda
Secara umum, teori-teori semiotik mengambil tanda-tanda atau sistem tanda sebagai objek studi mereka. Sintaksis adalah cabang dari semiotika yang berhubungan dengan sifatsifat formal tanda dan simbol. Lebih tepatnya, Sintaksis berkaitan dengan "aturan yang mengatur bagaimana kata-kata digabungkan untuk membentuk frasa dan kalimat". Charles Morris menambahkan bahwa semantik berkaitan dengan hubungan tanda-tanda untuk designata mereka dan benda-benda yang memungkinkan atau menunjukkan penawaran pragmatik melalui aspek biotik dari semiosis, yaitu dengan semua fenomena psikologis, biologis, dan sosiologis yang terjadi dalam fungsi tanda-tanda.
3. KARYA SASTRA JENIS FOLKLORE Folklore adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Menurut Dundes Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Namun yang paling penting adalah bahwa mereka memiliki suatu tradisi, yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi turun temurun, sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui milik bersamanya dan yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Dapat disimpulkan bahwa folk adalah sinonim dengan kolektif yang juga memiliki ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. Sedangkan lore adalah tradisi folk yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Definisi secara keseluruhannya adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional
~ 153 ~
dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat dan alat pembantu pengingat.1 Ciri-ciri pengenal Folklore atau cerita rakyat yang membedakan dengan kebudayaan lainnya adalah: 1.
Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan yaitu disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut.
2.
Bersifat tradisional yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
3.
Tersedia dalam versi-versi yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh penyebarannya dari mulut ke mulut. Biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolaso, folklor dapat dengan mudah mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
4.
Folklor bersifat anomim yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi atau tidak ada pengarangnya.
5.
Folklor biasanya mempunyai bentuk berpola. Cerita rakyat misalnya selalu mempergunakan kata-kata klise seperti bulan empat belas hari untuk menggambarkan kecantkan seorang gadis atau ungkapan-ungkapan tradisional, ulangan-ulangan dan kalimat-kalimat
atau
kata-kata
pembukaan
dan
penutup
yang
baku
seperti....demikianlah konon. 6.
Folklor mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam.
7.
Folklor bersifat pralogis yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
8.
Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.
1
Dr. M.Rafiek, M.Pd. Teori sastra kajian teori dan praktik. Pt. Refika Aditama, 2010. Bandung. h.50
~ 154 ~
9.
Folklor pada umunya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatannya kasar terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak Folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.2 Folklor merupakan sebagian budaya yang penyebarannya umumnya melalui tutur kata
atau lisan, maka ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan. Padahal Folklor lebih luas cakupannya dibandingkan dengan tradisi lisan. Brunvand membagi folklor menjadi tiga kelompok yaitu: 1. Folklor lisan, adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Bentuk yang termasuk dalam kelompok ini adalah bahasa rakyat seperti logat, ungkapan tradisional seperti pepatah, pertanyaan tradisional seperti teka-teki, puisi rakyat seperti pantun dan syair, cerita prosa rakyat seperti mitos dan nyanyian rakyat. 2. Folklor sebagian lisan, adalah merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan misalnya tahayul. Yang termasuk dalam golongan ini adalah kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, dan pesta rakyat. 3. Folklor bukan lisan, adalah folklor yang bentuknya bukan lisan walaupun pembuatannya secara lisan. Kelompok ini dibagi atas 2 bagian yaitu bentuk folklor yang tergantung material seperti kerajinan tangan dan rumah adat. Bentuk folklor yang bukan material seperti bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat misalnya kentongan.3 4. PEMBAHASAN liáng zhù
Cerita asli 梁 祝: (梁祝) 是小提琴协奏曲(梁山佰与祝英台)的简称。这是一部根据中国古 代民间故事与成的乐曲,乐曲十分优美动听。它描绘了青年男女梁山伯和祝英台动 人的爱情故事。 梁山伯和祝英台是同学。中国古时侯,女孩子不能去学校读书的,所以英台 只好女扮男装去上学。她与山伯一起学习了三年,两个人感情特别好,英台很喜欢 山伯。可是山伯并不知道英台是女的。 回家之前,英台告诉山伯,他有一个妹妹, 可以嫁给他。分别时两人依依不舍。回到家,英台的父母要他嫁给别人,英台不同 意,可是有没有办法。过了一段时间,山伯去英台家求婚,他听说英台要嫁给别人 了,这才知道英台原来是个女的。山伯家里很穷,英台的父母不同意英台嫁给山 伯。山伯非常思念英台,不久就病死了。英台在出嫁的路上,路过山伯的坟墓。他 来到墓前, 伤心地他哭。这时, 刮起了大风,响起了雷声,下起了大雨。突然一声 响,坟墓开了,英台跳了进去,坟墓与上合上了。风停了,雨也不下了,花开了,
2 3
Ibid h.51 Ibid h.52
~ 155 ~
一对蝴蝶从坟墓中飞了出来。从此以后,人们常常能看到一对对蝴蝶在这儿飞来飞 去。人们都说,这些蝴蝶就是梁山伯和祝英台变的。 梁山伯和祝英台的爱情故事很美,(梁祝)这首小提琴协奏曲也很动听。4 Terjemahan ke dalam bahasa Indonesia: (梁祝)merupakan sebuah musik alunan biola yang berjudul Liang shan bai dan Zhu ying tai. Dasar dari musik ini adalah sebuah cerita rakyat kuno Masyarakat Tiongkok, alunan musik yang sangat indah yang menceritakan tentang perjalanan cinta kasih masa muda Liang shan bai dan Zhu ying tai. Liang shan bai dan Zhu ying tai adalah teman sekolah. Pada zaman dahulu di Tiongkok anak perempuan tidak boleh pergi bersekolah maka Ying tai menyamar sebagai laki-laki untuk pergi bersekolah. Dia dan Shan bai bersekolah selama 3 tahun kedua ya berteman dengan sangat baik, Ying tai sangat menyukai Shan bai. Akan tetapi Shan bai tidak mengetahui bahwa Ying tai adalah seorang perempuan. Setelah pulang ke rumah, Ying tai memberitahu Shan bai bahwa dia memiliki seorang adik perempuan dan bisa dengannya berumah tangga, akan tetapi selama 2 tahun berselang mereka tidak cocok. Ketika sampai dirumah orang tua Ying tai menjodohkan dia untuk berumah tangga dengan orang lain, Ying tai pun tidak setuju akan tetapi dia tidak dapat berbuat apapun. Lewat beberapa waktu, Shan bai pergi ke rumah orang tua Ying tai untuk melamar, dia mendengar Ying tai akan menikah disaat itulah dia baru mengetahui bahwa Ying tai adalah seorang wanita. Keluarga Shan bai sangat miskin, orangtua Ying tai tidak menyetujui pernikahan mereka. Shan bai sangat mencintai Ying tai, tidak lama kemudian dia sakit dan meninggal dunia. Saat diperjalanan untuk menikah Ying tai melewati makam Shan bai. Dia pun mengunjungi makam tersebut dan nangis tersedusedu. Pada saat itu angin berhembus sangat kencang, petir bergemuruh dan turunlah hujan lebat. Tiba-tiba terdengar sebuah suara, makampun terbuka dan Ying tai melompat kedalam makam seketika makam langsung tertutup kembali. Angin dan hujan berhenti, bunga bermekaran dan sepasang kupu-kupu terbang keluar dari dalam makam. Sejak saat itu orangorang sering melihat sepasang kupu-kupu diatas makam terbang kesana kemari. Orangorangpun berkata sepasang kupu-kupu ini adalah sepasang kekasih Liang shan bai dan Zhu ying tai. Cerita cinta Liang shan bai dan Zhu ying tai sangatlah indah, ( Liang zhu) juga adalah alunan musik biola yang sangat merdu. ( Terjemahan oleh Febi Nur Biduri) Setelah membaca cerita diatas dapat disimpulkan bahwa kupu-kupu sebagai lambang kesetiaan di cerita ini. Masyarakat Tiongkok sudah selama beberapa generasi melambangkan kupu-kupu sebagai lambang kesetiaan sepasang kekasih seperti layaknya Ying tai yang sangat mencintai Shan bai sehingga tidak dapat menikah dengan orang lain. Untuk menunjukkan kesetiaannya pun dia memilih untuk ikut melompat kedalam makam dan mati bersama dengan kekasih yang dicintainya.
4
汉语阅读教程。北京语言文化大学出版社。2009,北京中国。h.39
~ 156 ~
Cerita ini termasuk dalam kategori Folklor sebagian lisan yaitu merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan, dikatakan folklor sebagian lisan karena cerita ini mengandung kepercayaan rakyat Tiongkok bahwa sepasang kupu-kupu adalah perwujudan dari Shan bai dan Ying tai. Demi rasa cinta yang mereka miliki mereka memilih untuk ber renkanasi sebagai kupu-kupu. Dimasyarakat Tiongkok mereka percaya bahwa setelah manusia meninggal dunia mereka akan ber renkanasi sesuai dengan hal bijak yang telah dilakukan dikehidupan sebelumnya, maka agar cinta Shan bai dan Ying tai tetap terjalin mereka memilih tidak berrenkanasi sebagai manusia melainkan sebagai kupu-kupu hal ini telah dipercayai dan diceritakan turun temurun lebih dari 2 generasi di Tiongkok. Dapat dibilang folklor sebagian lisan lainnya adalah karena cerita ini sering dibuat jīng j ù
sebagai teater rakyat atau yang disebut sebagai 京 剧 ’opera beijing’ dan wayang potehi yang sering disiarkan di televisi ataupun pesta rakyat. Bukti lainnya adalah adanya musik liáng
alunan biola yang berjudul 梁
zhù
祝 , alunan musik yang sangat indah dan sering
diperdengarkan diorkestra ataupun sebagai pendamping teater rakyat. Setiap masyarakat Tiongkok mengenal cerita ini dan berkat cerita inipun kupu-kupu dianggap binatang yang cantik serta setia kepada pasangannya, sering kali simbol kupu-kupu disematkan dalam acara pernikahan masyarakat Tiongkok sebagai simbol kesetiaan kedua mempelai hingga akhir hayat simbol kesetiaan lainnya adalah binatang angsa. Cerita inipun sudah tersebar kemanca negara dan diceritakan kembali dalam berbagai versi, ada pula versi yang menghilangkan simbol kupu-kupu dan menggantikannya dengan simbol lainnya misalnya dalam film mulan karya Walt Disney yang menggantikan simbol kupu-kupu dengan simbol bunga 美花 Mei hua sebagai simbol Ying tai yang cantik bagaikan bunga pink yang baru mekar dimusim semi. 5. SIMPULAN Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari arti atau makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Semiotika adalah studi tentang makna keputusan. Ini termasuk studi tentang tanda-tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, penunjukan, kemiripan, analogi, metafora, simbolisme, makna, dan komunikasi.
~ 157 ~
Folkore adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun gerak isyarat dan alat pembantu pengingat. Kupu-kupu dilambangkan sebagai kesetiaan karena perjuangan cinta Shan bai dan Ying tai. Ying tai ingin menunjukkan pada dunia bahwa dia hanya mencintai Shan bai hingga akhir hayat dan memutuskan untuk meninggal bersamanya dan ber renkanasi dengan menjadi kupu-kupu agar bisa hidup berdampingan dengan kekasihnya. Daftar Pustaka Dr. M.Rafiek, M.Pd. Teori sastra kajian teori dan praktik. PT. Refika Aditama, 2010. Bandung. 汉语阅读教程。北京语言文化大学出版社。2009,北京中国。 http://id.wikipedia.org/wiki/Semantik http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika
~ 158 ~
PENGEMBANGAN MESIN PENYEGARAN UDARA DENGAN TENAGA MATAHARI Kamaruddin A1)., Aep S. Uyun1), Muswar Muslim 2),Alie Bahmahry1) dan Rino Imanda1) 1). Sekolah Pascasarjana/Energi Terbarukan 2). Fakultas Teknologi Kelautan Universitas Darma Persada e-mail:
[email protected] Abstrak Dalam upaya mengurangi biaya penggunakan listrik mesin pendingin tipe kompresi perlu dikaji suatu sistem pendingin alternatip berupa pendingin desikan. Keistimewaan dari mesin pendingin desikan ini terletak pada pemanfaatan bahan higroskopik untuk mengurangi kadar air dalam udara, yang dengan memanipulasi kondisi udara lingkungan dapat menciptakan kondisi penyegaran udara tanpa memerlukan fluida kerja berupa zat pendingin. Untuk mengoperasikan mesin ini hanya memerlukan energi listrik sedikit. Penelitian semacam ini masih baru di Indonesia dan belum banyak yang menelitinya. Tujuan penelitian padatahun pertama adalah membuat pemodelan matematika dan simulasi dan melakukan perobaan untuk menentukan unjuk kerja sistem pendingin desikan. Hasil simulasi Untuk ukuran saluran 0.35 x 0.35 m,dengan laju udara 0.5 kg/m2s dapat dihasilkan suhu udara keluar dari saluran 25 oC dan RH 64% yang kemudian akan masuk ke ruangan penyegaran udara pada tingkat suhu 25 oC dan RH 65%. Masih perlu diadakan percobaan untuk membuktikan hasil simulasi dan untuk menentukan unjuk kerja sistem pendingin desikan. Keyword: Silica-gel, cakram berputar, model matematika, simulasi 1.
PENDAHULUAN Indonesia mempunyai suhu dara sekitar 30 oC dengan RH rata-rata diatas 80%. Pada
kondisi ini tidak nyaman baik untuk bekerja maupun untuk tinggal di rumah. Untuk itu padapenelitian ini diajukan suatu sistem pendingin dengan metoda pendinginan adsorpsi. Mesin pendingin adsorpsi merupakan suatu sistem pendingin yang memanupulasi kondisi udara tanpa menggunakan zat pendingin. Melalui manipulasi udara diharapkan dapat dciptakan kondisi udara yang nyaman untuk tempat tinggal dan untuk bekerja. Mesin ini akan berguna untuk mesin AC di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Penelitian mengenai mesin pendingin tipe adsorpsi ini belum banyak dilakukan orang terutama di Indonesia. Penelitian Chadi Maalouf. dkk di Prancis (2006) menunjukkan bahwa dengan menggunakan tenaga surya telah berhasil dirancang bangun suatu mesin pendingin adsorpsi untuk diterapkan dibeberapa kota di Prancis. Daou et al. (2004). Jurinak (1982) melakukan kajian unjuk kerja mesin pendingin adsorpsi menggunakan silica gel dan siklus Pennington. Jain et al. (1995) membandingkan penerapan mesin pendingin adsorpsi di 4 kota di India, menggunakan Dunkle cycle. Mereka menemukan bahwa dengan
~ 159 ~
mengunakan penukar panas basah menghasilkan efisiensi tertinggi.Mavroudaki et al. (2002) dan Halliday et al. (2002) telah menyajikan dua studi kelayakan mesin pendingin adsorpsi menggunaka tenaga matahari dan siklus Pennington di Eropa Selatan dan di Inggeris. 2. STUDI PUSTAKA Teknik pendinginan dengan menggunakan silika-gel untuk penyegaran udara baru akan dicoba dengan memanipulasi suhu dan RH udara, tanpa menggunakan fluid kerja berupa zat pendingin. Adapaun penelitian yang dilakukan diluar negeri meliputi penelitian dari Davangere dkk. (1999) yang menerapkan pendingin desikan dengan kapasitas pendingin 10 kW (2.85 ton refrigasi ) yang dibantu dengan mesin kompresi uap. Hasil suhu ruangan 26.7 o
C dengan kelembaban (nisbah kelembaban) W=0.01183 kg/kg udara kering untuk kondisi
udara luar di Florida sebesar 36 oC. Mereka melakukan melakukan analisis unjuk kerja menggunakan Psychrometric chart dan hasil simulasi mereka dicoba di 4 kota di Amerika Serikat. Mereka juga melakukan rancang bangun mesin pendingin desikan yang dikaitkan dengan penyegaran rumah tinggal dan menyimpulkan COP mesin adalah 0.66.jumakh air yang diperlukan untuk pendinginan evaporatip sebesar 0.00294. kg/det. dan air panas dari kolektor surya sebesar 0.001994 kg/det. Maarouf dkk,.(2006) melakukan simulasi yang diikuti dengan percobaan untuk membuktikan hasil simulasi mereka untuk sistem pendingin desikan kemudian menerapkan sistem pendingin desikan yang dikembangkan untuk diuji di 3 kota Prancis. Hasil penelitian disimpulkan bahwa untuk kota dekat Laut Tengah yang mempunyai kelembaban tinggi (diatas 16g/kg udra kering) dan suhu udara tinggi suhu regenerasi dari kolektor surya harus mencapai 70 oC bila menginginkan suhu ruangan yang nyaman Untuk musim panas RH ruangan pada kota dipinggir laut tengan mencapai lebih dari 80% dan pengaruh pendingin desikan menjadi kurang effektip. Pesaran dkk. (1992) dari NREL (The National Renewable Energy Laboratory) di Golden ,Colorado , mempunyai fasilitas untuk melakukan uji pendinginan desikan terutama uji kualitas dari desikan. Hasil uji mereka menunjukkan bahwa tergantung dari kualis desikan COP dan daya pendingin dapat berkurang dari 10 -35%. Dezfoulli, dkk. (2014) telah mencoba sistem pendingin desikan ini dengan menggunakan metoda simulasi TRANSYS, dan menyimpulkan bahwa pendingin desikan dengan mode ventilasi mempunyai nilai COP lebih besar dibanding mode resirkulasi baik untuk rancangan sistem pendingin satu tahap ataupun dua tahap. Karena itu disarankan untuk kondisi iklim lembab seperti Malaysia penggunaan mesin pendingin desikan tipe ventilasi dua tahap sangatlah cocok. Model
~ 160 ~
rancangan dengan ventilasi dua tahap pendinginan desikan dengan tenaga surya berhasil memasok udara keruangan sebesar 17.6°C dan nisbah kelembaban sebesar 0.0096 kg/kg (atau sekitar RH 70%) pada kondisi udara luar dengan suhu 30°C dan nisbah kelembaban 0.0200 kg/kg dengan suhu regenerasi sekitar 80 oC. Bellia, dkk, (2000) telah mengkaji berbagai hibrid pendinginan untuk berbagai jenis cakram disikan, dengan menggunakan program komputer DesiCalcTM, untuk empat kota di Italia. Mereka menyimpulkan bahwa penghematan maksium yang dicapai adalah 22%, dan untuk teater lebih besar lagi yaitu 23% sampai 38% serta penghamatan listrik mencapai 55%.
3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian adalah untuk: 1) Menentukan unjuk kerja prototype sistem pendingin adsorpsi (dessicant cooling). 2) Mengetahui sejauh mana manipulasi kondisi udara dapat mencapai kondisi penyegaran udara yang optimal. 3) Menentukan tingkat konservasi energi listrik Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk dapat mengganti sistem pendingin konvensional, mengingat harga BBM sebagai penggerak utama sistem pendingin konvensional semakin mahal. Sistem pendingin adsorpsi ini bersifat akrab lingkungan sehingga nantinya dapat membantu pengurangan emisi gas rumah kaca. 3.2 Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca dan hanya membutuhkan daya listrik sedikit. 4. METODE PENELITIAN 4.1 Cara Kerja Sistem Pendingin Desikan Gbr.1 menunjukkan komponen utama dari mesin pendingin adsorpsi sedangkan pada Gbr 2. ditunjukkan prinsip kerjanya. Seperti terlihat pada Gbr 1. (Pons dan Kodama, 2014), komponen utama dari mesin pendingin adsorpsi ini terdiri atas 2 cakram yang berisi silica gel yang bersifat higroskopis, pemanas kolektor surya, motor penggerak cakram dan ruang pendingin evaporatip . Pada gbr 2. terlihat kondisi udara luar dengan suhu 32 oC dan RH 40% akan masuk kedalam sistem pendingin yang karena adanya efek pemanasan akan meningkat suhunya menjadi 50.4 oC sedang RHnya menurun sampai 9% karena dihisap oleh silica gel yang ada dalam cakram. Udara kemudian didinginkan oleh cakram dengan sensible heat exchanger (penukar panas dengan panas sensibel) menjadi 24.6oC dan RH
~ 161 ~
menjadi 51%. Udara dari sini kemudian masuk keruang pendingin evaporatip sehingga suhu udara berubah menjadi 16oC dan RH menjadi 92%. Uadar ini akan masuk keruang dimana terjadi proses penyegaran udara menjadi suhu 26oC dan RH 55%.
Gambar 1. Komponen utama dari mesin pendingin adsorpsi (CNRS-LIMSI and Kumamoto University)
Gambar 2. Set up keseluruhan sistem penyegaran udara dengan energi surya (Davanagere dkk.1999) Udara dari ruang yang yang telah berada pada kondisi nyaman tadi kemudian masuk kedalam ruang pendingin evaporatip sehingga suhunya berubah menjadi 20.1 oC dan RH
~ 162 ~
menjadi 96%. Udara ini kemudian bersentuhan dengan cakram penukar panas sensibel sehingga suhunya menjadi 45oC dan RHnya menjadi 22%. Setelah kena panas matahari suhunya naik menjadi 70oC dan RH menurun menjadi 6% karena hisapan silica gel kering yang ada dalam cakram. Udara kemudian dibuang ke udara luar pada suhu 45.2 oC dan RH 12%. Demikian siklus pendingin berjalan secara berulang. Gbr 3 adalah contoh prototipe pendingin
desikan
dengan
tenaga
surya.(Hernandez,
dkk,2014).Mereka
berhasil
menurunkan suhu lingkungan dari 62.2 oF-65oF dari suhu lingkungan sebesar 63.5 oF sampai 67.8 oF.
Gambar 3. Suatu contoh prototipe pendinginan desikan dengan energi surya (Hernandez, dkk.2014)
4.2 Pemodelan matematika Bila m adalah massa udara dan x adalah nisbah kelembaban (humidity ratio) maka perubahan humidity ratio sepanjang arah z untuk panjang saluran udara 1.0 m, dapat dihitung dengan menggunakan hukum kesetimbangan massa berikut.
~ 163 ~
dx km( M Me) / V untuk 0 z 0.5 m dz dx m mk( x xs ) / V untuk z 0.5 m Dimana dz m=massa udara (kg) k=konstanta desorpsi (1/det.) M=kadar air desikan (%bk) Me+kadar air kesetimbangan desikan (%bk) V=laju aliran udara (m/det.) m
(1) (2)
Untuk perubahan suhu didalam saluran udara dimulai dari udara luar yang masuk ke dalam saluran sampai keluar didalam saluran terdapat cakran berisi desikan dan cakram penukar panas , yaitu sensible heat exchanger dapat dibanguan persamaan dari kesetimbangan energi dalam saluran sbb.
dT dz x h1 Ax1 (Tx1 T ) h2 Ax 2 (Tx2 T ) untuk 0 z 0.5m dz dt dT dz mCp x hev (T Ts ) untuk z 0.5m dz dt mCp
(3) (4)
Dimana Cp, panas jenis udara (kJ/kg C) h1, koefisien perpindahan panas konveksi pada cakram desikan (W/m2 C) h2, koefisien perpindahan panas pada penukar panas sensibel (W/m2 C) Ax1, luas permukaan desikan yang terkena aliran udara (m2) Ax2, luas permukaan perpindahan panas pada penukar panas sensibel (m2) Tx1, suhu desikan (oC) Tx2, suhu penukar panas sensibel (oC) hev, laju perpindahan panas pada pendignin evaporatip (W)
Untuk pemanasan oleh kolektor surya untuk penukar panas dapat dihitung menggunakan persamaan berikut.
qu I rad Ac U L Ac (Tc Ta) wCpw (Tc Thx ) qu m Dimana • Irad=Irradiasi surya (W/m2) • Ac=Luas kolektor surya (m2) • UL=koefisien panas hilang dari kolektor (W/m2 C) • Tc=suhu kolektor (oC) • Ta=suhu udara (oC) • qu=energi berguna dari irradiasi surya (Watt) • Thx=suhu heat exchanger (oC) 4.3 Simulasi sistem
~ 164 ~
(4) (5)
Dengan menggunakan parameter berikut dapat dilakukan simulasi sistem yang hasilnya dapat dilihat pada Gbr.4 untuk perubahan humidity ratio dan perubahan suhu sepanjang saluran pada Gbr.5.
Tabel 1. Data simulasi
Humidity ratio (g uap/kg udara kering)
Besaran m=0.06kg V= 8.16 m/s k1=1.2 (1/s) k2= 17.5 (kg uap/s) Xs=0.007 Me=7(%bk)
Besaran Ts=23 oC Ax1=0.25 m2 Ax2=0.2 m2 h1=2.5 W/m2 C h2=16 W/m2 C Tx1=65 oC
0.02
Besaran hev=0.3 Tx2=26 oC
Humidity ratio
0.015 0.01 0.005 0 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Jarak dari pintu masuk (m) Gambar 4. Perubahan humidity ratio sepanjang saluran
Suhu udara (oC)
Suhu udara (oC) 70 60 50 40 30 20 10 0
Suhu udara (oC)
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 Jarak dari pintu masuk (m)
Gambar 5. Perubahan suhu udara dalam saluran
~ 165 ~
Untuk pemanasan penukar panas oleh kolektor surya digunakan parameter berikut (Lih. Tabel 2). Tabel 2. Data pemanasan kolektor surya mw (kg/det) 15
Cpw (kJ/kg C) 4.19
Irad (W/m2 C) 600
Ac (m2) 1.64
UL (W/m2 C) 4.5
Untuk mencapai suhu kolektor surya 75 oC akan terkumpul panas sejumlah 651.9 Watt dan bilai air panas dialirkan ke penukar panas dalam saluran akan menghasilkan shuh 65 oC. Suhu ini akan memanskan cakram desikan untuk menguapkan air dari dalam desikan dan akhirnya akan memanaskan udara yang masuk dari luar. Dari hasil perhitungan diatas bila diplotkan ke grafik psychrometrik akan terlihat seperti pada Gbr.6 berikut.
4. PERCOBAAN Gambar 6. Kondisi udara pada grafik psychrometrik 5. KESIMPULAN DAN SARAN
1) Pemodelan matematika telah berhasil dibangun 2) Hasil simulasi dengan menggunakan saluran berukuran 0.35 x 0.35 m dengan panjang 1m , laju udara 0.5kg/m2 detik , cakram desikan berputar dan cakran penukar panas sensibel menghasilkan suhu keluar saluran sebesar 25 oC dan RH 65%. 3) Penelitian perlu dilanjutkan dengan kegiatan uji unjuk kerja sistem penyegaran udara desikan dengan menggunakan pemanasan kolektor surya. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas bantuan hibah melalui kontrak No.104/K3/KM/2015, Februari 23, 2015 dan No. Kontrak : 022/ SP3/LP2MK/UNSADA/II/2015 Februari 23, 2015.
~ 166 ~
DAFTAR PUSTAKA Bellia, L.,P. Mazzei, F. Minichiello and D. Palma(2010). Air Conditioning Systems With Desiccant Wheel Foritalian Climates. International Journal on Architectural Science, Volume 1, Number 4, p.193-213, 2000 Chadi Maalouf, Etienne Wurtz dan Francis Allard, 2006. Evaluation of the cooling potential of a dessicant evaporative cooling system using the SimSPARK environment. UTAP, University of Reims, Campus du Moulin de la Housse, Reims, France,
[email protected]. Davangere, B.S., S.A. Sherief, and D.Y Goswami. 1999. A Feasibility Study of Solar Dessicant Air-conditioning System –Part 1. Psychrometric and Analysis of the Conditioned Zone. International Journal of Energy Research, 23, 7-21. Daou K., Wang R.Z. and Xia Z.Z. (2004). Desiccant cooling air conditioning : a review, Renewable & Sustainable Energy Reviews, 1-23. Dezfouli,MMA, S. Mat,G. Pirasteh, K. S. M. Sahari, K. Sopian, and M. H. Ruslan, (2014). Simulation Analysis of the Four Configurations of Solar Desiccant Cooling System Using Evaporative Cooling in Tropical Weather in Malaysia. International Journal of Photoenergy Volume 2014 (2014), Article ID 843617, 14 pages http://dx.doi.org/10.1155/2014/843617 Halliday S.P., Beggs C.B and Sleigh P.A. (2002). The use of solar desiccant cooling in the UK : a feasibility study, Applied Thermal Engineering, 22, p.1327-1338. Hernandez, L. ,Heywood, J., Kumar ,A. And Roman, Y, 2014. http://solar.sdsu.edu/Final Docs/Solar Air Conditioning Final Report 490B.pdf dikunjungi April, 2014 Jurinak J.J. (1982). Open Cycle Desiccant Cooling Component Models and System Simulations, Ph. D. thesis,Dept. Mech. Eng.,University of Wisconsin-Madison. Jain S, Dhar PL. (1995). Evaluation of solid desiccant- based evaporative cooling cycles for typical hot and humid climates. Int J Refrig, 18 (5):287-96. Mavroudaki P., Beggs, C.B., Sleigh P.A. and Halliday S.P. (2002). The potential for solar powered single-stage desiccant cooling in southern Europe, Applied Thermal Engineering 22, pp. 1129-1140. Pons, M and A.Kodama,(2014). Second Law Analysis Of The Open Cycles For Solid Desiccant Air-Conditioners, CNRS-LIMSI and Kumamoto University www.perso.limsi.fr/mpons/desopen.htm. Dikunjungi April 2014.
~ 167 ~
~ 168 ~
KERANGKA STUDI PENERAPAN MONOZUKURI PADA INDUSTRI KECIL MELALUI TEORI DIFUSI INNOVASI UNTUK MENINGKATKAN KEBERLANJUTAN USAHA Herman Noer Rahman1), Asyari Daryus2), Eko Budiwahyono3) 1) Teknik Industri, 2) Teknik Mesin, 3) Teknik ELektro – Fakultas Teknik Abstrak Kerangka studi ini mengenai pengkajian difusi monozukuri di kalangan industry kecil, khusus untuk meningkatkan tingkat adopsi konsep monozukuri dalam rangka meningkatkan produktifitas Pada tahap ini yang dikaji adalah pada proses diasin produk dan teknologi produksi. Target khusus adalah meneliti tingkat adopsi konsep dan praktek monozukuri dan mendisain model stretegi implementasi monozukuri pada industry kecil, terutama menguraikan syarat-syarat monozukuri terakulturasi dan bagaimana memfasilitasi syarat-sayarat tersebut. Teori difusi yang dipakai adalah Kerangka KPDAC dari Rogers, yang biasa digunakan sebagai model untuk men-desain strategi implementasi suatu tenologi dan menentukan syarat-syarat adopsi dari innovasi tersebut.Metode yang dipakai adalah studi kualitatif dan memanfaatkan teori grounded untuk menarik kesimpulan yang terdapat di lapangan. Kata kunci: monozukuri , difusi inovasi, metoda kualitatif, teori grounded, industri kecil 1. PENDAHULUAN Latar Belakang: Monozukuri menurut
Fukushima (2009) diartikan sebagai gaya
manufaktur Jepang ,hal itu merupakan spirit dalam bekerja baik secara individu, maupun kelompok. Dan adanya gaya manajemen berbasis kepercayaan (trust) pada level perusahaaan, serta transaksi yang juga berbasis kepercayaan pada berbagai jaringan kerja perusahaan. Titik kekuatan utama usaha adalah suasana menguasai pengetahuan secara kelompok dalam perusahaan. Hal ini tentunya menuntut pola manajemen sumber daya manusia yang khas dalam perusahaan. Sebagai suatu konsep dan praktek, monozukuri sudah terterapkan di Indonesia terutama oleh
perusahaan Jepang. Dengan memperhatikan berbagai keberhasilan perusahaan
manufaktur Jepang tersebut maka konsep dan praktek monozukuri ini sudah sewajarnya juga dapat diterapkan pada industri kecil di Indonesia . Salah satu cara adalah melalui suatu proses difusi.inovasi ( Rogers dalam Greg Orr (2003) ) Pengertian difusi adalah proses suatu inovasi ditransmisikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu di antara para anggota suatu sistem social. Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu atau kelompok
~ 169 ~
masyarakat. Tujuan utamanya adalah diadopsinya suatu inovasi oleh anggota suatu sistem sosial . Studi penerapan monozukuri ini akan dilaksanakan
pada industri kecil yang
memproduksi mebel atau produk kayu lainnya, terletak di desa Bojong Jakarta Timur. Berlokasi di kelurahan Pondok Kelapa, berjarak sekitar 1 km dari kampus Universitas Darma Persada. (lihat peta ) Sudah ada beberapa kegiatan studi dan pengabdian masyarakta Unsada di desa ini. Di antaranya ada yang bekerja sama dengan UniversitasTakushoku, untuk pengembangan produk kreatif dari kayu Permasalahan : Bagaimana penerapan difusi ide , konsep dan praktek monozukuri industry kecil, khususnya industri Dilanjutkan dengan pembuatan kerangka evaluasi proses engineering di aspek produk dan teknologi produksi. Untuk studi lanjutannya , permasalahan perlu dikembangkan dengancara memakai perspektif organisasi usaha, dengan metoda diagnosis model system kemandirian dan tumbuh atau Viable System Model (VSM) Tujuan Khusus : Pengembangan model dasar disfusi Monozukuri beserta fasilitas untuk keberhasilan difusi pada industry kecil khususnya mebel. Mengevaluasi proses disain produk dan teknologi produksi dalam ranga meningkatkan peoduktifitas usaha dan keberlanjutannya. Selain itu membuat buku ajar mengenai monozukuri yang dapat dijadikan sebagai bahan acuan mata kuliah Monozukuri , terutama untuk Fakultas Teknik, yang sudah dimasukkan ke dalam kurikulum wajib universitas Unsada sejak 2011, sebagai penopang visi misi Unsada.
2. TINJAUAN PUSTAKA Monozukuri: Monozukuri adalah konsep yang dilandasi oleh budaya kreatif dalam membuat barang (monozukuri tetsugaku), semangat industri (sangyo spirit), dan jiwa wirausaha/entrepreneurship (kigyoka) memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menghasilkan barang/jasa yang berdaya saing tinggi di pasar global (RIP Penenitian UNASDA 2012-2017). Menurut Fukushima dan Yamaguchi; (2009) istilah itu berarti gaya manufaktur Jepang (Japanese manufacturing style), yaitu semangat dalam bekerja dalam individu, dan adanya gaya manajemen berbasis kepercayaan (trust) pada level perusahaaan, serta transaksi berbasis kepercayaan pada jaringan Teknologi atau Riset dan Pengembangan (R&D), serta dengan jaringan Pasokan komponen (keiretsu). Titik kekuatan utamanya adalah terciptanya
suasana meraih pengetahuan secara kelompok dalam perusahaan.
~ 170 ~
Semangat dan kepercayaan itu membuat pola manajmen personalia dan hubungan antar manusia menjadi sesuatu yang spesifik atau khas. K. Saito (2005) menjelaskan Monozukuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang terdiri dari “mono” yang berarti ‘ produk’ dan “zukuri” yang berarti “proses pembuatan atau kreasi’. Namun kata tersebut berarti jauh dari pada sekedar membuat sesuatu, kata tersebut menekankan excellence, skill, spirit, zest, and pride in the ability to make things good things very well.( keistimewaan, ketrampilan, semangat, kegembiraan dan kebanggaan dalam kemampuan membuat barang dengan dengan sangat baik). Monozukuri bukanlah pemikiran yang repetitif tetapi memerlukan pemikiran kreatif. Pemikiran kreatif ini dapat diperoleh melalui praktek magang jangka panjang .Salah satu bentuk dari monozukuri bisa ditemui pada Toyota Production System(TPS) yang mengadopsi prinsip penyempurnaan berkelanjutan atau kaizen. Kaizen adalah prinsip dasar dan panduan dalam TPS, pada pelaksanaannya diaplikasikan pemikiran kreatif dalam mencari solusi dari masalah produksi yang dihadapi. Penerapan monozukuri dapat pula dijumpai pada perusahaan yang melaksankannya. Sebagai contoh dari perusahaan NTN, yang memprogramkan peningkatan nilai tambah berbagai produk dan menyempurnakan kemampuan produksi melalui perbaikan aliran produk
dan
informasi
,
serta
mengintegrasikan
prinsip
5S
(Sort
,Straighten,Scrub,Systematize, Standardize) , 3 R (Right position, Right quality, Right quantity), juga mengupayakan
memperpendek waktu persiapan.. Selain itu juga
meningkakan utilisasi fasilitas produksi, dan Ditambahkan juga meningkatkan ketrampilan dan efisiensi pada personel.( NTN corp.,2007 ) Dalam pengembangan esensi monozukuri ini ternyata saling pengaruh secar mendunia tidak terhindarkan. Untuk urusan kreatifitas, metode yang dikembangkan di Rusia yaitu Triz juga diaplikasikan oleh pihak peneliti Jepang. (Lihat Maeda (2009)·) Studi tentang Monozukuri
telah dilakukan tertama dalam bidang social systems,
enterprise systems, production systems, and psychology, bahkan efek interaksi antar systemsistem tersebut. Untuk Indonesia penerapan monozukuri dilakukan melalui aplikasi ,TPS, JIT, kaizen, 5s , dlsb Difusi Innovasi : Difusi innovasi adalah masalah pentrasmisiasi. inovasi , di dalamnya ada pengirim ,pesan, dan penerima.Penerimaan dalam difusi ini disebut juga dengan adopsi. Keputusan adopsi bagi penerima tidaklah serta merta., tetapi melaui suatu rentetan tahap tertentu Rogers mengemukakan
teori tentang keputusan
~ 171 ~
inovasi yaitu: Knowledge,,
Persuasion , Decision , Implementation , dan Confirmation ( disingkat KPDIC). Tahap pengetahuan. Dipengaruhi oleh karakteristik sosial-ekonomi, nilai-nilai pribadi dan pola komunikasi. Tahap persuasi terkait dengan karakteristik inovasi, kelebihan inovasi, tingkat keserasian,
kompleksitas, dapat dicoba dan
dapat dilihat. Pada tahap pengambilan
keputusan menimbang untung rugi memutuskan apakah akan mengadopsi atau menolak. Tahap implementasi, individu menentukan kegunaan dari inovasi dan mencari informasi lebih lanjut. Terakhir tahap konfirmasi. Yaitu tahap penegasan, menerima atau menolak. Kebeberhasilan diffusi diukur dengan tingkat adopsi,yaitu kecepatan suatu innovasi diterima oleh masyarakat.
Faktor yang mempengaruhinya adalah tingkat karakteristik
innovasi, keputusan adopter, system social, saluran komunikasi,peran agen perubahan. Karakteristik dominan diterimanya suatu inovasi adalah: a. tingkat kelebihan suatu inovasi, apakah lebih baik dari inovasi yang ada sebelumnya atau dari yang biasa dilakukan. Ini diukur dari sisi ekonomi, sosial, individual (nyaman atau puas). b. Compatability adalah tingkat keserasian/kecocokan
dari suatu inovasi, seperti konsisten dengan nilai-nilai,
pengalaman dan kebutuhan yang ada. c. Complexity adalah tingkat kerumitan dari suatu inovasi untuk diadopsi, seberapa sulit atau mudah dalam memahami dan menggunakan inovasi. e. Triability merupakan ukuran apakah suatu inovasi dapat dicoba terlebih dahulu. f. Observability adalah tingkat bagaimana hasil penggunaan suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain.(ibid) Penerapan
teori difusi ini telah cukup banyak dilakukan, salah satunya tentang
penggunaan kerangka analisa kualitatif yang disebut kontinum KPDAC (knowledge, persuasion, decision, adoption, confirmation) tadi
untuk memahami proses dan hasil
akulturasi Teknologi Energi Terbarukan (TET) di desa-desa tak-berlistrik jaringan (off-grid) di Indonesia.( Maria Retnanestri, 2013) Penelitian Kualitatif : Studi ini termasuk kategori kualitatif , yang berusaha merumuskan teori yang diangkat dari lapangan. Secara pentahapan studi terdiri dari tahap pra lapangan (proposal, pilih lapangan, ijin, nilai lapangan,pilih responden/narasumber/informan, perlengkapan) ; tahap Lapangan (pemahaman latar penelitian, memasuki lapangan, peran serta sambil mengumpulkan data); tahap analisis (Konsep dasar analisis data: reduksi penyajian, kesimpulan); Menemukan tema dan merumukan hipotesis, analaisis berdarkan hipotesis Focus rumusan masalah secara tentative (artificial):how,why, what, how far:( Putu Sudira-(2009) (Widjajani, Gatot Yudoko (2008))
~ 172 ~
Tahap pra lapangan telah dipilih para pengusaha industry kecil mebel.kayu di desa Bojong Jakarta Timur. Pemilihan responden adalah para pemilik ataupun pekerja senior dari industry tersebut. Pekerjaan pra lapangan yang juga perlu adalah menuliskan konsep esensi monozukuri sebagai pedoman standard nantinya untuk pembanding di Lapangan. Grounded Theory: Studi ini juga menggunakan Grounded Theory (GT) dalam rangka memunculkan kesimpulan dalam bentuk teori yang digali dari lapangan. . GT merupakan desain studi kualitatif yang memungkinkan peneliti untuk menurunkan konstruk dan membangun teori dari data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti bukan dari teori yang sudah ada , dan memberikan peneliti suatu kemampuan untuk menurunkan teori di dalam konteks data yang dikumpulkan. Tujuan dari penelitian grounded theory ialah untuk menghasilkan atau menemukan suatu teori, suatu skema analitis abstrak dari suatu fenomena yang berhubungan dengan suatu situasi tertentu.( Putu Sudira-(2009) ) Konsep Dasar Viable System Model : Viable System Model (VSM) secara ringkas terdiri dari lima (sub) sistem yaitu sistem implementasi , koordinasi, kontrol, pengembangan dan policy. Sistem operasional terdiri dari bagian-bagian yang langsung berhubungan dengan implementasi dari suatu orgainisasi, makanya kadang-kadang bisa disebut juga dengan subsidiary, divisi, atau bagian-bagian. Sistem dua: Koordinasi, bertugas melakukan koordinasi yang harmonis terhadap semua bagian/divisi yang tercakup ke dalam system operasional (sistem satu) . Sistem tiga: Kontrol, yang dilengkapi dengan perangkat aliran informasi yang disebut sebagai saluran audit yang memungkinkan sistem tiga melakukan akses langsung terhadap status dari berbagai kejadian pada elemen-elemen operasional. Sistem Pengembangan untuk pengembangan, Dan sistem Kebijakan ( Policy) bertanggung jawab atas pengarahaan dari perusahaan secara keseluruhan dan merupakan bagian berpikir dari perusahaan (berfungsi sebagai ‘otak’). (lihat Rahman, HN, 2004 )
3. HASIL AWAL STUDI 3.1 Kondisi Industri kecil di Bojong Industri mebel
Desa Bojong diawali dari beberapa pengrajin yang mulai
mengembangkan usaha mebel kayu pada tahun 1980an. Perkembangan industry mebel di desa bojong dari tahun ke tahun semakin mengalami perkembangan, beberapa industry mebel kecil di desa bojong saat ini sudah mulai mengembangkan usahanya hal ini bisa di amati dari semakin baiknya proses produksi furniture, pemasaran produk yang sudah mulai meluas, adanya geliat usaha industry mebel kayu yang mulai banyak di wilayah desa Bojong
~ 173 ~
itu sendiri, Semua proses pembuatan kerajinan mebel kayu dilakukan oleh pengrajin bersama karyawan di tempat pengrajin, tetapi ada beberapa pekerjaan yang dikerjakan oleh sub kontraktor/sanggan. Sub kontraktor/sanggan biasanya mengambil bahan baku dan bahan penolong dari perusahaan kerajnan/pengrajin besar yang menyediakan bahan baku dan bahan penolong serta memiliki order barang yang cukup banyak sehingga tidak bisa ditangani oleh tenaga kerja yang ada. Teknologi yang dipergunakan para pengrajin kebanyakan menggunakan teknologi tepat guna seperti serkel (mesin potong ukuran kecil), mesin bubut, mesin gergaji bengkok dan lain-lain. Sedangkan mesin buatan pabrik yang ada seperti pasah listrik, amplas listrik. Mesin pengering masih tradisional, dan masih mengandalkan pengeringan dari sinar matahari, Para pengrajin dalam mendapatkan bahan baku didapat dari para penjual di sekitar wilayah Jakarta dan sekitarnya. Terkadang pengrajin atau pemilik toko mebel sendiri sering memanfaatkan kayu-kayu limbah dari sekitar seperti kayu limbah dari pembangunan perumahan, limbah pembangunan jalan, limbah pembangunan pabrik, dan limbah-limbah kayu dari sekitarnya yang sekiranya masih dapat di manfaatkan dalam bahan baku pembuatan produk, Sedangkan para penjual kayu ini biasanya mendatangkan kayu melalui para pamasok dari berbagai daerah seperti Jawa Barat dan Lampung. Bila diperhatikan pengalaman beroperasinya para pengrajin ini maka dapat disimpulkan bahwa usaha tersebut merupakan usaha turun temurun bahkan ada yang sudah generasi ketiga, artinya dari sisi pengalaman sudah sangat baik.
Tahapan Innovasi : Pengetahuan Persuasi Keputusan Adopsi Konfirmasi. a.
Pengetahuan. Kesadaran individu akan adanya inovasi monozukuri dan adanya pemahaman tentang hal itu tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Secara tanggap responden memahami apa manfaat konsep atau ide monozukuri terutama bila dikemukakan tentang produksi gaya jepang dan para pengrajin juga sudah pernah mendapatkan beberapa pelatihan dari LPM2K Unsada sejak beberapa tahun lalu.
b.
Persuasi. Individu terutama responden mewakili sikap yang menyetujui dalam arti memahami manfaat konsep mozukuri.
c.
Keputusan. Pihak responden bersikap mau bekerja sama membantu penelitian .Individu terlibat dalam aktivitas yan membawa pada suatu pilihan yang mengarah kepada mengadopsi inovasi.Dalam hal bukti yang adalah adanya kerjasama dari responden.
~ 174 ~
d.
Adopsi. Yang diinginkan adalah semua anggota kelompok pengrajin nantinya secara sadar mengadopsi konsep monozukuri ini , melalui contoh keberhasilan para responden.
d.
Konfirmasi. Individu akan mencari pendapat yang menguatkan keputusan yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari keputusan sebelumnya jika pesan-pesan mengenai inovasi yang diterimanya berlawanan satu dengan yang lainnya. Disekitar pengrajin ada beberapa industry mebel yang brelatif besar, mereka punya akses untuk berdiskusi dlsb. Pada penelitian ini secara sadar informasi tentang ide monzukuri dikomunikasikan
sebagai suatu proses sosial sehingga suatu saat menjadi suatu proses yang lebih berskala besar, individu, kelompok dan menjadi kegiatan bersama (sosial) Untuk itu perlu dipaparkan ide monozukuri sebagai inovasi yang dipandang oleh penerima sebagai inovasi yang mempunyai manfaat relatif, kesesuaian, kemampuan untuk dicoba, kemampuan dapat dilihat yang jauh lebih besar, dan tingkat kerumitan yang lebih rendahakan lebih cepat diadopsi daripada inovasi-inovasi lainnya.. Inovasi yang dipandang oleh penerima sebagai inovasi yang mempunyai manfaat relatif, kesesuaian, kemampuan untuk dicoba, kemampuan dapat dilihat yang jauh lebih besar, dan tingkat kerumitan yang lebih rendah akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi-inovasi lainnya
4. KESIMPULAN Model difusi monozukuri bagi industry kecil adalah sesuatu yang penting untuk dikembangkan sehingga daya saing dan keberlanjutan usahanya makin terjamin. Selain itu makin terbuka jalan untuk teradopsinya berbagi konsep, praktek dan peralatan dari gaya produksi Jepang,dengan waktu yang tidak lama menjadi gaya operatif sehingga terjadi akuturasi dalam berproduksi, pada gilirannya menaikkan produktifitas dan memperbaiki tingkat pendapatan sehingga menunjang pembangunan nasional dalam melawan kemiskinan. Dengan adanya penelitian yang bersifat bawah- atas, maka menjadi pengayaan ilmu teknik industri dan teknik produksi dalam mencari solusi masalah nyata di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Greg Orr (2003), Diffusion of Innovations, by Everett Rogers (1995), a Review March 18, 2003, internet, accessed 20 maret 2014 Putu Sudira-(2009), S3 PTK PPS UNY – Grounded Theory – (2009), Program Pasasarjana Universitas Yogyakarta
~ 175 ~
Maeda, Takuo (2009 ) Japan oriented Crative Monozukuri with Triz, Takumi System Architecs Rahman, HN (2004), Viable System Model Sebagai Alat Untuk Mendiagnosa Problema dan meningkatkan Efektifitas Organisasi, Darma Persada, Tahun I/no 2, mei 2004 Retnanestri, Maria; Hugh Outhred, (2013), Renewable Energy Technology Acculturation In Indonesia : Lessons From Off- Grid and Hybrid Case studies, JITE Vol. 1 No. 16 Edisi Februari 2013 :hal 7 – 18 Fukushima, Shiro; Kaoru Yamaguchi; (2009), Is Japanese Manufacturing Style (so-called Monozukuri ) really robust? - Causal Loop Diagram and Modeling Analysis -, (http://www.systemdynamics.org/conferences/2009/proceed/papers/P1126.pdf) Saito K (2005), Development of The University of Kentucky – Toyota Research Partnrship Application to Monozukuri , Lecture note was prepared for the TMV 10th anniversary special lecture series on monozukuri, at Hanoi University of Technology, Vietnam, October 21, 2005 NTN corporation (2007) , Production Monozukuri Innovation, special feature, annual report 2007. LPM2K UNSADA, (2012) RIP Penenlitian UNSADA 2012-2017) Widjajani, Gatot Yudoko (2008) , Keunggulan Kompetitif Industri Kecil di Klaster Industri Kecil Tradisional dengan Berbasis Sumber daya: Studi Kasus Pengusaha Industri Kecil Logam Kiara Condong, Bandung, Jurnal Teknik Industri vol 10,no 1 Juni 2008, hal 50-64
~ 176 ~
REKAYASA SOSIAL UNTUK MEWUJUDKAN MODEL DESA E3I PADA DUSUN TANGSI JAYA, DESA/KECAMATAN GUNUNG HALU KABUPATEN BANDUNG BARAT Ardi Winata1, Nani Dewi Sunengsih2, Widiastuti3 Teknik Informatika, Sastra Jepang, Sastra Inggris – Fakultas Sastra Abstrak Program Desa Mandiri Energi (DME) adalah desa yang masyarakatnya memiliki kemampuan memenuhi lebih dari 60% kebutuhan listrik dan bahan bakar dari sumber energi yang dihasilkan melalui pendayagunaan potensi sumber daya setempat. DME dikembangkan dengan konsep pemanfaatan energi setempat khususnya energi terbarukan untuk pemenuhan kebutuhan energi dan kegiatan yang bersifat produktif. Pengembangan DME dimaksudkan untuk menjadikan kegiatan penyediaan energi sebagai entry point dalam pengembangan kegiatan ekonomi pedesaan dengan menggunakan semua potensi sumber daya dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, Swasta, dan Masyarakat, sejalan dengan model DME yang terus dikembangkan dengan gagasan baru dengan nama Desa E3i. kependekan kata dari Independent Village of Energy, Economy and Environment, yang dapat diartikan dengan desa yang mampu memanfaatkan energi setempat untuk memacu pertumbuhan ekonomi seraya menjaga kelestarian lingkungan, sehingga tercipta suasana yang segar, indah nyaman dan membuat penduduknya betah tinggal. Untuk menunjang terciptanya Desa E3i perlu Rekayasa Sosial. Rekaya sosial (Social engineering) adalah campur tangan gerakan ilmiah dari visi ideal tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Kata Kunci : Rekayasa Sosial, Desa Mandiri Energi, Desa E3i 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Rimba Lestari, Dusun Tangsi Jaya, Desa Gunung Halu, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, yang dibangun pada tahun 2007 tercatat pada saat itu ada 60 KK yang menjadi konsumen PLTMH ini. Penelitian Analisis Gender yang dilakukan di Dusun Tangsi Jaya, Desa Gunung Halu, Kecamatan
Gunung
Halu
Kabupaten
Bandung
Barat,
pada
tahun
2010.
(http://demosite.microhydro.co.id/assets/files/Laporan_Gender.pdf). menyimpulkan antara lain bahwa : (a) Kaum Perempuan memberi kontribusi yang relatif besar terhadap aktifitas produktif berupa pekerjaan disektor pertanian dan perdagangan (b) Kepengurusan lembaga pengelola di PLTMH belum menempatkan perempuan sebagai pengelola, sehingga di lembaga pengelola PLTMH kaum perempuan kurang terwakili. (c) Keberadaan PLTMH dapat menggeser kegiatan perempuan yang sebelumnya dilakukan siang hari.menjadi dapat dikerjakan pada malam hari.
~ 177 ~
Selanjutnya penelitian LP2MK Unsada dan SEADI pada tahun 2011 serta penelitian rahedi
(Tesis 2012) dengan mengacu kepada
3 ( tiga ) kerangka dasar dari tujuan
dibangunnya PLTMH yaitu untuk mendukung Mekanisme Pembangunan Bersih, Pengembangan Elektrifikasi Perdesaan, dan Kapasitas komunitas untuk pengentasan Kemiskinan (Kerangka Acuan Pembangunan PLTMH, DJLPE 2009), antara lain diperoleh data bahwa jumlah penguna listrik PLTMH telah meningkat menjadi 75 KK. Kondisi sosial ekonomi, berdasarkan statistik 2010, populasi dusun Tangsi Jaya adalah 272 orang dengan 77 rumah tangga. Dari 77 rumah tangga (KK), 66 KK (71%) dari mereka masih dikategorikan sebagai di bawah pra-sejahtera (kondisi subsisten) dan kebanyakan mereka adalah lulusan sekolah dasar, sumber utama penghasilan adalah pertanian padi dengan kepemilikan rata-rata 3 gawang (0,12 ha) / KK. para petani menanam varietas beras lokal yang hanya dapat dipanen setelah 7 bulan, hasil panen sekitar 0,6 ton / gawang atau 1,8 ton / tahun, sebagian besar padi ditanam adalah untuk konsumsi desa itu sendiri. Sekitar 20 KK menanam padi tetapi juga mengolah berbagai tanaman sayuran dengan waktu panen ratarata 3 bulan,. Penghasilan rata-rata yang diterima dari pertanian sayuran adalah sekitar Rp. 2 juta / KK / musim, hampir semua sayuran dipanen dan dijual ke pasar terdekat. Selain pertanian padi dan budidaya sayuran, 70 KK juga memiliki kebun kopi sendiri, perkebunan mereka berada sebagian besar dalam lahan hutan milik Perhutani (BUMN Kementerian Kehutanan). Setiap KK memiliki rata-rata 0,12 ha lahan, ditanami 300 pohon kopi. Setiap pohon dapat menghasilkan 600 kg buah kopi selama masa panen dan dijual ke tengkulak dalam kondisi yang belum diproses. Pendapatan rata-rata mereka dari perkebunan kopi adalah Rp.1, 800.000 / KK / tahun. Konsumen listrik dapat dibagi menjadi lima kategori seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1 PLTMH beroperasi selama 16 jam rata-rata per harinya , kecuali hari Jumat dan Minggu (full 24 jam per hari). Dalam setahun beroperasi untuk 6656 jam menghasilkan 119.808 kWh listrik, hasil penelitian tahun 2012 , rumah tangga subsisten dengan kategori A menggunakan 1 A dari listrik. Bagi mereka yang tidak mampu membelinya, listrik adalah gratis. sedangkan untuk rumah tangga sejahtera yang semua dikategorikan ke dalam kelompok C dengan 2A (450W). Selain itu, ada 10 rumah tangga menggunakan listrik PLN (450 W). Untuk keperluan memasak, warga dusun Tangsi Jaya menggunakan kayu bakar yang diperoleh dengan mengumpulkan ranting dari hutan terdekat. Konsumsi bahan bakar kayu rata-rata adalah 12 m3/tahun untuk keluarga sejahtera dan 24 m3/tahun untuk keluarga
~ 178 ~
subsisten. Selain kayu bakar, beberapa warga rumah tangga sejahtera juga telah menggunakan kompor LPG untuk memasak, dengan konsumsi rata-rata LPG 90 kg / tahun. 1.2 Rumusan Masalah. Berdasarkan kondisi dan potensi sumberdaya lokal yang telah tersedia saat ini serta hasrat untuk menjadikan Dusun Tangsi Jaya, Desa Gunung Halu menjadi model Desa E3i, maka perlu dibuat suatu model Rekayasa Sosial sebagai alat sosial untuk memenuhi hasrat tersebut. Pertanyaannya adalah : “ Model Rekayasa Sosial seperti apa, yang mungkin dapat mengaktifkan partisipasi seluruh pemangku kepentingan untuk memanfaatkan potensi ENERGI yang tersedia sehingga dapat menjadi penggerak EKONOMI dusun, dengan tetap dapat menjaga keseimbangan EKOSISTIM setempat “ ? 1.3 Tujuan dan Sasaran Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1.3.1. Kondisi dan potensi komunitas Dusun Tangsi Jaya 1.3.2. Persepsi masyarakat terhadap kinerja PLTMH 1.3.3. Karakteristik sosial ekonomi masyarakat Sasarannya adalah Terbentuknya Model Rekayasa Sosial yang sesuai untuk diterapkan pada Dusun Tangsi Jaya agar bisa menjadi Desa E3i 1.4 Manfaat yang diharapkan dari hasil Penelitian ini adalah : Hasil Penelitian nanti dapat menjadi salah satu Model Rekayasa Sosial Desa E3i dan dapat digunakan sebagai acuan penelitian lebih lanjut serta diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan atau rekomendasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung Barat maupun institusi lain yang mempunyai perhatian sama terhadap masalah Pembangunan Perdesaan. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rekayasa Sosial Istilah rekayasa sosial atau dalam bahasa asing sering kita sebut (Sosial engineering), seringkali dipandang negatif karena lebih banyak digunakan untuk menunjukan prilaku yang manipulatif. Padahal secara konseptual istilah rekayasa sosial adalah suatu konsep yang netral yang mengandung makna untuk mendesain sebuah perubahan sosial, sehingga efek yang diperoleh dari perubahan tersebut, dapat diarahkan dan diantisipasi.
~ 179 ~
Soejono Soekanto (1996) memberi pengertian rekayasa social (social engineering) caracara mempengaruhi masyarakat dengan system yang teratur dan dikrencanakan terlebih dahulu, atau sering juga dinamakan perencanaan social (social planning). Selain itu, konsep rekayasa sosial (sosial engineering) diberi pengertian juga adalah campur tangan gerakan ilmiah dari visi ideal tertentu yang ditujukan untuk mempengaruhi perubahan sosial. Rekayasa sosial merupakan sebuah jalan mencapai sebuah perubahan sosial secara terencana. 2.2 Perubahan Sosial Perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai, sikap-sikap sosial, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.( Soemardjan Selo dan Soeleman Soemardi, 1974. Hal.23) 2.3 Pembangunan Pedesaan. Penelaahan dalam Pembangunan Perdesaan dapat didekati dengan berbagai sudut pandang, Menurut Haeruman (1997) ada dua sisi pandang dalam menelaah pedesaan, yaitu 1. Pembangunaan pedesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah yang bertumpu pada potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. 2. Sisi yang lain memandang pembangunan pedesaan sebagai suatu interaksi antar potensi yang dimiliki oleh masyarakat desa dan dorongan dari luar untuk mempercepat pembangunan pedesaan. 2.4 Pembangunan Desa Mandiri E3i ( DM. E3i ). Pengembangan DME dimaksudkan untuk menjadikan kegiatan penyediaan energi sebagai entry point dalam pengembangan kegiatan ekonomi pedesaan dengan menggunakan semua potensi sumber daya dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, Swasta, dan Masyarakat, seiring dengan model DME yang terus dikembangkan dengan gagasan baru yang kita kenal Desa Mandiri E3i. kependekan kata dari Independent Village of Energy, Economy and Environment, dengan pengertian secara umum Desa Mandiri yang mampu memanfaatkan energi setempat untuk memacu pertumbuhan ekonomi seraya menjaga keseimbangan lingkungan, sehingga tercipta suasana yang segar, indah nyaman dan membuat penduduknya betah untuk tinggal (Kamaruddin Abdullah,2007).
~ 180 ~
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pikir
3.2 Metode Analisis Kajian dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisis secara bertahap sebagai berikut: 3.2.1
Pemetaan kondisi dan potensi Komunitas Dusun Tangsi Jaya, Desa Gunung Halu saat ini dengan menggunakan pendekatan Analisis SWOT
3.2.2
Untuk mengetahui Persepsi masyarakat terhadap Kinerja PLTMH menggunakan pendekatan Analisis Persepsi Diagram Kartesius
3.2.3
Selanjutnya untuk mengetahui karakteristik dan potensi sektor ekonomi yang menjadi unggulan dusun setempat, menggunakan pendekatan Analisis Kelayakan Ekonomi
4. HASIL CAPAIAN PENELITIAN 4.1 Gambaran Lokasi
~ 181 ~
Dusun Tangsi Jaya termasuk Kecamatan Gunung Halu wilayah Kabupaten Badung Barat Propinsi Jawa Barat, terletak di ketinggian 1.100 M di atas permukaan laut, dengan Topografi memiliki bentangan alam berbukit-bukit dan tipologi dusun disekitar hutan, dengan suhu rata-rata 26 0C hingga samapai 30 0C. Luas Dusun Tangsi Jaya diperkirakan, dengan rincian 20 ha dipergunakan untuk perkebunan kopi, dan 8.8 ha dipergunakan untuk sawah, 15 ha digunakan untuk pemukiman dan kebun tumpang sari, serta untuk pasilitas umum dan jalan, sekolah SD, lapangan bola kaki serta masjid. Akses untuk menujuk ke Dusun Tangsi Jaya, jarak dari Ibu Kota Negara 220 Km. Jarak dari Ibu Kota Propinsi 80 Km, Jarak dari Ibu Kota Kabupaten 60 Km, dan jarak dari Ibu Kota Kecamatan 3 Km. Kondisi jalan untuk ke Dusun Tangsi Jaya dari Ibu Kota Kabupaten melalui rute menuju Cililin sudah diaspal dengan baik, dari Cililin menuju ke Kecamatan Gunung Halu sudah diaspal namun kurang perawatan masih banyak yang rusak, dari Ibu Kota Kecamatan Gunung Halu ke Dusun Tangsi Jaya belum seluruhnya diaspal. Waktu tempuh digunakan untuk menuju Dusun Tangsi Jaya dari Ibu Kota Negara ± 5 jam. Sedangkan untuk menuju lokasi PLTMH berupa jalan setapak sejauh 500 m. Transportasi untuk menuju Dusun Tangsi Jaya menggunakan roda empat berupa ELF/ Mini Bus, dan kendaraan roda dua. Saat ini transportasi roda emapt berupa ELF sudah ada dari Kecamatan Gunung Halu ke daerah Ciwidey melalui Dusun Tangsi Jaya, hanya 2 kali sehari. Untuk mengetahui mengenai hasil penelitian ini disampaikan data indetifikasi responden yang berkaitan dengan pendapat responden yang menjadi obyek penelitian ini sebagai berikut: 4.2. Kondisi Sosial Masyarakat 4.2.1. Umur Berdasarkan dari data responden sebanyak 80 KK dan diwakili 72 responden, diketahui komposisi umur ternyata prosentase terbesar berada pada kelompok umur 51 – 60 sebanyak 21 orang dengan prosentase (29%) selanjutnya umur 41 – 50 sebanyak 20 orang dengan prosentase (28%) kemudian umur 31 – 40 sebanyak 15 orang dengan prosentase (21%) dan umur 61 – 70 sebanyak 9 orang dengan prosentase (13%) seanjutnya umur 20 – 30 tahun sebanyak 7 orang dengan prosentase (10% ). Berdasarkan data terebut diatas, menunjukkan bahwa kelompok umur 31-40 tahun , 4150 tahun dan 20 – 30 tahun adalah umur potensial untuk dijadikan kader dalam membangun Dusun Tangsi Jaya dan sekaligus sebagai Agent of Change. Dijadikan sebagai kelompok-
~ 182 ~
kelompok inisiator dalam menggerakan masyarakat dalam membangun suatu perubahan untuk peningkatan tarap hidup yang lebih baik dalam kegiatan ekonomi pedesaan. Dengan melalui suatu pelatihan-pelatihan yang intensif, untuk menuju Desa Mandiri Energi. 4.2.2. Jumlah Anggota Keluarga Dari 72 KK data responden jumlah angota penduduk, dapat dilihat dari jumlah anggota keluarga setiap Kartu Keluarga yang mempunyai anggota keluarga, prosentase yang mempunyai jumlah anggota keluarga terbanyak 19 KK dengan 4 anggota keluarga dengan jumlah 76 0rang (26%), kemudian 11 KK dengan mempunyai 5 anggota keluarga dengan jumlah 55 orang (15%), dan 13 KK dengan mempunyai 3 anggota keluarga dengan jumlah 39 orang( 16% ), selanjutnya 6 KK dengan jumlah 6 anggota keluarga dengan jumlah 36 orang (8%), seterusnya 16 KK dengan jumlah 2 anggota keluarga dengan jumlah 32 orang (22% ) kemudian 1 KK dengan jumlah 8 anggota keluarga dengan jumlah 8 orang (1%) selanjutnya 1 KK dengan jumlah 10 anggota keluarga dengan jumlah 10 orang (1%), dan 5 KK dengan jumlah 1 anggota keluarga dengan jumlah 5 orang (7%), dari keterangan tersebut jumlah seluruh anggota keluarga sebanyak 261 orang sebagai obyek penelitian ini. Dari data diatas memberikan pengertian, bahwa penduduk Dusun Tangsi Jaya, belum terlalu padat dan mudah untuk diorganisir dalam komunitas kelompok-kelompok kecil.Hal ini diperlukan untuk mempermudah memberikan informasi dan motivasi kepada kelompok masyarakat, agar informasi dapat cepat terdistribusi.Disamping itu untuk memperkecil kecurigaan antara masyarakat itu sendiri. 4.2.3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yang ada di Dusun Tangsi Jaya ini dimulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan Pendidikan strata Satu. Tingkat pendidikan responden terbesar berlatar belakang Sekolah Dasar sebanyak 58 orang (81%), kemudian Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 7 orang (10%), selanjutnya Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 3 orang (4%), seterusnya Pendidikan Strata Satu (Sarjana) sebanyak 1 orang (1%). Dan yang tidak tamat sekolah dasar 3 orang (4%). Berdasarkan data tersebut diatas, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di dominasi Tingkat Sekolah Dasar, ini berarti masyarakat Dusun Tangsi Jaya dipandang dari sudut Tingkat Pendidikan sangat rendah. Sangat mudah untuk dibina kearah yang lebih.Diperlukan suatu motivasi untuk meningkatkan pendidikan atau melalui suatu pelatihan-pelatihan teknik yang dibutuhkan untuk keperluan peningkatan tarap hidup
~ 183 ~
masyarakat dalam rangka membangun Dusun Tangsi jaya menjadi suatu Desa Mandiri Energi. 4.2.4. Tingkat Penghasilan Penghasilan masyarakat Dusun Tangsi Jaya berdasarkan data responden dari 72 KK. Prosentase terbesar dari tingkan pengasilan 500.00 – 1 Juta perbulan sebanyak 42 KK dengan prosentase (58%), kemudian tingkat penghasilan > 1 Juta perbulan sebanyak 3 KK dengan prosentase (4%), tingkat penghasilan terendah < 500.00 perbulan sebanyak 27 KK dengan prosentase (38%). Tingkat pengahasil dari data responden tersebut diatas, bahwa tarap kehidupan Dusun Tangsi Jaya, menurut WHO pengahasil perhari sebesar 2 dolar dangan kurs 9000 rupiah, berarti perhari
18.000 rupiah, dan perbulan sebesar 2.400.000 juta rupiah ,
jika
dibandingkan dengan pengasilan yang diperoleh dari masyarakat Dusun tangsi jaya, dapat disimpulkan masyarakat Dusun tangsi jaya dianggap rata-rata termasuk masyarakat miskin. Untuk membangun masyarakat tersebut terlebih dahulu, yang harus dilihat adalah sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai pendukung utama dalam mencari solusi dalam meningkatkan tarap hidup masyarakat. Dari dasar ini dapat diberikan berbagai cara treatment untuk mendorong masyarakat mempunyai motivasi dengan kekuatan lokal yang ada. 4.2.5. Pekerjaan Perkerjaan masyarakat Dusun Tangsi Jaya beranekaragam dari hasil data responden, perkejaan yang prosentase terbesar ada pada buruh tani sebanyak 55 KK dengan prosentase sebesar (76%), kemudian penggharap tanah sendiri tidak jadi buruh sebanyak 5 KK dengan prosentase sebesar (7%), selanjutnya sebagai Pegawai Negeri sipil 1 KK dengan prosentase sebesar (1%) dan sebagai pedagang 4 KK dengan prosentase (6%). Selanjutnya sebagai pensiun sebanyak 2 KK (3%) dan tidak punya perkerjaan sebanyak 5 KK (7%). Berdasarkan data tersebut diatas, pekerjaan masyarakat Dusun Tangsi Jaya terbesar adalah buruh tani. Pertanian di Dusun ini berbeda dengan pertanian di tempat lain, dalam arti pertanian yang biasa masa tanam dan masa panen hanya dalam waktu empat atau tiga bulan, di Dusun Tangsi Jaya ini, masa tanam dan masa panen membutuhkan waktu 7 bulanan. Pernah dilakukan dengan menggunakan bibit yang masa tanaman hanya empat atau tiga bulan, namun hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, dengan kata lain gagal panen. Para pekerja buru tani mencari perkerjaan di tempat lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
~ 184 ~
4.2.6. Kondisi Rumah Kondisi rumah masyarakat Dusun Tangsi Jaya menurut data responden adalah prosentase terbesar dari kondisi rumah non permanen sebanyak 48 KK dengan prosentase (67%), kemudian kondisi rumah semi permanen sebanyak 15 KK dengan prosentase sebesar (21%), selanjutnya kondisi rumah permanen sebanyak 9 KK dengan prosentase sebesar (13%). Selanjutnya secara lengkap dapat dilihat dalam grafik di bawah ini : 4.3. Persepsi dan Harapan Masyarakat terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Analisis data merupakan proses terakhir dari kegiatan penelitian sebelum menulis laporan penelitian. Analisis data bertujuan untuk menjawab pertanyaan, membuktikan hipotesis (kalau ada), dan atau menjelaskan fenomena yang menjadi latar belakang penelitian. Analisis akan mengubah angka dan catatan hasil pengumpulan data menjadi informasi yang mudah dipahami. Pekerjaan ini memerlukan pengetahuan analisis kualitatif dan kuantitatif yang memadai sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang bersangkutan. Secara substantif, analisis data diperlukan untuk membandingkan teori dengan informasi yang ditemukan atau menemukan adanya konsep baru dari data yang dikumpulkan. Proses awal dalam analisis data adalah upaya penelusuran dan pengungkapan informasi yang relevan secara fleksibel tanpa terlalu terikat pada asumsi-asumsi yang ketat agar pengungkapan informasi dapat lebih ringkas dan sederhana. Analisis data dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini lebih ditekankan pada analisis deskriptif kualitatif komplementer dengan dukungan data-data kuantitatif yang bersumber dari hasil pengolahan data primer maupun data sekunder yang tersedia. Hasil reduksi data dari pertanyaan yang ada di dalam kuesioner untuk menanggapi kinerja unit PLTMH, menjadi 5 faktor aspek utama yang meliputi (aspek Penerapan Teknologi, aspek Pengelolaan, aspek Pemanfaatan, aspek Partisipasi Masyarakat dan aspek Rencana Pengembangan). Selanjutnya dilakukan tabulasi baru dan pemberian skor terhadap jawaban responden, dengan demikian dapat di deskripsikan sebagai berikut:
ASPEK ASPEK PENERAPAN TEKNOLOGI ASPEK PENGELOLAAN ASPEK PEMANFAATAN ASPEK PARTISIFASI MASYARAKAT ASPEK RENCANA PENGEMBANGAN
~ 185 ~
SKOR PERSEPSI 3,46 3,80 3,32 3,71 3,15
SKOR KEPENTINGAN 5 4 5 4 4
Persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya terhadap aspek penerapan teknologi kinerja unit PLTMH dengan nilai total skor sebesar 44.94 dengan nilai rata-rata 3.45. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya dengan hasil rata skor tersebut adalah sudah CUKUP BAIK, sedang untuk tingkat kepentingan dengan skor 5. Hal ini menunjukkan bahwa aspek penerapan teknologi kinerja unit PLTMH adalah PENTING. Persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya terhadap aspek Pengelolaan kinerja unit PLTMH dengan nilai total skor sebesar 26.61 dengan nilai rata-rata 3.80. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya dengan hasil rata skor tersebut adalah sudah SANGAT BAIK, sedang untuk tingkat kepentingan dengan skor 4. Hal ini menunjukkan bahwa aspek Pengelolaan kinerja unit PLTMH adalah SANGAT PENTING. Persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya terhadap aspek Pemanfaatan kinerja unit PLTMH dengan nilai total skor sebesar 69.73 dengan nilai rata-rata 3.32. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya dengan hasil rata skor tersebut adalah sudah CUKUP, sedang untuk tingkat kepentingan dengan skor 5. Hal ini menunjukkan bahwa aspek Pemanfaatan kinerja unit PLTMH adalah CUKUP BAIK Persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya terhadap aspek Partisifasi Masyarakat kinerja unit PLTMH dengan nilai total skor sebesar 18.56 dengan nilai rata-rata 3.71. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya dengan hasil rata skor tersebut adalah sudah SANGAT BAIK, sedang untuk tingkat kepentingan dengan skor 4. Hal ini menunjukkan bahwa aspek Partisifasi Masyarakat kinerja unit PLTMH adalah PENTING. Persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya terhadap aspek Rencana Pengembangan kinerja unit PLTMH dengan nilai total skor sebesar 37.75 dengan nilai rata-rata 3.14. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi Masyarakat Desa Tangsi Jaya dengan hasil rata skor tersebut adalah sudah CUKUP, sedang untuk tingkat kepentingan dengan skor 4. Hal ini menunjukkan bahwa aspek Rencana Pengembangan kinerja unit PLTMH adalah CUKUP.
5. SIMPULAN Belum banyak yang dapat disimpulkan dari hasil penelitian ini karena yang baru dapat dilaporkan hanya berupa gambaran deskriptif tentang Desa Tangsi Jaya mengenai identitas para responden serta persepsi masyarakat terhadap kinerja unit Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Unit Pengelolaan Skala Kecil (UPSK) mesin pembuat kopi.
~ 186 ~
DAFTAR PUSTAKA Abdullah Kamaruddin 2007, Memacu Pertumbuhan Ekonomi melalui Desa Mandiri E3i, Universitas Darma Persada Jakarta. Abdullah Kamaruddin 2007, Energi Terbarukan untuk mendukung Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, Departemen Teknik Pertanian, IPB. Press Bogor. Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal. 50-66. Ariati Ratna 2004, Konservasi Energi Nasional, Program dan Implementasinya : dipresentasikan pada Pertemuan Pendahuluan Studi Peluang Konservasi Energi. Ariati Ratna 2009. Materi Kuliah Kebijakan Energi Nasional Program Pascasarjana Energi Terbarukan Universitas Darma Persada Jakarta. Bahri, Efri S. "Alternatif Strategi Pembangunan Sosial untuk Indonesia", dipublikasikan oleh suarapembaca.detik.com pada Selasa, 18/08/2009. Fauzi, Johar Arifin & A. Fakhrudin. 2001. Program Aplikasi Excel dalam Finansial Terapan Harry Sonny. 2010. HDI Indonesia 2010 Metode dan Indikator Baru, Lembaga Demografi FEUI. Jakarta. Husodo, Siswono Yudo. 2003. Membangun kemandirian di bidang Pangan suatu Kebutuhan bagi Indonesia, Jurnal Ekonomi Rakyat, artikel III no. 6, September Haeruman, Herman J.S. 1997. Strategi, Kebijakan dan Program Pembangunan Masyarakat Desa: kearah integrasi perekonomian kota-desa. Seminar Nasional Pengembangan Perekonomian Perdesaan Indonesia. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kartasasmita G & Solichin D.2009. Bahan Kuliah ( Lecturer Matherial ), Development Administration, Concepts and Definition, Program Pasca Sarjana, Program Studi Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada Jakarta. Kartasasmita G & Solichin D. 2009. Bahan Kuliah ( Lecturer Matherial ), Development Administration, New Paradigms of Public Administration, Program Pasca Sarjana, Program Studi Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada Jakarta. Ken Martina 2010, Materi Kuliah Dasar Dasar Pengembangan Wilayah Perdesaan, Program Pascasarjana Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada Jakarta. Kotler, Philip. 2000. Marketing Management. The Millennium Edition, Prentice Hall, New Jersey. Kotler, Philip. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi 10, PT Prenhallindo, Jakarta. Kusdiana Dadan 2009, Kebijakan dan Strategi Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2010 – 2014 Universitas Darma Persada Jakarta. Kusdiana Dadan 2009, Kebijakan Energi Nasional, Pengembangan Energi Baru Terbarukan, Materi Kuliah Universitas Darma Persada Jakarta. Managemen Strategi, (http://id.wikipedia.org/wiki/Strategi). Martono dan D. Agus Harjito. 2002. Manajemen Keuangan edisi kedua, Penerbit Ekonosia, Kampus FE. UII. Yogyakarta. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Prihantoro Resza . Arti Perencanaan Menurut Para Ahli. Materi melalui http://nandabismarck.blogspot.com/2011/03/konsep-perencanaan-pembangunanmenurut.html Rahedi Slamet , 2012. Evaluasi dan Perencanaan Pembangunan Dusun Tangsi Jaya, Desa/Kecamatan Gunung Halu Kabupaten Bandung Barat menuju Desa Mandiri E3i
~ 187 ~
Raihan Rasyidi 2010. Materi Kuliah Pengetahuan Lingkungan, Program Studi Energi Terbarukan, Program Pascasarjana Unsada Jakarta. Satriatama Dandy. 2012 Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2010 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Siahaan Oloan. 2009, Introduction to Community Development. Materi Kuliah Universitas Darma Persada Jakarta. Siahaan Oloan. 2009. Lokal Economic Development. Materi Kuliah Universitas Darma Persada Jakarta. Silalahi Udin 2001, Aliansi Strategis, Department of Economics, CSIS Jakarta. Simamora Bilson 2002. Panduan Riset Perilaku Konsumen, Gramedia Pustaka Utama. Simanjuntak Juara 2008. Strategi Aliansi, FE Universitas HKBP Nomensen Medan. Solihin Amir 2001. Top Down – Bottom UP Planning sebagai Alternatif Perencanaan Strategis Pembangunan Daerah Hinterland secara Partisipatif , Universitas Padjadjaran Bandung. Suharto, Edi. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Alfabeta Bandung. Sujarto, Djoko, 1992. Pendekatan Pembangunan Perkotaan Ditinjau Dari Segi Perencanaan Lokal, BPA UGM, Yogyakarta. Supranto J. 2003. Metode Riset, edisi ketujuh. PT. Rineka Cipta Jakarta. Sutoro Eko, 2002. Materi Diklat Pemberdayaan Masyarakat Desa, Badan Diklat Provinsi Kaltim, Samarinda, Desember. Sutrisno, Hadi. 2002. Methode Research untuk penulisan paper, skripsi, tesis dan disertasi jilid 2. Andi offset. Yogyakarta. Trijono Lambang.2007.Pembangunan Sebagai Perdamaian. Yayasan Obor. Permalink Jakarta United Nations Division for Sustainable Development. Documents Sustainable Development issues Retrieved:2007-05-12 UU Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah UU Republik Indonesia No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi. VP of Cisco Systems. Inc. 2008. Strategic Alliances. Walgito, Bimo. 2000. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta. Winata Ardi, 2012 , Rekayasa sosial untuk menjamin keberlangsungan Desa Mandiri Energi di Dusun Tangsi Jaya, Desa/Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat menuju Desa Mandiri E3i Yamamoto. 2001. The Dinamism of SME and Inter Firm Linkage in Indonesia. Kementerian UKM RI. Jakarta. Yusgiantoro Purnomo. 2009. Strategi Ketahanan Enegi Nasional, Raker Sektor ESDM 2009, Kebijakan, Rencana dan Strategi Tahunn 2010-2014.
~ 188 ~
KAJIAN STABILITAS OPERASIONAL KAPAL LONGLINE 60 GT DI PALABUHAN RATU, SUKABUMI (A STUDY ON THE OPERATIONAL STABILITY OF A LONGLINE FISHING VESSEL 60 GT AT PALABUHAN RATU) T.D. Novita, Shanty Manullang*), Shahrin Febrian**) Dosen Program Study Teknik Perkapalan*) Dosen Program Study Teknik Sistem Perkapalan**) Fakultas Teknologi Kelautan, Universitas Darma Persada (
[email protected]) Abstract A study was conducted to examine the operational stability of a tuna long line size 60 GT. The righting arm is the primary measurement use to evaluate a fishing vessel’s stability. The righting arm curve is calculated from the center of gravity and center of buoyancy at a series of fixed heel angles. In this research the righting arm are calculated at 10 degree intervals. The stability results then compared with the of minimum standard value derived from criteria from IMO. The result indicated that the change of draught can make the vessel unstably. This study found that the best condition for tuna long line to operation in safety is in draught 1.54m (KG 2.2), draught 2.0m (KG 2.1 m) and draught 2.2 m (KG 2.07 m) for 1 meter in wave high, and for 2 meter the best condition to operate the vessel is in draught 2.0m (KG 2.15 m and KG 2.2 m), draught 2.2m (KG 2.15 m). Keywords : stability, long line, righting arm, and draught 1. PENDAHULUAN Posisi kapal yang mengapung di air tidak selalu dalam posisi tegak, tetapi kapal akan melakukan gerakan oleng yang disebabkan oleh faktor eksternal, misalnya ombak dan gelombang. Mengingat kapal merupakan alat bagi manusia untuk melakukan kegiatan di perairan (mengangkut awak kapal, alat tangkap
dan hasil tangkapan) maka sangat
diutamakan keselamatan dari kapal tersebut. Salah satu faktor yang menentukan keselamatan sebuah kapal adalah stabilitas. Keselamatan kapal dapat dicapai jika kapal dalam keadaan stabil ketika mengalami momen temporal akibat bekerjanya gaya-gaya internal dan eksternal. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kapal-kapal dengan sarat rendah atau yang mempunyai perbandingan lebar dengan sarat yang besar (B/d) cenderung tidak memenuhi salah satu criteria stabilitas Organisasi Maritim Internasional (IMO) (IMO, 2002).Stabilitas kapal terkait erat dengan distribusi muatan dan perhitungan nilai lengan penegak (GZ) (Fyson,1985). IMO (1995) dalam resolution A.749 (18) memberikan kriteria umum untuk nilai GM awal dan GM minimal kapal ikan. Untuk kapal ikan dengan single deck, GM awal
~ 189 ~
(GM0) tidak boleh kurang dari 0.35 m. Kapal dengan superstructure yang lengkap atau kapal dengan panjang lebih dari 70 m, nilai GM dapat dikurangi sesuai aturan administrasi kapal tetapi tidak boleh kurang dari 0.15 m. Kapal perikanan yang paling banyak dioperasikan diseluruh dunia adalah kapal dengan ukuran kecil (panjang kapal kurang dari 50m) , di Inggris pekerjaan paling berbahaya adalah nelayan,mereka beresiko mengalami kecelakaan yang fatal 50 kali jika dibandingkandengan jenis pekerjaan yang lainnya (Womack J, 2002).Oleh karenanya maka penelitian tentang stabilitas kapal dalam melakukan operasi penangkapan perlu dilakukan. Kajian ini semakin dianggap penting dikarenakan kapal-kapal berukuran kecil, umumnya dibuat tanpa perencanaan dan perhitungan arsitek perkapalan. Sehingga kualitas stabilitas kapal belum dapat diestimasi dengan akurat secara teknis. Kualitas stabilitas kapal semakin bertambah penting pada saat kapal digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap yang dioperasikan secara statik, seperti kapal tuna longline. Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas stabilitas kapal diantaranya adalah kondisi draft dan titik KG kapal. Perubahan draft disebabkan karena adanya penambahan atau pengurangan muatan di atas kapal. Penambahan atau pengurangan muatan di atas kapal pada akhirnya akan mempengaruhi posisi titik KG kapal. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui mengetahui kualitas stabilitas kapal tuna longline pada kondisi draft yang berbeda dan pada saat berhadapan dengan beberapa variasi gelombang. 2. METODOLOGI Penelitian dilakukan selama kurun waktu 6 bulan yaitu Februari – July 2015 Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei dan simulasi numerik. Metode survei dilakukan pada saat mengumpulkan data dimensi dan bentuk kapal tuna longline berukuran 30 - 60 GT, dimana pengambilan data dilakukan di Pelabuhan Ratu. Adapun metode simulasi numerik dilakukan saat pengolahan data. Selain data dimensi dan bentuk kapal, dilakukan pula pengumpulan data gelombang.
Data gelombang diperoleh
dari hasil
quisioner dan data BMKG. Data Kapal dikumpulkan dan diolah dengan metode simulasi berdasarkan perhitungan naval architecture (parameter hidrostatis) untuk menghitung data-data yang telah diperoleh dilapangan secara teoritis.
~ 190 ~
Analisis stabilitas yang dilakukan pada kapal longline 60 GT adalah stabilitas statis. Analisisnya meliputi analisis perubahan nilai KG pada tiga kondisi ditribusi muatan.Ketiga kondisi muatan tersebut masing-masing adalah:
1. Kondisi kapal kosong diasumsikan bahan bakar,umpan hidup dan muatan kosong (0%) 2. Kondisi kapal setengah penuh ; pada kondisis ini bahan bakar, umpan hidup diasumsikan penuh (100%), daan muatan kosong (0%). 3. Kondisi kapal penuh : pada kondisis ini bahan bakar diasumsikan setengah penuh (50%), umpan 20% dan muatan penuh (100%). Analisisnya melalui kurva stabilitas statis GZ dengan metode Attwod’s Formula (Hind, 1982). Metode ini menganalisis stabilitas kapal pada sudut keolengan 0 o – 90o. dengan menghitung luas area kurva di bawah kurva GZ stabilitas statis pada berbagai sudut keolengan (0o – 90o). Hasil perhitungan stabilitas tersebut kemudian diplotkan dan dibandingkan dengan standart stabilitas kapal yang dikeluarkan oleh yang dikeluarkan oleh International Maritime Organization (IMO) pada Torremolinos International Convention for The Safety of Fishing Vessels–regulation 28 (1977) melalui kurva GZ,nilai kurva GZ diperoleh melalui software PGZ dan Miorocoft excel. Nilai GM yang diperoleh pada kurva GZ digunakan untuk menghitung periode oleng kapal. Formula yang digunakan adalah (IMO,1995) : T = 2CB / √GM dtk dimana : C = 0.373 + 0.023(B/d) – 0.043(Lwl/100)
Keterangan : T = Periode oleng (dtk) ; B = Lebar kapal (m) d = draft kapal (m) ; GM =Tinggi metacenter Lwl = Panjang kapal Diambil 2 panjang gelombang, yaitu : tinggi gelombang 1 dan 2 meter .
3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Dimensi Utama Kapal Longline
~ 191 ~
Tabel 1.Dimensi utama kapal longline yang diteliti No Uraian Keterangan 1 LOA 23,22 m 2 Lebar (B) 5,50 m 3 Dalam (D) 2,15 m 4 Draft (d) 1,54 m 5 Koefisien Block (Cb) 0,85 m Keterangan : LOA : Length over all (panjang keseluruhan kapal) B :Breadth (lebar kapal) D :Debth (dalam/Tinggi) D : Draught (tinggi garis air) Cb :Coeficient of block) Pada Tabel 1 disajikan dimensi utama kapal longline yang dikaji. Adapun pada Tabel 2 disajikan rasio dimensi utama kapal. Rasio dimensi utama untuk selanjutnya dibandingkan dengan nilai acuan nilai rasio dimensi utama berdasarkan panjang kapal (L) menurut Inamura (1968) dalam Ayodyoa (1972). Tabel 2. Rasio dimensi utama Kapal Longline yang diteliti Dimensi Utama Long Line L/B 4,22 L/D
10,8
B/D
2,55
Tabel 3. Hubungan antara L(m) dengan nilai L/D, L/B, dan B/D kapal kayu tuna longline B/D L (m) L/B L/D 15 4,10 – 4.70 8,50 – 9.50 1.90 – 2.30 20 4,30 – 4,90 8,50 – 9,50 1,90 – 2,30 25 4,40 – 5,00 8,70 – 9,70 1,70 – 2,20 30 4,60 – 5,20 5,20 – 9,00 1,70 – 2,20 Sumber :Inamura 1968 dalamAyodyoa, 1972. Dari Tabel 2 terlihat bahwa nilai L/B pada kapal longlineyang dikaji untuk panjang kapal (L) sebesar 23,22 m adalah sebesar 4,22. Nilai ini berada di bawah nilai acuan sekalipun untuk kapal dengan panjang 20 m. Kondisi ini menunjukkan bahwa kapal longline yang dikaji memiliki lebar kapal (B) yang lebih besar jika dibandingkan dengan panjang kapal (L) yang diacu.B yang lebih besar mengakibatkan kapal tersebut mendapat hambatan gerak yang lebih besar yang pada akhirnya akan mengurangi laju kecepatan gerak kapal. Lain halnya dengan nilai L/D kapal yang dikaji memiliki nilai rasio berada di atas nilai acuan untuk L=23,22 m bahkan untuk L=25 m. Hal ini menunjukkan bahwa kapal longline yang dikaji
~ 192 ~
memiliki ukuran D yang lebih kecil dari yang biasanya dimiliki oleh kapal dengan panjang yang dimaksud. Lebih kecilnya ukuran D kapal mengakibatkan kapal longline tersebut diduga memiliki kekuatan longitudinal yang tidak sebaik kapal acuan. Dikhawatirkan apabila kapal tersebut berada di atas dua puncak gelombang, risiko patah secara longitudinal menjadi lebih besar. Adapun nilai B/D kapal yang dikaji berada di atas nilai acuan sekalipun pada kapal dengan L= 30 m. Kondisi ini menunjukkan ukuran D kapal terlalu kecil untuk kapal dengan L dan B kapal yang diacu atau ukuran B kapal terlalu besar untuk D kapal yang diacu.
Akan tetapi, mengecilnya ukuran D kapal pada ukuran B kapal yang diacu,
memberikan dampak yang positif terhadap stabilitas kapal. Dimana dalam kondisi tersebut ABK dapat bekerja dengan baik karena kurangnya sentakan-sentakan yang diakibatkan gelombang laut pada waktu setting dan hauling Menurut Iskandar dan Pujiati (1995) besaran rasio L/B dan L/D untuk kapal sejenis longline yang dikategorikan static gear lebih besar dibandingkan dengan kapal-kapal yang lain sehingga membutuhkan stabilitas yang cukup tinggi karena kondisi ini dibutuhkan pada saat melakukan operasi penangkapan terutama pada saat setting maupun hauling karena kapal beroperasi dengan kecepatan v = 0. Berikut ini beberapa nilai kisaran rasio dimensi kapal kelompok static gear umumnya di Indonesia berdasarkan hasil riset Iskandar dan Pujiati (1995), L/B= 2,83 – 11,12, L/D : 4,58 – 17,28 dan B/D : 0,96 – 4,68. Oleh karena itu, lebih besarnya nilai B/D kapal longline yang dikaji mengakibatkan kapal longline tersebut memiliki kemampuan stabilitas yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh kapal-kapal yang mengoperasikan alat tangkap secara static.Susanto et all(2011) menyatakan bahwa kapal penangkap ikan static gear yang beroperasi di perairan Indonesia memiliki keragaman dimensi yang tinggi. 3.2 Parameter Hidrostatik Nilai coefficient of fineness dipakai sebagai salah satu cara untuk melihat bentuk kapal. Dari hasil penelitian diketahui bahwa nilai Cb,Cp,Cw,Cvp, Ca dalah masing-masing sebesar 0,85, 0,66, 1,62, 0,52 dan 1,28. Nilai Cb, cenderung mendekati nilai acuan (nilai acuan Cb berkisar antara 0 – 1) ini menunjukkan bahwa kapal tersebut tingkat kegemukannya tinggi. Jika mencapai angka 1 maka bagian kapal yang terendam air memiliki bentuk yang mendekati empat persegi panjang.
~ 193 ~
Tabel 4. Nilai hidrostatik kapal Longline pada tiap-tiap water line No. Parameter 1 Volume displacement (m3) 2 Ton displacement (ton) 3 Water area (Aw) (m2) 4 Midship area (Ao) (m2) 5 Ton Per Centimeter (TPC) 6 Coefficient block (Cb) 7 Coefficient prismatic (Cp) 8 Coefficient vertical prismatic (Cvp) 9 Coefficient waterplane (Cw) 10 Coefficient midship(Co) 11 LCB(m) 12 Jarak KB (m) 13 Jarak BM (m) 14 Jarak KM (m) 15 Jarak BML (m) 16 Jarak KML (m)
WL 1 2.88 2.954 34.70 0.36 0.35 0.34 0.54 0.02 1.24 0.63 -1.99 0.22 5.83 6.05 110.31 116.37
WL 3 28.43 29.14 58.58 2.69 0.60 0.72 0.625 0.53 1.33 1.15 -2.36 0.58 1.78 2.37 69.15 71.52
WL 5 67.99 69.69 86.20 5.37 0.88 0.85 0.66 0.52 1.62 1.28 -2.91 0.98 1.12 2.10 11.41 13.52
Bentuk badan kapal yang ada di bawah permukaan air juga mempunyai pengaruh terhadap karakteristik lengan stabilitas kapal khususnya kenaikan dasar kapal (rise of floor) (Paroka, 2007). Perubahan karakteristik lengan stabilitas akibat kenaikan dasar kapal tersebut didug akarena perubahan lebar garis air yang signifikan pada saat kapal mengalami kemiringan dengan sudut yang lebih besar dari sudut dimana bilga kapal mulai muncul kepermukaan air (Paroka et all, 2012). Nilai LCB yang bertanda negatif menunjukkan letak titik apung (B) kapal berada di belakang midship ke arah buritan,bila keadaan demikian sebaiknya beban diletakkan pada midship ke arah buritan kapal. 3.3 Stabilitas Kapal Longline Saat kapal berangkat menuju daerah penangkapan, muatan pada kapal longline terdiri atas perbekalan,bahan bakar dan umpan hidup yang berisi penuh. Pada saat kembali, muatan – muatan tersebut (yang terdapat dibawah dek kapal) akan berkurang tetapi palka akan terisi penuh oleh hasil tangkapan. Hal ini menyebabkan perubahan titik berat pada kapal, sehingga letak titik G (center of gravity) kapal akan berubah, titik ini akan bergerak ke atas. Pada Tabel 5 disajikan nilai KG pada tiga kondisi simulasi muatan.
~ 194 ~
No 1 2 3
Tabel 5 Nilai KG kapal Longline pada tiga kondisi distribusi muatan kapal KondisiKapal KG (m) GM (m) Kapal Kosong 1,70 1,04 Kapal Setengah Penuh 1,88 0,86 Kapal Penuh 2,07 0,67
Untuk mengetahui pada saat kapan kondisi kapal ini tidak stabil maka dilakukan simulasi dengan perubahan draft dan KG kapal. 3.5 Simulasi Kapal Longline 1. Nilai LenganPenegak GZ Kapal Longline Stabilitas statis kapal longline yang telah disimulasikan diukur dengan menghitung nilai lengan penegak (GZ) yang terbentuk pada kurva GZ. Pada kurva GZ ditunjukkan nilai GZ pada berbagai sudut keolengan ( 0° - 90°) dan pada 2 panjang gelombang (1 dan 2 meter) I. Tinggi gelombang 1 meter.
0.4
GZ
0.3 0.2 0.1 0.0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Ph i KG 2.2
KG 2.3
KG 2.4
KG 25
KG 2.6
Gambar1. Kurvastabilitas GZ kapal longline pada tinggi gelombang 1 meter dengan draft 1,54 m
Gambar 3. Kurvastabilitas GZ kapal longline pada tinggi gelombang 1 meter dengan draft 2.2m
~ 195 ~
II. Tinggi gelombang 2 meter H 2 , d 1.54
GZ
0.3
0.2
0.0 0
10 KG 2.3
20
30
40 50 Phi
60
KG 2.4
70
80
90
KG 2.5
Gambar 5. Kurvastabilitas GZ kapal longline pada tinggi gelombang 2 meter dengan draft 1.54m
Gambar 8. Kurva stabilitas GZ kapal longline pada tinggi gelombang 2 meter dengan draft 2.2m Tinggi gelombang berpengaruh terhadap kemampuan kapal untuk mengatasi keolengannya. Dari 2 tinggi gelombang yang berbeda dapat dilihat bahwa kapal pada draft yang sama belum tentu mampu menghadapi gelombang pada KG kapal yang sama. Pada draft 1,54 m di tinggi gelombang yang berbeda maka KG kapal yang diperlukan untuk mencapai stabil dan sesuai dengan standar IMO berbeda (tinggi gelombang 1 meter (KG kapal 2,15m)),sedangkan pada tinggi gelombang 2 meter KG kapal yang sesuai dengan standart IMO adalah pada KG 2,3m, gelombang semakin tinggi maka KG kapal yang diperlukan juga semakin besar.
~ 196 ~
Tabel 6. Nilai Kriteria Satbilitas kapal lonline 60 GT pada tinggi gelombang 1 meter dan nilai standar IMO Tinggi Gelombang 1 meter Draft 1,54m Draft 1,8m KG 2,2m
KG 2,15m
Draft 2,2m KG 2,07m KG 2.1m
0,07
0,07
0,07
0,07
0,09
0,09
0,09
0,09
0,14
0,15
0,16
0,14
Nilai max GZ pd 30 º > 0,20m
0,25
0,27
0,28
0,27
e. Sudut max stabilitas> 30º GM > 0,15 m
43 0,62
43 0,49
38 0,47
38 0,44
Standar IMO a
Pada 0 - 30 º nilai GZ > 0,05 m.rad Pada 0 - 40 º nilai GZ > 0,090 m.rad Pada 30- 40 º nilai GZ > 0,030 m.rad
b c
d.
Tabel 7. Nilai Kriteria Satbilitas kapal lonline 60 GT pada tinggi gelombang 2 meter dan nilai standar IMO Tinggi Gelombang 2 meter Standar IMO Draft 2,0 m Draft 2,2m KG 2,15 m KG 2,15 m a Pada 0 - 30 º nilai GZ > 0,05 m.rad 0,07 0,07 b Pada 0 - 40 º nilai GZ > 0,090 m.rad 0,09 0,09 c Pada 30- 40 º nilai GZ > 0,030 m.rad 0,15 0,16 d. Nilai max GZ pd 30 º > 0,20m 0,21 0,28 e.Sudut max stabilitas> 30º GM > 0,15 m
42 0,42
40 0,39
Berdasar kan seluruh hasil perhitungan dapat diketahui bahwa dengan semakin besarnya nilai KG, maka nilai seluruh kriteria yang dihitung akan semakin mendekati batas minimum nilai yang direkomendasikan oleh IMO, dan semakin tinggi gelombang maka nilai KG semakin kecil. Dengan mengetahui nilai KG kapal maka dapat diketahui distribusi muatan diatas kapal yang dapat menjamin keselamatan opersional penangkapan ikan. Umumnya nilai KG kapal tertinggi pada kondisi kapal penuh ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farhrum (2010) nilai KG kapal tertinggi berada pada kondisi kapal beroperasi yaitu pada kondisi bahan bakar diasumsikan setengah penuh (50%), umpan hidup 25 % dan muatan 75 %.
~ 197 ~
Muhamad A (2007) menyatakan perubahan tinggi darft kapal mempunyai pengaruh yang lebih kecil terhadap stabilitas statis kapal dibandingkan dengan perubahan titik G pada kapal. 3.5 Periode Oleng Kapal Longline Tabel 5 Hubungan antara perubahan nilai KG kapal longline terhadap periode oleng kapal pada darft 1.54 m No
KG
GM
√ GM
C
Tθ
1
2,2
0,62
0,78
4,91
6,24
2
2,3
0,52
0,72
4,91
6,82
3
2,4
0,42
0,64
4,91
7,58
4
2,5
0,32
0,56
4,91
8,70
5
2,6
0,22
0,46
4,91
10,48
Dari tabel dan grafik memperlihatkan bahwa nilai periode oleng kapal longline berbanding terbalik dengan nilai tingi metacenter (GM). Semakin besar nilai tinggi metacentre (GM) kapal maka nilai periode oleng kapal akan semakin kecil. Nilai dari tinggi metasenter (GM) semuanya bernilai positif dimana titik G berada di bawah titik M. Hal ini menunjukkan bahwa kapal longline berada pada kondisi stabil.
Gambar 9. Grafik Hubungan antara perubahan nilai KG kapal longline terhadap periode oleng kapal pada darft 1,54 m Hasil perhitungan terhadap periode oleng kapal pada draft 1,54m adalah 6,24 – 10,24 det ini berarti kapal untuk menyelesaikan satu kali gerakan oleng dibutuhkan waktu 6,24 - 10,24 detik. Periode oleng ini tidak terlalu cepat sehingga ABK nyaman dalam bekerja, dan nilai kisaran ini sesuai dengan nilai kisaran minimum periode oleng kapal ikan yaitu 5,5 – 7,0 detik (Bhattachrya, 1978). Sedangkan penelitian Marjoni et al ( 2010) periode oleng kapal Purse Seine yang berkisar 3,0 - 3.2 detik menunjukkan olengan kapal yang cepat dan menyentak-nyentak sehingga menimbulkan ketidaknyamanan ABK diatas kapal.
~ 198 ~
4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Nilai kisaran periode oleng ini sesuai dengan nilai kisaran minimum periode oleng kapal ikan yaitu 5,5 – 7,0 detik (Bhattachrya, 1978).
2.
Pada tinggi gelombang 1 meter kondisi yang aman dan sesuai standart IMO untuk melakukan operasi penangkapan adalah pada draft 1,54 m dengan KG 2,2 m sedangkan untuk draft 2,0 m berada pada KG 2,1 m.
3.
Untuk tinggi gelombang 2 meter kondisi yang aman berada pada tetapi KGnya 2,3 m, untuk draft 2,0 m berada pada KG 2,2 m.
Saran Berdasarkan hasil simulasi maka kondisi yang aman untuk kapal ikan longline 60 GT dalam melakukan operasi pengakapan adalah pada draft 1,54 m dengan KG 2,2 m pada tinggi gelombang 1 meter, sedangkan untuk tinggi gelombang 2 m kondisi yang aman jika draft kapal 2,2 m dengan KG 2,15 m.
DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa. 1972. Suatu pengenalan Fishing Gear. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bhattacharya, R. 1978. Dynamics of Marine Vehicles. John Wiley & Son, Inc. New York. Farhum, S.A. 2010. Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, vol.2, No,2, Hal 53-61, Desember 2010. Fyson, J. 1985. Desingn of Small Fishing Vessel. Fishing News Books Ltd. England. Hind, J.A. 1982. Stability And Trim Fishing Vessel. Second Edition. Fishing News Books Ltd. Farnham. Surrey. England. IMO, 1995. 1993 Torremolinos Protocol and Torremolinos International convention for Safety of Fishing Vessels. IMO, 2002.Stability kriteria for all types of ships, International Maritime Organization, London. Iskandar, B.H. dan SriPujiati.1995. Keragaan Teknis Kapal Perikanan di Perairan Indonesia. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan IPB.Bogor. Marjoni, B.H. Iskandar& M. Imron. 2010. Stabilitas Statis dan Dinamis Kapal Purse Seine di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo Kota Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam. Marine Fisheries-Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut Volume 1.No.2 November 2010 hal 113-122.ISSN 2087-4235. Muhammad, A datih dan Iskandar B.H. 2007. Stabilitas Statis dan Dinamis Kapal Latih Stela Maris.Buletin Psps Vol.XVI No.1 hal 120 - 125.April 2007 Parokaet all,2012 Seminar Nasional Teoridan Aplikasi Teknologi Kelautan Paroka, D. danUmeda, N. (2007): Effect of freeboard and metacentric height on capsizing probability of purse seiners in beam seas, Journal of Marine Science and Technology, Vol. 12 No. 3. Hal 150 - 159.
~ 199 ~
Susanto.A, B.H.Iskandar dan M.Imron. 2011. Stabilitas Statis Kapal Static Gear di Palabuhanratu (Studi Kasus KM PSP 01). Marine Fisheries- Jurnal Teknologi Dan Manajemen Perikanan Laut.Vol.2, No.1, Mei 2011.ISSN : 2087 -4235. Taylor, L.G. 1977. The priciple of Ship Stability. Brown, Son & Publisher, Ltd., Nautical Publisher, 52 Darley Street. Glasgow. Womack, J. Small. Comercial Fishing Vessel stability analysis where are we now? Where are we going? Procceding of the 6th International Ship Stability Workshop, Weeb Institute, 2007.
~ 200 ~
KAJIAN EFISIENSI PEMAKAIAN BAHAN BAKAR PADA KAPAL TUG BOAT DENGAN MENGGUNAKAN WEB- BASED MONITORING AND CONTROL SYSTEM DI PT X Danny Faturachman, Yoseph Arya Dewanto Fakultas Teknologi Kelautan, Universitas Darma Persada Abstrak Dalam rangka meningkatkan efisiensi, sistem pengawasan harus dilakukan untuk mengukur kinerja operasional yang telah ada. Setelah suatu sistem dibuat dan digunakan, biasanya manajemen dapat mengukur kinerja dan mengambil tindakan apa saja untuk meningkatkan efisiensi. Dengan semua informasi yang telah dikumpulkan, manajemen akan dapat membuat suatu keputusan yang akurat dan mengambil tindakan untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi operasional.PT X setelah menerapkan pemasangan flow meter di semua kapal miliknya dan telah dikaji dalam penelitian terdahulu, sekarang lebih mendalam lagi dengan menerapkan penggunaan flow meter yang memanfaatkan penggunaan internet berbasis web sebagai sebuah sensor jarak jauh sehingga bisa dipantau kapan saja dan dimana saja dengan menggunakan suatu alat sensor yang bernama eGenKit. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk mengkaji efisiensi pemakaian bahan bakar pada kapal Tug Boat dengan menggunakan Web-Based Monitoring and Control System di PT X. KATA KUNCI: eGenKit, flow meter, sensor jarak jauh, tug boat 1. PENDAHULUAN Pengukuran aliran bahan bakar sangat penting dalam proses pengelolaan bahan bakar di kapal. Alat untuk mengukur aliran tersebut disebut dengan flowmeter. Alat ini berfungsi untuk menentukan berapa jumlah fluida yang dibutuhkan dalam proses kontinyu dan bagaimana suatu fluida di distribusikan, fluida yang dimaksud adalah bahan bakar minyak di kapal. Pengukuran bahan bakar sekarang ini juga bertujuan untuk efisiensi energi yang mana sekarang semua perusahaan berusaha mengelola dan mengendalikan penggunaan energi diperusahaannya agar bisa memiliki deviden lebih sehingga dapat meningkatkan arus kas untuk tetap kompetitif di pasar, memberikan bonus lebih kepada karyawan dan meningkatkan keuntungan bagi pemegang saham. Di laut, sumber energi yang harus dikelola, dikendalikan dan dibuat lebih efisien adalah bahan bakar. Bahan bakar merupakan pengeluaran terbesar yang sangat diperlukan baik di kapal maupun di bangunan lepas pantai. Beberapa faktor yang menyebabkan inefisiensi bahan bakar adalah: salah desain kapal (contohnya seperti salah perhitungan ukuran balingbaling, mesin, dan lain-lain), kurangnya kompetensi kru terutama yang berhubungan dengan
~ 201 ~
operasi dan manajemen, adanya pencurian bahan bakar serta butuhnya pengawas untuk mendukung operasional terutama saat-saat menghadapi masalah. Dalam rangka meningkatkan efisiensi, sistem pengawasan harus dilakukan untuk mengukur kinerja operasional yang telah ada. Setelah suatu sistem dibuat dan digunakan, biasanya manajemen dapat mengukur kinerja dan mengambil tindakan apa saja untuk meningkatkan efisiensi. Dengan semua informasi yang telah dikumpulkan, manajemen akan dapat membuat suatu keputusan yang akurat dan mengambil tindakan untuk meningkatkan produktifitas dan efisiensi operasional. PT X setelah menerapkan pemasangan flow meter di semua kapal miliknya dan telah dikaji dalam penelitian terdahulu, sekarang lebih mendalam lagi dengan menerapkan penggunaan flow meter yang memanfaatkan penggunaan internet berbasis web sebagai sebuah sensor jarak jauh sehingga bisa dipantau kapan saja dan dimana saja dengan menggunakan suatu alat sensor yang bernama eGenKit. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk mengkaji efisiensi pemakaian bahan bakar pada kapal Tug Boat dengan menggunakan Web-Based Monitoring and Control System di PT X. 2. PERMASALAHAN Permasalahan yang dihadapi oleh PT. X adalah : Pemilihan tipe flowmeter yang cocok untuk kapal Tug-boat 2060 HP dalam hal ini ada 2 kapal yaitu Tug Boat Titan 21 dan 23, dengan fluktuasi RPM mesin yang sangat bervariasi; Bagaimana cara aplikasi pemasangannya di kapal yang disesuaikan dengan ruang di kamar mesin dan sistem bahan bakarnya; Bagaimana cara memonitor atau menganalisa bahwa penggunaan flowmeter tersebut sudah sesuai dengan tujuan pemasangannya agar terciptanya efesiensi pemakaian bahan bakar di kapal. Dalam penelitian kali ini, PT X mengembangkan pemasangan flow meter-nya dengan menggunakan sistem sensor berbasis web sehingga nantinya dapat dikontrol pemakaian bahan bakarnya dimana saja dan kapan saja dengan menggunakan eGenKit.. Sensor set yang akan dipasang pada masing-masing kapal adalah: - Sensor Fuel-consumption 2 pieces yaitu di In-let dan Out-let, tipe sensor fuel-consumption adalah flow meter Corilois merk Emerson, ukuran ¼ inch;
~ 202 ~
- Sensor Bunker 1 pieces yang akan dipasang di pipa Filling-bunker, tipe sensor bunker adalah flow-meter Corilois merk Emerson, ukuran 3 inch; - RPM Sensor 4 pieces, 2 di Main Engine (mesin induk) dan 2 di Gen set (mesin bantu). Perlengkapan sensor tersebut fungsi nya untuk memonitor masing masing Main Engine Port-side (sisi kapal yang menghadap pelabuhan) dan Starboard-side (sisi kapal yang menghadap ke lautan) untuk data yang akan ditarik dan ditampilkan adalah sebagai berikut: 1. Total bahan bakar yang terpakai oleh ke dua Main Engine (Port-side dan Starboardside – Liter) = Fuel consumption; 2. Total laju dari bahan bakar yang terpakai oleh ke dua main engine (port-side dan Starboard-side – Liter/jam) = Flow-rate; 3. Engine RPM (Speed) dari Main Engine Port-side; 4. Engine RPM (Speed) dari Main Engine Starboard-side; 5. Engine RPM (Speed) dari Genset Port-side; 6. Engine RPM (Speed) dari Genset Starboard-side; 7. Running hour dari Main Engine Port-side; 8. Running hour dari Main Engine Starboard-side; 9. Running hour dari Genset Port-side; 10. Running hour dari Genset Starboard-side. 11. Fuel Temperature (temperature bahan bakar); 12. Fuel Density (berat jenis bahan bakar); 13. Vessel position (posisi kapal), heading (arah hadap) dan speed (kecepatan dalam knot).
Gambar 1. Diagram Flowmeter Sistem Analog dan Digital Adapun tipe-tipe flowmeter:
~ 203 ~
Gambar 2. Jenis-jenis Flowmeter Flowmeter yang dibahas adalah tipe flowmeter rotary analog merk Aquametro dan tipe corilois digital merk Emerson.Flowmeter tipe rotary analog merk aquametro hanya digunakan pada sistem pemakaian bahan bakar dan tidak digunakan pada sistem filling bunker. Penggunaan sistem satelit untuk melaporkan secara online hanya dilakukan pada flowmeter tipe coriolis digital merk emerson pada sistem pemakaian bahan bakar dan juga sistem filling bunker. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. LOKASI PENELITIAN Lokasi objek penelitian sebelumnya berada di pulau Batam untuk pembangunan kapal yang menggunakan eGenKit, ada 2 kapal yaitu Tug Boat Titan 21 dan 23. Setelah itu pengamatan dan pengolahan data didapat di lokasi Pelabuhan Ratu dimana kapal berlayar yaitu antara Pelabuhan Ratu ke Kotabani, Bengkulu.
Gambar 3. Jarak Pelayaran Pelabuhan Ratu-Kotabani, Bengkulu
~ 204 ~
2. HISTORI PERKEMBANGAN FUEL CONSUMPTION PER TRIP
Gambar 4. Histori Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar
3. KONSUMSI FUEL OIL (FO) SEMUA KAPAL Tabel 1. Konsumsi Pemakaian Bahan Bakar Semua Kapal Konsumsi Pemakaian Bahan Bakar Nama KapaL TB.Titan 03/06 TB.Titan 03/06 TB.Titan 05/04 TB.Titan 07/08 TB.Titan 07/08 TB.Titan 09/10 TB.Titan 09/10 Titan 70 TB.Titan 11/12 TB.Titan 13/14 TB.Titan 15/16 A. TB.Titan 15/16 B. TB.Titan 17/18
Aktual 14,779 45,744 29,448 27,855 26,544 24,503 19,664 39,435 52,923 45,223 31,411 30,166 44,555
~ 205 ~
Target 15,268 47,942 31,650 31,650 30,456 31,650 30,456 60,000 52,734 52,734 31,650 31,650 52,734
Satuan Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters
TB.Titan 19/20 TB.Titan 21/22 TB.Titan 23/24 Rata-rata
51,293 27,434 29,620 36,040
52,734 30,456 30,456 40,948
Liters Liters Liters Liters
All Shipment FO Consumption 70,000
Fo Cons (Liter)
60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0 TB.T itan 03/ 06
TB.T itan 03/ 06
TB.T itan 05/ 04
TB.T itan 07/ 08
TB.T itan 07/ 08
TB.T itan 09/ 10
TB.T TB.T TB.T TB.T TB.T TB.T itan itan itan Tita itan itan itan 15/ 15/ 09/ n 70 11/ 13/ 17/ 16 16 10 12 14 18 A. B.
TB.T itan 19/ 20
TB.T itan 21/ 22
Fo Cons 14,7 45,7 29,4 27,8 26,5 24,5 19,6 39,4 52,9 45,2 31,4 30,1 44,5 51,2 27,4 Target
15,2 47,9 31,6 31,6 30,4 31,6 30,4 60,0 52,7 52,7 31,6 31,6 52,7 52,7 30,4
Gambar 5. Grafik Pemakaian Konsumsi Bahan Bakar Semua Kapal
4. PENGENALAN eGENKIT • eGenKit adalah sistem berbasis monitor jarak jauh berbasis web dan solusi untuk mengontrol dan membantu perusahaan membuat keputusan secara akurat untuk mengoptimalkan operasinya. • eGenKit terdiri dari: a) Panel lokal (hardware) untuk dipasang di atas kapal, dan b) Server terpusat (untuk menyimpan data dan manajemen). • Tidak memerlukan software yang memungkinkan user mempunyai akses ke kapal setiap saat dan dimanapun juga. • eGenKit menggunakan transmisi data hybrid antara GPRS dan satelit untuk menghasilkan transmisi data berbiaya murah dan dan dapat meng-cover penerimaan secara menyeluruh.
~ 206 ~
Gambar 6. Sistem Arsitektur eGenKit
Gambar 7. Login Page
~ 207 ~
Gambar 8. Tampilan Dashboard 4. KONSUMSI KAPAL YANG MENGGUNAKAN eGenKit: Kapal yang menggunakan eGenKit ada 2 yaitu Tug Boat Titan 21 dan 23 yang selesai dibangun bulan Februari 2015 dan mulai beroperasi sejak bulan April 2015. Dari data yang didapat selama 3 bulan (April s/d Juni 2015) dapat dilihat ada penurunan pemakaian konsumsi bahan bakar pada kapal yang menggunakan eGenKit.
Titan 21 Fo Consumption 32,000
Fo Cons (Liter)
31,000 30,000 29,000 28,000
27,000 26,000 25,000 24,000
Actual
Target
Series1
31,503
31,620
Series2
27,034
31,620
Series3
27,434
30,456
Gambar 9. Konsumsi Bahan Bakar Kapal Titan 21
~ 208 ~
Axis Title
Titan 23 Fo Consumption 36,000 35,000 34,000 33,000 32,000 31,000 30,000 29,000 28,000 27,000 26,000
Actual
Target
Series1
34,974
31,620
Series2
33,606
31,620
Series3
29,620
30,456
Gambar 10. Konsumsi Bahan Bakar Kapal Titan 23
5. KALIBRASI FLOWMETER eGenKit Berdasarkan laporan pekerjaan supervisi kontraktor Power Instruments kalibrasi Flowmeters Tug Boat Titan 21 tanggal 26 and 27 Mei 2015 di Pelabuhan Ratu: - Mengecek konfigurasi density; - Data yang didapat: slug high limit and slug low limit, data density sebelumnya: High limit 0.87000 g/cm3, Low limit 0.75000 g/cm3; - Data berat jenis setelah di-setting: slug high limit 0.90000 g/cm3, slug low limit 0.40000 g/cm3; - Mengecek input power supply ke satelit, karena posisi MCB mati dan tidak online; - Merubah input voltage ke satelit, merubah kabel power supply ke satelit dengan MCB baru; - Mengetes dan meyakinkan satelit berfungsi baik mengirimkan data dengan benar.
Note: disarankan untuk memasang extra fan pada panel power suply satelite loading panel DC 24 V, supaya trafo tidak overheating, foto terlampir di bawah:
~ 209 ~
Gambar 11. Kalibrasi eGenKit 6. DATA KONSUMSI PEMAKAIAN BAHAN BAKAR KAPAL KESELURUHAN Tabel 2. Deviasi Waktu Pelayaran All Shipment Deviation Time KapaL
Actual
Target
TB.Titan 03/06 TB.Titan 03/06 TB.Titan 05/04 TB.Titan 07/08 TB.Titan 07/08
9.58 27.27 33.83 32.82 11.57 36.00 10.74 32.08 29.79 43.88 22.92 11.10 24.60 34.31 28.87 29.34 27.91
10.48 19.8 15.15 15.15 14.81 15.15 14.81 11.23 20.8 20.8 15.15 15.15 20.8 20.8 14.81 14.81 17.31 10.60
Days Days Days Days Days Days Days Days Days Days Days Days Days Days Days Days Days Days
37.98
%
TB.Titan 09/10 TB.Titan 09/10 Titan 70 TB.Titan 11/12 TB.Titan 13/14 TB.Titan 15/16 A. TB.Titan 15/16 B. TB.Titan 17/18 TB.Titan 19/20 TB.Titan 21/22 TB.Titan 23/24 Average DEVIATION
Actual Time Deviation Time
27.91 10.60
~ 210 ~
Days Days
Tabel 3. Deviasi Konsumsi Pemakaian Bahan Bakar All Shipment Deviation FO Consumption KapaL
Actual
TB.Titan 03/06 TB.Titan 03/06 TB.Titan 05/04 TB.Titan 07/08 TB.Titan 07/08 TB.Titan 09/10 TB.Titan 09/10 Titan 70 TB.Titan 11/12 TB.Titan 13/14 TB.Titan 15/16 A. TB.Titan 15/16 B. TB.Titan 17/18 TB.Titan 19/20 TB.Titan 21/22 TB.Titan 23/24 Average
14,779 45,744 29,448 27,855 26,544 24,503 19,664 39,435 52,923 45,223 31,411 30,166 44,555 51,293 27,434 29,620 36,040
Target 15,268 47,942 31,650 31,650 30,456 31,650 30,456 60,000 52,734 52,734 31,650 31,650 52,734 52,734 30,456 30,456 40,948 -4,908
Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters Liters
DEVIATION -13.62 % FO Actual Deviation FO Cons
36,040 -4,908
(Days)
All Shipment June Deviation Time 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
TB. TB. TB. TB. TB. TB. TB. TB. TB. TB. TB. TB. TB. TB. TB. Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit Tit an an an an an an an an an an an an an an an an 03/ 03/ 05/ 07/ 07/ 09/ 09/ 70 11/ 13/ 15/ 15/ 17/ 19/ 21/ 23/ 06 06 04 08 08 10 10 12 14 1… 1… 18 20 22 24
Total Day 9.5 27. 33. 32. 11. 36. 10. 32. 29. 43. 22. 11. 24. 34. 28. 29. Target
10 20 15 15 15 15 15 11 21 21 15 15 21 21 15 15
Gambar 12. Deviasi Waktu Bulan Juni
~ 211 ~
All Shipment Reward FO Consumption Liters
70,000 60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 0
TB TB TB TB TB TB TB .Ti .Ti .Ti .Ti .Ti .Ti .Ti Tit ta ta ta ta ta ta ta an n n n n n n n 70 0… 0… 0… 0… 0… 0… 0…
TB TB TB TB TB TB TB TB .Ti .Ti .Ti .Ti .Ti .Ti .Ti .Ti ta ta ta ta ta ta ta ta n n n n n n n n 1… 1… 1… 1… 1… 2… 2… 1… Fo Cons 14, 45, 29, 27, 26, 24, 19, 39, 52, 45, 31, 30, 44, 51, 27, 29,
Target 15, 47, 31, 31, 30, 31, 30, 60, 52, 52, 31, 31, 52, 52, 30, 30,
Gambar 13. Konsumsi Pemakaian Bahan Bakar bulan Juni
KESIMPULAN 1. Dari pemakaian konsumsi bahan bakar dapat dilihat ada penurunan dari target sebagai berikut: KapaL Titan 21 Actual Target April 31,503 31,620 Liters May 27,034 31,620 Liters June 27,434 30,456 Liters KapaL Titan 23 April May June
Actual 34,974 33,606 29,620
Target 31,620 31,620 30,456
Liters Liters Liters
2. Akan dilakukan sosialisasi pada semua kapal mengenai target fuel efficiency, saat ini sudah berjalan pada beberapa kapal dan ada sambutan baik dari ABK kapal. 3. Melengkapi peralatan untuk Fuel-sensor, fuel-monitoring, fuel-security, diantaranya adalah: Perlengkapan paket fuel-sensor untuk kapal-kapal baru (Titan 25, Titan 27, Titan 29 dan Titan 31), ada 3 pilihan, yaitu: - eGenKit, paket 1 Flowmeter Corilois dan RPM Sensor, GSM transmitter, estimasi biaya Rp 270 juta-an; - Broil, paket 4 flowmeter Oval-gear dan RPM Sensor, GSM transmitter, estimasi biaya Rp 150 juta-an;
~ 212 ~
- Aquametro, paket 4 flowmeter Rotary dan CCTV RPM + GSM CCTV transmitter, estimasi biaya Rp 125 juta-an. Perlengkapan tambahan penunjang sensor untuk kapal-kapal Non eGenKit
DAFTAR PUSTAKA Aqua Metro Contoil Fuel Oil Meters, Istec Corporation. Arifin, Zainal Rabiman, Sistem Bahan Bakar Motor Diesel, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2011. Artono Koestoer, Raldi, Pengukuran Teknik, Jakarta, Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. P2M, Diktat Dasar-dasar Pengukuran dan Kesalahan pengukuran, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia. Tomo, R. Choerniadi, Menelusuri Teknologi BBM Perkapalan dan Aplikasinya, Jakarta, PT. Bunda Mulia Abadi Jaya, 2013.
~ 213 ~
~ 214 ~
TINJAUAN PENURUNAN EMISI DARI KEGIATAN KAPAL FERRY PADA PELABUHAN MERAK – BAKAUHENI Shanty Manullang , Arif Fadillah *) Ginanjar Raganata **) *) Dosen pada Program Studi Teknik Perkapalan, **) Mahasiswa pada Program Studi Teknik Perkapalan , Fakultas Teknologi Kelautan
[email protected] Abstrak Indonesia merupakan negara kepulauan dimana penggunaan Kapal sebagai transportasi laut tidak dapat dihindarkan. Salah satu jalur pelayaran yang padat adalah jalur pelayaran Merak – Bakauheni, sehingga berdampak pada peningkatan emisi gas buang yang berasal dari kegiatan kapal di pelabuhan tersebut . Tujuan penulisan ini untuk menganalisa beberapa langkah yang dilakukan untuk mengurangi emisi dari kapal laut yang ada di Pelabuhan Merak – Bakauheni.Metodologi yang digunakan memakai metodologi Carlo Trozzi”Emission estimate methodology for maritime navigation”. salah satu caranya ialah dengan mengubah bahan bakar kapal tersebut dari bahan bakar minyak (BBM) menjadi Compressed Natural Gas (CNG) atau di Indonesia lebih dikenal sebagai Bahan Bakar Gas (BBG), bahan bakar ini dianggap lebih bersih dan murah. Dari beberapa Pollutant yang di teliti pencemaran udara tertinggi dihasilkan oleh zat CO2 dengan nilai emisi pada saat Hotelling sebesar 19.411 Ton dan Manouvering sebesar 11.119 Ton. dengan menggunakan BBG emisi yang dihasilkan CO2 jauh lebih kecil, yakni Hotelling sebesar 4,402 Ton dan Manouvering sebesar 2,456 Ton. ini dikarenakan emisi faktor CO2 dengan menggunakan BBG jauh lebih kecil dibanding emisi faktor CO2 dengan menggunakan BBM. sehingga dapat mengurangi emisi gas buang khususnya yang dihasilkan Kapal Ferry Ro-Ro lintas pelayaran Merak – Bakauheni. Kata Kunci : Emisi Gas Buang, Ferry Ro-Ro, Merak - Bakauheni, BBG dan BBM. 1. PENDAHULUAN Berdasarkan dari letak geografisnya, Negara Indonesia 2/3 nya merupakan wilayah perairan. Dimana luas wilayah maritim Indonesia sebesar 3.272,231 𝐾𝑚2 dari luas teritorialnya. Dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia yang merupakan Negara kepulauan, tentunya kita membutuhkan kapal laut sebagai alat transportasi dari pulau satu kepulau lainnya. Belum lama ini pemerintah memutuskan untuk membatalkan proyek Jembatan Selat Sunda karena dianggap tidak sesuai dengan visi misi Negara maritim secara otomatis akan menambah tingkat kebutuhan alat transportasi kapal laut . Pada lintas pelayaran Merak – Bakauheni Setidaknya tercatat pada kondisi normal kapal yang beroperasi sejumlah 24 unit sedangkan pada saat kondisi sangat padat kapal yang beroperasi sejumlah 28 unit. Dimana 6 kapal Ferry dimiliki dan dioperasikan oleh PT.
~ 215 ~
Angkutan Sungai Danau dan Penyebrangan (ASDP) Indonesia Ferry dan sisanya dioperasikan oleh perusahaan swasta. Dengan program pemerintah untuk tidak melanjutkan Jembatan Selat Sunda dan meningkatnya angkutan dari Pulau Jawa – Pulau Sumatra dengan menggunakan Kapal Laut, hal ini dapat menyebabkan meningkatnya angka emisi gas buang yang berpotensi untuk mencemari lingkungan sekitar. sudah sepatutnya kita dapat menjaga keamanan lingkungan dengan cara mengurangi emisi dari gas buang tersebut. dimana, lintas penyebrangan Merak – Bakauheni adalah salah satu lintas penyebrangan terpadat yang mempunyai potensi pencemaran lingkungan yang cukup besar. Pada penelitian ini untuk menghitung nilai emisi yang dihasilkan kapal digunakan metodologi Carlo Trozzi, yang pada akhirnya akan menekan angka emsisi gas buang apabila kapal memakai BBG dibanding BBM.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas buang yang dihasilkan kapal laut pada pelabuhan Merak – Bakauheni , Untuk itu dalam melakukan tinjauan ini perlu disusun kerangka dasar yang digunakan sebagai acuan untuk mengkaji studi kasus tersebut. Metode penulisan kajian ini mencakup semua tindakan atau langkah yang akan dilakukan untuk penulisan penelitian. Metode Perhitungan Metode Perhitungan yang dipakai antara lain adalah : 1. Perhitungan Emisi gas buang menggunakan rumus Carlo Trozzi : a. Fuel Consumption Main Engine Fuel Consumption Main Engine Hotelling (FCMEH) sfoc kapal x HP Mesin x waktu ℎ𝑜𝑡𝑡𝑒𝑙𝑖𝑛𝑔 ------- (1) 1000 x 𝐿𝑜𝑎𝑑 Faktor ME 𝐻𝑜𝑡𝑒𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 Fuel Consumption Main Engine Manouvering (FCMEM) sfoc kapal x HP Mesin x waktu 𝑀𝑎𝑛𝑜𝑢𝑣𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 ------- (2) 1000 x 𝐿𝑜𝑎𝑑 Faktor ME 𝑀𝑎𝑛𝑜𝑢𝑣𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 Fuel Consumption Main Engine Cruising (FCMEC) sfoc kapal x HP Mesin x waktu 𝐶𝑟𝑢𝑖𝑠𝑖𝑛𝑔 1000 x Load Faktor ME 𝐶𝑟𝑢𝑖𝑠𝑖𝑛𝑔
------- (3)
b. Fuel Consumption Auxiliary Engine Fuel Consumption Auxiliary Engine Hotelling (FCAEH) sfoc kapal x HP Mesin x waktu ℎ𝑜𝑡𝑡𝑒𝑙𝑖𝑛𝑔 ------- (4) 1000 x 𝐿𝑜𝑎𝑑 Faktor AU 𝐻𝑜𝑡𝑒𝑙𝑙𝑖𝑛𝑔 Fuel Consumption Auxiliary Engine Manouvering (FCAEM) sfoc kapal x HP Mesin x waktu 𝑀𝑎𝑛𝑜𝑢𝑣𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 ------- (5) 1000 x 𝐿𝑜𝑎𝑑 Faktor AU 𝑀𝑎𝑛𝑜𝑢𝑣𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Fuel Consumption Auxiliary Engine Cruising (FCAEC) sfoc kapal x HP Mesin x waktu 𝐶𝑟𝑢𝑖𝑠𝑖𝑛𝑔 ------- (6) 1000 x 𝐿𝑜𝑎𝑑 Faktor AU 𝐶𝑟𝑢𝑖𝑠𝑖𝑛𝑔
~ 216 ~
c.
Perhitungan Emisi Hotelling Manouvering Cruising
=(FCMEH + FCAEH) x Emision Faktor ----- (7) = (FCMEM + FCAEM) x Emision Faktor ----- (8) = (FCMEC + FCAEC) x Emision Faktor ----- (9) Tabel 1. Load Factor ME dan AE
No Kondisi Load Faktor ME Load Faktor AE 1 Hotelling 0.2 0.3 2 Criusing 0.8 0.5 3 Manouvering 0.2 0.4 Sumber : Carlo Trozzi,Emission Estimate Methodology
Tabel 2. Emision Faktor untuk BBM No 1
Pollutant Clasification Nox
Emision Faktor (Kg/Ton) 57
2
SOx
0,7
3
CO
7,4
4
CO2
3170
5
VOC
2,4
6
PM
1,5
Sumber Carlo Trozzi , Methodologies For Estimating Air Pollutant Emissions From Ship Carlo Trozzi , Methodologies For Estimating Air Pollutant Emissions From Ship Carlo Trozzi , Methodologies For Estimating Air Pollutant Emissions From Ship Carlo Trozzi , Methodologies For Estimating Air Pollutant Emissions From Ship Carlo Trozzi , Methodologies For Estimating Air Pollutant Emissions From Ship Carlo Trozzi , Methodologies For Estimating Air Pollutant Emissions From Ship
Sumber : Methodologies For Estimating Air Pollutant Emissions From Ship
No
Pollutant Clasification
Tabel 3. Emision Faktor untuk BBG Emision Faktor (Kg/Ton) Sumber
1 Nox 0,77 Pusat Teknologi Industri,BPPT[15] 2 SOx 0,7 Carlo Trozzi,Emission Estimate Methodology 3 CO 0,8 Pusat Teknologi Industri,BPPT 4 CO2 0,7 Pusat Teknologi Industri,BPPT 5 VOC 2,4 Carlo Trozzi,Emission Estimate Methodology 6 PM 1,4 Carlo Trozzi,Emission Estimate Methodology Sumber : Emission Estimate Methodology dan Pusat Teknologi Industri,BPPT 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengumpulan data dan informasi didapatkan dari 2 (dua) Pelabuhan penyeberangan yaitu di Pelabuhan Merak dan Bakauheni. Data dan informasi dari Kantor Kementrian Perhubungan, Dirjen Lalu Lintas Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (LLASDP) adalah sebagai berikut :
~ 217 ~
3. 1 Pelabuhan Merak Pelabuhan Merak termasuk di wilayah PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia II yang berada di Propinsi Banten. Pelabuhan sebagai tumpuan tatanan kegiatan ekonomi dan kegiatan pemerintah merupakan sarana untuk menyelenggarakan tempat naik turunnya penumpang, bongkar muat barang dan kendaraan, serta menunjang angkutan laut. 3.2 Pelabuhan Bakauheni Pelabuhan Bakauheni termasuk di wilayah Propinsi Lampung. Pelabuhan ini merupakan salah satu pelabuhan utama dalam sistem kepelabuhanan penyebrangan di Indonesia. Pelabuhan Bakauheni merupakan tumpuan tatanan kegiatan ekonomi Propinsi Lampung sebagai sarana untuk menyelenggarakan tempat naik turunnya penumpang dan bongkar muat kendaraan, serta menunjang angkutan laut. 3.3 Pola Operasi Kapal 1. Pola Operasional a. Normal Tabel 4. Pola Operasional pada saat kondisi normal Dermaga No Kondisi I II III IV 1 Kapal Ops (unit) 6K 6K 5K 3K 2 Manouvering (menit ) 24 24 24 24 3
Hotelling (menit )
48
48
48
4 Sea Time (menit) 120 120 120 5 Target Trip 24 24 20 6 Kap, Produksi (unit) 1.344 1.344 2.760 Sumber : Kementrian Perhubungan, Dirjen LLASDP
V 4K 24
48
48
120 12 672
120 16 896
Jumla h 24
96 7.016
Tabel 5. Kapal yang beroperasi pada kondisi Normal No.
Dermaga 1
1
KMP. Jatra I
2
KMP. Jatra II
3
KMP. Jatra III
4
KMP. Mufidah
5 6
KMP. Menggala KMP. Nusa Bahagia
Kapal yang Beroperasi Dermaga Dermaga 2 3 KMP. Nusa KMP. Nusa Jaya Dharma KMP. Windu KMP. Nusa Karsa Pratama Setia KMP. Windu KMP. Prima Karsa Dwitya Nusantara KMP. Titian KMP. BSP 1 Murni KMP. Bahuga KMP. Mitra Pratama Nusantara KMP. SMS Kartanegara
Sumber : Kementrian Perhubungan, Dirjen LLASDP
~ 218 ~
Dermaga 4 KMP. Mustika Kencana KMP. Dharma Kencana IX KMP. BSP II / Ontoseno
Dermaga 5 KMP. HM Baruna I KMP. Rajabasa 1 KMP. Tribuana 1 KMP. BSP III
3.4 Hasil Perhitungan Emisi Gas Buang Kapal Pada Pelabuhan Merak –Bakauheni Dengan menggunakan perhitungan menurut Carlo Trozzi, maka di dapatlah hasil perhitungan emisi gas buang Kapal Ferry pada pelabuhan Merak – Bakauheni dengan dua perbandingan yakni dengan menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan dengan menggunakan Bahan Bakar Gas (BBG). Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 6. Emisi Gas Buang dengan Menggunakan Bahan Bakar Minyak (Tahun) Sumber : Hasil Perhitungan Tabel 7
No 1 2 3 4 5 6
Emisi Nox (Ton)
Pelabuhan Merak Hotelling Manouvering 365,116 1.129,208
Pelabuhan Bakauheni Hotelling Manouvering 365,116 1.129,208
Sailing 3.117,850
SOx (Ton)
4,484
2,456
38,289
4,484
2,456
CO (Ton)
47,401
25,958
404,774
47,401
25,958
CO2 (Ton)
19.411,909
11.119,919
173.347,598
19.411,909
11.119,919
14,797 10,309
8,419 5,262
VOC (Ton) PM (Ton)
14,797 8,419 131,278 10,309 5,262 82,049 Emisi Gas Buang dengan Menggunakan Bahan Bakar Gas (Tahun)
Pelabuhan Merak Pelabuhan Bakauheni No Emisi Hotelling Manouvering Sailing Hotelling Manouvering 1 Nox (Ton) 4,932 2,257 42,118 4,932 2,257 2 SOx (Ton) 4,484 2,456 38,289 4,483 2,456 3 CO (Ton) 5,124 2,806 43,759 5,124 2,806 4 CO2 (Ton) 4,402 2,456 38,289 4,402 2,456 5 VOC (Ton) 14,797 8,419 131,278 14,797 8,419 6 PM (Ton) 8,691 4,911 76,579 8,691 4,911 Sumber : Hasil Perhitungan Tabel 8. Penurunan Emisi Gas Buang yang Menggunakan Bahan Bakar Gas (Tahun) Pelabuhan Merak No 1 2
3
Emisi
Hotelling
Pelabuhan Bakauheni
Manouvering
Sailing
Hotelling
Manouvering
Nox (Ton)
360,183
1.126,951
3.075,732
360,183
1.126,951
SOx (Ton)
0
0
0
0
0
CO (Ton)
42,277
23,152
361,014
42,277
23,152
~ 219 ~
4
CO2 (Ton)
5
VOC (Ton)
19.407,507 11.117,464 173.309,309 19.407,507
11.117,464
0
0
0
0
0
PM (Ton) 1,618 Sumber : Hasil Perhitungan
0,351
5,470
1,618
0,351
6
3.5 Penurunan Emisi Gas Buang Kapal Ferry pada Lintas Pelayaran Merak Bakauheni a) Hotelling Satuan Emisi dalam (Ton) Nox = skala 1 : 3 ton
1941,191
Sox = skala 1 : 100 ton Co
= skala 1 : 100 ton
CO2 = skala 1 : 100 ton VOC = skala 1 : 50 ton
1095,347
448,388
PM
711,015
739,840 440,194
493,226
= skala 1 : 50 ton
512,443
515,440 434,557 EMISI BBM EMISI BBG
Sumber: Hasil Perhitungan Gambar 1. Penurunan Emisi Gas Buang pada saat Hotelling
b) Manouvering
~ 220 ~
Satuan Emisi dalam (Ton)
34,750
Nox = skala 1 : 75 ton Sox = skala 1 : 1 ton Co
= skala 1 : 5 ton
CO2 = skala 1 : 320 ton VOC = skala 1 : 1 ton
16,135
PM
= skala 1 : 1 ton
8,419 2,257
5,192 EMISI BBM, SOX, 2.456 2,806
5,262 2,456
4,911
EMISI BBM EMISI BBG
Sumber: Hasil Perhitungan Gambar 2. Penurunan Emisi Gas Buang pada saat Manouvering 4. KESIMPULAN DAN SARAN Penggunaan bahan bakar minyak (BBM) sebagai bahan bakar kapal menghasilkan emisi gas buang yang cukup tinggi, terutama pada CO2 yang mana memiliki nilai emisi tertinggi dibanding pollutant lainnya dengan nilai emisi pada saat Hotelling 19.411 Ton dan Manouvering 11.119 Ton dan dengan menggunakan BBG emisi yang dihasilkan CO2 jauh lebih kecil, yakni Hotelling sebesar 4,402 Ton, dan Manouvering sebesar 2,456 Ton Sebaikanya dilakukan penelitian lanjut mengenai penurunan emisis dari kegiatan kapal tetapi di pelabuhan yang berbeda sehingga kita pada akhirnya dapat tahu berapa kira-kira sumbangan emisi gas buang dari kegiatan kapal di pelabuhan. DAFTAR PUSTAKA Carlo Trozzi,”Emission Estimate Methodology” Tahun 2006 Kantor Kementrian Perhubungan, Dirjen LLASDP, Jakarta Konvensi Hukum Laut “ United Nation Convention on the law of the Sea” 1982 (UNCLOS) Mahsun, Mohamad 2006 Pelabuhan Merak Indonesia. Yogyakarta:Ghalia Nasution. 2004 Manajemen Pelabuhan Merak. Bandung: cv Alfabet Pusat Teknologi Industri,BPPT Supranto,J.2001 Karakteristik Pelabuhan Merak Jakarta: PT. Gramedia
~ 221 ~
~ 222 ~
Perancangan Aplikasi Monitoring Suhu pada Ruangan DMZ Berbasis Web dan Mobile Adam Arif budiman, Herianto Teknik Informatika – Universitas Darma Persada
[email protected],
[email protected] Abstrak Ruang DMZ (DeMiliteriZation) di sebuah instansi yang mengimplementasikan teknologi informasi secara utuh (memiliki server publik) tentu saja sangat penting dijaga kualitas keamanannya. Baik keamanan data maupun keamanan yang bersifat fisik seperti kondisi suhu ruangan. Apabila jika terjadi peningkatan suhu di luar batas toleransi, hal ini harus segera diketahui dan ditindaklanjuti sehingga tidak terjadi kerusakan pada server dan peralatan network lainnya. Sistem monitoring suhu berbasis web dan mobile dapat dimanfaatkan untuk memantau suhu suatu ruangan dari jarak jauh. Sistem ini terdiri atas perangkatkeras dan perangkat lunak. Perangkat keras terdiri atas sebuah sensor suhu LM35 yang menghasilkan keluaran data suhu analog yang kemudian oleh modul temperatur akan dikonversi menjdi masukkan suhu data digital ke port raspberry Pi. Data akan dikirimkan secara serial dan disimpan pada database web server. Seluruh proses komunikasi data ditangani oleh raspberry pi PC yang berfungsi sebagai controller dan server. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah shell, phyton, PHP dan MySQL sebagai database nya sedangkan Pemrograman java digunakan untuk aplikasi mobile Android. tampilan keluaran monitoring berupa halaman web dan tampilan di aplikasi mobile. Keyword: raspberry pi, phyton, sensor suhu 1. PENDAHULUAN Instansi yang memiliki layanan dedicated biasanya memiliki daerah jaringan yang khusus yang diletakkan pada rungan khusus yang disebut dengan demiliterization (dmz). Pada ruangan ini umumnya terdapat peralatan PC atau CPU server, Switch Catalyst Router, UPS dan berbagai perangkat network lainnya. Daerah atau ruang dmz adalah daerah yang harus terlindungi, sebab ia berada di tengah-tengah diantara jaringan publik (internet) dan jaringan lokal (private) yaitu jaringan user. Itu sebabnya fasilitas keamanan (security) sangat diperhatikan pada daerah jaringan ini. Server down karena panas bukan tidak mungkin terjadi. Sebuah perusahaan data center di Australia diberitakan down karena temperatur yang panas sehingga merugikan konsumen. Fasilitas keamanan pada bagian ruang dmz ini harus dilengkapi 2 keamanan sekaligus, yaitu keamaman secara logikal sistem yaitu keberadaan firewall dan juga secara fisik yaitu untuk mencegah kerusakan secara fisikal seperti akibat kenaikan suhu yang tidak terkendali dan sebagainya. Untuk menjaga kestabilan suhu ini tentu saja pada setiap ruang dmz sudah
~ 223 ~
tersedia peralatan AC (Air Conditioner). Sejauh ini keberadaan peralatan AC sudah cukup memadai untuk menjaga suhu ruangan dmz pada kondisi yang diinginkan. Tetapi sebagaimana layaknya sistem buatan manusia, tentu ada saja kemungkinan peralatan AC ini tidak bekerja sebagaimana mestinya. Misalnya peralatan AC tersebut rusak, mati atau tidak berada pada tingkat suhu yang diinginkan sehingga bisa membuat peralatan yang terdapat pada ruang dmz tadi juga ikut rusak atau mati. Untuk mencegah hal ini tentu saja mudah jika selalu ada petugas yang mengawasi ke dalam ruangan server tersebut. Bagaimana jika ruangan server tersebut tidak selalu diawasi oleh petugas karena keterbatasan waktu, atau lokasinya yang jauh dari petugas, atau ketika hari libur dimana petugas sedang tidak berada di lokasi ruang dmz tersebut. Untuk mengatasi situasi yang demikian, dibutuhkan fasilitas warning (peringatan) dan notifikasi (pemberitahuan) jarak jauh tentang keadaan suhu ruang dmz pada suatu saat jika terjadi masalah. Dengan adanya fasilitas ini, diharapkan petugas dapat segera melakukan tindakan dini sehingga keselamatan peralatan pada ruang dmz tersebut dapat terpelihara selalu. 2. SENSOR SUHU Pada penelitian ini digunakan sensor suhu LM35. Sensor suhu LM35 adalah komponen elektronika yang memiliki fungsi untuk mengubah besaran suhu menjadi besaran listrik dalam bentuk tegangan. Sensor Suhu LM35 yang dipakai dalam penelitian ini berupa komponen elektronika elektronika yang diproduksi oleh National Semiconductor. LM35 memiliki keakuratan tinggi dan kemudahan perancangan jika dibandingkan dengan sensor suhu yang lain, LM35 juga mempunyai keluaran impedansi yang rendah dan linieritas yang tinggi sehingga dapat dengan mudah dihubungkan dengan rangkaian kendali khusus serta tidak memerlukan penyetelan lanjutan
~ 224 ~
Gambar 1. Sensor LM35
Gambar 2 Sensor LM35 2.1 Sistem nonitoring berbasis web Aplikasi internet merupakan aplikasi yang menerapkan arsitektur sistem terdistribusi dengan menggunakan internet sebagai media komunikasi antar komponennya. Internet merupakan jaringan komputer yang sangat besar yang menghubungkan jaringan-jaringan kecil menggunakan protokol transmisi berbasis TCP/IP. Untuk mengimplementasikan aplikasi berbasis web maka digunakan bahasa pemrograman PHP, HTML, Ajax dan aplikasi server. Secara garis besar pengaksesan klien ke server melalui jaringan internet bisa digambarkan seperti gambar di bawah ini
~ 225 ~
Gambar 3 skema monitoring berbasis web Pada sistem monitoring berbasis web, diberikan suatu sensor untuk memantau keadaan ruangan. Data analog yang ditangkap pada sensor di konversi menjadi data digital oleh mikrokontroller untuk selanjutnya diolah lebih lanjut oleh server agar dapat didistribusikan informasinya melalui aplikasi berbasis web. 2.2 Desain dan implementasi Desain pada sistem monitoring ini terdiri dari tiga tahap seperti gambar di bawah.
Gambar 4. Desain sistem monitoring Pada application layer merupakan lapisan akhir dimana pengguna mengakses sistem ini dengan browser dan smartphone. Pemrograman yang digunakan adalah PHP, Phyton dan shell programming . Perangkat yang digunakan adalah raspberry pi sebagai alat untuk akuisisi data , modul sensor temperature sebagai sensor dan web server.
~ 226 ~
Gambar 5 raspberry pi
Gambar 6 modul sensor temperature
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada gambar di bawah, merupakan perangkat yang digunakan yang terdiri dari web cam, modul sensor dan raspbery pi yang terhubung ke jaringan internet.
Gambar 7 perangkat sistem monitoring
Gambar 9 tampilan di smartphone
~ 227 ~
Gambar 8. tampilan grafik suhu
Gambar 10 tampilan grafik suhu
4. KESIMPULAN DAN SARAN Dengan adanya sistem monitoring suhu ini memudahkan staff administrator jaringan dan IT support untuk memantau ruang server sehingga terhindar dari kerusakan server akibat suhu ruangan yang tinggi. Penelitian ini dapat dikembangkan dengan penambahan alat kontrol dan aktuator sebagai pengendali pengatur suhu (AC) serta notifikasi peringatan melalui sms dengan sms gateway Ucapan terima kasih Penelitian ini didanai oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi dengan skim Penelitian Dosen Pemula tahun 2015. Daftar Pustaka Kassim,M (2011). A Web Based Temperature Monitoring System. INTERNATIONAL JOURNAL OF MULTIDISCIPLINARY SCIENCES AND ENGINEERING, VOL. 2, NO. 1, MARCH 2011 Salleh, M. (2013). Development of Greenhouse Monitoring using Wireless Sensor Network through ZigBee Technology, International Journal of Engineering Science Invention ISSN (Online): 2319 – 6734, ISSN: 2319 – 6726 National Data Acquitition Databook, National Semiconductor,1995) McRoberts, Michael, Beginning Arduino, 2010, Apress Publishing Suneta, U, Ethernet Based Remote Monitoring And Control Of Temperature By Using Rabbit Processor, International Journal of Advanced Computer Science and Applications, Vol. 3, No. 9, 2012
~ 228 ~
DATA MINING MELIHAT POLA HUBUNGAN NILAI TES MASUK MAHASISWA TERHADAP DATA KELULUSAN MAHASISWA UNTUK MEMBANTU PERGURUAN TINGGI DALAM MENGAMBIL KEBIJAKAN DALAM RANGKA PENINGKATAN MUTU PERGURUAN TINGGI Timor Setiyaningsih, Nur Syamsiah Teknik Informatika Universitas Darma Persada Abstrak Perguruan tinggi sebagai salah satu pilar pendidikan tinggi memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendidik dan mengembangkan mahasiswa untuk siap terjun ke dunia kerja secara nyata. Tes masuk mahasiswa merupakan tahapan awal yang harus dilalui setiap mahasiswa untuk dapat menimba ilmu diperguruan tinggi yang diinginkan. Dari data nilai tes masuk ini sebenarnya dapat digali data mengenai kemampuan dan potensi mahasiswa yang dapat lebih dikembangkan. Penggalian data ini perlu dikaji dan diteliti lebih mendalam untuk kebutuhan perguruan tinggi dalam mengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan pada perguruan tinggi.Penelitian ini dimaksudkan untuk menggali korelasi antara data yang diperoleh pada tahapan penerimaan mahasiswa dengan menggunakan pendekatan asosiasi data mining dan algoritma apriori untuk menemukan korelasi dan pola dengan tingkat nilai kelulusan mahasiswa. Hasil penelitian dapat dipergunakan untuk memberikan arahan terhadap perguruan tinggi dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam meningkatkan kualitas mutu pendidikan tinggi. Keyword: algoritma apriori, Tes Masuk, Penerimaan Mahasiswa, Kebijakan, Mutu Pendidikan 1. PENDAHULUAN Perguruan tinggi sebagai salah satu pilar pendidikan tinggi memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendidik dan mengembangkan mahasiswa untuk siap terjun ke dunia kerja secara nyata. Dalam menjalankan fungsinya perguruan tinggi memiliki tahapan – tahapan yang perlu dijalankan mulai dari menjaring, menyeleksi hingga menjalankan fase pendidikan, termasuk dalam menentukan kebijakan – kebijakan dalam meningkatkan kualitas mahasiswa. Dukungan data sering kali dibutuhkan sebagai panduan untuk menentukan arah ketika hendak menentukan program pendidikan atau kurikulum , baik yang bersifat jangka pendek ataupun jangka panjang. Sehingga dibutuhkan analisa data yang tepat untuk memastikan ketepatan kebijakan program pendidikan atau kurikulum terhadap sasaran mahasiswa didik dalam peningkatan kualitas menyelesaikan masa pendidikannya. Terkadang data-data tersebut tersembunyi atau kurang terungkap karena terlalu banyaknya data, dan hal ini perlu digali dengan menggunakan data mining.
~ 229 ~
Tes masuk mahasiswa merupakan tahapan awal yang harus dilalui setiap mahasiswa untuk dapat menimba ilmu diperguruan tinggi yang diinginkan. Dari data tes masuk ini sebenarnya dapat digali data mengenai kemampuan dan potensi yang dapat lebih dikembangkan. Penggalian data ini dilalukan untuk melihat adanya korelasi antara data saat tes masuk perguruan tinggi dengan tingkat kelulusan diperguruan tinggi. Proses penggalian data untuk melihat korelasi data tes masuk dengan data kelulursan mahasiswa menggunakan pendekatan asosiasi datamining dengan algoritma apriori. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan data acuan bagi program studi-program studi di Universitas Darma Persada menentukan kebijakan penerimaan mahasiswa baru.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Data Mining Data mining adalah suatu konsep yang digunakan untuk menemukan pengetahuan yang tersembunyi di dalam database. Data mining merupakan proses semi otomatik yang menggunakan teknik statistik, matematika, kecerdasan buatan, dan machine learning untuk mengekstraksi dan mengidentifikasi informasi pengetahuan potensial dan berguna yang tersimpan di dalam database besar. Data mining adalah suatu proses menemukan hubungan yang berarti, pola, dan kecenderungan dengan memeriksa dalam sekumpulan besar data yang tersimpan dalam penyimpanan dengan menggunakan teknik pengenalan pola seperti teknik statistik dan matematika (Kusrini, 2009). Data mining didefinisikan sebagai proses menemukan polapola dalam data. Karakteristik data mining sebagai berikut : a. Data mining berhubungan dengan penemuan sesuatu yang tersembunyi dan pola data tertentu yang tidak diketahui sebelumnya. b. Data mining biasa menggunakan data yang sangat besar. Biasanya data yang besar digunakan untuk membuat hasil lebih dipercaya. c. Data mining berguna untuk membuat keputusan yang kritis, terutama dalam strategi. 2.2 Algoritma Apriori Algoritma Apriori adalah salah satu algoritma yang melakukan pencarian frequent itemset dengan menggunakan teknik association rule. Algoritma Apriori menggunakan pengetahuan frekuensi atribut yang telah diketahui sebelumnya untuk memproses informasi selanjutnya. Pada algoritma Apriori menentukan kandidat yang mungkin muncul dengan
~ 230 ~
cara memperhatikan minimum support dan minimum confidence. Support adalah nilai pengunjung atau persentase kombinasi sebuah item dalam database. Rumus support adalah sebagai berikut: Support (A,B) = P (A∩B) 𝑆𝑢𝑝𝑝𝑜𝑟𝑡 (𝐴, 𝐵) =
∑Transaksi mengandung A dan B 𝑋 100% ∑Total Transaksi
Sedangkan confidence adalah nilai kepercayaan yaitu kuatnya hubungan antar item dalam sebuah Apriori. Confidence dapat dicari setelah pola frekuensi munculnya sebuah item ditemukan. Berikut rumus confidence :
Secara garis besar cara kerja algoritma apriori adalah: 1. Pembentukan kandidat itemset, Kandidat k-itemset dibentuk dari kombinasi (k-1)-itemset yang didapat dari iterasi sebelumnya. Satu ciri dari algoritma Apriori adalah adanya pemangkasan kandidat k-itemset yang subset-nya yang berisi k-1 item tidak termasuk dalam pola frekuensi tinggi dengan panjang k-1. 2. Penghitungan support dari tiap kandidat k-itemset. Support dari tiap kandidat k-itemset didapat dengan men-scan database untuk menghitung jumlah transaksi yang memuat semua item di dalam kandidat k-itemset tsb. Ini adalah juga ciri dari algoritme Apriori dimana diperlukan penghitungan dengan scan seluruh database sebanyak k-itemset terpanjang. 3. Tetapkan pola frekuensi tinggi. Pola frekuensi tinggi yang memuat k item atau k-itemset ditetapkan dari kandidat k-itemset yang support-nya lebih besar dari minimum support. 4. Bila tidak didapat pola frekuensi tinggi baru maka seluruh proses dihentikan. Bila tidak, maka k ditambah satu dan kembali ke bagian 1.
3. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti proses tahap-tahap knowledge discovery in databases (KDD) dalam datamining, yaitu sebagai berikut: 1. Seleksi Data (data selection)
~ 231 ~
Data yang ada pada database sering kali tidak semuanya dipakai, oleh karena itu hanya data yang sesuai untuk dianalisis yang akan diambil dari database. Data hasil seleksi akan digunakan untuk proses datamining, disimpan dalam satu berkas, terpisah dari basis data operasional. 2. Pembersihan data (data cleaning) Pembersihan data merupakan proses menghilangkan noise dan data yang tidak konsisten atau data tidak relevan. Pada umumnya data yang diperoleh, baik dari database suatu perusahaan maupun hasil eksperimen, memiliki isian-isian yang tidak sempurna seperti data yang hilang, data yang tidak valid atau juga hanya sekedar salah ketik.Selain itu, ada juga atribut-atribut data yang tidak relevan dengan hipotesa data mining yang dimiliki. Data-data yang tidak relevan itu juga dibuang. Pembersihan data juga akan mempengaruhi performasi dari teknik data mining karena data yang ditangani akan berkurang jumlah dan kompleksitasnya. 3. Transformasi data (data transformation) Data diubah atau digabung ke dalam format yang sesuai untuk diproses dalam data mining. Beberapa metode data mining membutuhkan format data yang khusus sebelum bisa diaplikasikan. Metode asosiasi hanya bisa menerima input data kategorikal. Karenanya data berupa angka numerik yang berlanjut perlu dibagi-bagi menjadi beberapa interval. Proses ini sering disebut transformasi data. 4. Proses mining Merupakan suatu proses utama saat metode diterapkan untuk menemukan pengetahuan berharga dan tersembunyi dari data. Teknik, metode atau algoritma dalam datamining sangat bervriasi. Pemilihan metode atau algoritma yang tepat sangat tergantung pada tujuan dan proses KDD secara keseluruhan. 5. Evaluasi pola (pattern evaluation) Untuk
mengidentifikasi
pola-pola
menarik
kedalam
knowledge
based
yang
ditemukan.Dalam tahap ini hasil dari teknik data mining berupa pola-pola yang khas maupun model prediksi dievaluasi untuk menilai apakah hipotesa yang ada memang tercapai. Bila ternyata hasil yang diperoleh tidak sesuai hipotesa ada beberapa alternatif yang dapat diambil seperti menjadikannya umpan balik untuk memperbaiki proses data mining,mencoba metode data mining lain yang lebih sesuai, atau menerima hasil ini sebagai suatuhasil yang di luar dugaan yang mungkin bermanfaat.
~ 232 ~
4. IMPLEMENTASI Data yang akan digunakan dalam membentuk suatu pengetahuan berupa pola kombinasi untuk memprediksi apakah calon mahasiswa lulus tepat waktu atau tidak adalah data mahasiswa dari awal masuk sampai dengan lulus yang sudah tersimpan dalam database. Dari penelitian yang dilakukan, beberpa variable yang dapat diambil sebagai penentu keputusan dari data – data yang ada antara lain sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Mahasiswa Data Nilai Jenis Kelamin Jurusan Sekolah Jurusan Kuliah Kelulusan Setelah ditentukan data data yang dibutuhkan dan data tersedia di dalam database
mahasiswa UNSADA, maka dibuat tabel-tabel untuk database aplikasi data mining sebagai berikut: 1.
Tabel mahasiswa
2.
Tabel Kombinasi
3.
Tabel Minimum Confidence
~ 233 ~
4.
Tabel Perhitungan
Karena satu data mempunyai rentang nilai yang luas, maka dibuat definisi nilai baru untuk menggelompokkan data data tersebut. Adapn definisi tersebut sebagai berikut: Definisi : A : Nilai STTB 1: Grade A 80<= n <=100 2: Grade B 60<= n <80 3: Grade C 40<= n <60 4: Grade D 20<= n <40 5: Grade E 10<= n <20 B : Jenis Kelamin 1: Pria 2: Wanita C : Jenis Sekolah 1: IPA 2: IPS 3: STM 4: SMK D : Jurusan Kuliah 1: Fakultas Teknik 2: Fakultas Ekonomi 3: Fakultas Sastra 4: Fakultas Kelautan E : Status Kelulusan 1: Cepat 2: Lambat 5. HASIL Pada aplikasi pada inputan dimasukkan nilai support 20 dan nilai confident 80, dengan tampilan sebagai berikut:
Setalah diproses didapatkan hasil sebagai berikut:
~ 234 ~
Perhitungan utuk kombinasi 1 itemset diperoleh hasil sebagai berikut:
Hasil perhitungan untuk kombinasi 2 itemset:
Hasil perhitungan untuk kombinasi 3 itemset:
Aturan asosiasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
~ 235 ~
Dengan melihat hasil asosiasi diatas dapat dijelaskan beberapa hasil sebagai berikut: Seorang mahasiswa dengan nilai STTB diatas 80 yang kuliahnya lulus tepat waktu kemungkinan 85,714% berjenis kelamin laki-laki, hal ini cukup signifikan karena mewakili 42,857 % dari seluruh data mahasiswa yang tercatat. Seorang mahasiswa dengan nilai STTB diatas 80 yang kuliahnya lulus tepat waktu kemungkinan 85,714% jurusan teknik, hal ini cukup signifikan karena mewakili 42,857 % dari seluruh data mahasiswa yang tercatat.
6. SIMPULAN Berdasarkan hasil uji coba dari aplikasi datamining dengan algoritma apriori, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut : a.
Pendekatan datamining dengan algoritma apriori dapat memperlihatkan pola dari data tes masuk mahasiswa terhadap kelulusan mahasiswa.
b.
Ketepatan pola hasil data mining yang didapatkan sangat tergantung dari banyaknya data valid yang dapat dimasukkan kedalam proses mining. Semakin banyak data valid semakin tepat pola yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA Hermawati, Fajar Astuti (2013). Data Mining, Yogyakarta: Penerbit Andi. Kusrini, Emha Taufiq Luthfi (2009). Algoritma Data Mining,Yogyakarta : Penerbit Andi. Ning Tan, Pang, Michael Steinbach, Vipin Kumar (2006). Introduction to Data Mining, Boston: Pearson Education Prasetyo, Eko (2014). Data Mining Mengolah Data Menjadi Informasi, Yogyakarta: Penerbit Andi
~ 236 ~
Santosa, Budi (2007). Data Mining Teknik Pemanfaaatan Data untuk Keperluan Bisnis, Yogyakarta: Graha Ilmu Yin, Yong, Ikou Kaku, Jiafu Tang, JianMing Zhu (2011). Data Mining Concepts, Methods and Applications in Management and Engineering Design,London: Springer.
~ 237 ~
~ 238 ~
PENGENALAN POLA HURUF ROMAWI DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERSEPTRON LAPIS JAMAK Eko Budi Wahyono*), Suzuki Syofian**) *) Teknik Elektro, **) Teknik Informatika - Fakultas Teknik Abstrak Pada era modern perlu adanya aplikasi yang dapat mengenali hasil scaning sebuah berkas teks, apabila ada aplikasi tersebut maka akan mempermudah dalam pekerjaan pembuatan laporan dan penulisan sebuah buku sebab dapat memasukkan berkas hasil scaning didalamnya dalam bentuk teks bukan grafik. Dalam mendayagunakan komputer guna mengenali sebuah pola tertentu dibutuhkan usaha-usaha untuk mencipta interface dan program. Dalam mencipta program guna mengenali sebuah pola, perlu sebuah algoritma yang merupakan alur langkah yang kerjanya meniru kerja otak manusia yang diberi nama Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Teknik ini telah dikembangkan oleh banyak peneliti bidang ilmu komputer dalam penelitian pengenalan pola. Telah dibuat algoritma yang relevan dengan kebutuhan diatas guna mengenali pola huruf romawi. Algoritma tersebut adalah algoritma Jaringan Syaraf Tiruan (JST) dari jenis perseptron lapis jamak. Bedasarkan algoritma tersebut ditulis sebuah program yang dapat dieksekusi oleh komputer. Selanjutnya komputer dapat mengenali huruf romawi melalui sistem masukannya, komputer mampu mengenali huruf romawi. Dalam penelitian ini diperoleh ketelitian yang sangat baik didalam mengenali huruf romawi, hasil tersebut dengan ketelitian 100 %. Kata kunci : data scaning , Jaringan Syaraf Tiruan (JST), perseptron lapis jamak. 1. PENDAHULUAN Pada era modern sekarang ini kemajuan di bidang komputer sudah menjadi suatu keniscayaan, untuk itu penelitian di bidang pengenalan pola merupakan penunjang terhadap kemajuan tersebut. Perlu adanya aplikasi yang dapat mengenali hasil scaning sebuah berkas teks, apabila ada aplikasi tersebut maka akan mempermudah dalam pekerjaan pembuatan laporan dan penulisan sebuah buku sebab dapat memasukkan berkas hasil scaning didalamnya dalam format teks bukan format grfik seperti saat sekarang. Pada kesempatan ini penulis akan melakukan penelitian tentang pengenalan pola yakni pengenalan huruf romawi, hingga dapat menjawab kebutuhan akan pengenalan pola hasil scaning. Penelitian ini mempergunakan metode Jaringan Saraf Tiruan (JST) dari tipe perseptron lapis jamak, dengan metode ini diharapkan akan memperoleh ketelitian yang lebih baik dibandingkan dengan metode lain seperti feedforward. 2. PENGOLAHAN CITRA DIGITAL
~ 239 ~
Pengenalan pola merupakan salah satu bidang studi yang berkaitan dengan citra di bidang computer. Dalam proses pengenalan pola mesin computer akan mengelompokkan data numeric dan simbolik, tujuannya adalah untuk mengenali suatu obyek dalam citra. Mesin computer mencoba meniru system visual manusia untuk bisa mengenali obyek. Komputer menerima masukan berupa citra obyek yang akan diidentifikasi, memproses citra tersebut, dan memberikan keluaran berupa discripsi obyek didalam citra.
1
1
1
1
1 1
1
1
1
1
1
1 1
1 1
1 1 1 1 1 1
Gambar 1.1 Proses digitalisasi spasial. Komputer memiliki cara pandang sendiri terhadap suatu citra, biasa disebut computer vision. Berbeda dengan citra konvensional yang misalnya dengan proses fotografis seperti pada foto dapat diperoleh disuatu citra nyata yang langsung bisa dinikmati oleh indera penglihatan, citra pada computer harus melalui beberapa tahapan yang cukup rumit. Tahapan tersebut dapat digambarkan sebagai suatu rangkaian proses dari proses akuisisi data, manipulasi data, serta proses penyimpanan data. Suatu citra harus direpresentasikan sebagai suatu citra numeric dengan nilai-nilai diskrit agar dapat diolah dengan computer. Representasi citra dari kontinyu menjadi nilai diskrit disebut digitalisasi. Citra yang dihasilkan dari proses representasi tersebut akan berupa citra digital. Citra digital akan berbentuk persegi panjang dan dimensi ukurannya dinyatakan sebagai tinggi kali lebar. Citra digital yang ukurannya NxM biasanya dinyatakan dengan matriks yang berukuran N baris dan M kolom sebagi berikut.
(0,0)
(0,M-1)
(N-1,0)
(N-1,M-1)
(Persamaan 1)
~ 240 ~
Proses digitalisasi citra ada dua macam yakni digitalisasi spasial (sampling) dan digitalisasi intensitas (kuantisasi). Dalam proses digitalisasi spasial sebuah citra kontinyu disampling pada grid yang berbentuk bujur sangkar (Seperti terlihat pada Gambar 1.1).
3. TEORI 3.1 Jaringan Syaraf Tiruan (JST) Jaringan syaraf Tiruan (JST) atau pada umumnya hanya disebut Neural Network, adalah jaringan dari sekelompok unit pemroses kecil yang dimodelkan berdasarkan jaringan syaraf manusia. Jaringan syaraf tiruan merupakan salah satu upaya manusia untukmemodelkan cara kerja atau fungsi system syaraf manusia dalam melaksanakan tugas tertentu. Pemodelan ini berdasarkan kemampuan otak manusia dalam mengorganisasikan sel-sel penyusunnya yang disebut neuron, sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas tertentu, khususnya pengenalan pola dengan efektivitas yang sangat tinggi. Seperti halnya otak manusia jaringan syaraf juga terdiri dari beberapa neuron , dan terdapat hubungan antara neuron-neuron tersebut. Neuron-neuron tersebut akan mentransformasikan informasi yang diterima, melalui sambungan keluarnya menuju neuron-neuron yang lain. Pada jaringan syaraf hubungan ini dikenal dengan nama bobot. Informasi tersebut disimpan pada suatu nilai tertentu pada bobot tersebut. Gambar 1.2 menunjukkan struktur neuron pada jaringan syaraf. Input ini akan diproses oleh suatu fungsi perambatan yang akan menjumlahkan nilai-nilai semua bobot yang datang. Hasil penjumlahan ini akan dibandingkan dengan suatu nilai ambang tertentu melalui sebuah fungsi aktivasi setiap neuron. Apabila input tersebut melampaui suatu nilai ambang tertentu maka neuron tersebut akan diaktifkan. Apabila neuron tersebut diaktifkan, maka neuron tersebut akan mengirimkan output melalui bobotbobot outputnya ke semua neuron yang berhubungan dengannya, demikian seterusnya.
X1
X2 ∑
Y
X1 . . . Xn
Q(.)
X3 X4
Wk1
Output uk ∑
Q(.)
Yk
Wkn Ѳ
Xn Threshold
Gambar 1.2 Struktur neuron jaringan syaraf.
~ 241 ~
Pada Gambar 1.2 Terlihat serangkaian aliran sinyal masukan X1, X2, …,Xn yang direpresentasikan oleh sebuah neuron . Sebuah neuron bias memiliki banyak masukan dan hanya sebuah keluaran yang bias menjadi masukan bagi neuron lain. Aliran sinyal masukan ini dikalikan dengan satu penimbang Wk1, Wk2,
… ,Wkn dan kemudian dilakukan
penjumlahan terhadap semua masukan yang telah diberi bobot tadi. Hasil penjumlahan ini disebut keluaran dari the linier combiner Uk. Secara matematis neuron k dapat digambarkan melalui persamaan berikut : Uk = ∑ nj=1 WkjXj dan Yk = φ(Uk – θk) (Persamaan 2.) Dimana : X1, X2, …,Xn : sinyal input Wk1,Wk2, …Wkn : bobot sinaptik dari neuron k Uk : linier combiner input Θk : threshold ditetapkan secara eksternal. Φ(.) : Fungsi aktivasi Yk : Sinyal output Fungsi yang dinotasikan dengan Φ(.) mendefinisikan fungsi output dari suatu neuron dalam level aktivasi tertentu berdasarkan nilai output pengkombinasi linier Uk. Fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi sigmoid logistic: Φ(v)= 1/(1 + e-v) (Persamaan 3) Dimana : Φ(v) : fungsi aktivasi E : konstanta bernilai 2,718281828… V : sinyal output Algoritma propagasi balik 1. Definisikan masalah, misalkan matrik masukan (P) dan matrik target (T). 2. Inisialisasi, menentukan arsitektur jaringan, nilai ambang MSE (Mean Square Error) sebagai kondisi berhenti, learning rate, serta menetapkan nilai-nilai bobot sinaptik untuk pembangkitan nilai acak dengan interval nilai sembarang. Kita bisamembangkitkan nilai acak dalam interval [-1,+1] atau [-0,5;+0,5] ataupun lainnya. Tidak ada aturan yang baku mengenai interval ini. 3. Pelatihan jaringan : a. Perhitungan maju
~ 242 ~
Dengan menggunakan bobot-bobot yang telah ditentukan pada inisialisasi awal (W1), dapat menghitung keluaran dari lapisan dalam berdasarkan persamaan berikut: A1 = 1/(1+e W1-P+B1)
(Persamaan 4)
Hasil keluaran dalam (A1) digunakan untuk mendapatkan keluaran dari lapisan luar, dengan persamaan berikut: A2 = W2*A1+B2
(Persamaan 5)
Keluaran dari jaringan (A2) dibandingkan dengan target yang diinginkan. Selisih nilai tersebut adalah galat(error) dari jaringan, seperti pada persamaan berikut: SSE = ∑∑ E2
(Persamaan 6)
b. Perhitungan mundur Nilai galat (error) yang diperoleh digunakan sebagai parameter dalam pelatihan. Pelatihan akan selesai apabila galat yang diperoleh sudah dapat diterima. Galat yang didapat dikembalikan lagi pada lapis-lapis yang berada di depannya. Selanjutnya neuron pada lapis tersebut akan memperbaiki nilai-nilai bobotnya. Perhitungan perbaikan bobot diberikan pada persamaan berikut : D2 = (1 – A22) * E D1 = (1 – A12) * (W2*D2) dW1 = dW1 + (lr * D1 *P) dB1 = dB1 + (lr * D1) dW2 = dW2 + (lr * D2 *P) dB2 = dB2 + (lr * D2)
(Persamaan 7)
c. Perbaikan bobot jaringan Setelah neuron-neuron mendapatkan nilai-nilai yang sesuai dengan kontribusinya pada galat keluaran, maka bobot-bobot jaringan akan diperbaiki agar galat dapat diperkecil. Perbaikan bobot jaringan dilakukan dengan persamaan berikut : TW1 = W1 + dW1 TB1 = B1 + dB1 TW2 = W2 + dW2 TB2 = B2 + dB2
(Persamaan 8)
d. Presentasi bobot jaringan Bobot yang baru, hasil perbaikan, digunakan kembali untuk mengetahui apakah bobot-bobot tersebut sudah cukup baik bagi jaringan. Baik bagi jaringan berarti bahwa dengan bobot-
~ 243 ~
bobot tersebut galat yang akan dihasilkan sudah cukup kecil. Pemakaian nilai bobot-bobot yang baru diperlihatkan pada persamaan-persamaan berikut : TA1 = 1/ (1 + e TW1*P+TB1) TA2 = TW2 * TA1 + TB2 TE = T + TA2 TSSE = ∑∑TE2
(Persamaan 9)
Kemudian bobot-bobot sinapsis jaringan diubah menjadi bobot-bobot baru : W1 = TW1 B1 = TB1 W2 = TW2 B2 = TB2 A1 = TA1 A2 = TA2 E2 = TE2 SSE = TSSE Keterangan : Wn = Nilai Bobot TWn = Nilai Bobot Baru An = Nilai Input TAn = Nilai Input Baru Bn = Nilai Output TBn = Nilai Output Baru En = Nilai galat TEn = Nilai galat baru SSE = Sum Square Error TSSE = Sum Square Error Baru 4. Langkah-langkah diatas adalah untuk satu kali siklus pelatihan (satu epoch). Biasanya pelatihan harus diulang-ulang lagi hingga siklus tertentu atau telah tercapai SSE (Sum Square Error) atau MSE (Mean Square Error) yang dikehendaki. Hasil akhirnya merupakan bobot-bobot W1, W2, B1, dan B2. 5. Penerapan Metode Propagasi Balik pada Pengenalan Huruf Berikut ini adalah proses metode propagasi balik dalam mengenali huruf. Ukuran yang digunakan adalah 7 x 9 karena untuk huruf romawi diperlukan jumlah pixel yang kecil saja. 3. ANALISIS Telah dibuat perangkat lunak pengenalan pola dengan perangkat lunak Matlab V7.11 (R2010b) dengan tampilan depan sebagai berikut.
~ 244 ~
Gambar III.1 : Tampilan menu utama program pengenalan huruf. Nampak dalam menu utama program pengenalan huruf tersebut pada Gambar III.1, terdiri dari tiga tombol eksekusi Latih-MLP untuk melatih mengenali huruf pada MLP, Uji-MLP untuk menguji apakah MLP sudah bisa mengenali huruf, dan Selesai sebagai tombol keluar. Apabila ditekan tombol Latih-MLP maka diperoleh grafik SSE (Sum Square Error) dan akan tampak SSE nol akan dicapai pada epoch 1000, dengan masukan 11 pola P dengan target T = [1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0]. Apabila ditekan tombol Uji-MLP dengan masukan terdiri dari 7 pola Tes-Set dan dengan target TestKelas = [1 0 0 0 0 0 0] akan diperoleh hasil (W1, W2, JumBenar, JumPola, dan Akurasi JST) sebagai berikut : W1 = 0.6197 0.0084 -0.0871 0.7395 2.0615 0.3854 -0.2123 -1.1371 -0.2186 0.2732 0.4187 -0.8324 -0.9140 -0.3624 -0.8808 0.5094 -0.5420 -0.6620 -0.1517 0.3639 -0.2978 0.7549 0.0102 0.4471 -0.3742 0.3897 -0.6664 0.3983 -0.6972 -0.7441 0.6978 0.3870 -0.0560 0.3322 1.1157 -0.5003 -0.0096 -0.2860 1.0065 -0.3001 -0.6528 0.8846 -0.1064 -0.6876 1.0252 -0.0033 -0.8436 -0.4074 0.8577 0.6351 1.0753 -0.1352 0.2931 0.9381 0.9025 -0.0438 -0.8348 -0.9792 0.7439 0.1374 0.4328 0.6354 0.0911 0.6290 1.0948 -0.4729 -1.0718 -0.8170 -0.3244 0.3599 0.5821 0.4688 -0.4471 0.1187 1.2686 -0.0596 0.4783 -0.2510 2.0112 1.5682 -0.9002 1.0952 1.5042 -2.1277 -1.9644 W2 = -1.9293 2.2185 2.0801
~ 245 ~
-2.2590 -5.2465 JumBenar = 7 JumPola = 7 Akurasi JST = 100 % 4. KESIMPULAN Dari hasil pengenalan yang telah dilakukan diperoleh SSE nol dicapai pada Epoch 1000, dan nilai akurasi yang didapat sebesar 100 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode JARINGAN SARAF TIRUAN PERSEPTRON LAPIS JAMAK layak untuk dipergunakan untuk mengenali huruf romawi. DAFTAR PUSTAKA [SUY-1], SUYANTO, “Artificial Intelligence”, Informatika, Bandung, 2014. [NAZ-2], Nazla Nurmila, Aris Sugiarto, dan Eko Sarwoko, “Algoritma Backpropagation Neural Network untuk Pengenalan Pola Huruf Jawa”, Jurnal Masyarakat Informatika, Volume 1, Nomor 1, ISSN 2086-4930, ejurnal.undip.ac.id Vol 1 No 1 (2010). [MAR-3], Maria Agustin, “Penggunaan Jaringan Saraf Tiruan Backpropagation untuk Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru”, ejurnal.undip.ac.id Vol 2 No 2 (2012) Diakses pada 2 Juli 2015.
~ 246 ~
ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELANGGAN RESTAURAN MISTER BASO (Studi Kasus Pelanggan Mister Baso Ciledug) Sukardi, Endang Tri Pujiastuti Manajemen – Fakultas Ekonomi Abstrak Usaha di bidang kuliner seperti makanan cepat saji baso adalah merupakan bidang usaha yang tidak terlalu sulit untuk mencampurkan. Rasa yang dihasilkan setiap kuliner baso memiliki ciri yang berbeda-beda dan selera yang berbeda pula. Para pengusaha baso saling berebut konsumen dengan menawarkan berbagai daya tarik dengan memberi nama yang unik. Daya tarik konsumen untuk memilih baso tidak sekedar omong kosong, namun layanan yang berkualitas merupakan salah satu indikator konsumen tertarik. Kualitas layanan kepada konsumen dapat diukur dengan pendekatan lima indikator yaitu : Tangible (Kondisi fisik), Reliability (Kehandalan), Responsiveness (Daya tanggap), Assurance (Jaminan), serta Empathy (Perhatian khusus). Penelitian ini dilakukan di kawasan Ciledug, Tangerang atau Kawasan Central Bisnis District (CBD-Ciledug), mulai bulan April hingga Agustus 2015. Jumlah responden sebanyak 100 orang yang tinggal di sekitar Larangan dan pernah makan di Restoran Mister Baso di CBD tersebut. Persepsi responden tentang kualitas layanan yang diberikan Mister Baso adalah : Hasil analisis berdasarkan tingkat kesesuaian pelanggan antara harapan dan kinerja menunjukkan bahwa harapan pelanggan belum terpenuhi dengan kinerja yang diberikan oleh Restoran Mister Baso Hal ini dapat dibuktikan bahwa keseluruhan tingkat kesesuaian antara kinerja dan harapan rata-rata sebanyak lima indikator menunjukkan di bawah angka 100%. Hal ini artinya kinerja Mister baso perlu ditingkatkan agar harapan konsumen terpenuhi sama dengan 100% atau bahkan melebihi harapan. Kata Kunci : Kepuasan, harapan, kinerja, konsumen
1. Latar Belakang Makanan adalah kebutuhan pokok setiap manusia, karena makanan sebagai sumber energi bagi setiap manusia yang masih hidup. Energi merupakan sumber kekuatan sehingga manusia mampu melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Untuk itu manusia sangat
membutuhkan zat gizi untuk pertumbuhan, kesehatan maupun kekuatan. Kebutuhan zat gizi yang dibutuhkan manusia seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan lainnya. Peran pokok protein dalam tubuh manusia, yaitu sebagai zat pembangun dan pengatur, pembentuk jaringan pengikat, mengganti jaringan tubuh yang rusak dan yang perlu dirombak, pembentuk protein yang inert seperti kuku dan rambut, dapat bekerja sebagai enzim, serta membentuk antibodi. Kekurangan protein dalam waktu lama dapat mengganggu berbagai proses dalam tubuh dan menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit (Winarno, F.G, 1992)
~ 247 ~
Bakso atau baso adalah
makanan
yang
lazim
ditemukan
pada masakan
di
Indonesia. Bakso umumnya terbuat dari campuran daging sapi dan tepung tapioka kemudian di giling dan dapat juga dicampur dengan daging ayam, ikan, atau udang bahkan daging kerbau. Baso umumnya di saajikan, dalam keadaan panas ditambah dengan kuah kaldu bening, serta di tambah campuran lain seperti mi, bihun, taoge, tahu, terkadang telur dan ditaburi bawang goreng dan seledri. Bakso sangat populer di seluruh Indonesia; yang dijual dari gerobak pedagang kaki lima hingga restoran besar. Berbagai jenis bakso sekarang banyak ditawarkan dalam bentuk makanan beku yang dijual di pasar swalayan ataupun di mall. Masakan Indonesia, khususnya baso sangatlah kaya akan cita rasa. Paduan dari berbagai macam bumbu yang eksotis, rasa pedas merica dan cabai, rasa gurihnya garam dan manisnya kecap sangatlah dikenal oleh segenap lapisan masyarakat di negara kita. Beberapa tahun lalu telah hadir merek baru usaha baso seperti halnya Mister Baso hadir pertama kali di Mall Taman Anggrek pada bulan November 1999 sebagai restoran yang menjual bermacammacam jenis / variasi Baso dengan cita rasa Asia dan masakan Oriental. Hidangan ini telah terbukti sangat digemari oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, dan memiliki pangsa pasar yang sangat besar. Mister Baso menyajikan makanan khas yang dikenal sebagai sajian utama, selain menyajikan berbagai macam masakan Asia lainnya (Mie Ayam Jamur, Nasi Goreng Ayam Nanas, Nasi Goreng Pete, Kwetiau dll). Produk minuman juga dipilih sedemikian rupa agar tetap diminati. Penataan Restoran sedemikian rupa bagi terciptanya suasana yang asri, agar konsumen dapat menikmati hidangan dengan rasa nyaman .Kami hadirkan bagi Anda, "Produk dan layanan berkualitas prima dengan harga terjangkau" inilah kunci sukses Mister Baso. Rumusan Masalah : Bagaimana tingkat kepuasan pelanggan restoran Mister Baso di wilayah Ciledug khususnya cabang Superindo ? Tujuan Penelitian
: Untuk mengetahui persepsi kepuasan pelanggan restoran Mister Baso cabang Ciledug Superindo.
Manfaat Penelitian : Memberikan masukan bagi pengelola restoran Mister Baso tentang persepsi pelanggannya terhadap layanan yang diberikan sampai saat ini. Memberikan referensi bagi konsumen yang ingin mengetahuai lebih jauh tentang layanan yang diberikan pengelola restoran Mister Baso. 2. KAJIAN TEORITIS
~ 248 ~
Pemasaran adalah salah satu kegiatan pokok yang perlu dilakukan oleh perusahaan baik itu perusahaan barang atau jasa dalam upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup usahanya. Hal tersebut disebabkan karena pemasaran merupakan salah satu kegiatan perusahaan, di mana secara langsung berhubungan dengan konsumen. Maka kegiatan pemasaran dapat diartikan sebagai kegiatan manusia yang berlangsung dalam kaitannya dengan pasar. Kotler (20011:45) mengemukakan definisi pemasaran berarti bekerja dengan pasar sasaran untuk mewujudkan pertukaran yang potensial dengan maksud memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan pemasaran merupakan kunci kesuksesan dari suatu perusahaan. Pengertian Jasa : Menurut Idris (2009: 190) “jasa atau pelayanan” adalah suatu kinerja penampilan, tidak berwujud dan cepat hilang, ia lebih dapat dirasakan daripada dimiliki. Kondisi suatu jasa/pelayanan yang ditawarkan atau diberikan oleh pengusaha/operator, akan sangat tergantung kepada penilaian pengguna jasa itu sendiri. Menurut Rini (2007:18) jasa memiliki empat karakteristik yang membedakannya dengan sektor yang lain, diantaranya: 1.
intangible, jasa tidak dapat dipegang, diukur, diinventarisasi dan diperankan, sehingga sulit diberi tarif dan sulit dievaluasi, karena kriteria pelanggan berbeda – beda, tidak dapat distandarisasi.
2.
perishable, yang berarti jasa tidak dapat disimpan untuk dikonsumsi kembali dikemudian hari atau dijual kembali.
3.
Simultaneous, jasa diproduksi dan dikonsumsi secara simultan, melibatkan konsumen dan penyedia dalam transaksi dan outcome jasa, terjadi kontak yang tinggi dengan pengguna jasa.
4.
heterogeneous, setiap produk jasa dihasilkan berbeda. Hal ini terjadi karena proses produksi jasa selalu berbeda dari pengguna jasa yang berbeda. Bauran Pemasaran Menurut Zeithaml and Bitner (2001:) Baurn pemasaran jasa adalah
elemen-elemen organisasi perusahaan yang dapat dikontrol oleh perusahaan dalam melakukan komunikasi dengan konsumen dan akan dipakai untuk memuaskan konsumen. Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpul kan bahwa bauran pemasaran merupaka unsur-unsur pemasaran yang saling terikat, dibaurkan, diorganisir dan digunakan dengan tepat, sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan pemasaran dengan efektif sekaligus memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. Menurut Kotler (2001 : 89) Baruan
~ 249 ~
pemasaran terdiri dari 4P ditambah 3P : product, price, place, promotion, people, process, dan physical evidence. Product (The Services)Produ : k jasa merupakan produk yang dapat memberikan manfaat, memenuhi kebutuhan konsumen, dan dapat memuaskan konsumen. Sesungguhnya pelanggan tidak membeli barang atau jasa, tetapi membeli manfaat dari sesuatu yang ditawarkan. Pengertian yang ditawarkan menunjukkan sejumlah manfaat yang didapat oleh konsumen, baik barang atau jasa maupun kombinasinya. Price : Penetapan harga merupakan suatu hal penting. Perusahaan akan melakukan hal ini dengan penuh pertimbangan karena penetapan harga akan dapat mempengaruhi pendapatan total dan biaya. Harga merupakan faktor utama penentu posisi dan harus diputuskan sesuai dengan pasar sasaran, bauran ragam produk, dan pelayanan, serta persaingan. Place : Tempat atau lokasi yang strategis akan menjadi salah satu keuntungan bagi perusahaan karena mudah terjangkau oleh konsumen, namun sekaligus juga menjadikan biaya rental atau investasi tempat menjadi semakin mahal. Tingginya biaya lokasi tersebut dapat terkompensasi dengan reducing biaya marketing, sebaliknya lokasi yang kurang strategis akan membutuhkan biaya marketing lebih mahal untuk menarik konsumen agar berkunjung. Dekorasi dan desain sering menjadi daya tarik tersendiri bagi para target konsumen. Kondisi bangunan juga menjadi persyaratan yang memberikan kenyamanan. Lokasi pemasaran juga menjadi bagian dari unsur place yang penting. Survey dan data-data yang efektif mengenai area pemasaran juga akan menjadi sangat penting sebelum menentukan tempat atau lokasi pemasaran. Promotion : Promosi merupakan suatu aktivitas dan materi yang dalam aplikasinya menggunakan
teknik,
dibawah
pengendalian
penjual/produsen,
yang
dapat
mengkomunikasikan informasi persuasif yang menarik tentang produk yang ditawarkan oleh penjual/produsen, baik secara langsung maupun melalui pihak yang dapat mempengaruhi pembelian. Tujuan kegiatan promosi antara lain : a) Mengidentifikasi dan menarik konsumen baru b) Mengkomunikasikan produk baru c) Meningkatkan jumlah konsumen untuk produk yang telah dikenal secara luas d) Menginformasikan kepada konsumen tentang peningkatan kualitas produk e) Mengajak konsumen untuk mendatangi tempat penjualan produk f) Memotivasi konsumen agar memilih atau membeli suatu produk.
~ 250 ~
People : People merupakan aset utama dalam industri jasa, terlebih lagi people yang merupakan karyawan dengan performance tinggi. Kebutuhan konsumen terhadap karyawan berkinerja tinggi akan menyebabkan konsumen puas dan loyal. Kemampuan knowledge (pengetahuan) yang baik, akan menjadi kompetensi dasar dalam internal perusahaan dan pencitraan yang baik di luar. Faktor penting lainnnya dalam people adalah attitude dan motivation dari karyawan dalam industri jasa. Moment of truth akan terjadi pada saat terjadi kontak antara karyawan dan konsumen. Attitude sangat penting, dapat diaplikasikan dalam berbagai bentuk, seperti penampilan karyawan, suara dalam bicara, body language, ekspresi wajah, dan tutur kata. Sedangkan motivasi karyawan diperlukan untuk mewujudkan penyampaian pesan dan jasa yang ditawarkan pada level yang diekspetasikan. Process : Process, mutu layanan jasa sangat bergantung pada proses penyampaian jasa kepada konsumen. Mengingat bahwa penggerak perusahaan jasa adalah karyawan itu sendiri, maka untuk menjamin mutu layanan (quality assurance), seluruh operasional perusahaan harus dijalankan sesuai dengan sistem dan prosedur yang terstandarisasi oleh karyawan yang berkompetensi, berkomitmen, dan loyal terhadap perusahaan tempatnya bekerja. Physical Evidencal : Building merupakan bagian dari bukti fisik, karakteristik yang menjadi persyaratan yang bernilai tambah bagi konsumen dalai perusahaan jasa yang memiliki karakter. Perhatian terhadap interior, perlengkapan bangunan, termasuk lightning system, dan tata ruang yang lapang menjadi perhatian penting dan dapat mempengaruhi mood pengunjung. Bangunan harus dapat menciptakan suasana dengan memperhatikan ambience sehingga memberikan pengalaman kepada pengunjung dan dapat membrikan nilai tambah bagi pengunjung, khususnya menjadi syarat utama perusahaan jasa dengan kelas market khusus. Menurut Olson dan Dover dalam Zeithaml (1996:65), kualitas pelayanan menurut harapan pelanggan adalah : “Keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu produk yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk tersebut” Jadi menurut Olson kualitas pelayanan merupakan acuan standar konsumen dalam menilai kinerja yang pernah dilakukan oleh orang lain. Adapun menurut Fandy Tjiptono (1997:130), yang dimaksud dengan kualitas ada tiga pendekatan yaitu :
~ 251 ~
a.
Harapan pelanggan yang paling sederhana dan berbentuk asumsi (must have, atau take it for granted), contoh pelanggan mengaharapkan Mister Baso agar menyediakan dosen dengan kualitas yang baik dengan menguasai ilmu di bidangnya.
b.
Harapan yang lebih tinggi dibanding dengan harapan sederhana, misalkan jika suatu saat pelanggan menghadapi permasalahan, seorang dosen dapat memberikan perhatian yang lebih dengan membantu memecahkan masalah tersebut.
c.
Harapan yang lebih tinggi lagi dibanding dengan harapan pertama dan kedua, yaitu mendapat kesenangan tersendiri (delightfulness) dengan sempurna sehingga pelanggan lebih tertatik.
Adapun dimensi-dimensi kualitas layanan menurut Fandy Tjiptono (2002:131) sebagaimana berikut: T ABEL 1. DIMENSI -DIMENSI KUALITAS L AYANAN No. Dimensi 1. Tangibles 2. 3. 4.
5.
Variabel-variabelnya Fasilitas fisik, Perlengkapan, Pegawai, Sarana komunikasi informasi Reliability Kemampuan dalam memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan. Responsiveness Keinginan para staf dan karyawan untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tangap Assurance Pengetahuan, Kemampuan, Kesopanan, Sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, Bebas dari bahaya, risiko atau keraguraguan Empathy Kemudahan dalam melakukan hubungan Komunikasi yang baik, Perhatian pribadi, Memahami kebutuan Para pelanggan Sumber : Fandy Tjiptono, (2002)
Kepuasan Pelanggan menurut Kotler (2000:36) adalah : Satisfaction is person’s feelings of pleasure or disamppointment resulting from comparing a product’s perceived performance (or autcome) in relation to his or her expectation. Kata lain kepuasan adalah fungsi dari perceived performance dan expectation (Saticfacton, Ecpectation, dan Product Perceived Performance). Jika barang yang di dapat sesuai dengan keinginan konsumen, maka konsumen tersebut akan mendapat kepuasan dan sebaliknya. Atau jika konsumen mendapatkan lebih dari harapan, maka konsumen akan merasa sangat puas atau tujukkan jempol, dengan melakukan pembelian ulang atau mengajak keluarga, teman dan masyarakat lain.
~ 252 ~
3. METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan berbentuk penelitian kualitatif dengan menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan situasi sosial masyarakat sebagai kajian utama penelitian kualitatif. Peneliti pergi ke lokasi secara langsung untuk memahami dan mempelajari persepsi konsumen dalam situasi tertentu. Studi dilakukan dengan berinteraksi langsung dengan konsumen di tempat kejadian. Peneliti mengajukan kuesioner secara tertutup untuk diisi responden yang telah dipilih dan ditetapkan dan berhubungan dengan peristiwa yang terjadi saat itu. Hasil isian kuesioner yang diperoleh pada saat itu segera disusun dan ditabulasikan dengan membuat nilai ratarata dari jawaban responden. Populasi dan Sampel Penelitian : Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek / subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono 2002:72). Sasaran populasi pada penelitian ini adalah pelanggan yang sedang makan atau pernah makan di restoran Mister Baso cabang CBD Ciledug selama satu bulan terakhir. Teknik Penentuan Jumlah Sampel : Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono 2007:73). Teknik quota sampling dalam penelitian ini adalah teknik pengambilan sampel dengan cara menetapkan jumlah sampel tertentu sebagai target yang harus dipenuhi dalam pengambilan sampel dari populasi (khususnya yang tidak terhingga atau tidak jelas seperti pengunjung restoran), kemudian dengan patokan jumlah tersebut peneliti mengambil sampel secara kebetulan bertemu dan memenuhi persyaratan sebagai sampel dari populasi tersebut. Jumlah sampel yang diinginkan oleh peneliti sebanyak 100 responden. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis statistik deskriptif dengan distribusi frekuensi serta menggunakan diagram kartesius. Selanjutnya untuk mengukur digunakan Servqual score yaitu responden dengan memberikan penilaian yang didasarkan pada kuesioner pertanyaan yang bersifat tertutup karena disetiap pertanyaan yang diajukan sudah terdapat jawaban, dengan demikian responden lebih mudah dalam memberikan jawaban yang dianggap sesuai. Pertanyaan yang diajukan didasarkan pada 5 (lima) dimensi jasa pelayanan yaitu : 1). Bukti fisik (tangibles), 2). Pelayanan yang handal (reliability), 3). Daya tanggap (responsiveness), 4). Jaminan (assurance), dan 5). Perhatian tulus (emphaty. Selanjutnya menggunakan bobot skala 5 (lima) tingkat (Likert).
~ 253 ~
Untuk menghitung total skor tingkat pelaksanaan dan tingkat harapan digunakan rumus : ∑X, ∑Y = (1xa1) + (2xa2) + (3xa3) + (4xa4) + (5xa5)
∑X, ∑Y a1 …a5
= Nilai skor ( X= pelaksanaan, Y= harapan) = Jumlah responden yang memilih skor 1-5
Sedangkan untuk menghitung tingkat kesesuaian antara pelaksanan/persepsi (X) dan tingkat kepentingan/harapan (Y) maka digunakan rumus menurut J. Supranto (2001:241) adalah : Xi Tki = -------- x 100% Yi
Keterangan : Tki = Tingkat kesesuain responden Xi = Skor penilaian kinerja perusahaan/kenyataan layanan yang diberikan Yi = Skor penilaian kepentingan pelanggan/harapan yang diinginkan. Tingkat kesesuaian inilah yang akan menentukan prioritas peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, baik atau tidaknya kualitas pelayanan Mister Baso Darma Persada. Selanjutnya sumbu mendatar (X) akan diisi oleh skor tingkat kinerja/persepsi, sedangkan sumbu tegak (Y) akan diisi dengan skor kepentingan/harapan. Dalam menyederhanakan rumus, maka untuk setiap faktor yang mempengaruhi tingkat kesesuaian pelanggan adalah dengan rumus sebagai berikut : _ Xi X = --------n
_ Yi Y = --------n
Keterangan : X = Skor rata-rata tingkat pelaksanaan/kenyataan Y = Skor rata-rata tingkat kepentingan/harapan n = Jumlah responden Diagram kartesius merupakan suatu bangunan yang dibagi atas empat bagian yang dibatasi oleh dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik-titik (X dan Y) dimana X adalah merupakan rata-rata skor tingkat pelaksanaan, dan Y adalah rata-rata skor harapan pelanggan. Seluruhnya ada 20 faktor atau atribut (K=20), dengan rumus sebagai berikut :
~ 254 ~
Gambar 1. Diagram Kartesius Sumber : J. Supranto, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan (2001:242) Ciri dan sifat setiap kuadran sebagai berikut : Kuadran I (Prioritas Utama) : Pada kuadran A (Prioritas Utama) jika dilihat dari kepentingan pelanggan unsur-unsur ini berada pada peringkat tinggi tetapi jika dilihat dari kepuasan pelanggan manajemen belum melaksanakannya sesuai keinginan. Kuadran II (Pertahankan ) : Pada kuadran B (Pertahankan) jika dilihat dari kepentingan pelanggan unsur-unsur ini pada peringkat tinggi, dan jika dilihat dari kepuasan pelanggan maka manajemen telah berhasil melaksanakan, sehingga Mister Baso diharapkan mempertahankan. Kuadran III (Prioritas Rendah) : Pada kuadran ini jika dilihat dari kepentingan pelanggan merupakan unsur-unsur yang kurang penting dan jika dilihat dari kepuasan pelanggan merasa cukup, namun pada prioritas rendah. Kuadran IV (Berlebihan) : Pada kuadran ini tingginya perncapaian tingkat kinerja yang ternyata berada pada tingkat harapan yang rendah sehingga dianggap kurang penting meskipun memuaskan. 4. HASIL PENELITIAN Sebelum data dilakukan analisis perlu dilakukan uji keabsahan data agar penelitian memiliki standarisasi dengan tingkat kepercayaan sebuah data yang ditemukan di lapangan. Pandangan umum mengenai data penelitian yang diperoleh dalam penelitian kualitatif yang cenderung individualistik dan dipengaruhi oleh subjektivitas peneliti menjadikan data penelitian ini cukup dipertanyakan objektivitasnya. Tentunya hal ini juga tidak lepas dari istrumen penelitian dan validasi peneliti sebagai instrumen yang digunakan dalam penelitian
~ 255 ~
T ABEL 2. HASIL UJI VALIDITAS Item t-tabel rxyrxyJustifikasi Question n=100/1% Harapan Kinerja .482** Valid .560** P1 0.25 .521** Valid .688** P2 0.25 .562** Valid .566** P3 0.25 .601** Valid .561** P4 0.25 .543** Valid .469** P5 0.25 .634** Valid .276** P6 0.25 .460** Valid .564** P7 0.25 .511** Valid .556** P8 0.25 .541** Valid .705** P9 0.25 .632** Valid .612** P10 0.25 .582** Valid .666** P11 0.25 .501** Valid .394** P12 0.25 .519** Valid .607** P13 0.25 .559** Valid .514** P14 0.25 Sumber : Kuesioner diolah 2015
Justifikasi Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Analisis Tingkat Kesesuain : Analisis Importance Performance Analisis ini berdasarkan hasil penelitian tingkat harapan dan hasil penelitian kinerja maka akan dihasilkan suatu perhitungan mengenai tingkat keseusian antara tingkat harapan dan pelaksanaannya. Tingkat kesesuaian adalah hasil perbandingan skor kinerja dengan skor harapan.Semakin tinggi tingkat kesesuaian berarti semakin besar kualitas pelayanan. Untuk mengukur tingkat kesesuaian responden dapat dilihat acuan sebagai berikut : T ABEL 3. KATEGORI TINGKAT KESESUAIAN Presentasi tingkat Kesesuaian 31 % - 45 % 46 % - 60 % 61 % - 75 % 76 % - 85 % 86 % - 100 % Kotler dan Keller (2007 : 56)
Kategori Tidak memuaskan / tidak baik Kurang memuaskan / kurang baik Cukup memuaskan / cukup baik Memuaskan / baik Sangat memuaskan/ baik
~ 256 ~
T ABEL 4. NILAI RATA -RATA , GAP DAN TINGKAT KESESUAIAN SETIAP INSTRUMEN Nilai rata-rata Tingkat No. Instrumen Penelitian Gap Kesesuaian Harapan Kinerja Kondisi Fisik (TANGIBEL) Kerapian pakaian yang digunakan seluruh 1 0.93 80.54% 4.78 3.85 pelayan restoran Kondisi lingkungan fisik restoran yang 2 0.67 85.62% 4.66 3.99 bersih dan nyaman Kelengkapan penunjang yang terkait 3 keperluan konsumen (sendok, garpu, piring 0.86 73.58% 4.39 3.23 dll) yang bersih Rata-rata…. 4.61 3.69 0.82 79.91% Kehandalan (RELIABILITY) Pelayanan yang diberikan cepat sesuai 4 0.68 84.89% 4.50 3.82 harapan konsumen Kesesuaian layanan menu yang dipesan 5 0.58 86.94% 4.44 3.86 konsumen 6 Kualitas menu yang dipesan 0.77 82.89% 4.50 3.73 Rata-rata…. 4.48 3.80 0.68 84.90% Daya Tanggap (RESPONSIVENESS) Kemudahan mendapatkan informasi dalam 7 0.57 87.39% 4.52 3.95 memesan menu yang diinginkan konsumen Keperluan yang terkait layanan restoran 8 0.87 74.37% 4.37 3.25 cepat dilayani Menyambut pelanggan dengan penuh 9 1.32 69.23% 4.29 2.97 perhatian Rata-rata…. 4.39 3.39 0.92 77.00% Jaminan (ASSURANCE) Semua jenis menu makanan yang disajikan 10 1.23 72.58% 4.23 3.07 dijamin halal Proses memasak sampai penyajian dijamin 11 0.29 88.42% 4.23 3.74 higienis Lingkungan restoran bebas dari pengamen 12 1.35 84.74% 4.26 3.61 dan sumbangan lain Rata-rata…. 4.24 3.47 0.96 81.91% Kepedulian (EMPATHY) Petugas mengucapkan salam pembuka 13 (selamat pagi/siang/malam bapak/ibu)pada 1.53 70.77% 4.55 3.22 awal pelayanan Petugas selalu mengucapkan terima kasih 14 0.93 68.98% 4.61 3.18 diakhir pelayanan Rata-rata…. 4.58 3.20 1.23 69.87% Sumber :kuesioner diolah 2015 Dimensi /Tangibles : Berdasarkan tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa skor nilai rerata dari rata-rata harapan dimensi tangible menunjukkan 4.61 dan nilai rerata dari rata-rata
~ 257 ~
kinerja dimensi tangible sebesar 3.69 dengan nilai gap sebesar 0.82 , dengan tingkat kesesuaian 79.91%. Hal ini berarti harapan pelanggan yang terkait dengan dimensi tangible atau fisik baru terpenuhi sebesar 79.91%. Kehandalan /Reliability :Berdasarkan tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa skor nilai rerata dari rata-rata harapan dimensi kehandalan menunjukkan 4.48 dan nilai rerata dari rata-rata kinerja dimensi kehandalan sebesar 3.80 dengan nilai gap sebesar 0.68 , dengan tingkat kesesuaian 62.50%. Hal ini berarti harapan pelanggan yang terkait dengan dimensi kehandalan seperti : Layanan Cepat, Kualitas menu dan lainnya baru terpenuhi sebesar 62.50%. Daya Tanggan /Responsiveness :Berdasarkan tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa skor nilai rerata dari rata-rata harapan dimensi daya tanggap menunjukkan 4.39 dan nilai rerata dari rata-rata kinerja dimensi daya tanggal sebesar 3.39 dengan nilai gap sebesar 0.92 , dengan tingkat kesesuaian 77.00%. Hal ini berarti harapan pelanggan yang terkait dengan dimensi daya tanggap seperti : kemudahan mendapat informasi, menyambut pelanggan dengan penuh perhatian baru terpenuhi sebesar 77.00%. Jaminan /Assurance: Berdasarkan tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa skor nilai rerata dari rata-rata harapan dimensi Jaminan menunjukkan 4.24 dan nilai rerata dari rata-rata kinerja dimensi Jaminan sebesar 3.47 dengan nilai gap sebesar 0.96 , serta nilai tingkat kesesuaian 81.91%. Hal ini berarti harapan pelanggan yang terkait dengan dimensi Jaminan seperti : Seluruh menu dijamin halal, proses penyajian dijamin higyenis, jaminan tidak terganggu dengan pengamen liar
baru terpenuhi sebesar 81.91%. Kepedulian
/Empathy :Berdasarkan tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa skor nilai rerata dari ratarata harapan dimensi kepedulian/empathy menunjukkan 4.58 dan nilai rerata dari rata-rata kinerja dimensi Empathy sebesar 3.20 dengan nilai gap sebesar 1.73 , serta nilai tingkat kesesuaian 69.87%.
Hal ini berarti harapan pelanggan yang terkait dengan dimensi
kepedulian pelayanan seperti : menyambut salam, mengucapkan terima kasih di akhir pelanggan selesai makan baru terpenuhi sebesar 69.87%. Di bawah ini memberikan gambaran melalui gambar diagram kartesius tentang penyebaran setiap item layanan yang dilakukan oleh
restoran Mister Baso dengan
pendekatan empat kuadran yaitu kuadram I (Prioritas Utama). Hal-hal yang menjadi prioritas utama, karena area ini merupakan harapan konsumen tinggi tetapi kinerja masih rendah. Kuadran II (Pertahankan). Hal-hal yang perlu dipertahankan karena di area ini konsumen memiliki harapan tinggi dan kinerja juga tinggi. Kuadran III (Prioritas Rendah). Hal-hal yang terkait dengan harapan konsumen tidak terlalu penting juga kinerja kategori rendah. Kuadran IV (Berlebihan). Hal-hal yang terkait konsumen tidak terlalu penting
~ 258 ~
namun restoran memberikan lebih dari harapan konsumen. Berikut data yang telah di analisis dengan menggunakan diagram kartesius.
Prioritas Utama
Y
Prioritas Rendah
Pertahankan
Berlebihan
X
0
GAMBAR 2. DIAGRAM KARTESIUS Kuadran I Prioritas Utama : Dalam kuadran ini terdapat beberapa item yang perlu diperhatikan karena item ini menunjukkan tingkat kinerja di bawah rata-rata tetapi tingkat harapan pelanggan kategori tinggi. Item pertanyaan ini perlu penanganannya untuk diprioritaskan oleh pihak manajemen/perusahaan. Item yang termasuk dalam kuadran I adalah : Item 3
Kelengkapan penunjang yang terkait dengan keperluan konsumen
(Tangible), b. Item 13 Petugas mengucapkan salam pembuka (selamat siang, pagi, malam) (Empathy), Item 14 Petugas selalu mengucapkan terima kasih diakhir pelayanan (Empathy). Dengan demikian pihak restoran Mister Baso sebaiknya lebih focus dan memprioritaskan pada peningkatan kinerja atau performance pada ke tiga instrument di atas. Pada kuadran I ini restoran Mister Baso dapat meningkatkan untuk variabel tangible yaitu kebersihan serta kelengkapan yang dibutuhkan pelanggan seperti (garpu, sendok, tusuk gigi dll). Bidang jaminan selama pelanggan makan di restoran perlu ditingkatkan seperti selalu mengucapkan salam ketika pelanggan datang dan ucapan terima kasih ketika pelanggan selesai makan. Kuadran II Pertahankan : Dalam kuadran ini terdapat beberapa item yang perlu diperhatikan karena item ini menunjukkan tingkat kinerja tinggi dan tingkat harapan pelanggan juga tinggi. Item pertanyaan yang berada pada posisi kuadran II perlu dipertahankan karena kinerja sudah sesuai dengan harapan pelanggan. Item yang termasuk dalam kuadran II adalah : Item 1 Kerapian pakaian yang digunakan seluruh pelayan restoran (Tangible), Item 2 Kondisi lingkungan restoran yang bersih dan nyaman (Tangible), Item 4 Pelayanan yang cepat sesuai harapan konsumen (Reliability), Item 6 Kualitas menu yang dipesan pelanggan sesuai (Reliability), Item 7 Kemudahan mendapat informasi dalam
~ 259 ~
memesan menu (Responsiveness). Dengan demikian pihak restoran Mister Baso sebaiknya mempertahankan lima instrument di atas yang dianggap telah memenuhi harapan pelanggan. Kuadran III Prioritas Rendah : Dalam kuadran ini terdapat beberapa item yang perlu diperhatikan karena item ini menunjukkan tingkat kinerja rendah dan tingkat harapan pelanggan juga rendah. Item pertanyaan yang berada pada posisi kuadran III perlu ditingkatkan ke kuadra IV walaupun bagi konsumen tidak terlalu penting.
Item yang
termasuk dalam kuadran III adalah : Item 8 Keperluan yang terkait layanan konsumen cepat dilayani (pembungkus makanan) (Responsiveness), Item 9 Menyambut pelanggan ketika datang dengan penuh perhatian (Responsiveness), Item 10 Semua jenis menu makanan dijamin halal (Assurance), Dengan demikian pihak restoran Mister Baso sebaiknya dapat ditingkatkan pada ketiga item di atas atau meniadakan item tersebut dan diganti hal-hal yang dibutuhkan pelanggan. Misalnya fasilitas Wi-fi gratis. Kuadran IV Berlebihan : Dalam kuadran ini terdapat beberapa item yang perlu diperhatikan karena item ini menunjukkan tingkat kinerja tinggi namun dari tingkat harapan pelanggan juga rendah. Item pertanyaan yang berada pada posisi kuadran IV perlu dikaji kembali agar hal-hal yang memang tidak diperlukan konsumen perlu diganti hal-hal yang sangat diperlukan konsumen.
Item yang termasuk dalam kuadran IV adalah : Item 5
Kesesuaian layanan menu yang dipesan konsumen (Reliability), Item 11 Proses masak sampai penyajian hygienis (Assurance), Item 12 Lingkungan restoran bebas dari pengamen dan
sumbangan
lain
(Assurance).
Dengan
demikian
pihak
perusahaan
harus
mempertimbangkan kembali ketiga item pertanyaan diatas karena dirasakan terlalu berlebihan. Sebaiknya kinerja yang ada pada ketiga item pertanyaan diatas tidak perlu terlalu tinggi, hal ini disebabkan karena pelanggan tidak begitu mementingkan pelayanan pada item pertanyaan tersebut. 5. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya yaitu mengenai kepuasan pelanggan Restoran Mister Baso di wilayah Ciledug dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Hasil analisis berdasarkan tingkat kesesuaian pelanggan antara harapan dan kinerja menunjukkan bahwa harapan pelanggan belum terpenuhi dengan kinerja yang diberikan oleh Restoran Mister Baso Hal ini dapat dibuktikan bahwa keseluruhan tingkat kesesuaian antara kinerja dan harapan di bawah angka 100%.
~ 260 ~
Saran : Untuk memberikan masukan kepada pengelola Restoran Mister Baso, berdasarkan analisis koordinat (Diagram Kartesius) bahwa layanan yang perlu ditingkatkan karena merupakan prioritas utama adalah: Item 3 Kelengkapan penunjang yang terkait dengan keperluan konsumen
(seperti : Garpu, sendok, sumpit, tisu, tusuk gigi dll.
(Tangible), Item 13 Petugas mengucapkan salam pembuka (selamat siang, pagi, malam) (Empathy), Item 14 Petugas selalu mengucapkan terima kasih diakhir pelayanan (Empathy). DAFTAR PUSTAKA Istianto, Bambang.2011.Manajemen Pemerintahan Dalam Perspektif Pelayanan Publik edisi 2. Jakarta: Mitra Wacana Media Priyatno, Duwi. 2011. Buku Saku Analisis Statistik Data Dengan SPSS. Yogyakarta: Penerbit: MediaKom. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung : Alfabeta. Syaodih, Nana. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Rosda Karya. Sugandi, Yogi. Suprayogi. 2011.Administrasi Publik Konsep dan Perkembangan Ilmu di Indonesia. Jakarta. Supranto. 2011. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menaikkan Pangsa Pasar. Jakarta: Rineka Cipta. Tukiran, Taniredja Hidayati Mustafidah. 2011. Penelitian Kuantutatif: (Sebuah Pengantar). Jakarta . Tjiptono, Fandy. 2010. Strategi Pemasaran Edisi II. Jakarta: Andi. Tjiptono, F. dan Chandra G. 2008. Service, Qualiy & Satisfaction. Edisi 2. Jakarta: Andi. Source URL: http://daftarhargamenudelivery.blogspot.com/2014/12/harga-menu-misterbaso-rumah-pecinta.html
~ 261 ~
~ 262 ~
DESAIN PROTOTIPE PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PANAS AIR LAUT Aep Saepul Uyun, Arif Fadilah 1
Sekolah Pascasarjana Energi Terbarukan, Fakultas Teknik 2
Fakultas Teknologi Kelautan
Universitas Darma Persada-Jakarta
Abstrak Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) merupakan pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi dari perbedaan suhu panas di permukaan air laut dan suhu dingin air laut di laut dalam. Indonesia mempunyai laut yang luas yang potensial untuk pengembangan OTEC ini, akan tetapi mahalnya instalasi dan teknologi menyebabkan pengembangan teknologi ini kurang menarik dibandingkan dengan pengembangan sumber energi terbarukan lainnya. Penelitian ini bertujuan jangka panjang untuk ikut berperan dalam mendukung program ketahanan energi dengan mengembangkan sumber energi murah dan melimpah seperti energi laut dan dimasa yang akan datang pembangunan instalasi OTEC di Indonesia menjadi kenyataan. Penelitian ini merupakan tahap awal dalam perbaikan dan perancangan ulang komponen yang tidak berfungsi optimal. Prototipe terdiri dari unit kondensor, evaporator, turbin, unit pemanas dan pendingin yang didesain saat ini masih dalam pengujian agar dapat bekerja dengan interval suhu evaporator 30-40 oC dengan suhu pendingin kondensor 7-12 oC.Kata kunci: OTEC, Teknologi, ketahanan energi, energi laut, heat exchanger
1. PENDAHULUAN Kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat sejalana dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan industri di setiap sektor ekonomi. Pertumbuhan kebutuhan energi tersebut tidak sejalan dengan ketersediaan sumber energi. Selama ini, Sumber energi utama Indonesia masih sangat tergantung kepada energi fosil, sedangkan sumber energi fosil tersebut semakin menipis dan tidak mencukupi lagi memenuhi permintaan energi. Untuk mengatasi kelangkaan sumber energi dan mempertahankan ketahanan energi tersebut, maka sumber energi terbarukan yang melimpah menjadi harapan untuk menggantikan sumber energi fosil yang semakin mahal saat ini. Sebagai Negara kepulauan dengan panjang pantai 95 181 km, Indonesia mempunyai cadangan energi laut potensial untuk dikembangkan sebesar 15 557 TWh [1]. Akan tetapi, penerapannya sekarang ini masih terkandala karena biaya dan teknologi yang relative belum berkembang di Indonesia. Penguasaan teknologi pemanfaatan energi laut menjadi sangat
~ 263 ~
penting untuk turut serta berkontribusi memenuhi kebutuhan energi yang meningkat di masa yang akan datang. Salah satu teknologi pemanfaatan energi laut tersebut adalah konvesi energi dengan memanfaatkan panas air laut, Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC). Prinsip dasar OTEC mengubah energi panas air laut menjadi listrik dengan memanfaatkan perbedaan suhu antara panas air laut di permukaan laut dan air laut dingin di kedalaman air laut. Konsep ini dapat bekerja optimal jika perbedaan suhu permukaan dan dalam air laut diatas 20 C [2]. Indonesia memiliki potensi pengembangan sumber energi laut dengan teknologi OTEC yang sangat besar karena merupakan Negara kepulauan dengan wilayah terbentang di garis lintang dekat dengan garis lintang khatulistiwa, sehingga rata-rata suhu permukaan laut yang relative tinggi dan bebas angin topan [1-3]. Dengan kata lain, Indonesia memiliki wilayah laut dengan potensi laut dalam dan suhu permukaan air laut yang tinggi yang mudah ditemui dekat denga pantai, seperti di selatan Jawa, sekitar Sumatera dan serta laut di sekitar wilayah Sulawesi. Laut merupakan suatu permkaan kolektor surya yang luas yang menerima langsung energi surya sepanjang hari. Berbeda dengan energi mekanik air laut, pemanfaatan energi panas air laut memerlukan fluida kerja dalam konversi energi panas yang digunakan untuk menggerakan turbin listrik. Prinsip dasar konversi energi laut menjadi energi listrik telah diperkenalkan oleh Jacques Arsene d’Arsonval seorang fisikawan Perancis pada tahun 1881. Kemudian Georges Claude, murid dari Arsene d’Arsonval membuat sebuah mesin percobaan dengan menggunakan siklus terbuka OTEC di Matanzas Bay, Cuba pada tahun 1930. Mesin yang dibuat menghasilkan 22 kW listrik dengan menggunakan turbin tekanan rendah. Kemudian Claude membuat instalasi lain di Brazil, akan tetapi dua instalasi yang dibuat rusak karena cuaca dan gelombang air laut [1-7]. Penelitian tentang OTEC telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Wu dan Burke (1997) [7] membuat optimasi disain untuk OTEC dengan fluida kerja R-12 dengan melakukan pemodelan dengan menghitung pengaruh tekanan kerja terhadap daya yang dihasilkan. Pemodelan yang sama dilakukan oleh Yeh dkk (2004) [6] untuk mendapatkan output maksimum yang dapat dihasilkan secara teoritis akibat pengaruh dari suhu dan kecepatan aliran air dingin air laut dalam. Dalam penelitiannya, mereka juga memperhitungkan pengaruh dari panjang pipa, diameter pipa, kedalam air laut serta kecepata aliran air laut yang masuk ke system. Hasil simulasi menunjukan bahwa daya maksimum terhadap
~ 264 ~
diameter pipa yang diperlukan semakin besar jika suhu pendingin atau lebih rendah, dengan asumsi kecepatan aliran air adalah konstan. Dalam konversi menjadi energi listrik ini ada tiga metode yang digunakan yaitu metode tertutup (closed cycle), metode terbuka (open cycle) dan metode hybrid cycle. Metode siklus tertutup menggunakan panas permukaan air laut untuk menguapkan fluda kerja yang mempunya titik didih rendah semisal ammonia. Uap ammonia kemudian masuk ke turbin dan menggerakan generator penghasil listrik. Sedangkan metode hybrid merupakan kombinasi dan siklus tertutup dan terbuka yang dapat menghasilkan energi listrik serta air murni hasil destilasi. Dalam penelitian ini akan diteliti menfokuskan pada OTEC dengan siklus tertutup dengan pertimbangkan mudah dalam pembuatan dan tidak memerlukan ruang yang besar sehingga cocok untuk penelitian skala lab. Dengan potensi sumber energi yang besar tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mencoba mendesain prototipe skala laborotorium untuk instalasi OTEC yang dapat digunakan sebagai desain awal dalam pembuatan instalasi OTEC di Indonesia.
2. PRINSIP KERJA Dalam konversi menjadi energi listrik ini ada tiga metode yang digunakan yaitu metode tertutup (closed cycle), metode terbuka (open cycle) dan metode hybrid cycle. Metode siklus tertutup menggunakan panas permukaan air laut untuk menguapkan fluda kerja yang mempunya titik didih rendah semisal ammonia. Uap ammonia kemudian masuk ke turbin dan menggerakan generator penghasil listrik. Sedangkan metode hybrid merupakan kombinasi dan siklus tertutup dan terbuka yang dapat menghasilkan energi listrik serta air murni hasil destilasi. Dalam penelitian ini akan diteliti menfokuskan pada OTEC dengan siklus tertutup dengan pertimbangkan mudah dalam pembuatan dan tidak memerlukan ruang yang besar sehingga cocok untuk penelitian skala lab.
~ 265 ~
GAMBAR 2. S KEMA OTEC DENGAN SIKLUS TERTUTUP [1] Siklus tertutup OTC menggunakan fluida kerja yang mempunyai titik didik yang rendah seperti ammonia untuk menggerakan turbin untuk menghasilkan listrik. Panas air laut permukaan dipompakan ke heat exchanger dimana fluid tersebut akan mendidih dan menguap. Tekanan uap yang dihasilkan akan menggerakan generator. Uap tersebut kemudian mengalir ke heat exchanger kondensor diman air dingin dari kedalama air laut dialirkan ke kondensor untuk mendinginkan uap fluida kerja di kondensor. Cairan fluida kerja yang terkondensasi tersebut kemudian kembali ke evaporator. Demikian seterusnya siklus fluida tersebut bekerja seperti dapat dilihat di gambar 1 Dalam siklus tertutup rankine, fluida kerja yang dipilih harus dapat menguap pada suhu rendah atau suhu lingkungan permukaan air laut yang berkisar pada 25-40 C. sebagian besar fluid kerja yang dipakai dalam siklus pendingingan atau sistim pengkondisian udara dapat dipakai untuk digunakan dalam siklus OTEC. Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam pemilihan fluida kerja ada sebagai berikut: 1.
Tekanan kerja antara 700-1400 kPa (100-200 psi) pada suhu 27 C
2.
Aliran fuida kerja yang rendah untuk setiap kilowatt daya yang dihasilkan
3.
Koefisien pindah panas yang besar yaitu rendahnya hambatan panas antara permukaan pindah panas (Heat Exchanger) dengan lapisan film fluida kerja .
4.
Stabilitas kimia fluida kerja terhadap material heat exchanger termasuk pada turbin, penyekat ataupun pelumas.
5.
Aman, ramah lingkungan dan murah
~ 266 ~
T ABEL 1. FLUIDA KERJA UNTUK SIKLUS OTEC Property Formula Molekular weight (M) Density (l) (kg/m3) Vapor pressure(sat) (kPa) Heat of vaporization 9kJ/kg) Specific heat (l) (kJ/kg Specific heat (v) (kJ/kg) Viscosity(l) (Pa s) Viscosity(v) (Pa s)
Ammonia NH3 17.03 5.82 741.88 1214.63 4.68 2.92 1.596 x 10-4 1.100 x 10-5
Propane C3H8 44.09 16.19 741.40 350.63 2.56 2.01 1.199 x 10-4 8.681 x 10-6
Butane C4H10 58.12 4.61 179.40 374.64 2.37 1.76 1.782 x 10-4 7.606 x 10-6
R-22 CHF2Cl 123.46 33.89 801.93 193.51 1.22 0.78 2.121 x 10-4 1.277 x 10-5
3. DESAIN ALAT 3.1 Rancangan Kondensor dan Evaporator Prototipe alat yang dibuat seperti dalam gambar 2. Desain alat terdiri dari evaporator, kondensor, turbin, unit pemanas dan pendingin serta rangka alat.
Gambar 2. Desain Prototipe OTEC Rancangan kondensor dan evaporator sebelumnya setelah dilakukan uji coba pendahuluan, kondensor dan evaporator tersebut banyak ditemukan kebocoran halus yang menyebabkan
~ 267 ~
fluida kerja bocor. Kemudian rancangan juga terdapat kekurangan yaitu luasan pindah panas yang kecil. kami merancang kembali komponen kondensor dan evaporator ini seperti pada gambar 3. Heat Exchanger elemen pada Kondensor dan evaporator tersebut diharapkan bekerja optimal karena luas permukaannya yang besar sehingga proses pindah panas antara air pemanas dan pendingin dengan fluida kerja dapat berlangsung lebih sempurna.
GAMBAR 3 H EAT E XCHANGER EVAPORATOR
Gambar 4. Rancangan Evaporator
GAMBAR 5. RANCANGAN CONDENSOR
~ 268 ~
3.2 Rancangan Turbin Dalam penelitian ini, kami mendapatkan beberapa kendala dalam perancangan turbin. Pengujian awal menggunakan prototipe turbin yang terbuat dari acrilyc. Turbin ini telah terpasang generator mini dari motor dc 12 V. hasil pengujian menggunakan kompresor udara didapat data sebagai berikut:
GAMBAR 6. PROTOTIPE AWAL TURBIN T ABEL 2. PENGUJIAN AWAL TURBIN No
Tekanan (Bar)
Tegangan (V)
Arus (mA)
Daya (Watt)
1
0.4
1.31
142.9
0.186
2
0.6
1.41
206.7
0.29
3
0.8
1.55
221.2
0.342
4
1
1.82
231.7
0.41
5
1.2
1.83
270.3
0.49
Turbin dapat berputar, akan tetapi karena blade turbin terbuat dari plastic sehingga turbin tidak kuat untuk menahan tekanan angin yang besar lebih dari 2 bar, yang menyebabkan prototipe turbin awal ini rusak. Kami mencoba merancang kembali turbin dengan menggunakan bahan dari besi seperti ditunjukan dalam 16. Masalah awal dalam protipe ke2 adalah kesulitan mengatasi kebocoran dan putaran turbin yang lemah. Penelitian menunjukan bahwa putaran turbin lemah karena as turbin terlalu besar seperti ditunjukan
~ 269 ~
dalam gambar 17, oleh dikarena itu kami ganti As turbin dengan yang lebih kecil. Pengujian dengan menggunakan kompresor angin, turbin sudah berhasil dan dapat bergerak.
GAMBAR 7. PROTOTIPE TURBIN KE -2
GAMBAR 8. BAGIAN DALAM TURBIN Walaupun turbin rancangan kedua dapat berputar, tetapi karena gesekan cukup besar, maka putaran turbin sangat lemah dan memerlukan tekanan yang besar. Untuk mengatasi tersebut, pada penelitian tahun kedua ini, kami membuat rancangan baru dengan menggunakan blade yang kuat dan rumah turbin terbuat dari almunium yang dibentuk dengan menggunakan mesin bubut. Rancangan turbin ketiga seperti ditunjukan dalam gambar 9. Pengujian awal dengan menggunakan kompresor, turbin dapat berputar
~ 270 ~
GAMBAR 9 BLADE DAN PENUTUP TURBIN 4. KESIMPULAN Kondensor dan evaporator yang rancang merupakan model shell – tube heat exchanger, dimana fluida kerja mengalir dari bersikulasi dibagian shell dan air pemanas dan pendingin di bagian tube. Berdasarkan evaluasi pada tahun pertama dan kedua, maka dibuat desain baru dengan komponen heat exchanger yang mempunyai luas permukaan yang lebih besar. Mesin yang dirancang masih dalam tahap penyelesaian dan diharapkan akan segera dapat diuji secara keseluruhan. Berdasarkan pengujian sebelumnya dimana alat percobaan turbin yang diuji tidak kuat menerima beban tekanan kerja yang tinggi, maka dibuat desain lagi yang lebih baik dengan menggunakan blade berbahan stainless. Turbin harus dapat mengubah fase zat fluida dari gas tekanan tinggi menjadi cairan tekanan rendah atau dikenal dengan turbin expander (pengembang). Energi yang dilepaskan dalam perubahan fase ini, harus dapat diserap/diambil oleh blade pemutar turbin untuk di konversi menjadi energi mekanik. Secara keseluruhan, proses pengujian prototipe ini akan dilakukan setelah pengujian terhadap kondensor dan evaporator selesai. dalam pengujian agar dapat bekerja dengan interval suhu evaporator 30-40 oC dengan suhu pendingin kondensor 7-12 oC.-Tahapan selanjutnya adalah pembuatan model untuk desain instalasi OTEC di Indonesia. Pembuatan model akan menggunakan peta suhu laut yang selanjutnya akan dibuat algoritma perhitungan
~ 271 ~
tempat yang sesuai dan mempunyai potensi yang besar dalam pengembangan konversi energi laut ini.
Daftar Pustaka 1. Achiruddin, D., 2011, A Strategy to Develop Indonesian Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC) Resources, International Congress And Exhibition On Ocean Energy & Deep Ocean Water Application , 70-81. Bali-Indonesia 2. Uyun, A.S and Sudartono, 2011, Design of Power Plant Prototype Powered by Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), International Congress And Exhibition On Ocean Energy & Deep Ocean Water Application , 118-119. Bali-Indonesia 3. Ikegami, Y., Achiruddin, D., Abdullah, K., 2011, Future Prospect and Possibility Study of OTEC & DOWA in Indonesia and the World, International Congress And Exhibition On Ocean Energy & Deep Ocean Water Application , 33-47. Bali-Indonesia. 4. Nihous, G.C, 2007, An estimate of Atlantic Ocean thermal energy conversion (OTEC) resources, Ocean Engineering, 34, 2210-2221 5. Kim, N.J, Ng, K.C., Chun, W., 2009, Using the condenser effluent from a nuclear power plant for Ocean Thermal Energy Conversion (OTEC), International Communications in Heat and Mass Transfer, 36, 1008-1013 6. Yeh, R.H., Su, T.Z., Yang, M.S., 2005, Maximum output of an OTEC power plant, Ocean Engineering, 32, 685-700 7. Moore, F.P., Lealon, L., Martin, L., 2008, A nonlinear nonconvex minimum total heat transfer area formulation for ocean thermal energy conversion (OTEC) systems, Applied Thermal Engineering, 28, 1015-1021 8. Wu, C., Burke, J.T., Intelligent computer aided optimization on specific power of an OTEC rankine power plant, Applied Thermal Engineering, 18, 295-300
~ 272 ~
~ 273 ~
~ cclxxiv ~