2012 UNIVERSITAS DARMA PERSADA

1

2

PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN SEMESTER GENAP 2011/2012 UNIVERSITAS DARMA PERSADA

Jakarta, 19 September 2012

Editor Prof.Dr. Kamaruddin Abdullah, IPU. Dr. Aep Saepul Uyun, M.Eng. Dra. Irna N. Djajadiningrat, M.Hum.

Alamat Redaksi : Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Universitas Darma Persada Jl. Radin Inten II (Terusan Casablanca) Pondok Kelapa Jakarta Timur (14350) Telp. (021) 8649051, 8649053, 8649057 Fax.(021) 8649052 E-Mail : [email protected] Home page : http//www.unsada.ac.id

3

4

KATA PENGANTAR Seminar dengan tema “Meningkatkan Mutu Pendidikan Tinggi melalui Penelitian” dilaksanakan pada tanggal 18 September 2012 di Universitas Darma Persada, bertujuan untuk menghimpun hasil penelitian dosen yang diharapkan dapat menghasilkan inovasi teknologi tepat guna, menyampaikan hasil penelitian kepada khalayak dan antara peneliti/dosen. Prosiding ini disusun untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil seminar pada semester genap tahun akademik 2011/2012. Pada prosiding kali ini dimuat dua puluh enam makalah dengan rincian sebagai berikut : dua belas makalah dari bidang Humaniora, tiga belas makalah dari bidang Teknik dan satu makalah dari bidang Ekonomi-Manajemen. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada para penyaji dan penulis makalah, penyunting serta panitia yang telah bekerja sama sehingga prosiding ini dapat diterbitkan. Kami berharap prosiding ini bermanfaat bagi pihak–pihak yang berkepentingan.

Jakarta, 19 September 2012 Lembaga Penelitian Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Ketua Ttd. Dra. Irna N. Djajadiningrat, M.Hum.

5

6

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

ii

TERORISME SEBAGAI LEGITIMASI MAKLUMAT PERANG OLEH AMERIKA : KASUS AFGANISTAN Rusydi M. Yusuf

1

THE RELATION BETWEEN THE PRAGMATICS ABILITIES AND MIND-READING ABILITIES Irna N. Djajadiningrat

9

UPAYA MENGGUGAH KESADARAN PEREMPUAN AKAN EKSISTENSI DIRINYA Albertine Minderop

16

PENGARUH ACHIEVEMENT GOALS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS DARMA PERSADA Swany Chiakrawati

28

PENCARIAN JATIDIRI IMIGRAN JEPANG AMERIKA PADA TAHUN 1990-AN DALAM NOVEL POLITE LIES KARYA : KYOTO MORI Karina Adinda, Eka Yuniar

36

PSYCHOLINGUISTIC ANALYSIS FOR COLLOCATIONAL ERRORS Fridolini

43

PERUBAHAN PRANATA KELUARGA DAN KRISIS JATI DIRI MASYARAKAT INDIAN PASCA PERANG DUNIA II DALAM NOVEL CEREMONY KARYA LESLIE MARMON SILKO Agustinus Haryana

48

PENYADURAN BUKU AJAR TEORI TERJEMAHAN : “TERJEMAHAN DAN KEBUDAYAAN KARYA BENNY HOEDORO HOED” Tommy Andrian

69

PENGAJARAN UNGKAPAN BERMAKNA AMBIGU DALAM BAHASA JEPANG, DITINJAU DARI SEGI LINGUISTIK PRAGMATIK Rini Widiarti

81

CINA DAN KONFLIK LAUT CINA SELATAN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN REPUBLIK INDONESIA C. Dewi Hartati

91

ANALISIS METODE PENERJEMAHAN KARYA WANG JIANZHONG Febi Nur Biduri

95

7

ONOMATOPE DI DALAM CERITA ANAK-ANAK BAHASA MANDARIN Yulie Neila Chandra

102

PENGUKURAN ENERGI PENGGUNAAN SEPEDA TANDEM Ade Supriatna

110

PENERAPAN VIABLE SYSTEM MODEL PADA INDUSTRI MANUFAKTUR : STUDI KASUS PT. X. Herman Noer Rahman

115

ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAKARTA TIMUR Firsan Nova

125

EVALUASI & PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MENUJU DESA MANDIRI E3I) DUSUN TANGSI JAYA, DESA/KECAMATAN GUNUNG HALU, KABUPATEN BANDUNG BARAT Slamet Rahedi Soegeng

137

PERUBAHAN PERAN ANGKUTAN SEBAGAI SARANA TRANSPORTASI MASYARAKAT DI SUNGAI MAHAKAM SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR Endro Prabowo

156

ANALISIS KECELAKAAN LAUT DI INDONESIA Danny Faturachman

166

8

SUSUNAN ACARA SEMINAR SEMESTER GENAP T.A. 2011/2012 RABU, 19 SEPTEMBER 2012 WAKTU 08.30 – 09.00 09.00 - 09.05 09.05 - 09.15 09.15 – 09.30 09.30 - 09.45 Sesi I 09.45 – 10.15

10.15 – 10.50 Sesi II 10.50 -11.20

11.20 - 11.55 11.55 – 13.00 Sesi III 13.00 – 13.40

PROGRAM

PIC

Registrasi Pembukaan Sambutan Rektor Pidato Kunci Rehat

OC

Penyaduran Buku Ajar Teori Terjemahan : “Terjemahan dan Santi Kebudayaan karya Benny Hoedoro Hoed” Mardikarrno Tommy Andrian Analisis Metode Penerjemahan Karya Sastra Karya Wang Jianzhong Febi Nur Biduri Perubahan Pranata Keluarga dan Krisis Jati Diri Masyarakat Indian Pasca Perang Dunia II dalam Novel Ceremony Karya Leslie Marmon Silko Agustinus Hariyana Diskusi

P.

The Relation between the Pragmatics Abilities and Mind- Santi Reading Abilities Mardikarrno Irna N. Djajadiningrat “Onomatope Dalam Cerita Anak-anak Bahasa Mandarin” Yulie Neila Chandra Psycholinguistic Analysis for Collocational Errors Fridolini Diskusi ISOMA

P.

Upaya menggugah kesadaran Perempua akan Eksistensi Irna Dirinya Djajadiningrat Albertine S. Minderop Terorisme sebagai Legitimiasi Maklumat Perang oleh Amerika : Kasus Afganistan Rusydi M. Yusuf Pencarian Jatidiri Imigrasi Jepang Amerika Pada Tahun 1990-an Dalam Novel Police Lies Karya : Kyoto Mori Karina Adinda Cina dan Konflik Laut Cina Selatan serta Hubungannya dengan Republik Indonesia C. Dewi Hartati

N.

9

13.40 – 14.20 Sesi IV 14.20 – 14.40

14.40 – 15.00 15.00 – 15.10 15.10

Diskusi Pengaruh Achievement Goals terhadap Prestasi Belajar Albertine Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Darma Persada Minderop Swanny Chiakrawati Analisis Tindak Tutur Bahasa Jepang Melalui Pendekatan Pragmatik Rini Widiarti Diskusi Penutup Kopi Sore

10

S.

SUSUNAN ACARA SEMINAR SEMESTER GENAP T.A. 2011/2012 RABU, 19 SEPTEMBER 2012 WAKTU 08.30 – 09.00 09.00 - 09.05 09.05 - 09.15 09.15 – 09.30 09.30 - 09.45 Sesi I 09.45 – 10.15

09.15 – 10.50 Sesi II 10.50 -11.30

11.30 - 11.55 11.55 – 13.00 Sesi III 13.00 – 13.30

PROGRAM

PIC

Registrasi Pembukaan Sambutan Rektor Pidato Kunci Rehat

OC

Rancangan Pemakaian Energi Listrik yang Efisien dengan Endro Prabowo Studi Kasus Unsada Eri Suherman Otomatisasi Efisiensi Penggunaan Energi Listrik Berbasis Mikrokontroler Timor Setiyaningsih Rancang Bangun Antena Mikrostrip Polarisasi Sirkular Untuk Sistem Satelit Mikro LAPAN TUBSAT M. Darsono Penerapan Viable System Model pada Industri Manufaktur : Studi Kasus PT X Herman Noer Rahman Diskusi Pengukuran Energi Penggunaan Sepeda Tandem Aep Saepul Uyun Ade Supriatna Pengembangan Sistem Otomatisasi Identifi-kasi dan Keuangan Mahasiswa Universitas Darma Persada Berbasis Smart Card Linda Nur Afifah Development of Novel Solar Air Conditioning System for Asean Countries Kamaruddin Abdullah Unjuk Kerja Pengering Gabah ICDC Yendi Esye Diskusi ISOMA Analisis pengaruh Kuliah Internal terhadap Kinerja Kamaruddin Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta Timur Abdullah Firsan Nova Dampak Penerapan Teknologi Berbasis Sumber Energi Terbarukan Setempat dalam Rangka Pembangunan Sektor Perikanan dengan Menggunakan Analisis Input Output Aep Saepul Uyun

11

13.30 – 14.00 Sesi IV 14.00 – 14.30

14.30 – 15.00 15.00 – 15.10 15.10

Evaluasi & Perencanaan Pembangunan (Menuju Desa Mandiri E3i) Dusun Desa/Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat Slamet Rahedi Soegeng Diskusi

Tangsi

Jaya,

Perubahan Peran Angkutan Sungai Sebagai Sarana Kamaruddin Transportasi Masyarakat di Sungai Mahakam Samarinda, Abdullah Kalimantan Timur Endro Prabowo Analisis Kecelakaan Laut di Indonesia tahun 2005 - 2010 Danny Faturachman Kualitas Pelayanan dan Produktifitas Terminal Petikemas di Jakarta Arif Fadillah Diskusi Penutup Kopi Sore

12

TERORISME SEBAGAI LEGITIMASI MAKLUMAT PERANG OLEH AMERIKA : KASUS AFGANISTAN Rusydi M. Yusuf Fakultas Sastra/Jurusan Sastra Inggris [email protected][email protected] ABSTRACT More than 10 years have passed since the terrorists al Qaida brutally attacked the US and spurred the country into the new era in its history. This tragedy killed thousand people. Since then, Bush declared war against terrorism, Bush accused al Qaidah who responsible behind the tragedy. 9/11 incident brought major changes in the world. Fight against terrorism became a sensitive and relevant discussion. United States foreign policy or well known as “Bush Doctrine” became the main agenda not only in America but also throughout the world. America and and Bush invite many countries jointly fight the terrorism. Who doesn’t agree, get ready to get an attack from US. There are only two choices, being with US or with terrorism. If there are any nation who support terrorism, US will considers that country as an enemy. US try to eradicate terrorism spread all around the world by war. 1. LATAR BELAKANG Sebelas tahun lalu tepatnya 11 September 2001, serangan besar terorisme yang mengincar beberapa bangunan ternama di Amerika di antaranya World Trade Center Twin Tower beberapa bangunan di kompleks Trade Center, dan juga The Pentagon Headquarter Center yang keduanya terletak di New York, Amerika Serikat. Kehancuran beberapa gedung tersebut diakibatkan oleh 4 pesawat komersil yang dibajak dan dipersalah gunakan untuk menghancurkan gedung-gedung tersebut. Entah kekejaman apa yang memicu terorisme yang merenggut nyawa ribuan orang tersebut, sungguh naas dan tidak bisa dipercaya. Seluruh bangsa Amerika tertegun dan terpukul atas kejadian 9/11 yang banyak meneteskan air mata dan ribuan korban jiwa yang hilang direnggut oleh bencana terburuk di dunia. Banyak orang di Amerika maupun dunia internasional mengingat kembali dan merenung atas tragedi 9/11. Seakan tanggal 11 September 2001 merupakan mimpi buruk dan musibah yang tak terelakkan lagi. Beberapa jam setelah kejadian tersebut Presiden Amerika waktu itu George W. Bush langsung menegaskan bahwa kejadian tersebut merupakan tanggung jawab dari Usamah Bin Ladin dan kelompok terorisme lainnya yang sudah merencanakannya dengan matang. Usamah sendiri telah meninggal pada tanggal 2 Mei 2011 lalu. Dan semoga dengan tiadanya Usamah, konspirasi dan perang terorisme dapat terhapus dan binasa dari muka bumi. Peristiwa tersebut telah memicu Amerika untuk segera menabuh genderang perang melawan terorisme dimanapun mereka berada dan berjanji akan menghukum para terorisme tersebut. Hingga saat ini pun 11 tahun setelah peristiwa tersebut Amerika masih berupaya memburu yang namanya terorisme, dan bahkan setiap kejadian yang berbentuk

1

kekerasan dianggap sebagai suatu bentuk terorisme, dan hal ini dapat dijadikan alasan untuk memerangi suatu Negara lain yang mendukung gerakan ini. 2. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi bahwa setiap peristiwa kekerasan yang mengacam keselamatan suatu Negara terutama Amerika akan dinyatakan sebagai suatu tindakan terorisme yang pelakunya dapat diperangi. Dalam hal ini saya mengidentifikasi adanya masalah bahwa suatu tindakan kekerasan yang mengancam Amerika akan dinyatakan sebagai suatu tindakan terorisme oleh karenanya dimaklumatkan untuk diperangi sebagaimana halnya yang terjadi di Afganistan pasca peristiwa 9/11. 3. PERUMUSAN MASALAH Dari masalah yang dijabarkan di atas dapat dirumuskan bahwa terorisme merupakan ancaman terhadap suatu Negara dan oleh sebab itu harus diperangi, dan dalam hampir setiap peperangan yang mengatasnamakan terorisme selalu melibatkan Amerika, hal ini dapat dibuktikan dengan keterlibatan Amerika dalam peperangan melawan pemerintahan Taliban di Afganisan yang dianggap sebagai jaringan terorisme Internasional. 4. PEMBATASAN MASALAH Dari rumusan masalah di atas, maka saya membatasi masalah penelitian ini pada masalah terorisme yang melibatkan Amerika pada kasus Taliban di Afganistan. 5. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan asumsi saya bahwa suatu tindakan kekerasan yang dianggap sebagai suatu tindakan teror akan dinyatakan sebagai terorisme, dan mereka dapat diperangi sebagaimana yang dilakukah oleh Amerika terhadap pemerintahan Taliban di Afganistan yang melindungi Usamah bin Ladin sebagai pelaku tindakan terror terhadap Negara lain yang Amerika serikat. 6. LANDASAN TEORI Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka ada dua teori yang akan digunakan: pertama adalah teori yang dilansir oleh Samuel Huntington yaitu teori “Benturan Peradaban” atau the clash of civilizations yang berujung pada tindakan teror atau terorisme. Kedua adalah teori “perang”. Istilah civilization yang kumandangkan oleh Huntington menurut Azyumardi Azra, mengalami perbenturan, mengandung aspek dan dimensi yang sangat luas yaitu berupa aspek kebudayaan, sosial, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sains, teknologi, kemiliteran, dan lain lainnya. Yang sering mengalami perbenturan adalah aspek aspek politik dan militer.

2

Benturan dalam bidang politik dan militer ini biasanya bersumber dari persaingan yang menciptakan konflik, dan benturan tersebut berujung pada ekspansi ekonomi, politik, dan militer. Dengan adanya benturan peradaban tadi dimana suatu kelompok yang memiliki peradaban yang lemah akan mengalami ketertindasan dan tidak mampu untuk melakukan pembalasan secara terbuka terhadap kelompok yang memiliki peradaban yang lebih tinggi dan maju, maka salah satu tindakan yang dilakukan adalah dengan melakukan tindakan teror atau terorisme. Sebagaimana yang dikatakan oleh Walter Reich bahwa terorisme adalah senjata dari pihak yang lemah dan sedikit jumlahnya atau kurangnya kekuatan militer konvensional. Disisi lain juga dikatakan tindakan terorisme dipilih karena cara-cara lain tidak dapat berfungsi atau dianggap terlalu mamakan waktu, sementara situasinya sangat penting dan lawan jauh lebih unggul. Terorisme berasal dari bahasa latin terrere yang oleh Ezza A. Fatah sebagaimana yang dikutip oleh Luqman Hakim diartikkan sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan. Suatu tindakan terror dilakukan oleh suatu kelompok dengan alasan-alasan atau motif tertentu, ada beberapa alasan atau motif mengapa tindakan ini dilakukan, diantaranya adalah dengan alas an atau motif nasionalisme, separatisme, radikalisme, bisnis/ekonomi, politik, balas dendam, penyelamatan, dan lain sebagainya. Teori kedua adalah teori perang, perang menurut ensiklopedia Indonesia perang didefinisikan sebagai perselisihan bersenjata yang terorganisasi di antara golongangolongan masayarakat atau Negara. Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam perang didefenisikan sebagai suatu permusuhan, konflik, atau pertempuran besar bersenjata antara dua pasukan atau golongan. Sedangkan. Dalam sejarah kehidupan manusia perang sudah dimulai sejak adanya manusia sebagai penghuni dunia ini, dalam kitab samawi sejarah perang dimulai sejak zaman nabi Adam yaitu ketika terjadinya persaingan antara putra Adam yang bernama Habil dan Qabil. Peperapangan dan perkembangan peradaban manusia hampir tidak bisa dipisahkan, sehingga bisa dikatakan bahwa peperangan merupakan turunan sifat dasar manusia yang mendominasi alam pikiran dan menimbulkan persaingan. Perang telah menjadi turunan sifat dasar manusia untuk berkuasa dan menanamkan pengaruhnya, hal ini juga ditegaskan dalam teori Naluri Agresi dalam perang yang dikutip oleh Agus C. Naryo bahwa menurut teori ini akar peperangan terletak pada naluri berperang atau sifat hausperang yang bersumber dari sifat binatang manusia. Dalam diri manusia ada sifat baik dan buruk, sifat buruk inilah yang mirip dengan sifat binatang dan bahkan ada yang mengatakan lebih beringas dari binatang. Sifat binatang inilah yang mendorong manusia untuk selalu berperang. 7. METODE PENELITIAN Dalam menyusun penelitian ini, saya mempergunakan studi kepustakaan, dimana data diperoleh dari bahan bahan pustaka yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung

3

dengan masalah penelitian. Selanjutnya saya akan manganalisis data data tersebut untuk ditarik suatu pembuktian dan kesimpulan 8. MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini adalah untuk dapat memperluas pengetahuan para pembaca dalam masalah terorisme dan peperangan. 9. PEMBAHASAN Dunia tersentak dan terkejut dengan peristiwa yang sangat luar biasa ketika dua menara kembar yang paling ternama di dunia yang terletak di pusat kota New York Amerika dan gedung pentagon yang menjadi kebanggan bangsa Amerika diserang oleh para teroris sehingga menyebakan jatuhnya banyak korban, meskipun teror tersebut berlangsung di Amerika, namun seluruh dunia ikut menanggung akibatnya. Tak ada yang akan membayangkan bahwa selasa pagi, 11 September 2001 itu akan dikenang oleh dunia khususnya masyarakat Amerika sebagai Selasa Hitam. Berselang beberapa jam kemudian setelah kejadian tersebut, presiden Amerika George W Bush langsung memaklumatkan perang kepada para teroris . kemudian tanpa didasari bukti yang kuat Amerika serta merta langsung menuduh jaringan Al Qaidah berada di balik peristiwa ini dan merekalah yang harus bertanggungjawab. Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Maulani tentang apa yang dikatakan oleh menteri luar negeri Collin Powel ketika ditanya oleh wartawan setelah peristiwa itu terjadi, Powel mengatakan “YA” ketika wartawan menyebut nama Usamah bin Ladin. Di lain hal Powel juga mengisyaratkan meskipun tidak terlalu tegas “Bila anda melihat daftar calon tersangka salah satunya tinggal di kawasan Afganistan. Penyebutan nama berbau Timur Tengah dan Muslim sebagai orang-orang yang dicurigai melakukan serangan kamikaze tersebut, yang diikuti dengan penyebutan nama Usamah bin Ladin sebagai mastermind di balik semua itu tanpa bukti yang jelas dan kuat, segera menimbulkan reaksi instant di kalangan masyarakat Muslim di berbagai penjuru dunia. Meskipun tanpa didasari bukti yang kuat pemerintah Amerika secara langsung tetap meminta kepada pemerintah Taliban di Afganistan agar tidak melindungi dan segera menyerahkan pimpinan Al-Qaidah Usamah bin Ladin harus segera diadili karena dialah sebagai otak pelakunya. Pemerintah Amerika menyediakan dana yang besar untuk memerangi terorisme khusunya dengan target Usamah bin Ladin. Di lain hal, pemerinah Taliban tetap menolak untuk menyerahkan usamah bin Ladin tanpa adanya bukti yang kuat dari Amerika, apabila pemerintah Taliban menolak maka jalan satu satunya adalah melalui peperangan agar pemerintah Taliban mau menyerahkan Usamahh bin Ladin ke pemerintah Amerika. Pemerintah Amerika berjanji kepada rakyatnya untuk segera memburu pelaku penyerangan terhadap simbol-simbol Amerika tersebut dan memberikan hukuman yang setimpal terhadap mereka, sebagaimana yang dinyatakan oleh presiden Amerika George W. Bush dalam pidatonya, “ini adalah perang untuk keadilan, sebagai balas dendam atas

4

serangan 11 September”. Dalam kesempatan lain Bush juga menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Ferry Kurniawan : either you are with us or with terrorists. Karena masing-masing pihak merasa tidak bersalah, di lain hal Amerika sebagai Negara adikuasa dan polisi dunia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa dialah yang paling benar, maka dengan sendirinya Amerika langsung mengeluarkan keputusan untuk menyerang pemerintahan Taliban Afganistan dengan tuduhan sebagai teroris dengan alasantarget utama mencari Usamah bin Ladin . Pemerintah Amerika akan segera membalas perlakuan orang-orang yang telah menghancurkan Amerika dan mereka harus bertanggungjawab terhadap kesedihan yang telah dialami oleh rakyat Amerika. Tidak ada kata maaf bagi mereka yang telah membunuh rakyat Amerika dan Afganistan adalah satu satunya Negara yang harus menanggung akibat itu. Opersi militer dilakukan setelah pidato presiden Amerika yang tertulis dalam Hot Copy yang dikutip oleh Fajarwati Atas perintah saya, militer Amerika telah memulai serangan terhadap kamp-kamp latihan teroris Al Qaida an instalasi-instalasi militer rezim Taliban di Afganistan.aksi sasaran dipilih dan hati-hati ini dirancang untuk penggunaan Afganistan sebagai sebuah basis operasi teroris dan untuk menyerang kemampuan militer rezim Taliban. Operasi yang komprehrnsif dan tak berbelas kasihan ini dimaksud untuk mengusir mereka keluar dan memberikan hukuman setimpal. Sebagai Negara adikuasa yang sangat menjunjung tinggi nilai nilai demokratisasi, Amerika seharusnya mengutamakan jalur diplomasi dalam menyelesaikan kasus ini daripada harus menggunakan senjata. Namun jalan diplomasi selalu diabaikan karena dianggap kurang efektif dalam mencapai tujuan. Jalur diplomasi akan digunakan oleh Amerika sejauh tidak merugikan mereka, seandainya merugikan maka Amerika lebih memilih kekuatan senjata sebagai cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah. Maka dari itu banyak peperangan yang melibatkan Amerika secara langsung atau tidak langsung yang mengatasnamakan menumpas terorisme di muka bumi ini. Sejak terjadinya peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat yang diikuti oleh operasi militer ke Afganistan, telah mewujudkan ketengangan baru di dunia Internasional, hal ini menurut Azra merupakan perwujudan dari scenario Samuel Huntington mengenai “Clash of Civilization” yaitu berupa benturan peradaban, yang pada awalnya merupakan benturan peradaban antara blok Timur dan Barat namun dengan berakhirnya perang dingin “cold war” maka sekarang sudah menggejala lebih jauh lagi yaitu kearah perseteruan masalah agama khususnya antara Barat dengan Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Azra ini sebagai bentuk dari kekerasan yang mengandung nuansa politik keagamaan “religious politics”. Kejadian 9September 2001 tersebut seolah menandai babak baru sejarah terorisme atas nama agama di dunia. Islam sebagaimana salah satu agama terbesar di dunia harus menanggung resiko ketika dicap sebagai agama teroris oleh dunia internasional.

5

Tentu ini tidak lepas dari konstelasipolitik dunia dan cara pandang Eropa dan Amerika terhadap Islam. Serangan 9/11 yang ditengarai dilakukan oleh sekelompok orang islam dijadikan legitimasi oleh Amerika untuk mencap islam sebagai sarang terorisme. Maka, tidak heran kemudian perang melawan teroris diartikan sebagai perang melawan Islam. Peristiwa 9/11 pulalah yang menandai drama kolonialisasi dunia modern. Alih alih membasmi terorisme, Amerika berusaha menguasai Negara-negara yang di Timur Tengah yang kaya minyak. Irak diserang dengan alas an pemilikan senjata pemusnah massal, Afganistan diserang dengan alasan menyembunyikan Usamah bin Ladin yang dianggap sebagai otak pelaku periswa 9/11 yang oleh Azra disebut sebagai serangan bunuh diri “kamikaze”. Perkembangan selanjutnya bahwa Usama dan dan gerakan Talibannya dijadikan sebagai kambing hitam aksi terorisme di Amerika dan dunia. Amerika telah membangun paradigma baru soal terorisme, terpuruknya citra islam di mata internasional tak lepas dari sifat subjectivitas Amerika terhadap terorisme. Alasan terorisme ini pulalah yang menjadi legitimasi Amerika untuk memperluas daerah jajahannya di Timur Tengah. Dengan alasan membasmi terorisme Amerika punya hidden agenda yaitu untuk menguasai perekonomian dan politik Negara tersebut. Amerika sadar betul bahwa ekonomi dan politik merupakan dua unsur yang sangat vital dan signifikan bagi eksistensi sebuah Negara, invasi pun dilangsungka, maka satu demi satu Negara Timur Tengah yang kayak minyakpun dikuasai satu demi satu. Dengan menduduki Irak maka AS meraih keuntungan dari minyak Irak yang diekspolitasi tanpa ketahuan berapa jumlahnya. Bukti bahwa minyak adalah tujuannya sebagaimana yang disarikan oleh Farid Wajdi bahwa , Amerika mengivasi Irak pada tahun 2003 dan dengan cepat menata ladang dan sumur minyak. Saat pasukan koalisi memasuki Baghdad mereka membuat lingkaran protektif di sekiling kementrian perminyakan, dan membiarkan istitusi lainnyatak terjaga, mereka membiarkan penduduk melakukan pembakaran kantor kantor dan institusi lainnya, yang pada akhirnya Irak yang berada di bawah pemerintahan Amerika 2007membuat payung hukum bahwa perusahaan asing boleh memiliki kontrak jangka panjang selama 30 tahun dan boleh diperpanjang kembali. Dan ironisnya bahwa apabila terjadi sengketa perusahaan asing tersebut tidak dapat dituntut berdasarkan hukum Irak. Teori Samuel Huntington tentang “clash civilization” yang dimunculkan oleh Amerika tidaklah terjadi begitu saja, namun semua berdasarkan apa yang telah dicanangkan oleh para founding father Amerika sejak awal kedatangan mereka ke benua baru ini pada tahun 1620, mereka telah melakukan ikrar bersama di atas sebuah kapal mayflower, yang pada akhirnya terkenal dengan sebutan “mayflower compact”. Mereka berikrar untuk “berpegang teguh pada hukum yang adil dan setara, Hasil dari ikrar inilah yang menginspirasi ke konsitusi Amerika selanjutnya. Selain konsep di atas, adaa beberapa konsep yang mempengaruhi kebijakan Amerika selanjutnya, di antaranya adalah konsep yang dicetuskan oleh John Winthrop pada saat awal kedatangan para imigran baru ke Amerika yaitu konsep “a city upon the hill’ yaitu sebuah cita cita John Winthrop waktu itu agar bangsa puritan menjadi yang terbaik dan terkemuka, yang pada tahap selanjutnya di terjemahkan oleh bangsa Amerika menjadi cita cita untuk dapat berdiri da atas berbagai Negara di dunia yang sekarang dikenal dengan “polisi dunia”. Konsep yang tak kalah pentingnya yang diterapkan Amerika untuk bisa mencapai cita cita ini adalah konsep “frontier” dan “moving westward”. Pada awal berkembangnya konsep ini, bangsa Amerika hanya ingin memperluas daerah kolonisasi kea rah Barat benua baru yang ditemukan tersebut, karena mereka melihat bahwa bagian barat Amerika

6

waktu itu merupakan daerah yang subur. Dari konsep frontier inilah akhir diterjemahkan oleh bangsa Amerika sebagai perluasan daerah perbatasan. Dalam tahap selanjutnya frontier tidak hanya dianggap sebagai perluasa daerah semata tapi sudah mencakup banyak hal. Di Jepang misalnya sejak tahun 2000 memakai istilah frontier sebagai perluasan ide ide dalam bidang ilmu pengetahun dan teknologi demi kemajuan bangsa. Di Amerika sendiri pada tahap selanjutnya frontier diterjemahkan sebagai sebuah tantangan baru sebagaimana yang dinyatakan oleh John F. Kennedy dalam pidato politiknya pada tahun 1960 an: “We stand today on the edge of a new frontier—the frontier of the 1960s, a frontier of unknown opportunities and paths. The new frontier of which I speak is not a set of promises—it is a set of challenges. It sums up not what I intend to offer the American people, but what I intend to ask of them.” berdasarkan teori “clash of civilization” di atas dan adanya berbagai konsep tentang bagaimana terbentuknya Negara baru ini pada awalnya, Amerika pada saat ini mencoba merangkul dunia dengan berbagai cara agar tetap menjadikan mereka sebagai “a city upon the hill”, Amerika juga banyak melakukan kebijakan luar negerinya untuk tetap menjadi yang nomor satu di dunia. Sebagai sebuah negara yang mendasari dirinya pada ideology kapitalis, maka ia selalu ingin melakukan ekspansi ke luar, baik di bidang politik, ekonomi, dan lainnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani yang dikutip oleh Farid Wajdi, bahwa inti politik negara kapitalis adalah penjajahan/imperialism, negara kapitalis seperti AS akan selalu melakukan perluasan terhadap ideologinya dengan cara melakukan penjajahan, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, budaya, dan lain nya. Untuk memperluas ideology tersebut, maka AS sebagai negara adikuasa mencoba menawarkan ideology kapitalisme ini ke berbagai penjuru dunia, sehingga diharapkan ideology kapitalisme ini bisa menjadi standar, persepsi dan bahkan menjadi sebuah keyakinan yang berlaku di seluruh dunia, Sehingga dengan berbagai cara Amerika berupaya untuk melakukan internasionalisasi ideology kapitalisme ini, maka tak jarang Amerika memaksa PBB untuk memberlakukan suatu resolusi terhadap negara lain atas dasar kepentingan Amerika itu sendiri, termasuk di dalamnya resolusi mengenai terorisme. Pasca perang dingin, Amerika sengaja memunculkan kampanye perang melawan terorisme terutama setelah peristiwa 9/11, meskipun masalah terorisme bukanlah hal baru di dunia internasional. Dengan terjadinya peristiwa 9/11 maka Amerika dengan sekutunya secara leluasa dapat menjadikan setiap peristiwa yang bernuansa kekerasan akan dianggap teroris dan dapat diperangi. Dengan memakai payung PBB dengan resolusinya, AS dan sekutunya berdalih bahwa semua tindakannya semata mata untuk memelihara keamanan dunia, demokrasi, dan HAM. Meskipun pada kenyatannya yang dibela adalah kepentingan ekonomi kapitalis. Apa yang dilakukan Amerika terhadap Irak dan Afganistan adalah bukti bahwa ekonomi kapitlis merupakan tujuan utama mereka. Penyerangan terhadap Afganistan memangg sudah direncakan jauh sebelumnya, karena Amerika sangat tahu bahwa negara Asia Tengah ini memiliki kekayaan alam yang melimpah, diperkirakan 6.6 trilliun meter kubik gas alam siap untuk diolah, Uzbekistan dan Turkeministan adalah dua negara penghasil gas terbesar di Asia Tengah. Sehingga berbagai perusahaan multinasional berusaha untuk bersaing memperoleh hak eskpolitasi atas kekayaan alam tersebut. Harian The Independent pada tahun 1997 pernah menulis bahwa perusahaan multinasional Unocal melakukan negosiasi pamasangan pipa gas di Afganistan, namun pemerintah Taliban tidak

7

mengizinkan. Atas dasar pelarangan ini pulalah Amerika mencari strategi untuk dapat masuk ke Asia Tengah, maka terjadilah peristiwa 9/11, sehingga dengan leluasa Amerika dapat memberi pernyataan di dunia bahwa rezim Taliban adalah teroris dan dapat diperangi. DAFTAR PUSTAKA Azra, Azyumardi, Prof. Dr., MA. 2002. Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Cahyo, A. Agus, 2012. Perang-Perang Paling Fenomenal dari klasik sampai Modern. Jogyakarta: Penerbit Buku Biru. Dahlan, Aziz Abdul editor et.al. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam Jakarta. PT Ichtiar Baru Van Hove. Degler, Carl Neumann. 1970. Out of Past: The Forces Shaped Modern America, revised ed., Harper and Row. Luedtke S. Fajarwati, Messiah. 2003. Budaya Perang: dibalik perseteruan Amerika VS Taliban dalam Perang Afganistan Pasca Serangan 11 September 2001. Fakultas Sastra Unsada. (skripsi) Hakim, Luqman. 2004. Terorisme di Indonesia. Surakarta: Forum Studi Islam Surakarta. Luther. 1994. Mengenal Masyarakat dan Budaya Amerika Serikat. (jilid I dan II). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kurniawan, Ferry. 2011. Serangan WTC: legitimasi AS. http://ferryshinigami.blogspot.com/2011/09/serangan-wtc119legitimasi-as.html Maulani. 2002. Perang Afganistan. Jakarta: Delancang Seta. Reich, Walter. (editor). 2003. Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap mental. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Tindal, George B. 1992. America: A Narrative History. 3d e. W.W. Norton & Co., Inc. Deplu Amerika. 2004. Garis Besar Sejarah Amerika. Jakarta Ensiklopedi Indonesia. 1989. Jakarta: PT Ikhtihar baru Indonesia. http://idoodie.blogspot.com/2011/09/remembering-911-tragedyexclusive.html#ixzz1iV5ah7e http://farid1924.wordpress.com/2008/04/15/politik-luar-negeri-amerika-pasca-tragedi-wtc/ Mencermati “New Frontier ” http://saniroy.archiplan.ugm.ac.id/?p=1034

8

THE RELATION BETWEEN PRAGMATICS ABILITIES AND MIND-READING ABILITIES Irna Nirwani Djajadiningrat Sastra Inggis – Fakultas Sastra

ABSTRACT Penelitian ini membahas hubungan antara kemampuan pragmatik yang digunakan penutur untuk menafsirkan ‘mind-reading’ perilaku komunikasi petutur. Mindreading adalah pusat sistem kognitif yang digunakan untuk melengkapi pandangan seseorang terhadap ujaran orang lain. Penelitian ini juga mengkontraskan teori alternatif yang relevan yaitu bagaimana mind reading digunakan dengan prinsip dan mekanisme tertentu yang disebut dengan Naively Optimistic (Sperber& Wilson 2002). Dalam konsep tersebut disebutkan bahwa petutur tidak perlu mewakili keadaan mental penutur sama sekali dalam mengidentifikasi makna pembicaraan. Petutur hanya mengambil penafsiran pertama yang tampaknya cukup relevan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa strategi yang lebih kompleks yaitu pengetahuan tambahan di luar kemampuan linguistik yang dikenal dengan konsep extra layer of mind-reading ability digunakan oleh petutur dalam menafsirkan apa yang diujarkan penutur. Konsep ini digunakan untuk menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi atau ketika penutur gagal menggunakan strategi yang tepat dalam menyampaikan pikirannya. Dalam suasana petuturan, konteks pemahaman dibatasi dengan apa yang saling diketahui oleh peserta tutur dalam rangka menentukan dan menegaskan proposisi pembicara dan menghindari ketaksaan dalam menetapkan referensi petutur. Key words: Pragmatics Abilities, Mind-Reading Abilities, Naively Optimisticm, speaker, hearer 1. INTRODUCTION Language is an autonomous, domain specific modular system and pragmatics is a domain-general central system. What makes the crucial difference is not just that pragmatics is inferential while language is not, but that pragmatic inferences are heavily context-dependent, and there is no principled limit on the type of contextual information that may be required or the source from which it may come (the interpretation of prior discourse, observation of the physical environment, knowledge of the speaker, cultural, scientific or religious assumptions, exercise of the imagination, and so on). Pragmatic interpretation is a central process because its outcome depends on ‘global’ factors such as free access to memorized information. Modular processes, by contrast, are ‘local’, ‘encapsulated’ and heavily restricted in the type or source of contextual information on which they may draw. Accounts of pragmatics compatible with this view of mental architecture are outlined in Sperber & Wilson (1986). While Fodor was developing his classical version of the modularity thesis, research in linguistics was providing strong support for Grice’s view of pragmatic interpretation as a properly

9

inferential process, and suggesting, moreover, that the scope of pragmatics was much wider than Grice had thought. This paper has two main aims, first to consider some of the reasons for thinking that mind-reading is not a central system but a domain-specific inferential module (or set of modules), using the term in its recent, broader sense. The second is to prove that the trend towards an increasingly modular view of the mind can be taken one stage further. Just as there is good reason to think that mind-reading is not merely an application of general reasoning abilities to a particular (behavioral) domain, so there is good reason to think that pragmatic interpretation is not merely an application 2. THEORETICAL FRAMEWORK According to the classical version, mind-reading should be a central rather than a modular process because its outcome depends on global factors: there is no principled restriction on the type of contextual information that may be required to predict and explain someone’s actions. From an evolutionary perspective, the question is not so much whether the processes involved are global or local, but whether they are carried out by generalpurpose mechanisms or by autonomous, special-purpose mechanisms attuned to regularities existing only in the domain of intentional behavior. To the extent that mindreading involves such special-purpose inferential mechanisms, it would be modular in this new, broader sense. Grice’s main contribution to pragmatics was to show that utterance interpretation is essentially an exercise in mind-reading (Grice 1989). Understanding an utterance involves constructing a hypothesis about the speaker’s meaning (the set of propositions, some explicit, others implicit, that the speaker overtly intended to convey). Recognising a speaker’s meaning amounts to recognising the intention behind the speaker’s communicative behavior, and this is a special case of the more general problem of explaining an individual’s behavior in terms of attributed mental states. On this approach, utterance interpretation is a variety of mind-reading, and the question of whether mindreading is a modular or a central system should have direct implications for pragmatics. Grice was mainly concerned with the role of inferential intention recognition in implicit communication, but it is now increasingly seen as playing a substantial role in explicit communication too (Sperber& Wilson, 2002; Levinson 2000;) as the illustratation, consider the examples in (1)-(11): Identification of explicit content (explicatures): (1) John left the party. (‘political group’, ‘festive gathering’) (2) The teachers told the students they needed more holidays. (reference resolution) (3) I met no-onein town. (‘no-one I knew’, ‘no-one interesting’) (4) Your father will be here soon. (resolution of vagueness) (5) The sky is blue. (‘partly/totally’, ‘blue of a certain shade/blueish’) (6) You will be there tomorrow. (request, bet, prediction) Implicit content (implicatures): (7) This book is as good as any the author has written. (good? mediocre? bad?) (8) Some of the lectures were interesting. (scalarimplicatures)

10

(9) a. Jim: Have you read Relevance? b. Sue: I don’t read difficult books. (indirect answers) (10) I’m hungry. (indirect speech acts) (11) Bill is a giant. (literal/metaphorical/ironical) It is sometimes claimed that the context for comprehension is restricted to what is mutually known by participants. For arguments that mutual knowledge is neither necessary nor sufficient for comprehension, In order to decide what proposition the speaker intended to assert, the hearer may have to disambiguate and assign reference, as in (1) and (2), fix the domain of quantifiers, as in (3), resolve the interpretation of vague expressions, as in (4), and narrow or loosen lexical meaning, as in (5). In order to decide what direct speech act the speaker intended to perform, he may have to resolve illocutionary indeterminacies, as in (6) (which may be intended as a request, a bet or a prediction, for example). Many utterances also convey implicatures (intended implications): thus, (7) may implicate that the book was good (or not so good), (8) may implicate that not all the lectures were interesting, (9) may convey an indirect request and (10) an indirect answer, while (11) may be literally, metaphorically or ironically intended. In each case, the hearer’s goal is to find not some arbitrary interpretation but the interpretation intended by the speaker. 3. PRAGMATICS AS A VARIETY OF MIND-READING The inferential approach to pragmatics treats understanding an utterance as a special case of understanding intentional behavior: the hearer explains the speaker’s communicative behavior by identifying the intention behind it. The link between mindreading and communication is confirmed by a wealth of developmental and neuropsychological evidence. However, as noted above,mind-readingitself has been analyzed in rather different ways, with different implications for pragmatics. Traditionally, philosophers have described mind-reading as an exercise in reflective reasoning (a central process, in Fodor’s terms), involving the application of general reasoning abilities to premises based on explicit assumptions about the relations between mental states and behavior. Many of Grice’s remarks about pragmatics fit well with this approach. For example, his ‘working-out schema’ for the derivation of conversational implicatures is a straightforward exercise in standard belief-desire psychology: Grice stated that P; he could not have done this unless he thought that Q; he knows (and knows that I know that he knows) that I will realise that it is necessary to suppose that Q; he has done nothing to stop me thinking that Q; so he intends me to think, or is at least willing for me to think, that Q. (1989: 30-31) A hearer following this Gricean route would have to go through a complex discursive reasoning process in order to identify a single implicature, and the greater the element of inference involved in verbal comprehension, the more such processes there would be. One problem with this traditional account is that children as young as two or three seem to be capable of deriving implicatures and tailoring their utterances to the mental states of their audience, and it is hard to believe that they are going through complex discursive processes of this type.

11

The presence of a conversational implicature must be capable of being worked out; for even if it can in fact be intuitively grasped, unless the intuition is replaceable by an argument, the implicature (if present at all) willnot count as a CONVERSATIONAL implicature; it will be a convwntional implicature. (Grice 1989: 31). Grice’s working-out schema for conversational implicatures is best seen as a rational reconstruction designed to show that the process is genuinely inferential, with the conclusion properly warranted by the premises, rather than an empirical hypothesis about how the inference is actually performed. However, an empirically plausible pragmatic theory should also be concerned with the nature of the inferential mechanisms involved. Here, the developmental and neuropsychological evidences seems to favour a view of mind-reading as a domainspecific modular system rather than a central, reflective one. 4. PRAGMATICS, MODULARITY AND MIND-READING Evolutionary approaches to psychology treat cognition as a biological function and cognitive mechanisms, in general, as adaptations. The mind is seen as an ‘adaptive toolbox’, a set of dedicated cognitive mechanisms which are likely to have evolved in small incremental steps, typically involving the selection of a variant that performed more efficiently (yielding greater benefits, for smaller costs) than other variants available at the time. One way a dedicated cognitive mechanism can contribute to overall efficiency is by providing special-purpose inferential procedures in the terms of attuned to regularities in some particular domain, which yield reliable conclusions only when applied to input from this domain. Modular accounts of mind-reading, for example, appeal to specialpurpose inferential procedures which work reliably in the domain of intentional behavior, yielding the same conclusions derivable by general-purpose reasoning mechanisms, but in a less effort-demanding way. In procedures of this ‘fast and frugal’ type, regularities in the relations between mental states and behavior need not be represented and used as explicit premises in an inference process, as in standard belief-desire psychology , but function merely as tacit underpinnings for the working of the device. The result should be an intuitive ability to draw valid conclusions in the domain of intentional behavior, but without any reflective awareness of how these conclusions are drawn. In fact, given the complexity of mind-reading, the variety of tasks it has to perform and the particular sub-regularities they exhibit, it is reasonable to assume that mindreadingis not a single, relatively homogeneous system but a collection of autonomous mechanisms or sub-modules articulated together in some way. Despite this evidence that the mind-reading ability may be broken down into a set of specialised sub-modular abilities, most approaches to mind-reading, whether rmodular or non-modular, have tended to take for granted that there is no need for aspecial-purpose inferential comprehension procedure: the standard assumption has been that the mentalstate attributions required for comprehension will be automatically generated by more general mind-reading mechanisms which apply across the whole domain However, there are serious problems with the view that speakers’ meanings can beinferred from utterances using the same general mind-reading mechanisms which attribute intentions on the basis of regular, non-communicative behavior. In the firstplace, the range of ordinary, non-

12

communicative actions an individual can reasonably intend to perform in a given situation is in practice quite limited. The gap between sentence meaning and speaker’s meaning is so great that the range of meanings a speaker can reasonably intend to communicateby uttering a sentence in a given physical setting is virtually unlimited. It is simply not clear how the standard procedures for attributing intentions on the basis of regular,non-communicative behavior could yield adequate attributions of speakers’meanings, except in easy and trivial cases. In the second place, Grice was concerned with a type of communication which requires a particular, overt form of intention expression not found in ordinary actions. For communication to be overt,the speaker must not merely intend to convey certain information, but must intend her audience to recognise that she has this intention. In the terms of Sperber& Wilson(1986/95), overt communication involves not only an informative but a communicative intention: the communicator must intend her audience to believe that she intends themto believe a certain set of propositions (Sperber 1994). The interpretation of overt communication therefore involves several orders of mind-reading ability, whereas in explaining ordinary actions, a single level is generally enough. It is hard to believe thattwo-year-old children, who fail, for instance, on regular first-order false belief tasks,can recognise and understand the peculiar multi-levelled representations required inovert communication, using nothing more than a general ability to attribute intentions to others in order to predict and explain their behavior (Sperber& Wilson 2002). In order to first identify a desirable effect of an utterance and then assume that this was the intended meaning, the hearer would have to have a pretty good advance idea of what the speaker would be wanting to convey. This sometimes happens, of course, but speakers often say unexpected things, and hearers still manage to understand them. In these cases, the standard procedures for inferring intentions would not help with utterance interpretation: the hearer cannot first identify a desirable effect of the utterance, and then infer that the speaker’s intention was precisely to achieve this effect. 5. PRAGMATICS AS A SUB-MODULE OF THE MIND-READING MODULE Relevance theory is an account of human communication and cognition based on a definition of relevance and two general principles: a First, or Cognitive, Principle of Relevance and a Second, or Communicative, Principle of Relevance. Relevance is characterised as a property of inputs to cognitive processes and analysed in terms of the notions of cognitive effect and processing effort. When an input (for example, an utterance) is processed in a context of available assumptions, it may yield some cognitive effect (for example, by strengthening these assumptions, contradicting and eliminating them, or combining with them to yield contextual implications). Other things being equal, the greater the cognitive effects achieved, the greater the relevance of the input to the individual who processes it. However, the processing of the input, and the derivation of these effects, involves some effort of perception, memory and inference. Other things being equal, the smaller the processing effort required, the greater the relevance of the input to the individual who processes it. On this account, relevance is a cost-benefit notion (the cost being the mental effort required, and thebenefits the cognitive effects achieved), and a tendency towards increasing the efficiency of the cognitive system by maximising relevance would fit well with the evolutionary approach to cognition outlined

13

5.1 Cognitive Principle of Relevance Human cognition tends to be geared to the maximisation of relevance. It follows from the Cognitive Principle of Relevance that human attention and processing resources tend to be automatically allocated to information that seems relevant enough to be worth processing. This is not because we have a choice in thematter, but because of the way our cognitive systems have evolved. As a result ofconstant selection pressure towards increasing efficiency, the human cognitive systemhas developed in such a way that our perceptual mechanisms tend automatically topick out potentially relevant stimuli, our memory retrieval mechanisms tendautomatically to activate potentially relevant contextual assumptions, and our inferential mechanisms tend spontaneously to process them in the most productiveway. It is against this cognitive background that communication takes place. 5.2 The Communicative Intention The intention to inform the audience of one’s informative intention. How does the communicator indicate to the audience that she is trying to communicatewith them in this overt, intentional way. Instead of unostentatiously taking out mywallet, I might touch your arm and point to it, wave it at you, ostentatiously put itdown in front of you, catch your eye and stare at it, or say ‘I’ll pay for the drinks’.More generally, overt communication involves the use of an ostensive stimulus, designed to attract an audience’s attention and focus it on the communicator’smeaning. According to the Second, or Communicative, Principle of Relevance, use of an ostensive stimulus triggers expectations of relevance not raised by ordinary actions,which may be enough on their own to guide the audience towards the communicator’smeaning: 6. NAIVELY OPTIMISTIC Sperber (1994) proposes a theoretical framework in which the relation between pragmatic abilities and mind-reading abilities might be investigated and explained. He discusses the increasingly sophisticated strategies which the hearer might use in interpreting an utterance, each requiring an extra order of mind-reading ability. The simplest strategy is one of Naïve Optimism. A Naively Optimistic hearer looks for an interpretation that seems relevant enough: if he finds one, he assumes that it was the intended one and attributes it as a speaker’s meaning; if he does not, he has no furter resources, and communication will fail. In Sperber's terms, a Naively Optimistic hearer assumes that the speaker is both competent and benevolent: competent enough to avoid misunderstanding, and benevolent enough not to lead him astray. Instead of taking the first interpretation he finds relevant enough and attributing it as the speaker’s meaning, he can ask himself on what interpretation the speaker might have thought her utterance would be relevant enough to him. This extra layer of mind-reading ability allows him to avoid misunderstanding in two types of case where a Naively Optimistic hearer would fail. The first is the case of accidental relevance. An utterance is accidentally relevant when the first interpretation the hearer finds relevant enough is not the intended one. An utterance may also be accidentally irrelevant. An obvious case is when someone makes a slip of the tongue, or mistakenly tells you something you already know. Another arises when an intended reference fails. A Naively Optimistic hearer would

14

restrict himself to the linguistically encoded meaning, would be unable to find an acceptable interpretation, and communication would fail. 7. CONCLUSION 7.1 An obvious source of evidence for the modularity of pragmatics would be dissociations between the general mind-reading ability and the ability for inferential communication. 7.2 A hearer using the strategy of sophisticated understanding considers what interpretation the speaker might have thought he would think was relevant enough; at the cost of a further layer of mind-reading, he can cope with deceptive cases in which nothing more than the appearance of relevance is attempted or achieved. These strategies have implications for the development of inferential comprehension. 7.3 A Naively Optimistic hearer need not represent the speaker's mental states at all in identifying the speaker’s meaning: he simply takes the first interpretation that seems relevant enough and treats it as the intended one. 7.4 Understanding, with its links to second-order mind-reading and the ability to cope with different types of deception (communicative and non-communicative, overt and covert) should yield further evidence on how the comprehension mechanism is articulated with other sub-modules of the mind-reading mechanism – an obvious subject for future research. REFERENCES Astington, J., Harris, P. & Olson, D. (eds). 1988. Developing Theories of Mind. Cambridge:Cambridge University Press. Bloom, P. 2002 Mindreading, communication and the learning of names for things.Mind &Language 17: 1-2. Davis, S. (ed.) 1991 Pragmatics: A Reader. Oxford: Oxford University Press. Fodor, J. (2000) The Mind Doesn't Work That Way: The Scope and Limits of ComputationalPsychology. Cambridge MA: MIT Press. Grice, H.P. 1967 Logic and conversation.William James Lectures, Harvard. Reprinted in Grice1989. Grice, H. P. 1969 Utterer’s meaning and intentions.Philosophical Review 78: 147-177. Reprintedin Grice 1989. Levinson, S. 2000 Presumptive Meanings: The Theory of Generalized Conversational Implicature.Cambridge MA: MIT Press. Rinaldi, W. 2000 Pragmatic comprehension in secondary school-aged students with specificdevelopmental language disorder.International Journal of Language and CommunicationDisorders 35: 1-29. Sperber, D. & Wilson, D. 1981 Irony and the use–mention distinction. In P. Cole (ed.)

15

“MENGGUGAH KESADARAN PEREMPUAN AKAN EKSISTENSI DIRINYA” Albertine Minderop Sastra Inggris - Fakultas Sastra Universitas Darma Persada ABSTRACT Penelitian yang berjudul “Menggugah Kesadaran Perempuan akan Eksistensi Dirinya” bertujuan agar kaum perempuan memperoleh tempat yang layak di dalam masyarakat dengan cara: menunjukkan hakikat eksistensi perempuan, menunjukkan faktorfaktor perempuan sebagai eksistensinya, menggugah kesadaran perempuan akan eksistensi dirinya dan menunjukkan cara menyadarkan perempuan agar dapat mewujudnyatakan eksistensi dirinya agar mereka menjadi individu yang bermanfaat dan berbahagia. Perempuan, di manapun mereka berada tidak terlepas dari perlakuan tidak adil dari masyarakat dan dari lingkungan terdekat. Akibat dari perlakuan ini membuat perempuan mengalami penderitaan dan ketertinggalan. Perempuan sesungguhnya individu yang sangat potensial dan berperan dalam membentuk generasi penerus bangsa. Perempuan, terutama ibu, disebut sebagai “the pillars of community” karena nasib bangsa tidak terlepas dari eksistensi yang dimiliki Menurut Dorothy Cantor dan Tony Bernay dalam Women Power – the Secrets of Leadership (1992) dijelaskan tentang perempuan, terutama ibu, dengan kepribadian yang sehat dan matang. Perempuan yang tidak bermasalah dengan kejiwaan akibat pendidikan orang tua ketika usia dini dapat menjadi pribadi yang matang, percaya diri, beraktualisasi serta memiliki kemandirian baik secara emosional, sosial dan material. Seorang ibu memiliki kekuasaan karena kemampuannya membesarkan anak dan mampu menjadi pemimpin. Kebermaknaan diri, menurut Viktor Frankl adalah kepribadian yang sehat mencakup: kemerdekaan untuk bertindak, bertanggung jawab atas tindakannya, mandiri, pencarian makna kehidupan yang sesuai, pengendalian diri, pengungkapan nilai-nilai kratif, nilai-nilai pengalaman dan pemikiran serta kemampuan mengatasi masalah pribadi. Mereka memiliki: kesabaran, ketabahan, keuletan, kasih sayang, ketegaran dalam menghadapi cobaan dan rela berkorban untuk orang yang disayangi. Mereka mengemban tugas yang luar biasa, baik sebagai istri, ibu, pengurus rumah tangga dan pencari nafkah bagi keluarga. Kelemahan perempuan adalah mereka terlalu permisif, pasrah akan kesewenangan dan terlalu emosional. Pada akhirnya, perempuan seharusnya mampu menjadi sumber kebahagiaan, setidak bagi keluarganya, bila perlu di manapun ia berada selalu dirindukan kehadirannya. Kata kunci: eksistensi perempuan, kemandirian, pendidikan, aktualisasi diri. 1.

PENDAHULUAN

Sebagaimana di negara berkembang lainnya, persepsi orang tua di Indonesia terhadap anak perempuan mereka kerap kali berbeda bila dibandingkan dengan sikap mereka terhadap anak laki-laki, khususnya pada masyarakat kelas bawah. Mereka

16

memperlakukan anak perempuan secara tidak setara dan memberikan kesempatan lebih kepada anak laki-laki. Apabila anak-anak mereka harus melanjutkan pendidikan dan terkendala oleh masalah ekonomi, maka kesempatan pertama akan diperuntukkan kepada anak laki-laki walaupun anak perempuan lebih cerdas. Terdapat beberapa pandangan orang tua bahwa anak perempuan boleh dinomorduakan karena mereka akan menikah dan menjadi tanggung jawab para suami. Anak perempuan tidak perlu melanjutkan pendidikan lebih tinggi karena pada akhirnya ia akan mengurus rumah tangga dan merawat suami serta anak-anak. Menurut ajaran suatu kepercayaan perempuan tidak disarankan menjadi seorang pemimpin karena kepemimpinan menjadi wilayah para laki-laki. Prinsip bahwa laki-laki sebagai kepala rumah tangga kerap kali dimaknai sebagai tidak adanya kesempatan bagi perempuan dan bahkan perempuan dianggap sebagai “warga negara kelas dua”. Terlebih lagi bila istri tidak mampu mencari nafkah maka ia sepenuhnya tergantung pada suami. Kondisi semacam ini bahkan dapat mempengaruhi persepsi anak-anak terhadap ibu mereka dan tidak mengherankan bila anak-anak akan mengikuti pandangan semacam ini selanjutnya hingga mereka dewasa. Selain kondisi yang memprihatinkan itu, tidak mengherankan bila anak perempuan atau istri selalu termarjinalkan. Tidak pula mengherankan bila akibat dari kondisi semacam ini para perempuan menerima perlakuan yang tidak layak, khususnya mereka yang menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga. Sesungguhnya bila kaum perempuan diberi kesempatan mereka akan menjadi individu dan anggota masyarakat yang berkualitas yang bermanfaat baik bagi lingkungan sekitar maupun bagi masyarakat dan negara. Perempuan – istri, ibu dan anak gadis kadang kala tidak menyadari bahwa mereka memiliki kemampuan yang setara dengan kaum laki-laki. Bila mereka diberi kesempatan mereka mampu mengaktualisasikan diri sebagaimana teori Abraham Maslow. Peran ibu dalam rumah tangga ketika melakukan tugas pendidikan dan pengasuhan anak-anak sehingga anak yang berhasil merupakan bukti bahwa kaum perempuan memiliki peran penting dalam masyarakat. Sehubungan dengan penjelasan di atas, penelitian sebagai salah satu upaya menggugah kesadaran perempuan akan eksistensi diri mereka. 2.

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk melakukan penelitian yang terkait dengan judul di atas, diperlukan beberapa literatur yang tercakup dalam sumber primer dan sumber sekunder. Buku yang merupakan sumber primer berjudul Domestic Violence and Criminal Justice Response yang ditulis oleh Eve S Buzawa dan G. Carl (1990); sedangkan buku-buku yang termasuk sumber sekunder merupakan pustaka pendukung berupa kumpulan teori, konsep dan definisi yang dibutuhkan. Baik sumber primer maupun sekunder dan ditambah dengan beberapa buku lainnya akan digunakan dalam penelitian yang tampil dalam beberapa bab penelitian.

17

Sumber primer dari penelitian ini menggunakan buku Domestic Violence and Criminal Justice Response yang ditulis oleh Eve S Buzawa dan G. Carl (1990). Buku ini diawali dengan definisi kekerasan dalam rumah tangga yang berarti kekerasan yang terjadi antara orang dewasa dalam konteks heteroseksual yang hidup bersama atau yang hidup bersama dalam hubungan perkawinan. Semenjak dilakukan penelitian empiris terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang dimulai pada tahun 1970-an, tanpa intervensi social, diketemukan adanya persentase yang signifikan eskalasi kasus kekerasan rumah tangga yang menjurus pada berbagai akibat yang serius (Buzawa, 9: 1990). Sebuah estimasi mencatat bahwa 37% perempuan yang mengalami kekerasan akan mengalami peristiwa berulang dalam waktu yang cukup singkat tanpa adanya intervensi yang efektif. Di Indonesia, apakah di perkotaan atau di pedesaan, kekerasan rumah tangga jarang dilaporkan karena adanya pandangan bahwa kondisi ini bersifat tabu dan memalukan. Para istri kerap kali menjadi sasaran kesalahan ketika mereka mendapat perlakuan semacam ini. Mereka dianggap istri yang gagal, terlalu banyak menuntut dan tidak mampu tampil sebagai istri yang baik. Sebagai istri yang baik seharusnya mereka menyadari status mereka. Pandangan ini berasal dari pengaruh nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat di beberapa wilayah. Buku-buku yang tercakup dalam sumber sekunder, antara lain, adalah: Growth Psychology – Model of the Healthy Personality (1991) yang ditulis Duane Schultz dan Women Power – the Secrets of Leadership (1992) karya Dorothy Cantor dan Tony Bernay. Dalam buku yang berjudul Growth Psychology – Model of the Healthy Personality yang ditulis Duane Schultz dijabarkan beberapa topik tentang: kepribadian yang sehat, kepribadian yang matang, kepribadian secara fungsional, produktivitas, aktualisasi diri dan kebermaknaan diri. Kepribadian yang sehat dan matang adalah mereka yang tidak dipengaruhi oleh trauma dan konflik masa kecil. Orang-orang yang sehat dibimbing dan diarahkan oleh kekinian serta tujuan dan antisipasi ke masa mendatang; pandangan mereka adalah ke masa depan. Menurut teori Allport, kepribadian yang sehat terkait dengan prinsip-prinsip penguasaan dan kompetensi. Tiap kepribadian memiliki keunikan yang mencakup diri: secara fisik, identitas, aktualisasi, pengembangan, profil, rasionalitas, prilaku wajar dalam berusaha dan berkepribadian. Dalam buku yang berjudul Women Power – the Secrets of Leadership (1992) karya Dorothy Cantor dan Tony Bernay terdapat pembahasan tentang: kompetensi diri, agresi kreatif keberdayaan perempuan yang merupakan element kritis yang mampu menunjang mereka dalam kepemimpinan. Kompetensi diri dapat memberikan kepada perempuan kemungkinan-kemingkinan ketimbang hambatan. Seandainya kemungkinan tersebut tidak terwujud secara nyata dan bahkan berubah menjadi hambatan, perempuan yang berkualitas akan mampu meluapkan seluruh kompetensinya agar menjadi tegar di dalam kondisi yang buruk dan selanjutnya berupaya meraih visinya. Kompetensi diri dapat melindungi perempuan dari perasaan terancam ketika ia harus menanggung resiko.

18

Agresi yang kreatif mencakup gagasan sikap inisiatif, memimpin pihak lain dan berbicara. Semua atribut ini dianggap positif. Agresi kreatif perempuan diterjemahkan sebagai pelayanan terhadap kehidupan dan perkembangan dan bukan pengrusakan. Kreatif agresi dapat mendorong perkembangan kepribadian bila diperlakukan secara kreatif dan bijak. Keberdayaan perempuan digunakan bagi masyarakat agar menjadi lebih baik. Keberdayaan adalah kemampuan untuk bertindak yang dapat memobilisasi berbagai sumber – materi dan manusia yang mempengaruhi hasil. Keberdayaan merupakan suatu kapasitas untuk membentuk sebagian besar dunia di mana kita hidup. Kualitas keberdayaan merupakan kekuatan, dorongan dan otoritas kepada orang lain. Penekanannya dalam ini adalah: kekuatan, otoritas, ketegasan dan penyelesaian berbagai hal serta mendorong kehidupan orang lain. 3.

PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pendahuluan di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah ketidaksadaran perempuan akan eksistensi dirinya sehingga kerap diperlakukan tidak setara dan mengalami keterbelakangan dan penderitaan. Dari permasalahan penelitian di atas dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut. a. Apa yang dimaksud dengan hakikat eksistensi perempuan. b. Faktor apa saja yang dimiliki perempuan sebagai eksistensinya. c. Bagaimana menyadarkan dan mendidik perempuan akan eksistensi dirinya. d. Bagaimana mewujudnyatakan agar perempuan dapat menampilkan eksistensi dirinya. 4.

TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, tujuan dari penelitian ini adalah menggugah kesadaran perempuan akan eksistensi dirinya. Untuk mencapai tujuan ini terdapat beberapa aspek yang perlu dianalisis. a. Menunjukkan hakikat eksistensi perempuan. b. Menunjukkan faktor-faktor yang dimiliki perempuan sebagai eksistensinya. c. menggugah kesadaran perempuan akan eksistensi dirinya. d. Menunjukkan cara pendidikan perempuan agar dapat mewujudnyatakan eksistensi dirinya. 5.

MANFAAT PENELITIAN

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kaum perempuan agar tergugah kesadarannya sehingga mampu mengaktualisasikan diri berdasarkan eksistensinya. 6.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif kualitatif. Sumber data dari penelitian adalah sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer diambil dari buku yang berjudul Domestic Violence and Criminal Justice Response yang ditulis oleh Eve S Buzawa dan G. Carl (1990). Sumber sekunder adalah beberapa buku yang mendukung penyusunan penelitian ini yang digunakan sebagai landasan teori.

19

Metode pengumpulan data dilakukan sesuai dengan kebutuhan yaitu melakukan studi pustaka, membaca dan mengorganisasi data; selanjutnya menganalisis data dengan menggunakan beberapa teori/konsep/definisi terkait. Hasil dari analisis ini merupakan jawaban atas perumusan masalah dan tujuan penelitian. 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka hasil dan pembahasan yang akan disampaikan mencakup: hakikat eksistensi perempuan, faktor-faktor yang dimiliki perempuan sebagai eksistensi dirinya, bagaimana menggugah kesadaran perempuan akan eksistensi dirinya dan menunjukkan cara mendidik perempuan agar dapat mewujudnyatakan eksistensi dirinya. 7.1 Hakikat Eksistensi Perempuan Kaum perempuan kerap kali tidak menyadari akan eksistensi dirinya. Mereka tidak sadar betapa keberadaan mereka sangat penting di dalam sebuah keluarga, dalam sekelompok masyarakat dan di mana pun mereka berada. Betapa mereka sangat menentukan masa depan seluruh anggota keluarga. Kesadaran akan eksistensi perempuan berawal dari kedudukan mereka di dalam keluarga. Artinya, bagaimana sebuah keluarga memandang sosok seorang ibu, istri dan anak perempuan. Apabila pandangan awal terhadap perempuan salah, maksudnya perempuan selalu dianggap “warga negara nomor dua”, maka persepsi tentang perempuan seterusnya akan salah. a. Membangun Kemandirian Seorang Anak (Perempuan) Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama dalam membentuk kepribadian seorang anak. Seorang anak (dalam konteks ini saya membahas anak perempuan) akan tumbuh menjadi seorang remaja yang mandiri baik dalam hal emosi, berbuat, maupun berprinsip yang hal tersebut sangat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan orangtua dalam lingkungan keluarganya. Sehubungan dengan gaya pengasuhan orangtua dan hubungannya dengan kemandirian para remaja perempuan, hal yang terpenting diketahui oleh para orangtua bahwa seorang remaja juga sangat membutuhkan dukungan, pengasuhan, bimbingan, perlindungan, pengarahan, sosialisasi, perhatian, kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan fisik/materi. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat terkait pula dengan gaya pengasuhan yang diperankan oleh para orangtuanya, yang pada akhirnya juga sangat berpengaruh pada tumbuhnya kemandirian pada diri seorang anak ketika ia tumbuh menjadi seorang yang dewasa kelak. Kemandirian seorang remaja akan berpengaruh hingga ia menjadi dewasa baik sebagai: individu, istri, ibu, anggota masyarakat, pemimpin dan sebagainya. Kemandirian adalah keadaan dapat berdiri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain.

20

Kemandirian menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri sendiri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan orang lain, tanpa dikontrol oleh orang lain, dapat melakukan kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalahmasalah yang dihadapinya. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Johnson dan Medinnus, (Widjaja, 1986) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan salah satu ciri kematangan yang memungkinkan seorang anak berfungsi otonom, berusaha ke arah terwujudnya prestasi pribadi dan tercapainya suatu tujuan (Waskitamandiribk's Blog). Steinberg (1993), menyatakan bahwa secara psikososial kemandirian tersusun dari tiga bagian pokok yaitu: 1). Emotional autonomy (kemandirian emosi), 2). Behavioral autonomy (kemandirian untuk bertindak atau berbuat), dan 3). Value autonomy (kemandirian nilai). Kemandirian perempuan dapat diawali dengan tidak membedakannya dengan anak laki, memberikannya kesempatan untuk meraih pendidikan secara maksimal, memberinya kesempatan menjadi pimpinan dalam segala hal sepanjang ia mampu mengembannya. Memberinya penghargaan bila ia mencapai prestasi dan memberinya kesempatan untuk meraih kemajuan tanpa meninggalkan tugasnya baik sebagai istri atau ibu. Kemandirian untuk berbuat sesungguhnya telah dimulai sejak dari adanya sebuah kewewenang yang diberikan oleh orangtua terhadap anaknya untuk berbuat atau melakukan sesuatu dengan sendiri. Secara psikologis, seorang remaja ingin mendapatkan kemandirian dalam hal bertingkah laku secara perlahan-lahan. Hill dan Holmbeck (dalam Steinberg (1993) mengemukakan beberapa indikator dari munculnya kemandirian berbuat pada seorang remaja diantaranya adalah sebagai berikut:  Kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dan mengetahui dengan pasti kapan seharusnya meminta/mempertimbangkan nasehat orang lain.  Mampu mempertimbangkan bagian-bagian alternatif dari tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian diri sendiri dan saran-saran orang lain,  Mencapai suatu keputusan yang bebas tentang bagaimana seharusnya bertindak/melaksanakan keputusan dengan penuh percaya diri.  Value autonomy (kemandirian nilai), yaitu aspek kebebasan untuk memaknai seperangkat prinsip tentang benar dan salah, hak dan kewajiban, apa yang penting dan apa yang kurang atau tidak penting. Kemandirian nilai sesungguhnya menunjuk kepada suatu pengertian mengenai kemampuan seseorang dalam mengambil sebuah keputusan dan menetapkan sebuah pilihan dengan berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual yang dimilikinya daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain. b.

Gaya Otoritatif

Bentuk perlakuan orangtua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak (dalam hal ini anak usia remaja) dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan otoritatif. Orangtua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional,

21

orangtua demikian mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya, dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran (Waskitamandiribk's Blog). Orangtua yang bergaya otoritatif bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas. Mereka menerapkan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya, tetapi sekaligus berusaha membangun harapan-harapan yang disesuaikan dengan pertumbuhan dan perkembangan, serta kemampuan dan kebutuhan anak-anaknya. Mereka juga menunjukkan kasih sayang, mau mendengarkan dengan sabar pandangan anak-anaknya, dan mendukung keterlibatan anaknya dalam membuat keputusan di dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orangtua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang otoritatif. Dalam keluarga yang otoritatif, keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berada di tangan orangtua. Anak-anak diberikan kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima maka orangtua yang otoritatif akan memberikan dukungan, tetapi jika tidak maka orangtua akan menjelaskan alasan-alasannya mengapa dia tidak merestui keputusan anaknya tersebut. Pola interaksi yang demikian akan memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memahami pandangan orang lain yang pada akhirnya dapat mengantar pada suatu keputusan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Orangtua yang otoritatif selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anak-anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anakanak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orangtua yang otoritatif. Dalam mengatur hubungan diantara anggota keluarganya, orangtua yang otoritatif akan menggunakan otoritasnya namun mengekspresikannya melalui bimbingan yang disertai dengan pengertian dan cinta kasih. Anak-anaknya akan didorong untuk dapat melepaskan diri (self-detach) secara berangsur-angsur dari ketergantungan terhadap keluarga (Steinberg, 1993, Rice, 1996, Thornburg, 1982). Santrock (1985) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orangtua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggungjawab sosial pada anak remaja. Para remaja yang hidup dalam keluarga yang otoritatif akan menjalani kehidupannya dengan rasa penuh semangat dan bahagia, percaya diri, dan memiliki pengendalian diri dalam mengelola emosinya sehingga tidak akan bertindak anarkis (Baumrind, 1967). Mereka juga akan memiliki kemandirian yang tinggi, mampu menjalin persahabatan dan kerja sama yang baik, memiliki kematangan sosial dalam berinteraksi dengan keluarga dan lingkungannya.

22

7.2 Faktor-faktor yang Dimiliki Perempuan sebagai Eksistensi Diri Banyak perempuan tidak menyadari bahwa ia memiliki berbagai faktor kompetensi dalam diri mereka. Dalam buku yang berjudul Women Power – the Secrets of Leadership (1992) karya Dorothy Cantor dan Tony Bernay terdapat pembahasan tentang: kompetensi diri, agresi kreatif keberdayaan perempuan yang merupakan element kritis yang mampu menunjang mereka dalam kepemimpinan. Kompetensi diri dapat memberikan kepada perempuan kemungkinan-kemingkinan ketimbang hambatan. Seandainya kemungkinan tersebut tidak terwujud secara nyata dan bahkan berubah menjadi hambatan, perempuan yang berkualitas akan mampu meluapkan seluruh kompetensinya agar menjadi tegar di dalam kondisi yang buruk dan selanjutnya berupaya meraih visinya. Kompetensi diri dapat melindungi perempuan dari perasaan terancam ketika ia harus menanggung resiko. Tidak sedikit penelitian yang menyatakan bahwa perempuan memiliki: kesabaran dalam menghadapi berbagai cobaan, ketelitian dalam melakukan pekerjaan, keuletan menghadapi tantangan, estetika dalam berkreasi, kemampuan mengerjakan tugas secara simultan, kasih saying tanpa pamrih, bertanggung jawab hingga rela berkorban, tabah menghadapi penderitaan, rela berkorban terhadap orang yang dicintainya (altruistis), kreativitas yang tinggi dan masih banyak kelebihan perempuan yang dapat ditampilkannya dalam menjalani kehidupan ini. 7.3 Menggugah Kesadaran Perempuan akan Eksistensi Dirinya Selanjutnya, bagaimana menggugah kesadaran perempuan akan eksistensi dirinya? Berbagai penelitian menyatakan bahwa perempuan kerap kali menerima dikecam karena mereka terlalu permisif, pasrah, melepaskan harga diri dan sangat emosional. Tidak peduli apakah mereka berpendidikan cukup atau tidak berpendidikan, sifat-sifat semacam ini kerap melekat pada diri mereka. Tidak mengherankan apabila terdapat perempuan yang rela berkorban walaupun secara fisik, mental dan emosional ia mengalami penderitaan. Pembawaan semacam inilah yang membuat mereka terpuruk. Kondisi yang krusial adalah ketika mereka menerima dan pasrah walaupun diperlakukan sewenang-wenang. Seandainya perempuan mampu sedikit melepaskan emosinya dalam bertindak dan sadar akan eksistensi dirinya, mungkin kekerasan yang dihadapi perempuan dapat berkurang. Seandainya mereka rela sedikit menerima penderitaan yang berat namun sesaat demi kebahagiaan berlanjut, boleh jadi penderitaan yang berkepanjangan dapat sirna. Penting bagi perempuan untuk menyadari eksistensi dirinya, misalnya sebagai ibu rumah tangga, ia memiliki tugas yang luar biasan berat karena ia harus melakukan tugastugas sebagai berikut. Ia mengurus rumah tangga, mendidik dan membesarkan anak, mengurus dan melayani suami, memenuhi kebutuhan dan perawatan semua anggota keluarga dan bahkan ada yang harus pula mencari nafkah. Bukan bermaksud untuk menyombongkan diri, namun semua yang telah menjadi tugas bagi perempuan ini perlu didengungkan kepada mereka dan diyakini oleh mereka bahwa kaum perempuan merupakan the pillars of community, demikian kata Henry Ibsen, seorang sastrawan Inggris. Berilah mereka kepercayaan bahwa mereka merupakan insaninsan bermutu yang patut menerima berbagai kesempatan dan penghargaan sebagai pencipta generasi penerus bangsa.

23

Dengan demikian berat tugas, dalam hal ini seorang ibu, tidak sedikit dari mereka berhasil menciptakan anak-anak yang bermutu baik secara intelektual, mental dan moral. Anak-anak sebagai generasi penerus bangsa yang berguna bagi masyarakat dan negara. 7.4 Pendidikan dan Wujudnyata Eksistensi Dirinya Kedengarannya agak klise atau dianggap tradisional, namun ajaran-ajaran dalam mendidik perempuan agar menjadi kepribadian yang matang sebagai berikut ini tidak dapat dipungkiri. Sebagaimana tercantum di dalam Tinjauan Pustaka dalam penelitian ini, pendidikan merupakan keniscayaan agar perempuan dapat survive for excistence. Namun demikian, bukan berarti perempuan yang berpendidikan tinggi, secara mutlak terlepas dari perlakuan diskriminatif dalam masyarakat. a.

Tidak Dipengaruhi oleh Trauma dan Konflik Masa Kecil Dalam buku Growth Psychology – Model of the Healthy Personality (1991) yang ditulis Duane Schultz dan Women Power – the Secrets of Leadership (1992) karya Dorothy Cantor dan Tony Bernay dijelaskan bahwa Kepribadian yang sehat dan matang adalah mereka yang tidak dipengaruhi oleh trauma dan konflik masa kecil. Artinya, perempuan dengan kepribadian yang matang berawal dari pendidikan adan asuhan orang tua mereka di masa lalu. Apabila perlakuan yang mereka terima bermasalah, bukan tidak mungkin mereka menjadi orang yang bermasalah hingga dewasa. Orang-orang yang sehat dibimbing dan diarahkan oleh kekinian serta tujuan dan antisipasi ke masa mendatang; pandangan mereka adalah ke masa depan. Menurut teori Allport, kepribadian yang sehat terkait dengan prinsip-prinsip penguasaan dan kompetensi. Tiap kepribadian memiliki keunikan yang mencakup diri: secara fisik, identitas, aktualisasi, pengembangan, profil, rasionalitas, prilaku wajar dalam berusaha dan berkepribadian.

b.

Aktualisasi Diri dan Kepribadian Produktif Aktualisasi diri menurut Maslow adalah apabila seseorang telah mencapai kebutuhannya seperti kebutuhan: fisiologi, rasa aman, cinta dan mencintai, penghargaan diri dan aktualisasi diri. Kebutuhan yang terakhir ini merupakan perkembangan tertinggi dari untuk memanfaatkan semua potensi, kapasitas dan kompetensi diri yang mendorongnya untuk meraih aktualisasi diri. Tujuannya adalah untuk memperkaya kehidupan seseorang. Terdapat beberapa indikasi dari aktualisasi diri yaitu: mengobservasi realitas secara efisien, penerimaan secara umum terhadap hakikat keberdayaan diri dan orang lain, spontanitas, kesederhanaan dan kewajaran, fokus kepada masalah di luar dirinya, kebutuhan akan privasi dan kemandirian, kepentingan social, kepribadian demokratis, kemampuan membedakan antara kebaikan dan keburukan, rasa humor yang terkendali serta tahan terhadap budaya yang buruk. Kepribadian yang produktif menurut Erich Fromm adalah manusia untuk memahami dan mengubah kepribadian seseorang sebagai tuntutan budaya. Apakah

24

keprobadian sehat atau bermasalah tergantung pada budaya yang mendukung atau merusak (menghambat) perkembangan manusia secara positif. Fromm memandang bahwa kepribadian seseorang tergantung pada produk budaya. Budaya yang buruk menciptakan permusuhan, prasangka, ketidaksetiaan antar anggota masyarakat yang dapat merusak perkembangan tiap individu. Kepribadian yang produktif merupakan implementasi dan realisasi potensi manusia. Kepribadian secara fungsional adalah ketika seseorang mampu mengandalkan pengalaman diri sebagai landasan kehidupan berupa kenyataan yang ia alami. Aktualisasi diri adalah motivasi orang-orang sehat dan harga diri. Kepribadian secara fungsional mencakup: keterbukaan terhadap pengalaman, kehidupan eksistensial, percaya diri, rasa bebas dan kreativitas. Kebermaknaan diri menurut Viktor Frankl adalah kepribadian yang sehat mencakup: kemerdekaan untuk bertindak, bertanggung jawab atas tindakannya, mandiri, pencarian makna kehidupan yang sesuai, pengendalian diri, pengungkapan nilai-nilai kratif, nilai-nilai pengalaman dan pemikiran serta kemampuan mengatasi masalah pribadi. c.

Pentingnya Perempuan Menyadari dan Menghayati Kekuasaan perempuan bukan berarti keinginan perempuan untuk berkuasa bila dibandingkan sikap laki-laki untuk berkuasa. Kekuasaan dalam hal ini memiliki makna kebaikan yang tidak berseberangan dengan kodrat perempuan sebagai individu yang mengasuh dan merawat. Mengapa kita tidak menggabungkan kebaikan dari sikap pria dengan kodrat sebagai perempuan untuk mencapai sesuatu? Kekuasaan pribadi merupakan kapasitas yang membuat orang lain melakukan sesuatu untuk kita karena mereka mengenal kita dan menyukai kita. Kekuasaan ibu. Walaupun kekuasaan dan pengasuhan tampak bertentangan, pada kenyataannya perempuan sangat dominan di dalam rumah tangga. Membesarkan anak merupakan posisi yang berkuasa. Kekuasaan perempuan memiliki dimensi yang jelas dan tersembunyi. Ibu pada dasarnya merupakan pemimpin dalam rumah tangga – berbelanja, merencanakan makanan dan liburan serta waktu tidur dan bekerja dan sebagainya. Dimensi yang tersembunyi dari kekuasaan ibu adalah kemampuannya membesarkan anak-anak. Keberhasilan seorang ibu adalah keberhasilan anak-anaknya. Walaupun ibu sadar akan pengaruhnya terhadap anak-anaknya, tetapi ia tidak menyadari bahwa pengaruh itu merupakan “kekuasaan”. Kekuasaan dan kemampuan untuk memimpin. Kemahiran dari suatu kekuasaan, apakah ia laki-laki atau perempuan, tidak menjamin kepemimpinan dan kemampuan mempengaruhi orang lain akan tumbuh dengan sendirinya. Kekuasaan semata tidak cukup. Pemimpin yang berhasil harus merasa yakin bahwa gagasannya dapat diterima oleh orang lain dan orang lain tersebut akan memandangnya sebagai seorang yang memiliki otoritas. Menjadi seorang pemimpin merupakan wilayah laki-laki. Hal ini merupakan dilema bagi perempuan. Bila seorang laki-laki memimpin laki-laki lainnya, mereka menganggap hal ini sebagai kesetaraan. Situasi akan berubah bila seorang perempuan

25

memimpin laki-laki karena perempuan selalu dididik sejak kecil agar tidak mengangkat dagu di hadapan laki-laki. Kebanyakan laki-laki tidak menerima supervisi dari perempuan. Itulah sebabnya mengapa pemimpin perempuan, walaupun ia merasa bahwa gagasannya itu benar untuk ditampilkan akan menghadapi kesulitan untuk memperoleh pengakuan dari laki-laki dibandingkan bila laki-laki yang menjadi pemimpin. Pendidikan. Nilai dari suatu pendidikan tidak dapat ditekankan secara berlebihan karena pendidikan harus didukung oleh kompetensi diri dan agresi kreatif. Hal yang penting adalah tidak merespon secara emosional serangan yang dihadapi karena respon secara emosional oleh perempuan kerap kali dianggap keanehan dan memperkuat pandangan bahwa perempuan tidak mampu mengatasi tekanan. Perempuan harus berusaha menahan perasaan emosional. 8.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah yang dihadapi perempuan merupakan hasil perjalanan sejarah kehidupan manusia yang dikemas dalam bentuk budaya termasuk pandangan keagamaan. Tidak mudah untuk mereformasi pandangan-pandangan yang menempatkan perempuan sebagai warga negara “marjinal”. Perempuan harus mengubah nasibnya sendiri apabila ia ingin eksis dalam kehidupan ini. Perempuan tidak selalu mengamini pandangan masyarakat bahwa mereka makhluk yang sangat emosional sehingga membuat diri mereka menderita. Perempuan harus berjuang yang dimulai dari rumah tangga agar mereka menjadi orang-orang berkualitas yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Perempuan harus bermartabat dan memelihara harga diri dan menjadi panutan bagi orang di sekitarnya. Hal yang paling penting, perempuan harus menjadi sumber kebahagiaan di mana pun ia berada, terutama di lingkungan keluarga, bukan sumber pertikaian. Kehadirannya selalu dirindukan oleh – setidaknya – anggota keluarga. DAFTAR PUSTAKA Blackburn, Susan (terj.). Kongres Perempuan Pertama – (The First Congress of Women). Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2007. Buzawa, Eve, S dan G. Carl,. Domestic Violence and Criminal Justice Response. Sage Publication, London: 1990. Bystydzienski, Jill, M. Women Transforming Politics – Wordlwide Strategies for Empowerment. Indiana University Press, Indianapolis: 1992. Cantor, Dorothy, W dan Toni Bernay. Women Power The Secret of Leadership. Houghton Wifflin Company, London: 1992. Convention Watch. Hak Asasi Perempuan – Instrumen Hukum untuk Mewujudkan Keadilan Gender (Women Civil Rights – Law Intruments to Implement Gender Justice). Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2007.

26

Creswell, John W. Research Design (terj.). KIK Press, Jakarta. 2002. Davidson, Marilyn, J dan Cary L Cooper . Shattering The Glass Ceiling – The Woman Manager. Paul Chapman Publishing, Ltd., London: 1992. Davis, Miranda (ed). Women and Violence. New Jersey: Zed Book Limited, 1994. Dewey, John. Democracy and Education. The Free Press, New York: 1966. Djajanegara, Soenarjati. Bahasa, Sastra dan Wanita (Language, Literature and Women). Penaku, Jakarta: 2010. Edwards, Susan, SM. Policing ‘Domestic Violence’. Sage Publication, London: 1989. Efshar, Halei. Women and Politics in The Third World. Routledge, London: 1996. Hellwig, Tineke. Citra Perempuan di Hindia Belanda (The Image of Women in the Era of Dutch Colonialism in Indonesia). Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2007. Jones, Pip. Introducing Social Theory (terj.). Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2009. Kristi Poerwandari. Penguatan Psikologis Untuk Menanggulangi Kekerasan Dalam Rumah Dan Kekerasan Seksual (Psychological Strength to Overcome Domestic Violence and Sexual Harassment). Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: 2006. Matsui, Yayori (terj.). Perempuan Asia – Dari Penderitaan Menjadi Kekuatan (Asian Women – From Suffering to Strength) . Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2002. Menulis Ilmiah – Metode Penelitian Kualitatif (The Method of Qualitative Approach) Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2010. Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan(The Method of Bibliographical Research). Yayasan Obor Indonesia, Jakarta: 2004. Schultz, Duane, D. Growth Personality – the Secrets of Leadership (trans). Kanisius, Yogyakarta: 1991. Waskitamandiribk's Blog.

27

PENGARUH ACHIEVEMENT GOALS TERHADAP PRESTASI BELAJAR MAHASISWA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS DARMA PERSADA Swany Chiakrawati Sastra Inggris - Fakultas Sastra [email protected] ABSTRACT Students have tendency to study when they have examination. The excuse why they do so is because forgotten the material during exam. Through this phenomena, one thing can be understood obviously that the students only study in order to get high score for the exam result. Having deep mastery on the glesson is not the priority for them. Only few of them are really study in order to mastery the lesson, besides obtaining the high score. If the students study in order to get high score or to have better academic record than their friends, without any intention to master the lesson, the students only have performance goals. In the other hands, if the students have high motivation to do the deep study on the lessons in order to master the material, the students have already had mastery goals for their learning target. The subjects in this research, are the students at faculty of letters, Darma Persada University, who are believed have either performance goals or mastery goals as their achievement goals to be fulfilled in their study. This research will be done in quantitative way. Data will be collected by distributing the achievement goals questionnaire and the academic records. The collected data will be counted using the SPSS program in order to prove the hypothesis saying that there is correlation between achievement goals and academic results of the students. The result shows the significant correlation between the two related variables above. Key words: achievement goals, mastery goals, performance goals, prestasi belajar. 1.

PENDAHULUAN

Mahasiswa cenderung belajar hanya pada saat menghadapi ujian. Apabila tidak ada ujian, mahasiswa cenderung tidak mau belajar, dengan alasan saat ujian sudah lupa apabila terlalu cepat mempelajari materi yang akan diujikan tersebut. Proses belajar didominasi dengan tujuan mendapat nilai yang tinggi, dan tidak untuk menguasai pelajaran tersebut. Guna menghadapi ujian, dimana mahasiswa harus mengeluarkan apa yang telah dipelajari dalam waktu singkat menyebabkan mahasiswa tidak dapat melakukan pembelajaran secara mendalam pada mata kuliah tersebut. Di satu sisi, mahasiswa dengan kecenderuangan sikap seperti yang diungkapkan di atas menjadi fenomena yang sering dijumpai di kampus, namun di sisi lain, terdapat juga mahasiswa yang rajin. Mahasiswa ini senantiasa belajar walaupun tidak ada jadwal ujian. Mahasiswa memiliki cara belajar yang terencana, dan terarah dalam menyelesaikan tanggung jawab dan memenuhi target belajar yang telah ditetapkan.

28

Mahasiswa yang belajar hanya saat ujian dengan tujuan mempeoleh nilai yang bagus, atau memperoleh nilai lebih tinggi daripada temannya, dikatakan memiliki performance goals. Sedangkan mahasiswa yang selalu belajar sekalipun tidak ada jadwal ujian, dikatakan memiliki mastery goals dalam dirinya. Baik mastery goals maupun performance goals merupakan goals yang membentuk achievement goals pada seorang mahasiswa. Dengan memiliki achievement goals, maka langkah mahasiswa untuk belajar dapat diatur sehingga hasil belajar sangat disadari dan dapat diterima mahasiswa dengan lapang dada dan segera diberi umpan balik oleh gurunya. Mahasiswa yang kuliah di Fakultas Sastra Universitas Darma Persada tentu juga ada yang belajar dengan tujuan mencapai mastery goals dan ada yang cukup mencapai performance goals. Kedua gol pembelajaran ini yang disebut sebagai achievement goals. Masing-masing pencapaian gol tersebut memiliki ‘konsekuensi’ terhadap prestasi belajar mahasiswa bersangkutan. Apabila mahasiswa belajar dengan target mastery goals, selain prestasi akademik yang memuaskan tentu mahasiswa tersebut akan memahami dan menguasai pelajaran yang diberikan secara mendalam serta berani melakukan ujian untuk memastikan bahwa pelajaran yang diajarkan telah dipahami dan dikuasai dengan baik dan benar. Sedangkan mahasiswa yang bertarget performance goals hanya mengutamakan pencapaian nilai yang tinggi atau nilai yang lebih baik daripada teman sekelasnya atau nilai terbaik di kelasnya pada setiap semester. Mahasiswa dengan target performance goals belum tentu memiliki pemahaman dan penguasaan materi secara mendalam, walaupun memperoleh prestasi yang memuaskan. Dalam penelitian ini tidak dibedakan antara antara mahasiswa yang memiliki mastery goals dan performance goals. Yang difokuskan adalah menguji adanya achievement goals (baik mastery maupun performance goals) yang dimiliki mahasiswa terhadap prestasi akademik yang dicapainya. Achievement goals merupakan suatu upaya untuk yang dilakukan dalam proses mencapai target tertentu( Eggen & Kauchak: 2001). Achievement goals dikembangkan untuk memahami motivasi dan prilaku yang menjadi sebab mengapa suatu target harus ditentukan untuk kemudian dipenuhi. Dengan memiliki achievement goals, akan jelas alasan dan tujuan, mengapa seseorang mengarahkan dirinya untuk meraih suatu target prestasi tertentu. Pada saat seseorang melakukan proses belajar, keseluruhan proses belajar tersebut dilakukan dengan berorientasi pada tujuan atau gol yang ingin dicapai. Belajar tidak dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Goal orientation merupakan orientasi dalam menjalankan suatu kewajiban berdasarkan keyakinan akan tujuan, kompetensi, keberhasilan, kemampuan serta sejauh mana kesalahan yang dapat terjadi. Achievement goals yang mengarah pada goal orientation senantiasa membuat mahasiswa lebih yakin karena jelas dengan target pembelajaran mereka. Dengan kesiapan yang dimiliki saat melakukan proses belajar, sangat diharapkan hasil belajar yang dicapai merupakan prestasi yang tidak bertahan hanya dalam sekejap. Dalam hal ini, menurut Snow(1989) prestasi belajar yang dicapai haruslah merupakan mastery goals dan bukan performance goals semata. Pada tahap ini, target belajar bukan hanya untuk mendapatkan prestasi sekejap, namun merupakan pemahaman sepenuhnya dan penguasaan materi dalam pembelajaran merupakan target belajar. Namun, mahasiswa

29

dengan achievement goals yang tinggi, baik mastery dan performance goals, diduga akan mendukung motivasi mahasiswa untuk mencapai target belajar tertentu (Zimmerman, Bandura & Martinez-Pons:1992). Menurut Blumenfeld (1992) yang menyakini bahwa achievement goals adalah representasi dari target belajar yang ingin dicapai berdasarkan kondisi akademis yang sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam meraih pretasi belajar yang memuaskan. 2. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dalam penelitian adalah menguji hipotesis adanya pengaruh achievement goals terhadap prestasi belajar mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki achievement goals, baik mastery goals maupun performance goals seyogyanya memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi, dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak memiliki achievement goals. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengajar untuk memotivasi mahasiswa sehingga mahasiswa dapat menentukan gol akademik yang ingin dicapai. Dengan demikian, mahasiswa dapat diarahkan untuk mampu berprestasi lebih baik. Selain itu, prodi mengembangkan kurikulum yang mendukung peningkatan kompetensi akademik mahasiswa. Dalam penelitian ini, achievement goals merupakan independent variable atau variabel eksogen, mempengaruhi prestasi belajar yang merupakan dependent variable atau variabel endogen. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh langsung yang signifikan variabel achievement goals terhadap prestasi belajar mahasiswa. Adapun definisi operasional dari variabel achievement goals adalah tujuan-tujuan yang mendasari keterlibatan individu untuk berprestasi. Tujuan ini menentukan bagaimana cara pendekatan mahasiswa dalam aktivitas belajarnya. Data dikumpulkan dengan menggunakan Achievement Goal Questionnaire dari Elliot. Butir-butir pertanyaan dalam kuisioner tersebut terdiri dari 2 indikator yaitu mastery goals dan performance goals. Mastery goals meliputi pendekatan belajar yang berorientasi pada penguasan terhadap tugas baru, peningkatan kompetensi dan persepsi mengenai keberhasilan. Performance goals meliputi pendekatan belajar yang berorientasi pada keinginan untuk dianggap mempunyai kemampuan lebih oleh orang lain dan keinginan untuk memperoleh nilai yang lebih tinggi dari orang lain. Prestasi belajar adalah prestasi akademik atau nilai indeks prestasi (IP) yang berhasil dicapai mahasiswa dalam berbagai mata kuliah, yang tercetak pada kartu hasil studi (KHS) mahasiswa. Populasi penelitian adalah mahasiswa fakultas sastra universitas Darma Persada. Karakteristik pengambilan sampel adalah mahasiswa semester 4 dan 6 dari program studi bahasa dan sastra Inggris S1 serta bahasa dan sastra Jepang S1. Pengambilan subyek dalam

30

penelitian ini menggunakan purposive sampling. Subyek penelitian sebanyak 12 orang, terdiri dari 6 mahasiswa yang berturut-turut memiliki prestasi terbaik pada 2 semester sebelumnya dan 6 mahasiswa yang memiliki prestasi terburuk berturut-turut selama 2 semester sebelumnya. Dari 12 mahasiswa tersebut, 6 mahasiswa adalah mahasiswa program studi bahasa dan sastra Inggris S1, terdiri dari 3 mahasiswa semester 4 dan 3 mahasiswa semester 6. Sedangkan 6 mahasiswa yang lainnya adalah mahasiswa dari program studi bahasa dan sastra Jepang S1, terdiri dari 3 mahasiswa semester 4 dan 3 mahasiswa semester 6. Ada beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan pemilihan subyek penelitian yang merupakan mahasiswa semester 4 dan 6. Mahasiswa semester 4 seharusnya telah menyadari pentingnya prestasi akademik. Sejauh mana seorang mahasiswa memiliki achievement goals dalam dirinya untuk mencapai prestasi belajar maksimal yang menjadi target belajarnya, seharusnya sudah dapat diketahui pada semester 4. Sedangkan sebagai pertimbangan mahasiswa semester 6 terlibat sebagai subyek penelitian sama halnya dengan mahasiswa semester 4. Apabila pada semester 6, mahasiswa menyadari perlunya achievement goals yang dapat memotivasi sikap belajar untuk mengejar prestasi belajar secara maksimal, masih ada kesempatan melakukan perbaikan sikap dan mengejar ketinggalan pada semester-semester sebelumnya. Pertimbangan subyek penelitian adalah mahasiswa dari program studi bahasa dan sastra Inggris serta mahasiswa dari program studi bahasa dan sastra Jepang merupakan usaha untuk membuktikan bahwa achievement goals tidak ada hubungannya dengan keyakinan atau kepercayaan diri mahasiswa terhadap apa yang sudah pernah dipelajari dan apa yang belum pernah dipelajari. Achievement goals lebih terarah pada kemauan atau motivasi mahasiswa untuk berusaha mencapai hasil terbaik dari apa yang sedang dijalankan. Mahasiswa yang belajar di jurusan bahasa dan sastra Inggris, di mana bahasa Inggris telah dipelajari selama 12 tahun di sekolah, seharusnya memiliki achievement goals yang sama dengan mahasiswa yang belajar di jurusan bahasa dan sastra Jepang, di mana bahasa Jepang belum pernah dipelajari sebelumnya di sekolah. Pertimbangan subyek penelitian adalah mahasiswa dari program studi bahasa dan sastra Inggris serta mahasiswa dari program studi bahasa dan sastra Jepang merupakan usaha untuk membuktikan bahwa achievement goals tidak ada hubungannya dengan keyakinan atau kepercayaan diri mahasiswa terhadap apa yang sudah pernah dipelajari dan apa yang belum pernah dipelajari. Achievement goals lebih terarah pada kemauan atau motivasi mahasiswa untuk berusaha mencapai hasil terbaik dari apa yang sedang dijalankan. Mahasiswa yang belajar di jurusan bahasa dan sastra Inggris, di mana bahasa Inggris telah dipelajari selama 12 tahun di sekolah, seharusnya memiliki achievement goals yang sama dengan mahasiswa yang belajar di jurusan bahasa dan sastra Jepang, di mana bahasa Jepang belum pernah dipelajari sebelumnya di sekolah. Pertimbangan subyek penelitian adalah mahasiswa dari program studi bahasa dan sastra Inggris serta mahasiswa dari program studi bahasa dan sastra Jepang merupakan usaha untuk membuktikan bahwa achievement goals tidak ada hubungannya dengan keyakinan atau kepercayaan diri mahasiswa terhadap apa yang sudah pernah dipelajari dan apa yang belum pernah dipelajari. Achievement goals lebih terarah pada kemauan atau motivasi mahasiswa untuk berusaha mencapai hasil terbaik dari apa yang sedang dijalankan. Mahasiswa yang belajar di jurusan bahasa dan sastra Inggris, di mana bahasa

31

Inggris telah dipelajari selama 12 tahun di sekolah, seharusnya memiliki achievement goals yang sama dengan mahasiswa yang belajar di jurusan bahasa dan sastra Jepang, di mana bahasa Jepang belum pernah dipelajari sebelumnya di sekolah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Pengumpulan data yang menggunakan kuesioner dengan skala likert,1-4, disebar ke populasi penelitian. Angka 4 menunjukkan sikap sangat setuju dengan pernyataan dalam kuisioner, diikuti angka 3 yang berarti setuju, lalu angka 2 yang berarti tidak setuju, hingga angka 1 yang berarti sangat tidak setuju dengan pernyataan dalam kuisioner. Hanya ada 4 opsi(genap) sebaran sikap dalam skala Likert yang digunakan, dengan harapan menghindari kecenderungan mahasiswa yang senantiasa memilih opsi tengah untuk ‘mencari aman’ atas jawaban yang diberikan apabila terdapat 5 opsi (ganjil). Tidak perlu dilakukan uji validitas dan reabilitas karena kuisioner yang digunakan, Achievement Goal Questionnaire (AGQ) dari Elliot merupakan kuisioner yang telah baku (lampiran II). Hasil-hasil dari kuesioner akan dihitung dengan piranti lunak SPSS versi 16. Melalui penghitungan dengan regresi linier yang terdapat dalam program SPSS versi 16, hipotesis penelitian ini akan diuji. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuktian menunjukkan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, cocok/fit dengan data. Pengaruh langsung antara achievement goals dan prestasi belajar mahasiswa dengan kemungkinan kesalahan lebih kecil dari 0.05(5%). Dengan kata lain, pengaruh achievement goals sebesar 0.510, yang berarti ada hubungan yang kuat antara achievement goals dan prestasi akademik mahasiswa. Dengan demikian, hipotesis yang menunjukkan bahwa variabel achievement goals telah memberikan kontribusi terhadap prestasi mahasiswa, dapat diterima. Achievement Goals 1.000 .510

Pearson Correlations Achievement Goals Indeks Prestasi Sig Achievement Goals Indeks Prestasi N Achievement Goals Indeks Prestasi

.006 12 12

Indeks Prestasi .510 1.000 .006 12 12

Selain itu, diketahui juga, ternyata mahasiswa yang berprestasi rendah masih memiliki semangat untuk berusaha meningkatkan ketrampilannya. Mahasiswa-mahasiswa ini memiliki kekuatiran atau kecemasan yang tinggi saat hasil belajar tidak memuaskan. Mereka takut mengecewakan orang tua dan orang sekeliling yang telah memberi dukungan dalam proses blajar mereka baik secara langsung, maupun tidak langsung. Sebaliknya, mahasiswa yang berprestasi tinggi ternyata belum siap menerima tantangan pelajaran yang sulit. Hal ini disebabkan oleh adanya kecemasan mereka tidak dapat mencapai prestasi maksimal apabila harus dihadapkan pada soal-soal yang sulit.

32

Dengan kata lain, prioritas utama mahasiswa adalah belajar untuk mencapai nilai tertinggi. Banyak cara ditempuh untuk memperoleh nilai yang sempurna, tanpa harus menguasai pelajran yang diajarkan. Berbagai kondisi yang terarah pada pemahaman dan pengusaan materi, justru ditanggapi dengan kurang antusias. Butir-butir pertanyaan dibacakan dalam terjemahan bahasa Indonesia satu persatu kepada mahasiswa untuk menyamakan persepsi mahasiswa terhadap apa yang ditanya, saat mahasiswa diminta menjawab butir-butir pertanyaan dalam kuisioner tersebut. Dari jawaban-jawaban mahasiswa kedua bidang studi tersebut terhadap suatu pernyataan tertentu (lampiran 1), tidak terdapat perbedaan yang mencolok, sehingga seperti apa yang telah ditulis sebelumnya bahwa achievement goals tidak berkaitan dengan kepercayaan diri terhadap apa yang pernah dipelajari, namun lebih cenderung mengarah pada motivasi mahasiswa mencapai hasil terbaik terhadap apa yang sedang dijalani. Hasil di atas walaupun menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara kedua variable di atas, tentu masih terdapat hal lain yang juga turut berperan terhadap prestasi akademik mahasiswa. Apabila achievement goals merupakan factor yang berasal dari internal diri mahasiswa yang bersangkutan, hal lain yang berperan terhadap pencapaian prestasi akademik mahasiswa dapat berupa factor yang berasal dari eksternal diri mahasiswa tersebut. Faktor eksternal yang sering dihubungkan dengan berhasil tidaknya seorang mahasiswa dalam meraih prestasi akademik adalah dukungan keluarga, pengaruh teman-teman di lingkungan pergaulannya baik di rumah maupun di kampus, serta masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan belajar yang dijalani. Selain itu, achievement goals mahasiswa yang diukur adalah achievement goals secara umum, tidak difokuskan pada suatu mata kuliah tertentu. Oleh karena itu, tidak diketahui kekuatan dan kelemahan mahasiswa terhadap mata kuliah tertentu. Selain itu, alat tes berupa kuisioner yang dipakai merupakan alat tes yang berasal dari Amerika, sehingga terdapat kemungkinan butir-butir pertanyaan dalam alat tes tersebut tidak sesuai dengan kebiasaan yang dijalankan mahasiswa di Indonesia. Apabila hal ini terjadi, kemungkinan mahasiswa akan mengalami kesulitan dalam memahami pertanyaan yang harus dijawab dan secara tidak langsung mempengaruhi jawaban yang diisi pada butir-butir pertanyaan dalam alat tes tersbut. 4. KESIMPULAN Dengan menguji hubungan struktural antar variabel yang terlibat dalam penelitian, maka dapat disimpulkan hasil temuan penelitian sebagai berikut. Hasil perhitungan variabel achievement goals sesuai(fit) dengan data. Artinya usaha belajar yang berlandaskan achievement goals memang berpengaruh/berperan terhadap prestasi belajar yang ditunjukkan dalam nilai KHS mahasiswa. Walaupun subyek penelitian adalah mahasiswa-mahasiswa yang memiliki prestasi akademik yang ekstrim berbeda, yaitu 6 mahasiswa dengan prestasi akademik tertinggi dan 6 mahasiswa dengan prestasi akademik terendah, tentunya tidak mengurangi signifikansi uji hipotesis penelitian yang dilakukan.

33

Hasil yang signifikan ini membuktikan bahwa achievement goals sebagai faktor internal individu berperan besar dalam menentukan prestasi akademik yang berhasil dicapai seseorang. Dengan demikian dapat disampaikan bahwa sebesar-besarnya faktor eskternal berperan dalam proses belajar seorang mahasiswa, tetap tidak boleh meremehkan faktor internal yang terdapat dalam diri mahasiswa. Faktor internal, seperti achievement goals telah menyatu menjadi bagian dari kepribadian mahasiswa yang sangat sulit diubah apabila telah terbentuk dalam diri mahasiswa bersangkutan. Dengan menyadari betapa krusialnya achievement goals yang terbentuk dalam kepribadian individu, tentunya sedini mungkin, achievement goals harus ’ditanamkan’ dalam diri seorang individu. Seiring waktu, achievement goals terus ’dipupuk’ dengan baik sehingga semakin kuat, untuk mendukung individu, dalam hal ini mahasiswa, agar senantiasa berprestasi secara maksimal. DAFTAR PUSTAKA Ames, C. (1992). Classrooms: Goals, structures, and student motivation. Journal of Educational Psychology, 84, 261-271. Banks, J. (1997). Multicultural education: Characteristic and goals. Dalam J. Banks and C. Banks (Eds.), Multicultural Education: Issues and Perspectives (3rd ed., pp.3-32). Boston: Allyn & Bacon. Bempechat, J.& Drago-Severson, E. (1999). Cross-national differences in academic achievement: beyond etic conceptions of children’s understandings. Review of Educational Research. 69(3), 287-314. Blumenfeld, P. (1992). Classroom learning and motivation: Clarifying and expanding goal theory. Journal of Educational Psychology, 84, 272-281. Eggen, P. & Kauchak, D. (2001). Educational psychology. NJ: Merrill Prentice Hall. Gong, Y.P. & F, J. (2006). Longitudinal examination of the role of goal orientation in cross-cultural adjustment. Journal of Applied Psychology. 91 (1), 176-184. Heckhausen, H. & Kuhl, J. (1985). From wishes to action: The dead ends and short cuts on the long way to action. Dalam M. Frese & J.Sabini (Eds.), Goal directed behavior. The concept of action in psycholgy (pp. 134-160). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates. Schunk, D.H., Pintrich, P.R., & Meece, J.L. (2008). Motivation in Education (3rd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Pretice Hall. Schunk, D.H. & Pajares, F. (1998). The development of academic self-efficacy. Dalam A.Wigfield & J.Eccles, Development of achievement motivation. San Diego: Academic Press.

34

Snow, R. (1989). Cognitive-conative aptitude interactions in learning. Dalam R. Kanfer, P.L. Ackerman, & R. Cudeck (Eds.), Abilities, motivation, and methodology (pp. 435-473). Hillsdale, NJ: Erlbaum. Zimmerman, B.J., Bandura, A., & Martinez-Pons, M. (1992). Self-motivation for academic attainment: The role of self-efficacy beliefs and personal goal setting. American Educational Research Journal. 29 (3), 663-676.

35

PERGESERAN NILAI SEORANG IMIGRAN JEPANG AMERIKA PADA TAHUN 1990-AN DALAM NOVEL POLITE LIES KARYA KYOTO MORE Karina Adinda, Eka Yuniar Ernawati Sastra Inggris-Fakultas Sastra [email protected] , [email protected]

ABSTRACT The point of this writing is the replacement of values which are reflected through Japanese American in 1990 in the novel Polite Lies by Kyoto Mori. This writing relates the differences among Japanese cultures and American cultures especially for the women existence in the name of human being which have the same rights in any parts of life. In this powerful, exquisitely crafted book, Kyoko Mori who represents her character as “I”, delves into her dual heritage with a rare honesty that is both graceful and stirring. Mori describes from her unhappy childhood in Japan, weighted by a troubled family and a constricting culture, to the American Midwest, a new place with many different values, where she found herself free to speak as a strong-minded independent woman, even though still an outsider, she explores the different codes of silence which can be seen through her mother (Takako) as part of her deference and expression. Here, Mori try to explain as one woman's life becomes the mirror of two profoundly different societies Key words: wanita imigran Jepang, pergeseran nilai, individualism, Ryousaikenbo, jatidiri. 1. PENDAHULUAN Amerika merupakan negara imigran dengan beraneka ragam sukubangsa dan memiliki jatidiri yang dibawa dari negeri asal mereka. Hal itu sangat dipengaruhi oleh lokasi atau latar belakang sejarah. Seiring dengan keaneka ragaman kebudayaan tersebut seringkali setiap individu yang menetap di Amerika menghadapi perubahan jatidiri atas nilai budaya baru yang diserapnya di Amerika. Makalah yang berjudul Polite Lies karya Kyoko Mori ini ditulis untuk mengkaji bagaimana Kyoto Mori sebagai tokoh sentral, di dalam novel menggunakan kata “I” untuk merepresentasikan dirinya. Dia adalah warganegara Amerika keturunan Jepang, yang telah mengadopsi kebudayaan Amerika selama 20 tahun. Masa kecil hingga ia mencapai usia dua puluh tahun dihabiskannya di Kobe, Jepang sebagai tempat kelahirannya. Namun keadaan mengubah jalan hidupnya untuk bermigrasi ke Amerika melanjutkan studi di Illinois Amerika hingga pada akhirnya ia menikah dan tinggal di Green Bay Midwest. Banyak pelajaran diperolehnya dari kebudayaan Amerika yang kontradiktif dengan negara asalnya, Jepang, terutama dalam hal yang berhubungan dengan jender. Masyarakat Amerika yang lebih terbuka dalam banyak hal berbanding terbalik dengan masyarakat Jepang. Di masa kecilnya, Kyoto Mori merupakan anak yang tidak

36

memperoleh kebahagiaan yang seharusnya dapat diperoleh oleh anak seusianya. Hal tersebut dilatar belakangi keberadaan kedua orang tuanya, di mana sang ibu, Takako, yang dengan setia mematuhi nilai tradisionalnya sebagai bagian dari sukubangsa Jepang, berupaya untuk tetap setia dengan melakukan berbagai sikap yang sopan terhadap apa yang dilakukan suaminya, meskipun ironisnya ia melakukan hal yang di luar dugaan yaitu bunuh diri akibat perselingkuhan yang dilakukan suaminya dengan wanita lain. Nasib berkata lain, ketika tokoh Kyoto memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studinya ke Amerika. Banyaknya nilai budaya baru yang ia peroleh memberikan banyak pencerahan dalam caranya menyikapi suatu masalah. Pada satu kesempatan ketika ia mengunjungi Jepang sebagai tanah kelahirannya, setelah kurang lebih selama dua puluh tahun ia meninggalkan negerinya tersebut, ia mengingatkan kembali kepada kehidupan masa lalunya yang berlawanan dengan kenyataan pada dirinya saat ini yang membuat Kyoko lebih gampang mengkritisi tradisi dan kebudayaan nenek moyangnya. Sebagai figur yang sudah merasakan tradisi di dua benua, Kyoko dengan leluasa mengkaji ulang jatidiri yang selama ini diterimanya tanpa perlawanan. Belajar dari pengalaman masa lalu yang dialami oleh ibunya, Takako, sesungguhnya Kyoto tak hanya mengkritisi nilai yang dipeluk oleh masyarakat Jepang, tetapi juga membandingkannya dengan nilai yang ditemuinya di negaranya yang baru, Amerika terutama mengenai nilai kebohongan dan sopan santun seperti ini juga acap menjadi bagian dari wanita Jepang, dengan mengingat kembali akan setiap sikap dan peristiwa yang pernah dialami oleh ibunya. Melihat kenyataan ini pun, Kyoko tak punya pilihan lain kecuali menjadi orang asing yang berpegang teguh pada prinsipnya sendiri. Sekalipun perceraian dengan suami tercinta harus menjadi taruhannya. Pada hakekatnya, nilai adalah kepercayaan-kepercayaan bahwa cara hidup yang diidealisasi adalah cara yang terbaik bagi masyarakat. Oleh karena nilai adalah kepercayaan maka nilai berfungsi mengilhami anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan cara yang diterima masyarakatnya. Oleh karena nilai-nilai adalah gambaran-gambaran yang ideal, maka nilai-nilai tersebut merupakan alat untuk menentukan mutu perilaku seseorang. (Gabriel, 144:1991) Kyoto adalah tokoh warganegara Amerika keturunan Jepang, yang secara lahiriah mewakili jatidiri wanita Jepang pada umumnya, begitu juga pada tokoh Takako, ibu Kyoto. Melalui perjalanan panjang yang menghantarkan tokoh Kyoto ke Amerika, maka ia pun berupaya untuk menentukan nilai-nilai yang baru yang membawa banyak perubahan dalam menilai dirinya sendiri sebagai cara untuk menggeser nilai-nilai lama dalam budaya masyarakat Jepang seperti yang pernah dilakukan oleh ibunya. 2. PEMBAHASAN Dalam novel Polite Lies, Kyoto Mori, penulisnya, melihat bagaimana tokoh “I” sebagai wanita imigran Jepang di Amerika pada tahun 1990-an memaknai dirinya melalui konsep jatidirinya dengan bercermin terhadap jatidiri yang dipahami oleh tokoh Takako, ibunya,dalam analisis kebudayaan, dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai tradisional yang berbeda pada kedua tokoh tersebut.

37

Konsep jatidiri, dalam kaitannya dengan pengenalan diri, Sheldon Stryker (1980) memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini, Stryker tampaknya setuju dengan perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu. Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.(http://konsultasikehidupan.wordpress.com/2009/05/12/teori-identitas-identitytheory/26 Oktober 2011) Dalam pemaknaan yang lain, Suparlan (25:2004) menyatakan bahwa identitas atau jatidiri adalah pengenalan atau pengakuan terhadap seseorang sebagai termasuk dalam sesuatu golongan yang berdasarkan atas serangkaian ciri-cirinya yang merupakan satu satuan yang bulat dan menyeluruh yang menandainya sebagai termasuk dalam golongan tersebut.bagi kehidupan warga dan masyarakatnya . Identitas atau jatidiri di antara individu berakar dari kebudayaan yang dapat dibedakan dari kebudayaan individu lainnya, yang merupakan sebagai blue print atau pedoman dari sebuah masyarakat, secara operasional terwujud melalui nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya tersebut terserap dalam semua pranata-pranata sosial. Sehingga pranata-pranata sosial dapat dilihat sebagai mentransmisikan, mengembangkan, dan memantapkan sesuatu atau sejumlah nilai budaya dalam mengorganisasi berbagai upaya kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup yang dianggap penting oleh masyarakat. (Suparlan. 68:2001). Dari pemaknaan nilai-nilai budaya, maka tokoh “I” berupaya menjajaki jatidirinya sebagai warganegara Amerika keturunan jepang generasi kedua, seberapa besar perubahan yang terjadi dalam kehidupannya dengan mengkilas balik ingatannya terhadap kehidupan tokoh Takako, ibunya yang pada masa hidupnya merupakan warganegara Jepang. Penulis memusatkan perhatian kepada tokoh Takako, melalui penceritaan yang diungkapkan oleh tokoh “I”, mewakili pengarang novel Polite Lies karya Kyoto Mori. Tokoh Takako mencerminkan tokoh wanita Jepang yang senantiasa menghormati nilai-niai tradisionalnya yang telah menjadi idealisme kaum wanita Jepang sejak tahun 1847, tepatnya ketika Restorasi Meiji sedang gencar-gencarnya diberlakukan di Jepang, dan nilai tersebut diperkenalkan oleh seorang ahli konfusian jepang yaitu Nakamura. Ia menemukan sebuah konsep nilai yang dianggapnya baik untuk ditanamkan kepada para wanita Jepang pada masa itu, yang disebut dengan Ryousaikenbo.

38

Ryousaikenbo adalah nilai yang dianut oleh wanita Jepang yang telah menikah dan memiliki anak dan harus secara penuh mengurus rumah tangga dan merawat anak serta patuh segala keputusan suami. Atas dasar konsep ryousaikenbo ini wanita Jepang harus dapat berperan sebagai istri yang baik dan mengatur keadaan rumah dan melayani kebutuhan keluarga terutama suami dan dapat juga berperan sebagai ibu yang bijaksana dalam menyerahkan diri sepenuhnya untuk mendidik anak sehingga kedua hal tersebut merupakan prioritas utama.(http://sosialbudayajepang.blogspot.com/2012/07/pengaruhryousaikenbo-terhadap-karir_22.html) Di sisi lain, tokoh “I” yang telah bermigrasi ke Amerika telah melihat banyaknya kontradiktif nilai budaya. Amerika, yang secara tradisional, memiliki nilai-nilai budaya inti yang sangat menjunjung tinggi kebebasan setiap individu. Di antara sejumlah nilai budaya Amerika, ada sejumlah nilai budaya pokok dan mendasar yang mendukung berlakunya prinsip-prinsip demokrasi, antara lain, adalah individualisme …dimana individu mempunyai kebebasan dalam mengekspresikan dirinya dan tidak terkungkung oleh adanya sistim patronase. (Suparlan, 69:2001) Dalam kaitannya dengan kepentingan kelompok yang melibatkan hak, tanggung jawab dan kewajiban, tokoh “I" memaparkan bagaimana wanita Jepang memaknai posisinya setelah menikah hanya berhak dan berkewajiban atas hal-hal yang berhubungan dengan masalah di ‘dalam rumah” saja. Sementara seorang suami adalah Tuannya. In Japan, a woman’s place is always in the house, which belongs to a man. The most common Japanese word for a wife is ka-nai, literally, “house inside.”… In contrast, a woman refers to her husband as shu-jin, which means “master,” “a person in charge.” (Mori, 90:1997) Sebagai seorang wanita Jepang yang mematuhi nilai tradisional Ryousaikenbo, tokoh Takako pun tidak terkecuali menghormati nilai yang telah dianut nenek moyangnya dengan mengabdikan diri dalam kehidupan di “dalam rumah”. Meskipun dalam pandangan tokoh “I” sendiri apa yang dilakukan ibunya tidak dapat diartikan sebagai sebuah kekuatan seorang wanita untuk memiliki “kebebasan di dalam rumah.” I understand that being in charge is not the same thing as having power or freedom. A person can be in charge of her house and still be trapped it…. Everything she does is for the good of the house and her family (the word ie means both a house and lineage or family), not for her own pleasure. (Mori,91:1997) Bahkan sebuah pernikahan dalam kehidupan keluarga Jepang diibaratkan laksana sebuah perjalanan, dimana pria berkewajiban hanya sebatas mempersiapkan sarana dan prasarana, baik kendaraan, perbekalan dll, sementara wanita berkewajiban menjadi navigator sekaligus yang mengemudikan kendararaan. Di sini terlihat bagaimana suatu pernikahan dalam masyarakat Jepang dengan tegas memisahkan hak dan kewajiban antara pria dan wanita begitu kuat, namun demikin, sebagai kesatuan kelompok dalam keluarga, tidak dari satu individupun, terutama kaum wanita, diberikan kebebasan untuk menyatakan pendapatnya atas dasar menghormati suaminya. (Mori, 128:1997)

39

Begitu kuatnya jatidiri kaum wanita di Jepang yang mangagungkan nilai tradisionalnya , untuk menghormati dan menjunjung tinggi atas apa yang telah ditakdirkan dan sebagai cara yang ia anggap lebih baik sebagai upaya agar tujuan hidup menjadi lebih jelas dan terarah. Dalam hal ini, tokoh Takako lebih banyak menerima apa yang dianggapnya sebagai “kodrat wanita” daripada prinsip individunya. Hal itu terlihat ketika ia lebih baik berdiam diri di sudut ruang dapur, tanpa harus dan bisa berkata apapun ketika mengetahui perselingkuhan suaminya, karena menurutnya, apa yang ia lakukan adalah suatu suatu bentuk kesopanannya yang mengemban nilai Ryousaikenbo yang memang semestinya ia lakukan demi menjaga nama baik dan kehormatan keluarga.. My mother had many reasons to sit alone in the kitchen feeling miserable. My parent’s marriage didn’t get any better … my mother sat alone in her kitchen, she could not even look forward to being left in peace: one of the women would call to weep and complain about my father’s unfaithfulness. (Mori, 97:1997) Sikap lain pun ditujukan tokoh Takako untuk menjaga kehormatan suaminya tetap setia melayani suaminya ketika mabuk dan membawa teman-temannya datang ke rumah. Mengisi kembali gelas demi gelas minuman yang telah kosong, sementara pada saat yang bersamaan, suaminya tak henti-hentinya berceloteh tentang wanita simpanannya. Namun, tokoh Takako dengan sabar melakukan tugasnya seolah-olah dia tidak mempedulikan apa yang diucapkan oleh suaminya. (Mori, 79:1999) Tetapi, tanpa diduga-duga oleh keluarga besarnya, sepandai-pandainya tokoh Takako menyembunyikan perasaannya dan meskipun terlihat sabar menerima perlakuan dari suaminya, pada akhirnya ia pun tidak kuasa menyimpan beban hidupnya. Beberapa waktu berselang, dalam suatu kondisi yang sangat mengenaskan, tokoh Takako ditemukan mati mengenaskan dengan cara bunuh diri, menghirup gas ke dalam mulutnya. (Mori, 22:1997) Peristiwa tragis yang dialami oleh ibunya (Takako), senantiasa membebani pikiran tokoh “I”. Baginya, apa yang terjadi dalam kehidupan ibunya yang senantiasa menjunjung tinggi nilai nenek moyangnya (Ryousaikenbo) sangat merendahkan jatidiri wanita yang identik dengan kaum lemah. Dan apa yang diperoleh tokoh “I’ di Amerika, negeri yang memberikan banyak peluang, kebebasan dan persamaan sebagai makhluk individu, telah menggeser pandangannya untuk tidak berkiblat terhadap nilai-nilai yang menjadi jatidiri ibunya (Takako). Dalam pandangan tokoh “I” idealnya, sebuah paangan yang telah menikah, baik pria maupun wanitanya memiliki hak yang sama dalam menentukan apa yang hendak mereka lakukan. Di sisi lain, merekapun berhak membuat keputusan terbaik jika merasa tidak ada kecocokan. In an ideal American marriage, the man and the woman jointly decide where they want to go, how to get there, and what to do along the way. They share the expenses and the driving and have fun together, but if they disagree about where to go or what to do, one of the will have to give up something he or she wants. (Mori, 129:1997)

40

Bukti bahwa kematian ibunya yang tragis adalah tindakan dari beban bathin yang begitu menyakitkan, maka tokoh “I” dengan caranya sebagai individu yang memiliki hak yang sama untuk menentukan sesuatu yang ia anggap benar, memutuskn untuk berpisah dengan suaminya (Chuck). Keputusan itu ia ambil bukan karena suaminya berselingkuh, melainkan karena ia merasa tidak adanya kecocokan antara ia dengan suaminya mengenai keinginan suaminya untuk pindah rumah yang lebih luas di kota. Sementara “I” sendiri merasa telah nyaman di rumahnya yang sudah ditempatinya di Green Bay. I decided to be divorced because I began to sit alone in the kitchen late at night, as sad and silent as my mother had been. Yet there was a big difference. Chuck had never caused me to be unhappy: he would never lie to me , hurt me, or belittle me. (Mori, 100:1997). But something was wrong. If Chuck didn’t make me unhappy, then our marriage did….After ten years in Green Bay, I finally had close friends from work and from various volunteer or arts-and-crafts groups in town.. Now that I was finally settled into a community, moving to a house in the country with just my husband sounded like a return to a loneliness. I wasn’t ready for that – I would never be. (Mori, 101:1997) Meskipun keputusannya untuk berpisah dengan Chuck sangat menyedihkan, namun “I” menganggap hal itu lebih baik untuk mereka berdua. Sebuah pernikahan dalam pandangan “I” tidak mengharuskannya mengorbankan haknya dan menerima apa yang dikehendaki pasangannya. Bahkan, “I” merasakan kenyamanan atas keputusan yang telah dibuatnya tersebut. We could move forward together because I was incapable of making or accepting sacrifices. If marriage meant sacrifice, mutual or one-sided, I wanted to be alone. (Mori, 102:1997) Dari keterangan di atas dapat dilihat nilai Ryousaikenbo sebagai nilai tradisional terhadap wanita Jepang yang telah menikah dan berlaku dalam kehidupan Takako tidaklah diterapkan oleh tokoh “I”. Ia telah menggeser nilai tersebut sebagai hasil dari cara pandangnya yang telah menemukan banyak perbedaan yang sangat dalam akan nilai-nilai baru yang ia temui di Amerika. 3. KESIMPULAN Melalui novel karya Kyoto mori berjudul Polite Lies penulis dapat melihat adanya pergeseran nilai yang terjadi dalam diri tokoh “I” yang telah dibesarkan di antara dua negara yang memiliki perbedaan nilai dalam kebudayaan yang juga berbeda. Di satu sisi, Jepang dengan segala bentuk kehebatannya tidak memberikan peluang yang sama terhadap kaum wanita, terutama wanita yang telah menikah, dan di sisi lain, “I” dengan jatidirinya yang baru sebagai imigran Amerika, menyerap nilai budaya Amerika, sebagai nilai-nilai baru yang ia anggap cocok diterapkan dalam kehidupannya sebagai individu. Kebebasan, telah membuka matanya untuk menentukan apa yang dianggapnya baik bagi dirinya, terlebih setelah ia menyadari bahwa apa yang diyakini ibunya membawa penderitaan.

41

Betapapun yang dijalani Takako dalam kehidupan rumah tangganya adalah contoh dari kebanyakan wanita Jepang pada masa Meiji, namun bagi “I” pernikahan bukanlah sebuah pengorbanan, dimana dalam kenyataannya hanya menjadikan wanita makhluk lemah yang harus menuruti tradisi atas nama kehormatan keluarga. Apa yang dinyatakan oleh Stryker mengenai keberadaan diri yang memiliki peran dalam konsep jatidiri memperlihatkan bahwa sebagai individu, tokoh Takako tidak dimungkinkan untuk berpikir dan bertindak kritis. DAFTAR PUSTAKA Gabriel, Ralph H., Nilai-Nilai Amerika Pelestarian dan Perubahan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991. http://konsultasikehidupan.wordpress.com/2009/05/12/teori-identitas-identity-theory/26 Oktober 2011 (http://sosialbudayajepang.blogspot.com/2012/07/pengaruh-ryousaikenbo-terhadapkarir_22.html/27 Juni 2012 Mori, Kyoto. 1997. Polite Lies.U.S. : The Balantine Publishing Group Suparlan, Parsudi.2004. Hubungan Antar Sukubangsa.Jakarta:YPKIK Suparlan, Parsudi.2001.Jurnal Studi Amerika, Vol. VII, Jul-Des.Pusat Kajian Wilayah Amerika.UI

42

PSYCHOLINGUISTICS ANALYSIS FOR WORD RETRIEVAL IN WORD STORAGE BASED ON SEMANTIC FIELDS THROUGH MENTAL PROCESS Fridolini Sastra Inggris - Fakultas Sastra [email protected] ABSTRACT A semantic field is a set of set lexical entries with shared core meaning. That is, it groups together lexical items whose meanings are all pertinent to a specific range of semantic relations. Semantic field offers a way of cutting up the lexicon along semantic lines to group together lexical items related to each other in variety of ways. Each semantic field covers a conceptual domain, and the meaning relations that link all the lexical items in the field show that conceptual domain is represented. The semantic field and its member terms might be thought of a covering lay over the conceptual domain. Languages design their coverings differently with different numbers of terms in the designs, but all place the coverings as w hole over same domain. 1. INTRODUCTION Advance Indonesian learners of English have relatively reached a high degree of proficiency. Their grammar is generally good to express most concepts. They can comprehend and produce complex sentences which reflect their sufficient knowledge of that language. However, in certain constructions where syntactic and semantic correlations between Subject and Verb Predicates or between Verb Predicates or between Verb Predicates and Objects are idiomatically fixed as in keep a promise, commit suicide, and draw a conclusion, many of these learners still make errors. This is especially true when the constructions are changed from active into passive and the object is separated far away from the verb predicate. With regards to length and sentences types, it was found that indeed the longer verb is separated from the noun, the more errors the students make and this more noticeable if the construction is passive as in the sentences below. Thus, while correct sentences such as (1) and (2) are often correctly produced, incorrect of sentences such as (3) and (4) are quite often also produced. a. You have to keep your promise b. We can easily draw a conclusion Errors in semantic selection refer to the types of error in which an Indonesian speaker chooses the word or words from the semantic field. An Indonesian may make mistake by producing collocations such as make a conclusion, hold a promise, do a visit but he will never make errors such as give a conclusion, sell a promise, or buy a visit because give, sell, and buy do not belong to the same semantic field as the correct verbs draw, keep, and pay respectively. While this type of error may be a carry-over from the Indonesian languages where the semantic congruity is often violated (as in the sentence Jumlah peserta berjumlah 30), 43

it is here postulated the errors may be also derive from the learners’ unawareness of the syntactic and semantic constrain between the nouns and the verb to commit, while the nounpromise requires the verb keep or make. 2. DISCUSSION a.

Mental Lexicon

Graham (1985) stated that lexical access and word recognition is frequently used as though they were interchangeable. However, they have different meanings, and it is important to distinguish between them. Lexical access is the retrieval of a word from the lexicon on the basis of perceptual and contextual information. That word then becomes a candidate for the identity of the current input. Word recognition is achieved when there is sufficient information to identify them accurately. The ability to recognize or produce a word presuppose that the word has been recorded in memory. In other word, each speaker of the language possesses an internal lexicon, a set of representations corresponding to the meaningful units of the language. The mental state of knowledge about word is referred to as the mental lexicon as it contains the same kinds of information that are found in a good dictionary. The mental lexicon specifies how word is spelled, how it is pronounced, what part of speech, it belongs to and what it means. Mental lexicon can be considered as a storage-a unique one since it stores not common things but words. In view of the fact that words can be retrieved relatively easily, either the input is oral or in written form, we can assume that the storage is well very organized. b. Word Storage Wilkins (in Greenbaum) stated that without grammar little can be conveyed, without vocabulary nothing can be conveyed. The single most important task is acquiring a sufficiently large vocabulary. We recognize that are much of our vocabulary consists of prefabricated chunks of different kinds. The single most important kind of chunk is collocations. Since vocabulary items must be stored somewhere in our mind, the questions that we must pose is how we humans store them. This question brings us to the concept of word storage. c. How Words Are Stored And Retrieved The fact of the matter is that human are able to retrieve words on multiple bases are able to retrieve the word same after given the word sane; we are able to produce the word cabbage after being given the word carrot etc. So, we can sort words for retrieval in many different ways. Models of lexical access need to account for this intuition and for several key characteristics of word themselves. That is to say, factors such as relatively frequency of a lexical entry, its grammatical class, and how it is pronounced, can be influence the speed and accuracy of access to that word.

44

So, how do we store words? Do we store words based on their initial phoneme or sound? Do we store words according to the semantic category? Do we store words by dividing them into grammatical classes? Here are some storage categories based on different field: 1) Storage based on Frequency Multiple studies that we tend to respond to high frequency words more readily than low-frequency words. The word predict, for instance , is more quickly perceived than to low-frequency word vilify in both lexical decision tasks and naming tasks, where subjects were asked to read words aloud. In an experiment conducted by Caron (1980), it was found that the result of the experiment shows that subjects tend to recognize high-frequency words more quickly and easily than lowfrequency words. because of these findings, frequency has played a major role in the development of models of lexical access. 2) Storage based on concreteness/abstractness It is easy to picture the ideas portrayed by concrete words such as umbrella, apple, and lantern, but we have difficulty coming up with the internal pictures for freedom, knowledge, and love. This is because humans tend to divide words into concrete and abstract categories; concrete words such as apple are more imaginable, and abstract words such as love are less easy to imagine. 3) Storage based on grammatical class. Words also seem to be organized based on their grammatical class, such as whether they are nouns, verbs, or adjectives. Evidence for this view is that words substituted for in tongue-slips always come from the same grammatical categories. People would slip as in “Buy some cabbage, I mean carrot” where cabbage and carrot are both nouns. No one would produce tongue slips like, “Buy some cabbage, I mean eat.” Content words seem to e stored separate from function words. The evidence can e seen from an aphasic who is able to produce witch and bee but not which and bee. 4) Storage based on Phonology Evidence indicates that words that sound alike, even though their first syllable are not identical, might also be connected or store close together in their lexicon. One type of evidence for phonologically based storage of lexical items comes from “tipof-the toque” phenomenon (TOT). We know what we want to say, but the word just does not come up. Words in TOT always have the same number of syllables, begin with the right sound and the whole word is similar sounding. In speech error, substitution of similar sounding words are quite common, as in medication for meditation. 5) Storage based on Sematic Field From slips of the tongue such as orange for applei and wet for dry, we can say that morphemes are stored based on semantic field. We are most likely to respond with semantically similar words. This suggests a stronger connection among words based on meaning than on, say, perceptual similarity. Words are not assembled out of a common store of semantic primitives. So how are you related to one another? This terms in a semantic field may share some elements of meaning with all the members, and share others only with a few. In the field of motion, for example. The majority of items are verbs that share the core meaning of movement : walk, trot, go, spin, and carry. Some of these incorporate differences in the manner of action that results in something else moving (carry, tow, pull, drag, slide), and some the direction of the movement (come, leave, bring, rise, drop).

45

Now how about words which are similar in meaning rather than interchangeable?. There are two different types of explanation. The first is that many of the near synonyms fit well into the vacant slot, so well that they are either as good as the right word or so close a fit that no one notices the error. The other is that these types of error are indee rare, because mental word-web deals with synonyms different words tend to get attached to different semantic field. This point of view predicts that near synonym errors would occur mainly search. So there are four links in semantic field (Aitchison 1994) : a) Co-ordination Words which cluster together on the same lavel of detail, such as salt and paper. Opposites come into this category, as they co-ordinates in a group consisting of only two members, as with left and right. b) Collocation The next most common response involved a word which was likely to be collocated with the stimulus in connected speech, as with salt, water, butterfly net, bright red. c) Super ordination. Less often, a super ordinate occurred, the cover term includes the stimulus word. For example, insect was elicited by ‘butterfly’ and color was response to ‘red’ d) Synonymy Occasionally, a rough synonym was found, a word with starved beside ‘hungry’ in conclusion, then, words are stored in human mind not at random but follow certain principles. This explains why humans are able to retrieve those words relatively easlily. DAFTAR PUSTAKA Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Hasibuan, Sofia Rangkuti. 1991. Teori Terjemahan dan Kaitannya dengan Tata Bahasa Inggris. Jakarta: Dian Rakyat. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1992. Discourse and the Translator. London: Longman. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1997. The Translator as Communicator. London: Routledge. Hatim, Basil. 2001. Teaching and Researching Translation. London: Longman. Hervey, Sándor dan Ian Higgins. 1992. Thinking Translation. New York: Routledge. Hoed, Benny H. 2006. Teori dan Masalah Penerjemahan. Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: ProDC. Hoed, Benny H., Tresnati S. Solichin, dan Rochayah M. 1993. Pengetahuan Dasar Tentang Penerjemahan. Jakarta: Pusat Penerjemahan FSUI. Hoed, Benny. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.

46

Hornby, Marry Snell. 1995. Translation Studies. An Integrated Approach. Amsterdam: Jon Benjamin Publishing Co. Larson, Mildred L. 1989. Meaning Based Translation, A Guide to Cross-language Equivalence. Terj. Kencanawati Taniran. Jakarta: Penerbit Arcan. Machali, Rochayah. 2009. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Mizan Pustaka. Moentaha, Salihen. 2008. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc Nababan, Rudolf M. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. New York: Pergamon. Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall. Nida, E.A. dan Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Venuti, Lawrence. 2004. The Translation Studies Reader. New York: Routledge. Widyamartaya, A. 1989. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Williams, Henny dan Andrew Chesterman. 2002. The MAP. A beginner’s Guide to Doing Research in Translation Studies. Manchester: St. Jerome Publishing.

47

PERUBAHAN PRANATA KELUARGA DAN KRISIS JATI DIRI MASYARAKAT INDIAN PASKA PERANG DUNIA II DALAM NOVEL CEREMONY KARYA LESLIE MARMON SILKO Agustinus Hariyana Sastra Inggris – Fakultas Sastra [email protected], ph 08121928086 ABSTRACT This study tries to show the significant changing of American Indian family institution after the 2nd World War. Through sociological and approach and qualitative method the writer analyses Leslie Marmon Silko’s work, Ceremony. Actually the changing had been started since the coming of the white people to America, but it was more shown up after the war. Through the main character of her novel Silko tries to show to the readers the changing of American Indian familyinstitution life. It is uneasy for them to avoid the raid of the white culture in the life of family. Keywords: family institution, American Indian, Ceremony, crisis of identity, sociological approach 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedatangan kaum imigran Eropa dengan berbagai motivasi di samping melahirkan harapan dan kemajuan bagi mereka, tetapi juga membawa perubahan yang mengakibatkan penderitaan bagi penduduk asli, Indian. Kaum pendatang dengan segenap semangat, kemampuan, dan kemajuan berusaha menguasai negeri baru melalui cara akulturasi, asimilasi, dan juga dengan pemaksaan. Manifestasi cara-cara ini dilakukan mulai dari yang halus dan damai lewat perjanjian-perjanjian (yang biasanya berakhir dengan penipuan) hingga peperangan. Cara-cara itu tidak sedikit yang mengakibatkan konflik yang melahirkan penderitaan lahir batin bangsa Indian. Tanah hilang, bangsa menderita, budaya tergusur atau berubah fungsi, dan diskriminasi rasial, perubahan segala aspek pranata sosial yang tidak bisa dihindari merupakan penderitaan yang harus ditanggung penduduk pribumi. Pranata sosial suku Indian yang merupakan aspek penting dalam kehidupan masyarakat secara signifikan berubah. Perubahan itu mencakup semua jenis pranata yakni, pranata politik, ekonomi, pendidikan, agama, dan keluarga. Antar jenis ini saling bertautan erat, saling mempengaruhi. Salah satu hal yang menunjukkan kertautan dan dampak ikutan adalah peristiwa perang Dunia II tahun 1940-an. Dalam perang dunia II 55 ribu bangsa Indian diikutsertakan dalam Perang Dunia II baik di medan perang maupun di industri militer. Seusai perang para tentara veteran Indian mengalami kesulitan dalam kehidupan, terutama mencari pekerjaan, bahkan lebih parah daripada sebelum perang.1 Mereka tidak hanya menderita, tetapi juga mengalami krisis jatidiri, antara menjadi bagian kehidupan 1

D’Arcy McNickle. Americans Indians. Collier’s Encyclopedia, vol.12. New York: Macmillan Educational Company, 1986, hal. 642 et.seqq.

48

Amerika atau bagian dari adat sukunya. Gambaran penderitaan dan krisis yang mengikutinya itu terlihat pada apa yang digambarkan oleh Leslie Marmon Silko dalam salah satu novelnya. Leslie Marmon Silko, pengarang wanita berdarah campuran Indian, Meksiko, dan kulit putih yang lahir pada 1948, berusaha mengungkapkan sekelumit penderitaan yang diderita kaumnya, suku Indian Navajo di resevasi Laguna New Mexico, melalui novel Ceremony. Selain lewat karya tulis ia juga belajar hukum agar bisa membela kaum Indian yang bermasalah berkaitan dengan hukum.2 . Adapun novel ini bercerita tentang tokoh Tayo (veteran Perang Dunia II) yang mengalami krisis jatidiri berkaitan dengan asal-usulnya. Ia juga mengalami depresi traumatik paska perang. Serangkaian konflik yang ia alami berkaitan dengan perasaan bersalahnya terhadap Rocky, dokter kulit putih yang merawatnya di Veteran’s Hospital, Emo (sesama veteran perang) yang menghinanya, bibinya yang sebenarnya enggan menerimanya di keluarga besar Tayo, sesama generasi muda yang terjerumus ke dalam kemiskinan, dan keadaan alam yang rusak dieksploitasi oleh orang kulit putih. Berkat neneknya, dan orang-orang senasib dengan Tayo (berdarah campuran) yang bijaksana dalam menyikapi pertemuan antara budaya luar dan budaya Indian akhirnya Tayo terbebas dari penderitaan. Melalui Ceremony ia bisa bersatu dengan lingkungannya. Arena stereotip sangat luas ini juga didukung oleh makna dari kebudayaan yang didefinisikan sebagai semua cara hidup manusia. Ini berarti termasuk juga pranata-pranata sosial yang merupakan serangkaian norma, keyakinan dan juga nilai yang saling bertautan yang berpusat pada kebutuhan dan kegiatan sosial berulang yang dianggap penting yang menurut Robin M. William dalam bukunya American Society: A Sociological Interpretation (1970) yang dikutip oleh Edgar F Borgatta dalam Encyclopedia of Sociology(1991), didefinisikan sebagai A set of interrelated norms, beliefs, and values centered on important and recurrent social needs and activities. Examples are family and kinship, economic system, the polity, education, and religion (William, 1991: 82) Atau seperti yang diungkapkan oleh Parsudi Suparlan …pranata sosial yang didefinisikan sebagai sebuah sistem antar hubungan normanorma, yang acuannya adalah nilai-nilai budaya dari masyarakat yang bersangkutan, dengan peranan-peranan dalam upaya pemenuhan kebutuhan kebutuhan hidup yang dianggap penting oleh masyarakat tersebut. (Suparlan, 2004:122) Setiap kebudayaan berintikan pada nilai-nilai budaya, dan nilai-nilai budaya inilah yang mengintegrasikan berbagai unsur kebudayaan sehingga operasional sebagai acuan pedoman bagi tindakan-tindakan manusia, dalam pemenuhan kebutuhannya. Kebudayaan didefinisikan sebagai blueprint atau pedoman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya(121).

2

http.//history.hanover.edu/hnr/hhr93.htm. Leslie Marmon Silko

49

Pranata-pranata yang merupakan pengaturan (arrangement) sosial yang paling penting (Johnson, 1985: 461) itu ada lima seperti yang ditampilkan oleh William, Johnson, dan Hunt, yakni: pranata keluarga, agama, pendidikan, ekonomi, dan politik. Pranata keluarga merupakan pranata yang paling pertama dan penting. Pranata ini berfungsi sebagai tempat berkembangnya manusia, mendapatkan perlindungan, sosialisasi, ekonomi, dan juga pewarisan status askriptif seseorang yang mencakup ras, kesukubangsaan, dan juga kelas. (Johnson, 1985: 463). Sementara itu pranata agama berfungsi untuk membantu anggota masyarakat dalam mendapatkan jawab atas pertanyaan abadi manusia menyangkut makna hidupnya. (Hunt, 1987: 118). Selanjutnya pranata pendidikan berusaha memberikan tambahan pendidikan yang telah didapatkan di lingkungan keluarga kepada generasi muda. Kemudian pranata ekonomi berhubungan dengan soal produksi, mata pencaharian dan distribusi barang dan jasa. Untuk memberikan tatanan dan aturan yang diperlukan oleh suatu masyarakat maka ada pranata politik. Di dalamnya meliputi distribusi dan penerapan kekuasaan secara kolektif (Johnson, 1985: 461) Penulis menganggap penting novel karena isinya juga mencerminkan adanya perubahan pranata keluarga dan munculnya krisis jati diri orang Indian. Pranata keluarga menurut G A Johnson (Johnson, 463) merupakan serangkaian gagasan budaya dan jalinan sosial yang bersifat tahan lama yang terorgaisis yang bertujuan untuk meraih tujuan bersama sebuah masyarakat yang meliputi produksi, sosialisasi, perlindungan, dan perawatan terhadap anggota baru. Adapun fungsinya adalah : a. Mengatur kehidupan seksualitas anggotanya b. Bertanggung jawab terhadap norma, niulai, dan keyakinan yang ada dianut c. Memelihara dan melindungi gnerasi baru serta memberi dukungan kepada yang dewasa d. Memasyarakatkan berbagai hal yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat e. Memainkan peran dalam kehidupan ekonomi, baik produksi maupun konsumsi f. Menjadi sumber pewarisan hal-hal yang bersifat askriptif, seperti ras, etnisitas, da klas sosial Bagaimana dampak yang terjadi dari pertemuan dua pranata budaya yang berbeda terhadap kehidupan keluarga akan menjadi fokus penelitian ini. 1.2 Tinjauan Pustaka Melacak secara online tentang topic ini akan terlihat betapa banyaknya analisis atau review atas karya fenomenal ini. Masing-masing menggambarkan isi ataupun pesan yang ingin disampaikan pengarang sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing. Setelah menganalisis dengan menggunakan pendekatan Moral Filosofis, Strukturalisme Genetik, Stilistika, dan Feminisme maka pada penelitian ini penulis berusaha melihatnya melalui pendekatan sosiologis, pranata sosial – terutama pranata keluarga. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas penelitian ini bertujuan membuktikan adanya perubahan pranata keluaga dan krisis jati diri salah satu suku bangsa dari masyarakat Indian Amerika akibat pertemuan budaya Indian dan kulit putih. Setelah mencermati perwatakan, latar dan juga simbol yang terdapat dalam karya ini penulis akan menganalisisnya melalui pendekatan sosiologis, terutama melalui konsep pranata keluarga. Elaborasi hasil dua macam analisis itu akan penulis gunakan untuk memperlihatkan adanya

50

perubahan pranata keluarga, krisis jati diri dan sekaligus jalan keluar yang digambarkan Silko melalui Ceremony yang merupakan sumber primer penelitian ini. Agar tujuan ini tercapai maka serangkaian sumber pustaka tentang Indian, terutama berkaitan dengan kehidupan keluarga, menjadi referensi sekunder. Jalan keluar yang ditawarkan Silko bisa menjadi salah satu sumbangan pemikiran pengatasan perubahan dan krisis akibat benturan kemajuan kebudayaan. 1.4 Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif karena apa yang penulis teliti berkenaan dengan data kualitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk simbolik seperti pernyataan-pernyataan tafsiran, tanggapan-tanggapan lisan harafiah, tanggapan-tanggapan non-verbal (tak berupa ucapan lisan), dan grafik-grafik. Dengan demikian hasil penelitian akan berupa kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan 2. HASIL DAN PEMBAHASAN Novel karya Leslie Marmon Silko yang disajikan dengan disertai puisi naratif ini bercerita tentang konflik dan penderitaan veteran Perang Dunia II tentara Amerika Indian. Sepulang dari medan perang hutan hujan Filipina, Tayo tentara Amerika anak buah Jendral MacArthur dirawat di Veteran Hospital, Los Angeles karena menderita battle fatigue. Veteran PD II berdarah campuran Indian dan putih ini ternyata tidak sembuh. Ia menderita nausea, mual penyebab muntah. Ketika tiba di sebuah stasiun penyakitnya kambuh kembali. Beberapa orang berusaha memberi pertolongan. Ia terkejut ketika yang dilihatnya adalah orang-orang Jepang yang diperanginya sudah bebas berkeliaran. Mengapa mereka membiarkan mereka, sementara ia telah kehilangan sepupu tercintanya. Sesampai di rumah ia dirawat Auntie Thelma, bibinya. Dari kecil hingga keberangkatannya ke medan perang ibu Rocky ini kurang menyetujui kehadirannya. Sekarang ia dirawat karena tak ada lagi generasi penerus keluarga. Bukan kesembuhan yang ia peroleh di rumah. Dalam tidur bayangan Rocky dan Josiah pamannya yang meninggal karena tak ada yang membantu mencari ternaknya yang hilang selalu hadir. Ia benar-benar merasa tersiksa. Mengetahui cucunya semakin parah, Grandma, neneknya, meminta dukun tradisionil Indian Old Kuo’osh untuk menyembuhkannya. Meskipun bibinya keberatan untuk itu, nenek yang buta ini tak menghiraukan. Dengan cara dan mantra tradisionil ternyata Old Kuo’osh tak mampu membereskan penyakit Tayo. Meskipun terkurangi deritanya, ia masih muntah. Merasa agak sembuh Tayo menerima ajakan Harley sesama veteran pergi ke bar untuk sekedar ber’basa-basi’ dengan sesama veteran dengan cara minum-minum. Di bar itu ia mabuk. Dalam kemabukannya ia mengungkapkan kekecewaan yang dialami para veteran. Keterusterangannya membuat Emo (sesama veteran dan teman ketika bersekolah) marah. Emo sejak bersekolah sudah benci Tayo karena darah campuran yang mengalir di dalam dirinya. Untuk kedua kalinya dua orang ini hendak berkelahi. Teman-teman lain mencegahnya.

51

Atas anjuran para tetua Indian melalui Old Kuo’osh Tayo disarankan berobat lagi. Meskipun merasa dibedakan dengan yang lain ia bersedia mengunjungi Old Betonie, dukun Indian baru berdarah Indian dan Meksiko. Ia diantar Robert, suami bibinya. Dalam perjalanan menuju tempat berobat Tayo melewati jembatan kali di kota Gallup tempat penyelenggaraan festival ceremony tahunan dalam rangka turisme. Ia berhenti di situ. Ia teringat masa kecil dan penderitaan hidup di pinggir kali. Ia teringat bagaimana ia harus tidur di gubuk kaleng bekas sambil menyaksikan para wanita berkencan dengan para lelaki. Ia berharap ada sedikit lemparan makanan baginya setelah ia mengambilkan air untuk mereka. Ia juga teringat bagaimana ia secara tak sengaja menelan permen karet yang tertempel di kolong kursi bar tempat ibunya berada di situ. Ia juga teringat bagaimana ia muntah karena menelan puntung rokok. Teringat juga bagaimana ia harus berebut tulang babi dengan anjing di tempat sampah. Baru ketika berumur empat tahun ia dikirim ke rumah. Semenjak saat itu juga ia tak bertemu lagi dengan ibunya. Dari bibinya ia tahu bahwa ibunya, Little Laura meninggal. Seperti apa wajah ibunya ia gagal mendapatkan keterangan dari bibinya. Di hadapan Old Betonie ia bercerita tentang dua orang yang sangat dicintainya, Rocky dan Josiah yang telah meninggal. Emo, temannya yang sadis, juga ia ceritakan. Setelah dinasehati tentang bagaimana harus bersikap terhadap semua penderitaan itu Tayo diajak ke gunung untuk diobati. Dengan bantuan manusia beruang dan peralatan sand painting dan stick Tayo diobati. Betonie mengatakan bahwa upacara yang ia gunakan adalah baru. Ia memadukan unsur tradisional dan modern yag muncul akibat pertemuannya dengan kulit putih. Bersamaan dengan penyembuhan itu dukun Indian bijaksana ini juga memberitahu bagaimana Tayo akan menemukan ternak pamannya yang hilang lewat mimpi. Sepulang dari penyembuhan Tayo mengalami diskriminasi oleh orang kulit putih yang ditemui di sebuah depot. Ia menahan diri untuk tidak marah. Kemudian ia berjalan sendirian guna menata diri. Tiba-tiba teman-teman sesama veteran perang datang bermobil mengajaknya pergi ke bar. Di dalam mobil itu ada Helen Jean gadis Indian yang telah setahun kerja di kota sebagai seorang pekerja rendahan yang upahnya tidak cukup untuk menyewa tempat tinggal. Kembali ia minum-minum. Ia muntah. Perkelahian terjadi lagi untuk memperebutkan simpati Helen Jean yang tidak mau dilecehkan. Kali ini bukan perkelahian antara dia dengan Emo. Dalam ketidaksadarannya ia didatangi Betonie yang mengingatkan proses penyembuhannya. Ia mencari ternak pamannya. Dalam pengembaraan itu ia menyadari perusakan alam, penyerobotan yang dilakukan oleh orang kulit putih dengan cara pemagaran bermilmil panjangnya. Ia juga bertemu dengan pemburu Texas yang menghinanya sebagai kulit berwarna yang suka mencuri. Ia dibiarkan dan akhirnya bertemu seorang pemburu Indian bersenjata tua dengan nyanyian berbahasa Spanyol si pemburu mengatakan bahwa meskipun senjatanya tua yang penting masih berfungsi dengan baik. Dari pemburu ini akhirnya ia menemukan ternaknya berkat seorang wanita yang diramalkan oleh Betoni. Berkat usaha pencarian ternak pamannya ini Tayo sembuh dari penyakit. Tayo menggembala ternak di ranch. Setelah dikejar-kejar oleh Emo dan polisi Tayo akhirnya berkumpul kembali dengan keluarga Indiannya.

52

3. HASIL ANALISIS Perwatakan bisa ditampilkan secara ekspositori yakni dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung dan teknik dramatik yakni pengarang tak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Penyajian perwatakan secara dramatik dihadirkan pengarang melalui cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, a.

Tayo

Tokoh inilah yang mendominasi novel ini. Pengarang menampilkan perwatakannya secara ekspository maupun dramatik. Tokoh bertubuh kurus, berdarah Indian dan orang kulit putih ini, kritis, sangat mencintai saudara sepupu dan pamannya, memiliki rasa iba terhadap nasib sesama veteran Perang Dunia II dan kerusakan alamnya. Tentara Amerika yang tidak tega menembak musuh-musuhnya karena seperti pamannya ini menderita nausea. Ia dianggap gila oleh temannya karena berobat ke dukun dan kemudian menyendiri. Akibat sikap diskriminasi orang kulit putih, temannya dan juga bibinya, tokoh yang pernah menelan permen karet buangan, menelan puntung rokok, dan berebut tulang babi dengan anjing ketika tinggal di pinggir kali sebelum umur 4 tahun ini merasa tidak betah tinggal di rumah. 1) Berdarah campuran, Indian dan kulit putih Ibunya, Little Sister, bergaul dengan orang kulit putih. Meskipun banyak wanita Indian mempunyai anak dari pria kulit putih, namun Tayo-lah yang menjadi korban rasialisme yang ada di lingkungannya. - Melalui pengakuannya sendiri: ‘I’m half-breed. I’ll be the first to say it. I’ll speak for both sides.(Silko, 57) - Melalui Emo, sesama veteran perang menghinanya, “There he is. He thinks he’s something all right. Because he’s part white. Don’t you, half-breed?”3 “He is not full blood, anyway”4 - Melalui Lalo, seorang wanita kenalan pamannya, She sat with the sheets pulled around her and watched him get dressed. ‘I have been watching you for along time,” she said. “I saw the color of your eyes,” “Mexican eyes’” he said, “the other kids used to tease me.”5 Tayo sat down. He knew Emo meant what he said; Emo had hated him since the time they had been in grade school together, and the only reason for this hate was that Tayo was part white. 6 2)

Sangat mencintai Rocky dan Josiah, pamannya

3

Ibid., hal. 57 Ibid., hal. 33 5 Ibid., hal. 99 6 Ibid., hal. 57 4

53

Tayo sangat menyayangi sepupunya, Rocky, maupun pamannya, Josiah. Dua orang inilah yang dari umur empat tahun menerimanya sebagai saudara (brother), dan menghiburnya ketika sedang sedih. Ketika menderita depresi, dua orang itu pula yang sering merasuk ke dalam pergolakan batinnya. Ia mencintai saudaranya baik yang berpikir secara barat maupun secara Indian (tradisional). Sesudah Old Betonie menyembuhkannya ia tetap merasa dekat dengan mereka. Ia merasa bersalah terhadap pamannya karena ia berjanji akan membantu mengurus ternak. The mountain could not be lost to them, because it was in their bones; Josiah and Rocky were not far away. They were close; they had always been close; And he loved them then as he had always loved them, the feeling pulsing over him as strong as it had ever been.7 “I can’t go,” he said, “I told Josiah I’d stay and him,”8 In the dark he could cry for all the dream that Rocky had as he stared out of his graduation picture; he could cry for Josiah and the spotted cattle, all scattered now, all lost, sucked away in the dissolution that had taken everything from him.9 Ia merasa sangat bersalah atas kematian Rocky orang yang sangat dicintainya. “It was the one thing I could have done. For all of them, for all those years they kept me… for everything that had happened because of me.10 They were close; they had always been close. And he loved them then as he had always loved them, the feeling pulsing over him as strong as it had ever been. They loved him that way; he could still feel the love they had for him. The damage that had been done never reached this feeling.11 3) Iba terhadap nasib teman-teman dan bangsanya, Indian Dalam usaha mencari ternak pamannya yang hilang ia menyaksikan kerusakan alam lingkungannya. Sebelumnya ia juga menyaksikan generasi muda Indian yang terlunta-lunta di Gallup. Ia prihatin terhadap sesama veteran perang yang menjadi pemabuk untuk melampiaskan kekecewaannya terhdap orang kulit putih. “Why does he cry, Tayo?” “He cries because they are dead and everything is dying.”12 - Ia iba terhadap sesama veteran perang yang jadi pemabuk di sebuah bar, They don’t know he is crying for them. They don’t know that he doesn’t hate the Japanese, not even soldiers who were grim-faced watching Tayo and the corporal stumble with the stretcher.13 7

Ibid., hal. 219 Ibid., hal. 73 9 Ibid., hal. 31 10 Ibid., hal. 214 11 Ibid., hal. 219 12 Ibid., hal. 16 13 Ibid., hal. 43 8

54

He wanted to scream at Indians like Harley and Helen Jean and Emo that the white things they admired and desired so much - the bright city lights and loud music, the soft sweet food and the cars – all these things had been stolen, torn out of Indian land: raw living materials for their ck’o’yo manipulation. The people had been taught to despise themselves because they were left with barren land and dry rivers.14 He cried the relief he felt at finally seeing the pattern, the way all the stories fit together – the old stories, the war stories, their stories – to become the story that was still being told. He was not crazy; he had never been crazy.15 4) Menderita nausea dan dianggap gila Tayo sering sekali muntah. Hal itu disebabkan oleh nausea yang dideritanya. Penyakit ini ia peroleh ketika dirawat di Veteran’s Hospital. He let himself go limp; he did not brace himself against nausea.16 Tayo was sweating, trying to fight off the nausea that surged at him whenever he hear the rattle in the little bag. 17 Ketika mengunjungi Old Betonie, Tayo felt the old nausea rising up in his stomach, along with a vague feeling that he knew something which he could not remember.18 Ia dianggap gila karena darah campuran dan kesediaannya berobat ke dokter orang kulit putih dan ke dukun Indian. Bibinya cemas kalau orang-orang mengetahui keponakannya gila, He knew she was afraid people would find out he was crazy.19 Emo paling giat mengatakan Tayo gila “You drink like an Indian, and yo’re crazy like one too – but you aren’t shit, white trash.”20 And Emo has been saying things about you. He’s been talking about how you went crazy and are alone out here. He talks bullshit about caves and animals.21 Harley, teman seperjuangan, berpendapat lain, 14

Ibid., hal. 204 Ibid., hal. 246 16 Ibid., hal. 39 17 Ibid., hal. 55 18 Ibid., hal. 117 19 Ibid., hal. 39 20 Ibid., hal. 63 21 Ibid., hal. 228 15

55

Harley shook his head; he was serious, ”No, Tayo, you weren’t crazy. You were just drunk.”22 You could’ve gone to jail. But they just sent you to the hospital again.23 5) Veteran Perang Dunia II Bersama dengan Harley, Rocky, Emo, Leroy, Tayo ikut serta dalam Perang Dunia II di Filipina. Dalam perang itu ia tidak tega menembak tentara Jepang, karena ia merasa berhadapan dengan pamannya Josiah, saudaranya sendiri. Seusai perang ia mengalami penderitaan seperti tersebut di atas. Sikap diskriminatif orang kulit putih menambah penderitaannya. White woman never looked at me until I put on that uniform and then by God I was a US Marine.24 These Indians fucked white woman, they had as much as they wanted too. They were MacArthur’s boys.25 “Look, Tayo, look at the face,” and that was when Tayo started screaming because it wasn’t a Jap, it was Josiah, …26 6)

Selalu menderita akibat darah campurannya Sebelum berumur empat tahun ia harus mencari tempat untuk tidur sendiri, mencari makan di tempat sampah, menyembunyikan diri di bawah meja, menelan puntung rokok ataupun permen karet, menjilati tulang, berebut makanan dengan anjing, menjadi korban razia polisi. Ia hidup menderita di gubug pinggir kali. Penderitaan itu juga dialami oleh anak-anak senasib. They found their places to sleep because the men stayed until dawn 27 He had prowled for garbage in the alleys behind the houses, but the older children had already been there. He lay on his belly with his chin on the wooden floor and watched the legs and the shoes under the tables, … Tayo adalah anak yang tak diinginkan. Auntie mengungkapkan hal itu. The things Laura had done weren’t easily forgotten by the people, but she could maintain a distance between Rocky, who was her pride and the other, unwanted child. 28 Ia harus berhadapan dengan bibinya yang membencinya. Since he could remember, he had known Auntie’s shame for what his mother had done, and Auntie’s shame for him.29

22

Ibid., hal. 53 Ibid., hal. 54 24 Ibid., hal. 40 25 Ibid., hal. 42 26 Ibid. hal. 8 27 Ibid., hal. 109 28 Ibid., hal. 65 29 Ibid., hal. 57 23

56

… but he could hear Auntie raise her voice and the sound of pots and pans slamming together on the stove.30 Ketika dewasa, ia menjadi korban tindak diskriminasi dari kaum kulit putih dan temannya sesama veteran perang. Ia dihormati karena seragam tentara yang dikenakannya. Ketika tidak lagi berseragam tentara Amerika orang-orang kulit putih memandangnya rendah. But Tayo was used to it by now. … He remembered how the white men who were building the new highway through Laguna had pointed at him. They had elbowed each other and winked. He never forgot that, and finally, years later, he understood what it was about white men and Indian women; the disgrace of Indian women who went with them. And during the war Tayo learned about white women and Indian men. 31 Akibat kenyataan diri dan perwatakannya itulah Tayo menghadapi banyak konflik. Ketidakmurnian darahnya mengakibatkan ia menerima perlakuan diskriminatif dari orang-orang kulit putih (kecuali ketika ia berseragam tentara), dibenci oleh Emo, diperlakukan beda oleh bibinya, dan oleh sebagian masyarakat Indian. Sebaliknya ia merasa iba terhadap para generasi muda Indian yang terlantar di kota. Berkalikali ia menangisi Rocky, Josiah, dan para veteran perang. b.

Rocky Rocky adalah putra Auntie Thelma yang meninggal ketika perang melawan Jepang di Filipina. Saudara sepupu Tayo ini berpikiran rasional, berpendirian teguh dan optimis. Tayo hated this unending rain as if were the jungle green rain and not the miles of marching or the Japanese grenade that was killing Rocky.32 They tried to help him. The corporal who had helped carry Rocky for so long put his arm around Tayo and kept him on his feet. “Easy, easy, it’s okay. Don’t cry. Your brother was already dead. I heard the say it.33 “And my brother,” Rocky said, nodding at Tayo, If we both sign up, can we stay together?”34 Rocky sudah mulai berpikir secara barat. Ia bersikap optimis, mandiri, dan ia ingin sukses sesuai dengan harapan dan anjuran ibunya. Rocky dunked his tortilla in the chili beans and kept chewing; he didn’t care what they said. He was already thinking of the years ahead aand the places

30

Ibid., hal. 64 Ibid., hal. 57 32 Ibid., hal. 11 33 Ibid., hal. 44 34 Ibid., hal. 65 31

57

and the people that were waiting for him in the future he had lived for since he first began to believe in the word “someday” the way white people do.35 Cara pandangnya berbeda dengan pamannya, Josiah, dalam hal berternak dan juga dengan Tayo dalam hal menghormati hewan buruan. Di medan perang Rocky dan Tayo secara tak langsung pernah berbeda pendapat juga. Rocky menganggap tentara Jepang yang mati, sementara Tayo menganggap yang mati adalah pamannya, Josiah. Tayo saw how Rocky deliberately avoided the old-time ways. But Auntie never scolded him… She wanted him to be a success. She could see what white people wanted in an Indian, and she believed this way was his only chance.36 Tayo knew what village people thought didn’t matter to Rocky any more. He was already planning where he would go after high school; he was already talking about the places he would live, and the reservation wasn’t one of them.37 Keinginan Rocky untuk mandiri dengan keluar dari reservasi diungkapkan Tayo ketika bertemu dengan Betonie untuk pengobatannya. “Rocky wanted to get away from the reservation; he would to make something of himself. In a city somewhere.”38 Perwatakan Rocky menimbulkan pertentangan dengan pamannya dalam hal berternak. Ia bertentangan juga dengan neneknya dalam hal adat-istiadat bangsanya yang ia anggap takhayul. Keinginannya untuk mandiri dan sukses serta dorongan gurupelatihnya di sekolah membuat Rocky mengabaikan ‘omongan’ masyarakatnya. Namun tragisnya kematianlah yang ia dapatkan. Kematian di medan perang orang kulit putih yang menurut Old Ku’oosh perang yang tak ada tujuannya. c. Auntie Thelma Dalam keluarga ia berusaha menjadi pelindung nama baik keluarga. Ibu yang berbadan pendek dan gemuk ini tidak menyukai keponakannya yang berdarah campuran Indian dan kulit putih. Istri Robert ini juga membenci saudara kandungnya, Josiah, karena berpacaran dengan wanita berdarah campuran, Lalo. Ketidaksenangannya diungkapkan dengan sering marah-marah, memberi kesibukan berternak, dan bahkan mengibaratkan paman Tayo itu sebagai anjing birahi yang selalu keluar rumah. Sikap-sikap itu ia lakukan dengan alasan untuk menjaga nama baik keluarga. Wanita Katolik yang kelihatannya religius ini tidak ingin keluarganya menjadi bahan pembicaraan tetangganya. Ia tidak menyadari bahwa kekatolikan dengan segala tindakannya ternyata menjadi bahan pembicaraan orang lain. Namun

35

Ibid., hal. 73 Ibid., hal. 51 37 Ibid., hal. 77 38 Ibid., hal. 131 36

58

yang tampilkan hanyalah sebatas permukaan belaka. Ia tidak menjalkan nilai-nilai suku bangsanya dan juga beragama sekedar pemahaman lahiriah agar dilihat orang. 1) Diskriminatif, Sikap membeda-bedakannya sangat mencolok sekali dalam merawat anak dan keponakannya, Tayo. Asal-usul Tayo yang tidak jelas siapa ayahnya menjadi penyebab munculnya sikap itu. But she would not let Tayo go outside or play in another room alone. She wanted him close enough to feel excluded, to be aware of the distance between them 39 2)

Religius. Sifat itu terlihat dari kerajinannya ke gereja dan membuka-buka buku agama. Ia membuka Injil ketika Rocky dan Tayo hendak menjadi tentara, “You don’t have to worry.” She looked up from her Bible, and he could see that she was waiting for something happen; but he knew that she always hoped, that she always expected it to happen to him, not to Rocky.40 Kutipan di atas menyoratkan pula ketidaksukaannya terhadap Tayo. Ketika Tayo hendak pergi ke ranch bersama Robert, suaminya, Auntie membuka buku devosi. Auntie looked up from a black book of church devotions, one she’d been reading since Easter. She looked satisfied, as if she had been waiting all winter for him to say something like that.41 Tayo wondered if she liked it that way, going to church by herself, where she could show the people that she was a devour Christian and not immoral or pagan like the rest of the family.42

3) Penjaga nama baik keluarga dari kemungkinan cercaan masyarakat Ketika Tayo hendak dibawa ke dukun, Auntie merasa keberatan. “Oh, I don’t know Mama. You know how they are. You know what people will say if we ask for a medicine man to help him. Someone will say it’s not right. They’ll say,” Don’t do it. He’s not full blood anyway.” She hung up her coat and draped the scarf on top of it.43 “I’ve spent all my life defending this family, but nobody ever stops to think what the people will say or that Father Kenneth will call measide after mass to speak with me,” She straightened herself as tall as she could, because she was short and heavy set. Her eyes were full of accusations.44 39

Ibid., hal. 67 Ibid. hal. 73 41 Ibid., hal. 218 42 Ibid., hal. 77 43 Ibid., hal. 33 44 Ibid., hal. 88 40

59

“It doesn’t bother me,” she said, assuming a lighter tone of voice, ‘ but this hurts old Grandma.” Her words were shaky. “Our family, old Grandma’s family, was so highly regarded at one time. She is used to being respected by people,”45 Ketika Tayo sembuh oleh Betonie, Auntie meragukannya. Auntie looked at him, but when he looked up at her, she turned away to the stove to the simmering stew and boiling coffee. She had been watching him; she was waiting. She didn’t trust the peace they had in the house now. She was waiting.46 Perwatakan Auntie di atas membawanya bersitegang dengan ibunya, Josiah, Little Sister, dan Tayo. Perwatakannya juga mencerminkan sikap kontradiktif. Ia mendorong Rocky agar menjadi orang sukses, agar bisa bergabung dengan orang kulit putih, dan ia beragama Katolik yang ‘religius’ (meskipun Tayo meragukan kereligiusan bibinya). Ironisnya ia masih takut menjadi pembicaraan masyarakat atas tindakan yang dilakukan oleh Tayo, ibu dan saudaranya. Akibat keponakannya berdarah campuran dan saudaranya bergaul dengan orang Meksiko ia menjadi pemarah. Menjaga nama baik keluarga ia jadikan alasan untuk bersikap dan berbuat seperti itu. d.

Old Betonie (medicine man) Secara ekspositoris pengarang menggambarkan tokoh ini. Lelaki berdarah campuran yang berperawakan besar seperti prajurit tua Indian ini bertulang pipi bak elang, bermata hazel green, dan berkumis tebal menggantung. Ketika kecil ia tidak diasuh sendiri oleh ibunya yang bukan Indian. Dukun pencipta ceremony baru yang bertempat tinggal di sebuah Hogan ini merasa senang berada di dekat daerah kumuh, tempat di mana gelandangan-gelandangan Indian bermukim. Cara penyembuhan (ceremony) baru yang ia lakukan menyebabkannya dianggap gila. Lelaki yang suka mengikat rapi rambut dan berpakaian tradisionil mocassin ini bersikap bijaksana dalam menanggapi segala perubahan yang terjadi pada bangsa Indian. Penyembuh Tayo yang pandai berbahasa Inggris ini bersikap tegas dalam menolak tawaran sekolah oleh kaum kulit putih. Pengumpul kalender bergambar Indian, buku telpon dan koran-koran lama ini juga bersikap setia, teguh sekaligus prihatin dalam mempertahankan keberadaan jejak (tracks) bangsanya. He was tall and his chest was wide; his hair is tied back neatly with red yarn.47 The cheeckbones were like wings of hawk, … wore a drouping thick mustache; the hairs were still gray.48 “My grandmother was a remarkable Mexican with green eyes,” he said.49

45

Ibid. Ibid. hal. 215 47 Ibid., hal. 117 48 Ibid., hal. 119 46

60

Karena penampilan dan keadaan tempat tinggalnya yang dipenuhi berbagai benda, dan cara penyembuhan yang baru ia dianggap gila, The old man laughed suddenly. He slapped his hands on his thighs. His laughter was easy, but Tayo could feel the tiny hairs along his spine spring up. This Betoni didn’t talk the way Tayo expected a medicine man to talk. He didn’t act like a medicine man at all 50 “There are stories about me,” Betonie began in a quiet round voice. “Maybe you have heard some of them. They say I’m crazy, Sometimes they say worse things.” 51 - Setia kepada tanah kelahirannya (meskipun digusur-gusur), “People ask me why I live here,” he said, in good English,”I want to keep of the people.52 “They keep us on the north side of the railroad tracks, next to the river and their dump. Where none of them want to live.” He laughed.“They don’t understand. We know these hills, and we are comfortable here,”. There was something about the way the old man said the word ‘comfortable.” 53 - Bijaksana, Ia tidak mudah mengatakan sesuatu baik atau buruk, benar atau salah. Ia tidak hanya bijak dalam menilai kejadian di sekitarnya, tetapi juga dalam memandang sejarahnya He pointed in the direction in the direction the boy had gone. “Accidents happen, and there’s little we can do.“But don’t so quick call something good or bad. There are balances and harmonies always shifting, always necessary to maintain 54. - Tegas namun terbuka terhadap perubahan Ketegasannya ia sampaikan juga kepada Tayo yang sepertinya meragukan ceremony baru yang akan digunakan untuk penyembuhan. “If you don’t trust me, you better get going before dark. You can’t be too careful these day,” Betonie said, gesturing toward the footlocker where he kept the hairs “Anyway, I couldn’t help anyone who was afraid of me’”55 “But if you are going to do that, you might as well go down there, with the rest of them sleeping in the mud, vomiting cheap wine, rolling over women .56 49

Ibid., hal. Ibid., hal. 118 51 Ibid., hal. 123 52 Ibid., hal. 117 53 Ibid. 54 Ibid., hal. 130 55 Ibid., hal 123 56 Ibid 50

61

Tentang perubahan yang sedang terjadi di masyarakatnya, termasuk Ceremony, ia menyatakan, “That much can be true also. But long ago when the people were given these ceremonies, the changing began, if only in the aging of the yellow gourd rattle or the shrinking of the skin around the eagle’s claw, if only in the different voices from generation to generation, singing the chants. You see, in many ways, the ceremonies have always been changing. 57 “She taught me this above all else: things which don’t shift and grow are dead things…”58 Tokoh Betonie berdarah campuran. Ketika kecil ia mengalami pengucilan. Ia tidak menghadapi banyak konflik di masa tuanya. Meskipun tinggal dekat para gelandangan, dan dianggap gila Betonie merasa comfortable. Dukun baru, pandai berbahasa Inggris, namun berpakaian tradisionil merupakan bentuk paduan antara nilai Indian dan kulit putih. e.

Josiah Josiah adalah paman Tayo maupun Rocky. Dari cerita Tayo profil dia bisa terungkap. Pria perokok yang sudah ubanan tetapi belum menikah ini dari awal cerita sudah menjadi bagian dari mimpi Tayo. Usaha berternak sapi (cattle) yang baru saja ia mulai ternyata menyebabkan kematiannya. Ternak itu lari menghilang, dan baru ditemukan setelah Tayo sembuh dari “battle fatigue”. Dari pamannya yang pendidikan formalnya kurang inilah Tayo mengetahui berbagai macam mitos baik alam maupun binatang (fable) yang dimiliki bangsa Indian. Berkat pamannya pula Tayo beroleh kesempatan ikut berperang bersama Rocky. Adapun perwatakan Josiah adalah sebagai berikut: - Berpendirian teguh, Setelah para keponakannya pergi berperang ia tetap melanjutkan pencarian ternaknya. Selain mencari ternak ia sibuk berpacaran dengan wanita Meksiko. Ibu (Grandma) dan saudarinya secara tidak langsung melarangnya bergaul dengan wanita berdarah campuran yang bernama Lalo alias Night Swan. Josiah tidak menanggapinya. Ketika bertemu Old Betonie, Tayo bercerita: “When did he die ?” “While we were gone. He died because there was no one to help him search for the cattle after they stolen.”59

57

Ibid., hal. 126 Ibid.. 59 Ibid., hal. 124 58

62

Ketika Josiah hendak pergi setelah bekerja seharian Grandma menyindirnya, sementara Auntie menunjukkan ketidaksukaannya dengan membanting pintu, mengucurkan air agar berisik, menjatuhkan penggorengan : Then she (Grandma) would say,”Aren’t you going to rest, Josiah?” Hedried his face and hands slowly, without answering her, because they both knew what she was really asking.When was this affair with this Mexican woman going end ? His hair was gray, but when he combed it and walked out the door, he was smiling and his face wasn’t tired or old. After he was gone Auntie made an inaudible remark from the stove, where she kept her dishpan to keep the dishwater hot. She poured rinse water over the dishes so that they rattled together violently. She wiped them and put them in the cupboard, slamming the doors and dropping the frying pan down hard on top of the stove. This way they all knew she was angry and all summer long, every night, they listened.60 Lebih lanjut ia mengatakan, “I guess we will have to get along without these books,” he said. “We’ll have to do things our own way. Maybe we’ll even write our own book, Cattle Raising on Indian Land, or how to raise cattle that don’t eat grass or drink water.” Tayo and Robert laughed with him, but Rocky was quiet.61 Josiah mengijinkan Tayo ikut Rocky berperang. Josi (nama panggilan Josiah) mengabaikan janji Tayo untuk membantu mencari ternak. Ia juga tidak diskriminatif terhadap Tayo dan Lalo. Josiah (dan Grandma) abai terhadap Auntie yang merasa keberatan akan kepergian Tayo bergabung menjadi tentara. “Let him go,” Josiah said, you can’t keep him forever.” Auntie let the lid on the frying pan clatter on top of the stove. “Rocky is different,” she kept saying, “but this one, he’s supposed to stay here.” “Let him go,” old Grandma said. “They can look after each other, and bring each other home again.”62 Perwatakan Josiah membuatnya tidak disukai saudarinya, Auntie. Ibunya secara tidak langsung juga kurang setuju terhadap kemauan Josiah berpacaran dengan Lalo. Dengan Rocky ia berbeda pandangan dalam mengelola ternak. Apakah kematiannya disebabkan oleh caranya beternak yang tradisional atau tidak, pengarang tidak mengungkapkan.

60

Ibid., hal. 92 Ibid. 62 Ibid., hal. 73 61

63

f.

Grandma Grandma berputra tiga. Josiah, Auntie Thelma, dan Little Sister. Rocky dan Tayo adalah cucunya. Ia buta. Dalam kebutaannya ia bisa mengetahui secara samarsamar ketika bom atom diledakkan dekat tempat tinggalnya. Bijaksana, sayang cucu, tidak peduli “omongan” orang, dan berpengalaman dalam hal ketidakadilan yang menimpa bangsanya merupakan karakter Grandma. “I’ve been thinking,” she said, wiping her eyes on the edge of her apron, “all this time, while I was sitting in my chair. Those white doctors haven’t helped you at all. Maybe we had better send for someone else.” When Auntie got back from the store, old Grandma told her, “that boy needs a medicine man. Otherwise, he will have to go away. Look at him.”63 Soal gossip tentang anak-anaknya yang kemungkinan akan ada ia hanya mengatakan, “It will start all over again. All that gossip about Josiah and about Little Sister. Girls around here have babies by white men all the time now, and nobody says anything. Men run around with Mexicans and even worse, and nothing is ever said. But just let it happen with our family-“ Old Grandma interrupted her the way she did whenever Auntie got started on that subject. “He’s my grandson. If I send for Old Ku’oosh, he’ll come. Let them talk if they want to. Why do you care what they say? Let them talk. By planting time they’ll forget.”64 Ketika Emo si pembuat Tayo dan sesama veteran menderita dilepaskan oleh pihak FBI ke California, ia mengatakan, “I guess I must be getting old.” She said, “because these going-on around Laguna don’t get me excited any more.” She sighed, and laid her head back on the chair. “It seems like I already heard the stories before … only thing is, the names sound different.”65 Katarak putih matanya telah membutakan penglihatan Grandma. Dalam kebutaannya ia menutup pula telinga terhadap segala gossip yang menimpa anak-anak dan cucunya. Sikap itu selalu diungkit oleh putrinya, Auntie, dengan alasan untuk menjaga nama baik keluarga. Keduanya beberapa kali berbeda pendapat ketika Laura pergi meninggalkan reservasi, Tayo kecil datang, Tayo hendak jadi tentara, Tayo hendak ke dukun, dan tentu saja ketika Josiah pacaran dengan Lalo.

63

Ibid., hal. 33 Ibid. 65 Ibid., hal. 260 64

64

g.

Little Sister (Laura) Laura adalah ibu Tayo. Karena ketidakmampuan mengatasi konflik pertemuan dua budaya baik di rumah maupun di sekolah ia akhirnya menjadi seorang pelacur yang alkoholic yang menyebabkan kematiannya. Tayo lahir dari hubungannya dengan seorang kulit putih. Ia meninggalkan anaknya pada umur 4 tahun. Pengalaman Tayo sebagai anak pelacur terekam dibenaknya hingga ia dewasa.

4. PEMBAHASAN Seperti tertulis di atas pranata sosial merupakan serangkaian norma, keyakinan dan juga nilai yang saling bertautan yang berpusat pada kebutuhan dan kegiatan sosial berulang yang dianggap penting. Dari hasil analisis di atas terlihat adanya fungsi-fungsi yang bergeser. Pergeseran ini menyebabkan munculnya krisis identitas diri yang diwujudkan dalam diri tokoh Tayo secara ekstrem. a. Mengatur kehidupan seksualitas anggotanya Pertemuan dua budaya yang berbeda melahirkan sikap superior dan inferior antara satu dengan lainnya. Dalam bahasan ini suku-suku bangsa Indian dianggap inferior. Sayangnya sebagian masyarakt Indian menerima anggapan itu. Dengan sikap inferior mereka memuja orang kulit putih. Sikap semacam ini ditampilkan melalui tokoh Laura. Akibatnya ia menjadi korban pertemuan budaya itu dengan melawan tradisi bangsanya dalam perkawinan. Di luar perkawinan ia melahirkan Tayo. Bagi keluarga hal itu menjadi sebuah aib. Ceremony tahunan di Gallup menunjukkan ketidakaturan itu, dimana ibu Tayo menjadi seorang pelacur. Meskipun tidak secara panjang lebar Silko menunjukkan bagaimana perubahan fungsi pranata ini dimana terjadi tidak hanya karena sikap inferior, namun juga karena sikap pemaksaan dari bangsa kulit putih. b.

Bertanggung jawab terhadap norma, nilai, dan keyakinan yang ada dianut Melalui tokoh Grandma dan Auntie pengarang memperlihatkan bagaimana tanggung jawab seorang pimpinan keluarga yang bersifat matrilineal. Meskipun baru ditampilkan pada akhir cerita namun perannya sangat menentukan dalam mengembalikan ketidakpastian jati diri Tayo. Ia memberikan dukungan agar Tayo kembali kepada tradisi suku bangsanya. Dan usaha itu berhasil. Lain halnya dengan bibi Tayo, Auntie. Ia adalah wanita calon penerus kekuasaan keluarga, akan tetapi ternyata ia belum cukup siap untuk itu.

c. Memelihara dan melindungi generasi baru serta memberi dukungan kepada yang dewasa Sama halnya dengan bangsa lain, dalam pranata keluarga Indian Pueblo ini para anggota dewasa bertanggung jawab terhadap generasi mudanya. Akan tetapi setelah pertemuan budaya Indian dan kulit putih tugas itu semakin kompleks. Pengarang memperlihatkan bagaimana tokoh Auntie mengambil peran penting

65

terhadap pemeliharaan Tayo yang ditanggal pergi ibunya. Seharusnya tugas itu dilakukan dengan ketulusan, namun dalam karya ini pengarang menggambarkan tidak tulusan Auntie dalam menerima Tayo, keponakannya. Penyebabnya adalah karena Tayo anak adiknya dari hubungannya dengan orang kulit putih. Tayo juga tidak dianggap tercemar. Kalau ia merawat keponakannya, terlebih didasarkan pada usaha untuk melindungi keluarga dari cercaan tetangga atas hadirnya Tayo yang tidak umum. Selain sikap ketidaktulusan itu ia juga melarang putranya, Rocky, untuk dekat dengan Tayo. Kendati secara biologis sepupu namun karena alas an asal-usul Tayo maka sikap itu ia ambil. Selain urusan Tayo, ia juga merisaukan saudaranya, Josiah, yang juga berpacaran dengan Night Swan yang orang Mexico. Kendati berjasa terhadap Josiah dalam merintis usaha peternakan, namun Auntie tetap tidak suka terhadap saudara lakilakinya itu. Pergeseran tanggung jawab total terhadap keluarga berubah karena alasan ketidakmurnian asal-usul atau calon pasangan. Dengan demikian Auntie digambarkan sebagai calon penangung jawab keluarga besar yang tidak menjalankan nilai-nilai suku bangsanya, pun pula nilai Kristiani agamanya. d. Memasyarakatkan berbagai hal yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat Nilai-nilai yang dianut keluarga juga harus disosialisakan kepada generasi muda. Novel ini merupakan salah satu cara mensosialisasikan nilai-nilai yang dianut bangsa Indian yang sebelumnya bersifat verbal. Dari para tokoh tetua, termasuk Grandma, Betonie, dan juga Josiah, Tayo menerima ajaran tentang nilai-nilai Indian, bersatu dengan alam, kembali kepada bangsanya ketika terutama ketika menghadapi tantangan masuknya budaya kulit putih. Namun demikian masuknya nilai baru itu begitu kuat sehingga para tetua harus menyesuaikan nilai-nilai yang dianut dengan nilai-nilai baru. Tokoh Betonie mengajarkan kepada Tayo tentang bagaimana menerima nilai kulit putih. Ia memadukan cara pemulihan kebingungan Tayo dengan berbagai sarana yang berasal dari orang-orang kulit putih. Ia pun mengajarkan agar Tayo tidak harus antipasti apalagi bermusuhan dengan orang kulit putih. e. Memainkan peran dalam kehidupan ekonomi, baik produksi maupun konsumsi Budaya berburu dan bercocok tanam yang menjadi kebiasaan bangsa Indian Pueblo adalah menangkap rusa dan menanam jagung. Berkat pertemuan dengan orang Mexico Josiah bisa memulai usaha baru dengan berternak. Meskipun belum berhasil karena gugur dalam perang namun hal itu menjadi cara baru bagi suku bangsa ini mencari penghasilan. Melalui tokoh Auntie dan Rocky, pengarang menunjukkan pandangan baru dengan rasionalisasi baru dalam menghadapi kehidupan. Rocky berencana kuliah seperti halnya orang kulit putih, namun tokoh ini gugur bersama pamannya, Josiah.

66

f. Menjadi sumber pewarisan hal-hal yang bersifat askriptif, seperti ras, etnisitas, dan klas social Pewarisan hal-hal askriptif kepada generasi baru berubah. Perubahan ini karena pertemuannya dengan budaya kulit putih. Nilai-nilai lama bila dikolaborasikan dengan nilai-nilai tradisional suku bangsa Indian. Melalui tokoh Betonie pengarang menegaskan tentang kurang efektinya nilai-nilai tradisional. Oleh sebab itu perlu juga membuka diri terhadap hal-hal baru yang dibawa oleh orang kulit putih. Tayo adalah gambaran perubahan berupa paduan antara budaya Indian dan budaya kulit putih. Kendati demikian pengarang menegaskan, ia mendapatkan jati dirinya kembali setelah kembali kepada bangsanya. Melalui serangkaian proses yang menuntut perjuangan dan kesabaran ia berhasil mengatasinya. Sebaliknya ibunya gagal menjalani proses itu. Begitu juga dengan Auntie yang berusaha mempertahankan kemurnian nilai bangsa dengan kurang menerima keponakannya tetapi mau menyekolahkan anaknya ke sekolah kulit putih, juga harus menerima nilai baru; paduan nilai yang mewujud dalam diri tokoh Tayo, paduan nilai tradisional dan sebagian dari bangsa pendatang, kulit putih. 5. KESIMPULAN Setelah menganalisis secara melalui pendekatan sastra maupun sosiologis maka terlihat bahwa melalui telaah pranata keluarga karya ini memperlihatkan adanya perubahan pranata keluarga masyarakat Pueblo Laguna. Perubahan ini pada gilirannya menyebabkan munculnya krisis jadi diri. Krisis ini berupa rasa atau fakta ketidakjelasan status dari anggota masyarakat. Tidak mudah untuk menemukan dan diterima jati dirinya bahkan oleh masyarakat yang dianggap bagiannya. Namun melalui tokoh Tayo, Leslie Marmon Silko menyodorkan tidak hanya tantangan dan usaha pengatasan, tetapi juga sekaligus alternative solusi. Keberbedaan yang muncul dan tak terhindarkan yang bisa menjadi picu peminggiran berusaha diuarai akar masalahnya sekaligus jalan keluarnya. Dalam dunia yang berkembang pesat ini tentu pesan yang ditampilkan oleh pengarang ini bisa digunakan sebagai salah satu bahan permenungan. Pengetahun dan teknologi berkembang, pemikiran berkembang, tantangan bagi masyarakat berkembang, dan pranata sosialnya-pun berubah. DAFTAR PUSTAKA ______.

Ceremony. From http://www.sparknotes.com/lit/ceremony/context.html, accesed 13 July 2012

Allen, Paula Gunn, The Sacred Hoop: A Contemporary Perspective Studies in American Indian Literature, New York: The Modern Language Association of America, 1993 Austgen, Suzzane M. Ceremony http//history.hanover.edu/hhr/hhr93htm Brandon, William, The American Heritage Book of Indian, Eight Dell Printing. New York: Dell Printing Co., Unc., 1974

67

Brown, Davona. Leslie Marmon Silko. Southwestern Literarture / [email protected]/Agustus 1999 Guerin, Wilfred L. (et al.) Handbook of Critical Approaches to Literature, second ed. New York: Harper & Row, 1979 Johnson, Allan G. Human Arrangements: An Introduction to Sociology. New York: HBJ, 1985 Lewis, James R. the dream encyclopedia. Detroit: Visible Link Press, 1995 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya, 1989 Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995 Pickering, James H. & Jeffrey D.Hoeper.Concise Companion to Literarture. Canada: Macmillan, 1981. Silko, Leslie Marmon, Ceremony. London: Pinguin Books, 1977

68

PENYADURAN BUKU AJAR TEORI TERJEMAHAN: ‘TERJEMAHAN DAN KEBUDAYAAN KARYA BENNY HOEDORO HOED’ Tommy Andrian Sastra Inggris – Fakultas Sastra [email protected] ABSTRACT The process of translating a written text from one language to another, particularly from Indonesian to English (or other language) and vice versa, needs practical knowledge of both source language and target language. It is due to the fact that, between the two languages, there lies highly inherent socio-cultural features or sui generis. The capabilities of the translator in making rhetoric and using logic become crucial ones. The objective of this study is to differentiate some steps to take in translating text; in addition, is to give brighter point of view through some familiar and contextual examples. Key words: audience design and need analysis, equivalence, procedures, methods, and techniques in translation. 1. PENDAHULUAN Penerjemahan adalah kegiatan yang dapat membuktikan dengan jelas tentang peran bahasa dalam kehidupan sosial (Hatim & Mason 1990). Melalui kegiatan penerjemahan, seorang penerjemah menyampaikan kembali isi sebuah teks dalam bahasa lain. Penyampaian ini bukan sekadar kegiatan penggantian, kerena penerjemah dalam hal ini melakukan kegiatan komunikasi baru melalui hasil kegiatan komunikasi yang sudah ada, yakni dalam bentuk teks, tetapi dengan memperhatikan aspek-aspek sosial di mana teks baru itu akan dibaca atau dikomunikasikan. Dalam kegiatan komunikasi baru tersebut, penerjemah melakukan upaya apa yang disebut Machali (2009:27) membangun ”jembatan makna” antara produsen TSu dan pembaca TSa. Penerjemah melihat penerjemahan sebagai sebuah proses, tidak seperti pembaca yang melihatnya sebagai sebuah produk. Seorang penerjemah harus melalui tahap-tahap tertentu hingga terciptanya hasil akhir penerjemahan. Penerjemah senantiasa menanyakan kepada dirinya sendiri prosedur apa yang harus dilewatinya, metode apa yang digunakan dan mengapa memilih metode itu, mengapa memilih suatu istilah tertentu untuk menerjemahkan suatu konsep dan bukannya memilih istilah lain dengan makna yang sama, dan sebagainya. Hal terpenting dalam penerjemahan menurut penulis ada dua, yaitu: (1) Pengalaman, dan (2) Teori Terjemahan. Pengalaman yang baik dalam hal ini adalah pengalaman menerjemahkan yang menahun. Namun pertanyaannya adalah ”Apakah mahasiswa secara relatif memiliki pengalaman menahun itu?” Tentu jawabnya adalah ”Tidak”. Jawaban”tidak” tersebut tersebut sekaligus mempertegas peranan krusial dari hal terpenting ke dua, yaitu: Teori Terjemahan. Kenyataan itulah yang membuat penulis tergerak untuk menyadur salah satu buku teori terjemahan terbaik di Indonesia, yakni: ’Penerjemahan dan Kebudayaan karya Benny Hoedoro Hoed’. Penulis tergerak untuk

69

memodifikasi, memperkaya, mempertegas, memperlugas buku tersebut, dengan harapan dapat lebih mudah dipahami dan dicerna oleh mahasiswa mata kuliah Teori Terjemahan khususnya dan pembelajar terjemahan umumnya. 2. METODE Pengertian penerjemahan yang lebih luas juga dikenal di kalangan para pakar. Sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah menemukan dulu siapa calon pembaca terjemahannya dan/atau akan digunakan untuk keperluan apa terjemahan itu. Oleh karena itu, penerjemahan sering didasari oleh audience design dan/atau need analysis. Dalam praktiknya, penerjemah memilih salah satu metode yang sesuai dengan untuk siapa dan dan untuk tujuan apa penerjemahan dilakukan. Dalam hal ini, ada sejumlah metode yang dipilih yang jumlahnya ada delapan (Newmark, 1988: 45-88). Secara garis besar kedelapan metode itu dapat digolongkan menjadi dua golongan, yakni yang empat berorientasi kepada BSu (SL Emphasis) dan yang empat lagi berorientasi kepada BSa (TL Emphasis). Pemilihan metode menghasilkan “jenis terjemahan”. Apa yang dikemukakan itu dapat dilihat pada gambar berikut ini:

SL Emphasis

TL Emphasis

Word-for-word translation Literal translation Faithful translation Semantic translation

Adaptation Free translation Idiomatic translation Communicative translation

Berikut ini adalah metode penerjemahan menurut Newmark (1988: 45-88) mulai dari yang terdekat hingga yang terjauh dari Bahasa Sumber (BSu): a.

Word-for-word translation (penerjemahan kata demi kata) dilakukan dengan cara menerjemahkan kata demi kata dan membiarkan susunan kalimat seperti dalam TSu. Ini biasanya tidak dianggap sebagai penerjemahan yang baik, tetapi ada gunanya sebagai proses awal dalam penerjemahan (pre-translation) dari bahasa tertentu. Misalnya, penerjemahan dari bahasa Jepang, yang struktur kalimatnya sangat berbeda daripada bahasa Indonesia. Untuk memudahkan penerjemah “melacak” makna yang ada dalam kalimat-kalimat atau gabungan kalimat dalam teks bahasa Jepang dilakukan dulu penerjemahan kata demi kata.

b.

Literal translation (penejemahan harfiah) juga dapat dilakukan dengan sengaja dalam penerjemahan awal. Kalimat-kalimat yang panjang dan sulit diterjemahkan secara harfiah dulu untuk kemudian disempurnakan. Dalam penerjemahan harfiah, penerjemah sudah mengubah struktur BSu menjadi struktur BSa. Namun, kata-kata dan gaya bahasa dalam TSu masih dipertahankan dalam TSa. Dengan sendirinya terjemahan seperti ini masih memperlihatkan model teks dari TSu dan belum dapat dikatakan sebagai terjemahan yang betul. Metode ini juga dipilih untuk menjaga agar tidak terjadi “kebocoran” dalam mengalihkan pesan.

c.

Faithful translation (penerjemahan setia) yang artinya bahwa penerjemahan dilakukan dengan mempertahankan sejauh mungkin aspek format (dalam teks hukum) atau aspek

70

bentuk (dalam teks puisi) sehingga kita masih secara lengkap melihat kesetiaan pada segi bentuknya. Dalam penerjemahan setia juga bisa terjadi metafora (dalam penerjemahan teks sastra) atau ungkapan (dalam penerjemahan teks hukum) atau istilah (dalam penerjemahn teks hukum atau teks tentang informatika) diterjemahkan ke dalam BSa meskipun tidak lazim dikenal sehingga menjadi apa yang disebut “translationese”. Pada teks hukum format teks disesuaikan dengan yang sudah lazim berlaku di dalam sistem perundangan BSu. Dalam penerjemahn puisi penerjemah berusaha mengikuti model puisi TSu. Dalam penerjemahan teknologi, kesetiaan berada pada penggunaan padanan baru (neologisme dan “translationese”) atau pemertahanan istilah dari TSu. Tujuan melakukan penerjemahan dengan metode ini ada bermacam-macam, misalnya untuk memperkenalkan metafora asing, untuk memperkenalkan ungkapan dan istilah baru guna mengisi kekosongan ungkapan dan istilah dalam BSa. d.

Semantic translation (penerjemahan semantis) sangat menekankan pada penggunaan istilah, kata kunci, ataupun ungkapan yang harus dihadirkan dalam terjemahannya. Hal ini biasanya dilakukan dalam penerjemahan karya ilmiah atau teks hukum sesuai dengan “untuk siapa” terjemahan itu dibuat dan “untuk tujuan apa”. Dalam karya ilmiah ada sejumlah istilah yang sudah terdefinisi dan harus diterjemahkan secara tepat dari segi semantisnya agar tidak terjadi salah paham. Dalam penerjemahan teks hukum istilah-istilah hukum harus diterjemahkan secara tepat pula semantiknya agar tidak terjadi salah tafsir.

e.

Communicative translation (penerjemahan kominikatif) dilakukan kalau dalam penerjemahan yang dipentingkan pesannya, tetapi tanpa harus menerjemahkan secara bebas. Hal ini dilakukan biasanya dalam penerjemahan brosur, pengumuman, ataupun tulisan popular.

f.

Idiomatic translation (penerjemahan idiomatis) mengupayakan penemuan padanan istilah, ungkapan, dan idiom dari apa yang tersedia dalam BSa. Dalam penerjemahan teks hukum dapat terjadi penerjemahan idiomatis bila dalam beberapa hal merujuk pada peraturan perundangan pada masyarakat sasaran. Upaya semacam ini tentunya bagus, tetapi juga sulit bila kedua bahasa yang terlibat dalam proses penerjemahan memiliki latar sosial budaya yang berbeda.

g.

Free translation (penerjemahan bebas) menekankan pada pengalihan pesan, sedangkan pengungkapannya dalam TSa dilakukan sesuai dengan kebutuhan calon pembaca. Bedanya dengan adaptation adalah bahwa dalam penerjemahan bebas penerjemah tidak melakukan penyesuaian budaya. Biasanya free translation dilakukan untuk memenuhi permintaan klien yang hanya ingin mengetahui isi pesannya.

h.

Adaptation (saduran) yang lebih menekankan pada “isi” pesan, sedangkan bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan pembaca dalam BSa. Dalam adaptation biasanya tokoh, latar belakang, dan konteks sosial disesuaikan dengan “kebudayaan” BSa. Ini pernah dilakukan dalam adaptation teks cerita binatang dari bahasa Perancis ke bahasa Indonesia. Binatang dari Eropa diganti dengan binatang dari Indonesia (rubah menjadi kancil meskipun sifat liciknya berbeda), makanan dari Eropa diganti dengan makanan dari Indonesia (keju pada cerita burung gagak ditipu oleh Kancil).

71

Apa yang penting kita pahami dari uraian tentang metode di atas itu adalah bahwa cara menerjemahkan tidak hanya satu jenis, tergantung dari untuk siapa dan untuk tujuan apa kita melakukannya. Ini merupakan hasil audience design dan need analysis. 3. PROSEDUR a. Audience Design dan Need Analysis Sebelum kita melakukan langkah-langkah dalam penerjemahan, kita harus sudah melakukan audience design dan need analysis, serta sudah menentukan metode apa yang kita pilih. Jika kita menerjemahkan atas pesanan klien, kita harus menanyakan kepada klien kita untuk siapa dan untuk tujuan apa terjemahan kita itu, dan jenis terjemahan seperti apa yang diinginkan (lihat V-diagram). Pada umumnya para pakar penerjemahan sependapat bahwa “betul-salah” (correctness) tergantung pada untuk siapa penerjemahan dibuat. Telah diketahui bahwa jika terjemahan teks hukum dibuat untuk orang awam seharusnya menggunakan istilah dan ungkapan yang mudah dipahami (jika perlu diberi catatan). Akan tetapi, bila terjemahan itu dibuat untuk digunakan di pengadilan atau dalam perundingan biasanya terbuat dalam bahasa hukum yang “baku” (atau “legalese language”). Oleh karena itu, penerjemah yang berpengalaman biasanya melakukan audience design, yakni mempelajari siapa pengguna terjemahan kita. Lebih dari itu, penerjemah biasanya harus mengetahui untuk tujuan (purpose) atau keperluan (need) apa terjemahan itu dibuat. Jadi, audience design biasanya disertai dengan semacam needs analysis. Dengan demikian, pelaksanaan penerjemahan harus berorientasi kepada klien (client oriented). Perlu dicatat di sini bahwa pengertian “klien” di sini tidak selalu klien dari lawyer, tetapi klien dari penerjemah (orang yang menyuruh menerjemahkan). Hatim dan Mason (1997) mengemukakan bahwa penerjemahan dapat dipandang sebagai suatu upaya yang “statis”, yakni ketika teks sumbemya tidak terlalu bermakna “ganda”, misalnya teks teknik. Namun, ada sejumlah teks yang bermakna “ganda” sehingga penerjemahannya memerlukan penyesuaian dengan pembaca bahasa sasaran. Dalam hal ini, penerjemahan bersifat “dinamis”. Hatim dan Mason bahkan menambahkan bahwa setiap penerjemahan boleh dikatakan bersifat “dinamis” karena sangat tergantung pada untuk siapa terjemahan itu di buat (cf. Nida clan Taber 1974). Dan ini dapat berlaku.juga untuk teks teknis. Dalam pandangan yang lebih mendalam, kith mengenal konsep “Skopos” seperti dikemukakan oleh Vermeer ((1986) 2000). Oleh karena itu, setiap upaya penerjemahan harus didahului oleh audience design, suatu perkiraan tentang siapa calon pembacanya dan apa yang diperlukan olehnya serta apa tujuan kita menerjemahkan teks tersebut. Dalam salah satu contoh, Hatim dan Mason mengemukakan terjemahan bagian teks seperti The cost of operating an air conditioner is relatively low. However; there are many factors that contribute to cost of operation. (...) dalam bahasa Perancis dapat Le coût d’utilisation d’un climatiseur est assez modique, mais depend bien sur de divers facteurs, (...) atau Le coût d’utilisation d’un climatiseur est normalement assez faible. Par contre il peut s'élever dans certaines conditions: (...). Bagian teks yang digarisbawahi memperlihatkan perbedaaan penerjemahannya, meskipun pesannya serupa berdasarkan apa yang diperkirakan perlu diketahui oleh calon pembaca dan tujuan penerjemahannya (contoh dikutip dari Hatim dan Mason, 1997).

72

Jadi, seperti telah dikemukakan di atas, audience design biasanya disertai dengan semacam needs analysis. Dengan demikian, pelaksanaan penerjemahan berorientasi kepada klien (client oriented) atau berorientasi pada calon pembaca (bila itu merupakan penerjemahan atas prakarsa kita sendiri tanpa disuruh). Audience design dan needs analysis (dalam bentuk yang sesederhana sekalipun) harus dilakukan. b. Tiga Langkah Penting Dalam praktik penerjemahan sebenarnya yang diperlukan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Masalah praktis yang dihadapi ada dua, yakni (1) kita tidak paham makna kata atau kalimat atau paragraf sehingga tidak memahami pesannya, dan (2) kita mengalami kesulitan untuk menerjemahkannya meskipun sudah memahami TSu-nya. Pemecahan masalah itu dilakukan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Sebut saja kiat untuk pemecahan masalah penerjemahan. Oleh karena itu, dalam praktik menerjemahkan kita diminta untuk mengikuti prosedur yang diharapkan akan menjamin ketelitian dari pekerjaan kita dan hasil yang optimal. Prosedur yang biasanya harus ditempuh adalah apa yang dikenal dengan “tiga langkah penerjemahan” (Nida dan Taber 1974: 33). Prinsip dasarnya adalah bahwa penerjemahan tidak boleh dilakukan dengan satu langkah saja. Nida danTaber (1974:33) mengemukakan bahwa penerjemahan yang hati-hati harus menempuh tiga langkah, yakni analisis [memahami TSu], transfer [mengalihbahasakan dalam pikiran], dan restrukturisasi [menerjemahkan]. Di bawah ini akan diuraikan prosedur langkah demi langkah yang bertolak dari Nida dan Taber (1974: 33), tetapi diberi tambahan pada proses langkah tertentu. Pada langkah pertama (analisis) TSu harus dibaca secara keseluruhan dan dipahami isi pesannya (maksudnya) meskipun hanya secara garis besar. Bagian-bagian yang dianggap penting atau bermasalah perlu diberi tanda. Langkah ini disebut “analisis” mencakupi aspek struktur, semantik, gaya bahasa, dan pesan. Dalam langkah ini penerjemah tidak jarang menemukan berbagai masalah pemahaman yang tidak dapat dipecahkan pada tataran teks, tetapi yang harus dicari jawabannya di luar teks: ia harus mencari di berbagai sumber, seperti teks peraturan perundangan lain, ensiklopedi, kamus ekabahasa, atau narasumber. Proses analisis ini menyangkut pembaca pada tataran teks dan tataran luar teks (referensial) (lihat Newmark 1988: 22). Analisis bertujuan agar penerjemah memahami dengan baik pesan yang dibawa oleh TSu serta cara pengungkapannya secara kebahasaan. Pada langkah kedua kita mulai menerjemahkan di dalam pikiran dan kalau perlu mulai dituliskan. Langkah ini disebut “transfer”. Di sini kita pun masih perlu mencari pemecahan masalah dengan melihat ke luar dari teks seperti pada langkah satu. Dalam langkah kedua ini kita kemudian harus melakukan apa yang disebut “deverbalisasi”, yakni melepaskan diri dari ikatan kalimat-kalimat TSu untuk menangkap isi pesannya secara lebih terperinci (biasanya, paragraf demi paragraf atau pasal demi pasal, tergantung pada pertimbangan kita masing-masing). Deverbalisasi dikemukakan oleh Lederer (1994:22) sebagai prosedur dalam proses penerjemahan lisan. Namun, ini dapat dimanfaatkan dalam penerjemahan tulis pada langkah transfer. Dalam langkah ini kita belum menerjemahkan secara pasti, tetapi melakukannya dalam pikiran kita disertai dengan membuat catatancatatan. Deverbalisasi merupakan kegiatan kognitif yang bermanfaat sebelum langkah transfer dimulai.

73

Namun, di pihak lain kita tidak bermaksud melakukan penerjemahan bebas. Oleh karena itu, tidak boleh ada satu unsur semantis pun yang “terlepas” dalam terjemahan kita. Perlu dicatat bahwa deverbalisasi akan dapat berisiko kita kehilangan sesuatu dalam proses penerjemahan. Maka setelah kita memahami sebuah teks sumber dan melakukan deverbalisasi, kita tetap harus kembali kepada teks sumber (secara fisik), yakni dengan melakukan apa yang disebut cloze translation: mencari satuan terkecil yang dapat dicermati untuk diterjemahkan (lihat Gambar). Deverbalisasi dan “Cloze Translation” dalam Transfer Deverbalisasi 1

2

3

Teks Sumber (TSu)

Teks Sasaran (TSa) 3

Dengan demikian, dari deverbalisasi (1) kita harus kembali mengamati secara cermat dan mencari satuan penerjemahan pada teks sumber (2). Baru setelah itu kita menggunakan hasil deverbalisasi untuk mengalihbahasakan satuan terjemahan yang bersangkutan ke dalam bahasa sasaran (3). Dalam langkah ketiga dan terakhir (restrukturisasi), kita melakukan penerjemahan yang sebenarnya dan mulai mengatur susunan kalimat-kalimat secara teliti. Langkah ketiga ini dalam buku Nida dan Taber disebut “restructuring”. Maksudnya, penerjemahan adalah mengubah struktur (dalam arti struktur gramatikal dan semantik) BSu menjadi BSa. Pada langkah ini kita melihat secara terperinci apakah terjemahan kita sudah sesuai dengan audience design dan needs analysis. Apakah terjemahan kita sudah sesuai dengan metocle yang kita pilih. Perlu diketahui bahwa setiap langkah tidak harus hanya dilakukan sekali. Terutama langkah kedua dan ketiga biasanya dilakukan berkali-kali sampai kita yakin bahwa yang kita lakukan sudah betul. Dalam langkah ini pulalah kita harus melihat apakah teks terjemahan yang kita buat sudah memenuhi syarat keterbacaan oleh klien dan apakah bahasa yang digunakan sudah sesuai dengan tuntutan kewajaran bahasa yang diharapkan. Hasil ideal yang diharapkan adalah agar reaksi pembaca terjemahan serupa (sepadan) dengan reaksi pembaca bahasa sumbernya. Nida dan Taber (1974: 200) menyebutnya dynamic equivalence yang harus diperoleh dalam TSa. Dari apa yang diuraikan di atas, kita melihat pentingnya kehati-hatian dan pemanfaatan sumber-sumber di luar teks. 4. TEKNIK Dengan mengikuti tiga langkah kehati-hatian dalam penerjemahan saja kita belum memecahkan masalah penerjemahan, terutama bagaimana menanggulangi kesulitan menerjemahkan pada tataran kata, kalimat, atau paragraf. Cara penanggulangan ini disebut teknik. Ada banyak teknik yang dapat ditawarkan, tetapi hanya beberapa yang dianggap umum yang akan dikemukakan di sini. 74

a. Transposisi Kita mengubah struktur kalimat agar dapat memperoleh terjemahan yang betul. Contohnya adalah sebagai berikut. No. 1.

Teks Sumber (TSu) a. He was unconscious when he arrived at the hospital.

Teks Sasaran (TSa) b. Ia sudah berada dalam keadaan tidak sadar saat tiba di rumah sakit. c. Setibanya di rumah sakit, ia sudah dalam keadaan tidak sadar.

Meskipun struktur kalimatnya tidak sejajar dengan (1a), terjemahan (1b) dapat kita terima, tetapi kelihatannya (1c) lebih baik. Intinya, pesan berbunyi “ia tidak sadar”, “ia dibawa ke rumah sakit”, dan “setiba di rumah sakit ia pun masih belum sadar”. Terjemahan (1d), meskipun struktur kalimatnya sejajar dengan (1a), dapat menimbulkan salah paham karena seakan-akan keadaan tidak sadar terjadi saat ia tiba di rumah sakit. Ini disebabkan oleh semantik kala lampau yang tidak ditambahkan dalam (1d). Padahal (1d) secara formal yang paling sejajar dengan aslinya. Jadi, dalam hal (1a) dan (1b) penerjemah melakukan perubahan struktur kalimat dengan teknik transposisi. Contoh lain dapat kita lihat dalam sebuah teks hukum seperti berikut ini. No. 2.

Teks Sumber (TSu) a. trade secrets and confidential

Teks Sasaran (TSa) b. rahasia dagang

Dalam contoh di atas, secrets and confidential dianggap bermakna sama sehingga diterjemahkan dengan rahasia saja. Ini merupakan teknik transposisi karena mengubah struktur dari yang panjang menjadi pendek. Contoh lain memperlihatkan perubahan, tidak hanya struktur, tetapi sudut pandang maknanya. No. 3.

Teks Sumber (TSu) a. Hak-hak dan kewajiban yang tercantum pada Pasal 2, 5, (...) pada Perjanjian ini akan tetap berlaku meskipun Perjanjian ini telah diakhiri.

Teks Sasaran (TSa) b. Hak-hak dan kewajiban yang tercantum pada Pasal 2, 5, (...) pada Perjanjian ini akan tetap berlaku meskipun Perjanjian ini telah diakhiri. c. Hak-hak dan kewajiban yang tercantum pada Pasal 2, 5, (...) pada Perjanjian ini akan tetap berlaku setelah pengakhiran Perjanjian ini.

Pada (3b) dan (3c) terjadi perubahan struktur dari (3a) (shall V1, the N1, of this N2) menjadi (3b) (akan tetap V, meskipun N2 ini telah V2) dan (3c) (akan tetap V setelah N1, N2 ini). Dalam contoh ini, kita juga melihat kata termination of this agreement (V1, of the N1) dalam (3b) berubah menjadi meskipun Perjanjian ini telah diakhiri (meskipun N2, telah V2). Di sini juga terjadi modulasi yang akan dibicarakan di bawah ini.

75

b. Modulasi Penerjemah memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut pandang artinya atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan memberikan pesan/maksud yang sama. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini: No. 4.

Teks Sumber (TSu) a. The laws of Germany govern this Agreement.

Teks Sasaran (TSa) b. Perjanjian ini diatur oleh hukum jerman.

Dalam contoh (4b) kita melihat makna pasif menerjemahkan makna aktif (4a) atau sudut pandang aktif (4a) diterjemahkan menjadi pasif (4b). No. 5.

Teks Sumber (TSu)

Teks Sasaran (TSa) b. Tanggung jawab XYZ merupakan kewajiban berdasarkan undangundang yang berlaku, misalnya Undang-undang Perlindungan Konsumen (dalam konteks ini).

a. XYZ liability is mandatory under the applicable law, eg. according to Product Liability Law.

Dalam contoh (5b) dan dalam konteks yang bersangkutan, kita melihat terjemahan yang sudut pandangnya pada konsumen, sedangkan dalam BSu (5a) sudut pandangnya pada produk. c. Penerjemahan Deskriptif Karena tidak dapat menemukan terjemahan/padanan kata BSu (baik karena tidak tahu maupun karena tidak/belum ada dalam BSa), penerjemah terpaksa melakukan “uraian” yang berisi makna kata yang bersangkutan. Hal itu dapat kita lihat dalam contoh berikut ini: No. 6.

Teks Sumber (TSu) a. Licensed software.

Teks Sasaran (TSa) b. Perangkat lunak yang dilisensikan.

Dalam (6b) sebenarnya kita tidak melihat suatu istilah, tetapi suatu uraian yang memberikan makna yang sama dari istilah Inggrisnya (6a). d. Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning) Agar suatu kata dipahami (misalnya nama makanan atau minuman yang masih dianggap asing oleh khalayak pembaca BSa), biasanya penerjemah memberikan kata(kata) khusus untuk menjelaskannya. Kita dapat melihat gejala ini pada contoh berikut. No. 7.

Teks Sumber (TSu) a. She prefers the Black Label rather than the ordinary Johnny Walker.

76

Teks Sasaran (TSa) b. Ia lebih suka wiski Johnny Walker Black Label daripada yang biasa.

Pada (7b) kita melihat penerjemah menambahkan kata wiski agar pernbaca memahami bahwa yang dimaksud dengan Johnny Walker adalah merek minuman wiski dan bahwa Black Label (yang juga tidak dapat diterjemahkan) adalah salah satu jenis wiski yang bermerek Johnny Walker itu. Contoh lain dapat kita lihat berikut ini. No. 8.

Teks Sumber (TSu) a. He is fond of sushi with wasabi.

Teks Sasaran (TSa) b. Ia suka sekali sushi dengan bumbu (?) wasabi.

e. Catatan Kaki Penerjemah memberikan keterangan dalam bentuk catatan kaki untuk memperjelas makna kata terjemahan yang dimaksud karena tanpa penjelasan tambahan itu kata terjemahan diperkirakan tidak akan dipahami secara baik oleh pembaca. Hal ini dilakukan apabila catatan itu panjang sehingga kalau ditempatkan dalam teks akan mengganggu pembacaan. Ini dapat kita lihat pada contoh berikut ini. No. 9.

Teks Sumber (TSu)

Teks Sasaran (TSa)

a. All the software in your phone.

b. Semua perangkat lunak dalam telepon seluler* Anda.

* Ini adalah teks tentang Perjanjian Lisensi yang di dalamnya mengandung pengertian bahwa perangkat lunak itu dimasukkan ke dalam telepon seluler dan bukan telepon biasa. Kalau ini tidak dijelaskan, kemungkinan ditafsirkan sebagai telepon biasa. f. Penerjemahan Fonologis Penerjemah tidak dapat menemukan padanan yang sesuai dalam bahasa Indonesia (BSa) sehingga ia memutuskan untuk membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata itu dalam BSu untuk disesuaikan dengan sistem bunyi (fonologi) dan ejaan (grafologi) BSa. Contohnya adalah sebagai berikut. No. 10. 11. 12.

Teks Sumber (TSu)

Teks Sasaran (TSa) b. emiten b. perangkat lunak kriptografis b. demokrasi

a. emitent a. cryptographic software a. democratic (Belanda)

g. Penerjemahan Baku Ada sejumlah istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku atau resmi dalam BSa sehinga penerjemah langsung menggunakannya sebagai padanan. Biasanya istilah sudah ada dalam undang-undang, glosari di bidang tertentu, atau berupa nama orang, kota, atau wilayah. Beberapa contoh dapat kita lihat di bawah ini.

77

No. 13. 14. 15.

16. 17. 18. 19.

Teks Sumber (TSu) a. receiver (hukum) a. jointly and severally [liable] (hukum) a. input a. a. a. a.

Teks Sasaran (TSa) b. kurator b. [bertanggung jawab secara] tanggung renteng

b. c. d. b. b. b. b.

Munich Falkland New Zealand Newcastle

masukan (umum) asupan (kedokteran) input (ekonomi, teknik listrik) Munchen Malvinas

Selandia Baru Newcastle

i. Tidak Diberikan Padanan Penerjemah tidak dapat menemukan terjemahannya dalam BSa sehingga untuk sementara ia mengutip saja bahasa aslinya. Biasanya, cara ini dilengkapi dengan catatan kaki. Contohnya sebagai berikut. No. 20.

Teks Sumber (TSu)

Teks Sasaran (TSa)

a. Some products of XYZ may require you to agree to additional terms through an on-line “click-wrap” license.

b. Beberapa produk XYZ dapat mewajibkan anda untuk menyetujui ketentuanketentuan tambahan melalui suatu lisensi “on-line click-wrap”.

j. Padanan Budaya Menerjemahkan dengan memberikan padanan berupa unsur kebudayaan yang ada dalam BSa. Contohnya: No. 21. 22. 23

Teks Sumber (TSu)

Teks Sasaran (TSa)

a. “A” level exam (Inggris) a. Diplôme de baccalauréat (Prancis) a. Summer Session

b. Ujian SPMB b. Ijazah SMA b. Semester Pendek

Contoh (21a) yang sebenarnya adalah nama ujian masuk perguruan tinggi dalam sistem pendidikan di Inggris yang diterjemahkan dengan (21b) yang juga adalah nama ujian masuk perguruan tinggi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Contoh (22a) berasal dari budaya pendidikan Prancis dan (22b) dari Indonesia; hal yang sama juga terjadi pada contoh (23a) dan (23b). Dari contoh di atas terlihat bahwa kata dalam TSu dicari “padanan budayanya” yang terdapat dalam BSa. Prosedur ini memang bukan penerjemahan yang akurat, tetapi dapat membantu pembaca memahami secara cepat kata atau istilah budaya dalam BSa.

78

5. KESIMPULAN Terjemahan antarbahasa pada dasarnya merupakan perbandingan dinamis yang melibatkan dua bahasa dan dua budaya sekaligus. Perbandingan ini pada kenyataanya malah seringkali mempertegas perbedaan yang ada di antara keduanya. Cluver dalam Osimo (2004) mengatakan bahwa sebuah teks terjemahan sudah barang tentu tidak ekuivalen dengan teks aslinya. Bisa dipastikan, sebuah teks terjemahan mengandung sesuatu yang kurang (loss) atau sesuatu yang berlebih (redundant) bila dibandingkan dengan teks sumber. Dalam kaitan inilah penerjemah yang baik pada akhirnya harus menentukan bagian mana yang harus dikorbankan dari sebuah teks sumber. Metode penerjemahan merupakan payung besar dalam menerjemahkan sebuah teks secara keseluruhan. Metode yang dipilih—yang akan menjadi jenis terjemahan—bisa lebih dari satu dan ditentukan oleh Audience Design (Siapa calon pembacanya?) dan Need Analysis (Tujuannya Apa?). Sebagai strategi penerjemahan pada tataran kalimat dan kata dipilihlah teknik. Secara umum alur proses penerjemahan adalah sebagai berikut:

TSu

Prosedur: Audience Design & Need Analysis

Metode

Teknik

TSa

DAFTAR PUSTAKA Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Hasibuan, Sofia Rangkuti. 1991. Teori Terjemahan dan Kaitannya dengan Tata Bahasa Inggris. Jakarta: Dian Rakyat. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1992. Discourse and the Translator. London: Longman. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1997. The Translator as Communicator. London: Routledge. Hatim, Basil. 2001. Teaching and Researching Translation. London: Longman. Hervey, Sándor dan Ian Higgins. 1992. Thinking Translation. New York: Routledge. Hoed, Benny H. 2006. Teori dan Masalah Penerjemahan. Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: ProDC. Hoed, Benny H., Tresnati S. Solichin, dan Rochayah M. 1993. Pengetahuan Dasar Tentang Penerjemahan. Jakarta: Pusat Penerjemahan FSUI. Hoed, Benny. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu. Hornby, Marry Snell. 1995. Translation Studies. An Integrated Approach. Amsterdam: Jon Benjamin Publishing Co.

79

Léderer, M. 1994. Latraductionaujord’hui. Vanves: Hachette FLE. Larson, Mildred L. 1989. Meaning Based Translation, A Guide to Cross-language Equivalence. Terj. Kencanawati Taniran. Jakarta: Penerbit Arcan. Machali, Rochayah. 2009. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Mizan Pustaka. Moentaha, Salihen. 2008. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc Nababan, Rudolf M. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. New York: Pergamon. Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall. Nida, E.A. dan Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Venuti, Lawrence. 2004. The Translation Studies Reader. New York: Routledge. Vermeer, H.J. (1986) 2000. Voraussetzungen für eine Translationtheorie: Enige Kapitel Kultur-Und Sparachtheorie. Heidelberg: Groos. Widyamartaya, A. 1989. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Williams, Henny dan Andrew Chesterman. 2002. The MAP. A beginner’s Guide to Doing Research in Translation Studies. Manchester: St. Jerome Publishing.

80

ANALISIS TINDAK TUTUR BAHASA JEPANG MELALUI PENDEKATAN PRAGMATIK Rini Widiarti Sastra Jepang –Fakultas Sastra [email protected] ABSTRAK Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. George Yule (1996: 48). membedakan tiga jenis tindak tutur yaitu, lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan. Dalam penelitian ini pembatasan pada tindak tutur ilokusi dan alat penunjuk tekanan ilokusi karena di antara ketiga dimensi tersebut, yang paling banyak dibahas adalah tekanan illokusi. Tekanan illokusi suatu tuturan adalah ‘apa yang diperhitungkan tekanan itu’. Hasil temuan penulis menunjukkan data yang dianalisis sebagian besar termasuk dalam kategori tindak tutur direktif, yaitu jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur meliputi perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran. Alat penunjuk tekanan ilokusi (APTI) yang ditemukan berupa verba performatif, Verba performatif negative interogatif, non verba performatif berbentuk adverbial dengan fungsi menawarkan sesuatu dan fungsi menolak terhadap suatu tawaran, non verba performatif berbentuk adjektifa negative interogatif dengan fungsi menyarankan sesuatu. Dari hasil temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa tuturan dalam bahasa Jepang untuk tujuan menawarkan, menyarankan atau mengajak bentuk tuturan umum yang digunakan adalah selain menggunakan verba performatif juga menggunakan adjektifa negative interogatif serta adverbia yang digunakan dalam kalimat yang tidak selesai. Kata kunci : tindak tutur, lokusi, ilokusi, perlokusi, verba performatif, APTI 1. PENDAHULUAN Bahasa adalah alat interaksi sosial atau alat komunikasi manusia. Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan maupun emosi secara langsung. Maka dalam setiap proses komunikasi ini terjadilah apa yang disebut peristiwa tutur dan tindak tutur dalam satu situasi tutur. Dalam usaha untuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal saja, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan-tuturan itu. Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan biasanya disebut tindak tutur. Istilah-istilah deskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Penutur biasanya berharap maksud komunikatifnya akan dimengerti oleh pendengar. Penutur dan pendengar biasanya terbantu oleh keadaan disekitar lingkungan tuturan itu. Keadaan semacamn ini, termasuk juga tuturan-tuturan yang lain, 81

disebut peristiwa tutur. Dalam banyak hal, sifat peristiwa tuturlah yang menentukan penafsiran terhadap suatu tuturan ketika menampilkan suatu tindak tutur khusus. Telaah mengenai bagaimana cara kita melakukan sesuatu dengan memanfaatkan kalimat-kalimat adalah telaah mengenai tindak ujar (speech act). Tindak tutur merupakan analisis pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji bahasa dari aspek pemakaian aktualnya. Leech (1983:5-6) menyatakan bahwa pragmatik mempelajari maksud ujaran (yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan); menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan siapa berbicara kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana. Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral di dalam pragmatik dan juga merupakan dasar bagi analisis topik-topik lain di bidang ini seperti praanggapan, perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan. George Yule (1996: 48). membedakan tiga jenis tindak tutur yaitu, lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan. Dalam penelitian ini pembatasan pada tindak tutur ilokusi dan alat penunjuk tekanan ilokusi, pembatasan tersebut dilakukan karena di antara ketiga dimensi tersebut, yang paling banyak dibahas adalah tekanan illokusi. Istilah “tindak tutur” umumnya diterjemahkan secara sempit dengan sekedar diartikan sebagai tekanan illokusi suatu tuturan. Tekanan illokusi suatu tuturan adalah ‘apa yang diperhitungkan tekanan itu’. John R Searle (1983) dalam bukunya Speech Act : An Eassy in The Philosophy of Language menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur. Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa dan kalimat itu. Dalam tindak lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Jadi tuturan tanganku gatal misalnya, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu tangan penutur sedang dalam keadaan gatal. Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Tuturan tanganku gatal yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dituturkan tuturan itu rasa gatal sedang bersarang pada tangan penutur, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan rasa sakit gatal pada tangannya itu. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh kepada mitra tutur. Tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of affecting someone. Tuturan tanganku gatal, misalnya, dapat dugunakan untuk menumbuhkan pengaruh rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena yang menuturkan tuturan itu berprofesi sebagai seorang tukang pukul yang pada kesehariannya sanga erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain.

82

Satu cara untuk memikirkan tentang tindak tutur yang sedang ditampilkan melalui tuturan ialah berasumsi bahwa setiap tuturan pokok terdapat suatu klausa yang mengandung kata kerja performatif yang membuat tekanan illokusi menjadi jelas. Performatif terjadi bila penutur perlu mengklasifikasi tindak ujarnya ke dalam sebuah kategori tertentu, misalnya seorang perwira yang mengatakan kepada seseorang prajurit I order you to stand up (Saya perintah Anda untuk berdiri). Dengan cara ini ia memperjelas bahwa definisi ilokusinya ialah sebuah perintah, konsekuensi-konsekuensi yang timbul sebagai akibat tuturan tersebut cukup jelas, misalnya tindakan disipliner. George Yule dalam bukunya Pragmatics menyebutkan alat yang paling jelas untuk menunjukkan tekanan illokusi (Alat Penunjuk Tekanan Illokusi atau APTI) adalah jenis ungkapan yang ditunjukan dalam : I (Vp) you that…. (Saya [kk. Performatif] Anda bahwa……) Pada ungkapan di atas terdapat suatu celah untuk sebuah kata kerja yang secara eksplisit menyebutkan tindakan illokusi yang sedang ditunjukkan. Kata kerja yang demikian ini dapat dikatakan sebagai kata kerja performatif (Vp). APTI yang lain yang dapat diidentifikasikan ialah urutan kata, tekanan dan intonasi. Alat-alat lainnya, misalnya kualitas suara yang rendah untuk memperingatkan atau mengancam, mungkin digunakan untuk menunjukkan tekanan illokusi. Tuturannya juga harus dihasilkan dalam kondisi konvensional tertentu untuk menentukan tekanan illokusi yang dimaksud. Austin berkesimpulan bahwa semua tuturan adalah “performatif”dalam arti bahwa semua tuturan merupakan sebuah bentuk tindakan dan tidak sekadar mengatakan sesuatu tentang dunia. Austin membuat perbandingan antara performatif eksplisit seperti : I promise that I shall be there dengan performatif primer (atau tuturan primer) seperti I shall be there. Tindak lokusi yang sama, seperti ditunjukkan dalam kalimat : I’ll see you later I predict that I promise you that I warn you that Dapat berarti sebagai suatu perkiraan, suatu janji atau suatu peringatan. Satu masalah yang ada dalam contoh di atas adalah bahwa tuturan yang sama secara potensial dapat memiliki tekanan illokusi yang agak berlainan (misalnya ; janji dengan peringatan). Dalam contoh tersebut di atas terdapat suatu kondisi bahwa tuturan yang sama secara potensial dapat memiliki tekanan illokusi yang agak berlainan (misalnya; janji dengan peringatan). Penutur dapat berasumsi bahwa tekanan illokusi yang dimaksudkan akan diketahui oleh pendengar dengan mempertimbangkan alat-alat penunjuk tekanan illokusi George Yule mengklasifikasikan jenis tindak tutur umum yang biasanya digunakan seperti berikut ini : Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Contoh : Referee : You’re out!. Pada waktu menggunakan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata. Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan

83

pendeskripsian, seperti yang digambarkan dalam kalimat The earth is flat merupakan contoh dunia sebagai sesuatu yang diyakini oleh penutur yang menggambarkannya. Pada waktu menggunakan sebuah representative, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya). Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan atau kesengsaraan. Dalam kalimat I’m really sorry, tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur. Pada waktu menggunakan ekspresif penutur menyesuaikan kata-kata dengan dunia (perasaannya). Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran, bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negative. Contoh : Could you lend me a pen, please? Pada waktu menggunakan direktif penutur berusaha menyesuaikan dunia dengan kata (lewat pendengar). Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, ikrar, seperti I’ll be back. Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur). Kalimat performatif mempunyai pola dan norma tertentu. Kalimat itu biasanya dimulai dengan frase, “Dengan ini……”, atau, “Dengan mengucapkan bismillah….” Atau juga “Dengan izin Allah….”, dan sebagainya. Kalimat performatif ini lazim digunakan dalm upacara pernikahan, perceraian, kelahiran, kematian, keagamaan, kenegaraan, kemiliteran, peresmian seminar dan sebagainya. Dalam pengucapannya kalimat-kalimat performatif biasanya ditunjang oleh tindak atau perilaku yang nonlinguistic, seperti pemukulan gong, pengetukan palu, dan sebagainya. Kalimat performatif yang dibicarakan di atas adalah kalimat performatif yang berfungsi dalam situasi acara resmi. Di samping itu ada pula kalimat performatif lain yang berlainan fungsinya, yakni yang diterapkan pada situasi-situasi yang tidak bersifat resmi. Kalimat performatif dapat digunakan untuk mengungkapkan sesuatu secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit, artinya dengan menghadirkan kata-kata yang mengacu pada pelaku seperti saya atau kami. Misalnya : “Saya berjanji akan mengirimkan uang itu secepatnya”, “Kami minta maaf atas keterlambatan pembayaran hutang itu” dan “Saya peringatkan, kalau Anda sering bolos, Anda tidak boleh ikut ujian!”Sedangkan kalimat performatif yag implisit adalah yang tanpa menghadirkan kata-kata yang menyatakan pelaku. Misalnya : “jalan ditutup” (yang secara implist memperingatkan untuk tidak melewati jalan itu)”; “Ada perbaikan jalan”(yang secara implisit memberitahukan agar kita berhati-hati); dan “Ada ujian”(yang secara implisit meminta agar kita tidak gaduh). Lebih jelasnya lagi, George Yule (1996) menyebutkan bahwa apabila ada hubungan langsung antara struktur dengan fungsi, maka terdapat suatu tindak tutur langsung. Dan apabila ada hubungan tidak langsung antara struktur dengan fungsi, maka terdapat suatu tindak tutur tidak langsung. Jadi bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan disebut tindak tutur tidak langsung.

84

2. METODE PENELITIAN Dalam usaha untuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal saja, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan-tuturan itu. Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis tindak tutur dalam bahasa Jepang serta untuk mengetahui elemen-elemen yang terlibat pada waktu menghasilkan tuturan dan menafsirkannya dalam bahasa Jepang. Metode penelitian dilakukan melalui pemilahan data dari bahan ajar DVD de manabu nihongo Erin ga choosen! Nihongo dekimasu vol 1,2, 3. Dialog dalam film tersebut diambil sebagai data, yang dikategorikan jenisnya dan ditemukannya alat penunjuk tekanan ilokusi yang berfungsi untuk menampilkan penekanan komunikatif suatu tuturan. Penutur dapat berasumsi bahwa tekanan ilokusi yang dimaksudkan akan diketahui oleh pendengar melalui penunjuk tekanan ilokusi tersebut. Pemilihan buku ajar DVD de manabu nihongo Erin ga choosen! Nihongo dekimasu vol 1,2, 3 sebagai sumber data karena buku tersebut merupakan buku ajar yang memiliki target utama pembelajar muda dan merupakan sumber pembelajaran dalam dua area fundamental, belajar bahasa dan memahami kebudayaan yang berbeda. Buku ajar tersebut dilengkapi DVD yang berisikan film singkat mengenai kehidupan di Jepang, sehingga pembelajar dapat mengetahui bagaimana situasi dan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari di Jepang menggunakan bahasa Jepang yang telah dipelajari. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Bagian ini adalah hasil analisis dengan cara memilah tindak tutur termasuk dalam kategori apa serta menemukan alat penunjuk tekanan ilokusi. ①

Situasi : Saki sedang memandu Erin mengenai penggunaan perpustakaan, karena Saki berbicara terlalu cepat, Erin meminta Saki untuk berbicara perlahan. Tuturan yang terjadi adalah jenis tuturan direktif, penutur menyuruh orang lain melakukan sesuatu. APTI ditandai dengan verba performatif もう少しゆっくり話してください /mou sukoshi yukkuri hanashite kudasai (tolong bicara lebih pelan). Bentuk ～てください(~te kudasai) yang mengikuti verba performatif merupakan pola yang dipakai pada waktu kita memohon, memerintahkan, mempersilahkan lawan bicara melakukan sesuatu. Ketika kita menggunakannya sebagai bentuk perintah, pola ini tidak dipakai kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi atau lebih tua daripada si pembicara. エリン：あの－、すみません。 さき：何？ エリン：もう少しゆっくり話してください。

②

Situasi : Erin sedang memilih baju di sebuah department store lalu seorang pramuniaga mendekati dan menawarkan sebuah baju yang banyak dibeli oleh pelanggan lalu Erin menolaknya. Tindak tutur yang dilakukan oleh pramuniaga termasuk kategori komisif, menawarkan baju yang saat ini sedang trend. APTI ditemukan tanpa verba performatif hanya dengan menggunakan adjektiva dan tekanan pada bagian akhir kalimat untuk meyakinkan Erin sebagai konsumen. Tuturan tersebut adalah : それ、今、うちの人気ですよ。/sore, ima, uchi no ninki desu yo yang berarti “itu popular lho di tempat kami”. Pramuniaga berusaha

85

mempengaruhi Erin sebagai konsumen dengan menggunakan ungkapan akhir よ/yo, dengan tujuan untuk memberitahu lawan bicara mengenai hal yang belum diketahui atau menekankan penilaian atau pendapat si pembicara kepada lawan bicara untuk mempertegas. Dalam hal ini pramuniaga berusaha mempengaruhi Erin melalui tuturannya agar Erin mau membeli baju yang direkomendasikannya. Tindak tutur pramuniaga tersebut direspon oleh Erin dengan penolakan yang juga tanpa verba performatif hanya berupa adverbial berupa : あ、これはちょっと…(ah yang ini, sedikit…..). Erin tidak menggunakan verba dengan bentuk ingkar untuk menolak karena menghindari penolakan secara langsung sekaligus untuk tidak menyinggung perasaan lawan bicara karena penolakannya. Bentuk tersebut dipahami oleh penutur bahasa Jepang sebagai suatu kondisi konvensional yang menyatakan penolakan. 店員：それ、今、うちの人気ですよ。 エリン：あ、これはちょっと… ③

Situasi : Erin sedang berkunjung ke rumah Saki lalu melihat koleksi CD di kamar Saki. Saki bertanya kepada Erin apakah ada penyanyi yang disukai lalu Erin menjawab tidak begitu menyukai music. Tindak tutur yang terjadi termasuk kategori ekspresif, tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis berupa pernyataan ketidaksukaan terhadap music. Erin menyatakan ketidaksukaan tersebut dengan tuturan yang tidak mengandung verba performatif, tuturan yang terjadi hanya berupa kata keterangan わたし、音楽はあまり…/Watashi, ongaku wa amari…..(saya, dengan musik, tidak begitu……) Kalimat yang menggantung tersebut dipahami oleh penutur bahasa Jepang sebagai suatu kondisi konvensional yang menyatakan ketidaksukaan terhadap suatu hal. Oleh karena itu lawan bicara, dalam hal ini Saki, langsung mengalihkan pada topik yang lain misalnya film atau olah raga. エリン：CDがいっぱい… さき：うん。音楽、好きなんだ。 エリン：どんな音楽？ さき：おもにJ-POP系。エリンは好きな歌手いないの？ エリン：わたし、音楽はあまり… さき：え、じゃあ、何が好きなの？映画？スポーツ？

④

Situasi (Vol 2 pelajaran 11 chapter 6): Erin dan host family sedang menuju ke tempat pemandian lalu sang ayah menemukan ruangan untuk bermain pingpong. Ayah mengajak Erin untuk bermain pingpong tetapi ibu tidak setuju. Tindak tutur yang terjadi termasuk kategori direktif, ibu menyarankan untuk bermain pingpong setelah masuk ke onsen/pemandian air panas. APTI yang ditemukan adalah verba performatif dalam bentuk pengandaian interogatif, おふろに入ってからやったら？/ofuro ni haitte kara, yattara? (bagaimana kalau setelah mandi?) Pada kasus ini terdapat kondisi konvensional bahwa ibu memberikan saran melalui kalimat yang menggantung, verba performatif dalam bentuk sambung dengan makna pengandaian やったら？tanpa penutup tersebut dapat dipahami oleh masyarakat penutur bahasa Jepang.

86

父：お、たっきゅうがあるなあ。 エリン、たっきゅう、やったことある？ エリン：はい。 父：よし、じゃあ、ちょっと勝負しよう。 母：今、やるの？ おふろに入ってからやったら？ ⑤ Situasi : Kenta dalam kondisi kehausan sehabis bermain tenis, lalu ia meminta diambilkan air. Tindak tutur yang terjadi termasuk dalam kategori direktif, penutur menyuruh orang melakukan sesuatu. Bentuknya berupa kalimat negative, verba performatif yang muncul adalah nai dengan intonasi bertanya, あ－、つかれた。水、ない？水/ aa, tsukareta. Mizu, nai? Mizu (aaah….capeknya….Air, ga ada? Air) merupakan pola dari tindak tutur bahasa Jepang untuk meminta sesuatu atau untuk mengajak seseorang dengan bentuk interogatif dan negative. APTI disini adalah bentuk verba performatif negative dengan intonasi tanya. けんた：あ－、つかれた。水、ない？水。 同級生：はい。 ⑥ Situasi : (Volume 3 pelajaran 18) Kaoru dan Megumi sedang berjalan-jalan lalu menemukan sebuah toko yang menjual permen dan kue-kue tradisional. Kaoru pada masa kecilnya sering datang ke toko tersebut. Saat akan memilih permen dengan menarik benang, Megumi memberikan saran atau memberikan perintah secara halus kepada Kaoru untuk menarik benang yang lain. Hal tersebut ditunjukkan melalui ungkapan こっちのほうがいいんじゃない/kocchi no houga iin janai? (yang ini tidak lebih baik) Tindak tutur yang terjadi di sini termasuk dalam kategori direktif, penutur menyarankan sesuatu kepada lawan tutur. APTI yang ditemukan tidak menggunakan verba performatif tetapi menggunakan adjektiva dalam bentuk negative dengan intonasi Tanya. かおる：これかなあ。 めぐみ：ちょっと待って。 こっちのほうがいいんじゃない かおる：よし！じゃあ、引くよ。 Dari hasil analisis di atas berikut temuan peneliti : 1) Data yang dianalisis sebagian besar termasuk dalam kategori tindak tutur direktif, yaitu jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran. 2) Alat penunjuk tekanan ilokusi (APTI) yang ditemukan adalah : a. Berupa verba performatif b. Verba performatif negative interogatif dengan fungsi menawarkan sesuatu dan mengajak.

87

c. Tanpa verba performatif hanya berbentuk adverbial dengan fungsi menawarkan sesuatu dan fungsi menolak terhadap suatu tawaran. d. Tanpa verba performatif melainkan berbentuk adjektifa negative interogatif dengan fungsi menyarankan sesuatu 4. KESIMPULAN Dari hasil yang ditemukan di atas dapat disimpulkan bahwa tuturan dalam bahasa Jepang untuk tujuan menawarkan, menyarankan atau mengajak bentuk tuturan umum yang digunakan adalah verba atau adjektifa negative interogatif serta adverbia yang digunakan dalam kalimat yang menggantung. Selain itu ditemukan juga tuturan menolak sesuatu tanpa menggunakan bentuk ingkar tetapi cukup dengan adverbial, hal tersebut merupakan sebuah tuturan umum yang terjadi dalam masyarakat Jepang yang cenderung menghindari penolakan secara langsung yang menggunakan verba performatif ingkar. Dalam penelitian ini sebagian besar tuturan yang ditemukan adalah tindak tutur tidak langsung (implisit) yang biasanya diasosiasikan dengan lebih sopan daripada tindak tutur langsung. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul, Leonie Agustina.2010.Sosiolinguistik. Perkenalan Awal.Jakarta. Leech, Geoffrey.1983.The Principles of pragmatics.London, New York : Longman. Rahardi, Kunjana R.2005.PRAGMATIK. Jakarta : Erlangga. Tarigan, Henry Guntur.2009.Pengajaran Pragmatik.Jakarta : Angkasa The Japan Foundation.2007. DVD de manabu nihongo Erin ga choosen! Nihongo dekimasu vol 1. Japan : Bojinsha. The Japan Foundation.2007. DVD de manabu nihongo Erin ga choosen! Nihongo dekimasu vol 2. Japan : Bojinsha. The Japan Foundation.2007. DVD de manabu nihongo Erin ga choosen! Nihongo dekimasu vol 3. Japan : Bojinsha Yule, George. 1996.Pragmatics.Oxford University Press

88

Lampiran Data Volume 1 ① エリン：あの－、すみません。 さき：何？ エリン：もう少しゆっくり話してください。 さき：ごめん。はやかった？ ②

けんた：やきそばパン、ください おじさん：ごめんね。やきそばパン、終わっちゃったなあ。 けんた：しまった！おそかったか！

③

けんた：たべたかったなあ、やきそばパン さき：あきらめなさい。

④

けんた：このままだと頭の中、やきそばパンのことでいっぱいで、 午後の授業が手につかないから… おねがい、とりかえて。 さき：知らないわよ、そんなこと

⑤

さき：ねえ、どっかよってく？ めぐみ：ごめん。今日、６時から塾。

⑥

あかね：しょうがない。タクシーで行こうか。 さき：文化センターまでいくらかかるの？ あかね：1500円ぐらいでしょ。 さき：1500円！ あかね：だいじょうぶよ。それくらい。バイト代、入ったばかりだか ら。

⑦

エリン：CDがいっぱい… さき：うん。音楽、好きなんだ。 エリン：どんな音楽？ さき：おもにJ-POP系。エリンは好きな歌手いないの？ エリン：わたし、音楽はあまり…

⑧

さき：おなか、すかない？ エリン：そうですね。

⑨

エリン：一つだけですか？ さき：うん…じつは今、ダイエット中なんだよね。

89

Volume 2 ⑩

店員：それ、今、うちの人気ですよ。 エリン：あ、これはちょっと…

⑪

母：エリン、ごはんの前に、温泉、入っちゃおうか。 エリン：温泉に入ってからごはんですか。

⑫

父：お、たっきゅうがあるなあ。 エリン、たっきゅう、やったことある？ エリン：よし、じゃあ、ちょっと勝負しよう。 母：今、やるの？ おふろに入ってからやったら？

⑫

先輩：咲き！ さき：あ、先輩！ 先輩：見学の人？ エリン：はい。 先輩：中で見たら？

⑬

けんた：あ－、つかれた。水、ない？水。 同級生：はい。

Volume 3 ⑭

⑮

⑯

かおる：これかなあ。 めぐみ：ちょっと待って。 こっちのほうがいいんじゃない。 客：これ。 店員：かしこまりました。 「スペシャルべんとう」、一つ。 けんた：はい、「スペシャルべんとう」ですね！ … けんた：はい、あがりました。 さき：あ！ めぐみ：あ！ さき：いいなあ、私は母親と２人なのに。 話は今度、ゆっくり聞くね。 行こう。

90

KONFLIK LAUT CINA SELATAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN INDONESIA C. Dewi Hartati Sastra Cina - Fakultas Sastra Universitas Darma Persada ABSTRAK Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang sangat strategis dalam bidang ekonomi dan politis. Sengketa territorial di kawasan Laut Cina Selatan khususnya sengketa atas kepemilikan Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Sengketa ini telah berlangsung sejak lama yang melibatkan RRC, Vietnam, dan Filipina.Sengketa di Kepulauan Spratly membawa pengaruh bagi Indonesia. Meskipun tidak terlibat dalam sengketa Kepulauan Spratly, Indonesia memiliki kewajiban untuk turut menjaga keamanan yang berbatasan dengan perairan Indonesia. Berdasarkan ruang lingkup geopolitik dan geostrategi Indonesia, maka Indonesia harus memperhatikan stabilitas Asia dalam bidang ekonomi, politik dan pertahanan. Indonesia selalu berupaya untuk meningkatkan hubungan kerjasama dengan Cina terutama di bidang ekonomi dan militer. Kemajuan ekonomi Cina akan mendorong Cina untuk terus meningkatkan sektor industri dan proses modernisassi angkatan bersenjatanya. Untuk mendukung hal tersebut tuntutan kedaulatan atas Kepulauan Spratly akan semakin tinggi karena kepulauan tersebut memiliki cadangan minyak yang sangat besar. Perebutan kedaulatan atas kedua kepulauan tersebut merupakan faktor kritis yang dapat membahayakan dan menggoyahkan keamanan regional. Kata Kunci : geopolitik, geostrategi 1. PENDAHULUAN Penelitian ini perlu dilakukan dikarenakan studi mengenai Konflik Laut Cina Selatan menjadi penting disebabkan menyangkut banyak negara, yaitu negara ASEAN, hubungan multilateral antarnegara dan keamanan suatu negara itu sendiri. Konflik Laut Cina Selatan menciptakan dilema keamanan di antara negara-negara di kawasan Asia pasifik, khususnya dilihat hubungannya dengan Republik Indonesia. Indonesia meskipun secara tidak langsung terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan Cina dengan Negara-negara di Asia Tenggara seperti ( Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam) tentang persengketaan mengenai kepulauan Spartly, Indonesia menjadi terlibat dengan posisi keketuaan Indonesia dalam ASEAN. Meskipun penelitiaan ini dilaksanakan pada Maret 2012 di mana masa keketuaan Indonesia dalam ASEAN telah berakhir sejak 31 Desember 2011 dan diganti oleh Kamboja sejak 1 Januari 2012, penelitian tetap akan melihat hubungan Cina dalam Konflik Laut Cina Selatan serta hubungannya dengan Indonesia. Secara geografis kawasan Laut Cina Selatan dikelilingi sepuluh Negara pantai yaitu RRC dan Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina, serta Negara tidak berpantai yaitu Laos, dan dependent teritori, Makau. Luas Perairan Laut Cina Selatan mencakup Teluk Siam yang dibatasi Vietnam, Kamboja, Thailand dan Malaysia serta Teluk Tonkin yang dibatasi Vietnam dan 91

RRC. Kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang sangat strategis dalam bidang ekonomi dan politis. Kepulauan Spratly dibatasi oleh wilayah perairan dari beberapa Negara, yaitu Filipina, Indonesia, Vietnam, dan Malaysia. Kepulauan Paracel terletak di sebelah utara Kepulauan Spratly. Berdasarkan bukti-bukti dalam Sejarah Cina telah dikuasa oleh pemerintahan Dinasti Han( 206 SM- 220). Bukti arkeologi dari Institut Arkeologi Guangdong menyebutkan 98% benda yang ditemukan di gugus Paracel merupakan bendabenda buatan Cina, halhal tersebut membuat Cina terus berupaya meneguhkan jika Kepulauan paracel dan Spratly adalah kedaulatannya. Sementara Vietnam menegaskan kepulauan tersebut adalah kedaulatannnya sejak abad 17 dengan adanya Kepulauan Hoang Sa yang mengacu pada wilayah tersebut. Di kawasan Laut Cina Selatan terdapat kurang lebih 200 pulau yang sebagian besar tidak didiami karena karena merupakan pulau karang dan minim sumber air. Sengketa territorial di kawasan Laut Cina Selatan khususnya sengketa atas kepemilikan Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel telah berlangsung sejak lama yang melibatkan RRC, Vietnam, dan Filipina. Konflik tersebut di tahun 1950-an sampai 1970-an relative tenang, namun pertama kali terjadi konflik senjata dalam sengketa Laut Cina Selatan adalah pada tahun 1974 yaitu antara Cina dan Vietnam, dan bentrokan kedua antara kedua Negara tersebut adalah pada tahun 1988. Deklarasi Bangkok 1967 di antara Negara ASEAN menetapkan bidang ekonomi dan social budaya merupakan bidang-bidang penting ASEAN, namun ASEAN juga berupaya untuk mengambil bagian dalam upaya penyelesaian konflik Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan merupakan salah satu kunci penentu lancarnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional masing-masing Negara di kawasan tersebut. Laut Cina Selatan merupakan salah satu komoditas politik internasional dalam kerangka politik kekuatan bagi setiap Negara yang berusaha meningkatkan posisi kekuatannya terhadap Negara saingannya. Asean mengambil bagian dalam penyelesaian konflik di laut Cina Selatan karena Cina harus menjaga stabilitas hubungan Negara-negara anggotanya. 2. METODE PENELITIAN Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif. Penelitian eksploratif bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu atau mendapat ide-ide baru mengenai gejala itu sehingga dapat merumuskan masalah secara lebih terperinci. Penelitian ini juga bersifat deskriptif karena penelitian ini akan memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data, yaitu konsep-konsep, teori dan pembahasan dari tema penelitian ini. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Sengketa di Kepulauan Spratly membawa pengaruh bagi Indonesia. Meskipun tidak terlibat dalam sengketa Kepulauan Spratly, Indonesia memiliki kewajiban untuk turut

92

menjaga keamanan yang berbatasan dengan perairan Indonesia. Berdasarkan ruang lingkup geopolitik dan geostrategi Indonesia, maka Indonesia harus memperhatikan stabilitas Asia dalam bidang ekonomi, politik dan pertahanan. Adanya konflik di Kepulauan Spratly dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara, Asia, maupun bagi dunia internasional. Hal ini karena Kepulauan Spratly yang berada di Kawasan Laut Cina Selatan merupakan jalur pelayaran strategis bagi dunia internasional. Kebangkitan Cina akan menjadi salah satu perkembangan yang sangat menarik untuk diamati bagi politik luar negeri Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini terkait kebijakan RRC yaitu Empat Modernisasi pada tahun 1978, (Bidang Politik, Ekonomi, Administrasi dan Pasar Keuangan) dimana terlihat jelas bahwa RRC akan menjadi “Kekuatan Maritim” dan “Kekuatan Kontinental”. Meskipun Indonesia bukan merupakan penuntut atas gugus Kep. Spratly, akan tetapi Indonesia memiliki Fakta sengketa bilateral dengan RRC terhadap landas kontinen disepanjang kawasan Laut Cina Selatan.Hal ini tidak mencuat ke permukaan mengingat RRC tetap meyakinkan Indonesia bahwa tidak ada masalah perbatasan maritim dengan Indonesia di Laut Cina Selatan.Padahal berdasarkan peta RRC pada tahun 1947 yang menunjukkan 9 (sembilan) garis putus-putus dan berebentuk lidah tersebut meliputi wilayah P. Hainan sampai ke Pantai Kalimantan yang mencakup Teluk Tonkin,Kep. Paracel dan Kep.Spratly. Demikian pula pada tahun 1995, berdasarkan Peta RRC menunjukkan bahwa ladang gas Natuna berada dalam territorialnya,walaupun terletak lebih dari 1.000 mil sebelah selatan RRC. Selain itu RRC pernah menyatakan klaim terhadap sebagian Laut Natuna sampai ke perairan Pulau Bangka dan 20 mil dari Kalimantan Barat dan sekeliling Vietnam. Laut Natuna sangat vital baik bagi RRC maupun bagi Indonesia karena merupakan jalur utama menuju kota-kota di Asia Timur. Gangguan terhadap komunikasi, pelayaran dan navigasi di kawasan ini dapat memberi dampak yang merugikan bagi kepentingan Indonesia dan kawasan regional. Indonesia telah menerapkan geostrategi dalam menghadapi sengketa Kepulauan Spratly. Sejak tahun 1990, Indonesia berupaya mendamaikan negara-negara yang terlibat sengketa Kepulauan Spratly dengan mempertemukan pejabat negara yang bersengketa untuk membicarakan kemungkinan membentuk kerja sama di wilayah Cina Selatan. Untuk saat ini dalam pertemuan Puncak Pertahanan Asia-Pasifik di Hanoi, tampaknya Indonesia belum bisa ambil bagian dalam penyelesaian sengketa Kepulauan Spratly. Karena itu, geostrategi yang seharusnya dilakukan oleh Indonesia adalah dengan menambah kekuatan laut Indonesia. Kekuatan laut menjadi hal yang penting dalam mempertahankan ketahanan negara yang berasal dari lautan. Penambahan kekuatan laut dapat dilakukan dengan menambah anggaran Angkatan Laut baik untuk melengkapi keperluan angkatan laut seperti kapal selam maupun untuk pengembangan angkatan laut yang lainnya. RRC sangat berambisi dan berkepentingan untuk memasukkan kedua kepulauan tersebut ke dalam wilayah maritimnya seluas 200 mil laut dalam UU Maritim Cina karena jumlah penduduk Cina yang sangat besar dan kedua kepulauan tersebut sangat strategis dan potensial. Hal ini diperkuat pada tahun 1978, RRc telah menetapkan dirinya sebagai “Negara Maritim, dan angkatan lautnya pada tingkat “Blue Water” setingkat dengan AL Amerika dan Inggris. Meskipun kedua kepulauan tersebut secara faktual kondisi geografisnya kebanyakan terdiri dari pulau karang yang tidak berpenduduk, tandus tidak dapat ditanami dan kekurangan air, namun potensi kedua kepulauan tersebut sangat besar.

93

Dengan menguasai kepulauan Paracel, pihak yang berdaulat atas daerah tersebut dapat dengan mudah mengawasi navigasi di bagian utara Laut Cina Selatan sedangkan dengan menguasai Kepulauan Spratly dapat mengontrol rute maritim yang menghubungkan Pasifik atau Asia Timur dengan Samudra Hindia. Selain itu dengan menguasai kedua kepulauan tersebut dapat menjadi batu loncatan menguasai daratan Asia. Jika keadaan konflik antara Negara-negara pengklaim kedua daratan semakin memuncak hal ini sangat berdampak bagi Indonesia yang berada sangat dekat dengan kawasan Laut Cina Selatan. 4. KESIMPULAN Dari hasil pembahasan tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : a.

Kondisi Ekonomi dan Kebutuhan RRC Kemajuan ekonomi Cina akan mendorong Cina untuk terus meningkatkan sector industry dan proses modernisasi angkatan bersenjatanya. Untuk mendukung hal tersebut tuntutan kedaulatan atas Kepulauan Spratly akan semakin tinggi karena kepulauan tersebut memiliki cadangan minyak yang sangat besar.

b.

Kerjasama RRC dan AS dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di wilayah Nansha di Barat Laut Cina Selatan yang berdekatan dengan Kepulauan Natuna.

c.

Potensi konflik dan kerjasama Perebutan kedaulatan atas kedua kepulauan tersebut merupakan faktor kritis yang dapat membahayakan dan menggoyahkan keamanan regional, Indonesia selalu berupaya untuk meningkatkan hubungan kerjasama dengan Cina terutama di bidang ekonomi dan militer.

DAFTAR PUSTAKA Henski M, James. 2007. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi ( terjemahan), Penerbit Erlangga Jurnal Penelitian Politik, LIPI . 2007. Demokrasi Mati Suri, Volume 4 No 1, tahun 2007 Usman Asnani, Rizal Sukma. 1997. Konflik Laut Cina Selatan : Tantangan Bagi ASEAN, Center for Strategic and International Studies Wibowo, Syamsul Hadi. 2009. Merangkul Cina; Hubungan Indonesia-Cina Pasca Soeharto, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

94

jiāng n án

ANALISIS METODE PENERJEMAHAN KARYA SASTRA 江 南 OLEH WANG JIANZHONG Febi Nur Biduri M.Hum Sastra Cina - Fakultas Sastra Universitas Darma Persada ABSTRACT Translation of literary works is different from other translations, there are many metaphors in it. So that an translator must first understand the meaning of which will be submitted by the author in the source language. Through this research I will try to analyze a literary work which has been translated into English ,whether the meaning of intent by author in source language has been conveyed by the translator. Key word : Literary translation is metaphors translation. 1. PENDAHULUAN Menurut Suhendra Yusuf, penerjemahan adalah semua kegiatan manusia dalam mengalihkan seperangkat informasi atau pesan baik berbentuk verbal maupun non verbal dari informasi asal atau informasi sumber ke dalam informasi sasaran. Kegiatan penerjemahan sendiri dalam arti luas dapat diartikan sebagai kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan baik verbal ataupun non verbal dari suatu bentuk ke dalam bentuk lainnya. Dalam cakupan yang lebih sempit penerjemahan biasa diartikan sebagai suatu proses pengalihan pesan yang terdapat dalam teks bahasa sumber dengan padanannya dalam bahasa sasaran. Sesuai dengan hakikat terjemahan dapat dikatakan bahwa terjemahan sebagai proses kegiatan manusia dibidang bahasa sedangkan hasil analisisnya merupakan teks terjemahan dan yang kedua terjemahan hanya sebagai hasil saja dari proses kegiatan manusia itu sendiri. Proses penerjemahan seperti yang dikatakan ilmuan bahasa dari Jerman, G. Jager adalah transformasi teks dari satu bahasa ke teks bahasa lain tanpa mengubah isi teks asli, jadi dapat disimpulkan bahwa terjemahan adalah jenis transformasi antar bahasa yang berbeda. Transformasi antar bahasa merupakan hubungan rill yang ada antar teks dalam berbagai bahasa (Salihen Montaha,2006 ). Proses penerjemahan dalam karya sastra tentu saja berbeda dengan penerjemahan karya ilmiah. Hakikat penerjemahan karya sastra haruslah melibatkan estetika bahasa, kiasan, subsistem kebudayaan dan dibatasi oleh sistem “patronage“ dan “puitik”. Dampak patronage dan puitik dalam proses penerjemahan dapat mempengaruhi hasil terjemahan karena setiap bahasa mempunyai kebudayaan masing-masing sehingga haruslah terjadi penyesuaian antara kebudayaan bahasa sumber dengan kebudayaan bahasa sasaran. Teks hasil terjemahan dalam bahasa sasaran yang mempunyai repertoire tersendiri dapat melebur dalam repertoire bahasa sumber sehingga mempunyai sifat yang dapat memperkaya bahasa.

95

Fokus masalah yang terdapat dalam penelitian ini ialah proses penerjemahan dalam jiāng nán

karya puisi berjudul 江 南 yang berarti ‘Sungai di selatan‘, yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda antara Cina dengan Indonesia serta masalah-masalah penerjemahan yang terjadi di dalamnya. Kemudian masalah yang ada adalah apakah padanan kata yang sesuai penerjemahan puisi, apakah hanya menitikberatkan pada persamaan makna? Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah makna hasil penerjemahan dalam bahasa sumber Mandarin ke dalam bahasa sasaran Inggris telah benar-benar sepadan. Serta mengetahui proses penerjemahan yang terjadi dalam karya sastra tersebut. 2. PEMBAHASAN 2.1 Landasan Teori metode dan teknik penerjemahan Menurut kamus wikipedia penerjemahan diartikan sebagai "penyalinan semula isi daripada bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dalam bentuk persamaan yang terdekat dan sejadi, pertama dari segi makna dan kedua dari segi gayanya". Beberapa prinsip dasar dari menerjemahkan ialah a. Menerjemahkan bukan sekadar mengganti teks dalam suatu bahasa dengan teks dalam bahasa lain tetapi mengungkapkan kembali “pesan” yang terdapat dalam teks suatu bahasa dalam teks bahasa lain. b. Menerjemahkan bukan sekadar berkaitan dengan makna tetapi juga gaya bahasa hal ini termasuk bentuk yang biasanya penting dalam karya sastra seperti rima, jumlah suku kata, irama dan permainan bunyi yang lain. c. Menerjemahkan dapat dilihat sebagai kegiatan komunikasi dalam suatu bahasa untuk menyampaikan kegiatan komunikasi yang diungkapkan dengan bahasa lain. d. Dalam menerjemahkan harus diperhaikan keberterimaan dari calon pembaca atau pendengar terjemahan. e. Menerjemahkan merupakan suatu kegiatan yang harus memperhatikan tidak hanya perbedaan bahasa, tetapi juga perbedaan budaya yang melatari bahasa yang terlibat dalam penerjemahan. f. Menerjemahkan adalah kegiatan yang didasari oleh tujuan tertentu yang dapat mempengaruhi hasilnya. g. Dalam hal menerjemahkan peran penerjemah sangat penting pengaruhnya pada hasil penerjemahan karya sastra. h. Untuk dapat menerjemahkan dengan hasil yang baik, penerjemah harus menguasai tidak hanya kedua bahasa yang terlibat tetapi juga kebudayaan yang melatari kedua bahasa itu ( Benny Hoed, 2008 ). Terdapat berbagai macam teknik menerjemahkan antara lain transposisi, modulasi,penerjemah deskriptif, penjelasan tambahan, catatan kaki, penerjemahan fonologis, penerjemahan resmi. Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan teknik menerjemahkan yang dinamakan modulasi yaitu memberikan padanan yang secara semantik berbeda artinya atau cakupan maknanya tetapi dalam konteks yang bersangkutan memberikan pesan maksud yang berbeda ( Benny Hoed, 2006 ). Beberapa metode penerjemahan lainnya yang dipergunakan dalam analisis ini ialah penerjemahan semantik yaitu penerjemahan yang menekankan pada penggunaan istilah, kata, ungkapan yang harus dihadirkan dalam terjemahannya, kemudian menggunakan pula penerjemahan komunikatif 96

yang menekankan pentingnya pesan tersampaikan kepada pembaca akan tetapi bukan bersifat penerjemahan secara bebas. 2.2 Penerjemahan Karya Sastra Teks sastra dengan teks non sastra tentu sajalah berbeda, teks sastra bersifat estetis dan alegoris. Sedangkan teks non sastra lebih bersifat ilmiah dan resmi. Seperti yang dikatakan oleh Newmark 1988 yang membicarakan tentang “The Dynamics of Translation”, bahwa teks yang terlibat dalam proses penerjemahan dipengaruhi oleh sepuluh faktor yaitu disisi bahasa sumber terdapat faktor penulis, norma bahasa, kebudayaan yang melatari dan setting teks sedangkan disisi bahasa sasaran terdapat faktor pembaca, norma bahasa, kebudayaan yang melatari dan setting teks. Juga terdapat faktor penerjemah dan faktor referen. 2.3 Hasil Analisis Puisi yang akan dianalisis

:

jiāng nán

江 南 jiāng nán k ě c ǎ i lián

江 南 可 采 莲， lián y è h é tián tián

莲 叶 何 田 田! y ú x ì lián y è jiān

鱼 戏 莲 叶 间： y ú x ì lián y è dōng

鱼 戏 莲 叶 东， y ú x ì lián y è x ī

鱼 戏 莲 叶 西， y ú x ì lián y è nán

鱼 戏 莲 叶 南， y ú x ì lián y è běi

鱼 戏 莲 叶 北。 Hasil Penerjemahan oleh Wang Jianzhong

:

The Southern Clime In southern clime are lotuses to be gathered, The lotus are spreading far and wide, And fishes sport among the leaves everywhere, They sport and move to this and that side, To the east, to the west, to the north and south, The fishes sport and move on every side. Dilihat dari puisi diatas dapat disimpulkan bahwa metode – metode penerjemahan yang terjadi dalam proses penerjemahan diatas ialah sebagai berikut : a. Metode pertama yaitu tetap memperlihatkan kebudayaan di bahasa sumber sehingga memberikan kesan yang indah pada bahasa sasaran , seperti dicontohkan dibawah ini

97

jiāng nán k ě c ǎ i lián

江 南 可 采 莲 In southern clime are lotuses to be gathered . Apabila penerjemahan dilakukan perkata maka akan menjadi seperti ini Bahasa Mandarin jiāng nán

江 南 kě

可 cǎi

采 lián

莲

Bahasa Indonesia Sungai di Selatan

Bahasa Inggris River in the south

(Adv) Persetujuan

Approve

Berkumpul

Gather

Teratai

Lotus

Dapat dilihat dari penerjemahan diatas bahwa penerjemahan tersebut bersifat komunikatif dan menekankan agar para pembaca atau pendengar puisi tersebut mengerti akan makna yang terkandung di dalamnya tanpa meninggalkan budaya bahasa sumber. jiāng nán

jiāng nán

江 南 selain dapat diartikan Iklim di selatan, 江 南 sendiri mempunyai arti sebuah tempat di propinsi Zhejiang sebelah selatan hilir sungai Changjiang (Yangtze) yang sangat terkenal dengan panorama alamnya. Berkumpul yang dimaksudkan dalam puisi ini adalah sekumpulan bunga teratai dikarenakan sungai Changjiang (Yangtze) pada musim panas selalu dipenuhi oleh teratai yang tumbuh secara liar. b. Metode yang kedua adalah menerjemahkan ungkapan atau idiomatik dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran meskipun hasilnya mungkin terdengar agak asing bagi pembaca atau pendengar dibahasa sasaran. Hal ini bukan hanya sekedar kata melainkan juga frase atau kalimat sehingga aspek strukturnya dapat lebih terlihat di bahasa sasaran. lián y è h é tián tián

Seperti contoh diberikut ini 莲 叶 何 田 田! The lotus are spreading far and wide. Penerjemahan secara perkatanya sendiri adalah sebagai berikut Bahasa Mandarin lián

莲 yè

叶 hé

何 tián

田

Bahasa Indonesia Teratai

Bahasa Inggris Lotus

Daun

Leaf

(Adv) Persetujuan

Denoting interrogation

Sawah

Field ; farmland

Setelah melihat penerjemahan secara perkata diatas maka dapat disimpulkan bahwa penerjemah, menggunakan ungkapan idiom dengan mengatakan bahwa The lotus are spreading far and wide ‘teratai menyebar jauh dan luas’. c. Metode selanjutnya ialah metode yang disebut oleh Newmark adalah adaptasi yaitu unsur budaya yang terdapat dalam bahasa sumber dimasukkan dengan unsur bahasa sasaran. Tema, alur serta moral yang terdapat di dalamnya tetap dipertahankan, seperti

98

y ú x ì lián y è jiān

contoh ini 鱼 戏 莲 叶 间 And fishes sport among the leaves everywhere ‘dan ikan berolahraga antara daun dimana-mana’ Bahasa Mandarin yú

鱼 xì

戏 lián

莲 yè

叶 jiān

Bahasa Indonesia Ikan

Bahasa Inggris Fish

Bersenang - senang

Make fun of

Teratai

Lotus

Daun

Leaf

Bertemu

间

Indicating a connection or relationship

d. Metode penerjemahan yang selanjutnya adalah penerjemahan secara komunikatif yang mementingkan pesan atau maknanya yang terkandung dalam puisi diatas, hasil terjemahannya sendiri diarahkan pada bentuk yang berterima dan wajar dalam bahasa sasaran. Seperti layaknya contoh dibawah ini. y ú x ì lián y è dōng

y ú x ì lián y è x ī

y ú x ì lián y è nán

y ú x ì lián y è běi

鱼 戏 莲 叶 东 ，鱼 戏 莲 叶 西，鱼 戏 莲 叶 南，鱼 戏 莲 叶 北. To the east, to the west, to the north and south, The fishes sport and move on every side ‘ Kearah timur, ke barat, ke utara dan selatan ikan berolahraga dan bergerak disetiap sisi’ Apabila diterjemahkan secara perkata maka dapat lebih jelas lagi maksud dari penerjemahan komunikatif yang terjadi yaitu Bahasa Mandarin Bahasa Indonesia Bahasa Inggris yú Ikan Fish 鱼 xì Bersenang – senang Make fun of 戏 lián Teratai Lotus 莲 yè Daun Leaf 叶 dōng Timur East 东 xī Barat West 西 nán Selatan South 南 běi Utara North 北 Dapat dilihat diatas bahwa padanan kata yang dipergunakan oleh penerjemah dalam bahasa sumber tidak jauh berbeda dengan padanan kata yang ada dalam bahasa sasaran. Hanya terdapat perluasan makna dan penyempitan makna, seperti dihilangkannya kata daun dan ditambahkan dengan adanya awalan ber- dan kata penghubung di, seperti berikut ini :

99

y ú x ì lián y è dōng

Penerjemahan secara komunikatif :鱼 戏 莲 叶 东 ikan kearah daun teratai di timur’. y ú x ì lián y è dōng

Penerjemahan secara harfiah

: 鱼 戏 莲 叶 东 ikan arah daun teratai timur.

e. Metode terakhir yang dipergunakan oleh penerjemah ialah metode penerjemahan secara semantik yang menekankan pada penggunaan istilah atau kata kunci maupun ungkapan yang dihadirkan dalam hasil terjemahan, seperti contoh berikut ini : jiāng nán k ě c ǎ i lián

江 南 可 采 莲 In southern clime are lotuses to be gathered ‘ di iklim selatan teratai akan dikumpulkan’. Apabila penerjemahan dilakukan perkata maka akan menjadi seperti ini Bahasa Mandarin jiāng nán

江 南 kě

可 cǎi

采 lián

莲

Bahasa Indonesia Sungai di Selatan

Bahasa Inggris River in the south

(Adv) Persetujuan

Approve

Berkumpul

Gather

Teratai

Lotus

Dilihat dari hasil terjemahan diatas, terdapat sebuah istilah yang dipadankan cǎi

kedalam bahasa sasaran oleh penerjemah yaitu 采 ‘berkumpul’, yang diistilahkan dengan berkumpulnya bunga teratai dalam bahasa sasaran. Mengapa hal ini dilakukan oleh penerjemah, mungkin dikarenakan Sungai Changjiang (Yangtze) terkenal dengan teratai liar yang selalu bermekaran di atas sungai seperti layaknya rumput dipadang rumput. Dari segi semantik sendiri kita melihat adanya teknik penerjemahan modulasi atau pengalihan sudut pandang. 3. KESIMPULAN Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa penerjemah tidak terlalu mementingkan proses penerjemahan yang terjadinya di dalamnya, lebih menekankan pada hasil penerjemahan itu sendiri. Unsur kebudayaan yang terdapat dalam bahasa sumber tidaklah dihilangkan dan tetap terkesan dalam setiap baitnya. Adat budaya maupun perbedaan budaya yang terkandung didalamnya tidak terlalu tercermin.Penerjemah lebih banyak menggunakan metode penerjemahan semantik dan juga modulasi atau pengalihan sudut pandang bahasa, sehingga makna yang terkandung dalam puisi tersebut dapat sepadan dalam kedua bahasa. Penerjemahannya sendiri dapat dikatakan bersifat harfiah, walaupun disesuaikan pula dengan kaidah-kaidah tata bahasa Inggris. Maka dapat disimpulkan dalam menerjemahkan karya sastra, lebih menekankan pada hasil penerjemahan bukan hanya pada proses penerjemahan. Dan juga tidak meninggalkan unsur - unsur puitik dibahasa sumber dan juga bahasa sasaran sehingga tidak menyebabkan terjemahan puisi tersebut seperti layaknya hasil terjemahan, akan tetapi seperti karya sastra yang indah dibahasa sasaran.

100

DAFTAR PUSTAKA Beijing University. Kamus Besar China-Indonesia, Pustaka Bahasa asing : Beijing ,1995. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus besar bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.1997 Drs. Yusuf, Suhendra, M.A. Teori terjemah pengantar ke arah pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik. Mandar maju, Bandung, 1994. Hoedoro Hoed, Benny. Penerjemahan dan Kebudayaan. Pustaka Jaya. Jakarta :2006 Hoedoro Hoed, Benny. Dalam makalah penerjemahan karya sastra penciptaan baru. Universitas Indonesia. Jakarta:2008 Kentjono, Djoko. Dasar – dasar Linguistik umum. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia： Jakarta 1997. Moentaha Soliehen. Bahasa dan terjemahan. Kesaint Blanck.Jakarta : 2006 Sinolingua. 100 Ancient Chinese Poems “Abridged Chinese Series”. Beijing Foreign Language Printing House. Beijing China: 2008.

101

ONOMATOPE DALAM CERITA ANAK-ANAK BAHASA MANDARIN Yulie Neila Chandra, Gustini Wijayanti Sastra Cina, Fakultas Sastra [email protected]

ABSTRAK Hingga makalah ini disusun, penelitian ini baru sampai pada tahap analisis data. Karena itu, hasil penelitian yang lengkap belum dapat dipaparkan dalam abstrak ini yang sejatinya wajib ada di dalam sebuah abstrak penelitian. Bahasa Mandarin memiliki banyak kata untuk menirukan bunyi-bunyi berbagai hal, seperti bunyi-bunyi benda, baik benda takbernyawa maupun benda bernyawa, termasuk suara hewan, suara gerak perbuatan manusia, suara benda-benda alam, dan sebagainya. Bentuk onomatope tersebut beraneka ragam. Keanekaragaman itu dapat dilihat dari segi bunyi maupun bentuknya yang diwujudkan dengan huruf Han. Bentuk onomatope dalam Bahasa Mandarin ada yang berpola dan tidak berpola. Onomatope yang berpola umumnya berbentuk bisilabis reduplikasi. Bentuk tulis dan bunyi yang diwakilinya lebih ajek. Sebaliknya, onomatope yang tidak berpola sebagian besar berasal dari ciptaan pengarang/penulis. Bentuk bunyi dan tulisannya tidak terlalu ajek. Karena itu, ruang lingkup penggunaannya lebih luas. Onomatope jenis ini, bila lepas dari konteks kadang-kadang sulit untuk mengetahui bunyi apa yang diwakilinya. Onomatope dalam Bahasa Mandarin dapat menduduki berbagai fungsi sintaktis, yaitu keterangan (adverbial) (状语), pewatas (atributif) (定语), predikat (谓语), komplemen (补语), dan subjek (主语). Selain itu, onomatope dapat berdiri sendiri menjadi sebuah klausa, bahkan kalimat, yang kedudukannya menyerupai interjeksi. Akan tetapi, fungsi sintaktis yang utama adalah keterangan. KataKunci：Onomatope, fonosimbolis, unsur ikonis, keterangan, pewatas 1.

PENDAHULUAN

Dunia anak-anak penuh dengan keceriaan atau kegembiraan. Keceriaan itu berkelindan dengan sebuah kata, yakni bermain. Bahkan ketika belajar, mereka pun tetap dapat bermain karena metode pemelajarannya banyak menggunakan model permainan. Hal tersebut dimaksudkan agar anak-anak tidak merasa jenuh atau bosan untuk belajar sehingga mereka tetap semangat dan tidak kehilangan keceriaannya. Begitu pula yang terjadi di dalam pemelajaran bahasa. Anak-anak lebih tertarik pada permainan-permainan yang mendukung pemelajaran, seperti menyanyi, menari, menggambar, mendengarkan cerita, dan berbagai permainan lain misalnya permainan menyusun huruf, permainan kata, ataupun permainan menirukan suara atau bunyi. Dalam hal menirukan suara, anak-anak diharapkan dapat belajar mengenal lingkungannya dengan baik. Mereka dapat mengenal gerak perbuatan manusia, hewan, benda-benda alam, dan sebagainya, karena pada dasarnya sifat anak-anak gemar

102

menirukan sesuatu. Karena itu, onomatope sangat diperlukan, terlebih di dalam pelajaran bahasa. Dapat dikatakan, bahwa setiap bahasa di dunia memiliki kata-kata untuk menirukan bunyi, baik bunyi dari benda bernyawa maupun benda tak bernyawa. Kata tiruan bunyi ini dinamakan onomatope (onomatopoeia). Dengan kata lain, secara lengkap di dalam Kamus Linguistik (1993:149), dijelaskan bahwa onomatope adalah suatu penamaan benda atau perbuatan dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu, misalnya kokok (tiruan bunyi ayam), cicit (tiruan bunyi tikus), suara dengung, deru, aum, dan sebagainya. Misalnya lagi, dalam Bahasa Inggris cock goes cock a doodle do ‘ayam berkokok’; sedangkan dalam Bahasa Jepang kokekokko. Onomatope juga termasuk salah satu kelas kata di dalam berbagai bahasa, seperti Bahasa Mandarin. Di dalam Bahasa Mandarin, onomatope berada pada barisan akhir klasifikasi kelas kata, bersama interjeksi. Meskipun demikian, onomatope tetap penting karena dapat memberi nuansa berbeda dalam berbahasa. Istilah onomatope di dalam Bahasa Mandarin cukup banyak, yaitu 象声词 xiangshengci，拟声词 nishengci，摹声词 moshengci，摹写 moxie，atau 装声词 zhuangshengci (Chen Xinxiong et.al, 1989/2005). Beberapa istilah tersebut secara umum merujuk pada hal yang sama, yakni kata tiruan bunyi. Bunyi tersebut sangat beragam, antara lain bunyi benda tak bernyawa, seperti ‘bunyi angin bertiup’ 呼呼 huhu, ‘bunyi air mengalir’ 哗哗 huahua, ‘bunyi bel atau suara dentingan benda yang terbuat dari logam atau keramik’ 叮当 dingdang; ‘bunyi benda bernyawa’, seperti tiruan suara binatang misalnya ‘suara bebek’嘎嘎 gaga; ‘orang tertawa’ 哈哈 haha, dan lain-lain. Pada umumnya onomatope itu berbentuk reduplikasi, dengan dua silabel (bisilabis). Namun, ada juga yang tidak berbentuk reduplikasi, melainkan menyerupai interjeksi (kata seru), seperti 喔 wo ‘kokok ayam jantan’, 砰 peng ‘suara benturan’, dan sebagainya. Bentuk-bentuk tersebut sangat unik. Apabila diperhatikan bentuk pada karakter Han-nya, kebanyakan onomatope memiliki radikal 口kou ‘mulut’. Hal itu setidaknya membuktikan bahwa kata tersebut mengandung suatu bunyi atau suara yang dikeluarkan melalui mulut. Akan tetapi, pada kata 砰 peng tidak ditemukan radikal 口kou, melainkan 石shi ‘batu’. Onomatope merupakan salah satu kelas kata Bahasa Mandarin, termasuk di dalam kelompok 虚词 xuci ‘function words’, yakni kata yang memiliki makna gramatikal. Karena itu, onomatope Bahasa Mandarin bergantung pada konteks kalimat, demikian pula dengan padanannya bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Contoh: (1) 哈哈，我猜对了。 Haha, wo cai dui le. Haha (suara tawa), saya menebak benar (PA). ‘Haha, saya menebak dengan benar.’ (Li Dejin dan Cheng Meizhen, 1988:150) (2) 喔！喔！喔！公鸡在叫了! Wo! Wo! Wo! Gongji zai jiao le! (suara kokok ayam) ayam jantan (Adv) berteriak (PA) ‘ Kukuruyuk! Ayam jantan berkokok!’ (Chen Xinxiong et.al, 1989/2005:181)

103

Pada contoh (1) di atas, terlihat bahwa suara tawa haha dalam Bahasa Mandarin, juga dipadankan dengan kata yang sama di dalam Bahasa Indonesia. Hal tersebut juga memperlihatkan adanya sifat universal Bahasa. Namun, pada contoh (2) tampak bahwa onomatope yang ditunjukkan secara fonetis dalam Bahasa Mandarin, memiliki padanan yang jauh berbeda dalam Bahasa Indonesia. Itulah yang menyebabkan onomatope termasuk salah satu kelas kata yang unik di dalam Bahasa Mandarin. 2.

PERUMUSAN MASALAH

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, onomatope dapat dijumpai di dalam setiap bahasa, tanpa terkecuali di dalam Bahasa Mandarin. Namun, masing-masing tentu memiliki keunikan tersendiri. Onomatope banyak muncul di dalam cerita anak-anak Bahasa Mandarin. Permasalahannya adalah bagaimana bentuk dan makna onomatope dalam Bahasa Mandarin, khususnya di dalam cerita anak-anak. Bentuk tersebut mencakup morfologis atau pembentukan kata, bentuk karakter Han (汉字 Hanzi), serta struktur dan fungsi sintaktisnya di dalam kalimat. Sementara itu, telaah mengenai maknanya meliputi padanannya di dalam Bahasa Indonesia sehingga dapat memperlihatkan sifat semena dari onomatope Bahasa Mandarin, serta menunjukkan onomatope Bahasa Mandarin ada yang berunsur ikonis, dan ada yang tidak. 3.

TINJAUAN PUSTAKA

Ferdinand De Saussure (1973/1993), Bapak Linguistik Modern sekaligus pelopor strukturalisme, mengemukakan bahwa setiap lambang bahasa terdiri atas dua komponen, yaitu signifian ‘penanda’ yang umumnya diwujudkan dalam runtunan fonem atau bunyi; dan signifié ‘petanda’ yang berwujud psikis. Dengan demikian, menurut Saussure, makna ialah hubungan antara petanda dan penanda yang terikat konvensi dan bersifat semena. Semena ini maksudnya tetap berkaitan dengan petanda karena penanda tidak memiliki ikatan alami apa pun dengan petanda di dalam kenyataan. Dapat dikatakan, lambang bahasa merupakan satuan psikis yang bermuka dua. Selanjutnya, menurut Saussure, pilihan penanda tidak selalu semena seperti di dalam onomatope, tetapi onomatope tidak pernah merupakan unsur-unsur organis di dalam suatu sistem bahasa. Misalnya kata glas (Bahasa Prancis) ‘bunyi lonceng gereja yang menjadi petanda ada orang meninggal’. Sebaliknya, pada onomatope sejati (seperti kata Prancis ouaoua; Jerman wauwau) jumlahnya sangat sedikit, dan semena karena hanya merupakan tiruan kira-kira dan sudah setengah konvensional bagi bunyi-bunyi tertentu. Pada prinsipnya, para ahli linguistik menyatakan bahwa onomatope ialah kata tiruan bunyi. Maksudnya, suatu kata atau proses pembentukan kata yang menggunakan bentuk fonetis sebagai peniruan bunyi atau suara. Menurut David Crystal (1992), onomatope dapat disebut sound symbolism. Simbolisme bunyi ini merupakan pengacuan langsung antara bentuk dan makna di dalam bahasa. Hal tersebut terjadi apabila bunyi fonetik dapat mencerminkan bunyi yang ada di dalam dunia luar bahasa. Li Dejin dan Cheng Meizhen (1988:150) mengungkapkan karakteristik onomatope secara umum, yakni (1) onomatope tidak memiliki makna konkret; (2) onomatope dapat

104

dirangkai dengan nomina atau verba; dan (3) onomatope dapat muncul bersama frasa numeralia penggolong. Selain itu, kedua ahli pembelajaran Bahasa Mandarin tersebut juga mengemukakan tiga fungsi onomatope di dalam kalimat, yaitu 1)

Onomatope dapat berdiri sendiri atau lepas dari kalimat. Contoh: (3) 哗哗，水从山上流下来。 Huahua, shui cong shan shang liu xialai. (bunyi air mengalir), air dari gunung atas mengalir turun Bergerojok, air mengalir turun dari atas gunung.

2)

Onomatope dapat berfungsi sebagai keterangan (adverbial). Contoh: (4) 水哗哗地流着。 Shui huahua de liu zhe. Air (bunyi air mengalir) (PS) mengalir (PA) ‘Air mengalir bergemercak.’

3)

Onomatope dapat berfungsi sebagai pewatas (atributif). Contoh: (5) 呼呼的北风吹得人真冷。 Huhu de bei feng chui de ren zhen leng. (bunyi angin) (PS) utara angin tiup (PS) orang sungguh dingin ‘Angin utara yang menderu-deru berhembus hingga membuat orang kedinginan.’

Fang Yujing (1992) juga memaparkan fungsi sintaktis onomatope. Ia mengungkapkan bahwa onomatope memiliki sifat mirip dengan interjeksi, yakni dapat berdiri sendiri dalam suatu klausa. Fungsi onomatope pun kadang-kadang mendekati verba atau adjektiva. Maksudnya, memiliki sifat-sifat seperti verba atau adjektiva. Contoh: (6) 敌机在天上嗡嗡着。 Díjī zài tiān shàng wēngwēng zhe. Pesawat musuh di langit atas (bunyi pesawat) PA ‘Pesawat musuh berdengung di angkasa.’ Zhao Yongxin (1992:71-72) memaparkan bahwa onomatope memiliki empat fungsi, yaitu (1) dapat digunakan sebagai keterangan; (2) dapat digunakan sebagai pewatas; (3) dapat digunakan sebagai komplemen (pelengkap); dan (4) dapat digunakan terpisah dari kalimat. Selanjutnya, kajian yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Liu Yuehua, Pan Wenyu, dan Gu Wei (2001:433-438) dalam buku yang berjudul 使用现代汉语语法 Shiyong Xiandai Hanyu Yufa. Mereka mengemukakan bahwa onomatope adalah kata yang menggunakan fonetik untuk menirukan bunyi benda atau alam. Menurut Liu Yuehua dan kawan-kawan, berdasarkan penggunaannya, bentuk onomatope terdiri atas dua jenis, yaitu bentuk pola tetap dan pola tidak tetap. Pada umumnya, yang berbentuk pola tetap berasal dari zaman kuno, dan berbentukbisilabis reduplikasi. Penggunaannya dapat dikatakan langka, dan kebanyakan digunakan dalam ragam tulis. Misalnya, 琅琅 langlang ‘suara lantang’, 淙淙 congcong ‘bunyi seperti air berdesir-desir’, 霍霍 huohuo ‘bunyi gesekan’. Sebaliknya, yang berbentuk pola tidak tetap

105

umumnya berasal dari tuturan orang menirukan bunyi atau suara. Bentuk fonetisnya juga tidak tetap. Penggunaannya pun lebih luas daripada bentuk yang pertama. Contoh: (7) 忽听得”咚咚咚” 有人敲门。 Hu ting de “dongdongdong” you ren qiao men. Tiba-tiba dengar (PS) (bunyi ketukan) ada orang mengetuk pintu ‘Tiba-tiba terdengar “tok-tok-tok” ada orang mengetuk pintu.’ (8) “砰砰” 两声，不知是谁从后面打来了两枪。 “pengpeng” liang sheng, bu zhi shi shei cong houmian da lai le liang qiang. (bunyi senapan) dua suara tidak tahu adalah siapa dari belakang sebelah memukul (Komp) (PA) dua senapan ‘Dor-dor bunyi senapan meletus, tidak tahu siapa yang menembak dua kali dari belakang.’ Selanjutnya, Liu Yuehua, Pan Wenyu, dan Gu Wei (2001:435-436) melengkapi kajiannya dengan memaparkan beberapa fungsi sintaktis yang dapat diduduki oleh onomatope. Fungsi tersebut, yakni 1)

Sebagai keterangan, contoh: (9) 许多战士冷得嘴唇发白，牙齿嗒嗒地响。 Xuduo zhanshi leng de zuichun fa bai, yachi dada de xiang. Banyak prajurit dingin (PS) bibir, gigi (suara gemertak) (PS) berbunyi. ‘Banyak prajurit kedinginan hingga bibir memucat dan gigi bergemertak.’

2)

Sebagai pewatas atau atributif, contoh: (10) 石洞里传来”咕咚咕咚” 的脚步响。 Shi dong li chuan lai “gudong-gudong” de jiaobu xiang. Batu gua dalam memanggil datang (suara berderap/berdebur) (PS) langkah berbunyi. ‘Di dalam gua batu terdengar suara derap langkah kaki.’

3)

Sebagai predikat, contoh: (11) 她们轻轻划着船，船两边的水哗,哗,哗。 Tamen qingqing huazhe chuan, chuan liang bian de shui hua,hua,hua. Mereka perlahan-lahan mendayung (PA) perahu, perahu dua sisi (PS) air (bunyi air) ‘Mereka mendayung perahu perlahan-lahan, air di kedua sisi perahu bergemercakan.’

4)

Sebagai komplemen, contoh: (12) 小胖见奶奶锁上门走了，急得嗷嗷的。 Xiaopang jian nainai suo shang men zou le, ji de aoao de. (N-O) melihat nenek mengunci (Komp) pintu pergi (PA), cemas (PS) (suara teriakan/rintihan) ‘Xiaopang melihat nenek mengunci pintu lalu pergi, karena cemas ia berteriak-teriak.’

106

Selanjutnya, sejalan dengan para ahli yang telah dipaparkan sebelumnya, Sun Dejin (2002) juga mengemukakan fungsi onomatope. Menurutnya, onomatope paling sering menduduki fungsi pewatas, keterangan, predikat, dan komplemen. Ia juga menyebutkan bahwa onomatope dapat digunakan mandiri membentuk kalimat atau klausa. Beberapa pemaparan mengenai onomatope di atas memperlihatkan keragaman onomatope di dalam Bahasa Mandarin. Suatu gerak benda dapat memiliki tiruan bunyi yang berbeda, begitu pula padanannya dalam Bahasa Indonesia. Selain itu, onomatope di dalam Bahasa Mandarin ada yang menunjukkan fonosimbolis, ada pula yang tidak; ada yang berunsur ikonis, ada pula yang tidak. Unsur ikonis adalah unsur bahasa yang langsung berkaitan dengan perbuatan, benda, atau hal yang digambarkannya, seperti suara ayam “kokok”. 4.

TUJUAN PENELITIAN

Penelitian mengenai onomatope ini bertujuan untuk memahami seluk-beluk mengenai onomatope, khususnya di dalam cerita anak-anak. Seluk-beluk onomatope ini mencakup bentuk dan makna berbagai kata yang termasuk onomatope sehingga didapat kaidah yang jelas. Hal tersebut meliputi segi bentuk kata termasuk bentuk karakter Han; struktur kalimat yang juga mencakup fungsi sintaktis; dan juga segi maknanya, termasuk padanannya di dalam Bahasa Indonesia. 5.

MANFAAT HASIL PENELITIAN

Walaupun penelitian ini dikhususkan pada telaah data yang bersumber dari berbagai cerita anak-anak, penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan pemahaman mengenai onomatope dalam Bahasa Mandarin, khususnya kepada para pemelajar Bahasa Mandarin di tingkat dan usia berapapun. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan di bidang morfologi, sintaksis, dan semantik Bahasa Mandarin, yang belum begitu banyak diteliti di Indonesia. 6.

METODOLOGI PENELITIAN

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, onomatope adalah kata tiruan bunyi, baik berupa tiruan suara nomina bernyawa, maupun tidak. Dengan kata lain, onomatope merupakan suatu kata atau proses pembentukan kata yang menggunakan bentuk fonetis sebagai peniruan bunyi atau suara. Karena itu, beberapa ahli menyatakan bahwa onomatope dapat disebut sound symbolism, atau ada juga yang mengatakan fonosimbolis. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode induktif. Karena itu, penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yakni pengumpulan data dan pengamatan data; analisis data dengan menggunakan metode analisis padan dan distribusiona; dan penyajian data. 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penulis ini belum dapat menampilkan hasil dan pembahasan secara menyeluruh karena hingga saat ini masih dalam proses analisis data, demikian pula simpulan dan saran. Hasil sementara adalah mengenai bentuk karakter Han onomatope. Pada umumnya,

107

onomatope Bahasa Mandarin berbentuk reduplikasi dengan bisilabis. Onomatope yang berbentuk monosilabis lebih sering digunakan secara mandiri membentuk klausa atau kalimat. Bentuk karakter Han onomatope umumnya memiliki radikal口kŏu ‘mulut’. Contoh:哈哈 hāhā, 呵呵 hēhē, 哗啦 huālā ‘gemeresak’, 啪啪 pāpā ‘door/letupan’, 咚咚 dōngdōng, 唰 shuā ‘gemerisik’，嘎嘎 gāgā ‘kwek-kwek’, 啪啦 pālā ‘suara retakan/ letusan/ pukulan’, 嘎吱 gāzhī ‘berdenyit/berderit’, dan sebagainya. Sebaliknya, yang tidak memiliki radikal口kŏu ‘mulut’ contohnya:轰隆hōnglōng ‘bergemuruh/ berderu’, 潺 潺 chánchán ‘gemericik’, 扑通 pūtōng ‘plung/suara benda jatuh ke dalam air’, 砰pēng ‘brak/suara benturan’, dan sebagainya. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan, Anton M. Moeliono, Hans Lapoliwa, dan Soenjono Dardjowidjojo. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chen Ru dan Zhang Qiwang. 1989. Gaoji Kouyu. Beijing: Sinolingua. Chen Xinxiong, et.al. 1989/2005. Yuyanxue Cidian. Taipei: Sanmin Shuju. Crystal, David. 1992. Dictionary of Language and Languages. London: Pinguin Books. Cui Zhonglei. 2006. An Tu Sheng Tonghua. Harbin: Heilongjiang Kexue Jishu Chubanshe. De Saussure, Ferdinand. 1973/1993. Cours de Linguitique Générale (terj. Pengantar Linguistik Umum oleh Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fang Yuqing. 1992. Shiyong Hanyu Yufa. Beijing: Beijing Yuyan Xueyuan Chubanshe Guo Zhenhua. 2000. Jianming Hanyu Yufa. Beijing: Sinolingua. He Jiafen. Tuzi Beng Beng Tiao. Shandong; Shandong Huabao Chubanshe. Hu Pan. 1997. Zuo ge Hao Haizi: Shei shi Hao Haizi. Singapura: Shangwu Yinshuguan. Katamba, Francis. 1993. Morphology. London: Macmillan Press. Kridalaksana, Harimurti. 1990. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. ________. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. ________. 1999. Tata Wacana Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: FSUI. Li Dejin dan Cheng Meizhen. 1988. Waiguoren Shiyong Hanyu Yufa. Beijing: Sinolingua. Li Xiaoxiang. 2001. Zhonghua Wenhua de Gushi. Singapura: Asiapac Books Pte Ltd. Liu Yuehua, Pan Wenyu, dan Gu Wei. 2001. Shiyong Xiandai Hanyu Yufa. Beijing: Shangwu Yinshuguan.

108

Lu Zhou. 1999. Ne Zha Nao Hai. Jiangsu: Jiangsu Shaonian Ertong Chubanshe. Sun Dejin. 2002. Hanyu Yufa Jiaocheng. Beijing: Beijing Yuyan Daxue Chubanshe. Tan Tionghwat. 2004. Kumpulan Cerita Menarik dalam Bahasa Mandarin: Ani, Hormati Orang Lain. Jakarta: Puspa Swara. ________. 2004. Kumpulan Cerita Menarik dalam Bahasa Mandarin: Dompet Kakek Gao. Jakarta: Puspa Swara. ________. 2004. Kumpulan Cerita Menarik dalam Bahasa Mandarin: Lili tidak Menangis Lagi. Jakarta: Puspa Swara. Wu Peiqi. 1997. Zhonghua Jieri de Gushi. Singapura: Asiapac Books Pte Ltd. Yan Wenjing. 1999. Ertong Wenxue Juan. Beijing: Zuojia Chubanshe. Yang Yingping. 2001. Ertong Xiaohua. Mongolia: Neimenggu Wenhua Chubanshe. Zhang Wu. 2000. Jianming Xiandai Hanyu. Beijing: Zhongyang Guangbo Dianshi Daxue Chubanshe. Zhao Yongxin. 1992. Hanyu Yufa Gaiyao. Beijing: Beijing Yuyan Wenhua Daxue Chubanshe.

109

DESAIN SEPEDA KELUARGA YANG ERGONOMIS Ade Supriatna, ST. MT. ABSTRAK Penelitian ini menggunakan pendekatan Niosh (National For Occupational Safety and Health) yang mengkaji aspek ergonomis dari sepeda Tandem khususnya adalah dalam hal penggunaan energi. Tujuannya adalah menentukan berapa besar energi yang dikeluarkan jika menggunakan sepeda tandem dengan asumsi jarak tempuh 1 km dan daya kayuh santai. Pengukuran energi ini berdasarkan denyut jantung pengguna. Sepeda tandem yang digunakan adalah sepeda tandem dengan perbandingan ukuran pada tinggi stang 114.05 cm hal ini lebih tinggi dibanding tinggi stang awal 100.5 cm dan jarak dari stang ke sadel dari 71.5cm dikurangi menjadi 37.24cm. Penentuan desain berdasarkan pada keluhan pengguna. Keluhan yang banyak terjadi adalah pegal/nyeri pada bokong 20% dan kaki dan tangan 18%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa desain sepeda ergonomis adalah dengan merubah tinggi stang dan juga mengurangi jarak dari sadel ke stang. Energi yang diperlukan, yaitu sebelum bersepeda rata-rata energi 71,83 denyut/menit (2,62 kkal/mnt),dan setelah bersepeda dengan desain awal 91,17 denyut/mnt (4,61kkal/mnt). Sedangkan jika menggunakan sepeda yg dimodifikasi (redisain) 83,43 kkal/mnt (4,01 kkal/mnt). Dapat dikatakan perrbadaan posisi tubuh saat bersepeda, mempengatuhi penggunaan energi saat bersepeda, dengan disain baru mampu menghemat 0,60 kkal/mnt. Kata Kunci :Ergonomi, Sepeda Tandem, Desain sepeda, niosh. 1. PENDAHULUAN Dengan mengkaji dalam aspek ergonomi penelitian ini menoba merancang sepeda tandem. Pedekatan yang dilakukan adalah dengan niosh (National For Occupational Safety and Health). Khususnya pengukuran energi berdasarkan denyut jantung/nadi. Untuk mendapatkan energi yang diperlukan, dilakukan pengukuran sample yang dilakukan pada 30 orang mahasiswa yang dipilih secara purposive. 2. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Profile Responden Survei ini dilakukan di Fakultas Teknik Industri terhadap merk sepeda X. peneliti mengambil 30 responden. Berikut ini adalah profile responden tersebut : Jenis Kelamin Berdasarkan data responden dari 30 orang, laki-laki berjumlah 17 orang atau 56.67% sedangkan perempuan 13 orang atau 43.33%.

110

Tabel 1 Jumlah & Persentase jenis kelamin responden Jenis Kelamin laki perempuan

Jumlah 17 13 30

% 56.67 43,33 100

43.33, 43% 56.67, 57%

laki

perempuan

Gambar 1 Persentase jenis kelamin responden Usia Responden Komposisi responden berdasarkan usia, untuk usia paling tua adalah 1 orang (2%) dan paling muda 18 tahun sebanyak 4 orang (8%), sedangkan responden terbanyak adalah yang berusia 19 tahun (37%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut ini : Tabel 2 Usia Responden Jenis Kelamin Umur laki perempuan Jumlah

21, 27%

Umur 18 1 3 4

19 11 8 19

20 6 8 14

21 4 3 7

22 5 5

Jumlah 29 22 51

18, 23%

20, 26%

19, 24%

Gambar 2. Persentase Usia Responden 2.2 Dimensi Ukuran Tubuh Berikut ini adalah desain sepeda tandem yang ergonomis dimana terdapat perubahan beberapa bagian dari desain sebelumnya. Perubahan ini yaitu pada bagian :

111

42 cm 37.24 cm 11.22 cm

107 cm

39.42 cm

7.30 cm 161 cm

65 cm

9.79 cm

15 cm 35 cm cm 45.96 44.11 cm 114.05 cm 80.58 cm

45.44 cm

9.75cm

Gambar 3 Dimensi Desain Sepeda Tabel 4 Hasil Ukuran Antropometri Sepeda

No.

Dimensi Sepeda

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tinggi Sadel Lebar Sadel Tinggi Pedal Jarak dari Sadel ke Pedal Lebar pedal Panjang Stang lebar stang Diameter stang Tinggi stang Jarak dari Sadel ke stang

Dimensi Desain Ergonomis (cm) 80.58 39.42 44.11 45.44 9.79 45.96 11.22 7.30 114.05 37.24

Dimensi Nyata (cm) 87,5 20 54 54.5 9.5 49 11 11 100.5 71.5

2. 3 Penilaian Beban Kerja Berdasarkan Denyut Nadi Pengukuran denyut jantung selama kerja merupakan suatu metode untuk menilai cardiovasculair strain. Salah satu peralatan yang dapat digunakan untuk menghitung denyut nadi adalah dengan menggunakan rangsangan Electro Cardio Graph (ECG). Apabila peralatan tersebut tidak tersedia maka dapat dicatat secara manual menggunakan stopwatch. kimiawi. Beban kerja fisik tidak hanya ditentukan oleh jumlah kalori yang dikonsumsi, tetapi juga ditentukan oleh jumlah otot yang terlibat dan beban statis yang diterima serta tekanan panas dari lingkungan kerjanya yang dapat meningkatkan denyut nadi. Berdasarkan hal tersebut maka denyut nadi lebih mudah dan dapat digunakan untuk

112

menghitung indek beban kerja. Salah satu cara yang sederhana untuk menghitung denyut nadi adalah dengan merasakan denyutan pada arteri radialis pada pergelangan tangan. Perhitungan konsumsi energi dan denyut jantung/nadi dengan rumus : Y= 1,80411 – 0,0229038X + 4,71733.10⁻⁴X² Keterangan : Y = Energi (kkal/menit) X = Kecepatan denyut jantung/nadi (denyut/menit) Setelah besaran kecepatan denyut jantung/nadi diseratakan dalam bentuk energi maka konsumsi energi diperoleh bentuk matematis sebagai berikut : KE = Et − Ei Keterangan : KE = Konsumsi energi (kkal/menit) Et = Energi pada saat akan mulai kerja (kkal/menit) Ei = Energi pada saat setelah selesai bekerja (kkal/menit) Konsumsi energi untuk aktivitas individu yang dibutuhkan untuk berbagai macam jenis pekerjaan adalah untuk pria 1,2 kcal/menit dan untuk wanita 1,0 kcal/menit. Setelah dilakukan pengukuran dan perhitungan didapat : Tabel 5 Hasil Ukuran Antropometri Sepeda Denyut jantung Denyut dengan sebelum bersepeda sepeda /menit /menit RATA 71.83 91.17

91.17

100.00 80.00 Denyut

Denyut dengan sepeda /menit 83.43

X2-X1 energi (kkal/menit) 7.73

83.43

71.83

Denyut jantung sebelum bersepeda /menit Xo

60.00

Denyut dengan sepeda /menit X1

40.00 20.00

Denyut dengan sepeda /menit X2

0.00 1 Menit

Gambar 5 Denyut Jantung no

energi energi energi konsumsi energi (kkal/menit) (kkal/menit) (kkal/menit) (kkal/menit) RATA 2.62 4.61 4.01 0.60

113

5.00 4.00 3.00 Kkal 2.00 1.00 0.00

energi (kkal/menit) Yo energi (kkal/menit) Y1 energi (kkal/menit) Y2 1 Menit

Gambar 6 Energi sebelum dan sesudah bersepedah 3. KESIMPULAN DAN SARAN Perbedaan yang cukup signifikan adalah pada tinggi stang menjadi 114.05 cm dari 100.5 cm dan jarak dari stang ke ke sadel dari 71.5cm dikurangi menjadi 71.5cm, hal ini membuat posisi tubuh saat bersepeda lebih tegap, sehingga beban tubuh merata dibanding desain awal. Hal ini dibuktikan dengan efesiensi energi tubuh yang dikeluarkan, Energi yang diperlukan, yaitu sebelum bersepeda rata-rata energi 71,83 denyut/menit (2,62 kkal/mnt), dan setelah bersepeda dengan desain awal 91,17 denyut/mnt (4,61kkal/mnt). Sedangkan jika menggunakan sepeda yang dimodifikasi (redisain) 83,43 kkal/mnt (4,01 kkal/mnt). Dapat dikatakan perbadaan posisi tubuh saat bersepeda, mempengatuhi penggunaan energi saat bersepeda, dengan disain baru mampu menghemat 0,60 kkal/mnt. 4. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Universitas Darma Persada atas peran aktif berupa dukungan materi maupun moril guna selesainya penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Averill, 2007, Simulation Modeling & Analyssis, Edisi Empat, LAW Muslim, Erlinda, 2009, Analisis Ergonomi Sepeda Lipat Terhadap Pengendara Pria Dengan Posture E valuation Index Dalam Virtual Environment M odeling, Prosiding Seminar Nasional TIMP IV , ITS, Surabaya Nurmianto, Eko, , 2003, Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Edisi Pertama, Guna Widya, Surabaya. Sutalaksana., 2006, Teknik Tata Cara Kerja, Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, Guna Widaya, Surabaya,. Wigjosoebroto, Sritomo, 2003, Ergonomi Studi Gerak dan Waktu : Teknik Analisis untuk Peningkatan Produktivitas Kerja, Edisi Pertama, PT. Gunawidya.

114

STUDI PENERAPAN VIABLE SYSTEM MODEL DAN PENGEMBANGAN MODEL JARINGAN SYARAF TIRUAN PREDIKTIF PADA INDUSTRI MANUFAKTUR Herman Noer Rahman Teknik Industri - Universitas Darma Persada [email protected] ABSTRAK Makalah ini mengenai model umum penerapan viable system model (VSM) dan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) di suatu perusahaan manufaktur. Penerapan VSM menyangkut pemeriksaan kelima bagian system yang ada pada industry. Penerapan JST diarahkan pada pengembangan bagan alir penerapan model jaringan Perceptron. Model Perceptron dapat dipakai untuk mengklasifikasi, dalam hal ini organisasi yang viable dan yang tidak. Model Perceptron yang dikembangkan adalah yang mempunyai input matriks 5 x 12 dan output 1 x 12 dengan fungsi aktivasi hardlim. Kata kunci: VSM,JST, Viabilitas, Sistem Manufaktur,Pendekatan Sistem 1. PENDAHULUAN Metodologi sistem telah cukup banyak dikembangkan para peneliti, yag populer di antantaranya adalah Teori Sistem Umum, Penyelidikan Operasional, Analisis Sistem, Rekayasa Sistem. Dinamika Sistem, Soft System Methodology, dan Model Sistem Viabel (Viable System Model selanjutnya disingkat VSM). Stafford Beer mengembangkan VSM sejak tiga dekade lalu, sebagai suatu bantuan dalam proses diagnosa masalah dalam organisasi dan membantu meningkatkan berbagai fungsi dari organisasi. (Trevor Hilder, 1995). Tujuan utama dari model ini adalah mengidentifikasi dan menjelaskan bagaimana system viable atau dengan perkataan lain bagaimana suatu system dapat memelihara exixtensi independennya.Parameternya adalah adanya rekursi/keberulangan sifat viable dari suatu sub system yang didiulang oleh sisyem supranya. Selain itu adanya otonomi, otopengaturan dan otoregulasi agar terpeliharanya eksistensi system tersebut. Indikator keberhasilan eksistensi menurut Flood and Carson (1990) adalah berupa kinerja yang memperhitungkan produktifitas dan latensi. Dimana latensi adalah gambaran kemampuan dan potensi. Oleh karena manfaat atau kelebihan metodologi sistem yang diuraikan di atas maka wajar bila metodologi ini terus dikembangkan dan diterapkan diberbagai organisasi dan berbagai tujuan. Di Indonesia sudah ada beberapa penelit yang menggunakan model ini diantaranya Dian Wulandari/Isma Novitasari (2005) yang menerapkan model ini untuk mendiagnosis organisasi perusahaan cetak, sedangkan Muhammad Zulhamdani (2010) memakai model ini untuk mengkaji system Innovasi di Indonesia Untuk organisasi industri, adalah lazim untuk selalu bertumbuh, mandiri dan berkelanjutan. Pada penelitian ini diterapkan pada sistem manufaktur dalam rangka menuju industri yang sustainable. Sama untuk sama organisasi, organisasi industri manufaktur juga ingin tumbuh, mandiri dan berkelanjutan. Untuk itu pada penelitian ini diterapkan metodologi VSM dalam rangka mendiagnosis berbagai masalah yang dihadapinya dan 115

membangun model untuk mengukur tingkat viability-nya dengan menggunakan jaringan syaraf buatan (JST). Sistem syaraf tiruan atau jaringan saraf tiruan adalah sistem selular fisik yang dapat memperoleh, menyimpan dan menggunakan pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman”. Dengan menggunakan proses belajar, JST dapat memodifikasi perilaku suatu sistem sesuai dengan interaksinya dengan lingkungan. JST dapat mengatur dirinya untuk menghasilkan respon yang konsisten terhadap rangkaian masukan. Makalah ini mengkaji penggunaan VSM pada industri manufaktur untuk mendiagnosis keorganisasiannya dan pengembangan model JST untuk prediksi viabilitasnya. Tujuan yang hendak dicapai adalah deskripsi atau karakterisasi sistem manufaktur berbasis VSM , sehingga terurai secara jelas sistem satu sampai dengan lima yang relevan dengan teori dan keadaan nyata. Dengan terungkapnya hal ini lebih mudah bagi pengelola industri untuk menumbuh kembangkan usahanya, dan bagi pihak perguruan tinggi dan Pembina lebih terarah dalam berpartisipasi dalam memberikan pembinaan atau bantuan.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Manufaktur Di bidang perekonomian dijumpai perusahaan-perusahaan penghasil barang dan jasa. Bila hendak dikelompokkan lagi, maka industri dapat dibagi menjadi industri manufaktur dan industi proses. Industri manufaktur termasuk kelompok industri yang memproduksi item diskrit (satuan), sedang industri proses memproduksi barang yang dikategorikan kontinue seperti bahan kimia, plastik, produk petroleum, dan lain-lain. Cara lain mengklasifikasikan perusahaan industry adalah adalah basic producer, converter, atau fabricator. Ketiganya menghubungkan mata rantai pengubahan sumber daya alam dan bahan baku dasar menjadi barang siap dikomsumsi publik. Basic Producer mengubah bahan galian/alam menjadi bahan baku industri,sedang Converter adalah merupakan Intermediate Link dalam mengubah output dari basic producer menjadi berbagai produk industri dan barang konsumsi. Lain halnya dengan Fabricator, yaitu yang melakukan fabrikasi dan merakit produk akhir untuk langsung dipergunakan konsumen akhir. Dalam mengoperasikan pabrik, ditemukan tiga produksi, yaitu Job Shop Production , Batch Production, dan Mass Production. Pada Job Shop ciri yang ditemukan adalah volume produksi yang rendah, mengarah kepada memproduksi barang sesuai order yang spesifikasinya ditentukan konsumen. Variasi produk yang mampu dibuat besar. Mempunyai peralatan yang flexible dan aneka guna. Ciri yang ditemukan pada tipe Batch Production adalah memproduksi item dengan ukuran lot sedang, bisa hanya satu kali produksi arau pada interval waktu secara reguler. Tipe yang ketiga adalah kebalikan dari yang pertama, Mass Production, memproduksi produk serupa (identik) dengan laju produksi yang tinggi. Untuk ketiga tipe produksi seperti diatas ada fungsi dasar yang harus ada untuk mengubah bahan baku bahan jadi. Untuk membuat produk diskrit, fungsi-fungsi tersebut adalah

116

processing ( mengubah dari suatu keadaan keadaan lebih maju) , perakitan, material handling & storage, inspeksi /pengujian , serta pengendalian. 2.2 Penerapan VSM Hermann Christopher et al. (2007) memakai metode VSM untuk merancang kerangka Pengelolaan Siklus Hidup Total Organisasi, yang diintegrasikan dengan manajemen produk, manajemen produksi, Manajemen purna jual, dan Manajemen Pengakhiran, dengan mempertimbangkan level organisasi, operasional, strategik, dan normatif. Semua Manajemen tadi ditinjau dari segi struktur, disiplin dan prilaku. Di lain pihak Volker Stich, et al. (2009) mengembangkan model Viable Production sistem, berdasarkan VSM. Stich menggabungkan kerangka recursive dari suatu VPS, dengan memungkinkan sistem produksi yang terdesentralisasi sehingga dapat memenuhi berbagai berbagai kebutuhan yang terjadi pada lingkungan dinamis. Badillo et al.(2008) memanfaatkan kerangka VSM untuk menerangkan model manajemen produksi pada Sistem ERP (Enterprise Resource Planning). Sistem lima diperankan oleh Direksi , Sistem empat: berhubungan dengan lingkungan luar dan masa depan, Sistem tiga, mengurudi internal dan bersifat kekinian, dan Sistem satu melaksanakan Manajemen Operasi. Sedangkan Carlos Herera , et al.(2011) mengaplikasikan konsep VSM pada sistem kendali berdasarkan product driven, hal khusus yang perlu dicatat adalah ia menggaris bawahi bahwa VSM punya sifat yang baik untuk memodelkan sistem inteligent manufacture, terutama pada peran sistem Empat. Untuk menyorot kekutan diagnostic VSM, Markus Schwaninger(2006), memaparkan kekuatan diagnostik dari VSM, melalui 5 kasus yang berkonteks beda di spektrum kelima sistem dari VSM. Markus membuktikan bahwa VSM terbukti adalah instrumen yang istemewa dan berdayaguna. Saud AlMutairi dan Neil Burns, memakai VSM untuk keputusan ekspansi perusahaan, terutama dihubungkan dengan fenomena globalisasi. Mereka mengembangkan model 5 tahap, yaitu: tahap pembentukan kerangka perusahaan, tahap model evaluasi global, program model Global, penerapan VSM untuk mencocokkan stuktur, dan rancangan rekomendasi. Dalam penerapan VSM, mereka menggunakan software Viplan. Ada 5 langkah yang dilakukan dalam penerapan VSM, yaitu a. penetapan identititas organisasi, pemodelan strukturan dari perusahaan yang menggambarkan kegiatan produksi, pemodelan level structural, dalam rangka mengurai kompleksitas, memodelkan distribusi diskresi, dalam rangka membahas stategi untuk mengelola kompleksitas, terakhir memodelkan struktur organisasi, sehingga terpetakan aktifitas utama dan fungsi pengaturan (regulatory) 2.3 Penerapan JST Rajagopalan Ramesh et al (1996) menulis artikel tentang review pemakaian JST pada manufaktur, terutama pada pengenalan citra, pengambilan keputusan manajerial, desain sel manufaktur, monitoring kondisi pahat, penjadwalan robot seketika, dan pengendalian proses statitika. Survei selanjutnya dilakukan oleh Wang, Jun et al, dimana ia melakukan survei yang lebih luas. Merekan menerangkan bahwa aplikasi JST sudah merasuk ke level sistem dan proses. Aplikasi JST pada manufaktur terdiri dari desain sistem manufaktur (termasuk part-family and machine-cell formation for cellular manufacturing systems),

117

perencanaan, dan penjadwalan prosesa produksi; pemantauan dan pengendalian proses manufaktur, pengendalian mutu, jaminan mutu, dan diagnosis kesalahan. Gary R. Weckman et al (2010) menggunakan JST untuk mengestimasi ongkos produksi komponen mesin jet, batang poros dan casing. Mereka menggunakan JST tipe multilayer perceptron. Jumlah atribut untuk batang poros dan casing masing-masing 37 dan 60. Hasilnya lebih baik sekitar 5 % dari pada estimasi memakai model regresi. 2.4 Konsep Dasar VSM Sebelumnya sudah disebutkan bahwa secara ringkas kelima sistem yang terdapat dalam VSM berturut-turut dinamakan sebagai sistem implementasi , koordinasi, kontrol, pengembangan dan policy. Berikut diuraikan masing-masing lebih lanjut. Sistem satu implementasi: Sistem operasional terdiri dari bagian-bagian yang langsung berhubungan dengan implementasi dari suatu orgainisasi, makanya kadangkadang bisa disebut juga dengan subsidiary, divisi, atau bagian-bagian.. Berapa cirinya adalah: Bagian-bagiannya langsung berhubungan dengan implementasi (operasional), setiap bagian mempunyai hak otonomi/mengatur diri sendiri, setiap bagian mesti memperlihatkan segala ciri dari suatu sistem viable, terutama dalam bentuk adanya kelima fungsi tadi yang sudah disebutkan, dan tiap bagian dapat berhubungan dengan lingkungan lokalnya dan mengabsorbsi keseluruhan keberagaman lingkungan. Sistem dua Koordinasi: Sistem dua ini bertugas melakukan koordinasi yang harmonis terhadap semua bagian/divisi yang tercakup ke dalam system operasional (sistem satu) .Meredam atau mencegah osilasi (ayunan vertical karena gaya dan massa berinteraksi) dalam hal ini antara sesama anggota sistem satu , atau dengan perkataan lain benturan kepentingan atau kegiatan antar sistem satu yang tak terkontrol atau berbahaya antara bagian/divisi. Sistem tiga Kontrol: Sistem ini dilengkapi dengan perangkat aliran informasi yang disebut sebagai saluran audit yang memungkinkan sistem tiga melakukan akses langsung terhadap status dari berbagai kejadian pada elemen-elemen operasional. Sistem tiga dapat memperoleh informasi terkini tanpa perlu menunggu info dari manajer local/divisi Artinya dalam hal ini sistem tiga dapat mengetahui langsung tentang kualitas, moral karyawan, atau melakukan pemeriksaan apakah prosedur perawatan dipatuhi atau tidak. Sistem Empat Pengembangan: :Sistem ini berfungsi sebagai pengembang bagi organisasi . Tugas-tugas utamanya ada dua yaitu: 1. “ tombol ” besar dan 2. Menjaring informasi tentang lingkungan organisasi. Tugas pertama adalah mengalihkan instruksiinstruksi dari para pemikir perusahaan (system loma) kepada sistem yang berlevel lebih rendah, dan sebaliknya menggali dan mengalihkan informasi dari sistem satu sampai tiga yang dibutuhkan oleh sistem lima untuk menetapkan keputusan-keputusan utama bersifat strategis. Sistem lima Policy : Sistem lima bertanggung jawab atas pengarahaan dari perusahaan secara keseluruhan dan merupakan bagian berpikir dari perusahaan (berfungsi sebagai ‘otak’). Sistem ini merumuskan kebijakan atas dasar informasi dari sistem empat, dan mengkomunikasiknya dengan sistem tiga untuk diimplememntasi oleh sistem satu (divisi/subsidiary). Tugas yang lebih berat adalah menyeimbangkan atau mengabitrase

118

konflik demand internal (diwakili oleh komitmen management untuk mengoptimalkan proses yang sedang berlangsung) dan demand eksternal (diwakili oleh sistem empat). Sistem lima musti menjamin organisasi mampu beradaptasi dengan lingkungan eksternal dan sekaligus menjaga derajat stabilitas internal secara memadai. Memrepsentasikan kualitas-kualitas kunci dari keseluruhan sistem kepada ‘sistem yang lebih luas’. Parameternya adalah adanya rekursi/keberulangan sifat viable dari suatu sub system yang didiulang oleh sistem supranya. Selain itu adanya otonomi, otopengaturan dan otoregulasi agar terpeliharanya eksistensi system tersebut. Indikator keberhasilan eksistensi menurut Flood and Carson (1990) adalah berupa kinerja (efikasi) yang memperhitungkan produktifitas dan latensi. Dimana latensi adalah gambaran kemampuan dan potensi. Volker Stich merancang kerangka Sistem Produksi Viable, dalam bentuk yang diolah berdasarkan sifat recursifnya sepanjang aksis vertical dan horizontal organisasi manufaktur. Parameter desain yang ditetapkan a adalah self optimization, , konsistensi target, dan tansparansi informasi. Hasilnya adlah berupa kerangka pengaturan holistic dari system produksi viable. Pembahasannya dilanjutkan dengan studi kasus untuk level terendah dari system yaitu work place, berupa Loop Kontrol untuk pengelolaan Inventori. Saud Almutairi dan Neil Burns, memakai VSM untuk keputusan ekspansi perusahaan, terutama dihubungka dengan fenomena globalisasi. Merka mengembangkan model 5 tahap, yaitu , tahap pembentukan kerangka perusahaan, tahpa model evaluasi global,, Program model Global, Penerpan VSM untuk mencocokkan stuktur, dan rancangan rekomendsi.. Dalam penerapan VSM, mereka menggunakan software Viplan. Ada 5 langkah yang dilakukan dalam pemnerapan VSM, yitu a. penetapan identititas organisasi, pemodelan strukturan dari perusahaan, yang menggambarkan kegiatan produksi, pemodelan level structural, dalam rangka mengurai kompleksitas, memodelkan distribusi diskresi, dalam rangka membahas stategi untuk mengelola kompleksitas, terakhir memodelkan struktur organisasi , sehingga terpetakan aktifitas utama dan fungsi pengaturan (regulatory). 2.5 Teori Dasar Jaringan Syaraf Tiruan (JST) “Sistem syaraf tiruan atau jaringan syaraf tiruan adalah sistem selular fisik yang dapat memperoleh, menyimpan dan menggunakan pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman”. Dengan menggunakan proses belajar, JST dapat memodifikasi prilakuku suatu system sesuai dengan interaksinya dengan lingkungan. JST dapat mengatur dirinya untuk menghsasilkan respon yang konsisten terhadap rangkaian masukan. Jaringan syaraf Tiruan adalah representasi buatan dari otak manusia yang dapat mensimulasikan proses pembelajaran pada otak manusia tersebut (Sri Kusumadewi,2003). Otak manusia terdidir dari berjuta-juta sel syaraf yang bekerja sebagai prsesor informasi. Tiap sel bekerja sebagai prosesor sederhana, dan dapat berintrekasi dengan sel lainnya sehingga membentuk kemmampuan kerja otak manusia. Setiap sel syaraf (neuron) mempunyai inti sel, yang bertugas sebagai pemroses informasi. Informasi masuk ke dalam sel melalui dendrit. Informasi hasil olahan dikirim ke sel lainnya memalui dendrit bersama axon. Informasi olahan tadi akan dipertemikan antar sel melalui synapsis.

119

JST terdiri dari rangkaian neuro-neuron, yang mentransformasikan informs/input ke neuron-neuron lain., melalui kesamaan yang dimodifikasi melalui bobot. Pada JSt neuron-neuron terkumpul dalam bentuk lapisan. Nilai output suatu Lapisan sama dengan Fungsi Aktifasi dari akumulasi jumlah input terbobot. Fungsi aktifasi daiantaranya Hardlimit (fungsi step), fungsi linier, fungsi igmoid biner, dll. (Sri Kusumadewi, 2006, hal.93) JST yang paling sederhana disebut Perceptron,terdiri dari satu lapis jaringan, yang digunakan untuk mengklasifikasikan tipe pola tertentu atau disebut pula pemisahan secara linier. Tipe lain yang lebih maju dan popuelr karena banyak digunakan adalah JST tipe back Propagation. Tipe ini menggunakan algoritma pembelajaran terawasi. (ibid). Tipe pula yang diguankan oleh Chen. et al , untuk menentukan kebijakan inventory optimal. Sedangkan Martin T Hagan dan Howard D Demuth (1999), membahas JST yang paling biasa digunakan tertama untuk control yaitu perceptron multilayer 3. PENGEMBANGAN MODEL APLIKASI 3.1 Konsep Penerapan VSM Hal pertama yang harus ditetapkan adalah Overview dan Identifikasi Sistem . Berdasarkan maksud atau tujuan organisasi, tentukan sistem yang relevan untuk mencapai tujuan. Ini yang disebut “sistem dalam focus”. Hal yang patut diingat adalah bahwa tujuan organisasi tadi adalah tujuan dari sistem seperti apa yang pemangku kepentingan dipertimbangkan harus dilakukan (dpl oleh VSM: Implementation). Selanjutnya menspesifikasi bagian-bagian dari kegiatan-kegaian Implelementasi lainnya. Lakukan juga Identifikasi kegiatan-kegiatan manajerial seperti koordinasi, kontrol, Audit, Perencanaan dan Kebijakan yang seharusnya terlihat jelas terlaksana dalam sistem in focus. Telusuri pengaruh manajemen dan control yang terlaksana dan berpengaruh terhadap viablitas. Selanjutnya telusuri System Purpose, melalui diskusi denga stakkeholders yang relevan dan pertananyakan komponen, output, apakah output memenuhi ekspekstasi, output lain yang nampak. Terakhir lakukan diagnosa sistem dengan cara observasi dan pertanyaan . Pengkajian fungsi-fungsi implementasi, tiap elemen implementasi rincikan environment, operations and localised management; pelajari apa kendala-kendala dari managemen yang lebih tinggi; pertanyakan juga akuntabilitasnya dan indikator kinerja yang dipakai; tentukan apakah Implementation managers punya kewenangan dan kemampuan yang cukup untuk mewujudkan tujuan; buat model Implementation menurut diagram VSM . Studi fungsi Koordinasi, buat daftar sumber osilasi atau konflik antara elementelement Implementasi dan lingkungannya dan identifikasi mekasime koordinasi yang telah dapat mengharponisasi atau meredap akibat; tentukan apakah "soft issues" seperti etika, moral and kultur terdapat dalam fungsi ini; pertanyakan pula apakah kegiatan koordinasi difasilitasi atau dihindari.

120

Studi fungsi Koordinasi, buat daftar kegiatan kontrol, bagaimana kegiatan itu terlaksana; dan bagaimana sumberdaya teralokasi ke element-element Implementasi; tentukan siapa yang bertangung jawab atas kinerja element Implementasi; pastikan apakah kegiatan control dan pengembagangan terpisah satu sama lain. 3.2 Konsep Penerapan JST Dari uraian terdahulu dapat ditrunkan parameter input berupa: perencanaan stategis, kegiatan innovasi/pengembangan, koordinasi, kohesi, ootonomi, otopengelolaan, oto regulasi yang berhubungan dengan satu output: kinerja yaitu pertumbuhan produksi. Berikut parameter input untuk JST yang dikembangkandari teori VSM: Sistem lima: Policy :1. Adanya Pedoman tata nilai, norma dan aturan-aturan perusahaan (ethics, sancsi, norma-norma, peraturan fungsional: 2.Proses perumusan rencana stategis : teratur, (5 tahunan). Pada Sistem empat : Pengembangan: 1.Manajemen pengembangan usaha, produk, organisasi. 2. Rincian rencana stategis . Sedangkan pada Sistem tiga; Kontrol: 1. Kegiatan auditing. 2. Monitoring. 3 Kontrol keuangan, produksi, kualitas, utilisasi. Untuk Sistem dua: Koordinasi: 1. Sistem Informasi. 2. Sistem budgeting. 3. Team koordinasi. 4. SOP. Sedangkan pada Sistem satu; Implementasi :1. Work planning 2. Inventory control. 3. Work scheduling. 4. QC report. Dengan demikinan dapat dibentuk JST dengan 15 input dangan satu keluaran output target. Masing-masing parameter diberi nilai 5 untuk data yang mengacu kepada baik, dan 0 untuk buruk. 3.3 Aplikasi Perceptron pada VSM Perceptron merupakan bentuk jaringan syaraf yang sederhana yang digunkana untuk mengklasifikasikan suatu tipe pola tertentu atau dikenal dengan pemisahan secara linier. Algoritma yang digunakan oleh aturan perceptron adalah pengaturan parameterparameter bebasnya melalui proses pembelajaran. Fungsi aktifasi dibuat sedemikan rupa sehingga terjadi pembatasan antara daerah yang berbeda (positif dengan negative).(Srikusumadewi, 2004, hal 65) Kualitas Perusahaan dianggap sebagai peubah terikat (,baik dan kurang baik) dan yang menjadi peubah bebasnya : Pedoman Perusahaan, Pengembangan produk,auditing, Sop,work planning. Pengembangan bagan alir diambil dari analogi kasus dari Sri Kusumadewi (2006), dengan menyesuikan input menjadi 5 kolom dan 12 baris serta vector Target tetap (1 baris 12 kolom. Adapun bagan alir sebagai acuan untuk pengembangan program matlab lebih lanjut adalah sperti gambar berikut.

121

Mulai

Load input (P=(5,12) dan T (1,12)

Bangun JST Perceptron Net=newp(minmax(P),1) Kembalikan nilai bobot degan fungsi inisial: net= init(net)

Set epoh: Net.adaptParam.passes = 100

Lakukan adptasi: [net,Y,E] = adapt (net,P,T)

Cari MSE: EmEsE = mse (E)

Epoh>=100

Pengujian dan simulasi

Tampilkan Hasil

Selesai

Gambar 1.: Bagan Alir

122

4. KESIMPULAN Penerapan VSM pada organisasi adalah dengan cara menilik kelima system yang terlaksana pada organsiasi tersebut. Untuk Organisasi manufaktur disesuaikan nomenklatur yang lazim yang merujuk kepada sifat viabilitas suatu organsiasi, seperti pengembangan produk, control produksi, sop produksi, work planning, QC report, dlsb. Dengan menganggap faktor di atas sebagai parameter pada penerapan JST, dan mengambil bentuk Perceptron, dapat dikembangkan algortma untuk memisahkan organisasi yang viable dan yang tidak. DAFTAR PUSTAKA Cairo L. Nascimento Jr. 1984,Artificial Neural Networks in Control and Optimization. A thesis submitted to the University of Manchester for the degree of Doctor of Philosophy, Dian Wulandari/Isma Novitasari , 2005, Diagnosis Organisasi dengan Viable Sistem Model di PT Golden Web Cabang Bandung 2005-08-24, Master Theses Flood, RL, Jackson MC,1991, Creative Problem: Total Systems Intervention, John Wiley & Sons, Chichester, West Sussex,. Flood, RL & Carson ER,1990, Dealing With Complexity: An Introduction To the Theory and plication of Sistems Science, Plenum press, New York, 1990. Hagan , Martin T dan Howard D Demuth (1999), Neural Network for Control, makalah internet accesse d 24 Feb 2012 Hilder, Trevor,1995, The Viable system Model, Cavendish Software Ltd. 1995, http://www.users.globalnet.co.uk/~xrv/orgmt/vsm.pdf . accessed 23 Februari 2012 Rajagopalan Ramesh, Purnima Rajagopalan,1996, Applications of Neural Network in Manufacturing, Proceedings of the 29th Annual Hawaii International Conference on System Sciences – Rahman, HN ,2004, Viable System Model Sebagai Alat Untuk Mendiagnosa Problema dan meningkatkan Efektifitas Organisasi, Darma Persada, Tahun I/no 2, mei 2004 Rahman , HN,2002, Penerapan Dasar Teknik Kontrol Pada Proses Perencanaan dan Pengendalian Usaha, Darma Persada, tahun 1/no 2, September 2002. Raul Espejo, Diane Bowling and Patrick Hoverstadt 1999 , The viable system model and the Viplan software, Syncho Ltd, Birmingham, UK, Kybernetes,Vol. 28 No. 6/7, 1999, pp. 661-678. # MCB University Press, 0368-492X Saud AlMutairi dan Neil Burns, 2012, A Five Stages mOdel for Firms Expansion Decision, Loghborough University, Leicestershire, UK. Tanpa tahun, www.ifm.eng.cam.ac.uk/cim/.../al-mutairi.pdf download 24 Februari

123

Stich ,Volker; Carsten Schmidt,:Jan Christoph Meyer; Henrik Wienholdt, Viable Production System for adaptable and flexible production planning and control processes, POMS 20th Annual Conference , Orlando, Florida U.S.A., May 1 to May 4, 2009 Sri Kusumadewi (2006), Membangun Jaringan Syaraf Tiruan menggunakan Matlab dan Excel Link, Graha Ilmu , Jogjakarta Weckman ,Gary R., Helmut W. Paschold, John D. Dowler, Harry S. Whiting, William A Young ,2010, Using Neural Networks with Limited Data to Estimate Manufacturing Cost, Journal of Industrial and Systems Engineering. Vol. 3, No. 4, pp 257-274 Winter Wang, Jun,Wai Sum Tang, Catherine Roze, Neural Network Applications in Intelligent Manufacturing: An Updated Survey, CRC Press LLC,2001 Zulhamdani Muhammad, 2010 , Kajian Sistem Innovasi di Indonesia dengan Pendekatan Viable system Model, LIPI, Jakarta.

124

ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL DAN EKSTERNAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA PERGURUAN TINGGI SWASTA DI JAKARTA TIMUR Firsan Nova Manajemen - Fakultas Ekonomi [email protected]

ABSTRAK Hasil penelitian menunjukkan bahwa jurusan yang memiliki daya tarik pasar paling kuat baik di unsada adalah Jurusan Akuntansi (4,27), Sastra Informatika (3,73), Jepang S1 (3,65). Jurusan yang memiliki kekuatan bisnis paling kuat baik di unsada adalah Sistem Informasi (3,16), Sastra Jepang (3,15), Teknik Mesin (3,10). Namun dalam rentang skala likert Jurusan/program studi tersebut hanya masuk dalam kategori cukup kuat bahwa Hasil pemetaan GE Matrix menunjukkan 11 jurusan/program studi berada pada kuadran E (Invest/Grow) dan 5 Jurusan berada di kuadran B (Selective Investment). Kuadran B menjelaskan bahwa jurusan/program studi yang berada di kuadran ini memiliki kekuatan bisnis yang cukup baik dan berada dalam pasar yang sangat menarik. Strategi yang relevan adalah mengalahkan pesaing utama, tumbuh selektif berdasarkan kekuatan yang dimiliki dan memperbaiki dimana kualitas yang rapuh. Jurusan yang berada di kuadran B (selectivity) menilai dirinya sebagai program studi yang berada di pasar yang daya tariknya sedang saja dan kekuatan mereka dalam bersaingan juga sedang saja. Strategi yang tepat adalah, melindungi program atau jurusan yang ada dengan melakukan perbaikan; memfokuskan sumber daya, baik finansial mampu SDM pada jurusan/ program studi yang memiliki laba baik dan berisiko rendah. Kelemahan dari penelitian ini adalah kemungkinan terjadinya subyektifitas responden dalam melakukan penilaian strategis tiap jurusan/program studi yang menjadi unit observasi. 1. PENDAHULUAN Persaingan Perguruan Tinggi saat ini semakin ketat, bukan hanya terbatas pada lingkup domestik, namun juga sudah merambah pada tataran global. Salah satu penyebabnya adalah adanya otonomi daerah yang membuat semakin banyak Perguruan Tinggi baru bermunculan. Pesatnya perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi juga jelas membuat kompetisi antar Perguruan Tinggi di level global semakin nyata. Dalam sebuah artikel harian Republika Jumat tertanggal 24 September 2010 menyatakan bahwa ada beberapa Perguruan Tinggi Swasta mempunyai keuangan yang tidak sehat. Dalam artikel pada harian Kompas menyebutkan bahwa, hanya 50 % dari 2.756 Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia saat ini yang dinyatakan sehat dalam hal jumlah rasio dosen, mahasiswa, dan ketersediaan fasilitas. Dalam artikel menyatakan bahwa sekitar 40% Perguruan Tinggi Swasta tutup pada tahun 2009 (www.wonosari.com). Dalam artikel LINTASJAKARTA.com yang berjudul Tahun ini, peminat Perguruan Tinggi Swasta mulai berkurang menyatakan bahwa minat masyarakat untuk mendaftar di Perguruan Tinggi Swasta semakin berkurang, karena setelah di berlakukannya otonomi bagi Perguran Tinggi Negeri.

125

Memperhatikan fakta-fakta di atas, maka penting bagi UNSADA untuk mengetahui bagaimana daya tarik pasar dan kekuatan sumberdaya yang di miliki untuk menghadapi persaingan. Lebih dari itu memahami profil pesaing merupakan hal yang juga perlu diketahui untuk menciptakan value lebih baik disbanding pesaing. Berdasarkan pembahasan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.

Bagaimana daya tarik pasar (market attractiveness) Jurusan/Program Studi di Universitas Darma Persada?

b.

Bagaimana kekuatan bisnis (business strength) Jurusan/Program Studi di Universitas Darma Persada dalam berkompetisi dengan para pesaing?

c.

Bagaimana posisi jurusan/program studi di Universitas Darma Persada dalam GE Matrix?

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Daya Tarik Pasar Masing-masing bisnis dinilai dua dimensi utamanya, yaitu daya tarik pasar dan kekuatan bisnisnya. Kedua faktor itu cocok untuk menilai suatu bisnis dari sudut pandang pemasaran. Perusahaan-perusahaan akan berhasil kalau terjun ke pasar yang menarik dan mereka juga memiliki kekuatan bisnis yang diperlukan untuk berhasil di pasar tersebut. Kalau salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, bisnis tersebut tidak akan membuahkan hasil yang baik. Baik perusahaan kuat yang beroperasi di pasar yang kurang menarik maupun perusahaan lemah yang beroperasi di pasar yang menarik, tidak akan menjadi perusahaan yang sukses. Cravens dan Piercy (2009:137) menyatakan bahwa market attractiveness can be measured by market growth rate projections and attractiveness assessments made by management. Sedangkan Best (2000:275) secara lebih lengkap mengemukakan bahwa daya tarik pasar dapat diukur melalui market fore, competitive Intensity, and Market access, secara lebih terinci dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah.

126

Gambar 2.1 Factors That Shape Market Attractiveness Market Attractiveness

Market Forces

Competitive Intensity

Market Access

Market size Growth Rate Costumer Loyalty

Number of Competitor Price Rivairy Ease of Entry Substitutes

Customer Familiarity Channel Access Requarement Company Fit

Sumber: Best (2000:275) Daya tarik pasar dan posisi persaingan bisnis dapat mendukung perusahaan untuk menyusun pemasaran stratejik. Proses pemasaran stratejik meliputi empat tahapan, yaitu: analisis situasi stratejik, penyusunan strategi pemasaran, pengembangan program pemasaran, serta implementasi dan pengendalian strategi pemasaran. Menurut Best (2000:111) daya tarik pasar dapat diukur dari beberapa aspek: yaitu aspek pertumbuhan pasar yang mencakup ukuran pasar, tingkat pertumbuhan dan potensi pasar: aspek intensitas persaingan mencakup jumlah perusahaan, kemudahan untuk masuk dan produk substitusi: serta aspek akses pasar mencakup customer familiarity, akses channels dan company fit. Bagi suatu perusahaan, daya tarik pasar mencerminkan peluang dan ancaman. Oleh karena itu, analisis lingkungan eksternal, khususnya lingkungan industri, dilakukan untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal. Peluang ada apabila perusahaan mendapatkan keunggulan dari kondisi lingkungan eksternalnya untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi yang memungkinkan perusahaan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Sedangkan ancaman ada apabila kondisi lingkungan eksternal mengancam integritas dan profitabilitas perusahaan (Hill dan Jones, 2007:80). Kekuatan persaingan industri relatif dinamis atau dapat berubah seiring dengan dinamika dan perubahan kondisi dalam lingkungan industri yang bersangkutan. Dalam hal ini, manajemen perusahaan harus memahami bagaimana peluang dan ancaman baru yang muncul akibat perubahan kondisi lingkungan industri, serta merumuskan strategi yang tepat untuk meresponnya.

2.2

Tiga Sumber Daya Utama: Aset Berwujud, Aset Tak Berwujud, dan Kapabilitas Organisasi

Kapabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kapabilitas dapat

127

dikombinasikan untuk menciptakan kompetensi inti Kompetensi inti (core competence): apa yang dilakukan perusahaan, yang bernilai secara stratejik. Para eksekutif menyusun strategi bisnis mereka di masa lalu dengan memusatkan perhatian pada serangkaian “kompetensi inti”. Kompetensi inti dianggap sebagai suatu kapabilitas atau keahlian yang berada dalam bisnis suatu perusahaan yang jika telah diidentifikasikan, dikembangkan, dan digunakan diseluruh perusahaan akan menjadi dasar bagi keunggulan yang kompetitif yang bertahan lama. Para eksekutif, antusias bahwa tugas mereka sebagai pembuat strategi adalah mengidentifikasikan dan meningkatkan kompetensi inti, mengalami kesulitan untuk menerapkan konsep ini karena tingkat analisis tersebut bersifat sangat umum. RBV muncul sebagai suatu cara untuk membuat konsep kompetensi inti lebih fokus dan terukur dengan menciptakan analisis internal yang lebih berarti. Inti dari kemampuan RBV untuk melakukan hal ini adalah pemisahan atas tiga jenis sumber daya inti, beberapa diantarnya dapat menjadi landasan untuk kompetensi khusus. Sumber-sumber daya ini akan dijelaskan berikut dan diilustrasikan dalam tampilan. Aset berwujud (tangible asset) merupakan sumber daya yang “paling mudah” untuk diidentifikasikan dan sering kali ditemukan dilaporan neraca suatu perusahaan. Aset ini mencakup fasilitas produksi, bahan baku, sumber daya keuangan, real estat,dan komputer. Aset berwujud merupakan sarana fisik dan keuangan yang digunakan suatu perusahaan untuk menyediakan nilai bagi pelanggan. Aset tak berwujud (intangible asset) merupakan “sumber daya” seperti merek,reputasi perusahaan, moral organisasi, pemahaman teknik, paten dan merek dagang, serta akumulasi pengalaman dalam suatu organisasi. Meskipun bukanlahaset yang dapat disentuh atau dilihat, aset-aset ini sering kali penting dalam menciptakan keunggulan kompetitif. Kapabilitas organisasi (oragnizational capabilities) bukan merupakan “input” khusus seperti aset berwujud atau tidak berwujud; melainkan keahlian kapabilitas dan cara untuk menggabungkan aset, tenaga kerja, dan proses yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk mengubah inpiut menjadi output. Dell computer membangun pertumbuhannya selama 10 tahun pertama dengan menciptakan suatu organisasi yang mampu memproduksi dan mengirimkan PC yang dibuat khusus dengan cepat dan murah. Gateway dan Micron mencoba meniru Dell nemun tetap tidak dapat mengejar kapabilitas organisasional Dell yang beragam. Dell kemudian merevolusi “sistem” miliknya sendiri dengan menggunakan internet untuk mengotomatisasi dan menyediakan layanan khusus, sehingga menciptakan tingkat kapabilitas oragnisasional baru yang menggabungkan aset, tenaga kerja, dan proses di dalam dan di luar organisasinya. Berkaitan dengan kapabilitas organisasional ini, Michael Dell menyatakan,” Mereka yang ingin mencoba menjual secara langsung akan menemukan kesulitan, seperti ketika mencoba melompati Grand Canyon.” Kapabilitas yang dikembangkan dengan baik, seperti sistem berbasis Internet milik Dell yang mudah digunakan oleh pelanggan, dapat menjadi sumber bagi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.

128

Keunggulan ini memungkinkan perusahaan untuk menggunakan faktor-faktor input yang sama seperti pesainganya (seperti Gateway dan Micron) dan mengubahnya menjadi produk dan jasa, baik dengan proses yang lebih efisien atau dengan output yang lebih berkualitas atau keduanya.

2.3 GE Matrix Matrix GE atau McKinsey Matrix adalah alat strategis untuk analisis portofolio. Hal ini mirip dengan Matrix BCG dan benar-benar GE / McKinsey Matrix adalah perluasan dari Matrix BCG – multifaktor alat analisis portofolio. Alat ini membandingkan bisnis yang berbeda pada “Kekuatan Bisnis” dan “Pasar Daya Tarik” variabel, ditambah ukuran gelembung merupakan ukuran pasar bukan bisnis penjualan yang digunakan dalam BCG Matrix, dan pangsa pasar atau bisnis penjualan vs ukuran pasar direpresentasikan sebagai pie chart di dalam gelembung. Hal ini memungkinkan pengguna bisnis untuk membandingkan kekuatan bisnis, daya tarik pasar, ukuran pasar, dan pangsa pasar untuk berbagai unit bisnis strategis (SBU) atau penawaran produk yang berbeda. Analisis portofolio alat strategis telah awalnya dikembangkan oleh GE dan McKinsey. GE/McKinsey Matrix dibagi menjadi sembilan sel – sembilan alternatif untuk penentuan posisi dari setiap SBU atau menawarkan produk. Berdasarkan kekuatan bisnis dan daya tarik pasar setiap SBU akan memiliki posisi yang berbeda dalam matriks. Selanjutnya, ukuran pasar dan penjualan saat ini akan membedakan setiap SBU. Berdasarkan pemahaman yang jelas dari semua faktor-faktor pengambil keputusan yang mampu mengembangkan strategi yang efektif. Sembilan sel dalam matriks dapat dikelompokkan menjadi tiga segmen utama. Gambar 2.5 Tabel GE Matrix – Mc.Kinsey

Sumber: GE & Mc.Kinsey & Co. Segmen 1: Ini adalah segmen terbaik. Bisnis kuat dan pasar menarik. Perusahaan harus mengalokasikan sumber daya dalam bisnis ini dan memfokuskan pada pertumbuhan bisnis dan meningkatkan pangsa pasar. Segmen 2: Usaha ini baik yang kuat, tetapi pasar tidak menarik atau pasar yang kuat dan bisnis tidak cukup kuat untuk mengejar peluang potensial. Para pembuat keputusan

129

harus membuat keputusan tentang bagaimana untuk menangani lebih lanjut dengan SBU ini. Beberapa dari mereka mungkin mengkonsumsi banyak sumber daya dan tidak menjanjikan sedangkan yang lain mungkin membutuhkan sumber daya tambahan dan strategi yang lebih baik untuk pertumbuhan. Segmen 3: Ini adalah segmen terburuk. Bisnis di segmen ini adalah lemah dan pasar tidak menarik. Para pembuat keputusan harus mempertimbangkan baik reposisi SBU ini ke segmen pasar yang berbeda, mengembangkan menawarkan biaya-efektif yang lebih baik, atau menyingkirkan SBU ini dan menginvestasikan sumber daya ke dalam menjanjikan dan menarik lebih SBU.

-

-

DAYA TARIK INDUSTRI

-

-

-

Gambar 2.6 Strategi dalam Matriks GE-Mc.Kinsey KEKUATAN BISNIS Kuat Sedang Lemah LINDUNGI POSISI INVESTASI UNTUK TUMBUH SELEKTIF Berinvestasi untuk tumbuh TUMBUH - Berkonsentrasilah pada secepat yang dapat - Rebut Kepemimpinan kekuatan yang terbatas dipikirkan - Tumbuh Selektif - Cari jalan mengurangi Pusatkan usaha dalam berdasarkan kekuatan kelemahan Menarik diri mempertahankan kekuatan- Perkuat daerah rapuh kalau tidak ada tanda bisa tumbuh langsung TUMBUH SELEKTIF SELEKTIF/KELOLA PERLUASAN TERBATAS/PANEN Berinvestasi secara besar- UNTUK LABA besaran pada segmen yang- Lindungi program yang - Cari jalan untuk perluasan paling menarik Bangun ada Pusatkan investasi dengan resiko rendah, kekuatan untuk mengpada segmen dengan laba kalau tidak kurangi hadapi persaingan yang baik dan resiko investasi dan rasionalisasi rendah operasi Tingkatkan laba dengan menaikkan produktivitas LINDUNGI & KEMBALI KELOLA UNTUK LEPASKAN MEMUSATKAN LABA - Jual pada saaat nilai kas PERHATIAN - Lindungi posisi pada maksimal Kelola untuk laba segmen yang paling - Kurangi biaya tetap dan sekarang Pusatkan menguntungkan hidari investasi sementara perhatian pada segmen - Perbarui lini produk menarik - Kurangi investasi Pertahankan kekuatan yang ada Sumber: Kotler, 2002

2.4 Metodologi penelitian Populasi sasaran adalah para Dekan fakultas, Wakil Dekan fakultas, Ketua Program Studi/Jurusan dan dosen senior yang bertindak sebagai expert judgement yang berada di Universitas Darma Persada. Expert judgement di perlukan untuk mencegah subyektifitas responden dalam menjawab pertanyaan. Expert judgement memberikan penilaian terhadap Program Studi dan Jurusan yang dinilai dalam penelitian ini.

130

Jumlah total populasi adalah sebesar 75 orang, terdiri dari 43 Dekan dan Wakil Dekan Fakultas untuk masing-masing program studi, 17 Ketua Program Studi/Jurusan, dan 15 Expert judgement dari masing-masing Fakultas. Dalam analisis daya tarik dan kekuatan bisnis (pasar), jumlah sampel adalah sebesar 75 orang. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu dengan cara memberikan kuesioner secara langsung kepada 75 orang responden yang meliputi ketua jurusan/ketua program studi (prodi) dan beberapa perwakilan dari setiap jurusan yang terpilih sebagai expert judgment. Peneliti mendatangi para responden ke masing-masing fakultas dan jurusan kemudian peneliti meminta para responden untuk mengisi kuesioner penelitian dengan cara memilih jawaban yang telah tersedia untuk setiap pertanyaan. Apabila terdapat kuesioner yang tidak sempurna atau tidak diisi secara lengkap, maka peneliti akan meminta responden tersebut untuk melengkapinya. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan pengecekan ulang jawaban kuesioner setelah responden selesai mengisinya sehingga dalam penyebaran kuesioner tidak ada kuesioner yang dibuang atau diangggap batal. Dalam penelitian ini teknis analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dengan statistic deskriptif menggunakan General Electric Matrix - Mc.Kinsey. 3. HASIL PENELITIAN Berdasarkan wawancara dengan responden diperoleh hasil sebagai berikut:

Market Attractiveness Jepang D3 Inggris D3

3.39 3.23 3.29 3.65 3.56 3.27 3.48

Cina D3 Jepang S1 Inggris S1

4.27

3.73 3.42 3.62 3.37 3.63 3.03 3.00 2.96 1.00

2.00

3.00

4.00

Cina S1 Manajemen Akuntansi Informatika Sistem Informasi Industri Elektro Mesin Perkapalan

5.00

Sistem Perkapalan Pascasarjana Market Attractiveness

Sumber: Hasil olahan peneliti

131

Gambar Nilai Rata-Rata Daya Tarik Pasar per Jurusan/Program Studi Fakultas

Jurusan Nilai Rata-Rata Jepang 3.39 Sastra D3 Inggris 3.23 Cina 3.29 Jepang 3.65 Sastra S1 Inggris 3.56 Cina 3.27 Manajemen 3.48 Ekonomi S1 Akuntansi 4.27 Informatika 3.73 Sistem Informasi 3.42 Teknik S1 Industri 3.62 Elektro 3.37 Mesin 3.63 Perkapalan 3.03 Teknologi Kelautan S1 Sistem Perkapalan 3.00 Pascasarjana Energi Terbarukan 2.96 Sumber: Hasil olahan peneliti Dari gambar semantic dan tabel diatas diketahui bahwa jurusan yang memiliki daya tarik pasar paling kuat baik di unsada adalah Jurusan Akuntansi (4,27), Sastra Informatika (3,73), Jepang S1 (3,65). Namun dalam rentang skala likert Jurusan/program studi tersebut hanya masuk dalam kategori cukup kuat. Gambar Semantic Differential Kekuatan Bisnis per Jurusan/Program Studi

Business Strength 2.90 3.05 2.83 3.15 2.95 3.00 2.82 2.88 2.92 3.16 3.06 3.00 3.10 3.03 3.00 2.50 1.00

2.00

3.00

4.00

Jepang D3 Inggris D3 Cina D3 Jepang S1 Inggris S1 Cina S1 Manajemen Akuntansi Informatika Sistem Informasi Industri Elektro Mesin Perkapalan Sistem Perkapalan Pascasarjana Business Strength 5.00

Sumber: Hasil olahan peneliti

132

Tabel Nilai Rata-Rata Kekuatan Bisnis per Jurusan/Program Studi Nilai RataFakultas Jurusan Rata Jepang 2.90 Sastra D3 Inggris 3.05 Cina 2.83 Jepang 3.15 Sastra S1 Inggris 2.95 Cina 3.00 Manajemen 2.82 Ekonomi S1 Akuntansi 2.88 Informatika 2.92 Sistem Informasi 3.16 Teknik S1 Industri 3.06 Elektro 3.00 Mesin 3.10 Perkapalan 3.03 Teknologi Kelautan S1 Sistem Perkapalan 3.00 Pascasarjana Energi Terbarukan 2.50 Sumber: Hasil olahan peneliti Dari gambar semantic dan tabel diatas diketahui bahwa jurusan yang memiliki kekuatan bisnis paling kuat baik di unsada adalah Sistem Informasi (3,16), Sastra Jepang (3,15), Teknik Mesin (3,10). Namun dalam rentang skala likert Jurusan/program studi tersebut hanya masuk dalam kategori cukup kuat. Gambar GE Matrix – Mc.Kinsey

GE Matriks 5.00 4.50 Market Attractiveness

A

C

B

4.00 3.50

3.00

D

F

E

2.50 2.00

I

H

G

1.50 1.00 1.00

2.00

3.00

4.00

Business Strenght

Sumber: Hasil olahan peneliti

133

5.00

Jepang D3 2.90 3.05 Inggris D3 Cina D3 2.83 Jepang 3.15 2.95 Inggris Cina 3.00 2.82 Manajemen Akuntansi 2.88 Informatika 2.92 3.16 Sistem Informasi 3.06 Industri 3.00 Elektro Mesin 3.10 3.03 Perkapalan Sistem Perkapalan 3.00 2.50 Pascasarjana

Hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa mayoritas jurusan/program studi berada pada kuadran E dan sebagian kecil berada di kuadran B. Kuadran B menjelaskan bahwa jurusan/program studi yang berada di kuadran ini memiliki kekuatan bisnis yang cukup baik dan berada dalam pasar yang sangat menarik.

1. 2. 3. 4. 5.

Jurusan yang dimaksud adalah: Akuntansi Informatika Jepang Industri Mesin

Strategi yang relevan adalah: (1) mengalahkan pesaing utama; (2) tumbuh selektif berdasarkan kekuatan yang dimiliki; (3) perbaiki dimana kualitas yang rapuh.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Adapun Jurusan/program studi yang berada pada kuadran E adalah: Inggris Manajemen Sistem Informasi Jepang D3 Cina D3 Cina Inggris D3 Elektro Perkapalan Sistem Perkapalan Pascasarjana

Program studi diatas menilai dirinya sebagai program studi yang berada di pasar yang daya tariknya sedang saja dan kekuatan mereka dalam bersaingan juga sedang saja. Strategi yang tepat adalah: (1) melindungi program atau jurusan yang ada dengan melakukan; (2) fokuskan sumber daya, baik finansial mampu SDM pada jurusan/ program studi yang memiliki laba baik dan berisiko rendah. 4. KESIMPULAN a.

b.

Hasil studi komparatif dengan para pesaingnya dapat diketahui bahwa akreditasi program studi yang ada di Universitas Darma Persada lebih didominasi dengan nilai C. Terdapat 9 akreditasi C, 6 akreditasi B dan 1 jurusan dalam proses akreditasi. Pesaing Unsada rata-rata memiliki nilai akreditasi lebih baik. Diketahui bahwa dari 16 jurusan yang dimiliki oleh Universitas Darma Persada, jurusan Akuntansi merupakan jurusan dengan nilai rata-rata tertinggi untuk daya tarik pasar yaitu sebesar 4,27. Jurusan ini dapat dikatakan memiliki daya tarik pasar yang sangat baik. Hal ini dilihat dari nilai rata-rata jurusan tersebut berada dalam rentang skala 4,20 – 5,00 yang dikatakan sangat baik.

134

c.

d.

Dari hasil tabulasi data, diketahui bahwa jurusan yang memiliki nilai rata-rata tertinggi untuk kekuatan bisnis adalah jurusan Sistem Informasi, yaitu sebesar 3,16. Jurusan ini dapat dikatakan memiliki kekuatan bisnis cukup baik karena berada dalam rentang skala 2,60 – 3,40 yang dikatakan cukup. Hasil perhitungan dengan menggunakan GE Matrix – Mc.Kinsey, diketahui bahwa terdapat 5 jurusan yang berada dalam kuadran B, yang artinya memiliki kekuatan bisnis yang cukup baik dan berada dalam pasar yang sangat menarik. Sedangkan 11 jurusan lainnya berada dalam kuadran E, yang artinya berada dalam pasar yang daya tarik dan kekuatan bisnisnya dikategorikan sedang.

5. SARAN a. b.

c.

d.

Unsada perlu memperbaiki status akreditasinya terutama pada jurusan-jurusan yeng memiliki pesaing dengan akreditasi lebih baik dari Unsada. Jurusan/program studi yang daya tarik pasarnya rendah, Unsada diharapkan dapat mengkaji/mengevaluasi kembali peluang pasarnya serta ancaman-ancaman yang mempengaruhinya. Hasil evaluasi akan membawa pada tiga kemungkinan strategis, mengoptimalkan atau menutup jurusan tersebut. Pada variable kekuatan bisnis, Unsada diharapkan focus untuk mengalokasikan sumber-sumber daya untuk meningkatkan kekuatan bisnis suatu jurusan atau program studi yang kurang baik. Terutama bagi jurusan yang memiliki daya tarik pasar yang tinggi. Bagi jurusan yang berada di kuadran B, adalah jurusan yang berpotensi menjadi produk unggulan Unsada. Pengembangan terhadap jurusan ini, baik secara finansial maupun sumber daya lainnya akan memberikan pengaruh yang baik terhadap revenue Unsada. Bagi Jurusan atau Program Studi yang berada di kuadran E, perlu kecermatan dalam melihat peluang, memilih pasar sasaran, menetapkan harga waktu kuliah dan berbagai variable lainnya. Mereka yang di kuadran E, diharapkan jeli untuk melihat peluang pasar yang tidak dimiliki pesaing (niche market). Jurusan dan Program Studi di kuadran ini tidak disarankan untuk bertarung head to head dengan competitor yang lebih kuat.

6. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih kami haturkan pada Ibu Irna Nirwani Ketua LP2MK Unsada dan Rita Handayani atas dukungan, dan motivasi dalam pelaksanaan penelitian ini. Terimakasih juga pada tim pencari data, dan tabulasi data yang membantu kelancaran penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Kotler, Philip, Manajemen pemasaran/Philip Kotler; alih bahasa, Hendra Teguh, Rony A.Rusli dan Benyamin Motlan; penyunting, Agus H.P. Anggawijaya, Bambang Sarwiji, dan Yenna Waldemer-Jakarta : PT INDEKS, 2004 Pearce II, John A., Robinson, Jr., Richard B Manajemen Strategis-Formulasi, Implementasi, dan Pengendalian/John A.Pearce II, Richard B. Robinson, Jr. Edisi Sepuluh-Jakarta: Salemba Empat, 2008, 2 jil,606 hlm., 19x26 cm

135

P, Nursya`bani & Setiawan, Setiawan., Analisis Pengaruh Sumber-Sumber Keungulan … JSB No. 8 Vol. 2, DESEMBER 2003 107 ISSN: 0853 – 7665 Thompson, Arthur A., Strickland, A. J., Gamble, John E., Crafting and executing strategy, McGraw-Hill International Edition, Seventeenth Edition, 2010 Ayuningtyas, Risa., Alif, M Gunawan, Strategi menghadapi persaingan di Industri pertelevisian Nasional, Journal of Business Strategy and Execution, 2009 Craven, D.W., Pemasaran Strategis, Alih Bahasa Lina Salim, Edisi Keempat, Jilid Satu, penerbit Erlangga, Jakarta, 1996

136

EVALUASI & PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MENUJU DESA MANDIRI E3I) DUSUN TANGSI JAYA, DESA/KECAMATAN GUNUNG HALU, KABUPATEN BANDUNG BARAT Slamet Rahedi Soegeng Manajemen – Fakultas Ekonomi

ABSTRAK Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Unit Pengolahan Skala Kecil (UPSK) untuk Pengolahan Kopi di Dusun Tangsi Jaya , Desa / Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, yang dibangun pada tahun 2007 dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan penerangan listrik rumah tangga dan diharapkan dapat menjadi titik awal masuk untuk mendorong kegiatan perekonomian lokal sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan warga dusun. Tujuan penelitian : (1) Untuk mendapatkan data dan informasi tentang persepsi warga terhadap kinerja unit PLTMH. (2) Untuk mendapatkan data dan informasi tentang kelayakan investasi budidaya kebun dan UPSK pengolahan kopi. (3) Untuk mendapatkan data Koefisien PEST dari pemanfaatan teknologi UPSK pengolahan kopi berbasis energy terbarukan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa Persepsi warga terhadap kedua unit cukup baik dan penting, akan tetapi belum sesuai dengan kepentingan yang diharapkan, sehingga belum bisa memberikan kepuasan bagi warga dusun. Investasi Budidaya Kebun dan UPSK pengolahan kopi saat ini cukup layak, hanya belum dimanfaatkan secara optimal sehingga kondisi perekonomian dusun masih terlihat statis dan tidak berkembang. Hasil Koefisien PEST dari UPSK pengolahan kopi pada simulasi yang ke III yang dapat memberikan Manfaat atau Penerimaan (commulative cashflow) UPSK yang terbesar. Kata Kunci : DME3i; PLTMH; UPSK; Persepsi: Kelayakan Investasi; Koefisien PEST.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian. Pangan dan Energi adalah merupakan kebutuhan pokok manusia sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia, karenanya hak atas pangan dan energi menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia. Pemerintah Indonesia yang telah komit dengan MDGs dan HDI tentunya harus mampu menyediakan berbagai pilihan pangan dan energi yang dibutuhkan oleh penduduknya, oleh karena itu Ketahanan Pangan dan Ketahanan Energi Nasional menjadi sangat penting dan strategis dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan.

137

Menurut Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, seseorang dapat dikatakan miskin jika dirinya tidak memiliki banyak pilihan dalam hidupnya. Pembangunan manusia akan dikatakan berhasil jika mampu memperbanyak pilihan-pilihan bagi penduduknya. (Sonny Harry. 2011). Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral pada periode tahun 2000 – 2009, dalam bukunya berjudul ”Strategi Ketahanan Energi Nasional” mendefinisikan antara lain : ” Ketahanan Energi memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat dengan Kemandirian Energi. Kemandirian energi yang masih rendah akan berakibat pada rapuhnya Ketahanan Energi Nasional ”. Upaya Pemerintah untuk mencapai Ketahanan Energi Nasional atau Kemandirian dibidang Energi, salah satu kebijakannya adalah Program Desa Mandiri Energi (DME) DME adalah desa yang masyarakatnya memiliki kemampuan memenuhi lebih dari 60% kebutuhan listrik dan bahan bakar dari sumber energi yang dihasilkan melalui pendayagunaan potensi sumber daya setempat. Pengembangan DME dimaksudkan untuk menjadikan kegiatan penyediaan energi sebagai entry point (titik awal masuk) dalam pengembangan kegiatan ekonomi pedesaan dengan menggunakan semua potensi sumber daya dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, Swasta, dan Masyarakat, seiring dengan model DME yang terus dikembangkan dengan gagasan baru yang kita kenal Desa Mandiri E3i. kependekan kata dari Independent Village of Energy, Economy and Environment, dengan pengertian secara umum Desa Mandiri yang mampu memanfaatkan energi setempat untuk memacu pertumbuhan ekonomi seraya menjaga keseimbangan lingkungan, sehingga tercipta suasana yang segar, indah nyaman dan membuat penduduknya betah untuk tinggal (Kamaruddin 2007). Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro / PLTMH Rimba Lestari, Dusun Tangsi Jaya, Desa Gunung Halu, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, unit PLTMH ini merupakan salah satu dari seratus (100) unit dalam program listrik perdesaan yang ditujukan sebagai dorongan awal agar desa tersebut nantinya dapat menjadi DME. Kenyataan yang dihadapi sampai saat ini adalah bahwa unit PLTMH tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal khususnya untuk kegiatan yang bersifat produktif, meskipun dusun ini juga telah menerima bantuan berupa alat-alat Unit Pengolah Skala Kecil (UPSK) pengolah kopi seperi : mesin pengupas kulit luar, mesin pengupas kulit ari, mesin sangrai dan mesin penepung. Hal ini tentunya menarik untuk dilakukan penelitian atau kajian umpan balik manfaat dan kendala yang dihadapi dengan keberadaan unit PLTMH terhadap pemangku kepentingan (Stakeholder yang terdiri dari unsur-unsur Kelompok Tani, Koperasi, Pemerintah dan Warga/Masyarakat biasa). Secara umum terdapat 4 faktor utama penghambat berkembangnya teknologi berbasis sumber energi terbarukan (SET) selama ini. Hambatan tersebut dapat disingkat menjadi PEST, yaitu, P (Policy, kebijakan regulatori pemerintah), E(Economy, ekonomi seperti pajak, bunga bank), S (Social awareness ,persepsi/partisipasi masyarakat terhadap SET) dan T (Technology, seperti pemihakan terhadap teknologi itu sendiri, harga teknologi). Hambatan ini dapat dilihat sebagai sebagai langkah menuju kemandirian suatu

138

masyarakat, kalau dilihat dari keempat hambatan tersebut. akan dapat diketahui pengaruh besarnya keuntungan usaha/industri yang akan diterima oleh masyarakat dalam pemanfaatan teknologi berbasis energy terbarukan. (Kamaruddin. 2012). 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat disusun rumusan masalahnya sebagai berikut : (1) Seberapa besar Persepsi stakeholder terkait (Harapan dan Kepentingannya) terhadap keberadaan unit PLTMH Rimba Lestari sebagai titik awal masuk dalam pembangunan Dusun Tangsi Jaya, serta kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan yang ada sekarang ? (2) Seberapa besar tingkat Kelayakan Investasi Usaha Budidaya dan Pengolahan Kopi yang ada sekarang dan pada masa mendatang yang diharapkan dapat menjadi produk unggulan desa sekaligus sebagai cikal bakal model industri pertanian rakyat yang berbasis pada sumber energi terbarukan setempat. 1.3. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari perumusan masalah yang diajukan diatas, tujuan penelitian ini adalah untuk : a) Mendapatkan data dan informasi mengenai Persepsi stakeholder terkait terhadap keberadaan dan pengoperasian unit PLTMH setempat yang meliputi aspek Penerapan Teknologi, aspek Pengelolaan, aspek Pemanfaatan, aspek Partisipasi Masyarakat dan aspek Rencana Pengembangan serta kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan sebagaimasukan awal pembangunan dusun Tangsi Jaya, Desa Gunung Halu. b) Mendapatkan data dan informasi mengenai Tingkat Kelayakan Investasi Usaha Budidaya dan Pengolahan Kopi yang ada sekarang untuk program lima tahun kedepan yang nantinya diharapkan produk Kopi dapat menjadi salah satu produk unggulan desa c) Mengukur koefisien PEST untuk mengetahui tingkat sensitivitas parameter PEST terhadap manfaat yang akan diterima oleh UPSK sehingga hasil koefisien nanti dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk mengatasi kendala-kendala dalam pemanfaatan Teknologi yang berbasis sumber energi terbarukan (SET). 1.4. a. b.

Manfaat Penelitian Secara teoritis hasil Penelitian nanti dapat menjadi salah satu model pengembangan wilayah pedesaan khususnya dalam pengembangan desa menuju Desa Mandiri E3i. Secara praktis hasil penelitian nanti diharapkan dapat menjadi masukan untuk penyusunan KED dan Strategi Pembangunan Desa.

2. PENDEKATAN TEORI. 2.1. Persepsi. Persepsi menurut (KotlerPhilip, 2000) didefinisikan sebagai berikut : “ Perception is the process by which individual selects, organizes, and interprets information inputs to create a meaningful picture of the world “.

139

Dapat diartikan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana seseorang menyeleksi, mengorganisir dan menginterpretasikan informasi yang diterima untuk menghasilkan suatu gambaran dunia yang berarti. 2.2. Diagram Kartesius. Diagram kartesius merupakan suatu bangun yang dibagi atas empat bagian yang dibatasi oleh dua buah garis yang berpotongan tegak lurus pada titik–titik (X, Y), dimana X merupakan rata–rata dari rata–rata skor tingkat Persepsi (stakeholder) terhadap seluruh atribut kinerja PLTMH yang diukur (Penerapan Teknologi, Pengelolaan, Pemanfaatan, Partisipasi Masyarakat dan Rencana Pengembangan) sedangkan Y adalah rata–rata dari rata–rata skor tingkat Kepentingan (stakeholder) terhadap seluruh atribut kinerja PLTMH yang dapat berpengaruh terhadap tingkat Kepuasan stakeholder. (J. Supranto, 2001) Kepuasan stakeholder dapat dianalisis dari dua dimensi, yaitu dari harapan– harapan (kepentingan) atas sesuatu dan kenyataan–kenyataan (persepsi) yang diterimanya. Oleh karena itu hal–hal yang ditanyakan dalam kuesioner akan terdiri dari dua dimensi tersebut, nilai rata-rata skor data hasil kuesioner bila diplot pada Diagram Kartesius, maka akan terlihat penyebaran keberadaan masing-masing atribut terletak pada kuadran yang mana (A, B, C, atau D) dimana masing-masing kuadran memiliki arti sendiri-sendiri seperti pada penjelasan berikut ini. (J. Supranto, 2003) 3.80 3.60

A

3.40

B

ATRIBUT

ATRIBUT ATRIBUT

3.20

KEPENTINGAN

Rata-rata

3.00 2.80

ATRIBUT

2.60

ATRIBUT

2.40

C

D

2.20 2.00 2.00

2.20

2.40

2.60

2.80

3.00

PERSEPSI

Gambar 2.1. Diagram Kartesius

Kuadran A: Pada kuadran ini memuat faktor-faktor yang dianggap penting dan menjadi Prioritas Utama oleh stakeholder akan tetapi pada kenyataannya faktor-faktor tersebut belum sesuai seperti yang diharapkan (Kenyataan yang diperoleh masih sangat rendah) variabel-variabel yang masuk dalam kuadran ini harus terus ditingkatkan dengan cara tetap berkonsentrasi pada kuadran ini. Kuadran B: Pada kuadran ini memuat faktor-faktor yang dianggap penting dan sudah sesuai dengan yang diharapkan oleh stakeholder. Variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini harus tetap dipertahankan karena variabel-variabel tersebut termasuk yang menjadi unggulan.

140

Kuadran C: Pada kuadran ini memuat faktor-faktor yang dianggap kurang penting oleh stakeholder dan pada kenyataannya juga biasa-biasa saja atau tidak terlalu istimewa. Variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini dapat dipertimbangkan untuk diperbaiki dan ditingkatkan sesuai kepentingan stakeholder atau sebaliknya dapat dihilangkan karena pengaruhnya terhadap manfaat yang dirasakan amat kecil. Kuadran D: Pada kuadran ini memuat faktor-faktor yang dianggap kurang penting oleh stakeholder akan tetapi dalam kenyataannya diterima atau dirasakan terlalu berlebihan. Variabel-variabel yang termasuk dalam kuadran ini dapat dipertimbangkan untuk dikurangi dan atau ditinggalkan sama sekali karena tidak bermanfaat. 2.3. Kelayakan Investasi (Keuangan) Secara umum dalam mengukur Kelayakan Investasi suatu usaha meliputi perhitungan-perhitungan Produksi, Biaya dan Hasil serta perhitungan-perhitungan Payback Period, Net Present Value, Internal Rate of Return dan Profitability Index. (Martono. 2002.). 2.4. Model Pest Melalui penentuan koefisien hambatan PEST dan ekonomi dari kedua persamaan (1) dan (2) berikut, Φ1 (Bn)= a1 P + a2 E + a3 S + a4 T dan (1) Φ2 (E)= b1 C + b2 M (2) Maka akan dapat ditentukan hambatan yang dominan dari penerapan teknologi berbasis SET di masing-masing desa, sehingga nantinya pemecahan yang lebih tepat dan terukur dapat di laksanakan. Disini Bn merupakan keuntungan bersih PPSK, P paramater kebijakan seperti harga listrik PLTMH, E , parameter ekonomi yang dapat berupa tingkat bunga bank yang tersedia, S,parameter partisipasi masyarakat berupa jumlah masyarakat yang terlibat pada kegiatan PPSK dan T, parameter teknologi yang dapat berupa harga dari UPSK. , M adalah paramater jumlah produk yang dapat dipasarkan, C, parameter modal kerja seperti jumlah modal kerja yang didapat tiap satuan waktu kajian, sedangkan a1,a2,a3,a4, b1, dan b2 masing masing adalah koefisien dari parameter P,E,S,T , C, dan M. (Kamaruddin. 2012) 3. METODOLOGI Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan komplementer atau saling melengkapi yaitu meghubungkan hasil dari satu metode dengan metode yang lain dengan tujuan untuk memahami suatu fenomena secara lengkap dan akurat. (Sularso. 2012). 3.1. Obyek dan Subyek Penelitian. Lokasi yang menjadi Obyek Penelitian ini adalah dusun Tangsi Jaya Desa Gunung Halu, Kecamatan Gunung Halu Kabupaten Bandung Barat, sedangkan Subyek

141

Penelitiannya adalah masyarakat yang tinggal menetap didusun tersebut yang terbagi dalam empat kategori sebagai stakeholder yaitu : unsur Kelompok Tani, unsur Koperasi. unsur Pemerintah Dusun dan unsur Masyarakat sebagai warga biasa. 3.2.

Data

Mengingat jumlah KK ( Kepala Keluarga ) dari penduduk yang ada di dusun Tangsi Jaya relatif masih sedikit maka jumlah KK sebagai Populasi yang ada seluruhnya sekaligus menjadi Sample dari Responden dalam penelitian ini. Jumlah KK seluruhnya ada 74 yang telah memanfaatkan penerangan listrik dari PLN 10 KK dan yang telah memanfaatkan penerangan listrik dari sumber energi terbarukan mikro hidro 64 KK. dari jumlah tersebut sesuai dengan kategori pengelompokkannya yang terdiri dari unsur Kelompok Tani (10 KK), unsur Koperasi (8 KK), unsur Pemerintah (3 KK) dan sisanya unsur Masyarakat sebagai warga biasa (43 KK). Dengan demikian jumlah Responden dalam penelitian ini ada 64. 3.3. Instrumen Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data responden digunakan kuesioner atau daftar pertanyaan yang telah disusun sesuai tujuan penelitian dan seperangkat komputer untuk pengolahan dan analisa data sampai pada penysusunan laporan akhir. 3.4. Pengumpulan Data. Data Primer diperoleh melalui pengamatan ( observasi ) langsung dilapangan dan wawancara dengan responden menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya, disamping itu juga dapat diperoleh melalui diskusi kelompok. Data Sekunder yang terkait dengan penelitian ini dan telah terdokumentasi dapat diperoleh melalui Kantor Desa setempat, Perpustakaan dan juga dapat diperoleh melalui fasilitas internet. 3.5. Pengolahan Data Data yang telah terkumpul melalui instrumen kuesioner kemudian dilakukan pengelompokkan terlebih dahulu sesuai dengan kategori unsur-unsurnya, selanjutnya dilakukan tabulasi data dengan tahap-tahap membuat tabulasi matrik data asli, tabulasi matrik korelasi dan tabulasi matrik faktor yang tujuannya adalah untuk mempermudah dalam membuat reduksi atau meringkas dari banyak variabel menjadi sedikit variabel. (Analisis Faktor, Program Studi PWK, Universitas Gadjah Mada. 2006) 3.6. Analisis Data Analisis Data dilakukan dengan cara analisis Deskriptif Komplementer dengan pendekatan Kualitatif yang didukung data-data Kuantitatif tertentu yang menekankan pada hasil dengan langlah-langkah sebagai berikut : (1). Pertama, Analisis Persepsi stakeholder terhadap keberadaan/kinerja PLTMH Rimba Lestari termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya, analisis Persepsi menggunakan alat model PIS Score (Performance Importance and Satisfaction Score) yang dilengkapi dengan Diagram Kartesius (J.Supranto. 2001) hasil analisis untuk menjawab pertanyaan tujuan penelitian nomer satu (1).

142

(2)

(3)

Kedua, akan dijabarkan perhitungan analisis Kelayakan Investasi usaha Budidaya Kebun dan UPSK Pengolahan Kopi, dengan menggunakan Program Aplikasi Excel dalam Financial Terapan (A. Fauzi, Johar Arifin & M. Fakhrudin 2001). yang hasilnya nanti dapat digunakan sebagai data pendukung untuk menjawab pertanyaan tujuan penelitian nomer dua (3). Ketiga, mengukur koefisien parameter hambatan/kendala pemanfaatan teknologi berbasis sumber energi terbarukan dengan model PEST dan metode Mathlab sehingga dapat diketahui parameter mana yang berpengaruh dominan terhadap Penerimaan / Revenue dari UPSK.(Kamaruddin 2012). Hasil koefisien nanti dapat menjawab pertanyaan tujuan penelitian nomer tiga (3).

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Persepsi dan Diagram Kartesius. a. Kinerja unit PLTMH dianggap “ CUKUP BAIK dan PENTING “ bagi stakeholder masyarakat Dusun Tangsi Jaya ( Nilai skor rata-rata Persepsi 3.63 dan rata-rata skor Kepentingan 4,49 ). b. Kinerja unit PLTMH masih dianggap BELUM SESUAI secara maksimal antara Kepentingan yang diharapkan dengan Kenyataan yang dialami oleh stakeholder ( Nilai rata-rata skor Kepentingan 81 % jadi masih terdapat gap sebesar 19 % ). c. Kinerja / keberadaan unit PLTMH dianggap BELUM bisa memberikan KEPUASAN bagi stakeholder ( Nilai rata-rata skor Kepuasan menunjukkan angka NEGATIF yaitu - 4 ). Tabel 4.1. Skor Persepsi dan Kepentingan. ATRIBUT

PERSEPSI

KEPENTINGAN

Aspek Penerapan Teknologi

4,61

5,00

3,25

5,00

3,42

4,27

3,87

3,43

3,03

4,77

Rata-rata

1,30

1,60

min

3,03

3,43

max

4,61

5,00

Aspek Pengelolaan Aspek Pemanfaatan Aspek Partisipasi Masyarakat Aspek Rencana Pengembangan

143

Kepentingan 5.40

A. Prioritas

B. Pertahanka

4.90 4.40

2.25

2.75 3.90

3.25

3.75

4.25

4.75

3.40

D. Prioritas Rendah

2.90 Aspek Penerapan Teknologi Aspek Pengelolaan

C. Tingkatkan

Aspek Pemanfaatan Aspek Partisipasi Masyarakat Aspek Rencana Pengembangan

Persepsi Gambar 4.1. Diagram Kartesius (1)

(2)

Dengan terlihatnya penyebaran atribut-atribut Kinerja unit PLTMH pada KwadranKwadran Diagram Kartesius yang tersedia (A, B, C dan D), maka dapat diketahui aspek-aspek apa saja yang menjadi Prioritas Utama / A. (Rencana Pengembangan), aspek yang perlu Dipertahankan / B. (Penerapan Teknologi dan Pengelolaan) dan aspek yang perlu untuk Ditingkatkan / C. (Pemanfaatan dan Partisipasi Masyarakat) sehingga data dan informasi ini dapat digunakan sebagai acuan dalam merumuskan Strategi Pembangunan Dusun Tangsi Jaya mendatang Diagram Gap pada gambar dibawah ini menjelaskan tentang Gap yamg masih ada antara Tingkat Kepentingan (gambar luar) yang diharapkan dengan Persepsi (gambar dalam) yang dihadapi oleh para stakeholder saat ini.

Aspek Rencana Pengemba…

Aspek Partisipasi Masyarakat

Aspek Penerapan Teknologi 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00

Aspek Pengelolaan

PERSEPSI KEPENTINGAN

Aspek Pemanfaata n

Gambar 4.2. Diagram Gap.

144

4.2 Analisis Budidaya Kebun Kopi Hasil analisis Kebun Kopi dapat dilihat pada Tabel 4.2. berikut ini

Tabel 4.2. Hasil Analisis Budidaya Kebun NPV

Rp. 862.547.934.40,-

IRR

31.59 %

Net Profit Margin

62.82 %

B/C Ratio

6.10

COGS

Rp. 540.59,-

Hasil Perhitungan akhir seperti yang terlihat pada Tabel 4.2. tersebut diatas merupakan hasil rata-rata budidaya kebun Kopi Robusta (70 %) dan Kopi Arabika (30%) dari luas keseluruhan kebun kopi 20 Ha. dengan asumsi data yang diperoleh pada saat penelitian (Tahun 2012): Hasil panen 2 Kg./Tanaman/Tahun; Harga Jual Kopi Robusta Rp. 3.000,-/Kg dan Kopi Arabika Rp. 4.000,-/Kg; Biaya-biaya yang meliputi Persiapan Lahan, Penanaman, Pemeliharaan dan Panen dapat dilihat pada Lampiran 8 A. 4.3

Analisis UPSK Pengolahan Kopi

Hasil analisis Kelayakan Investasi UPSK Pengolahan Kopi seperti yang terlihat pada Tabel 4.3 dan yang tergambar pada Gambar 4.3. dibawah ini dapat dijelaskan sebagai berikut : NPV menunjukkan nilai positif sebesar Rp. 93.259.340,- ; IRR masih berada diatas tingkat Bunga Bank yaitu 38.74 % ; Net Profit Margin (NPM Sales/ EBIT & Zakat 29.96 % ; NPM Sales, EAZ 18.80 % ; dan NPM to Investmen 92.15 % serta B/C Ratio adalah 1.45. Sedangkan pada Gambar 4.3 Discounted Cashflow Curve terlihat setelah pada tahun ke 2 dan seterusnya mulai menunjukkan kenaikan yang positif dengan demikian proyeksi Kelayakan Investasi UPSK Pengolahan Kopi layak untuk dikerjakan.

Invesment NPV IRR

Tabel 4.3. Hasil Analisis UPSK Pengolahan Kopi 2012 -2017 ( Rp. 334.750.000,- ) Rp. 93.259.340,38.74%

NPM Sales/EBIT & Zakat NPM Sales, EAZ NPM to Investment

29.96% 18.80% 92.15%

B / C Ratio Commulative cashflow

1.45 Rp. 677.999.987,-

145

Rp. (x 1E6)

40,000

-1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

(40,000)

TAHUN KE Gambar 4.3. Kurva Commulative Cashflow

4.4 Mengukur Koefisien PEST Untuk mengukur koefisien PEST dilakukan beberapa simulasi (7) dengan menggunakan data-data dari UPSK Pengolahan Kopi berikut dengan asumsi seperti pada Tabel 4.4. berikut

146

SIMULASI data CashFlow UPSK Kopi Tahun 2012 - 2017 RIIL CashFlow SIMULASI I

P

E

S

T

920

18

10

335

P

E

S

T

S.(awal tetap 10) ComCF Normal

a

SIMULASI II

920 920 920 920 920

18 16 14 11 6

70 65 60 55 50

275 280 285 290 295

139 139 139 139 139

18 16 14 11 6

45 40 35 30 25

335 335 335 335 335

1038 1037 1036 1035 1034

920 750 500 250 139

6 11 14 16 18

20 15 10 70 65

300 305 310 315 320

565 682 744 805 628

S.Berubah 10-70 ComCF Berubah b

b

SIMULASI III

569 568 567 566 565

S.Berubah 70-10 Com.CF.Berubah

81

b

569

85

512

90

461

94

415

99

373

519 545 572 601 631

1038 934 841 757 681

1695 1780 1869 1775 1687

565 509 458 2746 2471

Simulasi I, II dan III diolah berdasarkan pada asumsi tersebut diatas, yang mana pada ;

147

Simulasi I, unsur-unsur P (Tarif PLN dan PLTMH dikelompokkan masing-masing dan ada yang digabung}, E (Tingkat bunga bank dua phase pertama menurun dan pada phase ketiga meningkat) , S (Partisipasi tenaga kerja/TK konstan hanya yang terkait langsung di UPSK), T (Investasi meningkat secara bertahap). Untuk b (Commulative Cashflow berfluktuasi). Simulasi II, unsur-unsur P (Idem simulasi I), E (Idem simulasi I), S (Partisipasi TK yang terkait di UPSK dan yang di Kebun dibuat meningkat secara bertahap dari 10 s/d 70), T (Idem simulasi I), untuk b (Commulative Cashflow berfluktuasi). Simulasi III unsur-unsur P (Idem simulasi I/II), E (Idem simulasi I/II), S (Partisipasi TK yang terkait di UPSK dan yang di Kebun dibuat menurun secara bertahap dari 70 s/d 10), T (Idem simulasi I/II), untuk b (Commulative Cashflow berfluktuasi). Hasil Koefisien dengan simulasi I TK. Tetap 10 ComCF. Normal

Hasil Koefisien dengan simulasi II TK. Berubah 10-70 ComCF Berubah

a1

-0.9282

P

a1

0.432

P

a2

-23.6195

E

a2

53.0451

E

a3

511.0997

S

a3

44.4046

S

a4

-11.7856

T

a4

-6.5055

T

Hasil Koefisien dengan simulasi III TK. Berubah 70-10 ComCF Berubah a1

-1.1346

P

a2

1.5631

E

a3

19.7379

S

a4

1.9321

T

Data simulasi I, II dan III tersebut diatas selanjutnya diolah dengan menggunakan metode mathlab dan diperoleh Koefisien PEST sebagai berikut : Hasil Koefisien dari simulasi I, II dan III seperti tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut : Nilai koefisien yang negatif (-) menunjukkan tingkat parameter yang sensitif terhadap manfaat atau penerimaan hasil dari UPSK tersebut akan menjadi semakin berkurang dan sebaliknya kalau nilai koefisien positif (+) maka akan menambah jumlah penerimaan atau manfaat dari UPSK itu sendiri. Dari ketiga hasil simulasi tadi dapat disimpulkan bahwa pada simulasi yang ke III yang dapat memberikan Manfaat atau Penerimaan (Commulative Cashflow) UPSK yang terbesar yaitu 2.746 (juta rp.) yang mana P/Tarif listrik yang dipakai adalah

148

tariff gabungan PLN dan PLTMH yaitu pada tarif Rp. 250,-/KWh. E/Tingkat Bunga Bank adalah 16 %, S/Partisipasi 70 dan T/Besaran cost teknologi cukup 315 (juta rp.) masih dibawah rencana investasi 335 (jt. rp.). Kalau kita simulasikan perbandingan rentang tarif PLN dengan tarif PLTMH saja maka akan diperoleh Koefisien sebagai berikut : Simulasi IV Hasil Koefisien dengan Tarif PLN a1 a2 a3 a4

0.105 9.305 -135 5.971

P E S T

Simulasi V Hasil Koefisien dengan Tarif PLTMH a1 a2 a3 a4

0.284 0.564 -505 18.02

P E S T

Pada simulasi IV dan V seperti tersebut diatas terlihat dengan jelas bahwa ada hubungan negatif yang kuat antara Koefisien S (-) dengan Koefisien T (+) artinya bahwa apabila Cost (besaran biaya Teknologi) meningkat maka akan mengurangi jumlah S / Partisipasi masyarakat yang terkait atau sebaliknya. Apabila Tarif PLN atau Tarif PLTMH (P dianggap konstan) seperti pada simulasi VI dan VII dibawah ini maka diperoleh Koefisien sebagai berikut : Simulasi VI Tarif PLN a

P 920 920 920 920 920

E 18 16 14 11 6

S 70 65 60 55 50

a=[18 70 275;16 65 280;14 60 285;11 55 290;6 50 295] b=[569;512;461;415;373]

149

T 275 280 285 290 295

Com.CF.Berubah b 569 512 461 415 373

Hasil Koefisien yang mana a1/P (Tarif PLN) adalah konstan a2 a3 a4 Simulasi VII Tarif PLTMH a

-4.3846 11.6959 -0.6272

E S T

P 139 139 139 139 139

E 6 11 14 16 18

S 45 40 35 30 25

T Com.CF.Berubah 335 b 1035 300 1036 250 1037 225 1038 200 1038

a=[6 45 335;11 40 300;14 35 250;16 30 225;18 25 200] b=[1035;1036;1037;1038;1038] Hasil Koefisien yang mana a1/P (Tarif PLTMH) adalah konstan a2 a3 a4

29.3833 -1.1806 2.6556

E S T

Dari hasil simulasi VI dan VII diatas terlihat bahwa hubungan antara S dan T masih cukup konsisten, yaitu menunjukkan hubungan yang negatif (-). Selanjutnya kalau kita perhatikan hasil Koefisien pada semua simulasi (I-VII) berikut ini Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi Simulasi I II III IV V VI VII a1 a2

-0.9282 -23.6195

0.432 53.0451

-1.1346 1.5631

a3 a4

511.0997 -11.7856

44.4046 -6.5055

19.7379 1.9321

0.1049 0.2841 9.305 0.5636 134.6354 505.0876 5.9705 18.0202

-4.3846

29.3833

P E

11.6959 -0.6272

-1.1806 2.6556

S T

Pada ketujuh simulasi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa : Apabila hubungan S dengan T negatif atau berlawanan seperti pada simulasi I, II dan VI yang mana S (+) dan T (-), maka besaran Koefisiennya juga akan mengikuti searah, demikian

150

pula apabila hubungan S dengan T positif atau searah seperti pada simulasi III, IV dan V, besaran Koefisiennya juga akan mengikuti searah dengan kata lain makin besar nilai S akan diikuti nilai T yang semakin besar pula atau sebaliknya. 5 KESIMPULAN. Dari beberapa pendekatan analisis yang telah dibahas melalui Analisis Persepsi stakeholder terhadap Kinerja unit PLTMH, Analisis Kelayakan Investasi Budidaya Kebun Kopi dan Kelayakan Investasi UPSK Pengolahan Kopi serta Analisis Strategi Pembangunan Dusun Tangsi Jaya, maka simpulan-simpulan penting yang dapat ditarik antara lain dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut : 

Kinerja unit PLTMH dianggap “ CUKUP BAIK dan PENTING “ bagi stakeholder masyarakat Dusun Tangsi Jaya (Nilai skor rata-rata Persepsi 3.63 dan rata-rata skor Kepentingan 4,49). Akan tetapi Kinerja /unit PLTMH masih dianggap BELUM SESUAI antara Kepentingan dengan Kenyataan yang dialami oleh stakeholder (Nilai rata-rata skor Kepentingan 81 % jadi masih terdapat gap sebesar 19 %). sehingga Kinerja unit PLTMH masih dianggap BELUM bisa memberikan KEPUASAN bagi stakeholder (Nilai rata-rata skor Kepuasan menunjukkan angka NEGATIF yaitu minus empat / 4).



Penyebaran atribut-atribut Kinerja unit PLTMH pada Kwadran-Kwadran Diagram Kartesius yang tersedia (A, B, C dan D), maka dapat diketahui aspek-aspek apa saja yang menjadi A. Prioritas Utama yaitu aspek Rencana Pengembangan. B. aspek yang perlu Dipertahankan adalah aspek Penerapan Teknologi dan Pengelolaan. C aspek yang perlu Ditingkatkan yaitu aspek Pemanfaatan dan Partisipasi Masyarakat. Dengan demikian aspek Rencana Pengembangan menjadi Prioritas Utama disamping aspek Pemanfaatan dan aspek Partisipasi Masyarakat yang perlu ditingkatkan dalam merumuskan Strategi Pembangunan Dusun Tangsi Jaya lima tahun kedepan.



Kinerja Unit PLTMH maupun UPSK Pengolahan Kopi yang telah berjalan sejak Tahun 1997 sampai saat penelitian dilakukan, ternyata belum bisa dimanfaatkan secara optimal, unit PLTMH hanya beroperasi pada malam hari (12 jam) hanya untuk memenuhi penerangan listrik rumah tangga kecuali hari Jum’at dan Minggu beroperasi 24 jam, untuk memenuhi kegiatan operasi UPSK Pengolahan Kopi pada siang hari sifatnya insidentil karena beberapa kendala teknis (perlengkapan dan peralatan mesin yang tidak lengkap, pasokan bahan baku yang tidak rutin) termasuk juga keterbatasan manjemen untuk mengintegrasikan Budidaya Kebun dengan UPSK Pengolahan Kopi, sehingga Kegiatan Ekonomi Dusun masih terlihat pasif / statis dan tidak berkembang. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa indikator yang ditemukan dalam penelitian ini antara lain; Produktifitas hasil pertanian padi hanya 3.3 Ton / Ha masih dibawah produktifitas Jawa Barat umumnya 5.6 Ton / Ha demikian pula pada produktifitas hasil panen perkebunan kopi sekarang ini yang hanya 2 Kg / tanaman masih dibawah umumnya yang bisa mencapai 5 Kg / tanaman / tahun. yang mana kedua jenis komoditi tadi merupakan Basis Ekonomi Utama Dusun. Tingkat Pendapatan masyarakat mayoritas 75 % berpenghasilan kurang dari

151

Rp. 1.000.000,- / Bulan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil kegiatan Ekonomi Utama Dusun belum bisa memberikan Kesejahteraan warga masyarakatnya, disamping itu juga kegiatan Ekonomi Alternatif Potensial belum disentuh sama sekali. 

Hasil Koefisien PEST dari UPSK Kopi pada simulasi yang ke III yang dapat memberikan Manfaat atau Penerimaan (Commulative Cashflow) UPSK yang terbesar yaitu 2.746 (juta rp.) yang mana P/Tarif listrik yang dipakai adalah tariff kombinasi PLN dengan PLTMH yaitu Rp. 250,-/KWh. E/Tingkat Bunga Bank adalah 16 %, S adalah 70 dan T/Besaran cost teknologi 315 (juta rp.) masih dibawah rencana investasi sebsar 335 (jt. rp.).

6. UCAPAN TERIMA KASIH

Puji Syukur kehadirat ALLAH Swt. yang senantiasa memberikan berkah, anugerah dan ridhoNYA serta penyertaannya dalam proses penyusunan sejak awal hingga selesainya Penelitian ini dengan judu “ Analisis Pembangunan Desa E3i “ (Studi Kasus Dusun Tangsi Jaya, Desa / Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat). Andil yang tak ternilai sejak proses penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, pengolahan dan analisa data hingga selesai menjadi sebuah Laporan Penelitian telah banyak diberikan oleh banyak pihak dengan berbagai pendekatan dan kelebihannya masing-masing, maka pada kesempatan yang berbahagia ini dengan segala kerendahan hati, tulus dan ikhlas, penulis dengan hormat menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Kamaruddin Abdullah IPU. Direktur Sekolah Pascasarjana Energi Terbarukan UNSADA. 2. Ibu Dra. Irna Djajadiningrat M.Hum. beserta staf LP2MK UNSADA. 3. Bapak Kepala Dusun dan seluruh Warga Dusun Tangsi Jaya 4. Bapak Ketua Program Studi, para Tim Dosen dan Seretariat Pascasarjana serta Keluarga Besar Fakultas Ekonomi UNSADA. 5. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disini, terima kasih, terima kasih dan terima kasih. DAFTAR PUSTAKA Abdullah Kamaruddin 2007, Memacu Pertumbuhan Ekonomi melalui Desa Mandiri E3i, Universitas Darma Persada Jakarta. Abdullah Kamaruddin 2007, Energi Terbarukan untuk mendukung Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, Departemen Teknik Pertanian, IPB. Press Bogor.

152

Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas: Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal. 5066. Ariati Ratna 2004, Konservasi Energi Nasional, Program dan Implementasinya : dipresentasikan pada Pertemuan Pendahuluan Studi Peluang Konservasi Energi. Ariati Ratna 2009. Materi Kuliah Kebijakan Energi Nasional Program Pascasarjana Energi Terbarukan Universitas Darma Persada Jakarta. Bahri, Efri S. "Alternatif Strategi Pembangunan Sosial untuk Indonesia", dipublikasikan oleh suarapembaca.detik.com pada Selasa, 18/08/2009. Fauzi, Johar Arifin & A. Fakhrudin. 2001. Program Aplikasi Excel dalam Finansial Terapan Harry Sonny. 2010. HDI Indonesia 2010 Metode dan Indikator Baru, Lembaga Demografi FEUI. Jakarta. Husodo, Siswono Yudo. 2003. Membangun kemandirian di bidang Pangan suatu Kebutuhan bagi Indonesia, Jurnal Ekonomi Rakyat, artikel III no. 6, September Haeruman, Herman J.S. 1997. Strategi, Kebijakan dan Program Pembangunan Masyarakat Desa: kearah integrasi perekonomian kota-desa. Seminar Nasional Pengembangan Perekonomian Perdesaan Indonesia. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kartasasmita G & Solichin D.2009. Bahan Kuliah ( Lecturer Matherial ), Development Administration, Concepts and Definition, Program Pasca Sarjana, Program Studi Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada Jakarta. Kartasasmita G & Solichin D. 2009. Bahan Kuliah ( Lecturer Matherial ), Development Administration, New Paradigms of Public Administration, Program Pasca Sarjana, Program Studi Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada Jakarta. Ken Martina 2010, Materi Kuliah Dasar Dasar Pengembangan Wilayah Perdesaan, Program Pascasarjana Energi Terbarukan, Universitas Darma Persada Jakarta. Kotler, Philip. 2000. Marketing Management. The Millennium Edition, Prentice Hall, New Jersey. Kotler, Philip. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi 10, PT Prenhallindo, Jakarta. Kusdiana Dadan 2009, Kebijakan dan Strategi Sektor Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2010 – 2014 Universitas Darma Persada Jakarta. Kusdiana Dadan 2009, Kebijakan Energi Nasional, Pengembangan Energi Baru Terbarukan, Materi Kuliah Universitas Darma Persada Jakarta.

153

Managemen Strategi, (http://id.wikipedia.org/wiki/Strategi). Martono dan D. Agus Harjito. 2002. Manajemen Keuangan edisi kedua, Penerbit Ekonosia, Kampus FE. UII. Yogyakarta. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Prihantoro Resza . Arti Perencanaan Menurut Para Ahli. Materi melalui http://nandabismarck.blogspot.com/2011/03/konsep-perencanaan-pembangunanmenurut.html Raihan Rasyidi 2010. Materi Kuliah Pengetahuan Lingkungan, Program Studi Energi Terbarukan, Program Pascasarjana Unsada Jakarta. Satriatama Dandy. 2012 Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2010 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Siahaan Oloan. 2009, Introduction to Community Development. Materi Kuliah Universitas Darma Persada Jakarta. Siahaan Oloan. 2009. Lokal Economic Development. Materi Kuliah Universitas Darma Persada Jakarta. Silalahi Udin 2001, Aliansi Strategis, Department of Economics, CSIS Jakarta. Simamora Bilson 2002. Panduan Riset Perilaku Konsumen, Gramedia Pustaka Utama. Simanjuntak Juara 2008. Strategi Aliansi, FE Universitas HKBP Nomensen Medan. Solihin Amir 2001. Top Down – Bottom UP Planning sebagai Alternatif Perencanaan Strategis Pembangunan Daerah Hinterland secara Partisipatif , Universitas Padjadjaran Bandung. Suharto, Edi. 2010. Analisis Kebijakan Publik. Alfabeta Bandung. Sujarto, Djoko, 1992. Pendekatan Pembangunan Perkotaan Ditinjau Dari Segi Perencanaan Lokal, BPA UGM, Yogyakarta. Supranto J. 2003. Metode Riset, edisi ketujuh. PT. Rineka Cipta Jakarta. Sutoro Eko, 2002. Materi Diklat Pemberdayaan Masyarakat Desa, Badan Diklat Provinsi Kaltim, Samarinda, Desember. Sutrisno, Hadi. 2002. Methode Research untuk penulisan paper, skripsi, tesis dan disertasi jilid 2. Andi offset. Yogyakarta. Trijono Lambang.2007.Pembangunan Sebagai Perdamaian. Yayasan Obor. Permalink Jakarta

154

United Nations Division for Sustainable Development. Documents Sustainable Development issues Retrieved:2007-05-12 UU Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah UU Republik Indonesia No. 30 Tahun 2007 Tentang Energi. VP of Cisco Systems. Inc. 2008. Strategic Alliances. Walgito, Bimo. 2000. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta. Yamamoto. 2001. The Dinamism of SME and Inter Firm Linkage in Indonesia. Kementerian UKM RI. Jakarta. Yusgiantoro Purnomo. 2009. Strategi Ketahanan Enegi Nasional, Raker Sektor ESDM 2009, Kebijakan, Rencana dan Strategi Tahunn 2010-2014.

155

PERUBAHAN PERAN ANGKUTAN SUNGAI SEBAGAI SARANA TRANSPORTASI MASYARAKAT DI SUNGAI MAHAKAM SAMARINDA, KALIMANTAN TIMUR Endro Prabowo, Shahrin Febrian, M. Danil Arifin Fakultas Teknologi Kelautan ABSTRAK Sungai Mahakam dengan panjang sekitar 920 km sejak dulu hingga saat ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air, potensi perikanan maupun sebagai prasarana transportasi.Sebagai prasarana transportasi sungai ini dilewati kapal-kapal kecil yang mengangkut penumpang dan barang dari kota ke pedalaman, di dalam kota dan dari pedalaman ke kota. Selain dilalui kapal-kapal kecil juga dilalui kapal tongkang pengangkut batu bara. Seiring perkembangan zaman dan kemajuan yang dicapai propinsi Kalimantan Timur maka angkutan sungai yang dulu menjadi primadona ini mulai ditinggalkan masyarakat, sehingga kontribusi angkutan sungai ini semakin berkurang. Jumlah penumpang dalam empat tahun terakhir terus berkurang, khususnya untuk di dermaga Samarinda Hulu rata-rata penurunan penumpang10 % per tahun.Sedangkan penurunan penumpang di seluruh dermaga kota Samarinda rata-rata 2,5% per tahun. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan jembatan yang semakin pesat dan jalan dan adanya fasilitas kemudahan untuk mendapatkan kepemilikan kendaraan bermotor sehingga masyarakat beralih dari angkutan sungai ke kendaraan bermotor di jalan. Dari kesimpulan penelitian tersebut di atas, maka perlu adanya studi mengenai kinerja angkutan sungai dalam kota, perlu direncanakannya upaya peningkatan aktivitas penggunaan angkutan sungai sebagai alternatif transportasi untuk mengurangi beban jaringan jalan darat, perlu direncanakannya keterpaduan antar moda (angkutan sungai dan darat), sehingga terjadi kemudahan koneksi bagi pengguna angkutan sungai yang akan melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan darat dan sebaliknya, serta upaya peningkatan daya tarik angkutan sungai Untuk mengurangi kepadatan di jalan pemerintah perlu merevitalisasi angkutan sungai ini sehingga dapat berbagi peran dengan moda angkutan darat. Kata Kunci: Sungai Mahakam, angkutan sungai, Kota Samarinda, 1. LATAR BELAKANG Kalimantan Timur adalah wilayah yang berstatus provinsi di Indonesia dengan Samarinda sebagai ibukotanya. Provinsi ini merupakan salah satu dari empat provinsi di Kalimantan. Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia, dengan luas wilayah 245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Provinsi ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur.

156

Propinsi Kalimantan Timur ini banyak dialiri sungai, Mahakam merupakan sebuah sungai terbesar yang terdapat di di provinsi ini yang bermuara di Selat Makassar. Sungai dengan panjang sekitar 920 km ini merupakan sungai terpanjang kedua di Indonesia, sungai ini melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu, hingga Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian hilir. Sungai Mahakam sejak dulu hingga saat ini memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air, potensi perikanan maupun sebagai prasarana transportasi. Transportasi sungai di Kalimantan Timur memegang peranan penting, tidak hanya di daerah pedalaman, tapi juga di daerah yang sudah berkembang. Sistem transportasi sungai ini berkembang di sepanjang sungai Mahakam hingga ke hulu, yang menghubungkan daerah pantai Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong hingga pedalaman Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kabupaten Kutai Barat. Transportasi merupakan salah satu sektor kegiatan yang sangat penting karena berkaitan dengan kebutuhan setiap orang. Kebutuhan ini misalnya kebutuhan untuk mencapai lokasi kerja, lokasi sekolah, mengunjungi tempat hiburan atau pelayanan, dan bahkan untuk bepergian ke luar kota. Transportasi tidak hanya mengangkut orang, tetapi juga untuk memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Perkembangan transportasi memungkinkan berbagai kegiatan dapat diangkut melalui darat, udara ataupun laut dengan jenis angkut yang beragam. Namun yang perlu diingat, bahwa sebagai fasilitas pendukung kegiatan kehidupan, maka perkembangan transportasi harus diperhitungkan dengan tepat dan secermat mungkin agar dapat mendukung tujuan pembangunan secara umum dari suatu daerah. Pengadaan fasilitas pendukung transportasi yang melebihi tingkat kegiatan hidup tertentu adalah suatu investasi yang merugikan, sebaliknya bila pengadaan transportasi kurang, maka akan berdampak pada tersendatnya kegiatan hidup dan roda perekonomian (Miro, 2005: 2). Menurut Kodoatie (2005: 261), moda atau jenis transportasi dapat dikelompokkan menurut media atau tempat, dimana pergerakan tersebut dilakukan, yaitu transportasi darat (transportasi jalan, jalan rel, sungai, danau, penyeberangan, pipa, dan kereta gantung), transportasi laut, dan transportasi 2 udara. Sebagian besar pergerakan biasanya tidak cukup hanya dilayani oleh moda tunggal, tetapi melibatkan dua atau lebih moda. Pilihan atas moda transportasi oleh suatu wilayah perlu memperhatikan sifat ekoteknologis (economic technological characteristics) dari masing-masing moda, kemampuan adaptasinya pada jenis dan ragam, volume lalu lintas barang atau penumpang yang dilayani, serta kondisi alam, karena akan ikut mempengaruhi biaya konstruksi dan biaya operasi dari moda transportasi yang akan dibangun (Nasution, 2004: 44). Suatu

157

transportasi dikatakan baik, apabila pertama waktu perjalanan cukup cepat, tidak mengalami kemacetan. Kedua, frekuensi pelayanan cukup. Ketiga, aman dan kondisi pelayanan yang nyaman. Untuk mencapai kondisi yang ideal seperti itu sangatlah ditentukan oleh berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi, yaitu kondisi prasarana serta sistem jaringannya, kondisi sarana, serta yang tidak kalah penting adalah sikap mental pemakai fasilitas transportasi itu sendiri (Sinulingga, 2005: 148). Permasalahan transportasi tidak terlepas dari struktur kota yang berkembang dengan latar belakang sejarahnya, politik, ekonomi, budaya dan nilai-nilai masyarakat. Menurut Riyanto (2006), permasalahan transportasi yang sering dihadapi antara lain adanya kesenjangan supply dan demand transportasi, kesenjangan suplai secara geografis, peningkatan permintaan yang tidak diimbangi dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, kehilangan waktu, biaya transportasi yang mahal, meningkatnya kecelakaan dan dampak lingkungan 3 (kebisingan, pencemaran, kelangkaan bahan bakar minyak, dan kelangkaan lahan di daerah perkotaan). 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan dalam penulisan makalah ini meliputi pengumpulan data, analisa dan pengolahan data dan penyajian hasil. Pengumpulan data merupakan tahapan yang dilakukan untuk mempermudah pelaksanaan analisis. Dalam studi ini, teknik pengumpulan data terdiri atas dua cara, yaitu: a. Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer merupakan pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti secara langsung terkadap obyek penelitian. Pengumpulan data primer ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu observasi, wawancara dan kuesioner. 1) Observasi. Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan pengamatan di lapangan dan dokumentasi, sehingga diketahui kondisi sebenarnya yang tidak mungkin diperoleh dari data sekunder. Dalam penelitian ini observasi untuk mengamati pergerakan angkutan sungai. 2) Wawancara. Wawancara adalah cara untuk mendapatkan informasi dengan bertanya langsung kepada responden. Wawancara ditujukan pada penumpang kapal, anak buah kapal dan regulator yang ada di beberapa lokasi di sungai Mahakam Samarinda. 3) Kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden. Kuesioner disebarkan kepada pada penumpang kapal, anak buah kapal dan regulator yang ada di beberapa lokasi di sungai Mahakam Samarinda. b. Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder merupakan pengumpulan data secara tidak langsung dari sumber/obyek. Data-data diperoleh dari tulisan seperti buku-buku teori, buku laporan, peraturan-peraturan, dan dokumen baik yang berasal dari instansi terkait maupun hasil kajian literatur.

158

3. PERUMUSAN MASALAH Penurunan jumlah penumpang dan Perbandingan jumlah ketersediaan kapal yang tidak seimbang mengancam keberlangsungan angkutan Sungai Mahakam, Kalimantan. Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar penurunan jumlah penumpang angkutan sungai dan penyebabnya serta mencari jalan keluar agar angkutan sungai ini dapat eksis dan membantu mengurangi kepadatan moda transportasi darat. Angkutan Sungai Angkutan sungai merupakan angkutan yang tumbuh dan berkembang secara alami di Indonesia akibat kondisi geografis alam yang memiliki banyak sungai. Jalan bagi transportasi air ini selain bersifat alami (laut, sungai, danau), ada pula yang bersifat buatan manusia (kanal, anjir, danau buatan). Transportasi ini biasa disebut juga dengan “inland water transportation” (Chandrawidjaja,1998: 5). Beberapa pengertian yang menyangkut Angkutan Sungai dan Danau (ASDP) menurut peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan Pasal 1: Angkutan sungai dan danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, anjir, kanal dan terusan untuk mengangkut penumpang, barang dan/atau hewan, yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan sungai dan danau. b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran Pasal 80 (1): Penyelenggaraan angkutan sungai dan danau disusun secara terpadu intra dan antarmoda yang merupakan satu kesatuan tatanan transportasi nasional. Pasal 80 (2): Angkutan sungai dan danau diselenggarakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur yang dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur. c. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 73 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan Danau Pasal 2 (4): Wilayah operasi angkutan sungai dan danau meliputi sungai, danau, waduk, rawa, anjir, kanal dan terusan. ASDP sebagai penyelenggara angkutan umum berfungsi sebagai penyedia jasa angkutan kendaraan (barang) dan penumpang, baik secara intermoda maupun intramoda transportasi. Sistem ASDP menurut Nasution (2005: 172) meliputi: - Alat angkut (vehicles): kapal sungai dan kapal feri, - Alur pelayaran (ways): rambu-rambu sungai/danau/feri, pengerukan alur sungai, telekomunikasi, navigasi dan kapal inspeksi, - Terminal (pelabuhan): terminal, gudang, kantor, depot BBM, listrik dan air. Angkutan air cocok dan efisien sebagai lalu lintas penghubung antara pelabuhan dengan sistem angkutan lain yang menggunakan perahu untuk membongkar-muat barang dari dan ke kapal. Selain itu, juga dapat berfungsi sebagai lalu lintas penghubung antartempat (misalnya permukiman) yang belum terhubung oleh sistem jaringan jalan

159

darat, sebagai lalu lintas penyeberangan antarpulau atau penyeberangan sungai, dan untuk pengangkutan barang di daerah pedalaman (Warpani, 1990: 48).

Gb.1. Jenis Angkutan Sungai di KalTim, Bis Air dan Ketinting.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tren Penumpang dan Barang di Dermaga Hulu Dari data yang diperoleh di lapangan 4 tahun terkhir menunjukkan penurunan jumlah penumpang maupun barang, baik untuk kapal-kapal yang berlayar di dalam kota Samarinda maupun yang berlayar ke dan dari daerah di dalam propinsi Kalimantan Timur. Untuk kapal yang berlayar dari dan ke daerah dalam hal ini dapat ditemui di dermaga Hulu, di sini berkumpul kapal-kapal atau yang menurut istilah mereka menyebutnya dengan sebutan bis air. Dari data dan pengamatan yang dilakukan di lapangan diketahui bahwa jumlah penumpang dari tahun ke tahun cenderung berkurang seperti terlihat pada Gb.2. di bawah ini.

Jumlah Penumpang (X1000)

27.0 25.0 23.0 21.0 19.0 17.0 15.0 2007

2008

2009

2010

2011

2012

Tahun

Gb.2. Tren Jumlah Penumpang di Dermaga Hulu Kota Samarinda.

160

Pada Gb.2. di atas terdapat penurunan sebesar 29,9% dari tahun 2008 ke tahun 2011 atau rata-rata penurunan per tahun mencapai hampir 10%. Dengan kumlah penumpang 18,000 – 25,000 per tahun artinya rata-rata sebulan hanya 1500 – 2083 orang atau dalam sehari hanya 50 – 70 orang, sedangkan jumlah kapal yang ada 69 yang berlayar ke berbagai daerah seperti Melak, Long Bagun, Long Iram dan lain sebagainya. Artinya tidak mungkin kapal-kapal tersebut berangkat pada hari yang sama karena tidak ada penumpang yang diangkut, karena dengan jumlah tersebut cukup 1 atau 2 kapal saja, akan tetapi mengingat dermaga Hulu melayani 8 daerah tujuan setidaknya ada 8 kapal, berdasrkan pengamatan kami di lapangan beberapa tujuan ada 2 kali pemberangkatan pagi dan siang hari. Dengan demikian tidak mengherankan apabila dalam pengamatan kami hanya mendapati penumpang 1 kapal tidak lebih dari 10 orang, sementara kapasitas angkut rata-rata 1 kapal 58 orang, dengan demikian tingkat okupansinya hanya 7,5% terhadap kapasitas kapal. Kapal-kapal ini rata-rata mendapat giliran 3 minggu sekali berlayar,, sehingga hal ini menjadi ancaman serius untuk keberlanjutan angkutan sungai antar daerah di propinsi Kalimantan Timur.

30.0

Jumlah Penumpang

25.0 20.0 Jumlah Penumpang

15.0

Jumlah Barang (Ton) 10.0 5.0 0.0 2008

2009

2010

2011

Tahun

Gb.3. Jumlah Penumpang dan Barang per kedatangan Kapal Pada Gb.3. apabila jumlah penumpang disajikan dalam jumlah penumpang per kedatangan kapal terlihat seolah ada kenaikan penumpang pada tahun 2011, sebenarnya tidak ada kenaikan penumpang, tetapi yang ada adalah berkurangnya jumlah kapal yang beroperasi kemungkinan diakibatkan sedang rusak atau dalam perawatan (tidak ada penjelasan mengenai ini dari narasumber). Jumlah kedatangan kapal pada tahun 2011 berkurang hingga 47,4% dibandingkan dengan tahun 2010. Muatan barang yang diharapkan bisa mengurangi kerugian berkurangnya jumlah penumpang ternyata tidak memiliki kontribusi yang signifikan karena rata-rata muatan per kapal hanya 3 ton saja sedangkan kapasitas angkut barang rata-rata per kapal 40 ton, dengan demikian hanya terisi 7,5% saja dari total kapasitas yang tersedia. 4.2 Tren Penumpang di Dermaga Hilir Sementara itu untuk kapal yang melayani penumpang di dalam kota Samarinda nasibnya sedikit agak lebih baik, dengan angka penurunan jauh lebih kecil yakni 2,5% per 161

tahun dengan jumlah aktual penumpang untuk satu buah kapal cukup berbeda dengan bis air di dermaga Hulu, yakni 11-14 orang per kedatangan kapal (Lih. Gb.4.), dimana kapasitas kapal di dalam kota ini rata-rata 20 orang, dengan demikian tingkat okupansinya 60 % masih jauh lebih baik dibandingkan bis air. Namun demikian biaya penyeberangan yang murah dan jumlah kapal yang banyak, hal ini juga menimbulkan masalah tersendiri bagi pemilik kapal dalam pemeliharaan. Jelas ini akan mengancam keberadaan angkutan sungai di dalam kota Samarinda.

Jumlah Penumpang (x 1000)

180

160

140

120 2007

2008

2009

2010

2011

2012

Tahun

Gb.4. Tren Jumlah Penumpang di Dermaga Hilir Kota Samarinda. 4.3 Pembangunan Jembatan dan Jalan Sementara itu jumlah pertumbuhan jembatan di seluruh propinsi Kalimantan Timur yang telah menghubungkan desa-dengan desa atau daerah dengan daerah lain sangat pesat sejak tahun 2009, bila pada tahun 2008 hanya ada 815 jembatan maka pada 2011 menjadi 1569 jembatan, yang berarti ada pertumbuhan 92,5% selama empat tahun terakhir. Adanya jembatan yang menghubungkan daerah tersebut tentu memudahkan orang-orang untuk berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dan juga mempersingkat waktu tempuh dibandingkan dengan harus memutar atau melewati sungai (dengan kapal).

162

1800 1600 Jumlah Jembatan

1400 1200 1000 800 600 400 200 0 2008

2009

2010

2011

Tahun

Gb.5. Pembangunan Jembatan di Propinsi Kalimantan Timur Tahun 2008-2011 Selain jembatan yang semakin banyak panjang jalan di propinsi Kalimantan Timur juga berkembang pesat, jika pada tahun 2008 panjang jalan negara beraspal dalam kondisi baik sepanjang 1318 Km, maka pada tahun 2011 menjadi 1765 Km yang berarti ada penambahan 34,7%.

Panjang Jalan (Km)

2000

1500

1000

500

0 2008

2009

2010

2011

Tahun

Gb.6. Pembangunan Jalan Negara di Propinsi Kalimantan Timur Tahun 20082011. 4.4 Perubahan Peran Angkutan Sungai Banyaknya jalan negara, propinsi maupun kabupaten yang dibangun semakin memudahkan akses angkutan darat yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang yang dahulu menggunakan akses sungai dengan angkutan sungainya mulai meninggalkannya. Selain daripada itu kemudahan untuk memperoleh kendaraan sehingga jumlah kendaraan semakin banyak yang memudahkan mobilitas mereka dalam menjalankan kegiatannya. Dari analisis perubahan penggunaan moda transportasi tersebut di atas bila dilihat berdasarkan jaringan jalan, diketahui ternyata sebagian besar lokasi tujuan sudah dari dulu

163

tersedia jaringan jalan darat. Seiring dengan tersedianya alternatif moda transportasi dengan waktu tempuh yang lebih cepat meskipun biaya menjadi lebih mahal, serta perkembangan jaringan jalan darat yang semakin membaik dan kemudahan mendapatkan kendaraan menyebabkan penggunaan angkutan sungai cenderung berkurang. Dengan demikian, terjadinya pergeseran pergerakan penggunaan moda angkutan sungai saat ini disebabkan oleh semakin banyak tersedianya alternative pilihan transportasi, baik berupa akses jalan maupun moda angkutan. Setiap pelaku perjalanan tentu akan lebih memilih menggunakan moda yang lebih nyaman dengan waktu tempuh yang lebih cepat. Mengingat fasislitas seperti sungai Mahakam yang panjang dan dalam sudah tersedia artinya tidak memerlukan biaya perawatan yang besar seperti jalanan darat dan bebas macet seharusnya dapat direvitalisasi kembali supaya dapat menjadi moda transportasi alternatif, sekaligus untuk mengurangi beban jalan yang semakin padat dan mulai macet di sana-sini. Guna keperluan ini perlu ada rencana yang matang untuk membuat system transportasi yang terpadu antara moda transportasi sungai dengan moda transportasi darat, seperti keberadaan terminal di dekat dermaga, meningkatkan keamanan, kenyamanan dan keselamatan, serta pelayanan fasilitas dermaga. Meningkatkan daya tarik angkutan sungai sebagai sarana wisata, pengembangan kawasan tepi sungai, di mana selain membenahi angkutan sungai itu sendiri juga dengan membenahi kawasan tepi sungai, mengubah tata ruang kawasan sekitar sungai dengan mengubah sungai menjadi pusat aktifitas sehingga rumah-rumahpun menghadap ke sungai. 5. KESIMPULAN     

Terjadi penurunan jumlah penumpang rata-rata sebesar 2,5 % per tahun di dermaga Hilir kota Samarinda. Terjadi penurunan jumlah penumpang 10% per tahun di dermaga Hulu kota Samarinda. Meskipun penurunan jumlah penumpang relatif kecil tetapi jumlah penumpang per kedatangan jauh di bawah kapasitas kapal sehingga sangat sulit menjamin keberlangsungan angkutan sungai tersebut Penurunan penumpang ini diakibatkan semakin baiknya infrastruktur moda angkutan darat berupa jalan negara yang tumbuh 34,7% selama 4 tahun terakhir. Pemerintah daerah perlu merencanakan sistem transportasi yang terpadu, meningkatkan daya tarik angkutan sungai sebagai sarana wisata, pengembangan kawasan tepi sungai, di mana selain membenahi angkutan sungai itu sendiri terkait dengan keamanan dan keselamatannya sehingga dapat menarik lebih banyak penumpang agar keberlanjutan angkutan sungai dapat dipertahankan dan sekaligus berfungsi untuk mengurangi beban jalan.

6. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini dapat dilakukan karena dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan yang berupa dana, data dan kesempatan, oleh sebab itu pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, pertama kepada Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Universitas Darma Persada (LP2MK) sebagai penyedia dana penelitian, kepada Dinas Perhubungan Kota Samarinda, dan kepada semua yang telah berkontribusi sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

164

DAFTAR PUSTAKA Chandrawidjaja, Robert. 1998. Navigasi Perairan Daratan. Banjarmasin: Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat. Kodoatie, Robert J. 2005. Pengantar Manajemen Infrastruktur (Edisi Revisi).Yogyakarta: Pustaka Relajar. Kalimantan Timur Dalam Angka Tahun 2008-2012. Badan Pusat Statistik Propinsi Kalimantan Timur. Miro, Fidel. 2005. Perencanaan Transportasi. Jakarta: Erlangga. Munawar, Ahmad. 2005. Dasar-dasar Teknik Transportasi. Yogyakarta: Beta Offset. Nasution, M Nur. 2004. Manajemen Transportasi (Edisi Kedua). Jakarta: Ghalia Indonesia. Riyanto, Bambang. 2006. Transportasi. Semarang: MPPWK Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Sinulingga, Budi D. 2005. Pembangunan Kota: Tinjauan Regional dan Lokal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Warpani, Suwardjoko. 1990. Merencanakan Sistem Perangkutan. Bandung:Penerbit ITB.

165

ANALISIS KECELAKAAN TRANSPORTASI LAUT TAHUN 2005-2010 DI INDONESIA Danny Faturachman, Fanny Octaviani, Theresia Dwirina Novita Fakultas Teknologi Kelautan [email protected] ABSTRAK There are so many accident in sea transportation in Indonesia. Accidents occurring in rivers, lakes, and crossing that reached Marine Court in 2005-2010 is due to human error factor (65%), and only a few accidents in the waters caused by natural factors. Given the reasons mentioned above should all accidents can be minimized if prevention efforts from all parties so as not to stumble on the same stone. Most of the accidents happen because of low concern aspects of the safety and security of the crew. The numbers differ from the manifest of passengers and the number of passengers on the field became a regular thing going on. There are four main issues in maritime transport, i.e. no persons or Government agencies that are willing to hold the responsibility of safety and security, tariff policy, the quality of human resources, as well as the implementation and enforcement of the regulations is not clear. Safety of sea transportation should also start from the port conditions are sterile. The port is the main key from out the influx of sea transport. Unfortunately, almost all ports in Indonesia does not have any crossing facilities or equipment to control weight, dimensions, and other types of payloads in any vehicle that boarded the ship. It becomes a threat to the safety of shipping crossing, particularly if a malicious payload that went into the ship without appropriate handling procedures. Kata Kunci: Kecelakaan,, Kapal, Mahkamah Pelayaran, Faktor manusia, Indonesia 1. PENDAHULUAN Tingginya kasus kecelakaan laut di Indonesia saat ini harus menjadi perhatian seluruh pihak, bukan hanya pemilik kapal tetapi juga pemerintah, instansi terkait dan masyarakat yang harus lebih aktif dalam memberikan informasi. Penyebab utama kecelakaan laut pada umumnya adalah karena faktor kelebihan angkutan dari daya angkut yang ditetapkan, baik itu angkutan barang maupun orang. Bahkan tidak jarang pemakai jasa pelayaran memaksakan diri naik kapal meskipun kapal sudah penuh dengan tekad asal dapat tempat di atas kapal. Kapal adalah sebagai sarana angkutan laut dan tempat banyak orang mendambakan hidupnya. Setiap saat keselamatan jiwa manusia di laut terancam, baik para pelaut maupun yang ikut berlayar. Dari fakta dan data diperoleh bahwa kecelakaan laut telah memakan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit, kecelakaan itu bisa terjadi di mana saja, kapan saja dan menimpa siapa saja. Untuk itu, para awak kapal dan para penumpang harus mengetahui tentang cara-cara penyelamatan diri sewaktu ada kecelakaan di kapal (personal survival technique), pemadaman kebakaran (fire fighting), pertolongan pertama pada kecelakaan (first aid) dan keselamatan diri dalam tanggung jawab sosial (personal safety and social responsibility). Banyak korban kecelakaan yang terjadi di laut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dasar keselamatan, keamanan dan perlindungan

166

terhadap lingkungan, sesuai data dari IMO bahwa banyaknya korban jiwa yang terjadi di laut disebabkan oleh kesalahan faktor manusia (Human Factor). Tabel 1 Analisa Karakteristik Kecelakaan Transportasi Laut WHAT

WHY

TIPIKAL KECELAKAAN Tipe Kecelakaan dan Indikator Keselamatan a. Tipe Kecelakaan : Tenggelam, Terbakar, Tubrukan, Kandas b. Tingkat kecelakaan Perkiraan Penyebab Kecelakaan a. Faktor Manusia: Kecerobohan di dalam menjalankan kapal, ekurang-mampuan awak kapal dalam menguasai berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam operasional kapal, ecara sadar memuat kapal secara berlebihan b. Faktor teknis Kekurang cermatan di dalam desain kapal Penelantaran perawatan kapal sehingga mengakibatkan kerusakan kapal atau bagian-bagian kapal yang menyebabkan kapal mengalami kecelakaan, terbakarnya kapal

WHO

WHERE WHEN

HOW

c. Faktor alam Faktur cuaca buruk; badai, gelombang yang tinggi yang dipengaruhi oleh musim/badai, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang terbatas. Yang Terlibat Kecelakaan dan Korban Kecelakaan a. Kapal yang terlibat kecelakaan b. Gender (Laki-laki, perempuan) c. Usia Lokasi Tempat Kejadian Kecelakaan Waktu Kejadian Kecelakaan a. Jam Kejadian b. Tanggal Kejadian Kronologis Kejadian a. Pergerakan kapal b. Kondisi Kapal

OBJEK Kapal Motor, Kapal Layar Motor, Tug Boat, Tongkang, Kapal Tanker

Nakhoda, Anak Buah Kapal (ABK), Petugas Pemeriksa Kepelabuhanan, Penumpang

Pemilik Kapal, Marine Inspector, Awak Kapal, Galangan Kapal, Pemasok Peralatan Kapal

Alur Pelayaran, Kolam Pelabuhan, Informasi BMKG

Nakhoda, / Pengemudi Kapal, ABK, Penumpang

Alur pelayaran, Kolam Pelabuhan, Dermaga Kapal, Nakhoda, Penumpang

Kapal

Prinsip keselamatan transportasi sudah menjadi perhatian Pemerintah sejak lama. Pada tahun 1999 ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 105 Tahun 1999 tentang pembentukan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Prinsip keselamatan itu, tentu saja, menjadi acuan pemerintah melalui Departemen Perhubungan ketika mencanangkan program Road Map to Zero Accident pada akhir semester I tahun 2007, dalam arti pemerintah berupaya meminimalisir terjadinya kecelakaan melalui kegiatankegiatan yang terprogram secara akurat dengan pengawasan dan pengendalian yang berkesinambungan.

167

Pemeriksaan kecelakaan kapal terdiri dari pemeriksaan pendahuluan oleh Syahbandar dan pemeriksaan lanjutan oleh Mahkamah Pelayaran. Sedangkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Pasal 245 menyatakan bahwa : Kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa: a. Kapal tenggelam; b. Kapal terbakar; c. Kapal tubrukan; dan d. Kapal kandas. Selanjutnya pada Pasal 256 tentang Investigasi Kecelakaan kapal dinyatakan bahwa : 1) Investigasi kecelakaan kapal dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi untuk mencari fakta guna mencegah terjadinya kecelakaan kapal dengan penyebab yang sama. 2) Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap kecelakaan kapal. 3) Investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak untuk menentukan kesalahan atau kelalaian atas terjadinya kecelakaan kapal. Usaha dalam penyelamatan jiwa di laut merupakan suatu kegiatan yang dipergunakan untuk mengendalikan terjadinya kecelakaan di laut yang dapat mengurangi sekecil mungkin akibat yang timbul terhadap manusia, kapal dan muatannya. Untuk memperkecil terjadinya kecelakaan di laut diperlukan suatu usaha untuk penyelamatan jiwa tersebut dengan cara memenuhi semua peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh IMO (International Maritime Organization), ILO (International Labour Organization) dan ITU (International Telecomunication Union) maupun oleh pemerintah.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari tahun ke tahun kecelakaan pelayaran di Indonesia tak pernah berkurang. Bahkan, sebab kecelakaan laut seperti mengulang-ulang kesalahan di masa lalu, yaitu kecelakaan tidak pernah jauh dari cuaca buruk, kelebihan beban, atau kapal yang tidak memenuhi standar kelayakan. Setidaknya, ada 2 (dua) sebab penting terjadinya kecelakaan laut di Indonesia. Pertama kondisi armada, kapal-kapal transportasi pada umumnya dibuat tanpa menggunakan standar-standar tertentu dalam keselamatan. Selain itu, banyak armada kapal di Indonesia merupakan kapal bekas yang dibeli dari negara lain. Perawatan kapal-kapal ini juga di bawah standar, umur kapal bekas yang dipakai dalam pelayaran di Indonesia biasanya sangat tua. Sehingga kapal-kapal ini tidak laik berlayar. Kapal-kapal bekas tersebut, di negara asalnya, sebetulnya sudah tidak digunakan sebagai salah satu moda transportasi laut. Sebab kedua adalah operasional armada, baik aspek kapal maupun aspek muatan. Problem ini adalah problem yang muncul karena lemahnya pengawasan standar keselamatan pelayaran yang akhirnya mengakibatkan masalah kelebihan beban atau muatan berbahaya yang tidak dilaporkan.

168

2.1 Permasalahan dan Upaya Penanganan a. Sumber Daya Awak Kapal Sekalipun kondisi kapal prima, namun bila tidak dioperasikan oleh personal yang cakap dalam melayarkan kapal, dan memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan dan kode serta petunjuk yang terkait dengan pelayaran maka kinerjanya pun tidak akan optimal. Bagaimanapun modernnya suatu kapal yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan otomatis, namun bila tidak didukung dengan sumber daya awak kapal pastilah akan sia-sia. Selain para awak kapal harus memiliki kemampuan untuk menyiapkan kapalnya, mereka juga harus mampu melayarkan kapal secara aman sampai di tempat tujuan. Awak kapal, terutama Nakhoda dan para perwiranya harus memenuhi kriteria untuk dapat diwenangkan memangku jabatan tertentu di atas kapal. Karenanya, mereka harus mengikuti pendidikan formal lebih dahulu sebelum diberi ijazah kepelautan yang memungkinkan mereka bertugas di kapal. Awak kapal yang tahu dan sadar akan tugastugasnya akan sangat menguntungkan bagi perusahaan. Jika mesin kapal terawat, maka umur kapal dapat lebih panjang, ini berarti nilai depresiasi/susutan dapat diperkecil. b. Keselamatan dan Kelaikan Kapal Indonesia merupakan Benua Maritim yang memiliki keunikan tersendiri dalam sistem transportasi laut, namun demikian dari aspek teknik dan ekonomi, perlu dikaji lebih mendalam, karena umur armada kapal saat ini banyak yang sudah tua, sehingga dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan yang tidak terduga, dan dapat mempengaruhi keselamatan kapal. Kondisi kapal harus memenuhi persyaratan material, konstruksi bangunan, permesinan, dan pelistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan radio/elektronika kapal dan dibuktikan dengan sertifikat, tentunya hal ini setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian. Kapal yang kondisinya prima, dan sesuai dengan ketentuan perundangundangan, serta dinyatakan laik laut, akan lebih aman menyeberangkan orang dan barang, sebaliknya kapal yang diragukan kondisinya cenderung menemui hambatan saat dalam pelayaran. Jika kapal mengalami kerusakan saat di perjalanan akan memerlukan biaya tambahan seperti biaya eksploitasi yang disebabkan terjadinya delay. Tentu bukan hal yang mudah untuk mempertahankan kondisi kapal yang memenuhi persyaratan dan keselamatan, pencegahan pencemaran laut, pengawasan pemuatan, kesehatan, dan kesejahteraan ABK, karena ini semua memerlukan modal yang cukup besar. Disamping itu, usaha-usaha bisnis pelayaran ini juga memerlukan kerjasama dan bantuan penuh dari pihak galangan kapal, sedangkan kondisi galangan kapal saat ini juga dihadapkan pada kelesuan. Oleh karena itu, sentuhan tangan pemerintah beserta perangkat kebijakannya sangat diharapkan, terutama aspek permodalan dan penciptaan iklim usaha yang kondusif, sehingga para pengusaha pelayaran dan perkapalan dapat melaksanakan rahabilitasi, replacement maupun perluasan armada kapal.

169

c. Sarana Penunjang Pelayaran Selain faktor teknis kapal dan sumber daya awak kapal, Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP) juga unsur yang sangat penting dalam keselamatan pelayaran. Sarana ini terdiri dari rambu-rambu laut yang berfungsi sebagai sarana penuntun bagi kapalkapal yang sedang berlayar, agar terhindar dari bahaya-bahaya navigasi. Station Radio Pantai juga berguna sebagai sarana bantu navigasi pelayaran untuk memungkinkan kapal-kapal melakukan pelayaran ekonomis, sebab tanpa instrument ini kapal harus melakukan pelayaran “memutar” guna menghindari bahaya navigasi. d. Faktor Penyebab Kecelakaan Kecelakaan yang terjadi di laut, sungai, danau, dan penyeberangan yang sampai ke Mahkamah Pelayaran lebih disebabkan oleh faktor kesalahan manusia, dan hanya sedikit kejadian kecelakaan di perairan yang disebabkan oleh faktor alam Sebagai gambaran perbandingan antara kecelakaan diperairan yang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia dan faktor alam dapat dilihat pada Gambar 1.

FAKTOR KECELAKAAN Faktor Manusia

Faktor Alam

Faktor Lainnya

11% 24% 65%

Gambar 1. Faktor Penyebab Kecelakaan Berdasarkan Putusan Mahkamah Pelayaran f. Data Kecelakaan Transportasi Laut Tahun 2005-2010 Tabel 2 Jumlah Kecelakaan Kapal Berdasarkan Hasil Putusan Mahkamah Pelayaran 2005

2006

2007

2008

2009

2010

Kejadian

7

12

9

13

11

4

Kejadian

10

9

4

15

9

2

Kandas / Grounded

Kejadian

5

5

5

2

3

6

Terbakar / Fired

Kejadian

5

6

9

4

5

5

Lainnya / Others

Kejadian

2

6

5

1

5

2

Jumlah

Kejadian

29

38

32

35

33

19

No

Uraian Jenis Kecelakaan

1

Tenggelam / Sunk

2

Tubrukan / Collision

3 4 5

Satuan

Sumber/ source : Mahkamah Pelayaran, Setjen , Kemenhub / Marine Court, Secretary General, Ministry of Transportation

170

JUMLAH 40 35 Tenggelam/ Sunk

30

Tubrukan/ Collision

25

Kandas/ Grounded

20

Terbakar/ Fired

15

Lainnya/ Others

10

Jumlah/ Total

5 0 2005

2006

2007

2008

2009

TAHUN

2010

Gambar 2 Jumlah Kecelakaan Kapal Berdasarkan Hasil Putusan Mahkamah Pelayaran Tabel 3. Jumlah Korban Jiwa Berdasarkan Hasil Putusan Mahkamah Pelayaran

No

Uraian

Satuan

2005

2006

2007

2008

2009

2010

1

Jenis Korban Luka - luka / Injure

Orang

9

0

1

0

15

1

2

Hilang / Missing

Orang

145

146

363

16

223

0

3

Meninggal / Death

Orang

32

43

136

43

59

44

Orang

186

189

500

59

297

45

Jumlah

Sumber/ source : Mahkamah Pelayaran, Setjen , Kemenhub / Marine Court, Secretary General, Ministry of Transportation

ORANG

400 350 300 250 200 150 100 50 0

Luka-luka/ Injure Hilang/ Missing Meninggal/ Death

2005

2006

2007

2008

2009

2010

TAHUN

Gambar 3 Jumlah Korban Jiwa Berdasarkan Hasil Putusan Mahkamah Pelayaran

171

Tabel 4 Jumlah Putusan Mahkamah Pelayaran Menurut Faktor Kecelakaan Kapal No

Satuan

2005

2006

2007

2008

2009

2010

1

Uraian Faktor Kecelakaan Faktor Manusia / Human Error Factor

Kejadian

16

20

19

22

20

13

2

Faktor Alam / Force Majeur Factor

Kejadian

6

12

8

10

7

1

3

Faktor Lainnya / Others Factor

Kejadian

Jumlah / Number of Accident

7

6

5

3

6

5

29

38

32

35

33

19

Sumber/ source : Mahkamah Pelayaran, Setjen , Kemenhub / Marine Court, Secretary General, Ministry of Transportation

KEJADIAN 25 20

Faktor Manusia (Human Error Factor)

15

Faktor Alam (Force Majeur Factor)

10

Faktor Lainnya (Others Factor)

5 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010

TAHUN

Gambar 4 Jumlah Putusan Mahkamah Pelayaran Menurut Faktor Kecelakaan Kapal 3. KESIMPULAN a.

Jumlah kecelakaan kapal pelayaran di Indonesia cukup memprihatinkan, terutama selama periode 2005-2010, dengan terjadinya 185 kasus kecelakaan. Pada tahun 2005 tercatat 29 peristiwa kecelakaan, tahun 2006: 38 kecelakaan, 2007: 32 kecelakaan, 2008: 35 kecelakaan, 2009: 32 kecelakaan dan pada tahun 2010 terjadi 19 kasus kecelakaan, rata-rata kecelakaan selama 6 tahun terakhir adalah 30,83%. Jenis kecelakaan yang terjadi rata-rata selama 6 tahun (2005-2010) adalah tenggelam (30%), tubrukan (26%), kandas (14%), kebakaran (17%) dan lainnya (13%). Sedangkan penyebab kecelakaan kapal adalah 65% human error, 24% kesalahan teknis, 11% karena kondisi lainnya.

b. Tingginya kasus kecelakaan laut di Indonesia saat ini harus menjadi perhatian seluruh pihak, bukan hanya pemilik kapal tetapi juga pemerintah, instansi terkait dan masyarakat yang harus lebih aktif dalam memberikan informasi. Dari hasil pengamatan, penyebab utama kecelakaan laut adalah karena faktor kelebihan angkutan dari daya angkut yang ditetapkan, baik itu angkutan barang maupun orang. Bahkan

172

tidak jarang pemakai jasa pelayaran memaksakan diri naik kapal meskipun kapal sudah penuh dengan tekad asal dapat tempat di atas kapal. c. Upaya-Upaya Menekan Terjadinya kecelakaan kapal adalah sebagai berikut : 1) Peningkatan pemeriksaan daya muat kapal sehingga kapal tidak berlayar dengan muatan yang melebihi kapasitas daya angkut 2) Peningkatan pelaksanaan uji petik terhadap kapal 3) Pengaktifan pemantauan dan monitoring kapal melalui radio pantai 4) Peningkatan patroli laut di kawasan yang rawan kecelakaan 5) Peningkatan latihan dan simulasi kondisi emergency secara berkala di atas kapal 6) Penyuluhan keselamatan pelayaran kepada stakeholder dan masyarakat pengguna jasa 7) Peningkatan kampanye keselamatan pelayaran 4. SARAN a. Perlunya diadakan pencanangan gerakan sadar keselamatan pelayaran nasional serta menanamkan budaya keselamatan (safety culture) di lingkungan masyarakat Indonesia khususnya di bidang maritim. b. Pemerintah perlu terus didorong untuk mengadakan penelitian dan pengembangan dalam aspek keteknikan, manajemen, pemeliharaan kapal, dan strategi pengusahaan agar kemampuan para operator dapat ditingkatkan dan kondisi keuangannya pun dapat disehatkan. DAFTAR PUSTAKA Abrahamson, B.J. 1980. International Ocean Shipping: Current Concepts and Principles, West view Press, Inc. Boulder, Colorado. ILO Convention No. 147 year 1976 & No. 185 year 2008. Load Line Convention 1966. Loudon, David L. Della, Bitta and Albert, J., Consumer Behavior, Fourth Edition , Mc Graw-Hill, Inc, New York, 1993. Marine Protocol 1973/1978. PT Trans Asia Konsultan, 2009. Laporan Analisis Tren Kecelakaan Laut. Papacotas, C.S. and Prevendouros, P.D. 1993.Transportation Engineering and Planning, 2nd ed. Prentice Hall, New Jersey. STCW 1978 amendment 1985. The Safety of Live At Sea (SOLAS) Convention , 1974. Tonnage Measurement, 1966.

173

174

175

*

176