1
2
PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN SEMESTER GENAP 2012/2013 UNIVERSITAS DARMA PERSADA Pelindung
: Rektor Universitas Darma Persada
Penangung Jawab
: Wakil Rektor I
Pimpinan Redaksi
: Kepala Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan
Anggota Redaksi
: Prof.Dr. Kamaruddin Abdullah, IPU. Dr. Aep Saepul Uyun, M.Eng. Dra. Irna N. Djajadiningrat, M.Hum.
Alamat Redaksi
: Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Universitas Darma Persada Jl. Radin Inten II (Terusan Casablanca) Pondok Kelapa - Jakarta Timur (14350) Telp. (021) 8649051, 8649053, 8649057 Fax.(021) 8649052 E-Mail :
[email protected] Home page : http://www.unsada.ac.id
3
4
DAFTAR ISI Daftar Isi
i
Kata Pengantar
ii Matakuliah
1 – 11
Identitas dan Keterikatan Nilai Budaya dalam Novel A good Indian Wife karya Anne Cherian Eka Yuniar Ernawati
12 - 23
Kritik Mark Twain Terhadap Masyarakat Amerika Dalam Novel Huckleberry Finn Karina Adinda
24 – 35
Penerapan Model Pengajaran Kooperatif dalam Vocabulary Building 2 : Suatu Studi Lapangan Rusydi M. Yusuf
Pengajaran
36 – 42 Verba Homograf dalam Bahasa Mandarin Yulie Neila Chandra The Sociolinguistic Analysis of Code switching in the Novel "Facebook On Love by Ifa Avianty Fridolini
43 – 52
Theological Conflict and The Teachings of Morality in Bless Me, Ultima Albertine Minderop
53 – 66
Naluri Kematian dari Kumpulan Puisi Dickinson Agustinus Haryana
67 – 76
Penerapan Strategi Product Based dan Process Based pada Pengajaran Komposisi Aprilya Dwi Prihatiningtyas
77 – 84
Akulturasi Budaya Cina dan Betawi di Jakarta C. Dewi Hartati
85 – 95
Analisis Soal-Soal JLPT Level 3 dengan Fokus Moji Goi Periode th 2003-2008 Metty Suwandani
96 – 104
Analisis Persepsi Mahasiswa Terhadap Mata Kuliah Enshu Sebagai Persiapan untuk Menghadapi Ujian Nihonggo No Nouryokushiken (Noken/JLPT) Juariah
105 – 117
Penerapan Metode Membaca untuk Meningkatkan Teks Berbahasa Inggris pada Murid kelas 3 SD Swany Chiakrawati
118 – 125
i
Analisis Soal Ujian Nouryoku Shiken Fokus pada Penggunaan kata Benda dalam Soal Noryoku Shiken Level I Hari Setiawan
126 – 137
Legalese dalam Penerjemahan Ragam Khusus Bahasa Inggris Tommy Andrian
138 – 157
Pembelajaran Ing-form melalui Strategi Analitik dan Sintetik Kurnia Idawati
158 – 177
Analisis Kategori Kata Benda (Meishi) Yang Terdapat dalam Soal-soal Nouryokushiken Level 2 Bagian Moji-Goi 2002-2004 Dinny Fujiyanti
178 – 186
Pengukuran Kinerja PNPM di Desa Jatimulya Ade Supriatna
187 – 196
Implementasi Mobile-Learning UNSADA berbasis Android Adam Arif Budiman
197 – 204
Pengaruh Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Usaha Ekonomi Keluarga di wilayah Pd. Kelapa Duren Sawit Jakarta Timur Atik Isniawati
205 - 213
Analisis Faktor-faktor yang Menjadi Pertimbangan Siswa SLTA Menjelang Masuk Perguruan Tinggi Sukardi
214 - 228
Analisis Faktor-faktor Pendorong Utama dalam diri (Komitmen) Karyawan di UNSADA Dini Rahayu
229 – 236
Kajian Stabilitas Kapal Ikan di Kepulauan Seribu Menggunakan Metode PGz Shanty Manullang
237 – 247
Pengujian Awal Konstruksi Fiberglass pada Lambung Kapal Boat sesuai Standar Shahrin Febrian
248 - 258
Permodelan Sebaran Emisi Gas Buang Akibat Aktifitas Pelayaran di Selat Madura menggunakan Gaussian Plum dan Gaussian Puff. Mohammad Danil Arifin
259 – 271
Rancang Bangun Tangan Robot Multi untuk Pekerjaan Bawah Air sebagai Perlengkapan Operasi ROV (Remotely Operated Vehichle) Augustinus Pusaka
272 – 282
ii
Rancang Bangun Airboat sebagai alat Angkut Penanggulangan Bencana Arif Fadillah
283 – 291
Analisis Keselamatan dan Keamanan Transportasi Penyebrangan Laut di Indonesia Danny Faturachman
292 – 307
Pemanfaatan Tenaga Surya sebagai Alternatif Energi Terbarukan untuk Fasilitas Suplai Daya Penerangan di Kapal Muswar Muslim
308 - 316
iii
iv
KATA PENGANTAR Seminar dengan tema “Meningkatkan Mutu dan Profesionalisme Dosen melalui Penelitian” dilaksanakan pada tanggal 27 Agustus 2013 di Universitas Darma Persada, bertujuan untuk menghimpun hasil penelitian dosen yang diharapkan dapat menghasilkan inovasi teknologi tepat guna, menyampaikan hasil penelitian kepada khalayak dan antara peneliti/dosen. Prosiding ini disusun untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil seminar pada semester genap tahun akademik 2012/2013. Pada prosiding kali ini dimuat dua puluh tujuh makalah dengan rincian sebagai berikut : enam belas makalah dari bidang Humaniora, dua dari bidang teknik, enam makalah dari bidang Teknologi Kelautan dan tiga makalah dari bidang Ekonomi-Manajemen. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada para penyaji dan penulis makalah, penyunting serta panitia yang telah bekerja sama sehingga prosiding ini dapat diterbitkan. Kami berharap prosiding ini bermanfaat bagi pihak–pihak yang berkepentingan.
Jakarta, 27 Agustus 2013 Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Kepala Ttd. Dra. Irna N. Djajadiningrat, M.Hum.
v
vi
PENERAPAN MODEL PENGAJARAN KOOPERATIF DALAM PENGAJARAN MATA KULIAH VACABULARY BUILDING 2: SUATU STUDY LAPANGAN Rusydi M. Yusuf Jurusan Sastra Inggris - Fakultas Sastra
[email protected]/
[email protected] ABSTRACT Cooperative learning is generally defined as a teaching arrangement in which small, heterogeneous groups of students work together to achieve a common goal. Students encourage and support each other, assume responsibility for their own and each other's learning, employ group related social skills, and evaluate the group's progress. The basic elements are positive interdependence, equal opportunities, and individual accountability. In cooperative learning, the development of interpersonal skills is as important as the learning itself. The development of social skills in group work is a key to high quality group work. Cooperative learning is not having students sit side by side at the same table to talk with each other as they do their individual assignments. In order to apply the Cooperative learning concept above, the writer conducted the research for the second semester students of University of Darma Persada for 3 months. During conducting the research, the students were divided into two groups, the first was experiment group and the second was control group. Key words: Cooperative learning, control group, experiment group, small group, individual accountability LATA BELAKANG
Munculnya suatu pendekatan dan model dalam proses belajar mengajar bukanlah suatu kebetulan belaka, namun berdasarkan penelitian dan pengalaman yang dikembangkan oleh para ahli, belum lagi suatu pendekatan dapat diterapkan secara sempurna suatu pendekatan baru muncul dengan berbagai kelebihan dan keistimewaan. Pada dekade tahun 1970an muncul apa yang dikenal dengan pendekatan komunikatif yaitu suatu bentuk pendekatan yang berdasarkan kebermaknaan, yang pada awalnya dikenal dengan Communicative Competence (Dell Hymes, 1966), yang pada akhirnya melahirkan Communicative Approach. Menurut Hymes, Communicative Competence diartikan sebagai “the knowledge of how to use the language appropriate to a given situation”. Karenanya apabila tujuan pengajaran bahasa beralih ke pengembangan kemampuan komunikatif pelajar, maka perhatian guru harus dipusatkan kepada penggunaan bahasa itu sendiri (language use) untuk maksud1
maksud komunikasi, dan bukan pada bentuk bahasa (usage). Sehingga pada penyajiannya tidak bersifat gramatika yang hanya memungkinkan pelajar hanya dapat membuat kalimatkalimat dengan benar. (Widdowsow, 1978).
Guna mencapai maksud diatas, maka pada awal tahun tujuh-puluhan para pakar pengajaran bahasa mulai mengembangkan suatu pendekatan dalam pengajaran bahasa dengan berbagai perubahan dan penyempurnaan yang memungkinkan bagi pelajar mampu berkomunikasi. Mereka menamakan penemuan ini dengan “Communicative Approach, atau (Pendekatan Komunikatif) (Littlewood, 1984). Para pakar tersebut mengambangkan program bahasa atas dasar sistem satuan kredit.
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada dekade 1980an lahir lagi satu model baru dalam proses belajar mengajar yaitu Model Pengajaran Kooperatif. Model Pengajaran Kooperatif menurut Davidson mulai dikembangkan oleh James Briton pada tahun 1970an dan Douglas Barnes pada tahun 1976. Model ini diterapkan pada awalnya di Inggris, Australia, Kanada, dan Amerika.
Model Pengajaran Kooperatif lebih menekankan pembangunan makna oleh siswa dari proses sosial yang bertumpu pada proses belajar. Ide pembelajaran kooperatif bermula dari perspektif pilosofis terhadap konsep belajar, dimana dalam proses pembelajaran seseorang membutuhkan teman atau pasangan, teman belajar dapat diperoleh baik di dalam maupun di luar kelas. Menurut John Dewey dalam bukunya “Democracy and Education” yang diktuip oleh Suyatno bahwa, kelas seharusnya merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata.
Untuk dapat membanding satu model dengan model yang lain maka perlu diadakan suatu studi lapangan, maka pada kesempatan ini penulis akan mencoba untuk menerapkan Model Pengajaran Kooperatif pada mata kuliah Vocabulary Building pada semester 2 Jurusan Sastra Inggris Unsada tahun akademik 2012-2013.
2
Perumusan Masalah Model Pengajaran Kooperatif telah dipakai pengajaran bahasa Inggris, namun efektifitas dan keberhasilan model ini dalam mencapai tujuan kurikulum masih perlu untuk dilakukan penggujian pembuktian. Untuk itu, perlu dilakukan studi studi lapangan secara langsung guna menerapkan teori yang sudah ada sebelumnya, sebagaimana yang penulis tuliskan pada penelitian terdahulu mengenai model pembalajaran kooperatif suatu studi kepustakaan. Pada penilitian ini penulis akan mencoba untuk melakukan eksperimeni Model Pengajaran Kooperatif ini, khususnya dalam pengajaran Vocabulary Building. Apakah model ini dapat diterapkan dalam pengajaran Vocabulary Building secara lebih efektif dan signifikan dalam memperoleh keberhasilan berbahasa anak didik atau tidak?.
Pembatasan Masalah Dalam melakukan penelitian ini saya akan membatasi masalah penelitian ini pada masalah penerapan Model Pengajaran Kooperatif dalam mata kuliah Vocabulary Building, , dan sejauh mana keberhasilan model ini dalam pengajaran Bahasa Vocabulary Building.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan dan menggali lebih jauh tentang efektifitas dan signifikansi penerapan model ini dalam pengajaran Vocabulary Building.
Landasan Teori Pembelajaran Model Pengajaran Kooperatif adalah suatu rangkaian bentuk belajar yang dilaksanakn dalam kelompok siswa dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama oleh guru. Peserta belajar adalah siswa yang melakukan proses pembelajaran secara bersamasama, pembagian kelompok siswa berdasarkan pada beberapa pendekatan, yaitu minat dan bakat, latar bakang kemampuan. pembelajaran Model Pengajaran Kooperatif, pada akhirakhir ini banyak menjadi perhatian para pendidik, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Slavin yang dikutip oleh Hamruni (2012 mempunyai dua alasan, pertama bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar, menumbuhkan sikap social, dan meningkatkan harga diri, kedua dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam berfikir, memecahkan masalah dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan.
3
Aktivitas Model Pengajaran Kooperatif sangat beragam, namun pada umumnya berpusat pada aplikasi bahan pelajaran oleh siswa, bukan hanya bertumpu pada penyampaian materi yang dilakukan oleh pengajar, dalam istilah lain dikenal dengan student center learning. Dalam Model
Pengajaran
Kooperatif siswa lebih aktif dabandingkan guru, semua
kegiatan kelas dijalankan secarra bersamaan baik itu mendengarkan, berdiskusi, dan mencatat apa yang sedang diajarkan.
Model Pengajaran kooperatif lebih bersifat sosial, karena dalam proses belajarnya dapat menghasilkan sinerji intelektual dari banyak pemikiran dalam menyelesaikan suatu persoalan yang dibahas dalam kelas. Eksplorasi, umpan balik, dan memberikan penilaian untuk setiap masalah akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik, sehingga materi dapat diserap dan difahami dengan baik oleh siswa.
Pembelajaran memakai Model Pengajaran Kooperatif dapat meminimalisasi perbedaanperbedaan antar invidu pembelajar, karena setiap siswa diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapat tentang materi ajar yang sedang didiskusikan bersama.
Model pengajaran Kooperatif mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan model pengajaran yang lain, pada model pengajaran kooperatif proses pembelajaran lebih menekankan pada proses kerjasama dalam kelompok. Tujuan yang inggin dicapai tidak hanya tujuan akademik, tetapi juga ada tujuan kerjasama dan sosial. Kerjasama inilah yang menjadi ciri khas dari model pengajaran kooperatif.
Model pengajaran kooperatif merupakan proses belajar secara tim, dengan adanya tim ini maka tujuan akan dicapai secara bersama-sama, tidak ada satu anggota timpun yang tidak mengalami kemajuan, apabila itu terjadi semua anggota tim harus bertanggungjawab.
Desain dan Metode Penelitian Penelitian ini memakai metode penelitian eksperimen. Pada dasarnya metode penelitian eksperimen dilakukan di laboratorium, sedangkan pada penelitian ini, ruang kelas merupakan laboratorium hidup yang menjadi tempat penelitian ini dilakukan. Menurut Sugiyono (2012) penelitian eksperimen digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendali. 4
Terdapat beberapa model dalam melakukan penelitian eksperimen, (Suryabrata, 2010) di antaranya adalah: the one shot case study, one group pretest-posttest design, dan the static group comparison: randomized kontroll group only design pada penelitian ini penulis akan memakai model yang ketiga yaitu the static group comparison: randomized kontroll group only design, dalam model ini sekelompok subjek yang diambil dari populasi dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada tahap selanjutnya kelompok eksperimen akan diberikan pelajaran Vocabulary dengan menggunakan Model pengajaran Kooperatif sementara kelompok kelas Kontrol akan diberikan model pengajaran ceramah, proses belajar mengajar kedua kelompok ini akan berlangsung selama 3 bulan, kemudian kedua kelompok ini akan dikenai pengukuran yang sama.
Penelitian eksperimental ini bertujuan untuk mengamati sekaligus mengetahui apakah Model Pengajaran Kooperatif akan lebih efektif dan produktif jika diterapkan dalam pelajaran Vocabulary Building, di samping itu, peneliti ingin mengetahui apakah Model Pengajaran Kooperatif juga layak diterapkan untuk pengajaran mata pelajaran ini.
Dalam menerapkan penelitian ini penulis akan menerapkan dalam dua kelas yang berbeda, kelas pertama merupakan kelas yang akan dilakukan eksperimen dimana akan dilakukan proses pembelajaran dengan memakai Model Pengajaran Kooperatif, sedangkan kedua merupakan kelas kontrol dimana para pelajar akan diajarkan dengan memakai metode ceramah.
Sebelum dilakukan proses belajar mengajar, maka kedua kelas di atas akan diberikan tes pendahuluan untuk melihat hasil awal dari pemahaman mereka tentang mata pelajaran vocabulary building, kemudian setelah belajar lebih kurang 2 sampai 3 bulan peneliti akan memberikan bentuk tes terhadap hasil belajar yang selama ini dilakukan.
Selain itu untuk memperkuat hasil penelitian ini, akan dilakukan juga uji statistik dengan mempergunakan perangkat software SPSS, Uji statistic yang dilakukan adalah uji R Square untuk melihat seberapa kuat pengaruh proses pembelajaran model kooperatif terhadap hasil belajar mahasiswa yang terdapat pada kelas eksperimen. 5
Selanjutnya peneliti akan manganalisis data tersebut untuk ditarik suatu dan kesimpulan.
Hipotesis Ho : tidak ada perbedaan antara sebelum dan sesudah adanya perlakuan Ha : ada perbedaan antara sebelum dan sesudah adanya perlakuan
Populasi dan Sample Populasi pada penelitian ini adalah mahasiswa semester 2 Jurusan Sastra Inggris kelas A dan B yang terdiri dari 32 orang mahasiswa.
Teknik Analisis Data Analisis data menggunakan statistik deskriptif, pengelolaan data dengan menggunakan software SPSS , selanjutnya data tersetbut disimpulkan secara kualitatif.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk dapat memperluas pengetahuan para pembaca untuk lebih memahami apa yang disebut sebagai Model
Pengajaran
Kooperatif dan
penerapannya dalam pengajaran Bahasa khususnya bahasa Inggris.
PEMBAHASAN/HASIL PENELITIAN
Pada bagian ini akan dilakukan dua bentuk pembahasan mengenai hasil olah data penelitian yang pertama dalam bentuk prosentase hasil pre-tes dan pos tes pada mata kuliah Vocabulary, kedua adalah dalam bentuk hasil Uji t dengan mempergunakan software SPSS .
Penelitian ini dilakukan di Unsada dengan melibatkan 32 orang mahasiswa yang mengikuti perkulihan mata kuliah Vocabullary Building, ke 32 orang mahasiswa tersebut terbagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok kelas A yang merupakan kelas kontrol dan kelas B yang merupakan kelas eksperimen. Sebelum dilakukan proses pembelajaran kedua kelompok di atas diberikan pre tes dengan materi yang sama, hasil pre tes tersebut dapat dilihat dari flow chart berikut ini: 6
Dari hasil pre tes yang dilaksanakan bahwa perbedaan nilai rata-rata yang diperoleh oleh mahasiswa kelas kontrol dan kelas eksperimen tidaklah berbeda jauh yaitu 1.82, artinya kemampuan yang dimiliki oleh kedua kelompok kelas tersebut tidaklah jauh berbeda. Selanjutnya dilakukan proses belajar mengajar selama 12 kali tatap muka dengan memberikan perlakuan yang berbeda antara kelompok kelas A dan B. kelas A sebagai kelas kontrol dilakukan proses belajar mengajar dengan mempergunakan metode ceramah dan model pembelajaran siswa aktif dimana setiap mahasiswa setelah diberikan penjelasan mengenai materi yang sedang dipelajari diberikan kesempatan untuk mengerjakan latihan baik sendiri-sendiri maupun dengan berkelompok, namun mereka tidak diharuskan untuk saling membantu secara intensif dan berkesinambungan.
Sementara kelas B sebagai kelas eksperimen dilakukan proses belajar mengajar dengan memakai model pengajaran kooperatif, dari jumlah 16 orang mahasiswa yang belajar dibagi ke dalam 4 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4 orang mahasiswa. Dalam proses belajar mengajar setelah diberikan penjelasan mengenai materi yang sedang dipelajari, setiap kelompok mahasiswa yang yang terdiri dari 4 orang tersebut mengerjakan latihan yang telah ditetapkan sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kelompok kelas A, namun, apabila seorang anggota kelompok mengalami kesulitan dalam memahami
7
permasalahan yang dihadapi maka anggota kelompok yang lain bertanggungjawab untuk membantu sampai permasalahannya dapat terselesaikan dengan baik. Sehingga tidak ada satupun anggota kelompok yang tidak memahami dan mengerti materi yang sedang dipelajari hari itu. Hal ini berlangsung secara terus menerus pada setiap materi yang dipelajari.
Setelah dilakukan proses belajar mengajar dengan mempergunakan kedua metode pengajaran terhadap kedua kelas tersebut selama 12 kali tatap muka selanjutnya dilakukan bentuk pos tes, dengan materi yang sama untuk melihat apakah ada perbedaan pemahaman antara kedua kelompok tersebut. Dilihat dari hasil pos tes, maka kelas B sebagai kelas eksperimen yang diberikan proses belajar mengajar dengan model kooperatif ternyata memperoleh nilai yang lebih baik dibandingkan dengan kolompok A. perbedaan nilai rata-rata adalah 11.12, dapat disimpulkan bahwa model pengajaran kooperatif pada mata kuliah Vocabulary Building memberikan pengaruh positif terhadap pemahaman mahasiswa sehingga ikut mempengaruhi nilai yang mereka peroleh. Hasil uji pos tes yang dilakukan dapat dilihat pada table flow chart berikut ini:
8
Selanjutnya untuk lebih memperkuat pembuktian di atas maka dilakukan uji R Square untuk melihat apakah penerapan pembelajaran modek kooperatif berpengaruh terhadap proses belajar mengajar atau tidak. Dari hasil Uji R Square yang terdapat dalam model summary dibawah ini terlihat adanya hubungan yang cukup kuat antara penerapan pembelajaran model kooperatif. Berdasarkan teori yang disampaikan oleh Suprapto dan Nandan (2010:129) bahwa apabila nilai R Square lebih besar atau mendekati 1 (0.9) maka hubungan X dan Y dinyatakan kuat. Dilihat dari analisi Uji R Square bahwa nilai yang diperoleh adalah 0.81, dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai yang diperoleh mendekati angka 0.9, meskipun hubungan yang diperlihatkan belumlah sangat signifikan.
KESIMPULAN
Dari hasil analisis data yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan model pengajaran kooperatif memberikan pengaruh positif terhadap mata kuliah Vocabulary Building untuk itu model pengajaran kooperatif ini juga dapat diterapkan terhadap mata kuliah yang lain yang memerlukan latihan dan diskusi yang berkesinambungan.
9
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar dan Hobir Abdullah, 2003. Revitalisasi Pendidikan Bahasa, edit. Bandung, STBA Yapari ABA Press. Arikuto, Suharsimi. 2005. Manajemen Penelitia. Cetakan ke 7. Jakarta: Rineka Cipta,. Chomsky, Noam, 1957. Syntactic Structure, New York : The Huge Moulton, Daryanto, Drs., dan Muljo Raharjo, Drs., ST., M.Pd. 2012. Model Pembelajaran Inovatif. Gava Media, Yogyakarta. Finnochiaro, Mary and C. Brumfit, 1983. The National Functional Approach: From Theory to Practice, New York, Oxford University Press.. Hamruni, Prof., Dr., M.Si. 2012. Strategi Pembelajaran. Insan Madani, Yogyakarta. Hill, LA. 1982. Word power 1500- Vocabulary Test and Exercises in American English. Tokyo: Oxford University Press. Hymes, Dell, 1966. On Communicative Competence, tp. Iskandar, Dr., M.Pd. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Gaung Persada Press, Jakarta Nababan, Sri Utari Subyakto, Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta Gramdeia. Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Redman, Stuart, 1997. English Vocabulary in Use. Australia:Cambridge University Press. Sevilla, Consuelo, G. dkk. 1993. Pengantar Metode penelitian. Jakarta. UI Press. Smith, Barbara Leigh and jean MacGregor. 1992. “What Is Collaborative Learning. The National Center on Postsecondary Teaching, Learning, and Assessment. Pennsylvania State University. Sugiyono, Prf., Dr., 2012. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung. Alfabeta. Supranto, Prof., Dr., MA., APU. Dan Nandan limakrisna. Dr., H.,Ir., MM., CQM. 2010. Statistika ekonomi dan Bisnis. Mitra Wacana Media. Suryabrata, Sumadi, BA. 1983. Metodologi Penelitian. Universitas Gajah Mada, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Usman, Husaini dan Purnomo Setiadi Akbar. 2008. Metodologi Penelitian sosial. Jakarta: Buni Aksara,. Dwi
Johartono.
http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/penerapan-
model-pembelajaran-
-48624.html/29-8-2012Nurul
http://staff.unila.ac.id/nutami/2011/10/05/pembelajaran-kooperatif/ 10
Utami.
Suyatno,
Dr.,
MPd..
http://garduguru.blogspot.com/2008/12/model-kooperatif-untuk-
pembelajaran.html/29-8-2012 Littlewood, W., 1984. Communicative Language Teaching, Cambridge : Cambridge university Press. Widowsow, H.G., (ed) 1986. Material and Methodology : Design Principle for A Communicative Grammar, Practice of Teaching, United Kingdom: Pergamon Bool Ltd., C.J. Brumfit,. Wahana Komputer. 2009. Pengolahan Data Statistik dengan SPSS 16.0. Jakarta. Salemba Infotek.
11
IDENTITAS DAN KETERIKATAN NILAI BUDAYA DALAM NOVEL A GOOD INDIAN WIFE KARYA: ANNE CHERIAN Eka Yuniar Ernawati Sastra Inggris-Fakultas Sastra
[email protected] ABSTRACT The point of this writing is the identity and the bond culture values which can be seen in the novel A Good Indian Wife by Anne Cherian. This writing relates to the differences between Indian value and American value through Indian-American immigrant. As immigrant in America, Neel Sarath who has succeeded to get American Dream as an anesthesiologist in San Francisco, has his shiny Porche, his spotless condo and his blonde American girl. In other side, as an Indian Iyengar, he is forced to obey his identity about the arranged marriage which has been prepared by his elders. The more he tries to neglect the rule, the harder he wants to avoid the marriage which finally, he must accept to marry Leila Khrishnan, a local English teacher who is chosen by his elders. Here, Cherian as the author, tries to explain there are still many habitants in India where men or women are still not free to choose what they want to be in the modern life. Key words: Indian-American immigrant, Iyengar identity, arranged marriage, collective value, individualism
PENDAHULUAN
Novel yang berjudul A Good Indian Wife merupakan karya sastra yang ditulis oleh Anne Cherian. Ia ingin memberikan gambaran tokoh imigran India-Amerika. Novel ini berkisah tentang persoalan identitas yang dihadapi oleh seorang imigran India bernama Neel Sarath di Amerika, terjebak di antara dua nilai budaya. Di satu sisi, sebagai keturunan India, ia harus menghadapi identitas budayanya yang memegang teguh nilai perjodohan. Di sisi lain, sebagai imigran India di Amerika, ia menemukan suatu nilai budaya yang berbeda dari negeri asalnya yaitu kebebasan sebagai individu.
Kesusastraan India Amerika telah mencapai kemajuan yang pesat terutama sejak jaman Post Kolonial. Keberadaan orang India Amerika terbagi menjadi banyak suku yang mempunyai kebudayaan tersendiri. Kebudayaan mereka kadang didasarkan pada hal yang
12
sesuai dengan kondisi daerah mereka masing-masing. Selain itu kebudayaan yang mereka miliki berasal dari kebiasaan dan keyakinan yang mereka anut. (Horton dan Hunt, 1998:76) Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan historis biografi dalam analisis karya sastra. Rene Welek dan Austen Weren menyatakan pendapatnya bahwa analisis karya sastra tersebut dapat dilakukan dengan menghubungkan sejarah atau latar belakang penulis karya sastra. Dalam pendekatan biografi ini terdapat tiga sudut pandang, yakni biografi sebagai alat untuk menerangkan proses penciptaan karya sastra, pengarang sebagai fokus utama penelitian, dan mengelompokkan biografi sebagai ilmu pengetahuan.
(http://www.bimbie.com/teori-sastra-menurut-para-ahli.htm. Diakses pada hari Selasa, 12 Februari 2013).
Amerika adalah suatu negara di mana pada awal berdirinya negara tersebut, masyarakatnya merupakan orang-orang yang berasal dari para imigran yang datang dari beragam sukubangsa dan dengan ciri identitas budaya yang dibawa dari negeri asal mereka. Identitas dapat dilihat sebagai nama yang kita berikan kepada kita dengan cara berbeda dimana kita diposisikan dan posisi sosial dimana kita berada dalam kebudayaan setempat. Identitas merupakan suatu ide tentang keberadaan diri individu dan bagaimana setiap individu tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan di tempat dimana dirinya berpijak. Identitas adalah suatu gagasan untuk menandakan tentang diri seseorang, sehingga dengan demikian kita dapat mengetahui asal usul seseorang. (Woodward, 1997:2) Identitas yang dimiliki seseorang tidak dapat dilepaskan dari budaya yang dimiliki oleh orang tersebut, yang dinamakan dengan identitas budaya. Dalam Cultural Identity and Diaspora, Stuart Hall menjelaskan bahwa identitas budaya (atau juga disebut identitas etnis) sedikitnya dapat dilihat dari dua cara pandang, yaitu identitas budaya sebagai sebuah wujud (identity as being) dan identitas budaya sebagai sebuah proses menjadi (identity as becoming). Identitas adalah nama yang diberikan kepada kita dengan cara berbeda dimana kita diposisikan dan posisi dimana kita berada di masa lalu. (hall, 1997: 52)
Seiring dengan keaneka ragaman kebudayaan tersebut seringkali setiap individu yang menetap di Amerika menghadapi proses asimilasi melalui perubahan atas nilai budaya baru yang diperoleh di Amerika. 13
Pada hakekatnya, nilai adalah kepercayaan-kepercayaan bahwa cara hidup yang diidealisasi adalah cara yang terbaik bagi masyarakat. Oleh karena nilai adalah kepercayaan maka nilai berfungsi mengilhami anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan cara yang diterima masyarakatnya. Oleh karena nilai-nilai adalah gambaran-gambaran yang ideal, maka nilai-nilai tersebut merupakan alat untuk menentukan mutu perilaku seseorang. (Gabriel, 144:1991)
Pada dasarnya, setiap anggota masyarakat mengetahui, mengerti, dan menghargai keberadaan nilai-niai yang ada di dalam komunitasnya demi tercipta kehidupan yang tertib dan aman.
Novel A Good Indian Wife menceritakan seorang tokoh imigran India di Amerika bernama Neel Sarath. Sebagai tokoh utama, ia telah berhasil mencapai impiannya di Amerika. Memiliki profesi sebagai ahli anestesi di San Francisco, kehidupan mewah di sebuah kondominium dan mobil mewah Porsche, adalah bukti nyata keberhasilannya tersebut. Namun apa yang telah dicapainya di Amerika berbanding terbalik dengan kenyataannya ketika ia harus membawa dirinya memenuhi kewajibannya sebagai identitas orang India, yang sejatinya harus memenuhi keinginan atau aturan yang telah ditetapkan dalam budaya masyarakat India. Klimaksnya terjadi ketika ia terpaksa memenuhi keinginan keluarganya untuk dijodohkan dengan gadis India bernama Leila Khrishnan, meskipun sebenarnya ia sendiri telah memiliki seorang kekasih kulit putih di Amerika.
Keluarga merupakan institusi sosial yang ada dalam masyarakat dan berfungsi menyatukan individu-individu yang ada dalam kelompok untuk bekerjasama dan saling menjaga satu dengan yang lain, termasuk dalam hal yang berkaitan dengan anak-anak mereka. (Macionis, 2010:426)
Kebudayaan India menjunjung tinggi akan pentingnya nilai-nilai yang tertanam di dalam keluarga. Dari satu generasi ke generasi lainnya, masyarakat India senantiasa mempertahankan tradisi yang berlaku dalam keluarga mereka yang dinamakan dengan sistem keluarga bersama. Ini adalah sebuah sistem di mana anggota keluarga diperpanjang - orang tua, anak, pasangan anak-anak dan keturunan mereka, dll - hidup bersama. Biasanya, anggota pria tertua adalah kepala dalam sistem keluarga bersama India. Dia
14
membuat semua keputusan penting dan aturan, dan anggota keluarga lainnya mematuhinya. http://senibudaya421c01.blogspot.com/p/budaya-india.html
Selama berabad-abad, perjodohan telah menjadi tradisi dalam masyarakat India walaupun laki-laki dan perempuan selalu memiliki pilihan yang mereka ingin menikah. Bahkan saat ini, sebagian besar India pernikahan mereka direncanakan oleh orangtua mereka dan keluarga-anggota terhormat lainnya, dengan persetujuan pengantin. pertandingan diatur adalah dibuat setelah mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, tinggi, nilai-nilai pribadi dan selera, latar belakang keluarga mereka (kekayaan, kedudukan sosial), mereka kasta dan kompatibilitas astrologi dari pasangan ' horoskop . Umumnya ini dilakukan untuk mengurangi culture shock untuk kedua mempelai sebagai keluarga kebanyakan keluarga besar.
http://senibudaya421c01.blogspot.com/p/budaya-india.html Neel Sarath adalah tokoh imigran Amerika keturunan India. Individualisme Amerika telah menghantarkan tokoh Neel sebagai sosok individu yang telah mencapai kesuksesan di Amerika. Individualisme adalah konsep nilai yang mencakup berbagai ide, perilaku dan doktrin yang faktor utamanya terpusat pada individu. Pengertian individu disini diartikan sebagai kebalikan “kolektif.” Individualisme merupakan penghargaan setinggi-tingginya terhadap hak asasi manusia dan perlindungan kepada kepentingan individu. (Miller, 1956: 241)
Di sisi lain, secara lahiriah, Neel tidak dapat menghilangkan identitasnya dirinya sebagai seorang India. Kabar mengenai kondisi kakeknya, Tatappa, yang dalam keadaan sakit, menghantarkan tokoh Neel Sarath untuk kembali ke India. Menyadari bahwa dirinya tidak memungkinkan untuk menolak perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya, maka ia pun tidak berdaya menghadapi situasi yang memojokkannya
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Datanya dinyatakan dalam bentuk verbal dan dianalisis tanpa menggunakan teknik statistic.Bersumber pada data tertulis (teks) novel A Good Indian Wife karya Anne Cherian tahun 2008 yang didukung oleh beberapa sumber teori secara dan data tertulis lainnya yang relevan. Penulis menggunakan jenis penelitian yang sifatnya interpretatif yaitu mengintepretasikan teks 15
dengan mengumpulan data kepustakaan dan pola pengkajian yang bersifat induktif yaitu dari khusus ke umum. (Sangadji dan Sopiah, 2010: 26)
PEMBAHASAN
Dalam novel A Good Indian Wife, Anne Cherian sebagai penulis melihat bagaimana tokoh Neel Sarath sebagai imigran India di Amerika memaknai dirinya dimana di satu sisi dalam dirinya melekat identitas budayanya sebagai orang India yang memiliki nilai-nilai tradisional yang dominan dalam keluarganya dan di sisi lain, ia telah memperoleh nilai individualis sebagai imigran di Amerika.
Woodward (1997:2) menjelaskan bahwa identitas merupakan nama yang diberikan kepada kita secara berbeda dimana kita berada dalam posisi sosial tertentu dalam kebudayaan setempat. Identitas merupakan suatu ide tentang keberadaan diri individu dan bagaimana setiap individu tersebut saling berhubungan satu dengan yang lainnya dan di tempat dimana dirinya berpijak. Identitas adalah suatu gagasan untuk menandakan tentang diri seseorang, sehingga dengan demikian kita dapat mengetahui asal usul seseorang.
Dalam pemaknaan yang lain, Suparlan (2004:25) menyatakan bahwa identitas di antara individu berakar dari kebudayaan yang dapat dibedakan dari kebudayaan individu lainnya, yang merupakan sebagai blue print atau pedoman dari sebuah masyarakat, secara operasional terwujud melalui nilai-nilai budaya.
Nilai-nilai budaya tersebut terserap dalam semua pranata-pranata sosial. Sehingga pranatapranata sosial dapat dilihat sebagai mentransmisikan, mengembangkan, dan memantapkan sesuatu atau sejumlah nilai budaya dalam mengorganisasi berbagai upaya kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup yang dianggap penting oleh masyarakat. (Suparlan. 68:2001). Dari pemaknaan nilai-nilai budaya, maka tokoh Neel Sarath berupaya menjajaki identitasnya sebagai imigran Amerika keturunan India dengan keberhasilannya mengimplementasikan nilai individualisme Amerika melalui kesuksesan yang telah banyak ia capai di negara tersebut.
16
Namun apa yang telah dicapainya di Amerika, bukan sesuatu hal yang dapat ia terapkan ketika ia harus kembali mengunjungi India, dimana orangtua dan sanak saudaranya masih berada disana dan masih memegang teguh nilai kolektif tradisi setempat. Nilai kolektif tersebut dapat dilihat dari budaya perjodohan yang masih banyak terjadi di India. Tokoh Neel dalam novel A Good Indian Wife adalah salah satu contoh tokoh yang harus menerima perjodohan yang telah direncanakan keluarganya.
Neel Sarath adalah seorang tokoh utama laki-laki dalam novel A Good Indian Wife, terlahir di India dan menjadi imigran di Amerika. Kemampuan intelejensinya yang tinggi menjadikan tokoh Neel seorang yang sukses dalam mencapai American Dream. Pada suatu ketika, ia kembali ke India dan harus menghadapi kebudayaannya kembali, menghadapi suatu kondisi yang dianggapnya suatu hal yang bertentangan dengan kebebasannya sebagai individu, yaitu pada saat dia dihadapkan pada kondisi harus mematuhi perjodohan yang telah diatur keluarganya. Setiap saat Neel melihat dirinya, ia memaknai dirinya bahwa apa yang harus dilakukannya adalah hal yang tidak ia kehendaki, namun hal tersebut tidak memungkinkannya untuk menolak apa yang telah menjadi nilai dan bagian identitas dari budayanya sendiri sebagai seorang India.
Keluarga adalah bagian yang terpenting, dan apapun kondisinya, maka setiap individu harus mematuhi apa yang menjadi keinginan dalam keluarga. Begitu juga pada tokoh Neel, meskipun di satu sisi ia enggan untuk pergi ke India, namun di sisi lain ia khawatir dengan kondisi kakeknya yang sedang sakit. He didn’t want to see a dying tatappa either, but would regret not going. Tatappa, his parents, the whole town, expected it of him. In India it was always above self, with no considering his difficulties. (Cherian, 2008: 9)
Terlahir di India, membuat Neel menyadari bentuk kekerabatan yang sangat erat dalam lembaga keluarga di India. Kehidupan bersama, dimana secara tradi antara satu generasi dan generasi lainnya bekerjasama dan saling menjaga satu dengan lainnya, bahkan dalam hal yang berkaitan dengan anak-anak mereka adalah hal yang umum dapat ditemui dalam kehidupa keluarga India. Hal yang tidak berubah ketika Neel kembali berkunjung ke India untuk menjenguk kakeknya yang dikabarkan sakit adalah ia kembali menemukan bentuk 17
keluarga bersama seperti ni, dimana orang tua, anak, pasangan anak-anak dan keturunan mereka hidup bersama di dalam kediaman orangtua Neel. Kakek Neel sendiri, yaitu Tatappa, adalah anggota pria tertua dan memiliki kekuasaan penuh, membuat semua keputusan penting dan aturan, dan anggota keluarga lainnya mematuhinya.
Kerjasama dia antara individu yang ada dalam keluarga dalam hal yang berkaitan dengan anak-anak juga dirasakan oleh Neel pada saat bibinya Vimla, turut serta berbicara tentang rencana perjodohan yang telah diatur oleh keluarga Neel. Aunty Vimla said, “Your grandfather” __ she glance at tatappa and quickly added __” and your mummy and daddy, we would all like to see you married. So, with your mummy’s help, I have made some good arrangements for you. First-class girls. You have simply to sit and see them. Then if one is to your liking, you simply sit and get married. Simple.” (Cherian, 2008: 27)
Apa yang diucapkan oleh bibi Vimla membuat Neel dengan tegas menolak perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya. Tatappa, sebagai orang yang memiliki kekuasaan penuh untuk membuat semua keputusan penting dan aturan agar anggota keluarga lainnya mematuhinya, berusaha dengan caranya yang halus, memberikan pengertian kembali kepada Neel. Tatappa didn’s say anything for a few minutes. “She is only virry worried for your future. You know in India it is our thinking that everyone should get married. It is not like Ahmerica, where many people don’t care about families.” (Cherian, 2008: 31)
Perjodohan merupakan salah satu budaya dan identitas tradisi yang umum diikuti dan dipatuhi oleh laki-laki maupun wanita dalam masyarakat India selama berabad-abad. Meskipun demikian, tidak jarang, ada di antara mereka yang sebenarnya telah memiliki pilihan pasangan hidup sesuai pilihan mereka, namun mereka tidak kuasa menolak perjodohan yang telah direncanakan jauh sebelumnya oleh keluarga besar mereka. Bahkan saat ini, di sebagian besar masyarakat India, pernikahan mereka direncanakan oleh orangtua
mereka
dan
keluarga-anggota
terhormat
lainnya,
dengan
persetujuan
pengantin. Pertemuan diatur setelah mempertimbangkan faktor-faktor seperti usia, tinggi,
18
nilai-nilai pribadi dan selera, latar belakang keluarga mereka (kekayaan, kedudukan sosial), mereka kasta dan kompatibilitas astrologi dari pasangan. Hal itu dilakukan untuk mengurangi culture shock untuk kedua mempelai sebagai keluarga kebanyakan keluarga besar.
http://senibudaya421c01.blogspot.com/p/budaya-india.html Dalam sejarahnya, budaya India akan tradisi perjodohan diyakini telah ada di India dan menjadi bagian dari lembaga keluarga pada saat berkembangya agama Veda Hindu pada periode
sekitar
500SM.
http://en.wikipedia.org/wiki/Arranged_marriage_in_the_Indian_subcontinent
Pemaparan Stuart Hall bahwa identitas budaya (atau juga disebut identitas etnis) sebagai sebuah wujud (identity as being) dapat dilihat dalam diri tokoh Neel yang secara diri adalah individu terlahir di India dan telah ditanamkan nilai-nilai kolektifitas dalam keluarganya sedari kecil hingga ia dewasa.
Di sisi lain, penulis melihat bahwa dentitas budaya sebagai sebuah proses menjadi (identity as becoming) memiliki ciri khusus dari identitasnya tersebut melalui nama keluarga, Sarath, yang tetap melekat dalam identitas Neel sebagai Neel Sarath. Perjodohan yang diupayakan oleh keluarganya dilatar belakangi oleh proses sejarah panjang dari tradisi nenek moyangnya. Identitas tokoh Neel yang memiliki nama belakang Sarath, merupakan nama yag menjadi identitas keluarga yang sudah ada sejak jaman kolonisasi Inggris di India. Sarath adalah salah dari sekian banyak raja-raja kecil yang pernah ada di India dari suku Iyengars. Mereka adalah keturunan Hindu yang berada di wilayah India Selatan. Selama ratusan tahun, keturunan Sarath membuat suatu aturan sebagai tradisi untuk melanjutkan keturunan mereka, dengan menikahi pasangan yang berasal dari kelompoknya saja.
When Neel was young, he loved hearing about their first known ancestor, who married the king’s daughter and grew to prominence as an exceptionally gifted prime minister. For the past four hundred years the Saraths had added to the “good name” of the family by marrying their own kind, Iyengars, the best of all South Indian Hindus, coveted for their light skin and intelligence. (Cherian, 2008: 2) 19
Tradisi perjodohan di India pada akhirnya menjadi identitas budaya, berasal dari sejarah yang panjang dan penuh makna dan telah dijalani sejak jaman dahulu kala.
Di sisi lain, tokoh Neel yang telah bermigrasi ke Amerika, telah melihat banyaknya kontradiktif nilai budaya. Satu sisi, dirinya adalah individu yang berasal dari India yang memegang nilai tradisi kolektif. Di sisi lain, Amerika sebagai negara para imigran, memiliki nilai-nilai budaya inti yang sangat menjunjung tinggi kebebasan setiap individu. Individualisme adalah nilai budaya pokok dan mendasar yang mendukung berlakunya prinsip-prinsip demokrasi di antara sejumlah nilai budaya Amerika, dimana individu mempunyai kebebasan dalam mengekspresikan dirinya dan tidak terkungkung oleh adanya sistim patronase.
Sebagai individu yang bebas, Neel berhasil mencapai kesuksesan, bahkan ia pun berupaya mengasimilasikan diri dengan mengubah namanya sebagai cara agar ia merasa nyaman dalam bersosialisasi. Tatappa seemed to understand that Neel had made a new life for himself as Dr. Neel Sarath, anesthesiologist, and now, American. (Cherian, 2008:2)
As a teenager he had even made up a year-by-year plan with goals: Go to America for college, become a doctor by twenty eight,… (Cherian, 2008: 4) “It’s Neel. I changed my name shortly after I got to Stanford. Americans find it easier to pronounce than Suneel.” (Cherian, 2008: 47)
Di sisi lain, individualisme sebagai dasar kebebasan berekspresi dan menentukan keinginannya sendiri berusaha dilakukan oleh Neel Sarath dengan caranya sendiri, yaitu pada saat Neel menjelaskan bahwa ia telah memiliki seorang kekasih kulit putih Amerika kepada kakeknya. Ia sadar bahwa hal itu tidak mungkin, dan memang pada kenyataannya Tatappa pun secara berdiplomasi memberikan alasan kepada Neel akan keberatannya tentang keinginan Neel tersebut. “So you wouldn’t mind if I married an American?”
20
“It’s not a question of minding or not minding. It is simply better to marry one’s own kind. (Cherian, 2008: 32). “Ahmerican?” he could hear tatappa shout. “We are Indians. Did I fight away the British only to have my own family spoiled with the blood of a white fahrinner?” (Cherian, 2008:33).
Berbagai upaya dilakukan Neel untuk menolak perjodohan yang telah direncanakan oleh keluarganya. Klimaksnya ketika ia telah dipertemukan dengan Leila, anak perempuan dari keluarga Khrishnan. Ia tidak mengira bahwa pertemuannya dengan Leila dan keluarganya itu pada akhirnya adalah pertemuan untuk menentukan pernikahan dirinya dengan Leila. Dia pun terjebak pada situasi yang tidak mampu untuk dia hindari.
“I’m not getting married!” “It’s done.” Aunty Vimla patted a handkerchief on her sweeting face. “The marriage is to be in fourteen days.” (Cherian, 2008:55) He felt as if he had metamorphosed into a character from Kafka’s novel. One day he was Dr. Neel Sarath, a man whose only obligation was work, who ate beef when he wanted to and spent nights with awhite woman outside the bounds of marriage. The next day, without his permission , he had been forced back into hs discarded skin. He was Suneel once again__grandson, son, nephew, consummate Indian male. (Cherian, 2008:57) This was something he hadn’t even thought about when he yielded to their joint pressure and said. “Yes, I’ll marry her.” (Cherian, 2008:63)
Pada akhirnya, Neel tidak dapat mempertahankan keinginannya untuk tidak menikah atas perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya. Kepatuhannya utuk memenuhi apa yang diingini oleh keluarganya dikarenakan kesadarannya akan nilai budayanya untuk senantiasa menghormati keluarganya, meskipun di sisi lain apa yang dilakukannya adalah hanya keterpaksaan saja.
1.
KESIMPULAN 21
Melalui novel berjudul A Good Indian Wife
karya Anne Cherian, penulis dapat
melihaadanya konflik nilai yang terjadi dalam diri tokoh Neel Sarath yang telah dibesarkan di antara dua negara yang memiliki perbedaan nilai-nilai dalam kebudayaanya. India adalah negara dimana Neel terlahir dan tinggal hingga remaja, dimana keluarga besarnya berada dan masih memegang teguh adat dan tradisi budaya setempat. Identitas dirinya yang berasal dari sejarah panjang para leluhurnya terdahulu merupakan identitas dari nama besar keturunan Sarath yang tidak dapat dilepaskan oleh Neel. Perjodohan, yang menjadi akar budaya dari leluhurnya tersebut menjadi pemicu konflik nilai budaya dalam dirinya. Amerika yang telah memberinya nilai kebebasan sebagai individu tidak mampu ia terapkan dalam kehidupannya sebagai individu ketika ia harus menghadapi nilai luhur dari kebudayaannya sendiri di India. Kebebasan yang telah membuka matanya untuk menentukan apa yang dianggapnya baik bagi dirinya, dengan segala kesuksesan yang telah diraihnya di Amerika seakan tidak mampu merubah tatanan nilali yang begitu kuat tertanam dalam keluarganya di India. Pada akhirnya, Neel harus menerima kenyataan akan identitas asalnya tersebut dan harus menuruti tradisi atas nama kehormatan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Cherian, Anne.(2008) A Good Indian Wife, NY,W.W.Norton & Company. Gabriel, Ralph H.(1991) Nilai-Nilai Amerika Pelestarian dan Perubahan, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Hall,S.(1990) Cultural Identity And Diaspora, Dalam Identity and Difference, Kathryn Woodward, SAGE Publication, London. Horton, Paul B. and Chester L. Hunt. (1998) Sociology , McGraw-Hill Humanities,U.S. Bimbie,
Berdasarkan
Pandangan
Rene
Welek
dan
Austin,
[online],
(http://www.bimbie.com/teori-sastra-menurut-para-ahli.htm, diunduh tanggal 6 Februari 2013). http://senibudaya421c01.blogspot.com/p/budaya-india.html, diunduh tanggal 9 Juni 2013 Miller, Perry. (1956)
Errand to Wilderness, New York,
Harper Toorchbooks, The
Academy library, Macionis, John J. (2010)
Sociology, Thirteen edition. U.S.A.,Prentice Hall, Pearson
Education, Inc.
22
Sangadji, Etta Mamang dan Sopiah. (2010), Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis Dalam Penelitian, Yogyakarta, ANDI. Suparlan, Parsudi. (2001) Jurnal Studi Amerika, Vol. VII, Jul-Des.Pusat Kajian Wilayah Amerika.UI Suparlan, Parsudi.(2004) Hubungan Antar Sukubangsa,Jakarta:YPKIK Woodward, Kathryn. (1997) Identity and Difference, London,SAGE Publication Ltd, The Open University.
23
VERBA HOMOGRAFI DALAM BAHASA MANDARIN Yulie Neila Chandra, Gustini Wijayanti Program Studi Sastra Cina, Fakultas Sastra
[email protected]
ABSTRAK Dalam berbagai bahasa di dunia, homonimi dapat disamakan dengan homofoni dan homografi, atau homonimi mencakup homofoni dan homografi. Keadaan tersebut tidak berlaku di dalam bahasa Mandarin. Konsep ketiganya sangat berbeda. Sistem tulisan bahasa Mandarin yang berbentuk aksara/huruf balok atau dinamakan Hanzi ‘karakter/aksara/huruf Han’tidak mewakili sebuah fonem, melainkan silabel (sukukata). Bahasa Mandarin juga memiliki sistem fonetik yang disebut Hanyu Pinyin. Kedua sistem itu mengakibatkan perbedaan konsep yang tegas di antara ketiga relasi makna itu. Penelitian kualitatif ini mencermati verba-verba berhomograf yang berjumlah sekitar 70-an karakter, yang setiap karakternya dapat diucapkan dalam dua atau lebih bunyi yang berbeda. Pada umumnya perbedaan fonetis di antara verba-verba homografi terletak pada unsur suprasegmentalnya (fonem suprasegmental, yakni ton/nada) sehingga membentuk pasangan minimal. Perbedaan fonetis menyebabkan kesalahan pengucapan, bahkan penerjemahan dalam kalimat. Terlebih lagi, hampir setiap verba berhomograf juga berpolisemi atau memiliki banyak makna yang kadang-kadang tidak bertautan, serta bermakna inheren yang berbeda sehingga menambah kesulitan dalam penerjemahan. Namun, semua hal tersebut dapat diatasi dengan memperhatikan kolokasinya. Pemerhatian kolokasi meliputi leksikal dan gramatikal. Karena itu, pola kolokasi baik leksikal maupun gramatikal dapat membantu ketepatan dalam pengucapan dan penerjemahan. Kebanyakan pola kolokasi verba membentuk frase verba objek dan verba komplemen. Kata Kunci: verba, homografi, polisemi, pasangan minimal, kolokasi PENDAHULUAN
Dalam setiap bahasa terdapat berbagai relasi makna. Satuan bahasa seperti kata, memiliki komponen makna yang kompleks sehingga mengakibatkan perhubungan makna di antara satuan tersebut. Perhubungan antarmakna (relasi makna) yang disebut juga relasi semantik atau relasi leksikal, dapat menunjukkan kesamaan, pertentangan, ketercakupan, kegandaan, kelainan, ataupun kelebihan makna.
Relasi makna juga bertautan dengan relasi gramatikalnya. Karena itu, relasi makna dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu relasi makna sintagmatis dan paradigmatis. Relasi makna sintagmatis berhubungan secara horizontal dalam satu frase atau kalimat, seperti hubungan antara subjek dan predikat di dalam sebuah kalimat. Sebaliknya, relasi makna 24
paradigmatis berhubungan secara vertikal dalam gatra sintaktis yang sama, serta dapat saling disulihkan dalam satu konteks tertentu.
Relasi makna sintagmatis dapat ditemui dalam homonimi dan polisemi; sedangkan relasi makna paradigmatis seperti sinonimi, antonimi, hiponimi, dan lain-lain. Dalam setiap bahasa, konsep relasi makna tersebut secara umum sama. Di dalam sejumlah bahasa, homonimi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu homofoni dan homografi. Homofoni adalah kata-kata yang dilafalkan sama tetapi maknanya berbeda. Lebih jelasnya, homofoni merupakan hubungan antara kata-kata yang berbeda maknanya tetapi sama lafalnya. Sementara itu, homografi adalah kata-kata yang ditulis sama tetapi maknanya berbeda; atau hubungan antara kata-kata yang berbeda maknanya tetapi sama tulisannya (Harimurti Kridalaksana, 1993:75). Contoh dalam bahasa Indonesia: kata tahu ‘makanan’ berhomografi dengan tahu ‘paham’. Banyak ahli bahasa, khususnya ahli semantik yang menyamakan homonimi dengan homofoni ataupun homografi. Misalnya, kata bisa ‘racun’ dan bisa ‘dapat’ atau ‘sanggup’ merupakan homonim, homofon, dan juga homograf. Namun, kata masa ‘waktu’ yang berhomofoni dengan massa ‘sejumlah besar benda yang menjadi satu kesatuan’, bukanlah homograf karena terdapat dua fonem /s/ pada kata tersebut. Hal seperti itu juga dapat ditemui dalam bahasa Inggris, namun tidak dalam bahasa Mandarin.
Dalam bahasa Mandarin yang tidak memiliki sistem tulisan ortografi, terdapat perbedaan konsep homonimi. Sistem tulisan bahasa Mandarin yang berbentuk aksara/huruf balok (方 块字fàngkuàizì) menyerupai ideogram dan piktogram. Setiap aksara/huruf balok terdiri dari guratan-guratan yang mewakili satu silabel (sukukata), bukan fonem. Namun demikian, bahasa Mandarin memiliki sistem fonetik, yang disebut 汉语拼音Hànyŭ pīnyīn ‘ejaan bahasa Mandarin’ atau lebih dikenal sebagai ‘ejaan pinyin’. Silabel bahasa Mandarin terdiri atas tiga bagian, yaitu 声母shēngmŭ ‘inisial/unsur awal’, 韵母 yùnmŭ ‘final/unsur akhir’, 声调 shēngdiào ‘ton/tona/ nada’. Inisial adalah unsur awal sebuah silabel yang diduduki oleh konsonan. Final adalah semua unsur yang ada di belakang inisial, dapat diduduki oleh vokal dan konsonan. Ton adalah tinggi rendah nada yang sudah ditentukan kualitasnya.
25
Homografi bahasa Mandarin tidak dapat dikatakan homonimi. Istilah untuk merujuk pada homografi di dalam bahasa Mandarin sangat beragam, yakni 同形词tóngxíngcí; 多音多义 字duōyīnduōyìzì; 多义多音字 duōyìduōyīnzì; 多音字duōyīnduōyìzì; 一字多音yīzìduōyīn; atau 异读词 yìdúcí. Dari istilah homografi tersebut tampak bahwa homografi bahasa Mandarin menitikberatkan pada bunyi yang berbeda, tetapi bentuk karakter atau aksara Han-nya sama. Contoh: 还hái ‘masih’ (adverbia) berhomografi dengan 还huán ‘kembali’ (verba).
Menurut Qian Nairong (1995:420), dan juga Zhang Wu (2000:307), kata yang berhomografi kira-kira berjumlah 10% dari aksara/karakter Han yang ada. Kondisi tersebut mengakibatkan pemelajar bahasa Mandarin harus memahami kata-kata yang berhomograf tersebut sehingga tidak salah melafalkan dan menggunakannya. Misalnya, kata 得de yang berhomograf dengan 得dĕi pada kalimat di bawah ini: (1) 要取得好成绩,就得努力学习。 Yào qŭdé hăo chéngjì, jiù dĕi nŭlì xuéxí. Mau mendapat baik prestasi, (Adv) harus giat belajar ‘Jika ingin mendapatkan prestasi yang baik, maka harus giat belajar.’
PERUMUSAN MASALAH
Homografi banyak dijumpai dalam bahasa Mandarin. Dua atau tiga kata yang berhomograf dapat memiliki kelas kata yang berbeda atau sama. Homografi yang dicermati di dalam penelitian ini adalah yang memiliki kelas kata yang sama, yakni verba. Permasalahannya adalah bagaimana pengucapan/pelafalan verba berhomograf itu, apakah berhomofon? Bagaimana makna inheren dan tautan makna verba-verba tersebut? Bagaimana pula kolokasinya sehingga dapat membedakannya.
TINJAUAN PUSTAKA
Palmer (1976) mengemukakan bahwa suatu bentuk yang memiliki banyak makna tidak dapat dikatakan dengan jelas apakah termasuk polisemi atau homonimi. Menurutnya, polisemi adalah sebuah kata yang memiliki banyak makna; sedangkan homonimi adalah 26
kata-kata yang memiliki kesamaan bentuk. Perbedaannya dapat dilihat di dalam kamus. Kata-kata yang berpolisemi muncul sebagai satu lema (entri) tetapi dengan beberapa penjelasan; sedangkan kata-kata yang homonimi muncul sebagai lema yang terpisah. Palmer juga membedakan antara homografi dan homofoni. Menurutnya, homografi adalah kata-kata yang ditulis sama tetapi dilafalkan berbeda.
Sejalan dengan pendapat Palmer (1976), Lyons (1977) mendefinisikan homonimi sebagai kata-kata yang berbeda dengan bentuk yang sama. Homonimi merupakan perhubungan di antara leksem, dan dibedakan menjadi dua, yaitu homofoni dan homografi.
Saeed (1997) juga memaparkan beberapa relasi leksikal seperti yang dipaparkan oleh para ahli semantik sebelumnya. Relasi leksikal pada umumnya terjadi di antara leksem-leksem di dalam bidang yang sama. Menurutnya, homonim merujuk pada kata-kata yang secara fonologis sama, yang dapat dibedakan atas homograf (kata yang ditulis sama) dan homofon (kata yang diucapkan atau dilafalkan sama). Perbedaan keduanya dapat dilihat berdasarkan perilaku sintaktis dan pelafalannya.
Chaer (1990) memaparkan bahwa kesamaan objek pembicaraan membuat tautan antara homonimi, homofoni, dan homografi. Ada beberapa ahli yang menyatakan bahwa homograf adalah juga homonim karena para ahli itu berpandangan ada dua macam homonim, yaitu (1) homonim yang homofon; dan (2) homonim yang homograf.
Qian Nairong (1995) memaparkan homografi bukan dalam suatu telaah relasi leksikal (semantik
leksikal),
tetapi
dalam
pembicaraan
mengenai
bunyi
dan
makna
karakter/aksara/huruf Han. Qian Nairong mengungkapkan bahwa suatu ejaan/pelafalan karakter Han merupakan sebuah silabel (monosilabel). Karena itu, hubungan antara silabel dan bentuknya (karakter/aksara/huruf Han) dapat dilihat berdasarkan dua sudut pandang, yaitu (1) berdasarkan silabelnya; dan (2) berdasarkan bentuknya atau karakter/huruf Hannya. Yang pertama dapat dibedakan atas dua macam, yaitu (1) 一音一字yī yīn yī zì ‘satu bunyi satu aksara/huruf’ contoh: 森sēn ‘hutan’; dan (2) 一音多字yī yīn duō zì ‘satu bunyi banyak aksara/huruf’ contoh: shí: 实 ‘nyata’, 十 ‘sepuluh’, 识 ‘pengetahuan’, 石 ‘batu’, 拾 ‘menngambil’, 时 ‘waktu’, 食 ‘makanan’. Yang kedua dapat dibedakan atas dua macam
27
juga, yaitu (1) 一字一音yī zì yī yīn ‘satu aksara satu bunyi’ contoh: 短 duăn ‘pendek’; dan (2)一字多音yī zì duō yīn ‘satu aksara banyak bunyi’ contoh: 大dà (pada kata 大门dàmén ‘pintu gerbang’) dan 大dài (pada kata 大夫dàifu ‘tabib’). Yang terakhir inilah yang dapat dikatakan homografi.
Paparan yang sejalan dengan Qian Nairong adalah yang dilakukan oleh Luo Xiaosuo (1999). Menurutnya, homografi merujuk pada sebuah kata yang memiliki dua pelafalan atau lebih. Perbedaan ejaan/lafal kata-kata berhomograf dapat dilihat dari inisial, final, ataupun tonnya. Kehomografian disebabkan oleh beberapa hal, yakni (1) perbedaan ragam bahasa, seperti ragam lisan dan tulis; (2) perbedaan makna; (3) perbedaan kelas kata; (4) perbedaan penggunaan, yakni penggunaan secara umum dengan penggunaan sebagai nama orang atau tempat.
Pembahasan mengenai verba dimulai dari Brinton (1988). Brinton mengklasifikasi verba berdasarkan tipe verba yang diajukan oleh Vendler (1967). Klasifikasi tersebut, yaitu (1) verba keadaan (state); (2) verba pencapaian (achievement); (3) verba aktivitas/kegiatan (activity); (4) verba penyelesaian (accomplishment); dan (5) verba kegandaan/seri (series). Kelima tipe verba tersebut masing-masing memiliki makna inheren yang diungkapkan melalui ciri semantis kewaktuannya.
Li Dejin dan Cheng Meizhen (1988) mengklasifikasi verba berdasarkan maknanya, yakni (1) verba yang menyatakan tindakan/aktivitas, seperti写xiĕ ‘menulis’; (2) verba yang menyatakan tindakan/perilaku, seperti 拥护yōnghù ‘mendukung’; (3) verba yang menunjukkan aktivitas mental, seperti喜欢 xĭhuan ‘suka’; (4) verba menunjukkan perubahan dan perkembangan, seperti 生shēng ‘lahir/hidup’; (5) verba yang menunjukkan keberadaan, kepemilikan, atau penilaian, seperti 有 yŏu ‘mempunyai’; dan (6) verba yang menunjukkan arah, seperti 上shàng ‘naik’.
Penggunaan verba dalam kalimat tidak terlepas dari peran kolokasi. Kolokasi adalah asosiasi tetap antara kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat. Misalnya antara kata buku dan tebal dalam kalimat buku tebal ini mahal (Harimurti Kridalaksana, 1993: 113-114). Menurut He Sanben dan Wang Lingling (1995), kolokasi yang disebut 搭 28
配dāpèi atau 并置理论bìngzhì lĭlùn merupakan perhubungan kata dengan kata yang memungkinkan di dalam sebuah konstuksi. Kolokasi disebut juga sanding kata. Kata-kata yang berkolokasi merupakan kata-kata yang cenderung digunakan dalam satu lingkungan (domain) tertentu sehingga mempunyai tautan padu. Sanding kata dianggap sebagai pilihan kata atau leksikal seseorang untuk membentuk konstruksi kalimat yang sesuai. Kata-kata yang bersandingan tidak hanya yang bermakna leksikal, tetapi juga gramatikal.
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memahami homografi di dalam bahasa Mandarin, khususnya yang berkelas verba. Dengan mencermati verba-verba yang berhomograf, dapat mengetahui tipe verba-verba tersebut, termasuk tautan makna, serta kolokasinya sehingga dapat mengatasi kesalahan dalam pengucapan dan penerjemahan verba-verba tersebut dalam kalimat.
MANFAAT HASIL PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai homografi dalam bahasa Mandarin, terutama yang berkelas verba, kepada para pemelajar dan peminat linguistik bahasa Mandarin. Kemaknawian penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan di bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik Bahasa Mandarin.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode induktif. Karena itu, penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yakni (1) pengumpulan dan pengamatan data (identifikasi dan klasifikasi): data yang dikumpulkan adalah data tulis, yang bersumber dari kamus; (2) analisis data: data yang telah diidentifikasi dan diklasifikasi ditelaah dengan menggunakan metode analisis distribusional; dan (3) penyajian data.
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Umumnya verba-verba berhomograf dapat diucapkan minimal dua macam. Sebagian kecil dapat dilafalkan atau diucapkan lebih dari dua, yakni tiga macam. Selain itu, di antara verba-verba tersebut ada yang berhomograf dengan kelas kata lain seperti nomina, adjektiva, atau adverbia, tetapi tidak dibahas di dalam penelitian ini. Verba-verba homografi tersebut tidak dapat digolongkan sebagai homofoni karena adanya perbedaan unsur suprasegmental (nada/ton). Contoh verba yang dilafalkan dengan dua cara: (1) 揣dapat dilafalkan chuāi (nada pertama) dan chuăi (nada ketiga). (2) 颤dapat diucapkan chàn (fonem beraspirasi ch /tȿ’/) dan zhàn (fonem takberaspirasi zh /tȿ/) Contoh verba yang dilafalkan dengan tiga cara: (3) 嚼dapat dilafalkan jiáo (nada kedua), jiào (nada keempat), dan jué (fonem yang berbeda dan nada kedua).
Perbedaan pengucapan verba-verba homograf itu umumnya terlihat pada fonem suprasegmentalnya (ton/nada), seperti tampak pada contoh (1). Selain itu, perbedaan dari fonem segmentalnya juga ditemukan, seperti pada contoh (2). Keadaan tersebut menciptakan pasangan minimal dalam kehomografian bahasa Mandarin. Pasangan minimal adalah dua ujaran yang salah satu unsurnya berbeda; atau dua unsur yang sama kecuali dalam hal satu bunyi saja (Harimurti Kridalaksana, 1993:156).
Selain pasangan minimal, pengucapan verba homografi juga mencakup dua unsur baik segmental maupun suprasegmental, seperti contoh berikut ini: (4) 扒dapat dilafalkan bā (nada pertama dan fonem takberaspirasi /p/) dan juga pá (nada kedua dan fonem beraspirasi /p’/) (5) 给dapat dilafalkan gěi dan jĭ.
Pada umumnya setiap verba berhomograf memiliki banyak makna (polisemi). Makna verba yang satu dengan yang lain dan berhomograf tersebut kebanyakan tidak bertautan. Contoh:
30
(6) 奔bēn; bèn
bēn (nada pertama) memiliki beberapa makna: (1) berlari dengan cepat; (2) bergegas; (3) melarikan diri), (4) membalap.
bèn (nada keempat) memiliki beberapa makna: (1) menuju ke; (2) mendekati; (3) menjelang.
Pada contoh (6) verba ben yang bernada satu dan yang bernada empat memiliki makna yang tidak bertautan. Makna inheren yang ditunjukkannya pun berbeda. Misalnya, ben yang bernada satu ‘berlari dengan cepat’ menunjukkan verba aktivitas; sedangkan ben yang bernada empat ‘menuju ke’ menunjukkan verba pencapaian.
Ada pula verba-verba berhomograf tidak memiliki banyak makna (tidak berpolisemi). Contoh: (7) 喝hē; hè a. 喝茶hē chá ‘minum teh’ b. 大喝一声dà hè yīshēng ‘berteriak keras’ Contoh (7) menunjukkan pengucapan dan makna yang berbeda dan tidak berkaitan di dalam frase maupun kalimat. Contoh di atas menunjukkan bahwa verba homografi memiliki sanding makna yang tidak dapat disubstitusikan. Namun, ditemukan pula beberapa verba homografi yang dapat ditukarkan walau kata yang mengikutinya berbeda. Contoh: (8) 熬āo; áo a.
熬白菜 āo báicài ‘merebus kubis’
b.
熬粥 áo zhōu ‘memasak bubur’
Kedua verba ao dapat dipertukarkan karena memiliki makna yang sama walau objeknya berbeda.
Kolokasi yang berkaitan dengan verba homografi dalam bahasa Mandarin meliputi kolokasi leksikal dan gramatikal. Berikut ini pola kolokasi yang ditemukan sehubungan dengan verba homografi, baik leksikal maupun gramatikal.
31
No.
Pola
Contoh
1
VH+N/FN (O)
倒车 dăo chē ’ganti bus’ 倒一杯茶 dào yī bēi chá ’menuangkan secangkir teh’ 看牛 kān niú ‘menggembalakan sapi’ 看电影 kàn diànyĭng ’menonton film’ 饮茶 yĭn chá ’minum teh’ 饮马 yìn mă ’memberi minum kepada kuda’
2
V+VH+(N/FN)
泡涨 pào zhàng ’membengkak’ 游说 yóu shuì ’melobi’
3
VH+V(Komp)+(N/FN) 褪下一只袖子 tùn xià yī zhĭ xiùzi ’melepaskan lengan baju sebelah’ 蒙住眼睛 méng zhù yănjing ’menutup mata’
4
VH+Adj(Komp)
漂干净 piăo gānjìng ’membilas sampai bersih’ 蒙对了mēng duì le ’menebak tepat secara kebetulan’
5
VH+Fprep (Komp)
落在地上 luò zài dì shang ’jatuh di tanah’ 落在家里 là zài jiā li ‘tertinggal di rumah’
6
VH+了(PA)+N/FN
扒了旧房 bā le jiù fáng ’merobohkan rumah lama’
7
VH+着(PA)+N/FN
挑着一担菜 tiāo zhe yī dān cài ’memikul sepikul sayursayuran’
8
VH+了(PA)+ Komp
待了三天 dāi le sān tiān ‘tinggal selama tiga hari’
9
VH+过(PA)+N/FN
度过童年 dù guo tóngnián ’melewatkan masa kanakkanak’
10
VH + 得 (PS) + Adj 说得多 shuō de duō ’banyak bicara’ (Komp)
11
VH+得/不+ V (Komp) 解不开 xiè bu kāi ’tidak dapat mengerti’ + (N/FN)
倒不开身 dăo bù kāi shēn ’sulit untuk bergerak’
Dari contoh-contoh di atas dapat terlihat bahwa kolokasi yang berbeda baik leksikal maupun gramatikal memengaruhi perbedaan pengucapan dan penerjemahan, atau makna 32
yang muncul dari persandingan kata verba homograf. Misalnya verba 饮dapat dilafalkan yĭn dan yìn. Walau pada dasarnya memiliki tautan makna, tetap akan memunculkan makna yang berbeda apabila diikuti oleh nomina yang berbeda. Begitu pula dengan pelafalannya. Verba 饮yang dilafalkan dalam nada ketiga bermakna’minum’ sehingga harus bersanding dengan minuman seperti teh, misalnya pada frase 饮茶yĭn chá ‘minum teh’. Sebaliknya, verba 饮yang dilafalkan dalam nada keempat bermakna ‘memberi minum kepada hewan’ sehingga harus bersanding dengan nomina yang menyatakan hewan, seperti pada frase 饮 马yìn mă ‘memberi minum kepada kuda’.
KESIMPULAN
Pada umumnya verba-verba berhomograf dilafalkan dengan dua cara berbeda dan membentuk pasangan minimal sehingga verba homografi tidak dapat dikatakan berhomofon. Hal itu disebabkan kebanyakan pembedanya terdiri atas satu unsur saja, yakni segmental atau suprasegmental. Namun, ada pula yang pembedanya lebih dari satu unsur, bukan hanya unsur awalnya saja (inisial), tetapi juga unsur akhir (final), bahkan nadanya juga dapat berbeda.
Berdasarkan maknanya, sebagian besar verba berhomograf memiliki banyak makna yang tidak bertautan. Keadaan tersebut dapat diatasi dengan mencermati kolokasinya. Kolokasi verba homografi mencakup leksikal dan gramatikal sehingga membentuk pola-pola frase. Secara umum frase yang terbentuk adalah frase verba objek dan frase komplemen.
Karena keterbatasan waktu, dari segi struktur penelitian ini hanya mencakup kolokasi leksikal dan gramatikal sehingga belum dapat dikatakan komprehensif. Oleh sebab itu, masih banyak hal yang perlu digali terkait homografi, seperti peranan konteks yang juga penting di dalam menentukan makna kalimat.
PUSTAKA ACUAN
Alwi, Hasan, Anton M. Moeliono, Hans Lapoliwa, dan Soenjono Dardjowidjojo. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
33
Brinton, Laurel J. 1988. The Development of English Aspectual System: Aspectualizers and Past Verbal Particles. Cambridge: Cambridge University Press. Chaer, Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Chandra, Yulie Neila. 2004. “Keimperfektifan dalam Bahasa Mandarin”. Tesis Magister. Depok: Universitas Indonesia. Chen Xinxiong, et.al. 1989/2005. Yuyanxue Cidian. Taipei: Sanmin Shuju. Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik 1: Pengantar ke Arah lmu Makna. Bandung: Eresco. Fang Yuqing. 1992. Shiyong Hanyu Yufa. Beijing: Beijing Yuyan Xueyuan Chubanshe Fu Zhunqing. 1985. Xiandai Hanyu Cihui. Beijing: Beijing Daxue Chubanshe. Gu Yande. 1999. Hanyu Yuyixue. Beijing: Beijing Daxue Chubanshe. Guo Zhenhua. 2000. Jianming Hanyu Yufa. Beijing: Sinolingua. He Sanben dan Wang Lingling. 1995. Xiandai Yuyixue. Taibei: Sanmin Shuju. Kridalaksana, Harimurti. 1990. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. ________. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Kushartanti, Untung Yuwono, Multamia RMT Lauder (penyunting). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia. Li Dejin dan Cheng Meizhen. 1988. Waiguoren Shiyong Hanyu Yufa. Beijing: Sinolingua. Liu Yuehua, Pan Wenyu, dan Gu Wei. 2001. Shiyong Xiandai Hanyu Yufa. Beijing: Shangwu Yinshuguan. Luo Xiaosuo. 1999. Xiandai Hanyu Yinlun. Yunnan: Yunnan Renmin Chubanshe. Lyons, John. 1977. Semantics Volume 1. Cambridge: Cambridge University Press. ________. 1977. Semantics Volume 2. Cambridge: Cambridge University Press. ________. 1995. Linguistic Semantics: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Palmer, F.R. 1976. Semantics. Cambridge: Cambridge University Press. Qian Nairong. 1995. Hanyu Yuyanxue. Beijing: Beijing Yuyan Xueyuan Chubanshe. Saeed, John I. 2000. Semantics. Oxford: Blackwell. Sumarsono. 2007. Pengantar Semantik (adaptasi dari Stephen Ullman, 1977). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Vendler, Zeno. 1967. Linguistics in Philosophy. Ithaca, New York: Cornell University Press.
34
Yu
Mingshan dan Guo Bao’an (ed.). 2010. Tongyici Jinyici Fanyici Zhuci Zao Ju Duoyinduoyizi Yicuoyihunzi Daquan. Beijing: Huayu Jiaoxue Chubanshe.
Zhang Wu. 2000. Jianming Xiandai Hanyu. Beijing: Zhongyang Guangbo Dianshi Daxue Chubanshe. Zhao Yongxin. 1992. Hanyu Yufa Gaiyao. Beijing: Beijing Yuyan Wenhua Daxue Chubanshe.
DAFTAR SINGKATAN
Adj
: adjektiva
FN
: frase nominal
Fprep : frase preposisional Komp : komplemen/pelengkap KP
: kata penggolong
N
: nomina
O
: objek
PA
: partikel aspektual
PS
: partikel struktural
V
: verba
VH
: verba homografi
35
KRITIK MARK TWAIN TERHADAP MASYARAKAT AMERIKA DALAM NOVEL HUCKLEBERRY FINN Karina Adinda Sastra Inggris – Fakultas Sastra
[email protected] ABSTRACT In this writing, Mark Twain exposes what happens in American society in the 19th century. Twain sees inequality among white people and black people at that time. He points out there is something wrong regarding values that are applied in the society. America is a democratic country, but there is slavery there. This condition is a paradox. Through the main character, Huckleberry Finn, Mark Twain conveys his criticism on slavery in America. Twain questions the different policies between states in America at that time. Some states are free states such as Illinois, Indiana, Ohio and some others are slave states such as, Missouri, Kentucky, Tennessee, Arkansas, Louisiana, Mississippi and Alabama. This condition show that America is not a solid country, but a country divided by slavery. It is obvious that Mark Twain is against slavery. Slavery has no place in America, there is no unity. Key words: Civilization, Democracy, Unity, Slavery, Criticism. PENDAHULUAN
Kesusastraan mengacu pada kebudayaan yang ada dalam satu masyarakat. Masyarakat tersebutlah yang menciptakan apa yang akan menjadi karya sastra tersebut. Masyarakat itu menjadi inspirasi dari adanya kesusastraan yang merupakan bagian dari kebudayaan yang terbentuk. Dengan membaca karya sastra, manusia dapat memperkaya wawasan dan mendapatkan manfaat dari kegiatan membaca tersebut. Kegiatan membaca memang menghabiskan waktu yang banyak, namun waktu tersebut tidak terbuang dengan sia-sia. Kondisi ini ini dikuatkan oleh pernyataan Jacobs sebagai berikut : … reading a literary work responsively can be an intensified demanding activity. Imaginative literature makes our efforts rewarded with pleasure as well as understanding. The quotation shows us that literature explores the nature of human being and its condition present us memorable things and the worthy values by reading the reflection of life (1981 : 1). Barnett mengatakan bahwa dalam melakukan kegiatan membaca, kita tenggelam dalam kegitan tersebut, sehingga kita hanyut dalam bacaan itu :
36
...a literary work seizes our interest and at least for a moment make the rest of the world fades or vanishes (1989 : 271).
Dalam novelnya ini Mark Twain, mengemukakan apa yang terjadi di dalam masyarakat Amerika pada abad 19. Twain melihat adanya ketidak adilan yang terjadi. Ia menilai ada yang tidak berjalan semestinya dalam masyarakat Amerika yang demokrasi dan mempunyai nilai-nilai keagamaan yang kuat. Tokoh Huck Finn memang seorang anak laki-laki baru yang berusia tigabelas tahun. Namun sebenarnya, melalui Huck Finn ini, Twain menyampaikan kritiknya terhadap adanya perbudakan di Amerika. Hal ini dapat dilihat ketika Huck Finn membantu budak Jim untuk lari dari majikannnya. Melalui percakapan-percakapan antara Huck Finn dan Jim kita bisa melihat betapa Twain tidak setuju adanya perbudakan di bumi Amerika. Novel ini sendiri merupakan novel yang menggunakan bahasa khas Amerika pada masa adanya perbudakan, yaitu bahasa yang dipakai baik oleh orang kulit putih maupun oleh orang kulit hitam pada era tersebut. Pada saat diterbitkan pertama kali, bahasa yang dipakai di dalam novel ini mendapatkan kecaman karena dianggap terlalu kasar. Namun, sebagaimana karya-karya Twain yang lain, justru bahasa yang dipakai dalam karyanya itulah yang kekuatan Twain. Twain dianggap peletak dasar pemakaian bahasa yang benar-benar Amerika dalam penulisan sastra Amerika. Melalui karya-karya Twain lah kita dapat mengetahui apa, bagaimana masyarakat Amerika dan bahasa yang mereka pergunakan pada abad 19. Dapat dikatakan dengan mempelajari kesusastraan, kita mendapatkan dua manfaat. Manfaat pertama adalah kita mendapatkan kesenangan dengan kegiatan membaca karya sastra tersebut. Manfaat kedua adalah kita mendapatkan pengetahuan yang mendalam tentang kemanusiaan sehingga kita akan menjadi orang yang lebih berbudaya dan luhur. Rohrbenger mengatakan : … studying a literary work has two functions, the first is getting pleasure or enjoyment, and the latter is getting knowledge of humanity. While reading or analyzing literary works such as novel, drama and poetry, the student gives attention to some particular characters that construct the plot, setting, point of view and style. They continue to describe a sequence of event to make up the plot or the narrative structure which contains a) exposition b) rising action c) conflict d) climax and e) resolution (Rohrbenger, 1971 : 21).
37
Nilai-nilai dalam masyarakat sangat penting karena nilai-nilai tersebut menjadi pemersatu, menurut Gabriel: pada hakekatnya, nilai adalah kepercayaan-kepercayaan bahwa cara hidup yang diidealisasi adalah cara yang terbaik bagi masyarakat. Oleh karena nilai adalah kepercayaan maka nilai berfungsi mengilhami anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan cara yang diterima masyarakatnya. Oleh karena nilai-nilai adalah gambaran-gambaran yang ideal, maka nilai-nilai tersebut merupakan alat untuk menentukan mutu perilaku seseorang (Gabriel, 144:1991). Pengertian nilai yang ada dalam masyarakat adalah nilai-nilai yang mempengaruhi sikap dan pandangan hidup dalam satu masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam Macmillan dictionary sebagai berikut : the principles and beliefs that influence the behavior and way of life of a particular group or community (2013).
PEMBAHASAN
Melalui novel Huckleberry Finn, Mark Twain menyampaikan pemikirannya. Novel in ini merupakan kritik Mark Twain terhadap masyarakat Amerika pada abad 19. Latar belakang novel ini adalah Amerika pada masa perbudakan dengan pertentangan antara Utara yang tidak setuju adanya perbudakan dan Selatan yang mempunyai sisitem perbudakan dalam masyarakatnya. Cerita ini memakai sudut pandang tokoh saya yang bernama Huckleberry Finn atau dipanggil secara singkatnya, Huck Finn. Eksposisi cerita adalah ketika Huck Finn diangkat anak oleh seorang janda tua, Ny. Douglas. Alasan Ny Douglas untuk mengangkat Huck Finn menjadi anaknya adalah karena Ny. Douglas ingin membuat Huck Finn menjadi lebih terpelajar dan beradab. Huck Finn adalah anak berusia duabelas tahun yang terlantar dan tidak terawat. Ibunya sudah meninngal dunia dan bapaknya adalah seorang pemabuk dan pemalas. Bapaknya tidak mengizinkan Huck Finn bersekolah karena Huck Finn disuruh kerja apa saja untuk mendapatkan uang. Uang dari Huck Finn itulah yang dipakai bapaknya untuk beli minuman keras dan bermabuk-mabukan. Tidak pernah terlintas sedikitpun di kepala bapaknya untuk bekerja dan menyekolahkan anaknya. Yang ada di kepala bapak tua itu hanyalah bermalas-malasan dan minum hingga mabuk. Bapaknya merasa Huck Finn lah yang berkewajiban memenuhi kebutuhannya untuk membeli minuman keras. Hak Huck Finn sebagai seorang anak untuk mendapatkan kehidupan yang layak sebagai anak dan mendapatkan pendidikan terabaikan. Ny. Douglas mewakili masyarakat kulit putih Amerika yang beragama dan mempunyai nilai moral 38
tinggi. Ny. Douglas merasa adalah kewajibannya sebagai orang yang bermoral untuk membuat Huck Finn yang anak jalanan menjadi lebih beradab.
The Widow Douglas adopted me and promise she would civilized me, but I found it pretty hard to live in her house all the time, considering how normal and decent the widow was in all her ways. When it became so bad and I couldn’t stand it any longer, I just put on my old rags and ran off. Then I was free and happy again (Twain, 2001 : 6).
Pada kenyataannya Huck Finn sejak awal merasa terbelenggu dengan misi Ny. Douglas untuk membuat dirinya menjadi manusia yang lebih beradab. Ia lebih ingin menikmati kebebasan hidup daripada hidup yang penuh dengan kepura-puraan. Menurut Huck Finn, orang seperti Ny. Douglas hanya bisa mengkritik tanpa mengerti apa yang dikritik. Huck Finn melihat dari kejadian ketika ia minta izin kepada Ny. Douglas untuk merokok. Ny. Douglas tidak mengizinkan huck Finn untuk merokok, padahal Ny. Douglas sendiri menghisdap tembakau melalui hidungnya. Walaupun itu bukan merokok, namun menghisap tembakau melalui hidung adalah sama berbahaya dengan merokok karena dampak tembakau terkena ke paru-paru juga. Hal ini terlihat dari kutipan di bawah ini : Pretty soon I wanted to smoke and asked the Widow to let me. But she wouldn’t. She said it was a horrible habit and it wasn’t clean. Some people are like that : they criticize things they don’t know anything about. Of course, she took snuff – but she thought that was all right (Twain, 2001 : 12).
Rising action adalah ketika Huck Finn memutuskan untuk kabur dari rumah Ny. Douglas. Huck Finn merasa tidak bisa lagi tinggal di rumah Ny. Douglas yang penuh dengan kepura-puraan dan juga untuk menghindari kejaran ayahnya yang selalu minta uang kepada Huck Finn. Ayahnya tidak menjalankan kewajiban sebagai seorang bapak, malahan minta uang kepada anaknya, Huck Finn. Hal ini dapat dilihat pada kutipan di bawah ini : “Give me all the money that you have,” said Pap. “I haven’t got any any money,” said Huck. “That’s a lie. Now you get me the money. I want it,” said Pap. “I swear I haven’t got any,” said Huck. “How much have you got in your pocket? I want it ,” said Pap (Twain, 2001 : 12). 39
Dalam pelariannya, Huck Finn bertemu dengan budak milik Nona Watson, Jim di sebuah pulau. Nona Watson adalah adik dari Ny. Douglas, ibu angkat Huck Finn. Nyonya Douglas dan Nona Watson tinggal bersama di dalam satu rumah. Ia bertemu dengan Jim dan berjanji untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang pelarian Jim menuju negara bagian yang bebas. Huck Finn berjanji untuk membantu Jim. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut : During my escape, I met Miss Watson’s slave, Jim. He also ran away from Miss Watson. I told him the story of how I escaped. I asked him what he was doing on the island. He said he wouldn’t tell me unless I promised never to tell anyone. I said I would never tell a soul. Jim and I became good friends in our escape. We had the same need to get freedom of our lives. There was a bond between Jim and me. We help each other in our escape (Twain, 2001: 23).
Konflik di dalam cerita ini adalah ketika Huck Finn merasa tetap ingin membela Jim dengan membantu pelarian Jim. Namun ia juga merasa ia akan menemui kesulitan karena ia telah membantu Jim dalam pelariannya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut : Jim was a runaway slave. I knew it might get me into big trouble, but I wouldn’t betray Jim. Even if people called me a miserable abolitionist, I wouldn’t say a word. I knew I will be punished if both of us were caught. Still, I thought a true friend was a friend who helped each other during hard times (Twain, 2001 : 27)
Climax dalam cerita ini adalah ketika Jim hampir tertangkap. Ketika itu Huck Finn dan Jim sedang berada di atas sebuah perahu. Dua orang yang memegang senapan dalam perahu datang menghampiri perahu Huck Finn. Kedua orang itu mencari budak yang kabur dari majikannya di wilayah selatan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini : They both have guns. They stopped next to me and asked me whose raft it was in the distance. I told them it was mine. Then they asked whether there were any other men on it. Just one, I said. They said they were hunting a slave who ran away from Miss Watson.
Resolution dalam cerita ini adalah ketika Jim mendapatkan kebebasannya. Mereka berhasil bebas setelah lepas dari kejaran petugas perbatasan yang memburu budak yang kabur dari 40
majikannya di wilayah selatan. Akhirnya Jim bukan lagi seorang budak. Jim adalah manusia merdeka yang mempunyai hak yang sama dengan orang Amerika lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan di bawah ini : We ran like the wind towards the river, with bullets flying all around our heads. We heard a shout, “Set the dogs loose; they’re headed for the river!” They came after us at full speed. We could hear them because they were wearing heavy boots and yelling. We weren’t wearing boots or making any noise and pretty soon we dropped behind a bush and let them all pass us. Then the dogs came along, barking like crazy. Then the dogs came along, barking like crazy. They stopped when they found us, but didn’t do anything – just licked our hands a bit and said hello; then they were off again towards the river. “Now you are free, Jim!” I said. “And a mighty good job it was too. It was planned beautifully. There is never been such a splendid plan before!” said Jim. We were all as happy as could be. Jim was at last a free man. A master of his own (Twain, 2001 : 85).
Ternyata
Jim sebenarnya sudah dibebaskan terlebih dahulu oleh pemiliknya, Nona
Watson. Nona Watson merasa bersalah dengan niat ingin memperjual Jim. Sebelum Nona Watson meninggal dunia dua bulan yang lalu, ia telah membebaskannya sebagaimana tercantum dalam surat wasiat nya. Hal ini dapat dilihat dai kutipan di bawah ini : Then Tom told us that Miss Watson, who owned Jim, died two months ago. She had felt so guilty about wanting to sell him down the river that she had set him free in her will (Twain, 2001 : 89).
KESIMPULAN
Dari perjuangan Huck Finn untuk membantu Jim yang seorang budak, dapat dilihat bahwa tokoh Huck Finn mencerminkan hati nurani manusia Amerika. Secara teoritis, Amerika mempunyai nilai-nilai moral yang tinngi dan mempunyai peradaban dalam kehidupan bernegara. Namun pada kenyataannya di Amerika ada perbudakan. Novel ini menunjukkan adanya nilai-nilai yang tidak sesuai dalam masyarakat Amerika. Ada ketidak adilan dalam
41
masyarakat Amerika. Novel ini juga menunjukkan adanya ketimpangan antara nilai-nilai ideal yang dianut masyarakat Amerika dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Secara teori Amerika menganggap semua manusia mempunyai hak dan kedudukan yang sama. Namun pada kenyataannya hal ini tidak berlaku dalam masyarakat Amerika. Kenyataannya perbudakan ada di bumi Amerika. Orang kulit putih memperbudak orang kulit hitam. Tokoh Huck Finn mewakili masyarakat Amerika yang tidak ingin adanya perbudakan di bumi Amerika. Novel ini menunjukkan betapa kejamnya institusi perbudakan karena manusia hanya dianggap sebagai barang dagangan yang diperjual belikan. Melalui novel ini Mark Twain mengkritisi adanya perbudakan di Amerika. Twain ingin perbudakan diakhiri di bumi Amerika. Hal ini dapat dilihat dari kebebasan yang didapatkan Jim setelah berhasil dari kejaran petugas perbatasan. Namun ternyata Jim sudah terlebih dahulu dibebaskan oleh pemiliknya Nona Watson dalam surat wasiatnya. Nona Watson juga mewakili masyarakat Amerika yang sadar perbudakan tidak ada tempat di bumi Amerika, walaupun kesadaran itu datangnya terlambat.
DAFTAR PUSTAKA
Barnett, Sylvan, Berman, Morton and William Bato, 1989. An Introduction to Literature.London : The Macmillian and Company. Gabriel, Ralph H., Nilai-NilaiAmerikaPelestariandanPerubahan, GadjahMada University Press, Yogyakarta, 1991. Macmillan Dictionary. 2013. London: Macmillan Publishers Limited. Morehead, Andrew T. 1997. The New American Webster Dictionary. New York : The New American Library, Inc. Robbers, Edger V and Jacobs, Henry E. 1981. Literature : An Introduction to Reading and Writing.New York : Prentice Hall. Rohrbenger, Mary and Samuel Woods, Jr. 1971. Reading and Writing about Literature. New York : Random House. Twain, Mark. 2001 Huckleberry Finn. New York : Dell Publishing Co., Inc.
42
CODE- SWITCHING ANALYSIS BASED ON FIVE TYPES OF CODE SWITCHING UNITS IN THE NOVEL “FACEBOOK ON LOVE BY IFA AVIANTY.” Fridolini Jurusan Bahasa Inggris - Fakultas Sastra
[email protected] ABSTRACK Language is a universal means of communication in which speakers deliberately use by adding or inserting several words of expressions that might only be understood by a certain group of people. They occasionally change or switch the use of two or more languages or varieties of the same language during oral or written discourse. The change is called codeswitching which is a linguistic phenomenon commonly occurring in bi- and multilingual speech communities. Switching may be conscious and intentional. Intentional switching may be used to indicate shifts in topic, and change in interpersonal or social relationships. Much of the time, however, switching between languages is unintentional. Another code which specifically refers to intersentential switching is called code mixing. Both terms refer to both types of language mixing. In this particular discussion, however, I focus only on the first type of switching, i.e. code switching. The main goal of code switching is to convey messages or information from a speaker to a listener directly and to make good communication between them. Code switching may occur within settings where speakers share more than one language. In this research I use two methods which include collecting the data from related books and the Internet as well as analyzing the collected data. I collect the data which are taken from in the dialogues in the novel “Facebook on love 2 by Ifa Avianty” that contain code switching. Key words : Language ;Linguistics ; Code Switching ; Multilingual Community ; Discourse ; Facebook INTRODUCTION
A. Background of the Problem The novel “Facebook on Love 2” by Ifa Avianty, as my data analysis, is worth analyzing because there is a variety of code switching units that are used in it. In this novel, many words are code switched.
I am interested in observing this code switching to see how this switching influences both the speaker and the receiver. So, the person who switches his/her language can represent his/her social or even educational background.
43
The phenomenon of code switching itself has become an interesting topic to be discussed, especially in the novel like “Facebook on Love 2 by Ifa Avianty”. Since this novel contains the reflection of teenagers’ life nowadays, mainly their problems of love, may lead young readers to begin imitating the way the characters behave or even the way they communicate to each other. So, this research is conducted to observe this phenomenon further.
I focus my research on the use of code switching and the types of code switching occurring in the “Facebook on Love 2” by Ifa Avianty. To give a little description of what i intend to do, I put forward some examples as follows: 1. ‘kamu meminta second chance, dan aku sudah kasih…..then I miss you…’ujar Dea.(p. 6 ) 2. Baru sebulan lalu, mereka me-launch buku yang berjudul “The power of sex”, dan langsung jadi mega best seller! ya iyalaah..lihat judulnya dong. ( p.10) . 3. By the way, tentang menginap sehari semalam di Kempinski kita skip saja ya..ceritanya. ( p. 21 )
From those examples above , it is apparent that there are some codes switching found in the novel such as second chance, launch, best seller, by the way, skip, etc. Knowing the significance of codes switching, it is necessary to identify and understand the forms, meaning and reasons of its usage. Based on these reasons I conduct a research entitled “The Analysis of Code-switching In the Novel Facebook On Love 2 by Ifa Avianty.”
B.
Identification of the problem
From the explanation above, I aim to conduct a research about code switching which is often used by the writer of the novel
C. Limitation of the Problem
The code switching is absolutely different from code mixing. Here, I limit the research to the analysis of code switching based on five types of code switching units.
44
D.
Statements of the Problem
The analysis of the code switching is focused on the following problems: 1. What kind of meaning of code switching in the novel “Facebook On Love 2” written by Ifa Avianty; 2. What is the reason of the use of code switching in the novel “Facebook On Love 2” written by Ifa Avianty.
E.
Aim of the research
There are two aims in doing this research. The first one is to find out the meaning of code switching used in the novel; the second one is to figure out the reason of the use of code switching.
F.
Benefit of the Research
I wish that this research will be useful for readers to know more about code switching especially in sociolinguistic study and as a reference for those who want to conduct a research in sociolinguistic field. This research also provides students a better way to study about code switching.
G.
Method of the Research
In this research I use two methods which include collecting the data from related books and the Internet as well as analyzing the collected data. I collect the data which are taken from in the dialogues in the novel “Facebook on love 2 by Ifa Avianty” that contain code switching. This research uses the qualitative and descriptive methods. Khan (1990:96) stated that “a descriptive method is used to explain, analyze and classify, something through various techniques; survey, interview, questionnaire, observation, and test.”
I use some steps to analyze the data; First, collecting the data. In doing this research, I have to collect and look for the data, so they can support the objective of the study.
45
I take many sources, such as books, references and the Internet to analyze the data. Next, I quote some theories which are related to the subject of the study.
Secondly, identifying the data. I try to identify the data, namely code switching by grouping it based on the types of code switching and the last step is to analyze the data. Those data may not be described in numbers, but in the form of sentences.
I.
ANALYSIS OF TYPES OF CODE SWITCHING UNITS
I classify through Kachru’s Theory in analyzing the novel “Facebook on Love”. Code switching refers to the switching of various linguistic units (morpheme, words, modifiers, phrases, clauses and sentences) from two participating grammatical systems within a sentence. Code witching is intrasential and is constrained by grammatical principle and motivated by socio-psychological motivation (language mixing seminar language acquisition and universal grammar, WS02/03 Thai In Der Smitten, 20 December 2002/3). I focus on five types of code switching. There are five types of code switching which are grouped into: 1. Hybridization 2. Insertion 3. Sentence insertion 4. Reduplication 5. Idiom and collocation
1) GROUP A : HYBRIDIZATION Hybridization refers to the use of linguistic elements from another language within a unit.
Disana ia hanya bisa melotot melihat ketiga baby-sitternya sedang asyik main hp. (p. 3)
The word “baby-sitter” in the sentence above means “pengasuh”. The use of word “babysitter” is usually interpreted as “pengasuh” in Bahasa, because in fact, the word “babysitter” prefers to be used by the writer to replace the word “pengasuh” to show the style and high education background.
46
Yang, gimana klo kamu me-remove semua nenek sihir ini dari list tementemenmu ? (p. 8)
The word “me-remove” in the sentence above means “menghapus” or “memindahkan”.
Sekalian uang saku sama living cost-nya pak. (p.8)
The word “living-cost-nya” means “biaya hidup”. The addressee can understand if the speaker talks to her friend which has the same high education. Baru sebulan lalu mereka me-launch buku yang berjudul “ The Power Of Sex “,dan langsung jadi mega best sellernya, iyalah.. (p. 10) The meaning of “ me-launch“ in Bahasa means “meluncurkan”, so the word “ me-launch” is equivalent with the meaning in Bahasa. Sometimes “me-launch” is almost used in talking.. Hitung-hitung me-time lah. (p.22) The word “me-time-lah” in the sentence means “waktu pribadi” and the addressee can understand if the speaker’s meaning is interpreted in English. Usually the speakers often use this in speaking , because it sounds more sophisticated and convenient to use it nowadays. Tapi dia memang kayaknya suka sama kamu. Lihat dong cara dia nge-kiss dan nge-hug kamu. (p.37) The word “nge-kiss” refers to “mencium” dan “nge-hug” refers to “memeluk”. The use of word “nge-kiss” is usually interpreted as “mencium” because in fact, the word “nge-kiss” is more often used by speakers to replace the true meaning “mencium” in Bahasa. Sepintas anak ini, kebetulan sekelas sama saya, ya kurang lebih sama shallownya dengan gerombolan cewek-cewek itu (p.52) 47
The word “shallow-nya” in the sentence above means ''dangkal. The word “shallow-nya” has the same meaning with “dangkal” which has been absorbed. Dia menatap saya dengan puppy-eyes-nya yang bikin saya meleleh. (p.60) The word “puppy eyes-nya” in the sentence above means “mata sendu “. “Puppy eyes-nya” has the same meaning with “mata sendu” which has been absorbed. Dea menganggap acara-acara kayak gitu nggak ada added value-nya, selain nambah bego sama nambah dosa doang. (p.91) The meaning of “added value-nya” in Bahasa means “nilai tambah nya” so the word “added value-nya” is equivalent with the meaning in Bahasa. Foto mesra itu di-shoot lagi. (p.92) The word “di-shoot” in the sentence above means the ''di sorot. The word “di- shoot” has the same meaning with “''di sorot” which has been absorbed.
2) GROUP B : INSERTION
Insertion refers to the introduction of grammatical unit such as word, phrase and dependent clause from another language.
Sejenak sang mommy menyadari kesalahannya. (p. 2)
The word “mommy” is usually interpreted as “ibu” because the word “mommy” is often used by speakers to replace the true meaning of “ibu”.”
Hampir saja mulutnya berteriak memanggil para baby sitter yang entah pada menghilang kemana. (p. 2)
48
If we read the sentence, the word “baby sitter” refers to “pengasuh”. The use of word “baby sitter” is usually interpreted as “pengasuh” because in fact, “baby sitter” is more often used by speakers to replace the true meaning of “pengasuh” in Bahasa. Dan sekarang hidupnya stuck diantara tiga bocah, yang segera akan menjadi empat ( satu masih di dalam perutnya ). Dea mengeluh hanya di dalam hati. (p. 2) The word “stuck” in the sentence means “terjebak”. Saat log-in ke facebook, dilihatnya status suaminya masih on.(p. 5) The meaning of “log-in“ in bahasa means “masuk, so the word “log-in” equivalent with meaning in bahasa. Sometimes “log-in” is used between English or Bahasa in talking regarding to the terms that are related toFacebook. Di kliknya chatting box. (p. 5) The word “chatting box” in the sentence above means “kotak bicara. The equivalent word in Bahasa is almost never used, sometimes the “chatting box“ is more understood than “kotak bicara” in Bahasa. “kamu meminta second chance, dan aku sudah kasih …..” ujar Dea.(p. 6) The word “second chance” in the sentence above means “kesempatan kedua. “Second chance” can be replaced by the original meaning by speakers. Dia tersenyum lembut dan segera menarik bed cover setinggi leher. (p. 6) The word “bed cover” refers to “penutup tempat tidur”, but the word “bed cover” is usually interpreted as “selimut” because in fact, “bed cover” word is often used by speakers to replace the true meaning of “penutup tempat tidur” in Bahasa. Yang, gimana kalau kamu me-remove semua nenek sihir ini dari list temantemanmu. (P.78)
49
The meaning of “ list “ in bahasa means “daftar”, so the word “list” is equivalent with meaning in bahasa. “List” is almost used in most of conversations than the word “daftar”. kalau
ada notification tentang Bapak Fadli Kusharyawan yang telah
memutuskan hububgannya dengan BEBERAPA WANITA sekaligus kasih tau ya! huakakakak….. (p.81) The word “notification” in the sentence above means ''pemberitahuan, but, the speakers assume that “notification” word can be more suitable to be used related to Facebook. “Notification” is the term that is used by Facebookers that has the same meaning with “pemberitahuan” which has been absorbed.. Mungkin lebih baik kirim geng hantumu ini ke siberia saja, sweet. (p.8) The word “sweet” in the sentence means “manis” or can be understood as “sayang” in Bahasa.
3) GROUP C : SENTENCE INSERTION
Sentence Insertion refers to an insertion of a sentence from another language into the language base on the discourse Jadi seharusnya kisah ini akan berakhir dengan closing statement klasik yang berbunyi, so they live happily ever after. Amin. (p. 21) Bisa kan kita berangkat habis magrib ? can’t wait to see you dress up like the beauty queen. (p.25) “ aku tahu, Fadli, you were a such a bad boy. (p.72) I’m the winner anyway, and the winner should take it all. Tapi kenapa masih aja ada rongrongan dari masa lalunya, sih? (p.99) Akan kubisikkan pada nya, I’ll do my best to please you, dear God”.(p.162) “I’ll do my best to please you, dear God” means “Saya akan melakukan yang terbaik untuk menyenangkan Mu, Tuhan”..
50
My fabiola, the queen of my heart, if I were there, I would hug you tight. Akan saya bisikkan kepadamu bahwa kamu tak sendiri. (p.168) Bisa diam tidak sih? I’m trying to kiss you now, please….stop talking! (p.179)
4) Group D : REDUPLICATION
Reduplication shows the process of reduplication which is the process of repeating the same meaning in two codes. However, sometimes grammatically, it is wrong because the speaker speaks by using word by word. Saya demen nih ama story-story yang begini. (p.171) Wah check-check dulu deh semua sebelum ditutup (p.68) Fine-fine aja kan semuanya, jadi jangan panic dong.. (p.76) Wow.. Hati-hati! Ada yang very-very bad mood yach! (p.81) Sudah kau delete-delete semua pesan teman-temanmu? ? (p.83) Aduuuhai…! Sorry-sorry saja ya say, sungguh gak level tuh! (p.92)
5) GROUP E : IDIOM AND COLLOCATION MEANS
Idiom and collocation means the use of idiom and collocation while switching the language. Kenapa dibilang looking like million dollars? Iri barangkali! (p.10) Bilang pada geng hantu, he blew his top! Huhuhu…! (p.59) Sumpah Cyn! Dia benar-benar blow my mind mind! Aku suka! (p.87) Sudah.. Jangan bawel, ini masih pagi, why don’t you just zip your lip and let me kiss you! (p.89) Ga sampai take your breath away kan? Biasa aja….. Menurutku lho.. (p.87) Senyumnya membuatku ingin berkata, yes! Bring it on, baby! (p.91) Something fishy is going on around here! Menurut kamu? (p.93) Dasar nenek sihir tidak bertanggung jawab! She washed her hands of the matter ? Seriously??? (p.98)
51
CONCLUSION
There are some cases where people feel more convenient to be emphatic in their second language rather than in their first language. For Indonesian people, switching bahasa Indonesia into English can also strengthen a command since the speaker can feel more powerful than the listener because he/she can use a language that not everybody can.
Sometimes people want to communicate only to certain people or community they belong to. To avoid the other community or people interfering their communication, they may try to exclude those people by using the language that not everybody knows/masters. To soften request, for Indonesian people, switching bahasa Indonesia into English can also soften a request because English is not their native tongue so it does not sound as direct as bahasa Indonesia. However, code mixing can soften a request since the speaker can feel softener than the listener because he/she wants to talk to God personally.
REFERENCES
Holmes, J. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London:Longman Trudgill, P. 2000. Sociolinguistics. London: Penguin Skiba, R. 1997. Code Switching as a Countenance of Language Interference. The Internet TESL Journal. 3,10
52
THEOLOGICAL CONFLICT AND THE TEACHINGS OF MORALITY IN BLESS ME, ULTIMA Albertine Minderop Sastra Inggris – Fakultas Sastra
[email protected] ABSTRACT Penelitian yang berjudul Theological Conflict and The Teaching of Morality “In Bless Me, Ultima” membahas adanya hubungan antara pengajaran tentang moralitas dengan konflik teologis yang dialami seorang anak berusia enam tahun bernama Antonio Marez. Ajaran tentang moralitas yang diperolehnya berasal dari kedua orang tua, dari gereja Katolik, dan dari teman-teman sebaya. Kontradiksi yang didapat dari ajaran tersebut ditambah dengan realitas kehidupan yang disaksikannnya, membuatnya mengalami konflik teologis. Teori dan konsep yang digunakan untuk membahas ajaran moralitas dan konflik teologis berasal dari David Krech dan Richard S. Crutchfield (1974). Untuk membahas ajaran moralitas dan konflik teologis digunakan konsep tentang: early conception of morality, emotivism, parental influence, prescription, naturalistic views fortune, intuitionist, use of reciprocity dan peer- group influences. Temuan dari penelitian ini adalah adanya kontradiksi antara ajaran moralitas dan realitas kehidupan memunculkan konflik teologis dalam diri tokoh Antonio. Kata Kunci: moralitas, konflik teologi, dan Katolikisme. I.
INTRODUCTION
This research explored the relationship between the teaching of morality and the theological conflicts experienced by Antonio Marez, six-year old boy, the main character of a novel, Bless Me, Ultima written by Rudolfo A. Anaya. Antonio gets The teachings of morality from: his parents, father Byrnes at the church, and his friend as a peer group. The theological conflicts he confronted caused by the contradictions between the teaching or morality and the reality he witnessed.
This novel is about the social-psychological maturation of a Chicano (Mexican-American) boy living in the eastern plains of New Mexico during the 1940s. Antonio Marez is preoccupied with an anxious about attending school and having to be separated with his mother. His mother’s desire is, that Antonio should become a priest to a community of farmers, where his family lives. At the same time, Antonio is concerned realizing the desire that stems from his paternal lineage that makes him very confused because there are
53
some
contradictions
in
the
teaching
(http://www.cliffsnotes.com/study_guide/literature/bless-me-ultima.html).
Antonio is nearly at the point of starting religious study for his first holy communion and is becoming concerned with good and evil in the world. He concerns intensify and become woven together as he struggles to understand the events surrounding his life. The events of Antonio’s young life are violent and incomprehensible, three violent deaths, diabolic possessions, his brothers’ moral collapse, cruelty and bigotry in his childhood friends.
He witnesses the killing of Lupito, a war veteran and fears that his father may be punished by God for being with the men who killed Lupito. He also witnesses the death and the tragedies that happened to his best friends. He becomes preoccupied with questions about his destiny, life and death, and good and evil. Through each shattering event Antonio is accompanied by the wise and tender force of Ultima. She blesses him with a vision of life neither Christian nor pagan, but a melding of both (Wood, 1973: 22).
Ultima is a folk healer that lives with his family and conveys an indigenous viewpoint to him that provides guidance when he loses confidence in parental viewpoints and the teachings of the Church. Ultima tells him the stories and legends of his ancestors, and he comes to understand how the history of his people stirs his blood. Through Ultima, he learns and develops a new relation with nature. This relationship opens him to the contemplation of the possibility of other gods.
Antonio learns there are powers in the world that differ from those honored by the Catholic faith. Later he begins to understand the world differently; he learns to overcome his fears, to understand himself and the world around him better, he learns to accept life and the many challenges around him.
This novel shows us individual learns about good and evil relating to the ideas of theological faith and morality. In this research I will try to analyze the influence of morality education that Antonio learns from his surroundings – parents, Ultima, and his childhood friends – towards theological conflict he confronts.
54
A. Book Review
Conducting this research, I need some literatures to learn some information from articles to support my study and to expose that my research is written through different approach. Scott Wood in “Book Review: ‘Bless Me, Ultima’” in America (1973) describes that Anaya entered the literary scene in 1972 with his first novel, Bless Me, Ultima, and critics acclaimed his skillful use of metaphor and narrative technique. He enriches his work with religion (specially the conflict between modern European-Catholic culture and the ancient paganism), dreams, and Spanish-American legends and folklore. Critics praise and recognize him as an author with wide appeal to American readers.
David Krech and Richard S. crutchfield in Elements of Psychology., (1974) describe that one possible approach to the field of social psychology is to analyze today’s social scene; specifically, we might focus on the many current, bothersome social problems that confront our society. War, crime in the street, theological differences violence, ethics in social lives – all these are certainly issues confronting the “individual in society”.
Krech and Richard S. crutchfield continued that societies are judged according to the helping and hurting behavior of their members in much the same way as individuals are judged. Early conceptions of morality and views on the nurturing of moral behavior in children were often couched in religious terms. The other conception of morality tied religion to the power of rulers. Some philosophers accept the definition of morality that (1) system of morality deal with right ideals or principles of human conduct and (2) moral discourse – moral principles, judgments, admonitions – has a bearing on behavior; what is done may be in harmony or in conflict with what is said. How do parents structure their children’s moral development? Human infants become emotionally attached to any person who treats them regularly in a nurturant way. Consequently, about midway in the first year of life, children with nurturant parents typically have a strong emotional attachment to them. The parents’ presence and nurturance is highly rewarding and satisfying; their absence is unpleasant, even disturbing. The words, smiles, and gestures associated with their nurturance take on positive value for
55
the child, and scolding, frowning, tenseness that precede withdrawal of nurturance acquire negative value (Krech, 1974:73).
Young children are dependent on their parents and other family members for many things, including information about the world they live (Krech, 1974:762). By controlling a child’s information, parents can largely determine his specific beliefs and attitudes.
Alwi Shihab then stated that relating to the discussion about Catholicism, he will present the realm of religion in America. The development of religions in America has followed a pattern of similar to their development in all other regions of the world; they are always colored by geographic, economic, political, and historical contexts of the countries in which they reside (Shihab, 2011:25). Roman Catholicism was the first introduced in the Americas by the European immigrants from Portugal, Spain, and France by sending their Catholic missionaries.
According to Shihab, Americans present many paradoxes, in one hand, America is identified as a secular and materialistic country, the first country in history to establish a constitutional separation of church and state. On the other hand, there are most religious leaders in America and they become activists. Ultimately, religion is very important in the lives of Americans (Shihab, 2011:28). Civil Religion plays an important role in Americans lives. According to Bellah, Civil Religion refers to the religious definitions formulated by Rousseau. In describing the basic principles and dogmas of Civil Religion, Rousseau mentions, among other things, the following religious dimensions are: belief in God, belief in the Judgment Day, and belief in punishments and rewards (Shihab, 2011:33).
Based on the discussion with the students in class provided by the university, Shihab could see the varieties tendencies in their religious thinking. In general, he identified four groups among the US students, based on their attitudes: (1) a deeply committed group who tended to be rigid in their religious understanding, (2) a deeply committed group who tended to be flexible and open minded, (3) a group who tended to be critical, and (4) a group who tended to be cynical and unconcerned about religious commitment (Shihab, 2011:109).
56
B. Formulation of the Problem
Based on the introduction and book review above, the problem of this research, is there any relation between the teaching of morality and the theological conflict in the novel of Bless Me, Ultima? To get the answer of this question, I will take some steps stated on the purpose of the research.
C. The Purpose of the Research
Based on the formulation of research, the purpose of this research is to describe the relationship between the teaching morality and the theological conflict experienced by Antonio, using the method of phenomenological description. At this stage in the research the concept of morality and theological conflict will be defined generally as general definition of the central concept. Due to this purpose I will analyze the novel as follows: 1. To analyze the perception of Antonio about life and faith by using the concept teaching morality. 2. To analyze the influence and the impact of teaching morality toward Antonio’s theological conflict.
D. Theoretical Framework
Theories will be used in this research are morality and theological conflict. The theory of morality used here is the one by Piaget (1965) and Kohlberg (1969), covered: naturalistic views of fortune, intuitionist, use of reciprocity; and the theory that proposed by McGuire and Papageorgis (1961). Some other theories are: morality and religious term, emotivism, prescriptivism, use of punishment for restitution and reform, parental influence, peergroup influences. Relating to theological conflict, this novel is basically an account of Antonio’s psychological, vocational, religious or philosophical, and cultural struggle. Therefore, I use the theories of Catholicism and Calvinism.
In general, the young child focuses or, specific rules, obeying the letter of the law (which he can understand) more than the spirit of it (which he may not comprehend). She perceives rules as absolute. As she matures, however, the child begins to perceive that
57
rules are made by people for everyone’s convenience, that rules can be imperfect and in conflict with one another, and one must decide herself what rules she regards as being for the general good. Nevertheles, progress in morality may be subject to specific training experiences (Krech, 1974:738).
Catholicism so threatened the power of the Church of England that church attendance on Sundays and Holy Days was compulsory (Krech, 1974:734). While Calvinism taught that children were born with an inheritance of sin and wickedness; consequently they were in the same danger of hell at the most hardened adult sinner. From this state they could only be saved by conviction of sin and personal convention. This resulted in religious pressures on the child which were wholly abnormal. Treated as little adults, they subjected to the same religious pressures, disciplines and experiences as adults. For parents who accepted Calvinist views there was the greatest incentive to start the religious instruction of their children at the first possible moment. As John Cotton advised, “These babes are flexible and easily bowed, it is far more easy to train them up to good things now, than in their youth and riper years.” Moreover, godly parents were haunted by the unpalatable belief that “children are not too little to die, they are not to little to go to hell.” (Krech, 1974:734). It is not surprising that they devoted as much thought to the spiritual upbringing of their children as conscientious parents spend today on health and general personality development.
One may well ask how children responded to religious appeal which did not differ to young or old; in which, the catechism class apart, no attempt was made to give religious instruction that the child could understand. One child, “mightily awakened” between eight and nine years of age, “spent a large part of the night in weeping and praying, and could scarce take any rest day or night for some time together, desiring with all her soul to escape for the everlasting flames (Krech, 1974:734).
Horrifying, amusing or simply incredible tough such tales seem to us now, that the seventeenth century was an age in which precocity was fostered; a period when children, urged by parents all too mindful of the brevity of life and fearful that they themselves might die before their sons and daughters were equipped for the responsibilities of the
58
adult world, sometimes achieved feats of learning which would now be remarkable in children more than twice their age (Krech, 1974:734).
It may seem to us now that such a religious training as this must have been oppressive to those for whom it was designed, but in the eighteen, as in the sixteenth century and seventeenth century, religion was not intended to “lift the spirit” but to concentrate the heart and mind on the nature of man’s relationship to God. It may appear to have placed excessive emphasis on the negative aspects of the relationship, yet the positive advantages of contemporary religious training of building up character and of instilling a profound sense of social and moral obligation should not be lightly dismissed (Krech, 1974:734).
E. Method of Research
This research used qualitative paradigm and phenomenological design applied on fictional work, providing steps as follows: read the transcriptions carefully, make a list of topics, choose the most interesting topic, find the most descriptive wording for my topics and turn them in categories and assemble the data material belonging to each category (Creswell, 1994:155).
II.
FINDINGS AND DISCUSSION
The results presented here are the reflections of theories of morality and theological conflict as the theme of this novel. Before Antonio having the experience of theological conflict, he is influenced by the teachings of his mother, father, friends, and finally Ultima. Those influences are the reflections of morality theories.
A.
The Reflection of Morality Theory
The analysis of this novel revealed the theory of morality. This revelation known as we learn Antonio’s experience during his life. Firstly, Antonio is much more influenced by his mother who is strictly religious; she desires him to be a priest of the farmers in his land. Secondly, he is also influenced by his father who wants him to follow his steps. Thirdly, he
59
witnesses the events when the Marez visit the house of Rosie. Finally, he is tempted by the teaching of Ultima.
1.
Couching of Religious Term by Father Byrnes
Early conceptions of morality and views on the nurturing of moral behavior in children were often couched in religious terms (Krech, 1974:733). The religious term here was proposed by Antonio’s mother and father Byrnes, the ministry of the church. According to the theory of emotivism, a moral judgment is any kind of command that is intended to lay down rules of behavior, rules must be obeyed. Moral behavior is that demonstrates intentional obedience to a set of formulated rules – if an adult commands a child never to steal and the child obeys without direct supervision. Emotivism provides no basis for distinguishing among moral, or gullible, or thoughtless, or blindly obedient behavior (Krech, 1974:735).
Calvinism taught that children were born with an inheritance of sin and wickedness; consequently they were in the same danger of hell at the most hardened adult sinner. From this state they could only be saved by conviction of sin and personal convention. This resulted in religious pressures on the child which were wholly abnormal. Treated as little adults, they subjected to the same religious pressures, disciplines and experiences as adults. For parents who accepted Calvinist views there was the greatest incentive to start the religious instruction of their children at the first possible moment. As John Cotton advised, “These babes are flexible and easily bowed, it is far more easy to train them up to good things now, than in their youth and riper years.” Moreover, godly parents were haunted by the unpalatable belief that “children are not too little to die, they are not to little to go to hell.” (Krech, 1974:734). It is not surprising that they devoted as much thought to the spiritual upbringing of their children as conscientious parents spend today on health and general personality development.
One may well ask how children responded to religious appeal which did not differ to young or old; in which, the catechism class apart, no attempt was made to give religious instruction that the child could understand. One child, “mightily awakened” between eight and nine years of age, “spent a large part of the night in weeping and praying, and could
60
scarce take any rest day or night for some time together, desiring with all her soul to escape for the everlasting flames (Krech, 1974:734).
It may seem to us now that such a religious training as this must have been oppressive to those for whom it was designed, but in the eighteen, as in the sixteenth century and seventeenth century, religion was not intended to “lift the spirit” but to concentrate the heart and mind on the nature of man’s relationship to God. It may appear to have placed excessive emphasis on the negative aspects of the relationship, yet the positive advantages of contemporary religious training of building up character and of instilling a profound sense of social and moral obligation should not be lightly dismissed (Krech, 1974:734).
The quotations below show that Antonio follows father Byrnes prayers in the church. The teachings Antonio learns from father Byrnes are really frightening as father Byrnes always talking about sin, punishment, and hell (Anaya, 1972: 191).
Horrifying, amusing or simply incredible tough such tales seem to us now, that the seventeenth century was an age in which precocity was fostered; a period when children, urged by parents all too mindful of the brevity of life and fearful that they themselves might die before their sons and daughters were equipped for the responsibilities of the adult world, sometimes achieved feats of learning which would now be remarkable in children more than twice their age (Krech, 1974:734). Father Byrnes continued his prayers by saying how long men’s soul will be burning in the hell if men die with mortal sins (Anaya, 1972: 191).
2.
Emotivism and Parental Influence by Antonio’s Mother
Through the quotations below, we can find that Antonio is much attached to her mother’s faith. He always obeys to say prayers until makes him fed-up and all of his sisters felt asleep (Anaya, 1972: 57) and his father complained that they have prayed (Anaya, 1972: 58).
61
3.
Prescriptivism and Parental Influence by Antonio’s Father
Antonio is torn between maternal force; the earth, Catholic ritual, family ties; and the opposing powers: the dream of nomadic liberation. His mother would have him a priest. But Antonio has the blood of the Marez, of the changing and inconstant sea – he cannot embrace the Catholic faith without struggle and ambivalence.
Parents who present their ideologies to their children but who also encourage their children to seek and consider opposing ideas and attitudes may actually reinforce their own ideas by unwittingly inoculating their children against other ideologies. Below is the reflection of his father’s influence how to face our life and how to be grown up (Krech, 1974:763). According to the theory of prescriptivism that emphasizes reasoning and emotion and persuasion, moral statement should guide and prescribe rather than influence behavior. Such statements must appear rational and should be buttressed with reasonable explanation. It would be based on certain reasonable principles about how to treat others and would set guidelines for the consistent application of these principles
(Krech,
1974:735). Antonio’s father teaches that a man should be independent, free, and self-reliant; otherwise he will destroy himself. The dependant man is weak and easily ruined. His father also explains reasonable and persuasive teaching rather than influenced behavior
(Anaya,
1972: 185). Antonio’s father thinks that his son is badly spoilt by his mother, so he is very happy knowing his son will be away from the mother during summer time (Anaya, 1972: 235). Antonio thinks what his father says make sense but he doesn’t understand why father sends him to her mother’s brothers, as his parents have different cultures. Finally, father explains that he and his wife have been odds all of their lives, but they can live happily because they give up old differences (Anaya, 1972: 235).
62
B.
Antonio’s Theological Conflict
What Antonio learns from his parents and father Byrnes doesn’t meet the reality of life he witnesses. The events of Antonio’s young life are violent and incomprehensible; three violent deaths, his brothers’ moral collapse, cruelty and bigotry in his childhood friends. He believes that accidents and misfortunes are the punishment from God as the theory of naturalistic says.
1.
The Theory of Naturalistic Views of Fortune
The theory of naturalistic views of fortune: children under about eight years of age tend to view accidents and misfortunes as punishment willed by God or some omnipotent force. Other children are able to differentiate punishment from natural misfortune
(Krech,
1974:738). In this novel Tony believes that God will punish and never forgive the sinners (Anaya, 1972: 26). He casts them in the burning pit of hell where they burn for eternity (Anaya, 1972: 130).
2.
The Intuitionist Theory
The intuitionist theory of morality hold that people know intuitively what good morality is; beyond this appeal to intuition it provides no rational basis for determining what is moral. Intuitionism would have great difficulty in accounting for the differences among societies and even among individuals within a given society in what considered moral (Krech, 1974:733). Antonio cannot accept that the Marez (his father and brothers) visit to the house of Rosie and their activity there is morally wrong (Anaya, 1972: 156).
3.
Peer-Group Influences
The extent to which peer groups change a person’s attitudes depends on many factors, including the extent to which the peer group’s attitudes differ from those of the child’s parents, the intensity and duration of his exposure to the group, and the extent to which he previously has had an opportunity to examine opposing ideas (inoculation) (Krech, 1974:763). Antonio mixes with his group of boys who become his friends. Their language
63
reflects the youngsters’ spontaneity, restlessness, frankness, and sometimes coarse and vulgar behavior, as the quotations below:
a. Life Is Full of Miseries Antonio’s confusion getting raised when he listened to his friend, Florence, telling him about his family’s fate, his mother died when he was three, his father drank himself to death, his sisters are whores at the Rosie’s place. “how can God let this happen to a kid. I never ask to be born. But he gives me birth, a soul, and puts me here to punish me. Why? What did I ever do to Him to deserve this, huh? (Anaya, 1972: 188).
Florence expresses his perception about God, he cannot understand why God gives bad fortunes to him and his family just to test whether they are good Catholic (Anaya, 1972: 188).
b. Is There Another God?
Confronting the reality of life and the teaching of morality he gets, Antonio begins to ask the existence of God and he wondered if God is there (Anaya, 1972: 130). Antonio and his friend, Cico considers to regard the golden carp as a new god as the God of church has never been able to make them happy and says that Tony has to choose between God of the church or the beauty that is there (Anaya, 1973:227). Antonio’s struggle to find solution the conflict of his reasoning and emotion facing this desperate life (Anaya, 1972: 185).
4. The Theory of Use of Reciprocity
The theory of use of reciprocity: many children under the age of twelve or so seem to lack the ability to put themselves in the place of others. They act solely in terms of their own feeling and needs and cannot understand what motivates others to act as they do. Such children are prone to acts of retaliation and reciprocity when injured by another – a hairpull for a hair-pull, for example. Other children show forgiving (Krech, 1974:738). This
64
theory reflected when Antonio and Florence, his best friend, face to face with other children involved in terrible fighting when the children are trying to defend the belief of Christianity (Anaya, 1972: 205).
5. The Use of Punishment for Restitution and Reform
The theory of use of punishment for restitution and reform: young children tend to assume that doers of harmful deeds should be punished severely. Other children favor milder punishment that are designed to restore to the victim his rightful claims and to reform the wrongdoer (Krech, 1974:738). The Protestant reformer John Calvin (1509-1564) preached that, since man’s fate in God’s hand, we should devote our energy to self-denying work and worship, transforming the world into a better place while awaiting the Judgment Day; thus were sanctified the work and worship ethics. We can see how Antonio’s perception about wrong doings and punishment (Anaya, 1972: 187-8)..
From the analysis of morality teachings and theological conflicts we may learn that Antonio has some perceptions about God, life, good and evil. The visionary mode, with its confusions, chaos, and conflicts, leaves him with a sense of fear and mystery about life and the cosmos. There is a direction in his life that will move farther and farther away from his Christian teachings.
III. CONCLUSION
The conclusion of this research, Antonio is searching for models to follow as he embarks on a quest for his destiny. To a great extent, he is passive spectator of events rather than a person of action. Due to his incapacity to understand the world around him, he serves as an instrument of fate and other’s wishes. In the end, he discovers that the world is incredibly complex and life is immensely difficult until he has the experience of theological conflict. The theological conflict of Antonio has the same nuance as the student’s discussion about religion in America, when one of the students, Tamara rejected the critique that God allows the spread of violence on the earth (Shihab, 2011:114). If God is All Powerful, why didn’t he do anything to stop the suffering of those who follow God’s teaching? Henry’s thought:
65
“If God is all merciful, why must He allow this tragedy and disaster to continue?” (Shihab, 2011:117). For Josh, “Religion is like a poem. Every reader has his own interpretation.” (Shihab, 2011:117) “Maybe I’m wrong, but I’m fed up with religious discussion. Because I never get a straight answer, it just adds to my confusion”, said Josh (Shihab, 2011:115). Yet, Liz also said, “If you are going to believe in one religion, that is fine, but do not let that close your mind to other ideas.” (Shihab, 2011:116) The deeply committed says, during difficult times in his life, he has always God’s presence within him. God gave us brain, so he thinks we should use in all aspects of life, including religion. God can do pretty much whatever He wants; remember, He is God.” (Shihab, 2011:113). …
BIBLIOGRAPHY
Anaya, Rudolfo A. 1972. Bless Me, Ultima. Library of Congress-in- Publication Data. Creswell, John W. 1994. Research Design – Qualitative and Quantitaive Approaches. London. Sage Publications Ltd. Krech, David and Richard S. crutchfield. 1974. Elements of Psychology. New York. Alfred A.Knopf. Shihab, Alwi. 2011. Examining Islam in the West – Addressing Accusations and Correcting
Misconceptions.
Jakarta.
PT.
Gramedia
Pustaka
Utama
Publishing. Wood, Scott. 1973. Book Reviews: “Bless Me, ultima”, in America, America Press,Inc. (http://www.cliffsnotes.com/study_guide/literature/bless-me-ultima.html).
66
REFLEKSI NALURI KEMATIAN PENYAIR EMILY DICKINSON DALAM 5 PUISI KARYANYA Agustinus Hariyana Sastra Inggris – Fakultas Sastra (
[email protected]) ABSTRACT One of the favorite diction in Emily Dickinson of her hundreds poem is ‘death’. some critics have been trying to find out the reason behind this matter sociologically or philosophically. However, there is not enough discussion in relation with ‘death wish’ concept taken from pschilogical approach. This research tries to find out if there is close relationship between the choosing of ‘death’ diction and the life of the poet. Moreover it tries to relate the finding with ‘death wish’ concept suggested by Sigmund Freud. Descriptively this research will elaborate the result of the analysis of 5 chosen poems with Emily Dickinson life. The result shows that there is a close relationship between the poem and the life of the poet in relation with death wish concept. “Death” and the other relevan meaning reflects about Dickinson’s miserable experiences. Keywords: naluri kematian, Emily Dickinson, Sigmund Freud, puisi, pendekatan psikologi. PENDAHULUAN
Membaca konsep tentang naluri yang dikemukakan oleh Sigmund Freud ternyata mengasyikkan sekaligus menakutkan. Mengasyikkan karena dalam kehidupan nyata banyak kegiatan sehari-hari merupakan ungkapan atas alam bawah sadar manusia yang selama ini tidak diketahui. Menakutkan karena berdasarkan salah satu konsep naluri, yakni naluri kematian, banyak kegiatan yang bernuansa merusak baik diri maupun apapun di luar diri seseorang, yang disebut sebagai thanatos ini. Naluri ini menurut Buol E Gilland merupakan dorongan atau energy yang mendorong secara organic dalam diri seseorang. Naluri terdiri atas dua kelompok yakni naluri kematian (thanatos) dan naluri kehidupan (eros) yang keduanya masuk dalam bagian id dari struktur kepribadian manusia. (Gilland, 1989:18) Naluri kematian ditandai dengan adanya hasrat merusak atau menghancurkan baik pada individu sendiri maupun terhadap orang lain. Freud jugamenteorikanbahwasetiap orang,
di
alamtaksadarnyya,
terdapatkeinginanuntukmati,
selaludirepresoleh ego (Koeswara, 1991: 36).
67
sebuahkeinginan
yang
Salah satu tema utama puisi-puisi Emily Dickinson adalah soal kematian (gradesaver.com). Penelitian ini berusaha mengungkapkan ragam strategi penyair mengungkapkan tentang kematian. Selain itu Dr S Coghill dalam lamannya mendapatkan 94 kosa kata ‘mati (die) disertai 141 kosata kata kematian (death). Dinyatakan bahwa puisi-puisi ini muncul diperkirakan akibat kematian dari orang-orang terdekatnya. Tema ini mengundang rasa penasaran untuk meneliti apakah tema kematian itumerupakan ungkapan naluri kematian sebagaimana diteorikan Sigmund Freud: 1. I heard a Fly buzz-when I died, 2. Because I could not stop for Death, 3. Death Is A Dialogue 4. My Life Closed Twice 5. I DIED For Beauty, But Was Scarce
Dalam penelitian ini penulis ingin menampilkan bagaimana konsep naluri kematian (death wish/death instinct) Sigmund Freud terungkap dalam 5 puisi di atas.
Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi masalah penelitian ini adalah, apakah makna puisi, bagaimana naluri kematian yang ada pada 5 puisi pilihan karya Emily Dickinson, dan bagaimana hubungan naluri kematian dengan biografi Emily Dickinson. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah: menganalisis naluri kematian yang ada pada 5 puisi pilihan karya Emily Dickinson, dan menghubungkan naluri kematian dengan biografi Emily Dickinson.
Serangkaian pencarian terhadap topik ini telah dilakukan oleh Buol E Gilland yang mengemukakan bahwa naluri kematian dorongan atau energy yang mendorong secara organic dalam diri seseorang. Naluri yang diteorikan oleh Sigmund Freud initerdiri atas dua kelompok yakni naluri kematian (thanatos) dan naluri kehidupan (eros) yang keduanya masuk dalam bagian id dari struktur kepribadian manusia.(Gilland, 1989:18)
Naluri
kematian ditandai dengan adanya hasrat merusak atau menghancurkan baikpada individu sendiri maupun terhadap orang lain. Freud juga menteorikan bahwa setiap orang, di alam taksadarnya, terdapat keinginan untuk mati, sebuah keinginan yang selalu direpres oleh ego Koeswara, 1991: 36). Secara lebih rinci berbagai tindakan yang mencerminkan adanya naluari kematian adalah Pengulangan kebiasaan, Eating disorder, senantiasa berjuang
68
untuk pemenuhan kebutuhan keuangan, berjuang mengatasi penyakit yang terus menerus, Workaholic, pekerjaan beresiko, pembebasan derita dengan ingin segera mati, mengucilkan diri, haus pujian. Begitu juga dengan sikap suka mengeluh, mengasingkan diri, dan juga cenderung memilih teman yang salah yang membawa kepada munculnya naluri kematian. Yang cukup mencengangkan adalah, ternyata sikap ‘haus pujian’ adalah bagian dari tindakan yang mengarah kepada naluri kematian.
Konsep di atas dan diperkaya dengan penjelasan yang tersebar secara online (terlampir) penulis akan mencari jawab apakah puisi-puisi terpilih Emily Dickinson mengungkapkan adanya naluri kematian.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : Secara keilmuan, bertjuan membuktikan bahwa konsep naluri kematian bisa digunakan untuk menganalisis puisi karya Emily Dickinson. Secara praktis, hasil analisis ini menjadi salah satu materi pengajaran Telaah Puisi mahasiswa Sastra Inggris. Selain itu secara umum diharapkan penelitian ini bisa menambah wawasan akan adanya naluri kematian pada setiap individu. Karena sifatnya merusak maka kalau mengetahui konsep dan bentuknya maka bisa dihindari atau dikurangi.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, karena objek penelitian berkenaan dengan data kualitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentukbentuk simbolik seperti pernyataan-pernyataan, tafsiran, tanggapan-tanggapan lisan harafiah. Dengan demikian hasil penelitian akan berupa kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan. Pengumpulan data dilakukan dengan menemukan data yang relevan. Dari data ini kemudian penulis menganalisis untuk membuat kesimpulan tentang pesan yang disampaikan oleh pengarang, bila dicermati secara psikologis (psikoanalisis).
A. Analisis Puisi Melalui Konsep Naluri Kematian
Lima puis berikut dipilih dari kumpulan puisi Emily Dickinson yang berbicara tentang kematian. Kriteria yang digunakan adalah masing-masing puisi mengungkapkan atau menggunakan kata ‘death’ dan sejenisnya.
69
I Heard A Fly Buzz
I heard a fly buzz when I died; The stillness round my form Was like the stillness in the air Between the heaves of storm. The eyes beside had wrung them dry, And breaths were gathering sure For that last onset, when the king Be witnessed in his power. I willed my keepsakes, signed away What portion of me I Could make assignable,-and then There interposed a fly, With blue, uncertain, stumbling buzz, Between the light and me; And then the windows failed, and then I could not see to see.
Secara metaforis narator menggambarkan saat ajal menjemput dimana semua diam kecuali lalat yang hidup. Gambaran ini menakutkan dimana dalam kematian namun dimunculkan kehidupan yang tak pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Penggambaran kebekuan (stillness) karena kesedihan atas kematian itu ikut menambah nuansa kematian. Keringnya air mata (wrung them dry) sebagai gambaran kesedihan semakin menegaskan kesedihan. Kesedihan yang terbalut kemuraman yang ada hanya untuk ‘menemani’ yang meninggal diambil oleh kekuatan yang membuatnya tidak bisa melihat lagi (not see to see).
Dengan mendayagunakan iambic trimeter dan tetrameter, rima ABCB perfect and half, dan gaya bahasa metafor mengeksplor dan sekaligus mempertontonkan secara naratif nuansa ketakutan, kesedihan, kebekuan, kematian, dan sekaligus keabadian (blue,
70
uncertain) yang dihiasi oleh selingan dengung lalat sebagai simbul satu-satunya kehidupan yang ada di ruangan.
Because I Could Not Stop For Death
Because I could not stop for Death, He kindly stopped for me; The carriage held but just ourselves And Immortality. We slowly drove, he knew no haste, And I had put away My labor, and my leisure too, For his civility. We passed the school, where children strove At recess, in the ring; We passed the fields of gazing grain, We passed the setting sun. Or rather, he passed us; The dews grew quivering and chill, For only gossamer my gown, My tippet only tulle. We paused before a house that seemed A swelling of the ground; The roof was scarcely visible, The cornice but a mound. Since then 'tis centuries, and yet each Feels shorter than the day I first surmised the horses' heads Were toward eternity.
Secara alegoris dan dalam puisi 6 stanza penyair menggambarkan bagaimana kematian yang tidak harus ditakutkan. Ketika tidak bisa menolak kehadirannya, maka sang kematian dengan lemah lembut akan menghampiri mereka yang akan mati. Dengan
71
rima ABCB, sang penyair menggambarkan, mau atau tidak mau ia harus meninggalkan segala hal kehidupan dan kegiatannya.
Kendati menghadapi sesuatu yang digambarkan secara lemah lembut namun kematian yang harus dialami. Pada akhir stanza sang penyair memberi gambaran kehidupan di depan yang menanti ( heads ..... were toward eternity). Puisi ber - iambic tremeter and tetrameter berbicara tentang kematiaan, keabadian, tinggalkan tugas keseharian, kesenangan, keabadian .
Death Is A Dialogue
Death is a Dialogue between The Spirit and the Dust. "Dissolve" says Death -- The Spirit "Sir I have another Trust" – Death doubts it -- Argues from the Ground – The Spirit turns away Just laying off for evidence An Overcoat of Clay.
Dalam puisi ini penyair menampilkan percakapan antara Roh dan Dust (kematian) sesudah seseorang meninggal, antara adanya keabadian dan ketidakabadian. Kematian dalam puisi dua stanza ini dipertegas dengan kata ‘dissolve’, bubar, terpisah, berantakan, keterpisahan. Di sisi lain keabadian digambarkan dengan pemilhan kata “trust”, keyakinan akan tidak adanya keterpisahan. Dengan pola baris iambic trimeter dan tetrameter penyair mengungkapkan ketidakpedulian Spirit terhadap kematian, yakin akan keabadian, bukan menjadi overcoat of clay yang secara manusia adalah ketakutan yang dihadapi manusia yang membuat depresi.
72
My Life Closed Twice
My life closed twice before its close;. It yet remains to see If Immortality unveil A third event to me, So huge, so hopeless to conceive, As these that twice befell. Parting is all we know of heaven, And all we need of hell.
Dalam dua stanza dengan pola iambic trimeter dan tetrameter narator ungkapkan tentang pederitaan yang sangat yang dihadapi narator. Puisi ini menggambarkan bagaimana kematian bisa terjadi sebleum kematian fisik. Keputusasaan, ketakutan akan kenyataan kehidupan bisa jadi menjadi penyebab kematian awal sebelum kematian yang sebenarnya. Namun demikian di balik ketakutan akan kematian itu narator mengungkapkan kemungkinan adanya keabadian, kendati harus melewati kejatuhan, perpisahan dan neraka karena perpisahan I DIED For Beauty, But Was Scarce I DIED for Beauty, but was scarce Adjusted in the tomb When one who died for truth was lain In adjoining room He questioned softly why I failed? “For Beauty,” I replied “And I for Truth,--- the two are one, We brethren are,” he said And so, as kinsmen met at night, We talked between the rooms, Until the moss had reached our lips, And covered up our names
73
Secara metaforis narator berbicara tentang ketidakmampuannya beradaptasi dengan kematian hingga berbocara dengan seorang yang mati di sampingnya. Dengan pola baris iambic trimeter dan tetrameter narator menggambarkan penyebab kematian yang berbeda, for Beauty dan for Truth. Kendati berbeda namun dalam kematian mereka disetarakan, dipersaudarakan selama-lamanya (sampai bibir terbalut lumut, dan jati diri ‘nisan’ tertutup pula. Narator menggambarkan bagaimana seseorang melakukan tindakan berisiko demi keabadian meski dirasuki ketidakberdayaan dan hilang jatidiri.
Dari hasil analisis naratif terhadap 5 puisi di atas terlihat bahwa melalui sudut pandang konsep kematian, semua puisi mengungkapkan tentang kematian, baik secara diungkapkan secara menyeramkan maupun secara halus, metaforis.
Guna memudahkan menarik hubungan antara hasil analisis puisi dengan riwayat kehidupan penyair maka secara tabulasi ditampilkan kronologi kehilangan orang-orang terdekat penyair. Data isian ini diambil dari berbagai sumber yang didapatkan di media online dan referensi seperti tercantum dalam daftar pustaka. Tahun penting 1848 1850 1851 -1854 1855 1860 1874 1875
Orang dekat Benjamin Newton Leonard Humphrey 33 teman
Status hubungan F Tutor - master
1884 1883 1886
Dickinson
1882 1882
Kepala sekolah Mendadak Teman dekat
Dampak bagi Penyair Memicu menggantikan jadi penyair Sangat depresi – teman pada pergi Depresi
Bapaknya Ibunya
Tidak dijelaskan Mulai sakitsakitan Teman 16 tahun stroke Lumpuh
Pembimbing Ibunya
Sakit Sakit
Kesedihan Depresi
Sahabat dekat Keponakan dekat
Typhoid
Latest lost Kesedihan
Kidney
Deepening manace
Emily Norcross Ibu Dickinson Carlo Peliharaan Edaward Dick Emily Norcross Dickinson Charles W Emily Norcross Dickinson Jugde Lord Gilbert
Penyebab kematian Mendadak
74
Menjadi perawat bersama saudarinya Mengurung diri Menjadi perawatnya
Tabulasi di atas memperlihatkan bagaimana serangkaian perpisahan dengan orang-orang terdekat Emily Dickinson. Menurut Supratiknyo dalam bukunya “Abnormal”, secara psikologis, kehilangan orang-orang tercinta (dekat), bisa menyebabkan depresi. Depresi sesaat dianggap wajar, tetapi sebaliknya depresi yang berkepanjangan bisa dikategorikan sebagai tidak wajar, abnormal. Salah satu ulasan yang ditulis sparknotes adalah, perpisahan dengan orang tercinta itu membuat Emily Dickinson:
Cause severe headache, nausea, deathbed coma, raspy difficult breathing, Heart failure, high blood pressure,Reclusiveness, not admit him to take pulse So – became Bright’s Disease – hypertensive symptoms, kidney.
Mulai umur belasan tahun Emily Dickinson yang lahir pada tahun 1830 telah mengalami serangkaian perpisahan dengan orang-orang tercinta. Ketika menghadapi perpisahan itu, ia mengalami depresi yang bahkan ada yang berkepanjangan. Ia mengisolasikan diri di dalam kamar. Bahkan ketika menerima tamu, ia tetap di dalam kamar. Ia berbicara melalui jendela saja. Selain perpisahan ia juga menghadapi tantangan yang bertahan lama yakni merawat ibunya yang sakit.
KESIMPULAN
Setelah menganalisis puisi dan menghubungkannya dengan konsep naluri kematian dan juga dengan perjalanan hidup sang penyair, saya berkesimpulan bahwa lima puisi Emily Dickinson pilihan yang bertemakan kematian merefleksikan naluri kematian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud. Naluri itu ada hubungannya dengan kehidupan penyair yang kehilangan orang-orang tercintanya akibat kematian. Pengalaman kehilangan itu ternyata mempengaruhi kehidupannya. Puisi-puisi karyanya menjadi media pengungkapan naluri itu. Dan ini merupakan refleksi kehidupan penyair sendiri.
Lima puisi pilihan ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak puisnya yang menggunakan diksi ‘kematian’. Oleh sebab itu penelitian lanjut terhadap puisi bertema sama bisa menjadi sarana pengujian ulang terhadap hasil penelitian ini.
75
DAFTAR PUSTAKA Three Series, Complete” Project Gutenberg Ebook pada Mei 2004 Allen, R. C 2007 Emily Dickinson: Accidental Buddhist. Victoria, BC: Trafford, from http://marinagraphy.com/dickinson-female-power-voice/ Dickinson and the Boundaries of Feminist Theory. Copyright © 1991 by the Board of Trustees of the University of Illinois. Feminism in Literature, ©2005 Gale Cengage. All Rights Reserved.Full copyright. From http://www.enotes.com/emily-dickinson-essays/dickinson-emily Marina DelVecchio .2010. http://www.studentpulse.com/articles/569/emily-dickinsonsmylife-had-stood-a-loaded-gun--revealing-the-power-of-a-womans-words Michael Mathews .2013. Feminist Argument: Emily Dickinson's Portrayal of Women in Society
from
http://voices.yahoo.com/feminist-argument-emily-dickinsons-
portrayalwomen-41605.html Reaske, Christopher Russell. 1966. How to Analyze Poetry. USA: Monarch University Siswantoro.2010. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar http://www.sparknotes.com/biography/dickinson/section8.rhtml accesed May 30 2013
76
PENERAPAN STRATEGI PROCESS-BASED DAN PRODUCT-BASED PADA PENGAJARAN KOMPOSISI Apriliya Dwi Prihatiningtyas Jurusan Bahasa dan Sastra Cina - Fakultas Sastra
[email protected]
ABSTRAK Penerapan ancangan berbasis proses dan produk ini dilakukan untuk melihat strategi yang efektif dalam membantu mahasiswa mengembangkan gagasan saat menulis komposisi, dalam hal ini sebuah ulasan yang baik yang mampu dipahami khalayak pembacanya. Strategi ini juga untuk melihat perkembangan kemampuan menulis mahasiswa sesuai dengan karakternya masing-masing. Dengan membagi kelas menjadi dua kelompok berdasarkan keseimbangan kemampuan, pengajar dapat mencermati perkembangan kemampuan mahasiswa dalam menulis ulasan yang baik. Sebelum evaluasi berjangka pertama (Ujian Tengah Semester) pada kelompok pertama diberlakukan strategi productbased sementara pada kelompok kedua diterapkan strategi process-based. Setelah evaluasi berjangka yang pertama (Ujian Tengah Semester), strategi ini dipertukarkan hingga evaluasi berjangka yang kedua (Ujian Akhir Semester). Dari hasil evaluasi berjangka ini terlihat bahwa strategi process-based lebih efektif dan terbukti lebih disukai dalam pengajaran menulis komposisi. Tulisan mereka lebih fokus dan cermat serta terarah. Mereka juga lebih leluasa mengembangkan gagasannya dalam menulis. Sementara strategi product-based membuat mahasiswa tergantung pada contoh sehingga tidak leluasa menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Dari hasil analisis daftar tanyaan terlihat bahwa sebagian besar mahasiswa mendapat pengetahuan lebih dalam menulis menggunakan ancangan berbasis proses, sebagian yang lain justru merasa terbebani. Sebagian kecil dari mereka menikmati menulis menggunakan ancangan berbasis produk, sementara yang lainnya merasa sulit mengembangkan gagasannya. Namun demikian, ada juga dari mereka yang merasa kedua strategi ini sangat membantu mereka untuk menulis bentuk tulisan tertentu sesuai kebutuhan. Kata kunci:
process-based, product-based, strategi, efektif, komposisi.
PENDAHULUAN
Menulis adalah salah satu ketrampilan yang disasar dalam pengajaran bahasa asing. Dalam pengajaran bahasa Cina dikenal pelajaran menulis aksara, menulis surat dan menulis sebuah komposisi. Pada pengajaran menulis komposisi atau xiezuo biasanya pembelajar kesulitan menyusun sebuah kerangka gagasan dan mengembangkan gagasan yang dipilihnya berdasarkan tema yang diberikan pengajar. Hal ini diketahui dari hasil tulisan pembelajar pada semester sebelumnya. Sebagian pembelajar mampu menyampaikan gagasannya dalam bentuk tulisan yang baik, namun sebagian yang lain selalu merasa tak 77
ada lagi yang mampu disampaikannya. Penjelasan pengajar mengenai strategi menulis komposisi terkadang dapat dipahami beberapa pembelajar, sebagian lagi tetap saja menemui kesulitan bahkan dalam menyusun sebuah kerangka gagasan sederhana. Perlu strategi yang efektif yang dapat diterapkan dalam pengajaran menulis komposisi agar pembelajar dapat mengembangkan gagasannya sehingga mampu menulis sebuah komposisi yang layak baca.
TINJAUAN PUSTAKA
Jordan (2003:165) mendefinisikan product approach atau ancangan produk sebagai model yang disediakan pengajar untuk memberi inspirasi kepada pembelajar agar mampu membuat tulisan serupa dengan model. Ancangan produk ini biasanya dikombinasikan dengan ancangan fungsional yang dikenal sebagai functional-product approach. Gabungan ancangan ini banyak digunakan dalam pengajaran menulis komposisi karena lebih sesuai dengan kebutuhan. Oleh karena itu, buku ajar yang menggunakan ancangan produk biasanya akan terdapat banyak contoh tulisan yang dapat dijadikan model oleh pembelajar. Dari model ini, pembelajar dapat mencermati struktur tulisan, keterkaitan gagasan antar kalimat dan paragraf, beragam aspek gramatikal, pilihan kata, dan gaya penulisan. Di sisi lain Marahimin (1994:10-11) menyampaikan strategi product-based ini dengan nama copy the master yang maknanya setara dengan definisi yang disampaikan Jordan yakni memberikan model yang dapat ditiru agar pembelajar dapat menghasilkan tulisan serupa dengan model.
Serupa di sini bukanlah menjiplak atau membajak, namun meniru
kerangkanya, atau idenya, atau cara dan teknik, atau bisa gaya tulisannya. Jordan (2003:167) dan Tribble (1996:37) juga mengusung strategi process-based yang menitikberatkan kemampuan menulis komposisi pada proses menulisnya. Menurut Jordan strategi ini lebih learner-centered karena dapat membangkitkan rasa tanggung jawab pembelajar terhadap tulisannya. Dengan kata lain, pembelajar dapat mengontrol perkembangannya sendiri berdasarkan tahapan yang telah dilakukannya. Pembelajar juga dapat lebih leluasa mengembangkan gagasannya yang dipilihnya sehingga lebih terlihat gaya dan karakter menulisnya. Strategi ini juga mempermudah pengajar memberi masukan berdasarkan tahapan yang disampaikan sebelumnya. Tribble menekankan pada prinsip membangun kreativitas dan tulisan yang tak terduga. Menurutnya, strategi ini mampu membuat pembelajar lebih mengenali karakternya sehingga mampu menggali gagasan78
gagasan rinci yang dapat disampaikan dalam tulisan yang dipahami khalayak. Penahapan yang digagas Tribble adalah: 1. Prewriting/pramenulis: menyusun kerangka gagasan; 2. Composing/menulis: mengembangkan gagasan berdasarkan kerangka gagasan; 3. Revising/merevisi: meninjau kembali struktur tulisan, memberikan penekanan pada gagasan tertentu, menunjukkan fokus informasi, menyesuaikan gaya khalayak pembaca; 4. Editing/mengedit: mengecek ketepatan tata bahasa, leksis, ejaan, pilihan kata, acuan informasi.
Perbaikan berupa penambahan atau pengurangan dapat dilakukan di setiap tahap sehingga gagasan dapat semakin rinci dan fokus.
TUJUAN PENELITIAN
Melalui penelitian kecil berbasis kelas ini diharapkan pengajar dapat menemukan strategi yang lebih efektif dalam pengajaran menulis komposisi sehingga pembelajar dapat menulis sebuah komposisi dalam hal ini sebuah ulasan yang baik yang mampu dipahami khalayak pembacanya. Sejalan dengan ini, pengajar juga dapat membantu pembelajar menyusun kerangka dan mengembangkan gagasan dalam menulis komposisi yang layak baca. Penelitian ini juga membuat pembelajar dapat meningkatkan kemampuan menulisnya sesuai dengan karakternya masing-masing.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yakni dengan membagi kelas menjadi dua kelompok pembelajar. Pembagian kelompok dilakukan berdasarkan keseimbangan kemampuan. Artinya dalam kedua kelompok tersebut terdapat pembelajar yang memiliki kemampuan menulis yang baik dan juga sebaliknya. Kedua kategori ini dipilih berdasarkan kemampuan pembelajar semester sebelumnya. Pada kelompok pertama akan diberlakukan strategi product-based sementara pada kelompok kedua akan diterapkan strategi processbased. Setelah evaluasi berjangka yang pertama (Ujian Tengah Semester), strategi ini akan dipertukarkan hingga evaluasi berjangka yang kedua (Ujian Akhir Semester). Dari hasil 79
evaluasi berjangka ini akan terlihat strategi mana yang lebih efektif dalam pengajaran menulis komposisi dalam hal ini ulasan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa kelas komposisi bahasa Mandarin semester enam universitas ini sebanyak 14 orang dengan rincian sepuluh orang adalah mahasiswa reguler pagi dan empat orang mahasiswa lanjutan. Pengajar membagi kelas menjadi dua kelompok. Pembagian kelompok dilakukan berdasarkan keseimbangan kemampuan. Artinya dalam kedua kelompok tersebut terdapat mahasiswa yang memiliki kemampuan menulis yang baik dan juga sebaliknya. Kedua kategori ini dipilih berdasarkan kemampuan mereka semester sebelumnya. Pada kelompok pertama akan diberlakukan strategi productbased sementara pada kelompok kedua akan diterapkan strategi process-based. Setelah evaluasi berjangka yang pertama (Ujian Tengah Semester), strategi ini akan dipertukarkan hingga evaluasi berjangka yang kedua (Ujian Akhir Semester). Pengajar akan menilai perkembangan kemampuan menulis mereka melalui tulisan yang mereka hasilkan sebelum evaluasi berjangka pertama, tulisan pada Ujian Tengah Semester, tulisan setelah Ujian Tengah Semester dan tulisan pada Ujian Akhir Semester. Pengajar menggali opini mahasiswa melalui isian daftar tanyaan yang diberikan kepada mahasiswa setelah masa perkuliahan selesai. Hasil penilaian ini kemudian dianalisis untuk mengetahui strategi yang lebih efektif dalam menulis sebuah komposisi yang layak baca dan pendapat mereka mengenai terbantu atau tidaknya mereka dalam menulis sebuah komposisi yang layak baca dengan menerapkan strategi ini dalam proses menulis.
Dari hasil penilaian tulisan yang mereka hasilkan dan isian daftar tanyaan dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Masa Pra-Ujian Tengah Semester: 1) Kelompok A (berbasis proses) Sebagian besar mahasiswa mampu membuat kerangka gagasan dengan cermat dan lebih spesifik dalam menyampaikan gagasan. 2) Kelompok B (berbasis hasil) Sebagian besar mahasiswa mencari gagasan yang serupa dengan model dan menilai sesuatu seperti yang dilakukan penulis model
2. Hasil Ujian Tengah Semester: 80
1) Kelompok A sebagian besar mahasiswa menyampaikan gagasannya secara singkat dan cermat, namun kesimpulan yang ditulisnya tak menyeluruh. 2) Kelompok B sebagian besar mahasiswa mampu menuangkan gagasan dengan jelas dan menyimpulkannya dengan baik, namun gagasan yang disampaikan tidak runut.
3. Masa Pasca-Ujian Tengah Semester: 1) Kelompok A (berbasis hasil) Sebagian besar mahasiswa bingung mencari fokus penilaian, akibatnya mereka menulis seperti model. 2) Kelompok B (berbasis proses) Sebagian mahasiswa mampu menyusun kerangka gagasan dengan cermat, namun sebagian yang lain bingung menentukan topik.
4. Hasil Ujian Akhir Semester: 1) Kelompok A Sebagian besar mahasiswa tidak rinci dalam menuangkan gagasannya, namun hasil tulisan mereka terarah dan berpotensi menilai sesuatu dengan cermat. 2) Kelompok B Sebagian besar mahasiswa tidak rinci dalam menuangkan gagasannya sehingga penilaian mereka terhadap obyek menjadi kurang fokus, namun jika diarahkan tulisan mereka akan baik.
5. Dari hasil isian daftar tanyaan dapat dilihat bahwa bagi mahasiswa: 1) Ancangan berbasis proses membantu mereka memilih topik sesuai karakter sehingga
mempermudah
mereka
menyusun
sebuah
komposisi
karena
penahapannya membantu mengembangkan gagasan yang akan ditulisnya. Meskipun mereka tetap merasa terbebani karena untuk mereka ini sulit, namun mereka puas karena memahami proses menulis yang benar. 2) Ancangan berbasis hasil membuat mereka bingung saat memilih topik sehingga mempersulit mereka saat menyusun sebuah komposisi. Hal inilah yang membuatmereka terbebani. Meskipun demikian, ancangan ini menginspirasi mereka saat kesulitan menemukan topik yang mereka ingin sampaikan dalam bentuk tulisan dan memandu mereka mengembangkan gagasan. 3) Kedua ancangan pada dasarnya membantu mereka dalam menyusun sebuah komposisi yang baik, memberi pengetahuan mendalam saat menulis komposisi, 81
membantu meningkatkan kemampuan menulis komposisi serta menginspirasi mereka dalam menentukan tema dan menuangkan gagasan dalam tulisan yang layak baca
KESIMPULAN, MANFAAT DAN SARAN
Mahasiswa kelompok A cenderung terbantu dalam menyusun sebuah komposisi karena terlebih dahulu mengetahui proses menulis baru melihat model, sehingga dalam menulis, mereka dapat segera menggabungkan kedua ancangan tersebut. Meskipun diberikan contoh tulisan, mereka tetap berusaha menulis dengan membuat kerangka gagasan terlebih dahulu dengan mind map, lalu mengembangkan tulisannya sesuai karakter dan gaya mereka lalu ditambahkan dengan informasi yang terdapat pada model tulisan. Sebagian mahasiswa kelompok B terbantu dalam menyusun sebuah komposisi karena lebih leluasa mengembangkan gagasan berdasarkan minatnya setelah mengetahui proses menulis dengan mind map, sebagian yang lain menjadi bingung karena harus menentukan topik tanpa melihat model sehingga sulit menyusun kerangka gagasan.
Dari penelitian ini terlihat bahwa ancangan berbasis proses lebih disukai dan lebih efektif dalam pengajaran menulis komposisi karena penahapannya membuat mahasiswa lebih fokus, cermat dan terarah dalam menulis serta lebih leluasa mengembangkan gagasan. Sementara ancangan berbasis hasil membantu menginspirasi mahasiswa yang kurang kreatif atau tidak berbakat menulis. Hal ini membuat mahasiswa tergantung pada contoh sehingga tidak leluasa dalam mengembangkan gagasan. Akan tetapi, secara umum, kedua ancangan ini membantu meningkatkan keterampilan menulis komposisi.
Namun demikian, kedua ancangan ini tentu saja memiliki kelebihan yang dapat digunakan pengajar dengan menggabungkannya sehingga terbantu dalam membimbing mahasiswa dan tulisan mahasiswa juga menjadi layak baca. Kelebihan ancangan berbasis proses adalah mahasiswa mengetahui penahapan menulis komposisi, lebih focus saat menentukan topik, cermat memberi penilaian terhadap gagasan yang dipilihnya dan leluasa menggembangkan gagasan. Sementara kelebihan ancangan berbasis hasil adalah mahasiswa dapat mengetahui tulisan yang layak baca dan mengetahui gaya tulisan orang
82
lain. Hal ini dapat menginspirasi mahasiswa sehingga dapat membantu mereka menemukan topik yang ingin dituangkan ke dalam bentuk tulisan.
Pengajar yang kompeten, dapat membantu mahasiswa dengan dukungan yang sesuai kebutuhan mereka saat menerapkan salah satu ancangan ini. Pada ancangan berbasis proses, pengajar dapat membantu mahasiswa memetakan gagasan berdasarkan tema dan memberi masukan yang terkait dengan tema. Pada acangan berbasis hasil, pengajar dapat membantu mahasiswa mencari fokus gagasan agar mampu menulis sesuai dengan gaya masing-masing mahasiswa. Dalam prosesnya, pengajar dapat terus memberi masukan dan arahan agar mereka terbiasa cermat dalam mengembangkan gagasannya sehingga mampu menyusun komposisi yang layak baca.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Douglas H. 2000. Principles of Language Learning and Teaching, Fourth Edition. New York: Longman Inc. Hedge, Tricia. 2002. Teaching and Learning in the Language Classroom. New York:Oxford University Press. Jordan, R.R. 1997. English for Academic Purposes: A Guide and Resources book forTeachers. Cambridge: Cambridge University Press. Marahimin, Ismail. 1994. Menulis Secara Populer. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Nunan,
David.
1992.
Research
Methods
in
Language
Learning.
Cambridge:
CambridgeUniversity Press. Tarigan, Henry Guntur. 1993. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung:Angkasa. Tribble, Christopher. 1996. Writing. Language Teaching, A Scheme for Teacher Education. Oxford: Oxford University Press. Wishon, George E & Julia M.Burks. 1968. Let’s Write English. Filipina:Litton Educational Publishing.
83
AKULTURASI BUDAYA CINA DAN BETAWI DI JAKARTA C. Dewi Hartati Sastra Cina – Fakultas Sastra
[email protected] ABSTRAK Hubungan bangsa Cina dan Jawa di Indonesia telah terjadi jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda ke bumi nusantara. Adanya interaksi dan komunikasi terus menerus antara kedua kebudayaan ini terjadilah akulturasi budaya. Tulisan ini bertujuan memperlihatkan bentuk-bentuk akulturasi yang terjadi antara kebudayaan Cina dan Betawi . Fenomena ini bisa kita lihat betapa harmonisnya kebudayaan Tionghoa menyatu dengan kebudayaan Betawi. Akulturasi ini memperkaya keanekaragaman budaya di Indonesia dan sangat karakteristik sehingga harus dipertahankan di tengah-tengah kemajuan teknologi dan arus globalisasi.Akulturasi antara kebudayaan Cina dan Betawi terjadi dalam bentuk tradisi, makanan, arsitektur, sastra, kesenian dan bahasa. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif. Penelitian eksploratif bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu atau mendapat ide-ide baru mengenai gejala itu sehingga dapat merumuskan masalah secara lebih terperinci. Penelitian ini juga bersifat deskriptif karena penelitian ini akan memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu kedaan, gejala atau kelompok tertentu Kata kunci : akulturasi, interaksi, komunikasi.
PENDAHULUAN
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Dan kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Akulturasi budaya dapat terjadi karena keterbukaan suatu komunitas masyarakat akan mengakibatkan kebudayaan yang mereka miliki akan terpengaruh dengan kebudayaan komunitas masyarakat lain. Selain keterbukaan masyarakatnya, perubahan kebudayaan yang disebabkan “perkawinan“ dua kebudayaan bisa juga terjadi akibat adanya pemaksaan dari masyarakat asing memasukkan unsur kebudayaan mereka. Akulturasi budaya bisa juga terjadi karena kontak dengan budaya lain, sistem pendidikan yang maju yang
84
mengajarkan seseorang untuk lebih berfikir ilmiah dan objektif, keinginan untuk maju, sikap mudah menerima hal-hal baru dan toleransi terhadap perubahan.
Saat kedatangan orang-orang Cina di Bogor, Kerajaan Tarumanegara sudah berdiri dan mereka menyebutnya To-lo-mo. Di Jawa Tengah mereka mendarat di Semarang dan menyebarkan Islam ke Glagahwangi yang di kemudian hari dikenal sebagai Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Pangeran Patah. Di daerah ini pula dikenal adanya seorang sultan yang ketika wafat dimakamkan di Gunung Muria sehingga dikenal sebagai Sunan Muria.
Di Jawa Timur mereka mendarat di Tuban dan Surabaya. Salah satu dari mereka kemudian menjadi Wali, yang dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Putra dari Sunan Ampel pun menjadi Wali, yaitu Sunan Bonang. Sunan Ampel dan Sunan Bonang lebih dikenal dengan nama pribumi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah masuknya ajaran Islam di masyarakat Jawa. Di Gresik terdapat makam Sunan Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi.
Di Jawa Tengah mereka mendirikan Klenteng Sam Po-Kong. Di klenteng inilah ditemukan catatan sejarah tentang masuknya Cina ke Jawa, serta uraian bahwa para wali dan tokohtokoh pahlawan pun sebagian adalah orang keturunan Cina, misalnya Adipati Unus, Panembahan Jim Bun, Sunan Ampel, Sunan Bonang, dan lain-lain.
Kita tengok sejarah hubungan antara kesultanaan Banten dengan bangsa Cina pada masa itu, dilihat dari catatan arkeologi pada setiap tahun banyak perahu Cina yang berlabuh di Banten, mereka datang untuk berdagang dan melakukan perdagangan dengan cara barter/menukar dengan lada sebagai bahan utamanya, pada tahun 1614 di Banten ada 4 buah perahu Cina yang rata-rata berukuran 300 ton.
Sedangkan menurut catatan J. P. Coen perahu Cina membawa barang dagangan bernilai 300.000 real dengan menggunakan 6 buah perahu. Selain sebagai pedagang orang-orang Cina datang ke Banten sebagai imigran (Clive Day, 1958:69). Intensitas kehadiran para pedagang Cina cukup meramaikan dalam perdagangan di Banten diiringi pula dengan kehadiran imigran yang berfekwensi cukup tinggi.
85
Mata uang Cina yang ditemukan de Houtman di Banten (Rouffer, 1915:122) sebagai tanda peran serta bangsa Cina pada perdagangan di Baten tidak bisa diangap ringan. Penemuan mata uang Cina ini oleh tim arkeolodi di Keraton Surosowan terdapat tulisan Yung Cheng T’ung Pou = Coinage of Stable Peace yang berarti pembuatan mata uang untuk kesetabilan dan perdamaian, sedangkan pada koin sebaliknya diketahui huruf Manchu yang artinya tidak diketahui. Mata uang Cina tersebut berbentuk bulat berlubang segi empat, diameter 2.25-2.80 cm, tebal 0.10-0.18 cm, dan diameter lubang 0.45-0.60 cm. (Halwany, 1993:36)
Orang Tionghoa sudah lama sekali berada di Jakarta. Pada waktu Belanda pertama kali menginjakkkan kaki di bumi Jayakarta di sana sudah ada pemukiman Tionghoa di muara sungai Ciliwung. Ini menunjukkan bahwa hubungan yang sangat baik telah terjadi antara etnik yang kemudian dikenal dengan etnik Betawi dengan etnik Tionghoa jauh sebelum datangnya bangsa-bangsa barat ke nusantara.
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Jawa umumnya berasal dari propinsi Hokkian bagian Selatan. Yang dimaksud Hokkian selatan adalah wilayah sekitar Zhangzhou, Xiamen, dan Quanzhou. Secara umum pengaruh Tionghoa yang masuk ke dalam budaya Betawi adalah budaya Hokkian selatan bukan bagian lain di negeri Cina. Budaya Hokkian Selatan inilah yang paling banyak pengaruhnya terhadap kebudayaan Betawi. Pengaruh ini tampak dari istilah-istilah Hokkian selatan yang sampai saat ini masih dikenal di kalangan Tionghoa peranakan dan sebagian telah masuk ke dalam kosa kata bahasa Betawi.
Menurut Raden Aryo Sastrodarmo, seorang pelancong Surakarta di Batavia pada tahun 1865, dalam Kawontenan ing Nagari Betawi, seperti dikutip Ridwan Saidi dalam Profil Orang Betawi: Asal Muasal. Kebudayaan dan Adat Istiadatnya, adat istiadat Betawi mirip adat istiadat Tionghoa. Cara mereka duduk dan bercakap-cakap juga sama dengan orang Tionghoa yaitu duduk di kursi, dan jika makan memakai meja, tidak bersila di atas tikar yang terhampar di tanah. Orang Betawi juga belajar silat dari orang Tionghoa dan tidak memiliki rasa takut disebabkan pengaruh orang Tionghoa.
Keberadaan kaum Tionghoa di daerah Jakarta menyatu menjadi sejarah umum. Salah satunya yang berciri khas adalah pemukiman Tionghoa yang biasa disebut sebagai Pecinan atau Chinatown.
Jauh sebelum Belanda membangun Batavia, kaum Tionghoa sudah 86
menduduki sebelah timur muara Ciliwung. Namun setelah terjadinya pembantaian Tionghoa di Batavia pada 9 Oktober 1740, orang-orang Tionghoa ditempatkan di Glodok dekat museum Fatahillah dengan maksud agar lebih mudah diawasi.
Pada abad ke 16 dan ke 17 terjadi eksodus besar-besaran orang Tionghoa ke selatan, yaitu wilayah Asia Tenggara termasuk Nusantara. Kejadian itu disebabkan perang saudara kemarau panjang di daratan Tiongkok. Pada saat bersamaan, VOC berkuasa di Batavia. Untuk memperlancar pembangunan, mereka memerlukan banyak tenaga kerja. Karena itu mereka mengambil tenaga kerja asal Tiongkok yang dinilai ulet dan rajin. Sejak itu kebudayaan Tionghoabanyak bercampur dengan kebudayaan Betawi dan amsuk ke dalam berbagai aspek kehidupan.
Orang Tionghoa hidup dengan berdagang, bertani, dan menjadi tukang. Umumnya, mereka tidak membawa isteri dari Tiongkok. Mereka mengawini perempuan Jawa atau Melayu, atau membeli budak untuk dijadikan gundik atau isteri. Pada zaman itu, ada aturan perempuan dilarang pergi ke luar Tiongkok. Sejarawan Prancis, Prof Dr Denys Lombard, dalam bukunya “Nusa Jawa: Silang Budaya” menyebut, asimilasi kebudayaan Cina dan kebudayaan-kebudayaan lain di Nusantara berlangsung sangat mulus dan alami. Jawa, sebelum masa kolonialisme Belanda, adalah ruang yang reseptif bagi terjadinya perjumpaan kebudayaan dari berbagai negeri. “Sulit menelusuri sejarah kelompok-kelompok Cina yang pertama,” tulis Lombard.
Pencinaan kembali Proses asimilasi bangsa Cina dengan masyarakat setempat yang berjalan begitu natur selama berabad-abad tersendat, kalau tidak ingin dibilang putus, memasuki paruh pertama abad ke-18 dan awal abad ke-19. Pada abad ini, identitas kecinaan di tanah Jawa mulai muncul. Situasi ekonomi dan politik di daratan Tiongkok, meningkatnya arus pelayaran sebagai akibat dari dibukanya terusan Suez di pertengahan abad ke-19, dan mulai berkuasanya Belanda atas tanah Hindia membuat bangsa Cina mengalami fase pencinaan kembali.
87
Lombard mencatat tiga peristiwa penting di atas sebagai faktor yang sangat mempengaruhi dialektika budaya masyarakat Cina di tanah Jawa.
Pertama, memburuknya situasi perekonomian Cina di penghujung kekuasaan dinasti Qing pada akhir abad 19. Pertanian di Cina mandeg dan tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang semakin banyak jumlahnya.
Pada waktu yang bersamaan, pemerintah Hindia Belanda membuka tambang-tambang baru yang memerlukan tenaga kerja yang banyak. Memburuknya situasi ekonomi di negeri sendiri mendorong bangsa Cina berbondong-bondong datang ke Hindia Belanda.
Pada awal abad 19, jumlah orang Cina yang menetap di Batavia berjumlah 100.000 dan berkembang menjadi 500.000 pada akhir abad ke 19. Bisa dipahami kemudian jika meningkatnya jumlah masyarakat Cina dan pengelompokan suku bangsa yang dilakukan Belanda meningkatkan kesadaran akan identitas mereka sebagai kelompok tersendiri.
Di pihak lain, kehadiran mereka pun tidak diterima baik oleh masyarakat setempat. Mereka pun mengembangkan kebudayaan mereka sendiri sebagai sebuah bangsa. Kelenteng tumbuh berpuluh-puluh selama beberapa dasarwarsa menjadi simbol identitas budaya. Kelenteng juga menjadi tempat pertemuan atau klub.
Perkembangan kedua yang menjadi faktor terjadinya pencinaan kembali, menurut Lombard, adalah dibukanya terusan Suez pada tahun 1865. Jalur baru yang dibuka ini meningkatkan emigrasi besar-besaran wanita-wanita Cina. Ada yang berlayar ke Hindia Belanda dengan paksaan. Mereka terutama gadis-gadis malang yang diculik dan dikirim ke rumah-rumah pelacuran di Laut Cina Selatan. Ada pula yang beremigrasi karena menghindari kawin paksa. Namun, dorongan utama emigrasi adalah kesulitan hidup yang mereka alami di negeri asalnya.
Bisa ditebak, kehadiran wanita Cina dalam jumlah besar itu berpengaruh sangat besar dalam proses perkawinan. Lelaki-lelaki Cina yang sebelumnya tidak mempunyai pilihan lain selain mengawini wanita pribumi, kemudian cenderung mengambil wanita satu negeri
88
sebagai isteri. Asimilasi yang sebelumnya terjadi karena proses perkawinan campur terhenti dan pencinaan terjadi melalui rumah tangga.
Perkembangan ketiga, masih menurut Lombard, bersifat lebih politis, yaitu berkaitan dengan perkembangan situasi di Cina sendiri. Pergolakan anti Manchuria dan bangkitnya nasionalisme Cina membangkitkan pula semangat identitas sebagai bangsa di perantauan.
Mulai meredupnya era kedinastian dan proklamasi republik yang dideklarasikan oleh Dr Sun Yat Sen menumbuhkan semangat nasionalisme kaum perantauan. Terbitnya semangat nasionalisme ini kemudian semakin dibangkitkan dengan ekspansi yang dilakukan Jepang di daratan Cina.
Kegamangan dan asimilasi paksa Entitas yang mulai tumbuh sebagai sebuah bangsa mendadak menjadi gamang ketika Perang Dunia II berakhir. Berakhirnya rezim kolonial dan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sontak membuat orang bertanya tentang status kelompok masyarakat mereka yang sejak zaman kolonial terbiasa membentuk kelompok tersendiri.
Kaum Tionghoa juga banyak yang tinggal di pedesaan pelosok Tangerang di luar Pecinan, yaitu di Pasar Lama dan di Pasar Baru. Sebutan untuk kaum Tionghoa yang tinggal di Pasar Lama dan Pasar Baru adalah Cina Benteng. Kian tahun jumlah penduduk Tionghoa meningkat, kontak terus menerus antara orang Tionghoa dan Betawi menyebabkan akulturasi antara kedua kebudayaan tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian penulis, ada beberapa bentuk akulturasi yang terjadi antara kebudayaan Cina dan Betawi, akulturasi antara dua kebudayaan tersebut terjadi dalam bentuk sebagai berikut :
89
1. Tahun Baru Imlek. ( 阴历) Perayaan Imlek di Indonesia telah mengalami akulturasi dengan budaya lokal. Ini terbukti dengan munculnya sebutan Lebaran China dari orang Betawi untuk Imlek. Orang Betawi menganggap Imlek sudah jadi bagian dari budaya mereka juga. Orang Betawi tidak hanya ikut merayakan perayaan Imlek dengan sebatas ikut dalam karnaval dan pasar malam Imlek, tetapi sejak pertengahan abad 19, orang Betawi juga ikut mencari dan makan makanan khas Perayaan Imlek. Dalam Perayaan Imlek, makanan yang harus ada adalah ikan bandeng. Ikan bandeng dimasak pindang merupakan simbol bahwa hidup harus hemat. Perayaan Imlek sendiri di Cina tidak menggunakan ikan bandeng. Ikan bandeng murni suatu bentuk akulturasi antara dua kebudayaan. Dalam perayaan Imlek ini pun sering diwarnai dengan petasan dan kembang api. Tradisi petasan dan kembang api bermula dari Cina sampai sekarang masyarakat Betawi juga menggunakan petasan dalam setiap perayaan misalnya upacara pernikahan dan lain-lain. 2. Arsitektur. Sejarawan Adolf Heuken SJ mengatakan , sebelum tahun 1740 rumah orang Tionghoa masih banyak di Batavia atau Kota Jakarta. Di masa kolonial Belanda, rumah Tionghoa banyak yang dibakar dan dibongkar. Namun demikian masih ada peninggalan bersejarah yang dapat ditemukan sekarang, walau tak banyak. Itu pun kondisinya memprihatinkan. "Bangunan tua berarsitektur Tionghoa yang tersisa dan masih terawat hanya berupa klenteng. Sedangkan rumah-rumah berarsitektur Tionghoa di kawasan Senen, Glodok, Pinangsia, walau masih ada yang tersisa, kondisinya memprihatinkan. Ini sangat disayangkan sekali, karena dari dulu banyak juga sumbangan etnik Tionghoa dalam pembangunan Kota Jakarta," ujarnya.
Menurut Heuken yang menulis buku Historical Sites of Jakarta (2000) dan Gereja-gereja Tua di Jakarta dan Masjid-masjid Tua di Jakarta (2003), arsitektur Tionghoa tidak hanya ditemukan di rumah, gedung, dan klenteng Tionghoa, tetapi juga ditemukan pada bangunan Masjid, seperti pada bangunan Masjid Kebun Jeruk, Masjid Tambora, dan Masjid Angke. Jika di Masjid Kebun Jeruk dan Tambora dengan pengaruh Tionghoa cukup kuat, maka di Masjid Angke juga ada pengaruh arsitektur Belanda.
90
Contoh arsitektur yang terdapat pada masjid adalah Arsitektur Hidayatullah. Tiga budaya etnis sekaligus menyemangati spiritualitasnya: Jawa, Cina Betawi. Arsitektur Betawi dapat dilihat dari bentukmesjid yang lapang dan terbuka. “Adanya kekhasan Betawi ini juga kita jumpai pada bangunan kayu yang tetap ada dan kuat sampai saat ini,”. Atap dan kubah masjid yang melengkung di bagian sudut memperlihatkan budaya Cina. Orang-orang Cinalah yang pertama-tama mukim di Karet. Itu sebabnya di kawasan itu ada sebuah kampung yang dinamakan Karet Tengsin. Bahkan menurut cerita, orang-orang Cina, yang kebanyakan adalah pedagang, waktu itu banyak yang membantu pembangunan mesjid ini. Pengaruh budaya Cina sangat menonjol. Dari kejauhan, mesjid ini tampak sepert kuil Cina. Beberapa mesjid di Jakarta banyak yang dipengaruhi oleh budaya Cina. Yang paling jelas ialah mesjid Mangga Dua dan mesjid Kebon Jeruk di Jakarta pusat. Dan memang, komunitas Cina banyak menghuni dua kawasan tersebut, sampai sekarang.
3. Sastra. Banyak hasil sastra yang dihasilkan bangsa Cina di P. Jawa juga sebaliknya terjemahan yang diterbitkan di Cina berasal dari Indonesia ke bahasa Mandarin. Misalnya, cerita roman paling populer adalah cerita Sam Pek Eng Tay, di Jawa Barat Populer karya Lo Fen Koi. Cerita-cerita silat misalnya, Pemanah Rajawali, Golok Pembunuh Naga, Putri Cheung Ping, Kera Sakti, dan Sepuluh pintu Neraka. Puisi yang diciptakan penyair Cina kuno pernah diterjemahkan sastrawan Indonesia, HB Jasin. Sedangkan di dunia novel kita sudah cukup akrab dengan karya Marga T, yang banyak mengambil latar belakang negeri Cina. 4. Bahasa Menurut Profesor Kong Yuanzhi dalam Silang Budaya Tiongkok Indonesia terdapat 1046 kata pinjaman bahasa Cina yang memperkaya bahasa Melayu / Indonesia dan 233 kata pinjaman Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Tionghoa. Misalnya anglo (洪爐) bakiak(木 屐), bakmi (肉麵), cangklong, cawan(茶碗), cukong(主公), giwang (耳環) jamu (草藥 ),jok, kecap (茄汁, kecoa,kongkalikong (串謀), kongko (講座), kongsi(公司), koyo, kuli (苦力), langseng, lihai (厲害),loak, loteng, lonceng, mangkok (碗鍋), misoa ( 碗鍋), pisau(匕首), pengki, sampan (舢舨), singkek, sinse (診師), suhu, sumpit, sempoa, taifun, teko (茶壶), toko,tukang (土工), dan lain-lain。Akulturasi budaya Cina-Jawa dalam
91
bidang bahasa terjadi dalam bentuk peminjaman istilah pada bahasa lisan atau tulisan. Bahasa lisan digunakan dalam percakapan perdagangan, seperti : mengko, dhek wingi, ora iso, dan sebagainya. Sebaliknya orang Jawa menyebut ce-pek (= seratus), no-pek (= dua ratus), se-jeng (= seribu) dan cem-ban (= sepuluh ribu).
5. Kesenian. Pertukaran musik dan tari telah dilangsungkan sejak jaman Dinasti Tang (618-907). Alat musik seperti Gong dan Canang, Erhu (rebab Cina senar dua), suling, kecapi telah masuk dan menjadi alat musik daerah di Indonesia. 6. Olahraga. Misalnya olahraga pernapasan Wei Tan Kung kini menjadi Persatuan Olahraga Pernapasan Indonesia, Olahaga pernapasan Tai Chi menjadi Senam Tera Indonesia, olahraga bela diri Kung Fu yang paling populer di Indonesia. 7. Adat Istiadat. Upacara minum teh yang disuguhkan kepada tamu sudah cukup populer di Jawa dengan mengganti teh dengan kopi. Kemudian tradisi saling berkunjung dengan memberikan jajanan atau masakan pada hari-hari raya, dan tradisi membakar petasan saat lebaran. Petasan sendiri merupakan tradisi bangsa Cina untuk menyemarakkan pesta tradisi Cina yaitu pernikahan dengan maksud mengusir roh-roh jahat yang bisa saja mengganggu perayaan tersebut. 8. Makanan Menurut Dennys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, asal mula Soto adalah makanan Cina bernama Caudo, pertama kali populer di wilayah Semarang. Dari Caudo lambat laun menjadi Soto, orang Makassar menyebutnya Coto, dan orang Pekalongan menyebutnya Tauto. Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Lono Simatupang, mengemukakan bahwa, soto merupakan campuran dari berbagai macam tradisi. Di dalamnya ada pengaruh lokal dan budaya lain. Mi atau soun pada soto, misalnya, berasal dari tradisi China. Budaya Cina yang hadir di bumi nusantara sejak 92
ratusan tahun lalu terus berjejalin dan berkelindan dengan budaya lokal sehingga menciptakan aneka budaya baru yang merupakan perpaduan dari keduanya dan sering disebut dengan istilah budaya peranakan. Lumpia. Makanan tersebut mula-mula berasal dari daratan Tiongkok kemudian mengalami proses penyesuaian dengan lidah masyarakat lokal. Lunpia Semarang, isi utamanya adalah irisan kulit rebung sedangkan lunpia yang dari China isi utamanya mihun. Tahu pong. Bakpao yang semula isinya daging babi, kemudian oleh orang Jawa diganti isi daging sapi atau kacang ijo. Bolang-baling dan Cakue adalah kue goreng dengan rasa manis dan asin juga merupakan bentuk akulturasi. Capjay yang semula berupa campuran sayur, oleh orang Jawa dimodifikasi dengan sayur dan bahan sesuai selera orang Jawa. Mie Titee adalah masakan khas Cina berupa masakan berupa mie yang dicampur sayur bayam dan daging babi bagian kaki. Kemudian berkembang dengan bentuk mie kopyok yang berupa mie direbus dengan taoge dan krupuk yang diremuk dengan saus bawang putih. Bacang. Dahulu bacang diyakini orang China adalah makanan untuk menghormati seorang pahlawan yang mati akibat difitnah orang bentuk peringatan adalah makan bakcang (Hanzi: 肉粽, hanyu pinyin: rouzong) Penganan ini terdiri dari daging cacah sebagai isi dari beras ketan dibungkus daun bambu dan diikat tali bambu. Di beberapa tempat Indonesia,diadakan festival memperingati sembahyang bacang Dalam sistem religi ada persamaan kebudayaan masyarakat Cina – Jawa, seperti sesajen jajan pasar, yang dilakukan saat satu suro (Jawa) dan hari raya Imlek (Cina).Sajian khas seperti - Kue Mangkok atau Kue Moho, yang melambangkan sumber rejeki atau permohonan karunia sumber rejeki. - Kue Kura atau Kuweh Ku, yang melambangkan panjang umur seperti binatang kurakura yang hidupnya beribu-ribu tahun. - Tumpeng dan makanan lainnya, yang melambangkan ucapan syukur atas berkat Tuhan.
93
PENUTUP
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asin dan kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Pengakuan budaya Cina sebagai bagian budaya nasional, sudah semestinya dilakukan karena interaksi antar keduanya berlangsung cukup lama dan menghasilkan kebiasaan baru bagi keduanya. Dalam sejarah Nasional, orang-orang Cina memberi kontribusi terhadap kemerdekaan dan pembangunan di Indonesia hal ini dapat terlihat dalam bentuk-bentuk akulturasi yang terjadi antara kebudayaan Cina dan Jawa yang telah disebutkan di atas. Sehingga dikotomi warga keturunan dengan bangsa Indonesia sudah semestinya ditiadakan. Di sini penulis membatasi pada pembahasan akulturasi atau silang budaya Jawa dan Cina. Dengan pembahasan ini sudah memberi gambaran fakta akan adanya akulturasi budaya Cina dengan pribumi.
DAFTAR PUSTAKA
Berry, J.W., Sam, D.L. 1999 Acculturation and Adaptation. Handbook of cross-cultural psychology: Social behavior and applications volume 3 Boston: Allyn & Bacon Groeneveldt,W.P 2009 Nusantara dalam Catatan Tionghoa, Jakarta : Komunitas Bambu Hariyono, P . 1993
Kultur Cina dan Jawa, Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Koentjaraningrat. 1990.Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Aksara baru Leonard, Blusse. 1988. Persekutuan Aneh Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC (Terj) Jakarta : Penerbit Pustazet Perkasa Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Y. Sumandiyo Hadi, 2005. Sosiologi Tari: Jogyakarta, Penerbit Pustaka
94
ANALISIS SOAL-SOAL JLPT (日本語能力試験) LEVEL 3 DENGAN FOKUS MOJI GOI PERIODE TAHUN 2003 – 2008 Metty Suwandany Fakultas Sastra Jepang
ABSTRAK Moji adalah sebutan huruf dalam bahasa Jepang. Huruf dalam bahasa Jepang terdiri dari hiragana, katakana, romaji,dan kanji, sedangkan goi merupakan salah satu aspek kebahasaan yang harus diperhatikan dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dengan bahasa Jepang, baik ragam lisan maupun ragam tulisan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis korelasi kanji-kanji dalam soal moji goi JLPT Level 3 tahun 2003-2008 dengan kanji-kanji dalam buku Minna no Nihongo Shokyuu I dan II seri Kanji. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi. Dari penelitian ini diketahui bahwa jumlah tatap muka sebanyak 2x seminggu pada mata kuliah kanji 1 dan 2 kurikulum S1 FSJ tahun 2007 masih dianggap kurang memadai untuk menyelesaikan seluruh materi dan melatih mahasiswa menguasai seluruh kanji yang ada di kedua buku tersebut. Ada 518 huruf kanji dasar dan sejumlah kanji gabungan dalam buku Minna no Nihongo Shokyuu I dan II seri Kanji. Selain itu, dari penelitian ini juga ditemukan beberapa kanji dalam soal moji goi JLPT level 3 tahun 2003-2008 yang tidak tercantum dalam buku Minna no Nihongo Shokyuu I dan II seri Kanji. Kata kunci : moji, goi, kanji, JLPT level 3, mata kuliah kanji PENDAHULUAN
Nihongo Nouryoku Shiken (日本語能力試験) adalah nama lain dari JLPT Japanese Language Proficiency Test yang dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan UKBJ (Ujian Kemampuan Bahasa Jepang). Tes ini merupakan tes standarisasi pembelajar terhadap bahasa Jepang yang sudah dipelajarinya. Tes ini juga merupakan tes kemampuan bagi pembelajar bahasa Jepang non Jepang, setara dengan TOEFL Internasional, dan sertifikat kelulusannya dikeluarkan oleh pemerintah Jepang melalui The Japan Foundation Tokyo.
Bagi pembelajar bahasa Jepang khususnya mahasiswa Sastra Jepang S1 dan D3, keikutsertaan dalam JLPT sangat diperlukan sebagai tolok ukur penilaian dirinya saat nanti memasuki dunia kerja yang membutuhkan keterampilan berbahasa Jepang. Ijazah JLPT ini juga digunakan sebagai syarat utama untuk melanjutkan studi di Jepang. 95
Untuk itu,
Program Studi Jepang S1 Universitas Darma Persada telah mewajibkan para mahasiswanya untuk lulus minimal level 3 JLPT sistem lama, atau N3 JLPT sistem baru sebelum mahasiswa mengikuti sidang skripsi.
Penguasaan moji goi dianggap sangat perlu dalam mempelajari bahasa Jepang, karena tanpa memahami moji goi, mahasiswa atau pembelajar akan kesulitan untuk mengerti bahasa Jepang, terlebih bila ia harus mengikuti JLPT. Dalam kurikulum tahun 2007 Fakultas Sastra Jepang S1, moji diajarkan melalui mata kuliah kanji 1 dan 2 dengan menggunakan 1 set buku yang sama dengan pengajaran bunpo (tata bahasa), yaitu buku Minna no Nihongo Shokyuu, seri kanji I dan II, sedangkan goi sebagian besar diajarkan bersamaan dengan bunpo (tata bahasa), walaupun ada juga goi yang muncul sebagai jukugo (kanji gabungan) dalam buku seri Minna no Nihongo Shokyuu kanji tersebut. Berdasarkan materi kanji dari kedua buku kanji tersebut, mahasiswa diharapkan mampu menguasai sebanyak 518 kanji dasar, sehingga
mahasiswa diharapkan mampu
mengerjakan soal-soal JLPT level 3.
PEMBATASAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang dan identifikasi permasalahan di atas, maka penulis
membatasi masalah dalam penelitian ini pada target pembelajaran kanji untuk mata kuliah Kanji I dan II dengan menggunakan buku Kanji Minna no Nihongo Shokyuu I dan II yaitu apakah sudah setara dengan tingkat kesulitan soal-soal moji goi dalam JLPT level 3 periode tahun 2003-2008 ?
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah korelasi kanji-kanji dalam buku Minna no Nihongo Shukyuu I dan II dengan soal-soal moji goi JLPT Level 3 periode tahun 2003-2008 ? 2. Kanji-kanji apakah yang sering muncul dalam soal-soal moji goi JLPT Level 3 periode tahun 2003-2008 ?
96
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menyamakan target pembelajaran moji goi dalam mata kuliah Kanji I dan II agar sesuai dengan tingkat kesulitan soal JLPT Level 3 periode tahun 2003-2008. Tingkat kesulitan soal moji goi JLPT level 3 dianggap setaraf dengan tingkat kesulitan soal moji JLPT sistem baru yang mulai berlaku sejak tahun 2010. Diharapkan mahasiswa menjadi lebih siap dan mampu mengikuti JLPT sistem yang baru.
TINJAUAN PUSTAKA
a. Moji Goi
Moji adalah sebutan huruf dalam bahasa Jepang. Huruf dalam bahasa Jepang terdiri dari hiragana, katakana, romaji, kanji. Bahasa Jepang adalah bahasa yang menggunakan hurufhuruf (kanji, hiraga, katakana, romaji) ini. Huruf kanji berasal dari huruf negeri Cina pada masa zaman Kan. Karena itulah, maka huruf tersebut dinamakan kanji, yang berarti huruf negeri Kan (Iwabuchi, 1989:63). Huruf kanji mulai digunakan di Jepang kira-kira pada abad ke-4. Sebuah kanji bisa menyatakan arti tertentu. Ini berarti bahwa hampir semua benda yang ada di dunia dapat ditulis dengan huruf kanji. Menurut Ishida (1991:76) dalam Sudjianto (2003:41), ada kurang lebih 50.000 huruf kanji yang ada di dalam Daikanwa Jiten yang merupakan kamus terbesar yang disusun di Jepang.
Goi merupakan salah satu aspek kebahasaan yang harus diperhatikan dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dengan bahasa Jepang, baik ragam lisan maupun ragam tulisan. Asano Yoriko (1981) dan Kasuga Shoozoo (1988) menyatakan bahwa huruf /i / 彙pada kata goi
語彙berarti atsumeru koto ‘pengumpulan’ atau ‘penghimpunan’.
Oleh sebab itu goi dapat didefinisikan sebagai go no mure atau go no atsumari ‘kumpulan kata’ dua kata atau lebih (Sudjianto, 2003:71)
b. JLPT (Japanese language Proficiency Test)
Penyelenggaraan JLPT dimulai dari tahun 1984. JLPT sistem lama yang terbagi atas 4 level yaitu level 1(ikkyuu), level 2 (nikyuu), level 3 (sankyuu), level 4 (yonkyuu). Sampai 97
dengan tahun 2009, JLPT diadakan setahun sekali yaitu pada minggu pertama bulan Desember.
Sejak tahun 2010, The Japan Foundation membuat sistem baru dalam penyelenggaraan JLPT. JLPT mengalami perubahan baik dari segi penyelenggaraan, perubahan level, bentuk soal serta sistem penilaian. Penyelenggaraan JLPT menjadi 2 (dua) kali dalam setahun, yaitu minggu pertama bulan Juli dan minggu pertama bulan Desember. Level pada JLPT berubah menjadi 5 tingkatan yaitu N1, N2,N3, N4 dan N5. Bentuk soal pun mengalami perubahan yaitu sistem lama terdiri dari moji goi, chookai dan dokkai,sSedangkan sistem baru gengochishiki (moji goi); gengochishiki (bunpo dokkai) dan Chookai. Tingkat kesulitan level 4 sama dengan N5; level 3 sama dengan N4; level 2 sama dengan N3 dan N2 ; level 1 sama dengan N1.
Berdasarkan sumber dari The Japan Foundation didapatkan standar penguasaan moji goi untuk masing-masing level (periode tahun 1984-2009) sebagai berikut : JLPT Level
Kanji
Vocabulary
Listening Level
Hours of Study
JLPT Level 4
~100
~800
Beginner
150
JLPT Level 3
~300
~1,500
Basic
300
JLPT Level 2
~1,000
~6,000
Intermediate
600
JLPT Level 1
~2,000
~10,000
Advanced
900 (www.jlpt.com)
c. Kurikulum
Salah satu fungsi kurikulum ialah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang pada dasarnya kurikulum memiliki komponen pokok dan komponen penunjang yang saling berkaitan dan berinteraksi satu sama lainnya dalam rangka mencapai tujuan tersebut. Subandiyah (1993: 4-6) mengemukakan ada 5 komponen kurikulum, yaitu: (1) komponen tujuan; (2) komponen isi/materi; (3) komponen media (sarana dan prasarana); (4) komponen strategi dan; (5) komponen proses belajar mengajar.
98
Sementara Soemanto (1982) mengemukakan ada 4 komponen kurikulum, yaitu: (1) Objective (tujuan); (2) Knowledges (isi atau materi); (3) School learning experiences (interaksi belajar mengajar di sekolah) dan; (4) Evaluation (penilaian). Pendapat tersebut diikuti oleh Nasution (1988), Fuaduddin dan Karya (1992), serta Nana Sudjana (1991: 21). Walaupun istilah komponen yang dikemukakan berbeda, namun pada intinya sama yakni: (1) Tujuan; (2) Isi dan struktur kurikulum; (3) Strategi pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar), dan(4) Evaluasi.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode analisis isi. Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi.
Prosedur dasar pembuatan rancangan penelitian dan pelaksanaan studi analisis isi terdiri atas 6 tahapan langkah, yaitu (1) merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesisnya, (2) melakukan sampling terhadap sumber-sumber data yang telah dipilih, (3) pembuatan kategori yang dipergunakan dalam analisis, (4) pendataan suatu sampel dokumen yang telah dipilih dan melakukan pengkodean, (5) pembuatan skala dan item berdasarkan kriteria tertentu untuk pengumpulan data, dan (6) interpretasi/ penafsiran data yang diperoleh.
http://massofa.wordpress.com/2008/01/28/metode-analisi-isi-reliabilitas-dan-validitasdalam-metode-penelitian-komunikasi/
MANFAAT PENELITIAN
a. Bagi Universitas Darma Persada
99
Hasil kegiatan penelitian ini akan memberikan kontribusi dalam rangka pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya pada bidang pendidikan dan pengajaran. Melalui penelitian ini akan ditinjau dan dikembangkan kurikulum mata kuliah Kanji hingga tercapainya kesesuaian kurikulum dengan materi JLPT sistem baru yang mulai berlaku sejak tahun 2010.
b. Bagi Dosen
Pelaksanaan kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga bagi dosen pengampu mata kuliah Kanji tentang materi dan bahan ajar pada pembelajaran mata kuliah Kanji, agar tujuan dari pembelajaran kanji tersebut dapat tercapai secara maksimal.
c. Bagi Mahasiswa
Hasil dari kegiatan penelitian ini diharapkan mahasiswa lebih berminat mempelajari kanji, sehingga mereka mudah untuk menguasai materi pada mata kuliah kanji dan mudah pula dalam mengerjakan soal-soal JLPT sistem baru.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan soal-soal JLPT yang telah diujikan selama periode 2003-2008, terdapat sekitar 256 kanji dengan perincian : -
167 kanji berkorelasi dengan buku Minna Nihongo Shokyuu I Kanji
-
78 kanji berkorelasi dengan buku Minna no Nihongo Shokyuu II Kanji
-
11 kanji yang tidak terdapat dalam kedua buku tersebut
Selain itu, dari 256 kanji tersebut ditemukan 225 kanji yang muncul hanya sekali pada tahun tertentu serta 31 kanji dengan frekuensi kemunculan minimal 2 kali pada rentang waktu sekitar 2-3 tahun berikutnya.
100
FREKUENSI KEMUNCULAN KANJI PADA SOAL-SOAL MOJI GOI JLPT TAHUN 2003-2008 NO
KANJI 2003
2004
2005
2006
2007
2008
1
産業
X
X
2
病院
X
X
3
中止
X
X
4
池
X
5
首
X
6
終わり X
7
好き
X
8
地図
X
9
西洋
X
X
10
習う
X
X
11
進む
X
X
12
早い
X
13
通る
14
楽しい
X
15
薬
X
X
16
説明
X
X
17
今度
X
X
18
代わり
X
X
19
洗う
X
X
20
考える X
X
X
21
黒い
22
不便
X
23
帰る
X
24
住む
25
暗い
26
暑い
X X X X X
X X
X X
X
X X X
X
X X
X X
101
X
TOTAL
27
広い
X
28
声
X
X
29
歌
X
X
30
市民
31
歌
X
X X
X X
KESIMPULAN/SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan terhadap soal-soal moji goi JLPT level 3 periode tahun 2003-2008 terdapat 256 kanji. Jumlah tersebut sudah sesuai dengan standar penguasaan moji yang telah ditetapkan oleh The Japan Foundation, yaitu sebanyak 300 kanji. Namun pada saat pembelajaran kanji tidak dapat memilih mana kanji yang akan keluar pada soal moji JLPT level 3. Untuk itulah, dosen pengampu mata kuliah kanji 1 dan 2 diharapkan dapat menuntaskan seluruh materi ajar yang ada pada buku Minna no Nihongo shokyuu I dan II seri Kanji, walaupun jumlah tatap muka mata kuliah kanji 1 dan 2 sebanyak 2 x seminggu masih dianggap kurang.
Penguasaan goi untuk JLPT level 3 sudah sesuai dengan target yang ditetapkan oleh The Japan Foundation, yaitu 1500 kosa kata. Pembelajaran goi dilaksanakan pada saat pembelajaran bunpo (tata bahasa).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada staf The Japan Foundation yang telah banyak membantu dalam memberikan masukan dan menyediakan sumber-sumber tertulis soal-soal moji goi JLPT periode 2003-2008.
DAFTAR PUSTAKA
Nishiguchi, Koichi, Shinya Makiko. 2000. Minna no Nihongo Shukyuu I, kanji I dan II. 3A Corporation, Tokyo Sudjianto, dan Ahmad Dahidi. 2003. Pengantar Linguistik Jepang. The Japan
102
Foundation The 2003 Japanese Language Proficiency Test level 3 and 4. JEES and The Japan Foundation The 2004 Japanese Language Proficiency Test level 3 and 4. JEES and The Japan Foundation The 2005 Japanese Language Proficiency Test level 3 and 4. JEES and The Japan Foundation The 2006 Japanese Language Proficiency Test level 3 and 4. JEES and The Japan Foundation The 2007 Japanese Language Proficiency Test level 3 and 4. JEES and The Japan Foundation The 2008 Japanese Language Proficiency Test level 3 and 4. JEES and The Japan Foundation
103
ANALISIS PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP MATA KULIAH ENSHU SEBAGAI PERSIAPAN UNTUK MENGHADAPI UJIAN NIHONGGO NO NOURYOKUSHIKEN (NOKEN/JLPT) Juariah, Irawati Agustine, Hani Wahyuningtias,Dila Rismayanti Jurusan Bahasa Jepang Universitas Darma Persada ABSTRAK Mata kuliah Enshu di jurusan Jepang adalah mata kuliah wajib bagi mahasiswa jurusan Bahasa Jepang baik S1 maupun D3. Mata kuliah ini bertujuan untuk menunjang kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan soal JPLPT. Mata kuliah ini terdiri dari Enshu 1 dan Enshu 2 yang memuat materi soal Noken, yaitu Kanji, Bunpou-goi (kosa kata dan tata bahasa) dan dokkai (bacaan) ujian N3 dan N4. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan metode analisis isi (content analysis). Adapun langkah-langkah penelitian adalah : (a) penentuan fokus, (b) pengajuan pertanyaan penelitian, (c) pengumpulan data, (d) keabsahan data, dan (e) penganalisisan temuan penelitian. Dalam penelitian ini dianalisis persepsi mahasiswa terhadap peranan mata kuliah Enshu dalam menunjang kemampuan menjawab soal JLPT. Analisis ini dibuat melalui angket terhadap 60 responden mahasiswa semester enam dengan asumsi pernah mengambil ujian kemampuan N4 atau N3. Dari penelitian ini diketahui bahwa mata kuliah Enshu dapat membantu mahasiswa menjawab pertanyaan JLPT namun materinya belum mencukupi untuk menghadapi ujian JLPT. Dapat diketahui pula bahwa mahasiswa S1 lebih menginginkan materi Enshu untuk menghadapi N3 dan N2 sedangkan mahasiswa D3 lebih menginginkan materi Enshu untuk menghadapai N4 dan N3. Kata kunci : Enshu,Nihonggo no nouryokushiken (NOKEN), Presepsi, Materi, Dokkai PENDAHULUAN
Mata kuliah Enshu pada jurusan bahasa Jepang adalah salah satu mata kuliah yang wajib diambil oleh mahasiswa jurusan Bahasa Jepang baik S1 maupun D3. Mata kuliah ini bertujuan untuk menunjang kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan soal Nihonggo no Nouryokushiken (Noken) atau JPLPT (Japanese Language Profiency Test).
Kuliah ini memuat materi soal Noken tersebut yaitu Kanji, Bunpou goi (tata bahasa) dan dokkai (bacaan).
104
Dalam silabus pembelajaran mata kuliah Enshu baik di S1 maupun D3 Jurusan bahasa Jepang UNSADA, Nihongo no Nouryoku Shiken (Noken) level 4 dan 3 disebutkan tujuan utamanya adalah mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengerjakan soal Noken 4 dan 3. Sedangkan sejak tahun 2010 tingkat level ujian bahasa Jepang mengelami perubahan yaitu N5 sama dengan Level 4, N4 sama dengan level 3 dan N3 adalah level baru yang materi ujiannya di atas L3 namun di bawah Level 2 soal yang lama.
Berdasarkan hasil angket yang kami sebarkan kepada mahasiwa tentang mata kuliah Enshu dan manfaatnya bagi persiapan mereka mengerjakan soal Noken adalah (1) masih banyaknya mahasiswa yang merasa kurang puas dengan mata kuliah Ensyu, (2) Masih tidak sinkronnya materi ajar dan soal yang keluar saat ujian Noken. (3) masih sulitnya mahasiswa mengerjakan soal Noken. Selain itu kemampuan mahasiswa dalam memahami bacaan (Dokkai) berdasarkan catatan kami selama mengampu mata kuliah dokkai di Universitas Darma Persada membuktikan bahwa (1) kemampuan mahasiswa dalam mata kuliah ini jauh dari kategori baik, padahal semua tata bahasa, huruf kanji dan yang berkaitan dengan bacaan sudah diberikan materinya. (2) hal ini bisa diperkuat pula dengan adanya keluhan-keluhan yang disampaikan mahasiswa kepada peneliti, betapa mereka kesulitan dalam memahami bacaan bahasa Jepang (3) Hasil dokkai pada ujian kemampuan bahasa Jepang (noryokushiken) jauh dari standar.
Rendahnya kemampuan mahasiswa dalam memahami bacaan bahasa Jepang yang mereka pelajari pada mata kuliah dokkai dan masih rendahnya kemampuan mahasiswa dalam mengerjakan soal Noken tidak bisa dilepaskan kurkulum pembelajaran yang merupakan pokok pegangan dosen dalam memberikan materi dan bahan ajar. Berdasarkan permasalahan di atas, kami berupaya untuk mengupayakan pemecahan terhadap masalah tersebut. Salah satunya yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa adalah meninjau ulang kurikulum mata kuliah Enshu, Sebagai masukan dan bahan untuk meninjau ulang kurikulum yang memuat mata kuliah Enshu dibutuhkan masukan maupun pandangan mahasiswa terhadap mata kuliah ensyhu dalam persiapan menghadapi ujian Noken.
PERUMUSAN MASALAH 105
Berdasarkan pada latar belakang dan identifikasi permasalahan di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimana persepsi mahasiswa S1 dan D3 terhadap mata kuliah Enshu? dan sejauh mana mata kuliah tersebut dapat menunjang kemampuan mahasiwa dalam menghadapi ujian Noken?
TINJAUAN PUSTAKA
a. Persepsi
Persepsi menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (1999 : 243) adalah pandangan dari seseorang atau banyak orang akan hal atau peristiwa yang didapat atau diterima. Sedangkan kata persepsi sendiri berasal dari bahasa Latin perception, yang berarti penerimaan, pengertian atau pengetahuan.Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 215) persepsi diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal yang dialami oleh setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungan melalui panca indera (melihat, mendengar, mencium, menyentuh, dan merasakan). Agar individu dapat menyadari dan dapat membuat persepsi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,yaitu sebagai berikut : (1) adanya obyek yang dipersepsikan (fisik), (2) alat indera atau reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus (fisiologis), (3) adanya perhatian yang merupakan langkah pertama dalam mengadakan persepsi (psikologis)
Suatu presepsi atau interprestasi mengenai suatu stimulus akan ditentukan oleh kombinasi antara sifat-sifat
yang ada pada stimulus yang dipersepsi itu (bottom up) dengan
pengetahuan yang tersimpan didalam ingatan seseorang yang relevan dengan stimulus itu (top-down). Persepsi sendiri dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang dapat membentuk persepsi dan kadangkala membiaskan persepsi. Faktor-faktor tersebut dapat terletak pada orang yang mempersepsikannya, obyek atau sasaran yang dipersepsikan, atau konteks dimana persepsi itu dibuat. Sedangkan karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi meliputi sikap, kepribadian, motif, kepentingan, pengalaman masa lalu dan harapan. (Robbins, Stephen P., 2002: 52) b. Nihongo no Noryokushiken 106
Nihongo No noryoku Shiken adalah ujian kemampuan bahasa Jepang yang merupakan ujian yang meliputi kemampuan, membaca, memahami baik huruf (kanji) maupun bacaan. Test Japanese-Language Proficiency Test (JLPT) ini diadakan atas kerja sama Japan Foundation and Japan Educational Exchanges and Services. Ujian internasional ini mulai diadakan tahun 1984 untuk menguji mengukur keahlian Bahasa Jepang bagi mereka yang bahasa ibunya bukan bahasa Jepang. Dalam tahun pertama JLPT diselenggarakan di 15 negara, dan kira-kira 7000 peserta ujian mengambil tes tersebut. Sejak itu, JLPT telah menjadi tes bahasa Jepang terbesar di dunia, dengan kira-kira 610000 peserta ujian dan tersebar
dalam
62 negara dan daerah di
seluruh
dunia pada
tahun
2011
(http://www.jlpt.jp/e/about/message.html).
c. Kurikulum
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan lapangan kerja
Soemanto (1982) mengemukakan ada empat komponen kurikulum, yaitu: (1) Objective (tujuan); (2) Knowledges (isi atau materi); (3) School learning experiences (interaksi belajar mengajar di sekolah) dan; (4) Evaluation (penilaian). Pendapat tersebut diikuti oleh Nasution (1988), Fuaduddin dan Karya (1992), serta Nana Sudjana (1991: 21). Walaupun istilah komponen yang dikemukakan berbeda, namun pada intinya sama yakni: (1) Tujuan; (2) Isi dan struktur kurikulum; (3) Strategi pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar), dan: (4) Evaluasi.
d.Memahami Bacaan (Dokkai)
Kegiatan membaca merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena dengan membaca dapat memperkaya dan memperluas wawasan kehidupan, sehingga pembaca semakin mampu untuk mendewasakan diri. Proses pendewasaan diri melalui 107
membaca merupakan pengejawantahan dari konsep humaniora. Dengan demikian, sesungguhnya kegiatan membaca membawa misi humaniora (Koendjono, 1987: 86)
Hal ini juga ditekankan oleh Tarigan (1986) bahwa membaca merupakan salah satu keterampilan bahasa yang harus dikuasai. Apabila seseorang mampu menangkap ide secara tepat di dalam bacaan maka ia dikatakan telah memahami isi bacaan. Untuk memahami isi bacaan diperlukan kemampuan penguasaan kosakata (Tarigan, 1986:14). Berkaitan dengan itu, Aswandi (1991: 42) mengatakan bahwa bagaimanapun baiknya penguasaan kosakata dan cara membaca tidak ada artinya, kecuali pembaca tahu maknanya. Jika tidak demikian, mereka akan mengalami kesuliatan dalam memahami isi bacaan. Senada dengan itu, Tarigan (1986: 9) mengemukakan bahwa tujuan utama membaca adalah untuk mencari informasi menyangkut isi dan memahami makna bacaan.
TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui tentang pandangan mahasiswa S1 dan D3 Jepang UNSADA terhadap
mata
kuliah Enshu dan sejauh mana mata kuliah tersebut bermanfaat dalam menunjang Ujian Kemampuan Berbahasa Jepang (Noken).
MANFAAT HASIL PENELITIAN
a. Bagi Universitas Darma Persada Hasil kegiatan penelitian ini akan memberikan kontribusi dalam rangka pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya pada bidang pendidikan dan pengajaran. Melalui penelitian ini akan ditinjau dan dikembangkan kurikulum mata kuliah Enshu sehingga tercapainya kesesuaian kurikulum dengan materi Noken.
b. Bagi Dosen Pelaksanaan kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga bagi dosen pemegang mata kuliah Enshu tentang materi dan bahan ajar pada pembelajaran mata kuliah Enshu. c. Bagi Mahasiswa
108
Melalui kegiatan penelitian ini mereka diharapkan mahasiswa dapat memberikan masukan dan pandangan yang membangun untuk kurikulum bahasa Jepang dan khususnya mata kuliah Enshu sehingga sehingga kedepannya dapat memudahkan mereka mengerjakan soal Noken.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik analisis isi (content analysis) dengan langkah-langkah penelitian sebagai berikut: (a) penentuan fokus, (b) pengajuan pertanyaan penelitian, (c) pengumpulan data, (d) keabsahan data, dan (e) penganalisisan, pembahasan/penginterpretasian temuan penelitian (Wiersma, dkk, 1991:82-86).
Dalam penelitian ini akan dianalisis persepsi mahasiswa terhadap peranan mata kuliah enshu dalam menunjang kemampuan menjawab soal noken. Analisis ini dibuat dengan menggunakan angket yang yang disebarkan pada mahasiswa semester lima ke atas dengan asumsi mereka pernah mengambil ujian kemampuan berbahasa Jepang (Noken) N4 atau N3.
Sumber data adalah kurikulum mata kuliah Ensyu (S1) dan Nihongo no noryokushiken D3 semester 5, Angket yang sudah diisi oleh mahasiswa semester V tahun ajaran 2012/2013 jurusan Bahasa Jepang Universitas Darma Persada, Soal Noken N3 dan N4, Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Darma Persada, Jakarta.
HASIL PENELITIAN
Dari angket yang kami sebarkan kepada 63 rensponden yang terdiri dari 47 orang mahasiswa (S1) dan 16 orang mahasiswa D3. Responden adalah mahasiswa semester enam yang sudah mengambil mata kuliah Enshu 1 dan Enshu 2. Adapun hasil penelitian ini adalah Sebagai berikut : i)
Jumlah responden yang sudah lulus N3 atau N4 adalah 52% sedangkan yang belum lulus adalah 48% itu artinya mata kuliah Enshu belum maksimal
109
membantu mahasiswa dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk lulus Noken. Hal ini tergambar dalam grafik dibawah ini :
Mahasiswa yang Sudah Mengambil Mata Kuliah Enshu dan lulus N4/N3
48%
52%
Belum Lulus
sudah lulus
ii) Dari Jumlah yang lulus N3/N4 75% responden baru lulus N3/N4 setelah lebih dari dua kali mengikuti ujian Noken.
Jumlah mengikuti JLPT Sampai lulus N3/N4 5% 20%
75%
A.1 X
B.2X
C.lebih dari 2X
iii) Bagian Soal JLPT (Noken) yang sulit 80% responden mengatakan bahwa Bunpo&Dokkai, 18% responden mengatakan Choukai adalah yang sulit dan
110
2% mengatakan Moji/Goi
(Tulisan ) lah yang sulit. Sedangkan Soal JLPT
(Noken) yang paling mudah adalah 71% responden menjawab Moji/Goi (Tulisan ) lah yang paling mudah.
Bagian JLPT yang Sulit 2%
18%
80%
A.moji /goi
B.Dokkai&bunpo
C.Chokai
Bagian JLPT yang Mudah 24% 5% 71%
A.moji /goi
B.Dokkai&bunpo
C.Chokai
iv) Dari grafik dibawah ini dapat diketahui bahwa Mata kuliah Enshu membantu mahasiswa dalah menjawab pertanyaan JPLT (79%) namun sebagian besar responden (80%) berpendapat materi mata kuliah Enshu masih belum mencukupi untuk menghadapi ujian JLPT sehingga materi mata kuliah Enshu
111
perlu disesuaikan untuk lebih meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menghadapi JLPT. Apakah mata kuliah Enshu membantu untuk menjawab pertanyaan saat mengikuti ujian JLPT
21%
79%
A.ya
B.Tidak
Apakah Materi pada mata kuliah Enshu sudah mencukupi untuk menghadapi ujian JLPT
20%
80%
A. Ya
B.Belum
5) Materi Mata kuliah Enshu yang berlaku dalam kurikulum sampai tahun ini adalah Enshu 1 untuk menghadapi JLPT Level 4 dan Enshu 2 untuk menghadapi JLPT Level 3 (Versi Noken Lama setara dengan N5 dan N4) dari penelitian ini dapat diketahui bahwa 68% responden mahasiswa S1 lebih memilih untuk membahas N3 dan N2 sedangkan mahasiswa D3 lebih banyak memilih untuk membahas N4 dan N3 pada kuliah Enshu.Hal ini terlihat pada tabel berikut ini :
112
S1 4% 28% 68%
A.N5 dan N4
B.N4 dan N3
C.N3 dan N2
D3 0%
44% 56%
A.N5 dan N4
B.N4 dan N3
C.N3 dan N2
6) Dari grafik dibawah ini dapat diketahui bahwa selain materi bunpo&Dokkai mayoritas mahasiswa yaitu 79% menginginkan agar mata kuliah Enshu juga membahas tentang kanji (tulisn) dan Choukai (Pendengaran).
113
Kuliah Enshu saat ini hanya membahas adalah materi Bunpo&Dokkai apakah diperlukan juga materi kanji dan choukai
21%
79%
A.Ya
B.Tidak
Selain hasil diatas berikut ini adalah masukan dari mahasiswa terhadap mata kuliah Enshu 1. Diharapkan mata kuliah Enshu dimulai dari semester II-VII 2. Perlunya diperbanyak latihan soal (3 orang) 3. Supaya lebih diarahkan untuk JLPT N2 dan N3 saja. 4. Selain pembahasan soal, mohon diberi tips dan trik saat ujian seperti mengerjakan dokkai tanpa harus membaca semua isinya dll. Diharapkan juga penjelasan mengapa jawaban tersebut dipilih. 5. Materi enshu saat ini berbeda dengan soal noken, jadi diharapkan materi enshu lebih baik disamakan dengan sistem JLPT yang terakhir dan dibahasa JLPT terbaru yang dibahas di kelas untuk mata kuliah enshu (8 orang) 6. Untuk persiapan N3, mohon bobot sks mata kuliah enshu dinaikkan (2 orang) 7. Pembahasan materi Chokkai dan kanji di kelas (9 orang) 8. Diharapkan bagian bunpou dan dokkai dipelajari secara lebih mendalam (3 orang) 9. Pembahasan mendalam untuk bunpou 10. Mohon shortcut untuk mengerjakan soal tersebut.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diatas dapat diambil kesimpulan yaitu : (i)
Perlu diadakannya perbincangan lebih mendalam anatara jurusan dan dosen pengampu mata kuliah Enshu untuk membicarakan lebih lanjut tentang materi kuliah 114
Enshu saat ini. Perlu dilihat dan diteliti kembali apakah kurikulum yang berlaku sekarang ini sudah sesuai dengan disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswa dalam menghadapi ujian Noken (JPLT). (ii)
Mata kuliah Enshu dapat membantu mahasiswa menjawab pertanyaan JLPT namun materinya belum mencukupi untuk menghadapi ujian JLPT.
(iii) Dapat diketahui pula bahwa mahasiswa S1 lebih menginginkan materi Enshu untuk menghadapi N3 dan N2 sedangkan mahasiswa D3 lebih menginginkan materi Enshu untuk menghadapai N4 dan N3.
DAFTAR PUSTAKA Edelsky, C. & Altwelger, B.(1994).Whole Language, What’s the Difference?. N.H: Heinemann Husna, Asmaul. 2011. Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas VII SMPN 2 Bojong Kabupaten Tegal melalui Penggunaan Model Jigsaw, (Online),
(http://farichinfarich.blogspot.com/2011/03/peningkatan-
kemampuan-membaca-pemahaman.html, diakses 26 Januari 2013). Muchlisoh, dkk. 1992. Pendidikan Bahasa Indonesia 3. Jakarta: Depdikbud. Nurhadi, 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung : Sinar Baru. ________, 2004. Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Membaca?. Bandung: Sinar Baru Algensindo Nur, Mohamad. 1999. Teori Belajar. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Rosenblatt, L.M. (1988). Writing and Reading: The Transactional Theory, Technical Report No. 416. Cambridge: Bolt, Beranek, and Newman Inc. Spada, N & Lightbown, P.M. (1993). How Languages Are Learned. Oxford: Oxford Univ. Press Slavin, Robert E. 2010 .Cooperative Learning : Teori, Aplikasi dan Praktek. Cetakan kedelapan. Bandung: Nusa Media. Sujana, A.S.H. 1988. Modul materi pokok membaca UT. Jakarta: Karunika. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa ___________. Metodologi Pengajaran bahasa 2. Angkasa bandung, 2009
115
Weaver, C. (1994). Reading Process and Practice from Socio-Psycholinguistics to Whole language. N.H : Heinemann Wiersma, William dan Stephen G. Jurs. 1991. Research Method in Education: An Introduction, Fifth Edition . United State of America: Allyn dan Bacon. Presepsi (Kajian Psikhologi) http://kajianpsikologi.blogspot.com/2012/02/presepsi.html, diakses 20 April 2013 Analisis Presepsi Akuntan Publik dan mahasiswa Profesi Akuntansi terhadap kode etik Ikatan Akuntan Indonesia, Skripsi ttp://eprints.undip.ac.id/22540/1/RONALD_ ARISETYAWAN.PDF , Diakses 19 April 2013 http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum, diakses pada 24 februari 2013 http://www.jlpt.jp/e/about/message.html diakses 25 Pebruari 2013
116
PENERAPAN METODE-METODE MEMBACA UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN TEKS BERBAHASA INGGRIS PADA MURID KELAS 3 SD DI SEKOLAH INTERNASIONAL (SEBUAH STUDI EKSPERIMEN; LANJUTAN) Swany Chiakrawati Sastra Inggris - Fakultas Sastra
[email protected] ABSTRACT Reading habit hasn’t been trained well among Indonesian. Misunderstanding or misinterpretation usually happens about the content. Implementing good and right methods in reading is a must for students in order to make them understand the reading text. This research is conducted to prove which method is the best when it is implemented for students, so they can catch up the meaning and be able to analyze the reading text/story clearly. Through this experimental research, the hypothesis that there is influence of implementing the reading methods in improving the reading skill of the primary 3rd years students towards the students’ abilities in understanding and analyzing the reading text, will be proved. In the previous research, it showed the influence of PQ4R reading method towards the students’ understanding in analyzing the given story. This time, it is proved that PQRST reading method has high potential in improving students’ reading skill. Compared to the conventional reading method, both PQ4R and PQRST methods give the way out in training one’s reading capability, which will be continuously developed through their reading experiences. Key words: PQRST reading method, conventional reading method, 3rd year primary students, experimental research, English reading text. PENDAHULUAN
Membaca sering dikatakan belum menjadi budaya orang-orang di Indonesia. Pemahaman yang diperoleh setelah membaca suatu teks bacaan sering tidak maksimal. Membaca dengan metode yang tepat memang tidak secara khusus diajarkan di sekolah-sekolah, kecuali di sekolah-sekolah internasional yang menerapkan bahasa Inggris dalam semua proses pembelajaran sesuai kurikulum sekolah-sekolah tersebut. Dalam penelitian ini, dilakukan eksperimen lanjutan untuk mengetahui metode membaca mana yang tepat dan berdampak efektif serta efisien bila diterapkan ke murid-murid sekolah. Dengan menerapkan metode membaca yang tepat, diharapkan akan meningkatkan kemampuan murid-murid dalam memahami suatu teks yang dibaca secara maksimal. 117
Secara umum, kemampuan membaca dan nalar murid untuk memahami materi yang dibaca masih rendah. Rendahnya kemampuan murid dalam memahami bacaan disebabkan oleh berbagai factor, baik factor internal maupun factor eksternal (Tampubolon, 2001:72). Faktor internal adalah factor yang berasal dari diri murid sendiri, misalnya rendahnya motivasi intrinsic murid dalam membaca, kesadaran metakognitif, dan latar belakang pengetahuan murid. Faktor eksternal adalah factor yang berasal dari lingkungan murid itu berada, misalnya: sarana membaca yang kurang tersedia, lingkungan social ekonomi keluarga tidak mendukung, dan lain-lain.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen untuk meneliti pengaruh penerapan metode membaca(SQ4R dan PQRST) terhadap ketrampilan murid untuk lebih paham materi bacaan bahasa Inggris. Diharapkan dengan menerapkan metode membaca tertentu, murid lebih memahami materi yang dibaca, daripada murid membaca dengan metode membaca yang konvensional.
Kemampuan memahami sebuah bacaan dimaksud adalah murid mampu membaca sebuah bacaan dengan tepat dan cepat, murid mampu menyerap informasi lisan dan tertulis, serta memberi tanggapan secara tepat dan cepat, murid mampu memperoleh sumber informasi, mengumpulkan informasi dan member tanggapan secara tepat dan cepat, serta memanfaatkannya untuk berbagai keperluan (Depdiknas, 2004:3).
Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan eksperimen terhadap metode membaca PQ4R, dan membandingkan hasilnya dengan metode membaca konvensional. Hasil eksperimen menunjukkan metode membaca PQ4R memberi pemahaman yang lebih mendalam terhadap isi bacaan kepada siswa-siswa. Siswa-siswa yang membaca dengan metode membaca PQ4R lebih memahami isi bacaan dibandingkan siswa-siswa yang membaca dengan metode konvensional.
Dalam penelitian lanjutan akan dieksperimenkan metode membaca PQRST. Hasil penerapan metode membaca PQRST akan dibandingkan dengan metode membaca konvensional.
118
PERUMUSAN MASALAH
Penerapan metode membaca yang tepat untuk meningkatkan pemahaman teks bacaan pada murid SD kelas 3 di sekolah internasional.
TINJAUAN PUSTAKA Dalam penelitian ini dieksperimenkan metode-metode membaca yang diterapkan terhadap murid kelas 3 SD. Metode-metode yang diterapkan adalah metode membaca PQ4R dan metode membaca PQRST, yang dibandingkan dengan metode membaca yang konvensional.
Metode membaca PQ4R merupakan metode membaca dari Thomas F Staton, yang mengutamakan adanya kegiatan preview, question, read, reflect, recite dan review pada saat kegiatan membaca dilakukan. PQ4R tepat diterapkan pada murid kelas 3 SD di sekolah internasional yang telah paham melakukan berbagai kegiatan yang diminta setelah membaca. Langkah-langkah metode membaca PQ4R lebih terperinci dijelaskan sebagai berikut: - Preview (membaca selintas). Langkah ini dilakukan dengan membaca kalimat-kalimat permulaan atau suatu paragraph, ataupun akhir suatu bab secara sekilas g memperoleh gambaran sekedarnya mengenai apa isi yang akan dibaca. Perhatikan juga ide pokok yang menjadi inti pembahasan/uraian seluruh materi ide yang ada dalam karangan. - Question (bertanya). Langkah ini mengharuskan murid mengajukan pertanyaan untuk setiap bagian yang ada pada materi bacaan. Kalau pada akhir bab telah ada pertanyaan yang dibuat oleh pengarangnya. Daftar itu hendaknya dibaca lebih dahulu. - Read (membaca). Langkah ini mengharuskan murid membaca secara aktif yakni harus memberikan reaksi terhadap apa yang dibacanya. Murid harus mencari jawaban terhadap semua pertanyaan yang terdapat pada akhir materi yang dibaca. - Reflect (memantulkan). Langkah ini mengharuskan murid untuk mendalami, memahami dengan kemampuan berpikir yang lebih tinggi, tidak hanya cukup mengingat atau menghapal. - Recite (Tanya jawab). Langkah ini mengharuskan murid untuk mengingat kembali informasi yang telah dipelajari dengan menyatakan dengan suara nyaring dan menanyakan jawaban-jawaban pertanyaannya. Murid menemukan intisari materi yang 119
dibaca. Setelah selesai membaca suatu bagian harus dikatakan kembali dengan kata-kata sendiri sambil merenungkan dan membandingkan dengan apa yang diketahui. - Review (mengulang). Langkah ini mengharuskan murid mengulang kembali secara aktif seluruh bacan, dan menanyakan pada diri sendiri ketepatan jawaban yang telah dibuat atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Dianjurkan untuk mengulang materi jika tidak yakin dengan jawanan yang dibuat.
Metode PQRST adalah suatu teknik membaca yang diperkenalkan oeh Thomas, Ellen Lamar, Robinson dn H.Alan dalam buku mereka yang berjudul ‘Improving Reading in Every Class’. Metode membaca yang cocok untuk murid yang belajar dengan system bilingual, karena murid memahami isi literature bersamaan dengan waktu pembelajaran reading. Lima hal yang memjadi perhatian dan kegiatan dalam metode membaca PQRST ini adalah -
Preview (membaca sekilas). Kegiatan ini dmaksudkan agar murid membaca dengan cepat sebelum mulai membaca topic-topik, sub topic utama, judul dan sub judul, kalimat-kalimat permulaan atau akhir suatu paragraph, atu ringkasan pada akhir suatu bab. Perhatikan ide pokok yang akan menjadi inti pembahasan dalam bahan bacaan murid. Dengan ide pokok ini akan memudahkan mereka memahami keseluruhan ide yang ada.
-
Question (bertanya). Kegiatan ini adalah menyusun atau mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri mengenai isi buku atau untuk setiap bab yang ada pada bahan bacaan murid. Pertanyaan ini mendukung pembaca atau murid menemukan apa yang diperlukannya. Awali pertanyaan dengan menggunakan kata ‘apa, siapa, mengapa dan bagaimana’. Kalau pada akhir bab telah ada daftar pertanyaan yang dibuat pengarang, hendaklah baca terlebih dahulu.
-
Read (membaca). Kegiatan ini mengharuskan murid membaca secara teliti paragraph demi paragraph untuk lebih memahami isi bacaan atau materi yang ada dalam buku, sambil mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya.
-
Summarize (meringkas). Pada kegiatan ini, siswa berhenti sebentar untuk meringkas atau membuat catatan penting mengenai apa yang sudah dibacanya tadi.
120
-
Test (menguji). Pada kegiatan ini, murid diberikan tes atau semacam petanyaan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman yang telah diperoleh dari buku atau materi yang sudah dibaca sebelumnya.
Dari uraian tentang metode membaca PQRST di atas, dapat dilihat bahwa metode membaca ini dapat membantu murid memahami materi pembelajaran, terutama terhadap materi-materi yang lebih sukar dan menolong murid untuk berkonsentrasi lebih lama.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dalam penelitian adalah
-
Mengetahui ada tidaknya peningkatan kemampuan membaca murid untuk memahami materi bacaan dengan menggunakan metode membaca tertentu, yaitu metode membaca PQ4R dan PQRST, dibandingkan dengan murid yang membaca dengan metode membaca konvensional.
-
Mengetahui perbedaan kemampuan membaca antara murid yang membaca dengan metode PQ4R, PQRST dan metode membaca konvensional.
MANFAAT HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan :
a.
Dapat memberikan informasi kepada pengajar untuk menerapkan metode membaca yang tepat, sehingga murid-murid sejak dini dapat menerapkan metode membaca yang tepat, sehingga diperoleh pemahaman maksimal terhadap materi yang dibaca.
b.
Sekolah mengembangkan kurikulum yang mengajarkan murid-murid untuk membaca dan memahami materi yang dibaca dengan benar sehingga mendukung peningkatan kompetensi membaca murid-murid sedini mungkin, yang akan membentuk kebiasaan dan minat membaca pada murid-murid tersebut di kemudian hari.
121
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini, metode membaca merupakan independent variable atau variable eksogen, mempengaruhi pemahaman teks bacaan yang merupakan dependent variable atau variable endogen.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah penerapan metode membaca mempengaruhi pemahaman teks bacaan pada murid SD kelas 3 di sekolah internasional.
Subyek penelitian adalah murid SD kelas 3 di sekolah internasional Bina Bangsa School. Karakteristik pengambilan sampel adalah murid SD kelas 3 sebanyak 4 kelas, di mana 2 kelas menjadi kelompok eksperimen dan 2 kelas menjadi kelompok kontrol. Pengambilan subyek dalam penelitian ini menggunakan cluster random sampling. Berdasarkan hasil undian diperoleh kelas yang menjadi kelas control dan kelas eksperimen. Pada kelompok eksperimen dikenai metode membaca SQ4R dan metode membaca PQRST. Sedangkan pada kelompok control akan dikenai metode membaca yang konvensional.
Murid kelas 3 yang terpilih menjadi subyek penelitian sebab mulai kelas 3, pada pelajaran bahasa Inggris terdapat banyak materi-materi bacaan yang mewajibkan murid mampu menjawab pertanyaan mengenai isi bacaan tersebut, di mana pertanyaan bersifat konprehensif, sehingga pemahaman yang mendalam terhadap isi bacaan sangat dibutuhkan. Sehubungan dengan materi bacaan yang menuntut jawaban yang konprehensif, kebutuhan murid untuk memahami materi bacaan secara mendalam semakin mendesak. Menghadapi tuntutan tersebut, murid perlu dibekali metode membaca yang tepat, efektif dan efisien.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain pretest-posttest control group design. Data diperoleh dengn instrumen membaca pemahaman. Butir soal yang digunakan untuk pretest dan posttest masing-masing berjumlah 30 butir soal. Penghitungan validitas butir soal menggunakan teknik Korelasi Product Moment dari Pearson. Reliabilitas dihitung dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach.
Adapun teknis pelaksanaan eksperimen sebagai berikut: 122
Eksperimen dilakukan setiap minggu, selama 3 jam pelajaran reading berturutturut. Adapun lamanya tiap jam pelajaran adalah 30 menit. Sebelum rangkaian eksperimen dilakukan, semua subyek penelitian diberikan pretest berupa pertanyaan-pertanyaan pemahaman bacaan. Setelah prestest, kelompok eksperimen mulai dikenai treatment berupa ketiga metode belajar tersebut, yaitu metode membaca PQ4R dan PQRST. Masing- masing metode membaca diterapkan selama 4 bulan terhadap siswa-siswa di kedua kelas yang merupakan kelompok eksperimen. Di samping itu, setiap bulan dilakukan evaluasi untuk melihat kemajuan tingkat pemahaman bacaan pada kelompok eksperimen. Pada akhir rangkaian eksperimen, diberikan posttest, baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok control.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Data diperoleh dari hasil eksperimen yang dikenai ke subyek penelitian. Hasil-hasil dari eksperimen akan dihitung dengan program ttest yang terdapat dalam piranti lunak SPSS versi 19.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama 4 bulan penelitian yang telah dilalui, diketahui hasil dari penerapan metode membaca PQRST, sebagai berikut: Hasil penelitian terhadap metode membaca PQRST dapat dilihat dari skor rata-rata pretest ke posttest yang signifikan untuk kelompok eksperimen sebesar 2.75, sedangkan skor rata-rata pretest ke posttest kelompok control mengalami penurunan sebesar 0,314. Hasil t-test untuk pretest tidak berbeda secara signifikan, diperoleh nilai t sebesar 0.167; p=0.906
(0.906>0.05=tidak signifikan). Skor kelompok
eksperimen sebesar 2; dengan nilai t pretest dan posttest sebesar 2.515;p=0.018 (0.018<0.05=signifikan). Pada kelompok kontrol terjadi penurunan sebesar -0.274; dengan nilai t pretest dan posttest sebesar 0.403; p=0.624 (0.624>0.05 tidak signifikan).
Dengan demikian diperoleh hasil yang signifikan menunjukkan bahwa murid yang membaca dengan metode PQRST lebih memahami materi bacaan, memiliki nalar yang konprehensif untuk menjawab pertanyaan sehubungan dengan materi yang dibaca. 123
Pada periode penelitian berikut akan dilanjutkan dengan membandingkan penerapan metode membaca PQ4R dan PQRST untuk melihat metode membaca mana yang paling efektif dan efisien bila diterapkan bagi murid kelas 3 SD.
KESIMPULAN
Dengan menguji hubungan struktural antar variabel yang terlibat dalam penelitian, maka dapat disimpulkan hasil temuan penelitian sebagai berikut: -
Terdapat perbedaan yang signifikan antara pemahaman materi yang dibaca antara murid yang menerapkan metode membaca PQRST dan murid yang hanya membaca secara konvensional.
-
Pemahaman membaca yang diperoleh murid yang menggunakan metode membaca PQRST lebih efektif dan efisien dibandingkan murid yang membaca dengan metode konvensional.
DAFTAR PUSTAKA Burns,Bill. 1996. Teaching Reading in Today’s Elementary School. Boston:Honghton Mifflin Company. Depdiknas.2004. Tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi, Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas. Francis P. Robinson. 2003. Educational and Psychological Measurement and Evaluation. Massachusetts: Allyn & Bacon. Richards, Jack. 2000. Approach and Method in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Tampubolon. 2001.Mengembangkan Minat dan Kebiasaan Membaca Pada Anak. Bandung:Angkasa Bandung. Wiener, Harvey S. & Bazerman, Charles. 2004. Reading Skill Houghton Mifflin Company
124
Handbook. Boston:
ANALISIS SOAL NIHONGO NOURYOKU SHIKEN FOKUS PADA PENGGUNAAN KATA BENDA DALAM SOAL NIHONGO NOURYOKU SHIKEN LEVEL 1 Hari Setiawan, Riri Hendriati, Hermansyah Djaya Sastra Jepang – Fakultas Sastra ABSTRAK Dalam dunia pendidikan bahasa Jepang, JLPT menjadi sebuah parameter yang belum tergantikan bagi para pembelajar bahasa Jepang untuk mengukur kemampuan mereka. Namun meskipun peserta JLPT ini mengalami peningkatan yang signifikan namun bukan berarti peningkatan tersebut juga berlaku untuk tingkat kelulusan peserta dari ujian tersebut. Kemudian dari studi literatur yang kami lakukan, cukup banyak penelitian yang mengupas ujian JLPT ini sebagai tema penelitiannya. Dari hal tersebut tim penulis dapat menyimpulkan bahwa memang soal ataupun komposisi dari materi ujian yang disusun dalam ujian JLPT memiliki ketidaksesuaian dengan keadaan pembelajaran para pembelajar bahasa Jepang. Dari latar belakang tersebut, tim penulis menilai adanya kebutuhan untuk penelitian lebih lanjut mengenai soal ujian JLPT ini baik dari sisi isi materinya, komposisinya ataupun dari penyajiannya. Pada penelitian kali ini tim penulis akan menganalisis salah satu bagian dari unsur soal yaitu bagian kosakata khususnya Kata Benda. Kata Benda dipilih oleh tim penulis sebagai fokus dari penelitian ini karena kata benda dianggap kata yang paling dominan secara kuantitas. Dari hasil analisis di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa dari data yang dianalisis, kata benda memiliki kuantitas yang terbanyak sebesar 76% dari jumlah data. Kemudian, dalam distribusi kata benda berdasarkan jenisnya, didapatkan kata benda umum memiliki kuantitas yang paling banyak sebesar 59%. Lalu jika dilihat dari kategori makna, kata benda yang menggambarkan aktifitas dan benda adalah kategori makna yang paling dominan, yaitu kata benda yang menggambarkan aktifitas muncul sebanyak 39% dan benda sebanyak 36%. Kemudian didapatkan juga bahwa hampir semua kosakata yang digunakan sebagai data adalah kosakata yang tidak digunakan dan tidak tergambarkan dalam pembelajaran bahasa Jepang tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah. Kata kunci : Kata Benda, JLPT, Kata Benda Umum PENDAHULUAN
Nihongo Nouryoku Shiken atau dikenal juga dengan istilah Japanese Language Proviciency Test (Selanjutnya disebut JLPT) merupakan satu-satunya tes kemampuan bahasa Jepang yang diakui oleh seluruh instansi pendidikan bahasa Jepang di seluruh dunia. JLPT diadakan 2 kali dalam 1 tahun, yaitu pada bulan Juli dan Desember dengan jumlah peserta yang terus meningkat. JLPT diselenggarakan di lebih dari 60 negara dan 125
sekitar 230 kota. Pada tahun 2011 jumlah peserta JLPT meningkat sampai dengan lebih dari 600.000 orang. Hal ini disebabkan oleh pengaruh budaya Jepang yang sangat kuat, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Selain itu, faktor pertumbuhan ekonomi Jepang juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan peserta JLPT. Dalam jangka waktu 5 tahun terakhir, jumlah perusahaan Jepang yang melebarkan sayapnya ke luar negeri semakin banyak. Hal tersebut memicu kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan berbahasa Jepang.
Dalam dunia pendidikan bahasa Jepang, JLPT menjadi sebuah parameter yang belum tergantikan bagi para pembelajar bahasa Jepang untuk mengukur kemampuan mereka. Namun meskipun peserta JLPT ini mengalami peningkatan yang signifikan namun bukan berarti peningkatan tersebut juga berlaku untuk tingkat kelulusan peserta dari ujian tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh standar pendidikan bahasa Jepang di Indonesia yang belum bisa mencerminkan standar kemampuan bahasa Jepang yang sudah ditetapkan dan berlaku di Jepang. Pada umumnya tingkat pendidikan bahasa Jepang di Indonesia hanya sampai pada tingkat menengah dan masih sedikit institusi pendidikan yang mengadakan pendidikan bahasa Jepang untuk tingkat menengah ke atas. Kemudian, di tingkat menengah pun pembelajar di Indonesia masih mengalami kesulitan untuk bisa lulus dari JLPT ini karena adanya perbedaan input bahasa yang diterima.
Kemudian dari studi literatur yang kami lakukan, cukup banyak penelitian yang mengupas ujian JLPT ini sebagai tema penelitiannya. Dari hal tersebut tim penulis dapat menyimpulkan bahwa memang soal ataupun komposisi dari materi ujian yang disusun dalam ujian JLPT memiliki ketidaksesuaian dengan keadaan pembelajaran para pembelajar bahasa Jepang.
Di bawah ini adalah data statistik mengenai data jumlah peserta dalam pelaksanaan ujian JLPT dari tahun 1984 sampai dengan tahun 2009.
126
Grafik 1. Data jumlah peserta ujian JLPT dari tahun 1984 sampai tahun 2009
Dari data statistik di atas, kita dapat melihat adanya peningkatan jumlah peserta ujian JLPT yang terjadi di setiap tahun khususnya pada jumlah peserta ujian yang mengikuti ujian di luar Jepang (ditandai dengan batang yang berwarna gelap). Namun, sudah menjadi fakta umum bahwa peningkatan jumlah peserta tersebut tidak berimbang dengan jumlah peserta ujian yang dapat lulus, khususnya pada level ujian menengah ke atas. Di bawah ini adalah grafik yang menunjukan peningkatan pada jumlah peserta ujian JPLT yang lebih jelas.
Grafik 2. Data jumlah peserta ujian JLPT dari tahun 1984 sampai tahun 2009
127
Di bawah ini adalah grafik yang menunjukan karakteristik dari peserta ujian JLPT.
Grafik 3. Data karakteristik peserta ujian JLPT
Dari grafik di atas kita dapat melihat bahwa sebagian besar peserta merupakan siswa dari tingkat pendidikan atas seperti perguruan tinggi dan mahasiswa pasca sarjana. Kemudian, di bawah ini adalah grafik yang menunjukan perbandingan alasan yang dimiliki oleh para peserta ujian JLPT dalam mengikuti ujian.
Grafik 4. Data alasan peserta ujian JLPT dalam mengikuti ujian
128
Dari grafik tersebut kita dapat mengetahui bahwa sebagian besar alasan dari para peserta dalam mengikuti ujian adalah untuk mengukur kemampuan bahasa Jepang yang sudah mereka pelajari.
Lalu, dari beberapa penelitian terdahulu mengenai ujian JLPT ditemukan berbagai hal yang dinilai sebagai permasalahan baik dalam komposisi soal dari ujian tersebut, standar kosakata yang digunakan, ataupun hal pendukung lain seperti komposisi dari pendidikan bahasa Jepang itu sendiri.
Dari latar belakang tersebut, tim penulis menilai adanya kebutuhan untuk penelitian lebih lanjut mengenai soal ujian JLPT ini baik dari sisi isi materinya, komposisinya ataupun dari penyajiannya. Melalui penelitian ini, tim penulis akan melakukan analisis terhadap soalsoal ujian JLPT khususnya di level yang memiliki tingkat kelulusan terendah yaitu di level 1. Pada penelitian kali ini tim penulis akan menganalisis salah satu bagian dari unsur soal yaitu bagian kosakata. Bagian kosa kata dipilih oleh tim penulis sebagai fokus dari penelitian ini karena kosa kata dianggap hal yang memiliki peranan penting dalam proses pembelajaran bahasa asing. Karena pada dasarnya jumlah kosa kata yang dikuasai oleh pembelajar dapat memberikan gambaran kasar dari keadaan penguasaan bahasa asing pembelajar tersebut.
Dari penelitian ini diharapkan didapatkan gambaran mengenai susunan soal dan komposisi dari penggunaan kosa katanya agar dapat memberikan gambaran kepada pembelajar bahasa Jepang mengenai kecenderungan penggunaan kosa kata yang ada dalam soal ujian JPLT level 1 dan apa yang harus disiapkan untuk menempuh ujian tersebut.
PERUMUSAN MASALAH
Kata benda dalam bahasa Jepang disebut dengan Meishi. Dalam bahasa Jepang kata benda didefinisikan sebagai sebuah kata yang menunjukan kejadian, orang, atau benda yang tidak mengalami perubahan. Kata benda dalam bahasa Jepang memiliki kelebihan yaitu bisa diletakkan di belakang partikel Kakujoshi (contoh : partikel Ga, Wo, To, Ni, dan sebagainya).
129
Dalam bahasa Jepang, kata benda pada umumnya dibagi menjadi 5 jenis yaitu : a.
典型的な名詞 Jenis kata benda di atas dibaca Tenkei teki na Meishi atau kata benda umum seperti kata-kata 「日本語学校/Sekolah bahasa Jepang」atau「先生/Guru」.
b. 固有名詞 Sedangkan jenis ini disebut dengan Koyuu Meishi, merupakan kata benda yang menunjuk pada nama orang atau nama daerah seperti 「田中さん/Tanaka san」atau 「東京/Toukyou」. c.
代名詞 Jenis ini disebut Daimeishi. Daimeishi merupakan kata benda yang menggantikan kata-kata yang menunjukan orang atau tempat. Contoh dari kata benda jenis ini adalah 「彼/Dia」atau 「そこ/Di sana」.
d. 時名詞 Jenis kata benda ini disebut Tokimeishi, merupakan kata benda yang menunjukan keterangan waktu seperti 「今日/hari ini」atau「毎日/Setiap hari」. Kata-kata tersebut dianggap sebagai kata benda dalam bahasa Jepang karena dapat diletakkan setelah partikel Kakujoshi. Contohnya seperti pada kalimat di bawah ini : ① 今日が原稿の締め切りだ。 “Kyou ha genkou no shimekiri da.” Hari ini adalah batas akhir pengumpulan naskah. ② 毎日を楽しく過ごす。 “Mainichi wo tanoshiku sugosu.” Menghabiskan waktu setiap hari dengan gembira. e.
形式名詞 Jenis kata benda ini disebut dengan Keishiki Meishi, merupakan kata benda yang memiliki fungsi sebagai kata keterangan seperti「はず/hazu」,「ため/tame」dan sebagainya. Kata-kata tersebut dianggap sebagai kata benda karena keistimewaannya yang dapat diletakkan setelah partikel Kakujoshi.
Kemudian, selain kelima jenis kata benda di atas, dalam bahasa Jepang kata-kata seperti 「1人/Hitori/Satu orang」,「1羽/Ichiwa/1 ekor」,「3匹/Sanbiki/3 ekor」, dan kata-kata
130
sejenis yang terdiri atas kata-kata yang menunjukan jumlah dan hitungan juga dianggap sebagai kata benda.
Untuk melakukan analisis pada topik di atas, penulis membuat 2 pertanyaan sebagai langkah awal dan acuan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Kecenderungan seperti apa yang terdapat pada kata benda khususnya kata benda yang digunakan dalam soal-soal JLPT level 1? 2. Dari kecenderungan yang muncul dalam penggunaan kosakata di dalam soal JLPT level 1 tersebut, pola pembelajaran seperti apa yang bisa diprediksikan?
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memberikan gambaran tentang kecenderungan penggunaan kosakata dalam soal ujian JLPT level 1. 2. Memberikan gambaran pola pembelajaran agar dapat mengikuti ujian JLPT level 1 dengan baik. 3. Memberikan gambaran kepada pengajar tentang pola pengajaran yang bisa disusun untuk mengatasi permasalahan di ujian JLPT level 1.
MANFAAT HASIL PENELITIAN
Dengan penelitian ini, diharapkan pembelajar dan pengajar bahasa Jepang akan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kecenderungan penggunaan kosakata di dalam ujian JLPT khususnya pada level 1. Dari hal tersebut kami juga berharap khususnya bagi para pengajar dapat memiliki referensi dalam hal pengajaran khususnya pada pengajaran kosakata untuk mengatasi kurangnya pengetahuan pembelajar dalam hal kosakata yang digunakan dalam ujian JLPT level 1.
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk penelitian ini, tim penulis akan menggunakan studi literatur sebagai metode untuk mengumpulkan data dan referensi. Data akan diambil dari soal-soal ujian JLPT selama 5 131
tahun yaitu dari tahun 2004 sampai dengan 2008. Dari soal-soal tersebut akan diambil sebagai data berupa kosakata yang tergolong ke dalam kelas kata Nomina. Data yang terkumpul akan digolongkan ke dalam berbagai klasifikasi dalam nomina, baik dari jenis nominanya ataupun klasifikasi berdasarkan pemetaan nomina dilihat dari bidang atau situasi nomina tersebut dipakai (misalnya nomina dari bidang kedokteran, nomina yang digunakan dalam situasi darurat, dan sebagainya). Kemudian dari klasifikasi tersebut akan terlihat kecenderungan pemakaian dari data yang terkumpul.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang berhasil tim penulis kumpulkan adalah 3000 lebih yang terdiri dari berbagai kosakata dari berbagai jenis kata. Berkaitan dengan keterbatasan waktu yang tim penulis miliki, dari jumlah data tersebut kami hanya berhasil mengekstrak 500 buah kosakata. Dari 500 data tersebut kami dapat memberikan gambaran sebagai berikut :
Distribusi Data Berdasarkan Jenis Kata Series1, kata Sifat, 44, 9%
Series1, Kata Keterangan, 24, 5%
Kata Benda
Series1, Kata Kerja, 50, 10%
Kata Kerja kata Sifat Series1, Kata Benda, 382, 76%
Kata Keterangan
Grafik 5. Distribusi Data Berdasarkan Jenis Kata
Dari grafik di atas, kita dapat melihat bahwa dari 500 buah kosakata kata benda memiliki kuantitas yang paling banyak yaitu 76 %. Dari hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa distribusi yang dominan ini seharusnya bisa menarik perhatian para pengajar dan pembelajar bahasa Jepang dalam mempelajari bahasa Jepang atau mempersiapkan diri untuk mengikuti tes JLPT.
132
Kemudian, jika kita fokuskan pada kata benda saja, didapatkan gambaran seperti yang bisa dilihat dalam grafik di bawah ini :
Distribusi Data Kata Benda Series1, Keishiki Meishi, 23, 6% Series1, Toki Meishi, 44, 11%
Tenkeitekina Meishi Kouyuu Meishi Daimeishi Toki Meishi Keishiki Meishi
Series1, Daimeishi, 56, 15%
Series1, Tenkeitekina Meishi, 225, 59% Series1, Kouyuu Meishi, 34, 9%
Grafik 6. Distribusi Data Kata Benda
Dari grafik di atas kita dapat melihat bahwa distribusi kata benda dalam data yang digunakan didominasi oleh jenis kata benda umum atau Tenkeitekina Meishi yang mencapai lebih dari 50%.
Selanjutnya, jika kita lihat distribusi data berdasarkan kategori maknanya maka akan didapatkan gambaran seperti yang terlihat dalam grafik di bawah ini :
Distribusi Data Kata Benda Berdasarkan Kategori Makna Series1, Perasaan, 18, 5%
Perasaan Series1, Benda, 139, 36%
Aktifitas Series1, Aktifitas, 150, 39%
Keadaan sesuatu Benda
Series1, Keadaan sesuatu, 75, 20%
Grafik 7. Distribusi Data Kata Benda Berdasarkan Kategori Makna 133
Dalam analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, tim penulis menetapkan 4 kategori makna yang digunakan sebagai acuan dalam menganalisis data. Kategori tersebut adalah sebagai berikut : a.
Perasaan Kategori ini adalah kategori yang merujuk pada kata benda yang menggambarkan perasaan manusia seperti kegembiraan, kesenangan, dan sebegainya.
b. Aktifitas Kategori ini adalah kategori yang merujuk pada kata benda yang menggambarkan suatu aktifitas seperti pemeriksaaan, pelaksanaan, dan sebagainya. c.
Keadaan sesuatu Sementara kategori ini adalah kategori yang merujuk pada kata benda yang menggambarkan keadaan sesuatu seperti kegelapan, keterbatasan, dan sebagainya.
d. Benda Kategori ini adalah kategori yang merujuk pada kata benda yang memang menggambarkan suatu benda seperti batu, meja, dan sebagainya.
Dari hasil analisis didapatkan bahwa dari sisi kategori makna, kata benda yang paling banyak muncul adalah kata benda yang menggambarkan Aktifitas dengan persentasi mencapai 39% dan menggambarkan Benda sebanyak 36%. Dari hal ini kita dapat menyimpulkan bahwa, khususnya untuk kata benda yang menggambarkan aktifitas, kata benda jenis ini memiliki keterikatan erat dengan kata kerja sehingga dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran kata benda yang menggambarkan aktifitas dapat dilakukan bersamaan dengan mempelajari kata kerja.
Sebagai hasil analisis tambahan, didapatkan bahwa hampir semua kosakata yang digunakan sebagai data adalah kosakata yang tidak digunakan dan tidak tergambarkan dalam pembelajaran bahasa Jepang tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah. Jadi kita bisa katakana bahwa untuk lulus dari tes JLPT level 1 para pembelajar membutuhkan waktu tambahan untuk mempelajari kosakata yang muncul di tes JLPT level 1.
134
KESIMPULAN
Dari hasil analisis di atas, kita dapat menyimpulkan hal-hal di bawah ini : a.
Dari data yang dianalisis kata benda memiliki kuantitas yang paling banyak yaitu sebesar 76% dari jumlah keseluruhan data.
b. Kemudian, dalam distribusi kata benda berdasarkan jenisnya didapatkan kata benda umum memiliki kuantitas yang paling banyak sebesar 59% dari jumlah keseluruhan data. c.
Lalu jika dilihat dari kategori makna, kata benda yang menggambarkan aktifitas dan benda adalah kategori makna yang paling dominan, yaitu kata benda yang menggambarkan aktifitas muncul sebanyak 39% dan benda sebanyak 36% dari jumlah keseluruhan data.
d. Kemudian didapatkan juga bahwa hampir semua kosakata yang digunakan sebagai data adalah kosakata yang tidak digunakan dan tidak tergambarkan dalam pembelajaran bahasa Jepang tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah.
SARAN
Dari kesimpulan di atas kita dapat mengetahui bahwa jumlah kata benda memiliki dominasi yang sangat kuat dalam distribusi kosakata dalam tes JLPT level 1 dan sebagian besar dari kata benda tersebut adalah kata benda yang menggambarkan aktifitas dan benda. Kemudian didapatkan juga bahwa hampir semua kosakata yang digunakan sebagai data adalah kosakata yang tidak digunakan dan tidak tergambarkan dalam pembelajaran bahasa Jepang tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah. Dari hal tersebut kita dapat mengatakan bahwa untuk memperbesar kemungkinan lulus dalam tes JLPT level 1, para pembelajar harus menyediakan jam belajar ekstra untuk mempelajari kosakata yang digunakan dalam tes JLPT level 1 karena akan sulit lulus jika hanya belajar dari pendidikan formal atau standar saja.
135
DAFTAR PUSTAKA
Aoyama Mako, Kori Masayo, Noguchi Hiroyuki. 2001. Nihongo Nouryoku Shiken no Genin Bunsekiteki Kentou. Nihongo Kokusai Senta Kiyou No. 13 hal 19-28. Nihongo Kokusai Senta., Jepang Gehrtz Misumi Yuuko. 2007. Nihongo Nouryoku Shiken ga Taiwan no Koutou Nihongo Kyouiku ni Ataeta Eikyou ni tsuite no Ichi Kousatsu. Tokushima Daigaku Ryuugakusei Senta Kiyou No. 3 hal. 18-28. Tokushima Daigaku Ryuugakusei Senta., Jepang Horiba Yukie, Matsumoto Junko, Suzuki Hideaki. 2006. Nihongo Gakushuusha no Goi Chishiki no Hirosa to Fukasa. Gengokagaku Kenkyuu No. 12 hal 1-26. Kanda University of International Studies., Jepang Imanishi Toshiyuki. 2008. Nihongo Kyouiku Shokyuu Kyoukasho Teiji Goi no Suuryouteki Kousatsu. Kumamoto Daigaku Ryuugakusei Senta Kiyou No. 11 hal 1-16. Kumamoto Daigaku., Jepang. Iori Isao dkk. 2000. Shokyu wo Oshieru Hito no tame no Nihongo Bunpo Handbook. 3A Network., Jepang Ichikawa Yasuko. 2009. Shokyu Nihongo Bunpo to Oshiekata no Pointo. 3A Network., Jepang Kudo Hiroshi. 1996. Nihongo Yousetsu. Hitsuji Shobo., Jepang Kunihiro Yasuaki. 2012. Nihonbashi Gakkan Daigaku 1 nen sei Taishou Kougi no Kyoukasho ni okeru Nihongo –Goi no Reberu to Keikou ni kan suru Kousatsu-. Nihonbashi Gakkan Daigaku Youki No. 11 hal 19-28. Nihonbashi Gakkan University., Jepang Kuwana Shouta, Onozawa Yoshie, Kitamura Keiko. 2010. Nihongo Nouryoku Shiken “Bunpo” no Mondai Koumoku Bunseki. Nihongo Kyouiku Kiyou No. 6 hal 109123. Kokusai Kouryuu Kikin., Jepang Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Rajawali Pers Matsuda Yuuichi. 2005. Gaikokujin Ryuugakusei ga Idaku Daigaku Seikatsu ni Taisuru Ishiki –Heisei 17 nendo Nyuugaku Ryuugakusei he no Ishiki Chousa kara-. Utsunomiya Kyouwa University., Jepang
136
Nakanishi Yasuhiro. 2007. Nihongo Nouryoku Shiken no Goi ni tsuite. Koube Daigaku Ryuugakusei Senta Kiyou No. 13 Hal. 79-86. Koube Daigaku., Jepang Omura Naomi. 2008. Nihongo Kyouiku ni okeru Doushi no Jita Bunrui ni kansuru Mondai –Nihongo Nouryoku Shiken Shutsudai Kijun Goi Doushi kara Bunrui ga Konnan na Doushi wo Seiri suru-. Toukai Daigaku Kiyou No. 28 hal 67-75. Ryuugakusei Kyouiku Senta. Toukai University., Jepang Oshio Kazumi, Akimoto Miharu, Takeda Akiko dkk. 2008. Atarashii Nihongo Nouryoku Shiken no tame no Goihyou Sakusei ni Mukete. Nihongo Kyouiku Youki No. 4 hal 71-86. Kokusai Kouryuu Kikin., Jepang Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik. Gadjah Mada University Press., Indonesia Tanaka Hiroshi. 2006. Hajimete no tame no Nihongo no Oshiekata Handbook. Kokusaigogakusha., Jepang Toyota Maki, Mori Yuko. 2007. Arzenchin “Tokimeki Nihongo Reberu Tesuto” Sakusei, Jisshi Houkoku –Nihongo Nouryoku Shiken 4 Kyuu ni Tasshinai gakushuusha wo taishou ni shite-. Sekai no Nihongo Kyouiku No. 17 hal 137-152., Jepang Yoshioka Hideyuki dkk. 1992. Nihongo Kyouzai Gaisetsu Handbook of Japanese Language Teaching Materials. Hokuseido Shoten., Jepang http://www.jlpt.jp/e/statistics/index.html
137
LEGALESE DALAM PENERJEMAHAN RAGAM KHUSUS BAHASA INGGRIS Tommy Andrian Sastra Inggris – Fakultas Sastra
[email protected] ABSTRACT Up to the present time, Indonesia still has no its own Commercial Law, Civil Law and Criminal Law; it is still using Wetboek Van Koophandel, Herziene Indonesia Reglement and Wetboek Van Strafrecht Voor Indonesie from Dutch. In addition, any legal documents on foreign investment or entity shall be made in two versions, Bahasa and English. Therefore, the practice of law is inseparable from and strongly connected to the practice of translation. Legalese has different register from general English as it is verymuch influenced by French, Dutch, and Latin. Many forms of unusual (or even strange) English structure can only be found in legalese in legal documents. Legalese is ‘performative’, or it does what it says. It requires a translator that is not only experienced but one that is also aware of the format of writing the translation. No wonder, in some circumstances, it demands a sworn translator. Key words: legalese, commercial law, civil law, criminal law, performative, register, sworn translator. A. Dunia Hukum dan Penerjemahan di Indonesia
Dunia hukum di Indonesia memang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan penerjemahan. Pada kenyataannya hingga saat ini Indonesia belum memiliki kitab hukumnya sendiri. Kitab-kitab hukum Indonesia merupakan terjemahan dan/atau turunan dari kitab-kitab hukum Belanda. Misalnya, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) yang beredar di pasaran adalah kitab yang diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Hal itu diperkuat dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dalam Pasal 6 yang mengatakan: (1) Nama Undang-Undang hukum pidana “Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie” dirubah menjadi “Wetboek van Strafrecht”; (2) Undang-Undang tersebut dapat disebut “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”. Tidak ada teks resmi terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap
terjemahan
memiliki
redaksi
yang
berbeda-beda
(http://maulanahukum.blogspot.com/2012/03/sejarah-hukum-pidana-di-indonesia.html). Hukum Perdata dan Hukum Dagang Indonesia juga masih menggunakan Burgelijk 138
Wetboek dan Wetboek van Koophandel dari Belanda seperti yang dimuat dalam Staatsblad No. 23 tahun 1847 No. 23, sedangkan Hukum Acara Perdatanya masih menggunakan Herziene Indonesia Reglement dari negeri yang sama..
Setidaknya adanya tiga undang-undang yang menguatkan peran penerjemah dalam dunia hukum di Indonesia, seperti: 1. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dalam Pasal 177 ayat (1) mengatakan: Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. 2. Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam Pasal 43 mengatakan: (1) Akta dibuat dalam bahasa Indonesia; (2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap; (3) Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi; (4) Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain; (5) Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. 3. Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dalam Pasal 31 mengatakan: (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia; (2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Pentingnya peran penerjemahan dan penerjemahan di bidang hukum tidak hanya diakui di Indonesia tetapi juga di dunia. Bahkan Susan Sarcevic dari Iniversitas Rijeka, Kroasia, dalam jurnalnya menyatakan bahwa selain penerjemahan kitab-kitab suci, penerjemahan di bidang hukum merupakan kegiatan penerjemahan tertua dan terpenting dari kegiatan penerjemahan di dunia ini. Beberapa ahli juga menyatakan bahwa penerjemahan di bidang 139
hukum merupakan penerjemahan yang paling sulit dibanding dengan penerjemahan di bidang khusus lainnya seperti penerjemahan di bidang ilmu pengetahuan karena memiliki ‘gaya’-nya sendiri. Dari uraian di atas, jelaslah penerjemah memegang peranan yang sangat krusial dalam dunia hukum.
B. Kompleksitas Penerjemahan Bidang Hukum Sebagai Bidang Khusus
Pentingnya peran penerjemahan dan penerjemahan di bidang hukum tidak hanya diakui di Indonesia tetapi juga di dunia. Bahkan Sarcevic menyatakan bahwa selain penerjemahan kitab-kitab suci, penerjemahan di bidang hukum merupakan kegiatan penerjemahan tertua dan terpenting dari kegiatan penerjemahan di dunia ini. Beberapa ahli juga menyatakan bahwa penerjemahan di bidang hukum merupakan penerjemahan yang paling sulit dibanding dengan penerjemahan di bidang khusus lainnya seperti penerjemahan di bidang ilmu pengetahuan.
Kemampuan menerjemahkan dokumen hukum (legal document) adalah keterampilan yang sangat spesifik. Dokumen hukum tidak bisa dan tidak boleh diterjemahkan dengan sembarangan karena semua fakta hukum yang terkandung di dalam dokumen tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bila kita salah dalam menafsirkan suatu kata, frasa, atau bahkan kalimat, maka konsekuensi yang mungkin dapat timbul dari kesalahan yang kita lakukan tersebut akan sangat besar. Bisa jadi, kesalahan yang tidak sengaja kita lakukan bisa berakibat pada suatu tindakan hukum (pidana atau perdata) pada seseorang yang berujung keharusan untuk membayar suatu ganti rugi tertentu, penutupan suatu perusahaan, atau bahkan penjatuhan hukuman penjara bagi seseorang tersebut (http://www.je-translator.com/articles/12-mengasah-kemampuan-menerjemahkandokumen-hukum).
Untuk menjadi seorang penerjemah dokumen hukum yang handal dibutuhkan suatu ketelitian terhadap hal-hal detail yang ada dalam suatu dokumen hukum. Jangan pernah menganggap remeh satu pun kata dalam dokumen yang kita terjemahkan. Kita juga harus memiliki penguasaan bahasa dan kemampuan yang sangat baik dalam memahami istilahistilah hukum agar setiap istilah hukum yang kita terjemahkan memiliki padanan makna yang sesuai dengan pedoman hukum yang berlaku di dalam suatu wilayah hukum. 140
C. Kendala Penerjemahan Konsekutif Bidang Hukum
Dalam proses penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan perkara di pengadilan penerjemahan dilakukan secara konsekutif atau lisan Kesulitan-kesulitan yang dialami penerjemah dalam penerjemahan jenis ini antara lain karena: 1. Istilah dalam bidang hukum kerap berbeda dengan istilah umum Istilah bidang hukum tidak jarang berbeda dari istilah yang dipahami masyarakat secara umum atau berdasarkan kamus umum. Contoh: Tommy
: “Ma, kalau aku nikah nanti aku minta jatah warisan kontrakan kita yang ada di belakang mesjid ya?”
Mama
: “Itu gampang, lah. Yang penting kamu lulus kuliah dan kerja dulu”.
Berdasarkan konteks umum, tidak ada masalah dengan kalimat-kalimat dalam percakapan di atas. Namun dalam konteks khusus atau konteks hukum, diksi untuk kata warisan menjadi salah. Kata warisan seharusnya diganti dengan kata hibah. Karena berdasarkan definisi istilah bidang hukum, warisan adalah nama baik, harta, dan tahta yang ditinggalkan oleh orang yang sudah meninggal, sedangkan hibah adalah pemberian sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain. Contoh: Dalam insiden kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta, Medan, ratusan tahanan dilaporkan melarikan diri
Definisi tahanan adalah orang yang ditahan karena dituduh melakukan tindak pidana atau kejahatan. Artinya belum ada putusan pengadilan atas tindak pidana yang dituduhkan kepadanya atau dengan kata lain proses hukum atas dirinya masih berjalan. Sering kita mendengar istilah tahanan polisi, tahanan kejaksaan, tahanan KPK, tahanan pihak imigrasi, dan lain-lain, karena memang umumnya di tempattempat itulah tahanan berada. Kata tahanan dalam konteks contoh di atas seharusnya diganti dengan kata narapidana yang artinya orang yang sedang menjalani hukuman. Atau dengan kata lain orang tersebut sudah mendapatkan 141
putusan dari pengadilan atas tindakan pidana atau kejahatan yang dituduhkan atas dirinya. Narapidana biasanya memang berada atau ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LP).
2. Penerjemah berada dalam kondisi psikologis yang tidak nyaman Asas pemeriksaan perkara pidana di Indonesia adalah inquisition di mana hakim bersikap aktif dalam memimpin persidangan untuk menggali keterangan dari tersangka atau saksi. Hakim kerap mencecar tersangka dan saksi dengan serangkaian pertanyan yang mendetail. Baik disadarinya atau tidak, penerjemah sering kali hanyut dalam suasana dan terlibat secara emosional dengan materi persidangan. Ia bisa ikut-ikutan marah atau kesal terhadap tindakan buruk tersangka atau bahkan terhadap sikap hakim itu sendiri yang menurut pendapat pribadinya kurang patut. Terkadang ia juga harus mengajukan pertanyaan tambahan atau berdialog sendiri dengan hakim atau tersangka atau saksi dalam setiap kesempatan, sebelum menyampaikan terjemahan materi sidangnya. Penerjemah tak jarang harus memberikan keterangan tambahan (contextual conditioning) dalam terjemahannya untuk memperjelas penyampaian gagasan. Materi sidang dalam suatu kesempatan bisa saja bertentangan dengan idealisme dan hati nurani penerjemah. Misalnya, kasus-kasus yang berhubungan dengan terorisme, pemerkosaan, poligami, perselingkuhan, sara, dan/atau lainnya.
D. KENDALA PENERJEMAHAN TERTULIS BIDANG HUKUM
1. Bahasa hukum merupakan register tersendiri Hoed dalam bukunya Penerjemahan dan Kebudayaan (2006: 105) mengatakan bahwa register (disebut juga laras) adalah variasi atau ragam bahasa yang menentukan makna suatu kata akibat konteks penggunaannya. Bahasa hukum (legalese) merupakan suatu variasi bahasa yang khas digunakan oleh para pengacara dan hakim. Bahasa hukum merupakan ciri-ciri tersendiri yang tidak terdapat dalam ragam bahasa profesi lainnya. Ciri-ciri itu bukan saja terlihat dari kosa katanya saja, tetapi juga dari struktur bahasanya (Rahayuningsih, 2006: 4). Ciri-ciri bahasa hukum antara lain: a. Kalimat panjang-panjang dan/atau kompleks 142
Para ahli hukum berpendapat bahwa tanda baca hanya diperlukan untuk dokumen yang perlu dibaca dengan lantang; tanda baca hanya membantu pembaca dokumen untuk mengambil napas. Pada waktu itu, jumlah kata dalam sebuah dokumen hukum juga menentukan nominal bayarannya, semakin banyak kata semakin besar bayaranya. Dengan demikian, kalimat yang muncul seringkali kalimat kompleks dan/atau terdiri dari banyak gagasan. Contoh: Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dan pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain;dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun (Pasal 46 KUHP tentang Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana) Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi gagasan dalam pasal teserbut di atas, yaitu: 1) Terpidana di bawah umur diserahkan kepada pemerintah untuk dididik. 2) Seorang, yayasan atau lembaga amal penyelenggara pendidikan dimaksud harus berkedudukan di Indonesia. 3) Terpidana dianggap cukup umur jika sudah berusia sekurangnya 18 tahun. b.
Banyak menggunakan generalisasi seperti barang siapa dan setiap orang Contoh: Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam 143
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun (Pasal 245 KUHP tentang Menyimpan dan Mengedarkan Uang Palsu). c.
Banyak menggunakan kalimat pasif Sejumlah alasan membuat kalimat pasif banyak digunakan dalam bahasa hukum, seperti: 1) Membuat generalisasi kalimat Contoh: Here are three situations where one prefers to choose our products (aktif). Here are three situations where our products are preferred (pasif). Generalisasi yang terbentuk dalam kalimat pasif di atas pada dasarnya dilakukan dengan menghilangkan kata pronomina persona one dalam kalimat aktifnya. 2) Mengungkapkan fakta Contoh: Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disahkan pada tahun 1999. He was accused for an attempted murder. Pengungkapan fakta dalam kedua contoh kalimat di atas lebih penting dari pengungkapan identitas pelakunya sehingga penggunaan kalimat pasif menjadi terlihat lebih baik. 3) Identitas pelaku tidak diketahui Contoh: TSu
: Dia telah mencuri sepeda itu
TSa 1 : The bike has been stolen TSa 2 : He/she has stolen the bike TSa 1 yang berbentuk kalimat pasif jauh lebih baik dari TSa 2 yang aktif. Meskipun he dan she menduduki posisi yang sama sebagai subyek kalimat dalam TSa 2, penulisan he yang lebih dulu dari she berpotensi diskriminatif terhadap jenis kelamin. 4) Kalimat pasif terdengar lebih baik Contoh: 144
We shall punish those who skateboard in sidewalks (aktif). Those who skateboard on sidewalks shall be punished (pasif). Tidak dapat dipungkiri, kalimat pasif dalam konteks tertentu (baca: hukum) terdengar lebih sakral dan formal dibanding kalimat aktif. d.
Sering menggunakan kalimat negatif ganda Kalimat negatif ganda kerap digunakan untuk memberikan efek psikologis dalam menggarisbawahi sebuah gagasan dalam teks hukum. Contoh: not impossible
= bukannya tidak mungkin, mungkin
not unreasonable = bukannya tidak wajar, wajar not unjustified
= bukannya tidak beralasan, beralasan
not unconnected = bukannya tidak berkaitan, berkaitan not unheard of
= bukannya tidak pernah terjadi, pernah terjadi
not uncommon
= bukannya tidak umum, umum
e. Penggunaaan bahasa Prancis dan Latin 1) Faktor sejarah
Bahasa Inggris yang sekarang digunakan berasal dari bahasa lingua franca (bahasa pergaulan/perdagangan) yang berasal dari berbagai bahasa (bahasa Nordik, Old and Middle English, Latin, Normandia dan Anglo-French) dan karenanya dianggap tidak layak untuk digunakan dalam bahasa keilmuan. Oleh karena itu dalam persidangan digunakan bahasa Latin dan bahasa Prancis sebagai bahasa yang dianggap baku dan lebih berbudaya. Selain itu, ketika Henry III menikah dengan Eleanor de Provence dari Prancis, ia membawa ribuan pengikut dan mereka diberi jabatan-jabatan yang penting antara lain sebagai penegak hukum. Pada perkembangan selanjutnya, hanya pengacara yang memahami bahasa Prancis yang digunakan di pengadilan.
Ketika pada tahun 1732 parlemen Inggris mengeluarkan peraturan bahawa bahasa Inggris harus digunakan dalam proses persidamgan dan dokumen-dokumen hukum, istilah bahasa Latin dan bahasa Prancis sudah terlanjur diserap ke dalam bahasa Inggris hukum, misalnya: 145
“prima facie” (on its face: prima facie evidence adalah alat bukti yang kuat), “mens rea” (percobaan, niat berbuat kejahatan) dan “res judicata” (larangan untuk mengajukan gugatan yang kedua kalinya untuk perkara yang sama (nebis idem) dari bahasa Latin, dan “in lieu of” (= instead of), “lien” (gadai) dan “tort” (perbuatan melawan hukum) dari bahasa Prancis.
Tak jarang dalam teks hukum dua istilah dalam bahasa Latin atau Prancis digunakan bersama-sama dengan bahasa Inggris dengan makna sama. Contoh: goods (Inggris) and chattel (Prancis) = benda bergerak cease (Prancis) and desist (Inggris) = menghentikan null (Latin) and void (Inggris) = batal demi hukum give (Inggris), devise (Latin) and bequeth (Prancis) = memberikan atau mewariskan Kadang-kadang struktur kata bahasa Prancis (yang mirip bahasa Indonesia) yang digunakan, yaitu adjektiva mengikuti benda yang diterangkan, padahal dalam struktur bahasa Inggris, adjektiva diletakkan di depan benda yang diterangkan. Contoh: Kaidah Bahasa Inggris Hukum Kaidah Bahasa Inggris Umum (Diterangkan + Menerangkan)
(Menerangkan + Diterangkan)
accounts payable/receivables
payable/receivables accounts
attorney general
general attorney
condition precedent/subsequent
precedent/subsequent condition
notary public
public notary
court martial
martial court
146
Karena Burgelijk Wetboek didasarkan pada Civil Code yang berasal dari Code Napoleon, dalam sistem hukum kita pun banyak dipakai istilah-istilah dalam bahasa Prancis atau Latin seperti legitieme portie (bagian warisan ahli waris yang tidak dapat dihapuskan oleh surat wasiat), nebis idem dan actio pauliana. Kadang-kadang para praktisi hukum menggunakan bahasa Indonesia dicampur dengan bahasa Latin, misalnya untuk menyatakan “perkara ini” para ahli hukum sering menyatakan “perkara aquo” (Rahayuningsih, 2006: 8). 2) Faktor sosiologis Bahasa adalah alat utama bagi seorang praktisi hukum. Bahasa adalah alat yang utama bagi profesi hukum. Bahasa hukum mempunyai fungsi performatif di mana menurut John Austin kata itu sendiri mewujudkan suatu tindakan (Renkema, 2004: 13). Bahasa hukum memberikan akibat hukum seperti undang-undang. Seseorang yang dinyatakan “bersalah” oleh pengadilan akan dianggap “bersalah” terlepas dari apakah sesungguhnya ia bersalah atau tidak (Rahayuningsih, 2006: 8).
Ketika seorang muslim di Indonesia menikah misalnya, hanya dengan diucapkannya kalimat ijab dari orang tua atau wali calon mempelai wanita dan kalimat kabul dari calon mempelai pria mengakibatkan dua orang yang sebelumnya berstatus ‘belum kawin’ menjadi ‘kawin’; dua orang yang semula tinggal terpisah menjadi tinggal bersama dalam satu atap. Contoh: (Ijab)
= “Saya nikahkan engkau, Tommy Andrian, SS, M.Hum bin Hartono dengan ananda Bacha binti H. Untung Mawih, dengan mas kawin perhiasan emas 24 karat seberat 100 gram dibayar tunai”.
(Kabul)
= “Saya terima nikahnya Bacha binti H. Untung Mawih, dengan mas kawin tersebut di atas dibayar tunai”.
Kesakralan makna kalimat ijab dan kabul memberikan kekuatan bagi kalimat itu sendiri untuk tetap lestari. Pihak yang berwenang seperti 147
penghulu dan/atau Kantor Urusan Agama pun nyatanya tetap mempertahankan diksi atau pilihan kata dalam ijab dan kabul meskipun sangat mungkin diubah. Mereka khawatir pengubahan hanya akan mengurangi makna yang terkandung di dalamnya. 3) Faktor yurisprudensi Yurisprudensi
berarti
peradilan
pada
umumnya
(judicature
rechtspraak), yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkret terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Yurisprudensi merupakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum. jadi putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undang-undang. Bedanya dengan undang-undang adalah putusan pengadilan berisi peraturan-peraturan yang bersifat konkret karena mengikat orang-orang tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak karena mengikat setiap orang.
Yurisprudensi merupakan putusan hakim yang kemudian dijadikan dasar untuk menyelesaikan kasus-kasus serupa di kemudian hari. Biasanya hal ini akan terjadi jika telah terjadi beberapa kali kasus yang serupa, dan untuk kasus-kasus itu hakim selalu memberikan keputusan dengan cara yang kurang lebih sama. Perulangan itu menimbulkan rasa keharusan untuk memutuskan dengan cara yang sama setiap kali kasus yang serupa terjadi. Dengan demikian terbentuk hukum melalui keputusan hakim (hukum hakim, rechterrecht, judge made law). Dalam sistem kontinental, hakim tidak terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa. Untuk merealisasi asas kesamaan tersebut dalam sistem kontinental hakim diikat oleh undang-undang. Di sini Hakim berpikir secara deduktif dari undangundang yang sifatnya umum ke peristiwa khusus. 148
Sistem hukum Anglo Saxon lebih mengutamakan pada Common Law, yaitu kebiasaan dan hukum adat masyarakat, sedangkan undang-undang hanya mengatur pokok-pokoknya saja dan kehidupan masyarakat. Dengan adanya common law, kedudukan kebiasaan dalam masyarakat lebih berperan, dan selalu menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat yang semakin maju.
Sumber-sumber dalam sistem Anglo Saxon (putusan hakim, kebiasaan dan peraturan administrasi) tidak tersusun secara sistematik dalam hierarki tertentu seperti di dalam sistem Eropa Kontinental. Selain itu peranan hakim dalam sistem Anglo Saxon berbeda dengan peranan hakim pada sistem Eropa Kontinental. Pada sistem Anglo Saxon, hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja, melainkan peranannya sangat besar yaitu membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara yang sejenis.
Dalam sistem common law hakim di pengadilan menggunakan prinsip “pembuat hukum sendiri” dengan melihat kepada kasus-kasus dan fakta-fakta sebelumnya (case law atau judge made law). Pada hakekatnya hakim berfungsi sebagai legislative, sehingga hukum lebih banyak bersumber pada putusan-putusan pengadilan yang melakukan kreasi hukum." Lebih jauh dari itu dengan dianutnya ajaran “the doctrine of precedent atau stare decists” pada common law, maka dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada di dalam putusan hakim lain dari perkara yang sejenis sebelumnya (preceden). Tetapi dalam hal belum ada putusan 149
hakim lain yang serupa, atau putusan pengadilan yang sudah ada tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka hakim dapat menetapkan putusan baru berdasarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal sehat (common sense) dengan pertimbangan yang rasa penuh tanggungjawab.
Sistem hukum Common Law yang berlaku di Inggris dan bekas jajahan Inggris (termasuk Amerika) dibentuk oleh preseden. Di dalam hukum, istilah, frasa, wacana (discourse) mempunyai arti sebagaimana ditetapkan oleh pengadilan. Istilah “heir” misalnya dalam bahasa awam akan dipahami sebagai pewaris. Tetapi di dalam hukum istilah itu mempunyai arti yang lebih khusus, yaitu “seseorang yang berdasarkan undang-undang mewarisi tanah dari seseorang yang meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat (intestate). Jadi seorang yang mewarisi tanah berdasarkan surat wasiat bukanlah seorang ‘heir”. 4) Faktor kebiasaan Para pengacara dilatih di dalam sistem magang di mana mereka harus mengikuti konvensi dan contoh yang diberikan oleh pengacara senior. Pengacara muda diperkenalkan kepada “rahasia” pembuatan kontrak oleh pengacara senior. Karena pengacara terikat kepada preseden, kasus serta dokumen yang telah dibuat sebelumnya, maka kalimat yang kompleks dan panjang itu seakan menjadi sesuatu yang sakral atau memang harus demikian (“sudah dari sananya”). Di samping itu, para pengacara pada waktu itu dibayar berdasarkan panjang pendeknya dokumen, oleh karena itu makin panjang isinya makin mahal pula biayanya. Walaupun para pengacara sekarang dibayar per jam atau per kasus, tetapi kebiasaan menulis kalimat yang panjang itu tidak mudah hilang. Selain itu, sering kali para klien juga lebih menyukai bahasa yang panjang, kompleks dan resmi dan yang tidak mereka pahami karena merasa lebih mantap, yaitu bahwa karena itulah mereka mempekerjakan para pengacara. Contoh kata-kata yang sering digunakan padahal tidak mempunyai arti tambahan atau arti tambahan
150
yang penting adalah: wheresoever, howsoever, whatsoever, hereinafter dan witnesseth.
2. Perbedaan sistem hukum Perjanjian yang digunakan oleh para investor di Indonesia pada umumnya disiapkan atau diajukan oleh pengacara asing yang berlatar belakang sistem hukum Common Law sedangkan sistem hukum yang dianut di Indonesia adalah sistem hukum Civil Law. Dengan demikian istilah-istilah yang digunakan dalam perjanjian tersebut seringkali tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, misalnya gugatan yang membedakan antara “equity and law”. Sebaliknya, istilah hukum dalam bahasa Indonesia tertentu mungkin tidak ada padanannya dalam bahasa Inggris, misalnya istilah “novasi” dan “turut tergugat” (Rahayuningsih, 2006: 10).
3. Istilah hukum tertentu berbeda dengan istilah umum Beberapa istilah dalam bahasa Inggris sehari-hari mempunyai arti yang berbeda di bidang hukum. Contoh: action
: gugatan
construction
: penafsiran
fail
: wanprestasi
party
: pihak (dalam perkara, perjanjian)
receiver
: kurator
strike
: mencoret
4. Perbedaan sistem bahasa
Kesulitan lain dalam penerjemahan teks hukum dari bahasa Inggris adalah karena ternyata struktur bahasa Inggris hukum seringkali berbeda dengan struktur bahasa Inggris pada umumnya yang pernah kita pelajari di sekolah. Selama di sekolah misalnya, kita belajar bahwa kata “shall” menunjukkan kala mendatang (yaitu “akan: dalam bahasa Indonesia). Dalam bahasa hukum, istilah “shall” menunjukkan “future obligation” atau “promise” sehingga harus diterjemahkan sebagai “wajib” (atau dalam bahasa Inggris sehari-hari adalah “must”). Semasa 151
sekolah kita juga belajar bahwa “money” adalah uncounable nouns (kata benda yang tidak dapat dihitung) sehingga tdak dapat dijamakkan. Namun, dalam bahasa Inggris hukum kita mengenal “monies” yang merupakan bentuk jamak dari “money”. Dalam bahasa Inggris hukum, kata ganti “it” dapat digunakan untuk merujuk orang dan dirasakan lebih baik dari “he/she” karena sifatnya yang impersonal. Misalnya, the seller menjadi it meskipunjenis kelamin the seller sudah diketahui dengan jelas. Di lain pihak, praktisi hukum cenderung menghindari pronomina dan lebih suka mengulang kata benda yang sudah disebutkan sebelumnya dengan alasan untuk menghindarkan ketaksaan atau keambiguan. Contoh: John told James to kis his girlfriend.
Dalam kalimat di atas, tdak jelas apakah John meminta James untuk mencium pacar john atau pacar James sendiri.
Sebaliknya, teks bahasa hukum di Indonesia, terutama yang dinyatakan dalam akta notaris, mempunyai format dan gaya bahasa tersendiri yang mungkin tidak ditemui dalam bidang lainnya. Akta notaris misalnya dimulai dengan kalimat: Pada hari ini, Senin, tanggal 20 September dua ribu tiga belas, menghadap di hadapan saya, ____ S.H., Notaris di Jakarta: Tuan X, swasta, beralamat di ____, pemegang KTP no. ____ yang saya, Notaris kenal atau dikenalkan kepada saya, Notaris, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya, Notaris, kenal dan nama-namanya akan disebutkan di akhir akta ini. Kalimat ini apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris mungkin terasa janggal. 5. Belum adanya istilah hukum yang baku dalam bahasa Indonesia Sistem hukum di Indonesia masih dapat dikatakan muda dibandingkan dengan sistem hukum di Inggris atau Amerika. Bahasa Inggris hukum sudah mempunyai tradisi yang sudah panjang sehingga proses intelektualisasinya pun lebih lama terjadi. Akibatnya, banyak istilah yang sudah sangat terspesialisasi, misalnya “lampiran” dalam bahasa Inggris dapat berbentuk attachment, schedule, annex dan exhibit. Demikian pula dalam bahasa Inggris ada law, statutes, regulation, rules, 152
bylaw, decree, decision, order, judgement, injuction dan lain sebagainya, sedangkan dalam bahasa Indonesia hanya ada hukum, undang-undang, peraturan, aturan, keputusan, perintah dan penetapan (Rahayuningsih, 2006: 12).
Selain itu dalam bahasa Indonesia belum ada pengunaan istilah yang baku untuk suatu konsep hukum yang sama. Penyusunan undang-undang dan peraturan oleh instansi pemerintah yang berlainan tanpa adanya konsultasi satu sama lain menyebabkan berbagai peraturan tidak hanya bertentangan satu sama lain tetapi juga menggunakan istilah berbeda meskipun yang dimaksudkan adalah sama, atau sebaliknya seringkali digunakan isyilah yang sama meskipun maksudnya berbeda. Misalnya saja undang-undang tentang Perseroan Terbatas mengunakan istilah “penggabungan dan pengambilalihan” untuk “merger” dan “acquisition”, sedangkan peraturan perundangan petrbankan atau perpajakan menggunakan istilah “merger dan akuisisi: untuk “merger” dan “acquisition”. Sebaliknya, istilah “wali amanat” digunakan baik dalam peraturan penanaman modal maupun peraturan tentang Badan Hukum Milik Negara namun maknanya berlainan. Hal ini dapat menimbulkan kebingungan penerjemah mengenai istilah yang tepat yang harus digunakannya. Tidak adanya kamus istilah hukum yang baik dan lengkap di Indonesia seperti misalnya kamus Black’s Law di Amerika turut menyulitkan penerjemahan teks hukum di Indonesia.
SOLUSI PENERJEMAHAN BIDANG HUKUM
1.
Penerjemahan konsekutif a.
Bersikap proaktif terhadap klien Penerjemah yang bekerja untuk mendampingi saksi atau tersangka harus mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin. Hal utama yang harus dilakukannya adalah mendalami materi pendukung persidangan dengan mempelajari peraturan perundangan dan istilah-istilah bidang hukum yang terkait dalam perkara yang ditanganinya (baca: diterjemahkan). Ia harus juga membaca berita acara penyidikan untuk mendapatkan gambaran tentang keterangan atau kesaksian yang kelak akan diterjemahkannya. Bahkan obrolan warung kopi dengan klien, yakni saksi atau tersangka, sebelum persidangan akan sangat membantu untuk breaking 153
the ice dan mendapatkan informasi tambahan. Penerjemah harus proaktif atau bersifat ‘menejmput bola’ dalam mencari input bagi pekerjaannya. Sifat yang seperti ini juga akan menentukan kelangsungan karirnya sebagai penerjemah, atau lebih tepatnya interpreter, di masa mendatang. b.
Menjaga kesehatan melalui pola hidup Sebagai wujud profesionalismenya, tak jarang seorang penerjemah harus bekerja hingga larut malam. Hal ini akan rentan menimbulkan gangguan kesehatan. Gangguan kesehatan sekecil apapun akan sangat mengganggu konsentrasi penerjemah saat bekerja dalam sebuah persidangan. Apalagi jadwal persidangan di Indonesia sering kali molor hingga berjam-jam.
Penyidikan juga dapat
berlangsung lama dan melelahkan dan kadang-kadang bisa berlangsung selama 24 jam. Oleh karena itu, pola hidup sehat berbekal makanan dengan gizi seimbang dan olah raga akan sangat membantu stamina penerjemah dalam bekerja.
2.
Penerjemahan tertulis a.
Mencari padanan fungsional (atau kerap dikenal dengan padana budaya) dari kata atau frasa yang digunakan. Contoh:
b.
banding
= appeal to the High Court
kasasi
= appeal to the Supreme Court
Memeriksa peraturan yang berlaku yang relevan dengan bidang yang diterjemahkan untuk mengetahui istilah yang biasa digunakan dalam bidang tersebut (Rahayuningsih, 2006: 14). Contoh: prenuptial agreement
= perjanjian pemisahan harta (Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
prenuptial agreement
= perjanjian pra-nikah (Undang-undang Perkawinan)
c.
Membuat catatan istilah sendiri sebagai bahan acuan di masa datang. Perlu diketahui, istilah-istilah dalam kamus hukum seperti Black’s Law misalnya, seringkali tidak bisa dipakai secara langsung tanpa memahami konteks budaya teks hukumnya; penerjemah sering kali baru mendapatkan dan memahami
154
konteks tersebut melalui persidangan secara tak terduga. Tak heran catatan istilah yang kita buat sendiri itu akan sangat membantu. d.
Melengkapi diri tidak hanya dengan kamus bidang hukum saja tetapi juga kamus bidang khusus lain yang menunjang, misalnya bidang asuransi, perbankan, investasi, dan ekonomi, baik jenis yang eka bahasa maupun dwi bahasa.
e.
Berdiskusi atau bertukar pendapat dengan rekan penerjemah lainnya, terutama dengan mereka yang memiliki jam terbang lebih banyak.
PENUTUP
Dengan latar belakang di atas, penerjemahan teks hukum tidaklah mudah. Teks hukum memiliki registernya sendiri. Apalagi teks hukum banyak dipengaruhi oleh bahasa Latin, Prancis, dan Belanda. Kenyataan klasik dalam penerjemahan bidang hukum adalah:
1.
pengacara adalah orang yang ahli dalam bidang hukum tetapi bukanlah seorang ahli bahasa.; 2 penerjemah adalah orang yang ahli dalam bidang bahasa tetapi bukanlah seorang ahli hukum. Baik pengacara dan penerjemah memiliki kualifikasi profesi yang berbeda.
Untuk menyiasati kelemahan dari kenyataan di atas maka kita membutuhkan kualifikasi penerjemah bersumpah. Penerjemah bersumpah adalah penerjemah yang sudah mendapat sertifikasi resmi dari Gubernur DKI Jakarta. Penguasaan bidang hukum menjadi syarat mutlak dalam ujian sertifikasi penerjemah bersumpah.
DAFTAR PUSTAKA Garner, Bryan A. 1999. Black’s Law Dictionary. New Pocket Edition. Texas: West Law Publishing. Good, C. Edward. 1989. Mightier Than the Sword. Charlottesville. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1992. Discourse and the Translator. London: Longman. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1997. The Translator as Communicator. London: Routledge. Hoed, Benny H. 2006. Teori dan Masalah Penerjemahan. Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: ProDC.
155
Hoed, Benny H., Tresnati S. Solichin, dan Rochayah M. 1993. Pengetahuan Dasar Tentang Penerjemahan. Jakarta: Pusat Penerjemahan FSUI. Kahaner, Steven. 2003. “Issues in Legal Translation” dalam the Association of Language Companies. Larson, Mildred L. 1989. Meaning Based Translation, A Guide to Cross-language Equivalence. Terj. Kencanawati Taniran. Jakarta: Penerbit Arcan. Machali, Rochayah. 2009. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Mizan Pustaka. Mann, Richard A. dan Barry S. Roberts. 1999. Business Law and the Regulation of Business. Boston: West Publisher. Rahayuningsih. 2006. Penerjemah Sebagai Mitra Praktisi dan Penegak Hukum. Makalah Legal Translation Training. Jakarta: ProDC Renkema, Jan. 2004. Introduction to Doscourse Study. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamin Publishing Company. Stephen,
Cheryl.
1990.
What
is
Really
Wrong
with
Legal
Language?,
http://www.plainlanguagenetwork.org/legal/wills.html. Diakses 11 Januari 2013. Tiersma, Peter M. 1999. Legal Language. London: The University of Chicago Press.
156
PEMBELAJARAN –ING FORM MELALUI STRATEGI ANALITIK DAN SINTETIK Kurnia Idawati Sastra Inggris – Fakultas Sastra
[email protected] ABSTRACT In studying -ing form, learners quite apparently experienced a lot of difficulties to distinguish –ing form functions, both structurally and characteristically based on wordclass in a sentence, alongside with their meaning and usefulness. Seen from the word-class category, understanding -ing form as a verb to form the progressive aspect, verbal noun (gerund), verbal adjective, even adverb, is not easy for the learners because they are also required to understand correct sentence structure (syntax) and sentence patterns. To accommodate this learning, we need learning strategies that can enhance existing knowledge by reformulating it into better shape, and create new knowledge based on facts obtained. Increased knowledge was referred to as the analytic strategy, and the creation of new knowledge is referred to as a synthetic strategy. Analytic learning involves learning methods so called explanation-based learning (examples and specifications guided) and constructive deduction (deductive generalization and abstraction). Whereas in synthetic learning there are two methods, i.e. empirical inductive learning (empirical generalizations) and constructive induction (generalization based knowledge) Keywords:-ing form, synthetic, analytical, induction, deduction PENDAHULUAN Berdasarkan pendapat umum di kalangan mahasiswa yang belajar bahasa Inggris, grammar merupakan matakuliah yang tidak mudah. English grammar atau gramatika/tatabahasa Inggris dipahami sebagai materi yang rumit dan sulit sehingga diperlukan konsentrasi dan latihan yang intens untuk bisa memahaminya, terutama terkait pada pembelajaran bahasa meta (metalanguage) dan deskripsi grammar secara eksplisit. Murcia dan Freeman (1999) menyarankan agar pengajaran grammar dilakukan secara implisit dalam membantu pembelajar (mahasiswa) untuk dapat menggunakan tatabahasa Inggris secara akurat, bermakna, dan tepat sehingga grammar menjadi sebuah skill atau keterampilan, bukan sebagai pengetahuan belaka. Namun pengajaran grammar secara eksplisit betapapun diperlukan karena kognisi dan gaya belajar pembelajar bervariasi, dengan catatan bahwa informasi gramatikal yang eksplisit haruslah merupakan alat untuk mencapai tujuan, bukan sebagai tujuan itu sendiri. Akan menjadi percuma bila pembelajar hanya mampu mengingat aturan tatabahasa tetapi gagal menggunakannya dalam konteks aplikasi. Grammar merupakan background knowledge sekaligus background skill untuk semua keterampilan berbahasa Inggris, mulai dari listening, speaking, reading hingga writing. Sebagai contoh, kemampuan memahami ujaran dalam keterampilan listening (decode) dan 157
meresponnya (encode) tidak akan terjadi jika yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan menggunakan grammatika bahasa. Maka pembelajaran grammatika yang berhasil guna selalu menjadi bahan penelitian yang terus dilakukan. Dalam kasus pembelajaran –ing form, banyak kesulitan yang dialami para pembelajar untuk membedakan fungsi-fungsinya, baik secara struktural dan kelas katanya dalam kalimat, makna maupun kegunaannya. Dilihat dari kategori kelas kata, memahami –ing form sebagai verba untuk progressive aspect, verbal noun (gerund), dan verbal adjective bukanlah hal yang mudah bagi pembelajar karena dari mereka juga dituntut untuk memahami struktur kalimat (sintaksis) dengan pola-pola kalimat (sentence patterns) yang berterima. Pada akhirnya, menyitir pendapat Yule (1998), grammar merupakan seperangkat konstruksi atau bangunan yang di dalamnya perbedaan dalam bentuk (form) dapat dijelaskan berdasarkan perbedaan dalam makna konseptual atau penafsiran dalam konteks. Jadi, kerangka analisisnya merupakan sesuatu yang di dalamnya bentuk, makna, dan kegunaan dipandang sebagai aspek-aspek yang saling berhubungan dari apa sesungguhnya yang diketahui oleh pengguna bahasa saat mereka mengetahui suatu konstruksi grammar. Mengakomodasi pendapat ini, maka diperlukan suatu strategi belajar yang dapat meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki dengan mereformulasi pengetahuan itu ke bentuk yang lebih baik, dan menciptakan pengetahuan baru berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh. Peningkatan pengetahuan itu disebut sebagai strategi analitik, sedangkan penciptaan pengetahuan baru disebut sebagai strategi sintetik. Pada strategi analitik, masalah yang ingin diselesaikan perlu dipecah-pecah hingga jelas hubungan antara bagianbagian yang belum diketahui dengan yang sudah diketahui. Dimulai dengan langkah dari hal yang tidak diketahui, dicari langkah-langkah selanjutnya yang mengaitkan hal yang belum diketahui hingga sampai ke hal yang sudah diketahui. Urutan langkah itu akhirnya mendapatkan apa yang dikehendaki. Sementara pada strategi sintetik pembahasan mulai dari yang diketahui ke yang diketahui langkah-langkah secara berurut, ditempuh dengan mengkaitkan hal yang diketahui dengan hal-hal lain yang diperlukan dan tidak diketahui dari soal, hingga akhirnya apa yang tidak dicari dapat ditemukan (Rusefendi, 1988). Terpisah dari soal strategi belajar analitik dan sintetik di atas, dikenal juga istilah cara berfikir analitik dan cara berfikir sintetik. Berfikir analitik berarti berfikir rinci yaitu sebuah proses yang secara konseptual memecah suatu masalah atau kasus atau persoalan yang ingin dipahami menjadi bagian-bagiannya secara terpisah. Di sisi lain, berfikir sintetik merupakan kebalikan dari cara berfikir analitik, yaitu proses memadukan dan menggabungkan bagian-bagian untuk menghasilkan satu kesatuan yang utuh. Dengan menggabungkan bagian-bagian ide, misalnya, maka akan didapat sesuatu (ide baru) yang sebelumnya tidak terfikirkan jika tetap dalam keadaan terpisah. Konsep analitik-sintetik ini dalam arti kamus pun sama. The American Heritage® Science Dictionary (2005) menyebutkan: “analytic – using or skilled in using analysis (i.e., separating a whole— intellectual or substantial—into its element parts or basic principles); synthetic – involving or of the nature of synthesis (combining separate elements to form a coherence whole)”. 158
Bisa disimpulkan di sini, analitik dimulai dari yang umum ke yang khusus, dari yang besar ke yang kecil-kecil, dari yang general ke yang detail, dari definisi ke penjelasanpenjelasannya. Maka proses berfikirnya adalah deduktif. Sementara sintetik berlaku sebaliknya, fakta-fakta digunakan untuk mencapai definisi sehingga disebut sebagai proses berfikir induktif. Strategi memahami (belajar) maupun berfikir secara analitik dan sintetik pada prinsipnya adalah sama. Jika persoalan yang ingin dipelajari adalah –ing form, maka prinsip belajar yang di dalamnya ada proses kognitif (berfikir), akan memunculkan pertanyaan, seperti apakah penyajian materi –ing form dalam model analitik dan sintetik itu. TINJAUAN PUSTAKA Menurut Immanuel Kant (dalam DeJong, http://axiom.vu.nl/cmsone/DeJong.pdf), analitik dan sintetik adalah dua cara untuk mengetahui ilmu pengetahuan yang disebutnya sebagai two types of cognition. Yang pertama berdasarkan akal sehat (reasoning) sehingga disebut a priori, dan yang kedua, pengetahuan yang harus berdasarkan data empiris, disebut a posteriori. Leibniz menyebutnya perbedaan antara kebenaran berdasarkan akal sehat dan kebenaran berdasarkan fakta serta Hume yang menyebutnya sebagai perbedaan antara relasi pemikiran dan fakta-fakta lapangan. Dalam filsafat dan sains modern analitik dipahami sebagai metode regresif (bersifat mundur) dan sintetik sebagai metode komposit (gabungan dari beberapa elemen/unsur) atau progresif. Perbedaan ini ditafsirkan utamanya mengacu pada arah. Analitik bergerak dari yang spesifik atau lebih khusus ke arah yang lebih universal, dari keseluruhan ke bagian-bagiannya dan dari konsekuensi atau akibat ke penyebab-penyebabnya. Sebaliknya, sintetik bergerak ke arah yang berlawanan. Sintetik bergerak dari penyebab-penyebab ke akibat atau konsekuensi, dari yang sederhana (bagian-bagian) ke yang lebih kompleks (keseluruhan) dan dari yang umum ke yang lebih khusus (individual) (DeJong, ibid). Dalam proses belajar dikenal istilah analytic and synthetic strategies. Strategi belajar analitik dan sintetik ini dikategorikan sebagai strategi belajar tingkat tinggi karena tujuan dari strategi ini adalah meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki dengan mereformulasi pengetahuan tersebut ke bentuk yang lebih baik dengan proses deduksi (analitik); dan menciptakan pengetahuan baru berdasarkan masukan fakta-fakta melalui proses induksi dan analogi (sintetik). Secara spesifik, Michalski (1993) mengatakan bahwa pembelajaran analitik terkait pada suatu analisis masukan informasi berdasarkan pengetahuan yang relevan yang telah dimiliki pembelajar sebelumnya dan kemudian penciptaan pengetahuan yang diinginkan berdasarkan analisis ini. Proses inferensi (menyimpulkan) yang berlangsung adalah deduktif. Dalam prakteknya, pembelajaran analitik melibatkan metode belajar explanation-based learning (EBL) (Mitchell dkk., 1986; DeJong dan Mooney, 1986). Penerapan EBL diawali 159
dengan pemberian suatu contoh dari sebuah konsep. Pembelajar pertama-tama diminta menjelaskan sebagai sebuah pembuktian yang menunjukkan bahwa contoh tersebut memang merupakan sebuah contoh dari konsep tersebut. Definisi konsep yang abstrak diasumsikan telah diketahui oleh pembelajar secara a priori dan ini yang disebut sebagai latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dimiliki pembelajar. Struktur penjelasan yang dihasilkan pembelajar kemudian digunakan untuk menciptakan sebuah reformulasi definisi konsep sehingga menjadi lebih operasional untuk mengklasifikasi contoh-contoh berikutnya. Metode belajar yang lain dari pembelajaran analitik ini adalah constructive deduction. Bentuk ini menggunakan latar belakang pengetahuan untuk mentransformasi masukan informasi secara deduktif ke gambaran yang lebih abstrak atau gambaran yang lebih umum atau kedua-duanya. Menciptakan deskripsi yang lebih abstrak disebut sebagai abstraksi; sedangkan menciptakan deskripsi yang lebih umum dengan cara deduksi disebut generalisasi deduktif. Abstraksi sebenarnya adalah menyederhanakan bahasa yang lebih rinci ke bahasa yang tidak rinci, misalnya “Komputer tabletku menggunakan sistem operasi Jelly Bean Android 4.2” menjadi “Komputer tabletku lebih responsif”. Sedangkan kalimat “Alex tinggal di Bandung, Jawa Barat” menjadi Alex tinggal di Indonesia”, adalah bentuk generalisasi deduktif karena lokasi tempat tinggal Alex diperluas. Michalski (1993) kemudian menjelaskan pembelajaran sintetik sebagai sebuah cara menciptakan pengetahuan yang diinginkan dengan memformulasi dugaan terhadap (menghipotesis) pengetahuan yang diinginkan itu melalui penyimpulan (inferensi) induktif. Meskipun inferensi utamanya adalah induktif, proses belajar sintetik selalu melibatkan beberapa inferensi deduktif (yakni untuk menguji apakah sebuah dugaan (hipotesis) yang dihasilkan dapat mendalilkan sebuah observasi). Induksi merupakan sebuah proses yang berlawanan dengan deduksi. Deduksi adalah sebuah bentukan baru (derivative) dari konsekuensi-konsekuensi premis (anggapan dasar) yang diberikan, sementara induksi merupakan proses menghipotesis premis yang melibatkan konsekuensi-konsekuensi. Michalski menggarisbawahi bahwa strict deduction is truth-preserving, and strict induction is falsity-preserving. Ada dua metode pembelajaran sintetik, yaitu empirical inductive learning (pembelajaran induktif empiris) dan constructive induction (induksi membangun). Empirical inductive learning tidak terlalu memerlukan background knowledge dan tidak memadai untuk membangun struktur penjelas bagi pengamatan yang dilakukan. Pembelajar hanya menggeneralisasi contoh-contoh yang diamati untuk menciptakan deskripsi yang ajeg dan lengkap tentang contoh-contoh tersebut berdasarkan konsep yang digunakan dalam menggambarkan pengamatan-pengamatan yang saling berhubungan. Penggambaran itu mengimplikasikan fakta-fakta yang terobservasi, dan dengan demikian, dapat dipandang sebagai hipotesis penjelas (generalisasi atau penjelasan empiris). Pernyataan yang dihasilkan dari induksi empiris biasanya bukan berupa penjelasan sebab-akibat, karena hubungannya bukan sebab-akibat melainkan korelasi. Pernyataan seperti itu umumnya 160
digunakan dalam penalaran sehari-hari, misalnya ada orang yang bertanya “Mengapa meja tennis berwarna hijau?” maka jawabannya mungkin “Semua meja tennis berwarna hijau.” Jawaban ini bukanlah penjelasan yang sesungguhnya, tetapi orang memberikan jawaban itu sebagai “penjelasan”. Dalam constructive induction, pembelajar menggunakan ranah latar belakang pengetahuan yang dependen maupun yang independen untuk menghipotesis konsep dan/atau hubungan yang mencirikan fakta-fakta yang di-input. Konsep-konsep yang dihipotesis dapat merupakan generalisasi dan juga dapat merupakan penjelasan sebab-akibat dari fakta-fakta tersebut, atau dapat menjadi spesialisasi dari pengetahuan yang diperoleh. Jika latar belakang pengetahuan yang digunakan melibatkan ketergantungan sebab-akibat yang bisa ditelusuri ke belakang, maka hipotesis yang dihasilkan menyediakan penjelasan sebabakibat dari yang diamati. Jika input-nya adalah pengetahuan umum, bukan fakta-fakta yang spesifik, maka constructive induction melibatkan penggunaan latar belakang pengetahuan untuk menghipotesis pengetahuan yang tingkatnya lebih rendah atau lebih spesifik (yang berimplikasi ke pengetahuan yang lebih umum). Sebagai ilustrasi untuk yang terakhir ini, misalnya ada masukan informasi bahwa bunga azalea bisa tumbuh di Bandung. Dari pengetahuan umum tersebut, orang dapat membuat hipotesis bahwa bunga azalea bisa juga tumbuh di Lembang. Jenis penalaran ini disebut inductive specialization (Michalski dkk, 1989). Secara umum, constructive induction adalah penalaran yang bergerak ke belakang dan/atau ke depan menelusuri aturan ranah independen tertentu (aturan generalisasi), dan/atau aturan ranah dependen (mengekspresikan ranah pengetahuan), sehingga hasilnya adalah sebuah hipotesis yang bersama dengan background knowledge melibatkan input awal. Dengan demikian constructive induction dapat dipandang sebagai bentuk penyimpulan induksi yang paling umum yang melibatkan generalisasi empiris dan abduction, yaitu proses menelusuri ke belakang untuk menemukan atau membentuk hipotesis atau teori yang mungkin bisa menjelaskan sebuah fakta atau sebuah observasi dengan mengikuti dan menemukan tanda-tanda atau ciri-ciri untuk membangun penalaran terhadap sesuatu yang telah diketahui (Patokorpi, 2007). Contoh constructive induction adalah misalnya orang meyakini bahwa seseorang yang well-organized menyiratkan kemampuan untuk datang menghadiri rapat-rapat secara tepat waktu. Jika orang mengamati pak Amir datang ke beberapa rapat dengan tepat waktu, maka orang itu dapat berhipotesis secara konstruktif bahwa pak Amir adalah orang yang well-organized. Batasan umum pembelajaran induksi (empiris ataupun konstruktif) adalah bahwa pembelajaran ini menghasilkan hipotesis yang mungkin saja tidak benar, karena induksi umumnya bukan a truth-preserving inference (penyimpulan yang mengekalkan sesuatu pasti benar). Meskipun fakta-fakta yang di-input semuanya benar, generalisasi yang dihasilkan mungkin tidak benar. Di sisi lain, pembelajaran analitik, jika ia didasarkan atas deduksi yang ketat, menjamin pengetahuan yang ditingkatkan akan benar.
161
Keseimbangan tertentu antara metode sintetik (induktif) dan metode analitik (deduktif) adalah bahwa pembelajaran analitik menghasilkan pengetahuan yang benar sepanjang pengetahuan awal si pembelajar (yang dirangkai ke sistem, atau yang diurai dari kasuskasus) juga benar dan lengkap. Jika pengetahuan awalnya salah atau tidak lengkap, maka hasilnya juga tidak benar. Di pihak lain, pembelajaran induktif empiris bisa menghasilkan luaran yang dapat dibuktikan sebagai benar jika fakta-fakta atau contoh-contoh yang diinput benar dan lengkap. Michalski (1993). Berdasarkan pendekatan belajar kognitivisme, sesungguhnya proses belajar dipandang sebagai suatu bentukan derivatif pengetahuan yang dikehendaki dari informasi yang diinput. Bagaimana si pembelajar memperoleh pengetahuan tergantung pada cara apa yang paling efektif mendayagunakan informasi yang tersedia dan pengetahuan yang telah dimiliki si pembelajar sebelumnya. Ketika orang harus bernalar untuk menjawab suatu pertanyaan, sesungguhnya dia menggunakan pengetahuan yang paling mudah dia peroleh atau tersedia. Misalnya, saat orang memiliki pilihan sumber pengetahuan, mereka mengandalkan pengetahuan pribadi mereka ketimbang pengetahuan yang diberikan kepada mereka secara eksternal. Oleh sebab itulah maka proses belajar melibatkan tiga unsur yang saling berhubungan seperti sebuah segitiga yaitu latar belakang pengetahuan yang telah dimiliki (background knowledge), masukan informasi (input information), dan tugas belajar yang ingin dicapai (learning task) (Brown, 2000). Penelitian yang berhubungan dengan konsep analitik dan sintetik di antaranya dilakukan pada bidang studi matematika di sekolah menengah (http://jurnal.upi/penelitianpendidikan/view/ 54pembelajaran-analitik-sintetik-untukmeningkatkan-kemampuan-berfikir-kritis-dan-kreatif.pdf), metode struktural analitik sintetik pada peningkatan keterampilan membaca permulaan (http://eprints.uny.ac.id/5935/), (http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/pgsdkebumen/article/view/256), dan penelitian tentang analytic phonic dan synthetic phonic pada pembelajaran membaca awal pada anakanak (http://www.pearsonphonics.co.uk/AssetsLibrary/General/ Evaluationof ClackStudy.pdf). DESAIN DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan sebuah kajian pustaka yang mengeksplorasi konsep analitik dan sintetik dalam konteks proses belajar. Data yang digunakan adalah data kualitatif untuk mendeskripsikan pembelajaran –ing form berlandaskan model analitik dan sintetik yang diramu dari berbagai sumber: buku-buku, jurnal dan makalah dalam bentuk hardcopy maupun softcopy, dari perpustakaan maupun internet.
HASIL DAN PEMBAHASAN 162
-Ing Form Dalam sejarah bahasa Inggris, -ing form untuk participle dan gerund memiliki bentuk dan fungsi-fungsi yang berbeda. Pada jaman Old English, participle benar-benar verbal dan berakhiran –ende yang kemudian menjadi –inde. –ing yang secara etimologis tidak ada hubungannya dengan –ende dan –inde, merupakan akhiran yang hanya digunakan untuk nouns of action. Sampai pertengahan abad ke-14 gerund belum muncul. Pada abad ini, participle diujarkan dan ditulis –inge, dan digabung dengan bentuk gerund.(http://homepage.ntu.edu.tw/ karchung/pubs/ contradiction. pdf) Kedua bentuk itu dalam perjalanan waktu, menyatu menjadi –ing, dan penyatuan ini telah menimbulkan kebingungan dalam banyak paparan gramatika kontemporer. -Ing form adalah pembentukan kata secara morfologis dari verb dan suffix (inflection) –ing. Dalam berbagai penggunaannya, -ing form ini demikian rumit untuk dipahami mahasiswa. Berbagai macam fungsinya dalam kalimat cukup memusingkan dan sulit untuk dibedakan satu dengan yang lainnya. Meskipun batasan kategorinya sering tampak samar, perbedaan fungsi –ing form dibagi sebagai berikut: a. sebagai verb (present participle) dalam progressive aspect: They are fishing. b. sebagai verbal noun (gerund): Reading is my most beneficial activity. c. sebagai adjektive atau verbal adjektive (present participle): The running water provided a picturesque view. d. sebagai adverb (present participle): The bull came running towards the rodeo clown. e. sebagai noun asli: The building was on fire. f. sebagai preposition (kata depan): The board had discussed an issue regarding the complaints from the customers.
Bagian (e) dan (f) di atas tidak dibahas karena kedua hal tersebut representasinya tidak banyak. Disamping itu, tidak termasuk yang perlu dipelajari baik berdasarkan silabus pembelajaran grammar untuk mahasiswa maupun dalam student book “Understanding and Using English Grammar” oleh Betty Schrampfer Azar (1999) yang digunakan oleh para mahasiswa, paling tidak, sampai saat ini. Pada buku pegangan mahasiswa tersebut, -ing form
disajikan
dalam
beberapa
topik
bahasan
yang
berbeda
secara
tidak
berkesinambungan. Azar menempatkan –ing form ke dalam beberapa topik bahasan, seperti Tenses, Gerund and Infinitive, dan Passive Voice yang di dalamnya dibahas stative passive (adjectival past participle) dan mengkontraskannya dengan -ing form sebagai adjectival present participle. –ing form dalam bab tenses (progressive aspect) dalam buku 163
Azar tersebut dipelajari mahasiswa pada semester pertama. –ing form sebagai gerund dan adjectival present participle dan reduced forms of adjective clauses dipelajari pada semester tiga, dan yang berfungsi sebagai adverbial pada bab reduced forms of adverb clauses dipelajari pada semester empat. Topik-topik tersebut dibahas secara terpisah dan tidak berurutan sehingga para mahasiswa tidak menguasai konsep –ing form secara utuh dan menyeluruh.
-ing form yang tidak digunakan sebagai verb asli disebut sebagai verbals, untuk menunjukkan bahwa meskipun –ing form tersebut berfungsi sebagai noun (gerund), adjektive dan adverb (present participle), tetap memiliki sifat atau makna verb karena jika –ing form itu berasal dari transitive verb, ia dapat diikuti oleh objeknya seperti dalam kalimat “Finding a needle in a haystack would be easier than what we’re trying to do” untuk contoh gerund. Sedangkan yang berfungsi sebagai adjektive dapat dilihat dalam penggunaannya secara attributive: “Instead, she began to create paintings filled with disturbing images (meaning: images which is disturbing)”.
(http://www.csun.edu/ bashforth/305_PDF_Grammar/Verbals_Gerunds&Participles Perdupdf), dan secara predicative: “His life has been interesting” atau post-nominal predicative: “Marshall has made life interesting.” (Celce-Murcia, 1999)
Tujuan utama strategi pembelajaran secara analitik dan sintetik ini adalah agar mahasiswa dapat mengidentifikasi perbedaan fungsi –ing form ke dalam empat kategori di atas, yaitu sebagai verb, noun, adjektive, dan adverb dan menggunakannya dalam kalimat. Pembahasan –ing form yang dikemukakan dalam penelitian ini hanya berupa materi permulaan. Pembahasan –ing form lebih dalam dapat dilakukan dengan menjadikan pembelajaran dengan strategi analitik dan sintetik di bawah ini sebagai model. Pembelajaran –ing Form dengan Strategi Analitik
1. Explanation-based Learning
164
Pengajar memulai penyampaian dengan langsung memberikan atau menuliskan kalimatkalimat yang bermuatan –ing form dengan maksud memberi gambaran familiar tentang penggunaannya. Have you ever written or read sentences containing VERB + -ING? Consider these sentences: a) Aisha was riding her bike when suddenly its chain stopped moving. b) A cracking sound of the chain scared Aisha into calling out her mom. c) Not knowing what to do, she got off from the bike and called out her mom again. d) She came running to her mom and started to cry. e) At the moment, riding a bike was not fun anymore for her. f) In general, however, Aisha likes riding a bike. Pengajar kemudian menjelaskan masing-masing –ing form berdasarkan kalimat-kalimat di atas dengan menganalisis posisi –ing form dalam kaitannya dengan struktur kalimatnya. a) –ing form dalam kalimat “Aisha was riding her bike” berfungsi sebagai verb. Digunakan bersama dengan auxiliary verb be, ia menunjukkan kala (tense) dan aspek progresif (progressive aspect), dan verb itu disebut sebagai present participle; sedangkan –ing form dalam klausa “when suddenly its chain stopped moving” adalah gerund yang berlaku sebagai noun yang dalam hubungannya dengan verb ‘stopped’ adalah sebagai objek. b) –ing form dalam “a cracking sound” berlaku sebagai adjektive karena ia menjelaskan noun ‘sound’. –ing form ini disebut juga sebagai present participle. Sedangkan –ing form dalam “into calling out her mom” disebut sebagai gerund (noun) karena posisinya sebagai objek preposisi ‘into’ (jika diperlukan, pembelajar diingatkan bahwa secara struktural, kelas kata setelah /yang mengikuti preposisi adalah noun. c) –ing form dalam “Not knowing what to do” harus dilihat dalam kaitannya dengan klausa independen “she got off from the bike and called out her mom again”. –ing form phrase tersebut adalah bentuk reduction dari “Because she did not know what to do” yang merupakan adverb clause of reason, maka bentuk reduction itu tetap berlaku sebagai adverb dan masih tetap disebut sebagai present participle. d) –ing form dalam “came running” adalah present participle yang digunakan sebagai adverb, berfungsi sebagai keterangan cara/penjelas bagi verb came.
165
e) –ing form dalam “riding a bike was not fun anymore for her” adalah gerund karena ‘riding a bike’ adalah subjek dalam kalimat secara keseluruhan. Namun di dalam subjek itu ‘riding’ diikuti oleh objek noun ‘a bike’. Maka gerund itu sesungguhnya noun yang masih memiliki karakter verb sehingga ia disebut juga sebagai verbal noun. Hal yang sama berlaku untuk kalimat e), hanya saja ‘riding a bike’ dalam kalimat e) menduduki posisi sebagai objek.
Pembelajaran berlandaskan penjelasan ini bersifat aksiomatik karena dari contoh kalimatkalimat tentang –ing form, ditarik penalaran deduktif ke ranah teori.
2. Generalisasi Deduktif
Tahap berikutnya pengajar memberikan lagi beberapa contoh kalimat lain mengacu skema di atas, misalnya: They were fishing at a bank of the river. I am writing another love story novel. We have been waiting for a talk show on TV.
Berdasarkan contoh tiga kalimat di atas, pembelajar diminta melakukan generalisasi deduktif tentang fungsi –ing form yang menghasilkan pernyataan yang lebih umum seperti sebuah definisi dan diminta menjelaskan sebagai sebuah pembuktian yang menunjukkan bahwa contoh itu memang seperti apa yang didefinisikan. Generalisasi itu dapat saja berbunyi seperti ini: “bahwa -ing form dalam contoh adalah present participle yang berfungsi sebagai verb karena ia digunakan bersama dengan verb auxiliaries (were, am, dan have been) dan menunjukkan tenses past progressive, present progressive, dan present perfect progressive”. Definisi konsep tenses diasumsikan telah diketahui oleh pembelajar yang digunakan untuk menciptakan reformulasi definisi di atas, sehingga pembelajar dapat meng-operasional-kan definisi itu untuk membuat kalimat-kalimat lain dengan aspect yang sama tapi tense yang berbeda, misalnya membuat kalimat dengan future tense.
Selanjutnya generalisasi deduktif yang sama dilakukan terhadap kalimat-kalimat berikutnya seperti di bawah ini We had an exciting moment at that time. 166
Instead, she began to create disturbing sounds. Maka generalisasi deduktif menjadi: “-ing form dalam contoh di atas adalah present participle yang berfungsi sebagai adjective karena ia digunakan untuk menjelaskan (modify) noun yang ditempatkan setelahnya, sehingga running water bermakna the water which is running, exciting moment bermakna the moment which is exciting dan disturbing sounds bermakna the sounds which are disturbing. Berdasarkan generalisasi itu, pembelajar diminta untuk membuat kalimat lain dengan tujuan agar pengetahuannya tentang –ing form sebagai adjective menjadi lebih baik.
Mengacu kepada dua cara di atas, pembelajar diharapkan secara mandiri dapat melakukan generalisasi deduktif untuk tiga kategori fungsi –ing form di bawah ini dan seterusnya. I talked to him without knowing he was the head of the department. Working diligently on his paper, John began to type up the bibliography. The sunshine came streaming through the window. (Hornby, 1982) Reading adventure novels is my most beneficial activity.
3. Abstraksi
Pada bagian ini pengajar menyederhanakan bahasa yang kompleks menjadi sederhana tanpa menghilangkan entitas yang dimaksud. Sebagai contoh, dalam memahami konsep gerund, definisi yang disajikan dalam bahasa yang operasional dapat dengan mudah dipahami jika digunakan langsung bersama contohnya. Berikut ini definisi gerund yang kompleks: “A gerund behaves as a verb within a phrase (so that it may be modified by an adverb or have an object); but the resulting phrase as a whole (sometimes consisting of only one word, the gerund itself) functions as a noun within the larger sentence”.
Konsep itu disederhanakan menjadi:
167
“Consider the sentence ‘Eating this cake is easy’. Here the gerund is the verb eating, which takes an object this cake. The entire phrase eating this cake is then used as a noun, which in this case serves as the subject of the larger sentence.”
Konsep di atas lebih konkrit karena langsung digunakan dalam konteks kalimat yang sederhana sehingga pembelajar lebih mudah memahaminya.
Sekarang giliran pembelajar melakukan abstraksi dengan cara seperti di atas (bila perlu, dilakukan dalam bahasa pertama karena di sini yang dipentingkan adalah pemahaman si pembelajar itu sendiri) untuk menjelaskan –ing form sebagai adjective maupun adverb, ataupun tetap sebagai gerund namun lebih menitik beratkan pada beberapa posisi gerund dalam kalimat, seperti sebagai object (Asraf hates hunting), subjective complement (Seeing is believing), object of preposition (The injury kept Marcus from playing football for two weeks), object of possessive noun/determiner (Bonar’s having won the game surprised us; I dislike his saying things like that) dan object of phrasal verb (I insisted on talking to the head of the department), langsung dalam bentuk abstraksinya. Bentuk abstraksi yang lain adalah dengan menyebutkan dua fungsi –ing form yang berbeda meski keduanya sama-sama digunakan sebagai modifier (penjelas). Dalam hal ini pembelajar mengidentifikasi perbedaan tersebut dengan melengkapi kalimat, seperti yang diacu dari Michael Swan (1996) di bawah ini: A bag that is used for sleeping is called …………… (expected answer as an abstraction: a
sleeping bag; a noun)
A child that is sleeping is called………….. (expected answer as an abstraction: a sleeping child; an adjective)
Dari abstraksi yang terakhir ini, diharapkan pembelajar memperoleh pemahaman lebih baik karena mengamati perbedaan makna dari penggunaan –ing form yang sama. Maka deduksinya adalah “bahwa –ing form sebagai noun jika digunakan bersama dengan head noun yang lain menunjukkan makna fungsi/alat head noun dimaksud. Sedangkan –ing form sebagai adjective jika digunakan bersama dengan head noun menunjukkan makna tindakan atau gambaran tentang head noun tersebut”. Penyimpulan deduktif tersebut
168
dilakukan pembelajar berdasarkan pengamatannya atas jawaban mereka sendiri dalam melengkapi kalimat-kalimat di atas.
Generalisasi deduktif dan abstraksi merupakan bentuk pembelajaran deduksi konstruktif, dalam artian bahwa pembelajar dikondisikan untuk mampu membuat kesimpulan yang dibangun dari contoh-contoh kalimat. Dengan demikian, dapat diperoleh pemahaman teori yang kemudian dapat diaplikasikan kembali pada pembuatan kalimat-kalimat mereka sendiri. 4. Pembelajaran –ing Form dengan Strategi Sintetik
Kebalikan dari pembelajaran dengan strategi analitik, di dalam strategi sintetik pembelajaran diawali dengan konsep. Berdasarkan konsep itu pembelajar mengidentifikasi contoh-contoh yang diberikan oleh pengajar dan mengorganisasikannya ke dalam struktur pengetahuan oleh si pembelajar sendiri. Tujuan dari pembelajaran model ini adalah menciptakan pengetahuan baru. Penciptaan pengetahuan baru di sini bukan berarti pengetahuan baru dalam makna invention tetapi lebih kepada makna discovery. Pembelajar mendapatkan pengetahuan yang baru dan dengan itu ia mampu melahirkan ide atau pemikiran baru, yakni pemikiran baru yang dituangkan dalam kemampuan membuat kalimat baru jika dalam konteks belajar bahasa kedua. Untuk itu pembelajaran dengan strategi sintetik ini terdiri dari masukan informasi yang berupa konsep dan contoh-contoh atau data dari pengajar. Selanjutnya pembelajar dapat melakukan observasi terhadap contoh atau data tersebut serta melakukan generalisasi empiris (induksi empiris) dan generalisasi berlandaskan pengetahuan (induksi konstruktif) yang menghasilkan hipotesis.
5. Belajar dari Contoh dan Observasi
Sebagai misal, di sini pembelajar diberi tugas untuk mengobservasi lalu mengidentifikasi gerund dalam sebuah teks setelah diberikan konsep tentang gerund. Konsep 1: “Gerunds are verbals that function as nouns and have an –ing ending.Since gerunds are derived from verbs and have an –ing ending, they do express action. However, because gerunds function as nouns, they occupy slots traditionally held by 169
nouns in sentences such as subjects, direct objects and objects of prepositions.Gerunds may occur as one word, or they may be part of a gerund phrase”. (www.uhv.edu/ac) Konsep 2: ”A gerund behaves as a verb within a phrase so that it may be modified by an adverb or have an object”.
Perlu diberi catatan di sini, sebagaimana yang telah dikemukakan pada landasan teori, pembelajaran analitik maupun sintetik dilakukan berdasarkan pendekatan kognitivisme, yaitu bahwa pembelajar mendapatkan pengetahuan baru dengan penalaran berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Jadi dengan konsep di atas, pembelajar sudah mengetahui peran noun dalam struktur sintaksis kalimat bahasa Inggris.
Selanjutnya pengajar memberikan data terkait tujuan pembelajaran: Aisha was riding her bike when suddenly its chain stopped moving. A cracking sound of the chain scared Aisha into calling out her mom. Not knowing what to do, she got off from the bike and called out her mom again. She came running to her mom and started to cry. At the moment, riding a bike was not fun anymore for her. In general, however, Aisha likes riding a bike.
Pengajar bisa saja memberikan teks yang lebih panjang dan terdiri dari banyak kalimat agar pembelajar semakin memperoleh banyak data/contoh sehingga memudahkan mereka untuk merasa yakin dengan generalisasi empiris mereka.
6.
Generalisasi Empiris
Pada bagian ini, mengacu pada konsep 1, pembelajar melakukan induksi empiris berdasarkan fakta (dalam hal ini, teks) di atas dengan menyeleksi kalimat-kalimat yang memuat kategori gerund dan bukan gerund. Di sini pembelajar hanya menggeneralisasi contoh-contoh yang diamati untuk menciptakan deskripsi yang ajeg dan lengkap tentang contoh-contoh tersebut berdasarkan konsep yang digunakan dalam menggambarkan pengamatan-pengamatan yang saling berhubungan. Penggambaran itu mengimplikasikan fakta-fakta yang terobservasi. Proses tersebut dinamakan sebagai generalisasi empiris.
170
Petunjuknya dapat berbunyi: “Sort the following sentences as either containing a gerund or not containing a gerund”.
Masukan konsep menjadi patokan bagi pembelajar dalam melakukan observasi terhadap data dalam teks dan mengorganisasi data ke dalam kategori gerund dan bukan gerund. Selanjutnya pembelajar “menggambarkan” atau menjelaskan alasan yang melatari pengkategorian tersebut. Pada bagian kategori bukan gerund, pembelajar kembali diminta melakukan analisa mengapa yang mereka maksud sebagai bukan gerund disebut sebagai bukan gerund. Jika bukan, maka –ing form tersebut disebut sebagai apa dan mengapa demikian.
Berdasarkan konsep 2, pembelajar mengobservasi gerund phrase dan diminta menunjukkan bukti dengan penjelasan untuk konsep 2 tersebut. Jawaban yang diharapkan dari pembelajar adalah bahwa “a bike” dalam frasa “riding a bike” merupakan objek dari “riding”. Maka gerund “riding” berlaku sebagai verb.
7. Generalisasi Berlandaskan Pengetahuan
Ketika pembelajar menjelaskan alasan mereka memasukkan kalimat-kalimat tertentu dari teks di atas ke dalam kategori gerund dan bukan gerund, pada saat itu mereka melakukan generalisasi berlandaskan pengetahuan. Dari pengetahuan yang dimiliki tentang konsep gerund, mereka melakukan penyimpulan induktif dan induksi konstruktif dengan membangun konsep tentang –ing form. Yang terakhir ini pembelajar dianggap sebagai melakukan discovery
learning dengan cara mereka merumuskan pembentukan
hipotesis/konsep/teori baru yang beranjak dari pengelompokan –ing form yang bukan termasuk kategori gerund. Dari situ, diharapkan, mereka akan menemukan konsep –ing form sebagai verb, adjective dan adverb.
Sebagai salah satu contoh, kalimat yang paling mudah diidentifikasi sebagai tidak bermuatan gerund dari teks di atas adalah “Aisha was riding her bike”. Pada kalimat ini pembelajar dengan mudah menunjukkan bahwa –ing form tersebut sebagai verb dalam past progressive tense karena mereka telah memiliki pengetahuan tentang tenses pada semester
171
pertama. Pengetahuan itu mereka gunakan untuk membedakan –ing form dalam fungsinya sebagai gerund dan verb. Sementara upaya untuk memahami –ing form sebagai adjective membutuhkan pengetahuan tentang konsep adjective. Dalam kasus ini pembelajar diingatkan pada pembelajaran parts of speech yang mereka terima dalam matakuliah Interactive Grammar pada awal semester satu. Dengan strategi induktif - dimulai dari pertanyaan-pertanyaan dan contoh-contoh menuju prinsip-prinsip atau konsep - mereka diminta memberikan atau menuliskan contoh beberapa kata dalam kategori adjective. Ada kemungkinan mereka akan hanya menyebutkan kata-kata yang berdiri sendiri (isolated adjectives). Untuk menghindari hal tersebut, mereka dipancing untuk menggunakan adjective bersama dengan noun yang dijelaskannya, dengan sebuah pertanyaan dari pengajar, misalnya: “How do I know the word you’ve mentioned to be called as an adjective? Please use it with other word so that I can see that it is really an adjective”. Pengajar dapat menuliskan sembarang noun yang telah dikenal pembelajar dan bertanya lagi kepada mereka. “What if I call this an adjective? Is it an adjective?” Dengan latar belakang pengetahuan mereka, mereka akan mengatakan kata tersebut sebagai noun. Pengajar akan bertanya lagi: “How do you know that it is a noun?” Mungkin mereka akan mengimbuhi noun tersebut (misalnya “house”) dengan determiner (misalnya “a” , “the” atau “my”) untuk membuktikan bahwa kata itu adalah benar sebuah noun.Jika demikian, maka pengajar kemudian dapat menyisipkan sebuah adjective yang telah mereka sebutkan sebelumnya di antara determiner dan noun tersebut dan membiarkan mereka mengambil kesimpulan sendiri. Kesimpulan yang diharapkan dari pembelajar adalah berupa kemampuan mereka menjelaskan fungsi adjective. Hipotesis mereka tentang adjective digunakan untuk mengobservasi teks dan menemukan ekspresi yang sebangun dengan hipotesis tersebut. Di sini terjadi dua pembuktian. Pembuktian pertama yaitu ekspresi yang sebangun (berstruktur sama) dengan frasa adjective + noun (misalnya a green house) adalah a cracking sound. Dengan demikian hipotesis mereka benar karena dapat dibuktikan secara empiris berdasarkan fakta (dalam teks) yang mereka temukan. Pembuktian kedua yaitu bahwa –ing form “cracking” dapat disimpulkan sebagai adjective berdasarkan hipotesis yang mereka bangun. Dalam hal fungsi –ing form sebagai adverb, pembelajaran secara induktif membutuhkan waktu yang lama dan panjang lebar karena konsep adverb dan fungsinya cukup luas dan 172
bervariasi pada penggunaannya dalam kalimat. Kalimat “Not knowing what to do, she got off from the bike and called out her mom again”, bisa saja dilihat secara parsial oleh pembelajar dengan menggeneralisasikan frasa “not knowing what to do” sebagai yang bermuatan gerund. Mereka mengobservasi bahwa “not knowing” diikuti oleh noun phrase “what to do” yang bertindak sebagai objek dari “not knowing”. Dengan demikian maka “not knowing” tersebut adalah gerund. Secara internal, -ing form dalam frasa itu tampak seperti gerund karena memiliki objek “what to do”, namun konstruksi frasa tersebut harus dilihat secara keseluruhan dalam hubungannya dengan konteks kalimat (perlu ditekankan kepada pembelajar bahwa setiap kata memiliki fungsi dan makna tertentunya hanya jika digunakan dalam konteks kalimat secara utuh). Untuk memecahkan persoalan itu, pembelajaran dilakukan dengan cara melakukan observasi terhadap contoh kalimat lain yang telah dipelajari namun terlebih dahulu diberikan sebuah konsep. Konsep itu berbunyi: “to determine whether a word in a sentence is a gerund, look at the word(s) ending in –ing in the sentence. If the word can be replaced by the pronoun it, then the word is a gerund. If the word it replaces other words in addition to the gerund, then these make up the gerund phrase” (Lester, in www.uhv.edu/ac) Aisha likes riding a bike. Aisha likes it. So, “riding a bike” is a gerund phrase.
Berikutnya pembelajar diminta melakukan tes seperti di atas terhadap kalimat: Not knowing what to do, she got off from the bike and called out her mom again. *It, she got off from the bike and called out her mom again.
Maka frasa yang digarisbawahi bukan gerund karena kalimat itu menjadi salah. Jika tes dilanjutkan dengan mengganti yang digarsibawahi dengan kata lain, misalnya “hurriedly” maka kalimat itu menjadi benar. Hurriedly, she got off from the bike and called out her mom again. “Hurriedly” dipilih karena ia adalah kata yang paling dikenal oleh pembelajar sebagai adverb. Dengan demikian maka pembelajar bisa segera menyimpulkan bentuk –ing form dalam kalimat di atas sebagai adverb.
8. Memadukan Strategi Analitik dan Sintetik 173
Strategi analitik dan strategi sintetik dalam prakteknya saling melengkapi dan mendukung untuk keberhasilan pembelajaran. Analisis memandu menuju ke sintesis dan sintesis membuat tujuan analisis menjadi jelas dan lengkap. Saat mengajar, pengajar dapat menggunakan metode analitik dan dapat mendorong pembelajar mengerjakan tugas-tugas dalam metode sintetik. Metode analitik digunakan pada tahap awal pembelajaran karena pembelajar dikondisikan terlebih dahulu pada materi. Dengan demikian mereka berlaku sebagai recipient of knowledge. Setelah itu pembelajaran berlanjut pada metode sintetik yang melibatkan partisipasi aktif pembelajar.
Pembelajaran analitik dengan inferensi deduktif diakui oleh Felder dalam Jurnal Foreign Language Annals (1995:21-31) paling banyak diterapkan dalam kelas pengajaran bahasa asing karena deduksi dipandang sebagai cara yang efisien dan elegan untuk mengorganisasi dan menyajikan materi ajar yang telah dimengerti. Namun induksi menjadikan pembelajaran berjalan efektif karena terkait dengan prestasi akademik.
Mengaitkan pengetahuan
yang dimiliki
pembelajar sebelumnya
dengan materi
pembelajaran yang akan dipelajari menjadi syarat kunci keberhasilan belajar karena pembelajar mengetahui apa yang menjadi tujuan dari pembelajaran mereka. Pembelajaran yang bersifat “menemukan” menjadi tantangan dan sekaligus motivasi untuk keberhasilan belajar. Tidak hanya sekedar konsep-konsep yang harus mereka kuasai, melainkan juga keterampilan menerapkan konsep tersebut menjadi penting buat mereka untuk menemukan dan “menciptakan” kalimat-kalimat baru. Misalnya, dengan pemahaman mereka tentang fungsi –ing form sebagai adjective, mereka bisa membuat kalimat yang berisi –ing form sebagai
adjective
yang
digunakan
secara
predicative
dan
attributive
(premodifier/postmodifier) karena menggunakan analogi yang sama dari penggunaan adjective yang lain: (EBL – analitik) The news is bad. Don’t disturb the wild dog.
(Empirical inductive learning – sintetik) The news is disturbing. (predicative) Don’t wake up the sleeping dog. (attributive/
premodifier) He told me something important.
He told me something interesting. (attributive/
postmodifier) 174
Kemudian pembelajar akhirnya dapat dapat menyimpulkan secara induktif (sintetik) bahwa –ing form dalam kalimat: “I saw her standing there,” adalah post modifier adjective karena kata tersebut menjelaskan objek her dan diletakkan setelahnya. Lebih lanjut, pengajar dapat memberikan beberapa kalimat dengan konstruksi yang sama (belajar dari contohcontoh dan observasi) yang di dalamnya –ing form digunakan bersama dengan verbs of sensory perception yang lain dan menggaris bawahi verbs tersebut dengan maksud agar pembelajar memusatkan perhatiannya pada cirinya agar mereka dapat melakukan generalisasi empiris dan induksi konstruktif baik dari segi fungsi maupun makna.
KESIMPULAN
Strategi belajar analitik dan sintetik dikategorikan sebagai strategi belajar tingkat tinggi dan mengandalkan keterlibatan pengetahuan yang telah dimiliki pembelajar sebelumnya. Strategi belajar ini bertujuan meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki dengan mereformulasi pengetahuan tersebut ke bentuk yang lebih baik dengan proses deduksi (analitik); dan menciptakan pengetahuan baru berdasarkan input fakta-fakta melalui proses induksi (sintetik). Deduksi bermakna proses penalaran yang berangkat dari yang umum (aturan, kaidah, aksioma, teori) ke yang rinci/bagian-bagian, sebaliknya induksi dimulai dari bagian-bagian atau yang rinci (observasi, data) menuju prinsip yang umum. Agar hasil pembelajaran –ing form optimal, strategi analitik dan sintetik diterapkan secara terpadu dan bergantian. Hal ini dilakukan karena pembelajar ada yang memiliki kecenderungan berpikir secara deduktif dan ada juga yang terbiasa berpikir secara induktif.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. Douglas, Principles of Language Learning and Teaching, Fourth Edition, Addison Wesley Longman, Inc., Pearson Education Company, NY 10606, 2000. DeJong, G. dan Mooney, R., “Explanation-Based Learning: An Alternative View,” Machine Learning Journal, Vol. 2, 1986.
175
DeJong, Willem R., The Analytic-Synthetic Distinction and The Classical Model of Science: Kant, Bolzano, and Frege (http://axiom.vu.n/cmsone/DeJong.pdf) diunduh tanggal 12 Feb. 2013 Felder, Richard M., “Learning and Teaching Styles in Foreign and Second Language Education”, Foreign Language Annals,28 No. 1, 1995 Hornby, AS., Guide to Patterns And Usage in English, ELBS Edition, Oxford University Press, Walton Street, Oxford OX2 6 DP, 1982 Michalski, R.S., Toward A Unified Theory of Learning: Multistrategy Task-Adaptive Learning, B.G. Buchanan and D.C. Wilkins, Morgan Kaufmann, San Mateo, 1993 Michalski, R.S., D. Boehm-Davis, D. dan Dontas, K., “Plausible Reasoning: An Outline of Theory and Experiments,” Proceedings of the Fourth International Symposium on Methodologies for Intelligent Systems, Charlotte, NC, North Holland, October 1214, 1989 Mitchell, T.M., Keller, T., dan Kedar-Cabelli, S., “Explanation-Based Generalization: A Unifying View,” Machine Learning Journal, Vol. 1, January 1986 Murcia, Marianne Celce, Diane Larsen-Freeman (dengan Howard Williams), The Grammar Book, An ESL/EFL Teacher’s Course, Second Edition, Heinle & Heinle Publishers, 1999 Patokorpi, Erkki, “Logic of Sherlock Holmes in Technology Enhanced Learning”, Educational Technology & Society, 10 (I), 2007 Rusefendi, ET., Pengajaran Matematika Modern untuk Orang Tua Murid, Guru, dan SPG, Tarsito: Bandung, 1988 Swan, Michael, Practical English Usage, New Edition, Third Impression, Oxford University Press, Walton Street, Oxford OX2 6 DP, 1995 The American Heritage® Science Dictionary by Houghton Mifflin Company, 2005 Yule, George, Explaining English Grammar, Oxford University Press, Walton Street, Oxford OX2 6 DP, 1998 http://www.pearsonphonics.co.uk/AssetsLibrary/General/EvaluationofClackStudy.pdf http://jurnal.upi/penelitian-pendidikan/view/54/pembelajaran-analitik-sintetik-untukmeningkatkan-kemampuan-berfikir-kritis-dan-kreatif.pdf http://eprints.uny.ac.id/5935/ http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/ pgsdkebumen/article/view/256
176
ANALISIS KATEGORI KATA BENDA (MEISHI) YANG TERDAPAT DALAM SOAL-SOAL NORYOKU SHIKEN LEVEL 2 BAGIAN MOJI GOI 2002-2004 Dinny Fujiyanti, Purwani Purawiadi, Yessy Harun Sastra Jepang – Fakultas Sastra ABSTRAK Nouryoku shiken yang saat ini bernama JLPT (Japanese Language ProficiencyTest) adalah ujian kemampuan bahasa Jepang untuk mengetahui kemampuan tiga : perbendaharaan kata (moji-goi), pemahaman bacaan dan tatabahasa (dokkai-bunpou), dan pendengaran (chookai). Penelitian kami menitikberatkan pada komponen Moji-goi khususnya dalam pengklasifikasian kata benda (meishi) yang terdapat dalam soal nouryokushiken tahun 2002-2004. Menurut Okubo Tadatoshi, terdapat tempat klasifikasi kata benda yaitu: futsumeishi, kouyumeishi, daimeshi dan sushi. Futsumeishi dibagi lagi kedalam dua bagian yaitu gutaimeishi (kata benda konkrit) dan chushoumeishi (kata benda abstrak). Terdapat enam bagian dalam soal moji-goi yang tiap bagiannya menekankan pemahamahan perbendaharaan tersendiri (dari hiragana-kanji atau sebaliknya). Setiap soal Moji-goi mempunyai jumlah soal keseluruhan sebanyak 65 soal sehingga jumlah keseluruhan soal yang kami teliti adalah 195 soal. Dari 195 soal ditemukan sebanyak 114 soal yang menguji pengetahuan kata benda. Kesimpulan dari penelitian kami ditemukan banyak pengujian soal kata benda yang termasuk kedalam futsumeishi khususnya gutai dan chuushoumeishi. Keywords: nouryokushiken, meishi, futsumeishi, gutaimeishi, chuushoumeishi PENDAHULUAN
Seiring dengan laju perkembangan jaman, pergerakan informasi dan tehnologi begitu cepatnya sehingga kita dituntut untuk dapat beradaptasi dengan perubahan ini. Bahasa adalah satu alat agar dapat mengikuti perubahan ini. Bahasa Inggris yang masih dianggap sebagai Lingua Franca di dunia internasional (globally) memegang peranan yang penting dalam perkembangan kemajuan seseorang baik secara intelektual maupun sosial.
Selain bahasa Inggris, terdapat bahasa-bahasa asing lainnya yang memiliki kemampuan untuk menjadi Lingua Franca disebabkan oleh kemajuan negara-negara yang memiliki bahasa tersebut, terutama di bidang ekonomi dan tehnologi. Contohnya adalah bahasa Jepang, Cina, Korea, Perancis maupun Jerman.
Negara-negara ini datang ke negara-negara berkembang dengan tujuan berinvestasi dalam sektor ekonomi dan mempekerjakan penduduk setempat. Sebagai contoh adalah 177
perusahaan-perusahaan Jepang yang berinvestasi ke Indonesia dan mempekerjakan generasi muda Indonesia dengan berbagai macam persyaratan. Salah satu persyaratannya adalah kemampuan berbahasa Jepang yang baik bagi para calon pelamar. Cara mengukur bagaimana mereka dapat berbahasa Jepang dengan baik adalah dengan menunjukan sertifikat
kemampuan
berbahasa
Jepang.
Sertifikat
ini
diperoleh
mengikutiujiankemampuanbahasaJepangsesuaidengankemampuan
dengan
orang
cara
tersebut
(Noryouku Shiken).
Pada penelitian ini, kami bermaksud memahami dan mengetahui kategori kata benda yang sering diujikan dalam nouryouku shiken level 2.
PERUMUSAN MASALAH
Kata benda (meishi) merupakan salah satu jenis kata (hinsi) yang banyak atau sering digunakan
pemakaiannya dalam
kalimat. Demikian pula, pemakaiannya dalam
pembuatan tes, seperti nouryoku shiken. Analisis kata benda dan kategori kata benda apa saja yang sering diujikan dalam noryoku shiken menjadi pokok permasalahan penelitian ini.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Jenis-jenis meishi Dalam buku Nihongo no Bunpou(1) yang disusun oleh Yoshikawa Taketoki ,et all disebutkan bahwa : 「品詞」というのは文法を説明するために、言葉「単語」を意味、形、働き の上から、いつかのグループに分け、それらに名詞をつけたもので す.(Yoshikawa Taketoki,1987:20) Terjemahan : Yang disebut kelas kata (hinshi) yaitu kelompok kata yang terbagi dalam beberapa grup yang memiliki fungsi, bentuk, dan jenis kata ini menempel pada nomina.
Menurut Takayuki Tomita dalam bukunya Bunpou no Chishiki to Sono Oshiekata, hinsi dikelompokan menjadi 10 macam pembagian kelas kata, yaitu : Meishi 178
(nomina), Doushi (verba), Keiyoushi (adjektiva1),Keiyoudoushi (adjektiva 2), Fukushi (adverbial), Rentaishi (adverbia yang diikuti nomina), Setsuzokushi (konjungsi), Kandoushi (interjeksi), Joushi (partikel) dan Joudoushi (post verba).
Kelas kata Nomina dalam bahasa Jepang seperti ditulis oleh Tomita Takayuki dalam buku Bunpoo No KisoChisiki To Sono Oshie kata; 4, ada empat jenis nominayaitu : 1. FutsuuMeishi
(普通名詞)
Yaitu jenis nomina yang menunjukkan benda dan kejadian secara umum Contoh: kuruma(車) = mobil Ashita(明日)= besok Futsuu Meishi terbagi 2 yaitu: a. Nomina yang terbentuk dari verba dana djektiva I Contoh: Hare (晴れ)= cerah Iki(行き)= pergi b. Nomina yang terbentukdari 2 kata atau lebih yang bergabung menjadi 1 kata (fukugo) Contoh: Asagohan(朝ごはん)= Makan pagi Ooame(大雨)
2. KoyuuMeishi
= hujanlebat
(固有名詞)
Yaitu: jenis nomina untuk menunjukkan ciri khusus dari benda tsb, seperti nama orang, nama tempat, nam asekolah,dll Contoh : Natsume Soseki(夏目礎石)= nama orang Nihon
3. Dai Meishi
(日本) =Jepang
(代名詞)
Yaitu: Jenis kata benda yang digunakan untuk menggantikan Futsu Meishi dan Koyuu Meishi, disebut juga pronominal. Contoh: -
Untuk menunjukkan orang: watashi(私), anata(あなた), dare(だれ)donata (ど なた)
179
-
Untuk menunjukkan benda: kore(これ), sore(それ), are(あれ), dore(どれ)
-
Untuk menunjukkan tempat : koko(ここ,)soko(そこ), asoko(あそこ), doko
(ど
こ) -
Untuk menunjukkan arah : kochira(こちら), sochira(そちら), achira(あちら), dochira(どちら)
4. Suushi(数詞) Yaitu: Kata yang menunjukan aturan hitung dan jumlah suatu benda (kwantitas) atau disebut juga numeralia. a. Kata yang menunjukan aturan hitung/Numeralia pokok kolektif atau dapat digolongkan kedalam numeralia tingkat. Contoh : - daiichi(第一)= keSatu -niban(二番) = kedua
b. Kata yang menunjukkan jumlah suatu benda atau numeralia penggolong nomina Contoh : - hitotsu (一つ) = 1 buah (untuk menghitung semua jenis benda) - sanmai (三枚) = 3 buah (untuk menghitung benda tipis seperti kertas, kain, handuk)
Sedangkan Okubo Tadatoshi dalam bukunya Tanoshiku wakaru menjelaskan jenis-jenis kata benda menjadi empat bagian yaitu : 1. Futsumeishi yang dibagi lagi menjadi : a. Gutai meishi : kata benda yang dapat dilihat dengan panca indera. b. Chuushou meishi : kata benda yang berupa konsep. 2. Kouyuumeishi 3. Suushi 4. Daimeishi
180
TUJUAN PENELITIAN
Dengan pengertian meishi di atas, kami memaknai meishi sebagai sebuah kajian yang dapat dianalisa untuk menfasilitasi mahasiswa pada waktu mengerjakan nouryouku shiken bagian moji-goi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi dan kategori kata benda dalam soal mojigoi yang banyak diujikan dalam noryouku shiken
Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk membantu mahasiswa mempermudah mengerjakan soal Moji-Goi dalam ujian Noryouku Shiken level 2 sehingga mahasiswa mampu mengerjakan soal Moji-goi dengan baik.
Metodologi Penelitian
Noryouku shiken adalah ujian kemampuan bahasa Jepang yang terdiri dari tiga bagian jenis ujian, yaitu : Moji-goi (perbendaharaan kata), dokkai-bunpou (pemahaman teks dan tata bahasa) dan Choukai (pendengaran). Data penelitian diambil dari soal-soal Noryoku Shiken khususnya bagian Moji-Goi dari tahun 2002-2004.
Cara analisis adalah dengan menggunakan metode analisis isi, dengan mencari semua kata benda yang terdapat di dalam soal-soal, kemudian diklasifikasikan ke dalam jenis atau kategori kata benda yang sesuai.
Hasil dan Pembahasan
Ujian moji-goi adalah ujian perbendaharaan kata yang terdiri dari enam bagian. Total soal keseluruhan moji-goi adalah 65 soal. Bagian pertama berisi mengenai cara baca kanji ke hiragana. Bagian kedua berisi mencari kata yang digarisbawahi dengan kanji yang sesuai. Bagian ketiga melengkapi kata yang sesuai dengan konteks kalimat yang ada. Bagian keempat adalah penggunaan kata yang paling sesuai dengan konteks kalimatnya. Bagian 181
kelima adalah mencari persamaan kata yang sesuai ( synonym) dengan kata yang digarisbawahi.
Dari hasil analisis ditemukan sebanyak 114 kata benda dari 195 jenis kata yang diujikan dalam soal moji-goi. Ke 114 kata benda tersebut diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Kata benda yang termasuk ke dalam jenis kata benda Gutai Meishi ( concrete nouns) ditemukan sebanyak 16 kata (14%) Gutai Meishi 1. 泥 = Mud
7.机 = Desk
13.鉱物= Mineral
2. くつ = Shoes
8.じょゆう= Actress
14.窓 =window
3. 小包 = A Parcel
9.団体 = Group
15.景気= Business
4. 記事 = Artikel
10.おんせん= Hot spring
16.製品= Product
5. 政党= Political party
11.申し込み=Application
6. 大臣 = Minister
12.谷= Valley
2. Kata benda yang termasuk ke dalam jenis kata benda Chuushou Meishi ( abstract nouns) ditemukan sebanyak 94 kata (83%)
CHUSHO MEISHI 1. 商品=Merchandise
33. 改善=Improvement
65.回復=Recovery
2. 販売=Sale
34.連続= Series
66.関心=Admire
3. 延期=Postpone
35.才能= Abilty
67.検査=Exmanition
4. 応対=Reseption
36.割引=Discount
68.依頼=Request
5. 評価=Evaluation
37.宿題= Homework
69.生活=Life
6. 内容=Content
38.皆= All
70.こうどう=Action
7. 信用=Trus
39.ひがい= Damage
71.共通= Commont
8. 観察=Observation
40.かくだい= Expantion
72.カロリー=Calori
9. 結果=Result
41.じゅんび=Preparation
73.しめきり=Deadline
10. 判断=Judgment
42.紹介=Introduction
74.てつや= Vigil
11. 記録=Record
43.関係=Relationship
75.いくじ= Child care
182
12. 成長=Growth
44.経営=Management
76.拍手= Shake
13. 知恵=Wisdom
45.失敗=Failure
77.足元=
14. 例外=Exception
46.形式=Ritual
78.克服=Conquer
15. 連絡=Connection
47.変更=Change
79.ひき= Mixed emotion
16. 操作=Operation
48.ぎろん=Discussion
80.引退=
17. 誤り=Mistake
49.さんか=Participation
81.コミュニケーション= Communication
18. 家庭=Supposition
50.そこ= Bottom
82.かじょう=Surplus
19. 兆=Trillion
51.永久= Permanent
83.しゃべり= Talk
20. 億=Hundred million
52.戦争= War
84.地味
21. 暮らし=Life
53.自身= Oneself
85.スケジュール= Schedulle
22. 調査=Investigation
54.油断=Carelessness
86.うわさ=Gossip
23. 隅=Corner
55.置く天候= Bad weather
87.アイヂャ= Idea
24. 貿易=Trade
56.到着=Arrival
88.ばんやり=Vague
25. わりあい
57.共同=Partnership
89.しんけん=Seriousness
26. ひげき=Tragedy
58.節約=Economy
90.見本=Sample
27. 原因=Cause
59.かんきょう
91.行方= Whereabouts
=Proportion
=Amusement 28. 発射=Shot
60.ぼしゅう=Collection
92.案外=
29. 作業=Work
61.かんそく=Observation
93.しかた=Way
30. かんりょう=
62.禁止=Prohibition
94.おせわ= Service
Completion 31. こんらん
63.区域=Zone
=Confusion 32. じょうきょう=
64.はんい=Malice
Condition
183
3. Kata benda yang termasuk ke dalam jenis kata benda Fukugo Meishi (compound nouns) ditemukan sebanyak 3 kata (0,2%) 1.
平均=Average
3. こうどうはんい=
2.寿命=Life
4. Kata benda yang termasuk ke dalam jenis kata benda Sushi (bilangan) hanya ditemukan 1 kata (0,1%) SHUSHI 1. 一番= Number one
Hampir 99% kategori kata benda yang diujikan termasuk ke dalam Futsu Meishi dan hanya 1 % saja yang termasuk ke dalam Sushi. Kebanyakan kata benda masuk ke dalam kategori chuushou meishi (abstract nouns sebanyak 83%).
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari analisis soal moji-goi ditemukan hampir 90% dari total soal yang menguji tentang pemahaman
kata benda (meishi) peserta tes. 83% diantaranya
menguji pemahaman
konsep kata benda bahasa Jepang (chuushou meishi) sesuai dengan tingkat kesulitannya. Oleh karena itu, peserta tes,
khususnya mahasiswa sebaiknya meningkatkan
pemahamannya mengenai kata-benda abstrak agar mereka memudahkan mereka dalam mengerjakan soal ujian dalam Noryoku Shiken.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan., Darjowidjoyo, Soedjono.,Lapoliwa, Hans.,dan Moeliono, Anton M. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Balai Pustaka, Jakarta Anthony Alfonso. Japanese A Basic Course. Tokyo:Sophia University L.L. Center of Applied Linguistic, 1981 ----------------------. Japanese Languange Patterns : A Structural Approach. Vol.II. Tokyo: Sophia University L.L. Center of Applied Linguistics, 1974 Chino Naoko. All About Particles. Tokyo: Kodansha International, 1991 Hosaka Hiroshi. Kokubunpohyoran Gakutosho, Tokyo
184
Martin, Samuel E. A Refference Grammar of Japanese. Tokyo: Charles E. Turtle Co.,INC, 1988 ------------------------. Essential Japanese. Tokyo Charles E. Turtle Co.,INC,1987 Mizutani, Osamu dan Nobuko Mizutani. Understanding Japanese Usage. Tokyo: Japan Times, 1986 Nomoto Kikuo. Kihon Nihongo Katsuyoo Jiten. Japan: Kokuritsu Kokugo Kenkyujo, 1988 Okubo Tadashi. Nihon No Tanoshiku Wakaru Nihon Bunpo. Tokyo Sutedi, Dedi. Dasar-dasar Linguistik bahasa Jepang. Humaniora, Bandung, 2003 Takayuki Nomita. Bunpoo No Kiso Chisiki To Sono Oshiekatta. Japan: Bojinsha, 1991 Yoshio, Ogawa. Nihonggo No Kyoiku Jiten : Nihongo Kyoiku Gakkai. Tokyo, 1982
185
PENGUKURAN KINERJA PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) DI DESA JATIMULYA Ade Supriatna Teknik Industri – Fakultas Teknik
[email protected],
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini menggunakan pendekatan web change untuk mengetahui posisi tiap atribut yang nantinya akan diberikan intervesi. Sebagai object penelitian adalah kelurahan Jatimulya kec.Tambun Selatan Kabupaten Bekasi dengan pertimbangan sebagai kelurahan terluas di Kabupaten Bekasi. Penyerapan dana PNPM Mandiri pada tahun 2009 penyerapan dana PNPM Mandiri adalah sebesar 14,57% , sedangkan pada tahun berikutnya sebesar 14,77% dan pada tahun 2011 sebesar 8,9%.. sedangkan dari 55 kuesioner ada 69% yang tidak tahu tentang PNPM dan 31% yang tahu tentang PNPM. Dilihat dari score atribut bahwa dari 32 variabel yang diisi pada kuisioner terdapat 20 variabel yang menunjukkan nilai kurang (2). Tetapi jika dilihat dari total nilai terdapat kelemahan pada komunikasi , hal ini ditunjukan dengan nilai score 8. Kelemahan pada komunikasi struktur PNPM mengakibatkan pada sistem sosialisasi terhambat indikatornya adalah bahwa masyarakat sebagai Sasaran pelaksanaan PNPM masih banyak yang belum tahu (69%) tentang PNPM. Hal ini berimbas pada rendahnya penyerapan anggaran yang rata-rata sebesar 19,08%. Kata Kunci : PNPM, Kinerja, Web Change,Intervensi. PENDAHULUAN
Program pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengembangkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sebagai pondasi ekonomi kerakyatan. Di Jawa Barat saja, berdasarkan dinas KUMKM Prov. Jawabarat Jumlah UMKM pada tahun 2008 mencapai 8.214.262 unit, mampu menyerap 13.911.531 orang tenaga kerja memberikan sumbangan terhadap LPE (Laju Pertumbuhan Ekonomi) Jawa Barat sebesar 8,04 persen dan PDRB Jawa Barat sebesar Rp 345,187 triliun. Pada tahun 2010 Jawabarat yang memiliki 138 sentra UMKM tersebar di 5 wilayah. Kabupaten Bekasi masuk kedalam sentra wilayah Bogor dengan tingkat konsentrasi 22%. Perlu dilihat dari aspek dinamika UMKM, Sekitar 86% sentra komoditas unggulan di Jawa Barat memiliki Karakteristik yang sama. Mayoritas sentra komoditas unggulan di Jawa Barat sudah mati hampir 42 buah (62%), hanya 22 sentra (32%) sentra yang aktif, 4 buah (6%) ada tapi tidak aktif
186
(dormant). Kabupaten Bekasi masuk kedalam kategori yang memiliki keseimbangan antara jumlah yang aktif dan mati. Jatimulya dengan luas wilayah yang paling luas di kabupaten Bekasi. Kelurahan Jatimulya Kecamatan Tambun Selatan Kabupaten Bekasi yang secara geografis kelurahan Jatimulya terletak pada ketinggian 14 m di atas permukaan laut (dpl). Keadaan rataan suhu di Kelurahan Jatimulya 320 - 400C dengan luas wilayah ± 567,321 ha, terdiri dari 18 wilayah rukun warga dan 168 wilayah rukun tetangga (RT).
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan kuesioner dengan pengukuran sample yang dilakukan pada 70 orang dipilih secara purposive. Kuesioner ini akan digunakan pada Web of Change, yaitu suatu alat ukur berbentuk radar yang mengukur bagaimana terjadinya perubahan organisasi, dengan melakukan pengukuran pada delapan unsur utama yang terdapat pada organisasi. Kedelapan unsur tersebut adalah Kepemimpinan (Leadership), teknoiogi (Technology), Structure, Pembelajaran kelompok (Group learning), Proses kerja (Work Process), Communication, Hubungan timbal balik (interrelationship) dan Penghargaan (rewards).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur kelurahan
Struktur organisasi memberikan tuntutan dalam peksanaan tugas agar masing-masing bidang atau fungsi dapat berjalan sesuai dengan mekanisme tanggung jawab, wewenang dan kompetensi masing-masing secara jelas dan benar. Adapun struktur tersebut adalah ;
PENDUDUK 187
Kelurahan Jatimulya merupakan kelurahan terpadat se Kabupaten Bekasi dengan jumlah penduduk 79.697 jiwa yang terdiri dari 37.373 jiwa laki-laki dan 42.324 jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga 17.343, sesuai laporan penyelenggaraan Pemerintahan Tahun 2011.
Dilihat dari mata pencahariannya, struktur penduduk kelurahan Jatimulya, seperti dimuat pada Tabel berikut
Tabel 1 Persentase Matapencaarian Persentase
Persentase
Persentase
2009 (%)
2010 (%)
2011 (%)
1 Bidang Pertanian
15,4
12,1
9,7
2 Bidang Peternakan
0,04
0,1
0,5
20,03
20,9
No
Profesi
3 Bidang Jasa Pemerintahan / non 19,08 Pemerintahan 4 Bidang Perdagangan
34,84
35,3
35,7
5 Bidang Industri
12,41
12,6
12,9
6 Bidang jasa lembaga keuangan
3,28
3,47
3,54
7 Bidang jasa komunikasi dan angkutan
5,72
5,9
6,3
8 Bidang jasa lainnya
8,16
9,4
9,8
PENGGUNAAN LAHAN
Mayoritas wilayah Kelurahan Jatimulya merupakan lahan permukiman dan terdiri dari beberapa daerah industri baik itu industri rumah tangga sampai kepada industri berat. Pembagian lahan secara terinci dimuat pada Tabel berikut :
Tabel 2 Pembagian lahan di kelurahan Jatimulya 188
No Penggunaan 1
2
3
4
Luas (Ha)
Pemukiman (61%) a.
Permukiman KPR-BTN
121.123
b.
Permukiman Umum
224.943
Untuk bangunan (34%) a.
Perkantoran
3.075
b.
Sekolah
6.319
c.
Pertokoan/Perdagangan
2.826
d.
Pasar
0,800
e.
Tempat Peribadahan
56.575
f.
Kuburan/Makam
6.085
g.
Jalan
109.970
h.
Lain-lain
Pertanian Sawah (3%) a.
Sawah pertanian teknis (irigasi)
b.
Sawah tadah hujan
11.025
Rekreasi dan Olah Raga (2%) a.
Lapangan Sepak Bola
3.200
b.
Lapangan Bola Voley / Basket
1.650
c.
dan lain lain
5.830
Jumlah Luas Seluruhnya
567.321
PNPM KELURAHAN JATIMULYA
visi & misi Visi PNPM Mandiri Kelurahan Jatimulya adalah Meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri.
Misi PNPM Mandiri kelurahan Jatimulya ini sendiri adalah: 1. peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; 2. pelembagaan sistem pembangunan partisipatif;
189
3. pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; 4. peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; 5. pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan.
Orientasi dan Pengamatan Lapangan
Evaluasi
MAD Sosialisasi
Operasional Pemeliharaan
Musdes Sosialisasi
Musdes serah terima
Pelatihan kader oemberdayaan masyarakat Kelurahan
Form : Survei dusun, Kriteria kesejahteraan, pemetaan RTM, Diagram kelembagaan, Kalender musim, Peta sosial
Supervisi, Pelaksanaan, Kunjungan antar desa, Pelatihan
Penggalian Gagasan Pencairan dana dan pelaksanaan kegiatan Musdes Pertanggung jawaban
1. 2. 3. 4.
Visi Desa Peta Sosial Desa Usulan Desa PJM
Musy. Desa khusus perempuan
Musdes Perencanaan Persiapan pelaksanaan (pendaftaran tenaga, pelatihan, TPK, UPK, dan pelaku Desa lainnya) Musrenbang Kab
Supervis i Perencanaan dana dan pelaksanaan kegiatan
Penulisan usulan tanpa desain
-. Ranking Usulan -. Renstra Kecamatan
Verifikasi Usulan
MAD Prioritas Usulan
MAD Penetapan Usulan
Desain & RAB, Verifikasi teknis SPP
MAD Penetapan Usulan Forum SKPD
- Penetapan pendanaan -. Utusan kecamatan
Gambar 2. Sistem pelaksanaan program PNPM
PERSENTASE PENYERAPAN 190
Penyerapan dana PNPM Mandiri dapat kita simpulkan bahwa pada tahun 2009 penyerapan dana PNPM Mandiri itu sendiri adalah sebesar 14,57% , sedangkan pada tahun berikutnya sebesar 14,77% dan pada tahun 2011 sebesar 8,9%. lihat grafik 4.2 berikut :
Persentase Penyerapan (%)
2009
2010 2011
Grafik 1 Persentase penyerapan PNPM Mandiri
PERSENTASE PENGETAHUAN TENTANG PNPM
Setelah kita melakukan penyebaran 55 kuesioner ke UMKM-UMKM di kelurahan Jatimulya yaitu ada 38 UMKM yang tidak mengerti akan PNPM Mandiri itu sendiri. Dari 38 UMKM itu sendiri ada 25 usaha Las dan 13 usaha jahit. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dari 55 kuesioner ada 69% yang tidak tahu tentang PNPM dan 31% yang tahu tentang PNPM. Mungkin karena kurangnya Sosialisasi sehingga belum sepenuhnya masyarakat itu tahu akan PNPM itu sendiri. Untuk grafik pengetahuan tentang PNPM dapat dilihat sebagai berikut.
191
Grafik 2 Persentase pengetahuan masyarrakat tentang PNPM
Dari 17 UMKM yang mengetahui atau mendapatkan bantuan PNPM Mandiri itu sendiri ada 10 usaha Las dan 7 usaha jahit.
PENILAIAN PADA STRUKTUR PNPM
Berdasarkan kuesioner yang disebarkan sebanyak 55 kuesioner didapatkan :
Tabel 3 Rekapitulasi Web of Change berdasarkan Modus PERTANYAAN
NO
SCORE
Kepemimpinan (Leadership) 1 2 3
Respon karyawan terhadap pola kepemimpinan atasan Kondisi kepemimpinan saat ini dan tanggung jawab. Pemimpin dapat mencari solusi dari permasalahan yg ada
Pemimpin memberikan hak kebebasan kepada karyawan untuk berkreasi dalam batas-batas tertentu. JUMLAH Proses Kerja (Work Proses) 1 Proses kerja sudah sesuai dengan prosedur yang ada 2 Penyajian laporan dan angsuran tepat waktu 3 Melakukan pengukuran kinerja dan tindakan korektif. 4 Proses kerja telah dikembangkan untuk suatu peningkatan JUMLAH Struktur (Structure) 1 Struktur yang ada telah dirancang untuk meningkatkan kinerja dan strategi bisnis PNPM. 2 Struktur organisasi mendukung proses kerja dan keefektifitasan secara berkesinambungan.
4 4 4
4
192
15 3 2 2 2 9 3 2
3
Struktur organisasi mendukung orang dapat bekerja sama dalam tim atau tidak. 4 Struktur organisasi dari level bawah sampai level atas mampu mendukung pelaksanaan kerja yang efektif. JUMLAH Pembelajaran Kelompok (Group Learning) 1 Pelatihan untuk peningkatan kompetensi dan Karyawan dapat memberikan masukan hal-hal yang perlu dipelajari 2 Pembelajaran kelompok dimaksudkan untuk pencapaian performa pekerjaan dan keterampilan yang mendukung interaksi dan kerja tim yang baik. 3 Manajemen mendukun untuk belajar mengenai hal-hal baru guna memperbaiki cara kerja organisasi 4 Karyawan didorong dan diberikan waktu yang cukup untuk belajar dan berlatih dengan tujuan pencapaian target dan sasaran. JUMLAH Teknologi (Technology) 1 Data-data yang berhubungan disimpan dan ada bukti soft copy & hard copynya 2 Data yang diambil dapat diakses dengan mudah oleh aparatur yang membutuhkan 3 Mempunyai web yang dapat diakses 4 Mempunyai perangkat lunak yang mendukung kelancaran JUMLAH Komunikasi (Communication) 1 Sistem sosialisasi 2 Sistem komunikasi terpadu 3 Sistem komunikasi berjalan dengan baik 4 Pertemuan (meeting) sering dilakukan JUMLAH Hubungan Antar Personil (Interrelationship) 1 Hubungan kerja vertikal telah dikembangkan hingga mendukung inisiatif 2 Hubungan kerja horizontal telah dikembangkan hingga mendukung inisiatif 3 Saling membantu dan memberi masukan 4 Hubungan kerja antara pekerja dan manajemen mendukung inisiatif bersama JUMLAH Penghargaan (Rewards) 1 Adakah proses penilaian 2 Penghargaan 3 Penilaian yang transparan 4 Penghargaan sesuai dengan evaluasi tinjauan manajemen JUMLAH Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dibuat Cobsweb Diagram yaitu sebagai berikut :
193
3
10 2 2
3 2 9 4 2 2 3 11 2 2 2 2 8 3 2 2 2 11 2 2 2 2 8
Chart Title Leadership Work Process Structure Group Learning Technology
Scor
Communication Interrelationship Rewards
Gambar 4 Cobsweb diagram
KINERJA KELURAHAN JATIMULYA
Setelah pengolahan data kuisioner dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa dari 32 variabel yang diisi pada kuisioner terdapat 20 variabel yang menunjukkan nilai kurang (2). Tetapi jika dilihat dari total nilai terdapat kelemahan pada komunikasi , hal ini ditunjukan dengan nilai score 8. Maka oleh sebab itu diperlukan perbaikan-perbaikan terhadap aparatur-aparatur pelaksana PNPM Mandiri di kelurahan Jatimulya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kelemahan pada komunikasi struktur PNPM mengakibatkan pada sistem sosialisasi terhambat indikatornya adalah bahwa masyarakat sebagai Sasaran pelaksanaan PNPM masih banyak yang belum tahu (69%) tentang PNPM. Hal ini berimbas pada rendahnya penyerapan anggaran yang rata-rata sebesar 19,08%.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami ucapkan kepada Universitas Darma Persada atas peran aktif berupa dukungan materi maupun moril guna selesainya penelitian ini. 194
DAFTAR PUSTAKA
Deputi Pengkajian Koperasi dan UKM, 2006, Pengkajian Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil Menengah yang Berbasis Pengembangan Ekonomi Lokal, Jakarta. Briones Abraham, a Soft Systems Methodology Approach To Design a Restaurant Management
Model For A Great Tourism Hotel , instituto politecnico
Nacional, Mexico Lestari, Sri, Kajian Efektivitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis, Deputi Bidang Pengkajian Sumber daya UMKM.
Lovren, Adam, 2012, How Can Assistence Programs Create Value For Entrepreneurs ? A Grounded Theory Case Study Of The Michigan StateUniversity Product Centre For Agriculture and Natural Resources, Michigan State University Nukman, 2010, Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Masyarakat Desa Melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang. Novi, 2006, Analisis Sistem Claster, Studi Kasus Kota Depok, Universitas Indonesia, Depok ________, 2008, PTO Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan, http://psflibrary.org/catalog/repository/PTO%20PNPM%20Mandiri%20Perdesa an.pdf, akses 22 Maret 2012 Tulus Tambunan, Development of Small and Medium Scale Industry Clusters In Indonesia, Univeritas Trisakti. Presley, Andrien, Participative Design Using Soft Systems Methodology, Clark University, USA
195
DESAIN DAN IMPLEMENTASI MOBILE LEARNING BERBASIS ANDROID Adam Arif Budiman Teknik Informatika - Universitas Darma Persada
[email protected] ABSTRAK Perkembangan teknologi yang cepat memberikan dampak yang signifikan terhadap gaya hidup manusia. Teknologi bergerak/mobile yang cepat memberikan perubahan paradigma berkomunikasi seseorang terhadap orang lain. Fungsi perangkat bergerak/mobile device yang terintegrasi dengan sistem telekomunikasi seluler tidak hanya digunakan untuk berkomunikasi tetapi juga digukanakan untuk fungsi-fungsi lainnya. Antara lain sebagai media pembelajaran. Paper ini membahasa mengenai bagaimana penerapan e- learning yang diintegrasikan ke mobile device sehingga kontent e-learning dapat diakses melalui perangkat bergerak. Keyword: android, mobile learning, e-learning, mobile, mobile device, seluler, telekomunikasi bergerak PENDAHULUAN
Dengan dukungan teknologi mikroprosesor dan telekomunikasi, perangkat bergerak menjadi lebih canggih dan berdaya guna.
Pada gambar 1 memberikan ilustrasi
perkembangan teknologi mikroprosessor dan komputer. [1]
Gambar 1
196
Pengguna internet semakin meningkat. Berdasarkan data Gartner[2] gambar 2, pengguna internet lebih banyak mengakses internet melalui perangkat bergerak daripada melalui PC/desktop.
Gambar 2
Disisi lain, pelajar atau mahasiswa yang memiliki perangkat bergerak semakin meningkat [3], dan bila kita mengamati mahasiswa di kelas, hampir 100 persen memiliki handphone.
Gambar 3 Pada gambar 4, penggunaan internet oleh pelajar/mahasiswa beraneka ragam, diantaranya mencari informasi, mengakses medis sosial, email dan lain lain. [3]. Dari trend tersebut
197
maka sebetulnya kita bisa mengarahkan pelajar/mahasiswa untuk menggunakan media perangkat bergerak untuk mengakses modul e-learning.
Gambar 4
Kampus UNSADA sudah lama berdiri dan terdapat sistem e-learning untuk menunjang proses belajar. Tetapi penggunaannya masih belum maksimal bahkan banyak mahasiswa yang belum mengenal tool ini. Dalam upaya untuk meningkatkan penggunaan e-learning maka di rancanglah e-learning yang bisa di jalankan dalam perangkat bergerak yang disebut mobile learning, dengan harapan e-learning ini akan semakin dikenal dan digunakan secara optimal karena hampir seluruh civitas akademis di UNSADA memiliki perangkat bergerak. Metode penelitian ini menggunakan Evolutionary Development dalam pengembngan aplikasi.
MOBILE LEARNING
Mobile learning atau M-learning adalah tipe e-learning yang menggunakan media telekomunikasi nirkabel dalam menyampaikan materi pendidikan. [4]
Demikian juga mobile learning menurut Traxler [5] bahwa mobile learning dideskripsikan sebagai penggunaan komputer dalam ruang kelas yang saling berhubungan, bersifat interaktif dan pribadi, dalam sebuah lingkungan kolaboratif dalam topik kajian tertentu.
Pada tabel 1, terdapat perbedaan mengenai istilah e-learning dan mobile-learning [6]
198
Tabel
1
SISTEM OPERASI ANDROID
Android merupakan sistem operasi untuk perangkat bergerak seperti tablet, handphone dan smartphone. Android yang didukung oleh perusahaan Google Inc ini bersifat open source dan free. Setiap pengembang sistem bisa memanfaatkan teknologi ini untuk membuat aplikasi mobile yang mereka kembangkan tanpa membeli lisensi dari Google. Android menggunakan Linux kernel sebagai kernel/program inti sistem operasinya dengan penambahan libraries, application framework dan application. Gambar di bawah merupakan susunan / stack sistem operasi Android [7]
Gambar 5
199
DESAIN DAN IMPLEMENTASI MOBILE LEARNING
Mobile learning ini dikembangkan dengan Android sebagai platform pemrograman, dengan database MySQL dan pemrograman PHP sebagai perantara komunikasi dari sistem di Android ke sistem e-learning di server e-learning UNSADA. Gambar 6 menujukkan desain system mobile learning.
Gambar 6
Pengguna dapat menggunakan tablet, smartphone atau laptop untuk mengakses materi elearning, dengan terhubung ke server melalui jaringan nirkabel Wifi, 3G atau jaringan internet lainnya.
HASIL PENELITIAN
Pada gambar 7 Di bawah ini merupakan tampilan icon aplikasi pada perangkat bergerak. Bila icon “E-learning UNSADA” diklik maka akan muncul tampilan yang berisi login untuk mengakses materi e-learning. Pada menu tampilan tertera beberapa fitur yaitu “materi”, “berita/News”, “tugas”,”nilai”, “Ujian” dan “Bantuan”
200
Gambar 7
Gambar 8
201
Gambar 9
KESIMPULAN
Dengan adanya aplikasi mobile learning di atas, maka pelajar/mahasiswa lebih mudah mengakses materi pendidikan tanpa terkendala waktu, lokasi dan jarak. Meski pengembangan teknologi mobile learning terus dikembangkan yang tidak kalah penting adalah bagaimana membudayakan penggunaan teknologi m-learning pada pengajar dan mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Morgan stanley , research survey 2012
2.
gartner survey, 2012
3.
ECAR student study mobility , 2012
4.
Brown, H.T, 2005,”Towards a model for M-Learning”, International Journal on ELearning, ,299-315
5.
Traxler, J, 2005, Institutional issues: Embedding and supporting. In A Mobile learning: A handbook for educators and trainers (pp. 173-188), London, Routledge.
6.
Agah, Aisye, 2011, Differences between m-learning (mobile learning) and e-learning, basic terminology and usage of m-learning in education, Procedia Social and Behavioral Sciences, Elsevier
7.
Website: http://developer.android.com 202
8.
hafizul fahri, khairulanur, Mobile Learning Environment System (MLES): The Case of Android-based Learning Application on Undergraduates’ Learning, (IJACSA) International Journal of Advanced Computer Science and Applications, Vol. 3, No. 3, 2012]
9.
Nazruddin Safaat H, 2012, Pemrograman Aplikasi Mobile Smartphone dan Tablet PC dengan Android, Bandung, Informatika
10. Ivan Michael Siregar, 2011, Membongkar Source Code berbagai Aplikasi Android, Yogyakarta, Gava Media 11. Jeff Friesen, 2010, Learn java for Android development, New York, Apress 12. Shambu, Abhijit, Kevin, Mark Weiser, 2002, Mobile Computing: Implementing Pervasive Information and Communication Technology, New York, Kluwer Academic Publisher 13. Murphy,
Mekeer,
2011,
Top
mobile
internet
trend,
http://www.slideshare.net/kleinerperkins/kpcb-top-10-mobile-trends-feb-2011 14. Barbara L Ciamitaro, 2012, Mobile Technology Consumption: Opportunities and Challenges. IGI Global
203
PENGARUH PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM USAHA EKONOMI MIKRO TERHADAP TINGKAT SOSIAL EKONOMI KELUARGA DI KELURAHAN PONDOK KELAPA KEC. DUREN SAWIT JAKARTA TIMUR Atik Isniawati, Sri Ari Wahyuningsih, Haryanto Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi
[email protected] ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh umur pedagang, jumlah tanggungan (anak), tingkat pendidikan, dan lamanya berdagang terhadap pendapatan keluarga. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang melakukan kegiatan dagang di wilayah Pondok Kelapa, Jakarta Timur, yang berjumlah 139 responden. Metode analisis statistik digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan istri berpengaruh sangat kuat dan positif terhadap pendapatan keluarga. Hal ini berarti tingkat partisipasi perempuan dalam usaha ekonomi mikro terhadap tingkat sosial ekonomi keluarga cukup signifikan. Dilihat dari kontribusi istri terhadap penghasilan keluarga besarnya adalah 0,88 atau 88% sedangkan kontribusi pendapatan selain penghasilan istri adalah sebesar 12%. Kata Kunci : Partisipasi perempuan, usaha ekonomi mikro, tingkat sosial ekonomi keluarga, pendapatan istri, kontribusi PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam bidang ekonomi, perempuan yang bekerja dalam menunjang kehidupan keluarga tidak terlepas dari kemiskinan, sehingga perempuan diberikan peluang untuk ikut serta dalam usaha ekonomi yang produktif, dan diberikan kesempatan bekerja diluar rumah sehingga mempunyai kontribusi positif terhadap pendapatan keluarga. Hal ini mengingat tingkat kesejahteraan keluarga Indonesia sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan.
Kegiatan
usaha ekonomi mikro (sektor informal) kontribusi kaum
perempuan dibidang ini sangat signifikan. Dari tiga puluh juta pengusaha UMKM 60% diantaranya adalah perempuan. Proporsi 4 tenaga kerja perempuan di sektor informalpun ternyata mencakup tujuh puluh persen dari keseluruhan tenaga kerja perempuan. Usaha mikro yang paling banyak diminati kaum perempuan diantaranya adalah di bidang industri rumah tangga dan perdagangan. Di bidang industri rumah tangga misalnya saja adalah
204
pembuatan kripik dan makanan sejenisnya yaitu dagang dengan modal < Rp. 10.000.000, dagang makanan sehari-hari/warung nasi,gorengan dan lain sebagainya. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Pondok Kelapa Jakarta Timur.
Dari pra-survey ini dapat diketahui bahwa dengan berpartisipasinya perempuan dalam usaha ekonomi mikro ini secara langsung memiliki pengaruh terhadap tingkat sosial ekonomi keluarga di Kelurahan Pondok Kelapa Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Tingkat Partisipasi Perempuan dalam Usaha Ekonomi Mikro terhadap Tingkat Sosial Ekonomi Keluarga di Kelurahan Pondok Kelapa Kec. Duren Sawit Jakarta Timur”.
Perumusan Masalah Beberapa masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Apakah umur pedagang, tingkat pendidikan, lama berdagang, dan umur tanggungan keluarga secara parsial dan simultan berpengaruh terhadap pendapatan keluarga?”
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh umur pedagang, tingkat pendidikan, lama berdagang, dan umur tanggungan keluarga secara parsial dan simultan terhadap pendapatan keluarga?”
Tinjauan Pustaka
Menurut Naqiyah (2005) perempuan adalah manusia yang mempunyai potensi untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai manusia ia lahir dengan naluri untuk sukses dan terus maju dalam kehidupan yang ditempuhnya. Posisi perempuan yang selama ini menjadi nomor dua (women is second sex) akan mengebiri dan menindas perempuan. Secara sosiokultural, perempuan dibatasi oleh budaya patriakat yang kukuh dan tidak mudah merobohkannya. Ia berpendapat bahwa istilah gender dipakai untuk pengertian jenis kelamin secara non-biologis, yaitu secara sosiologis dimana perempuan direkonstruksikan sebagai mahluk yang lemah lembut sedangkan laki-laki sebagai mahluk yang perkasa. Hal 205
yang sama juga dijelaskan bahwa gender adalah perbedaan peran, perilaku, perangai lakilaki dan perempuan oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan. Djamal (2000) menemukan bahwa 80 persen perempuan yang disurveinya beralasan membantu suami dan rumah tangga. Sing, dkk., 2000 menemukan bahwa lebih dari 56 persen menyebutkan memperoleh pendapatan tambahan sebagai alasan memasuki usaha kecil, dan selebihnya menjawab ingin mandiri. Van Velzen, 1990 menyatakan Warisan dari orang tua juga alasan yang melatari keterlibatan perempuan (dikutip oleh Mulyanto, 2006).
Media Perempuan, Edisi ke-V, 2010 mengatakan bahwa kaum perempuan yang bekerja di sektor informal memunculkan dua indikasi. Pertama, adanya keterbatasan akses kaum perempuan untuk masuk kedalam sektor formal karena adanya keterbatasan pada aspek pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Kedua, kaum perempuan sendiri yang memilih masuk ke sektor informal dengan pertimbangan adanya kemudahan, keleluasaan dan fleksibilitas kerja disektor informal yang tidak mungkin diperoleh ketika bekerja di sektor formal. Disamping itu, usaha mikro juga merupakan salah satu komponen utama pengembangan ekonomi lokal, dan berpotensi meningkatkan posisi tawar (bargaining position) perempuan dalam keluarga (Sugiarto, 2007:203). Pada tahun yang sama sumbangan usaha kecil terhadap total PDB mencapai 39,93% (BPS,2009). Perempuan adalah perempuan usia produktif (15-55 tahun) yang telah menikah dan tinggal bersama suami dalam satu rumah. Keluarga adalah unit sosial yang terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terkait oleh adanya hubungan perkawinan (suami dan istri) serta hubungan darah (anak kandung) atau adopsi (anak angkat). Pendapatan perempuan adalah hasil yang diperoleh responden dari kerja produktif yang dilakukan oleh perempuan. Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan yang didapatkan oleh seluruh anggota keluarga, baik dari hasil usaha tani, maupun dari pendapatan lainnya. Pengeluaran rumahtangga adalah rata-rata biaya yang dikeluarkan rumahtangga dalam kurun waktu selama enam bulan terakhir untuk pengeluaran pangan maupun nonpangan.
Kontribusi ekonomi perempuan adalah proporsi pendapatan perempuan terhadap pendapatan total keluarga. Kontribusi suami adalah proporsi pendapatan suami terhadap pendapatan total keluarga. Kesejahteraan keluarga objektif berdasarkan BPS adalah keluarga dikatakan sejahtera apabila pendapatan atau pengeluaran per kapita per bulan di 206
atas garis kemiskinan.Kesejahteraan keluarga subjektif adalah tingkat kepuasan contoh terhadap keadaan keluarga baik secara fisik, ekonomi, sosial, dan psikologi berdasarkan persepsinya (subjektif).
Beberapa studi mengindikasikan upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Lembaga Penelitian SMERU: 2003 merupakan salah satu studi yang menunjukkan bahwa upah perempuan sekitar 70% dari upah laki-laki.
Metode Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer. pengumpulan data primer diliput melalui seperangkat pertanyaan (kuesioner) dan wawancara yang diajukan kepada responden, serta dilakukan observasi terhadap responden.
Dalam penelitian ini teknik penarikan sampling dilakukan dengan metode purposive. Ciri pedagang berhasil adalah pedagang yang mampu : (1) mengelola dagangannya dengan baik, (2) mengelola usaha dengan baik, (3) memupuk dan mengelola modal, (4) mampu bermitra antar pedagang, anggota dan pihak ketiga. Sedangkan jenis responden dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga
yang melakukan kegiatan dagang baik untuk
makanan warteg maupun industri makanan rumahan. Sedangkan definisi operasional dan pengukuran variable dalam penelitian ini adalah tingkat partisipasi perempuan dalam usaha ekonomi mikro yang diukur menggunakan rasio pendapatan istri terhadap pendapatan keluarga, dan tingkat sosial ekonomi keluarga, diukur dengan umur pedagang, tingkat pendidikan,lamanya responden melakukan aktivitas dalam sehari , kepemilikan rumah, dan penghasilan keluarga.
Analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS 21 for Window. Analisis statistik yang digunakan untuk mengolah data adalah analisis deskriptif untuk menyajikan berbagai gambaran variabel yang diteliti.
207
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 84,17% pedagang wanita telah menikah, 7,19% belum menikah dan sisanya 8,64% janda. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian beberapa peneliti terdahulu yang mengatakan bahwa umumnya kaum wanita bekerja setelah melahirkan serta umur anak yang diasuhnya sudah cukup besar dan dapat diasuh oleh anggota keluarga yang lain seperti nenek atau kakeknya. Temuan lainnya para wanita pedagang kaki lima ini adalah sebagai penopang kehidupan rumah tangganya. Sedangkan dari jumlah tanggungan terlihat bahwa jumlah tanggungan terbesar adalah 3-4 anak atau 44,60%, sedang lainnya diantara 1-2 anak saja. Jika kita bandingkan dengan penghasilan tiap bulan maka banyaknya tanggungan anak ini yang menyebabkan para pedagang belum memiliki tempat tinggal sendiri , yaitu 74,82% .
Dari sudut pendapat responden
sesuai dengan lamanya waktu berdagang didapatkan
bahwa pendapatan responden berkisar antara Rp.100.000–Rp.200.000 mencapai 41,73%, kemudian disusul pendapatan kurang dari Rp.100.000 sebanyak 33,81%. Sisanya diatas Rp.300.000.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah dengan segala
keterbatasan yang ada pada wanita, dia tetap memiliki potensi yang besar dalam menambah pendapatan keluarga melalui pendapatan wanita itu sendiri.
Usaha Kecil Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Dalam konteks otonomi daerah, UKM merupakan ujung tombak dalam menjalankan perekonomian daerah. Maka penelitian ini menjadi penting dengan mempersoalkan antara pengaruh umur pedagang, lamanya jam berdagang, banyaknya tanggungan keluarga dan tigkat pendidikan pedagang dalam mempengaruhi pendapatan keluarga di Kelurahan Pondok Kelapa Jakarta Timur .
208
Dari hasil uji hipotesis dengan jalan analisis jalur dapat digambarkan sebagai berikut :
X1
Py1= - 0,205 P31=0,261 P43=0,044 P21= -0,153
X3
PY4=0,049 X4
Y
P32= 0,070 X2
PY2 = -0,018
Gambar : Model Analisis jalur antara Umur pedagang, lamanya jam berdagang , jumlah tanggungan keluarga dan Tingkat Pedidikan Pedagang serta Pendapatan Keluarga.
Dengan menggunakan metode Backward diperoleh hasil pengolahan data yang mana koefisien jalur ditunjukkan oleh kolom Stadardized Coefficients (Beta).
Hipotesis yang diujikan adalah : Ho : P31 = 0 Ha : P31 ≠ 0 Hasil yang didapatkan adalah bahwa: a.
P31= 0,261, t = 3,110 ,P-Value = 0,002< 0,05 sehingga Ho ditolak, yang berarti Umur pedagang tidak berpengaruh terhadap jumlah tanggungan keluarga.
b. P32 = 0,070 , t = 0,838 ,P-Value =0,403 > 0,05 , sehingga Ho diterima , yang berarti rata-rata lamanya berdagang berpengaruh secara langsung terhadap jumlah tanggungan keluarga.
Dari analisis Struktural tersebut didapatkan bahwa koefisien jalur P32 tidak signifikan, sehingga X2 perlu dikeluarkan untuk memperbaiki model . 209
Persamaan struktural dapat diekspresikan dalam bentuk : X3 = p31X1+p32X2+e1 atau X3 =0,261X1 + ε 1 karena X2 tidak signifikan, sehingga dapat dilihat bahwa : a.
Umur pedagang (X1) berpengaruh secara tidak langsung terhadap tingkat pendidikan (X3) yang diperlihatkan dengan persamaan X3 = 0,261X1 + ε1
b.
Hubungan antara umur pedagang dengan pendapatan sangat rendah yaitu hanya sebesar 0,208
c.
Umur pedagang (X1) berpengaruh terhadap pendapatan keluarga (Y) secara tidak langsung dimana umur (X1) secara tidak langsung mempengaruhi pendidikan pedagang (X3) , kemudian pendidikan (X3) berpengaruh secara tidak langsung terhadap lamanya jam kerja (X4) yang pada akhirnya lama jam kerja (X4) berpengaruh langsung terhadap pendapatan keluarga (Y) diperlihatkan pada model 2 dengan persamaan :
d.
Y = a+ p31X1+p43X3+pY4X4 + ε2 Y= 169384,11+ 0,261X1+0,044X3+0,049X4+ ε2
e.
Hubungan antara X1,X3 dan X4 terhadap Y juga sangat rendah yaitu sebesar 0,219 . hal ini disebabkan adanya beberapa factor diluar variable penelitian yang tidak langsung mempengaruhi pendapatan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa : a. Pendapatan istri berpengaruh sangat kuat terhadap pendapatan keluarga. b. Umur pedagang (X1)
berpengaruh secara langsung terhadap jumlah tanggungan
keluarga, hal ini ditunjukkan dengan persamaan structural dimana semakin tua pedagang maka tanggungan keluarga semakin bertambah. c. Hubungan antara umur pedagang dengan jumlah tanggungan keluarga sangat rendah atau lemah sebesar 0,208. d. Umur pedagang (X1) berpengaruh secara langsung dan tidak langsung
terhadap
pendapatan keluarga (Y) secara tidak langsung dimana umur (X1) secara tidak langsung mempengaruhi pendidikan (X3), kemudian pendidikan (X3) berpengaruh secara tidak langsung terhadap lamanya jam kerja ( X4) yang pada akhirnya lama jam 210
kerja (X4) berpengaruh langsung terhadap pendapatan keluarga (Y) diperlihatkan pada model 2 dengan persamaan : Y= 169384.11+ 0,261X1+0,044X3+0,049X4+ ε2 e. Hubungan antara X1,X3 dan X4 terhadap Y juga sangat rendah yaitu sebesar 0.219, hal ini disebabkan adanya beberapa faktor diluar variable penelitian yang tidak langsung mempengaruhi pendapatan.
Dari hasil penelitian dan beberapa temuan di lapangan maka penulis dapat memberikan saran bahwa sehubungan umur pedagang berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap pendapatan keluarga, selayaknya Pemda DKI memberikan tambahan ketrampilan wiraswasta kepada para pedagang, disamping memberikan ruang yang mudah terjangkau konsumen, sehingga para pedagang dapat meningkatkan pendapatannya dan dapat bersaing dengan pesaing.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Biro Pusat Statistik Propinsi .2013. Statistik Ketenagakerjaan . Bhasin (1996) dalam Putu (2012) , Kamla, Menggugat Patriarki, Jogyakarta, Bentang Handayani M Th dan Artini Ni W P, 2009. Kontribusi Pendapatan Ibu Rumah Tangga Pembuat Makanan Olahan Terhadap Pendapatan Keluarga. Piramida Vol V No. 1. Hesti, R.Wd. Penelitian Perspektif Gender dalam Analisis Gender Dalam Memahami Persoalan Perempuan, Jurnal Analisis Sosial Edisi IV,Nopember 1996. Kadir, 2010. Statistika Untuk Penelitian-ilmu-ilmu sosial . Rosemata Sampurna Jakarta . Lembaga Penelitian SEMERU: 2003 Media Perempuan, Edisi ke-V, 2010 Mulyanto, J.H dan Jamhari. 2006. Peranan Wanita Peningkatan Pendapatan dan Pengambilan
Keputusan: Studi Kasus pada industri kerajinan Gaplak di
Kabupaten Bantul dalam Agro Ekonomi. Jurnal Sosek Vol. V/No. 1 des/1998. Nugroho, Bhuono. 2005. Memilih Metode Statistik Penelitian dengan SPSS. Andi Offset Yogyakarta. Sitohang Maria Ramos. 2004. Skripsi Peranan Istri Bekerja Dalam Kontribusinya Menambah Pendapatan Keluarga. UHN. Medan. 211
Sugiarto, 2007 : Kontribusi Wanita Dalam Aktivitas Ekonomi dan Rumah Tangga Sugiyono. 2008. Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D.Alfabeta. Bandung. Sulistiyani Ambar T dan Rosidah. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Graha Ilmu. Yogyakarta. Sumarsono
Sonny.
2003.
Ekonomi
Manajemen
Sumber
Daya
Manusia
dan
Ketenagakerjaan. Graha Ilmu. Yogyakarta. Sumampaw, 2000, Sumampaw, S.A. dkk, Ada Bersama Tradisi Seri Usaha Mikro Kecil, Swisscontact dan Limpad. Riyani, dkk. 2001. Kontribusi Wanita Dalam Aktivitas Ekonomi dan Rumah Tangga. Sumampaw, S.A. dkk, Ada Bersama Tradisi Seri Usaha Mikro Kecil, Swisscontact dan Limpad, 2000. Widiandarini, Ni Putu Yesi. 2001. Kontribusi Pendapatan Ibu Rumah Tangga terhadap Pendapatan Total Rumah Tangga dengan Luas Pemilikan Lahan yang Berbeda. (Studi Kasus di Desa Subuk, Busungbiu, Buleleng). Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. FP UNUD, Denpasar
212
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENJADI PERTIMBANGAN SISWA SLTA MENJELANG MASUK PERGURUAN TINGGI Sukardi, Endang Tri Pujiastuti Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi
[email protected] ABSTRAK Pendidikan merupakan kebutuhan pokok anak bangsa sebagai generasi penerus di masa mendatang. Oleh karena itu penyedia jasa pendidikan khususnya perguruan tinggi berlomba-lomba untuk memberikan fasilitas proses pembelajaran dengan mengikuti perkembangan zaman, seperti kelengkapan fasilitas dalam proses pembelajaran. Dalam penelitian ini mengungkap apa yang sebenarnya para siswa lanjutan atas ketika memilih dan menentukan perguruan tinggi untuk melanjutkan studinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi acuan siswa SLTA ketika memilih Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah survey terhadap siswa SLTA kelas III yang akan melanjutkan studinya ke Jenjang perguruan tinggi sebanyak 500 siswa dari 10 SLTA baik negeri maupun swasta. Instrumen yang digunakan sebanyak 23 variabel independen. Jawaban responden menggunakan kuesioner tertutup dengan memberikan penilaian menggunakan skala likert mulai sangat tidak penting sampai sangat penting (skala 1-4). Metode Analisa menggunakan statistik diskriptif dan analisa faktor. Hasil penelitian dari 23 variabel menunjukkan 7 faktor yang menjadi Acuan siswa SLTA ketika memilih perguruan tinggi. Faktor-faktor tersebut terdiri dari : faktor 1 (reputasi dan prestasi kampus), faktor 2 (biaya kuliah terjangkau), faktor 3 (pelayanan yang baik), faktor 4 (kemudahan akses informasi), faktor 5 (jurusan sesuai dengan yang diinginkan), faktor 6 (komunitas kampus yang solid), faktor 7 (kualitas akademik dan kemudahan mendapat pekerjaan setelah lulus). Kata kunci : Faktor-faktor, acuan, siswa SLTA. PENDAHULUAN
Tantangan
perguruan tinggi khususnya swasta saat ini sangat ketat, oleh karena itu
Perguruan Tinggi Swasta harus berbenah diri baik dalam hal fasilitas hardware maupun softwarenya. Kategori hardware lebih menonjolkan fasilitas fisik seperti gedung, ruang kuliah yang nyaman, peralatan dan laboratorium yang mumpuni. Sedangkan software lebih menekankan pada manajemen pendidikan seperti
metode
pembelajaran, kurikulum,
akreditasi, brand image dan memperkuat tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan public.
Saat ini, di Indonesia terdapat banyak pilihan perguruan tinggi bagi siswa SLTA yang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Terdapat sekitar 82 PTN dan sekitar
213
1400 PTS. Sedangkan jumlah siswa SLTA negeri maupun swasta khusunya di DKI Jakarta seperti terlihat pada Tabel 1 berjumlah 148.268 orang. Tabel 1. Jumlah siswa SLTA Negeri maupun Swasta di DKI 2012 JENIS SLTA KOTA/KABUPATEN
NEGERI
SWASTA
JUMLAH
Jakarta Pusat
7,299
7,883
5,182
Jakarta Utara
1,49
9,689
1,18
Jakarta Barat
1,855
4,429
6,284
Jakarta Selatan
1,574
4,532
6,106
Jakarta Timur
2,520
6,630
9,150
Kep. Seribu
363
-
363
JUMLAH
5,105
3,163
148,268
Sumber : Modifikasi http://snmptn.or.id
Karena demikian banyaknya pilihan perguruan tinggi, maka perlu dilakukan pemetaan dan menentukan kriteria tertentu untuk mengetahui faktor yang dijadikan dasar acuan dalam mengambil keputusan siswa SLTA masuk perguruan tinggi. Pada umumnya kriteria yang dipilih meliputi status akreditasi, citra, fasilitas fisik, biaya, mutu dosen, mutu lulusan, prospek, dan sebagainya. Dengan demikian, Jika melihat jumlah siswa sebagaimana tabel di atas, maka peluang dan kesempatan perguruan tinggi swasta menampung lulusan SLTA sangat tinggi.
Dari latar belakang dan informasi tersebut, maka penelitian ini mengkaji analisis faktorfaktor yang menjadi acuan siswa SLTA dalam memilih perguruan tinggi swasta di wilayah Jakarta Timur. Tujuannya untuk mengetahui berbagai faktor yang menjadi acuan siswa SLTA ketika masuk Perguruan Tinggi Swasta. Sedangkan manfaat yang diharapkan adalah bagi pengelola perguruan tinggi dapat mengetahui faktor-faktor yang menjadi acuan siswa SLTA dalam memilih Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta Timur, sehingga pemangku kepentingan dapat fokus pada hal-hal yang dianggap penting untuk dilakukan peningkatkan infrastruktur maupun fasilitas lain.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, diperlukan landasan teori untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi acuan siswa SLTA dalam memilih perguruan tinggi swasta di 214
wilayah Jakarta Timur diataranya tentang persepsi konsumen, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan memilih dan membeli produk, perilaku keputusan dalam membeli.
Persepsi konsumen. Menurut Kotler (1997:78) persepsi adalah proses memilih, menata, menafsir stimuli yang dilakukan seseorang agar mempunyai arti tertentu. Preferensi akan membentuk sikap konsumen terhadap suatu obyek, yang pada gilirannya akan sikap ini seringkali secara langsung akan mempengaruhi apakah konsumen akan membeli suatu produk atau tidak.
Faktor-faktor yang mempengruhi keputusan memilih dan membeli produk. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen antara lain (1) Faktor kebudayaan terdiri dari : sub budaya, kelas sosial. (2) Faktor pribadi terdiri dari : Usia, pekerjaan, ekonomi, gaya hidup dan kepribadian. (3) Faktor psikologis terdiri dari : motivasi, persepsi, belajar dan kepercayaan.
Sedangkan Pelaku Pengambil Keputusan dalam Pembelian, terdiri dari : Initiator, Influencer, Gate keeper, decider, buyer, user, dimana konsumen sebelum membuat keputusan maka perlu melakukan langkah-langkah yang umumnya dilakukan secara bertahap.
Perilaku Konsumen. Menurut Dharmmesta dan Handoko (2000:10) Perilaku konsumen (consumer behavior) adalah kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan
barang-barang dan jasa-jasa tersebut
didalamnya proses pengambilan keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatankegiatan tersebut. Sedangkan menurut Kottler dan Gary Armstrong (2001:219), terdapat tipe – tipe perilaku membeli berdasarkan tingkat keterlibatan pembeli dan tingkat perbedaan di antara berbagai merek, yang dijelaskan melalui Tabel 2. berikut : Tabel 2. Tipe -Tipe Perilaku Konsumen Perbedaan
persepsi Keterlibatan tinggi
Keterlibatan rendah
Perilaku Konsumen Perbedaan
yang 1) Perilaku membeli yang 2) Perilaku membeli yang
mendasar yang ada di komplek
mencari variasi 215
antara merk Sedikit
perbedaan
antara merk yang ada
di 3) Perilaku membeli yang 4) mengurangiketidakcocokan
Perilaku
membeli
karena kebiasaan
Sumber : Philip Kottler & Gary Armstrong (2001 : 221)
Perilaku membeli yang kompleks (Complex buying behaviour), konsumen akan terlibat ketika produknya mahal, beresiko, jarang dibeli, dan sangat menonjolkan ekspresi diri. Pembeli ini akan melalui proses belajar mengenai kategori produknya, sikap, kemudian membuat pilihan pembelian yang dipikirkan masak- masak. Sedangkan Perilaku membeli yang mencari variasi,
konsumen menjalankan perilaku membeli dalam situasi yang
bercirikan rendahnya keterlibatan konsumen namun perbedaan merek dianggap cukup berarti, sehingga konsumen seringkali berganti merek. Untuk perilaku membeli yang mengurangi ketidakcocokan (Dissonance-reducing buying behaviour), maka setelah pasca pembelian, konsumen dapat mengalami ketidakcocokan. Ketika konsumen menemukan kelemahan tertentu tentang merek yang dibeli atau mendengar hal – hal bagus mengenai merek lain yang tidak dibeli. Sedangkaan perilaku membeli karena kebiasaan (Habitual Buying Behaviour), konsumen tidak mencari informasi secara ekstensif mengenai suatu merek, mengevaluasi sifat – sifat merek tersebut, dan mengambil keputusan yang berarti merek apa yang akan dibeli. Konsumen tidak membentuk sikap yang kuat terhadap suatu merek, konsumen memilih merek tersebut karena dikenal.
Kaitan teori tersebut dengan penelitian ini adalah bagaimana siswa sebagai konsumen memilih Perguruan Tinggi. Menurut Gunadi et al (2007 : 78), ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemilihan perguruan tinggi agar yang dipilih tepat, yaitu : mencari informasi secara detil, mata kuliahnya, praktek lapangan, dosen, universitasnya, komunitas sosialnya, kegiatan kampusnya, biaya, alternative profesi kerja, kualitas alumninya, dan lain-lain.
Menyesuaikan cita-cita anak, karena setiap anak
mempunyai cita-cita dan pembiayaan kuliah terjangkau atau tidak merupakan salah satu pertimbangan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menjadi acuan siswa SLTA memilih PTS adalah : (1) Menyesuaikan cita-cita, minat dan bakat, (2) Informasi yang sempurna, (3) Lokasi dan biaya, (4) Daya tampung jurusan / peluang diterima, (5)Masa depan karir dan pekerjaan, (6) Fasilitas kampus, (7) Kegiatan
216
mahasiswa, seperti kegiatan ekstra kurikuler yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), (7) Akreditasi, (8) Reputasi atau citra.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat eksplorasi (explanatory research) yang
dilakukan di Wilayah
Jakarta Timur pada bulan Maret sampai dengan Juni 2013. Lokasi tersebut dipilih, karena mudah dijangkau dan mudah dalam mendapatkan responden sebagai objek penelitian.
Populasi diambil berdasarkan jarak SLTA dari lokasi peneliti yaitu di 3-5 km sebanyak 10 SLTA terdiri dari SMK 48, SMA Budaya, SMA Cahaya Sakti, SMA Negeri 44, SMA Negeri 103, SMA PR 2, SMA Negeri 100, SMA BPSK, SMA Muhammadiyah 23 dan SMA Negeri 107. Sedangkan teknik penentuan sampel ditetapkan baik secara unit maupun ovservasi berdasarkan quota sampling yaitu setiap SLTA diambil 50 siswa, selanjutnya agar sampel lebih representative diambil dari kelompok IPS sebanyak 25 siswa, dan IPA 25 siswa. Sehingga total sampel dari 10 SLTA sebanyak 500 siswa dengan teknik pengambilan sampel secara acak sederhana yaitu setiap kelompok IPA maupun IPS yang jumlahnya diatas 25 siswa dilakukan dengan sistem undian. Jika siswa yang namanya keluar, tidak bersedia menjadi responden karena alasan seperti setelah lulus SLTA tidak akan kuliah, maka dilakukan pengundian kembali. Hal ini dilakukan sama untuk setiap SLTA, dari 10 SLTA setiap kelompok tidak ditemukan jumlah siswanya kurang dari 25 orang. Untuk tehnik pengumpulan data menggunakan daftar pertanyaan. Kuesioner yang dibagikan merupakan kuesioner tertutup berupa pernyataan dalam bentuk skala. Metode skala pernyataan sikap yang digunakan adalah skala Likert (1= sangat tidak penting sampai 4= sangat penting).
Sedangkan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor yaitu analisis statistika yang bertujuan untuk mereduksi dimensi data dengan cara menyatakan variabel asal sebagai kombinasi linear sejumlah faktor, sedemikian hingga sejumlah faktor tersebut mampu menjelaskan sebesar mungkin keragaman data yang variabel asal.
217
dijelaskan oleh
Model analisis faktor tersebut adalah sebagai berikut: X1 c11 X 2 c 21 X 3 c31 ... ... X c p p1
c12
c13
...
c 22
c 23
...
c32
c33
...
...
...
...
c p2
c p3
...
(p x 1)
c1m F1 1 c 2 m F2 2 c3m F3 3 ... ... ... c pm Fm p
(p x m)
(m x1)
X1, X2,..., Xp adalah variabel asal F1, F2,..., Fm adalah faktor bersama (common faktor) cij adalah bobot (loading) dari variabel asal ke-i pada faktor ke-j.....p adalah error Proses analisis faktor yaitu memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor. Oleh karena analisis faktor berupaya mengelompokkan sejumlah variabel maka seharusnya ada korelasi yang cukup kuat di antara variabel, sehingga akan terjadi pengelompokan. Jika sebuah variabel atau lebih berkorelasi lemah dengan variabel lainnya, maka variabel tersebut akan dikeluarkan dari analisis faktor. Jika dari 23 variabel, ditemukan tidak berkorelasi, maka
dalam seleksi ada satu atau lebih variabel yang gugur. Alat
seperti MSA atau Barlett’s Test dapat digunakan untuk keperluan ini. Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan ekstraksi variabel tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor. Beberapa metode pencarian faktor yang populer adalah principal Componen dan Maksimum Likelihood. HASIL PENELITIAN Untuk mengidentifikasi faktor – faktor yang secara substantive bermakna dalam arti bahwa faktor-faktor tersebut meringkas variabel – variabel yang diukur menjadi variabel – variabel yang lebih sedikit jumlahnya, maka idengan nstrument sebanyak 23 variabel independen dianalisis dengan analisis faktor dengan bantuan
SPSS 18 dengan hasil
sebagai berikut : 1. Hasil Kaiser Meyer Olkin (KMO) dan Bartlett’s Test. Uji KMO bertujuan untuk mengetahui apakah semua data yang telah terambil telah cukup untuk difaktorkan. Hipotesis dari KMO adalah sebagai berikut : Ho : Jumlah data cukup untuk difaktorkan H1 : Jumlah data tidak cukup untuk difaktorkan 218
Apabila nilai KMO lebih besar dari 0,5 maka terima Ho sehingga dapat disimpulkan jumlah data telah cukup difaktorkan. Tabel 3. KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) Measure of Sampling Adequacy.
.818
Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square
2432.683
df
253
Sig.
.000
Sumber : data kuesionder diolah 2013 Berdasarkan hasil uji KMO dan bartlett’s test of Sphericity pada tabel 3 menunjukkan bahwa nilai KMO sebesar 0.818 dengan tingkat siginifikansi 0.000 jauh di bawah nilai alpha 0.5 (0.00 < 0.5) artinya seluruh variabel dapat dilanjutkan untuk di analisis menggunakan analisis faktor.
2. Communalities Communalities merupakan jumlah varian dari suatu variabel yang dapat dijelaskan oleh faktor yang ada pada Tabel 4. Tabel 4. Communalities No.
Variabel
Initial
Extraction
1
Jurusan sesuai dengan cita-cita-X1
1.000
.577
2
Jurusan sesuai minat dan bakat-X2
1.000
.669
3
Jurusan banyak diminati-X3
1.000
.486
4
Promosi kampus menarik-X4
1.000
.508
5
Informasi kampus melalui browsing internet-X5
1.000
.507
6
Informasi direct line-X6
1.000
.549
7
Rekomendasi Orang tua-X7
1.000
.421
8
Lokasi Kampus mudah dijangkau-X8
1.000
.543
9
Biaya kuliah terjangkau-X9
1.000
.710
10
Biaya kuliah dapat dicicil-X10
1.000
.711
11
Setelah lulus mudah mendapat pekerjaan-X11
1.000
.452
12
Tersedia fasilitas olah raga/Laboran-X12
1.000
.571
13
Tersedia beasiswa-X13
1.000
.543
219
14
Tersedia kegiatan ekstrakurikuler-X14
1.000
.543
15
Jurusan terakreditasi-X15
1.000
.674
16
Ada hubungan kerjasama dengan perusahaan-X16
1.000
.550
17
Nama baik dan prestasi kampus-X17
1.000
.598
18
Kualitas dosen dan perkuliahan-X18
1.000
.475
19
Komunitas alumni solid-X19
1.000
.598
20
Banyak teman kampus-X20
1.000
.598
21
Komunitas lingkungan kampus solid-X21
1.000
.471
22
Pendaftaran masuk yang mudah-X22
1.000
.551
23
Metode pembelajaran/jadwal kuliah-X23
1.000
.619
Sumber : data kuesioner di olah 2013
Communalities menunjukkan nilai faktor yang menjelaskan varian variabel. Nilai yang ada pada communalities seluruh variabel menunjukkan nilai positif dan dipastikan jika hasil extraction negatif otomastis akan dikeluarkan.
Karena seluruh nilai variabel
positif artinya variabel ini yang akan membentuk beberapa faktor.
3. Total Variance Explained
dimensi
of Rotation Sums of Squared
e%
ulativ
nce Cum
Varia
e%
Loadings ulativ
nce Cum
Varia
Total % of
e%
ulativ
Squared Loadings
nce Cum
Varia
Sums
Total % of
Extraction
Initial Eigenvalues Total % of
Component
Tabel 5. Total Variance Explained
1
5.078
22.076
22.076
5.078
22.076
22.076
2.191
9.526
9.526
2
1.628
7.080
29.156
1.628
7.080
29.156
2.089
9.085
18.610
3
1.536
6.678
35.834
1.536
6.678
35.834
1.862
8.097
26.708
4
1.365
5.936
41.770
1.365
5.936
41.770
1.720
7.478
34.185
5
1.181
5.135
46.905
1.181
5.135
46.905
1.698
7.382
41.567
6
1.113
4.839
51.743
1.113
4.839
51.743
1.684
7.322
48.889
7
1.022
4.445
56.188
1.022
4.445
56.188
1.679
7.299
56.188
8
.951
4.136
60.324
9
.916
3.982
64.306
220
10 .865
3.762
68.068
11 .786
3.419
71.487
12 .757
3.291
74.778
13 .709
3.083
77.861
14 .697
3.029
80.890
15 .638
2.773
83.663
16 .578
2.512
86.175
17 .548
2.385
88.560
18 .527
2.289
90.849
19 .500
2.176
93.025
20 .458
1.993
95.018
21 .418
1.818
96.836
22 .389
1.692
98.528
23 .339
1.472
100.000
Sumber : data kuesioner diolah 2013 Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat 7 faktor terbentuk. Ketujuh factor tersebut jika diamati memiliki nilai eigen value di atas 1, artinya dari 23 variabel yang di analisis telah membentuk kelompok menjadi 7 faktor.
4. Scree Plots Scree Plots menjunjukkan jumlah faktor yang terbentuk, dengan kemiringan hampir sama. Ada 7 titik yang memiliki kemiringan yang berbeda atau nilainya ≥ 1. Dari 23 variabel memiliki kemiringan hampir sama atau nilainya di bawah 1 sebanyak 16 variabel.
Figure 1. Scree Plot
221
5. Penamaan Faktor Dari 23 variabel yang diteliti dapat di reduksi menjadi 7 Faktor untuk diberikan nama sesuai interprestasi dengan acuan pengelompokkan variabel tersebut. Nama faktor tidak ada aturan secara tegas karena dalam satu kelompok faktor akan keluar berdasarkan hasil olah SPSS, oleh karena itu dimungkinkan variabel bisa saling berbeda. Sehingga nama faktor cenderung subyektif.
Tabel 6. Pembentukan Faktor No.
Penamaan Faktor terbentuk
Komponen variable
1 2 3
Jurusan terakreditasi-X15 Tersedia kegiatan ekstrakurikuler-X14 Tersedia fasilitas olah raga/Laboran-X12
4
Nama baik dan prestasi kampus-X17
5 6 7 8 9
Biaya kuliah terjangkau-X9 Biaya kuliah dapat dicicil-X10 Lokasi Kampus mudah dijangkau-X8 Metode pembelajaran/jadwal kuliah-X23 Rekomendasi Orang tua-X7
10
Pendaftaran masuk yang mudah-X22
11 12 13
Informasi direct line-X6 Faktor 4 Promosi kampus menarik-X4 Kemudahan akses Jurusan banyak diminati-X3 informasi dengan Ada hubungan kerjasama dengan baik perusahaan-X16 Jurusan sesuai minat dan bakat-X2 Faktor 5 Jurusan sesuai Jurusan sesuai dengan cita-cita-X1 yang diinginkan Banyak teman kampus-X20 Faktor 6 Komunitas Komunitas alumni solid-X19 kampus yang Komunitas lingkungan kampus solid-X21 solid Tersedia beasiswa-X13 Faktor 7 Informasi kampus melalui browsing Kualitas internet-X5 informasi akademik dan Kualitas dosen dan perkuliahan-X18 Setelah lulus mudah mendapat pekerjaan- mudah mendapat pekerjaan X11
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Eigen Value
Faktor 1 Reputasi dan 2.473 Prestasi Kampus Faktor 2 2.252 Biaya kuliah terjangkau Faktor 3 Pelayanan yang 1.866 baik
2.150
Loading Faktor .761 .609 .576 .527 .817 .790 .645 .723 .590 .553 .707 .646 .420 .377
1.516
.776 .740
1.789
.643 .573 .573 .676
2.019
.485 .445 .413
Sumber : kuesioner diolah SPSS18 2013
Faktor 1 : Reputasi dan Prestasi Kampus, terdiri dari variabel : jurusan yang terakreditasi (x15) nilai faktor loading 0.761, Nama baik dan prestasi kampus (x17) nilai faktor loading 0.527, Prestasi kegiatan ektrakurikuler mahasiswa (x14) nilai faktor 222
loading 0.609, Tersedia fasilitas olah raga yang memadahi (x12) nilai faktor loading 0.576. Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value yaitu (2.473).Makna hasil analisis menggambarkan : responden/siswa SLTA ketika akan memilih kampus sebagai tempat kuliah selalu mempertimbangkan kampus yang memiliki reputasi dan prestasi kampus yang baik.
Faktor 2 : Biaya kuliah terjangkau, terdiri dari variabel : biaya kuliah terjangkau (x9) nilai faktor loading 0.817, Biaya kuliah dapat dicicil (x10) nilai faktor loading 0.790, Lokasi Kampus mudah dijangkau (x8) nilai faktor loading 0.645,
Faktor ini
terbentuk atas dasar nilai eigen value yaitu (2.252).Makna hasil analisis menggambarkan:responden/siswa SLTA ketika akan memilih kampus sebagai tempat kuliah juga mempertimbangkan kampus yang memiliki biaya kuliah terjangkau.
Faktor 3 : Pelayanan yang baik, terdiri dari variabel : metode pembelajaran dan jadwal (x23) nilai faktor loading 0.723, Rekomendasi orang tua (x7) nilai faktor loading 0.590, Kemudahan pendaftaran masuk (x22) nilai faktor loading 0.553. Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value sebesar yaitu (1.866). Makna hasil analisis menggambarkan :
responden/siswa SLTA ketika akan memilih kampus
sebagai tempat kuliah selalu mempertimbangkan kampus yang memiliki pelayanan yang baik.
Faktor 4 : Kemudahan akses informasi dengan baik, terdiri dari variabel: informasi direct line (x6) nilai faktor loading 0.707, Promosi kampus yang menariki (x4) nilai faktor loading 0.646, Jurusan banyak diminati (x3) nilai faktor loading 0.420, Kerjasama dengan perusahaan (x16) nilai faktor loading 0.377.
Faktor ini terbentuk
atas dasar nilai eigen value sebesar yaitu (2.150). Makna hasil analisis menggabarkan responden/siswa SLTA ketika akan memilih kampus sebagai tempat kuliah selalu mempertimbangkan kampus yang memiliki
kemudahan akses informasi dengan
baik.
Faktor 5 : Jurusan sesuai yang diinginkan, terdiri dari variable : jurusan sesuai dengan minat dan bakat (x2) nilai faktor loading 0.776, Jurusan sesuai dengan cita-cita (x1) nilai faktor loading 0.740. Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value sebesar 223
yaitu (1.516). Makna hasil analisis menggambarkan responden/siswa SLTA ketika akan memilih kampus sebagai tempat kuliah selalu mempertimbangkan kampus yang memiliki jurusan sesuai yang diinginkan.
Faktor 6 : Komunitas kampus yang solid, terdiri dari variabel : banyaknya teman kampus (x20) nilai faktor loading 0.643, Komunitas alumni yang solid (x19) nilai faktor loading 0.573, Komunitas lingkungan kampus/ekstrakurikuler mahasiswa (x21) nilai faktor loading 0.573. Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value sebesar yaitu (1.789). Makna hasil analisis menggambarkan responden/siswa SLTA ketika akan memilih kampus sebagai tempat kuliah selalu mempertimbangkan kampus yang memiliki komunitas kampus yang solid.
Faktor 7 : Kualitas informasi akademik yang baik, terdiri dari variabel : tersedia beasiswa (x13) nilai faktor loading 0.676, Tersedia akses internet (x5) nilai faktor loading 0.485, Kualitas pendidikan dosen (x18) nilai faktor loading 0.445, Setelah lulus mudah mendapatkan pekerjaan (x11) nilai faktor loading 0.413.
Faktor ini terbentuk
atas dasar nilai eigen value sebesar yaitu (2.019). Makna hasil analisis menggambarkan : responden/siswa SLTA ketika akan memilih kampus sebagai tempat kuliah selalu mempertimbangkan kampus yang memiliki kualitas informasi akademiki yang baik.
6. Component Transformation Matrix Tabel 7. Component Transformation Matrix Component 1
2
3
4
5
6
7
1
.487
.405
.414
.336
.272
.352
.341
2
.195
.174
-.222
-.472
.542
-.502
.336
3
-.422
.854
-.123
-.078
-.264
-.005
.030
4
-.418
.056
-.025
.458
.687
-.068
-.368
5
.041
-.079
-.779
.426
-.041
.168
.417
6
-.591
-.254
.360
.009
.030
.000
.676
7
-.144
-.044
-.168
-.516
.297
.769
-.060
Dari tabel 9 di atas component transformation matrix, dapat di jelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang memiliki korelasi positif dan cukup kuat, sedangkan terdapat empat 224
faktor yang memiliki nilai negative dan tidak ada korelasi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa korelasi negative bukan berarti tidak memiliki korelasi antar variabel namun hal ini disebabkan karena jawaban responden yang berbeda-beda.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Dari data 23 variabel, memenuhi uji asumsi kecukupan data yang ditunjukkan dengan nilai KMO
0.818% dan uji asumsi yang ditunjukkan Bartlett’s test dengan nilai Sig.
0.000. 2. Faktor umum yang terbentuk sebanyak 7 faktor, hasil ini diperoleh dari nilai eigenvalue lebih besar > 1. Diperoleh juga dari eigenvalue yang digambarkan pada scree plot ada 7 komponen. 3. Variabel-variabel yang masuk faktor 1 (reputasi dan prestasi kampus) adalah : jurusan yang terakreditasi, nama baik kampus, prestasi kegiatan ektrakurikuler mahasiswa, tersedia fasilitas olah raga yang memadahi. Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value paling tinggi yaitu (5.078). 4. Variabel-variabel
yang masuk pada faktor 2 (biaya kuliah terjangkau) adalah :
biaya kuliah terjangkau, biaya kuliah dapat dicicil, lokasi kampus mudah dijangkau. Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value paling tinggi yaitu (1.628). 5. Variabel-variabel yang masuk pada Faktor 3 (pelayanan yang baik) terdiri dari : metode pembelajaran dan jadwal, rekomendasi orang tua, kemudahan pendaftaran. Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value sebesar yaitu (1.536). 6. Variabel-variabel yang masuk pada Faktor 4 (kemudahan akses informasi) terdiri dari: informasi direct line , promosi kampus yang , jurusan banyak diminati, kerjasama dengan perusahaan. Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value sebesar yaitu (1.365). 7. Secara umum faktor 5 (jurusan sesuai yang diinginkan) terdiri dari : jurusan sesuai dengan minat,
jurusan yang mendukung bakat, jurusan sesuai dengan cita-cita.
Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value sebesar yaitu (1.181). 8. Secara umum faktor 6 (komunitas kampus yang solid) terdiri dari : banyaknya teman kampus, komunitas alumni yang solid, komunitas lingkungan kampus/ekstrakurikuler mahasiswa, Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value sebesar yaitu (1.113). 225
9. Secara umum faktor 7 (kualitas informasi akademik) terdiri dari : tersedia beasiswa, tersedia akses internet, kualitas pendidikan dosen, setelah lulus mudah mendapatkan pekerjaan. Faktor ini terbentuk atas dasar nilai eigen value sebesar yaitu (1.022)
Bersadarkan hasil penelitian tersebut, maka kami saran bahwa :
1. Sebaiknya pengelola kampus/manajemen memperhatikan faktor-faktor utama yang menjadi acuan siswa SLTA ketika akan memilih perguruan tinggi swasta sebagai pilihan tempat kuliah yaitu faktor 1 Perguruan Tinggi Swastra perlu membangun reputasi dengan nilai akreditasi A dan Prestasi Kampus melalui kegiatan ilmiah maupun kegiatan mahasiswa sampai tingkat Nasional maupun Internasional. 2. Perguruan Tinggi Swasta perlu melakukan benchmark tentang reputasi dan prestasi kampus, biaya kuliah yang sesuai dengan pangsa pasar sasaran, pelayanan, akses informasi yang mudah, studi tentang prodi yang banyak diminati calon mahasiswa, membentuk komunitas kampus yang baik, sehingga dalam membidik calon mahasiswa akan tepat sasaran. 3. Agar mampu bertahan di saat persaingan yang semakin ketat, Perguruan Tinggi Swasta harus melakukan pendekatan strategi dan terobosan baru seperti membuka kampus dengan program studi yang sesuai dengan permintaan masyarakat (calon mahasiswa)
DAFTAR PUSTAKA
Assael dalam Asodik 1995, Perilaku Konsumen, CV. Cetak Buana, Jogjakarta Aiken, 1997, Aplikasi dan Penerapan Analisa Faktor, Jakarta. Dharmmesta dan Handoko, 2000, Proses pengambilan Keputusan, PT. Grasindo Jakarta. Kartajaya, Hermawan, 2002, Hermawan Kartajaya On Marketing, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Kotler, Philip dan Gary Amstrong, 2001,.Principles of Marketing, diterjemahkan oleh Damos Sihombing M.B.A, Edisi 8, Jilid 1, Erlangga, Jakarta. Kerlinger, 1990, Konsep dan Aplikasi Analisa Faktor, Jakarta Muzafer Sherif, 1998, Perilaku Konsumen dalam Memilih Barang atau Jasa, Oklahima University.
226
Mowen, John.C dan Michael Minor, 2002, Consumer Behaviour, diterjemahkan oleh Lina Salim, Edisi 5, Erlangga, Jakarta. Ndara, Taliziduhu, 1998, Manajemen Perguruan Tinggi, Bina Aksara, Jakarta Panter dkk, 1997, Tujuan dan Kegunaan Analisis Faktor, Bandung Rangkuti, Fredy, 2002, Create Effective Marketing Plan, Teknik Membuat Rencana Pemasaran Berdasarkan Nilai Konsumen dan Analisis Kasus, P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ridwan, 2003, Dasar – dasar Statistika, Alfabeta, Bandung. Sugiyono, 2002, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta Bandung Santoso, Singgih, 2000, Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik, P.T. Elex Media Komputindo, Jakarta. Tjiptono, Fandy, 2001, Strategi Pemasaran, ANDI, Yogyakarta. Umar, Husein, 2003, Metode Riset Perilaku Konsumen Jasa, Ghalia Indonesia, Jakarta. http://statistikceria.blogspot.com/2013/03/teori-analisis-faktor-faktor-analysis.html http://library.usu.ac.id/download/fe/manajemen-hamidah.pdf http://organisasi.org/perilaku-konsumen-ringkasan-rangkuman-resume-mata-kuliahekonomi-manajemen http://www.scribd.com/doc/32519635/model-perilaku-pembelian-konsumen-sertaperilaku-pembelian-industrial http://www.scribd.com/doc/33002909/Resume-Bahan-Manajemen-Pemasaran-1-9 http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pemasaran/Bab_4.pdf http://endahmastuti-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail-41053-PsikometriAnalisa%20Faktor.html
227
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMITMEN KARYAWAN ADMINISTRASI DI UNIVERSITAS DARMA PERSADA Dini Rahayu Manajemen - Fakultas Ekonomi Unsada
[email protected] ABSTRAK Ada hal yang harus diperhatikan universitas dalam menghadapi persaingan yang kompetitif dalam situasi ekonomi saat ini yaitu komitmen karyawan. Pasalnya, kinerja universitas sangat bergantung pada komitmen anggotanya. Hukum yang berlaku secara umum yaitu semakin berkomitmen karyawan, maka cenderung akan semakin cemerlang pekerjaannya, dan ujungnya, tentu saja performa universitas pun kian baik.Karyawan merupakan aset yang sangat berharga bagi perusahaan, terutama perusahaan yang bergerak di bidang jasa seperti Universitas Darma Persada. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif dan analisa faktor. Responden adalah seluruh karyawan administrasi Universitas Darma Persada. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat lima faktor yang diidentifikasikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan Universitas Darma Persada yaitu promosi, struktur sosial, visi organisasi, insentif dan personal. Faktor pertama sampai kelima menyangkut hal - hal yang berkaitan langsung dengan pekerjaan maupun hal - hal lain yang mempengaruhi komitmen karyawan. Dengan demikian ini menunjukkan bahwa konsepsi komitmen karyawan seperti ini melihat komitmen sebagai hasil interaksi manusia dengan kelima faktor yang ada. Kata Kunci: analisa faktor, komitmen karyawan.
PENDAHULUAN
Perilaku karyawan di tempat kerja, baik positif ataupun negatif dipengaruhi secara langsung oleh atasan yang bersangkutan. Pengaruh positif yang diberikan adalah untuk memperkuat komitmen karyawan. Oleh karena itu langkah pertama dalam membangun komitmen ini adalah untuk meningkatkan kualitas manajemen. Kita telah banyak mendengar tentang perlunya dan pentingnya meningkatkan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja. Itu sama pentingnya jika universitas ingin berhasil dalam mencapai komitmen karyawan yang lebih besar maka setidaknya hal yang sama harus diberikan untuk meningkatkan kualitas manajemen dan dengan demikian ini merupakan suatu keuntungan bagi universitas itu sendiri.
228
Saat ini yang menjadi kunci sukses untuk meningkatkan persaingan dan perubahan yang cepat adalah semangat dan dedikasi, menjadi yang terbaik dalam pelayanan kepada pelanggan, efektif dan memiliki manajemen karyawan atau talent manajemen yang baik. Dengan memiliki manajemen karyawan yang baik akan menciptakan komitmen karyawan yang nantinya akan mengarah untuk mencapai standar yang diinginkan dalam pelayanan kepada pelanggan. Tanpa komitmen karyawan, tidak akan ada perbaikan di segala bidang kegiatan usaha. Dengan tidak adanya manajemen karyawan yang baik, karyawan hanya akan memperlakukan pekerjaan mereka hanya sebagai pekerjaan saja. Masuk di pagi hari dan pulang pada sore hari, hanya sebuah rutinitas tanpa ada keinginan untuk mencapai lebih dari pada hanya sekedar untuk tetap bekerja. Dengan memiliki banyak karyawan yang mempunyai komitmen maka dapat membuat universitas dapat bertahan dari para pesaingnya.
UNSADA pasti berharap dan senang bila mempunyai karyawan yang mempunyai komitmen tinggi pada UNSADA. Harapan ini wajar karena akan berpengaruh terhadap aspek-aspek kerja lainnya dalam universitas. Komitmen karyawan terhadap UNSADA diasosiasikan dengan tingkat kemauan untuk berbagi dan berkorban bagi universitas. Dampaknya adalah para karyawan UNSADA yang paling berkomitmen akan menjadi orang yang paling tinggi memberikan usaha-usaha yang lebih besar secara sukarela bagi kemajuan universitas. Karyawan yang benar-benar menunjukkan komitmennya pada tujuan-tujuan dan nilai-nilai universitas, mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk berpartisipasi demi kemajuan universitas.
METODE PENELITIAN
1.
Populasi dan Sampel Populasi pada penelitian ini adalah seluruh karyawan administrasi Unsada sejumlah 106 karyawan. Namun kuesioner yang terkumpul sebanyak 100 buah kuesioner.
2.
Teknik Pengumpulan Data Data yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber informasi yaitu karyawan administrasi Unsada yang menjadi objek pada penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan menemui 229
karyawan administrasi secara langsung. Data sekunder bersumber dari dokumen dokumen universitas, buku - buku, dan website yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
3.
Teknik Analisa Data Analisa data yang digunakan adalah statistik deskriptif dan analisa faktor. Statistika deskriptif hanya memberikan informasi mengenai data yang dipunyai dan sama sekali tidak menarik inferensia atau kesimpulan apapun tentang gugus induknya yang lebih besar. Pemilihan analisis faktor sebagai alat analisis utama pada penelitian ini, disebabkan karena penelitian ini mencoba menemukan hubungan (interrelationship) beberapa variabel yang saling independen satu dengan yang lainnya, sehingga bisa dibuat kumpulan variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal sehingga akan lebih mudah dikontrol oleh manajemen perusahaan atau pemegang kebijakan perusahaan.
4.
Jangka Waktu Penelitian Jangka waktu penelitian ini sekitar 4 bulan dari bulan Mei 2013 - Agustus 2013.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari lima belas variabel yang diteliti, dengan proses factoring bisa direduksi menjadi hanya empat faktor dan diberi nama. Dimana penamaan pada empat faktor tersebut tergantung pada nama-nama variabel yang menjadi satu kelompok pada interpretasi masing-masing analisis dan aspek lainnya. Sehingga pemberian nama pada ini sebenarnya bersifat subyektif serta tidak ada ketentuan yang pasti mengenai pemberian nama tersebut.
Tabel 1. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Karyawan di UNSADA No
Variabel
1
Masa jabatan (X1)
2
Usia (X6)
3
Tingkat pendidikan (X8)
Faktor
Eigen
Loading
Values
Factor 0,686
Promosi
4,190
0,594 0,828
230
4
Pengalaman kerja (X9)
0,704
5
Jabatan (X11)
0,536
6
Berinteraksi dengan rekan sekerja (X4)
0,744
7
Mengutarakan
dan
membicarakan
0,725
UNSADA (X5)
Struktur
8
Kepribadian (X10)
Sosial
9
Tantangan dalam pekerjaan (X12)
0,532
10
Manajemen Karyawan (X16)
0,671
11
Tingkat kesulitan bekerja (X13)
12
Ukuran struktur (X14)
13
Bentuk struktur (X15)
14
Kebutuhan (X2)
0,586
0,807 Visi Organisasi
1,520
0,679 0,672 0,851
Insentif 15
1,752
1,453
Keinginan (X3)
0,833
Sumber : Data yang Telah Diolah Peneliti dari SPSS 20.0 for windows
Pada tabel 1 di atas pemberian nama dari masing-masing faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a.
Faktor 1 diberi nama “Promosi (peluang)” yang terdiri dari variabel; masa jabatan, usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja dan jabatan. Faktor promosi merupakan faktor yang paling menentukan dalam mempengaruhi komitmen karyawan di UNSADA karena memiliki eigenvalues tertinggi yaitu 4,190. Variabel yang mewakili memiliki factor loading berbeda-beda, tingkat pendidikan dengan factor loading sebesar 0,828, pengalaman kerja 0,704, masa jabatan 0,686, usia 0,594, dan jabatan 0,536.
Faktor promosi mempengaruhi komitmen karyawan di UNSADA. Dalam organisasi pembelajaran, ketrampilan dan kemampuan sudah merupakan kebutuhan karyawan. Semakin besar kesempatan promosi yang diberikan pemimpin universitas kepada karyawan untuk mengembangkan ketrampilan dan kemampuan semakin tinggi komitmen yang diberikan karyawan. Karena itu pemimpin hendaknya mengizinkan karyawan untuk berkreasi dan berinisiatif. Biarkan mereka untuk terus menerus belajar
231
dan tumbuh. Sementara, pemimpin perusahaan pun harus memiliki proses pembelajaran bagi semua karyawannya secara bersinambung.
b.
Faktor 2 diberi nama “Struktur Sosial’ yang terdiri dari variabel berinteraksi dengan rekan sekerja, mengutarakan perasaan dan membicarakan UNSADA, kepribadian, tantangan dalam pekerjaan dan manajemen karyawan. Faktor struktur sosial merupakan faktor yang juga menentukan dalam mempengaruhi komitmen karyawan di UNSADA karena memiliki eigenvalues sebesar 1,752. Berinteraksi dengan rekan sekerja
memiliki
eigenvalues
sebesar
0,744,
mengutarakan
perasaan
dan
membicarakan UNSADA 0,725, manajemen karyawan 0,671, kepribadian 0,586, dan tantangan dalam pekerjaan 0,532.
Kebanggaan karyawan akan dicerminkan pula dalam bentuk perasaan bangga sebagai bagian dari suatu tim kerja. Disitu terdapat struktur sosial (kemasyarakatan) sekaligus interaksi sosial sebagai tempat untuk berbagi pengalaman, pengetahuan, dan kolaborasi yang instensif. Unsur - unsur itulah yang membuat karyawan terdorong untuk meningkatkan komitmennya pada perusahaan. Dalam struktur sosial, maka peran komunikasi menjadi sangat penting. Karyawan memerlukan informasi apa yang terjadi dalam universitas dan bahkan dalam dirinya. Karyawan juga membutuhkan informasi tentang kekuatan dan kelemahan universitas. Dengan demikian karyawan dapat berkomunikasi satu sama lainnya untuk membantu universitas dengan lebih baik lagi. Dalam hal ini mereka harus dipandang sebagai bagian keluarga besar universitas yang bertanggung jawab. Dengan kata lain pengakuan ini akan menimbulkan komitmen yang tinggi pada universitas.
c.
Faktor 3 diberi nama “Visi Organisasi” yang terdiri dari variabel tingkat kesulitan dalam bekerja, ukuran struktur dan bentuk struktur. Pada faktor ketiga ini memiliki eigenvalues 1,520 kemudian terdapat variabel - variabel yang mewakili dengan masing - masing factor loading yang berbeda yaitu pada variabel dengan factor loading tingkat kesulitan bekerja 0,807, ukuran struktur 0,679, dan bentuk struktur 0,672.
232
Terkait dengan visi, banyak karyawan ingin memperoleh makna dari pekerjaan yang dilakukannya. Mereka ingin memperoleh kebanggan dari apa yang dilakukannya buat perusahaan. Selain itu mereka ingin diakui eksistensinya. Para karyawan akan semakin komit ketika atasan mereka memberikan sesuatu yang bermakna dalam pekerjaan kepada karyawan. Nilai dari visi lebih tinggi dibanding slogan. Di dalamnya terdapat filosofi kerja. Karena itu seharusnya setiap pekerjaan memiliki nilai termasuk penghargaan yang bakal diterima karyawan. Para atasan mengkondisikan sistem nilai yang ada dalam visi itu kepada karyawan. Semakin terinternalisasi sistem nilai dalam visi semakin komit karyawan dalam melakukan pekerjaannya dengan lebih baik lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor visi organisasi dapat mempengaruhi komitmen karyawan di UNSADA.
d.
Faktor 4 diberi nama “Insentif” yang terdiri dari variabel kebutuhan dan keinginan. Pada faktor keempat ini memiliki eigenvalues 1,453 kemudian terdapat variabel variabel yang mewakili dengan masing - masing factor loading yang berbeda yaitu pada variabel dengan factor loading kebutuhan 0,851, dan keinginan 0,833.
Tidak ada yang membantah bahwa insentif baik dalam bentuk finansial dan bukan finansial berpengaruh terhadap komitmen karyawan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Insentif finansial bisa berbentuk besaran gaji atau upah dan bisa juga berbentuk bonus. Sementara, bentuk non-finansial berupa promosi atau pengakuan/penghargaan. Semakin tinggi insentif cenderung semakin tinggi komitmen para karyawan dalam bekerja. Insentif ini merupakan bentuk apresiasi pemimpin kepada karyawan yang telah berkontribusi memajukan perusahaan. Namun demikian semata-mata karena uang tidak selalu mendorong karyawan bekerja maksimum. Karyawan juga membutuhkan pemimpin yang selalu memanusiakan mereka dengan menerapkan gaya kepemimpinan yang humanis.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih kami ucapkan kepada LP2MK dan Universitas Darma Persada atas kerjasama dan kesempatan yang sudah diberikan kepada peneliti untuk melakukan penelitian ini. Semoga kerjasama selama ini bisa diteruskan pada program penelitian berikutnya. 233
KESIMPULAN
Kesimpulan yang bisa diambil pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Dari 15 variabel yang diteliti, dengan proses faktoring terdapat 4 faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan di Universitas Darma Persada.
2.
Keempat faktor tersebut antara lain: PROMOSI, STRUKTUR SOSIAL, VISI ORGANISASI, dan INSENTIF.
3.
Faktor pertama sampai keempat menyangkut hal - hal yang berkaitan langsung dengan pekerjaan maupun hal - hal lain yang mempengaruhi komitmen karyawan. Dengan demikian ini menunjukkan bahwa konsepsi komitmen karyawan seperti ini melihat komitmen sebagai hasil interaksi manusia dengan kelima faktor yang ada.
SARAN
Universitas Darma Persada diharapkan dapat memperhatikan keempat faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan.
DAFTAR PUSTAKA
Dessler, Gary, 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Indeks.. Mathis, Robert L. 2006. Human Resource Management (Manajemen Sumber Daya Manusia). Edisi 10. Jakarta. Salemba Empat. Robbin, Stephen P dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi: Organizational Behaviour. Edisi 12. Buku 2. Jakarta. Salemba Empat. HM. Sonny Sumarsono. 2004. Metode Riset Sumber Daya Manusia. Edisi 1. Yogyakarta. Graha Ilmu. Hasibuan, Malayu S.P. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Bumi Aksar. Kuntjoro Sri. 2002. http://teorionline.wordpress.com/2010/02/04/komitmen-organisasi/. Diakses 10 Juni 2013. Singgih Santoso. 2010. Analisis Multivariat. Jakarta. PT Elex Media Komputindo.
234
Supranto J. 2010. Analisis Multivariat : arti dan interprestasi. Cetakan kedua. Jakarta. Rineka Cipta. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Bisnis. Bandung. CV. ALFABETA. Sondang, P Siagan. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Bumi Aksara. Sopiah. 2008. Perilaku Organisasi. Yogyakarta. Andi. Ardana, Komang; Mujiati, Ni Wayan; Ayu Sriathi, Anak Agung. 2008. Perilaku Keorganisasian. Edisi 1. Yogyakarta. Graha Ilmu.. Wexley, Kenneth N and Gary A. Yuki. 2010. Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia. Cetakan kedua. Jakarta. Rineka Cipta.
235
KAJIAN STABILITAS KAPAL IKAN MUROAMI DI KEPULAUAN SERIBU DENGAN MENGGUNAKAN METODE PGZ Shanty Manullang *) Ramot Siburian **) * Dosen ** mahasiswa Program Studi Teknik Perkapalan - Fakultas Teknologi Kelautan
[email protected] ABSTRAK Stabilitas suatu kapal baik kapal niaga maupun kapal perikanan sangat perlu diutamakan agar operator kapal dapat memperhitungkan bagaimana kondisi stabilitas kapal ketika melakukan kegiatan penangkapan ikan agar operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan baik dan ABK selamat. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui stabilitas kapal muroami dimana parameter stabilitas ini dapat dilihat dari bentuk geometri kapal ketika berlayar di laut. Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis stabilitas kapal melalui kurva stabilitas statis GZ dengan metode Attwod’s Formula (Hind, 1982). Metode ini menganalisis stabilitas kapal pada sudut keolengan 0o – 90o. Hasil perhitungan stabilitas kemudian dibandingkan dengan standar stabilitas kapal yang dikeluarkan oleh International Maritime Organization (IMO) pada Torremolinos International Convention for The Safety of Fishing Vessels-regulation 28 (1977) melalui kurva GZ. Pada simulasi dengan tinggi gelombang 1.5 meter kondisi yang aman dan sesuai standart IMO untuk melakukan operasi penangkapan adalah pada draft 1,1 m dengan KG 2,2 m dengan sudut oleng tertinggi pada 42º Kata kunci : stabilitas,kapal muroami,lengan penegak dan draft. PENDAHULUAN
Telah kita ketahui bahwa sebuah kapal yang mengapung di air tidak selalu dalam kedudukan tegak, tetapi kapal akan bergoyang oleh pengaruh dari luar misalnya ombak dan gelombang. Jadi pada suatu saat kapal akan mengalami keolengan (trim). Mengingat kapal merupakan alat bagi manusia untuk melakukan kegiatan di perairan (mengangkut awak kapal, alat tangkap dan hasil tangkapan) maka sangat diutamakan keselamatan dari kapal tersebut.
Muroami merupakan alat tangkap yang dioperasikan di daerah terumbu karang dan bersifat staticgear. Alat tangkap ini hanya tersebar di Kepulauan Seribu, Kepulauan Spermonde, Kepulauan Sapekan, dan Lombok.
236
Pulau Pramuka dan Pulau Panggang merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Seribu dimana penduduknya sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan muroami. Penyebaran alat tangkap muroami selain di Pulau Pramuka juga terdapat di Pulau Panggang, Pulau Kelapa, Pulau Karimun Jawa, Pulau Harapan, dan Pulau Sebira yang semuanya merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Seribu.
Ikan yang menjadi sasaran penangkapan muroami yaitu famili Caseodidae (ekor kuning dan pisang-pisang) yang merupakan kelompok ikan karang yang dapat dieksploitasi secara relatif besar-besaran karena sebagai pemakan plankton dan membentuk kelompok yang relatif besar (LIPI, 1998). Selain itu ikan ini bernilai ekonomi tinggi.
Kelebihan usaha penangkapan muroami dibandingkan dengan usaha penangkapan lainnya yang ada di Pulau Pramuka, yaitu hasil tangkapan yang didapat biasanya dalam jumlah besar, spesies target yang ditangkap adalah ikan-ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan selalu ada sepanjang tahun, tetapi dalam poses pengoperasian alat tangkapnya dibutuhkan stabilitas kapal yang baik sehingga ketika melakukan operasi penangkapan ABK dapat bekerja dengan nyaman dan selamat.
Desain merupakan hal yang penting dalam pembangunan kapal ikan (Fyson, 1985). Sesuai dengan perbedaan jenis kapal ikan, maka desain dan konstruksi kapal dibuat berbeda-beda dengan memperhatikan persyaratan teknis pengoperasian setiap jenis kapal berdasarkan alat tangkap yang dioperasi-kan.
Bentuk badan kapal bergantung pada ukuran utama, perbandingan ukuran utama dan koefisien bentuk kapal (Fyson, 1985). Ukuran utama kapal terdiri dari panjang kapal (L), lebar kapal (B), tinggi/dalam kapal (D) dan draft/sarat air kapal (d). Kesesuaian rasio dimensi sangat menentukan kemampuan suatu kapal ikan, karena akan mempengaruhi resistensi kapal (nilai L/B), kekuatan memanjang kapal (nilai L/D) dan stabilitas kapal (nilai B/D) (Fyson, 1985)
Pada penelitian ini penulis tertarik untuk menilai stabilitas kapal ikan ini. Stabilitas kapal dapat diketahui melalui beberapa parameter stabilitas yang diukur dengan melakukan analisis numerik terhadap parameter teknis kapal atau dengan melakukan uji stabilitas 237
terhadap kapal model pada test tank.
Kedua hal tersebut tidak dilakukan pada
pembangunan kapal yang umum dilakukan di galangan kapal rakyat (galangan tradisional), seperti pembangunan kapal ikan di Kepulauan Seribu, sehingga tidak dilengkapi dengan gambar desain dan pehitungan stabilitas .
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian Kajian Stabilitas Kapal Ikan Muroami di Kepulauan Seribu dengan Menggunakan Metode PGz dilakukan untuk mengetahiu parameter apa saja yang berpengaruh pada stabilitas kapal yang sehingga sehingga operasi penangkapan dapat berjalan dengan aman dan sukses.
Gambar 1. Lokasi penelitian di pulau Panggang
Gambar 2. Peta lokasi Penelitian
238
METODOLOGI PENELITIAN
Data Yang Digunakan
Kajian ini menggunakan 2 (dua) data , data gelombang merupakan data sekunder yang diperoleh dari hasil Quisioner, sedangkan data kapal (data primer ) yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan pada kapal Muroami, spesifikasi sampel kapal yang diperoleh diterakan pada Tabel 1.
Analisi Data
Data Kapal dikumpulkan dan diolah dengan metode simulasi berdasarkan perhitungan Naval architecture (parameter hidrostatis) dengan memakai program exel sedangkan untuk data kapal dipakai software Autocad.
Analisis stabilitas yang dilakukan pada kapal
Longline 60 GT adalah stabilitas statis. Analisisnya meliputi analisis perubahan nilai KG pada tiga kondisi ditribusi muatan. Ketiga kondisi muatan tersebut masing-masing dengan asumsi : 1. Kondisi kapal kosong diasumsikan bahan bakar,umpan hidup dan muatan kosong (0%) 2. Kondisi kapal setengah penuh ; pada kondisis ini bahan bakar, umpan hidup diasumsikan penuh (100%), daan muatan kosong (0%). 3. Kondisi kapal penuh : pada kondisis ini bahan bakar diasumsikan setengah penuh (50%), umpan 20% dan muatan penuh (100%). Perubahan nilai KG dihitung dengan membuat perkiraan perubahan jarak vertikal – horizontal pada setiap kondisi perubahan distribusi muatan. Nilai KG diperoleh dengan menggunakan formula berikut (Hind, 1982) :
KG = moment of ∆z
∆z dimana : ∆z adalah moment vertical
Analisis stabilitas statis melalui kurva stabilitas statis GZ dilakukan dengan metode Attwod’s Formula (Hind, 1982). Metode ini menganalisis stabilitas kapal pada sudut
239
keolengan 0o – 90o. Hasil perhitungan stabilitas kemudian dibandingkan dengan standar stabilitas kapal yang dikeluarkan oleh International Maritime Organization (IMO, 1977) .
Analisis nilai stabilitas dinamis kapal dilakukan dengan menghitung luas area kurva di bawah kurva GZ stabilitas statis pada berbagai sudut keolengan (0o – 90o). Hasil perhitungan tersebut kemudian diplotkan menjadi sebuah kurva untuk stabilitas dinamis kapal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 10. Kapal Muromami 15 GT (sumber : Shanty pic)
Dimensi Utama Kapal Muroami
Dari hasil perhitungan rasio dimensi utama yang terdiri dari L/B, L/D dan D/B diperoleh nilai-nilai seperti yang disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Dimensi utama kapal Muroami yang diteliti No
Dimensi Utama
Muroami ( m )
1
Panjang (Lpp)
12.0
2
Lebar (B)
2.0
3
Dalam (D)
1.5
4
Draft (d)
1.1
5
Cb
0.85
240
Tabel 2. Rasio dimensi utama Kapal Muroami yang diteliti Dimensi Utama
Muroami ( m )
L/B
6.0
L/D
8.0
B/D
1.3
Rasio dimensi utama kapal perlu diketahui dengan jelas karena nilai-nilai ini berpengaruh terhadap stabilitas maupun ketahanan kapal. Menurut Iskandar dan Pujiati (1995) nilai rasio L/B dan L/D untuk kapal sejenis muroami (static gear) lebih besar dibandingkan dengan kapal-kapal yang lain sehingga membutuhkan stabilitas yang cukup tinggi karena kondisi ini dibutuhkan pada saat melakukan operasi penangkapan baik itu pada saat setting maupun hauling karena kapal beroperasi dengan kecepatan v = 0.
Berikut ini beberapa nilai kisaran rasio dimensi kapal kelompok static gear umumnya di Indonesia berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Iskandar dan Pujiati (1995) , L/B : 2.83 – 11, L/D : 4.58 – 17.28 dan B/D : 0.96 – 4.68. Nilai rasio pada kapal yang diteliti L/B (6.0), L/D (8.0) dan B/D (1.3) masuk dalam nilai rasio yang di keluarkan oleh Iskandar dan Pujiati (1995).
Parameter hidrostatik
Parameter hidostatik merupakan parameter awal yang menjadi ukuran untuk melihat sifatsifat hidrostatik kapal. Parameter tersebut diperoleh berdasarkan tabel off set dan gambar lines planes kapal muroami yang dijadikan sebagai obyek penelitian. Selanjutnya hasil perhitungan parameter hirostatik tersebut ditabulasikan dan dibuat kurva hidrostatik. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan bodyplane dan rancangan kapal muroami disajikan pada lampiran.
Nilai coefficient of fineness dipakai sebagai salah satu cara untuk menilai kelayakan sebuah disain kapal . Dari hasil penelitian diketahui bahwa (Cb: Cp: Cw : Cvp: C : 0,85 : 0,66 : 1,62 : 0,52 : 1,28 ), nilai Cb cenderung mendekati nilai standar acuan (nilai acuan Cb berkisar antara 0 – 1) ini menunjukkan bahwa kapal tersebut tingkat kegemukannya tinggi.
241
Jika mencapai angka 1 maka bagian kapal yang terendam air memiliki bentuk yang mendekati empat persegi panjang.
Tabel 3. Nilai hidrostatik kapal Muroami pada tiap-tiap water line No.
Parameter
WL 1
WL 3
WL 5
1
Volume displacement (m3)
2.88
28.43
67.99
2
Ton displacement (ton)
2.954
29.14
69.69
3
Water area (Aw) (m2)
34.70
58.58
86.20
4
Midship area (Ao) (m2)
0.36
2.69
5.37
5
Ton Per Centimeter (TPC)
0.35
0.60
0.88
6
Coefficient block (Cb)
0.34
0.72
0.85
7
Coefficient prismatic (Cp)
0.54
0.625
0.66
8
(Cvp)
0.02
0.53
0.52
9
Coefficient waterplane (Cw)
1.24
1.33
1.62
10
Coefficient midship (Co)
0.63
1.15
1.28
11
LCB (m)
-1.99
-2.36
-2.91
12
Jarak KB (m)
0.22
0.58
0.98
13
Jarak BM (m)
5.83
1.78
1.12
14
Jarak KM (m)
6.05
2.37
2.10
15
Jarak BML (m)
110.31
69.15
11.41
16
Jarak KML (m)
116.37
71.52
13.52
Bentuk badan kapal yang ada di bawah permukaan air juga mempunyai pengaruh terhadap karakteristik lengan stabilitas kapal khususnya kenaikan dasar kapal (rise of floor) (Paroka, 2007). Perubahan karakteristik lengan stabilitas akibat kenaikan dasar kapal tersebut diduga karena perubahan lebar garis air yang signifikan pada saat kapal mengalami kemiringan dengan sudut yang lebih besar dari sudut dimana bilga kapal mulai muncul ke permukaan air (Paroka et all, 2012).
Nilai LCB yang bertanda negatif menunjukkan letak titik apung (B) kapal berada di belakang midship ke arah buritan, bila keadaan demikian sebaiknya beban diletakkan pada midship ke arah buritan kapal.
242
Stabilitas Kapal Muroami
Saat kapal berangkat menuju daerah penangkapan, muatan pada kapal muroami terdiri atas perbekalan, bahan bakar dan umpan hidup yang berisi penuh. Pada saat kembali, muatan – muatan tersebut (yang terdapat dibawah dek kapal) akan berkurang tetapi palka akan terisi penuh oleh hasil tangkapan. Hal ini menyebabkan perubahan titik berat pada kapal, sehingga letak titik G (center of gravity) kapal akan berubah, titik ini akan bergerak ke atas.
Tabel 4. Nilai KG kapal Muroami pada tiga kondisi distribusi muatan kapal No
Kondisi Kapal
KG (m)
GM (m)
1
Kapal Kosong
1,8
0.98
2
Kapal Setengah Penuh
2.0
0,78
3
Kapal Penuh
2,2
0,58
Dari ketiga kondisi kapal, maka kapal pada kondisi penuh kemungkianan besar akan mengalami kondisi yang tidak stabil. Perubahan nialai KG kapal akan mengakibatkan perubahan jarak, tinggi metasenter (GM), semakin tinggi niali KG maka nilai tinggi GMnya semakin mengecil, demikian juga sebaliknya.
Dengan mengetahui nilai KG kapal maka dapat diketahui distribusi muatan diatas kapal yang dapat menjamin keselamatan opersional penangkapan ikan. Umumnya nilai KG kapal tertinggi pada kondisi kapal penuh ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Farhrum (2010) nilai KG kapal tertinggi berada pada kondisi kapal beroperasi yaitu pada kondisi bahan bakar diasumsikan setengah penuh (50%), umpan hidup 25 % dan muatan 75 %.
Muhamad A (2007) menyatakan perubahan tinggi darft kapal mempunyai pengaruh yang lebih kecil terhadap stabilitas statis kapal dibandingkan dengan perubahan titik G pada kapal.
Untuk mengetahui pada saat kapan kondisi kapal ini tidak stabil maka dilakukan simulasi dengan menggunakan program PGZ kapal. 243
Simulasi Kapal Muroami
Nilai Lengan Penegak GZ Kapal Muroami
Stabilitas statis kapal muroami yang telah disimulasikan diukur dengan menghitung nilai lengan penegak (GZ) yang terbentuk pada kurva GZ. Pada kurva GZ ditunjukkan nilai GZ pada berbagai sudut keolengan (0° - 90°) dan pada tinggi gelombang 1.5 meter.
GZ
H 1.5
Phi 0
Gambar 12. Kurva stabilitas GZ kapal Muroami pada tinggi gelombang 1.5 dengan draft 1.1
Pada KG 2.2 m diperoleh sudut maksimal pada sudut oleng 42ºdan hilangnya stabilitas kapal terjadi pada sudut oleng 82.5º, ini berarti bila kapal dalam kondisi penuh dan mengalami kemiringan 83º ketika bertemu dengan panjang gelombang 1.5 meter kapal kehilangan stabilitasnya.
244
Tabel 5. Stabilitas kapal Muroami pada kondisi muatan penuh menurut standart IMO dengan tinggi gelombang 1.5 meter. H 1.5 No
1
Standar IMO
Draft 1.1m KG 2.2m
Remark
a
Pada 0 - 30 º nilai GZ > 0.05 m.rad
0.0701m.rad
lulus
b
pada 0 - 40 º nilai GZ > 0.090 m.rad
0.0898m.rad
lulus
c
pada 30- 40 º nilai GZ > 0.030 m.rad
0.1497m.rad
lulus
2
Nilai masimal GZ pada 30 º adalah > 0.20 m
0.2541m
lulus
3
Sudut maksimal stabilitas > 30 º
42°
lulus
0.44m
lulus
4
GM >0.35 m
Dari tabel 5 memperlihatkan pada tinggi gelombang 1.5 meter nilai GZ kapal pada susut 30º adalah 0.0701 sudah memenuhi standart yang disyaratkan oleh IMO, demikian juga untuk nilai GM (0.44 m) yang sesuai dengan standart IMO yaitu : GM > 0.35 m.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.
Stabilitas kapal Muromami tergantung pada bentuk gemoteri kapal tersebut
2.
Pada kondisi penuh (asumsi muatan penuh) maka KG kapal mempunyai nilai yang tertinggi yaitu 2.2 meter.
3.
Pada simulasi dengan tinggi gelombang 1.5 meter kondisi yang aman dan sesuai standart IMO untuk melakukan operasi penangkapan adalah pada draft 1,1 m dengan KG 2,2 m dengan sudut oleng tertinggi pada 42º.
SARAN Berdasarkan hasil simulasi maka pada draft kapal 1.1 dengan KG 2.2 dengan kondisi kapal bermuatan penuh akan aman untuk melakukan operasi penangkapan ikan jika menghadapi tinggi gelombang 1.5 meter. 245
DAFTAR PUSTAKA
Ayodhyoa. 1972. Suatu pengenalan Fishing Gear. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor Bhattacharya, R. 1978. Dynamics of Marine Vehicles. John Wiley & Son, Inc. New York. Farhum, S.A. 2010. Kajian Stabilitas Empat Tipe Kasko Kapal Pole and Line. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, vol.2, No,2, Hal 53-61, Desember 2010. Fyson, J. 1985. Desingn of Small Fishing Vessel. Fishing News Books Ltd. England. Hind, J.A. 1982. Stability And Trim Fishing Vessel. Second Edition. Fishing News Books Ltd. Farnham. Surrey. England. IMO, 1995. 1993 Torremolinos Protocol and Torremolinos International convention for Safety of Fishing Vessels. Iskandar, B.H. dan Pujiati Sri. 1995. Keragaan Teknis Kapal Perikanan di Perairan Indonesia. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan IPB.Bogor. Marjoni, B.H. Iskandar & M. Imron. 2010. Stabilitas Statis dan Dinamis Kapal Purse Seine di Pelabuhan Perikanan Pantai Lampulo Kota Banda Aceh
Nanggroe Aceh
Darussalam. Marine Fisheries-Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut Volume 1. No.2 November 2010 hal 113-122. ISSN 2087-4235. Muhammad, A datih dan Iskandar B.H. 2007. Stabilitas Statis dan Dinamis Kapal Latih Stela Maris. Buletin Psps Vol.XVI No.1 hal 120 - 125. April 2007 Paroka et all, 2012 Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan Paroka, D. dan Umeda, N. (2007): Effect of freeboard and metacentric height on capsizing probability of purse seiners in beam seas, Journal of Marine Science and Technology, Vol. 12 No. 3. Hal 150 - 159. Susanto. A, B.H.Iskandar dan M.Imron. 2011. Stabilitas Statis Kapal Static Gear di Palabuhanratu (Studi Kasus KM PSP 01). Marine Fisheries- Jurnal Teknologi Dan Manajemen Perikanan Laut. Vol.2, No.1, Mei 2011. ISSN : 2087 -4235. Taylor, L.G. 1977. The priciple of Ship Stability. Brown, Son & Publisher, Ltd., Nautical Publisher, 52 Darley Street. Glasgow. Womack, J. Small. Comercial Fishing Vessel stability analysis where are we now? Where are we going? Procceding of the 6th International Ship Stability Workshop, Weeb Institute, 2007. 246
PENGUJIAN AWAL KONSTRUKSI FIBERGLASS PADA LAMBUNG KAPAL BOAT SESUAI STANDAR Shahrin Febrian S.T, M.Si Program Studi Teknik Sistem Perkapalan - Fakultas Teknologi Kelautan
[email protected] ABSTRAK Indonesia sebagai negara maritim mempunyai ketergantungan terhadap kapal laut sebagai alat transportasi maupun alat angkut yang berfungsi ekonomis. Dalam hal ini Kapal Boat yang digunakan bertahun-tahun terbuat dari kayu, akan tetapi karena sifat kayu yang mudah lapuk oleh faktor cuaca dan kimia serta membutuhkan perawatan yang memadai maka dengan seiring perjalanan waktu maka muncullah bahan fiberglass yang berupa laminasi FRP (Fiber Reinforced Plastics) sebagai pengganti kayu dimana bahan ini mepunyai banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh kayu sehingga kapal berbahan FRP ini mulai mendapat tempat di dunia perkapalan khususnya para produsen kapal. Namun pada survey yang dilakukan pada beberapa galangan kapal tahun 2009 menunjukkan bahwa desain konstruksi dan proses laminasi lambung kapal fiberglass umumnya tidak mempunyai standar yang jelas sehingga akan menimbulkan resiko kecelakaan yang cukup signifikan. Untuk meminimalisir hal tersebut maka produksi kapal yang berbasiskan pada laminasi FRP ini haruslah mengacu kepada standar yang ada seperti ISO, aturan BKI yang melibatkan persyaratan yang ketat seperti tensile test (uji tarik), bending test (uji tekuk) dan lain sebagainya. Kata kunci: produksi kapal, laminasi FRP, standar, uji tarik, pengujian tekuk PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah negara maritim dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat berlimpah. Bahkan bila diperhatikan lebih lanjut kekayaan flora dan fauna Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Oleh sebab itu eksploitasi terhadap sumbersumber tersebut sangatlah berlebihan dan nyaris tidak terkendali, khususnya kayu yang dipakai sebagai bahan baku kapal boat para pencari ikan di sungai maupun di laut.
Dalam keadaan perkembangan kebutuhan manusia yang sangat meningkat seperti sekarang ini, sangat tidak bijak ketika kita semua terlalu bergantung pada alam. Dalam jangka waktu tertentu alam akan rusak oleh manusia jika hal itu terus dibiarkan. Dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut sebuah perusahaan atau produsen harus memiliki terobosan cerdas agar dapat menghasilkan produk yang tidak mengganggu kesetabilan alam. Bahan baku industri sangat penting tentunya dalam kelangsungan hidup manusia baik untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri ataupun kelestarian alam. Oleh sebab itu para 247
produsen dituntut harus mampu menciptakan bahan baku industri yang tidak bergantung dan tidak mengganggu kelestarian alam atau energi yang terbarukan. Fiberglass (serat kaca) adalah salah satu terobosan yang dapat diaplikasikan dalam bahan baku pembuatan sebuah produk khususnya pada lambung kapal. Karena selain relatif mudah, fiberglass juga tidak menimbulkan polusi dan merusak alam.
Dalam hal ini Kapal Boat yang digunakan bertahun-tahun terbuat dari kayu, akan tetapi karena sifat kayu yang mudah lapuk oleh faktor cuaca dan kimia serta membutuhkan perawatan yang memadai maka dengan seiring perjalanan waktu maka muncullah bahan fiberglass yang berupa laminasi FRP (Fiber Reinforced Plastics) sebagai pengganti kayu dimana bahan ini mepunyai banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh kayu sehingga kapal berbahan FRP ini mulai mendapat tempat di dunia perkapalan khususnya para produsen kapal. Namun pada survey yang dilakukan pada beberapa galangan kapal tahun 2009 serta tingginya tingkat kecelakaan pada kapal fiberglass menunjukkan bahwa desain konstruksi dan proses laminasi lambung kapal fiberglass umumnya tidak mempunyai standar yang jelas sehingga akan menimbulkan resiko kecelakaan yang cukup signifikan. Oleh sebab itu maka penulis ingin lebih membahas lebih dalam mengenai fiberglass sebagai bahan pengganti kayu dalam pembuatan lambung kapal kapal boat yang tidak hanya ramah lingkungan namun juga aman dalam penerapan di lapangan.
PERUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan latar belakang di atas, penulis merumuskan ada beberapa hal yang ingin dipelajari yaitu mengenai Fiber itu sendiri, pengolahan dan pemanfaatannya serta standarstandar pengujian yang harus dilakukan menurut standar lokal maupun internasional agar memenuhi persyaratan keamanan yang ditetapkan.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah 1.
Mempelajari tentang fiberglass (FRP) lebih mendalam serta aplikasinya..
2.
Mengetahui cara pembuatan lambung kapal boat dengan fiberglass.
248
3.
Memahami standar-standar yang berkaitan dengan pembuatan lambung kapal boat dengan fiberglass.
MANFAAT HASIL PENELITIAN
Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini secara umum adalah dapat memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai fiberglass dan secara khusus dapat memberikan informasi yang benar mengenai pembuatan kapal fiberglass sesuai standar dalam memenuhi persyaratan keselamatan.
TINJAUAN PUSTAKA
Fiberglass (kaca serat) atau sering diterjemahkan menjadi serat gelas adalah kaca cair yang ditarik menjadi serat tipis dengan garis tengah 0,005 mm – 0,01 mm. Serat ini dapat dipintal menjadi benang atau ditenun menjadi kain, yang kemudian diresapi dengan resin sehingga menjadi bahan yang kuat dan tahan terhadap korosi sehingga dapat digunakan laminasi pada badan mobil, bangunan kapal, tangki dan lain sebagainya.
Secara umum Fiberglass juga digunakan sebagai elemen utama dalam penyusunan elemen berlapis atau composite (komposit) yang dikenal juga sebagai Glass Reinforced Plastic (FRP) dan Glass Reinforced Epoxy (GRE) atau disebut juga fiberglass secara umum.
Pembuat gelas dalam sejarahnya telah mencoba banyak eksperimen dengan gelas giber, tetapi produksi masal dari fiberglass hanya dimungkinkan setelah majunya mesin. Pada 1893, Edward Drummond Libbey memajang sebuah pakaian di World Columbian Expositionmenggunakan glass fiber dengan diameter dan tekstur fiber sutra. Yang sekarang ini dikenal sebagai “fiberglass”, diciptakan pada 1938 oleh Russell Games Slayter dari Owens-Corning sebagai sebuah material yang digunakan sebagai insulasi. Dia dipasarkan dibawah merk dagang Fiberglas.
Pada umumnya bentuk dasar suatu bahan komposit adalah tunggal dimana merupakan susunan dari paling tidak terdapat dua unsur yang bekerja bersama untuk menghasilkan sifat-sifat bahan yang berbeda terhadap sifat-sifat unsur bahan penyusunnya. Dalam 249
prakteknya komposit terdiri dari suatu bahan utama (matrix) dan suatu jenis penguatan (reinforcement) yang ditambahkan untuk meningkatkan kekuatan dan kekakuan matrik. Penguatan ini biasanya dalam fiber (serat).
1. Sistem Fiberglass
************************************ Resin rich layer ++++++++++++++++++++++++
“E” Glass mat
************************************ Resin rich layer
Gbr.2.1 Contoh Komposit Sederhana
Pada gambar 2.1 adalah elemen berlapis atau komposit sederhana yang terdiri dari 2 lapisan resin dan 1 lapisan glass dimana: - “E” Glass Mat menambah flexural strength dan toughness. - Resin Rich Layer memberikan kemampuan terhadap UV serta weathering performance.
Sebagai tambahan penjelasan dari keterangan di atas, maka untuk penguat (reinforcement) dapat dianalogikan glass sebagai “tulang” dan resin sebagai “daging”. Dalam hal ini “E” Glass Mat merupakan chopped strand mat yang tersusun secara acak (random) yang artinya fibre glass dipotong-potong menjadi mat atau lembaran oleh binder agar memberikan physical properties yang sama di setiap bagian tanpa menghiraukan arah dari material yang akan diaplikasikan sehingga memberikan sifat adhesive yang baik antara resin dan glass.
2.
Konstruksi Fiberglass
Istilah fiberglass itu adalah penyederhanaan istilah yang terdiri dari dua kata yaitu ‘fiber’ yang artinya serat dan ‘glass’ yang artinya kaca. Sesungguhnya fiberglass adalah salah satu jenis dari bahan komposit yang merupakan paduan dari dua bahan yang mempunyai sifat fisika dan kimia yang berbeda dimana perbedaan tersebut pun 250
masih dapat terlihat secara mikroskopik maupun makroskopik dalam paduan akhir material komposit tersebut.
Beberapa penyebutan untuk Fiberglass yang sudah secara umum dipakai saat ini adalah sebagai berikut:
Fiberglass Reinforced Plastic (FRP), yang jika diterjemahkan bunyinya adalah plastik yang diperkuat oleh serat kaca.
Glass-fiber Reinforced Plastic (GRP), yang jika diterjemahkan bunyinya adalah juga plastik yang diperkuat oleh serat kaca.
Fiber-reinforced Plastic atau Fiber-reinforced Polymer (FRP), yang jika diterjemahkan bunyinya adalah plastik atau polymer yang diperkuat oleh serat.
Melihat pemakaian bahan komposit di kapal boat, maka sebenarnya isitlah yang paling tepat adalah istilah FRP yang maksudnya adalah Fiber Reinforced Plastic atau Fiber Reinforced Polymer. Untuk lebih sederhana dan mudah dipahami, maka isitlah FRP yang akan digunakan adalah untuk Fiber-reinforced Plastic karena secara umum material polymer juga banyak dikenal sebagai plastik karena walaupun karet misalnya, juga termasuk salah satu material polymer oleh sebab itu penggunaan istilah tersebut kurang spesifik.
3.
Metodologi Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka penulisan penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif. Hal tersebut dilakukan karena penulisan laporan ini hanya bersifat kajian tanpa meibatkan pengujian sample. Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan, wawancara dan internet. Untuk lebih jelasnya mengenai diagram alir penelitian dapat dilihat di bawah sebagai berikut:
251
START
Pengumpulan data dari studi kepustakaan, wawancara dan internet
Pembahasan tentang fiberglass, konstruksi kapal fiberglass serta standar baku mengenai kapal fiberglass
Kesimpulan dan Saran
END
Gbr.2.2 Diagram Alir Penelitian
a. Rancang Bangun Konstruksi Fiberglass
Sebagai bahan komposit, FRP terdiri dari bahan dasar utama sebagai berikut:
Serat penguat: kaca (E-glass), karbon, Kevlar (serat sintetis aramid), bambu, dll.
Resin (cair) : polyester, vinylester dan epoxy
Resin (cair) gelcoat : polyester, vinylester dan epoxy
Dengan bahan penunjang sebagai berikut:
Katalis (MEKP, methyl ethyl ketone peroxide) 252
Pengeras (hardener) untuk resin epoxy
Pewarna (pigment)
Pengental (filler)
Konstruksi FRP dibuat dengan mencampurkan serat penguat dan resin dengan menggunakan cetakan yang sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Dimana konstruksi FRP terdiri dari paduan serat penguat dan resin sebagai dua material utama yaitu:
Serat penguat: sebagai kekuatan konstruksi.
Resin konstruksi: sebagai perekat serat penguat yang memberikan kekakuan bentuk dan juga kekedapan air di kapal.
Dengan kata lain konstruksi FRP tidak bisa dibuat hanya dengan hanya fiber saja, demikian juga kalau hanya dengan resin saja karena tidak akan ada kekuatannya. Jadi di sini dapat dilihat bahwa dalam konstruksi FRP, fiber penguat berfungsi sebagai pemberi fungsi kekuatan dan resin sebagai pemberi fungsi kekakuan bentuk dan kekedapan air. Ilustrasi konstruksi FRP dibanding dengan konstruksi komposit pada beton bertulang baja dapat dilihat seperti gambar di bawah:
Gbr.3.1 Ilustrasi Konstruksi Beton Bertulang Baja
Pada konstruksi beton bertulang baja, dapat dilihat bahwa semen adalah sebagai pemberi fungsi kekakuan bentuk dan tulangan baja berfungsi sebagai pemberi fungsi kekuatan.
253
Gbr.3.2 Ilustrasi Konstruksi FRP
Sedangkan pada konstruksi FRP, dapat dilihat bahwa resin adalah sebagai pemberi fungsi kekakuan bentuk (dan juga kekedapan air pada kapal boat) seperti halnya semen pada konstruksi beton bertulang baja dan lapisan serat penguat berfungsi sebagai pemberi fungsi kekuatan seperti halnya tulangan baja pada konstruksi beton bertulang baja.
b. Konstruksi FRP Pada Kapal Boat Konstruksi FRP di kapal boat yang baik adalah yang memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
Lapisan FRP yang memberikan kekuatan yang memadai; kekuatan di konstruksi FRP adalah terletak pada susunan serat penguat (jumlah lapisan, jenis serat penguat, dan pengaturan susunannya) dan bukan karena ketebalannya. Lapisan FRP yang tebal tapi disusun dari resin dan serat penguat yang tidak tepat serta pengerjaan yang sembarangan akan menghasilkan konstruksi yang tebal, berat dan lemah dalam kekuatan.
Kekedapan air yang baik; kekedapan air diberikan oleh penggunaan resin yang tepat (jenis dan cara pencetakan) akan menentukan kekedapan air tersebut.
Ketahanan cuaca yang baik; ketahanan cuaca, terutama ketahanan terhadap sinar ultra violet dari matahari yang diberikan oleh penggunaan gelcoat yang tepat (jenis dan cara pelapisan).
Kesatuan antar lapisan yang kuat; konstruksi FRP terdiri dari beberapa lapisan paduan resin dan serat penguat. Proses pengerjaan yang tidak tepat tidak akan memberikan kesatuan antar lapisan yang kuat sehingga bahaya delaminasi (pengelupasan sambungan antar lapisan) mengintai. 254
Kesatuan antar komponen konstruksi kapal FRP yang solid; dalam mempersatukan komponen konstruksi kapal FRP, pengikat eksternal diperlukan (lem dan pengikat mekanis seperti baut dan sekrup). Pengikatan-pengikatan tersebut harus menggunakan bahan dan metode pengikatan yang tepat.
Kerapian pengerjaan yang baik; jika konstruksi FRP di kapal boat tidak dikerjakan dengan rapi, maka keseluruhan kapal akan tidak enak dipandang dan akan berpengaruh kepada nilai ekonomis kapal tersebut dan juga kenyamanan manusia yang ada diatasnya.
Dalam pembuatan konstruksi FRP untuk kapal boat, pada dasarnya ada tiga jenis pekerjaan utama yaitu:
Pembuatan cetakan
Pencetakan FRP
Penggabungan komponen konstruksi (lambung, geladak dan bangunan atas)
Penyelesaian akhir
c. Standar FRP Pada Kapal Boat Standar / Aturan yang dapat diaplikasikan dalam hal ini adalah Aturan BKI (BKI Rules) tahun 2006 dimana pengujian yang disyaratkan adalah uji tekuk dan uji tarik dengan jumlah sampel masing-masing uji adalah 6 buah. Aturan atau Rules ini mengacu pada International Standard (ISO) 14125 (1998) dan ISO 527-4 (1997), dimana Uji tarik bertujuan untuk menentukan nilai tensile strength, fracture strain dan modulus of elasticity, sedangkan uji tekuk bertujuan untuk menentukan nilai bending strength dan modulus of elasticity. Untuk spesimen fiberglass yang menggunakan serat berbentuk mat, nilai minimum yang disyaratkan oleh BKI Rules untuk kedua jenis pengujian tersebut yaitu sebagai berikut:
Kuat Tarik (Tensile Strength)
Kuat Tekuk (Bending Strength)
255
Untuk sampel yang menggunakan roving fiber nilai minimumnya adalah sebagai [
berikut:
( )]
Dimana: Xmin = nilai minimum yang dibutuhkan Xref = nilai acuan untuk isi volume serat F= 0,4 a = faktor untuk lay-up
Dan untuk sampel yang menggunakan carbon fiber nilai minimumnya adalah: α Fiber
Property
Carbon Tensile strength Bending strength
Xref
0o
[Mpa] 800 1.00 725 1.00
0o/90o 0.55 0.55
0o/±45o 0.50 0.45
0o/90o/±45o 0.45 0.42
Tabel. 3.1 Nilai Minimum Tensile dan Bending Strength Untuk Carbon Fiber
PENUTUP
Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisa data dan pelaksanaan pembuatan lambung kapal boat pada penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
KESIMPULAN
1.
Kapal Boat berbahan fiber memang relatif lebih mudah untuk diaplikasikan, namun tanpa memenuhi persyaratan atau standar yang berlaku bisa menimbulkan cacat pada kapal yang dihasilkan.
2.
Karena kurangnya pengetahuan industri galangan pada umumnya, maka perlu adanya sosialisasi dari BKI agar kapal-kapal yang akan dihasilkan dapat memenuhi standar yang diinginkan.
256
SARAN
1.
Agar pembahasan dan analisa yang dikemukakan lebih mendalam ada baiknya pengambilan sampel untuk diuji.
2.
Pengujian bukan hanya dari kekuatan saja, namun juga dari komposisi dari fiberglass itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
[1] International Organization for Standardization (ISO) 14125 (1998),
Fiber
Reinforced Plastic Composites Determination of Flexural Properties. [2] International Organization for Standardization (ISO) 527-4 (1997), Plastic Determination of Tensile Properties. [3] BKI Rules For Classification and Surveys (Vol. I) 2012 [4] BKI Rules For Rules For Hull (Vol. II) 2009 [5] BKI Rules For Fiberglass Reinforced Plastic Vessels (1996) [6] Callister
J.r,
William
D.,
Materials
Science
Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York 1997 [7] BKI Rules For Non-Metallic Materials (2006) [8] http://dephub.go.id/ [9] http://www.klasifikasiindonesia.com/ajax/home.php
257
and
Engineering
Fourth
PEMODELAN SEBARAN EMISI GAS BUANG AKIBAT AKTIFITAS PELAYARAN DI SELAT MADURA MENGGUNAKAN GAUSSIAN PLUME DAN GAUSSIAN PUFF MODEL Mohammad Danil Arifin1, Theresiana D. Novita,2 1 Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, 2 Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan
[email protected] ABSTRAK Selat Madura merupakan salah satu daerah pelayaran yang memiliki lalu lintas terpadat di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan Pelabuhan Tanjung Perak sebagai salah satu local hub pergerakan barang di Indonesia disamping Pelabuhan Tanjung Priok. Dengan banyaknya kapal-kapal domestik dan maupun kapal berbendera asing yang melintasi perairan ini akan memberikan dampak terhadap peningkatan emisi gas buang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi atau sebaran emisi yang terjadi akibat aktifitas pelayaran di sepanjang shore line Selat Madura. Selain itu juga untuk pengaruh emisi yang dikeluarkan oleh kapal-kapal yang melewati Selat Madura terhadap lingkungan sekitar dan untuk mengetahui bagaimana sebaran emisi berdasarkan Gaussian Plume Model dan Gaussian puff model. Hal ini dilakukan dengan melakukan evaluasi kepadatan jalur pelayaran di Selat Madura dengan memanfaatkan data yang diperoleh melalui perangkat Automatic Identification System (AIS). Untuk menampilkan pola pergerakan kapal, mode operasinya dan pengaruh pergerakan kapal terhadap sebaran emisi yang dihasilkannya, data yang diperoleh dari AIS ini selanjutnya diintegrasikan dengan perangkat lunak Geographic Information System (GIS). Metodologi dari Trozzi et.al menjadi dasar penetuan emisi yang dikeluarkan oleh kapal. Dari penelitian ini didapatkan konsentrasi tertinggi emisi NOx sebesar 1.008 μg/m3, SOx sebesar 2.48 μg/m3, CO2 sebesar 4.77 μg/m3, CO sebesar 1.368 μg/m3 dan PM sebesar 0.0594 μg/m3. Sedangkan konsentrasi emisi NOx, SOx, CO2, CO dan PM terbesar berada di daerah Ujung Kamal dan Banyu Ujuh Madura. Dimana sebaran emisi gas buang berdasarkan penelitian ini tidak membahayakan lingkungan dan mahluk hidup di sekitar Selat Madura karena konsentrasi emisi di beberapa daerah di Shore Line Selat Madura memiliki jumlah yang lebih kecil dari Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). Hasil sebaran emisi dengan menggunakan Model Gaussian Puff dan Gussian Plume menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Kata kunci : Emisi gas buang, Automatic Identification System (AIS), Geographic Information System (GIS), Gaussian Plume Model, Gaussian Puff Model.
258
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dimana penggunaan kapal sebagai transportasi laut tidak dapat dihindarkan. Indonesia memiliki beberapa perairan dengan lalu lintas yang padat, seperti Selat Madura. Selain merupakan tempat lalu lalang kapal domestik, wilayah ini juga merupakan tempat transit beberapa kapal asing. Telah terjadi peningkatan jumlah kapal dalam 5 tahun terakhir hingga mencapai lebih dari 100%, pada tahun 2010 lalu alur Selat Madura dilintasi 30.000 kapal per tahun, sementara pada tahun 2005 baru ada 14.686 kapal per tahun (Kompas news , 11/03/2011).
Tujuan utama dari penelitian ini untuk mengetahui distribusi sebaran emisi gas buang kapal akibat aktifitas pelayaran di Selat Madura dengan melakukan pemodelan dengan menggunakan metode Gaussian Plume dan Gaussian Puff Model. Selain itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh distribusi sebaran emisi ini terhadap kesehatan dan lingkungan di sepanjang shore line Selat Madura
Oleh karena itu, Selat Madura yang merupakan daerah pelayaran terpadat kedua setelah Selat Malaka menjadi fokus dalam penyusunan penelitian ini. Selain itu sebagai tindak lanjut terhadap penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya dengan judul Sebaran Emisi Gas Buang di Selat Madura Akibat Aktifitas Pelayaran. Maka Jurusan Teknik Sistem Perkapalan mengangkat topik penelitian dengan judul: “Pemodelan Sebaran Emisi Gas Buang Akibat Aktifitas Pelayaran Di Selat Madura menggunakan Gaussian Plume dan Gaussian Puff”
1.2 Perumusan Masalah
Dengan semakin banyaknya jumlah kapal yang melewati Selat Madura maka semakin padat pula aktifitas yang terjadi di Selat Madura tersebut, dimana hal ini pastinya juga akan memberikan dampak yang cukup berpengaruh terhadap aktifitas 259
kehidupan di sekitar Selat Madura tersebut baik kehidupan sosial ekonomi masyarakat serta dampak terhadap pencemaran udara yang diakibatkan karena aktifitas pelayaran tersebut.
Dengan kondisi tersebut dan berdasarkan latar
belakang diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Bagaimanakah distribusi atau sebaran emisi yang terjadi akibat aktifitas pelayaran di sepanjang shore line Selat Madura. b) Bagaimanakah pengaruh emisi yang dikeluarkan oleh kapal-kapal yang melewati Selat Madura terhadap lingkungan sekitar.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian antara lain adalah: a) Untuk mengetahui bagaimanakah distribusi atau sebaran emisi yang terjadi akibat aktifitas pelayaran di sepanjang shore line Selat Madura. b) Untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh emisi yang dikeluarkan oleh kapal-kapal yang melewati Selat Madura terhadap lingkungan sekitar.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Melalui penelitian mengenai Estimasi Emisi Gas Buang Kapal Menggunakan Integrasi Data Automatic Identification System (AIS) Dan Geographic Information System (GIS) diharapkan kita bisa mengetahui seberapa besar emisi gas buang yang dihasilkan oleh kapal, selain itu juga diharapkan hasil dari penelitian ini bisa menjadi sebagai bahan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah ataupun pihak-pihak yang berwenang dalam perumusan suatu kebijakan sehubungan dengan adanya peningkatan suhu bumi secara global untuk menciptakan kondisi “Green and Clean” terutama untuk mengurangi tingkat emisi guna mengurangi adanya efek rumah kaca (Green House Effect) dan menyelamatkan bumi dari adanya perubahan iklim secara drastis “Lets Save Our Earth Now”.
260
1.5 Lokasi Penelitian
Pengerjaan penelitian fokus ke Selat Madura karena Selat Madura adalah daerah terbesar kedua dalam hal transportasi laut di Indonesia. Selain transportasi kapal domestic, di Selat Madura juga terdapat kapal berbendera asing yang transit. Gambar 2. menunjukkan daerah Selat Madura diambil dari Google Earth.
Gambar 1. Lokasi Selat Madura
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 AIS (Automatic Identification System) & GIS (Geographic Information System)
a. AIS (Automatic Identification System) Automatic Identification System atau AIS adalah suatu sistem pelacakan otomatis yang digunakan pada kapal dan Layanan Pelacakan Kapal atau Vessel Traffic Services (VTS) untuk mengidentifikasi dan menemukan kapal dengan bertukar data secara elektronik dengan kapal lain yang berdekatan dan stasiun VTS. Informasi yang didapat dari AIS berasal dari radar, dimana metode AIS menjadi metode utama menghindari tabrakan di transportasi laut (Altwicker, 2000).
261
b. Geographic Information Ssytem (GIS) Geographic Information System (GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database.
GIS dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital. Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara
2.2 Gaussian Plume Model
Ada beberapa jenis model yang memungkinkan untuk memprediksi kosentrasi polutan dari suatu sumber polusi. Salah satu yang banyak digunakan adalah Gaussian Plume Model yang mana model ini merupakan model untuk menghitung sebaran dan kosentrasi polutan dari suatu ketinggian hingga dipermukaan tanah dari suatu sumber polusi.
Dalam Gaussian plume, distribusi spasial dari konsentrasi emisi sepanjang sumbu melintang dalam bentuk Gaussian (distribusi normal). Kondisi steady state berikut menggambarkan model 3-dimensi konsentrasi emisi pada setiap titik dalam sistem koordinat di mana angin bergerak sejajar dengan sumbu-x (Bracken, et al., 2007 ; Pingjian, et al, 2006; Altwicker, 2000).
.
262
Dimana: C
= konsentrasi emisi (g/m3)
𝑥, 𝑦, 𝑧
= jarak dari asal dalam koordinat 𝑥, 𝑦, z (m)
He
= tinggi exhaust pada kapal
Q
= tingkat emisi gas buang (g/s)
σy, σz
= horisontal dan vertical standar deviasi plume (m)
us
= kecepatan angin pada posisi tertinggi exhaust kapal
2.3 Gaussian Puff Model
Merupakan suatu model yang digunakan untuk menghitung konsentrasi polusi udara. Model ini mengansumsikan bahwa pancaran emisi yang dikeluarkan secara kontinyu maupun sesaat dapat disimulasikan berdasarkan atas waktu dan arah angin (Kerry et.al). Algoritma untuk Gaussian puff model dapat dituliskan sebagai berikut: (
) 𝑥 (
)[ 𝑥 (
)
𝑥 (
)]
Dimana:
Cr
= konsentrasi emisi dari reseptor (g/m3)
𝑥r , 𝑦r, 𝑧r = jarak dari asal dalam koordinat 𝑥, 𝑦, z (m) He
= tinggi exhaust pada kapal
Q
= tingkat emisi gas buang (g/s)
y, z, x
= horisontal dan vertical standar deviasi plume (m)
U
= kecepatan angin pada posisi tertinggi exhaust kapal (m/s)
Δt
= selisih waktu penyebaran emisi (menit)
t
= waktu penyebaran emisi (menit)
263
ANALISA DATA DAN HASIL
3.1 Hasil Sebaran Emisi Gas Buang Dengan Gaussian Plume
NOx
SOx
CO2
CO
PM
Gambar 2. Hasil Sebaran Emisi PM (Plume Model) Gambar 2. Menunjukkan hasil sebaran emisi gas buang di daerah Selat Madura dengan menggunakan Gaussian Plume Model. Luasan daerah yang dianalisa dengan menggunakan GIS memiliki ukuran 22 km x 22 km yaitu kurang lebih 484 264
km2 mencakup wilayah Surabaya, Madura dan wilayah Gresik. Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa hampir semua emisi gas buang NOx, SOx CO2, CO dan PM terkonsentrasi di daerah dekat sumber dari keluarnya emisi yaitu berada di daerah ketika kapal sedang berada dalam keadaan hotelling. Untuk emisi gas NOx, SOx CO2, konsentrasi emisi terbesar berada di wilayah Surabaya dan Gresik, sedangkan untuk emisi gas buang PM selain terkonsentrasi di daerah Surabaya dan Gresik akan tetapi juga terkonsentrasi di daerah sekitar Madura. Dari keseluruhan hasil pemodelan dengan Gaussian Plume Model menunjukkan bahwa konsentrasi emisi mengarah ke arah Tenggara dan Barat Laut sesuai dengan posisi kapal-kapal yang sedang berada dalam mode operasi hotelling di daerah tersebut.
4.5 Hasil Sebaran Emisi Gas Buang Dengan Gaussian Puff Model
Gambar 3. Hasil Sebaran Emisi NOx saat Δt = 45, Δt = 30 menit, menit Δt = 15 menit dan Δt = 1 menit (Puff Model) 265
Gambar 3. Menunjukkan hasil sebaran emisi gas buang di daerah Selat Madura dengan menggunakan Gaussian Puff Model. Luasan daerah yang dianalisa dengan menggunakan GIS memiliki ukuran yang sama ketika melakukan pemodelan dengan menggunakan Gaussian Plume Model yaitu 22 km x 22 km yaitu kurang lebih 484 km2 mencakup wilayah Surabaya, Madura dan wilayah Gresik. Hasil pemodelan emisi gas buang NOx, SOx CO2, CO dan PM dengan menggunakan Gaussian Puff Model berbeda sekali jika dibandingkan dengan hasil pemodelan dengan menggunakan Gaussian Plume Model. Pada pemodelan dengan menggunakan Gaussian Puff Model telah dilakukan suatu variasi terhadap release time dari emisi ketika menjauhi dari sumber emisi, yaitu ketika Δt = 45 menit, Δt = 30 menit, Δt = 15 menit, Δt = 1 menit, atau ketika to = 15 menit, to = 30 menit, to = 45 menit, to = 59 menit. Hal ini dilakukan supaya kita dapat melakukan suatu perbandingan sebaran emisi dari waktu ke waktu serta dapat mengetahui apakah pemodelan yang telah digunakan sebelumnya memberikan hasil yang sama dengan pemodelan yang telah dilakukan.
266
267
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.
Perhitungan konsentarsi emisi menggunakan Gaussian Puff Model lebih valid dan lebih tepat untuk digunakan dibandingkan dengan perhitungan dengan menggunakan Gaussian Plume Model, karena: a) Bersifat non steady state (reaktif terhadap perubahan lingkungan) b) Berpotensi terpengaruh oleh variasi aliran medan (angin) meliputi pengaruh medan yang kompleks atau tidak. c) Pengaruh pola wilayah yang tidak seragam (Non uniform land use pattern) d) Terdapat pengaruh daerah pesisir (Coastal effect). e) Angin yang tenang dan kondisi stagnasi. f) Terdapat variabel arah angin.
2.
Konsentrasi tertinggi emisi gas buang di Selat Madura pada tanggal 22 Oktober 2010 pukul 17.00- 18.00 WIB dengan wind direction sebesar 315° dengan luasan daerah dispersi adalah 484 km2 pada saat Δt = 1 menit atau pada saat t = 59 menit berada di daerah Madura yaitu wilayah Ujung Kamal dan Banyu Ujuh,
3.
Sebaran emisi gas buang Nitrogen Oksida (NOx), Sulfur Oksida (SOx) Carbon Monoksida (CO) dan Particulate Matter (PM) berdasarkan penelitian ini tidak membahayakan lingkungan dan mahluk hidup di sekitar Selat Madura karena konsentrasi emisi di beberapa daerah di Shore Line Selat Madura memiliki jumlah yang lebih kecil dari Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN). 268
DAFTAR PUSTAKA
Altwicker, E.R., Air Pollution , Lewis Publisher, 2000. Bracken, C., Carnemolla, A., Ritter, C., Zielke, E., An Analysis of Exhaust Emission from a Large Ship Docked in Humbolt Bay, ENGR
416- Transport
Phenomena, 2007 Cimorelli
AERMOD : Description Of Formulation. United States Environmental
Protection Agency (EPA), 2004.- http://www.epa.com/AERMOD/EPA-454R03-004.pdf. Flang, Richard,C and Seinfeld J.H. Fundamental Of Air Pollution Engineering. New Jersey : Prentice Halls, 1988. Godish, T. Air Quality. Ball State University, Muncie, Indiana : Lewis Publishers, Inc., 1985. Ishida,T., Emission of Estimate Methods of Air Pollution and Green House Gases from Ships, J. Jap. Inst. Mar. Eng., 37(1), 2003. Jalkanen, JP [et.al.] . Modelling System for the Exhaust Emissions Of Marine Traffic and Its Aplication In the Baltic Sea Area. J. Atmos. Chem. Phys., 2009. 15229 - 15373 : Vol. IX. Pingjian, L., Kobayashi, E., Ohsawa, T., Sakata, M., Case Study on Health Assessments Related to a Modal Shift in Transportation, Journal of Marine Science and Technology-JASNACE, 2006. Pitana, T., Kobayashi, E., Wakabayashi, N., Estimation Of Exhaust
Emission Of
Marine Traffic Using Automatic Identification System Data (Case Study : Madura Strait Area, Indonesia), OCEANS 2010 LEEE Sydney 24-27 May 2010, CFP100CF–CDR 978-1-4244-5222 Library Of Congress : 2009934926, 2010. Trozzi,C., Vaccaro,R., Methodologies For Estimating Air Pollutant Emission From Ships, Techne Report MEET RF98b, 1998. UNECE/EMEP, Group 8: Other Mobile Sources and Machinery, in EMEP/CORINAIR Emission Inventor y Guidebook-third ed., October 2002 Update (Technical Report no.30), 2002.
269
UNECE/EMEP.
Group
8
:
Other
Mobile
Source
and
Machinery,
in
EMEP/CORRINAIR Emission Inventory Guidebook-third ed. Technnical Report no.30, 2002. Wang, C., Callahan, J., Corbett, J.J., Geospatial Modeling of Ship Traffic and Air Emissions, Proceeding of ESRI International Conference, (2007).
270
“RANCANG BANGUN TANGAN ROBOT MULTI AXIAL UNTUK PEKERJAAN BAWAH AIR SEBAGAI PERLENGKAPAN OPERASI ROV (REMOTELY OPERATED VEHICHLE) “ (BAGIAN I) Augustinus Pusaka Laboratorium : Teknologi Mekanik, Program Studi : Teknik Perkapalan Fakultas Teknologi Kelautan
[email protected] ABSTRAK Sebagai kelengkapan untuk menyempurnakan fungsi dari ROV (REMOTELY OPERATED VEHICHLE) sesuai fungsinya dari alat inspeksi bawah laut dan pekerjaan bawah air, maka diperlukan perangkat alat bantu untuk melakukan aktifitas pekerjaan bawah laut berupa tangan robot multi axial yang mampu untuk memegang, melepas, memindahkan serta proses pengelasan bawah laut. Metode awal untuk bagian I dalam pengerjaan ini dilakukan dengan melakukan beberapa analisa desain yang melingkupi aspek bentuk dan penempatan, aspek pergerakan, aspek ketahanan tekanan dalam air dan aspek fungsi dan kinerja perangkat tangan robot. Penekanan pada bagian I dalam pengerjaan ini untuk percobaannya ditujukan kepada aspek ketahanan tekanan dalam air pada tangan robot melalui tenaga gerak peneumatik serta konsep dinamika teknik pada pergerakan tangan robot. Rancang bangun tangan robot ini telah memasuki proses rancang bangun dan dalam tahap analisa serta percobaan pergerakan tangan robot yang menggunakan peneumatik. Hasil yang dicapai masih dalam proses penyempurnaan pergerakan serta bentuk dan ukuran. Keyword : ROV, tangan robot, aspek, dinamika teknik, peneumatik. PENDAHULUAN
Seringnya terjadi pendangkalan bawah laut akibat sedimentasi, sehingga membutuhkan perangkat yang dapat melihat kondisi bawah laut secara visual melalui kamera dan monitor. Perangkat tersebut salah satunya dinamakan ROV, selain digunakan untuk hal tersebut dapat digunakan juga untuk melihat bagian bawah kapal (inspeksi bawah air), penutupan pipa bekas ekslporasi tambang lepas pantai, pengelasan bawah air (under water welding), inspeksi kapal-kapal yang karam (contoh pemeriksaan kapal Titanic). Untuk menambahkan potensi ROV melakukan kegiatan seperti manusia, maka perlu ditambahkan perangkat yang mampu melakukan aktifitas tersebut. ). Untuk menambahkan potensi ROV melakukan kegiatan seperti manusia, maka perlu ditambahkan perangkat yang mampu melakukan aktifitas tersebut. Hal ini disebabkan dari keterbatasan manusia yang hanya mampu menjangkau daerah kurang lebih pada kedalaman 30 meter. Dengan demikian 271
melalui perangkat ini (tangan robot multiaxial) yang akan ditambahkan pada bagian bawah diharapkan mampu melayani inspeksi dan pekerjaan bawah air. Perangkat ini merupakan bagian yang terpisah dengan rancang bangun ROV yang dilakukan pada penelitian sebelumnya dan merupakan perangkat tersendiri yang akan melengkapi ROV dalam melakukan aktifitasnya untuk pekerjaan bawah air. Rancang bangun diarahkan kepada sistem pergerakan lengan robot pada kedalaman air yang mempunyai tekanan cukup tinggi berdasarkan kedalaman perairan, kemampuan material lengan dan engsel (joint) tangan robot yang mampu bertahan terhadap kedalaman tertentu dengan tingkat pergerakan tangan robot yang bebas, serta unit pengontrol dan penggerak lengan tangan robot yang mampu menahan, memegang, mengangkat dan mendorong.
TUJUAN PENELITIAN
Menjadikan perangkat ini sebagai alat bantu untuk ROV melakukan aktifitasnya dalam operasi perbaikan, pengelasan, pemotongan dan penutupan, serta pengangkatan obyek dibawah air.
MANFAAT HASIL PENELITIAN
Dengan berkembangnya era teknologi ini, peran inspeksi bawah air sangat penting dan dengan rancang bangun tangan robot ini yang akan diletakan pada ROV dengan gerakan multiaxial dapat mengembangkan potensi perangkat ini untuk melakukan lebih dari sekedar memantau keadaan bawah air.
Metode yang digunakan adalah perancangan berdasarkan data spesifikasi ROV yang ada dan melakukan kajian serta analisa terhadap perencanaan secara langsung. Selanjutnya dimplementasikan dalam bentuk produk prototype ROV yang dibangun berdasarkan gambar yang telah dirancang dan ditambahkan berbagai percobaan untuk diperoleh hasil yang maksimum.
272
TINJAUAN PUSTAKA
Metode awal untuk bagian I dalam pengerjaan ini dilakukan dengan melakukan beberapa analisa desain yang melingkupi aspek bentuk dan penempatan, aspek pergerakan, aspek ketahanan tekanan dalam air dan aspek fungsi dan kinerja perangkat tangan robot. Penekanan pada bagian I dalam pengerjaan ini untuk percobaannya ditujukan kepada aspek ketahanan tekanan dalam air pada tangan robot melalui tenaga gerak peneumatik serta konsep dinamika teknik pada pergerakan tangan robot.
Robot adalah sebuah alat mekanik yang dapat melakukan tugas fisik, baik menggunakan pengawasan dan kontrol manusia, ataupun menggunakan program yang telah didefinisikan terlebih dulu (kecerdasan buatan). Robot biasanya digunakan untuk tugas yang berat, berbahaya,
pekerjaan yang berulang dan kotor. Biasanya kebanyakan robot industri
digunakan dalam bidang produksi. Penggunaan robot lainnya termasuk untuk pembersihan limbah beracun, penjelajahan bawah air dan luar angkasa, pertambangan, pekerjaan "cari dan tolong" (search and rescue).
Robot manipulator biasanya dicirikan dengan memiliki lengan (arm robot). Robot ini biasanya diterapkan pada dunia industri, seperti pada industri otomotif, elektronik dan komputer.Robot manipulator umumnya memiliki 6 DOF, dimana 3 bagian menentukan posisi ujung link terakhir pada ruang cartesian dan 3 sisanya menentukan orientasi. Sebagai contoh sederhana,
pada gambar di bawah, variabel q1, q2 dan q3
merefer pada posisi joint dari robot manipulator.
Gambar 2. Tangan robot
273
KINEMATIKA ROBOT
Kinematika robot sebagai studi pergerakan robot (motion) tanpa memperhatikan gaya atau hal-hal lain yang mempengaruhinya. Secara garis besar kinematika ini digunakan untuk mengertahui hubungan antara derajat kebebasan masing-masing joint atau sudut yang menghubungkan antar bagian kaki, posisi dari end effector pada lengan robot.
Kinematika pada robot terbagi dua, yang pertama adalah forward kinematic dan yang kedua adalah inverse kinematic. Inverse kinematic lebih sering digunakan dalam pembuatan lengan robot karena pada tugas yang didefinisikan hampir selalu dalam referensi koordinat. Yang menjadi fokus utama adalah bagaimana end effector (posisi ujung lengan robot) mencapai posisi tujuan dengan baik berdasarkan peletakan referensi koordinat yang sudah ditentukan.
Forward Kinematic
Nurhakim (2010:11) dalam Sistem Kendali Gerak Continuous Path Tracking dengan Menggunakan Cubic Trajectory Planning Pada Robot Manipulator 4 DOF menyebutkan forward kinematic adalah metode untuk menentukan orientasi dan posisi ujung kaki robot dari besarnya sudut dan panjang link dengan robot.
Inverse Kinematic
Inverse kinematic diperlukan pada pengendalian posisi dari end effector robot untuk mencapai suatu objek dalam sistem koordinat. Jika dalam forward kinematic yang dicari adalah posisi koordinat dari kaki robot dengan diketahui sudut-sudutnya, kinematic adalah kebalikannya yaitu mencari besarnya sudut untuk setiap joint.
274
inverse
SISTEM PENEUMATIK
Gambar 3. Sistem Pneumatik
Pneumatik menggunakan hukum-hukum aeromekanika, yang menentukan keadaan keseimbangan gas dan uap (khususnya udara atmosfir) dengan adanya gaya-gaya luar (aerostatika) dan teori aliran (aerodinamika). Peneumatik dalam pelaksanaan teknik udara mampat dalam industri merupakan ilmu pengetahuan dari semua proses mekanik dimana udara memindahkan suatu gaya atau gerakan. Jadi pneumatik meliputi semua komponen mesin atau peralatan, dalam mana terjadi proses-proses pneumatik.
Beberapa bidang aplikasi di industri yang menggunakan media pneumatik dalam hal penangan material adalah sebagai berikut : a. Pencekaman benda kerja b. Penggeseran benda kerja c. Pengaturan posisi benda kerja d. Pengaturan arah benda kerja
METODOLOGI PENELITIAN
A. DESIGN CONSTRAINTS
Kita menggunakan Design constraints sebagai istilah yang biasa digunakan untuk menyatakan permintaan, tujuan disain, faktor keberhasilan, dan lain sebagainya
275
B. CONCEPT DESIGN
Konsep desain kapal merupakan tahap lanjutan setelah adanya Owner design requirement dimana konsep desain juga merupakan basic design dalam proses perancangan kapal.
C.
PRELIMINARY DESIGN
Pada preliminary design stage ini dikembangkan hasil dari tahap conceptual dengan menetapkan alternatif kombinasi yang jelas, sehingga pada akhirnya didapatkan gambaran utama kapal dan kecepatan servicenya, begitu juga daya motor yang diperlukan, demikian pula dengan daftar sementara peralatan permesinan.
D.CONTRACT DESIGN Tujuan dari contract design stage adalah untuk mengembangkan perancangan dalam bentuk yang lebih mendetail yang memungkinkan pembangun kapal memahami kapal yang akan dibuat dan mengestimasi secara akurat seluruh beaya pembuatan kapal. Dalam detailnya contract guidance drawing dibuat untuk menggambarkan secara tepat perancangan yang diinginkan. Contract design biasanya menghasilkan satu set spesifikasi dan gambar, serta daftar peralatan permesinan.
HASIL RANCANG BANGUN TANGAN ROBOT ROV DAN PEMBAHASAN
Gambar 4. KONSEP RANCANG BANGUN TANGAN ROBOT
276
Gambar 5.
Dalam
SKEMA DIAGRAM KONTROL DAN TENAGA PENGGERAK SISTEM PADA TANGAN ROBOT PADA ROV
pengerjaan
rancang bangun
dilakukan
dengan
mengutamakan
pekerjan
Perencanaan awal dengan mengolah kinerja dari peneumatic mengatasi beban yang akan dilewati oleh konstruksi tangan robot yang digerakan oleh pneumatic. Hal ini perlu diuraikan lewat panjang dari tangan robot yang berdasarkan keperluan rancangan diambil nilai 1 meter. Pembebanan akan ditanggung oleh pangkal poros utama yang menempel pada bodi ROV dan juga pada daerah engsel lengan tangan robot.
Selanjunya hasil perencanaan dan pembangunan serta tata letak perangkat pendukung dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
277
Gambar 6. Rancangan Tangan Robot SPESIFIKASI TANGAN ROBOT ROV HASIL RANCANGAN : 1. Material bodi terbuat dari Alumunium, kuningan, PVC, dan besi 2. Dikendalikan oleh pneumatic dan angin yang dihasilkan dari komperesor 3. Ujung dari tangan robot yang bertugas mencekeram dibuat dari plastik 4. Shaft digunakan Carbon Steel.
HASIL DAN PEMBAHASAN RANCANG BANGUN TANGAN ROBOT ROV
Pergerakan tangan robot yang dihasilkan melalui perhitungan rancang bangun boleh dapat dikatakan telah mengikuti kondisi kedalaman air, gerakan sesuai sumbu x, y dan z. Diikuti kondisi yang paling eksisting adalah
Pendekatan Geometri Inverse Kinematic Dasar
Sebagaimana telah diketahui mengenai pendekatan geometri yang merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan masalah invese kinematic dengan
278
menerapkan trigonometri dan geometri. Untuk pembuatan simulator robot diambil pendekatan ini dikarenakan pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling dasar dan tidak memerlukan waktu yang lama dalam mendapatkan solusinya dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Selain itu struktur joint tangan robot yang tidak terlalu kompleks sehingga masih memungkinkan menggunakan pendekatan ini.
Berikut analisis inverse kinematic untuk lengan robot 2 DOF yang menggambarkan bagian TC-joint pada kaki robot :
Lengan robot dengan 2 DOF (CTr-joint dan FTi-joint)
Dari gambar diatas
solusi untuk sudut CTr-joint (
dengan menggunakan inverse
kinematic bisa didapat dengan menggunakan formula : 𝑦 𝑦
𝑥 𝑦
Sedangkan solusi untuk sudut FTi-joint (
dengan menggunakan inverse kinematic bisa
didapat dengan menggunakan formula : [
𝑥
Dalam penerapannya terhadap robot,
𝑦
]
inverse kinematic memiliki beberapa perbedaan
terhadap sudut-sudut awal yang telah didefinisikan. Seperti misalnya pada bagian TC-joint yang mana sudut awal (0º) pergerakannya berada pada sudut ± 45º terhadap garis sumbu x. Ataupun pada bagian FT-joint yang sudut awal (0º) pergerakannya berada pada sudut ±90º terhadap garis lurus dari bagian femur.
279
Bagian-bagian tersebut memiliki posisi-posisi sudut awal yang berbeda-beda, sehingga dibutuhkan analisis lebih terhadap formula inverse kinematic itu sendiri.
PENGARUH TEKANAN AIR TERHADAP PERGERAKAN TANGAN ROBOT
x,y, z
P =h ROV
Pergerakan tangan robot pada arah sumbu x,y dan z dibawah air akan mengalami tekanan tertentu. Hal ini mempengaruhi sistem kerja tangan tersebut pada waktu pergerakan vertical dan horizontal yang menunjukan perubahan ketinggian pada kedalaman. Berarti ada suatu perubahan tenaga gerak dan juga konstruksi dari tangan robot tersebut. Disamping itu stabilitas pada saat perangkat melakukan fungsinya akan terjadi gangguan stabilitas. Untuk itu pada saat proses pengoperasiaan ini perlu dilakukan secara baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengerjaan dalam tahap I digunakan pendekatan geometri sebagai pendekatan yang dipakai untuk memecahkan masalah inverse kinematic.
Hasil rancangan dan pembangunan tangan robot yang masih memerlukan penyempurnaan lebih lanjut , Spesifikasi Teknis : Panjang tangan robot
: 1000 mm
Lebar
: 400 mm
Tinggi
: 500 mm
Tenaga Penggerak
: Pneumatik
Pengendali (control)
: Mikrokontroler
280
DAFTAR PUSTAKA
[1] J. Cadiou, S. Coudray, P. Léon and M. Perrier,"Control architecture of a deep scientific ROV:VICTOR 6000", in [2] http://konversi.wordpress.com/2009/06/12/sekilas-rotary-encoder/ [3] http://puremtc.com/info_faq/ballast_system/index.htm [4] http://pierreyerokine.perso.sfr.fr/Ballast_EV.htm [5]“Remotely Operated Vehicles of the World”,98/99 edition,published by Oilfield Publications Limited, UK. [6] R. Bachmayer, S. Humphris, dkk. 1999.” A New Remotely Operated Underwater Dynamics for Wynamics and Control Research. [7] Robinson, H. and Keary, A. (2000) : Remote Control of Unmanned Undersea Vehicle, [8] mallwood, D., Bachmayer, R., and Whitcomb, L. (1999) : A New Remotely Operated Underwater Vehicle for Dynamics and Control Research, International [9] Symposiumon Unmanned Untethered Submersible Technology. [10] http://universe-review.ca/R13-10-NSeqs.htm [11 ] Budiharto, Widodo. 2010. Robotika Teori+Implementasi. Yogyakarta: ANDI. [12] Craig, John J. 2005. Introduction to Robotic Mechanics and Control (Third Edition). United States of America: Pearson Prentice Hall. [13] Muis, Saludin. 2011. Prinsip Dasar Cara Kerja Robot. Yogyakarta: GRAHA ILMU. [14]Nurhakim,
Hadiansyah
Rahmat.
2010.
Sistem
Kendali
Gerak
ContinuousPathTracking dengan Menggunakan CubicTrajectoryPlanning Pada Robot Manipulator 4 DOF. Skripsi pada Fakultas Teknik UI. Depok: tidak diterbitkan. [22]
Rachmatullah,
Syawaludin.
2010.
Booklet
TA
HME
Edisi
http://keprofesianhmeitb.files.wordpress.com/2010/03/booklet-ta-edisi-mei2010.pdf. (Di akses pada tanggal 24 September 2012)
281
2010.
RANCANG BANGUN AIRBOAT SEBAGAI ALAT ANGKUT PENANGGULANGAN BENCANA TAHAP II Arif Fadillah*) dan Hadi Kiswanto*) *) Jurusan Teknik Perkapalan, Fak. Teknologi Kelautan, Universitas Darma Persada
[email protected] ABSTRAK Airboat sebagai salah satu alat transportasi air yang menggunakan mesin penggerak udara ini mempunyai kemampuan yang sangat baik untuk dapat dioperasikan di wilayah perairan yang dangkal, seperti rawa, sungai, danau dan lain sebagainya. Penelitian tahap pertama adalah rancang bangun lambung airboat dengan menggunakan material fiberglass, pada tahap selanjutnya dilakukan analisis mengenai hambatan yang terjadi pada airboat dengan menggunakan metode ITTC 1957 (International Towink Tank Conference) dan Taylor Standards Series untuk selanjutnya dilakukan perhitungan dan pemilihan yang mesin yang terbaik untuk digunakan pada airboat, dari hasil perhitungan yang dilakukan untuk kecepatan 30 Knots memerlukan daya mesin sebesar 43 HP. Dalam perhitungan dan pemilihan dari baling-baling untuk airboat menggunakan metode blade element theory, digunakan baling-baling dengan jumlah daun sebanyak 2 (dua) buah dan dengan diameter baling-baling sebesar 1.50 meter. Penelitian lanjutan diperlukan untuk memadukan sistem penggerak dan lambung airboat serta sistem keselamatan pada airboat sehingga airboat tersebut dapat digunakan secara optimal sebagai alat angkut penanggulangan bencana.
PENDAHULUAN
Perkembangan dan penggunaan airboat saat ini sudah banyak dilakukan dalam berbagai bidang terutama di luar wilayah Indonesia. Penggunaan airboat saat ini digunakan untuk keperluan pariwisata, pertahanan keamanan, transportasi dan penanggulangan bencana. Airboat atau yang sering disebut dengan fanboat menggunakan sistem dorongan udara seperti kipas sehingga dalam pergerakannya tidak dibatasi oleh tempat dan kedalaman air seperti kapal laut pada umumnya.
Melihat perkembangan tersebut maka pengembangan airboat merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji terutama bagi wilayah Indonesia. Seperti contoh pada wilayah Jakarta banyak terdapat daerah rawan bencana seperti banjir dan daerah padat penduduk, bila musim hujan kondisi daerah sering tergenang hingga beberapa waktu sehingga diperlukan upaya dalam evakuasi dan penanganan bantuan. Ditambah lagi dengan kondisi geografis di Indonesia yang sangat beragam di setiap tempat sehingga diperlukan suatu moda 282
transpostasi yang dapat digunakan pada segala kondisi permukaan, area yang terbatas dan daerah yang sulit dijangkau. Sementara ini upaya-upaya tersebut telah ada dan baik dilakukan namun dirasakan kurang efektif dan efisien.
PERUMUSAN MASALAH
Dalam penelitian ini memandang adanya permasalahan dalam menanggulangi bencana secara cepat, tepat dan efisien khususnya pada wilayah padat penduduk, wilayah yang memiliki ruang area terbatas dan wilayah yang memiliki keanekaragaman geografis seperti di Indonesia, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: a.
Bagaimana caranya memperbaiki sistem penanggulangan bencana secara efisien dan efektif yang ditinjau dari perbaikan sistem transportasinya.
b.
Bagaimana merencanakan dan merancang airboat sebagai alat angkut dalam penanggulangan bencana.
c.
Bagaimana memaksimalkan penggunaan moda transportasi airboat sebagai kendaraan untuk segala medan yang ramah lingkungan khususnya di Indonesia.
TUJUAN PENELITIAN
Secara umum tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mendapatkan gambaran kebijakan bagi alat angkut penanggulangan bencana di berbagai kondisi wilayah. b. Mengembangkan gambaran desain model airboat sebagai alat angkut yang efisien dan efektif untuk penanggulangan bencana. c. Memberikan
rekomendasi
kepada
pemerintah
Indonesia
dalam
usaha
memperbaiki sistem transportasi dalam menanggulangi bencana yang terjadi di berbagai tempat yang sulit dijangkau oleh moda transportasi lainnya.
MANFAAT HASIL PENELITIAN
Penelitian terhadap penggunaan airboat sebagai alat angkut dalam penanganan bencana secara efektif dan efisien merupakan bagian dari perencanaan transportasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam hal 283
kebijakan mengenai alat transportasi pada saat terjadinya bencana di tempat yang terbatas dan sulit dijangkau dengan moda transportasi lainnya.
1.
Tinjauan Pustaka Airboat merupakan sebuah perahu yang memanfaatkan tenaga dorong hasil kerja atau putaran propeller udara, biasa disebut airscrew propeller atau aircraft propeller. Reaksi fluida pada propeller tersebut berupa gaya dorong, dimana gaya dorong ini menyebabkan airboat dapat bergerak maju dengan kecepatan tertentu. Airboat memiliki bentuk bagian bawah badan perahu yang flow-line dan flat-bottom sehingga memiliki olah gerak dan tingkat kestabilan yang baik, disamping itu airboat juga memiliki draft yang sangat kecil sehingga dapat dioperasikan pada daerah perairan yang sangat dangkal.
2.
Teori Perhitungan Hambatan Airboat merupakan alat transportasi yang bergerak di atas air dengan kecepatan tertentunya akan menimbulkan hambatan ketika berlayar. Hambatan tersebut bisa dari air dan atau angin. Gaya hambat dari air dan udara tersebut dapat didorong dengan melakukan perhitungan nilai besarnya hambatan, sehingga dapat menemukan spesifik mesin penggerak yang optimum digunakan untuk airboat.
Dalam melakukan perhitungan tersebut, penulis menggunakan rumus perhitungan Tahanan dengan metode Harvald. Adapun rumus dari perhitungan tersebut yaitu : Rt = Ct. ½. S. Vs².
[kN]
Dimana: Rt = Hambatan total Ct = coeffisien hambatan total S = luas permukaan basah Vs = kecepatan = density 1,025
3
Metode Perhitungan Air Propeller Metode yang digunakan adalah perhitungan teoritis dari teori blade element. Perhitungan blade element yaitu salah satu aplikasi dari teori momentum propeller. Perhitungan ini dilakukan untuk menganalisa dan mengetahui karakteristik serta 284
performa tiap elemen airfoil penyusunan blade propeller. Perhitungannya dimulai dari penentuan tipe dan platform airfoil yang berdasarkan beberapa parameter seperti kesederhanaan bentuk, material dan performa yang akan dihasilkan.
4.
Pemilihan Main Engine Penentuan tenaga penggerak berupa main engine yang sesuai dengan kebutuhan daya airboat, dimana daya yang dikeluarkan tersebut digunakan untuk mengoperasikan atau memutar propeller sehingga propeller tersebut mampu menghasilkan thrust untuk mendorong airboat sampai pada batas kecepatan maksimal yang telah ditentukan. Selain parameter kebutuhan daya, parameter lain yang harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan main engine adalah putaran poros serta torsi maksimal dari main engine.
5.
Perhitungan Hambatan Airboat dengan Kecepatan 30 Knots Perhitungan hambatan pada lambung airboat diestimasikan pada kecepatan awal yaitu 15 knots. Adapun metode yang digunakan untuk melakukan perhitungan hambatan pada airboat adalah rumus dari : 1. ITTC 1957 (International Towink Tank Conference) 2. Taylor Standars Series Rumus tahanan tersebut adalah :
RT 1 C F C A VS S 2 Dimana :
Rt
= hambatan total = koefisien hambatan geresekan (Frictional) = koefisien hambatan udara (Air)
Vs
= kecepatan airboat
S
= luas permukaan basah
Data-data Ukuran Airboat Panjang keseluruhan ( LOA )
= 4,00 m
Panjang garis air ( LWL )
= 2,90 m
Panjang garis tegak ( LBP )
= 2,90 m
Lebar depan ( B1 )
= 1,90 m
285
Lebar belakang ( B2 )
= 2,10 m
Tinggi (H)
= 0,56 m
Sarat air (T)
= 0,12 m
Froude number (Fn)
= 1,45
Reynolds Number (Rn)
= 1,88.
Coefficient block ( Cb )
= 0,96
Coefficient midship ( Cm )
= 0,99
Coefficient prismatic ( Cp )
= 0,97
Coeffisient waterline ( Cw )
= 0,98
Displacement ( )
= 0,672 Ton
Volume Displacement ( )
= 0,672 m³
Koefisien Hambatan Gesek ( Berdasarkan buku dari The International Towink Tank Conference Recomended and Procedures and Guidelines (ITTC) halaman 4, untuk menghitung koefisien hambatan gesek digunakan rumus ITTC 1957 yaitu :
CF
0,075 (log10 Rn 2) 2
CF
0,075 (log 10 1,9.10 7 2) 2
2,70.10 3
Koefisien Hambatan Udara (Ca) Koefisien hambatan udara merupakan hambatan tambahan yang terjadi pada airboat. Berdasarkan ketentuan The International Towink Tank Conference 1957 (ITTC)1957) untuk besarnya hambatan udara pada airboat dengan range displacement 1000 ton, maka nilai hambatannya adalah : C A 0,6.10 3
Luas Permukaan Basah (WSA) Dari sebuah airboat yang terapung di air sampai suatu garis air yang terdapat permukaan badan airboat yang tercelup. Luas dari permukaan badan airboat yang berhubungan langsung dengan air tersebut, disebut luas permukaan basah. 286
Untuk menghitung luas permukaan basah pada airboat rancangan ini digunakan rumus Taylor yang terdapat dalam buku A Reanalysis Of The Original Test Data For The Taylor Standard Series 1954 pada halaman 8 yaitu : S 2,6.(V LWL)1 / 2 S 2,6.(0,672 2,90)1 / 2
= 3,63 m²
Hambatan Total Airboat (
)
Setelah dilakukan perhitungan dari beberapa komponen hambatan, maka dapat ditetapkan besarnya hambatan total airboat. Untuk melakukan perhitungan tersebut, berdasarkan rumus ITTC 1957 maka Rt : 2 RT 1 C F C A VS S 2
RT 1 2,70 0,6.10 3 1,00 15,42 2 3,63 2 = 1,30 kN
Efektif Horse Power (EHP) Untuk menghitung EHP airboat rancangan ini yaitu : EHP
= Rt x Vs
EHP
= 1,30 x 15,42 = 20,05 kW = 26,54 HP
Propulsieve Coefficeint (P.C) Untuk nilai dari P.C ini dengan range antara 50 ~ 65%, diestimasikan nilainya adalah 60%.
Daya Mesin Untuk menentukan power atau daya mesin dari airboat rancangan digunakan rumus dengan metode Taylor and Gertler yang terdapat dalam buku terjemahan Hambatan Kapal dan Daya Mesin Penggerak oleh Teguh Sastrodiwongso halaman 85, yaitu : P
( P.C ) 1 EHP
287
P (0,60) 1 26,54 HP
= 43 HP 6.
Perencanaan Baling – baling Airboat
Baling-baling adalah suatu alat penggerak airboat yang dapat menghasilkan daya dorong yang melebihi hambatan total airboat, sehingga airboat dapat bergerak dengan kecepatan yang direncanakan.
Diameter Baling-baling Dalam perencanaan diameter baling-baling ditentukan dengan efektivitas penyesuaian lebar lambung airboat dan ketersediaan ruang. Dari ketentuan tersebut nilai diameter diambil D = 1,5 meter.
Putaran Propeller (n) Nilai
putaran
propeller
ditentukan
semaksimum
mungkin
dapat
menghasilkan kecepatan yang efektif terhadap nilai kecepatan propeller yang diijinkan dengan bahan fiberglass yaitu 220 m/s. Sementara nilai kecepatan dalam perhitungan diatas (advance speed of propeller) adalah 10,68 m/s. Sedangkan nilai n dari mesin yang digunakan adalah 5600 rpm.
Jumlah Blade (B) Untuk perencanaan baling-baling ini ditentukan dengan jumlah 2 (dua) blade.
7. Pemilihan Mesin
Setelah dilakukan perhitungan hambatan pada airboat dan daya mesin yang diperlukan, maka selanjutnya akan dilakukan pemilihan mesin yang akan digunakan untuk sistem penggerak airboat.
Dikarenakan dengan kesediaan mesin di pasaran, maka dipilih mesin mobil yang berdaya 1000 cc atau 63 HP. Adapun spesifikasi mesin mobil tersebut adalah sebagai berikut :
288
Sumber : wikipedia.org/xeniadaihatsu Gambar 1 Mesin Airboat Spesifikasi mesin :
Merk
: Daihatsu
Type
: EJ - VE
Power
: 1000 cc (989 cc)
Cylinder
: 4 (empat)
Diameter x langkah
: 72 x 81 (mm)
Daya maksimum
: 63 / 5600 (PS / rpm)
Torsi maksimum
: 9.2 / 3600 (kgm / rpm)
Weight
: 100 Kg
PENUTUP
Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisa data dan pelaksanaan pembuatan lambung airboat pada penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
KESIMPULAN
1.
Kecepatan untuk airboat direncanakan sebesar 30 knots dengan nilai hambatan total 1,30 kN dan nilai daya yang dibutuhkan sebesar 45 HP.
2.
Pemilihan mesin untuk perencanaan airboat dilaksanakan dengan melihat ketersediaan mesin di pasaran dengan harga yang terjangkau, maka dipilih mesin mobil yang berdaya 1000 cc atau 63 HP, dengan nilai putaran (n) dari mesin yang digunakan adalah 5600 rpm.
289
3.
Untuk perencanaan baling-baling ini ditentukan dengan diameter (D) sebesar : 150 cm atau 1.50 meter dengan jumlah daun baling-balign sebanyak 2 (dua) blade.
SARAN
Diperlukan penelitian lanjutan untuk melakukan sinkronisasi antara mesin dan lambung airboat. Kemudian dilanjutkan peneltian mengenai penggunaan peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk operasional dari airboat yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Jenkinson, L. R and John Wiley & Sons Inc., Aircraft Design Projects, New York. 2003. L. Yun & A. Bliault, Theory and Design Air Cushion Craft, John Wiley & Sons Inc., New York. Clifford Matthews, Aeronautical Engineer’s Data Book, Butterworth Heinemann, London. M. A. S. Riach, Air Screws: an Introduction to the Aerofoil Theory of Screw Propulsion, C. Lookwood and Son, London.
290
ANALISIS KESELAMATAN DAN KEAMANAN TRANSPORTASI PENYEBERANGAN LAUT DI INDONESIA Danny Faturachman Fakultas Teknologi Kelautan, Universitas Darma Persada
[email protected] ABSTRAK Pelabuhan Penyeberangan Merak-Bakauheni adalah jalur lintas penghubung antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Dengan perannya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi antar pulau, diharapkan kelancaran pergerakan penumpang dan barang dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Penelitian penyeberangan pada lintas Merak-Bakauheni dilakukan untuk menganalisis pergerakan orang dan barang dengan mendasarkan pada waktu pelayanan, · jumlah kapal penyeberangan, dan jumlah dermaga, sehingga dapat tercapai penyelenggaraan pelayanan angkutan penyeberangan Merak-Bakauheni yang cepat, tepat, aman, dan nyaman. Transportasi umum di era saat sekarang merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi setiap masyarakat dalam menunjang segala aktifitas dan rutinitasnya sehari-hari, PT. ASDP Indonesia Ferry Persero sebagai penyelenggara penyeberangan sangatlah berperan penting dalam menyelenggarakan transportasi publik yang layak di Negara kita. Permasalahan dalam penelitian ini adalah keselamatan dan keamanan di bidang transportasi penyeberangan laut di Indonesia serta masih belum adanya standar keselamatan dan keamanan transportasi penyeberangan laut dengan melihat kondisi peralatan keselamatan yang tersedia di kapal dan kondisi pelabuhan penyeberangan laut di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kajian literatur berupa aturan-aturan yang digunakan serta penelitian lapangan.dengan mengambil lokasi di Merak. Hasil yang diharapkan dengan penelitian ini adalah dapat menginventarisasi standar keselamatan dan keamanan transportasi penyeberangan laut di Indonesia dan mengetahui sejauh mana tersedianya alat-alat keselamatan di kapal khususnya Ferry sehingga dapat diformulasikan rekomendasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan di kemudian hari. Keywords: ASDP, Ferry, Indonesia, keselamatan, penyeberangan laut PENDAHULUAN
Transportasi di era globalisasi merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat dalam menunjang segala aktivitas maupun rutinitasnya sehari-hari. Transportasi publik umumnya meliputi kereta dan bis, namun juga termasuk pelayanan maskapai penerbangan, pelabuhan penyeberangan, taksi, dan lain-lain. Keberadaan transportasi publik yang baik sangat mempengaruhi roda perekonomian suatu wilayah atau daerah. Keberhasilan pertumbuhan perekonomian di suatu Negara tidak akan lepas dari campur tangan pemerintah dalam upaya menciptakan transportasi publik yang nyaman, aman, bersih, dan tertata dengan baik. 291
Setiap moda transportasi memiliki peran dan kapasitasnya dalam melayani penumpang. Transportasi publik yang sangat menunjang tugas pemerintah dalam usaha pembangunan sejatinya adalah moda transportasi laut. Transportasi laut sangat berperan penting untuk menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya sehingga pendistribusian barang maupun penumpang dari satu pulau ke pulau lain dapat berjalan lancar, sehingga pemerataan pembangunan dapat terlaksana dan tidak hanya terpusat di satu wilayah atau satu pulau saja. Untuk menciptakan suatu industri transportasi laut nasional yang kuat, yang dapat berperan sebagai penggerak pembangunan nasional, menjangkau seluruh wilayah perairan nasional dan internasional sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, maka kebijakan pemerintah di bidang transportasi laut tidak hanya terbatas pada kegiatan angkutan laut saja, namun juga meliputi aspek kepelabuhanan, serta keselamatan pelayaran.
Di dalam sistem transportasi nasional terdapat kepelabuhanan yang merupakan bagian strategis dari sistem transportasi nasional dan merupakan faktor penting dalam menunjang aktifitas perdagangan. Sektor pelabuhan memerlukan suatu kesatuan yang terintegrasi dalam melayani kebutuhan dari sarana transportasi. Ujung tombak dari kepelabuhanan tersebut adalah sektor jasa dalam melayani jasa kepelabuhanan. Pelabuhan Merak dan Bakauheni merupakan pelabuhan yang dikelola oleh PT. Angkutan Sungai dan Perairan (PT. ASDP) Indonesia Ferry Persero.. Di dalam area pelabuhan cabang Merak terjadi kegiatan bongkar-muat barang dan penumpang untuk tujuan Jawa-Sumatera. Terkadang pengelola jasa kepelabuhanan tidak mampu mengelola kegiatan operasional akibat ketidakseimbangan sarana fasilitas dan prasarana, terutama di saat-saat liburan sekolah dan Hari Raya sehingga mempengaruhi proses kelancaran barang yang masuk maupun keluar.
PT. ASDP (Angkutan Sungai Dan Penyeberangan) Indonesia Ferry Persero merupakan badan usaha milik Negara (Persero) yang bernaung di bawah Kementrian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, dan bergerak di bidang usaha pelayanan penyeberangan yang jaraknya kurang dari 17 mil. Sarana yang diberikan oleh PT. ASDP Indonesia Ferry Persero ialah berupa penyediaan dermaga, penyelenggaraan tiket terpadu yang nantinya hasil pendapatan dari tiket terpadu tersebut akan bagi hasil dengan perusahaan swasta, penyedia fasilitas pelabuhan guna untuk menunjang pelayanan
292
pelabuhan. Selain itu ada pula peranan lain yaitu sebagai operator kapal atau pemberi pelayanan.
PT. ASDP (Angkutan Sungai Dan Penyeberangan) Indonesia Ferry pada tanggal 5 Agustus 2008, dengan disaksikan oleh Deputi Bidang Usaha Logistik dan Pariwisata Kementerian Negara BUMN dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, melakukan penandatanganan Pakta Integritas yang menandai diberlakukannya perubahan struktural perseroan dimulai dari perubahan nama dan logo dari PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero) menjadi PT Indonesia Ferry (Persero) yang pada saat itu diketuai oleh Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry Bambang Soesatyo, tetapi sejak awal tahun 2011 diganti oleh Bambang Bakti dan dengan alas an tertentu nama perusahaan kembali seperti nama semula yaitu PT. ASDP Indonesia Ferry Persero. Saat ini Direktur Utama dijabat oleh Danang S. Baskoro.
PT. ASDP Indonesia Ferry Persero cabang pelabuhan Merak sejatinya hanyalah memiliki 3 armada kapal yang siap beroperasi setiap harinya di pelabuhan Merak. Nama-nama kapal tersebut di antaranya kapal Jatra 1 dan Jatra 2 yang sama-sama dibuat tahun 1980 dan Jatra 3 yang dibuat tahun 1985. PT. ASDP Indonesia Ferry Persero sebagai penyelenggara penyeberangan baik barang maupun penumpang dari satu pulau ke pulau lain sangatlah berperan penting dalam penyelenggaraan transportasi publik yang layak di negara ini, seperti terlihat pada lokasi penelitian yaitu di pelabuhan Merak dan Bakauheni.
Pada dasarnya pelayanan tiket terpadu yang ada di pelabuhan Merak terbagi menjadi dua bagian pelayanan, yaitu pelayanan tiket terpadu bagi penumpang yang tidak membawa kendaraan atau dalam hal ini penumpang pejalan kaki dan pelayanan tiket terpadu penumpang yang membawa kendaraan atau penumpang di atas kendaraan. Kedua pelayanan tiket tersebut memiliki kesamaan dalam mekanisme pendataannya yaitu pada saat calon penumpang akan membeli tiket maka petugas yang berada di loket tiket terlebih dahulu menanyakan dan mencatat nama, usia dan alamat tempat tinggal calon penumpang, setelah itu petugas memberitahu berapa uang yang harus dikeluarkan. Setelah calon penumpang tersebut membayar maka akan diberi tiket yang berbentuk kartu seperti ATM dan sehelai kertas sebagai bukti syah pembelian tiket. Beda halnya dengan loket tiket untuk kapal besar, loket tiket untuk kapal cepat atau kapal kecil hanya buka atau tersedia pada 293
waktu atau jam tertentu saja, lantaran kapal cepat tersebut tidak setiap waktu beroperasi, biasanya pelayanan di loket tiket untuk kapal cepat tersebut tidak setiap waktu beroperasi.
Setelah membeli tiket para calon penumpang akan melewati sebuah mesin e-ticket, di mana fungsi mesin tersebut sebagai penghalang laju calon penumpang, mekanismenya setelah tiket yang berbentuk seperti kartu tersebut ditempel pada bagian yang terdapat sensor di mesin e-ticket tersebut maka penghalang di depannya akan masuk sehingga penumpang bisa melanjutkan perjalanan. Tetapi karena mesin tersebut rusak semenjak kurang lebih dua setengah tahun yang lalu sehingga sekarang fungsinya hanya sebagai pajangan saja. Dari keberadaan mesin tersebut terlihat bahwa sebenarnya pihak PT. ASDP Indonesia Ferry Persero cabang pelabuhan Merak telah berupaya memodernisasi pelayanan yang ada agar menjadi lebih baik. Setelah melewati mesin e-ticket penumpang pejalan kaki menaiki tangga menuju gangway dimana tidak jauh dari tangga atas disitu terdapat ruang tunggu yang lumayan luas. Tetapi sayangnya di dalam ruang tunggu tersebut kondisinya masih kurang memadai. Pada waktu menaiki kapal-kapal Ferry yang ada, pertama kali masuk ke dalam kapal langsung menuju tempat duduk yang berada di sebelah atas kapal (kelas ekonomi). Tiket yang kita beli memang berlaku untuk kelas ekonomi (kelas 3). Tempat duduknya masih menggunakan tempat duduk plastik/ kayu tanpa adanya alas bantal di atas kursi tersebut dan tempatnya pun sangat panas akibat dari matahari yang bersinar langsung ke ruangan tersebut. Apabila kita mau menuju ruangan VIP, kelas I dan II maka kita harus menambah biaya lagi sebesar Rp. 6.000,- - Rp. 8.000,- per orang dewasa, anak-anak setengah harga. Di dalam ruangan ini sangat nyaman karena ada AC yang membuat udara lebih sejuk dan dan ditambah adanya TV sehingga menjadi lebih nyaman.
Adapun prosedur pelayanan yang ditetapkan PT. ASDP Indonesia Ferry Persero bagi para calon penumpang kapal saat ini adalah setiap calon penumpang berkewajiban membeli eticket yang tersedia di loket-loket penjualan e-ticket sebagai syarat untuk dapat menggunakan jasa penyeberangan kapal Ro-Ro dimana PT. ASDP Indonesia Ferry Persero juga menyediakan loket penjualan e-ticket yang akan melayani para calon penumpang pejalan kaki yang akan naik ke kapal, dan bagi calon penumpang yang menggunakan kendaraan juga tersedia loket khusus yang terletak di dekat area timbangan,loket-loket ini terdiri dari 1 loket untuk sepeda motor, 3 loket untuk kendaraan pribadi dan pick up dan 1 294
loket untuk bus serta 3 loket untuk truk. Total terdapat 8 loket di pintu tol gate yang merupakan jalur khusus untuk penumpang yang menggunakan kendaraan. Jarak dari pelabuhan Merak menuju pelabuhan Bakauheni kira-kira 30 km dan dapat ditempuh oleh kapal Ro-Ro selama kurang lebih 3 jam (180 menit) yang terdiri dari 7,5 menit persiapan sandar, 45 menit bongkar muat, 7,5 menit persiapan berlayar dan 120 menit waktu berlayar. Waktu dapat berubah sewaktu-waktu terkait masalah cuaca buruk ataupun kepadatan di dermaga. Setiap harinya di pelabuhan Merak melayani kegiatan bongkar muat untuk kapal Ro-Ro terdiri dari 80-100 trip per harinya, sedangkan untuk penumpang ratarata per harinya mencapai sekitar 5.000 orang sedangkan kendaraan rata-rata per harinya mencapai kira-kira 6.000 unit.
Umumnya jenis kapal yang berlayar dan sandar di
pelabuhan Merak adalah kapal Ferry (Ro-Ro), karena pelabuhan Merak adalah pelabuhan penyeberangan antar pulau, yakni pulau Jawa dan pulau Sumatera. Banyak kapal Ro-Ro yang digunakan di pelabuhan ini karena kapal Ro-Ro tersebut dapat mengangkut muatan barang berupa mobil, bis, truk maupun muatan umum (general cargo) lainnya dan juga kapal jenis ini dapat mengangkut jumlah penumpang yang cukup banyak dalam satu kali rutenya. Merak – Bakauheni merupakan lintasan penyeberangan strategis bagipergerakan antara Pulau Jawa dan Sumatera, khususnya bagi Provinsi Banten danLampung (Ditjen LLASDP Kementerian Perhubungan, 2012). Saat ini lintasanMerak – Bakauheni merupakan jalur penyeberangan kapal Ro-Ro terpadat di Indonesia.
Kapasitas angkut dapat dilihat pada tabel 1 dan produksi angkutan pada tabel 2. Tabel 1. Kapasitas Angkut Penyeberangan Merak-Bakauheni tahun 2006-2011
295
Tabel 2. Produksi Angkutan Penyeberangan Merak-Bakauheni 1997-2011
PELABUHAN PENYEBERANGAN MERAK – BAKAUHENI
Pelabuhan merupakan tempat yang terdiri atas daratan, danau atau perairan yang dengan batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintah dan kegiatan perusahaan yang dipergunkan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, atau bongkar muat. Pelabuhan secara umum merupakan sarana penunjang kegiatan transportasi, perhubungan antar pulau bahkan internasional yang tentunya dapat menguntungkan pemerintah daerah apabila pengelolaannya dilaksanakan dengan cukup jelas oleh pemerintah daerah guna kesejahteraan masyarakatnya. Pelabuhan diselenggarakan untuk kepentingan pelayanan masyarakat bukan untuk mencari keuntungan semata.
Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan 296
untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya (Pasal 22, UU 17 Tahun 2008).
Kriteria lintas penyeberangan adalah : 1. Menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang terputus oleh laut, selat, teluk, sungai dan/atau danau; 2. Melayani lintas dengan tetap dan teratur, berdasarkan jadual yang ditetapkan; 3. Berfungsi sebagai jembatan bergerak.
Hubungan lalu lintas penyeberangan antara pulau Jawa dan pulau Sumatera yang telah lama dilakukan dengan kapal-kapal yang masih sangat sederhana dan primitif yang pada saat itu dikenal dengan sebutan “kapal tambang”. Pada zaman kolonial Belanda, kapal tesebut masih dikembangkan dengan sangat terbatas, hal ini disebabkan karena politik pemerintah kolonial yang tidak ingin melihat rakyat di pulau-pulau tersebut maju baik dari segi ekonomi maupun sosial budaya. Di zama kolonial hubungan kapal Ferry yang dilakukan pada tahun 1912 yaitu antara pulau Jawa dengan pulau Sumatera (MerakPanjang) dan pada tahun 1913 antara pulau Jawa dengan pulau Madura (Ujung-Kamal). Setelah kemerdekaan Negara kita serta tidak diizinkannya kapal-kapal milik pemerintah Belanda untuk beroperasi, maka pada tahun 1957 di kedua lintasan Ferry tersebut dioperasikan kapal-kapal milik pemerintah Indonesia dan sejak tahun 1959 ditangani oleh DKA (Djawatan Kereta Api) di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Sejak tahun 1970 dibentuk Direktorat Lalu Lintas Angkutan Sungai, Danau dan Ferry yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Darat melalui Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. 234/4/70 tanggal 22 Juni 1970. Pada tahun 1972, Direktorat Pelayaran Sungai, Danau dan Ferry dirubah menjadi Angkutan Sungai Danau dan Ferry. Pada tahun 1973 dibentuk Proyek Angkutan Sungai, Danau dan Ferry (PASDAF) melalui Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.50/R/PHB/73 tanggal 27 Maret 1973. Sebagai pengelola Kapal, Sungai, Danau dan Ferry, Direktorat ASDF tugas pokoknya melaksanakan pembinaan, perencanaan dan pengendalian sarana dan prasarana serta pengembangan lintasan. Sejak 30 Desember 1973 dikeluarkan Surat Keputusan bersama antara Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Nomor: 297
DPP/2/42/2 tentang pengalihan wewenang Pelabuhan Merak Nomor: 13/PHBD/XII/73 dari Direktorat Perhubungan Laut ke Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Pada tahun 1977 diresmikan pelabuhan Serengsem pada tanggal 5 Maret 1977 yang bisa melayani lintasan Merak-Serengsem dengan menggunakan kapal jenis Ro-Ro. Dan pada tahun 1981 diresmikan lintasan Merak-Bakauheni.
Pelabuhan penyeberangan Merak yang terletak di Provinsi Banten adalah pelabuhan umum yang melayani penyeberangan antara ujung barat pulau Jawa dengan ujung selatan pulau Sumatera. Pelabuhan ini merupakan pelabuhan umum yang sangat vital dalam menggerakkan roda ekonomi Indonesia secara umum. Pelabuhan penyeberangan Merak sebagai pintu gerbang jalur lintas penghubung darat antara pulau Jawa dan pulau Sumatera, terletak pada posisi 1 06°00'00" Bujur Timur, dan 05°56'59" Lintang Selatan. Luas kawasan pelabuhan penyeberangan Merak secara keseluruhan, termasuk Pasar Merak adalah 15 hektar, dengan batas-batas fisik kewilayahan: • Sebelah utara dengan perbukitan; • Sebelah timur dengan perbukitan; • Sebelah barat dengan selat Sunda; • Sebelah selatan dengan selat Sunda.
Sebelum pelabuhan Bakauheni yang dibangun di Lampung telah beroperasi pelabuhan Panjang, dan pada masa pembangunan pelabuhan Bakauheni 1970-1980, dioperasikan pelabuhan bayangan khusus ferry yaitu pelabuhan Srengsem, yang lokasinya berdekatan dengan pelabuhan Panjang. Setelah pelabuhan Bakauheni beroperasi pada tahun 1980, makin lancarlah transportasi khususnya penyeberangan antara pulau Jawa dan pulau Sumatera. Pelabuhan penyeberangan Bakauheni adalah pelabuhan umum yang melayani penyeberangan antara ujung selatan pulau Sumatra - ujung barat pulau Jawa dan terletak pada posisi 105°45' 1 0" Bujur Timur dan so 51 ' 59" Lintang Selatan, dengan luas 452.458 m2 dan batas-batas fisik kewilayahan sebagai berikut: o Sebelah utara dengan kecamatan Ketapang; o Sebelah timur dengan selat Sunda; o Sebelah barat dengan kecamatan Kalianda; o Sebelah selatan dengan selat Sunda.
298
Pada gambar 1 dapat dilihat foto peta citra Merak-Bakauheni.
Gambar 1. Foto Peta Citra Jarak Merak Bakauheni
METODOLOGI PENELITIAN
Menggunakan metode penelitian kajian literatur berupa aturan-aturan yang digunakan serta penelitian lapangan dengan membagi 3 wilayah yaitu Indonesia Barat, Tengah dan Timur. Untuk tahap awal di Indonesia Barat diambil 2 sampel yaitu di Merak ujung pulau Jawa dan Sumatera serta di Batam ujung pulau Sumatera dan berbatasan dengan negara tetangga yaitu Singapura sehingga dapat dilakukan perbandingan dengan negara lain. Karena keterbatasan waktu, sampel penelitian pertsms akan diambil di wilayah yang terdekat yaitu Merak.
Hasil yang diharapkan dengan penelitian ini adalah dapat menginventarisasi standar keselamatan dan keamanan transportasi penyeberangan laut di Indonesia dan mengetahui sejauh mana tersedianya alat-alat keselamatan di kapal sehingga dapat diformulasikan rekomendasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan di kemudian hari.
299
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. FASILITAS PELABUHAN
a. Pelabuhan Penyeberangan Merak Pelabuhan penyeberangan Merak mempunyai beberapa fasilitas penunjang dalam mendukung kelancaran arus bongkar muat penumpang dan kendaraan bermotor dari dan ke dalam kapal penyeberangan. Adapun fasilitas penunjang pelabuhan penyeberangan Merak adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Fasilitas Penunjang di pelabuhan Merak
Lay out pelabuhan penyeberangan Merak adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Lay Out Pelabuhan Merak
300
b. Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni
Pelabuhan penyeberangan Bakauheni mempunyai beberapa fasilitas penunjang dalam mendukung kelancaran arus bongkar muat penumpang dan kendaraan bermotor dari dan ke dalam kapal penyeberangan.
Adapun fasilitas penunjang pelabuhan penyeberangan Bakauheni seperti daya tamping parker di dalam area pelabuhan adalah sebagai berikut: Parkir A = 360 Unit/Campuran Parkir 8 = 300 Unit/Bus Parkir C = 260 Unit/Campuran Parkir D = 380 Unit/Campuran Parkir E = 60 Unit/Campuran Parkir F = 160 Unit/Campuran Parkir G,H,I = 1.200 Unit/Campuran Parkir H = 440 Unit/Campuran TOTAL = 3.160 Unit/Campuran
Lay out pelabuhan penyeberangan Bakauheni adalah sebagai berikut:
Gambar 3. Lay Out Pelabuhan Bakauheni
301
2
KAPAL PENYEBERANGAN
2.1. Karakteristik Kapal Penyeberangan
Kapal penyeberangan yang dioperasikan di lintas penyeberangan Merak - Bakauheni sebanyak 33 unit kapal, dengan kapasitas angkut penumpang 16.320 orang dan kapasitas angkut kendaraan 3.581 unit. Dari 33 unit kapal yang dioperasikan, hanya 3 unit kapal milik PT. ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan sebayak 30 unit kapal milik perusahaan pelayaran swasta nasional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Tabel 2 berikut: Tabel 4. Kapal Penyeberangan di Lintas Merak-Bakauheni
302
Tabel 5. Kapal Penyeberangan Merak-Bakauheni yang Beroperasi tahun 2011
303
2.2. Kapal Cepat
Disamping Kapal Ro-Ro dioperasikan juga kapal cepat yang dimiliki oleh 4 (empat) perusahaan sebagaimana tersebut pada tabel berikut:
Tabel 6. Kapal Cepat yang Dioperasikan di Lintas Merak-Bakauheni
Tabel 7. Kapal Cepat yang Beroperasi tahun 2011
3. POLA OPERASI PENYEBERANGAN
Dalam meningkatkan pelayanan angkutan penyeberangan khususnya dalam proses bongkar muat, maka dibuat suatu pola operasi disesuaikan dengan fluktuasi demand. Fluktuasi
demand
akan
mempengaruhi
jumlah
dermaga
dan
jumlah
kapal
penyeberangan yang akan dioperasikan. Jumlah dermaga dan jumlah kapal berpengaruhi terhadap Port Time dan sealing time. Bagian Port Time adalah waktu olah gerak, bongkar, pelayanan/muat, persiapan dan berangkat, sedangkan sealing time adalah waktu kapal penyeberangan berlayar dari dermaga merak ke dermaga Bakauheni.
304
Adapun pola operasi penyeberangan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4. Pola Operasi Penyeberangan 3 dermaga
Tabel 5. Pola Operasi Penyeberangan 4 dermaga
Tabel 6. Pola Operasi Penyeberangan 5 dermaga
KESIMPULAN
a.
Sarana penunjang mesin e-ticket yang telah digunakan. Dengan adanya mesin ini berfungsi untuk menghalang laju penumpang yang tidak memiliki tiket.
b.
Telah dibenahinya fasilitas yang ada di dalam ruang tunggu penumpang, dimana jumlah kursi sudah bertambah, kipas angina yang sudah baik dan TV baru sehingga penumpang dapat menunggu dengan nyaman, dan juga pembenahan toilet di dalam areal pelabuhan sehingga lebih terjamin kebersihannya.
305
c.
Perawatan gangway atau jembatan yang berfungsi untuk menghubungkan pejalan kaki menuju ke kapal. Gangway sejatinya merupakan sarana penting yang ada di pelabuhan Merak yang berfungsi untuk menghubungkan penumpang pejalan kaki agar bisa masuk ke dalam kapal.
d.
Tidak terlihat lagi preman yang terorganisir di dalam areal pelabuhan. Para preman yang membuat sebuah kelompok yang mengatasnamakan diri mereka “petruk” atau singkatan dari pengurus truk sedikit demi sedikit telah dihilangkan dari areal pelabuhan. Sebelumnya para preman ini sangat meresahkan para supir truk karena mereka seringkali meminta pungutan liar kepada para supir truk yang akan menyeberang ke pelabuhan Bakauheni, jika tidak diberi mereka tidak segan untuk mengancam keselamatan para supir truk tersebut.
e.
Terkait waktu penyeberangan rata-rata 2 jam, sudah maksimal selama 3 jam dengan bongkar muat kecuali terjadi faktor alam pada waktu musim hujan sehingga terjadi gelombang pasang dan angin kencang maupun waktu peak season seperti libur anak sekolah dan Hari Raya bisa saja memperlambat waktu penyeberangan.
f.
Hinterland Terminal: terminal penyeberangan Merak dan Bakauheni mempunyai pengaruh terhadap distribusi angkutan penumpang dan kendaraan bermotor dari/ ke putau' Jawa dan Pulau Sumatera. Berdasarkan hasil wawancara asal tujuan penumpang dan kendaraan bermotor, sumbangan terbesar (±70%) berasal dan menuju Provinsi Lampung, Banten dan DKI Jakarta. Di samping ketiga provinsi tersebut diatas, distribusi penumpang dan kendaraan bermotor berasal dari beberapa provinsi yang menggunaka;, penyeberangan Merak-Bakauheni tetapi prosentasenya kecil (± 30%), antara lain: NAD, Sumut, Riau Sumbar. Jambi, Bengkulu, Babel, Sumsel, Jatim, Jateng, dan Jabar.
SARAN
1. Pengelola pelabuhan penyeberangan Merak Bakauheni sebaiknya mengoptimalkan penyediaan sarana, prasarana dan fasilitas penunjang penyelenggaraan angkutan penyeberangan terutama pada waktu puncak (peak time). 2. Pengelola perlu meningkatkan optimalisasi pengoperasian dermaga dan kapal penyeberangan serta fasilitas penunjangnya agar tercipta transportasi penyeberangan
306
yang efisien, apabila memungkinkan jumlah kapal dapat ditambah dan petugas di dalam kapal juga diperbanyak.
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamson, B.J. International Ocean Shipping: Current Concepts and Principles, West View Press, Inc Boulder, Colorado, 1980. Firdaus, Agus Kurniawan, Tingkat Kepuasan Pengguna Jasa dalam Pelayanan PT. ASDP Indonesia Ferry di Pelabuhan Merak Banten, Skrpsi Untirta, 2012. Morlok, K. Edward, Introduction to Transportation Planning; Pengantar Teknik Perencanaan Transportasi. Alih bahasa: K. Hainim, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1985. Menheim, Marvin L., Fundamental of Transportation System, Graw-Hill Inc, 1978. Abrahamson, B.J. International Ocean Shipping: Current Concepts and Principles, West View Press, Inc Boulder, Colorado, 1980. Papacotas, C.S. and Prevedouros, P.D. Transportation Engineering and Planning, 2nd ed, Prentice Hall, New Jersey, 1993. Peraturan Pemerintah No. 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Putri, Santasari Ndiwa, Efektifitas Pelayanan Pelabuhan oleh PT. ASDP (Persero) Merak Propinsi Banten, Skripsi Untirta, 2011. Studi Standardisasi di Bidang Keselamatan & Keamanan Transportasi Laut, P.T. Sumaplan Adicipta Persada, Jakarta, 2010. Suwarto, Drs. Amin, M.Si, Penelitian Penyeberangan pada Lintas Merak-Bakauheni sampai dengan tahun 2050, Penelitian RISTEK 2010. Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, 2008. Biro Hukum dan KSLN DepHub, Jakarta.
307
PEMANFATAAN TENAGA SURYA SEBAGAI ALTERNATIF ENERGI TERBARUKAN UNTUK FASILITAS SUPLAI DAYA PENERANGAN DI KAPAL Muswar Muslim, Danny Faturachman Fakultas Teknologi Kelautan, Universitas Darma Persada ABSTRAK An electric motor become much more practical and economical having a multiplicity findings on the technology of solar panels, battery and charger better. An electric motor cost-effective care and in working. The installation of an electric motor more simple and does not need the cooler. All the needs of electrical power in supply from batteries being replenished by solar panels. Solar power become one of alternative energy to overcome the presence of the energy crisis especially a reduction in the availability of petroleum and the more expensive world oil prices. Major problems focused on design of electric system as power plant resources in the ship. The main issues discussed on is as follows: 1. Did design system supply resources and also calculation to determine battery and solar panels to be used. 2. Determine the laying on systems equipment. In this research, taking and analyzing data obtained from the results of the field by using the existing theory and make use of data from the internet and literature data. In duty end of this analysis conducted by the use of solar power as the supply of equipment lighting on a ship ferry Ro-Ro 500 GRT. Based on calculations data ship obtained a number of 35 solar panels that is attached to supply 10 batteries power by producing 42000 VA. Power is used to meet the needs of illumination burden 33600 VA to the discharging time 12 hours (from 18.00 – 6.00). So that the installation of solar systems can save energy by 52.5 % of the generator burden. Kata kunci: Tenaga surya, Suplai daya penerangan, Ferry, Indonesia. PENDAHULUAN Kebutuhan akan energi semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia. Hal ini menyebabkan adanya indikasi terjadi krisis energi di dunia dan salah satu penyebab dari krisis energi tersebut adalah masih besarnya tingkat ketergantungan pada sumber energi fosil terutama minyak bumi. Seperti yang kita ketahui bahwa cadangan minyak bumi yang tersedia di bumi ini terbatas, oleh karena itu perlu dilakukan upaya diversifikasi energi agar tercipta keseimbangan energi yang baik. Diversifikasi energi dapat dilakukan dengan mulai memberikan peluang kepada jenis-jenis energi alternatif yang selama ini sudah dikembangkan maupun jenis energi yang baru. Ada berbagai energi alternatif yang bisa dikembangkan antara lain batubara, gas bumi, geothermal, biomassa, air, angin, gelombang, nuklir hingga matahari. Dari beberapa energi alternatif tersebut, diklasifikasikan ke dalam dua kelompok yaitu energi tak terbarukan dan energi terbarukan. Energi tak terbarukan diantaranya terdiri dari minyak bumi, batubara, nuklir dan gas. Sedangkan yang termasuk jenis energi terbarukan antara lain geothermal, biomassa, air, angin, matahari, gelombang dan lain-lain yang masih terbuka pengembangannya. Energi terbarukan mempunyai potensi lebih unggul dibandingkan energi fosil. Ada beberapa alasan yang mendasari, antara lain karena persediaannya yang tak terbatas, dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Energi matahari, air, angin, biomassa, laut dan sumber energi alternatif lainnya tersedia secara melimpah di alam, sedangkan pemanfaatannya masih sedikit. Mengingat ketersediaan cahaya matahari sepanjang tahun, maka sangatlah tepat jika energi matahari ini dimanfaatkan sebagai penyedia energi listrik. Dengan letak Indonesia berada pada daerah khatulistiwa, yaitu pada lintang 60 LU – 110 LS dan 950 BT – 1410 BT, dan dengan memperhatikan peredaran matahari dalam setahun yang berada pada daerah 23,50 LU dan 23,50 LS maka wilayah Indonesia akan selalu disinari matahari selama 10 – 12 jam dalam sehari. Karena letak Indonesia berada pada daerah khatulistiwa maka Indonesia memiliki tingkat radiasi matahari yang sangat tinggi. Menurut pengukuran dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika diperkirakan besar
308
radiasi yang jatuh pada permukaan bumi Indonesia (khususnya Indonesia Bagian Barat) rata-rata kurang lebih sebesar 4,5 kWh/m2 dengan variasi bulanan sekitar 10%. Untuk membangun suatu sistem energi surya (photovoltaik) yang dapat beroperasi dengan baik maka diperlukan beberapa komponen-komponen penyusun utama antara lain : a. Panel surya b. Charge controller c. Inverter d. Battery Photovoltaik adalah teknologi yang berfungsi untuk mengubah atau mengkonversi radiasi matahari menjadi energi listrik secara langsung. Kata Photovoltaik berasal dari bahasa Yunani photos yang berarti cahaya dan volta berarti tegangan listrik. Photovoltaik biasanya dikemas dalam sebuah unit yang disebut modul. Dalam modul surya terdiri dari banyak sel surya yang bisa disusun seri maupun paralel. Sedangkan yang dimaksud dengan surya adalah sebuah elemen semikonduktor yang dapat mengkonversi enegi surya menjadi energi listrik atas dasar efek photovoltaik.
Gambar 1. Modul Sel Surya Sistem tenaga surya photofoltaik yang umum dipakai untuk penerangan adalah sistem individu atau yang lebih sering dikenal dengan nama Solar Home System (SHS). Sistem ini mempunyai tegangan 12 Vdc, yang terdiri dari satu buah modul photovoltaik, baterai, alat pengontrol dan 3 buah lampu serta sebuah stop kontak (Abu Bakar,2006).
309
Gambar 2. Diagram Blok Sistem Modul Panel Surya Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa energi sinar matahari yang dikonversi menjadi energi listrik oleh modul atau panel surya dan akan disalurkan ke chager control untuk mengatur pengisian energi listrik pada baterai. Selanjutnya energi listrik yang dihasilkan baterai akan dikonversi oleh inverter dari arus searah (DC) menjadi arus bolak-balik (AC) sehingga dapat dimanfaatkan pada beban.
Charge controller di dalam sistem PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) dapat dikatakan sebagai “otak” karena fungsinya sebagai pengatur arus listrik baik terhadap arus yang masuk maupun arus yang keluar/ digunakan.
Gambar 3. Charge Controller Inverter pada prinsipnya, photovoltaik menghasilkan arus DC (searah). Bila arus yang dibutuhkan adalah arus AC (bolak-balik), maka dapat dipenuhi dengan memasang alat pengubah, peralatan elektronik yang bekerja sangat efisien yang disebut inverter. Spesifikasi inverter tidaklah sama yakni tergantung dari seberapa besar konsumsi daya peralatan listrik secara keseluruhan. Semakin besar kebutuhan dayanya, maka kapasitas daya inverter juga makin besar.
Gambar 4. Inverter Baterai adalah perangkat yang mengkonversi energi kimia secara langsung ke energi listrik. Sebuah baterai terdiri dari satu atau lebih sel voltaic dan setiap sel voltaic terdiri dari dua setengah sel terhubung dalam seri oleh konduktif elektrolit yang mengandung anion (ion negatif) dan cation (ion positif). Dalam reaksi reduksi oksidasi power baterai, reaksi reduksi (penambahan elektron) ke cation terjadi di katoda,sedangkan reaksi oksidasi (penghapusan elektron) ke anion terjadi di anoda. Elektroda-elektroda tidak saling berhubungan namun elektrik terhubung oleh elektrolit, yang dapat berupa padat atau cair.
310
Gambar 5. Baterai
METODOLOGI PENELITIAN Menggunakan metode penelitian kajian literatur berupa tinjauan pustaka tentang tenaga surya.sebagai alternative energy terbarukan. Hasil yang diharapkan dengan penelitian ini adalah dapat diketahui pemanfataan tenaga surya dan penelitian lanjutan dapat membuat suatu protipe panel sel surya untuk fasilitas suplai daya penerangan di kapal. PERMASALAHAN Dalam pemanfaatan energi surya digunakan fotovoltaik yang mengkonversikan secara langsung energi surya menjadi energi listrik. Pemakaian fotovoltaik sebagai sumber pembangkit energi listrik bisa dikatakan tidak menghasilkan polusi, baik polusi udara maupun polusi suara terhadap lingkungan sekitarnya. Berdasarkan pertimbangan ini, nampaknya konversi fotovoltaik dari sinar matahari menjadi energi listrik akan menjadi sumber energi utama dimasa mendatang. Selain itu juga, harga sumber energi konvensional akan terus semakin tinggi dan persediaannya juga sangat terbatas, sedangkan harga fotovoltaik berangsur-angsur akan turun karena bahan bakunya melimpah di bumi ini. Energi listrik yang dihasilkan dari fotovoltaik dapat digunakan untuk berbagai macam penggunaan. Dan untuk menjamin penyediaan energi yang kontinu maka digunakan baterai sebagai penyimpan energi. Motor listrik menjadi semakin praktis dan ekonomis setelah banyaknya penemuan pada teknologi solar panel, battery dan charger yang lebih baik. Motor listrik hemat biaya perawatan dan dalam bekerja. Untuk solar panel perawatannya lebih mudah cukup dibersihkan seminggu sekali. Instalasi motor listrik lebih sederhana dan juga tidak memerlukan pendingin. Semua kebutuhan daya listrik di supply dari baterai yang diisi ulang oleh solar panel. Dengan sistem ini diharapkan akan mengurangi bahan bakar fosil. Namun sekarang yang menjadi permasalahan adalah tempat yang terbatas pada kapal, sedangkan untuk menerapkan sistem ini diperlukan tempat yang cukup luas. Dalam paper ini akan dikaji mengenai efektifitas sel surya. Dimana hasil yang diharapkan adalah didapatkannya referensi mengenai kemampuan sel surya dalam menghasilkan energi listrik yang hasil akhirnya akan dietahuinya efisiensi sel surya sebagai alternative energy terbarukan untuk suplai daya penerangan di kapal. HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut merupakan data-data utama dari kapal penyeberangan 500 GT
311
Dimensi ukuran utama kapal Ferry Ro-Ro 500 GRT adalah :
Panjang keseluruhan kapal
LOA
=
45,05
m
Panjang antara garis tegak kapal
LPP
=
40,15
m
Panjang antara garis air
LWL
=
42,00
m
Lebar kapal
B
=
12,00
m
Tinggi kapal
H
=
3,20
m
Sarat air kapal
T
=
2,15
m
Kecepatan
Vs
=
11
knot
Tenaga penggerak utama (Main Engine)
=
2 × 800
HP
Tenaga mesin bantu (Auxiliary Engine)
=
2 × 80
kVA
Genset emergency
=
25
kVA
Kebutuhan daya penerangan dikapal terbagi dalam beberapa panel/box yang tersebar pada beberapa tempat. Adapun pembagian kebutuhan daya penerangan dikapal antara lain :
Geladak alas Ruang mesin kemudi Ruang void (4 ruang) Lampu darurat (signal) Geladak kendaraan Ruang generator darurat Tangga ke kamar mesin R. ABK (6 ruang) Tangga ruang void Tangga ruang mesin WC (4 buah) Ruang muat kendaraan Sekoci Gudang Lampu darurat (signal) Geladak penumpang Lampu sisi luar penumpang VIP Ruang penumpang VIP Ruang hias (2 ruang) WC/kamar mandi (10 ruang) Ruang penumpang ekonomi Lampu sisi luar P. ekonomi Cafetaria Ruang tatami Musholla Urinoir Tempat wudhu Lampu darurat (signal) Geladak Navigasi Rumah kemudi Ruang KKM
Jumlah (unit) 2 1 5
Tabel.1 Kebutuhan daya Beban Pemakaian (watt) (jam/hari) 20 12 20 12 5 12
1 2 1 2 2 1 16 2 1 16
20 10 20 20 20 10 20 40 20 5
2
40
8 1 1 22 2 1 2 2 1 1 10 5 1
Daya (Kwh/hari) 0,48 0,96 0,3
Keterangan (jam pakai) Kondisional kondisional Kondisional
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
0,24 0,24 1,44 0,48 0,48 0,48 3,84 0,96 0,24 0,96
12
0,96
20 10 10 20 40 20 20 20 20 20 5
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
1,92 0,12 1,2 5,28 0,96 0,24 0,48 0,48 0,24 0,24 0,6
18.00-06.00 kondisional Kondisional 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 Kondisional
20 20
12 12
1,2 0,24
18.00-06.00 18.00-06.00
312
18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 Kondisional Kondisional Kondisional 18.00-06.00 18.00-06.00 Kondisional Kondisional 18.00-06.00
Ruang Nahkoda Mess Dapur WC/kamar mandi Gang way Tangga ke geladak penumpang Lampu kiri luar depan Lampu kanan luar depan Lampu cerobong Lampu tiang radar (Masthead) Lampu samping kiri (red) Lampu samping kanan Lampu buritan ( Stern light) Lampu jangkar (Anchor light) Lampu darurat (signal) Total
1 2 2 1 3 1 2 2 2 1 1 1 1 1 7 139
20 20 20 20 20 20 20 20 40 60 60 60 60 60 5 1020
12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
0,24 0,48 0,48 0,24 0,72 0,24 0,48 0,48 0,96 0,72 0,72 0,72 0,72 0,72 0,42 33,60
18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 Kondisional 18.00-06.00 Kondisional 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 18.00-06.00 kondisional
Modul yang dipilih adalah FV Energy, FVG 240P - MC dengan spesifikasi : Power peak Efisiensi
: 240 W : 14,6 %
Tegangan modul
: 30,50 V
Arus modul
: 7,88 A
Tegangan open circuit
: 37,60 V
Arus short circuit
: 8,28 A
Dari pemilihan panel surya tersebut, dapat dihitung berapa buah panel surya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan daya untuk beban penerangan. Untuk kondisi di indonesia, meskipun durasi penyinaran matahari selama 8 jam/hari (08.00-16.00), tetapi efektifitas sinar foton yang didapatkan panel surya selama sehari adalah 5 jam . Dengan demikian banyaknya panel untuk memenuhi kebutuhan daya sebesar 33600 Wh sebanyak : (33600 Wh)/(240 W × 5 jam) = 28 panel surya Dalam hal ini akan dipasang sebanyak 35 panel surya, dimana penambahan jumlah panel surya sebanyak 7 (tujuh) unit sebagai cadangan daya apabila intensitas matahari kurang dari 1000 W/m2. Dengan pertimbangan luas geladak anjungan masih mampu menampung jumlah panel surya, selain itu pula daya yang dihasilkan akan lebih besar atau dengan kata lain penambahan jumlah panel surya secara langsung juga menambah besarnya daya yang dihasilkan. Besarnya daya yang dihasilkan oleh seluruh panel surya dalam 1 jam adalah : 35 × 240 Watt = 8400 Watt hour Besarnya daya yang dihasilkan oleh seluruh panel surya tersebut dalam 5 jam adalah : 8400 W × 5 jam = 42000 Watt hour = 42 kWh Dari perhitungan kebutuhan jumlah panel surya tercantum pada tabel 1, maka panel surya yang dipilih adalah FVG energi, model FVG 240P-MC dengan pertimbangan untuk mengatasi kebutuhan beban daya penerangan. Panel surya ini memiliki daya terbesar sehingga cukup untuk luasan di geladak anjungan 20 m × 8 m = 160 m2 dan terpasang dengan sudut kemiringan 15o.
313
Dari spesifikasi charge controller atau regulator yang ada, maksimum arus yang dapat dikeluarkan charge controller adalah sebesar 60,0 A. Sedangkan arus yang dihasilkan oleh sebuah panel surya dengan tegangan 30,50 Volt adalah 7,88 Amper, sehingga 1 (satu) charge controller hanya mampu digunakan untuk 7 (tujuh) unit panel surya. Sehingga dapat ditentukan jumlah charge controller sebanyak : Jumlah charge (n) = (Arus output charge)/(Arus output panel surya) = (60 A)/(7,88 A) = 7 unit panel surya Jumlah charge (n) = (jumlah seluruh panel surya)/7 Maka, jumlah charge (n) = 35/7 = 5 unit Arus output untuk 1 charge controller : I = 7,88 A × 7 panel surya = 55,16 A
( arus maksimal yang dikeluarkan charge controller 60,0 A )
Arus output 6 charge controller : Ioutput = I × (n)charge = 60 A × 5 = 300 A Kapasitas arus charge controller untuk pemakaian penerangan selama 12 jam adalah : Kapasitas charger = Arus output charege × Jumlah charger × lama pemakaian = 60 A × 5 × 12 jam =
3600 Ah
Daya yang dihasilkan untuk 5 charger : Ioutput = 300 A Voutput = 12 V Daya = Ioutput × Voutput = 300 A × 12 V = 3600 Watt = 3,6 kW
Untuk menjamin sistem supaya dapat beroperasi dengan baik dan sesuai dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan beban perlu direncanakan perancangan sistem baterai. Diketahui beban keseluruhan dari panel surya sebesar 42 kWh Direncanakan baterai menggunakan Rolls Marine Batteries, tipe Series 5000 dengan kapasitas 357 Ah (sesuai spek). Daya yang dihasilkan baterai : Daya baterai = Kapasitas baterai × Tegangan baterai = 357 Ah × 12 V = 4284 Wh = 4,284 kWh Maka jumlah baterai untuk mencukupi kebutuhan beban keseluruhan sebesar 42 kWh : Jumlah baterai (n) = (beban keseluruhan)/(daya baterai)
314
Jumlah baterai (n) = (42 kWh)/(4,284 kWh) = 9,80 ? 10 unit Kapasitas baterai untuk 8 unit : Qtotal baterai
= 357 Ah × 10 unit = 3570 Ah
Daya keseluruhan baterai : Daya baterai
= 3570 Ah × 12 V = 42840 Wh = 42,84 kWh
Setelah menentukan banyaknya baterai yang diperlukan, langkah berikutnya adalah menghitung lamanya penggunaan baterai. Dimana diketahui : Kapasitas baterai = 357 Ah Tegangan baterai = 12 Volt Lama pemakaian = 12 jam Maka : Daya per jam
= (daya baterai)/(lama pemakaian)
= (357 Ah × 12 V)/(12 jam) = 357 Wh Lama pemakain baterai = (daya baterai)/(daya per jam) =
(357 Ah × 12 V)/(357 Wh)
= 12 jam Lama pengisian baterai
= (daya baterai × jumlah baterai)/(daya keseluruhan panel surya) = (357 Ah × 12 V × 10 baterai)/(42000 W) = 1,02 jam
Direncanakan menggunakan inverter xantrex, tipe sine wave, maka banyaknya inverter yang dibutuhkan adalah : Jumlah inverter = (daya keseluruhan panel surya)/(daya output inverter) = (42000 W)/(4000 W) = 10,5 ? 11 unit Di rencanakan penempatan panel surya di geladak anjungan dan komponen sistem panel surya di ruang void atau ruang kosong dibawah geladak kendaraan dengan luasan 12,4 m × 12 m = 148,8 m2. Adapun banyaknya masing - masing komponen dan ukurannya : Charger controller Jumlah : 5 unit Dimensi : 37 cm × 15 cm × 15 cm Berat
: 0,45 Kg/unit
Baterai ( 12 Volt 357 Ah ) Jumlah : 10 unit Dimensi : 55,9 cm × 28.6 cm × 46.6 cm Berat
: 123,4 Kg/unit
315
Inverter Jumlah : 11 unit Dimensi : 53,4 cm × 38,1 cm × 22,86 cm Berat
: 16 Kg/unit
Maka total berat keseluruhan sistem tenaga matahari dari panel surya dan kelengkapan komponen lainnya di kapal sebesar 2054,75 Kg.
KESIMPULAN Jumlah panel surya yang bisa dipasang pada geladak anjungan dengan luasan 160 m2 sebanyak 35 panel surya dengan mempertimbangkan aturan yang berlaku pada kapal Ferry Ro-Ro. Dari total kebutuhan generator 80 kVA, sekitar 35,868 kVA dapat disuplai oleh 35 panel surya selama pemakaian beban penerangan 12 jam dan penghematan energi sebesar: = (80000 - 38000)/80000 × 100 % = 52,5 % Jumlah peralatan lainnya adalah: 5 unit charger controller, 10 unit baterai, dan 11 unit inverter.
DAFTAR PUSTAKA Lunde, J. Peter, “Solar Thermal Space Heating and Hot Water System”, John Wiley and Sons, 1994. Allocca, A. John, :Emergency Power”, 2003. Rahman. A, “Ketrampilan Elektronika”, Gajahmada University, 1995. Biro Klasifikasi Indonesia, 2009. Fauzi, Farit, “Pemanfaatan Sel Surya Sebagai Catu Daya Peralatan Penerangan Kapal Di Kapal Tanker”, 2010. Haesin, A. Nia, “Listrik Dinamis I”, Materi Pelajaran Fisika, 2003. Matsushita Battery Indrustrial Co.,Ltd, “Solar Cells Technical Handbook”, 1998/1999.
316