2337-7976
1
2
PROSIDING SEMINAR HASIL PENELITIAN SEMESTER GANJIL 2012/2013 UNIVERSITAS DARMA PERSADA
Pelindung
: Rektor Universitas Darma Persada
Penangung Jawab
: Wakil Rektor I
Pimpinan Redaksi
: Kepala Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan
Anggota Redaksi
: Prof.Dr. Kamaruddin Abdullah, IPU. Dr. Aep Saepul Uyun, M.Eng. Dra. Irna N. Djajadiningrat, M.Hum.
Alamat Redaksi
: Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Universitas Darma Persada Jl. Radin Inten II (Terusan Casablanca) Pondok Kelapa - Jakarta Timur (14350) Telp. (021) 8649051, 8649053, 8649057 Fax.(021) 8649052 E-Mail :
[email protected] Home page : http://www.unsada.ac.id
3
4
DAFTAR ISI Daftar Isi
i
Kata Pengantar
ii
Onomotope Cerita Anak dalam Bahasa Mandarin Yulie Neila Chandra Metode Pengajaran Kolaboratif dalam Pengajaran bahasa Inggris : Suatu Studi Kepustakaan Rusydi M. Yusuf
1–8
9 - 17
Feminisme dalam Sepuluh Puisi Emily Dickinson Agustinus Haryana
18 – 26
Konflik Nilai Budaya Menggeser Konsep Ketuhanan dalam Bless me, Ultima karya Rudolfo A. Anaya Albertine Minderop
27 – 33
Pentingnya Mencermati Selt-Instruction dalam Pembelajaran Bahasa Asing : Studi Kasus Pengajaran Menyimak Apriliya Dwi P., SS, M.Hum.
34 – 40
Orang Cina di Indonesia Bukan Cina juga Bukan Indonesia C. Dewi Hartati
41 – 48
Metode Pengajaran HSK terhadap tingkat Kelulusan Test HSK Tingkat 4 Febi Nur Biduri, SS, M.Hum.
49 – 55
Analisis Kesalahan-kesalahan dalam Kasus Kebahasaan Fridolini
56 – 64
The Relation Between Pragmatic Competence and Organizational Competence Irna N. Djajadiningrat
65 – 71
The Study of Values in the world Novel of Mysterious Stranger by Mark Twain Karina Adinda
72 – 85
Hubungan antara Kompetensi Pemahaman Struktur Gramatikal (Syntactical Structure) dan Kompetensi Produksi Kalimat Bahasa Inggris pada Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris di UNSADA Kurnia Idawati
Penerapan Metode-metode Membaca untuk Meningkatkan Pemahaman Teks Berbahasa Inggris pada Murid kelas 1 SD di Sekolah Internasional (sebuah studi eksperimen) Swany Chiakrawati
i
86 -117
118 -122
Penyaduran Buku Ajar Teori Terjemahan Tommy Andrian
123 – 131
Sebaran Emisi Gas Buang Kapal di Selat Madura Akibat Aktifitas Pelayaran Moh. Danil Arifin
132 – 139
Kajian Konstruksi Fiberglass sebagai Laminasi pada Lambung Kapal Boat sesuai Standar Shahrin Febrian
140 – 148
Rancang Bangun Airboat sebagai Alat Angkut Penanggulangan Bencana Arif Fadillah
149 – 160
Rancang Bangun Prototipe Kapal Remotely Operated Vehicle (ROV) untuk Inspeksi Pekerjaan Bawah Air Augustinus Pusaka
161 – 169
Kualitas Pelayanan dan Produktifitas Terminal Petikemas di Jakarta Fanny Octaviani
170 - 177
Analisis Kecelakaan Transportasi Laut tahun 2005-2010 di Indonesia (lanjutan) Danny Faturachman
178 - 185
Pengaruh Variabel Internal dan Ekternal Terhadap Keputusan Membeli Mobil Xenia (Studi Kasus : Pengguna Mobil Xenia di CBD-Ciledug ) Sukardi
186 – 195
Pengaruh Mutasi Kerja terhadap Kinerja Karyawan Administrasi UNSADA Endang Tri Pujiastuti
196 – 204
Analisis Pembiayaan Capital Operating Lease atau Operating Lease dan Dampak Pelaporan Akuntansi bagi Perusahaan Jombrik
205 - 223
ii
KATA PENGANTAR Seminar dengan tema “Meningkatkan Mutu dan Profesionalisme Dosen melalui Penelitian” dilaksanakan pada tanggal 5 Maret 2013 di Universitas Darma Persada, bertujuan untuk menghimpun hasil penelitian dosen yang diharapkan dapat menghasilkan inovasi teknologi tepat guna, menyampaikan hasil penelitian kepada khalayak dan antara peneliti/dosen. Prosiding ini disusun untuk mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil seminar pada semester ganjil tahun akademik 2012/2013. Pada prosiding kali ini dimuat dua puluh makalah dengan rincian sebagai berikut : empat belas makalah dari bidang Humaniora, empat makalah dari bidang Teknologi Kelautan dan dua makalah dari bidang Ekonomi-Manajemen. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih kepada para penyaji dan penulis makalah, penyunting serta panitia yang telah bekerja sama sehingga prosiding ini dapat diterbitkan. Kami berharap prosiding ini bermanfaat bagi pihak–pihak yang berkepentingan.
Jakarta, 5 Maret 2013 Lembaga Penelitian, Pemberdayaan Masyarakat dan Kemitraan Ketua Ttd. Dra. Irna N. Djajadiningrat, M.Hum.
iii
iv
ONOMATOPE DALAM CERITA ANAK-ANAK BAHASA MANDARIN Yulie Neila Chandra, Gustini Wijayanti Program Studi sastra Cina, Fakultas sastra
[email protected] ABSTRAK 象声词 Xiangshengci ‘Onomatope’ adalah kata tiruan bunyi, baik bunyi benda bernyawa maupun benda takbernyawa, seperti suara hewan, gerak perbuatan manusia, benda-benda alam, dan sebagainya. Onomatope banyak muncul di dalam cerita-cerita anak-anak dan remaja. Data yang berasal dari cerita anak-anak tersebut dianalisis menggunakan metode kajian padan dan distribusional. Onomatope dalam Bahasa Mandarin ada yang berpola tetap dan berpola tidak tetap. Onomatope yang berpola tetap umumnya berbentuk bisilabis reduplikasi. Bentuk tulis dan bunyi yang diwakilinya lebih ajek. Sebaliknya, onomatope yang berpola tidak tetap sebagian besar berasal dari ciptaan pengarang/penulis. Bentuk bunyi dan tulisannya tidak terlalu ajek. Karena itu, ruang lingkup penggunaannya lebih luas. Onomatope juga dapat berbentuk lebih dari dua silabel yang berbeda. Sebagian besar onomatope memiliki radikal 口kou ‘mulut’. Bentuk (汉字Hanzi) yang berbeda dapat merepresentasikan bunyi yang sama. Pada umumnya, onomatope berdiri sendiri membentuk klausa atau kalimat, yakni di depan suatu kalimat lain sehingga fungsinya seperti interjeksi. Onomatope dalam Bahasa Mandarin dapat menduduki berbagai fungsi sintaktis, namun yang utama adalah keterangan (adverbial) (状语) dan pewatas (atributif) ( 定语). Onomatope bahasa Mandarin bersifat fonosimbolis (simbolisme bunyi), dan berunsur ikonis. Padanan maknanya dalam bahasa Indonesia seringkali menggunakan verba yang menunjukkan bunyi suatu benda, gerak, atau perbuatan. KataKunci:Onomatope, fonosimbolis, ikonis, keterangan, pewatas 1
PENDAHULUAN
Dunia anak-anak penuh dengan keceriaan. Keceriaan itu berkelindan dengan sebuah kata, yakni bermain. Ketika belajar, mereka ingin tetap dapat bermain. Karena itu, metode pemelajaran yang tepat adalah dengan menggunakan model permainan, tidak terkecuali dalam pemelajaran bahasa. Hal tersebut bertujuan agar anak-anak tidak merasa jenuh belajar sehingga mereka tetap semangat dan tidak kehilangan keceriaannya. Anak-anak lebih tertarik pada permainan-permainan yang mendukung pemelajaran, seperti menyanyi, menari, menggambar, mendengarkan cerita, dan berbagai permainan lain misalnya permainan menyusun huruf, permainan kata, ataupun permainan menirukan suara atau bunyi. Dalam hal menirukan suara, anak-anak diharapkan dapat belajar mengenal lingkungannya dengan baik. Dalam Kamus Linguistik (1993:149), dijelaskan bahwa onomatope adalah suatu penamaan benda atau perbuatan dengan peniruan bunyi yang diasosiasikan dengan benda atau perbuatan itu, misalnya kokok (tiruan bunyi ayam), cicit (tiruan bunyi tikus), dan sebagainya. Istilah onomatope di dalam Bahasa Mandarin cukup banyak, yaitu 象声词 xiàngshēngcí,拟声词 nĭshēngcí,摹声词 móshēngcí,摹写 móxiĕ,atau 装声词 zhuāngshēngcí (Chen Xinxiong et.al, 1989/2005). Beberapa istilah tersebut secara umum 1
merujuk pada hal yang sama, yakni kata tiruan bunyi, seperti ‘bunyi angin bertiup’ 呼呼 hū hū, ‘bunyi air mengalir’ 哗哗 huā huā, ‘bunyi bel atau dentingan benda yang terbuat dari logam atau keramik’ 叮当 dīngdāng, ‘suara bebek’嘎嘎 gā gā, dan lain-lain. Pada umumnya onomatope berbentuk reduplikasi, dengan dua silabel (bisilabis). Namun, ada juga yang tidak berbentuk reduplikasi, melainkan menyerupai interjeksi (kata seru), seperti 喔 wō ‘kokok ayam jantan’, 砰 pēng ‘suara benturan’. Bentuk-bentuk tersebut sangat unik. Apabila diperhatikan bentuk pada karakter Han-nya, kebanyakan onomatope memiliki radikal 口kŏu ‘mulut’. Hal itu setidaknya membuktikan bahwa kata tersebut mengandung suatu bunyi atau suara yang dikeluarkan melalui mulut. Akan tetapi, pada kata 砰 pēng tidak ditemukan radikal 口kŏu, melainkan 石 shí ‘batu’. Onomatope merupakan satu di antara kelas kata Bahasa Mandarin yang termasuk di dalam kelompok 虚词 xúcí ‘function words’, yakni kata yang memiliki makna gramatikal. Karena itu, onomatope Bahasa Mandarin bergantung pada konteks kalimat, demikian pula dengan padanannya bila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Contoh: 喔!喔!喔!公鸡在叫了! Wō! Wō! Wō! Gōngjī zài jiào le! (suara kokok ayam) ayam jantan (Adv) berteriak (PA) ‘ Kukuruyuk! Ayam jantan berkokok!’ (Chen Xinxiong et.al, 1989/2005:181) 2
PERUMUSAN MASALAH
Bagaimana bentuk dan makna onomatope dalam Bahasa Mandarin, khususnya di dalam cerita anak-anak, yakni mencakup morfologis, bentuk karakter Han (汉字 Hanzi), struktur dan fungsi sintaktisnya di dalam kalimat. Telaah mengenai maknanya meliputi padanannya di dalam Bahasa Indonesia sehingga dapat memperlihatkan onomatope Bahasa Mandarin bersifat fonosimbolis atau simbolisme bunyi, serta menunjukkan onomatope Bahasa Mandarin ada yang berunsur ikonis, dan ada yang tidak. 3
TINJAUAN PUSTAKA
Ferdinand De Saussure (1973/1993) mengemukakan bahwa setiap lambang bahasa terdiri atas dua komponen, yaitu signifian ‘penanda’ yang umumnya diwujudkan dalam runtunan fonem atau bunyi; dan signifié ‘petanda’ yang berwujud psikis. Menurut Saussure, makna ialah hubungan antara petanda dan penanda yang terikat konvensi dan bersifat semena. Namun, pilihan penanda tidak selalu semena seperti di dalam onomatope. Onomatope tidak pernah merupakan unsur-unsur organis di dalam suatu sistem bahasa. Menurut David Crystal (1992), onomatope dapat disebut sound symbolism. Simbolisme bunyi ini merupakan pengacuan langsung antara bentuk dan makna di dalam bahasa. Hal tersebut terjadi apabila bunyi fonetik dapat mencerminkan bunyi yang ada di dalam dunia luar bahasa. Li Dejin dan Cheng Meizhen (1988:150) mengungkapkan karakteristik onomatope secara umum, yakni (1) onomatope tidak memiliki makna konkret; (2) onomatope dapat dirangkai dengan nomina atau verba; dan (3) onomatope dapat muncul bersama frasa numeralia
2
penggolong. Selain itu, kedua ahli pembelajaran Bahasa Mandarin tersebut juga mengemukakan tiga fungsi onomatope di dalam kalimat, yaitu (1) onomatope dapat berdiri sendiri atau lepas dari kalimat; (2) onomatope dapat berfungsi sebagai keterangan (adverbial); dan (3)onomatope dapat berfungsi sebagai pewatas (atributif). Fang Yujing (1992) juga memaparkan fungsi sintaktis onomatope. Ia mengungkapkan bahwa onomatope memiliki sifat mirip dengan interjeksi, yakni dapat berdiri sendiri dalam suatu klausa. Fungsi onomatope pun kadang-kadang mendekati verba atau adjektiva. Maksudnya, memiliki sifat-sifat seperti verba atau adjektiva. Contoh: 3.1
敌机在天上嗡嗡着。 Díjī zài tiān shàng wēng wēng zhe. Pesawat musuh di langit atas (bunyi pesawat) PA ‘Pesawat musuh berdengung di angkasa.’
Selanjutnya, kajian yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Liu Yuehua, Pan Wenyu, dan Gu Wei (2001:433-438). Mereka mengemukakan bahwa onomatope adalah kata yang menggunakan fonetis untuk menirukan bunyi benda atau alam. Berdasarkan penggunaannya, bentuk onomatope terdiri atas dua jenis, yaitu bentuk pola tetap dan pola tidak tetap. Pada umumnya, yang berbentuk pola tetap berasal dari zaman kuno, dan berbentukbisilabis reduplikasi. Penggunaannya dapat dikatakan langka, dan kebanyakan digunakan dalam ragam tulis. Misalnya, 琅琅 láng láng ‘suara lantang’, 淙淙 cóng cóng ‘bunyi seperti air berdesir-desir’. Sebaliknya, yang berbentuk pola tidak tetap umumnya berasal dari tuturan orang menirukan bunyi atau suara. Bentuk fonetisnya juga tidak tetap. Penggunaannya pun lebih luas daripada bentuk yang pertama. Contoh: 忽听得”咚咚咚” 有人敲门。 Hū tīng de “dōng dōng dōng” yŏu rén qiāo mén. Tiba-tiba dengar (PS) (bunyi ketukan) ada orang mengetuk pintu ‘Tiba-tiba terdengar “tok-tok-tok” ada orang mengetuk pintu.’ Liu Yuehua, Pan Wenyu, dan Gu Wei (2001:435-436) juga melengkapi kajiannya dengan memaparkan beberapa fungsi sintaktis yang dapat diduduki oleh onomatope. Fungsi tersebut, yakni sebagai 3.2
3.3
3.4
3.5
Keterangan, contoh: 3.3.1 许多战士冷得嘴唇发白,牙齿嗒嗒地响。 Xŭduō zhànshì lĕng de zuĭchún fābái, yáchĭ tà tà de xiăng. Banyak prajurit dingin (PS) bibir, gigi (suara gemertak) (PS) berbunyi. ‘Banyak prajurit kedinginan hingga bibir memucat dan gigi bergemertak.’ Pewatas atau atributif, contoh: 3.4.1 石洞里传来”咕咚咕咚” 的脚步响。 Shídòng li chuán lái “gūdōng-gūdōng” de jiăobù xiăng. Batu gua dalam memanggil datang (suara berderap/berdebur) (PS) langkah berbunyi. ‘Di dalam gua batu terdengar suara derap langkah kaki.’ Predikat, contoh: 3.5.1 她们轻轻划着船,船两边的水 哗,哗,哗。 Tāmen qīngqing huázhe chuán, chuán liăng bian de shuĭ huā,huā,huā.
3
Mereka perlahan-lahan mendayung (PA) perahu, perahu dua sisi (PS) air (bunyi air) ‘Mereka mendayung perahu perlahan-lahan, air di kedua sisi perahu bergemercakan.’ 3.6
Komplemen, contoh: 3.6.1 小胖见奶奶锁上门走了,急得嗷嗷的。 Xiăopàng jiàn năinai suŏ shang mén zŏu le, jí de áo áo de. (N-O) melihat nenek mengunci (Komp) pintu pergi (PA), cemas (PS) (suara teriakan/rintihan) ‘Xiaopang melihat nenek mengunci pintu lalu pergi, karena cemas ia berteriak-teriak.’ Selain empat fungsi tersebut, onomatope juga dapat berfungsi sebagai subjek di dalam kalimat, namun pemakaiannya sangat jarang, dan pada umumnya menjadi unsur inti dari subjek. 3.7
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian mengenai onomatope ini bertujuan untuk memahami seluk-beluk onomatope, khususnya di dalam cerita anak-anak, yang mencakup bentuk dan makna berbagai kata yang termasuk onomatope sehingga didapat kaidah yang jelas. Kajian bentuk onomatope juga meliputi bentuk karakter/huruf Han; struktur kalimat termasuk fungsi sintaktis; dan juga segi maknanya, yakni padanannya di dalam Bahasa Indonesia. 3.8
MANFAAT HASIL PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan pemahaman mengenai onomatope dalam Bahasa Mandarin, khususnya kepada para pemelajar Bahasa Mandarin di tingkat dan usia berapapun. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan di bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik Bahasa Mandarin, yang belum begitu banyak diteliti di Indonesia. 4
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode induktif. Karena itu, penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yakni pengumpulan data dan pengamatan data; analisis data dengan menggunakan dua metode, yaitu metode analisis padan dan distribusional; serta penyajian data. 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Telaah mengenai onomatope Bahasa Mandarin ini diawali dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasi data berdasarkan bentuknya, yaitu bentuk karakter atau huruf Han-nya. Bentuk onomatope Bahasa Mandarin ada yang berpola tetap dan berpola tidak tetap. Onomatope yang berpola tetap lebih sedikit penggunaannya dari pada onomatope yang berpola tidak tetap. Bahkan dapat dikatakan sudah langka penggunaannya. Pada umumnya, onomatope yang berpola tetap berbentuk reduplikasi dengan bisilabis, yang berpola AA. Bentuk tulis dan bunyi yang diwakilinya lebih ajek. Contoh: 5.1.1 风萧萧兮易水寒。 Fēng xiāo xiāo xī yì shuĭ hán.
4
Angin (suara angin) sama dengan ganti air dingin ‘Angin berdesir-desir bagaikan air dingin.’ Onomatope pada contoh (14) di atas, menunjukkan pola tetap dengan reduplikasi bisilabis AA. Sebaliknya, onomatope yang berpola tidak tetap sebagian besar berasal dari ciptaan pengarang/penulis. Bentuk bunyi dan tulisannya tidak terlalu ajek. Namun, onomatope yang berpola tidak tetap pada umumnya juga berbentuk bisilabis, dengan pola AA, ada yang merupakan reduplikasi ada pula yang bukan reduplikasi. Contoh onomatope yang berpola tidak tetap di dalam kalimat: 5.1.2 那只猫开始咪咪地叫, .... Nà zhī māo kāishĭ mī mī de jiào, .... Itu (KP) kucing mulai (suara kucing) (PS) memanggil, .... ‘Kucing itu mulai berteriak meong-meong, ....’ 5.1.3 猫狗都扑通扑通 地跑过来, .... Māo gŏu dōu pūtōng pūtōng păo guòlai, .... Kucing anjing semua (suara benda berat jatuh) (PS) berlari datang, .... ‘Kucing dan anjing semua berlari gedebak-gedebuk menuju kemari, ....’ Bentuk onomatope pada contoh (15) menyerupai onomatope yang berpola tetap, yakni reduplikasi bisilabis AA; sedangkan contoh (16) berbentuk bisilabis, dengan reduplikasi berpola ABAB. Onomatope yang berbentuk monosilabis lebih sering digunakan secara mandiri membentuk klausa atau kalimat, sifatnya menyerupai interjeksi (kata seru). Karena itu, letaknya kebanyakan di depan kalimat. Penggunaannya juga langka. Contoh: 5.1.4 嗄!猫忽然停住了脚步耳朵高高地竖起来, .... Shà! Māo hūrán tíng zhù le jiăobù ĕrduo gāogao de shù qĭlai, .... (Suara itik/katak/kuak-kuak)! Kucing tiba-tiba berhenti (Komp) (PA) langkah telinga (PS) tegak lurus berdiri, ....’ ‘Kuak! Sekonyong-konyong kucing berhenti di tempat, telinganya berdiri, ....’ Bentuk karakter Han onomatope yang berpola tidak tetap pada umumnya memiliki radikal 口kŏu ‘mulut’ dengan tona/ton/tone tinggi mendatar (tona pertama). Contoh: 哈哈 hā hā, 呵呵 hē hē, 嘻嘻xī xī ‘suara tawa’, 哗啦 huālā ‘gemeresak’, 啪啪 pā pā ‘door/bunyi letupan’, 唰 shuā ‘gemerisik’,嘎嘎 gā gā ‘suara bebek (kwek-kwek)’, 咕噜gūlu ‘bunyi air mengalir/benda menggelinding atau bunyi keruyuk-keruyuk/geluduk-geluduk’, 唰shuā ‘bunyi gemerisik’ (seperti bunyi gesekan/bunyi kertas/kantong plastik), dan sebagainya. Sebaliknya, yang tidak memiliki radikal口kŏu ‘mulut’ contohnya:轰隆hōnglōng ‘bergemuruh/ berderu’, 扑通 pūtōng ‘plung/suara benda jatuh ke dalam air’, 砰pēng ‘brak/suara benturan’, dan sebagainya. Onomatope yang tidak memiliki radikal 口 kŏu, dibentuk oleh unsur-unsur yang kadang dapat mewakili bunyinya, seperti radikal 石shí ‘batu’ untuk merujuk pada bunyi yang keras, misalnya pada kata 砰pēng ‘bunyi benturan atau jatuh’; radikal 车chē ‘kendaraan/mobil’ juga untuk merujuk pada bunyi yang keras, misalnya pada kata 轰hōng ‘bunyi bom meledak atau guntur menggelegar’; dan lain-lain. Onomatope yang tidak memiliki radikal 口kŏu jumlah pemakaiannya tidak sebanyak onomatope yang dibentuk oleh radikal 口kŏu.
5
Beberapa onomatope dibentuk oleh kombinasi karakter yang memiliki radikal口kŏu dan yang tidak, baik pada silabel pertama maupun kedua. Selain itu, beberapa onomatope juga dibentuk oleh lebih dari dua silabel yang berbeda, yang di antaranya juga terdapat bentuk reduplikasi, seperti 唧唧喳jījīzhā ‘bunyi hewan/serangga’, 噼里叭啦pīli bālā ‘bunyi retak/pukulan/ letusan’. Penggunaan onomatope di dalam kalimat, umumnya berdiri sendiri sehingga strukturnya menyerupai interjeksi, yakni berada di awal kalimat. Contoh: 5.1.5 嘎!嘎!跟我一块儿来吧。 Gā! Gā! Gēn wŏ yíkuàir lái ba. Kwek! Kwek! (Suara bebek) dengan saya bersama-sama datang (PM). ‘Kwek! Kwek! Ayo datang bersama-sama saya.’ 5.1.6 噼啪!天空中发出一阵响声。 Pīpā! Tiānkōng zhōng fāchū yízhèn xiăngshēng. Cetar (bunyi ledakan/cambuk)! Angkasa tengah mengeluarkan satu (KP) bunyi. ‘Cetar! Terdengar bunyi di angkasa.’ Contoh-contoh kalimat di atas memperlihatkan bentuk onomatope yang beragam meski letaknya sama, yakni mendahului kalimat. Struktur tersebut menyerupai interjeksi (kata seru) yang pada umumnya terletak di depan kalimat. Tiruan bunyi yang sama dapat menggunakan bentuk karakter/huruf Han yang berbeda. Tiruan suara bebek, itik, atau katak dapat menggunakan 嘎gā atau 呷 gā. Selain itu, penulis ini juga menemukan onomatope 呱guā untuk tiruan suara bebek, itik, katak, dan juga kucing. Tiruan suara kucing pun dapat menggunakan 咪mī. Tiruan suara anjing dapat menggunakan 咕gū atau 呼hū. Kata呼hū ini juga dapat digunakan sebagai tiruan bunyi angin atau napas. Tiruan suara burung dapat menggunakan 叽jī, 唧jī, atau 唧唧啾啾jī jī jiū jiū. Hal tersebut menunjukkan sifat fonosimbolis atau simbolisme bunyi pada onomatope. Selain itu, pada umumnya onomatope dalam Bahasa Mandarin menduduki fungsi sintaktis sebagai keterangan (adverbial) dan pewatas (atributif). Strukturnya pun memperlihatkan pola-pola yang secara umum sama. Pola kalimat dengan onomatope yang berfungsi sebagai keterangan (adverbial): Subjek (主语) + Onomatope (Keterangan) (状语)+ Partikel Struktural 地 de + Verba (Predikat) (谓语), atau Subjek (主语)+ Onomatope (Keterangan) (状语) + Verba (Predikat) (谓语) Pola yang disebutkan pertama lebih banyak digunakan dari pada pola kedua. Contoh: 5.1.7 那只猫开始咪咪地叫,那只母鸡也格格地喊起来。 Nà zhī māo kāishĭ mī mī de jiào, nà zhī mŭjī yĕ gē gē de hăn qĭlai. Itu (KP) kucing mulai meong meong (suara kucing) (PS) memanggil, itu (KP) induk ayam juga petok petok (PS) berteriak (KOMP) ‘Kucing itu mulai berteriak meong-meong, induk ayam itu juga mulai berteriak petok-petok.’
6
Pola kalimat dengan onomatope yang berfungsi sebagai pewatas (atributif): Onomatope (pewatas) (定语) + (Partikel Struktural的 de) + 一声yīshēng (kata inti/pusat) Makna frasa一声yīshēng yang menduduki posisi inti ini mengacu pada suatu bunyi/suara yang hanya berbunyi sesaat sehingga onomatope di depannya menjadi pewatas. Contoh: 5.1.8 突然,嘶的一声,它的发条断了。 Tūrán, sī de yìshēng, tā de fātiáo duàn le. Tiba-tiba cis (suara desis) (PS) satu bunyi, ia (benda/binatang) (PS) per putus (PA). ‘Tiba-tiba bunyi berdesis, pernya putus.’ Selain berfungsi sebagai keterangan dan pewatas, onomatope juga dapat menduduki fungsi predikat, komplemen, bahkan subjek, namun sangat jarang ditemukan. Padanan makna suatu onomatope seringkali menggunakan verba tertentu yang menunjukkan bunyi suatu benda, gerak, atau perbuatan. Misalnya, bunyi air dipadankan dengan verba bergemericik, bergemerecak, atau bergerojok; bunyi angin dipadankan dengan verba berdesir, bergemuruh, berderu; bunyi benda dari logam dipadankan dengan verba berdenting; bunyi langkah dipadankan dengan verba berderap; bunyi benda jatuh dipadankan dengan berdentum; bunyi air mendidih dipadankan dengan verba bergelegak; dan lain-lain. Begitu pula dengan onomatope dari benda bernyawa, seperti suara ayam berkokok, anjing menggonggong, burung berkicau, itik atau bebek berkuak, dan sebagainya. Namun demikian, dalam cerita-cerita anak-anak, onomatope seringkali diterjemahkan hanya berdasarkan bunyinya, sesuai bahasa sasarannya. Misalnya, suara kucing dipadankan dengan kata meong; suara anjing dipadankan dengan kata guk; suara suara bebek dipadankan dengan kata kwek; suara burung/tikus dipadankan dengan kata cit; bunyi jam berdetak dipadankan dengan kata tik-tak; bunyi benda jatuh ke dalam air dipadankan dengan kata plung; bunyi bel dipadankan dengan kata tingtong; bunyi senjata seperti senapan/pistol dipadankan dengan kata dor; dan lain-lain. 6
KESIMPULAN
Onomatope banyak digunakan di dalam cerita anak-anak berbahasa Mandarin, khususnya cerita tentang hewan/binatang. Bentuk karakter Han onomatope sangat beragam. Beberapa bentuk (karakter Han) yang berbeda dapat merepresentasikan bunyi yang sama. Pada umumnya, onomatope Bahasa Mandarin menunjukkan fonosimbolis (simbolisme bunyi), dan berunsur ikonis, yakni ditunjukkan dengan penggunaan radikal 口kŏu ‘mulut’ pada bentuk tulisannya. Penggunaan onomatope di dalam kalimat menyerupai penggunaan interjeksi, yaitu dapat berdiri sendiri menjadi kalimat. 7
PUSTAKA ACUAN
Alwi, Hasan, Anton M. Moeliono, Hans Lapoliwa, dan Soenjono Dardjowidjojo. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chen Ru dan Zhang Qiwang. 1989. Gaoji Kouyu. Beijing: Sinolingua. Chen Xinxiong, et.al. 1989/2005. Yuyanxue Cidian. Taipei: Sanmin Shuju. Crystal, David. 1992. Dictionary of Language and Languages. London: Pinguin Books. 7
Cui Zhonglei. 2006. An Tu Sheng Tonghua. Harbin: Heilongjiang Kexue Jishu Chubanshe. De Saussure, Ferdinand. 1973/1993. Cours de Linguitique Générale (terj. Pengantar Linguistik Umum oleh Rahayu S. Hidayat). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fang Yuqing. 1992. Shiyong Hanyu Yufa. Beijing: Beijing Yuyan Xueyuan Chubanshe Guo Zhenhua. 2000. Jianming Hanyu Yufa. Beijing: Sinolingua. He Jiafen. Tuzi Beng Beng Tiao. Shandong; Shandong Huabao Chubanshe. Hu Pan. 1997. Zuo ge Hao Haizi: Shei shi Hao Haizi. Singapura: Shangwu Yinshuguan. Katamba, Francis. 1993. Morphology. London: Macmillan Press. Kridalaksana, Harimurti. 1990. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. ________. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. ________. 1999. Tata Wacana Deskriptif Bahasa Indonesia. Jakarta: FSUI. Li Dejin dan Cheng Meizhen. 1988. Waiguoren Shiyong Hanyu Yufa. Beijing: Sinolingua. Li Xiaoxiang. 2001. Zhonghua Wenhua de Gushi. Singapura: Asiapac Books Pte Ltd. Liu Yuehua, Pan Wenyu, dan Gu Wei. 2001. Shiyong Xiandai Hanyu Yufa. Beijing: Shangwu Yinshuguan. Lu Zhou. 1999. Ne Zha Nao Hai. Jiangsu: Jiangsu Shaonian Ertong Chubanshe. Sun Dejin. 2002. Hanyu Yufa Jiaocheng. Beijing: Beijing Yuyan Daxue Chubanshe. Tan Tionghwat. 2004. Kumpulan Cerita Menarik dalam Bahasa Mandarin: Ani, Hormati Orang Lain. Jakarta: Puspa Swara. ________. 2004. Kumpulan Cerita Menarik dalam Bahasa Mandarin: Dompet Kakek Gao. Jakarta: Puspa Swara. ________. 2004. Kumpulan Cerita Menarik dalam Bahasa Mandarin: Lili tidak Menangis Lagi. Jakarta: Puspa Swara. Wu Peiqi. 1997. Zhonghua Jieri de Gushi. Singapura: Asiapac Books Pte Ltd. Yan Wenjing. 1999. Ertong Wenxue Juan. Beijing: Zuojia Chubanshe. Yang Yingping. 2001. Ertong Xiaohua. Mongolia: Neimenggu Wenhua Chubanshe. Zhang Wu. 2000. Jianming Xiandai Hanyu. Beijing: Zhongyang Guangbo Dianshi Daxue Chubanshe. Zhao Yongxin. 1992. Hanyu Yufa Gaiyao. Beijing: Beijing Yuyan Wenhua Daxue Chubanshe.
DAFTAR SINGKATAN Adv KOMP KP N-O PA PM PS
: Adverbia : Komplemen : Kata Penggolong : Nama Orang : Partikel Aspektual : Partikel Modalitas (Partikel Fatis) : Partikel Struktural
8
MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DALAM PENGAJARAN BAHASA ASING: SUATU STUDI KEPUSTAKAAN Rusydi M. Yusuf Fakultas Sastra/Jurusan Sastra Inggris (
[email protected]//
[email protected]) ABSTRACT Cooperative learning defined as the instructional use of small groups, so the students work together to maximize their own and the other’s learning. Cooperative learning is based on the sosial interdependence on individual interaction within a given situation which, in turn, affects the outcome of that interaction. In cooperative learning, the development of interpersonal skills is as important as the learning itself. The development of sosial skills in group work is a key to high quality group work. Cooperative learning is not having students sit side by side at the same table to talk with each other as they do their individual assignments. Cooperative learning is not assigning a report to a group of students where one student does all the work and the others put their names on the product as well. Cooperative learning involves much more than being physically near other students, discussing material, helping, or sharing material with other students
1.
LATAR BELAKANG
Pada dekade terakhir ini banyak terjadi peristiwa yang menyedihkan, hal ini disebabkan dengan telah terkikisnya rasa humanisme dalam diri hampir setiap orang. Kita dengan mudah sering terpancing emosinya dan akhirnya melakukan tindakan kekerasan atau anarkisme baik secara pribadi maupun secara berkelompok. Kalau kita membaca di media masa atau menonton tayangan berita melalui televisi, begitu banyak dan seringnya peristiwa kekerasan terjadi di negara kita yang melibatkan berbagai kelompok usia, baik usian tua, dewasa, remaja, bahkan anak-anak yang seharusnya masih duduk dan menuntut ilmu di bangku sekolah dasarpun terlibat dalam kekerasan ini. Kita bukan hanya senang melakukan tindakan kekerasan, namun dilain hal kita juga suka “cuek” dan bersikap “masa bodo” terhadap sesama. Kedua seikap di atas sekarang ini sudah menjadi tradisi dan bahkan sudah “mendarah daging” dalam diri kita, kita merasa paling benar dan selalu mencari pembenaran dalam segala tindakan yang kita lakukan meskipun itu salah, kita tidak mampu lagi berfikir jernih dan tidak mampu juga menerima dan mensinerjikan perbedaan di antara kita. Salah satu sebab ketidak mampuan kita menerima dan mesinerjikan perbedaan tersebut adalah penerapan model pendidikan kita pada dekade belakangan ini yang kurang memberikan ruang kepada peserta didik untuk bisa saling menghargai dan saling menghargai satu sama lainnya. Atau dengan kata lain sekolah hanya memperhatikan perkembangan kognitif dan psikomotorik saja dan mengabaikan perkembangan afektif. Konsep pendidikan yang diterapkan hampir di semua lembaga pendidikan baik formal maupun non formal baik yang diselenggarakan oleh negara maupun swasta lebih mengedepankan aspek kognitif dan psikomotorik dimana proses pendidikan lebih kepada kompetisi dan persaingan dalam bidang ilmu pengetahuan ansih, lebih mengasah 9
kemapuan intelektual, peserta didik didorong hanya untuk saling mengalahkan antara satu dan yang lainnya, yang tertanam di kepala mereka bagaimana “saya” bisa menjadi juara menjadi yang nomor satu bagaimanapun caranya. Mereka setiap hari selalu berkompetisi untuk memperoleh nilai yang tinggi. Meskipun model ini memberikan dampak positif namun tidak kurang juga menimbulkan dampak negatife yang cukup besar, model pembelajaran kompetisi ini kadang-kadang menciptakan suasana permusuhan di kalangan pelajar, sehingga mereka saling menjatuhkan dan cenderung “menghalalkan” bermacam cara demi memperoleh predikat nomor satu. Berangkat dari uraian di atas perlu adanya suatu model pembelajaran yang mampu mensinerjikan antara kemampuan kognitif, psikomotorik dan kemampuan afektif dikalangan para peserta didik, perlu adanya model pembelajaran yang mengedepankan aspek kebersamaan. Berdasarkan hal tersebut maka para pakar pendidikan mencoba membuat terobosan dengan memunculkan model pembelajaran yang dikenal dengan “model pembelajaran kooperatif” atau cooperative learning. Model pembelajaran ini memakai falsafah homo homini socius, yang menyatakan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial dimana kerjasama merupakan suatu kebutuhan hidup, tanpa kerjasama tidak aka nada yang namanya individu, keluarga, masyarakat, tanpa kerjasama maka kehidupan ini akan punah. 2.
PERUMUSAN MASALAH
Model pengajaran kooperatif telah banyak di pakai dalam berbagai mata pelajaran termasuk di dalamnya adalah dalam pengajaran bahasa asing, namun sejauh manakah efektifitas dan keberhasilan model ini dalam mencapai tujuan kurikulum pada setiap mata pelajaran, hal ini perlu pembuktian. Untuk itu, sebelum melakukan eksperimen di kelas perlu dikaji berbagai teori dan penerapannya yang telah dilakukan oleh para ahli di berbagai tempat. Pada penilitian ini penulis akan mencoba untuk melakukan eksplorasi tentang penerapan model ini, khususnya dalam pengajaran bahasa. Apakah model ini dapat diterapkan dalam pengajaran bahasa secara lebih efektif dan signifikan dalam memperoleh keberhasilan berbahasa baik lisan maupun tulisan? 3.
PEMBATASAN MASALAH
Dalam melakukan penelitian ini saya akan membatasi masalah penelitian ini pada masalah latar belakang lahirnya model pengajaran kooperatif, ciri cirinya, kekuatan dan kelemahan model ini dalam implementasinya di lapangan, dan sejauh mana keberhasilan model ini dalam pengajaran Bahasa Inggris. 4.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan dan menggali lebih jauh tentang efektifitas dan signifikansi penerapan model ini dalam pengajaran bahasa khususnya bahasa Inggris. 5.
LANDASAN TEORI
Model pengajaran kooperatif pada awalnya mulai diperkenalkan dan dikembangkan oleh James Briton pada tahun 1970an dan Douglas Barnes pada tahun 1976. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang melibatkan
10
kerjasama siswa dalam suatu tim guna mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan bersama sama dalam Kurikulum, Silabus, dan Satuan Acara Pembelajaran. Dasar Model pembelajaran kooperatif adalah teori interaksional yang memandang belajar sebagai suatu proses membangun makna melalui interaksi sosial. Dalam proses belajar dengan model pembelajaran kooperatif menurut Smith and Gregor, biasanya pembelajar bekerja dalam kelompok yang beranggota dua siswa atau lebih, saling membantu dalam menelusuri suatu pemahaman, penyelesaian suatu persoalan, atau pembuatan suatu produk. Aktivitas pembelajaran kooperatif sangat beragam, namun pada umumnya berpusat pada aplikasi bahan pelajaran oleh siswa, bukan hanya bertumpu pada penyampaian materi yang dilakukan oleh pengajar, dalam istilah lain dikenal dengan student center learning. Dalam model pembelajaran kooperatif siswa lebih aktif dabandingkan guru, semua kegiatan kelas dijalankan secarra bersamaan baik itu mendengarkan, berdiskusi, dan mencatat apa yang sedang diajarkan. Model belajar kooperatif lebih bersifat sosial, karena dalam proses belajarnya dapat menghasilkan sinerji intelektual dari banyak pemikiran dalam menyelesaikan suatu persoalan yang dibahas dalam kelas. Eksplorasi, umpan balik, dan memberikan penilaian untuk setiap masalah akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik, sehingga materi dapat diserap dan difahami dengan baik oleh siswa. Pembelajaran memakai model pembelajaran kooperatif dapat meminimalisasi perbedaanperbedaan antar invidu pembelajar, karena setiap siswa diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapat tentang materi ajar yang sedang didiskusikan bersama. Menurut Randy Nelson, sebagaimana yang ditulis oleh Suyatno bahwa model pembelajaran kooperatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Melibatkan siswa dalam pertukakran gagasan dan informasi. 2. Memunkginkan siswa mengeksplorasi gagasannya. 3. Menata ulang kurikulum yang disesuaikan dengan permintaan stake holder. 4. Menyediakan cukup waktu untuk melakukan proses belajar bersama. 5. Dalam setiap proses belajar mengajar selalu bertolak dari suatu masalah dan mencoba menyelesaikannya secara bersama-sama. Untuk dapat menerapkan model ini perlu dilakukan beberapa langkah antara lain adalah: 1. Para siswa mencoba menetapkan tujuan belajar bersama. 2. Para siswa selalu berdiskusi, membaca, dan menulis. 3. Dalam kelompok selalu bersinerji satu sama yang lainnya dalam segala hal. 4. Penyelesaian masalah dilakukan bersama, kemudian setiap orang membuat laporan masing-masing. 5. Setelah berdiskusi salah satu kelompok maju ke dapan untuk menjelaskan kepada siswa yang lainnya hasil diskusi kelompok mereka. 6. Masing-masing selanjutnya mengelaborasi setiap laporan yang telah ditulis. 7. Laporan masing-masing didiskusikan kembali pada pertemuan berikutnya. 6.
MODEL PENELITIAN
11
Dalam menysun penelitian ini, saya mempergunakan studi kepustakaan, dimana data diperoleh dari bahan bahan pustaka yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan masalah penelitian. Selanjutnya saya akan manganalisis data data tersebut untuk ditarik suatu pembuktian dan kesimpulan 7.
MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini adalah untuk dapat memperluas pengetahuan para pembaca untuk lebih memahami apa yang disebut sebagai model pembelajaran kooperatif dan penerapannya dalam pengajaran Bahasa khususnya bahasa Inggris. 8.
PEMBAHASAN
Munculnya suatu model pembelajaran dalam proses belajar mengajar bukanlah suatu kebetulan belaka, namun berdasarkan penelitian dan pengalaman yang dikembangkan oleh para ahli, namun belum lagi suatu model dapat diterapkan secara sempurna suatu model baru muncul dengan berbagai kelebihan dan keistimewaan. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada dekade 1980an lahir lagi satu model baru dalam proses belajar mengajar yaitu model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif menurut Davidson yang dikutip oleh Nur Asma dalam Deni arisandi mulai dikembangkan oleh James Briton pada tahun 1970an dan Douglas Barnes pada tahun 1976. Model ini diterapkan pada awalnya di Inggris, Australia, Kanada, dan Amerika. Model pembelajaran Kooperatif lebih menekankan pembangunan makna oleh siswa dari proses sosial yang bertumpu pada proses belajar. Ide model pembelajaran kooperatif bermula dari perspektif pilosofis terhadap konsep belajar, dimana dalam proses pembelajaran seseorang membutuhkan teman atau pasangan, teman belajar dapat diperoleh baik di dalam maupun di luar kelas. Menurut John Dewey dalam bukunya “Democracy and Education” yang diktuip oleh Suyatno bahwa, kelas seharusnya merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. 9.
PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
Model pembelajaran kooperatif merupakan pengembangan dari faham konstruktivis, dimana dalam proses belajar mengajar para peserta didik dibagi ke dalam kelompok kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang berbeda, sehingga dalam menyelesaikan suatu tugas yang diberikan kepada kelompok tersebut mereka harus saling bekerjasama dan saling membantu dalam memahami materi yang ditugaskan. Dalam model pembelajaran kooperatif, proses belajar belum selesai seandainya salah seorang anggota kelompok belum memahami materi yang ditugaskan kepada mereka. Davidson dan Kroll yang dikutip oleh Nur Asma dalam Deni Arisandi mendefenisikan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan yang berlangsung di lingkungan belajar siswa dalam kelompok kecil yang saling berbagi ide yang bekerja secara bersamasama guna menyelesaikan suatu masalah. Sedangkan menurut slavin kata Nur asma lagi bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran dimana dalam belajar siswa belajar bersama, saling menyumbang pemikiran guna mencapai tujuan belajar baik secara individu maupun kelompok.
12
Pembelajaran model kooperatif, lebih menekankan pada proses kerjasama dalam satu kelompok yang terdiri dari 4 – 6 orang siswa guna mempelajari satu peprsoalan tertentu secara tuntas, siswa didorong untuk saling melakukan kerjasama secara maksimal sesuai dengan kebutuhan kelompoknya, tujuan dari kerjasama adalah agar setiap siswa harus saling bantu satu dan yang lainnya, siswa yang memiliki pengetahuan lebih harus membantu temannya yang masih tertinggal, karena penilaian yang diberikan bukanlah berdasarkan hasil individu tapi hasil kelompok. Menurut Sopriya dalam Deni Arisandi mengatakan bahwa, dalam pembelajaran model kooperatif keberhasilan individu adalah keberhasilan kelompok dan sebaliknya kegagalan individu adalah kegagalan kelompok, oleh karenanya setiap anggota kelompok mempunyai tanggungjawab penuh terhadap kelompoknya. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek pembalajaran dengan suasana yang demokratis, para siswa saling membelajarkan satu sama lainnya, sehingga model pembelajaran ini akan lebih memberikan kesempatan dan peluang kepada setiap siswa untuk lebih memberdayakan potensi mereka masing-masing secara maksimal, model pembelajaran kooperatif akan membantu siswa dalam memahami berbagai konsep yang sulit mereka cerna, dilain hal juga model ini akan turut mengembangkan keterampilan sosial, dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar mereka. 10. TUJUAN PEMBELAJARAN MODEL KOOPERATIF Tujuan pembelajaran model kooperatif menurut Asma dalam Denny Arisandi adalah agar pencapaian hasil belajar yang lebih baik, pembelajaran model kooperatif bertujuan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik dan membantu siswa untuk memahami konsep-konsep yang sulit. Selain itu model ini bertujuan untuk memahami karakter setiap individu yang berbeda baik dari segi ras, budaya, tingkat sosial, kemampuan, dan juga memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk dapat bekerja dan bergantung satu sama lainnya atas tugas yang diberikan oleh guru, sehingga satu sama lainnya akan saling menghargai perbedaan itu. Model pembelajaran kooperatif juga dapat meningkatkan penailaian siswa dalam sisi akademik dan norma sosial, kinerja siswa dalam bidang akademik akan meningkat, memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang, budaya, kemampuan untuk saling memahami dan saling menghargai satu dengan yang lainnya. Model pembelajaran kooperatif juga bertujuan untuk menciptakan ikatan yang kuat antar siswa, dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif diharapkan akan membangun kecerdasan sosial dan emosional sehingga pada akhirnya siswa dapat berinteraksi terhadap lingkungan sesuai dengan kemampuan masing-masing siswa. Namun tujuan tersebut menurut Hamruni hanya akan dapat dicapai apabila memenuhi hal sebagai berikut: a. Kemandirian positif Keberhasilan kemandirian positif ini apabila setiap anggota kelompok merasa sejajar satu dan yang lainnya. Dengan pengertian bahwa keberhasilan satu anggota kelompok tergantung keberhasilan anggota lainnya, jadi tidak ada yang merasa berhasil sendirian. Apapun yang dilakukan oleh salah seorang anggota kelompok bukan untuk dirinya sendiri
13
tapi untuk kepentingan semua anggota kelompok. Kemandirian positif merupakan inti dari pembelajaran model kooperatif. b. Peningkatan interaksi Ketika seorang guru menekankan agar setiap siswa agar memiliki kemandirian positif, sebaiknya guru juga memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk saling mengenal, tolong-menolong, saling bantu, saling dukung, dan saling memberikan semangat dan pujian sesama mereka atas usaha yang telah mereka lakukan. Aktivitas kognitif dan dinamika kelompok muncul pada saat siswa dilibatkan untuk belajar mengenal satu dan yang lainnya, termasuk di dalamnya bagaimana mereka menjelaskan masalah, mendiskusikan konsep yang akan diterapkan baik kepada guru maupun kepada teman dalam kelompok. c. Pertanggungjawaban individu Tujuan pembelajaran kooperatif dalam suatu kelompok adalah agar setiap anggota menjadi kuat pengetahuannya. Dengan belajar bersama mereka berusaha untuk melakukan hal yang terbaik menurut mereka. Untuk memastikan bahwa setiap siswa merasa lebih kuat, maka setiap siswa harus membuat pertanggujawaban secara individu terhadap tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Pertanggujawaban individu akan berjalan dengan baik jika hasil pekerjaan masing-masing individu dinilai dan diberitahukan kepada setiap individu dan kelompok. d. Partisipasi dan komunikasi Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangatlah penting sebaggai belak mereka ketika terjun ke tengah masyarakat secara nyata, untuk itu sebelum melakukan kooperatif maka mereka perlu dibekali dengan kemampuan berkomunikasi. Di antara kemampuan berkomunikasi yang diajarkan kepada mereka misalnya, adalah bagaimana caranya menyatakan pendapat kepada orang lain dengan sopan dan santun tanpa harus menyingung perasaan orang, dll. Tipe Pembelajaran Kooperatif Ada beberapa tipe pembelajaran model kooperatif sebagaimana yang dikemukan oleh Slavin, Lazarowitz, atau Sharon yang dikutip oleh Daryanto dan Muljo adalah sebagai berikut: 1. Pembelajaran kooperatif Tipe Jigsaw Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menurut Aina Mulyana, adalah salah satu tipe pembelajaran yang mendorong siswa untuk aktif, saling membantu dalam memahami materi pelajaran dalam rangka mencapai prestasi yang maksimal. Pada Tipe Jigsaw pembelajaran dilaksanakan melalui penggunaan kelompok kecil, para siswa akan memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan bersama, siswa belajar dan bekerjasama sampai pada pengalaman belajar yang maksimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok. 2. Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Number Head Together) Tipe Number Head Together merupakan tipe yang dikembangkan untuk melibatkan banyak siswa dalam memperoleh materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman terhadap isi materi pelajaran. Tipe NHT ini juga suatu model pembelajaran yang lebih mengedepankan pada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi yang digali dari berbagai sumber dan kemudian dipresentasikan di depan kelas.
14
Ada tiga tujuan dalam tipe pembelajaran NHT ini yaitu a. Hasil belajar akademik strutural yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. b. Pengakuan adanya keragaman yang bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai latar belakang yang berbeda. c. Pengembangan keterampilan sosial yang bertujuan unutk mengembangkan keterampilan sosial siswa seperti keterampilan bertanya, menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide idenya, mau bekerja dalam kelompok dan lain sebagainya. 3. Pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Acheivement Divisons (STAD) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini mengacu pada belajar berkelompok para peserta didik. Dalam satu kelas peserta didik dibagi ke dalam beberapa kelompok dengan jumlah peserta 4 sampai 5 orang dan setiap kelompok harus hiterogen. Jumlah peserta dalam kelompok harus dibatasi agar setiap kelompok menjadi lebih aktif dalam kegitan kelompok. 11.
KEUNGGULAN KOOPERATIF
DAN
KELEMAHAN
MODEL
PEMBELAJARAN
Menurut Hamruni ada beberapa keunggulan dan kelemahan model pembelajaran kooperatif. 1. Keunggulan Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif, hal ini dapat merangsang menjadikan unsur-unsur psikologis siswa menjadi lebih aktif, hal ini karena adanya kebersamaan dalam kelompok sehingga mereka selalu mengadakan komunikasi dengan bahasa mereka sendiri. Ketika melakukan diskusi sesama teman maka fungsi ingatan akan menjadi lebih aktif, lebih bersemangat dalam mengemukakan pendapat. Menurut Hamruni lagi ada beberapa keunggulan model pembelajaran kooperatif di antaranya: a. Siswa tidak terlalu tergantung padaa guru, lebih mandiri, dan dapat belajar dari siswa yang lain. b. Dapat mengembangkan ide-ide sendiri dan membandingkan dengan siswa lainnya. c. Dapat menumbuhkan rasa saling menghormati satu dan yang lainnya, menyadari segala keterbatasan, dan dapat menerima perbedaan. d. Para siswa lebih bertanggungjawab dalam proses belajar. e. Dapat meningkatkan prestasi akademik dan kemampuan sosial, mampu mengembangkan rasa harga diri, mampu mengelola waktu, dan bersikpa positif terhadap sesama. f. Dapat meningkatkan motivasi belajar. 2. Kelemahan Di samping keunggulan tersebut diatas terdapat juga kelemahan atau keterbatasannya, kekurangan atau kelamahan model pembelajaran kooperatif adalah kontribusi siswa yang berprestasi rendah menjadi kurang, sementara siswa yang berprestasi tinggi akan merasa jenuh dan kecewa. Mereka yang berprestasi tinggi merasa kecewa karena waktu mereka hanya tersita untuk membantu temannya yang lemah.
15
Di lain hal bahwa model ini membutuhkan waktu yang panjang, karena tujuannya adalah setiap siswa harus memahami konsep, sehingga capaian materi pelajaran tidak sesuai dengan kurikulum.
12. PENUTUP Dalam pembelajaran model kooperatif siswa dipandang sebagai subyek bukan obyek dan bagi guru belajar lebih dipentingkan dari pada mengajar, disamping itu dalam model pembelajaran kooperatif ini siswa lebih dilibatkan dalam proses belajar mengajar, siswa lebih berperan aktif untuk mencoba melakukan sendiri apa yang sedang dipelajari bersama. Dalam model pembelajaran kooperatif ini, guru hanya berfungsi untuk merangsang siswa untuk lebih berkembang lebih optimal lagi dan menciptakan kondisi belajar yang lebih aktif. Selain itu penerapan model ini dapat meningkatkan aktivitas siswa, sehingga hasil belajar siswa akan lebih baik karena siswa yang senantiasa menyelesaikan segala aktivitas belajar mengajar sehingga mereka dapapt menguasai materi yang sedang dipelajari. DAFTAR PUSTAKA Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja. Bloom, B. S. ed. et al. (1956). Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1, Cognitive Domain. New York: David McKay. Daryanto, Drs., dan Muljo Raharjo, Drs., ST., M.Pd. 2012. Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta, Gava Mdeia. Hamruni, Prof., Dr., M.Si. Strategi pembelajaran. 2012. Yogyakarta, Insan Madani. Iskandar, Dr., M.Pd. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta, Gaung Persada Press. Nababan, Sri Utari Subyakto, Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta.Gramdeia. Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. Smith, Barbara Leigh and jean MacGregor. 1992. “What Is Collaborative Learning. The National Center on Postsecondary Teaching, Learning, and Assessment. Pennsylvania State University. Somadayo, Samsu. 2011. Strategi dan Teknik Pembelajaran Membaca. Yogyakarta. Graha Ilmu. Widowsow, H.G., (ed) 1986. Material and Methodology : Design Principle for A Communicative Grammar, Practice of Teaching, United Kingdom: Pergamon Bool Ltd., C.J. Brumfit,. W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Grasindo. Nurul Utami.http://staff.unila.ac.id/nutami/2011/10/05/pembelajaran-kooperatif/ Suyatno, Dr., MP http://garduguru.blogspot.com/2008/12/model-kooperatif-untukpembelajaran.html/29-8-2012 Dwi Johartono. http://library.um.ac.id/free-contents/index.php/pub/detail/penerapanmodel-pembelajaran- -48624.html/29-8-2012 Ahira, Anne. Memahami pengertian kognitif afektif psikomotorik, http://www..com/pengertian-kognitif-afektif-psikomotorik.htm
16
Haryanto, Dr, Belajar Mencakup Aspek Kognitif, Afektif, Psikomotorik, http://imamsusiloadhi.blogspot.com/2012/06/belajar-mencakup-aspek-kognitifafektif.html Konsep Pembelajajran Kognitif, afektif, dan psikomotorik. http://dakwah-juwairi.blogspot.com/2012/03/konsep-pembelajaran-kognitifafektif.html Arisandi. Model Pembelajaran Kooperatif Learning http://.com/model-pembelajaran-kooperatif-learning/16-8-2012 Mulyana, Aina. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe jigsaw http://.blogspot.com/2012/02/model-pembelajaran-kooperatif-tipe.html/16.2.2013 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw http://www.referensimakalah.com/2012/09/pembelajaran-kooperatif-tipe-jigsaw.html
17
KONSEP FEMINISME DALAM 10 PUISI KARYA EMILY DICKINSON Agustinus Hariyana ABSTRACT The main problem for this research is about the feminism concept upon 10 of 1778 Emily Dickinson poems. She lived in 1830 – 1886, when the concept hadn’t spread widely like the 1960’s especially in America. But, based on intrinsic and extrinsic analysis and also through qualitative approach her poems reflects about the power of woman. She protested to the domination of patriarchy domination in her society in relation not just family but also religion institutions. When women get marriage she(they) has (ve) to loss her own identity and potentiality. Furthermore women have to be housemaid. Based on this situation Emily Dickinson shows the toughness, independency of women not just in family but also in religious institution. She sounded her objection and her own identity, her own class as a woman. Keywords: feminisme, kesetraan gender, patriarki, dominasi, subdominasi 1.
PENDAHULUAN
Latarbelakang Seorang mahasiswi, setiap hadir di dalam mata kuliah saya selalu duduk di depan sendiri. Yang menjadi mengusik hati saya, ia senantiasa menunjukkan sikap diam dengan raut muka seperti seorang yang menanggung beban. Setiap kali saya tanya ia selalu menjawab, “Tidak ada apa-apa”. Sikap semacam ini sangat jauh berbeda dengan teman-teman mahasiswa lainnya yang senantiasa dinamis berinteraksi dengan teman-temannya. Sikap mahasiswi ini menjadi pangkal keteringatan saya terhadap seorang penyair Amerika abad 19, Emily Dickinson. Berdasarkan riwayat hidup yang tersebar di jaringan online penyair ini dikenal sebagai seorang penyair yang penyendiri, bahkan mengasingkan diri dari hiruk pikuk kehidupan sosial. Namun demikian dalam kesendiriannya itu ia mampu menghasilkan ratusan puisi. Pada mulanya karya-karya tidak mendapatkan tanggapan serius dari pemerhati sastra (kritikus), maupun penerbit yang enggan mempublikasikan karya. Namun setelah penyair putri seorang jaksa ini meninggal karya-karya yang sebelumnya dianggap tidak umum dari konvensi penulis puisi mendapat tanggapan yang luar biasa. Para kritikus menganggap bahwa karya-karyanya sungguh mengusik mereka untuk menelitinya. Gagasan – gagasan tentang kematian, keabadian, cinta, kehidupan, dan keberaniannya mengasingkan diri, serta gaya penulisan yang tidak biasa menjadi sumber kajian yang menantang. Berdasarkan ulasan di atas permasalahan yang muncul di benak saya adalah, apakah sebagian karya-karyanya dalam kesendirian itu sebagai ekspresi perlawanan pasif Dickinson terhadap dominasi lingkungan sosialnya, keluarga dan agama terutama, yang bersifat patriarki? Apakah sikap Emily Dickinson merupakan cerminan dari konsep feminisme yang berkembang satu abad sesudahnya?
18
Berangkat dari permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menemukan bahwa Puisi-puisi sebagian karya Emily Dickinson merupakan ekspresi perlawanan pasif terhadap keadaan lingkungan sosialnya. Selain itu penelitian juga bertujuan untuk menunjukkan bahwa sikap perlawanan pasif melalui karyanya itu merupakan cerminan dari konsep feminisme. Untuk meraih tujuan ini maka penulis memilih 10 dari ratusan puisi yang terkumpul dalam “Poems: Three Series, Complete” yang dipublikasikan secara online oleh Project Gutenberg Ebook pada Mei 2004. 2.
METODE PENELITIAN
Adapun metode penelitian penulis gunakan adalah metode penelitian kualitatif karena apa yang penulis teliti berkenaan dengan data kualitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk simbolik seperti pernyataan-pernyataan tafsiran, tanggapan-tanggapan lisan harafiah, tanggapan-tanggapan non-verbal (tak berupa ucapan lisan), dan grafik-grafik. Dengan demikian hasil penelitian akan berupa kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan HASIL 2.1 The Soul Selects her own society The Soul selects her own SocietyThen-shuts the DoorTo her divine MajorityPresent no moreUnmoved-she notes the Chariots pausingAt her low GateUnmoved-an Emperor be kneeling Upon her MatI've known her-from an ample nationChoose OneThen-close the Valves of her attentionLike StoneDalam puisi yang terdiri dari tiga stanza ini penutur wanita mengungkapkan tentang keteguhan pilihannya dalam bermasyarakat. Dengan keyakinannya (divine Majority) ia tidak tergoda oleh rayuan permintaan penguasa. Ia tetap teguh tak bergeming (unmoved, like stone). Atas pilihannya ia menutup perhatian dari yang lain. Melalui penggunaan gaya bahasa aliterasi, dan repetisi, serta simile penyair menegaskan pilihannya. Dari pilihan kata yang ia pilih terlihat oposisi biner: soul vs society, divine majority vs emperor, unmoved vs moved, one vs many, dan powerless vs powerful.Sang penyair menggambarkan keteguhan, kekuatan, dan ketidaktergodaan seorang wanita terhadap kebiasaan lingkungan masyarakatnya dan pula kekuasaan. 2.2 Succes is Counted Sweetest Success is counted sweetest By those who ne'er succeed. To comprehend a nectar Requires sorest need.
19
Not one of all the purple host Who took the flag to-day Can tell the definition, So clear, of victory! As he, defeated, dying, On whose forbidden ear The distant strains of triumph Burst agonized and clear! Kesuksesan, menurut sang penutur dirasakan paling indah oleh mereka yang tidak pernah meraih kesuksesan. Secara metaforis penutur menyatakan bahwa penderitaan menjadi syarat memahami bagaimana rasa madu bunga (nectar). Untuk menegaskan suasana ini ia menuturkan bahwa para tentara yang (biasa) menang perang juga tidak bisa mengalahkan, bahkan sekedar mendefinisikan, keindahan kemenangan mereka. Sebaliknya sang pecundang yang tidak bisa ikut serta dalam pesta kemenangan sekalipun dari jauh, apa artinya jadi pemenang. Dengan gaya bahasa metaforis, comprehend nectar, purple host penyair menegaskan kesangatbermaknaan kemenangan bagi mereka yang senantiasa terkalahkan atau tersingkirkan dalam masyarakat. 2.3 I’m nobody, who are you? I'm Nobody! Who are you? Are you – Nobody – too? Then there's a pair of us! Don't tell! they'd advertise – you know! How dreary – to be – Somebody! How public – like a Frog – To tell one's name – the livelong June – To an admiring Bog! Sang penyair dalam puisi dua stanza ini secara langsung mengungkapkan jatidirinya yang bukan siapa-siapa (nobody). Bersama sesama ‘nobody’ lainnya ia bersepakat untuk bersama tidak mengungkapkan jati diri mereka terhadap ‘somebody’ yang bisa jadi membahayakan karena adanya perbedaan, nobody vs somebody. Selanjutnya ia mengungkapkan bagaimana betapa dreary menjadi somebody yang terkenal, berkuasa, mengatur mereka yang tergolong nobody seraya tetap mempromosikan diri laksana kodok. Penyair menggunakan rima aabc, dan abcb dan gaya bahasa repetisi dan simile untuk menegaskan pesan yang disampaikan. Begitu juga dengan pilihan kata ber-oposisi – nobody vs somebody, how dreary vs how public. 2.4 The Bustle in a House The Bustle in a House The Morning after Death Is solemnest of industries Enacted opon Earth – The Sweeping up the Heart And putting Love away We shall not want to use again Until Eternity –
20
Dalam puisi ini penutur mengungkapkan bagaimana kesibukan luar biasa (solemnest industries) yang harus ditanggung keluarga, terutama wanita, setelah ada anggota yang meninggal dunia. Kesibukan itu tidak hanya secara lahiriah namun juga berkaitan dengan penataan hati atas segala kedukaan karena terputusnya cinta yang tak mungkin lagi terjalin hingga keabadian.Dengan iambic treemeter dan rima abcd penyair menggambarkan keberagaman tugas mengurus kematian. 2.5 Some keep the Sabbath going to Church Some keep the Sabbath going to Church – I keep it, staying at Home – With a Bobolink for a Chorister – And an Orchard, for a Dome – Some keep the Sabbath in Surplice – I, just wear my Wings – And instead of tolling the Bell, for Church, Our little Sexton – sings. God preaches, a noted Clergyman – And the sermon is never long, So instead of getting to Heaven, at last – I’m going, all along. Penutur mengungkapkan keberanian sikapnya untuk tidak ikut serta berbondong rayakan hari Sabat di gereja bersama orang-orang (some) lain. Ia berbeda sikap dan tindakan, tetap berada di rumah. Ia berani beda dengan pranata agama masyarakatnya. Mereka mendengarkan kotbah pendeta (clergyman), sementara dirinya mendengarkan suara alam di rumah yang dinikmatinya sebagai gerejanya. Surga tidak didapatkan nanti, tetapi menurutnya sekarang sudah didapatkannya. 2.6
My Life Had Stood a Loaded Gun
My Life had stood - a Loaded Gun In Corners - till a Day The Owner passed - identified And carried Me away And now We roam in Sovereign Woods And now We hunt the Doe And every time I speak for Him The Mountains straight reply And do I smile, such cordial light Upon the Valley glow It is as a Vesuvian face Had let its pleasure through And when at Night - Our good Day done I guard My Master's Head 'Tis better than the Eider-Duck's Deep Pillow - to have shared 21
To foe of His - I'm deadly foe None stir the second time On whom I lay a Yellow Eye Or an emphatic Thumb Though I than He - may longer live He longer must - than I For I have but the power to kill, Without--the power to die— Penutur mengungkapkan ketangguhannya dan potensi yang dimilikinya. Secara metaforis ia adalah senjata siap tembak (loaded gun) yang siap berburu, menjaga dan melindungi lelaki. Ia yakin bahwa dirinya tangguh, tak akan mati karena merasa sebagai musuh yang tangguh mematikan (deadly foe). Ditulis dalam iambic trimeter dan tetrameter dengan rima stanza abc ataupun abcd disertai gaya bahasa repetisio penyair menyampaikan bagaimana ketangguhan dirinya. 2.7 I ’m wife; I’ve finished that I’m “wife” – I’ve finished that – That other state – I’m Czar – I’m “Woman” now – It’s safer so – How odd the Girl’s life looks, Behind this soft Eclipse – I think that Earth feels so To folks in Heaven – now – This being comfort – then That other kind – was pain – But why compare? I’m “Wife”! Stop there! Dengan penggunaan meter iambic trimeter dan rima ABCC penyair mengungkapkan berakhirnya masa kebebasan sebagai seorang gadis untuk menjadi seorang wanita yang tuntas dengantugas sebagai istri (dalam tanda petik), bahkan Czar –seorang pemimpin yang aman dalam tanda petik. Kendati ia menyatakan aneh menurutnya seorang gadis yang menjadi seorang istri akan menghadapi goncangan kehidupan (eclipse), namun pilihan itu menurutnya akan menuntunnya menjadi wanita sempurna dan ke surga. Selanjutnya penutur menyatakan penuh keraguan akan perbandingan kenyamanan sekaligus penderitaan (pain) dalam kehidupannya sebagai istri. Dalam keraguan penutur bersikap ‘masabodo’. Secara sinis ia menyatakan sebagai istri yang berarti selesai, seperti pada permulaan pernyataannya, I’ve finished. Penutur mengungkapkan bernada protes. 2.8 I’m ceded—I’ve stopped being Theirs I'm ceded—I've stopped being Theirs— The name They dropped upon my face With water, in the country church Is finished using, now, And They can put it with my Dolls,
22
My childhood, and the string of spools, I've finished threading—too— Baptized, before, without the choice, But this time, consciously, of Grace— Unto supremest name— Called to my Full—The Crescent dropped— Existence's whole Arc, filled up, With one small Diadem. My second Rank—too small the first— Crowned—Crowing—on my Father's breast— A half unconscious Queen— But this time—Adequate—Erect, With Will to choose, or to reject, And I choose, just a Crown— Dalam puisi berima dan penggunaan meter yang tidak beraturan Penutur menyatakan ketidak berterimaannya atas pembaptisan yang diterimanya dalam ketidakberdayaannya padamasakecil yang tidak bias ditolaknya. Alih-alih hal itu dilakukan terhadap bonekabonekanya. Pembabtisan itu berbeda dengan yang sekarang diterima dengan penuh kesadaran akan rahmat derajat dan mahkota (Diadem) dan kedudukan (Second rank) yang didapatnya sebagai pewaris kerajaan surge (royalty , Queen). Ini semua diperoleh berdasarkan atas kebebasannya memilih atau menolak. Berlawanan dengan penolakannya atas tindakan pembaptisan masa kecil, di masa dewasa ia menerima namun dengan penuh kebebasan. 2.9 She rose to his requirement, dropped She rose to His Requirement—dropt The Playthings of Her Life To take the honorable Work Of Woman, and of Wife— If ought She missed in Her new Day, Of Amplitude, or Awe— Or first Prospective—Or the Gold In using, wear away, It lay unmentioned—as the Sea Develop Pearl, and Weed, But only to Himself—be known The Fathoms they abide— Dengan menggunakan meter iambic trimester, danrima ABCB, serta gaya bahasa simile pada beberapa barisdalam puisi ini penyair mengungkapkan ketikaperempuan menjadi seorangistri ia akan meninggalkan (dropt) segala hal yang menjadi kesenangan hidupnya untuk melakukan pekerjaan terhormat barunya. Dalam kehidupan barunya ia serta merta juga harus meninggalkan (kehilangan) potensi, kebebasan, keindahan hidup yang dimilikinya demi tuntutan pranata baru yang dimasukinya. Selanjutnya penyair membandingkan suka duka tugas besar barunya laksana
23
laut membentuk permata secara perlahan cukuplah diketahui suaminyas aja. Potensi yang harus ditinggalkan adalah kesenangan (playthings), potensi mahaluas (gold). Missed dan wear way menegaskan nuansa kehilangan. His requirement, honorable work, abide, develop pearls, weed adalah diksi untuk menggambarkan tugas barunya. 2.10 "Faith" is a fine invention "Faith" is a fine invention For Gentlemen who see! But Microscopes are prudent In an Emergency! Dalam puisi 4 baris bermeter ABAB ini penyair menyatakan bahwa agama adalah penemuan yang baik bagi umat manusia yang percaya Tuhan, namun demikian menurutnya itu tak lebih penting darisesuatu yang bermanfaat pada saatnya.Puisi pendek satu stanza ini berrima ABCB dengan jumlah silaba 7-6-7-6 3.
ANALISIS
Pendekatan feminisme merupakan salah satu pendekatan dalam menelaah karya sastra. Pendekatan ini muncul bersamaan dengan berkembangnya gerakan feminisme sebagai bentuk kesadaran atas hak, kedudukan dan derajat yang setara dengan laki-laki. Salah satu perwujudannya adalah dengan gerakan pembebasan perempuan dari ikatan lingkungan domestik keluarga dan rumah tangga. Kritik sastra feminis berusaha mengkaji citra wanita dalam karya-karya pria yang disalahtafsirkan, serta disepelekan oleh tradisi patriakal yang dominan (Djajanegara, 200; 27). Citra yang ditampilkan mengungkapkan tekanan-tekanan yang diderita para tokoh wanita atau penulis wanita karena segala stereotip yang melekat demi pemenuhan persyaratan masyarakat patriakal. Selain itu tema, genre, dan struktur karya penulis wanita sebagai bagian dari kelas masyarakat yang tertindas juga menggambarkan adanya relasi dan posisi jender yang timpang. Dalam puisi The Soul selects her own society penyair merasakan dominasi masyarakatnya dalam menentukan pilihan hidupnya. Dalam masyarakat patriarki wanita memiliki kedudukan yang tidak setara. Ketidakseimbangan itu terjadi dalam banyak aspek kehidupan, termasuk dalam menentukan pilihan hidupnya. Sang penyair berani memilih cara hidup yang menjadi pilihannya. Meskipun digoda, dirayu oleh yang mempunyai kekuasaaan ia tetap menunjukkan keteguhan. Laksana batu ia tidak terbawa oleh rayuan. Selanjutnya dalam Succes is counted sweetest penyair menyatakan bahwa penomorduaan dalam kehidupan terhadap kaum wanita menghasilkan ketidaksuksesan yang sama dengan kaum lelaki. Kerinduan menggapai kesuksesan yang setara inilah yang, menurut sang penutur, dirasakan paling indah oleh mereka yang tidak pernah meraihnya. Secara metaforis penutur menyatakan bahwa penderitaan menjadi syarat memahami bagaimana rasa madu bunga (nectar). Untuk menegaskan penutur menuturkan bahwa para tentara yang (biasa) menang perang juga tidak bisa mengalahkan, bahkan sekedar mendefinisikan, keindahan kemenangan mereka. Sebaliknya sang pecundangyang tidak bisa ikut serta dalam pesta kemenangan sekalipun dari jauh, apa artinya jadi pemenang. Dalam puisi I’m nobody who you are penyair merasakan adanya perbedaan kelas dengan menggambarkan adanya nobody dan somebody. Karena perbedaan itu mereka terpilih dan
24
saling curiga. Kelas yang satu merasa dinomorduakan, kelas yang lain (somebody) merasa berkekuasaan. Ketimpangan relasi yang terjadi menyebabkan hubungan yang tidak setara. Kesenjangan relasi wanita dan pria yang ada dalam masyarakat Puritan membuat penyair meimilih kelasnya sendiri. Melalui puisi ini ia menyuarakan keberbedaan kelas di dalam masyarakatnya. Dalam kehidupan rumah tangga, melalui puisi The bustle in a house penyair menggambarkan tekanan yang dihadapi para wanita, yakni mereka menjadi pelaku utama kegiatan yang dalam puisi ini kegiatan yang berkaitan dengan kematian. Kesibukan yang ada wanita yang harus melakukan sehingga seolah menjelma menjadi suatu industri, kerja besar. Apalagi dalam usaha pemisahan antara yang hidup dan yang meninggal pihak wanita yang juga harus dipisahkan. Melalui puisi ini penyair menyuarakan ketidakseimbangan yang terjadi dalam masyarakat yang direpresentasikan melalui peristiwa memilukan, kematian. Sementara itu dalam institusi gereja era ini merupakan representasi kekuasaan dalam bidang rohani. Kekuasaan dan doktrin yang ada bisa menjadi salah satu pintu menomorduakan anggotanya. Akan tetapi melalui puisinya penyair mengungkapkan keberanian sikapnya untuk tidak ikut serta berbondong rayakan hari Sabat di gereja bersama orang-orang (some) lain. Ia berbeda sikap dan tindakan, tetap berada di rumah. Ia berani beda pandangan dengan pranata agama masyarakatnya. Mereka mendengarkan khotbah pendeta (clergyman), sementara dirinya mendengarkan suara alam di rumah dimana sebagai gerejanya. Surga tidak didapat nanti, tetapi menurutnya sekarang sudah didapatkannya. Penentangannya terhadap dominasi kehidupan rohani. Setelah mempertanyakan dominasi gereja dalam peribadatan, penyair juga mempertanyakan bapisan bayinya, dimana dalam ketdakberdayaannya ia menerima pembaptisan. Menurutnya apa yang diterimanya setelah dewasa disadari sebagai kurang bermakna. Pada masa ini ia memiliki kebebasan merasakan dan menerima serta menghayati apa yang baik baginya. Bukan dalam keberdayaan ia dengan penuh kesadaran menerima pembaptisan kedua karena ia merasa mengetahui apa tujuannya. Dalam puisi Faith penyair memprotes cara kehidupan beragama yang tidak seimbang dengan kehidupan sehari-hari. Menurutnya agama adalah penemuan yang baik bagi umat manusia yang percaya Tuhan, namun demikian menurutnya itu tak lebih penting darisesuatu yang bermanfaatpadasaatnya. Dalam My life had stood – a loaded gun Dalam masyarakat patriarki kedudukan wanita adalah nomor dua. Namun dengan tegas dan tegar serta terkesan jumawa penyair mengungkapkan siapa dirinya, ketangguhannya dan segala potensi yang dimilikinya. Wanita, dirinya, menurutnya adalah makhluk yang hebat, bahkan lebih lebat dari pria. Ia adalah senjata siap tembak yang siap menjaga dan melindungi lelaki. Dalam dirinya yakin ia tangguh, tangguh tak akan mati, meskipun ia berharap lelakinya panjang umur daripada dirinya. Berbeda dengan kehebatan yang dimilikinya, dalam puisi I’m ‘wife’ – I’ve finished that penyair mengungkapkan penyerahan dirinya terhadap kehidupan berumah tangga. Ia harus meninggalkan segala hal yang dimilikinya ketika masih menjadi manusia bebas, belum menikah. Ia juga harus siap menghadapi guncangan kehidupan yang mungkin dihadapi ketika ia menjadi seorang ibu rumah tangga. Kenyataan yang sudah digariskan oleh masyarakatnya, seorang gadis akan dianggap sempurna dan seiring dengan ajaran
25
agama kalau sudah menikah, menjadi seorang istri. Kendati menurut adat masyarakat sudah begitu, namun dengan nada tidak iklas ia mempertanyakan kenyataan itu. Menurutnya, menjadi seorang istri berarti juga kehilangan dan penderitaan, bukan sekedar ‘kenyamanan’ yang diungkapkan oleh masyarakat patriarki dengan segala katakata manisnya. Ia menerima namun juga mempertanyakan kenyataan itu. 4.
KESIMPULAN
Dari serangkaian analisis terhadap 10 puisi di atas tergambar bagaimana nuansa protes, ketidakterimaan terhadap dominasi masyarakat terhadap penyair. Ia memprotes tidak hanya kedudukan wanita dalam keluarga yang nomor dua, namun juga terhadap institusi agama yang bersifat patriarki. Meskipun ia menganggap wanita punya kekuatan namun ia pun ‘menerima nasib’ yang bakal dialami ketika seorang wanita menjadi seorang istri. Ia tidak melakukan pemberontakan, namun dari nada protes yang dilakukan melalui ungkapan puisi telah menjadi bentuk perlawanan terhadap dominasi pria terhadap wanita. Ini merupakan semacam bibit atau inspirasi bagi gerakan feminisme di abad berikutnya, abad 20. 8
DAFTAR PUSTAKA
Three Series, Complete” Project Gutenberg Ebook pada Mei 2004 Allen, R. C 2007 Emily Dickinson: Accidental Buddhist. Victoria, BC: Trafford, from http://marinagraphy.com/dickinson-female-power-voice/ Dickinson and the Boundaries of Feminist Theory. Copyright © 1991 by the Board of Trustees of the University of Illinois. Feminism in Literature, ©2005 Gale Cengage. All Rights Reserved.Full copyright. From http://www.enotes.com/emily-dickinson-essays/dickinson-emily Marina DelVecchio 2010. http://www.studentpulse.com/articles/569/emily-dickinsons-mylife-had-stood-a-loaded-gun--revealing-the-power-of-a-womans-words Michael Mathews 2013 Feminist Argument: Emily Dickinson's Portrayal of Women in Society from http://voices.yahoo.com/feminist-argument-emily-dickinsons-portrayalwomen-41605.html Reaske, Christopher Russell. 1966. How to Analyze Poetry. USA: Monarch University Siswantoro.2010. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
26
KONFLIK NILAI BUDAYA MENGGESER KONSEP KETUHANAN DALAM BLESS ME, ULTIMA Albertine Minderop
[email protected] ABSTRAK Penelitian yang berjudul “Konflik Nilai Budaya Menggeser Konsep Ketuhanan dalam Bless Me, Ultima”, membahas novel karya Rudolfo A. Anaya, penulis Amerika keturunan Meksiko. Anaya menampilkan seorang tokoh Antonio, berusia enam tahun. Ibunya, Maria berasal dari masyarakat petani (Luna) yang beragama Katolik dan sangat relijius dan mengharapkan puteranya kelak menjadi seorang pastor. Ayahnya, Gabriel, seorang penggembala (cowboy) berasal dari masyarakat Ilano memiliki sifat yang keras, peminum, dan berharap Tony kelak menjadi seorang penggembala. Ultima adalah seorang paranormal mistis yang bijaksana yang membidani kelahiran Tony. Ketiga tokoh dengan nilai budaya yang berbeda ini sangat mempengaruhi kehidupan spiritual Tony. Dalam keseharian, Tony banyak menyaksikan peristiwa yang penuh kekerasan dan penderitaan yang dialami oleh teman-temannya yang pagan dan tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Ia juga menyaksikan kematian dan pembunuhan yang terjadi di desanya. Tony yang awalnya sangat relijius mempertanyakan keberadaan Tuhan, mengapa semua ini bisa terjadi, bukankah Tuhan mahakuasa dan dapat menjadikan segalanya? Tony mempertanyakan ajaran Katolik dan keberadaan Tuhan serta ingin berjumpa denganNya untuk mengetahui mengapa Tuhan berdiam diri atas semua bencana ini dan mengapa Tuhan gemar menghukum manusia? Bergesernya konsep ketuhanan, muncul ketika Tony merasa lelah dan putus asa dalam pencarian Tuhan. Ia berpaling kepada Bunda Maria yang pemaaf, golden carp (ikan mas) yang memberikan kedamaian dan Ultima yang mistis, namun sangat meyakinkan. Keraguannya terhadap Tuhan dikejutkan oleh gelagat alam yang menakutkannya dan musibah yang menimpa diri temannya. Segera Tony tersadar dan merasa sangat berdosa karena meragukan Tuhan. Kata kunci: Nilai budaya, Katolikisme, Adorasi, konsep Ketuhanan 1
PENDAHULUAN
Rudolfo A. Anaya adalah seorang pengarang berkebangsaan Amerika keturunan Meksiko (Chicano) yang lahir di desa Pastura, New Mexico.Ayahnya berasal dari keluarga peternak dan penggembala, ibunya dari keluarga petani.Anaya menyelesaikan pendidikan di University of Mexico dalam bidang bahasa Inggris. Ia menulis beberapa novel seperti Heart of Aztlan (1978), Tortuga (1979) dan salah satu yang terkenal berjudul Bless Me, Ultima(1972). Novel ini memperoleh penghargaan Premio Quinto Sol (penghargaan sastra Chicano) (///D:/Rudolfo Anaya kritik_files/translate_p.htm). Novel ini berkisah tentang tokoh anak laki-laki yang berusia enam tahun, bernama Antonio.Ibunya, Maria berasal dari keluarga petani (masyarakat Luna) dan penganut agama Katolik yang fanatik; sedangkan ayahnya, Gabriel Marez seorang penggembala (cowboy) dari wilayahIlano.Kedua orang tuanya ini memiliki watak yang sangat berbeda. 27
Sang ibu, Maria yang bersifat tenang, lembut dan welas asih menginginkan agar kelak Antonio menjadi seorang pastur; sedangkan ayahnya yang memiliki sifat bising, keras, peminum, gemar berkumpul dengan teman-temannya mengharapkan agar si anak mengikuti jejaknya. Singkatnya, Antonio hidup dalam lingkungan yang kontradiktif, penuh dengan kekerasan, perkelahian dan pembunuhan; namun cukup damai karena pembawaan ibunya yang lembut dan relijiusserta kedekatannya dengan tokoh Ultima, seorang perempuan tua yang membidani kelahirannya. 2
TINJAUAN PUSTAKA
Literatur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder.Sumber primer adalah novel Bless Me, Ultima karya Rudolfo A. Anaya; sedangkan sumber sekunder merupakan literatur pendukung berisi kritik tentang Anaya. Tema yang mencuat dalam Bless Me, Ultima adalah spiritualisme yang muncul dalam diri Antonio. Ia memperoleh kekuatan batin dan spiritual dari tokoh Ultima yang seorang paranormal mistis. Ultima seorang tokoh yang bijaksana selain mampu menyembuhkan penyakit juga memberikan kedamaian dalam diri Antonio (http://www.enotes.com/blessme-qn/themes-characters). Bless Me, Ultima mengundang reaksi yang keras terhadap sastra Chicano kontemporer selain dianggap unik, teknik narasi yang menarik dan kisahannya yang teliti dan liris, novel ini berisi kritik terhadap praktek katolikisme. Novel ini mendapat pujian karena di dalamnya terkandung daya tarik universal filosofis dan diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa. Kiranya layak bila Anaya memperoleh kehormatan sebagai pemimpin literatur Chicano ke dalam canon sastra dunia (file:///D:/rudolfo anaya kritik_files/translate_p.htm). Hubungan simbiosis antara sastra dan filsafat bukan sesuatu yang asing, baik dalam ilmu filsafat maupun ilmu sastra. Kebudayaan merupakan seluruh nilai material dan spiritual yang diciptakan atau sedang diciptakan oleh masyarakat sepanjang sejarah (Lorens Bagus, 1996:424). Kebudayaan dalam arti yang lebih luas mencakup moralitas maupun agama.Kebudayaan merupakan hasil kerjasama individu-individu dalam masyarakat/komunitas manusiawi (Lorens Bagus, 1996; 425). Konsep ketuhanan di sini adalah persepsi tokoh Antonio mengenai Tuhan yang terkait dengan agama Katolik. Agama berkaitan dengan masalah hubungan manusia dengan dunianya dan Allah. Suatu perjuangan mencari Allah sebagai tujuan terakhir dengan keyakinan atas bantuan-Nya dan pelukan Allah dengan cinta yang kekal. Keakraban ini pertama-tama dinyatakan dengan penyembahan, adorasi.Penyembahan adalah penyerahan diri penuh hormat kepada kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Mutlak. Manusia tergerak melakukan tindakan-tindakan ini karena pengalaman yang tidak henti-hentinyaakan keterbatasan-keterbatasannya sendiri. (Bagus, 1996: 13-14). 3
PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah yang mencakup apakah tokoh Antonio mengalami konflik nilai budaya sehingga menggeser konsep ketuhanan.
28
4
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian adalah menunjukkan tokoh Antonio mengalami konflik nilai budaya sehingga menggeser konsep ketuhanan. 5
METODE PENELITIAN
Cara mengkaji novel ini dengan menggunakan analisis konten dan ilmu tafsir atau hermeneutika. Aspek-aspek terkait dibedah, dihayati, dibahas secara mendalam untuk menggali, antara lain, pesan moral/etika, nilai didaktis, nilai filosofis dan nilai relijius (Endraswara, 2008: 160). Paul Ricoeur adalah filsuf yang pada akhirnya menekankan pada analisis semantik – hermeneutik, terutama interpretasi.Ia mengatakan bahwa pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi yang melibatkan simbol-simbol sehingga interpretasi menjadi penting 6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konflik nilai budaya yang dialami oleh tokoh Antonio karena adanya perbedaan nilai-nilai yang dianut si ayah dan ibunya yang sangat tajam. Tokoh ibu yang bernama Maria Marez, berasal dari masyarakat Luna – petani, memiliki watak yang lembut, sangat relijius, penyabar dan ulet. Ayahnya yang bernama Gabriel Marez (cowboy), berasal dari masyarakat Ilano berwatak keras, enerjik, bertemperamen tinggi, suka berfoya-foya dan tidak terlalu relijius. Keinginan ayah dan ibu yang saling bertolak belakang untuk menentukan masa depan anak-anaknya, termasuk Antonio. Ayahnya ingin mereka menetap di Califonia; sedangkan ibunya ini mereka tinggal di lembah Ilano. Ibunya selalu menginginkan agar Antonio jejaknya dan kelak menjadi pastor: “You will be a luna, Antonio. You will be a man of the people, and perhaps a priest.” She smiled (Anaya, 1972: 8). Ibu melanjutkan: “An education will make him a scholar, like – like old Luna priest.” (Anaya, 1972: 50). Ayahnya ingin Antonio menjadi penggembala (cowboy) dan bercerita bahwa ia meninggalkan ibunya ketika ia berusia tujuh tahun dan kakeknya mengenalkan dirinya dengan peternakan kambing di ilano (Anaya, 1972: 58). 6.1
Persepsi Antonio tentang Ibu dan Ayahnya
Ibunya mengharuskan anak-anak berdoa sehingga nuansa peribadatan menjadi sesuatu yang membuat jenuh (Anaya, 1972: 56-7). Mereka terus berdoa hingga keyakinan mereka berubah menjadi kelelahan yang membuat anak-anak tertidur dan ayah memboyongnya ke tempat tidur. Antonio yang berupaya menyenangkan ibuku, juga tertidur (Anaya, 1972: 57). Antonio mulai merasa tidak nyaman dengan kondisi ini, ia tak tahu berapa lama harus berdoa; yang ia rasakan hanya jiwa yang mengambang bersama kesucian doa menuju dunia mimpi. Antonio mengetahui bahwa ayahnya seorang freethinker, bila ia sedang mabuk, ia kerap memanggil pastur sebagai “perempuan” dan mengejek gaun panjang yang dikenakan para pastur sebagai pakaian perempuan. Konon kakeknya dari pihak ayah
29
pernah memukuli seorang pastur karena dalam khotbahnya menyinggung perasaan si kakek. Ibunya selalu menganggap klanMarez sebagai freethinkers yang tidak selaras dengan keyakinan si ibu (Anaya, 1972: 27). Budaya yang melekat pada diri si ayah dipengaruhi oleh pendidikan orang tuanya yang memberikan sadel dan kuda poni liar kepada ayahnya ketika ia berusia sepuluh tahun. Dengan demikian, Ilano adalah pendidikannya, Ilano gurunya, Ilano cinta pertama ayahnya (Anaya, 1972: 51). Antonio galau ketika ia merasa yakin bahwa ayahnya gemar berkunjung ke kompleks Rosie, lokasi hiburan. Ia teringat akan canda ayahnya tentang banteng dan sapi, bersama Serrano (Anaya, 1972: 156). Kegalauan ini membuat Antonio semakin bingung, seraya berpikir: “Dengan demikian mungkin aku tidak selalu harus menjadi Marez, atau Luna, mungkin aku bisa menjadi keduanya, …” (Anaya, 1972: 237). 6.2
Bergesernya Konsep Tentang Ketuhanan
Bergesernya konsep tentang ketuhan yang dialami oleh Antono tidak saja dipengaruhi oleh konflik nilai budaya yang terjadi di dalam keluarganya, namun juga dipengaruhi oleh persepsi teman-temannya tentang Tuhan dan ditambah lagi dengan penderitaan hidup yang disaksikannya. Antonio terus bertanya, apakah manusia boleh mempertanyakan tentang eksistensi Tuhan, ia ingin Tuhan segera menjawab kegalauannya itu. Mengapa terjadi pembunuhan, mengapa kejahatan terus marak. Antonio bertanya apakah Tuhan akan menghukum si pembunuh itu, seharusnya si pembunuh masuk ke neraka, tetapi Tuhan bukan pemaaf (Anaya, 1972: 26). Antonio merasa yakin bahwa Tuhan tidak selalu mengampuni, Ia membuat aturan dan bila manusia melanggarnya, maka mereka akan dihukum karena Tuhan berkuasa (Anaya, 1972: 42). Antonio berpikir mungkin Tuhan tidak melihat pembunuhan itu, karena itu, Ia tidak menghukum Tenorio, mungkin Tuhan sedang sibuk di surga (Anaya, 1972: 42). 6.2.1 Mengapa Tuhan Membiarkan Florence Menderita? Antonio menyimak penderitaan yang dialami sahabatnya, Florence yang hidup menderita sehingga menjadi non-believer. Florence menyangsikan eksistensi Tuhan. Persepsi Antonio tentang Tuhan dipertajam oleh pengaruh temannya Florence yang kerap meragukan keberadaan Tuhan. Florence bercerita bahwa ibunya meninggal ketika ia berusia tiga tahun, ayahnya yang pemabuk menderita hingga tewas. Sambil menunduk dan tersenyum pahit Florence mengatakan bahwa kakak-kakaknya menjadi pelacur yang bekerja di kompleks hiburan Rosie (Anaya, 1972: 188). Mendengar paparan temannya ini, Antonio merasa sangat iba dan merasa lebih dekat dengannya.Tersentuh oleh curahan perasaan Florence, Antonio bertanya pada dirinya sendiri bagaimana Tuhan bisa membiarkan semua ini menimpa seorang anak. Florence melanjutkan keluhannya, ia tak pernah minta dilahirkan, tetapi Tuhan memberinya kehidupan, memberinya nyawa dan menurunkannya ke bumi untuk dihukum. Mengapa? Apa yang pernah ia lakukan terhadap Tuhan sehingga Ia membuatnya seperti ini? (Anaya, 1972: 188). Mengapa pembunuhan terhadap Narciso dibolehkan? Mengapa kejahatan dibolehkan? Antonio berpikir, mungkin kondisi ini seperti yang dikatakan pendeta bahwa mungkin Tuhan menyuguhkan penderitaan ke hadapan manusia agar manusia mampu mengatasinya. Bila manusia dapat mengatasi semua kesulitan dan penderitaan ini, maka mereka akan menjadi penganut Katolik yang baik dan layak bersamaNya di surga (Anaya, 1972: 188). Florence mengajak Antonio merenung, bagaimana Tuhan harus menguji seorang anak berusia tiga tahun yang tidak mengetahui apa-apa. Seandainya Tuhan tahu segalanya,
30
mengapa Tuhan tidak membuat manusia sesuai dengan kehendakNya sehingga semua dapat saling berbuat baik kepada sesama? Bukankah Tuhan dapat menciptakan musim panas selamanya, pohon-pohon apel senantiasa berbuah dan telaga biru selalu bersih dan hangat sehingga nyaman untuk direnangi, ketimbang Tuhan menciptakan kondisi seperti sekarang ini. Apakah itu benar? (Anaya, 1972: 188). Maxi terserang polio hingga lumpuh, sepupunya terseret oleh seekor kuda dan tulang kepalanya pecah. Mereka menemukannya dua minggu kemudian, di tepi sungai, dipatuki oleh burung gagak dan elang. Mengetahui peristiwa ini, ibunya nyaris hilang ingatan. Apa itu benar? Tanya Florence (Anaya, 1972: 189). 6.2.2 Mengapa Tuhan Tidak Mampu Menyembuhkan Penyakit? Antonio bertambah galau ketika ia menyaksikan dokter dan pastor tidak mampu menyembuhkan penyakit; justru Ultima yang mistis itu yang mampu melakukannya (Anaya, 1972: 92). Ia menyiapkan jiwa dan raganya untuk menerima Tuhan, namun tak pernah ada komunikasi denganNya. Kadang-kala dalam kegalauan dan kekecewaan ia merasa ragu apakah Tuhan masih hidup. Tuhan tidak mampu menyembuhkan pamannya Lucas atau membebaskan keluarga Tellez dari kutukan dan Tuhan pun tak mampu menyelamatkan Lupito atau Narciso. Namun demikian, Tuhan berhak memasukkan manusia ke neraka atau ke surga ketika mereka meninggal dunia (Anaya, 1972: 226-7). 6.2.3 Dapatkah Tuhan Digantikan? Antonio memohon kepada Tuhan agar Tuhan menjawab pertanyaannya, tetapi yang didapatkannya sekedar suara angin berembus mengisi kekosongan, memejamkan mata berupaya membayangkan Bunda Maria yang berubah menjadi Tuhan seraya memohon sebagaimana permohonannya kepada Tuhan (Anaya, 1972: 130). 6.2.4 Persepsi tentang Bunda Maria dan The Golden Carp Mendengarkan kebida’ahan Florence, Antonio tersadar, ia tak mau terhasut oleh pandangan Florence tentang Tuhan. Ia ingin berteriak dengan mengatakan bahwa ia tak merasa takut. Antonio meneruskan, bagaimana kalau Bunda Maria atau Ikan Emas yang menggantikan Tuhan (Anaya, 1972: 190). Mengapa kekuasaan Tuhan tak mampu melawan kejahatan yang menimpa keluarga Tellez? Mengapa kondisi ini terus berlangsung? (Anaya, 1972: 215). Apakah ikan emas juga akan menghukum manusia? Tuhan yang ada selama ini sudah melakukannya. Menenggelamkan atau membakar, hukuman sama saja. Bunda Maria telah mengampuni orang-orang yang telah membunuh puteranya. Bunda Maria selalu memaafkan. Mungkin dewa yang terbaik akan seperti seorang perempuan, karena hanya perempuan yang benar-benar paham cara memaafkan (Anaya, 1972: 130). Persepsi Antonio tentang Ikan Emas (golden carp) dipengaruhi oleh pandangan teman-temannya. Antonio berniat menyampaikan kepada masyarakat dongeng tentang ikan emas, namun Cico mengatakan bahwa mereka akan membunuh ikan tersebut. Tuhan yang ada di gereja, tuhan yang pencemburu, ia tak akan mampu hidup berdampingan dengan tuhan lainnya. Ia akan memerintahkan pasturnya untuk membunuh ikan emas itu (Anaya, 1972: 227). 6.3
Tertimpa Bencana Karena Meragukan Tuhan?
Di dalam kebimbangan kedua anak ini tentang Tuhan, tiba-tiba angin bertiup kencang di sekeliling mereka seakan-akan menelan apa yang mereka perbincangkan, langit bergetar
31
karena deraan halilintar. Antonio merasa ketakutan seraya membuat tanda salib di dahinya sambil berteriak “ampuni aku Tuhan!” Namun suara halilintar terus menggelegar (Anaya, 1972: 190). “Oh Tuhan ampunilah segala dosaku, “Karena perilaku anak-anak yang tidak menyenangkanMu, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang …” (Anaya, 1972: 210). Tiba-tiba seorang anak berteriak bahwa Florence tenggelam, padahal ia pandai berenang. Mereka menyaksikan tubuh Florence diangkat dari air, menggelinding perlahan, terkena sinar mentari. Rambut pirangnya yang panjang bergerak gemulai, seperti tumbuhan air yang keemasan, bersamaan dengan gejolak air danau, tubuhnya pun muncul,matanya terbuka seakan memandang mereka.Tampak warna kehitaman di matanya (Anaya, 1972: 229). Antonio berlutut di sisi jasad yang basah, disentuhnya dahinya, terasa dingin. Rambutnya bercampur dengan lumut, pasir menempel di kulitnya, jasad yang tampak hitam mulai dikerubungi semut. (Anaya, 1972: 230). Antonio merasa berdosa. Menyaksikan dan mengalami semua ini, Antonio mulai sadar dan merasa berdosa: “Oh Tuhan!, apakah aku berdosa?” (Anaya, 1972: 156). 7
PENUTUP
Sungguh menegangkan kisahan novel Bless Me Ultima ini! Pada awalnya para pembaca akan merasa digiring oleh pandangan Anaya tentang penolakannya terhadap Tuhan. Namun akhir cerita merupakan antiklimaks, ketika tokoh anak-anak ini mengalami penderitaan dan bencana karena keraguan mereka kepada Tuhan. Pengarang menggunakan tokoh anak-anak mungkin sekedar meredakan perdebatan isi novel ini. Sesungguhnya pertanyaan tokoh anak-anak tersebut, khususnya antonio tentang keberadaan Tuhan, mungkin saja hinggap di benak orang dewasa dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini Anaya cukup berani menggambarkan secara gamblang tentang keraguan manusia terhadap Tuhan, walaupun menampilkan tokoh anak-anak, khususnya ketika mereka menghadapi penderitaan. Pada akhirnya pembaca tentunya sepakat bahwa pengarang bukan menyajikan pandangan atheis, melainkan kritik terhadap moralitas dalam pemikiran reliji yang menggugah kesadaran manusia tentang ketuhanan. Hal yang menarik dari novel ini adalah ketika anak-anak berkelahi sekedar untuk membela Tuhan. Anaya ingin mengatakan mengapa Tuhan yang Maha Segalanya itu harus dibela sehingga terjadi perkelahian, kekerasan dan pembunuhan? Kemudian Antonio berpikir, mungkin kekerasan inilah yang membuat florence tidak percaya kepada Tuhan: I thought that perhaps it was this kind of strength that allowed Florence to say he did not believe in God (Anaya, 1972: 205). 8
DAFTAR PUSTAKA
Anaya, Rudolfo,A. 1972. Bless Me, Ultima. California: TQS Publications. Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Cuddon, JA. 1979. A Dictionary of Literary Terms.Bucks: Penguin Books. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta 12620: Penerbit Medpress. Kaunang, Tumoutou Passah. 2012. Kritik Rudolfo Anaya (tesis). Jakarta: Kajian Wilayah Amerika, Universitas Indonesia. Minderop, Albertine. 2011. Pemikiran Dalam Bless Me, Ultima (belum diterbitkan). Jakarta: Universitas Darma Persada Mudji Sutrisno, SJ. 1995. Filsafat, Satra dan Budaya.Jakarta: Penerbit Obor.
32
Raman. 1989. Practicing Theory and Reading Literature – An Introduction.Kentucky: The University Press of Kentucky. Spradley, James dan Michael A. Rynkiewich.1975.Nacirema – Reading on American Culture.Washington DC: Library of Congress. Sumaryono, E. 1995.Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta 55011: Penerbit Kanisius.. http://www.enotes.com/bless-me-qn/themes-characters file:///D:/rudolfoanayakritikfiles/translate.p.htm Selden,
33
PENTINGNYA MENCERMATI SELF-INSTRUCTION DAN SELFESTEEM DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ASING: STUDI KASUS PENGAJARAN MENYIMAK Apriliya Dwi Prihatiningtyas Fakultas Sastra Jurusan Bahasa dan Sastra Cina
[email protected] ABSTRAK Penelitian berbasis kelas ini dilakukan untuk mencermati faktor personal, yakni selfinstruction atau instruksi diri dan self-esteem atau harga diri yang secara langsung memengaruhi keberhasilan pembelajaran bahasa asing, dalam hal ini keterampilan menyimak. Dengan mengelompokkan mahasiswa berdasarkan status mahasiswa dan latar belakang kemampuan semester sebelumnya akan membantu pengajar menentukan strategi yang sesuai agar dapat mencermati faktor termaksud sehingga dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan keaktifannya yang berpengaruh pada kemampuan menyimaknya. Selain mencermati kedua aspek ini melalui kegiatan kelas yang meragamkan bentuk latihan, pengajar juga menggunakan daftar tanyaan. Perkembangan hasil belajar dapat dievaluasi melalui ujian tengah dan akhir semester. Isian daftar tanyaan digunakan untuk mengetahui lebih dalam aspek instruksi diri dan harga diri masing-masing mahasiswa. Daftar tanyaan ini dapat dikontraskan dengan hasil penelitian lapangan dan hasil evaluasi belajar berjangka sehingga membantu pengajar menajamkan penilaiannya terhadap mahasiswa asuhannya. Pada dasarnya mahasiswa yang diteliti memiliki kemampuan yang bisa didorong agar memicu tumbuhnya instruksi diri dan harga diri. Namun faktor lain seperti status mahasiswa dan latar belakang kemampuan ternyata dapat membuat rasa percaya diri mahasiswa melemah sehingga sulit baginya menumbuhkan kedua aspek tersebut. Kata kunci: self-instruction, self-esteem, menyimak, pembelajaran, keberhasilan. 1.
PENDAHULUAN
Menyimak dalam pengajaran bahasa asing biasanya menjadi keterampilan yang tidak disukai mahasiswa bahasa asing, terutama mahasiswa bahasa Cina. Perbedaan bunyi dan adanya unsur suprasegmental yang menjadi kekhasan bahasa ini menjadikan mahasiswa selalu merasa kesulitan menyimak dengan baik konteks yang diperdengarkan. Beberapa mahasiswa dapat menikmati kegiatan menyimak, namun sebagian yang lain bisa jadi merasa tertekan khususnya apabila pengajar tidak memberikan bantuan berupa diskusi gagasan, kosakata, gambar, dan beragam bentuk latihan menyimak. Akibatnya pengajar selalu bekerja ekstra untuk membantu para mahasiswa agar dapat memahami konteks yang diperdengarkan. Dampak lain yang muncul adalah mahasiswa menjadi tidak mandiri dan kemungkinan tidak terjadi interaksi di dalam kelas menjadi sangat besar. Mencermati selfinstruction dan self-esteem yang dibutuhkan dalam belajar bahasa asing akan membantu pengajar dalam mempersiapkan kelas menyimak sekaligus dapat menjadikan mahasiswa sebagai penyimak mandiri. Dalam kelas menyimak, mahasiswa cenderung mengandalkan pengajar untuk dapat memahami tema yang diperdengarkan. Pada sebagian kasus, mahasiswa menganggap kesulitan ini berasal dari bahan ajar yang disajikan akibatnya pengajar cenderung sepenuhnya mengendalikan kelas. Hal ini akan membuat mahasiswa menjadi pasif dan 34
memiliki ketergantungan yang tinggi pada pengajar. Oleh karena itu, mencermati selfinstruction (instruksi diri) dan self-esteem (harga diri) mahasiswa melalui pengamatan aktivitas mereka dalam kelas menyimak dan menilai proses dan hasil aktivitas ini, dapat membantu pengajar memberi masukan agar mahasiswa mandiri saat kegiatan menyimak berlangsung dan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapinya saat berlatih di luar kelas. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Dickinson (1987:11) mendefinisikan self-instruction atau instruksi diri sebagai situasi ketika mahasiswa belajar dan berupaya melakukan kegiatan belajarnya tanpa kendali langsung dari pengajar. Self-instruction mengacu pada tanggung jawab pribadi dalam proses belajar, khususnya bahasa asing. Dorongan self-instruction yang kuat akan memberi dampak yang baik pada proses belajar bahasa asing, demikian berlaku sebaliknya, apabila dorongan tersebut lemah maka proses belajar bahasa asing tidak akan berjalan sesuai rencana. Sementara self-esteem atau harga diri yang merupakan aspek mendasar perilaku manusia dianggap oleh Brown (2000:144-145) sebagai faktor personal yang juga memengaruhi keberhasilan proses belajar bahasa asing. Oleh karena itu, mencermati kedua aspek ini agar proses pembelajaran berjalan baik dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan akan sangat membantu pengajar memandu jalannya kelas bahasa asing. Dalam pembelajaran bahasa asing kedua hal ini menjadi aspek yang sangat penting dalam mendukung proses pembelajaran yang akhirnya akan sangat memengaruhi hasil yang dicapai. Ada lima alasan yang membuat dua aspek ini direkomendasikan untuk dicermati dalam pembelajaran bahasa asing.
Instruksi Diri
Alasan Praktis
Perbedaan Individu di antara Pembelajar
Bakat Belajar Bahasa
Strategi dan Gaya Kognitif
Tujuan Pembelajaran
Meningkatkan Efisiensi Pembelajaran: Faktor afektif (selfesteem)
Tujuan Pembelajaran yang Lebih Luas: otonomi&persyaratan studi lanjutan
Motivasi
Faktor yang Memengaruhi Motivasi
Mempelajari Cara Belajar Bahasa Asing
Motivasi Ekstrinsik dan Intrinsik
Strategi Belajar
Bagan 1. Penjabaran Self-Instruction (Dickinson, 1987:19) Alasan praktis mengacu pada kondisi yang mengharuskan mahasiswa untuk belajar bahasa asing. Perbedaan yang khas pada tiap mahasiswa dianggap memiliki peran penting dalam pembelajaran bahasa. Tujuan pembelajaran terbagi atas peningkatan efisiensi belajar dan tujuan yang lebih luas. Stern (1983:411) menyatakan bahwa mahasiswa yang baik akan menunjukkan empat strategi dasar dalam proses belajarnya. Mahasiswa yang baik memiliki strategi perencanaan yang aktif yang menunjukkan kemampuan memilih tujuan jangka panjang dan jangka pendek dari proses belajarnya serta memahami pemeringkatan dan tahapan perkembangannya. Mahasiswa yang baik memiliki strategi 35
pembelajaran akademik yang mampu menunjukkan pemahamannya atas bahasa sebagai sistem formal dengan aturan dan hubungan yang reguler di antara bahasa dan makna. Mereka selalu memonitor penggunaan bahasanya dan segera memperbaiki kesalahan demi kemajuannya. Mahasiswa yang baik akan memiliki strategi pembelajaran sosial yang menunjukkan kesadaran sikapnya bahwa pada tahap awal pembelajaran mereka akan memiliki ketergantungan pada bahasa sasaran. Mahasiswa yang baik memiliki strategi yang efektif dalam mengatasi masalah emosi dan motivasi dalam pembelajaran bahasa. Self-instruction membantu mahasiswa mengembangkan dua strategi pertama sekaligus mendukung mahasiswa dalam pengembangan strategi pembelajaran sosial dan penanganan masalah motivasi dan emosi dari pembelajaran bahasa. Self-instruction membantu mahasiswa memeroleh dua strategi pertama dengan membangkitkan mereka untuk lebih bertanggungjawab terhadap proses belajar mereka. Hal ini sekaligus menyadarkan mereka untuk mempertimbangkan kebutuhan pembelajaran mereka dan pada beberapa kasus membuat mahasiswa menganalisis proses pembelajarannya secara substansial. Dengan demikian, mahasiswa menyadari tujuan pembelajaran yang ideal dan memahami pemeringkatan dan penahapan dalam proses belajar bahasa. Mereka juga mulai cermat menentukan tujuan jangka panjang dan pendek yang relevan, dan memonitor serta mengukur pencapaian usahanya melalui beragam teknik self-assessment. Faktor personal yang mendukung suksesnya pembelajaran bahasa adalah afektif. Faktor afektif mengacu pada sikap mahasiswa terhadap bahasa sasaran dan penggunanya serta tanggapan emosionalnya. Salah satu faktor afektif yang mendukung keberhasilan pembelajaran bahasa adalah self-esteem atau harga diri. Manusia mendapatkan rasa atau nilai atas harga diri dan kepercayaan dirinya dari akumulasi pengalaman pada dirinya maupun pengalaman dengan orang lain dan melalui penilaian masyarakat atau lingkungannya. Ada tiga tingkatan umum self-esteem yang disampaikan oleh Brown (2000:145), yakni: 1) Umum atau global; self-esteem relatif stabil pada orang dewasa dan cenderung sulit diubah kecuali melalui terapi khusus yang berkelanjutan. 2) Situasional/spesifik; pada tingkat ini seseorang sangat tergantung pada situasi atau kondisi yang ada, baik pada interaksi sosial, dalam dunia kerja, lingkup pendidikan, di dalam keluarga, atau karena faktor lain seperti intelegensi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan atletik dan perilaku, seperti berempati, penuh perhatian, dan fleksibel. 3) Task self-esteem berhubungan dengan penugasan khusus dalam situasi tertentu. Misalnya dalam domain pendidikan, self-esteem mengacu pada wilayah permasalahan seseorang. Self-esteem spesifik secara umum termasuk dalam pemerolehan bahasa kedua, dan task self-esteem mengacu pada evaluasi diri seseorang dari proses aspek tertentu, yakni aspek berbicara, menulis, kelas tertentu dalam bahasa kedua, atau bahkan pada latihan kelas yang khusus. Tujuan pembelajaran yang lebih luas dapat berupa otonomi, yakni situasi mahasiswa bertanggungjawab atas segala keputusan yang berkaitan dengan pembelajarannya dan mulai merealisasikan keputusan yang diambilnya. Mahasiswa dewasa seharusnya memiliki kesempatan belajar sebesar dan sebanyak tanggung jawab dalam proses tersebut sepanjang mampu mengatasinya. Hal ini akan memaksa mahasiswa menganalisis kebutuhannya sendiri, menentukan tujuan yang lebih khusus lagi, memilih proses yang akan dilaluinya untuk mencapai tujuan tersebut dan mengukur tingkat keberhasilan yang dicapainya.
36
Persyaratan studi lanjutan juga merupakan tujuan pembelajaran yang lebih luas yang akhirnya ditempuh mahasiswa akibat perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi. Kemajuan zaman akan menuntut setiap individu memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh bidang pekerjaannya. Perkembangan budaya dan masyarakat menjadi implikasi bagi pembelajaran bahasa. Tuntutan adanya studi lanjutan dapat diatasi dengan mengadopsi beberapa bentuk model self-instruction. Hubungan motivasi dengan self-instruction sangatlah kompleks. Ada empat komponen utama dari motivasi yang diusung oleh Stern’s dalam Dickinson (1987:29-30), yaitu sikap khusus kelompok yang mengacu pada sikap mahasiswa terhadap komunitas pengguna bahasa sasaran; motif mahasiswa mempelajari bahasa sasaran dibedakan atas motivasi integratif yang merupakan keinginan untuk bisa diterima oleh komunitas pengguna bahasa sasaran, dan motivasi instrumental yang mengacu kepada kebutuhan mempelajari bahasa sasaran untuk tujuan yang berkaitan dengan pekerjaan atau pendidikannya; faktor afektif mengacu kepada ketertarikan pada bahasa asing dan pengakuan atas kemampuan yang telah dicapainya; motivasi intrinsik dan ekstrinsik sangat penting di dalam proses belajar bahasa asing. Dalam kasus tertentu, motivasi ekstrinsik yang berupa penilaian kemampuan yang dihargai (seperti insentif, kenaikan pangkat, kesempatan mendapatkan beasiswa dan lain-lain) dapat berubah menjadi motivasi intrinsik yang akhirnya menjadi penentu keberhasilannya dalam mempelajari bahasa asing. Dorongan self-instruction dan selfesteem mahasiswa akan semakin besar tentunya. Memahami cara belajar bahasa asing akan membuat proses belajar menjadi lebih mudah dan tidak menimbulkan tekanan. Memberi mahasiswa kesempatan seluas-luasnya untuk mengeksplorasi kemampuannya, menggunakan bahasa yang dipelajarinya, mengembangkan metode belajar yang sesuai dengan dirinya akan sangat membantu kedua belah pihak mencapai keberhasilan proses belajar bahasa asing. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa kelas menyimak bahasa Mandarin semester empat, universitas ini sebanyak 25 orang dengan rincian lima orang adalah mahasiswa mengulang, lima orang mahasiswa pindahan dan sisanya tidak. Pengajar memberi perhatian khusus pada kelima orang ini karena berkeyakinan biasanya secara psikologis mahasiswa mengulang memiliki rasa percaya diri yang rendah. Dari 20 mahasiswa ini, separuhnya memiliki kemampuan menyimak yang kurang (berdasarkan pengalaman semester-semester sebelumnya). Oleh karena itu, pengajar juga memberi perhatian khusus pada mahasiswa ini agar dapat dinilai kemajuannya. Pada pengajaran kelas menyimak, pengajar selalu memberi petunjuk untuk menyimak teks yang akan diperdengarkan pada pertemuan berikutnya. Pada saat kelas menyimak berlangsung, pengajar memberi kesempatan kepada setiap mahasiswa untuk menuliskan kosakata yang mereka dengar, lalu didiskusikan. Setiap mahasiswa dapat memberikan pendapatnya berkaitan dengan teks. Dari diskusi ini, setelah enam kali pertemuan, akan terlihat derajat keaktifan mahasiswa saat kelas menyimak berlangsung. Penilaian ini dapat dianalisis untuk melihat seberapa tinggi self-instruction dan self esteem yang dimiliki mahasiswa. Penilaian kedua dapat dilihat dari latihan yang disajikan pengajar setelah kegiatan menyimak selesai. Keragaman bentuk latihan akan membantu pengajar melihat strategi mahasiswa dalam memahami teks yang diperdengarkan. Kemajuan atau bahkan kemunduran kemampuan mahasiswa akan terlihat dari hasil yang mereka kerjakan. Untuk dapat mengetahui lebih dalam mengenai self-instruction dan self esteem yang dimiliki mahasiswa, pengajar meminta mahasiswa mengisi daftar tanyaan berkenaan dengan keterkaitan dua aspek ini dalam mendukung
37
keberhasilan proses pembelajaran bahasa asing. Evaluasi hasil kegiatan dapat dilakukan dua kali, yakni pada Ujian Tengah Semester dan Ujian Akhir Semester. Dari evaluasi ini akan terlihat kemajuan yang dialami oleh mahasiswa yang memiliki dorongan selfinstruction dan self esteem yang kuat. Dari hasil pengamatan dan isian daftar tanyaan dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: 3.1
Enam pertemuan sebelum Ujian Tengah Semester: 3.1.1 Mahasiswa yang mendapat perhatian khusus hanya sekali dua kali berani menuliskan kosakata yang didengarnya di papan tulis untuk didiskusikan bersama, sementara mahasiswa yang biasa aktif tetap menunjukkan keaktifannya. 3.1.2 Mahasiswa yang mendapat perhatian khusus menyelesaikan latihan berdasarkan pemahamannya, sementara mahasiswa yang lain berdasarkan pemahamannya dilengkapi dengan hasil diskusi kelas. 3.1.3 Hasil Ujian Tengah Semester: mahasiswa yang mendapat perhatian khusus mulai berani menebak gagasan berdasarkan kosakata yang didengarnya sehingga pencapaian pemahaman menjadi lebih baik, sementara mahasiswa yang lain menunjukkan pencapaian yang sangat baik. 3.1.4 Enam pertemuan setelah Ujian Tengah Semester: 3.1.4.1 Sebagian mahasiswa yang mendapat perhatian khusus mulai berani bersaing untuk menuliskan kosakata yang didengarnya di depan kelas, namun sebagian lain tidak menunjukkan kemajuan bahkan kemunduran. Di lain pihak, mahasiswa yang biasa aktif semakin menunjukkan keberaniannya. 3.1.4.2 Sebagian mahasiswa yang mendapat perhatian khusus menyelesaikan latihan berdasarkan pemahamannya dan sebagian hasil diskusi kelas, namun sebagian yang lain masih sulit melakukan hal itu karena pengajar tidak lagi banyak memandu bahan simakan namun hanya memandu jalannya diskusi kelas. Mahasiswa yang biasa aktif, menunjukkan kemajuan yang sangat baik dalam pemahaman gagasan secara keseluruhan dan secara rinci serta mampu menyampaikannya dengan runut menggunakan bahasanya sendiri. 3.1.5 Hasil Ujian Akhir Semester: sebagian mahasiswa yang mendapat perhatian khusus gagal menyelesaikan soal ujian karena terjebak dengan ketergantungan saat diskusi kelas saja. Mereka tetap sulit menumbuhkan inisiatif dan kemandiriannya dalam kegiatan menyimak. Sebagian yang lain menunjukkan pencapaian yang setara dengan kesehariannya. Mahasiswa yang aktif menunjukkan pencapaian yang sangat memuaskan. 3.1.6 Dari hasil isian daftar tanyaan terlihat bahwa sebagian mahasiswa bahasa asing menyukai cara belajar yang menggabungkan konsentrasi menyimak dengan membaca. Menyimak tanpa bantuan visual (teks maupun gambar) sering dihindari oleh mahasiswa. Komunikasi yang berkaitan dengan simakan langsung yang menuntut respon langsung pun dihindari. Sebagian mahasiswa menyukai tantangan dengan bermodalkan “nekat”, namun sebagian yang lain memilih jalur yang sangat aman, yakni “diam”. Mereka jarang berinisiatif memulai komunikasi, namun hanya mengikuti alur pembicaraan saja tanpa berinisiatif membuka, menyela atau bahkan menutupnya. Mahasiswa biasanya memilih pasif dalam komunikasi langsung. Menyimak yang mereka pilih pun menyimak yang tidak membutuhkan respon langsung yang tentunya
38
menuntut kemampuan kompleks dari sebuah kegiatan menyimak, seperti menyimak lagu atau menonton film sehingga aspek afektif seperti harga diri tidak dipertaruhkan di depan umum. Strategi ini mengakibatkan mahasiswa tidak berinisiatif dalam kegiatan kelas menyimak tanpa panduan. Tidak banyak mahasiawa yang mengetahui strategi yang sesuai dengan karakternya sehingga selalu menemui kesulitan dalam kegiatan kelas menyimak. 4.
KESIMPULAN, MANFAAT DAN SARAN
Mahasiswa yang diteliti ini pada dasarnya memiliki kemampuan yang bisa didorong agar memicu tumbuhnya instruksi diri dan harga diri. Namun faktor lain seperti status mahasiswa dan latar belakang kemampuan ternyata dapat membuat rasa percaya diri mahasiswa melemah sehingga sulit baginya menumbuhkan kedua aspek tersebut. Keaktifan teman lain akhirnya menimbulkan dua kemungkinan, terpacu atau sebaliknya menyerah. Penelitian ini memang akan sangat membantu hasil akhir jika dilakukan di awal perkuliahan semester pertama sehingga dapat dijajaki motivasi awal, tujuan pembelajaran, strategi dan gaya belajar, opini pribadi mahasiswa mengenai pembelajaran bahasa asing sehingga dapat dikenali karakter pembelajarannya. Penelitian lanjutan dengan obyek yang sama dapat dilakukan pada semester akhir mengambil mata kuliah kemahiran ini (tahun ketiga semester genap) sehingga dapat dilihat grafik kenaikan maupun penurunan instruksi diri dan harga diri mahasiswa tersebut. Pengajar yang baik seyogyanya memerhatikan mahasiswanya dari berbagai sisi. Setidaknya saat memulai perkuliahan, pengajar dapat mengetahui tujuan dan motivasi mahasiswa mengambil jurusan ini. Mungkin terkesan terlambat atau bahkan dianggap basi, namun seberapa besar konsistensi mahasiswa terhadap motivasi awalnya mengambil jurusan ini akan sangat membantu pengajar memandu kelas sepanjang semester berjalan. Dengan demikian, pengajar akan dapat menyiasati segala kemungkinan yang akan muncul di tengah perjalanan semester ini. Pengajar juga akan menjadi bebas dan leluasa menggunakan beragam strategi pengajaran yang akan membuat mahasiswa menikmati kelas dan terhindar dari kebosanan. Jika mahasiswa telah memiliki dorongan selfinstruction dan self-esteem yang memadai karena kesadaran belajarnya yang tinggi, pengajar tidak perlu bersusah payah membuat mahasiswa ini mampu mengejar target yang telah ditentukan. Namun jika ternyata berhadapan dengan mahasiswa yang ‘terpaksa’ belajar, pengajar dapat berdiskusi dengan mahasiswa tersebut agar terjalin saling pengertian di antara keduanya. Pengajar dapat memberikan penghargaan yang bersifat penugasan bergengsi seperti menjadi tutor pendamping bagi mahasiswa yang perkembangannya lambat bagi mahasiswa yang berprestasi. Sementara bagi mahasiswa yang perkembangannya lambat dapat diberi sanksi yang bersifat penugasan yang melatih mahasiswa agar mampu mengembangkan kemampuan menyimaknya secara mandiri seperti menyimak bahan yang diperkirakan disukai lalu mendaftar kosakata yang pernah didengarnya atau diketahuinya, membuat kalimat dengan kosakata tersebut, dan menebak gagasan berdasarkan konteks. 5.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Douglas H. 2000. Principles of Language Learning and Teaching, Fourth Edition. New York: Longman Inc.
39
Brumfit, Christopher. 1989. Communicative Methodology in Language Teaching. New York: Cambridge University Press. Dickinson, Leslie. 1987. Self-instruction in Language Learning. New York: Cambridge University Press. Hedge, Tricia. 2002. Teaching and Learning in the Language Classroom. New York: Oxford University Press. Hutchinson, Tom and Alan Water. 1993. English for Specific Purposes: A learningcentered approach. New York: Cambridge University Press. Nunan, David. 1992. Research Methods in Language Learning. Cambridge: Cambridge University Press. Underwood, Mary. 1989. Longman Handbooks and Language Teacher, Teaching Listening. Longman Inc. New York. http://konselor-profesional.blogspot.com/2012/03/faktor-faktor-yang-mempengaruhi hargadiri.html upi.edu/Direktori/FPOK/JUR_PEND_OLAHRAGA/197409072001121_DIDIN_BUDIM AN/psikologi-olahraga/positive_self_esteem.pdf
40
ORANG CINA DI INDONESIA, BUKAN ORANG CINA CHINESE PEOPLE IN INDONESIA, NOT CHINESE C. Dewi Hartati Program Studi Sastra Cina, Fakultas Sastra Universitas Darma Persada
[email protected] ABSTRAK Film ataupun lagu dapat memperkuat kesadaran identitas etnis. Salah satu hal yang dirasakan oleh para keturunan Tionghoa adalah menonton film Mandarin, mendengar lagu Mandarin sangat membantu ingatan akan identitas mereka. Media elektronik berperan sebagai penguat rasa jati diri kebangsaan. Interaksi dengan media elektronik dapat mempengaruhi pembentukan identitas atau jati diri budaya. Keinginan untuk mempertahankan tradisi dan budaya nampaknya lebih kuat pengaruhnya dari pada kebijakan asimilasi yang dipaksakan.
Kata kunci : identitas etnis, interaksi, asimilasi ABSTRACT Movie or song can strengthen the awareness of ethnic identity. One of the things perceived by the ethnic Chinese Mandarin is watching Mandarin movies, listening to Mandarin songs is helpful to recollection their identity. Electronic media act as flavor enhancers national identity. The interaction with the electronic media can influence the formation of identity or cultural identity. The desire to preserve the tradition and culture seems stronger influence than the policy of forced assimilation. Key words : ethnic identity, interaction, assimilation 1.
PENDAHULUAN
Penelitian ini perlu dilakukan karena penelitian yang bertemakan masalah etnis khususnya etnis Cina di Indonesia menjadi perhatian khusus bidang budaya. Orang Cina di Indonesia sangat unik, uniknya keadaan ini tidak terdapat di negara lain. Guncangan yang dialami oleh etnis ini tidak pernah dialami oleh orang Cina di negara lain. Orang Indonesia Cina hidup dengan kondisi sosial, politik dan sejarah yang rumit selama beberapa generasi. Selama penjajahan, dengan politik devide et impera, dan sistem ras tripartit yang membagi masyarakat dalam tiga golongan, menempatkan etnis ini di bawah orang Belanda, dan di atas kaum pribumi Indonesia. Pembantaian orang Cina di Jawa pada tahun 1740 oleh pemerintah Belanda untuk menekan perkembangan etnis ini telah menyebabkan etnis ini menjadi korban pemerintah kolonial Belanda. Kaum pribumi pun membenci mereka karena golongan ini secara sosial berada di atas orang pribumi yang merupakan penduduk asli. Setelah Indonesia merdeka, masalah yang dihadapi etnis ini adalah masalah kewarganegaraan mereka.Mereka dapat memilih untuk menjadi orang Indonesia atau menolak kewarganegaraan Indonesia selama kurun waktu dua tahun (1949-1951). Keputusan tahun 1949, menyebabkan lahirnya dua golongan yaitu golongan peranakan dan totok.Selama masa pemerintahan Presiden Soeharto dan masa Orde Baru, nyaris etnis Cina
41
tidak memiliki identitas etnis mereka. Segala bentuk penggunaan bahasa, praktik budaya dilarang pemerintah. Jatuhnya pemerintahan orde Baru pada 1998 yang diiringi dengan terjadinya kerusuhan etnis, di mana etnis Cina menjadi korban penjarahan, perkosaan telah menyebabkan trauma mendalam bagi etnis ini. Inilah yang sering dikatakan bahwa etnis Cina di Indonesia sangat berbeda dengan etnis Cina di Negara lain karena apa yang mereka hadapi sangat berbeda dengan etnis keturunan Cina lainnya di Negara lain. Setelah masa reformasi, di mana era reformasi dan kebebasan mulai dapat dirasakan oleh etnis Cina. Mereka dapat dengan bebas mempelajari bahasa Mandarin, menyanyikan lagulagu Mandarin, terbitnya koran dan majalah-majalah berbahasa Cina, menonton film Mandarin, membuat etnis Cina dapat merasakan bangkitnya kembali identitas etnis mereka. Mereka dapat memunculkan nama Tionghoa, memeluk keyakinan tradisinya dan dapat mengakui identitas etnis baik pribadi maupun sosial sebagai orang Cina. 2.
Metodologi Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif. Penelitian eksploratif bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu atau mendapat ide-ide baru mengenai gejala itu sehingga dapat merumuskan masalah secara lebih terperinci. Penelitian ini juga bersifat deskriptif karena penelitian ini akan memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan, wawancara, dan observasi.Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data, yaitu konsep-konsep. Penelitian lapangan akan dilakukan melalui wawancara, penyebaran angket dan observasi.Penelitian lapangan akan dilakukan di suatu organisasi marga. Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif. Penelitian eksploratif bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu atau mendapat ide-ide baru mengenai gejala itu sehingga dapat merumuskan masalah secara lebih terperinci. Penelitian ini juga bersifat deskriptif karena penelitian ini akan memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan wawancara.Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data, yaitu konsepkonsep, teori dan pembahasan dari tema penelitian ini. Kepustakaan mengenai nama keluarga sebagai identitas etnis akan ditinjau berdasarkan tiga bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Indonesia, dan Mandarin. Secara sederhana identitas dipahami sebagai konsep pribadi mengenai diri di dalam sebuah konteks sosial, geografis, budaya, dan politik. Wawancara dilakukan untuk mengetahui dan memahami tanggapan orang keturunan Cina mengenai konsep identitas atau jati diri mereka.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut Mathews dalam Samovar dkk, identitas adalah bagaimana diri menyusun dirinya sendiri dan label untuk dirinya sendiri.(Samovar dkk, 2007:11). Dalam identitas budaya
42
dan sosial terdiri atas identitas gender, identitas usia, identitas ras, identitas etnis, identitas agama, identitas kelas , dan identitas pribadi identitas nasional, identitas regional. Identitas etnik adalah sebuah cirri yang melekat pada suatu etnik tertentu yang membedakannnya dari kelompok etnik lain.Setiap kelompok etnis memiliki cirri-ciri tersendiri dan akan selalu melekat dan dilestarikan oleh para pemiliknya. (Barth, 1988). Kelompok etnis merupakan suatu tatanan sosial bila para pemiliknya menggunakan identitas social tersebut dalam berinteraksi. Identitas etnis juga merupakan suatu ikatan masa lampau yang akan terus dipertahankan dan mengikat di antara anggota-anggotanya dan membuat seseorang memiliki suatu harapan yang berkenaan dengan etnisitasnya. Identitas etnis ini ditransfer atau diteruskan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi. Di mana identitas tersebut terbentuk melalui sosialisasi dalam keluarga maupun lingkungan di mana ia tinggal. Identitas juga merupakan suatu hasil dari suatu interaksi sosial. Identitas adalah sesuatu yang dinamis yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu, ia bisa saja berubah ketika masyarakat mengalami perubahan ( Thung, Julan, 1998:1). Peneliti berasumsi adanya sebutan istilah bukan Cina bukan Indonesia karena sebagai keturunan etnis Cina dan sebagai salah satu suku yang ada dan diam di Indonesia, mereka sering memunculkan identitas etnis keCinaannya meskipun sudah tidak dapat berbicara bahasa Mandarin lagi. Identitas etnis ini sering dimunculkan manakala berada dalam situasi tertentu. Identitas mutlak dipertahankan dan senantiasi berubah seperti sifat kebudayaan yang dinamis. Penyebutan ini juga timbul karena penulis beranggapan adanya istilah seperti Cina Sukabumi, Cina Medan, Cina Surabaya yang sering menimbulkan kerancuan. Istilah ini akan membawa dampak meskipun ada cirri kedaerahan atau lokalitas seperti Sukabumi, Medan, Surabaya namun masih tetap memunculkan kata Cina sehingga etnis Cina sering dianggap sebagai etnis di luar suku-suku yang ada di Indonesia. Peneliti berasumsi penyebutan istilah untuk mengacu pada etnis Cina menyebabkan terbentuknya identitas etnis itu sendiri. Orang Tionghoa di Indonesia sangat unik karena keberadaan mereka sangat berbeda dan tidak dapat disamakan dengan orang keturunan Tionghoa di Negara manapun. Menurut Wang Gungwu, dalam The Chinese in Indonesia, skala guncangan politik dan ekonomi yang dialami oleh Indonesia sepanjang sejarah negeri ini tidak dialami orang Cina manapun di negara lain. Cara orang Indonesia Tionghoa menananggapi lingkungan mereka bersifat unik karena lingkungan yang mereka hadapi tidak terdapat di tempat lain.Orang Indonesia Cina hidup dengan kondisi sosial, politik dan sejarah yang rumit selama beberapa generasi. Selama penjajahan, dengan politik devide et impera, dan sistem ras tripartit yang membagi masyarakat dalam tiga golongan, menempatkan etnis ini di bawah orang Belanda, dan di atas kaum pribumi Indonesia. Pembantaian orang Cina di Jawa pada tahun 1740 oleh pemerintah Belanda untuk menekan perkembangan etnis ini telah menyebabkan etnis ini menjadi korban pemerintah kolonial Belanda. Kaum pribumi pun membenci mereka karena golongan ini secara sosial berada di atas orang pribumi yang merupakan penduduk asli. Setelah Indonesia merdeka, masalah yang dihadapi etnis ini adalah masalah kewarganegaraan mereka.Mereka dapat memilih untuk menjadi orang Indonesia atau menolak kewarganegaraan Indonesia selama kurun waktu dua tahun (1949-
43
1951).Keputusan tahun 1949, menyebabkan lahirnya dua golongan yaitu golongan peranakan dan totok.Selama masa pemerintahan Presiden Soeharto dan masa Orde Baru, nyaris etnis Cina tidak memiliki identitas etnis mereka.Segala bentuk penggunaan bahasa, praktik budaya dilarang pemerintah. Akan tetapi ternyata dengan kebijakan asimilasi yang dipaksakan pemerintah dan segala bentuk larangan pelaksanaan budaya Cina, budaya dan tradisi tetap dipertahankan baik secara individu maupun keluarga. Hal ini dapat terlihat dari adanya film atau lagu Mandarin yang menjadi favorit sebagian besar orang keturunan etnis Cina..Meskipun film Mandarin tidak menggunakan bahasa Mandarin tetapi tetap dapat memperkuat kesadaran identitas etnis. Dengan melihat film-film seperti kungfu yang menggambarkan tradisi dan nilai budaya Cina menumbuhkan kesadaran bahwa mereka adalah keturunan bangsa Cina. Jatuhnya pemerintahan orde Baru pada 1998 yang diiringi dengan terjadinya kerusuhan etnis, di mana etnis Cina menjadi korban penjarahan, perkosaan telah menyebabkan trauma mendalam bagi etnis ini.Setelah masa reformasi, di mana era reformasi dan kebebasan mulai dapat dirasakan oleh etnis Cina. Mereka dapat dengan bebas mempelajari bahasa Mandarin, menyanyikan lagu-lagu Mandarin, terbitnya koran dan majalah-majalah berbahasa Cina, menonton film Mandarin, membuat etnis Cina dapat merasakan bangkitnya kembali identitas etnis mereka. Mereka dapat memunculkan nama Tionghoa, memeluk keyakinan tradisinya dan dapat mengakui identitas etnis baik pribadi maupun sosial sebagai orang Cina. Di Negara Cina sendiri untuk menyebut orang keturunan etnis Cina adalah Huaqiao atau Huaren (华侨/华人)。Namun apakah istilah ini masih dapat diterima untuk menyebut orang keturunan etnis Cina di Indonesia? Adanya asimilasi mewajibkan masyarakat Cina untuk melepaskan semua kebudayaan dan bahasa Mandarin. Penggunaan aksara Cina, perayaan tahun baru Imlek dan semua bentuk kebudayaan Cina dilarang. Adanya peraturan pada tahun 1968 untuk mengganti nama Cina dengan nama Indonesia untuk menunjukkan komitmen terhadap Negara Indonesia. Seberapa lama pun orang Cina tinggal di Indonesia, orang pribumi masih menyisakan kecurigaan terhadap etnis ini, seperti yang diungkapkan oleh Skinner (1967) sebagai sindrom sekali Cina tetap Cina. Orang keturunan etnis Cina di Indonesia tetap merupakan masyarakat huaqiao (Tionghoa perantauan) yang menganut nilai budaya yang sama seperti guanxi 关系( memelihara hubungan jejaring dalam kegiatan usaha), adat kekeluargaan, naluri dagang dan bakat dalam mengumpulkan harta ( Ong, 1999) Bagi sebagian orang keturunan Cina yang lahir setelah tahun 1966, mereka tidak dapat berbahasa Mandarin dan menjalankan tradisi budayanya. Mereka hanya dapat berbicara, menulis dan membaca bahasa Indonesia saja. Walaupun mereka tidak dapat berbahasa Mandarin, mereka menyukai film-film Mandarin biasanya berupa film Kungfu yang diimpor dari Hongkong dan Taiwan seperti The Legend of the Condor Heroes, The Return of the Condor Heroes, Drunken Master, The Shaolin Temple, dan lain-lain. Thompson (1995) menyatakan bahwa media komunikasi dapat digunakan oleh kelompok migran dan kaum minoritas untuk melanjutkan keberadaan kebudayaan mereka. Media komunikasi menyediakan cara bagi kelompok ini untuk menempatkan ulang konteks tradisi dan sejarah. Namun walaupun terdapat peraturan yang tersebut tetap ada orang tua yang diamdiam membayar guru untuk mengajar anak-anaknya berbahasa Mandarin..
44
Berdasarkan wawancara dan observasi serta penelitian terhadap beberapa keturunan Tionghoa, mereka berasal dari Sukubangsa Ke dan Hokkian. Dari sukubangsa Ke yaitu bermarga Xu (许)dan marga Cai (蔡). Mereka menggunakan nama Indonesia karena mereka adalah generasi muda yang lahir setelah tahun 1966. Akan tetapi mereka mengetahui nama Tionghoa dari orang tua dan kakek (公公)gonggong. Mereka menyatakan mereka masih menggunakan nama dan mempertahankan identitas sebagai etnis Cina jika ada acara berkumpul keluarga besar khususnya dari pihak ayah karena ayah masih mempertahankan tradisi. Ada juga yang digunakan jika sedang les privat karena guru pembimbing hanya memanggil dengan nama Tionghoa. Dalam kehidupan sehari-hari nama Tionghoa tidak pernah dipakai. Seorang yang bermarga Tan mengaku ia tidak dapat berbahasa Mandarin tapi dengan kecintaannya menonton film Mandarin dan mendengar lagu Mandarin menyebabkan ia kemudian belajar bahasa Mandarin dan budaya Cina. Menurutnya dengan menguasai bahasa Mandarin dan memahami budaya Cina tidak saja dapat memperkuat identitas budaya sebagai orang keturunan Cina akan tetapi juga sebagai alasan praktis untuk dapat melakukan bisnis. Kebanyakan dari anak muda Tionghoa tidak dapat berbicara menggunakan bahasa dialek daerah Cina. Bahasa dialek biasanya dipahami dan dikuasai oleh orang tuanya. Bagi mereka yang lahir setelah zaman Orde Baru dapat dikatakan tidak lagi dapat berbicara bahasa Mandarin ataupun bahasa Cina dialek daerah masing-masing. Seorang informan yang lahir pada tahun 1970-an mengatakan dia sangat senang menonton film Mandarin walaupun film tersebut sudah dialihsuarakan dalam bahasa Indonesia. Dia tidak membaca koran ataupun majalah bahasa Cina karena memang saat itu sulit didapat.Menurutnya dengan menonton film Kungfu Mandarin dapat membawanya ke dalam suatu pemahaman budaya Cina dan nilai-nilai budaya serta kekeluargaan. Orang keturunan Tionghoa sangat senang menonton film Mandarin, mendengar lagu Mandarin. Awalnya mereka menonton film Mandarin dengan bahasa Inggris atau yang dialihsuarakan dalam bahasa Indonesia karena adanya larangan mengenai budaya dan penggunaan bahasa Cina. Mereka juga tidak dapat berbicara bahasa Mandarin.Dengan melihat film Mandarin dan mendengarkan lagu-lagu Mandarin menimbulkan kesadaran etnisitas mereka. Walaupun dilahirkan, besar di Indonesia, memakai nama Indonesia, tidak dapat berbicara bahasa Mandarin, dengan melihat dan mendengar film Mandarin, melihat seni budaya ataupun lagu menimbulkan ingatan akan suatu negeri yaitu Cina yang memang sangat tidak ada hubungannnya dengan orang keturunan etnis Cina akan tetapi tetap membawa suatu kenangan. Keyakinan religi orang keturunan Tionghoa yang menjadi informan saya sebagian besar Buddha ada juga yang Kristen, dan Meskipun mereka beragama Budha namun mereka masih pergi ke Klenteng bukan Wihara karena orangtuanya masih memeluk Konghucu.Kepercayaan orang tua mereka masih Samkauw yaitu gabungan tiga ajaran Budha, Konghucu dan Taoisme. Mereka masih mengikuti perayaan tradisional Tionghoa seperti Imlek, Cap Gomeh, Pehcun, Cengbeng, Cioko, Sembahyang ce it cap go setiap bulannnya. Mereka masih mengerti makna perayaan-perayaan tersebut. Pemahaman kebudayaan sangat penting sebagai penguat identitas. Film ataupun lagu dapat memperkuat kesadaran identitas etnis mereka.Salah satu hal yang dirasakan oleh para keturunan Tionghoa adalah
45
menonton film Mandarin, mendengar lagu Mandarin sangat membantu ingatan akan identitas mereka. Media elektronik berperan sebagai penguat rasa jati diri kebangsaan.Interaksi dengan medeia elektronikdapat mempengaruhi pembentukan identitas atau jati diri budaya. Keinginan untuk mempertahankan tradisi dan budaya nampaknya lebih kuat pengaruhnya dari pada kebijakan asimilasi yang dipaksakan. Kebijakan asimilasi yang berupaya menghapus nilai budaya dan identitas Cina, saya melihat sebagai upaya yang tidak sepenuhnya berhasil karena meskipun orang Tionghoa mengganti nama dengan nama Indonesia, tidak lagi berbahasa Mandarin, namun tetap saja mereka (orang keturunan Cina ) menemukan cara dan jalan untuk menembus berbagai kebijakan ini untuk mencari dan menjalankan berbagai aspek kebudayaan Tionghoa yang sulit mereka peroleh. Dorongan pada orang keturunan Cina untuk mempertahankan jati diri mereka sebagai orang Cina dan kebudayaan Cina dipengaruhi oleh beberapa faktor atau latar belakang, yaitu : 1. Keluarga. - Keluarga yang masih mempertahankan tradisi dengan diam-diam menjalankan upacara budaya seperti Imlek, Cap Gomeh, Pehcun, Cengbeng, Cioko, Sembahyang ce it cap go setiap bulannnya, menurunkan dan mewarisi budaya turun temurun ke generasi berikutnya untuk mempertahankan identitas budaya. - Para orang tua diam-diam mengajarkan anak atau meminta guru pembimbing untuk mengajarkan anak-anaknya bahasa Mandarin, menulis aksara Cina dan berbahasa Cina. 2. Daerah asal. - Daerah asal seperti Kalimantan, Medan di mana para keturunan Cina masih menggunakan bahasa dialek Hakka, Kokian akan terasa kental identitas Cina mereka. Dalam bercakap-cakap dengan sesama etnis Cina mereka tetap menggunakan bahasa dialek mereka. Di sekolah mereka menggunakan bahasa Indonesia, bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia dengan orang bukan keturunan Cina. 3. Agama - Bagi keturunan Cina yang beragama Buddha, biasanya mereka masih memelihara tradisi budaya mereka. Karena ketika pemerintah Orba hanya mengakui lima agama yaitu Islam, Buddha, Hindu, Kristen, dan Katolik dengan demikian para penganut Konghucu atau Samkauw memilih Budha dan beribadah di wihara, namun masih menyembah dewa-dewa secara individu. - Banyak keturunan Tionghoa menganut ajarah tridarma atau gabungan tiga ajaran yaitu Budha, Konghucu dan taoisme. Ketika ajaran ini dipraktikkan bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari dan membaur dalam pranata sosial mereka. Setelah era reformasi, di mana sudah tidak ada lagi batas dan larangan masyarakat keturunan Cina dapat dengan bebas menjalankan semua tradisi budayanya, bebas mempelajari bahasanya.Penguasaan Bahasa Mandarin sangat penting, media seperti Koran, majalah, buku berbahasa Mandarin, film ataupun lagu dapat dengan bebas dikonsumsi. Bagi masyarakat Cina hal ini adalah suatu yang sangat didambakan karena dapat melestarikan tradisi budayanya, akan tetapi jika hal ini dapat mempengaruhi dan memperkuat identitas atau jati diri budaya sebagai orang Cina tentulah akan menimbulkan benturan bagi kesatuan bangsa. Oleh karena itu meskipun masing-masing kelompok etnis dapat dengan bebas menjalankan tradisi budaya masing-masing diharapkan identitas
46
bangsa lah yang dimunculkan dalam berinteraksi dengan kelompok lainnya agar tercipta keharmonisan hidup berbangsa. Sehingga istilah bukan Cina bukan Indonesia sebenarnya melukiskan bagaimana orang keturunan Tionghoa tersebut bukanlah orang Cina karena di Negara Cina pun mereka adalah orang asing, namun karena mereka masih sangat mempertahankan identitas keTionghoaannya maka sering oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, para keturunan etnis Cina tidak dianggap sebagai orang Indonesia. Demikian juga dengan istilah penyebutan Cina Medan, Cina Surabaya, Cina Sukabumi yang sering disebutkan. Adanya penyebutan istilah ini sebenarnya untuk menunjukkan lokalitas dan kedaerahan mereka. Akan tetapi penyebutan ini malah akan lebih menonjolkan sifat ke Cinaan daripada lokalitas atau kedaerahan. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil pembahasan tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : 1. Sebagian besar orang keturunan Tionghoa tidak menggunakan nama keluarga dan nama Tionghoa karena adanya kebijakan asimilasi. 2. Sebagian besar orang keturunan Tionghoa mengetahui nama keluarga dan nama Tionghoa dan dapat menuliskannnya dalam aksara Han karena orang tua ataupun kakek memberitahunya sebagai bentuk pelestarian budaya. 3. Sebagian besar orang keturunan Tionghoa mengetahui asal-usul tempat nama keluarga dan nama Tionghoa mereka tetapi tidak mengetahui sejarahnya. 4. Orang keturunan Tionghoa menggunakan nama marga dan nama Tionghoa hanya jika berinteraksi dengan kalangan orang tua saja. 5. Dalam keseharian nama Tionghoa tidak digunakan hanya digunakan waktu ujian, dan dalam lingkungan klenteng atau vihara saja. 6. Dalam situasi tertentu nama keluarga dan nama Tionghoa digunakan, seperti berinteraksi dengan golongan yang lebih tua atau dalam berbisnis. 7. Nama keluarga dan nama Tionghoa akan terus dipertahankan sebagai suatu bentuk kesadaran dan identitas budaya. 8. Meskipun terdapat larangan budaya dan kebijakan asimilasi, film-film Mandarin seperti film kungfu dan lagu Mandarin tetap menjadi favorit masyarakat keturunan Tionghoa, meskipun tidak dalam bahasa Mandarin, mereka tetap dapat menikmati dan dapat menumbuhkan ingatan akan kesadaran jatidiri budaya mereka. 9. Kebudayaan popular seperti film, musik dapat memperkuat kesadaran jati diri atau suatu identitas bangsa. 10. Dorongan pada orang keturunan Cina untuk mempertahankan jati diri mereka sebagai orang Cina dan kebudayaan Cina dipengaruhi oleh beberapa faktor atau latar belakang, yaitu : keluarga, daerah asal dan agama. 11. Munculnya istilah bukan Cina bukan Indonesia, karena etnis Cina di Indonesia bukanlah orang Cina. Bagi sebagian orang Indonesia menganggap etnis ini juga sebagai orang asing atau bukan Indonesia karena masih adanya sifat-sifat atau upaya untuk memunculkan identitas KeCinaannya dengan sebutan seperti huaren ( 华人) yang berarti orang Cina , huaqiao (华侨) Cina perantauan, atau huayi(华 裔)atau keturunan Cina,yinni huaren (印尼华人) orang Cina Indonesia,huazu (华族) etnis Cina, Cina Surabaya, Cina Sukabumi, Cina Medan, dan lain-lain.
47
5.
SARAN
Dari penelitian ini dapat terlihat Orang Cina di Indonesia khususnya di Jakarta meskipun terdapat adanya larangan pelaksanaan budaya Cina, mereka tetap menonton film Mandarin dan mendengar lagu-lagu Mandarin meskipun tidak dalam bahasa Mandarin. Mereka tidak menggunakan nama marga dan nama Tionghoa dalam kehidupan sehari, tetapi akan terus dipertahankan karena terlihat adanya sosialisasi yang dibentuk dari generasi tua. Kesadaran etnis akan jatidiri atau identitas budaya merupakan suatu hal yang perlu dipertahankan tetapi tidak boleh bertentengan dengan kesadaran kebangsaan. Kearifan lokal harus ditumbuhkembangkan namun tetap menomersatukan identitas nasional sebagai suatu kesadaran kebangsaaan. Sebaiknya istilah-istilah seperti Cina Medan, Cina Surabaya, Cina Medan dan lain-lain tidak perlu dimunculkan lagi dan hanya dikenal suatu identitas kebangsaan sebagai orang Indonesia. Atau dapat dimunculkan itu pun jika untuk memunculkan suatu identitas kedaerahan bukan untuk menunjukkan sifat keCinaannya sehingga kesadaran berbangsa dapat terus dipertahankan. Sehingga istilah bukan Cina bukan Indonesia tidak perlu lagi ataupun sindrom yang dikatakan oleh Skinner sekali Cina tetap Cina tidak akan lagi ada di Indonesia.Kerukunan hidup berbangsa dan identitas nasional harus menjadi identitas yang digunakan oleh setiap orang yang tinggal di Indonesia. 6. Daftar Pustaka
Abdilah, Ubed S 2002 Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Magelang, Indonesiatera Baker, Hugh DR 1979 Chinese Family and Kinship, London: The Macmillan Press LTD Barth, Fredrik 1969 Ethnic Groups and Boundaries, Boston, Little Brown and Company Cushman, Jennifer dan Wang Gungwu (ed) 1991 Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Dawis, Aimee 2009 Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Lash Scott& Jonathan Friedman (ed) 1991 Modernity and Identity, Oxford : Blackwell Samovar 2007 Communication Between Culture, Newyork Dobleday Skinner, William G 1967 The Chinese Minority in Indonesia, New haven, CT United Printing Services, Inc Wang Gungwu 1995 Upgrading the Migrant : Neither Huaqiao nor Huaren, dalam Asian Culture 19, Juni 1995
48
METODE PENGAJARAN HSK TERHADAP TINGKAT KELULUSAN TEST HSK LEVEL 4. Febi Nur Biduri M.Hum Fakultas Sastra Jurusan Sastra Cina ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode pengajaran yang efektif dipergunakan didalam kelas dalam mempelajari tes HSK. Dan juga materi pelajaran yang sesuai dengan kondisi anak-anak di Indonesia, dikarenakan selama ini materi pelajaran yang dipergunakan yaitu kumpulan soal-soal HSK terdahulu. Kesimpulan penelitian ini adalah Metode belajar mengajar yang paling tepat dalam mempelajari HSK adalah dengan mempelari soal-soal ujian HSK setiap bagian disetiap pertemuan, tidak sekaligus dikerjakan. Setelah dikerjakan secara individu maka soal akan dibahas secara satu-persatu dengan mulai membaca soal, membaca jawaban, menerjemahkan secara kata perkata, menerjemahkan secara perkalimat, melihat struktur kalimat, mencari kata kunci dalam soal tersebut dan barulah menjawab soal tersebut. Kata Kunci : belajar, metode, guru, murid, sukses 1. Pendahuluan Manusia telah belajar bahasa sejak usia balita, khususnya bahasa ibu atau bahasa asli yang diperlukan untuk berkomunikasi dengan orang sekelilingnya, dengan kata lain untuk dapat hidup sebagai makhluk yang bermasyarakat atau makhluk sosial. Belajar bahasa yang bukan bahasa ibu disebut sebagai bahasa kedua atau bahasa asing. Guru merupakan faktor yang paling penting dalam proses belajar mengajar, dalam hal ini guru memerlukan cara-cara atau metode tertentu. Terutama dalam mengajarkan bahasa Mandarin, dikarenakan bahasa Asing ini mempunyai cara pengucapan yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Bahasa Mandarin sangat berbeda dari bahasa asing lainnya. Bahasa Mandarin mempunyai tingkat pembelajaran yang lebih sulit. Hal itu dikarenakan oleh cara pengucapan atau lafal yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Selain itu ada juga kendala lain, yaitu bentuk tulisan yang bukan berbentuk alfabet melainkan berbentuk aksara. Tingkat kesulitan dalam mempelajari bahasa Mandarin, haruslah dikurangi supaya anak didik dapat menerima pelajaran dengan lebih mudah, materi yang diberikanpun haruslah singkat dan padat. Pengajaran bahasa yang diharapkan harus disesuaikan dengan keperluan didalam masyarakat meliputi keterampilan menyimak, menulis, membaca, dan berbicara, komponen bahasa nya meliputi tata bahasa, kosakata, dan ucapan1. Dalam pengertian yang sempit, Mandarin berarti Putonghua dan Guoyu yang merupakan dua bahasa standar yang hampir sama yang didasarkan pada bahasa lisan (ucapan ) Beifanghua. Putonghua adalah bahasa percakapan Nasional RRC dan Guoyu adalah bahasa percakapan nasional Taiwan. Putonghua yang biasanya dipanggil Huayu juga salah satu dari empat bahasa resmi Singapura. HSK sendiri adalah Hanyu Shuping Kaoshi yaitu 1
Hanna.Pengembangan model bahan ajar bahasa Inggris bagi anak berbakat intelektual di SLTP (Tesis S3 Pend.Bahasa)
49
tes kemampuan berbahasa mandarin yang dilaksanakan untuk menguji kemampuan berbahasa mandarin setiap pelajar asing yang diadakan setiap bulan di setiap Negara termasuk juga di RRC. HSK terdiri atas 6 level, level 1 dan 2 adalah level dasar, level 3 dan 4 adalah level menengah serta level 5 dan 6 level lanjut. Ujian HSK sendiri terdiri atas 2 tertulis dan wawancara, para peserta dapat memilih ujian mana yang ingin dilaluinya. Hasil dari HSK dapat dipergunakan untuk melanjutkan jenjang S2 dan S3 di RRC ataupun untuk melamar pekerjaan di perusahaan Cina. Hal ini menyebabkan ujian HSK menjadi salah satu kewajiban bagi para pelajar lulusan bahasa mandarin. Lulusan sastra Cina UNSADA diwajibkan lulus HSK 4 secara tertulis dengan skor minimal 180 dari 100 soal. Masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah metode pengajaran bahasa HSK yang sebaiknya digunakan di dalam kelas?,2. Bagaimanakah isi materi pelajaran bahasa HSK yang sesuai untuk Mahasiswa Indonesia? Penulis mengharapkan manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana materi bahan ajar pelajaran yang sesuai dengan kondisi mahasiswa di Indonesia, dikarenakan selama ini materi bahan ajar yang dipergunakan yaitu materi pelajaran dari Beijing Cina. Selain itu juga untuk mengetahui metode pengajaran yang efektif dipergunakan di dalam kelas. Fokus penelitian ialah berfokus pada metode pengajaran HSK yang tepat sesuai dengan kondisi mahasiswa Indonesia. 2. Jenis Buku HSK Buku pelajaran HSK yang paling luas pemakaiannya di Indonesia adalah terbitan Legacy, buku tersebut berisikan kumpulan-kumpulan soal HSK yang dibuat oleh Beijing Language Culture University yang dikhususkan untuk pelajar bahasa Mandarin di Indonesia. Penggunaan buku ini sebenarya mudah dan tidak lah sulit, didalam buku legacy ini terdiri dari 10 buah kumpulan soal berupa soal pendengaran, soal pemahaman tulis, soal tata bahasa dan soal menulis aksara Han menurut gambar. Buku tersebut disusun untuk orang yang sudah menguasai bahasa mandarin dengan baik, dan tdk terdapat trik-trik tertentu dalam mengerjakan soal. Buku ke 2 yang sering dipergunakan di sekolah – sekolah adalah buku terbitan Hanban/ Confusius Institute Headquarters, isi dari buku ini tidaklah terlalu berbeda dengan buku legacy berisikan 10 buah soal ujian HSK dan dibagian belakang buku terdapat kumpulan kata-kata yang dipelajari dalam buku tersebut. Bagian belakang ke2 buku ini pun terdapat kunci jawaban dan penjelasan dari setiap soal yang dipelajari. Buku yang ke 3 adalah terbitan Beijing Language and culture university Press yang hanya bisa dibeli di Cina ataupun secara online, buku ini pun sama berupa kumpulan sebanyak 10 buah soal dan ukuran soal pun terbilang lebih sulit dari ke 2 buku sebelumnya dikarenakan dikhususkan untuk pelajar bahasa mandarin di Cina. Apabila pelajar sudah mempunyai dasar bahasa Mandarin yang cukup baik, buku dari Hanban dan BLCU press ataupun buku lainnya yang menggunakan pola pengajaran yang sama, maka akan sesuai dalam menggunakan buku tersebut. Sebaliknya, jika pelajar tidak mempunyai dasar bahasa Mandarin yang baik, ketika mereka membaca buku ini, kepala mereka akan terangguk –angguk kebingungan oleh banyak ya kosakata baru yang terdapat dalam buku. Buku ini menurut saya, bersifat melatih dan memberitahukan model soal.
50
Dikarenakan tidak ada ya buku khusus yang mengajarkan trik-trik mengerjakan HSK maka Saya mengkombinasikan soal dari buku Hanban dan BLCU press dalam melatih mahasiswa semester 3 di Universitas Darma Persada untuk dapat lulus HSK 4 dengan skor minimal 180 point. 3.
Metode pembelajaran HSK
Proses pembelajaran harus bertumpu ke siswa sebagai subjek belajar. Materi pembelajaranpun hatus disesuaikan dengan siswa , karena yang belajar dalam kelas adalah siswa bukan guru. Siswa hendaklah diarahkan ke pengembangan potensi diri sendiri. Beberapa metode yang dapat dipergunakan dalam proses belajar HSK adalah 1. Metode menerjemahkan tata bahasa Pada metode ini siswa mempelajari kaidah-kaidah tata bahasa secara bersama-sama dengan kelompok-kelompok kosakata tertentu. Kata-kata tersebut kemudian dijadikan frase atau kalimat berdasarkan kaidah yang telah dipelajari. Di metode ini penguasaan kaidah tata bahasa lebih diutamakan daripada penerapannya. Keterampilan lisan seperti pelafalan tidak dilakukan, eevaluasi yang dilakukan juga tidak sulit. Metode penerjemahan sendiri terdiri dari kegiatan-kegiatan penerjemahan teks dari yang mudah ke yang sulit. Pertama dari bahasa sumber ke bahasa target dan sebaliknya, penerjemahan dilakukan secara kata perkata maupun gagasan per gagasan termasuk juga ungkapan idiom ya. 2. Metode pendekatan komprehensif Proses awal pembelajaran bahasa asing adalah pemahaman mendengarkan, seperti layaknya anak balita memulai belajar bahasa dari mendengar kemudian menirukan. Hampir sama dengan metode natural yang dikembangkan oleh Krashen dan Terrel. Di awal pelajaran siswa mendengarkan guru ataupun kaset yang menginstruksikan dalam bahasa asing, guru dapat membantu siswa dalam memahami dengan menggunakan bahasa tubuh, gambar ataupun padanan kata ya dibahasa sasaran. Dan guru melihat apakah siswa dapat merespon dengan baik instruksi yang terdapat ataukah tidak. 4. Latar Penelitian Latar penelitian ini adalah mahasiswa semester 3 Universitas Darma Persada dalam mata kuliah pengantar HSK. 5.
Metode Penelitian yang dipakai
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode penelitian yaitu : 1. Metode penelitian keperpustakaan Yaitu dengan menggunakan buku-buku sumber dan artikel dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Cina. 2. Metode observasi Yaitu dengam pengamatan secara langsung, sehingga penulis dapat mendeskripsikannya secara apa adanya. 6. Fokus Penelitian Fokus penelitian ialah berfokus pada metode pengajaran HSK yang tepat sesuai dengan kondisi mahasiswa Indonesia.
51
7. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data yang mungkin dilakukan adalah dengan mengumpulkan jenisjenis metode pengajaran dan juga pengujian beberapa soal ujian HSK. 8. Analisis Data Analisis data yang dilakukan ialah menganalisa metode pengajaran yang tepat dalam mengajarkan menulis, menyimak, berbicara dan membaca. Mengobservasi penggunaan beberapa metode pengajaran dan manakah yang layak digunakan. 9
Hasil Analisis dan Pembahasan
1. 听力 ‘Listening’ Mahasiswa yang nilainya kurang pada bagian ini, memberikan alasan sebagai berikut: ” Saya tidak mengerti arti kata yang diucapkan “. Hal ini dikarenakan mahasiswa tidak terbiasa mendengarkan percakapan dalam bahasa mandarin. Cara yang tepat untuk memecah masalah ini adalah berlatih dengan kaset HSK .Kaset HSK selalu memberikan rangsangan berupa pertanyaan yang harus dijawab. Dan usahakan untuk mendapatkan nilai yang setinggi-tingginya dari bagian 1 dan 2 karena bagian 3 cukup panjang dan cukup sulit untuk dimengerti. Sewaktu mendengarkan cerita di bagian 3, usahakan untuk memikirkan struktur cerita. Hal ini akan sangat membantu untuk mengerti cerita secara keseluruhan. Selain itu juga, saya tidak menyarankan untuk mempergunakan head phone dalam belajar. Karena sewaktu ujian tidak menggunakan head phone. Cara mempelajari bagian 1,2 dan 3. Pertama, putar kaset berisi HSK kerjakan soal-soal pada bagian 1,2 dan 3 seperti biasa ya kita ujian HSK biasa. Setelah selesai, cocokkan dengan kuncinya.apabila salah tandai jawaban mana yang benar. Kemudian, dengar kembali kaset dari awal pernomor soal. Pada tahap awal, di soal yang sulit, kita perlu mengulanginya hingga 3 kali per soal sebelum dapat mengidentifikasikannya secara tepat. Jadi, tidak mengulanginya sekaligus, tapi per soal. Kemudian, jawablah pertanyaan yang diajukan. Setelah itu, ceklah kalimat yang dianggap tepat berdasarkan “pendengaran” tadi. Jika sudah mendengarkan berulangulang tetapi belum juga mampu mengidentifikasi suara yang diucapkan ataupun belum mengetahui jawaban mana yang benar, barulah membuka Listening Script. 2. 阅读 Reading comprehension Cara belajar yang paling efetif dalam mempelajari pemahaman tulis adalah sering seringlah membuka kamus ketika membaca bacaan berbahasa Mandarin. Kemudian catatlah kata-kata yang tidak diketahuinya dalam sepucuk kertas. Satu kertas untuk satu kata yang tidak diketahui, selain menulis padanan kata, juga menulis turunan kata tersebut, misalnya bentuk adjective- nya dan menghafal kata-kata tersebut diwaktu senggang. Janganlah suka menghafal sekumpulan kata-kata dikarenakan dapat dengan mudah kita melupakan dan tidak mengetahui konteks dari pemakaian kata tersebut didalam kalimat. 3. 书写 Structure and writen expression Cara belajar struktur adalah pertama, pelajari teori struktur bagian perbagian secara berurutan hingga mengerti. Tandai seluruh kata yang tidak diketahui, artinya. 52
terjemahkanlah per kalimat, jangan menerjemahkan per kata setiap menjumpai kata yang sulit. Tolong dibedakan antara membaca untuk sekedar tahu dan membaca untuk belajar. Jika membaca hanya sekedar untuk tahu, tentunya tidak perlu tahu arti seluruh kata yang tidak diketahui. Selanjutnya, kerjakan HSK merangkai kalimat terlebih dahulu saja. setelah selesai, ceklah hanya dengan kunci jawabannya saja. tandai jawaban mana yang benar dan mana yang salah. Periksa kembali pekerjaan Anda. Usahakan mengerti sendiri kenapa jawaban tersebut salah. 10 Kiat-Kiat dalam mempelajari HSK Cara – cara yang efektif dalam mempelajari soal ujian HSK adalah pertama CD HSK yang sudah pernah dijawab soal-soalnya, jangan lupa untuk sering memutarnya kembali; misalnya waktu lagi membereskan kamar, menjelang tidur, ketika makan dsb. Hal ini untuk membiasakan telinga mendengar soal berbentuk bahasa mandarin. Dan cobalah untuk menjawab ataupun mengulang soal tersebut didalam hati agar terbiasa. Yang ke2 usahakanlah untuk sering mengarang dalam bahasa mandarin dengan tema tertentu sesuai gambar, cukup dengan gambar yang sederhana saja misalnya gambar sebuah gedung atau gambar setangkai bunga. Ketiga walaupun memiliki banyak soal HSK sebaiknya hanya mempelajari 1 buah buku sebagai buku pegangan utama. Buku lain boleh dipakai, tapi hanya sebagai buku pendamping saja. Mengapa demikian?, dikarenakan mempelajari seluruh isi suatu buku secara tidak sadar berarti juga mempelajari urutan penyajian soal tersebut, Keempat Jangan lupa untuk membaca panduan HSK yang terdapat diawal buku dan mempelajari kosakata-kosata baru yang terdapat dibagian belakang buku sehingga akan memudahkan dalam mengerjakan soal. Serta jangan terburu-buru melihat kunci jawaban, coba dianalisa terlebih dahulu soal tersebut apabila memang tidak dapat dipecahkan dapat melihat penjelasan soal dibagian belakang buku. Kelima setiap mahasiswa harus mempelajari juga bagaimana model lembar jawaban HSK dan cara-cara pengisian kolom yang terdapat dilembar jawaban tersebut serta apa saja yang diperbolehkan ketika ujian dan apa saja larangan waktu ujian. 11 KESIMPULAN Ujian 汉语水平考试 atau HSK diadakan setiap tahun sebanyak 2 kali, akan tetapi mulai dari maret 2013 ujian tersebut akan diadakan setiap bulannya dan ujian tersebutpun dilaksanakan di 2 tempat yaitu di pusat Bahasa Mandarin Indonesia dan di Universitas Bunda Mulia jakarta. 汉语水平考试 atau HSK terdiri atas 6 level yaitu level dasar 1 dan dasar 2, level menengah 3 dan menengah 4 serta level lanjut 5 dan level lanjut 6. Untuk mahasiswa sastra Cina Universitas darma persada pada semester 3 dan 4 diwajibkan lulus menengah 4 dengan skor minimal 180 point, dan lulusan Sastra cina Unsada untuk mendapatkan gelar sarjana ya diwajibkan lulus lanjut 5. Hal ini dikarenakan untuk dapat melanjutkan S2 salah
53
satu prasyarat ujian masuk ya adalah telah lulus lanjut 5. Setiap ujian HSK terdiri atas 3 bagian yaitu 听力 listening,阅读 reading,书写 writeen. Metode belajar mengajar yang paling tepat dalam mempelajari HSK adalah dengan mempelari soal-soal ujian HSK setiap bagian disetiap pertemuan, tidak sekaligus dikerjakan. Setelah dikerjakan secara individu maka soal akan dibahas secara satu-persatu dengan mulai membaca soal, membaca jawaban, menerjemahkan secara kata perkata, menerjemahkan secara perkalimat, melihat struktur kalimat, mencari kata kunci dalam soal tersebut dan barulah menjawab soal tersebut. Serta memberikan latihan beberapa gambar tertentu untuk dibuat sebuah kalimat dengan menggunakan tata bahasa yang telah dipelajari. Untuk bagian reading maka mahasiswa diwajibkan membaca terlebih dahulu bacaan yang terdapat didalam soal, baru setelah itu dibahas secara bersama-sama didalam kelas, untuk bagian tata bahasa yang terdapat disoal reading mahasiswa diwajibkan untuk mengingat kembali konsep-konsep tata bahasa sehingga ketika mencocokkan kalimat akan lebih mudah. 12 DAFTAR PUSTAKA Bowean, Donald. J Harold S. Madsen , and Ann Hilferty. 1985. Tesol Techniques and Procedure. Cambridge: Newbury House Publisher. Crow, Lester D. And Alice Crow, 1958.Educational Psychology. New York: American Book Company. Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta: Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar China – Indonesia. 1995. Beijing: Pustaka Bahasa Asing. Kentjono, Djoko. 1997. Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Khor Ewe Pin. “Proses perkembangan Pembelajaran Bahasa pada Anak Kecil”. Makalah yang disampaikan dalam seminar Pelangi Chinese Programme Workshop. Diselenggarakan oleh Toko buku Mentari, 9 April 2005 :Hotel Ciputra; Jakarta. Rahmanto,B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Richard. 1987. Longman Dictionary of Applied Linguisitics. Hongkong: Longman. Rivers, Wilga. 1990. Teaching Foreign Language Skills. New York: University of Chicago. Rooijakkers, Ad. 1988. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama. R.S Woodworth and D.C Marquis. 1955. Pschology, A Study of Mental Life. London: Menthuen & Co, Ltd.
54
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sardiman,A.M. 1986. Interaksi dan Motivasi belajar – mengajar. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Utari, Sri. 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Utomo, Tjipto dan Kees Ruijter. 1985. Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Van Els, Theo dkk.1984. Applied Linguistic and the Learning Teaching of Foreign Languages. Groningen : Wolters, Noordhoff
55
ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA Fridolini ABSTRAK Bahasa merupakan kebutuhan manusia yang terus tumbuh dan berkembang. Ini sejalan dengan hakikat bahasa yang produktif dan dinamis. Namun, tidak hanya produktif dan dinamis bahasa juga harus bersistem. Bersistem artinya segi fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik harus benar. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk kesalahan dan faktor-faktor penyebab kesalahan penggunaan bahasa Indonesia pada informasi layanan umum dan layanan niaga di Jakarat. Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa Indonesia yang memenuhi faktor-faktor komunikasi dalam kebahasaan. Bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang sesuai dengan kedua parameter tersebut, yakni: faktor-faktor penentu berkomunikasi dan kaidah kebahasaan yang ada dalam bahasa Indonesia. Berarti, penggunaan bahasa Indonesia yang berada di luar faktor-faktor penentu komunikasi dan tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan yang ada dalam bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa Indonesia yang benar dan berada di luar kaidah kebahasaan yang ada dalam bahasa Indonesia sehingga harus diketahui terlebih dahulu tentang pengertian kesalahan berbahasa. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan kajian analisis kesalahan berbahasa. Populasi penelitian meliputi pemakaian bahasa pada informasi layanan umum dan layanan niaga di Jakarta. 1. PENDAHULUAN Kesalahan berbahasa seseorang muncul karena beberapa faktor dan bentuknya pun bermacam-macam. Taylor dalam Anang (2006:68) membedakan lima golongan kesalahan berbahasa, yaitu (1) generalisasi berlebihan, penerapan tata bahasa pada situasi yang tidak tepat, (2) transfer, pemindahan unsur-unsur bahasa pertama ke dalam bahasa kedua, (3) terjemahan, kesalahan yang mengubah jawaban yang dikehendaki, (4) kesalahan yang tidak diketahui sebabnya, dan (5) kesalahan yang tidak perlu dipertimbangkan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal istilah kesalahan dan kekeliruan. Istilah kesalahan (error) dan kekeliruan (mistake) dalam pengajaran bahasa dibedakan yakni penyimpangan dalam pemakaian bahasa. Kesalahan disebabkan oleh faktor kompetensi, artinya siswa belum memahami sistemlinguistik bahasa yang digunakan. Kesalahan biasanya terjadi secara konsisten, secara sistematis. Sebaliknya, kekeliruan pada umumnya disebabkan oleh faktor performansi. Kekeliruan itu bersifat acak, artinya dapat terjadi pada setiap tataran linguistik (Tarigan, 1988:75). Berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan di atas, penulis memandang bahwa kesalahan dalam berbahasa terjadi karena adanya suatu aturan atau kaidah bahasa yang diabaikan, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh pemakai bahasa dalam pemakaian suatu bahasa. Analisis kesalahan berbahasa adalah salah satu cara untuk menjawab bagaimana menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kesalahan berbahasa merupakan sisi yang mempunyai cacat pada ujaran atau tulisan. Kesalahan tersebut merupakan bagianbagian konversasi atau komposisi yang menyimpang dari norma baku atau norma terpilih dan performasi bahasa orang dewasa (dalam Tarigan, 1988: 141). Dalam kehidupan sehari – hari penulis seringkali menemukan penggunaan bahasa Indonesia yang keliru. Yang sebenarnya tampak sepele tapi menurut penulis berisiko besar dalam membunuh budaya berbahasa yang baik dan benar. Bidang penulis bukan dari Sastra Indonesia, tapi penulis 56
ingin mencoba membantu memaparkan contoh-contoh penggunaan bahasa yang salah dan menyalahi kaidah bahasa Indonesia, dan sudah terlanjur menjadi budaya umum. Masalah kebahasaan di Indonesia saat ini tidak terlepas dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Kondisi itu mempengaruhi prilaku masyarakat Indonesia dalam berbahasa. Melalui peningkatan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia diupayakan agar penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar serta makin menjangkau seluruh lapisan masyarakat, memerkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, dan memantapkan kepribadian bangsa. Dalam suatu usaha untuk mendapatkan bahasa ke-2, seorang pebelajar bahasa akan senantiasa melakukan kekeliruan (mistake) dan kesalahan (error). Kekeliruan (Mistake) adalah suatu kesalahan yang disebabkan oleh kekhilafan semata. Oleh karenanya, kesalahan yang terjadi dalam hal ini kecil kemungkinannya akan terulang lagi sebab sebenarnya yang bersangkutan telah mengetahuinya, misalnya salah ucap. Kesalahan (Error) itu muncul dikarenakan kurangnya kemampuan (competence) dari pemakai bahasa. Oleh karenanya, kesalahan ini sering terjadi dan berulang-ulang. Jadi dapat disimpulkan bahwa mistake merupakan kesalahan yang terjadi karena kekhilafan sehingga bersifat sementara, sedangkan error merupakan kesalahan yang terjadi karena kurangnya competence sehingga bersifat konsisten. Kesalahan, sebagaimana telah disebutkan di atas akan senaniasa terjadi pada setiap pebelajar B2. Menurut teori netral, kesalahan (error) itu dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu : (1) development error, (2) interferensi, dan (3) Unique error. Development eror merupakan kesalahan yang terjadi seperti ketika seseorang dalam tahap perkembangan untuk memperoleh B1. Interfernsi merupakan kesalahan yang terjadi ketika sistim B1 digunakan pada waktu berbicara dalam B2 sementara itu kedua sistim dari kedua bahasa tersebut jelas berbeda. Unique error merupakan kesalahan yang terjadi yang bukan disebabkan oleh adanya perkembangan maupun interferensi. Ada dua sumber utama penyebab kesalahan berbahasa yaitu interlingual dan intralingual. Kesalahan yang bersumber pada interlingual maksudnya adalah bahwa kesalahan itu disebabkan oleh adanya kontak antara dua bahasa. Kontak antara dua bahasa akan mengakibatkan adanya transfer. Sebagaimana telah dijelaskan dalam pendahuluan, transfer yang mengakibatkan pebelajar bahasa semakin mudah dalam mempelajari B2 (karena kebetulan kedua isitim bahasa tersebut memiliki sistim yang sama) disebut transfer positif, sedangkan apabila menyebabkan pebelajar B2 mengalami kesulitan disebut transfer negative. Sumber kesalahan yang kedua adalah intralingual. Kesalahan yang bersumber pada intralingual maksudnya adalah bahwa kesalahan pebelajar B2 itu disebabkan oleh kerumitan sistim B2 itu sendiri. Karena ketidaktahuannya, seorang pebelajar B2 sangat dimungkinkan untuk mengucapkan kalimat ‘Pekerjaan itu adalah merupakan pekerjaan yang sia-sia.’ Kesalahan itu terjadi karena kerumitan yang terjadi pada sistim B2 itu sendiri, bukan karena pengaruh sistim B1. Perda Nomor 1, Tahun 1992 tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada papan, papan petunjuk, kain rentang, dan reklame di wilayah DKI Jakarta telah berumur belasan tahun. Namun, dalam realisasinya mari kita ikuti beberapa kasus kebahasaan yang terdapat di Jakarta. 2.
ANALISIS KESALAHAN PADA PAPAN PETUNJUK
Pada dasarnya bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang telah digunakan dari kita kecil dan oleh semua aspek masyarakat Indonesia, mulai dari bentuk lisan maupun tulisan.
57
Terdapat beberapa buah papan petunjuk dalam bahasa Indonesia yang setiap saat terbaca oleh pengendara mobil di Jakarta dan sekitarnya. Misalnya, menjelang masuk tol, kita dapat membaca papan petujuk sebagai berikut : Pemakai Jalan Tol. Gunakan Lajur Tengah Dan Kiri. Pada dasarnya papan petunjuk memang dibuat simple dengan tujuan agar informasinya mudah dimengerti oleh yang membaca. Dari segi informasi boleh dikatakan bahwa tulisan pemakai jalan tol gunakan lajur tengah dan kiri sudah dapat dimengerti. Namun, dari segi kebahasaan ada yang salah, yaitu pemakaian kata penghubung dan. Seperti telah kita ketahui, kata dan adalah kata sambung yang fungsinya menghubungkan dua unsur bahasa, misalnya Wati dan Budi duduk. Dari segi makna, kata dan menyatakan makna jumlah suatu peristiwa yang dilakukan secara bersama. Dengan demikian, penggunaan kata dan pada Wati dan Budi duduk, memberikan makna bahwa suatu peristiwa dilakukan secara bersama. Penulis mencoba menganalogikan tulisan pada papan petunjuk tadi dengan contoh kalimat yang telah disebutkan itu. Gunakan lajur kiri dan tengah. Pengertiannya akan menjadi menggunakan lajur kiri dan tengah secara bersamaan yang artinya setengah kendaraan berada di lajur tengah dan setengahnya lagi berada dilajur kiri. Jika demikian, tentunya bukan kata penghubung dan yang seharusnya dipakai pada tulisan itu karena yang dimaksud bukan penjumlahan lajur. Namun, yang dimaksud adalah pemakain lajur. Didalam bahasa Indonesia terdapat juga alat penghubung yang menyatakan pilihan, yaitu atau, jadi kita dapat mengganti papan petunjuk itu menjadi : Gunakan Lajur Kiri Atau Tengah. Selain itu dijalan-jalan juga terdapat kesalahan dalam penulisan petunjuk seperti Disini terdapat layanan bus pariwiasata. Kata “bis” yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3 menerangkan bahwa kata tersebut tidak mengartikan sebuah kendaraan besar. Oleh karena itu kata “bis” yang ada pada gambar diatas adalah kata yang tidak baku. Seharusnya kata “bis” itu diganti menjadi kata “bus” yang merupakan kata bakunya. Penggunaan kata di yang tidak tepat untuk keterangan waktu juga terlihat pada salah satu papan petunjuk yang berbunyi, Kendaraan roda dua dilarang melewati jalan ini di hari Kamis. Seharusnya keterangan waktu menggunakan kata pada. Maka di hari kamis menjadi pada hari kamis. Selain contoh di atas juga terdapat beberapa contoh kesalahan lain yang terdapat pada informasi layanan umum dan layanan niaga di Jakarta, yaitu kesalahan ejaan yang terdapat pada papan nama lembaga/instansi, seperti kesalahan penulisan kata provinsi yang seharusnya adalah propinsi, kesalahan diksi yang terdapat pada papan informasi, seperti kesalahan penggunaan kata jam yang seharusnya adalah pukul, kesalahan struktur frasa yang terdapat pada papan nama badan usaha, yaitu penamaan salon, seperti pada Yoppie Salon yang seharusnya adalah Salon Yoppie, kesalahan karena penggunaan istilah asing, seperti pada nama badan usaha, yaitu Shara Rental Car yang seharusnya adalah Penyewaan Mobil Shara. 3.
ANALISIS KESALAHAN PADA PAPAN PENGUMUMAN DI STASIUN KERETA API
Salah satu sarana transportasi yang terdapat di Jakarta adalah jasa kereta api. Di stasiun dipasang papan pengumuman untuk memberi informasi kepada para penumpang. Tulisan pada papan pengumumman itu pada umumnya dipahami oleh yang membacanya. Namun, jika dilihat dari segi kebahasaan, tulisan pada papan pengumumman tersebut belum memenuhi kaidah kebahasaan. Contoh kasus kesalahan yang terdapat di stasiun KA adalah
58
Anda Tidak Mempunyai Tiket , Akan Dikenakan Denda 2x Lipat Dari Harga Karcis. Sekilas tidak ada yang salah pada tulisan tersebut. Tulisan pada papan pengumuman ini mungkin saja dapat dipahami oleh pembaca. Hal itu memang terbukti, para penumpang kereta api memang membawa karcis masing-masing. Itu artinya pesan dari pengumuman tersebut bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Namun, dari segi kebahasaan terdapat kekurangan. Dalam Bahasa Indonesia terdapat kalimat majemuk bertingkat yang menyatakn sebab akibat. Salah satu kata hubung yang menandai kalimat majemuk bertingkat yang menyatakan sebab akibat adalah kata hubung jika, jadi sebaiknya kita mengganti papan petunjuk itu menjadi Jika tidak mempunyai tiket (anak kalimat) Anda akan dikenakan denda dua kali lipat dari harga karcis (induk kalimat). Yang menjadi subjek dalam kalimat itu adalah Anda. Dengan demikian, subjek tadi di letakan pada induk kalimat, yaitu Anda akan dikenakan denda dua kali lipat. Subjek anak kalimat pada kalimat majemuk bertingkat yang mempunyai subjek sama dengan induk kalimatnya dapat dihilangkan atau dilesapkan. Oleh karena itu, anak kalimat pada kalimat tersebut subjeknya boleh tidak dihadirkan. 4. ANALISIS KESALAHAN PADA IKLAN, SPANDUK DAN BROSUR Papan iklan adalah papan yang berukuran besar yang ditempatkan di luar ruang (ruang terbuka) dan berfungsi untuk menempatkan iklan (Alwi, 2003). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh penulis ternyata bahwa sebagian besar papan iklan yang diletakkan di luar ruang itu umumnya menggunakan bahasa nonbaku (dialek Melayu Betawi ) dan bahasa Inggris. Apalagi iklan rokok masih banyak menggunakan kosakata bahasa Inggris, sedangkan iklan dari XL, Mentari, Simpati, umumnya menggunakan bahasa nonbaku, seperti kata nelpon, banget, sampe. Pedagang elektronik melakukan teknik pemasaran dengan mengikuti pameran. Biasanya tulisan-tulisan yang berhubungan dengan penjualan barang terdapat dalam pameran yang mempromosikan barang-barang baru karena memang salah satu promosi yang digunakan adalah melalui tulisan-tulisan di dekat stan tersebut. Salah satu contohnya adalah barang yang sudah dibeli dapat dikembalikan tanpa dipotong. Jika hal yang dimaksudkan adalah jika kita membeli salah satu produk yang tidak cocok, kita dapat mengembalikan barang yang sudah dibeli tadi dan uang pembelian akan dikembalikan seharga pembelian tadi, maka kalimat tersebut harus diubah menjadi seperti berikut Barang yang sudah dibeli dapat Anda kembalikan. Uang pembelian akan kami kembalikan secara utuh atau tidak dipotong. Contoh kesalahan lain adalah tulisan Barang yang dijual di pameran ini bisa secara cash/kredit. Apabila diamati dengan saksama kata “kredit” di atas seharusnya ditulis “credit” yang merupakan bentuk pasangan kata dari “cash” yang merupakan kata bahasa asing. Karena penulisan “kredit” diatas adalah kata bahasa Indonesia. Selain itu terdapat kesalahan pada penulisan di spanduk pameran. Tulisan itu berbunyi Persaingan Android akan memanas lebih dari tahun-tahun sebelumnya. Kata ‘akan memanas lebih dari’, sebaiknya diperbaiki dengan kata ‘akan lebih memanas daripada’ karena kata lebih biasanya diikuti oleh kata sifat dan kata daripada menunjukkan sebuah perbandingan sedangkan kata dari menunjukkan asal. Ada juga tulisan yang berbunyi …harga malah akan meningkat… Sebaiknya penggunaan kata ‘malah’ dihapuskan, karena pemborosan kata.
59
Brosur adalah bahan informasi tertulis mengenai suatu masalah yang disusun secara bersistem; barang cetakan yang hanya terdiri atas beberapa halaman dan dilipat tanpa dijilid; selebaran cetakan yang berisi keterangan singkat, tetapi lengkap (Alwi, 2003). Kesalahan itu umumnya terdiri atas penulisan kata, penggunaan tanda baca, dan penggunana kosakata asing. Berdasarkan pengamatan dari beberapa brosur yang tersebar, seperti brosur dari rumah sakit, brosur dari perguruan tinggi swasta, kursus, brosur dari penawaran produk (alat rumah tangga dan mobil) masih digunakan kosakata asing dan kosakata nonbaku, seperti , photocopy atau fotocopy, good luck, full ac, design, show room, buat ngeceng, pasti keren, Dai care, pake, nelpon. Selain itu, terdapat penulisan kata dan huruf kapital yang salah, non akut, s/d, Hadiah akan diganti dengan Souvenir dalam Rangka mengenalkan show room kami… Pada salah satu brosur promosi terdapat tulisan yang berbunyi, Samsung akan menghasilkan lebih banyak produk dari sebelumnya… Kata ‘dari’ perlu diubah menjadi ‘daripada’ karena dalam kalimat tersebut menunjukkan suatu perbandingan. Pada salah satu brosur yang dibagikan juga terdapat tulisan yang tidak tepat yaitu, kenaikan harga disebabkan karena persaingan produk… Kata ‘disebabkan karena’ merupakan bentuk padanan yang tidak serasi. Sebaiknya digantikan dengan kata ‘disebabkan oleh’. Dan sebelum kata ‘merupakan’perlu ditambah kata ‘yang’ sebagai penjelas. Ketika keluar dari area parkir kita juga sering membaca peraturan yang ditulis pada papan kayu hampir di setiap ujung area parkir. Peraturan itu berbunyi sebagai berikut Pengendara harap menunjukkan STNK. Kalimat itu sebetulnya belum selesai, STNK harap ditunjukan kepada siapa? Oleh karena itu sebaiknya kalimat itu dilengkapi sehingga menjadi Pengendara harap menunjukkan STNK kepada petugas. Selain itu, di jalan-jalan penulis pernah membaca tulisan di spanduk yang seharusnya menghimbau agar Jakarta bebas narkoba, tapi bertuliskan Mewujudkan Masyarakat Jakarta Bebas Menyalahgunakan Narkoba. Kesalahan berbahasa juga terlihat pada salah satu pameran otomotif. Penggunaan istilahistilah asing banyak dijumpai dalam iklan otomotif, padahal pengganti istilah asing sudah diserap dalam istilah bahasa Indonesia. Contohnya saja dari aspek kosa katanya. Kosa kata yang digunakan dalam iklan banyak mengunakan bahasa asing dan bahasa daerah. Penggunaan kata tersebut seharusnya mengikuti aturan tata bahasa Indonesia. Penggunaan kata asing dan daerah seharusnya dimiringkan tetapi di dalam bahasa iklan tidak ditulis miring. Kesalahan dalam bahasa iklan pada umum terjadi pada aspek kosa kata. Contoh kalimat iklan tersebut, yaitu: Suzuki way of life Jika dilihat dari segi ejaan, bahasa iklan sudah sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia. Namun, masih terdapat ejaan khas yang menimbulkan kesalahan. Penggunaan tanda titik (.) dan tanda koma (,) untuk kalimat deklaratif sering dilupakaan dalam iklan. Kalimatkalimat iklan sering melupakan tanda titik sehingga menimbulkan kalimat dalam iklan seolah-olah sebuah judul karangan. Contoh kalimat iklan, antara lain: Lebih dari oli pelumas berteknologi.
60
Pemenggalan kata ketika ganti baris terkesan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan pemenggalannya menggunakan program komputer berbahasa Inggris. Hal ini sebenarnya sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa Indonesia. Contoh pemenggalan kata yang salah tersebut antara lain: Surya 12, taklukkan tantanganmu. Di jalan-jalan masih sering terlihat kesalahan menulis pada papan spanduk. Contohnya, ruah ini di jual. Penulis spanduk iklan pada spanduk iklan di jalan harus mengetahui bahswa ada dua macam “di” dalam kalimat. “di” yang pertama menunjukkan tempat, yang harus dituliskan terpisah dari kata yang menunjukkan tempat. “di” yang kedua merupakan sebuah awalan untuk sebuah kata kerja pasif, yang harus digabungkan pada kata yang diawalinya. Jadi kata depan “di” yang ada pada iklan itu harus digabung menjadi “Dijual” karena kata “jual” merupakan kata kerja. Bilamana digabungkan dengan kata depan “di” maka kata “jual” itu menjadi kata kerja pasif. Penggunaan bahasa pada spanduk yang dipampangkan di tempat umum masih terlihat sebagian kesalahan. Berikut contoh tulisan yang dipampangkan pada spanduk: Orchild Exhibition 2013 Menggelar Seminar. Lebih seru, Open Tournament Futsal 2008 Antarmember, Tetap Keren Tanpa Narkoba: Say no to Druggs. Penggunaan bahasa seperti itu akan menimbulkan konsekuensi bagi pemakai bahasa. Apakah memang bahasa yang digunakan itu sudah tepat ataukah bahasa itu sudah cukup komunikatif sehingga tidak perlu menggunakan bahasa yang baku. Kalaulah pemakaian bahasa seperti itu tetap dibiarkan tentu akan menimbulkan kegamangan perkembangan bahasa Indonesia pada masa yang akan datang. Bagaimana bahasa Indonesia akan menjadi bahasa internasional, pemakaian bahasa Indonesia di negeri sendiri masih amburadul. Contoh lain kesalahan berbahasa adalah tulisan pada spanduk yang berisi iklan ”CocaCola” yaitu, ”SIAPA BILANG GAK MUNGKIN? GREAT ’COCA-COLA TASTE ZERO SUGAR Kosakata itu sebaiknya diubah menjadi :
Contoh lain kesalahan berbahasa adalah spanduk yang berisi iklan kartu telepon dari FREN, yaitu : ”TRUS GRATIS SAMPE DOWEEER sepanjang hari seIndonesia!..................SUEERRR!! Kata-kata itu sebaiknya diubah menjadi:
61
5.
PENUTUP
Bila mau ditelusuri banyak sekali dijumpai spanduk-spanduk di sekitar kita yang salah tulis atau memuat ejaan kata yang tidak tepat. Diantaranya yang menonjol adalah penulisan angka rawan salah tulis dan ejaan suatu kata yang tidak tepat. Tentu saja spanduk yang salah tulis tersebut tidak sengaja dibuat salah, melainkan tidak sengaja , akibat kelalaian atau ketidaktelitian. Tapi hasilnya, jadi bahan pembicaraan karena yang namanya spanduk pemasangannya pasti dipilih di ruang publik yang strategis dan mencolok mata, seperti di jalan raya yang ramai. Sudah selayaknyalah kalau semua orang/warga negara Indonesia mempunyai sikap positif terhadap bahasa yang mereka gunakan. Dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia baik tulisan maupun lisan haruslah mempertimbangkan tepat tidaknya ragam bahasa yang digunakan. Kita sebagai warga negara Indonesia harus mempunyai sikap seperti itu karena siapa lagi yang harus menghargai bahasa Indonesia selain warga negaranya. Kita, sebagai bangsa Indonesia harus bersyukur, bangga, dan beruntung karena memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa Negara. Menggunakan bahasa baku memang sudah seharusnya diterapkan, karena hal itu akan menunjukan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Mudah-mudahan tulisan yang telah dibuat penulis bisa bermanfaat bagi pembaca sehingga penulis dan pembaca lebih berhati-hati dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2000. Politik Bahasa: Risalah Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa.
Alwi, Hasan, dkk (2003): Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta, PT Balai Pustaka. Alwi, Hasan. 2003.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Bali Pustaka. Chaer, Abdul dan Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Bhineka Cipta. Ismail, T. 2005. Malu (Aku) Jadi Orang Indonsia. Jakarta: Yayasan Amanda. Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik,4th ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008 Nurhayati, Dini, dkk, Makalah Klasifikasi Kategori Linguistik dan Struktur Permukaan
Tarigan, Henru Guntur. 1992. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung: Angkasa. Tarigan, Djago dan Lilis Siti Sulistyaningsih. 1997. Analasis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Sakri, A. 1995. Bangun Kalimat Bahasa Indonesia. Bandung: ITB. Hudson. R. A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
LAMPIRAN a. Gambar-gambar b. Proposal penelitian awal
62
63
64
THE PRAGMATICS COMPETENCE IN ENGLISH STUDENTS OF DARMA PERSADA UNIVERSITY By: Irna Nirwani Djajadiningrat Jurusan Sastra Inggris ABSTRACT It is widely acknowledged that learning languages involves far more than targeting surface grammatical or lexical systems. The other aspects of language have been referred to as invisible, as they are often the most difficult to teach and acquire, given their subtlety and complexity. This paper discusses the pragmatics competence in English Students of Darma Persada University. Pragmatic competence is important because it may ultimately determine whether a successful communicative interaction takes place. Successful communication in language learning must not only address linguistic forms but also acknowledge language as a reflection of the socio-cultural norms of the L2 community. This research is aimed to find out how conversation is used in ordinary life of English students in Darma Persada University. In other words, it is the analysis of the methods students use to engage in conversation and other forms of social interaction involving speech. As such, the central concern of conversational analysis is to determine how individuals experience, make sense of, and report their actions. It also discusses the natural of conversation in order to discover what the linguistic characteristics of conversations are. Having mastered the specific function of a given utterance, a speaker will find it exceptionally easy to find the most appropriate equivalents in the foreign language. The results of this study that learners who have more experience or exposure to the language, or explicit classroom instruction do not necessarily possess a higher degree of pragmatic competence than those who have not. These findings suggest that perhaps grammatical competence and pragmatic competence may develop separately and at differing rates. Key Words: Pragmatic Competence, Organizational Competence, Non-Native speakers, illocutionary competence, grammatical competence 1. Introduction Pragmatic competence is defined as the ability to communicate effectively and involves knowledge beyond the level of grammar. Bachman (1993) states that some of the rules that govern interactions but that are not immediately obvious have been referred to as invisible rules. The studies of cross-cultural pragmatics report that the way speech acts are realized varies across languages. This variation can sometimes cause misunderstandings, or pragmatic failure, which occurs when learners transfer first language pragmatic rules into second language domains. This transfer of rules can lead to stereotyping about particular speech communities, as speakers may be perceived as being rude or inconsiderate. As Bachman (1990) stated that pragmatic competence of foreign language speakers does not guarantee a corresponding level of pragmatic development. Even advanced non-native speakers may fail to comprehend or to convey the intended intentions and politeness values. Pragmatic competence consists of illocutionary competence, that is, knowledge of speech acts and speech functions, and sociolinguistic competence. Sociolinguistic competence entails the ability to use language appropriately according to context. It thus
65
includes the ability to select communicative acts and appropriate strategies to implement them depending on the contextual features of the situation. Even though pragmatic competence has been recognized as one of the vital components of communicative competence (e.g. Bachman 1990), there is a lack of a clear, widely accepted definition of the term. In Bachman’s model (1990: 87), language competence is divided into two areas consisting of ‘organizational competence’ and ‘pragmatic competence’. Organizational competence comprises knowledge of linguistic units and the rules of joining them together at the levels of sentence (‘grammatical competence’) and discourse. It can be argued that perhaps pragmatic knowledge simply develops alongside lexical and grammatical knowledge, without requiring any pedagogic intervention. This research is aimed to find out how conversation is used in ordinary life of English students in Darma Persada University. In other words, it is the analysis of the methods students use to engage in conversation and other forms of social interaction involving speech. As such, the central concern of conversational analysis is to determine how individuals experience, make sense of, and report their actions. It also discusses the natural of conversation in order to discover what the linguistic characteristics of conversations are. Having mastered the specific function of a given utterance, a speaker will find it exceptionally easy to find the most appropriate equivalents in the foreign language. A knowledge of pragmatics will help speakers express their intention. 2. Pragmatics Lack of pragmatic awareness on the part of students has implications both in terms of how they receive and deliver messages. It can result in their sometimes being unable to understand messages accurately, because they need to decode what is said and understand what is meant. For example, a supervisor may use the words, ‘You might want to reconsider your entire theoretical approach’ within the context of a meeting about the impasse the student has encountered in his research. The supervisor may intend the use of the word ‘might’ to be diplomatic and gentle given the difficult news she is delivering. If the student is solely focused on the language used, he may hear the word ‘might’ and think he has some choice in the matter, which in fact he does not. Leech (1983) proposed to subdivide pragmatics into a pragmalinguistic and sociopragmatic component. Pragmalinguistics refers to the resources for conveying communicative acts and relational or interpersonal meanings. Such resources include pragmatic strategies like directness and indirectness, routines, and a large range of linguistic forms which can intensify or soften communicative acts. For one example, compare these two versions of apology - the terse ‘I’m sorry’ and ‘I’m absolutely devastated. Can you possibly forgive me?’ In both versions, the speaker apologizes, but she indexes a very different attitude and social relationship in each of the apologies Sociopragmatics was described by Leech (1983, p. 10) as ‘the sociological interface of pragmatics, referring to the social perceptions underlying participants’ interpretation and performance of communicative action. Speech communities differ in their assessment of speaker’s and hearer’s social distance and social power, their rights and obligations, and the degree of imposition involved in particular communicative acts. The values of context factors are negotiable; they can change through the dynamics of conversational interaction notion of the conversational contract.
66
Pragmatic ability in a second or foreign language is part of a nonnative speakers (NNS) communicative competence and therefore has to be located in a model of communicative ability. In Bachman’s model (1990, p. 87), language competence is subdivided into two components, ‘organizational competence and ‘pragmatic competence’. Organizational competence comprises knowledge of linguistic units and the rules of joining them together at the levels of sentence (‘grammatical competence’) and discourse (competence!). Pragmatic competence subdivides into ‘illocutionary competence’ and ‘sociolinguistic competence’. ‘Illocutionary competence’ can be glossed as knowledge of communicative action and how to carry it out. The term communicative action is often more accurate than the more familiar term ‘speech act’ because communicative action is neutral between the spoken and written mode, and the term acknowledges the fact that communicative action can also be implemented by silence or nonverbally. ‘Sociolinguistic competence’ comprises the ability to use language appropriately according to context. It thus includes the ability to select communicative acts and appropriate strategies to implement them depending on the current status of the ‘conversational contract’ (Fraser, 1990). In order to communicate successfully in a target language, pragmatic competence in L2 must be reasonably well developed. But adopting pragmatic competence, as one of the goals for L2 learning does not necessarily imply that pragmatic ability requires any special attention in language teaching. Some pragmatic knowledge is universal, and other aspects may be successfully transferred from the learners’ L1. To start with the pragmatic universals, learners know that conversations follow particular organizational principles participants have to take turns at talk, and conversations and other speech events have specific internal structures. Learners know that pragmatic intent can be indirectly conveyed, and they can use context information and various knowledge sources to understand indirectly conveyed meaning. They know that recurrent speech situations are managed by means of conversational routines rather than by newly created utterances. They know that strategies of communicative actions vary according to context specifically, along such factors as social power, social and psychological distance, and the degree of imposition involved in a communicative act, as established in politeness theory (Brown & Levinson, 1987; Brown & Gilman, 1989). Learners have demonstrated knowledge of the directive and expressive speech acts that have been most frequently studied in crosscultural and interlanguage pragmatics, such as requests and apologies, and they have been shown to understand and use the major realization strategies for such speech acts. Furthermore, language users know that requests can be softened or intensified in various ways. 3. Discussion The most compelling evidence that instruction in pragmatics is necessary comes from learners whose L2 proficiency is advanced and whose unsuccessful pragmatic performance is not likely to be the result of cultural resistance or misidentification strategies. In this study of a limited sample of advanced English learners in English Department, Darma Persada University, I examined how well these students understood different types of indirect responses, or implicature, as in the following dialog: A : How was your dinner last night? B : Well, the food was nicely presented.
67
I found that in 27% of the cases, implicatures were understood differently by advanced students. A re-test of 30 students after two semesters demonstrated that their comprehension now showed a success rate of over 90%. But some implicature types resisted improvement through exposure alone. Brown (1989) classifies language features as (i) features that cause unintelligibility to nonnative listeners from the same speech community as the speaker, these typical errors include (i) dropping the third person present tense -s, (ii) confusing the relative pronouns "who" and "which", (iii) omitting articles where they are obligatory in native English language, and inserting them where they do not occur in English as a native language, (iv) failing to use correct forms in tag questions, e.g., "isn't it?" or "no?" instead of the ones used in standard British and American English, (v) inserting redundant prepositions, as in "we have to study about…", "we have to discuss about…" (vi) overusing verbs of high semantic generality , such as "do", "have", "make", "put" and "take", (vii) replacing infinitive constructions with "that clause" as in "I want that…", (vii) overdoing explicitness, e.g., "black colour", and "dead body" rather than just "black" and "body". The choosing words problems of the groups of learners can be summarily illustrated with the help of the following single example: The use of word "come" and "go" in students variety of English., in standard variety of English, "go" means moving to a place that is far from the speaker and the listener and "come" means moving to a place that is nearer to the hearer. For example, a student may say to his teacher: "May I come in, Sir?" and "Sir, may I go home now?" In the first case, the student is moving nearer to the teacher; in the second case, the student wants to move away from the teacher. This is the normal use in English. But, in Indonesian variety of English, the use is reversed. The student usually says to the teacher who is in school with him." Excuse me, Sir, May I come back home now? And yes, I cannot go to the lecture tomorrow. Let us look at one more example. Along the lines of the words "come" and "go", the students use the words "bring" and "take" in a reverse way. In British English when I bring something I carry it from another place to the place where the hearer is. Similarly, when I take something, I take it from where the hearer and I are to another place. But the students use the two words in an opposite way. The data shows that more than 47 % students say: "Excuse me, Mam I don't have this book at home. Can I bring it for a week, please?" and "I'm sorry, Mam, I forgot to take the book that I brought from you last week. I'll take it tomorrow. They need to be told time and again that the usual meanings of "come" and "go" and "bring" and "take" are different. Based on data above the students tended to leave suggestions or ignore their coursework. Consequently, they performed more rejections of advisor suggestions than the native speakers, who were more initiative in making suggestions and thereby avoided rejections. Even at the end of the observation period, the students as non-native speakers had not learnt how to mitigate their suggestions and rejections appropriately. By using mitigating forms such as ‘I was thinking’ or ‘I have an idea... I dont’ know how it would work out, but...’, the NS would cast their suggestions in tentative terms. By contrast, the NNS tended to formulate their suggestions much more assertively, as in ‘I will take language testing’ or ‘I’ve just decided on taking the language structure’. I found that when students’ contributions were pragmatically inappropriate, they were less successful in obtaining their advisor’s consent for taking the courses they preferred.
68
A further aspect of students’ pragmatic competence is their awareness of what is and is not appropriate in given contexts. I also found that Unsada’s students of EFL learners recognized grammatically incorrect but pragmatically appropriate utterances more readily than pragmatically inappropriate but grammatically correct utterances, and this was true for learners of all proficiency levels. This finding strongly suggests that without a pragmatic focus, foreign language teaching raises students’ metalinguistic awareness, but it does not contribute much to develop their metapragrnatic consciousness in L2. As we have seen, then, without some form of instruction, many aspects of pragmatic competence do not develop sufficiently. We therefore need to know what pragmatic aspects can be taught and which instructional approaches may be most effective. However, these students’ English proficiency was much less advanced than that of the learners in this studies, and with more time, occasion for practice, and increased L2 input, the students’ success rate might have improved. All but one feature of pragmatic fluency gained from consciousness raising and conversational practice; the resistant aspect was to provide appropriate rejoinders, or second pair parts, to an interlocutor’s preceding contribution, as in this exchange: A: Oh I tell you what we go shopping together and buy all the things [we need] B: [Of course] of course A: Okay then and you try and call Mega and ask her if she knows somebody who owns a grill B: Yes of course More appropriate acceptances of the A’ suggestions would have been ‘ok/good idea/let’s do it that way then’ or the like. Why would inappropriate rejoinders persist in these advanced learners’ discourse despite instruction can be explained that the notion of control of processing: fluent and appropriate conversational responses require high degrees of processing control in utterance comprehension and production, and such complex skills may be very hard to develop through the few occasions for practice that foreign language classroom learning provides. Such functions can be implemented through a very limited range of communicative acts. A pragmalinguistic task focuses on the strategies and linguistic means by which thanking is accomplished - what formulae are used, and what additional means of expressing appreciation are employed, such as expressing pleasure about the giver’s thoughtfulness or the received gift, asking questions about it, and so forth. Finally, by examining in which contexts the various ways of expressing gratitude are used, sociopragmatic and pragmalinguistic aspects are combined. By focusing students’ attention on relevant features of the input, such observation tasks help students make connections between linguistic forms, pragmatic functions, their occurrence in different social contexts, and their cultural meanings. Students are thus guided to notice the information they need in order to develop their pragmatic competence in L2. Authentic L2 input is essential for pragmatic learning, but it does not secure success for pragmatic development. When students’ observe L2 communicative practices, their minds don’t simply record what they hear and see. Students’ experiences are interpretive rather than just registering cognitive psychology as well as radical constructivism, emphasize the importance of prior knowledge for comprehension and learning. In our attempt to understand the practices of an unfamiliar community, we tend to view such practices
69
through the lenses of our own customs. We tend to classic experiences into ‘familiar’ and thus not requiring further reflection or analysis, and ‘unfamiliar’, i.e., peculiar, enigmatic, inviting explanation, and attracting evaluation. As a strategy for the acquisition of everyday knowledge, cultural isomorphism is a combination of assimilation and spot-thedifference. L2 practices are subjected to the same social evaluations as the apparently equivalent L1 practices. 4. Conclusion It is therefore important to identify very specifically which pragmatic abilities are called upon by different tasks. A useful distinction can be made between referential and interpersonal communication tasks. In referential communication tasks, students have to refer to concepts for which they lack necessary L2 words. Such tasks expand students’ vocabulary and develop their strategic competence. Interpersonal communication tasks are more concerned with participants’ social relationships and include such communicative acts as opening and closing conversations, expressing emotive responses as in thanking and apologizing, or influencing the other person’s course of action as in requesting, suggesting, inviting, and offering. A first implication of this study is that attention to pragmatic cues is necessary throughout the language learning process. Although the results in this study did not produce substantial evidence regarding pedagogical intervention, it must be noted that learners cannot be expected to grasp the pragmatic concepts behind grammatical forms based on one class period of explicit instruction. In this case, pragmatic instruction should be given beginning in lower class levels and should continue through advanced courses. Perhaps this aspect of language teaching is over looked as language instructors seem to emphasize learning advanced grammar forms as the learner progresses to more advanced levels. Instead, instructors should provide learners with pragmatic input. If instructors want learners to progress to higher levels of language proficiency, attention to linguistic as well as pragmatic forms is necessary. REFERENCES Auerbach, B. R. (1993). Reexamining English Only in the ESL classroom. TESOL Quarterly, 27, 9-32. Bachman, L. (1990). Fundamental considerations in language testing. Oxford: Oxford University Press. Bardovi-Harlig, K. (1996). Pragmatics and language teaching: Bringing pragmatics and pedagogy together. In L. F. Bouton (Ed.), Pragmatics and language learning Vol. 7 (pp. 21-39). Urbana, IL: University of Illinois at Urbana-Champaign. study of pragmatic development. Blum-Kulka, S. (1991). Interlanguage pragmatics: The case of requests. In R. Phillipson, E. Kellerman, L. Selinker, M. Sharwood Smith, & M. Swain (Eds.), Foreign! second language pedagogy research (pp. 255-272). Clevedon, UK: Multilingual Mailers. Brown, P. & Levinson, S. (1987). Politeness: Some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press. Fraser, B. (1990).Perspectives on politeness. Journal of Pragmatics, 14, 219-236. Lorscher & R. Schulze (Els.), Perspectives on language in performance. Festschrft for Werner Hullen (pp. 1250-1288). Tubingen: NaJT. Leech, G. (1983). Principles of Pragmatics. London: Longman.
70
Peirce, B. N. (1995). Social identity, investment, and language learning. TESOL Quarterly, 29, 9-31. Yule, G. (1996). Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
71
The Study of Values in the Novel The Mysterious Strangers By Mark Twain Karina Adinda Eka Yuniar Ernawati 1.
ABSTRAK Inti dari tulisan dalam makalah ini adalah bahwa Mark Twain ingin menyampaikan bahwa dalam menjalankan kehidupan manusia harus mempunyai nilai-nilai. Pemikiran tentang nilai-nilai kehidupan Twain dalam novel The Mysterious Stranger berdampingan antara nilai-nilai yang positif maupun nilainilai yang negatif. Nilai-nilai yang positif merupakan nilai-nilai yang diperlukan manusia dalam kehidupan nya sehingga hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dapat terjalin dengan baik. Sebaliknya, nilai-nilai negatif yang disampaikan Twain di sini merupakan nilai-nilai yang harus dihindari dalam bermasyarakat. Dengan mengetahui adanya nilai-nilai kehidupan yang positif maupun yang negatif, manusia dapat menyaring nilai-nilai mana yang perlu diterapkan dalam kehidupannya, dan menjauhi nilai-nilai yang merugikannya. Penyajian nilai-nilai dalam novel ini membuat pembacanya menjadi manusia yang lebih baik dan bijaksana dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat. Key words : values of life, miraculous, moral, sanity, wise, cruelty, hypocrisy, slander
2.
INTRODUCTION Literature refers to the work of arts. It is distinguished from other arts in that it is a verbal structure. It is called a verbal structure because the work of literature is done and spoken by the person involved in literature. Behind the scene of arts, literature contains a philosophy of life which can be expressed and in moral terms. People can learn a lot from literature and literature is powerful to change human life. There are many moral values that literature offers to be taken in by people. Reading a literary work responsively can be an intensified demanding activity. Imaginative literature makes our efforts rewarded with pleasure as well as understanding. The quotation shows us that literature explores the nature of human being and its condition present us memorable things and the worthy values by reading the reflection of life.
72
It can be concluded from the above quotations that studying a literary work has two functions, the first is getting pleasure or enjoyment, and the latter is getting knowledge of humanity. While reading or analyzing literary works such as novel, drama and poetry, the student gives attention to some particular characters that construct the plot, setting, point of view and style. They continue to describe a sequence of event to make up the plot or the narrative structure which contains a) exposition b) rising action c) conflict d) climax and e) resolution (Rohrbenger, 1965 : 21). The theme of the story can be taken from the plot which is developed from the author’s point of view. From this discussion, it is clear that reading literature can be both for enjoyment and for research. Literature can be an object of research because it contains the records of people’s values, thoughts, problems and conflicts (Hudson, 1960 : 60). Here, the theme of this story is The Study of Values in the Novel The Mysterious Strangers By Mark Twain. Literature is classified into three classes : 1) Prose fiction that includes short story, myth parable, romance and epics. 2) Poetry is contrast to prose fiction in much more economical in the use of words and it relies heavily on imaginary figurative language, rhythm and sound. 3) Drama is the form of literature designed to be performed by actor or main characters (Rohrbenger, 1971 : 19). From here, the writers chose the prose fiction, The Mysterious Strangers from Mark Twain to be analyzed. The three classes of literature have each different characteristics, although they also have common characteristics. The common characteristic is that the work of literature contains moral values that enrich people’s insight and knowledge. People will be more wise and cultured after they are exposed to the work of literature. They will understand the nature of human being better. Prose fiction reflects the experience of human being as clearly as happens. The novel The Mysterious Stranger
by Mark Twain contains cultural
values. As a work of literature, many values can be learned from this novel. Some of the values are connected magical power, witchcraft and culture. By reading the values contained in this novel, readers are exposed to a greater understanding of their faith. Readers are given chances to deepen their values in their faith. The author of this story presented characters and interactions which can give great knowledge to the readers. 73
Related to culture, Gabriel mentioned
that, nilai adalah kepercayaan-
kepercayaan bahwa cara hidup yang diidealisasi adalah cara yang terbaik bagi masyarakat. Oleh karena nilai adalah kepercayaan maka nilai berfungsi mengilhami anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan cara yang diterima masyarakatnya. Oleh karena nilai-nilai adalah gambaran-gambaran yang ideal, maka nilai-nilai tersebut merupakan alat untuk menentukan mutu perilaku seseorang. (Gabriel, 144:1991) This statement proves that cultural values have very important parts in a society. In this novel Mark Twain conveyed his judgment of men, his mind and nature, his inner conflict, troubled speculation and broodings. All the information about faith by Twain is connected to literary study which deals with moral values and is of great importance to the writer’s study. Twain’s thoughts in this novel give the readers the chance to deepen their belief in God. Readers are given chances to be more humble before God. 3.
STATEMENT OF THE PROBLEM The research is how to elicit the values which are reflected in this novel. There are many dialogues in the novel which convey the ideas about values.
4.
OBJECTIVES OF THE RESEARCH The objectives of the research are : a. To find the values in The Mysterious Stranger by Mark Twain b. To broaden our point of view of life c. To understand humanity better
5.
THEORICAL FRAMEWORKS A literary work has two functions, the first is getting pleasure or enjoyment, and the latter is getting knowledge of humanity. While reading or analyzing literary works such as novel, drama and poetry, the student gives attention to some particular characters that construct the plot, setting, point of view and style. They continue to describe a sequence of event to make up the plot or the narrative 74
structure which contains a) exposition b) rising action c) conflict d) climax and e) resolution (Rohrbenger, 1965 : 21). The theme of the story can be taken from the plot which is developed from the author’s point of view. From this discussion, it is clear that reading literature can be both for enjoyment and for research. Literature can be an object of research because it contains the records of people’s values, thoughts, problems and conflicts (Hudson, 1960 : 60). Literature is classified into three classes : 1) Prose fiction that includes short story, myth parable, romance and epics. 2) Poetry is contrast to prose fiction in much more economical in the use of words and it relies heavily on imaginary figurative language, rhythm and sound. 3) Drama is the form of literature designed to be performed by actor or main characters (Rohrbenger, 1971 : 19). Related to culture, Gabriel mentioned
that, nilai adalah kepercayaan-
kepercayaan bahwa cara hidup yang diidealisasi adalah cara yang terbaik bagi masyarakat. Oleh karena nilai adalah kepercayaan maka nilai berfungsi mengilhami anggota-anggota masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan cara yang diterima masyarakatnya. Oleh karena nilai-nilai adalah gambaran-gambaran yang ideal, maka nilai-nilai tersebut merupakan alat untuk menentukan mutu perilaku seseorang. (Gabriel, 144:1991)
6.
SIGNIFICANCE OF THE RESEARCH The result of the research will hopefully bring benefits to the readers. In the sense that the readers will have a better understanding of literary works, especially this story which contains moral teachings that can be applied in real life. The readers can take benefits in the study of faith in order to understand life and nature better.
7.
METHODOLOGY OF THE RESEARCH In this paper we applies descriptive method. Rohrbenger (1971 : 38) sates that descriptive research is a loosely defined category of research designs or models all of which elicit verbal and visual of descriptive narrative note, recording or other transcription and other written records. In using this method, the data are gathered,
75
analyzed finally written into a paper in a descriptive method. The descriptive analysis is oriented to : a. Describe Twain’s judgment of men and life b. Describe Twain’s values of life To support this research, we use two approaches. The first approach is objective approach and the second one is socio cultural approach. Objective approach refers to analyzing the values in The Mysterious Stranger by Mark Twain. Beside the novel, we also use secondary sources. Secondary sources are some books that are stated as references to support the analysis of this study. This approach insists that the only way to locate the real work is in reference to the civilization of which the attitude and actions of a specific group of people become the subject matter (Rohrbenger, 1971 : 9). Socio cultural approach refers to the author as a member of a society. A novel may be a result of the author’s deep understanding about social problem in his community. It can be said that literary work reflects whatever social problem which is conveyed by the author.
8.
DISCUSSION The three young boys, Theodor, Seppi and Nikolaus were closed friends since they were small. They
grew up and played together in the village. They were
trained to be good boys, but were not pestered much with schooling because knowledge was not good for the common people. Knowledge would make people question God’s plans. The village had two priests, Father Adolf who were a strong and confident priest. The other one was Father Peter, the kind hearted priest who were much loved by the villagers. Unfortunately, Father Peter had an enemy, the astrologer. Father Peter stated openly that the astrologer was only a charlatan which made the astrologer hate and want to ruin Father Peter. The astrologer made up a story that Father Peter said a remark to his niece, Marget, that God was all goodness and would find a way to save all his poor human children. Marget denied it and begged the bishop to believe her and save her old uncle from poverty and disgrace. But the bishop believed the astrologer and that left Father Peter without his flock. After two years of isolation, Father Peter did not have enough money to
76
pay for the rent of the house. Tomorrow, Solomon Isaacs, the owner of the house, would foreclose. Theodor, Nikolaus and Seppi were the favorites of the oldest serving-man in the castle, Felix Brandt, who taught them not to be afraid of ghosts. Ghosts did not do any harm to people. Ghosts only wanted sympathy and notice. Felix had also seen angels out of heaven and he had talked with them. He said that angels were pleasant and cheerful, not gloomy and melancholy like ghosts. It was after that kind of a talk one May night that the boys got up next morning and had a good breakfast. Soon, there came a young stranger strolling towards them. The stranger made magical things, such as lightning fire for the pipe and producing a lot of fruits. When asked his name, the stranger said he was the nephew of Satan, Phillip Traum, who was also called Satan. Satan made five hundreds toy people from clay with the size of a finger. Then he killed two of them because they were fighting. This shocked the three young boys, but Satan acted as if nothing happened. Finally, Satan killed all the toy people because the sobbing made him angry. But still the boys were fascinated and charmed by Satan. Father Peter had lost his wallet and he asked the three boys whether they saw the wallet or not. Surprisingly, it laid where Satan stood before he disappeared. Father Peter picked it up was very surprised. There was a lot of money now in the wallet, eleven hundred ducats. Father Peter asked them who had been there before he came. The boys answered not a human being, for Satan was not a human being. The boys urged Father Peter that the money was his, for it was in his wallet and no one claimed to lose any money. They convinced Father Peter that he could pay for his house with the money. Father Peter agreed and said he would use two hundred of it and put the rest at interest till the rightful owner came for it. But the envious astrologer set a trap for Father Peter, accusing Father Peter of stealing his money. Father Peter was put in jail. Marget was very sad with only Ursula, the cook, to take care of her. Satan came again and gave Ursula some silver coins through the existence of a stray cat, which was called Agnes, the Lucky Cat. Marget was happy with the money and had a boy servant Gottfried. People were curious from whom Ursula got the money. The condition got worse when Lisa Brandt’s mother announced that she would not pray again. This condition can be seen in the following quotation: She wiped the tears from her eyes and cheeks, and stood 77
awhile gazing down at the child and caressing its face and its hair with her hands; then she spoke again in that bitter tone : “but in his hard heart is no compassion. I will never pray again.” (Twain, 1976 : 55). After a long process, she changed her attitude. She realized that humans have to surrender to the creator regarding their fates. She became a better and stronger person. Satan proceeded to describe further tragedies that would happen to Nikolaus. Nikolaus would die while trying to save Lisa Brandt from drowning. Actually, Nikolaus was grounded by his father for being away so often when needed by his father. But when Lisa’s mother came to his house to ask for help in finding the missing Lisa, his mother sent him to find Lisa. It turned out that Lisa was drown and when Nikolaus tried to help her, he was drown as well. Nikolaus’ mother blamed herself for letting Nikolaus go to help Lisa. But the worst thing happened when Lisa’s mother, Frau Brandt announced that she would not pray again after the death of her daughter. ..The condition got worse when Lisa Brandt’s mother announced that she would not pray again. This condition can be seen in the following quotation: She wiped the tears from her eyes and cheeks, and stood awhile gazing down at the child and caressing its face and its hair with her hands; then she spoke again in that bitter tone : “but in his hard heart is no compassion. I will never pray again.” (Twain, 1976 : 55). After a long process, she changed her attitude. She realized that humans have to surrender to the creator regarding their fates. She became a better and stronger person. The trial of Father Peter went on with Wilhelm Meidling as the lawyer for Father Peter. In the beginning it was clear that Wilhelm would lost the case. Everything changed when Satan melt into Wilhelm’s body. He was suddenly a different person, more clever and lively. Wilhelm brought up the subject of the coin as the witness. It was said that the coin that the astrologer claimed was his, did not exist at the date of the stealing. It could be seen from the date on the body of the coin. The court set Father Peter free and gave him sincere sympathy. Unfortunately, Satan went to the jail himself and exclaimed to Father Peter that he was stated as a thief by verdict of the court. This news made Father Peter lost his sanity, and he regarded himself as the Emperor. When Theodor asked Satan, why he lied to Father Peter about the verdict, Satan reasoned that no sane man can be happy. Satan ended that Theodor should dream other dreams which were better because life was just a 78
vision. ..The condition can be seen from the following quotation : You perceive, now, that these things are all impossible except in a dream. You perceive that they are pure, that they are a dream, and you the maker of it. The dream-marks are all present; you should have recognized them earlier (Twain, 1976 : 78). The Mysterious Strangers from Mark Twain describes a sequence of event to make up the plot or the narrative structure which contains a) exposition b) rising action c) conflict d) climax and e) resolution. a). Exposition Three young boys from the village, Theodor Fisher son of the church organist, Nikolaus Bauman, son of the principal judge of the local court and Seppi Wohlmeyer, son of the keeper of the inn “The Golden Stag” met the niece of Satan, Philip Traum. b). Rising Action Philip Traum tempted three boys with miraculous gets in order to distract their belief in God. c). Conflict Philip traum made a lot of chaos in the village. d). Climax Philip Traum killed many people in pretence that it was ordered by God. e). Resolution People in the village still kept their faith in God. At the end of the story, people were given choices whether to be good people as they were taught from one generation to another. Basically, by nature people were kind-hearted. In the process, many temptations came along whether from internal or external factors. If it came from internal factors, it was easier to be handled. The greater problems came if the temptations were from external, people needed to work extra hard to resist them. This condition can be seen from the following quotation : Strange, indeed, that you should not have suspected that your universe
79
and its content were only dreams, visions, fiction. Strange, because they are so frankly and hysterically insane – like all dreams : a God who could make good children as easily as bad, yet preferred to make bad ones; who could have made every one of them happy, yet never made a single happy one; who made them prize their bitter life, yet stingily cut it short; who gave his angels eternal happiness unearned, yet required his other children to earn it; who gave his angels painless lives, yet cursed his other children with biting miseries maladies of mind and body; who mouths justice and invented hell – mouths mercy and invented hell – mouth Golden Rules, and forgiveness multiplied by seventy times seven, and invented hell; who mouths morals to other people and has none himself; who frowns upon crimes, yet commits them all; who created man without invitation, then tries to shuffle the responsibility for man’s acts upon man, instead of honorably placing it where it belongs, upon himself; and finally, with altogether divine obtuseness, invite this poor, abused slave to worship him (Twain, 1976 : 78). Again it is seen that people are given choices, whether to have positive or negative values. In this novel, Mark Twain conveyed his judgment of men, his mind and nature, his inner conflict, troubled speculation and broodings. All the information about values by Twain is connected to literary study which deals with values of life. Twain’s ideas bring a new insight to the study of values which is very much needed in developing civilization. Values founded in this novel are some negative and some positive. The negative values are as important as the positive values. These two values go side by side. People would not know what are good if they don’t know what are bad. Values founded in this novel are : a) cruelty b) magic c) hypocrisy d) moral e)sanity f) immortal g) vision h)artificialities. By studying values of life, it is hoped that we will be better and wiser persons. a. Cruelty Cruelty refers to the act of causing suffering
to others deliberately
(Morehead, 1997 : 176). In this story, Twain emphasizes the cruelty of Satan. It can be seen as followed : Satan reached out his hand and crushed the life out of them with his fingers, threw them away, wiped the red from his fingers on his handkerchief, went
80
on talking where he had left off : We cannot do wrong; neither have we any disposition to do it, for we do not know what it is”. It seemed a strange speech, in the circumstances, but we barely noticed that, we were so shocked and grieved at the wanton murder he had committed-for murder it was, that was its true name, and it was without palliation or excuse, for the men had not wronged him in any way (Twain, 1981 : 35 ).
b. Magic Magic refers to the pretended art of controlling the supernatural (Morehead, 1997 : 278). The magic in this story are illustrated when Satan filled Father Peter’s wallet with eleven hundred ducats. Father Peter really needed the money to pay the rent for his house. “No it isn’t mine. Only four ducats are mine; the rest …!” He fell to dreaming, poor old soul, and caressing some of the coins in his hands, and forgot where he was, sitting there on his heels with his old gray head bare; it was pitiful to see (Twain, 1981 : 37 ).
c. Hypocrisy Hypocrisy refers to false pretension to personal qualities or principles not actually possessed (Morehead, 1997 : 232). The hypocrisy in this story can be seen when Frau Brandt was accused as a witch. They accused her of breaking all those ribs by witchcraft, and asked her if she was not a witch? She answered scornfully : “ No. If I had that power would any of you holy hypocrites be alive five minutes? No; I would strike you all dead. Pronounce your sentence and let me go; I am tired of your society” (Twain, 1981 : 40 ). d. Moral Moral refers to having the quality of virtue (Morehead, 1997 : 300). Moral in this story can be seen when Satan said that men had the moral sense while Satan did not have it. “Man has the Moral Sense. You understand? He has
81
the Moral Sense. That would seem to be difference enough between us, all by itself.” ( Twain, 1981 : 42 ). e. Sanity Sanity refers to the state of a person who is mentally sound or reasonable (Morehead, 1997 : 289). Sanity in this story can be seen when Theodor asked Satan why he made Father Peter lose his mind, when Satan lied to him that the court founded him guilty as a thief. Satan answered, “What an ass you are! Are you so unobservant as not to have found out that sanity and happiness are an impossible combination?” (Twain, 1981 : 45). f. Immortal Immortal refers to someone who could not die, related to eternity (Morehead, 1997 : 38). Immortality in this story can be seen when Theodor asked Satan what’s the difference between men and Satan. Satan said, “The difference between a mortal and an immortal? Man is made of dirt—I saw him made. I am not made of dirt. (Twain, 1981 : 49). g. Vision Vision refers to the sense of sight or ability to see something which is unreal (Morehead, 1997 : 503). Vision in this story can be seen when Satan pointed to Theodor that life did not exist. It is only a vision. “Strange, indeed, that you should not have suspected that your universe and its contents were only dreams, visions, fiction!” (Twain, 1981 : 52 ). h. Artificialities Artificialities refers to things or condition which are man-made, contrived by human skill (Morehead, 1997 : 35). Artificialities in this story can be seen when Satan brought Theodor from one place to another in just a second. Theodor was very impressed with Satan’s magical
82
travels as seen in the narration : It was wonderful, the mastery Satan had over time and distance. For him they did not exist He called them human invention, and said they were artificialities (Twain, 1981 : 55). Twain’s thoughts in this novel give the readers the chance to deepen their understanding of life because readers can see the two side of life, the bad side and the good side. 12. CONCLUSION Throughout this novel, we can realize that Satan is always more interesting than the unfallen. The Mysterious Stranger introduces us to Satan’s nephew, namely Philip Traum. Through twists and canny logic Satan proves man’s morals lead to cruelty, while Satan, though indifferent to the human condition, does not actively cause suffering but he always try to make human do something wrong or bad. Of course, no man is entirely in his right mind at any time. Man continues to make the same mistakes even after given repeated chances to change. The intention of the writer in composing this research paper is that the readers will have a better understanding of literary works by analyzing the plot which can be seen through all the story, from the beginning until the end, and especially from this story we also can see the deeper values of life which want to be explained by Mark Twain and that can be applied in real life. As a human being, we never stop to look at the fact, that we sometimes face the situation where we have to choose the way in our life. Sometimes, we see there are many positive things among negative things, thus they make us confuse which one is to be chosen, even finally, the last is up to ourselves. Finally, the readers are hoped to be able to take benefits in the study of values in order to understand life better and be wiser persons.
13. AUTHOR BIOGRAPHY Best known as Mark Twain Samuel Clemens was born 30 November 1835 and raised in Hannibal, Missouri. There he absorbed many of the influences that would inform his most lasting contributions to American literature. During his youth, he delighted in the rowdy play of boys on the river and became exposed to the institution of slavery. He began to work as a typesetter for a number of Hannibal newspapers at the age of twelve. In the late 1850s, he became a steamboat 83
pilot on the Mississippi River. This job taught him the dangers of navigating the river at night and gave him a firsthand understanding of the river's beauty and perils. These would later be depicted in the books Life on the Mississippi and The Adventures of Huckleberry Finn. After a brief stint as a soldier in the Confederate militia, Clemens went out west, where he worked as a reporter for various newspapers. He contributed both factual reportage and outlandish, burlesque tales. This dual emphasis would characterize his entire career as a journalist. During this phase of his career, in 1863, he adopted the pseudonym Mark Twain, taken from the riverboat slang that means water is at least two fathoms (twelve feet) deep and thus easily travelled. His second book, The Innocents Abroad (1869), a collection of satirical travel letters the author wrote from Europe, was an outstanding success, selling almost seventy thousand copies in its first year. On the heels of this triumph, Clemens married Olivia Langdon and moved to the East, where he lived for the rest of his life. In the East, Clemens had to confront the attitudes of the eastern upper class, a group to which he felt he never belonged. Nevertheless, he did win influential friends, most significantly William Dean Howells, editor of the Atlantic Monthly. Clemens's first two novels. The Gilded Age (1873), written with Charles Dudley Warner, and The Adventures of Tom Sawyer (1876), a children's book based on his boisterous childhood in Hannibal, won Clemens widespread recognition. Shortly afterwards, he began to compose a sequel to Tom's story, an autobiography of Tom's friend, Huck Finn. He worked sporadically on the book over the next seven years, publishing more travel books and novels in the meantime. When it was finally published, The Adventures of Huckleberry Finn was an immediate success, although it was also condemned as inappropriate for children. The book draws on Clemens's childhood in Hannibal, including his memories of the generosity of whites who aided runaway slaves, in addition to the punishments they endured when caught. In fact, in 1841, his father had served on the jury that convicted three whites for aiding the escape of five slaves. In the 1890s, Clemens's extensive financial speculations caught up with him, and he went bankrupt in the depression of 1893-94. With an eye to paying back his many debts, he wrote a number of works, including continuing adventures of Tom Sawyer and Huck Finn. He spent his final decade dictating his autobiography, which appeared in 1924. Clemens died on 21 April 1910. 84
(http://www.enotes.com/adventures-of-huckleberry-finn/author-biography/10 February 2013) 14. REFERENCES Barnett, Sylvan, Berman, Morton and William Bato, 1989. An Introduction to Literature. London : The Macmillian and Company. http://www.enotes.com/adventures-of-huckleberry-finn/author-biography Hudson, T.J. Work of Literature. 1990. New York : Signet. Gabriel, Ralph H., Nilai-Nilai Amerika Pelestarian dan Perubahan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991. Morehead, Andrew T. 1997. The New American Webster Dictionary. New York : The New American Library, Inc. Robbers, Edger V and Jacobs, Henry E. 1981. Literature : An Introduction to Reading and Writing.New York : Prentice Hall. Rohrbenger, Mary and Samuel Woods, Jr. 1971. Reading and Writing about Literature. New York : Random House. Twain, Mark. 1981 The Mysterious Stranger. New York : Prentice Hall.
85
HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI PEMAHAMAN STRUKTUR GRAMATIKAL (SYNTACTIC STRUCTURES) DAN KOMPETENSI PRODUKSI KALIMAT BAHASA INGGRIS (The Relationship between Syntactic Structure Comprehension Competence and English Sentence Production Competence) Kurnia Idawati (Email:
[email protected], dan Widiastuti (Email:
[email protected]) ABTRACT Every learning process always involves two elements, namely comprehension and production (understanding what is learned and the ability to use that understanding in practice). Before one is able to produce a sentence, he must first understand the meaning of the resulting sentence. In other words, understanding (comprehension) is a competence that first occurred before the ability to produce (production) in the language acquisition and language learning. Therefore, all aspects of language understanding (language comprehension) initiate or facilitate the ability to produce language (language production). In many theories of learning a second/ foreign language, before learners attempt new tasks in the learning process, they need to understand what they will do. Thus it is assumed that comprehension should and always initiate production capabilities. But on the other hand, it is assumed also that there is always a gap between comprehension and production. One's understanding of something does not guarantee the person is able to express/produce what he has already understood. This is called asymmetric relationship between comprehension and production. Based on the research, it reveals that the students understand the grammatical structures of simple sentences in English (comprehension competence) by an average of 65.64 (65.64%) with a variation of the distribution of scores between them at 8.79. This result is much different from the average score of their production competence which is only 28.36. This means that their sentence production competence is only 28.36% of the expected score of 100 from production test, with a standard deviation of 17.37, which means that the differences in the ability to make English sentences among students are relatively large. The gap between the level of comprehension and production level is also relatively large, ie from 65.64 - 28.36 = 37.28 or 37.28% which means that the students’ average production competence is 37.28% under their comprehension competence. Besides, there is a significant relationship between comprehension and production to the level of correlation of 0.671. However, the influence of the comprehension variable on the production variable that is done by calculating the coefficient of determination is only 45%. Keywords: second language learning, comprehension competence, production competence 1.
PENDAHULUAN
Belajar bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris, biasanya bermakna belajar berbicara dalam bahasa tersebut sekaligus memahaminya. Saat orang asing bertanya “Do you speak English?” maka itu bermakna juga “and do you understand it too?” Jadi belajar bahasa selalu melibatkan unsur memahami (comprehension) dan menghasilkan (production). 86
Dalam teori psikolinguistik, dan banyak penelitian tentang pemerolehan bahasa pertama (pada anak-anak), selalu disebutkan bahwa sebelum seseorang mampu menghasilkan kalimat, dia harus terlebih dahulu memahami makna dari kalimat yang dihasilkannya tersebut. Dengan kata lain, pemahaman (comprehension) merupakan kompetensi yang lebih dulu terjadi sebelum kemampuan menghasilkan (production) dalam pemerolehan dan belajar bahasa. Brown (2000:33) menyebutkan bahwa meskipun seorang anak belum mampu mengucapkan bunyi bahasa dengan benar, dia mampu memahami perbedaan bunyi. Sebagai contoh, seorang anak menyebutkan bahwa namanya “Lisa” dengan mengujarkannya sebagai “Litha”. Ketika orang dewasa mengulangi nama tersebut dengan bunyi “Litha”, si anak menggeleng dan mengujarkannya kembali masih terdengar sebagai “Litha”. Lalu si orang dewasa mengulangi kembali dengan menyebut “Lisa”, dan akhirnya si anak mengangguk membenarkan. Si anak jelas sekali mampu memahami perbedaan bunyi antara “s” dan “th” meskipun dia tidak mampu menghasilkan bunyi tersebut. Kemampuan memperoleh bahasa sifatnya universal. Seperti yang dikatakan oleh Noam Chomsky (Brown, 2000) bahwa manusia memiliki perangkat bahasa bawaan yang disebut sebagai language acquisition device (LAD) di mana seluruh anak-anak di dunia, sepanjang mereka dikondisikan untuk menerima bahasa dan berinteraksi dengan menggunakan bahasa dalam lingkungannya, maka mereka dapat menguasai bahasa. Setiap bahasa memiliki sistem simbol yang rumit, jumlah kata dan aturan tata bahasa yang hampir tak terhitung. Bagaimana anak-anak mampu mendapatkan sistem seperti itu hanya dalam beberapa tahun? McNeil (1966) menguraikan bahwa dengan LAD anak-anak memiliki: (1) kemampuan membedakan bunyi bahasa yang satu dengan yang lainnya, (2) kemampuan mengorganisasi data linguistik ke dalam berbagai kelompok yang kelak di saring, (3) pengetahuan bahwa hanya sistem linguistik tertentu yang memungkinkan dan yang lain tidak, dan (4) kemampuan melakukan evaluasi yang terus menerus terhadap pengembangan sistem linguistik sehingga mampu membangun sistem sesederhana mungkin dari data linguistik yang masuk dari lingkungan (Brown, 2000:24). Jelaslah bahwa anak-anak tidak secara pasif meniru struktur permukaan (surface structure) dari apa yang mereka dengar, tapi secara aktif memahami ujaran melalui proses berpikir dan menemukan struktur dalam (deep structure) aturan-aturan bahasa yang membentuk sistem aturan di dalam bahasa tersebut. Setelah mereka mendapatkan sistem itu, mereka mampu menghasilkan kalimat yang belum mereka dengar sebelumnya. Proses pemerolehan bahasa pertama ini kemudian dipersamakan dengan proses pembelajaran bahasa kedua. Namun harus diakui bahwa ada perbedaan kognisi antara pembelajar anakanak dan dewasa. Jean Piaget (1972) menyebutkan bahwa perkembangan kognisi anakanak berada dalam tahap preoperational – concrete operational (berpikir konkrit), sementara orang dewasa sudah sampai pada tahap formal operational di mana ia mampu berpikir abstrak melalui cara berpikir deduktif yang bagi anak-anak itu merupakan hal yang tidak ada gunanya (Brown, 2000 : 61). Perbedaan kognisi ini dijelaskan melalui hipotesis lateralisasi, bahwa saat anak-anak menjadi dewasa hemisfer kiri otak yang mengontrol fungsi analitis dan intelektual, menjadi lebih dominan daripada hemisfer kanan yang mengontrol fungsi emosi. Hemisfer kiri berkontribusi terhadap kecenderungan menganalisa secara intelektual dalam tugas belajar bahasa kedua, termasuk di dalamnya belajar bahasa asing baik di dalam kelas ataupun di luar kelas (Brown, 2000:68). Setiap proses belajar selalu melibatkan dua unsur comprehension dan production (memahami apa yang dipelajari dan kemampuan menggunakan pemahaman tersebut dalam prakteknya). Di samping itu dipertimbangkan pula kesenjangan dan perbedaan di antara
87
keduanya. Ketidakmampuan menghasilkan sesuatu tidak harus dimaknai bahwa pembelajar tidak paham. Baik anak-anak maupun orang dewasa memiliki pemahaman yang lebih dibandingkan dengan yang bisa mereka hasilkan. Oleh sebab itu, semua aspek pemahaman bahasa (language comprehension) mengawali atau memfasilitasi kemampuan memroduksi bahasa (language production). Ada pendapat dalam pengajaran bahasa asing bahwa menyimak dan membaca (listening, reading) merupakan unsur comprehension sedangkan unsur production adalah berbicara dan menulis (speaking, writing). Hal tersebut dibantah oleh Brown (2000:33) dengan mengatakan bahwa comprehension sama seperti halnya performance karena merupakan tindakan keinginan (willful act) sebagaimana halnya production. Artinya, baik comprehension maupun production dapat merupakan aspek dari performance dan competence. Competence atau kompetensi mengacu pada pengetahuan dasar seseorang tentang suatu sistem, peristiwa, atau fakta. Sedangkan performance (performa) adalah manifestasi atau realisasi konkrit dari kompetensi, yakni tindakan nyata seperti berjalan, menyanyi, menari, berbicara. Diasumsikan bahwa orang memiliki kompetensi tertentu di bidang tertentu dan bahwa kompetensi ini dapat diukur dan dinilai dengan cara observasi melalui sampel performanya yang disebut sebagai tes dan ujian. 2.
PERUMUSAN MASALAH
Penelitian ini hendak melihat seberapa tinggi pemahaman pembelajar (mahasiswa semester I) bahasa Inggris terhadap sistem bahasa dalam hal ini struktur sintaksis bahasa Inggris, dan kemampuannya membuat kalimat baru berdasarkan sistem bahasa yang dipahaminya tersebut. Di sini, ingin diketahui tingkat comprehension atau pemahaman mereka terhadap fungsi atau kegunaan bentuk sistem bahasa Inggris (the function of Syntactic Structures) dan tingkat production mereka dalam menggunakan bentuk tersebut dengan meminta mereka membuat kalimat baru. Masih menjadi pertanyaan apakah tingkat comprehension competence mereka lebih tinggi daripada tingkat production competence atau sebaliknya. Beberapa penelitian umumnya menunjukkan bahwa selalu ada kesenjangan antara comprehension dan production dan bahwa biasanya pembelajar paham lebih banyak dibandingkan dengan yang dapat dia hasilkan dari pemahamannya tersebut. Jika pun demikian, seberapa besar kesenjangan yang terjadi di antara keduanya. 3. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Hubungan antara Comprehension dan Production Secara umum, orang dewasa dapat memahami apapun yang mereka bicarakan dan dapat mengungkapkan kembali apa yang mereka dengar. Namun hubungan yang simetris antara kemampuan mengungkapkan dan memahami (production dan comprehension) ini mungkin tidak inheren dalam gramatika bahasa. Dalam banyak teori pembelajaran bahasa kedua/asing, sebelum pembelajar mencoba melakukan tugas baru dalam proses belajarnya, dia perlu memahami apa yang akan dilakukannya. Dengan demikian diasumsikan bahwa pemahaman (comprehension) harus dan selalu mengawali kemampuan menggunakan/menghasilkan (production). Tapi di sisi lain, diasumsikan pula bahwa selalu ada kesenjangan antara comprehension dan production. Pemahaman seseorang terhadap sesuatu tidak menjamin orang tersebut mampu mengungkapkan/ mengekspresikan/ menghasilkan apa yang telah dia pahami. Ini disebut sebagai hubungan asimetris antara comprehension dan production (Koster, Hoeks & Hendriks, www.let.rug.nl/~hoeks/ topicshift09.pdf). Penjelasan tentang
88
hubungan asimetri “separate but related” ini diperoleh dalam Teori Optimalisasi (Optimality Theory) (Prince & Smolensky, 2004). Comprehension berlangsung berlawanan arah, dimulai dengan masukan (input) bentuk tertentu untuk menghasilkan makna luaran (output) yang optimal yang dilekatkan pada bentuk tersebut. Dalam pandangan Smolensky, comprehension dan production merupakan hasil yang terpisah dari proses komputasi yang bekerja berdasarkan input yang berbeda. Dalam hal production, input tersebut merupakan bentuk dasar. Sebaliknya, dalam comprehension input merupakan bentuk permukaan yang matang yang masuk berkompetisi dengan bentuk-bentuk permukaan matang yang lain (tapi tidak dengan bentuk dasar karena tidak tersedia dalam input). Jadi, komputasi dalam dua modus mengeluarkan hasil yang berbeda. Sementara itu,Ringbom (http://www.jyu.fi/hum/laitokset/solki/afinla/julkaisut/arkisto/ 48/ringbom) berpendapat bahwa comprehension dan production berkaitan erat dalam artian bahwa keduanya terkait dengan kajian performa pembelajaran bahasa, terutama dalam pembelajaran bahasa kedua/bahasa asing. Proses belajar bahasa terkait dengan proses berkomunikasi yang melibatkan aspek pemahaman dan kemampuan penggunaan bahasa. Dengan demikian dapat diasumsikan pula bahwa ada interaksi antara comprehension dan production dalam pembelajaran. Dalam comprehension awalnya dimulai dari input bentuk-bentuk (struktur) linguistik, bagaimana struktur tersebut kemudian memiliki makna, dengan memetakan struktur ke dalam pengetahuan yang relevan yang telah dimiliki si pembelajar. Sedangkan dalam production, pemetaan dimulai dari keinginan pre-verbal (sebelum ekspresi verbal dikeluarkan) dan membungkus ekspresi itu dengan bentuk linguistik. Perbedaan arah antara pemetaan fungsi bentuk (form-function) dan memfungsikan bentuk (functionform) merupakan kesimpulan yang logis bahwa umumnya comprehension mengawali production. Namun Brown (2000:34) mengingatkan untuk berhati-hati dalam menyimpulkan bahwa semua aspek pemahaman bahasa mengawali atau mempermudah kemampuan menghasilkan bahasa. Beberapa penelitian dalam dalam tiga puluh tahun terakhir cenderung, dalam beberapa kasus, menunjukkan bahwa kemampuan menghasilkan bahasa dapat mendahului pemahaman bahasa seperti dalam penelitian Ruder dan Finch, 1987, Grimshaw dan Rosen, 1990, Smolensky, 1996, De Villiers dkk., 2006 (Tasseva-Kurkchieva, 2008). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Hendriks dan Spenader (2005) (http://roa.rutgers.edu/files/803-0106/803-HENDRIKS-0-0.PDF) terhadap kemampuan anak-anak menggunakan kata ganti (pronomina) dan pronomina refleksif, menunjukkan bahwa anak-anak lebih dahulu mampu memroduksi pronomina dan pronomina refleksif sebelum mereka benar-benar memahaminya. Gathercole (1988) juga menyebutkan dalam penelitiannya bahwa anak-anak mampu menghasilkan aspek-aspek tertentu dari bahasa yang mereka belum pahami. Rice (1980) mendapati bahwa anak-anak yang tidak mengetahui sebelumnya tentang istilah warna dapat merespon secara verbal terhadap pertanyaan “What color is this?” Tetapi mereka tidak mampu merespon secara benar dalam menyebut warna benda (Brown, 2000:34). Namun Keenan dan MacWhinney (1987) dalam “Understanding the Relationship between Comprehension and Production” mengomentari bahwa penelitian Rice terlalu menyederhanakan tugas production. Production direduksi menjadi sekedar peniruan dan comprehension ditingkatkan ke perluasan penebakan secara metakognitif.
89
Persoalan yang mendasar untuk mendukung hipotesis apapun terkait analisis hubungan comprehension dan production terletak pada perumusan masalah, pendefinisian ulang istilah atau pembuatan instrumen pengambilan data yang tepat. Jadi, dalam pemerolehan bahasa apakah yang terjadi itu adalah relasi comprehensionproduction atau production-comprehension, semua terletak pada perumusan masalahnya. Jika diamati, penelitian yang menunjukkan relasi productioncomprehension lebih banyak dilakukan pada kajian pemerolehan bahasa pertama pada anak-anak (lihat Koster, Hoeks dan Hendriks, ~ www.let.rug.nl/ hoeks/topicshift09.pdf). Penelitian lain yang telah dilakukan adalah tentang comprehension dan production dalam pemerolehan morfologi (Gasser, 1995), sistem ingatan verba yang digunakan dalam pemahaman kalimat (David Caplan, 1998), kompetensi pemerolehan leksikal struktur fonologi pada anak-anak (Pater, 1999), nomina dan verba dalam agramatisme pada penderita afasia (Kim dan Thomson, 2000), Pemahaman dan kemampuan menggunakan pronomina dan pronomina refleksif pada anak-anak pada pemerolehan bahasa pertama (Hendriks dan Spenader, 2005), pemerolehan awal bahasa kedua pada bentuk morfo-fonologi nomina bahasa Bulgaria yang berhubungan dengan gender dan number agreement (Tasseva-Kurktchieva, 2008), pengaruh tingkat pengetahuan tatabahasa terhadap pemahaman membaca dalam bahasa asing pada mahasiswa (Linde Lopez, 2008), dan pengaruh proses leksikal terhadap proses pemahaman kalimat dalam kajian psikolinguistik pada fungsi kerja otak: functional magnetic imaging (fMRI) (D. Newman, dkk., 2009). Penelitian tentang comprehension dan production di Indonesia umumnya terkait dengan pemahaman membaca bahasa asing, Inggris dan Perancis (http://repository.upi. edu/operator/upload/s_c0751_034009_chapter1.pdf, uap.unnes.ac.id/.../metode_ penga jaran_kosakata_pad_2301404035.d.,http://id.shvoong.com/humanities/linguistics/, http: //www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-192-babii.pdf, http://lib.unnes.ac.id /12219 /,http://repository.upi.edu/operator/upload/s_prs_0705956_chapter1.pdf, penelitian.unair. ac.id/artikel_dosen_). Dalam tradisi pembelajaran bahasa asing, konsep comprehension biasanya dikaitkan dengan keterampilan menyimak dan membaca (listening, reading comprehension), sedangkan production dihubungkan dengan keterampilan berbicara dan menulis (speaking, writing). Namun sebenarnya banyak aspek bahasa yang dapat dikaji dalam kerangka comprehension – production ini. Sebagai contoh, pada kajian leksis yang ditelaah adalah pemahaman dan penggunaan kosakata pasif-aktif. Dalam fonologi adalah pada pengidentifikasian bunyi bahasa asing dan kemampuan menghasilkan bunyi tersebut, meskipun tidak seperti bahasa penutur asli. Sementara dalam tatabahasa, konsep cross-linguistic distance menjadi sangat penting untuk mengukur seberapa lebar kesenjangan yang terjadi antara comprehension dan production. Hakan Ringbom dalam “On the Relation between Second Language Comprehension and Production” mengatakan bahwa dalam situasi normal seorang pembelajar dapat memahami lebih banyak daripada yang dapat dia gunakan dalam bahasa asing, dan lebarnya kesenjangan antara pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa dipengaruhi oleh jarak antar sistem linguistik (cross-linguistic distance) serta kuantitas dan kualitas input data bahasa. Dalam comprehension pada pembelajaran bahasa kedua/asing, pengaruh bahasa pertama sangat dominan menjadi kerangka acuan (cross-linguistic influence) sehingga terkadang pembelajar melakukan kesalahan dalam production. Sebagai
90
contoh, pembelajar bahasa Inggris dalam tahap awal seringkali tidak menggunakan artikel untuk nomina karena dia tidak menemukan kerangka acuannya dalam bahasa Indonesia untuk fungsi gramatika ini. Penelitian terkait pemahaman struktur gramatika bahasa Inggris dan penerapannya untuk menghasilkan kalimat baru sejauh ini belum ditemukan. Seperti yang telah disebutkan di atas, penelitian terkait comprehension dalam pembelajaran bahasa asing banyak dilakukan untuk keterampilan membaca. Sementara aspek gramatika banyak diteliti dalam kerangka pembelajaran bahasa pertama pada anak-anak dan di kajian psikolinguistik untuk kasus afasia. Oleh sebab itu penting untuk dipelajari bagaimana pembelajar memahami kegunaan bentuk struktur gramatika bahasa Inggris sebagai bahasa asing dan mengukur kemampuannya menggunakan pemahaman tersebut untuk menghasilkan kalimat baru. Pola yang sama dengan rencana penelitian ini didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Shapiro, Gordon, Hack, & Killackey, 1993; Saphiro & Levine, 1990; Thompson, Lange, Schneider, & Shapiro, 1997; Berndt dkk., 1997 (Kim & Thompson, 2000). Namun subjek penelitian tersebut ditujukan pada penutur asli penderita agrammatic apahasic untuk bidang ilmu psikolinguistik. Yang diteliti pada kajian itu adalah mencari hubungan antara perolehan kembali verba bahasa (verb retrieval) dan perangkat verb-argument structure pada penderita agrammatic aphasic dengan menggunakan uji kosakata verba dalam proses comprehension dan production. Sementara penelitian berikut ini dilakukan dalam konteks belajar bahasa asing (bahasa Inggris) untuk para pembelajar dewasa yang diasumsikan telah menerima pembelajaran bahasa Inggris dalam waktu yang cukup lama dan telah mendapatkan pemahaman yang cukup signifikan tentang struktur sintaksis (Syntactic Structures) bahasa tersebut. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan terhadap penderita aphasic, penelitian yang akan dilakukan ini bertujuan mencari hubungan antara comprehension dan production pada level kalimat dan menganalisis kesenjangan yang terjadi antara keduanya 3.2 Struktur Gramatika dan Kalimat Verba bahasa Inggris merupakan pusat kalimat, dalam pengertian bahwa verba menentukan hubungan antara makna dan struktur kalimat. Hal ini, menurut Thompson dkk. (1995), disebabkan oleh sifat verba itu sendiri yang masing-masing membawa informasi leksikal yang secara langsung memengaruhi struktur kalimat. Verba mengacu pada hubungan antar objek yakni siapa melakukan apa terhadap siapa, atau siapa pergi kemana. Hubungan makna ini ditangkap oleh apa yang disebut sebagai struktur argumen verba (verb’s argument structures/theta roles). Struktur argumen verba meniscayakan konstituen-konstituen seperti apa yang harus ada dalam kalimat. Argumen agentif sebuah verba aktif akan menjadi subjek kalimat secara sintaktik, argumen tema menjadi objek langsung, disamping argumen tujuan (goal), sumber (source), dan seterusnya. Argumen-argumen verba bisa bersifat wajib bisa juga pilihan (tidak merupakan suatu keharusan), misalnya ”She sang” dan “She sang a song”, dan jumlahnya yang dibutuhkan atau yang dibolehkan ditentukan oleh makna verba itu sendiri. Objek verba hit, misalnya, dipengaruhi oleh hitting, dan objek verba give melibatkan sesuatu yang mesti diberikan kepada seseorang dan tindakan giving something to someone memerlukan sebuah jalur (path) tempat objek secara metafor berpindah. Struktur argumen, dengan demikian, dimaknai sebagai seperangkat unsur
91
yang mengacu pada representasi leksikal dari informasi gramatika tentang sebuah predikat. Mengambil contoh dari Thompson dkk. (1995), kalimat dengan konsep struktur argumen dapat dilihat seperti di bawah ini: a. [Zack]AGENT hit [the ball]THEME b. [Zack]AGENT gave [the ball]THEME [to Joelle]GOAL c. [Zack]AGENT slept. Verba hit dalam kalimat a membutuhkan dua argumen logis. Satu argumen bertugas sebagai Agent (ditetapkan sebagai argumen eksternal); argumen lainnya berperan sebagai tema (dan sebagai argumen internal – yaitu argumen yang menerima peran theta langsung dari verba). Verba give memerlukan tiga argumen, dan argumen terakhir memiliki peran tujuan (goal). Verba sleep hanya membutuhkan satu argumen berupa agent eksternal. Disamping itu, menurut Thompson dkk. (1995), ada prinsip proyeksi (Projection Principle) yang menyatakan bahwa segala perangkat leksikal diamati pada semua level sintaksis. Projection Principle mensyaratkan bahwa perangkat-perangkat leksikal verba hit secara sintaksis harus terwakili atau ada dalam kalimat, yaitu representasi leksikal dari informasi gramatika. Dapat disimpulkan di sini bahwa verba menjadi penentu argumen dan ia menandai peran-peran tematik terhadap posisi-posisi argumen di dalam kalimat. Dengan demikian, informasi leksikal dan projection principle menentukan panjangnya struktur sintaksis sebuah kalimat. Terkait dengan pengertian di atas, maka perlu dibedakan antara sebuah argumen verba dengan sebuah adjunct (adjunct frasa preposisi adverba). Argumen verba disangkutkan dengan makna verba atau struktur konseptual; ia merupakan atribut yang melekat pada verba dan dikenai peran tematik oleh verba atau frasa verba itu sendiri. Sedangkan adjunct tidak ditentukan oleh verba; ia bisa muncul dengan verba apapun dan tidak dispesifikasikan sebagai bagian dari entri leksikal verba. Thompson dkk. (1995) memberi contoh sebagai berikut: d. Dean sent the car to the garage. e. Dean fixed the car in the garage. Verba send memungkinkan tiga argumen, yaitu Agent yang dilekatkan pada frasa nomina (subjek) Dean, Tema yang dilekatkan pada frasa nomina objek langsung the car, dan Goal (tujuan) yang dilekatkan pada frasa nomina objek tidak langsung the garage yang merupakan bagian dari frasa preposisi. Sesuatu harus dikirim ke seseorang atau ke suatu tempat dan dengan demikian Goal menjadi keniscayaan yang ditempatkan oleh karakter verba send tersebut. Pada kalimat kedua, frasa preposisi in the garage dianggap sebagai keterangan tempat (adverba lokasi/locative adjunct). Maknanya tidak menyatu (inheren) dalam representasi verba. Meskipun maknanya “sesuatu harus diperbaiki di suatu tempat”, informasi ini tidak bisa ditarik dari verba melainkan ditambahkan ke dalam kalimat. Jadi, in the garage adalah frasa preposisi tambahan yang boleh ada, boleh juga tidak ada. Dengan demikian, adjunct selalu bersifat pilihan (optional), sedangkan argumen bersifat wajib, sehingga “Rodney gave the ball to Susan” merupakan kalimat berterima tetapi “Rodney gave the ball” menjadi kalimat yang tidak gramatikal jika argumen ketiga dihilangkan. Di sisi lain, adjunct sering bermakna ganda (ambigu) sedangkan argumen sangat jarang bersifat seperti itu. In the garage secara struktural ambigu; ia dapat menjadi penjelas objek langsung the car, yaitu “the car which was in the garage” (bukan ”the car outside the garage”) dan penjelas frasa verba fix the car, seperti “fixed the car in the garage” (bukan in the driveway). Sedangkan frasa to the garage tidak bermakna dan tidak diinterpretasikan
92
ganda dalam kalimat pertama. Frasa preposisi di sana merupakan tujuan (goal) kemana mobil itu dikirim. Shapiro, Zurif, & Grimshaw (1987) dalam kajian Sentence processing and the mental representation of verbs, menyebutkan bahwa perangkat-perangkat leksikal verba secara langsung memengaruhi pemrosesan kalimat, dimana ketika suatu verba menjadi lebih kompleks dilihat dari jumlah susunan struktur argumen yang memungkinkan, maka beban pemrosesan menjadi bertambah di sekitar verba tersebut. Shapiro dkk. (1993) dalam Preferences for a verb’s complements and their use in sentence processing, memberi contoh, verba fix hanya memungkinkan satu struktur two-place argument, yaitu Agent-Theme dalam “Susan fixed the computer”, sementara verba send memungkinkan dua struktur yakni: two-place argument seperti dalam kalimat “Susan sent the flowers” dan three-place argument, seperti dalam “Susan sent the flowers to her mother”. Saat dilekatkan dalam struktur sederhana NP-V-NP (frasa nomina-verba-frasa nomina/SVO), verba send memeroleh beban pemrosesan yang lebih besar dibandingkan verba fix. Akibatnya, semua struktur argumen yang memungkinkan yang diasosiasikan dengan verba itu untuk beberapa saat dikerahkan ketika verba tersebut diakses. Dalam banyak kajian, struktur argumen seperti dipaparkan di atas diujikan kepada anak-anak monolingual dengan problem kelemahan bahasa (language impairment) (Pérez-Leroux, 2005; Smolensky, 1996; Thompson dkk., 1994; Shapiro & Thompson, 1994). Namun dalam penelitian ini, struktur argumen diujikan dalam kerangka comprehension-production kepada pembelajar bahasa kedua. Diasumsikan para pembelajar tersebut telah mengenali berbagai struktur kalimat bahasa Inggris karena pengalaman mereka yang telah mempelajari bahasa tersebut sejak berada di sekolah menengah pertama, meskipun sebenarnya bahasa Inggris mulai dipelajari sejak sekolah dasar kelas empat. Pengalaman belajar bahasa Inggris selama enam tahun, meski tidak dalam pengertian terus menerus, menjadi dasar untuk melihat sejauh mana mereka, yang kini menjadi mahasiswa semester satu jurusan Sastra Inggris, memahami struktur kalimat. Kemudian pemahaman mereka ini dibandingkan dengan kemampuan mereka membuat kalimat. Kepada mereka tidak diberikan pembelajaran secara khusus tentang struktur argumen melainkan pengajaran tentang berbagai kalimat dengan pola wajib (obligatory clause patterns: SV, SVO, SVC, SVA, SVOO, SVOC, SVOA) dari David Crystal; Greenbaum, Sidney. 1996, Quirk, Leech, & Svartvik,1997 yang disederhanakan. 4.
TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan untuk mendapatkan jawaban sejauh mana mahasiswa memahami bentuk struktur gramatikal bahasa Inggris dan fungsinya, kemudian mampu menerapkannya dengan cara memroduksi kalimat baru berdasarkan pemahamannya tersebut. Di samping itu ingin diketahui pula apakah memang terdapat hubungan antara comprehension dan production, apakah comprehension berpengaruh terhadap production, seberapa besar pengaruh tersebut, serta sejauh mana “gap” yang terjadi antara aspek comprehension dan aspek production.
93
5.
MANFAAT HASIL PENELITIAN Kajian tentang comprehension dan production sebenarnya terkait dengan teori kognitif tentang pemerolehan bahasa yang dibahas dalam bidang ilmu psikolinguistik dan linguistik terapan. Maka penelitian memiliki dua manfaat, dari sisi psikolinguistik akan tergambarkan bagaimana hubungan comprehension dan production ini terjadi; dan ini akan dijelaskan secara kualitatif, sebuah pola mental yang di dalamnya terdapat beberapa proses yang berkontribusi terhadap mekanisme penggunaan bahasa, yakni word recognition dan semantic interpretation. Di sisi linguistik terapan akan diketahui sejauh mana proses belajar bahasa berkontribusi terhadap pemahaman dan penggunaan bahasa.
6.
DESAIN DAN METODE PENELITIAN Data penelitian yang diperoleh dari responden adalah data tentang comprehension berupa tes pemahaman terhadap sejumlah kalimat sederhana dengan struktur argumen obligatory one-place verb, obligatory two-place verb, obligatory three-place verb (basic argument structure), kalimat gramatikal dengan penambahan adjunct, kalimat non gramatikal dengan penghapusan argumen, dan kalimat non gramatikal dengan argumen berlebih. Sedangkan data production berupa tes penyusunan kalimat sederhana berdasarkan gambar dan petunjuk tentang gambar dan bagaimana petunjuk itu kemudian dipahami dan digunakan sebagai dasar pembuatan kalimat. Kedua data tersebut diolah dengan menggunakan uji korelasi Pearson dan uji F SPSS versi 15. Baik data comprehension maupun production juga dianalisis secara kualitatif.
7.
HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1 Responden Responden yang akhirnya bisa diolah datanya dari sisi comprehension dan production berjumlah 33 mahasiswa semester 1 pada Jurusan Sastra Inggris angkatan tahun 2012. Tidak ada seleksi secara khusus terhadap mereka karena mereka diasumsikan homogen (jenis kelamin tidak dijadikan sebagai pembeda) dalam pengertian seluruhnya pernah mendapatkan pendidikan bahasa Inggris di tingkat SLTP dan SLTA. Populasi mahasiswa semester 1 seluruhnya menjadi sampel penelitian. Ada 10 responden yang dikeluarkan dari sampel penelitian karena tidak mengikuti salah satu tes (9 orang tidak mengikuti tes production tapi mengikuti tes comprehension, 1 orang tidak mengikuti tes comprehension tapi mengikuti tes production). 7.2 Pengumpulan Data Sebelum penyusunan instrumen comprehension dilakukan, terlebih dahulu dikumpulkan data tentang frekuensi verba yang paling diingat oleh mahasiswa. Mereka diminta menulis 30 verba bahasa Inggris secara cepat dan hasilnya adalah sebagai berikut:
94
Tabel 1. Verb Retrieval
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44
VERBA
FREK UENSI ACT 2 ACCEPT 1 ANSWER 1 ARISE 3 ASK 7 ATTACK 1 BAKE 1 BE 1 BECOME 1 BRING 16 BREAK 2 BORROW 5 BURN 1 BUY 20 CALL 10 CARRY 2 CATCH 2 CHAT 3 CHECK 2 CHOOSE 1 CLAP 1 CLEAN 4 CLIMB 3 CLOSE 5 COME 7 CONSIDER 2 COOK 17 CORRECT 2 COUGH 2 COUNT 2 CRY 7 CUT 16 DANCE 19 DECLARE 2 DELETE 1 DIVE 1 DO 4 DRAW 11 DREAM 2 DRINK 28 DRIVE 26 DROP 1 DRY 1 EAT 35
NO 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 117 118 119 120
VERBA
FREKU ENSI FEEL 2 FIGHT 2 FILL 2 FIND 11 FIRE 1 FLY 12 FRY 1 GIVE 10 GET 9 GO 21 GRAB 1 GROW 2 HEAR 2 HELP 4 HIT 11 HOLD 7 HUG 2 JOIN 1 JUDGE 1 JUMP 22 LEAVE 9 LEND 1 LIFT 1 LIKE 1 LISTEN 25 LIVE 2 LOOK 10 LOVE 3 MAKE 20 MEET 3 MIX 1 MOVE 3 OPEN 5 ORDER 2 PAINT 13 PAY 1 PLANT 1 PLAY 19 PICK 7 POINT 1 RUN 28 SAVE 7 SAY 7 SEARCH 3 95
NO 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156
VERBA
FREKU ENSI POST 1 PRAY 5 PRINT 1 PROMISE 1 PROTECT 1 PROVE 4 PULL 13 PUNCH 1 PUSH 11 PUT 16 READ 38 RECEIVE 1 REMIND 1 REMOVE 1 RENDER 1 REPAIR 3 REWARD 1 RIDE 4 RISK 1 RUB 2 SMILE 3 SNORE 1 SPEAK 19 STAND 12 STAY 2 STEAL 3 STUDY 27 SWEEP 5 SWIM 20 SWING 1 TALK 23 TAKE 21 TEACH 10 TELL 5 THINK 8 THROW 7 TICKLE 1 TOUCH 1 TRY 5 TURN 7 TYPE 1 UNDERSTAND 3 USE 1 VIEW 2
45 46 47 48 69 70 71 72 73 74 75 76
ELECT ERASE FALL FEED KEEP KICK KILL KISS KNOCK LAUGH LAY LEARN
1 1 6 1 7 6 3 1 10 4 2 11
121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132
SEE SELL SEND SHAKE SHOOT SHOW SING SIT SING SLAP SLEEP SMELL
21 7 11 1 5 1 7 28 18 3 27 3
157 158 159 160 161 162 163 164 165 166
VISIT WAIT WALK WAKE WASH WATCH WEAR WIPE WORK WRITE
4 3 30 4 14 21 9 4 19 39
Daftar di atas memberi gambaran tentang ingatan dan kebiasaan penggunaan verba mahasiswa dalam memahami dan membuat kalimat bahasa Inggris. Penyusunan kalimat untuk mengambil data comprehension juga diambil dari daftar tersebut dengan mengacu pada model yang digunakan oleh Kim dan Thompson (2000). Kalimat-kalimat yang dimaksud adalah sebagai berikut: A. Grammatical sentences with basic argument structure Obligatory one-place verb (ob. 1) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
The woman is listening The girl is dancing. The man is talking. The man is swimming. The dog is sitting. The boy is standing
Obligatory two-place verb (Ob. 2) 7. The woman is making the cake. 8. The girls is picking flowers. 9. The boy is pushing the desk. 10. The girl is cutting the rope. Obligatory three-place verb (Ob.3) 11. The woman is giving the money to the girl. 12. The man is putting the book on the desk. 13. The boy is sending the letter to the man. B. Grammatical sentences with an additional adjunct Obligatory one-place verb (Ob.1) 14. The girl is dancing in the field. 15. The man is talking to the woman. 16. The lady is sitting on her chair. 17. The boy is standing against the wall. 18. The girl is swimming toward the woman. 96
Obligatory two-place verb (Ob.2) 19. The woman is making the cake in the kitchen. 20. The man is pulling the cart into the house. 21. The girls is picking flowers in the garden. 22. The girl is cutting the rope for the party. 23. The man is bringing the box to the car. Obligatory three-place verb (Ob.3) 24. The woman is giving the money to the girl in the car. 25. The man is putting the book on the desk at night. A. Ungrammatical sentences with deletion of argument(s) a. without an additional adjunct Obligatory two-place verb 1. The man is pulling 2. The girls is picking 3. The boy is pushing 4. The girl is cutting Obligatory three-place verb 5. 6. 7. 8.
The woman is giving the book The man is putting the book The man is putting on the table. The girl is sending to the school.
b. with an additional adjunct Obligatory two-place verb 9. The boy is pushing to the house. 10. The girl is hitting on the wall. 11. The woman is buying in the market. Obligatory three-place verb. 12. The man is putting the book at night. 13. The woman is giving the present in the morning. 14. The boy is giving in the afternoon. B. Ungrammatical sentences with an extra argument Obligatory one-place verb 15. The man is jumping the fence. 16. The woman is listening music. 17. The man is talking the money. 18. The dog is sitting the chair. 19. The boy is swimming the girl. 20. The woman is sleeping her baby. 21. The man is looking the woman. Obligatory two-place verb
97
22. The man is carrying the boy a box. 23. The boy is catching her the ball. 24. The boy is pulling the girl the cart. 25. The girl is pushing the boy the cart. Kalimat yang seluruhnya berjumlah 50 butir disusun dalam format tes dengan jawaban benar atau salah dari mahasiswa. Sementara itu data production menggunakan model Sentence Production Via Cueing of Argument yang mengacu pada Speech and Language Sciences, Newcastle University (http://research.ncl.ac.uk/aphasia) dan diperoleh dari tampilan yang diproyeksikan sejumlah 22 gambar, yang berarti 22 kalimat, dengan peluang waktu 40 detik dalam menyusun setiap kalimatnya, seperti contoh gambar berikut: What is the action? Who is doing it? What is he doing it to? So, the sentence is:
Pertanyaan “What is the action” mengacu pada verba, “Who is doing it” mengacu pada argumen agentif, dan “What is he doing it to” mengacu pada argumen tema, sehingga kalimat yang tersusun menjadi (NP-V-NP) yaitu “The man is pulling the cart.” Sebelumnya, mahasiswa diberi contoh satu gambar lain terlebih dahulu untuk membuat kalimat yang seluruhnya dinyatakan dalam present progressive tense dan memperkenalkan kepada mereka maksud dari pertanyaan-pertanyaan yang disertakan dalam gambar. Selanjutnya kedua data comprehension dan production dalam skala 100 diperoleh dan diikhtisarkan dalam tabel berikut ini: Tabel 2. Tabulasi Hasil Tes Comprehension dan Production
Score No. Responden Comprehension Production 1 46 22.5 2 48 0 3 48 0 4 56 22.5 5 60 18 6 60 18 7 64 13.5 8 64 9 9 66 9 10 66 18 11 68 22.5
98
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Tabel 3.
70 74 74 78 80 58 60 60 60 60 64 64 66 68 68 70 70 72 72 72 78 82
18 27 58.5 63 54 31.5 18 9 27 31.5 13.5 22.5 31.5 36 36 36 54 31.5 36 72 40.5 36
Descriptive Statistics
Sentence Production Syntactic Structure Comprehension
Mean
Std. Deviation
N
28.3636
17.37332
33
65.64
8.796
33
7.3 Analisis Data Data di atas menggambarkan pemerolehan skor rata-rata kompetensi comprehension mahasiswa semester I angkatan tahun 2012 sebesar 65,64 berbanding 100. Dengan kata lain rata- rata tingkat comprehension mereka adalah 65,64% dengan variasi distribusi skor di antara mereka sebesar 8,79. Gambaran ini jauh berbeda dengan skor rata-rata kompetensi production mereka yang hanya 28,36 berbanding 100. Ini artinya kemampuan sentence production mereka cuma 28,36%, jauh di bawah standar kelulusan. Disamping itu, variasi distribusi skor antara mahasiswa lumayan besar dibandingkan dengan variasi skor comprehension. Simpangan Baku (Standard Deviation) production sebesar 17,37 menunjukkan bahwa perbedaan kemampuan membuat kalimat bahasa Inggris di antara mahasiswa relatif besar. Hanya ada 5 mahasiswa yang mampu membuat kalimat dengan skor di atas 50. Sebagian besar
99
mahasiswa (28 dari total 33 orang) tidak memiliki kemampuan menghasilkan kalimat seperti yang diinginkan. Kesenjangan antara tingkat comprehension dan tingkat production juga relatif besar, yaitu 65,64 – 28,36 = 37,28 atau 37,28% artinya, kompetensi production rata-rata mahasiswa 37,28% berada di bawah kompetensi comprehension mereka. Selanjutnya akan dianalisis korelasi antara variabel comprehension dan variabel production dengan perhitungan SPSS sebagaimana tertera di bawah ini: Tabel 4. Correlations Syntactic Structure Sentence Compre- Productio hension n Syntactic Structure Comprehension
Pearson 1 .671(**) Correlation Sig. (2-tailed) .000 N 33 33 Sentence Pearson .671(**) 1 Production Correlation Sig. (2-tailed) .000 N 33 33 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Berdasarkan perhitungan diperoleh angka korelasi antara variabel comprehension dan production sebesar 0,671. Untuk menafsir angka tersebut, digunakan kriteria seperti yang dikutip dari Sarwono (2006) sebagai berikut: 0 – 0,25 : Korelasi sangat lemah (dianggap tidak ada) 0,25 – 0,50 : Korelasi cukup 0,50 – 0,75 : Korelasi kuat 0,75 – 1 : Korelasi sangat kuat Korelasi sebesar 0,671 bermakna bahwa hubungan antara variabel comprehension dan production kuat dan searah karena hasilnya positif. Searah artinya jika tingkat comprehension tinggi maka production juga tinggi. Korelasi dua variabel bersifat signifikan karena angka signifikansi sebesar 0,00 < 0,05. Jika angka signifikansi (sig) < 0,05 maka hubungan kedua variabel signifikan. Sebaliknya, jika angka signifikansi (sig) > 0,05 maka hubungan kedua variabel tidak signifikan. Berikutnya ingin diketahui hubungan linier antara comprehension dan production untuk selanjutnya melihat pengaruh comprehension terhadap production berikut besarannya. Berikut ini ditampilkan tabel regresi variabel comprehension terhadap variabel production:
100
Tabel 5. Model Summary of Regression
Model Summary Change Statistics
Model 1
R R Square .671a .451
Adjusted R Square .433
Std. Error of the Estimate 13.08041
R Square Change .451
F Change 25.451
df 1
df 2 1
31
Sig. F Change .000
a. Predictors: (Constant), Sy ntactic Structure Comprehension
Dari hasil perhitungan didapat angka F penelitian sebesar 25,45 > F tabel sebesar 4,17 yang artinya terdapat hubungan yang linier antara comprehension dengan production sehingga comprehension memengaruhi production sebesar 45% (dilihat dari R Square pada tabel di atas). Besarnya pengaruh variabel comprehension terhadap variabel production dilakukan dengan cara menghitung koefisien determinasi. Koefisien determinasi dihitung dengan mengkuadratkan koefisien korelasi yang telah ditemukan, yaitu 0,671 dikalikan dengan 100%. Koefisien determinasi dinyatakan dalam persen (Prof. Dr. Sugiyono, 2009). Jadi koefisien determinasinya adalah 0,671 2 = 0,45 x 100% menjadi 45%. Dengan demikian, pengaruh comprehension terhadap production hanya sebesar 45%, sedangkan sisanya sebesar 55% ditentukan oleh faktor di luar variabel comprehension. Faktor-faktor di luar itu di antaranya bisa saja disimpulkan dari analisis terhadap kertas kerja mahasiswa dengan penjelasan secara kualitatif seperti di bawah ini: 7.3.1 Analisis Kertas Kerja Kompetensi Comprehension a) Ketidak pahaman tentang preposisi yang digunakan bersama verba intransitif Dalam kompetensi comprehension, sebagian responden gagal mengidentifikasi perbedaaan verba intransitif dengan verba transitif sehingga menganggap verba yang digunakan secara salah dalam kalimat yang seharusnya menyertakan preposisi sebelum objeknya, merupakan kalimat yang benar secara gramatikal karena menganggap verba tersebut merupakan verba transitif dan dengan demikian bisa langsung diikuti oleh objek nomina (argumen tema). Di sisi lain, responden mungkin saja dipengaruhi oleh sistem bahasa pertama yang memungkinkan kalimat tanpa preposisi sebagai berterima secara sintaksis dan gramatikal. Terkait pengaruh bahasa pertama, Ringbom (http://www.jyu.fi/hum/laitokset/solki/afinla/julkaisut/arkisto/48/ringbom) mengatakan: The L2-learner is constantly seeking to facilitate his task by making use of previous knowledge. The natural procedure for him when he is faced with new material or a new task is to try to establish a relation between the new material or task and what he already knows. In comprehension, then, L1-influence largely depends on what formal similarities the learner can perceive between L1 and L2 and to what extent L1-based procedures are really helpful for L2. Dalam derajat tertentu, bahasa Indonesia memiliki kesamaan struktur sintaksis dengan bahasa Inggris, sebagai contoh, sama-sama memiliki pola kalimat S-V-O (NP-V-NP). Namun di sini kesamaan struktur sintaksis tidak selalu berlaku bagi makna leksikal verba dan karakteristik uniknya dalam bahasa Inggris. Bahasa Indonesia, di sisi lain, sangat kaya dengan kata berimbuhan yang memengaruhi makna leksikal sebuah kata. Dalam kasus ini, verba jump misalnya, dirujuk dalam pengetahuan sistem bahasa Indonesia oleh responden sebagai bermakna “melompati” bukan “melompat” sehingga
101
kalimat The man is jumping the fence* diartikan menjadi “Laki-laki itu melompati pagar” dan tidak mengetahui bahwa kalimat tersebut memerlukan preposisi over sehingga jika diterjemahkan menjadi “melompat melewati pagar”. Hal yang sama terjadi pada kalimat lainnya, yakni The woman is listening music* (seharusnya listening to), The man is looking the woman* (seharusnya looking at), dan The man is talking the money* (seharusnya talking about). Verba listen dan look mungkin juga dicari padanannya dalam verba yang lain dalam bahasa Inggris yaitu hear dan see, yang merupakan verba transitif dan langsung bisa diikuti oleh objek nomina. Persentase responden yang memahami secara keliru kalimat seperti itu dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 6. Lack of Preposition Recognition Responden yang menUngrammatical sentences jawab sebagai benar 26 The woman is listening music. 16 The man is looking the woman. 12 The man is talking the money. 21 The man is jumping the fence. Rata-rata (mean) 18,75
% Responden 78,8 48,5 36,4 63,6 56,82
b) Ketidak pahaman tentang penggunaan verba bersama objek nomina (obligatory two-place verb) Ketika kalimat-kalimat yang diujikan kepada responden disusun sedemikian rupa, responden seolah-olah terpengaruh dengan kalimat yang berdekatan dengan kalimat yang mereka amati dan menganggap verba dalam kalimat yang diamati masuk dalam kategori yang sama dengan verba dalam kalimat yang berdekatan itu. 22 dari 33 responden menjawab salah untuk kalimat The girl is cutting* yang seharusnya diikuti oleh objek nomina atau argumen tema. Posisi kalimat tersebut yang berada di antara kalimat The boy is standing dan The dog is sitting di atas dan di bawahnya, membuat responden memutuskan bahwa kalimat The girl is cutting* sebagai kalimat yang berterima seperti kedua kalimat di antaranya. Mereka gagal mengidentifikasi verba transitif cut yang wajib mendapatkan objek nomina (argumen tema) dan menganggap cut sebagai verba yang berkategori sama dengan verba intransitif stand dan sit. Kasus yang sama terjadi pada kalimat dengan verba transitif yang diletakkan berdekatan dengan kalimat yang menggunakan verba intransitif seperti berikut: “The boy is pushing*” versus “The man is swimming”. “The girl is hitting on the wall*” versus “The girl is dancing in the field”. “The woman is buying in the market*” versus “The boy is standing against the wall”. “The girl is picking*” versus “The girl is dancing”. “The man is pulling*” versus “The woman is listening”. Persentase responden yang tidak mengenali atau memahami verba transitif dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
102
Tabel 7. Lack of Obligatory Two-place Verb Recognition Responden yang menUngrammatical sentences jawab sebagai benar 22 The girl is cutting. 21 The boy is pushing. 26 The girl is hitting on the wall. 15 The woman is buying in the market. 16 The girl is picking. 17 The man is pulling. 19,5 Rata-rata (mean)
% Responden 66,6 63,6 78,8 45,5 48,5 51,5 59.08
c) Ketidak pahaman tentang penggunaan prepositional phrase dalam kalimat (obligatory three-place verb) Keterkaitan makna leksikal dengan struktur sintaksis belum dikuasai responden dengan baik. Hal tersebut terbukti dengan tidak dipahaminya verba yang mewajibkan argumen tujuan untuk melengkapi makna utuh kalimat tersebut. Kembali lagi di sini responden menyasar database sistem kognisi mereka yang mengacu pada sistem bahasa pertama dalam memutuskan kalimat yang tersaji sebagai kalimat berterima atau tidak berterima. “The man is putting the book*” dikategorikan sebagai kalimat berterima secara gramatikal oleh 26 dari 33 responden. Dalam bahasa Indonesia, verba put memiliki pengertian “meletakkan” atau “menaruh”. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), verba “meletakkan” dan “menaruh” secara umum menyertakan pelengkap penyerta dalam kalimat agar kalimat tersebut utuh seperti “…. meletakkan/menaruh buku di atas meja”, sama dengan bahasa Inggris yang mensyaratkan argumen tujuan, seperti “… putting the book on the desk” (obligatory three-place verb). Namun dalam bahasa Indonesia ada kalimat yang tidak memerlukan pelengkap penyerta untuk verba “meletakkan” dan secara struktural gramatikal berterima seperti dalam “…. meletakkan jabatan” yang artinya “melepaskan” atau “tidak melaksanakan lagi”. Dengan demikian, “meletakkan” memiliki makna yang berbeda dengan “menaruh”. Persoalannya, apakah makna yang berbeda ini disadari oleh responden? Adjunct yang digunakan bersama dalam kalimat “The woman is giving the present in the morning” bisa saja menjadi distractor bagi responden dengan menganggap frasa “in the morning” sebagai pelengkap yang membuat kalimat tersebut utuh secara maknawi. Tampaknya responden belum memiliki pengetahuan tentang elemen struktural semantik yang bersifat wajib maupun optional meskipun dalam proses pembelajaran terkait unsur struktur kalimat sederhana atau clause types (David Crystal; Greenbaum, Sidney. 1996; Quirk, Leech, & Svartvik,1997) telah dipelajari sebelum tes comprehension diberikan. Secara keseluruhan kalimat yang dihilangkan argumen tujuannya beserta jumlah dan persentase responden yang salah dalam menjawab dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
103
Tabel 8. Lack of Obligatory Three-place Verb Recognition Responden yang menUngrammatical sentences jawab sebagai benar 23 The woman is giving the book. 20 The man is putting the book at night. 26 The man is putting the book. The woman is giving the present in the 24 morning. 23,25 Rata-rata (mean)
% Responden 69,7 60,6 78,8 72,7 70,45
Secara keseluruhan, jumlah jawaban responden yang terbagi dalam jawaban yang salah dan benar untuk setiap butir kalimat yang menguji kompetensi pemahaman mereka terhadap struktur gramatika bahasa Inggris dapat dibaca dalam tabel di bawah ini:
104
Tabel 9. Jawaban Kumulatif Comprehension Test Responden
NO Grammatical Sentences 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
and
Ungrammatical Correct False Total Answer Answer Respond
The boy is swimming the girl. The man is talking to the woman. The woman is giving the money to the girl. The boy is standing. The girl is cutting. The dog is sitting. The woman is making the cake in the kitchen. The woman is giving the book. The woman is listening music. The boy is pushing the desk. The woman is sleeping her baby. The man is putting the book on the desk at night. The boy is pushing . The man is swimming. The girl is cutting the rope for the party. The boy is sending the letter to the man. The man is putting the book at night. The man is looking the woman. The dog is sitting the chair. The girls is picking flowers. The man is putting the book. The girl is dancing in the field. The girl is hitting on the wall. The man is carrying the boy a box. The woman is giving the present in the morning. The boy is catching her the ball. The man is talking. The lady is sitting on her chair. The man is putting on the table. The man is bringing the box to the car. The boy is pulling the girl the cart. The girl is cutting the rope. The woman is giving the money to the girl in the car. The girl is pushing the boy the cart. The man is talking the money. The woman is making the cake. The boy is pushing to the house. The man is putting the book on the desk. The woman is buying in the market. The boy is standing against the wall. The girl is picking. 105
32 31 26 28 11 26 24
1 2 7 5 22 7 9
33 33 33 33 33 33 33
10 7 21 22 27
23 26 12 11 6
33 33 33 33 33
12 31 27 28 13 17 24 20 7 27 7 14 9
21 2 6 5 20 16 9 13 26 6 26 19 24
33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
22 29 29 20 21 20 31 24
11 4 4 13 12 13 2 9
33 33 33 33 33 33 33 33
25 21 22 20 30 18 22 17
8 12 11 13 3 15 11 16
33 33 33 33 33 33 33 33
42 43 44 45 46 47 48 49 50
The girl is dancing. The man is pulling the cart into the house. The girl is sending to the school. The boy is giving in the afternoon. The man is pulling. The woman is listening. The girl is swimming toward the woman. The man is jumping the fence. The girls is picking flowers in the garden.
32 30 25 28 16 23 19 12 25
1 3 8 5 17 10 14 21 8
33 33 33 33 33 33 33 33 33
7.3.2 Analisis Kertas Kerja Kompetensi Production Ringbom (http://www.jyu.fi/hum/laitokset/solki/afinla/julkaisut/arkisto/48/ringbom) me-ngatakan bahwa dalam menghasilkan bahasa kedua (L2- production) pembelajar akan menggunakan prosedur bahasa pertama (L1) untuk mengisi kesenjangankesenjangan dalam kompetensi bahasa kedua (L2), tidak hanya dengan pengaruh kesamaan lintas bahasa secara langsung (overt cross-linguistic influence) melainkan juga secara tersamar (covert cross-linguistic influence). Cara yang kedua menurut Ringbom selalu memiliki akibat yang negatif karena menimbulkan errors, omissions dan avoidance. Penghilangan artikel “a” yang digunakan bersama dengan nomina dalam bahasa Inggris oleh pembelajar pemula berbahasa Indonesia dikarenakan mereka kekurangan kerangka acuan yang tepat untuk fungsi gramatikal dalam L1. Covert cross-linguistic influence dengan demikian bergantung pada ketidak mampuan pembelajar mendapatkan kesamaan lintas bahasa. Pembelajar akan menggunakan prosedur-prosedur L1 dalam production karena dia tidak memiliki kerangka acuan lintas bahasa yang fungsional, dan tidak juga memiliki prosedur L2. Ini terjadi pada kasus yang ekstrim dari satu responden yang tidak mampu membuat kalimat bahkan yang sederhana sekalipun, seperti “he is mendorong meja”. Di bawah ini dianalisis beberapa kesenjangan yang dimiliki responden berdasarkan kertas kerja tes production yang mereka hasilkan. a) Word Choice Meski gambar yang digunakan telah ditandai dengan petunjuk verba, argumen agent, argumen tema, dan atau argumen tujuan, beberapa responden kesulitan memunculkan (retrieved) verba yang diinginkan sesuai gambar. Sebagai contoh, responden memilih verba shop (verba intransitif) bukan buy (verba transitif) untuk menggambarkan seorang wanita yang sedang membeli buah-buahan di pasar (The woman is shopping vegetables*); dan menggunakan verba capture (bermakna menangkap orang atau binatang yang mencoba menghindar/melarikan diri) ketimbang catch (bermakna meraih dan memegang sesuatu yang dilemparkan, dilontarkan atau dijatuhkan) untuk menggambarkan seorang laki-laki yang sedang menangkap bola (The man is capturing the ball*). Demikian pula pada kalimat yang alih-alih menggunakan verba talk, malah menggunakan verba chat (The old lady is chatting to a woman*). Dan masih ada beberapa yang lain, misalnya verba lift untuk verba bring, take untuk put, receive untuk give, hear untuk listen. b) Omission of Article Artikel dalam bahasa Inggris hanya dua (a/an dan the), namun beberapa responden tampaknya lupa atau tidak konsisten menggunakan artikel “a” bersama dengan nomina tunggal. Beberapa nomina digunakan bersama dengan artikel “a” tapi 106
beberapa yang lain tanpa artikel dalam kertas kerja responden yang sama. Ketiadaan artikel “a” itu terjadi 25 kali dan dilakukan oleh 20 responden. Penggunaan artikel “the” lebih kerap dibandingkan dengan artikel “a” dan itu menjadi penengah atau pilihan penyelamat dari keraguan menggunakan “a”. Di sisi lain, ada penggunaan artikel “a” yang tidak pada tempatnya, seperti: a vegetables, a money, a music, a flowers, a fruits. c) Inappropriate Preposition Sebagian responden tidak memahami penggunaan preposisi (kata depan) yang umum digunakan, misalnya on the market* yang seharusnya at the market, on the swimming pool* seharusnya in the swimming pool, on/at the bag* seharusnya into the bag, in the bench*, in the chair*, in the wall*, on the party*, in the dance floor*, on the park*, swimming inside the pool* dan beberapa yang lain. Pada kalimat optional two-place argument structure yang lain, beberapa responden tidak menyertakan preposisi, seperti: jumping the stone wall* dan listening music*. d) Inappropriate Auxiliary Kesalahan dalam penggunaan auxiliary terjadi pada agreement in number, misalnya dalam kalimat The girls is dancing*, penghilangan auxiliary seperti The woman buying*, dan ketidakpadanan seperti The man is jumps*. Jumlah kesalahan ini relatif kecil, namun kesalahan dalam tense banyak terjadi. Sesuai petunjuk, semua kalimat harus dinyatakan dalam present progressive tense, namun 12 responden mencampuradukkannya dengan past progressive tense bahkan dengan present simple. e) Incomplete Sentence Dalam tes production ada tiga gambar yang mensyaratkan penyusunan kalimat dalam struktur obligatory three-place untuk verba put dan give namun beberapa responden tidak melengkapi kalimat mereka dengan argument tujuan. Ketidaklengkapan lebih kerap terjadi pada verba put dibandingkan dengan verba give (12:5). Hal yang sama terjadi pada kalimat optional two-place misalnya, The old lady is talking… (tanpa to/with a woman). Demikian pula pada kalimat obligatory one-place dengan adjunct, misalnya the baby is swimming….. (tanpa in the swimming pool). Di bawah ini ditampilkan tabel sejumlah kalimat yang benar yang dihasilkan oleh responden : Tabel 10. Proporsi Production Kalimat Struktur Argumen yang Benar dari 33 Responden Struktur Argumen Jumlah Rata-rata Obligatory one-place 23 0,69 Obligatory two-place 75 2,27 Obligatory three-place 17 0,51 Optional two-place 43 1,30 Optional three-place 25 0,75 Obligatory one-place with adjunct 36 1,09 Obligatory two-place with adjunct 14 0,42 Phrasal (verb-particle) 3 0,09 Dalam tabel 10 jelas terlihat kalimat dengan obligatory two-place lebih banyak dihasilkan oleh responden. Ini menjadi semacam pandangan yang umum berlaku
107
bahwa kalimat yang berstruktur SVO (NP-V-NP) dan verba transitif dalam struktur tersebut lebih awal dan mudah dikuasai pembelajar dibandingkan dengan struktur sintaktik yang lainnya. Tidak mengherankan beberapa verba intransitif menjadi sulit dikenali dan mereka menganggapnya sebagai verba transitif (verba listen disamakan dengan verba hear). Bisa disimpulkan di sini bahwa 55% faktor eksternal yang memengaruhi ketidakmampuan responden menghasilkan kalimat di antaranya adalah keterbatasan penguasaan perbendaharaan kata dan faktor keterbatasan pengetahuan syntacticsemantic structures. Syntactic-semantic structures di antaranya meliputi ketidak pahaman tentang penggunaan artikel yang sering digunakan bersama dengan nomina dalam bahasa Inggris yang di dalam bahasa Indonesia justru hampir tidak digunakan, kurangnya pengetahuan tentang preposisi dan penggunaannya secara tepat dan kurangnya pengetahuan tentang tenses dan struktur kalimat yang utuh atau kalimat yang lengkap dan berterima secara gramatikal. 8. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian di atas, dapat disimpulkan di sini bahwa mahasiswa semester I angkatan tahun 2012 memahami struktur gramatikal kalimat sederhana bahasa Inggris (kompetensi comprehension) rata-rata sebesar 65,64 (65,64%) berbanding total 100 yang diharapkan dari skor jawaban tes comprehension dengan variasi distribusi skor di antara mereka sebesar 8,79. Gambaran ini jauh berbeda dengan skor rata-rata kompetensi production mereka yang hanya 28,36 berbanding 100. Ini artinya kemampuan sentence production mereka cuma 28,36% dari skor 100 yang diharapkan dari tes production, dengan simpangan baku (Standard Deviation) production sebesar 17,37 yang berarti bahwa perbedaaan kemampuan membuat kalimat bahasa Inggris di antara mahasiswa relatif besar. Hanya ada 5 mahasiswa yang mampu membuat kalimat dengan skor di atas 50. Sebagian besar mahasiswa (28 dari total 33 orang) tidak memiliki kemampuan menghasilkan kalimat seperti yang diinginkan. Kesenjangan (gap) antara tingkat comprehension dan tingkat production juga relatif besar, yaitu 65,64 – 28,36 = 37,28 atau 37,28% artinya, kompetensi production rata-rata mahasiswa 37,28% berada di bawah kompetensi comprehension mereka. Dari hasil penelitian ini pula diketahui bahwa terdapat hubungan antara comprehension dan production dengan tingkat korelasi sebesar 0,671. Ini berarti bahwa hubungan antara variabel comprehension dan production kuat dan searah karena hasilnya positif. Searah artinya jika tingkat comprehension tinggi maka production juga tinggi. Korelasi dua variabel bersifat signifikan karena angka signifikansi sebesar 0,00 < 0,05. Kemudian dari hasil perhitungan di atas pula didapat angka F penelitian sebesar 25,45 > F tabel sebesar 4,17 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linier antara comprehension dengan production sehingga comprehension memengaruhi production sebesar 45%. Besarnya pengaruh variabel comprehension terhadap variabel production dilakukan dengan cara menghitung koefisien determinasi. Koefisien determinasi dihitung dengan mengkuadratkan koefisien korelasi yang telah ditemukan, yaitu 0,671 dikalikan dengan 100%. Jadi koefisien determinasinya adalah 0,6712 = 0,45 x 100% menjadi 45%. Dengan demikian, pengaruh comprehension terhadap production hanya sebesar 45%, sedangkan sisanya sebesar 55% ditentukan oleh faktor di luar variabel comprehension.
108
Sebagian faktor di luar variabel comprehension yang bisa ditunjukkan di sini dilakukan berdasarkan analisis production responden, yaitu keterbatasan penguasaan perbendaharaan kata dan keterbatasan pengetahuan syntactic-semantic structures sistem bahasa Inggris. DAFTAR PUSTAKA Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching, Fourth Edition. Addison Wesley Longman, Inc. Pearson Education, 10 Bank Street, White Plains, NY 10606 Caplan,
David. Verbal Working Memory and Sentence Comprehension. http://cogprints.org/623/1/bbs_caplan.html (4 Mei 2012, 07:22 P.M)
Crystal, David. 1995. The Cambridge Encyclopedia of the English Language, Cambridge University Press, United Kingdom Garnham, Alan. 1992. Psycholinguistics, Central Topics. Routledge, Chapman and Hall, Inc. 29 West 35th Street, New York, NY 10001 Gasser, Michael, Relating Comprehension and Production in the Acquisition of Morphology. ftp://ftp.cs.indiana.edu/pub/gasser/gala.pdf (4 Mei 2012, 11:30 A.M) Greenbaum, Sidney. 1996. English Grammar. Oxford University Press Inc., New York Hendriks, Petra dan Spenader, Jennifer. 2005. When Production Precedes Comprehension: an Optimization Approach to the Acquisition of Pronouns. Language Acquisition. http://roa.rutgers.edu/files/803-0106/803-HENDRIKS-0-0.PDF (5 Mei 2012, 12:48 P.M) Keenan, Janice M., dan MacWhinney,Brian. 1987. Understanding the Relationship between Comprehension and Production. Dalam Psycholinguistic Models of Production, eds. Hans W. Dechert dan Manfred Raupach, 149-155. Norwood, NJ: Ablex Publishing Co. Kim, Mikyong dan Thompson, Cynthia K. 2000. Patterns of Comprehension and Production of Nouns and Verbs in Agrammatism: Implication for Lexical Organization. Department of Communication Sciences and Disorder, 2299 N. Campus Drive, Northwestern University, Evanstone, IL 60208-3540.Piaget, Jean. 1972. The Principles of Genetic Epistemology. New York: Basic Books Koster, Charlotte; Hoeks, John & Hendriks, Petra. Comprehension and Production of Subject Pronouns: Evidence for the Asymmetry of Grammar. www.let.rug.nl/~hoeks/topicshift09.pdf . (4 Mei 2012, 11:24 A.M.) Ringbom, Hakan. On Relation between Second Language Comprehension and Production. https://www.jyu.fi/hum/laitokset/solki/afinla/julkaisut/arkisto/48/ringbom (3 Mei 2012, 12:21 P.M)
109
Sarwono, Jonathan. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit Andi, Yogyakarta. Sugiyono, Prof.Dr. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Penerbit Alfabeta, Bandung. Tasseva-Kurkchieva, Mila. 2008. What about Grammar? Comprehension and Production at the Initial Stage of L2 Acquisition. Proceedings of the 9th Generative Approaches to Second Language Acquisition Conference (GASLA 2007), ed. Roumyana Slabakova et al., 242-250. Somerville, MA: Cascadilla Proceedings Project. Thompson, Cynthia K. Lewis P. Shapiro, Ligang Li & Lee Schendel, Analysis of Verbs and Verb-Argument Structure: A Method for Quantification of Aphasic Language Production, Clinical Aphasiology, Vol. 23, 1995, pp. 121-140 Shapiro, L.P., Nagel, H.N., & Levine, B.A. 1993. Preferences for a verb’s complements and their use in sentence processing. Journal of Learning and Memory, 32, 96114 Shapiro, L.P., Zurif, E.B., & Grimshaw, J. 1987. Sentence processing and the mental representation of verbs. Cognition, 27, 219-246 Newcastle University Aphasia Therapy Resources. Sentence Production via Queing of Arguments. Speech and Language Sciences, Newcastle University. http://research.ncl.uk/aphasia/
110
Lampiran 1. Instrumen tes Comprehension NO SENTENCES 1 The boy is swimming the girl. 2 The man is talking to the woman. 3 The woman is giving the money to the girl. 4 The boy is standing. 5 The girl is cutting. 6 The dog is sitting. 7 The woman is making the cake in the kitchen. 8 The woman is giving the book. 9 The woman is listening music. 10 The boy is pushing the desk. 11 The woman is sleeping her baby. 12 The man is putting the book on the desk at night. 13 The boy is pushing . 14 The man is swimming. 15 The girl is cutting the rope for the party. 16 The boy is sending the letter to the man. 17 The man is putting the book at night. 18 The man is looking the woman. 19 The dog is sitting the chair. 20 The girls is picking flowers. 21 The man is putting the book. 22 The girl is dancing in the field. 23 The girl is hitting on the wall. 24 The man is carrying the boy a box. 25 The woman is giving the present in the morning. 26 The boy is catching her the ball. 27 The man is talking. 28 The lady is sitting on her chair. 29 The man is putting on the table. 30 The man is bringing the box to the car. 31 The boy is pulling the girl the cart. 32 The girl is cutting the rope. 33 The woman is giving the money to the girl in the car. 34 The girl is pushing the boy the cart. 35 The man is talking the money. 36 The woman is making the cake. 37 The boy is pushing to the house. 38 The man is putting the book on the desk. 39 The woman is buying in the market. 40 The boy is standing against the wall. 41 The girl is picking. 42 The girl is dancing. 43 The man is pulling the cart into the house. 44 The girl is sending to the school. 45 The boy is giving in the afternoon. 111
TRUE FALSE
46 47 48 49 50
The man is pulling. The woman is listening. The girl is swimming toward the woman. The man is jumping the fence. The girls is picking flowers in the garden.
112
Lampiran 2. Instrumen tes Production
113
114
115
116
Lampiran 3. Personalia Tenaga Peneliti Personalia Penelitian a. Ketua Peneliti 1) Nama Lengkap dan Gelar : Dra. Kurnia Idawati, M.Si 2) Pangkat dan Jabatan : III/c - Lektor 3) Jabatan Fungsional/Struktural : Dosen Tetap Universitas Darma Persada 4) Fakultas/Program Studi : Sastra/Sastra Inggris 5) Bidang Keahlian : Language Skills and Applied Linguitics 6) Tempat Penelitian/Alamat : Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Darma Persada 7) Waktu yang disediakan untuk penelitian ini (dalam jam/minggu): 5 (lima) jam/minggu b. Anggota Peneliti 1) Nama Lengkap dan Gelar : Dra. Widiastuti, MM. 2) Pangkat dan Jabatan : III/c - Lektor 3) Jabatan Fungsional/Struktural : Dosen Tetap Universitas Darma Persada 4) Fakultas/Program Studi : Sastra 5) Bidang Keahlian : Statistik 6) Tempat Penelitian/Alamat : Fakultas Sastra Universitas Darma Persada 7) Waktu yang disediakan untuk penelitian ini (dalam jam/minggu): 5 (lima) jam/minggu
117
PENERAPAN METODE-METODE MEMBACA UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN TEKS BERBAHASA INGGRIS PADA MURID KELAS 3 SD DI SEKOLAH INTERNASIONAL (SEBUAH STUDI EKSPERIMEN) SWANNY CHIAKRAWATI Sastra Inggris – Fakultas Sastra
ABSTRACT Reading is considered as one of the most important language skills which must be developed by every student. Ironically, reading has not become the habit of students in Indonesia. Most of the students are lack of reading skill. Students need to learn reading in the right way by implementing the right reading method in order to understand the reading text. This experimental research is conducted to prove that students who read by applying reading method can understand more than students who read without applying any reading method. The reading methods which are applied to the students are PQ4R and PQRST. The subjects are 103 students of primary 3 in international school, divided in 2 groups, experiment group and control group. Pretest and posttest are tested to both groups. Between the pretest and posttest period, students in experiment groups are trained to read text by implementing reading methods. Meanwhile, the students in control groups don’t have the training. The result shows that students who have been trained to read by implementing the reading methods are more understand the reading text, compared to students who don’t implement the reading methods Keywords: PQ4R reading method, PQRST reading method, conventional reading method, experimental research. 1.
PENDAHULUAN
Membaca sering dikatakan belum menjadi budaya orang-orang di Indonesia. Pemahaman yang diperoleh setelah membaca suatu teks bacaan sering tidak maksimal. Membaca dengan metode yang tepat memang tidak secara khusus diajarkan di sekolah-sekolah, kecuali di sekolah-sekolah internasional yang menerapkan bahasa Inggris dalam semua proses pembelajaran sesuai kurikulum sekolah-sekolah tersebut. Dalam penelitian ini, dilakukan eksperimen untuk mengetahui metode membaca mana yang tepat dan berdampak efektif serta efisien bila diterapkan ke murid-murid sekolah. Dengan menerapkan metode membaca yang tepat, diharapkan akan meningkatkan kemampuan murid-murid dalam memahami suatu teks yang dibaca secara maksimal. Secara umum, kemampuan membaca dan nalar murid untuk memahami materi yang dibaca masih rendah. Rendahnya kemampuan murid dalam memahami bacaan disebabkan oleh berbagai factor, baik factor internal maupun factor eksternal (Tampubolon, 2001:72). Faktor internal adalah factor yang berasal dari diri murid sendiri, misalnya rendahnya motivasi intrinsic murid dalam membaca, kesadaran metakognitif, dan latar belakang pengetahuan murid. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungan murid itu berada, misalnya: sarana membaca yang kurang tersedia, lingkungan social ekonomi keluarga tidak mendukung, dan lain-lain.
118
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen untuk meneliti pengaruh penerapan metode membaca(SQ3R dan PQRST) terhadap ketrampilan murid untuk lebih paham materi bacaan bahasa Inggris. Diharapkan dengan menerapkan metode membaca tertentu, murid lebih memahami materi yang dibaca, daripada murid membaca dengan metode membaca yang konvensional. Kemampuan memahami sebuah bacaan dimaksud adalah murid mampu membaca sebuah bacaan dengan tepat dan cepat, murid mampu menyerap informasi lisan dan tertulis, serta memberi tanggapan secara tepat dan cepat, murid mampu memperoleh sumber informasi, mengumpulkan informasi dan member tanggapan secara tepat dan cepat, serta memanfaatkannya untuk berbagai keperluan (Depdiknas, 2004:3). 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini dieksperimenkan metode-metode membaca yang diterapkan terhadap murid kelas 3 SD. Metode-metode yang diterapkan adalah metode membaca PQ4R dan metode membaca PQRST, yang dibandingkan dengan metode membaca yang konvensional. Metode membaca PQ4R merupakan metode membaca dari Thomas F Staton, yang mengutamakan adanya kegiatan preview, question, read, reflect, recite dan review pada saat kegiatan membaca dilakukan. PQ4R tepat diterapkan pada murid kelas 3 SD di sekolah internasional yang telah paham melakukan berbagai kegiatan yang diminta setelah membaca. Langkah-langkah metode membaca PQ4R lebih terperinci dijelaskan sebagai berikut: - Preview (membaca selintas). Langkah ini dilakukan dengan membaca kalimatkalimat permulaan atau suatu paragraph, ataupun akhir suatu bab secara sekilas g memperoleh gambaran sekedarnya mengenai apa isi yang akan dibaca. Perhatikan juga ide pokok yang menjadi inti pembahasan/uraian seluruh materi ide yang ada dalam karangan. - Question (bertanya). Langkah ini mengharuskan murid mengajukan pertanyaan untuk setiap bagian yang ada pada materi bacaan. Kalau pada akhir bab telah ada pertanyaan yang dibuat oleh pengarangnya. Daftar itu hendaknya dibaca lebih dahulu. - Read (membaca). Langkah ini mengharuskan murid membaca secara aktif yakni harus memberikan reaksi terhadap apa yang dibacanya. Murid harus mencari jawaban terhadap semua pertanyaan yang terdapat pada akhir materi yang dibaca. - Reflect (memantulkan). Langkah ini mengharuskan murid untuk mendalami, memahami dengan kemampuan berpikir yang lebih tinggi, tidak hanya cukup mengingat atau menghapal. - Recite (Tanya jawab). Langkah ini mengharuskan murid untuk mengingat kembali informasi yang telah dipelajari dengan menyatakan dengan suara nyaring dan menanyakan jawaban-jawaban pertanyaannya. Murid menemukan intisari materi yang dibaca. Setelah selesai membaca suatu bagian harus dikatakan kembali dengan kata-kata sendiri sambil merenungkan dan membandingkan dengan apa yang diketahui. - Review (mengulang). Langkah ini mengharuskan murid mengulang kembali secara aktif seluruh bacan, dan menanyakan pada diri sendiri ketepatan jawaban yang
119
telah dibuat atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebelumnya. Dianjurkan untuk mengulang materi jika tidak yakin dengan jawanan yang dibuat. Metode PQRST adalah suatu teknik membaca yang diperkenalkan oeh Thomas, Ellen Lamar, Robinson dn H.Alan dalam buku mereka yang berjudul ‘Improving Reading in Every Class’. Metode membaca yang cocok untuk murid yang belajar dengan system bilingual, karena murid memahami isi literature bersamaan dengan waktu pembelajaran reading. Lima hal yang memjadi perhatian dan kegiatan dalam metode membaca PQRST ini adalah - Preview (membaca sekilas). Kegiatan ini dmaksudkan agar murid membaca dengan cepat sebelum mulai membaca topic-topik, sub topic utama, judul dan sub judul, kalimat-kalimat permulaan atau akhir suatu paragraph, atu ringkasan pada akhir suatu bab. Perhatikan ide pokok yang akan menjadi inti pembahasan dalam bahan bacaan murid. Dengan ide pokok ini akan memudahkan mereka memahami keseluruhan ide yang ada. - Question (bertanya). Kegiatan ini adalah menyusun atau mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri mengenai isi buku atau untuk setiap bab yang ada pada bahan bacaan murid. Pertanyaan ini mendukung pembaca atau murid menemukan apa yang diperlukannya. Awali pertanyaan dengan menggunakan kata ‘apa, siapa, mengapa dan bagaimana’. Kalau pada akhir bab telah ada daftar pertanyaan yang dibuat pengarang, hendaklah baca terlebih dahulu. - Read (membaca). Kegiatan ini mengharuskan murid membaca secara teliti paragraph demi paragraph untuk lebih memahami isi bacaan atau materi yang ada dalam buku, sambil mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang telh disusun sebelumnya. - Summarize (meringkas). Pada kegiatan ini, siswa berhenti sebentar untuk meringka atau membuat catatan penting mengenai apa yang sudah dibacanya tadi. - Test (menguji). Pada kegiatan ini, murid diberikan tes atau semacam petanyaan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman yang telah diperoleh dari buku atau materi yang sudah dibaca sebelumnya. Dari uraian tentang metode membaca PQRST di atas, dapat dilihat bahwa metode membaca ini dapat membantu murid memahami materi pembelajaran, terutama terhadap materi-materi yang lebih sukar dan menolong murid untuk berkonsentrasi lebih lama. 2. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini, metode membaca merupakan independent variable atau variable eksogen, mempengaruhi pemahaman teks bacaan yang merupakan dependent variable atau variable endogen. Hipotesis dalam penelitian ini adalah penerapan metode membaca mempengaruhi pemahaman teks bacaan pada murid SD kelas 3 di sekolah internasional. Subyek penelitian adalah murid SD kelas 3 di sekolah internasional Bina Bangsa School. Karakteristik pengambilan sampel adalah murid SD kelas 3 sebanyak 4 kelas, di mana 2 kelas menjadi kelompok eksperimen dan 2 kelas menjadi kelompok kontrol. Pengambilan subyek dalam penelitian ini menggunakan cluster random sampling. Berdasarkan hasil undian diperoleh kelas yang menjadi kelas control dan kelas eksperimen. Pada kelompok
120
eksperimen dikenai metode membaca SQ3R dan metode membaca PQRST. Sedangkan pada kelompok control akan dikenai metode membaca yang konvensional. Murid kelas 3 yang terpilih menjadi subyek penelitian sebab mulai kelas 3, pada pelajaran bahasa Inggris terdapat banyak materi-materi bacaan yang mewajibkan murid mampu menjawab pertanyaan mengenai isi bacaan tersebut, di mana pertanyaan bersifat konprehensif, sehingga pemahaman yang mendalam terhadap isi bacaan sangat dibutuhkan. Sehubungan dengan materi bacaan yang menuntut jawaban yang konprehensif, kebutuhan murid untuk memahami materi bacaan secara mendalam semakin mendesak. Menghadapi tuntutan tersebut, murid perlu dibekali metode membaca yang tepat, efektif dan efisien. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan desain pretest-posttest control group design. Data diperoleh dengn instrumen membaca pemahaman. Butir soal yang digunakan untuk pretest dan posttest masing-masing berjumlah 30 butir soal. Penghitungan validitas butir soal menggunakan teknik Korelasi Product Moment dari Pearson. Reliabilitas dihitung dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach. Adapun teknis pelaksanaan eksperimen sebagai berikut: Eksperimen dilakukan setiap minggu, selama 3 jam pelajaran reading berturut-turut. Adapun lamanya tiap jam pelajaran adalah 30 menit. Sebelum rangkaian eksperimen dilakukan, semua subyek penelitian diberikan pretest berupa pertanyaan-pertanyaan pemahaman bacaan. Setelah prestest, kelompok eksperimen mulai dikenai treatment berupa ketiga metode belajar tersebut, yaitu metode membaca PQ4R dan PQRST. Masingmasing metode membaca diterapkan selama 4 bulan terhadap siswa-siswa di kedua kelas yang merupakan kelompok eksperimen. Di samping itu, setiap bulan dilakukan evaluasi untuk melihat kemajuan tingkat pemahaman bacaan pada kelompok eksperimen. Pada akhir rangkaian eksperimen, diberikan posttest, baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok control. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Data diperoleh dari hasil eksperimen yang dikenai ke subyek penelitian. Hasil-hasil dari eksperimen akan dihitung dengan program ttest yang terdapat dalam piranti lunak SPSS versi 19. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Selama 4 bulan penelitian yang telah dilalui, diketahui hasil dari penerapan metode membaca PQ4R, sebagai berikut: Hasil penelitian terhadap metode membaca PQ4R dapat dilihat dari skor rata-rata pretest ke posttest yang signifikan untuk kelompok eksperimen sebesar 2, sedangkan skor rata-rata pretest ke posttest kelompok control mengalami penurunan sebesar 0,233. Hasil t-test untuk pretest tidak berbeda secara signifikan, diperoleh nilai t sebesar 0.119; p=0.906 (0.906>0.05=tidak signifikan). Skor kelompok eksperimen sebesar 2; dengan nilai t pretest dan posttest sebesar 2.515;p=0.018 (0.018<0.05=signifikan). Pada kelompok kontrol terjadi penurunan sebesar -0.233; dengan nilai t pretest dan posttest sebesar 0.492; p=0.624 (0.624>0.05 tidak signifikan).
121
Dengan demikian diperoleh hasil yang signifikan menunjukkan bahwa murid yang membaca dengan metode PQ4R lebih memahami materi bacaan, memiliki nalar yang konprehensif untuk menjawab pertanyaan sehubungan dengan materi yang dibaca. Pada periode penelitian berikut akan dilanjutkan dengan penerapan metode membaca PQRST. Setelah itu, akan dilakukan perbandingan untuk melihat metode membaca mana yang paling efektif dan efisien bila diterapkan bagi murid kelas 3 SD. 9.
KESIMPULAN
Dengan menguji hubungan struktural antar variabel yang terlibat dalam penelitian, maka dapat disimpulkan hasil temuan penelitian sebagai berikut: - Terdapat perbedaan yang signifikan antara pemahaman materi yang dibaca antara murid yang menerapkan metode membaca PQ4R dan murid yang hanya membaca secara konvensional. - Pemahaman membaca yang diperoleh murid yang menggunakan metode membaca PQ4R lebih efektif dan efisien dibandingkan murid yang membaca dengan metode konvensional. 9. DAFTAR PUSTAKA Barbe, Walter B., Allen, Henriette L. & Sparksman, Brandon B. (1999). Reading Skills Competency Tests. San Fransisco: Jussey-Bass. Flash Kids Editors. (2011). Reading Skills;Grade 1. Birmingham:Flash Kids Harcourt Family Learning. Hendel, Ronald.(2006). Reading Genesis: Ten Methods. London:Cambridge. John, Jerry.L & Lenski, Susan Davis. (2009). Improving Reading. New York: Mc Graw Hill. Spears, Deanne. (2004). Improving Reading Skills. New York: Mc Graw Hill. ……www.studygs.net ……www.swccd.edu
122
PENYADURAN BUKU AJAR TEORI TERJEMAHAN (JILID 2): TERJEMAHAN DAN KEBUDAYAAN KARYA BENNY HOEDORO HOED TENTANG ‘SULIH SUARA FILM’ Tommy Andrian Universitas Darma Persada
[email protected]
ABSTRACT Dubbing, also known as rerecording, is the post-production process, used in filmmaking and video production, in which vocal recording (like dialogue) occurs subsequent to the original recording stage. The term most commonly refers to the substitution of the voices of the actors shown on the screen by those of different performers speaking a different language; however the practice also involves the rerecording of audio segments and then synchronizing the recording with the existing footage. The procedure was sometimes practiced in musicals when the actor had an unsatisfactory singing voice, and remains in use to enable the screening of audio-visual material to a mass audience in countries where viewers do not speak the same language as the original performers. Key words: dubbing, subtitling, domestication, lip sync, and casting. 1.
PENDAHULUAN
Pada tahun 1996 pernah terjadi pro- dan kontra-sulih suara (dubbing) film asing. Pada waktu itu Menteri Penerangan dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mewajibkan semua film di televisi disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia apabila ditayangkan pada prime time. Polemik tentang pro dan kontra sulih suara dalam film ternyata telah melampaui masalah teknis penerjemahan itu sendiri. Di satu pihak ada yang berpendapat bahwa sulih suara film itu baik karena memungkinkan mereka yang tidak menguasai bahasa asing untuk memahami film asing yang bersangkutan. Di pihak lain ada pula yang berpendapat bahwa sulih suara membahayakan karena dapat berakibat masyarakat pemirsanya menyerap kebudayaan yang dicerminkan oleh film asing itu seolah-olah yang ditayangkan itu bagian dari kebudayaannya. Kalau kualitas film dan penyulihannya tidak baik, masyarakat akan diberi tayangan film yang tidak baik dan mungkin menyesatkan. Ada pula alasan ekonomi, yaitu film yang disulihsuarakan akan menyaingi film Indonesia. Kelihatannya masalah bisnis .juga tidak terlepas dari soal sulih suara. Ditinjau dari segi ideologi, kebijakan sulih suara ini merupakan ideologi domestication. Sulih suara film tidak dapat dilepaskan dari soal penerjemahan, penyelarasan naskah, dan pengarahan dialog. Oleh karena itu, sulih suara berkaitan erat dengan masalah kebahasaan. Yang ingin dibahas di sini adalah aspek kebahasaannya. Namun, dampak non-bahasa juga terpaksa harus disinggung. 2.
PENERJEMAHAN DAN DAMPAKNYA
Penerjemahan adalah upaya mengalihkan pesan dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang
123
lain. Penerjemahan dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia adalah proses mengalihkan pesan dalam suatu teks bahasa asing ke dalam teks dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan dapat disebut sebagai kegiatan komunikasi dua tahap karena tugas penerjemah adalah memahami teks suatu bahasa untuk membuat orang lain memahami pesan dari teks itu dalam bahasa lain. Dari abad ke abad, manusia menerjemahkan. Kegiatan penerjemahan hampir sama tuanya dengan kegiatan penulisan karya asli. Namun, dampak suatu terjemahan dapat saja berbeda dengan dampak karya aslinya. Hal itu karena, misalnya, sebuah karya dalam bahasa asing dibaca oleh khalayak bahasa itu, sedangkan terjemahan dalam bahasa Indonesia dibaca oleh pembaca berbahasa Indonesia yang berbeda kebudayaannya dengan masyarakat asing itu. Tidak sedikit terjemahan dari bahasa asing (misalnya, Sanskerta, Arab, Belanda, Inggris, dan Prancis) yang menjadi milik masyarakat kita. Mahabharata, Ramayana, Seribu Satu Malam, cerita-cerita fabel (hewan) Lafontaine telah diterjemahkan dan diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia dan bahkan Si Bakhil (dari L’Avare karya Moliere), atau Saudagar Venezia (dari The Merchant of Venice karya Shakespeare), tidak dirasakan lagi sebagai karya asing, dan dianggap sebagai millik kita. Bahkan karya-karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah, seperti Jawa dan Sunda. Apa yang dikemukakan di atas adalah untuk memperlihatkan bagaimana karya terjemahan akhirnya menjadi milik masyarakat bahasa sasaran, terlepas dari kenyataan bahwa sering terjadi penerjemahan yang salah. Dari kenyataan itu dapat kita perkirakan dampak baik atau buruknya suatu karya terjemahan pada masyarakat penerimanya. 3. TERJEMAHAN FILM Dampak terjemahan karya-karya tertulis dari zaman ke zaman sudah kita lihat. Kita pun dapat merasakan dampak itu, baik dalam kehidupan biasa sehari-hari, kehidupan kesenian, maupun kehidupan intelektual. Akan tetapi, memang diperlukan waktu berabad-abad (bukan sekadar beberapa tahun saja) untuk terjadinya dampak itu. Kemajuan di bidang percetakan, komunikasi, informasi, dan transportasi telah menyebabkan penyebaran hasil penerjemahan terjadi dalam waktu yang cepat. Pengaruh buku terjemahan dan film terjemahan pada masyarakat kita tentunya makin cepat terjadi. Film asing (baca: Amerika) di Indonesia cenderung sering menjadi rujukan “modernisasi”. Di samping dampak visual, film memberikan dampak verbal melalui bahasa yang prosesnya lebih lambat, seperti halnya dampak melalui bacaan. Akan tetapi, dampak verbal dari film dapat bertahan lama karena yang ditangkap adalah bahasa dengan konsep-konsep di dalamnya yang dipadu dengan tayangan gambar. Melalui bahasanya penonton dapat lebih mengerti tentang film dan moral yang tersimpan dalam film tersebut. Penonton pun dapat melihat tingkah laku tokoh-tokoh dalam film dan pakaian serta adat kebiasaannya. Penerjemahan film memberikan dampak tertentu melalui bahasa yang dipahami pemirsa, yakni bahasa Indonesia. Secara khusus, akan dibicarakan di sini penerjemahan film dalam bentuk sulih suara (dubbing). Masalah dampak sulih suara film pada dasarnya serupa dengan masalah dampak terjemahan pada umumnya.
124
4. SEGI KEBAHASAAN Banyak permasalahan yang harus ditanggulangi dalam penyulihan suara film ditinjau dari segi kebahasaan. Permasalahan kebahasaan dapat ditinjau melalui tiga segi, yaitu (a) segi penerjemahan, (b) segi penyelarasan naskah, dan (c) segi pengisian suara. 1. Penerjemahan Penerjemahan film secara umum memerlukan pengetahuan mengenai konteks sosial budaya pada film yang bersangkutan dan kemampuan untuk memperoleh kata/kalimat yang sepadan pula secara sosial budaya dalam bahasa Indonesia. Banyak hal yang harus diperhatikan, tetapi di sini hanya akan dibahas empat hal saja. Penerjemah harus memahami, paling sedikit empat masalah penting dalam penerjemahannya. Pertama, masalah penerjemahan pronomina dan kata sapaan. Kedua, mengenai kata makian. Ketiga, mengenai kata budaya. Keempat, mengenai laras dan dialek. a. Pronomina (Kata Ganti) dan Kata Sapaan Pedoman untuk penerjemahan interaksi antartokoh yang benar adalah kensep tentang sifat interaksi kebahasaan itu sendiri. Interaksi kebahasaan seperti itu mengikuti dua poros, yaitu poros “kekuasaan” atau “tidak setara” dan poros “solidaritas” atau “setara” dengan kemungkinan “akrab” dan “tidak akrab” (Brown dan Gilman, 1970: 252-275). Pronomina dan kata sapaan berkaitan dengan sifat interaksi kebahasaan antartokoh. Dalam menerjemahkannya sifat interaksi itu harus diperhatikan benar, yaitu setara, tidak setara, akrab, atau tidak akrab. Beberapa contoh dapat dilihat berikut ini. - Orang pertama, misalnya (bahasa Inggris). Padanan untuk I dalam bahasa Indonesia bervariasi, misalnya saya atau aku, atau pada anak-anak bisa dengan menyebutkan nama dirinya, Bob atau Jennie. Kemungkinan menerjemahkan seperti itu tergantung pada hubungan sosial antara tokoh yang berdialog. - Orang kedua, misalnya you (bahasa Inggris). Padanan untuk you dalam bahasa Indonesia bervariasi, misalnya engkau, kau, atau kamu (dalam interaksi tidak setara, atau setara, dan akrab); Dokter, Bapak, Ibu, Kolonel, atau Pak Guru (dalam interaksi setara, tidak akrab). Dalam hal penerjemahan pronomina orang kedua tunggal, kata Anda sering tidak dapat digunakan dalam dialog film. Anda biasanya terdapat pada bahasa iklan dan pengumuman (Hoed, 1975: 18). Pada masa ini, Anda sudah mulai digunakan dalam surat atau percakapan antara orang, yang kurang akrab hubungannya, tetapi penggunaannya tidak umum. - Orang ketiga tunggal, misalnya he/she (bahasa Inggris). Padanan untuk he/she juga bervariasi, yaitu ia atau beliau, Ibu, Bapak, atau John. Ini tergantung dari situasi sosial interaksinya dan siapa yang dirujuk oleh he/she. Dalam bahasa Inggris ungkapan bagi semua poros itu boleh dikatakan sama (I, you, dan he/she), sedangkan dalam bahasa Indonesia bervariasi secara sosial. Inilah hal yang harus diketahui oleh penerjemah. b. Kata Kasar dan Makian Kata kasar dan makian seperti bloody, fucking, shit, bull shit, son of a bitch, atau mother fucker, tidak selalu bersifat “menyerang” atau “menghina”. Kata-kata itu, seperti halnya
125
dalam bahasa Indonesia dan daerah, seperti gila, sialan, diamput, atau tai, dapat digunakan untuk memperlihatkan hubungan setara yang akrab. Jadi, harus dilihat dulu konteks penggunaan kata-kata makian itu. Padanan kata-kata yang digunakan berbeda dengan dalam bahasa Inggris. Ini tergantung pada konteksnya: makian betul atau keakraban saja. Misalnya, sialan (That bloody person = Orang sialan itu), anak keparat, terkutuk, atau bahkan tai kucing untuk shit. Mungkinkah dipakai ungkapan dari bahasa Jawa, seperti diamput atau diancuk? Yang jelas, kita tidak dapat menerjemahkan begitu saja kata-kata kasar dalam bahasa Inggris itu tanpa memperhitungkan konteksnya dan keberterimaannya pada penonton film yang bersangkutan. Secara sosial budaya perlu dipertimbangkan perlunya menggunakan padanan yang “sama nilainya”, meskipun bentuknya berbeda. Ini termasuk teknik modulasi. Jadi fucking dalam hubungan setara dan akrab harus dicarikan padanan yang nilainya sama, misalnya What is your fucking friend doing here? = Apa kerja teman keparatmu itu di sini, atau Ngapain teman sialanmu itu? Semua itu perlu dipertimbangkan agar tidak menyinggung perasaan penonton. c. Kata Budaya “Kata budaya” adalah kata yang terdapat dalam kebudayaan yang melatari film yang bersangkutan. Misalnya, dalam bahasa Inggris (Amerika) ada kata halloween, thankgivings day, quarter (sistem pendidikan tinggi): di Inggris ada shrove Tuesday (di Inggris festival pra-Kristen untuk menyambut perubahan iklim dengan cara membuat kue dan berkumpul bersama) yang seringkali tidak dapat diterjemahkan. Ada pula kata-kata budaya yang dapat diterjemahkan, tetapi konteksnya harus dikenali. Misalnya, dalam bahasa Inggris ada pumpkin yang tergantung dari konteksnya dapat berarti ‘labu’ atau ‘waluh’ dan biasanya berkaitan dengan halloween, atau dapat pula berarti panggilan akrab seorang ayah kepada anak perempuannya. Dalam hal terakhir ini, tidak dapat digunakan padanan Waluh atau Labu. Barangkali kita dapat menggunakan kata nak, sayang, upik atau genduk? Teknik ini termasuk modulasi. Ini juga harus dipertimbangkan. Kata-kata biasa pun menjadi ungkapan budaya kalau diujarkan dalam konteks tertentu. Misalnya My God, no! = Ya Tuhan, jangan (seringkali no diterjemahkan dengan tidak), atau Ou la la! = Ya Allah! atau Ya salam! (di Malaysia Alamak tergantung pada konteksnya. Masih banyak kata budaya yang dapat dibicarakan di sini, juga dari bahasa dan kebudayaan asing lain. Namun, cukup kiranya apa yang diuraikan itu sebagai contoh bagaimana sulitnya memperoleh padanan kata-kata budaya tertentu. Sekali lagi konteks komunikasi merupakan hal yang harus diperhatikan. d. Laras dan Dialek Laras (disebut juga register) adalah variasi (atau ragam) bahasa yang menentukan makna suatu kata akibat konteks penggunaannya. Kata seperti entertainment dapat berarti hiburan (dalam laras perhotelan dan pariwisata), atau acara bebas atau acara kesenian (dalam laras konferensi nasional atau internasional). Kata the bar dalam laras hukum sulit diterjemahkan (mungkin, kalangan pengacara, tergantung konteksnya), sedangkan dalam laras perhotelan = bar. Kata cheese dalam laras pemotretan dapat diterjemahkan dengan ketawa atau senyum, sedangkan dalam laras masak-memasak = keju. Kata chips dalam
126
laras masak-memasak dapat diterjemahkan dengan kue kering (chocolate chip) atau keripik kentang (fish and chips), tetapi dalam laras komputer sementara ini masih belum ada terjemahannya sehingga tidak diterjemahkan. Dialek terdiri atas dialek geografis dan dialek sosial. Dialek geografis adalah variasi kebahasaan berdasarkan perbedaan asal geografis. Dalam bahasa Inggris Amerika dan variasi dialektal Texas atau Mid-West. Dalam bahasa .Prancis ada variasi dialek utara yang berbeda dengan variasi dialektal selatan. Begitu pula dalam bahasa Jerman, ada perbedaan antara dialek utara dan dialek selatan. Variasi itu, dalam bahasa lisan, cirinya adalah ucapannya. Kadang-kadang juga ada kata-kata tertentu yang khas bagi dialek tertentu. Dialek seperti di Amerika sulit diberi padanan dalam bahasa Indonesia. Mungkin dalam bahasa Indonesia kita dapat berbicara tentang variasi dialektal Jawa, Batak, atau Ambon, yang ciri utamanya terlihat pada fonologi, struktur sintaktis, atau pilihan kata. Jenis dialek terdapat dalam bahasa Jawa yang membedakan bahasa jawa Surabaya atau Jawa Timur, Tegal, Banyumas, Yogyakarta, dan Solo. Dalam bahasa Melayu kita dapat membedakan dialek Betawi, Manado, Ambon, dan Sulawesi Selatan. Kesulitan timbul apabila tokoh yang menggunakan dialek ini memainkan peran seorang yang jahat. Jika dipadankan dengan salah satu dialek bahasa Indonesia tentunya dapat menyinggung perasaan suku bangsa yang dialeknya dijadikan padanan. Oleh karena itu, dialek seringkali tidak diterjemahkan dengan dialek lagi dalam sulih suara, tetapi dengan bahasa baku. Ini membuat hasil sulih suara menjadi tidak wajar (bahasa Indonesianya tidak sesuai dengan situasi dialog tidak formal). Dialek sosial adalah variasi kebahasaan akibat perbedaan kelompok sosial. Dalam banyak bahasa asing (Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol) selalu ada perbedaan, khususnya ucapan, tetapi juga ungkapan, antara kelompok sosial di “bawah” dan di “atas”, antara mahasiswa dan dosen, antara laki-laki dan perempuan. Meskipun bahasa Indonesia juga memiliki variasi berdasarkan dialek sosial, sulit untuk memperoleh padanan yang sesuai karena tidak selalu sama dasar perbedaannya. Namun, kita dapat mengidentifikasi perbedaan antara bahasa Indonesia baku dan bahasa gaul. Bahasa gaul adalah dialek sosial. Salah satu contoh adalah dialek sosial “bawah” di Amerika, yaitu He ain’t my boss no more. Apa padanannya dalam bahasa Indonesia? Jika diterjemahkan dengan Dia bukan bos saya lagi, ciri sosialnya masih juga belum kelihatan. Salah satu pilihan adalah Dia bukan bos kita lagi. Apakah saya dapat diganti dengan gue atau kita? Sangat penting untuk kita semua mempelajari ciri-ciri sosial variasi bahasa Indonesia agar dapat mengalihkan situasi sosial budaya secara verbal dari bahasa asli ke dalam bahasa Indonesia dalam sulih suara. Ini adalah lahan penelitian yang masih belum banyak digarap oleh para pakar bahasa. 2. Penyelarasan Naskah Penyelarasan naskah menuntut kemampuan memahami benar tidaknya penerjemahan. Jika hasil penerjemahan baik, tentunya pekerjaan penyelarasan naskah menjadi lebih berat. Penyelaras naskah harus mampu menemukan terjemahan yang tepat bagi situasi sosial budaya yang sepadan dalam bahasa Indonesia dan berterima di kalangan masyarakat penonton.
127
Namun, tidak hanya itu tugas penyelaras naskah. Ia harus mampu menyesuaikan penerjemahan dengan gerak bibir (lip sync) tokoh yang berbicara, jika hal itu tidak dilakukan oleh penerjemah. la harus menulis kembali terjemahan dengan kata-kata lain yang sesuai dengan gerak bibir dan waktu penurunan. Tidak akan semua jenis kegiatan penyelarasan naskah akan diuraikan di sini. Yang penting adalah perbedaan tugas penyelarasan naskah dengan penerjemahan. Proses penerjemahan dimulai dengan pemahaman isi dan latar film secara global. Kemudian baru hal-hal yang berkaitan dengan bahasa dan latar sosial budayanya digarap. Untuk efisiensi, penerjemahan dilakukan dengan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan di atas. Penyelarasan naskah dilakukan dengan dasar yang sama dengan penerjemahan. Dalam proses penerjemahan teks bukan film, pekerjaan penyelarasan teks dilakukan oleh seorang reviser. Namun, dalam proses sulih suara film penyelarasan naskah berarti juga menyelaraskan naskah terjemahaan dengan situasi film, khususnya gerak bibir (lip sync) dan waktu pengujaran. Ini adalah kegiatan khusus yang tidak ditemukan dalam proses penerjemahan biasa. Dalam subtitling penyelarasan ini mencakupi kegiatan menyesuaikan teks dengan ruang pada layar dan tidak boleh melebihi dua baris. Jadi, pekerjaan penyelarasan naskah dalam rangka sulih suara lebih ke arah bahasa Indonesianya, yang tidak sekadar baik, tetapi terutama benar ditinjau dari segi sosial budaya dan sinematografis. 3. Pengisian Suara Dalam proses sulih suara ada kegiatan pengisian suara yang merupakan bagian yang memberikan hasil akhir yang ditonton dan didengarkan oleh pemirsa. Dalam kenyataan, proses ini dilakukan di bawah arahan pengarah dialog yang juga harus menguasai segi kebahasaannya. Namun, kegiatan pengarahan dialog tidak akan secara khusus dibicarakan di sini. Proses pengisian suara dibicarakan hanya dari segi kebahasaannya. Secara teknis sinematografis suana harus sesuai dengan karakter suara tokoh yang disulih. Di situ kita berhadapan dengan pelaksanaan casting pengisi suara. Di Prancis dan Italia, misalnya, para pengisi suara adalah artis profesional yang biasa main dalam film layar besar atau sinetron, atau dalam teater. Ditinjau dari segi kebahasaan, pengisi suara harus pula memahami segi sosial budaya yang diuraikan di atas. Ini akan menentukan segi pengujarannya yang harus sesuai dan wajar (benar) ditinjau dari konteks sosial budaya itu. Pengisi suara harus memahami benar tokoh dan situasi sosial budaya yang melatarinya. Dalam hubungan ini, kemampuan mengatur artikulasi sangat penting. Ia harus seperti seorang dalang yang dapat menuturkan kalimat-kalimatnya dengan karakter sosial dan intonasi serta tekanan yang tepat. Inilah segi kebahasaan yang harus diterapkan dalam proses pengisian suara. Pengawasan dan pengarahan proses pengisian suara dilakukan oleh pengarah dialog. Dalam sulih suara di Indonesia, kita masih melihat banyak kelemahan, terutama dalam lip sync dan karakter suara tokoh.
128
4. DAMPAK TERJEMAHAN FILM Pada bagian terakhir, ada baiknya jika dibicarakan bagaimana segi kebahasaan sebuah film memberikan dampak kepada penontonnya. Jadi, aspek luar-bahasanya. Siapa yang menerima dampak dari film, khususnya dampak verbal? Ini tergantung dari bagaimana bahasa film tersebut dipahami oleh penontonnya. Ada tiga kemungkinan khalayak sasaran sebuah film asing, yaitu: 1. Khalayak yang dapat memahami bahasa asli film tersebut; 2. Khalayak yang dapat memahami bahasa film tersebut melalui terjemahan tertulis (subtitle); 3. Khalayak yang lebih dapat memahami bahasa film tersebut jika melalui sulih suara (dubbing). Khalayak jenis pertama jumlahnya terbatas, terutama kelas menengah yang terpelajar dan yang menguasai bahasa asing. Khalayak jenis kedua jumlahnya jauh lebih banyak karena ditambah dengan mereka dari kalangan menengah bawah yang mampu membaca dengan cepat. Sedangkan khalayak yang ketiga jauh lebih banyak dan terdiri atas hampir seluruh masyarakat kita, remaja dan dewasa, yang tidak dapat membaca cepat. Penelitian di bidang ini sejauh ini belum dilakukan. Namun pembagian kelompok khalayak yang memahami film asing itu sudah dapat kita perkirakan atas dasar logika bahwa jumlah yang menguasai bahasa asing lebih terbatas dan lebih kritis karena tingkat pendidikannya daripada mereka yang hanya dapat memahami berdasarkan terjemahan tertulis, apalagi berdasarkan sulih suara. Jadi, masalah sulih suara sebenarnya bukan sekadar masalah bahasa, tetapi masalah dampak suatu film pada khalayak tertentu. Dampak itu tidak hanya melalui segi visualnya tetapi juga melalui segi verbalnya, yakni sulih suara seperti telah dikemukakan tadi. Dengan sulih suara, kendala bahasa dikurangi menjadi hampir nol sehingga film yang bersangkutan lambat laun dirasakan seperti bukan film asing. Akhirnya, pesan dalam film itu bisa menjadi milik masyarakat luas dengan proses yang seringkali tanpa kritik karena kebanyakan penontonnya dari kalangan yang paling kurang terpelajar, dan dengan demikian lebih mudah diserap. Dalam hal pengaruh film-film Amerika yang melanda masyarakat kita, seperti disebutkan di atas, meskipun pengaruhnya ada, seluruh tokohnya masih dianggap tokoh asing karena dialognya tidak disulihsuarakan dengan bahasa Indonesia. Namun, film Mandarin dan India pada umumnya disulihsuarakan. Bahkan praktis semuanya, karena bahasanya tidak dikenal secara luas di Indonesia. Jadi, salah satu dampak budaya yang mudah dilihat adalah timbulnya tokoh-tokoh panutan yang, dalam hal film-film bersulih suara, cenderung mudah diadopsi sebagai tokoh kita sendiri dan bukan lagi tokoh asing. Dalam hal ini dapat kita masukkan sulih suara film-film kartun Jepang yang tokoh-tokohnya sudah menyatu dengan dunia anak-anak Indonesia (seperti Dora Emon, Shizuka). Hal lain yang timbul dari sulih suara adalah masalah ekonomi. Film-film asing dapat menyaingi film-film Indonesia dalam televisi karena (1) mungkin dianggap lebih memenuhi selera banyak pemirsa, dan (2) pemahaman film asing dengan sulih suara lebih mudah sehingga posisinya sama dengan film Indonesia. Tentu saja ini dapat mengakibatkan meruginya sanggar-sanggar produksi yang menghasilkan film sinetron. Namun,
129
hal ini seharusnya menjadi pendorong bagi sanggar produksi sinetron kita untuk menghasilkan film yang baik. Banyaknya sinetron Indonesia tentunya diharapkan menciptakan banyak tokoh asli yang dikenali dan disenangi masyarakat luas. Tokoh asli itu tentunya harus bersaing dengan tokoh asing yang diimpor. Perkembangan terakhir memperlihatkan jumlah film sinetron asli makin banyak sehingga kekhawatiran untuk kalah bersaing dengan film Mandarin dan India yang dilaksanakan menjadi berkurang. Namun, kartun masih tidak memiliki saingan. Kita tidak memiliki film kartun atau animasi sendiri sehingga tidak ada tokoh yang masuk ke dalam dunia anak-anak kita. Padahal ada tokoh Unyil dan Pak Ogah, tetapi sekarang sudah tiada. 5. KESIMPULAN Sebenarnya apa yang terjadi selama ini dalam hal sulih suara film adalah salah satu gejala masuknya arus globalisasi ke dalam masyarakat kita yang akan makin dipermudah dengan penggunaan bahasa Indonesia hasil penyulihan suara. Mereka yang keberatan dengan sulih suara film tentunya melihat dari seginya masing-masing, yakni, segi budaya atau segi ekonomi. Semuanya ini merupakan tantangan bagi kita. Oleh karena itu, di sini disarankan agar: 1. Meningkatkan kemampuan tenaga kebahasaan yang terlibat dalam proses penyulihan suara, khususnya para penerjemah, dan terutama para penyelaras naskah. Dalam hal ini peran Pusat Bahasa sebenarnya sangat penting. 2. Dalam hal mengantisipasi masalah dari segi budaya, perlu dipilih film yang sesuai untuk kebaikan masyarakat pemirsa secara umum. Kemudian, ditentukan apakah baik untuk disulihsuarakan atau lebih baik hanya diberi terjemahan tertulis saja (subtitle). Juga perlu dipertimbangkan jam penayangannya. 3. Ditinjau dari segi ekonomi, ini merupakan tantangan bagi para pembuat sinetron agar dapar menandingi yang sekarang disulihsuarakan itu. Ini merupakan “latihan” bagi kita dalam menghadapi abad mendatang di mana kita masuk ke dalam zaman liberalisasi perdagangan. Para produsen film sinetron kita harus bekerja lebih keras untuk menghasilkan film yang baik, misalnya yang tanpa dibebani oleh “pesan-pesan” yang sifatnya menggurui; yang memiliki teknik sinematografis dan cerita yang orisinal; atau yang menghasilkan tokoh-tokoh yang dapat “hidup” dalam masyarakat kita (seperti halnya beberapa film asing). 4. Perlu dihidupkan film kartun dan animasi yang berisi tokoh dan cerita dari Indonesia sendiri. Upaya sulih suara harus disertai dengan peningkatan kualitas terjemahan yang berkaitan dengan lip sync dan kualitas sumber daya manusia penyulih suara serta pemilihan “warna” suara dan karakteristik tokoh yang sesuai. Tanpa memenuhi persyaratan kualitas di atas, upaya sulih suara akan menghasilkan film yang buruk. 6.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, R. dan A Gilman. 1970. “The Pronouns of Power and Solidarity” dalam J.A. Fishman (Ed.). Readings in the Sociology of Language: 252-275. Den Haag: Mouton. Catford, J.C. 1974. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press. Hasibuan, Sofia Rangkuti. 1991. Teori Terjemahan dan Kaitannya dengan Tata Bahasa Inggris. Jakarta: Dian Rakyat. Hatim, Basil dan Ian Mason. 1992. Discourse and the Translator. London: Longman.
130
Hatim, Basil dan Ian Mason. 1997. The Translator as Communicator. London: Routledge. Hatim, Basil. 2001. Teaching and Researching Translation. London: Longman. Hervey, Sándor dan Ian Higgins. 1992. Thinking Translation. New York: Routledge. Hoed, Benny H. 1975. “Nasib Anda di Tangan Siapa?” alam Tempo, 25 Oktober: 18. Hoed, Benny H. 2006. Teori dan Masalah Penerjemahan. Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: ProDC. Hoed, Benny H., Tresnati S. Solichin, dan Rochayah M. 1993. Pengetahuan Dasar Tentang Penerjemahan. Jakarta: Pusat Penerjemahan FSUI. Hoed, Benny. Semiotika & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu. Hornby, Marry Snell. 1995. Translation Studies. An Integrated Approach. Amsterdam: Jon Benjamin Publishing Co. Léderer, M. 1994. Latraductionaujord’hui. Vanves: Hachette FLE. Larson, Mildred L. 1989. Meaning Based Translation, A Guide to Cross-language Equivalence. Terj. Kencanawati Taniran. Jakarta: Penerbit Arcan. Machali, Rochayah. 2009. Pedoman bagi Penerjemah. Bandung: Mizan Pustaka. Moentaha, Salihen. 2008. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc Nababan, Rudolf M. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. New York: Pergamon. Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. New York: Prentice Hall. Nida, E.A. dan Charles R. Taber. 1974. The Theory and Practice of Translation. Leiden: E.J. Brill. Venuti, Lawrence. 2004. The Translation Studies Reader. New York: Routledge. Vermeer, H.J. (1986) 2000. Voraussetzungen für eine Translationtheorie: Enige Kapitel Kultur-Und Sparachtheorie. Heidelberg: Groos. Widyamartaya, A. 1989. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Williams, Henny dan Andrew Chesterman. 2002. The MAP. A beginner’s Guide to Doing Research in Translation Studies. Manchester: St. Jerome Publishing.
131
SEBARAN EMISI GAS BUANG KAPAL DI SELAT MADURA AKIBAT AKTIFITAS PELAYARAN. Mohammad Danil Arifin ST.MT, Ir. Endro Prabowo M.Sc Jurusan Teknik Sistem Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Universitas Darma Persada email :
[email protected]
ABSTRAK Selat Madura merupakan salah satu daerah pelayaran yang memiliki lalu lintas terpadat di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh keberadaan Pelabuhan Tanjung Perak sebagai salah satu local hub pergerakan barang di Indonesia disamping Pelabuhan Tanjung Priok. Dengan banyaknya kapal-kapal domestik dan maupun kapal berbendera asing yang melintasi perairan ini akan memberikan dampak terhadap peningkatan emisi gas buang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui emisi, konsentrasi emisi pada beberapa wilayah di shore line Selat Madura akibat kapal-kapal yang beroperasi di perairan tersebut. Hal ini dilakukan dengan melakukan evaluasi kepadatan jalur pelayaran di Selat Madura dengan memanfaatkan data yang diperoleh melalui perangkat Automatic Identification System (AIS). Untuk menampilkan pola pergerakan kapal, mode operasinya dan pengaruh pergerakan kapal terhadap sebaran emisi yang dihasilkannya, data yang diperoleh dari AIS ini selanjutnya diintegrasikan dengan perangkat lunak Geographic Information System (GIS). Metodologi dari Trozzi et.al menjadi dasar penetuan emisi yang dikeluarkan oleh kapal. Dari penelitian ini didapatkan jumlah emisi NOx sebesar 1052.742 kg/jam, SOx sebesar 2712.798 kg/jam, CO2 sebesar 1409.747 kg/jam, CO sebesar 4531.036 kg/jam dan PM sebesar 54.95 kg/jam. Sedangkan konsentrasi emisi NOx, SOx, CO2, CO dan PM terbesar berada di daerah Ujung Kamal dan Banyu Ujuh Madura. Kata kunci : Emisi gas buang, Automatic Identification System (AIS), Geographic Information System (GIS), Selat Madura, Local Hub 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dimana penggunaan kapal sebagai transportasi laut tidak dapat dihindarkan. Indonesia memiliki beberapa perairan dengan lalu lintas yang padat, seperti Selat Madura. Selain merupakan tempat lalu lalang kapal domestik, wilayah ini juga merupakan tempat transit beberapa kapal asing. Telah terjadi peningkatan jumlah kapal dalam 5 tahun terakhir hingga mencapai lebih dari 100%, pada tahun 2010 lalu alur Selat Madura dilintasi 30.000 kapal per tahun, sementara pada tahun 2005 baru ada 14.686 kapal per tahun (Kompas news , 11/03/2011). Semakin banyak kapal yang melewati Selat Madura, maka semakin banyak pula dampak yang diakibatkan, salah satunya adalah polusi udara akibat emisi gas buang 132
dari kapal dimana hal ini dapat meningkatkan level emisi di perairan tersebut serta dapat menyebabkan masalah kesehatan dan lingkungan. Beberapa peneliti sebelumnya (Wang et al., 2007), telah melaporkan adanya permasalahan pada kualitas udara yang berhubungan dengan emisi kapal laut. Lalu lintas kapal laut diperkirakan memiliki peran dalam kematian sekitar 60.000 bayi prematur di seluruh dunia Nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), dan sulfur oksida (SOx) adalah beberapa polutan yang terdapat pada emisi gas buang dari kapal (Wang et al., 2007). Oleh karena itu, Selat Madura yang merupakan daerah pelayaran terpadat kedua setelah Selat Malaka menjadi fokus dalam penyusunan penelitian ini. Untuk itu dilakukan penelitian dengan judul: Sebaran Emisi Gas Buang di Selat Madura Akibat Aktifitas Pelayaran. 1.2 Perumusan Masalah Dengan semakin banyaknya jumlah kapal yang melewati Selat Madura maka semakin padat pula aktifitas yang terjadi di Selat Madura tersebut, dimana hal ini pastinya juga akan memberikan dampak yang cukup berpengaruh terhadap aktifitas kehidupan di sekitar Selat Madura tersebut baik kehidupan sosial ekonomi masyarakat serta dampak terhadap pencemaran udara yang diakibatkan karena aktifitas pelayaran tersebut. Dengan kondisi tersebut dan berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana perhitungan emisi gas buang yang dihasilkan oleh kapal-kapal yang sedang beroperasi di Selat Madura (Hotelling, Cruising, Maneuvering) b. Berapakah jumlah emisi yang dikeluarkan oleh kapal-kapal yang beroperasi di sepanjang daerah shore line Selat Madura. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian antara lain adalah: a) Untuk mengetahui bagaimana perhitungan emisi gas buang yang dihasilkan oleh kapal-kapal yang sedang beroperasi di Selat Madura (Hotelling, Cruising, Maneuvering) b) Untuk mengetahui jumlah emisi yang dikeluarkan oleh kapal-kapal yang beroperasi di sepanjang daerah shore line Selat Madura. 1.4 Manfaat Hasil Penelitian Melalui penelitian mengenai Estimasi Emisi Gas Buang Kapal Menggunakan Integrasi Data Automatic Identification System (AIS) Dan Geographic Information System (GIS) diharapkan kita bisa mengetahui seberapa besar emisi gas buang yang dihasilkan oleh kapal, selain itu juga diharapkan hasil dari penelitian ini bisa menjadi sebagai bahan masukan dan pertimbangan kepada pemerintah ataupun pihak-pihak yang berwenang dalam perumusan suatu kebijakan sehubungan dengan adanya peningkatan suhu bumi secara global untuk menciptakan kondisi “Green and Clean” terutama untuk mengurangi tingkat emisi guna mengurangi adanya efek rumah kaca (Green House Effect) dan menyelamatkan bumi dari adanya perubahan iklim secara drastis “Lets Save Our Earth Now”. 1.5 Lokasi Penelitian
133
Pengerjaan penelitian fokus ke Selat Madura karena Selat Madura adalah daerah terbesar kedua dalam hal transportasi laut di Indonesia. Selain transportasi kapal domestic, di Selat Madura juga terdapat kapal berbendera asing yang transit. Gambar 2. menunjukkan daerah Selat Madura diambil dari Google Earth.
Gambar 1. Lokasi Selat Madura II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AIS (Automatic Identification System) & GIS (Geographic Information System) a. AIS (Automatic Identification System) Automatic Identification System atau AIS adalah suatu sistem pelacakan otomatis yang digunakan pada kapal dan Layanan Pelacakan Kapal atau Vessel Traffic Services (VTS) untuk mengidentifikasi dan menemukan kapal dengan bertukar data secara elektronik dengan kapal lain yang berdekatan dan stasiun VTS. Informasi yang didapat dari AIS berasal dari radar, dimana metode AIS menjadi metode utama menghindari tabrakan di transportasi laut (Altwicker, 2000). b. Geographic Information Ssytem (GIS) Geographic Information System (GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. GIS dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital. Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara
134
2.2 Perhitungan Estimasi Emisi Perhitungan emisi dihitung berdasarkan standar metodologi eropa (MEET), Estimasi emisi mempertimbangkan dua belas kelas kapal yang mempunyai gross tonnage diatas 100 GT Trozzi, et al, data lainnya antara lain faktor emisi, dan spesifikasi parameter kapal seperti konsumsi bahan bakar, tipe mesin, dll. Trozzi, et al, dalam penelitiannya menggunakan perhitungan konsumsi bahan bakar mesin dari setiap jenis kapal diperoleh dari analisis regresi linier konsumsi bahan bakar terhadap tonase kotor seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kelas Kapal dan Faktor Konsumsi Bahan Bakar
Jenis Kapal S e Solid Bulk l Liquid Bulk /Tanker a i General Cargo n Container Ro-Ro Cargo i Passenger t High u Speed Ferry , Inland Cargo Sail Ship e Tugs m Fishing i Other Ships s
Konsumsi Bahan Bakar (ton/day) Dengan Menggunakan Fungsi Gross Tonnage (GT) Cjk = 20.1860 + 0.00049 × GT Cjk = 14.6850 + 0.00079 × GT Cjk = 9.8197 + 0.00143 × GT Cjk = 8.0552 + 0.00235 × GT Cjk = 12.8340 + 0.00156 × GT Cjk = 16.9040 + 0.00198 × GT Cjk = 39.4830 + 0.00972 × GT Cjk = 9.8197 + 0.00143 × GT Cjk = 0.4268 + 0.00100 × GT Cjk = 5.6511 + 0.01048 × GT Cjk = 1.9387 + 0.00448 × GT Cjk = 9.7126 + 0.00091 × GT
i gas buang dihitung dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti mesin dan jenis bahan bakar serta mode operasi dari kapal seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Faktor Emisi Pada Kapal (kg/ton) Engine / Bahan Mode NOx CO CO2 VOC PM SOx Bakar SSD/BFO 87 7.4 3200 2.4 1.2 60 Cruising MSD/BFO 57 7.4 3200 2.4 1.2 60 HSD/MDO 70 9 3200 3 1.5 20 SSD/BFO 78 28 3200 3.6 1.2 60 Manoeu MSD/BFO 51 28 3200 3.6 1.2 60 vering HSD/MDO 63 34 3200 4.5 1.5 20 SSD/BFO 35 99 3200 23.1 1.2 60 Hotelling MSD/BFO 23 99 3200 23.1 1.2 60 HSD/MDO 28 120 3200 28.9 1.5 20 SSD = Slow Speed Diesel Engine BFO = Bunker Fuel Oil PM = Particulate Matter VOC = Volatile Organic Compound MSD = Medium Speed Diesel Engine MDO = Marine Diesel Oil
135
HSD = High Speed Diesel Engine Perhitungan total emisi suatu polutan dari mesin utama ditunjukkan dalam persamaan berikut ini Trozzi,et al ,UNEC/EMEC : Ei = jklmEijklm (1) Eijklm = Sjkm(GT)tjklmFijklm (2) Dimana, i : Polutan j : Jenis bahan bakar k : Pengelompokan kapal l : Tipe mesin m : Mode operasi kapal Ei : Total emisi polutan i Total emisi polutan i saat menggunakan bahan Eijklm : bakar j dengan tipe kapal k dan jenis mesin l pada m Rata-rata emisi faktor polutan i dari bahan bakar j Fijklm : dengan tipe kapal k dan mesin I dalam m Konsumsi harian bahan bakar j oleh jenis kapal k Sjkm (GT) : saat m dengan menggunakan fungsi GT Navigasi dari kapal jenis k dengan tipe mesin l tjklm : yang menggunakan bahan bakar j saat m. Sedangkan untuk mengestimasi konsumsi bahan bakar dari mesin bantu didapatkan dari persamaan dasar seperti yang telah dilakukan Ishida. f = 0,2 x O x L (3) dimana : f : konsumsi bahan bakar (kg/kapal/jam) O : rated output (PS/engine) L : faktor beban (crusing :30%, hotelling (tanker) : 60%, hotelling (other ship) : 40% dan maneuvering 50% III. ANALISA DATA DAN HASIL 3.1 Investigasi Data Data dari AIS ini adalah data berupa.csv dimana berisikan ribuan data kapal sehingga untuk memudahkan dalam menginvestigasi data dari AIS ini penulis menggunakan bantuan perangkat lunak MySQL ver.5.0. Data AIS selama tersebut dimasukkan ke dalam server data dari MySQL seperti terlihat pada Gambar 4.1, sehingga database mengenai data AIS dapat tersimpan dan hal ini lebih memudahkan penulis untuk memanggil data yang diinginkan dengan menuliskan suatu perintah tertentu. Setelah data-data AIS tersebut tersimpan dalam bentuk database maka selanjutnya adalah menentukan bulan terpadat. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan maka didapatkan hasil seperti pada Gambar 2.
136
Gambar 2. Kepadatan Trafik Selat Madura 2010-2011 Selain itu juga dapat diketahui bahwa pada jam 17.00-18.00 terdapat 78 kapal di sekitar Selat Madura.
Gambar 3 Jumlah kapal pada tanggal 22 Oktober 2010 (17.00-18.00)
Tabel 3. Estimasi NOx, CO, CO2, VOC, SOx dan PM berdasarkan type kapal 137
(kg/jam) pada 22 Oktober 2010 jam 17.00-18.00 Type of Ship NOx CO CO2 Kg/hour
VOC
SOx
PM
General Cargo Container Bulk Carrier Passenger Ship Other Tanker Total
0.286 0.215 0.146 44.967 18.271 0.320 64.205
743.612 558.005 379.774 116.798 84.369 830.241 2712.798
14.872 11.160 7.595 2.336 2.382 16.605 54.950
285.051 213.902 145.580 44.772 45.177 318.259 1052.742
1226.959 920.708 626.627 192.716 194.129 1369.898 4531.036
396.593 297.602 202.546 62.292 58.464 392.249 1409.747
Berdasarkan Tabel 3. dan Gambar 4. dapat diketahui bahwa kapal tanker merupakan kapal yang berkonstribusi paling besar emisi NOx, CO, CO2, SOx dan PM dimana masing-masing adalah 318.259 kg/jam, 1369.898 kg/jam, 392.249 kg/jam dan 830.241 kg/jam dan 16.605 kg/jam, kemudian diikuti oleh general cargo dan container pada posisi kedua dan posisi ketiga.
Gambar 4. Estimasi NOx, CO, CO2, VOC, SOx dan PM berdasarkan type kapal (kg/jam) pada 22 Oktober 2010 jam 17.00-18.00 IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan maka kesimpulan sebagai berikut : 1. Jumlah polutan emisi pada trafik densitas terpadat adalah: a) Nitrogen Oksida (NOx) = 1052.742 b) Sulfur Oksida (SOx) = 2712.798 c) Carbon Monoksida (CO2) = 4531.036
138
dapat ditarik beberapa
kg/jam kg/jam kg/jam
d) Carbon Dioksida (CO) = 1409.747 kg/jam e) Particulate Matter (PM) = 54.950 kg/jam 2. Jumlah konsentrasi tertinggi polutan emisi pada trafik densitas terpadat berada di daerah sekitar Banyu Ujuh dan Ujung Kamal dengan konsentrasi emisi yaitu : a) Nitrogen Oksida (NOx) = 1.008 μg/m3 b) Sulfur Oksida (SOx) = 2.48 μg/m3 c) Carbon Monoksida (CO) = 1.368 μg/m3 d) Carbon Dioksida (CO2) = 4.77 μg/m3 e) Particulate Matter (PM) = 0.0594 μg/m3 DAFTAR PUSTAKA Altwicker, E.R., Air Pollution , Lewis Publisher, 2000. Bracken, C., Carnemolla, A., Ritter, C., Zielke, E., An Analysis of Exhaust Emission from a Large Ship Docked in Humbolt Bay, ENGR 416- Transport Phenomena, 2007 Cimorelli AERMOD : Description Of Formulation. United States Environmental Protection Agency (EPA), 2004.- http://www.epa.com/AERMOD/EPA-454R03-004.pdf. Flang, Richard,C and Seinfeld J.H. Fundamental Of Air Pollution Engineering. New Jersey : Prentice Halls, 1988. Godish, T. Air Quality. Ball State University, Muncie, Indiana : Lewis Publishers, Inc., 1985. Ishida,T., Emission of Estimate Methods of Air Pollution and Green House Gases from Ships, J. Jap. Inst. Mar. Eng., 37(1), 2003. Jalkanen, JP [et.al.] . Modelling System for the Exhaust Emissions Of Marine Traffic and Its Aplication In the Baltic Sea Area. J. Atmos. Chem. Phys., 2009. 15229 - 15373 : Vol. IX. Pingjian, L., Kobayashi, E., Ohsawa, T., Sakata, M., Case Study on Health Assessments Related to a Modal Shift in Transportation, Journal of Marine Science and Technology-JASNACE, 2006. Pitana, T., Kobayashi, E., Wakabayashi, N., Estimation Of Exhaust Emission Of Marine Traffic Using Automatic Identification System Data (Case Study : Madura Strait Area, Indonesia), OCEANS 2010 LEEE Sydney 24-27 May 2010, CFP100CF–CDR 978-1-4244-5222 Library Of Congress : 2009934926, 2010. Trozzi,C., Vaccaro,R., Methodologies For Estimating Air Pollutant Emission From Ships, Techne Report MEET RF98b, 1998. UNECE/EMEP, Group 8: Other Mobile Sources and Machinery, in EMEP/CORINAIR Emission Inventory Guidebook-third ed., October 2002 Update (Technical Report no.30), 2002. UNECE/EMEP. Group 8 : Other Mobile Source and Machinery, in EMEP/CORRINAIR Emission Inventory Guidebook-third ed. Technnical Report no.30, 2002. Wang, C., Callahan, J., Corbett, J.J., Geospatial Modeling of Ship Traffic and Air Emissions, Proceeding of ESRI International Conference, (2007).
139
KAJIAN KONSTRUKSI FIBERGLASS SEBAGAI LAMINASI PADA LAMBUNG KAPAL BOAT SESUAI STANDAR A Study on Fiberglass Construction As Lamination For Boat According to Standard Rules Shahrin Febrian S.T, M.Si, Swandjiono S.T Fakultas Teknologi Kelautan – Program Studi Teknik Sistem Perkapalan Universitas Darma Persada E-Mail:
[email protected] ABSTRAK Indonesia sebagai negara maritim mempunyai ketergantungan terhadap kapal laut sebagai alat transportasi maupun alat angkut yang berfungsi ekonomis. Dalam hal ini Kapal Boat yang digunakan bertahun-tahun terbuat dari kayu, akan tetapi karena sifat kayu yang mudah lapuk oleh faktor cuaca dan kimia serta membutuhkan perawatan yang memadai maka dengan seiring perjalanan waktu maka muncullah bahan fiberglass yang berupa laminasi FRP (Fiber Reinforced Plastics) sebagai pengganti kayu dimana bahan ini mepunyai banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh kayu sehingga kapal berbahan FRP ini mulai mendapat tempat di dunia perkapalan khususnya para produsen kapal. Namun pada survey yang dilakukan pada beberapa galangan kapal tahun 2009 menunjukkan bahwa desain konstruksi dan proses laminasi lambung kapal fiberglass umumnya tidak mempunyai standar yang jelas sehingga akan menimbulkan resiko kecelakaan yang cukup signifikan. Untuk meminimalisir hal tersebut maka produksi kapal yang berbasiskan pada laminasi FRP ini haruslah mengacu kepada standar yang ada seperti ISO, aturan BKI yang melibatkan persyaratan yang ketat seperti tensile test, bending test dan lain sebagainya. Kata kunci: produksi kapal, laminasi FRP, pengujian tarik, pengujian tekuk 1. Pendahuluan Negara Indonesia adalah negara maritim dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat berlimpah. Bahkan bila diperhatikan lebih lanjut kekayaan flora dan fauna Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Oleh sebab itu eksploitasi terhadap sumbersumber tersebut sangatlah berlebihan dan nyaris tidak terkendali, khususnya kayu yang dipakai sebagai bahan baku kapal boat para pencari ikan di sungai maupun di laut. Dalam keadaan perkembangan kebutuhan manusia yang sangat meningkat seperti sekarang ini, sangat tidak bijak ketika kita semua terlalu bergantung pada alam. Dalam jangka waktu tertentu alam akan rusak oleh manusia jika hal itu terus dibiarkan. Dalam memenuhi kebutuhan hidup tersebut sebuah perusahaan atau produsen harus memiliki terobosan cerdas agar dapat menghasilkan produk yang tidak mengganggu kesetabilan alam. Bahan baku industri sangat penting tentunya dalam kelangsungan hidup manusia baik untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri ataupun kelestarian alam. Oleh sebab itu para produsen dituntut harus mampu menciptakan bahan baku industri yang tidak bergantung dan tidak mengganggu kelestarian alam atau energi yang terbarukan. Fiberglass (serat kaca) adalah salah satu terobosan yang dapat diaplikasikan dalam bahan baku pembuatan sebuah produk khususnya pada lambung kapal. Karena selain relatif mudah, fiberglass juga tidak menimbulkan polusi dan merusak alam.
140
Dalam hal ini Kapal Boat yang digunakan bertahun-tahun terbuat dari kayu, akan tetapi karena sifat kayu yang mudah lapuk oleh faktor cuaca dan kimia serta membutuhkan perawatan yang memadai maka dengan seiring perjalanan waktu maka muncullah bahan fiberglass yang berupa laminasi FRP (Fiber Reinforced Plastics) sebagai pengganti kayu dimana bahan ini mepunyai banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh kayu sehingga kapal berbahan FRP ini mulai mendapat tempat di dunia perkapalan khususnya para produsen kapal. Namun pada survey yang dilakukan pada beberapa galangan kapal tahun 2009 serta tingginya tingkat kecelakaan pada kapal fiberglass (Ma’ruf, 2009) menunjukkan bahwa desain konstruksi dan proses laminasi lambung kapal fiberglass umumnya tidak mempunyai standar yang jelas sehingga akan menimbulkan resiko kecelakaan yang cukup signifikan. Oleh sebab itu maka penulis ingin lebih membahas lebih dalam mengenai fiberglass sebagai bahan pengganti kayu dalam pembuatan lambung kapal kapal boat yang tidak hanya ramah lingkungan namun juga aman dalam penerapan di lapangan. 1.2 Perumusan Masalah Dari pemaparan latar belakang di atas, penulis merumuskan ada beberapa hal yang ingin dipelajari yaitu mengenai Fiber itu sendiri, pengolahan dan pemanfaatannya serta standar-standar pengujian yang harus dilakukan menurut standar lokal maupun internasional agar memenuhi persyaratan keamanan yang ditetapkan.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. Mempelajari tentang fiberglass (FRP) lebih mendalam serta aplikasinya.. 2. Mengetahui cara pembuatan lambung kapal boat dengan fiberglass. 3. Memahami standar-standar yang berkaitan dengan pembuatan lambung kapal boat dengan fiberglass.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini secara umum adalah dapat memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai fiberglass dan secara khusus dapat memberikan informasi yang benar mengenai pembuatan kapal fiberglass sesuai standar dalam memenuhi persyaratan keselamatan. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Airboat m Fiberglass (kaca serat) atau sering diterjemahkan menjadi serat gelas adalah kaca cair yang ditarik menjadi serat tipis dengan garis tengah 0,005 mm – 0,01 mm. Serat ini dapat dipintal menjadi benang atau ditenun menjadi kain, yang kemudian diresapi dengan resin sehingga menjadi bahan yang kuat dan tahan terhadap korosi sehingga dapat digunakan laminasi pada badan mobil, bangunan kapal, tangki dan lain sebagainya. Secara umum Fiberglass juga digunakan sebagai elemen utama dalam penyusunan elemen berlapis atau composite (komposit) yang dikenal juga sebagai Glass Reinforced Plastic (FRP) dan Glass Reinforced Epoxy (GRE) atau disebut juga fiberglass secara umum. Pembuat gelas dalam sejarahnya telah mencoba banyak eksperimen dengan gelas giber, tetapi produksi masal dari fiberglass hanya dimungkinkan setelah majunya mesin. Pada 1893, Edward Drummond Libbey memajang sebuah pakaian di World Columbian
141
Expositionmenggunakan glass fiber dengan diameter dan tekstur fiber sutra. Yang sekarang ini dikenal sebagai “fiberglass”, diciptakan pada 1938 oleh Russell Games Slayter dari Owens-Corning sebagai sebuah material yang digunakan sebagai insulasi. Dia dipasarkan dibawah merk dagang Fiberglas. Pada umumnya bentuk dasar suatu bahan komposit adalah tunggal dimana merupakan susunan dari paling tidak terdapat dua unsur yang bekerja bersama untuk menghasilkan sifat-sifat bahan yang berbeda terhadap sifat-sifat unsur bahan penyusunnya. Dalam prakteknya komposit terdiri dari suatu bahan utama (matrix) dan suatu jenis penguatan (reinforcement) yang ditambahkan untuk meningkatkan kekuatan dan kekakuan matrik. Penguatan ini biasanya dalam fiber (serat). 2.1
Sistem Fiberglass ************************************ Resin rich layer ++++++++++++++++++++++++ “E” Glass mat ************************************ Resin rich layer Gbr.2.1 Contoh Komposit Sederhana Pada gambar 2.1 adalah elemen berlapis atau komposit sederhana yang terdiri dari 2 lapisan resin dan 1 lapisan glass dimana: - “E” Glass Mat menambah flexural strength dan toughness. - Resin Rich Layer memberikan kemampuan terhadap UV serta weathering performance. Sebagai tambahan penjelasan dari keterangan di atas, maka untuk penguat (reinforcement) dapat dianalogikan glass sebagai “tulang” dan resin sebagai “daging”. Dalam hal ini “E” Glass Mat merupakan chopped strand mat yang tersusun secara acak (random) yang artinya fibre glass dipotong-potong menjadi mat atau lembaran oleh binder agar memberikan physical properties yang sama di setiap bagian tanpa menghiraukan arah dari material yang akan diaplikasikan sehingga memberikan sifat adhesive yang baik antara resin dan glass.
2.2
Konstruksi Fiberglass Istilah fiberglass itu adalah penyederhanaan istilah yang terdiri dari dua kata yaitu ‘fiber’ yang artinya serat dan ‘glass’ yang artinya kaca. Sesungguhnya fiberglass adalah salah satu jenis dari bahan komposit yang merupakan paduan dari dua bahan yang mempunyai sifat fisika dan kimia yang berbeda dimana perbedaan tersebut pun masih dapat terlihat secara mikroskopik maupun makroskopik dalam paduan akhir material komposit tersebut. Beberapa penyebutan untuk Fiberglass yang sudah secara umum dipakai saat ini adalah sebagai berikut:
Fiberglass Reinforced Plastic (FRP), yang jika diterjemahkan bunyinya adalah plastik yang diperkuat oleh serat kaca. Glass-fiber Reinforced Plastic (GRP), yang jika diterjemahkan bunyinya adalah juga plastik yang diperkuat oleh serat kaca.
142
Fiber-reinforced Plastic atau Fiber-reinforced Polymer (FRP), yang jika diterjemahkan bunyinya adalah plastik atau polymer yang diperkuat oleh serat.
Melihat pemakaian bahan komposit di kapal boat, maka sebenarnya isitlah yang paling tepat adalah istilah FRP yang maksudnya adalah Fiber Reinforced Plastic atau Fiber Reinforced Polymer. Untuk lebih sederhana dan mudah dipahami, maka isitlah FRP yang akan digunakan adalah untuk Fiber-reinforced Plastic karena secara umum material polymer juga banyak dikenal sebagai plastik karena walaupun karet misalnya, juga termasuk salah satu material polymer oleh sebab itu penggunaan istilah tersebut kurang spesifik. Plastik di dalam konstruksi FRP ini dalam wujudnya ada dalam bentuk resin cair (umumnya jenis polyester, vinylester dan epoxy), sedangkan seratnya bisa dibuat dari bahan gelas (umumnya jenis E-glass), karbon, Kevlar (serat sintetis aramid), dan lain-lain. Sedangkan istilah fiberglass pada boat sebaiknya hanya digunakan jika bahan kompositnya memang terdiri dari serat kaca dan plastik. 2.3
Metodologi Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian ini, maka penulisan penelitian ini bersifat eksploratif dan deskriptif. Hal tersebut dilakukan karena penulisan laporan ini hanya bersifat kajian tanpa meibatkan pengujian sample. Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan, wawancara dan internet. Untuk lebih jelasnya mengenai diagram alir penelitian dapat dilihat di bawah sebagai berikut: START
Pengumpulan data dari studi kepustakaan, wawancara dan internet
Pembahasan tentang fiberglass, konstruksi kapal fiberglass serta standar baku mengenai kapal fiberglass
Kesimpulan dan Saran
END Gbr.2.2 Diagram Alir Penelitian
143
3.
Rancang Bangun Konstruksi Fiberglass Sebagai bahan komposit, FRP terdiri dari bahan dasar utama sebagai berikut:
Serat penguat: kaca (E-glass), karbon, Kevlar (serat sintetis aramid), bambu, dll. Resin (cair) : polyester, vinylester dan epoxy Resin (cair) gelcoat : polyester, vinylester dan epoxy
Dengan bahan penunjang sebagai berikut:
Katalis (MEKP, methyl ethyl ketone peroxide) Pengeras (hardener) untuk resin epoxy Pewarna (pigment) Pengental (filler)
Konstruksi FRP dibuat dengan mencampurkan serat penguat dan resin dengan menggunakan cetakan yang sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Dimana konstruksi FRP terdiri dari paduan serat penguat dan resin sebagai dua material utama yaitu:
Serat penguat: sebagai kekuatan konstruksi. Resin konstruksi: sebagai perekat serat penguat yang memberikan kekakuan bentuk dan juga kekedapan air di kapal.
Dengan kata lain konstruksi FRP tidak bisa dibuat hanya dengan hanya fiber saja, demikian juga kalau hanya dengan resin saja karena tidak akan ada kekuatannya. Jadi di sini dapat dilihat bahwa dalam konstruksi FRP, fiber penguat berfungsi sebagai pemberi fungsi kekuatan dan resin sebagai pemberi fungsi kekakuan bentuk dan kekedapan air. Ilustrasi konstruksi FRP dibanding dengan konstruksi komposit pada beton bertulang baja dapat dilihat seperti gambar di bawah:
Gbr.3.1 Ilustrasi Konstruksi Beton Bertulang Baja
144
Pada konstruksi beton bertulang baja, dapat dilihat bahwa semen adalah sebagai pemberi fungsi kekakuan bentuk dan tulangan baja berfungsi sebagai pemberi fungsi kekuatan.
Gbr.3.2 Ilustrasi Konstruksi FRP Sedangkan pada konstruksi FRP, dapat dilihat bahwa resin adalah sebagai pemberi fungsi kekakuan bentuk (dan juga kekedapan air pada kapal boat) seperti halnya semen pada konstruksi beton bertulang baja dan lapisan serat penguat berfungsi sebagai pemberi fungsi kekuatan seperti halnya tulangan baja pada konstruksi beton bertulang baja. Mengenai bentuknya, konstruksi FRP bisa dibentuk menurut cetakan sesuai keinginan. Mengenai wujud dari material penguat dari konstruksi FRP bisa dalam bentuk:
Chopped Strand Mat (CSM); berwujud sebaran serat yang relatif pendek dan acak. Biasanya hadir dalam kode yang menyebutkan tiga angka di belakang CSM, contoh CSM 300. Artinya adalah CSM dengan kepadatan 300 gram per meter persegi (300 gr/m2). Woven Roving (WR); berwujud seperti anyaman dengan kelompok serat panjang yang relatif tebal. Biasanya hadir dalam kode yang menyebutkan tiga angka di belakang WR, contoh WR 600. Artinya adalah WR dengan kepadatan 600 gram per meter persegi (600 gr/m2). Multi Axial; berwujud seperti anyaman dengan arah serat memanjang, melintang dan juga menyilang. Fiber Cloth; berwujud seperti kain tipis. Jadi untuk selanjutnya di tulisan ini, istilah fiberglass akan diganti dengan FRP agar lebih tepat penggunaannya.
145
3.1
Konstruksi FRP Pada Kapal Boat Konstruksi FRP di kapal boat yang baik adalah yang memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut :
Lapisan FRP yang memberikan kekuatan yang memadai; kekuatan di konstruksi FRP adalah terletak pada susunan serat penguat (jumlah lapisan, jenis serat penguat, dan pengaturan susunannya) dan bukan karena ketebalannya. Lapisan FRP yang tebal tapi disusun dari resin dan serat penguat yang tidak tepat serta pengerjaan yang sembarangan akan menghasilkan konstruksi yang tebal, berat dan lemah dalam kekuatan. Kekedapan air yang baik; kekedapan air diberikan oleh penggunaan resin yang tepat (jenis dan cara pencetakan) akan menentukan kekedapan air tersebut. Ketahanan cuaca yang baik; ketahanan cuaca, terutama ketahanan terhadap sinar ultra violet dari matahari yang diberikan oleh penggunaan gelcoat yang tepat (jenis dan cara pelapisan). Kesatuan antar lapisan yang kuat; konstruksi FRP terdiri dari beberapa lapisan paduan resin dan serat penguat. Proses pengerjaan yang tidak tepat tidak akan memberikan kesatuan antar lapisan yang kuat sehingga bahaya delaminasi (pengelupasan sambungan antar lapisan) mengintai. Kesatuan antar komponen konstruksi kapal FRP yang solid; dalam mempersatukan komponen konstruksi kapal FRP, pengikat eksternal diperlukan (lem dan pengikat mekanis seperti baut dan sekrup). Pengikatan-pengikatan tersebut harus menggunakan bahan dan metode pengikatan yang tepat. Kerapian pengerjaan yang baik; jika konstruksi FRP di kapal boat tidak dikerjakan dengan rapi, maka keseluruhan kapal akan tidak enak dipandang dan akan berpengaruh kepada nilai ekonomis kapal tersebut dan juga kenyamanan manusia yang ada diatasnya.
Dalam pembuatan konstruksi FRP untuk kapal boat, pada dasarnya ada tiga jenis pekerjaan utama yaitu:
3.2
Pembuatan cetakan Pencetakan FRP Penggabungan komponen konstruksi (lambung, geladak dan bangunan atas) Penyelesaian akhir
Standar FRP Pada Kapal Boat Standar / Aturan yang dapat diaplikasikan dalam hal ini adalah Aturan BKI (BKI Rules) tahun 2006 dimana pengujian yang disyaratkan adalah uji tekuk dan uji tarik dengan jumlah sampel masing-masing uji adalah 6 buah. Aturan atau Rules ini mengacu pada International Standard (ISO) 14125 (1998) dan ISO 527-4 (1997), dimana Uji tarik bertujuan untuk menentukan nilai tensile strength, fracture strain dan modulus of elasticity, sedangkan uji tekuk bertujuan untuk menentukan nilai bending strength dan modulus of elasticity. Untuk spesimen fiberglass yang menggunakan serat berbentuk mat, nilai minimum yang disyaratkan oleh BKI Rules untuk kedua jenis pengujian tersebut yaitu sebagai berikut:
146
Kuat Tarik (Tensile Strength)
Kuat Tekuk (Bending Strength) Untuk sampel yang menggunakan roving fiber nilai minimumnya adalah sebagai berikut: [ ( )] Dimana: Xmin = nilai minimum yang dibutuhkan Xref = nilai acuan untuk isi volume serat F= 0,4 a = faktor untuk lay-up Dan untuk sampel yang menggunakan carbon fiber nilai minimumnya adalah:
Fiber
4.
Property
α
Xref [Mpa]
0o
0o/90o
0o/±45o
0o/90o/±45o
Carbon Tensile 800 1.0 0.5 0.5 0.4 strength 725 0 5 0 5 Bending 1.0 0.5 0.4 Tabel. 3.1 Nilai Minimum Tensile dan Bending Strength Untuk Carbon0.4 Fiber strength 0 5 5 2 Penutup Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisa data dan pelaksanaan pembuatan lambung airboat pada penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
4.1.
Kesimpulan 1. Kapal Boat berbahan fiber memang relatif lebih mudah untuk diaplikasikan, namun tanpa memenuhi persyaratan atau standar yang berlaku bisa menimbulkan cacat pada kapal yang dihasilkan. 2. Karena kurangnya pengetahuan industri galangan pada umumnya, maka perlu adanya sosialisasi dari BKI agar kapal-kapal yang akan dihasilkan dapat memenuhi standar yang diinginkan.
4.2.
Saran 1. Agar pembahasan dan analisa yang dikemukakan lebih mendalam ada baiknya pengambilan sampel untuk diuji. 2. Pengujian bukan hanya dari kekuatan saja, namun juga dari komposisi dari fiberglass itu sendiri.
5. Daftar Pustaka International Organization for Standardization (ISO) 14125 (1998), Fiber Reinforced Plastic Composites Determination of Flexural Properties. International Organization for Standardization (ISO) 527-4 (1997), Plastic Determination of Tensile Properties. BKI Rules For Classification and Surveys (Vol. I) 2012 147
BKI Rules For Rules For Hull (Vol. II) 2009 BKI Rules For Fiberglass Reinforced Plastic Vessels (1996) Callister J.r, William D., Materials Science and Engineering Fourth Edition. John Wiley & Sons, Inc. New York 1997 BKI Rules For Non-Metallic Materials (2006) http://boati8ndonesia.com/ http://dephub.go.id/ http://www.klasifikasiindonesia.com/ajax/home.php
148
RANCANG BANGUN AIRBOAT SEBAGAI ALAT ANGKUT PENANGGULANGAN BENCANA Arif Fadillah*)
Moch. Ricky Dariansyah*) Hadi Kiswanto*) Diko Satria Putro*)
*) Jurusan Teknik Perkapalan, Fak. Teknologi Kelautan, Universitas Darma Persada E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pemanfaatan airboat sudah banyak digunakan untuk kegiatan pertahanan dan keamanan, transportasi, pariwisata serta penanggulangan bencana. Keunggulan dari airboat tersebut adalah menggunakan sistem penggerak berupa kipas dan sehingga dalam pergerakannya tidak dibatasi oleh tempat dan kedalaman air seperti kapal laut pada umumnya. Negara Indonesia adalah negara dengan tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi, baik gempa, banjir, tsunami dan bencana lainnya. Salah satu indikator efektifitas penanggulangan bencana adalah kecepatan evakuasi korban dan penanganan bantuan yang memerlukan suatu moda transportasi yang dapat digunakan pada segala kondisi permukaan, area yang terbatas dan daerah yang sulit dijangkau. Pengembangan dan penggunaan airboat merupakan moda transportasi yang dapat digunakan sebagai upaya dalam evakuasi dan penanganan bantuan. Dalam penelitian rancang bangun airboat ini dilakukan dalam 2 (dua) tahapan, dimana pada tahap awal adalah proses perencanaan / disain dan pembangunan lambung airboat, sedangkan tahap selanjutnya adalah perencanaan alat penggerak dan sistim kontrol airboat. Karakteristik utama dari rancang bangun airboat yaitu flat bottom design agar airboat dapat manouver diberbagai tempat. Secara umum material dasar pembuatan badan kapal airboat dengan menggunakan fiberglas. Sistem konstruksi memanjang digunakan pada rancang bangun airboat. Permesinan yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga dorong yang besar dengan sistem pendingin tipe air colled dan mempunyai putaran yang tinggi. Keyword: Airboat, Penanggulangan bencana, Perencanaan airboat 1. PENDAHULUAN Perkembangan dan penggunaan airboat saat ini sudah banyak dilakukan dalam berbagai bidang terutama di luar wilayah Indonesia. Penggunaan airboat saat ini digunakan untuk keperluan pariwisata, pertahanan keamanan, transportasi dan penanggulangan bencana. Airboat atau yang sering disebut dengan fanboat menggunakan sistem dorongan udara seperti kipas sehingga dalam pergerakannya tidak dibatasi oleh tempat dan kedalaman air seperti kapal laut pada umumnya. Pada tahun 2005, pemerintah Amerika menggunakan airboat sebagai ujung tombak dalam menyelamatkan ribuan korban bencana badai Katrina di Lousiana dan Mississippi. Hanya dalam waktu 36 jam, tenaga relawan serta tenaga medis dapat memasuki seluruh area dikarenakan airboat dapat memasuki daerah terbatas yang kendaraan lain tidak dapat lalui.
149
Hal ini disambut baik sehingga penggunaan airboat semakin dikenal dan semakin banyak yang mulai mengembangkan teknologi airboat. Melihat perkembangan tersebut maka pengembangan airboat merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji terutama bagi wilayah Indonesia. Seperti contoh pada wilayah Jakarta banyak terdapat daerah rawan bencana seperti banjir dan daerah padat penduduk, bila musim hujan kondisi daerah sering tergenang hingga beberapa waktu sehingga diperlukan upaya dalam evakuasi dan penanganan bantuan. Ditambah lagi dengan kondisi geografis di Indonesia yang sangat beragam di setiap tempat sehingga diperlukan suatu moda transpostasi yang dapat digunakan pada segala kondisi permukaan, area yang terbatas dan daerah yang sulit dijangkau. Sementara ini upaya-upaya tersebut telah ada dan baik dilakukan namun dirasakan kurang efektif dan efisien. 1.1 Perumusan Masalah Dalam penelitian ini memandang adanya permasalahan dalam menanggulangi bencana secara cepat, tepat dan efisien khususnya pada wilayah padat penduduk, wilayah yang memiliki ruang area terbatas dan wilayah yang memiliki keanekaragaman geografis seperti di Indonesia, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana caranya memperbaiki sistem penanggulangan bencana secara efisien dan efektif yang ditinjau dari perbaikan sistem transportasinya. b. Bagaimana merencanakan dan merancang airboat sebagai alat angkut dalam penanggulangan bencana. c. Bagaimana memaksimalkan penggunaan moda transportasi airboat sebagai kendaraan untuk segala medan yang ramah lingkungan khususnya di Indonesia. 1.2 Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mendapatkan gambaran kebijakan bagi alat angkut penanggulangan bencana di berbagai kondisi wilayah. b. Mengembangkan gambaran desain model airboat sebagai alat angkut yang efisien dan efektif untuk penanggulangan bencana. c. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia dalam usaha memperbaiki sistem transportasi dalam menanggulangi bencana yang terjadi di berbagai tempat yang sulit dijangkau oleh moda transportasi lainnya. 1.3 Manfaat Hasil Penelitian Penelitian terhadap penggunaan airboat sebagai alat angkut dalam penanganan bencana secara efektif dan efisien merupakan bagian dari perencanaan transportasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam hal kebijakan mengenai alat transportasi pada saat terjadinya bencana di tempat yang terbatas dan sulit dijangkau dengan moda transportasi lainnya. Model airboat hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi embrio bagi perkembangan transportasi di Indonesia yang merupakan negara kepulauan terluas di dunia. 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Airboat merupakan Airboat merupakan sebuah perahu yang memanfaatkan tenaga dorong hasil kerja atau putaran propeller udara, biasa disebut airscrew propeller atau aircraft
150
propeller. Reaksi fluida pada propeller tersebut berupa gaya dorong, dimana gaya dorong ini menyebabkan airboat dapat bergerak maju dengan kecepatan tertentu. 2 Airboat memiliki bentuk bagian bawah badan perahu yang flow-line dan flat-bottom sehingga memiliki olah gerak dan tingkat kestabilan yang baik, disamping itu airboat juga memiliki draft yang sangat kecil sehingga dapat dioperasikan pada daerah perairan yang sangat dangkal. Penanganan bencana di Indonesia sering kali terhambat karena transportasi dan birokrasi, maka saat ini penelitian akan membahas mengenai moda transportasi sebagai alat angkut dalam penanganan bencana. Moda transportasi yang dapat masuk dan mengarungi rintangan area yang terbatas seperti wilayah permukaan dengan ketinggian air yang rendah, wilayah berlumpur, wilayah padat penduduk dan lainnya. Perkembangan airboat sejarahnya mulai dibuat pada tahun 1905 di Nova Scotia, Kanada dengan nama the ugly duck oleh Dr. Alexander Graham Bell yang melakukan percobaan dengan berbagai jenis mesin dan tipe propeller, kemudian dikembangkan lagi oleh Glen Curtis di Florida, USA pada tahun 1920. Untuk selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya mulai banyak yang mengembangkan kapal yang flat bottom design berbahan dasar kayu dengan menggunakan mesin pesawat dan hingga saat ini sudah banyak perubahanperubahan perkembangan teknologi didalamnya. Pada perkembangannya sampai saat ini, airboat telah banyak digunakan dalam berbagai kegiatan seperti moda transportasi, wisata, penelitian, pertahanan keamanan dan penanggulangan bencana untuk wilayah daerah yang terbatas seperti berlumpur, banjir dan salju. 2.1
Sistem Konstruksi Hull Karakteristik utama dari airboat yaitu flat bottom design atau bagian bawah kapal yang rata sehingga memudahkan airboat untuk bergerak di berbagai medan seperti sungai, danau, daerah berlumpur sampai daerah yang tertutup salju dan es. Secara umum material dasar pembuatan badan kapal airboat terdiri dari alumunium, fiberglass, kayu dan baja tergantung dari jenis dan pemakaian kapal tersebut. Pada bagian dasar kapal dilapisi dengan serat karet yang berfungsi sebagai pelindung dasar kapal dari benturan-benturan. Dengan menggunakan sistem konstruksi memanjang pada bagian bottom membuat bagian bottom airboat menjadi lebih kuat sehingga ketika melewati medan yang ekstrim dapat dengan mudah.
2.2
Sistem Permesinan Airboat atau yang sering disebut dengan fanboat menggunakan sistem permesinan pembakaran dalam dengan menggunakan energi termal untuk melakukan kerja mekanik, yaitu dengan cara merubah energi kimia (bahan bakar) menjadi energi panas dan kemudian menggunakan energi tersebut untuk melakukan kerja mekanik. Kerja mekanik berupa putaran yang menggerakan poros terhadap baling-baling sehingga baling-baling dapat berputar dengan kecepatan tertentu dan mendorong airboat. Mesin yang digunakan pada umumnya mesin pesawat terbang atau mesin kendaraan (mobil) yang telah mengalami perubahan pada sistem kemudinya. Perkembangan
151
teknologi pada mesin airboat saat ini yaitu mesin yang menghasilkan tenaga dorong yang besar dengan pemakaian bahan bakar yang minimal dan ramah lingkungan. Penggunaan mesin pesawat terbang sebagai alternatif dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga dorong yang besar dan adanya air colled atau tidak memakai komponen radiator, sehingga memudahkan dalam hal penempatan posisi mesin. Tidak hanya itu saja, mesin pesawat terbang yang digunakan menghasilkan putaran yang tinggi (rotating per-minutes) yang tetentunya sangat membantu dalam pergerakan airboat. Untuk melindungi mesin dan baling-baling dari ranting pohon, pakaian, penumpang atau hewan liar, maka digunakan kerangka besi untuk menutupi dan memberi batas aman. 2.4
Metodologi Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merancang dan membuat suatu alat angkut yang dapat membantu dalam hal penanggulangan bencana. Untuk memenuhi tujuan penelitian maka diterapkan metodologi berupa: survey literatur dan survey lapangan, rancang dan bangun model penelitian, pengujian hasil penelitian, pembahasan dan analisa hasil penelitian. Dalam penyelesaian penelitian terkait dengan data dan pertahapan pekerjaan dapat dilihat lebih rinci pada gambar dibawah.
2.4.1
Tahapan Pelaksanaan Penelitian Pada pelaksanaan penelitian ini harus memenuhi kerangka waktu yang disampaikan pada gambar dibawah. Secara umum penelitian ini terdiri dari 4 tahapan utama dan berisi kegiatan atau kewajiban yang harus dilakukan yaitu: a Tahap persiapan Pada tahap ini meliputi kegiatan seperti inisiasi studi, persiapan survey dan persiapan analisis. b Tahap pengumpulan data Tahap pengumpulan data meliputi kegiatan pelaksanaan survey, kompilasi data dan analisis awal. Kebutuhan data terkait dengan penelitian pengembangan alat angkut airboat untuk penanganan bencana akan dikumpulkan tidak hanya dengan referensi dari jurnal atau literatur saja tetapi dari pengamatan di lapangan terkait dengan batasan-batasan dalam ukuran utama model. Tidak hanya pengumpulan data, tetapi tahap ini juga melakukan analisis awal yaitu preliminary design rencana awal model yang akan diteliti. c Tahap rancang bangun Pada tahap ini meliputi kegiatan perancangan model dengan menghitung syarat dan ketentuan dalam perancangan kapal dan membuat beberapa gambar pendukung yang berguna untuk memudahkan dalam proses pembangunan model desain menjadi model jadi. Proses pembangunan model juga dilakukan pada tahap ini, dengan dimulai dari pembuatan bagian hull kapal, penempatan mesin penggerak, propeller dan kemudi sampai pemasangan peralatan pendukung lainnya. d Tahap akhir Pada tahap ini meliputi kegiatan lanjutan dari tahap rancang bangun seperti setelah model jadi selesai, maka dilakukan analisis akhir berupa pengujian hasil
152
penelitian dan mengidentifikasi serta merekomendasikan hal-hal yang sekiranya perlu untuk diperbaiki atau dilakukan perubahan. Selanjutnya kegiatannya yaitu finalisasi studi seperti penyerahan hasil penelitian dan pembuatan ringkasan studi yang dapat berguna sebagai literatur dalam pemeriksaan atau pembuatan ulang model hasil penelitian. 2.4.2
Pola Pikir Penyelesaian Studi Penyelenggaraan rancang bangun moda transportasi alat angkut airboat untuk penanganan bencana di daerah terisolasi dan terbatas. Diharapkan melalui pelayanan alat angkut airboat, daerah yang terisolasi dan terbatas tersebut dapat terlayani dan mendapatkan penanganan bantuan dengan efisien dan efektif. Rancang bangun alat angkut airboat dilakukan dengan melakukan perbaikan dan perubahan terhadap model airboat yang sebelumnya telah ada. Pengembangan alat angkut airboat yang nantinya diharapkan menjadi embrio bagi pengembangan armada nasional yang tidak hanya penggunaannya sebagai penanganan bencana tetapi juga dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah yang terisolir dan terbatas dan menjadi pertahanan nasional atau juga sumber devisa negara untuk menarik perhatian wisatawan untuk berwisata di Indonesia. Hal utama yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah menganalisa, merancang dan membangun model moda transportasi airboat sebagai penanganan bencana yang cocok dan sesuai di wilayah Indonesia yang mempunyai berbagai jenis geografis yang berbeda-beda di tiap wilayah. Alat angkut penanganan bencana optimum akan tercapai apabila penempatan dan pemakaian dilakukan secara tepat sasaran dan dirancang dengan ukuran-ukuran yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.
153
INISIASI STUDI Konsolidasi
PERSIAPAN ANALISIS
PERSIAPAN SURVEY
Pola piker studi Definisi struktur model rancangan
Penetapan model survey
ANALISIS AWAL
PELAKSANAAN SURVEY Survey literature Data Studi terdahulu Jurnal dan literature Survey lapangan oPengamatan oPengukuran dan perhitungan
KOMPILASI DATA
Preliminary design oUkuran utama oTenaga penggerak oBerat oStabilitas Sketsa rencana model awal
Penggabungan hasil survey
PERANCANGAN MODEL Linesplan, General Arrangement, dll
PEMBANGUNAN MODEL Hull Permesinan dan kemudi Peralatan pendukung
ANALISIS AKHIR Pengujian hasil penelitian Identifikasi, rekomendasi dan revisi
FINALISASI STUDI Penyerahan hasil penelitian Pembuatan ringkasan studi (executive summary)
Gambar 1 Tahapan dan Teknis Analisis
154
3.
Rancang Bangun Airboat
Pada perencanaan airboat yang akan dibuat ini mempunyai karekteristik flat bottom, yaitu suatu design lambung dengan bottom atau alas yang datar. Alasan memakai tipe lambung seperti ini, hipotesis dari penulis yaitu untuk mendapatkan daya dorong yang tinggi dibutuhkan tipe lambung yang mempunyai hambatan yang kecil seperti dengan lambung bawah yang datar ini, dengan seperti itu airboat memiliki daya angkat keatas permukaan air sehingga draft pada lambung airboat tersebut bisa sekecil mungkin didapatkan. Kemudian, peletakkan sistem penggerak diletakkan dibagian belakang lambung kapal yang terdiri dari mesin airboat, propeller, rudder, safety propeller dan untuk pengemudi serta penumpang berada dibagian tengah airboat. Hal tersebut ditujukan untuk mendapat stabilitas airboat seoptimal mungkin, sehingga airboat pun dapat melaju dengan optimal. Dalam perencanaan ukuran utama rancang bangun airboat ini digunakan rumus perbandingan dari airboat pembanding yang sudah ada. Adapun data pembanding tersebut yaitu : Panjang keseluruhan = 13 foot = 3,9 m Lebar belakang = 6 ½ foot = 2,0 m Lebar depan = 6 foot = 1,8 m Tinggi = 21 inches = 0,53 m Berat = 600 lbs = 272 kg
Gambar 2 Desain Airboat Pembanding 3.1
Perencanaan Airboat Dari data airboat pembanding diatas, maka perencanaan dan perhitungan airboat rancangan adalah sebagai berikut: Panjang Keseluruhan = 4 m Panjang tersebut diambil selain dari permintaan rancangan yang diinginkan, juga diambil dari pertimbangan jumlah penumpang dan space untuk sistem penggerak yang digunakan. Lebar belakang Ratio pembanding L / B = 3,9 / 2,0 = 1,95 Lebar rancangan = L / r = 4 m / 1,95 = 2,1 m
155
Lebar Ratio pembanding L/B = 3,9 / 1,8 = 2,2 Lebar rancangan = 4 / 2,1 = 1,9 m Tinggi Ratio pembanding = B/t = 2,0 m / 0,53 m = 3,77 Tinggi rancangan = 2,1 m / 3,77 = 0,56 m Karakteristik hasil rancangan airboat tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini Tabel 1 Karekteristik Rancangan Airboat No.
Item
Ukuran
1
Panjang Keseluruhan (LOA)
2
Lebar
3 4 5 6
Tinggi Berat Lambung Jumlah Penumpang Tipe Lambung
7
Mesin Penggerak
4 meter Depan ; 1,90 meter Belakang : 2.10 meter 0,56 meter 115 Kg 1-2 Orang Bottom tongkang datar Engine with air cooled, Baling-baling Tipe pesawat
Sedangkan hasil dari rancangan airboat dalam aplikasi gambar dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Tampak Depan
Tampak Sisi Belakang
Tampak dari Samping
Tampak dari Sisi Depan
Gambar 3 Desain Airboat Rancangan
156
3.2
Perencanaan Pembangunan Airboat Perencanaan pembangunan airboat dalam penelitian adalah selanjutnya adalah melakukan perencanaan pelapisan fibreglass untuk airboat. Dari Gambar 4 dilakukan perhitungan luas bidang area airboat yang akan dilapisi oleh fibreglass sebagai material yang digunakan untuk lambung airboat. Hasil dari perhitungan luas area tersebut adalah adalah sebesar 13,181 m2.
Gambar 4. Luas Area Pelapisan Fibreglass Sedangkan perencanaan laminasi untuk airboat ini adalah 9 Lapisan, dimana terdiri dari 5 lapisan dibawah kerangka dan 4 lapisan diatas kerangka. Untuk perencanaan peletakan kerangka atau frame, baik secara longitudinal dan transfersal sesuai aturan yang digunakan di Klas Indonesia pada airboat dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perencanaan Frame Pada Airboat 3.3
Perencanaan Pembangunan Airboat Perencanaan pembangunan airboat pada tahap awal dilakukan dengan pembuatan cetakan untuk pelapisan fibreglass selanjutnya dilakukan pelapisan fibreglass. Proses pembuatan cetakan airboat dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini.
157
Gambar 6 Pelaksanaan Pembuatan Cetakan Lambuang Airboat
3.4
Pembangunan Lambung Airboat Pembangunan airboat pada tahap selanjutnya atau tahap ke 2 adalah dilakukan dengan pelapisan fibreglass untuk lambung airboat. Proses pelapisan fibreglass untuk airboat dapat dilihat pada Gambar 7 dibawah ini.
Gambar 7 Pelaksanaan Pelapisan Fibreglass Untuk Lambuang Airboat
158
3.5
Pembangunan Lambung Airboat Pembangunan airboat pada tahap selanjutnya atau tahap ke 3 adalah dilakukan dengan finishing atau perapihan dari pelapisan fibreglass untuk lambung airboat. Proses finishing lambung airboat dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah ini.
Gambar 8 Finishing Lambung Airboat 4.
Penutup Berdasarkan hasil pengumpulan data, analisa data dan pelaksanaan pembuatan lambung airboat pada penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
4.1
Kesimpulan a. Hasil rancangan untuk airboat adalah: Panjang Keseluruhan = 4.0 m Lebar belakang = 2.1 m Lebar depan = 1.9 m Tinggi = 0.56 m b. Untuk menjaga draft airboat seminimal mungkin, pemilihan material lambung airboat sangat menentukan, untuk itu dalam penelitian ini menggunakan material fibreglass. c. Proses pembuatan cetakan, pelapisan fiberglass dan finishing telah selesai dilaksanakan selanjutnya adalah peletakan kerangka dan pelapisan akhir dari kegiatan penelitian airboat.
4.2 Saran Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk perencanaan sistem penggerak dan sistem lain yang terkait dari airboat sebagai alat transportasi penanggulangan bencana di Indonesia.
159
DAFTAR PUSTAKA Herbert Schneekluth & Volker Bertram, Ship Design for Efficiency and Economy, Butterworth-Heinemann, London. 1998. Perangkat Lunak 1,69 MB. Sv. Aa. Harvald, Ship Resistance and Propulsion, Perangkat Lunak 11,3 MB. Jenkinson, L. R and John Wiley & Sons Inc., Aircraft Design Projects, New York. 2003. Perangkat Lunak 2,43 MB. L. Yun & A. Bliault, Theory and Design Air Cushion Craft, John Wiley & Sons Inc., New York. Perangkat Lunak 45,7 MB. Biro Klasifikasi Indonesia, Rules For Non-Metallic Materials. 2006. Jakarta. Syamsul Arif Muharam, Desain dan KonstruksiI KapalL Fiberglass Di PT. Carita Boat Indonesia Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten. 2011. IPB. Bogor. L. Yun & A. Bliault, Theory and Design Air Cushion Craft, John Wiley & Son Inc., New York. Clifford Matthews, Aeronautical Engineer’s Data Book, Butterworth Heinemann, London. M. A. S. Riach, Air Screws: an Introduction to the Aerofoil Theory of Screw Propulsion, C. Lookwood and Son, London.
160
“ RANCANG BANGUN PROTOTIPE KAPAL REMOTELY OPERATED VEHICHLE (ROV) UNTUK INSPEKSI PEKERJAAN BAWAH AIR “ Augustinus Pusaka, Yoseph Arya Dewanto Dosen Fakultas Teknologi Kelautan ABSTRAK ROV (Remotely Operated Vehichle) memiliki kemampuan untuk menjelajah bagian bawah air yang tidak dapat dilakukan oleh manusia pada kedalaman tertentu sesuai dengan spesifikasinya. Salah satu aplikasi dibuatlah perangkat mekanik pergerakan yang dipadukan dengan bodi prototipe dan mampu melakukan inspeksi bawah air dengan kinerja experimental. Metode yang digunakan untuk mengaplikasikan perwujudan rancang bangun dilakukan melalui perencanaan berbasis komputer, pembangunan perangkat protipe berbahan dasar Fibreglass, tenaga penggerak dengan motor AC yang diaktifkan melalu inverter, sistem kekedapan untuk melindungi perangkat yang dialiri listrik, serta pembangunan kontrol menggunakan sistim analog dan dilengkapi camera CCTV sebagai pemantau obyek bawah air berikut monitor kontrol didarat beserta perangkat pengendalinya. Kinerja dari perangkat yang telah dirancang bangun menunjukan kemampuannya melakukan aktifitas pergerakan menenggelamkan, mengapungkan, pergerakan maju dan pergerakan mundur, serta kemampuan memantau kondisi bawah air. 1. PENDAHULUAN Kemajuan Teknologi saat ini sangat meningkat, seiring dengan keadaan tersebut pesatnya pembangunan kapal membuat tidak terbendungnya penambahan armada kapal. Untuk kemudahan pelayanan kapal dalam pengoperasiannya diperlukan daerah pelayaran yang aman saat dilalui. Seringnya terjadi pendangkalan bawah laut akibat sedimentasi, sehingga membutuhkan perangkat yang dapat melihat kondisi bawah laut secara visual melalui kamera dan monitor. Perangkat tersebut salah satunya dinamakan ROV, selain digunakan untuk hal tersebut dapat digunakan juga untuk melihat bagian bawah kapal (inspeksi bawah air), penutupan pipa bekas tambang lepas pantai, pengelasan bawah air (under water welding), inspeksi kapal-kapal yang karam (contoh pemeriksaan kapal Titanic). Perangkat ini telah dibuat oleh beberapa Universitas Negeri, seperti ITS, IPB, UGM, ITB dstnya. Berbagai tipe dan kemampuan telah dibuat dalam bentuk level penelitian yang nantinya akan digunakan untuk pengembangan perangkat tersebut. Beberapa contoh pekerjaan bawah air yang hingga kini digunakannya ROV seperti berikut ini : 1) Kabel bawah air Survei Jalur dan Penetapan Panjang Kabel Survei ini bertujuan untuk mendapatkan data-data kondisi laut dan jalur kabel yang sesuai. Lintasan yang dilalui kabel diusahakan yang pendek dan lurus, dasar laut tanpa lembah dan laut yang tidak terlalu dalam. Survei jalur kabel meliputi: (a) Karakteristik permukaan dasar laut; (b) Kedalaman laut; (c) Pergerakan arus; 161
(d) (e) (f)
Arus pasang surut; Pergeseran pasir dasar laut; Data pendukung.
Beberapa jenis pekerjaan pada saat peletakan kabel meliputi : (a) Pemilihan vessel peletakan kabel, ditarik oleh beberapa tug boat; (b) Pekerjaan persiapan peletakan kabel; (c) Penempatan kabel laut; (d) Proteksi kabel laut
2. TUJUAN PENELITIAN Menjadikan perangkat ini sebagai alat bantu untuk pekerjaan inspeksi bawah air dan dapat digunakan untuk pekerjaan bawah air lainnya dengan menambah perangkat sensor dan juga tangan robot. 3. METODOLOGI PENELITIAN Dalam konsep desain kapal ada 2 model, yaitu domain-spesifik dan banyak proses desain, tapi desain spiral 'Evans mungkin adalah yang paling terkenal. Model ini menekankan bahwa banyak masalah desain yang saling berinteraksi dan harus dipertimbangkan dalam urutan, dan dalam peningkatan detail masing-masing yang kemudian membentuk spiral sampai diperoleh desain tunggal yang memenuhi semua kendala dan semua pertimbangan bisa tercapai. Pada preliminary design stage ini dikembangkan hasil dari tahap conceptual dengan menetapkan alternatif kombinasi yang jelas, sehingga pada akhirnya didapatkan gambaran utama kapal dan kecepatan servicenya, begitu juga daya motor yang diperlukan, demikian pula dengan daftar sementara peralatan permesinan. Selama Preliminary design, perancangan kapal dikembangkan untuk mendapatkan tingkatan tertentu untuk menjamin secara teknis bahwa semua persyaratan perancangan kapal dapat terpenuhi 4. MANFAAT HASIL PENELITIAN Dengan berkembangnya era teknologi ini, peran inspeksi bawah air sangat penting dan dengan rancang bangun prototipe ROV ini berguna untuk pemanfaatan dalam berbagai hal yang berhubungan dengan pekerjaan bawah air Spesifikasi Teknis : Panjang : 1500 mm Lebar : 600 mm Tinggi : 400 mm Tenaga Penggerak : 2 baling-baling untuk pergerakan maju Tenaga Turun naik : 1 baling-baling Metode yang digunakan adalah perancangan berdasarkan data spesifikasi ROV yang ada dan melakukan kajian serta analisa terhadap perencanaan secara langsung. Selanjutnya dimplementasikan dalam bentuk produk prototipe ROV yang dibangun berdasarkan gambar yang telah dirancang dan ditambahkan berbagai percobaan untuk diperoleh hasil yang maksimum. 162
Proses perancangan dilakukan untuk ROV ini (Gambar 1) dengan menggunakan peninjauan literatur dan pemodelan rancangan yang dikuti dengan pertimbangan lainnya seperti perancangan system tenaga pengerak yang merupakan perangkat untuk menggerakan kapal. Kemudian dirancangkan pembuatan model prototipe rancangan, dilanjutkan dengan pembuatan rancangan sistem control maneuver dan lift up untuk prototype. Sebagai penggerak fungsi dari perangkat ini diperlukan perancangan system control switch dan perancangan system pembangkit listrik. Kemudian sesuai dengan fungsi perangkat ini dilengkapi alat pengindera berupa kamera CCTV. Setelah semua telah memenuhi syarat perakitan dapatlah dilakukan perakitan perangkat dan percobaan.
Gambar 1. PROSES PERANCANGAN Konsep desain dapat dilihat melalui gambar 2 , pergerakan dilakukan dengan arah maju mundur, kemudian maneuver dilakukan dengan mematikan salah satu alat pergerakan yang dalam hal ini adalah motor listrik dan propeller. Ketika salah satu motor penggerak dimatikan melalui switch control, maka akan terjadi maneuver dari ROV itu sendiri sesuai perintah dari operator. Selanjutnya untuk naik turun dilakukan dengan pergerakan naik turun secara vertical, kegunaannya untuk melakukan pergerakan turun naik yang cepat.
Gambar 2. KONSEP DESAIN ROV
163
Gambar 3 menjelaskan mengenai diagram rangkaian control, penggerak utama menggunakan arus AC atau menggunakan tenaga penggerak jenis motor induksi. Motor induksi digerakan oleh listrik AC yang dibangkitkan dari arus DC menggunakan Inverter sebagai pengubah arus menjadi AC. Dalam sistem ini semua dilakukan dengan sistem analog. Sesuai dengan fungsinya untuk salah satunya memantau keadaan bawah perairan digunakan kamera CCTV dan pendukung lainnya seperti lampu sorot. Sistim diagram ini menjelaskan penempatan perangkat penggerak dan perangkat control pada ROV. Selanjutnya untuk menghubungkan kontrol ke operator digunakan selang yang didalamnya terdapat kabel untuk motor penggerak dengan arus DC dan juga khusus untuk kabel control dalam arus DC. Koneksi kabel terminalnya terlihat pada gambar 3 dan gambar 4.
Gambar 3. Skema Diagram Kontrol Dan Tenaga Penggerak Sistem Pada Rov Sistem kontrol yang terlihat pada gambar 4 merupakan perangkat yang akan mengatur pergerakan kapal ROV yang dilengkapi dengan monitor untuk memantau keadaan bawah air, sekaligus mengetahui kondisi kapal ROV saat berada dibawah air. Tenaga listrik yang digunakan disini menggunakan arus AC hasil dari perangkat inverter yang mengubah arus listrik DC menjadi AC.
164
Gambar 4. Sistem Kontrol Unit System Switch Pada Bagian Pengendali
Gambar 5 Hasil rancangan ROV (1) Gambar 5 dan 6 ini merupakan hasil rancangan ROV berikut dimensi detailnya untuk memberikan informasi untuk selanjutnya dapat diuji melalui analisa perhitungan dan uji coba.
165
Gambar 6 Hasil rancangan ROV (2)
Gambar 7 tata letak perangkat control dan tenaga pengerak
166
Gambar 8 tampak depan ROV pengerak Pada gambar 7 dan 8 merupakan tata letak perangkat pendukung pada ROV. Kapal ROV ini dirancangkan dalam bentuk bodi yang menempatkan perangkat dalam kondisi tertutup. Hal ini dimaksudkan untuk memasukan perangkat pendukung dalam keadaan terlindung dan kedap, sehingga menjamin ketahanan perangkat elektronik. SPESIFIKASI KAPAL ROV HASIL RANCANGAN : Material bodi terbuat dari Fibreglass dengan komposisi 2 lapis Roving + 3 lapis Mat + Resin + Catalyst Dikendalikan oleh 2 motor 200 watt untuk penggerak kedepan dan kebelakang serta maneuver. Dan untuk turun naik motor 300 watt. Propeller digunakan Alumunium Shaft digunakan Carbon Steel Hasil dan Diskusi Pada dasarnya pergerakan dilakukan harus melihat waktu pergerakan, karena berpengaruh pada motor yang diperlengkapi dengan thermistor yang meminitor panas motor untuk mencegah terbakarnya motor tersebut. Dari hasil pengamatan motor yang digunakan perlu dilakukan repowering untuk mendapatkan keandalan dalam pergerakan maupun maneuver. Bagian pergerakan lebih dominan terhadap pengaruh panas motor. Untuk motor penggerak naik turun tidak bermasalah, karena digunakan untuk posisi naik turun. Selanjutnya kekedapan pada body harus ditingkatkan, karena dengan menggunakan packing konvensional masih terlihat adanya rembesan air. Demikian juga untuk hubungan bodi dengan tenaga penggerak harus menggunakan packing shaft yang lebih tahan terhadap tekanan air, hal ini dimaksudkan digunakan pada kedalaman yang lebih lagi. Untuk sementara ini pengujian dilakukan pada kedalaman kurang dari 5 meter. Bodi dibuat sedemikian rupa berbahan Fibreglass untuk dapat dapat dikatakan berbeda dengan sistem ROV lainnya, hal ini membuatnya dapat memberikan kekedapan pada sekitar perangkat pendukung tersebut. Kekuranganya adalah nilai buoyancy menjadi lebih besar, karena bentuk bodi yang besar. Untuk itu perlu mencari titik optimal perencanaan bodi prototipe tersebut pada pengembangan perancangan. 167
Sistim pengikatan kabel dan selang control digunakan untuk dapat berinteraksi antara operator dengan ROV. Metode ini dapat meningkatkan keamanan pekerjaan dibawah air sehubungan dengan arus dibawah perairan bervariasi dan dampaknya dapat menghanyutkan ROV tersebut apabila terjadi arus kuat. Sistim keseimbangan muatan dalam stabilitas pada dasarnya diatur saat perancangan dengan melakukan analisa perhitungan stabilitas dan trim, serta kondisi hentakan yang terjadi ketika motor penggerak diaktifkan baik dalam arah pergerakan maju, maupun pergerakan maneuver. Akibat perubahan tekanan yang semakin tinggi ketika perangkat dioperasikan pada kedalaman yang meningkat menyebabkan terjadinya pengaruh tekanan terhadap bodi dan selang (penghubung antara operator dan ROV berupa arus listrik DC dan kabel pengendali) serta sambungan clamp. Untuk penyempurnaan keakuratan analisa perhitungan dan penerapan terhadap pengaruh tekanan perlu dilakukan penyempurnaan ketebalan material didaerah yang ada tersebut. Kesimpulan Hasil penelitian yang dilakukanadalah sebagai berikut: Kinerja dari perangkat yang telah dirancang bangun menunjukan kemampuannya melakukan aktifitas pergerakan menenggelamkan, mengapungkan, pergerakan maju dan pergerakan mundur, serta kemampuan memantau kondisi bawah air. Selanjutnya Untuk kedalaman yang lebih lagi diperlukan packing karet yang lebih kedap lagi dan juga penambahan ketebalan material pada bagian konstruksi tersebut. DAFTAR PUSTAKA [1]www.expresspcb.com/Feedback/ROV/ROV .htm [2]www.heiszwolf.com/subs/tech/tech01.html [3]www.mbari.org/auv/mappingauv/vehicle_specs.htm [4] Nurul Fauzi,M: Sistem navigasi pada wahana bawah air tanpa awak, politeknik elektronika negeri surabaya [5] www.wikipedia.org/wiki/BuoyancyAlvin, H., 1998. 3000 Solved Problems in Phisics, New York:McGraw-Hill Book Company. [6] J. Cadiou, S. Coudray, P. Léon and M. Perrier,"Control architecture of a deep scientific ROV:VICTOR 6000", in [7] http://konversi.wordpress.com/2009/06/12/sekilas-rotary-encoder/ [8] http://puremtc.com/info_faq/ballast_system/index.htm [9] http://pierreyerokine.perso.sfr.fr/Ballast_EV.htm [10]“Remotely Operated Vehicles of the World”,98/99 edition,published by Oilfield Publications Limited, UK. [11] R. Bachmayer, S. Humphris, dkk. 1999.” A New Remotely Operated Underwater Dynamics for Wynamics and Control Research. [12] Robinson, H. and Keary, A. (2000) : Remote Control of Unmanned Undersea Vehicle, [13] International Unmanned Undersea Vehicle Symposium [14]Rutherford, k : Evolution of an AUV design strategy, university of Southampton
168
[15] mallwood, D., Bachmayer, R., and Whitcomb, L. (1999) : A New Remotely Operated Underwater Vehicle for Dynamics and Control Research, International [16] Symposiumon Unmanned Untethered Submersible Technology. [17] http://universe-review.ca/R13-10-NSeqs.htm [18] Kuiper G, The Wagenigen Propeller Series, Marin Publication 92-001, May, 1992
169
KUALITAS PRODUKTIVITAS TERMINAL PETIKEMAS DI PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER TERMINAL ( PT. JICT). Fanny Octaviani , ST, M.Si, Shanty Manullang, S.Pi, M.Si, Theresiana D. Novita ST Jurusan Teknik Perkapalan, Fakultas Teknologi Kelautan, Universitas Darma Persada email :
[email protected] ABSTRAK Seiring dengan meningkatnya komoditas angkutan laut, maka fungsi dan peranan pelabuhan menjadi sangat penting terutama sebagai mata rantai transportasi logistik angkutan laut, mengingat penggunaan moda angkutan laut ternyata jauh lebih efektif dan efisien dari moda angkutan lainnya. Dilihat dari jenis maupun muatan yang dapat diangkut, maka angkutan barang melalui kapal adalah pilihan yang paling tepat. Dengan kapal laut, segala macam type dan bentuk barang dengan volume yang lebih banyak dapat diangkut. PT JICT merupakan terminal peti kemas yang pertama di Indonesia yang memiliki peralatan tercanggih di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah tingkat produktifitas PT JICT telah memenuhi minimum standar performance terminal peti kemas yang dipersyaratkan, dan tingkat kepuasan customer/user terhadap pelayanan jasa pengiriman kontainer PT. JICT Jakarta tersebut dalam dimensi Penampilan Fisik (Tangible), Kehandalan (Reliability), Tanggap (Responsiveness), Kepastian (Assurance), dan Empati (Emphaty). Produktivitas dianalisa dengan menggunakan metode Box Craine per hour (BCH)/Throughtput (T’put/Teus) yang merupakan indicator untuk mengukur kinerja peralatan bongkar muat. Berdasarkan hasil analisa dan pengolahan data produktivitas bongkar muat PT JICT selama periode 20010 - 2012 mengalami peningkatan walaupun tidak secara signifikan, dimana produktivitas bongkar muat tertinggi terjadi pada tahun 2012 triwulan ke 4 (Oktober-Desember) sebesar 209.836 Teus sedangkan produktivitas bongkar muat yang terendah terjadi pada Tahun 2010 triwulan pertama (Januari – Maret) sebesar 150.070 Teus. Kata Kunci : Terminal Peti Kemas PT JICT, produktivitas bongkar muat, 1. PENDAHULUAN Perkembangan pelabuhan laut akan sangat ditentukan oleh perkembangan aktivitas perdagangan. Laut merupakan salah satu bagian penting untuk menunjang kelancaran transportasi .Angkutan perairan dengan pelabuhan laut merupakan dua komponen yang saling terkait dan menunjang dalam setiap kegiatannya dan hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan pelabuhan adalah perkembangan terminal peti kemas. Sehingga saat ini, pengelolaan pelabuhan merupakan orientasi kegiatan konvensional menjadi kegiatan kontainerisasi. Hal itu terlihat dengan berkembangnya perdagangan internasional melalui moda transportasi laut dengan menggunakan petikemas.
170
1.1
Maksud dan Tujuan
1.2.1 Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat produktifitas telah memenuhi minimum standar performance terminal peti kemas yang dipersyaratkan, serta tingkat kepuasan customer/user terhadap pelayanan jasa pengiriman kontainer PT. JICT Jakarta. 1.2.2 Tujuannya adalah untuk mendapatkan angka capaian kinerja operasional yang sebenarnya melalui perhitungan kembali atas kinerja operasional yang telah dilaporkan, dengan menggunakan formula yang didasarkan atas ketentuan yang berlaku serta prinsip penilaian umum yang wajar (best pactices) dan berlaku dalam ”internasional practices”. Sasaran Sasaran penelitian ini adalah diperolehnya indikator kinerja operasional (Key Performance Indicator) yang sesuai dengan keinginan masyarakat penggunaan jasa terminal petikemas (users), disisi lain baik manajemen terminal peti kemas maupun para stackholder memiliki indikator performasi operasional baku yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan monitoring, pengukuran dan penilaian kinerja operasionalnya yang dikhususkan di PT. Jakarta International Container Terminal (PT. JICT) 1.3 Lokasi Penelitian Kegiatan pelaksanaan dilakukan di PT. JICT Jakarta
TERMINAL I JICT
TERMINAL II JICT
Gambar 1. Layout PT JICT (Terminal I & II) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ASPEK LEGALITAS a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Aturan yang ada di dalam UU No. 17 Tahun 2008 tentang pelayaran meliputi aturan mengenai penyelenggaraan kepelabuhanan secara rinci mencakup hal-hal sebagai berikut: 171
Kepelabuhanan Undang-Undang ini mendefinisikan kepelabuhanan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu-lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.. Terminal Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar, dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan Geographic Information System (GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. GIS dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital. Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan Kegiatan-kegiatan (fungsi) pelabuhan Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang digunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta berbagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. Pelabuhan memiliki peran sebagai simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hirarkinya, pintu gerbang kegiatan perekonomian, tempat alih moda transportasi, penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan, tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang, dan sarana perwujudan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara. Perbandingan kelas pelabuhan Pelabuhan terdiri atas dua jenis yakni Pelabuhan Laut, dan Pelabuhan Sungai dan Danau. Pelabuhan Laut didefinisikan sebagai pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai.Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, angkutan laut terdiri atas pelabuhan utama, pengumpul, dan pengumpan. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 51 tahun 2011 tentang Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri 172
Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya (Pasal 1 butir 3). 2.2 Aspek Sarana Fasilitas pelabuhan terdiri dari wilayah daratan dan wilayah perairan, masing-masing memiliki fasilitas pokok dan fasilitas penunjang. 2.3. Aspek Prasarana a. Fasilitas Pelabuhan Petikemas Peti kemas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah peti besar dan kuat angg memuat barang dagangan sehingga barang itu dapat sekaligus diangkut. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 51 /2002 tentang perkapalan, pasal 1 ayat 12, petikemas adalah bagian dari alat angkut yang berbentuk kotak serta terbuat dari bahan yang memenuhi syarat, bersifat permanen dan dapat dipakai berulang-ulang, yang memiliki pasangan sudut dan dirangcang secara khusus untuk memudahkan angkutan barang dengan satu atau lebih moda transportasi, tanpa harus dilakukan muatan kembali. Adapun fasilitasnya sebagai berikut : Dermaga Pelabuhan Dermaga petikemas pelabuhan pada dasarnya tidak berbeda dari pelabuhan biasa, yaitu dermaga beton dengan jalur rel kereta api di bagian tepinya guna menempatkan gantry crane yang melayani kegiatan muat bongkar petikemas hanya pada dermaga petikemas ukuran panjang panjang dermaga dan kemampuan menyangga bebannya lebih panjang dan lebih besar, krena kapal petikemas lebih panjang dan lebih tinggi bobotnya sehingga memerlukan lantai dermaga yang lebih tinggi daya dukungnya. Apron Yaitu daerah diantara tempat peyandarn kapal dengan Mashaling yard, dengan lebar sekitar 30-50 meter. Pada apron ini ditempatkan berbagai peralatan bongkar muat peti kemas seperti gantry crane, rel-rel kereta api dan jalur truc-trailer. Marshaling Yard (Lapangan penumpukan sementara), digunakan untuk menemptkan secara sementara petikemas yang akan dimuat ke kapal. Luas lapangan kurang lebih 2030% container yard. container yard adalah lapangan penumpukan peti kemas yang berisi muatan Full Container load (FCL) dan petikemas kosong mengurangi yang akan dikapalkan. Cara penumpukan dapat mengurangi luas container yard. Container Freight Station (CFS) adalah gudang yang disediakan untuk barang-barang yang diangkut secara less than container load ((LCL) Menara pengawas digunakan untuk melakukan pengawasan di semua tempat dan mengatur serta mengarahkan semua kegiatan di terminal. Bengkel pemeliharaan digunakan untuk memperbaiki alat bongkar muat petikemas. fasilitas lain seperti sumber tenaga listrik untuk petikemas khusus berpendingin, suplai bahan bakar, suplai air tawar, penerangan untuk penerangan pada malam hari dan kemanan, peralatan untuk membersihkan petikemas kosong serta listrik tegangan tinggi untuk mengoperasikan kran. b. Peralatan Bongkar muat petikemas antara lain sebagai berikut :
173
1. Gantry crane (Container crane) yaitu kran petikemas yang berada di dermaga untuk bongkar muat petikemas dari dan ke kapal container, yang dipasang diatas rei di sepanjang dermaga. 2. Forklift adalah peralatan penunjang pada terminal petikemas untuk melakukan bongkar muat dalam tonase kecil, biasanya banyak digunakan pada CFS serta kegiatan delivery atau interchange. 3. Head Truck Alat yang digunakan untuk menarik trailer/chaissis yang telah dimuati petikemas dari dermaga ke lapangan pengumpul atau sebaliknya serta dari lapangan penumpukan petikemas ke gudang CFS atau sebaliknya. 4. Side loader & Rech Stecker, digunakan untuk engangkat petikemas dan menumpukkannya sampai tiga tingkat. 5. Transaiter atau Rubber Tire Gantry Crane (RTGC) yaitu kran petikemas yang berbentuk portal dan dapat berjalan pada jalur khusus dengan ban karet sebagai rodanya. Alat ini dapat menumpuk petikemas samapai empat tingkat dan menempatkannya di atas gerbong kereta api atau chassis truk. 6. Container Spreader, adalah alat bongkar muat petikemas yang dilengkapi dengan pena pengunci pada bagian bawah keempat sudutnya dan digantung pada kabel baja dari Gantry crane,transtainer, straddle loader dan dengan konstruksi yang sedikit berbeda juga pada container forklift. 2.4. Metode Pengolahan Data Data produktivitas bongkar muat. Data produktivitas diperoleh berdasarkan jumlah petikemas yang diperoleh pada periode tertentu. Penelitian ini mengambil data dari tahun 2010 sampai 2012. Data yang diperoleh merupakan data bulanan di bagian Pemasaran PT JIC.Setelah itu data dikelompokkan menjadi data per triwulan mencari nilai rata-rata per Triwulan. Adapun rumusnya :
III. ANALISA DATA DAN HASIL Pelabuhan menjadi simpul penting dalam arus perdagangan dan distribusi barang di Indonesia maupun di dunia. Delapan puluh lima persen (85%) perdagangan dunia melalui jalur laut sementara itu perdagangan di Indonesia 90 % melalui jalur laut (Arianto Patunru et.al, 2007). Oleh karena pelayanan yang buruk dari pelabuhan akan berdampak besar bagi kegiatan perdagangan dan distribusi barang di Indonesia. Berdasarkan studi dari LPEM-FEUI pada tahun 2007 (Arianto Patunru et.al), yang membuat buruknya pelayanan di pelabuhan adalah kemacetan (congestion) pergerakan barang, terbatasnya infrastruktur, terbatasnya crane, administrasi, manifest kargo. Terkait dengan kemacetan (congestion) pergerakan barang tidak saja terjadi di dalam pelabuhan tetapi juga di luar pelabuhan yang mengakibatkan tersendatnya pengiriman barang dan mengakibatkan kapal harus menunggu lebih lama. Menurut Ketua INSA Oentarto (Suara Publik, 2004) mengilustrasikan kerugian akibat kongesti sebagai berikut: operator kapal kargo bisa mengalami kerugian minimum US$3.500 untuk biaya bongkar per hari; atau
174
minimum US$6.000 untuk biaya carter kapal per hari, di luar biaya pelabuhan dan biaya overhead, seandainya kapal harus antri menunggu di pelabuhan. Menurut Catatan INSA dipelabuhan Tanjung Priok terjadi kerugian sebesar US$ 20 juta per tahun (Nanang, 2005). Oleh karena banyaknya penundaan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok maka banyak perusahaan pelayaran melakukan kegiatan bongkar di pelabuhan-pelabuhan sekitar seperti Pelabuhan Singapore dan Malaysia, sementara itu Pelabuhan Tanjung Priok hanya bertindak sebagai pelabuhan pengumpan(feeder port). Persoalan lain terkait dengan pengelolaan kepelabuhanan adalah kelangkaan fasilitas pelabuhan, regulasi dan sumber daya manusia. Terkait dengan fasilitas pelabuhan, banyak pelabuhan di Indonesia yang terbuka bagi kapal asing tetapi belum sepenuhnya menerapkan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code . Pada PT. JICT, jika dilihat dari produktivitas bongkar muat petikemas dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Ini menunjukkan bahwa usaha di bidang jasa bongkar muat dari maupun ke kapal masih merupakan pangsa pasar yang tinggi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.1. di bawah ini. NO
MONTH
2010
2011
2012
1
January
148,745
187,219
185,897
2
February
140,632
168,778
154,518
3
March
160,834
200,263
196,078
4
April
172,843
186,289
204,020
5
May
188,151
207,877
201,894
6
June
187,114
198,268
206,216
7
July
193,007
214,257
210,957
8
August
202,102
187,433
151,032
9
September
148,952
169,197
206,772
10
October
186,992
200,533
205,535
11
November
178,239
191,382
205,954
12
December
187,400
183,769
218,020
GRAND TOTAL
2,095,008
2,295,264
2,346,891
Sumber : Div. Komersil PT. JICT
Tabel 5.1. Produktivitas Bongkar Muat PT. JICT Berdasarkan Jumlah Petikemas Tahun 2010 – 2012
175
Dari data di atas juga menunjukkan bahwa PT. JICT masih merupakan perusahaan yang terbesar dalam pelayanan penerimaan jasa bongkar muat petikemas karena setiap tahunnya mnegalami peningkatan produktivitas bongkar muat petikemas yang cukup signifikan. Ini berarti perusahaan tersebut masih dipercayai oleh para pelanggannya baik oleh agent maupun shipping line. Dimana dari data produktivitas bongkar muat (table 5.2) pada tahun 2010 diperoleh produktivitas bongkar muat sebesar 2.095.008 Teus, tahun 2011 menjadi 2.295.264 Teus dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 2.346.891. Sehingga rata – rata peningkatan produktivitas pada PT. JICT pertahunnya kurang lebih sebesar 10%.
Gambar 5.1. Produktivitas Bongkar Muat PT. JICT Berdasarkan Jumlah Petikemas Tahun 2010 – 2012 Jika dilihat dari produktivitas per Triwulan maka peningkatan produktivitas bongkar muat yang paling tinggi terjadi pada triwulan keempat pada tahun 2012 (periode Oktober Desember) sebesar 209.836 Teus, sehingga dengan data ini PT. JICT memiliki Key Performance Indikator (KPI) yang cukup baik. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : PT. JICT merupakan salah satu terminal petikemas terbaik di Indonesia berdasarkan fasilitas bongkar muat dibandingkan dengan terminal petikemas yang ada di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang dan Pelabuhan Belawan Sumatera Utara. Produktivitas bongkar muat cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2010 sebesar 2.095.008 Teus menjadi 2.346.891 Teus pada tahun 2012.
176
Dari kondisi ini bisa dilihat bahwa Indonesia masih membutuhkan perusahaan – perusahaan yang bergerak di bidang jasa bongkar muat petikemas. DAFTAR PUSTAKA Radiks Purba. Charter Kapal, Tahun 1981 Penerbit Bhratara Karya Aksara-Jakarta Drs F. D. C. Sudjatmiko, MM. Sistem Angkutan Peti Kemas, Maret 2000 Penerbit Yp. Janiku Pustaka Jakarta. Capt. R.P.Suyono, SHIPPING Pengangkutan International Ekspor Impor Melalui Laut , Edisi Ketiga Penerbit P P M Jakarta, Maret 2000 Prepared; by the Secretariat of UNCTAD, Port Development, A hand book for planners in developing countries , Second edition , UNITED NATIONS New York 1985 Taylor, Capt. LG, Cargo Work – The Care, Handling and Carriage of Cargoes, Brown, Son & Ferguson, Ltd, Glasgow, 1978 Handbook of International Containerization, Economic and Social Commossion for Asia and the Pacific , Bangkok, 1983. Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Laut No. PP 72/2/20-99 tentang Standar Kenerja Pelayanan Operasional Pelabuhan Laut Surat Keputusan Dirjen Perhubungan Laut No. PP 72/2/6-00 tanggal 12 September 2000 tentang SIMOPPEL Pedoman Teknis Sistem Informasi Manajemen Operasional Pelabuhan Tingkat II (SIMOPPEL TK II) Departemen Pehubungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Jln Merdeka Timur 5 Jakarta. Keputusan Bersama Direksi PT . (PERSERO) PELABUHAN INDONESIA I, II, III, dan IV.
177
LANJUTAN ANALISIS KECELAKAAN TRANSPORTASI LAUT TAHUN 2005-2010 DI INDONESIA Danny Faturachman, Muswar Muslim Fakultas Teknologi Kelautan
[email protected]
ABSTRAK Indonesia is the world’s largest archipelago, 2/3 of the country is covered by sea. But due to many factors a lot of ship accidents occurred every year, and claiming a large number of casualties. Efforts have been done to improve the safety of domestic sea transportation, as the result to be fully compliance to the SOLAS regulations, worsen by the varying sea and cargo characteristics, and low educated passengers, they are very vulnerable to accidents. . Most of the accidents occur due to the low awareness of the aspects of security and safety of the crew. The figures differ from the manifest of passengers and number of passengers on the ground become commonplace. There are four main issues in maritime transport, it is said, not the individual agencies or Government willing to hold responsibility for the security and safety, pricing policy, the quality of human resources, as well as the implementation and compliance with the rules are not clear. Kata Kunci: Indonesia, Kecelakaan, Kapal, Transportasi laut, 2005-2010 1. PENDAHULUAN Transportasi merupakan urat nadi perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia. Aktivitas perkembangan transportasi di Indonesia, khususnya transportasi laut semakin meningkat. Hal ini merupakan dampak dari aktivitas perekonomian dan aktifitas sosial budaya dan masyarakat. Disamping itu, proses deregulasi proses pembaruan regulasi di bidang transportasi secara nasional juga telah memicu peningkatan aktifitas transportasi. Memahami sepenuhnya bahwa kesadaran manusia terhadap pelestarian lingkungan semakin tinggi, sehingga kecelakaan transportasi di laut yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan (pencemaran) menjadi bahan pertimbangan yang signifikan. Penyebab utama kecelakaan laut pada umumnya adalah karena faktor kelebihan angkutan dari daya angkut yang ditetapkan, baik itu angkutan barang maupun orang. Bahkan tidak jarang pemakai jasa pelayaran memaksakan diri naik kapal meskipun kapal sudah penuh dengan tekad asal dapat tempat di atas kapal. Sistem transportasi dirancang guna memfasilitasi pergerakan manusia dan barang. Pelayanan transportasi sangat terkait erat dengan aspek keselamatan (safety,) baik orang maupun barangnya. Seseorang yang melakukan perjalanan wajib mendapatkan jaminan keselamatan, bahkan jika mungkin memperoleh kenyamanan, sedangkan barang yang diangkut harus tetap dalam keadaan utuh dan tidak berkurang kualitasnya ketika sampai di tujuan. Dasar Hukum Dasar hukum pelaksanaan penelitian kecelakaan transportasi laut adalah: Peraturan dan Perundang-Undangan Nasional: 1). Undang Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang : Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut) 178
2). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran 3). Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 (PP No.8/2004) tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal. 4). Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan. 5). Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2000 tentang Kepelautan. 6). Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2000 tentang Kenavigasian. 7). Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang Kepelabuhan. 8). Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan. 9). Keputusan Presiden Nomor 105 tahun 1999 tentang Komite Nasional Keselamatan Transportasi. 10). Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 7 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja KNKT. 11). Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.46 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat KNKT. HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan Kebijakan Moda Transportasi Laut Pada dasarnya keselamatan transportasi adalah hak setiap warga negara, sehingga pemerintah Indonesia wajib mewujudkan dan melindungi penyelenggaraan transportasi yang aman, tertib, lancar dan terjangkau. Penumpang yang diangkut wajib memeperoleh jaminan keselamatan dan barang yang dibawa / diangkut diterima di pelabuhan tujuan dalam keadaan sebagaimana pada waktu diterima di pelabuhan muat. Layanan transportasi dengan jaminan keselamatan akan memberikan rasa kepastian dan ketenangan bagi pelaku perjalanan atau bagi pemilik barang, sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat dapat terlindungi. Jika aspek keselamatan transportasi terjamin, dan hak masyarakat pengguna terlindungi, niscaya tidak akan muncul biaya-biaya yang tidak diperlukan dan kontra produktif. Prinsip keselamatan transportasi sudah menjadi perhatian Pemerintah sejak lama, pada tahun 1999 ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 105 Tahun 1999 tentang pembentukan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Berdasarkan Keppres 105 Tahun 1999, bentuk organisasi dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi adalah lembaga non struktural di lingkungan Departemen Perhubungan, dipimpin oleh seorang Ketua, dibantu oleh tiga orang Ketua sub komite dan seorang Sekretaris yang menjalankan fungsi kesekretariatan. 2. Persyaratan Kapal Untuk menghindari terjadinya kecelakaan kapal di laut, maka kapal harus memenuhi semua persyaratan mengenai keselamatan berdasarkan aturan-aturan yang didapat dari konvensi Internasional seperti halnya disebut diatas, yaitu: 1. SOLAS (Safety Of Life At Sea) 1974 Yaitu salah satu konvensi internasional yang berisikan persyaratan-persyaratan kapal dalam rangka menjaga keselamatan jiwa di laut untuk menghindari atau memperkecil terjadinya kecelakaan di laut yang meliputi kapal, crew dan muatannya.
179
Untuk dapat menjamin kapal beroperasi dengan aman harus memenuhi ketentuanketentuan di atas khususnya konvensi internasional tentang SOLAS 1974 pada Bab I s/d V, yang mencakup tentang : 1. Konstruksi kapal yang berhubungan dengan struktur, subdivisi dan stabilitas, instalasi permesinan dan instalasi listrik di kapal . 2. Konstruksi kapal yang berhubungan dengan kebakaran baik mengenai perlindungan kebakaran, alat penemu kebakaran dan alat pemadam kebakaran. 3. Pengaturan dan penggunaan alat keselamatan jiwa. 4. Perlengkapan alat komunikasi radio. 5. Alat-alat navigasi. Dalam penerapan diatas maka dalam implementasinya perlu dibuktikan dengan sertifikat yang masih berlaku yaitu sertifikat keselamatan kapal penumpang yang mencakup persyaratan-persyaratan pada bab II-1, II-2, III, IV & V. Demikian pula bab bab lain dalam SOLAS yaitu ISM (International Safety Management) Code, ISPS (International Port Facilities Security) Code serta IMDG (International Maritime Dangerous) Code yang baru diberlakukan terhitung 1 Januari 2010. 2. MARPOL (Marine Pollution) 1973/1978 Di dalam Marpol diatur tentang pencegahan dan penangguangan pencemaran di laut baik berupa minyak, muatan berbahaya, bahan kimia, sampah, kotoran (sewage) dan pencemaran udara yang terdapat dalam annex Marpol tersebut. Dalam hal ini kapal jenis penumpang sangat erat kaitannya dengan tumpahan minyak, kotoran dan sampah dalam menjaga kebersihan lingkungan laut. Sertifikat yang berhubungan dengan konvensi tersebut adalah : 1. Sertifikat pencegahan pencemaran disebabkan oleh minyak (oil) 2. Sertifikat pencegahan pencemaran yang disebakan oleh kotoran (sewage) 3. Sertifikat pencegahan pencemaran yang disebabkan oleh sampah (garbage). Dalam hubungannya dengan kecelakaan kapal, Marpol memegang peranan penting terutama mengenai limbah yang dibuang yang berbentuk minyak kotor, sampah dan kotoran (sewage). Untuk mengetahui bahwa kapal tersebut telah memenuhi konvensi internasional mengenai Marpol 73/78 dibuktikan dengan adanya sertifikasi. 3. LLC (Load Line Convention) 1966 Kapal yang merupakan sarana angkutan laut mempunyai beberapa persyaratan-persyaratan yang dapat dikatakan laik laut. Persyaratan-persyaratan kapal tersebut diantaranya Certificate Load Line yang memenuhi aturan pada Load Line Convention (LLC 1966). Pada umumnya semua armada telah memiliki Certificate Load Line baik yang berupa kapal barang maupun kapal penumpang. Prosedur untuk mendapatkan Certificate Load Line tersebut adalah kapal harus melalui pemeriksaan dan pengkajian yang telah diatur dalam Undang-undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Kapal yang telah diuji dan diperiksa tersebut, apabila telah memenuhi persyaratan keselamatan kapal dapat diberikan Certificate Load Line yang diterbitkan oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang berlaku secara nasional. Sertifikat tersebut juga berlaku secara internasional sesuai dengan SOLAS 1974.
180
Data Kecelakaan Transportasi Laut Tahun 2005-2010 Faktor Penyebab Kecelakaan Kecelakaan yang terjadi di sungai, danau, dan penyeberangan yang sampai ke Mahkamah Pelayaran lebih disebabkan oleh faktor kesalahan manusia, dan hanya sedikit kejadian kecelakaan di perairan yang disebabkan oleh faktor alam. Menilik alasan tersebut di atas semestinya semua peristiwa kecelakaan bisa diminimalisir manakala ada usaha preventif dari semua pihak agar tidak tersandung pada batu yang sama. Sebagai gambaran perbandingan antara kecelakaan diperairan yang disebabkan oleh faktor kesalahan manusia dan faktor alam dapat dilihat pada Gambar 1, sedangkan menurut wilayahnya pada Tabel 1 dan Gambar 2:
FAKTOR KECELAKAAN Faktor Manusia
Faktor Alam
Faktor Lainnya
11%
24%
65%
Gambar 1 Faktor Penyebab Kecelakaan Berdasarkan Putusan Mahkamah Pelayaran Tabel 1 Jumlah Putusan Mahkamah Pelayaran Menurut Wilayah Kecelakaan Kapal No Uraian
Satuan
1 2 3
2005
2006
2007 2008 2009 2010
Indonesia Bagian Barat Lokasi 16 20 23 22 22 Indonesia Bagian Tengah Lokasi 10 6 7 13 11 Indonesia Bagian Timur Lokasi 3 12 2 0 0 Jumlah 29 38 32 35 33 Sumber/ source : Mahkamah Pelayaran, Setjen , Kemenhub / Marine Court, Secretary General, Ministry of Transportation
181
9 8 2 19
25
20
15 Indonesia Barat Indonesia Tengah 10
Indonesia Timur
5
0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 2 Jumlah Putusan Mahkamah Pelayaran Menurut Wilayah Kecelakaan Kapal Upaya Pemecahan Masalah Seringnya kecelakaan laut yang terjadi di Tanah Air, terutama dalam kurun waktu 20052010, memunculkan tanda tanya besar mengenai kinerja Marine Inspector kita. Apakah mereka sudah betul-betul menjalankan kewajibannya sehingga, misalnya, sound system yang tidak bekerja baik untuk memberitahukan adanya keadaan darurat di atas kapal (emergency alarm system), davit yang tidak bisa terkembang saat menyentuh permukaan laut, sprinkler yang tidak bisa menyemprotkan air saat kebakaran. Walaupun alarm, davit dan sprinkler yang tidak bisa bekerja tersebut kenyataannya dalam sertifikat dinyatakan tetap layak. Marine Inspector Marine Inspector bekerja sejak sebuah kapal mulai dibangun di galangan. Mereka memeriksa apakah konstruksi lambung, perlistrikan dan permesinan kapal, dan lainnya telah memenuhi standar keselamatan yang tercantum di dalam Safety of Life at Sea (SOLAS). Dalam prakteknya, setiap negara bisa saja mendelegasikan pekerjaan yang dilakukan oleh Marine Inspector tadi kepada pihak lain, biasanya kepada klasifikasi negara bersangkutan, namun di Indonesia belum dapat diserahkan semuanya kepada BKI. Hanya negara-negara flag of convenience (FoC) saja yang mendelegasikan pemeriksaan aspek keselamatan kapal yang mengibarkan bendera mereka kepada klasifikasi asing karena mereka memang tidak memilikinya. Di Indonesia, Kementrian Perhubungan selaku pihak yang memegang kewenangan penerapan SOLAS – dalam istilah IMO disebut Administration - telah melimpahkan pemeriksaan konstruksi lambung, perlistrikan dan permesinan kapal kepada Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Sementara, aspek lainnya, umpama; instalasi radio, kelaikan alat-alat keselamatan di atas kapal, dll masih dilaksanakan langsung oleh Dephub melalui Marine Inspector-nya. Kondisi seperti itulah yang sering diistilahkan oleh pemilik kapal 182
domestik dengan multiple classification. Pada awalnya diklasifikasi oleh BKI kemudian diklasifikasi oleh Kemenhub. Di negara lain lazimnya pihak klasifikasi melakukan hampir seluruh pekerjaan yang terkait dengan aspek keselamatan kapal karena pemerintahnya telah melimpahkannya kepada mereka. Kinerja Marine Inspector Kemenhub Mencermati keterangan para korban selamat dari berbagai kecelakaan kapal yang terjadi di Indonesia dan temuan pihak berwenang yang menyelidiki sebab-sebab kecelakaan itu, terungkap bahwa sebagian besar korban tewas jatuh karena alat-alat keselamatan yang ada di atas kapal tidak cukup atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mungkin saja Marine Inspector Kemenhub telah membubuhkan catatan terhadap kelaikan alat keselamatan kapal dalam sertifikat yang dikeluarkannya sehingga pemilik kapal harus melakukan perbaikan bila masa berlaku sertifikat perlu diperbaharui. Dan jika dalam keadaan darurat alat-alat itu tidak berfungsi dengan baik bolehlah kesalahan dikenakan kepada mereka. Tapi kalau Marine Inspector tidak melakukan tugasnya dengan baik, mereka harus juga bisa dimintai tanggungjawabnya. Penyebab kecelakaan angkutan laut yang diakibatkan cuaca badai atau gelombang pasang relatif mudah ditanggulangi, karena adanya sistem komunikasi dan laporan BMKG yang semakin cepat dan akurat. International Safety Management Code (ISM Code) ISM Code adalah standar internasional manajemen keselamatan dalam pengoperasian kapal serta upaya pencegahan/pengendalian pencemaran lingkungan. Sesuai dengan kesadaran terhadap pentingnya faktor manusia dan perlunya peningkatan manajemen operasional kapal dalam mencegah terjadinya kecelakaan kapal, manusia, muatan barang/cargo dan harta benda serta mencegah terjadinya pencemaran lingkungan laut, maka IMO mengeluarkan peraturan tentang manajemen keselamatan kapal & perlindungan lingkungan laut yang dikenal dengan Peraturan International Safety Management (ISM Code) yang juga dikonsolidasikan dalam SOLAS Convention. Penanggung jawab ISM Code Pada dasarnya ISM Code mengatur adanya manajemen terhadap keselamatan (safety) baik Perusahaan Pelayaran maupun kapal termasuk SDM yang menanganinya. Untuk Perusahaan Pelayaran, harus ditunjuk seorang setingkat Manajer yang disebut DPA (Designated Person Ashore/Orang yang ditunjuk di darat). Ia bertanggung jawab dan melakukan pengawasan terhadap keselamatan (safety) dari Perusahaan Pelayaran tersebut. Manajer penanggung jawab ini harus bertanggung jawab dan mempunyai akses langsung kepada Pimpinan tertinggi (Direktur Utama/Pemilik Kapal) dari Perusahaan Pelayaran tersebut. Untuk kapal, disetiap kapal harus mempunyai system dan prosedur penanggulangan dan pencegahan terhadap peristiwa gangguan terhadap keselamatan (safety) dan dalam pelaksanaannya harus menunjuk seorang Perwira yang bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap keselamatan (safety) kapal dan pencegahan pencemaran dari kapal. Kondisi di lapangan, terutama di pelosok tanah air menunjukkan bahwa aturan yang menyangkut pelaporan sistem manajemen keselamatan (safety management system) sering dimanipulasi. Padahal untuk menjaga keselamatan kapal dan lingkungan, diberlakukan 183
sistem ISM Code yang disertai dengan Designated Person Ashore (DPA) untuk pengawasan kapal dan manajemen perusahaan secara periodik. ISM Code tidak berlaku untuk kapal-kapal dengan ukuran < 500 GT. Tujuan dari ISM Code adalah untuk memberikan standar internasional mengenai manajemen dan operasi kapal yang aman dan mencegah terjadinya pencemaran. Bagi kapal yang memenuhi regulasi akan diberikan Safety Management Certificate (SMC) sedang manajemen perusahaan pelayaran yang memenuhi regulasi diberikan Document of Compliance (DOC) oleh Biro Klasifikasi Indonesia. KESIMPULAN Jumlah kecelakaan kapal pelayaran di Indonesia cukup memprihatinkan, terutama selama periode 2005-2010, dengan terjadinya 185 kasus kecelakaan. Pada tahun 2005 tercatat 29 peristiwa kecelakaan, tahun 2006: 38 kecelakaan, 2007: 32 kecelakaan, 2008: 35 kecelakaan, 2009: 32 kecelakaan dan pada tahun 2010 terjadi 19 kasus kecelakaan, ratarata kecelakaan selama 6 tahun terakhir adalah 30,83%. Jenis kecelakaan yang terjadi ratarata selama 6 tahun (2005-2010) adalah tenggelam (30%), tubrukan (26%), kandas (14%), kebakaran (17%) dan lainnya (13%). Sedangkan penyebab kecelakaan kapal adalah 65% human error, 24% kesalahan teknis, 11% karena kondisi lainnya. Kecelakaan banyak terjadi pada kapal ukuran < 500GT (Non Konvensi) yaitu kapal motor yang selama ini belum diatur penataannya, baik daerah pelayaran, sertifikasi maupun peralatan keselamatan, sehingga perlu ditata kembali sistem yang baku termasuk persyaratan kelaiklautan kapal tersebut disertai prosedur-prosedur yang harus dilakukan dalam mengantisipasi resiko kecelakaan di laut, sebagaimana sudah diatur pada kapal diatas 500 GT (SOLAS, STCW dan MARPOL). Dari data kecelakaan kapal tahun 2005 – 2010, bahwa trend kecelakaan yang dominan adalah tenggelam, terbakar, tubrukan dan kandas. Adapun jenis kecelakaan untuk wilayah yang sering/dominan terjadi kecelakaan yaitu : Provinsi Kalimantan Timur (Balikpapan); Jenis kecelakaan yang sering terjadi atau dominan adalah tubrukan. Untuk itu diperlukan pengadaan peralatan keselamatan investigasi berupa : - Kapal/motor boat/perahu untuk mencapai tempat kecelakaan - Life jacket - Peralatan selam - Peralatan las Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar); Jenis kecelakaan yang sering terjadi atau dominan adalah tenggelam. Untuk itu diperlukan pengadaan peralatan keselamatan investigasi berupa : - Kapal/motor boat/perahu untuk mencapai tempat kecelakaan - Life jacket - Peralatan selam - Peralatan las - Kapal selam riset/kapal robot (untuk wilayah yang lautnya dalam)
184
DAFTAR PUSTAKA Abrahamson, B.J. 1980. International Ocean Shipping: Current Concepts and Principles, West view Press, Inc. Boulder, Colorado. ILO Convention No. 147 year 1976 & No. 185 year 2008. Load Line Convention 1966. Loudon, David L. Della, Bitta and Albert, J., Consumer Behavior, Fourth Edition , Mc Graw-Hill, Inc, New York, 1993. Marine Protocol 1973/1978. PT Trans Asia Konsultan, 2009. Laporan Analisis Tren Kecelakaan Laut. Papacotas, C.S. and Prevendouros, P.D. 1993.Transportation Engineering and Planning, 2nd ed. Prentice Hall, New Jersey.STCW 1978 amendment 1985. The Safety of Live At Sea (SOLAS) Convention , 1974. Tonnage Measurement, 1966.
185
PENGARUH VARIABEL INTERNAL DAN EKTERNAL TERHADAP KEPUTUSAN MEMBELI MOBIL XENIA (Studi Kasus : Pengguna Mobil Xenia di CBD-Ciledug ) Sukardi Jurusan Manajemen – Fakultas EKonomi ABSTRACT Transportation are necessary for each human being in supporting the activity and mobility of any good day for work, tourism, to go to school as well as other business activities. Choose other kinds of vehicles every man having knowledge of different instructions as consideration for a price, its kind, their needs and prestisnya. A variant of vehicle production by automotive industry in this country has been much enchant appetites of consumers. The internal factor and external capable of forming the attitudes and behavior consumers in taking a decision to buy a vehicle brand xenia. In this research is the problem will not be known for certain consumers in taking a decision buy a car xenia. Research purposes is to know of what that affects consumers xenia decided to buy a car. A method of research that we use is to non the probability of sampling namely survey respondents who uses a car xenia to fill a questionnaire in tetutup as many as 100 of respondents. The results of research has been carried out indicating that the decision consumers buy a car xenia influenced the internal factor as much as ( 60 % ) consisting of: motivation, perception, attitude, lifestyle, personality and learn. While of external of ( 66 % ) consisting of: the influence of the family, social classes, culture, marketing strategy, and clusters of reference. Keywords: the internal factor, externally, the decision to buy. 1.
PENDAHULUAN
Alat transportasi merupakan salah satu kebutuhan pokok untuk melakukan mobilitas di dalam kota. Setiap orang sangat mendambakan jenis alat transportasi yang berupa kendaraan yang nyaman dan aman yaitu Mobil. JAKARTA — Astra Daihatsu Motor menutup akhir tahun 2011 dengan gemilang. Daihatsu berhasil mempertahankan peringkat kedua penjualan mobil nasional. Sepanjang 2011, Daihatsu berhasil mendongkrak penjualan wholesales mencapai 139.544 unit atau meningkat 18 persen dari tahun sebelumnya, yaitu 118.591 unit dengan market share 15,6 persen. Secara retail sales pada periode yang sama Daihatsu mencatat 137.166 unit. Mengamati hasil Top Brand Index untuk kategori MPV Toyota Kijang sejak tahun 2007 terus mengalami penurunan. Di tahun 2007, indeksnya masih 56.3% dan tinggal 16.8% di tahun 2011. Kalau ini terus terjadi dan Kijang Innova tidak melakukan perubahan produk, saya prediksi, indeksnya akan tinggal 10%. Di sisi lain, indeks Avanza terus meningkat dan mencapai indeks 35.8% di tahun 2011. Ini juga sejalan dengan tingkat penjualan di tahun 2011 yang mencapai 162.367 dibanding dengan Kijang Innova yang tinggal 54.763. Xenia yang penjualannya di atas Kijang Innova, indeks kekuatan mereknya bertengger di tempat ketiga di tahun 2011. Berikut ini gambaran top brand indek lima jenis kendaraan MPV dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012. 186
Gambar-1 Grafik Top Brand Indek 5 Jenis Kendaraan 6 tahun terakhir disiapkan. Sedangkan produksi untuk Xenia generasi pertama sudah dihentikan. Saat ini, stok Xenia di pasar tinggal 2.900 unit. "Memang, dengan adanya produksi Xenia dan Avanza, pabrik Daihatsu di Sunter menjadi pabrik otomotif terbesar di Indonesia," tambahnya. 1.2. Perumusan Masalah a. Bagaimana hubungan faktor internal dan eksternal secara parsial maupun bersama-sama terhadap keputusan pembelian mobil merek Xenia ? b. Seberapa besar pengaruh faktor internal dan eksternal secara parsial maupun bersama-sama terhadap keputusan pembelian mobil merek Xenia ? 1.3. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui kuat lemahnya hubungan antara faktor internal dan eksternal terhadap keputusan pembelian mobil merek Xenia. b. Untuk mengetahui besar kecilnya pengaruh faktor internal dan eksternal terhap keputusan pembelian mobil merek Xenia. 2.
TINJAUAN TEORI 1. Variabel yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Menurut judul salah satu studi klasik, kita termasuk ke dalam “social animals”. Jadi, untuk memahami perilaku konsumen bergantung pada psikologi dan sosiologi. Hasilnya berfokus pada empat bidang yang menjadi pengaruh utama terhadap perilaku konsumen: psikologis, pribadi, sosial, dan budaya Griffin & Ebert, (2003:366) a. Pengaruh psikologis mencakup motivasi, presepsi, kemampuan belajar, dan sikap perseorangan. b. Pengaruh pribadi mencakup gaya hidup, kepribadian, dan status ekonomi. c. Pengaruh sosial mencakup keluarga, pendapat pemimpin (orang yang pendapatnya diterima oleh orang lain), dan kelompok referensi lainya seperti teman, rekan sekerja, dan rekan seprofesi. d. Pengaruh budaya mencakup budaya (“cara hidup” yang membedakan satu kelompok besar dengan kelompok lainya), subkultur (kelompok yang lebih kecil, seperti kelompok etnis yang memilliki nilai-nilai bersama), dan kelas sosial (kelompok-kelompok berdasarkan peringkat budaya menurut kriteria seperti latar belakang, pekerjaan, dan pendapatan.
187
Walaupun seluruh faktor itu dapat berdampak besar pada pilihan konsumen, dampk faktor-faktor itu terhadap pembelian aktual beberapa produk menjadi sangat lemah atau dapat diabaikan. Beberpa konsumen, misalnya, memperlihatkan loyalitas terhadap merek (Brand Loyalty) tertentu, yang berarti mereka secara rutin membeli produk-produk karena mereka puas atas kinerja merek produk itu. Berdasarkan landasan teori, ada dua faktor dasar yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor Internal Faktor-faktor yang termasuk ke dalam faktor internal adalah motivasi, persepsi, sikap, gaya hidup, kepribadian dan belajar. Belajar menggambarkan perubahan dalam perilaku seseorang individu yang bersumber dari pengalaman. Seringkali perilaku manusia diperoleh dari mempelajari sesuatu. Faktor-faktor yang termasuk ke dalam faktor internal adalah motivasi, persepsi, sikap, gaya hidup, kepribadian dan belajar. Belajar menggambarkan perubahan dalam perilaku seseorang individu yang bersumber dari pengalaman. Seringkali perilaku manusia diperoleh dari mempelajari sesuatu.
Faktor Eksternal Faktor eksternal merupakan faktor yang meliputi pengaruh keluarga, kelas sosial, kebudayaan, marketing strategy, dan kelompok referensi. Kelompok referensi merupakan kelompok yang memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung pada sikap dan prilaku konsumen. Kelompok referensi mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembelian dan sering dijadikan pedoman oleh konsumen dalam bertingkah laku. Faktor eksternal merupakan faktor yang meliputi pengaruh keluarga, kelas sosial, kebudayaan, marketing strategy, dan kelompok referensi. Kelompok referensi merupakan kelompok yang memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung pada sikap dan prilaku konsumen. Kelompok referensi mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembelian dan sering dijadikan pedoman oleh konsumen dalam bertingkah laku. Ada 3 macam pendekatan utama dalam meneliti perilaku konsumen, yaitu: 1. Pendekatan Interpretif, dimana pendekatan ini menggali secara mendalam perilaku konsumsi dan hal-hal yang mendasarinya, misalnya dengan melakukan wawancara atau focus group discussion. 2. Pendekatan Tradisional, dimana pendekatan ini berdasarkan teori dan metode dari ilmu psikologi kognitif, sosial, dan behavioral serta dari ilmu sosiologi. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mengembangkan teori dan metode untuk menjelaskan perilaku dan pembuatan keputusan konsumen, misalnya dengan melakukan survey atau eksperimen. 3. Pendekatan Sains Marketing, dimana pendekatan ini berdasarkanpada teori dan metode dari ilmu ekonomi dan statistika. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk memprediksi pengaruh strategi marketing terhadap pilihan dan pola konsumsi (Moving rate analysis), yang dilakukan dengan cara mengembangkan dan menguji coba model matematika berdasarkan hierarki kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow.
188
3.
KEPUTUSAN PEMBELIAN Menurut Helga Drumond (2003:68), adalah mengidentifikasikan semua pilihan yang mungkin untuk memecahkan persoalan itu dan menilai pilihan-pilihan secara sistematis dan obyektif serta sasaran-sasarannya yang menentukan keuntungan serta kerugiannya masingmasing. Definisi keputusan pembelian menurut Nugroho (2003:38) adalah proses pengintegrasian yang mengkombinasi sikap pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu diantaranya. Pengambilan keputusan merupakan suatu kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang yang ditawarkan. Menurut Kotler (2004:204) Tahap-tahap proses keputusan pembelian: 1. Pengenalan Masalah (Problem Recognition) Pembeli dimulai dengan mengenal masalah atau kebutuhan. Konsumen menyadari suatu perbedaan antara keadaan sebenarnya dan keadaan yang diinginkannya. Kebutuhan itu dapat digerakkan oleh rangsangan dari dalam diri pembeli atau pengaruh dari luar dirinya. Para pemasar perlu mengenal berbagai hal yangdapat menggerakkan kebutuhan atau minat tertentu dalam konsumen. Para pemasar perlu meneliti konsumen untuk memperoleh jawaban, apakah kebutuhan yang dirasakan atau masalah yang timbul, apa yang menyebabkan semua itu muncul, dan bagaimana kebutuhan atau masalah itu menyebabkan seseorang mencari produk tertentu ini. 2. Pencarian Informasi Konsumen yang mulai muncul minatnya mungkin akan atau mungkin tidak mencari informasi yang lebih banyak lagi. Jika dorongan konsumen adalah kuat, dan obyek yang dapat memuaskan kebutuhan itu tersedia, konsumen akan membeli obyek itu. Jika tidak, kebutuhan konsumen itu tinggal mengendap dalam ingatannya. Konsumen mungkin tidak berusaha untuk memperoleh informasi lebih lanjut atau sangat aktif mencari informasi sehubungan dengan kebutuhan itu. 3. Penilaian Alternatif Setelah melakukan pencarian informasi sebanyak mungkin tentang banyak hal, selanjutnya konsumen harus melakukan penilaian tentang beberapa alternatif yang ada dan menentukan langkah selanjutnya. Penilaian ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sumber-sumber yang dimiliki oleh konsumen (waktu, uang dan informasi) maupun risiko keliru dalam penilaian. 4. Keputusan Membeli Setelah tahap-tahap awal tadi dilakukan, sekarang tiba saatnya bagi pembeli untuk menentukan pengambilan keputusan apakah jadi membeli atau tidak. Jika keputusan menyangkut jenis produk, bentuk produk, merk, penjual, kualitas dan sebagainya. Untuk setiap pembelian ini, perusahaan atau pemasar perlu mengetahui jawaban atas pertanyaan yang menyangkut perilaku konsumen, misalnya: berapa banyak usaha yang harus dilakukan oleh konsumen dalam pemilihan penjualan (motif langganan/patronage motive), faktor-faktor apakah yang menentukan ksan terhadap sebuah toko, dan motif langganan yang sering menjadi latar belakang pembelian konsumen.
189
5.
Perilaku setelah pembelian Setelah membeli suatu produk, konsumen akan mengalami beberapa tingkat kepuasan atau tidak ada kepuasan. ada kemungkinan bahwa pembeli memiliki ketidakpuasan setelah melakukan pembelian, karena mungkin harga barang dianggap terlalu mahal, atau mungkin karena tidak sesuai dengan keinginan atau gambaran sebelumnya dan sebagainya.
4. METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain survai dengan kuesioner yang dipakai untuk tujuan mengetahui persepsi jawaban responden tentang faktor yang mempengaruhi responden ketika melakukan keputusan untuk membeli mobil Xenia. Faktor yang mempengaruhi peneliti melihat dari sisi factor internal dan ekternal. Selanjutnya jawaban responden akan di analisis dengan pendekatan korelasi dan regresi untuk mengetahui hubungan kuat lembahnya variabel tersebut serta seberapa besar pengaruhnya. Faktor Internal : (X1) -Motivasi
Keputusan Pembelian : (Y)
-Persepsi
-Mengenal masalah
Faktor Eksternal : (X2) -Sikap
-Pencarian informasi
-Keluarga -Gaya Hidup
-Kelas Sosial
-Evaluasi alternative
-Kepribadian
Gambar-3 -Keputusan membeli Disain Penelitian
-Kebudayaan -Belajar
-Marketing strategy
2. Hipotesa -Kelompok referensi Hipotesa operasional ini mendefinisikan variable-variabel yang ada didalamnya agar dapat dioperasionalisasikan. Hipotesa operasional dijadikan menjadi dua, yaitu hipotesa 0 yang bersifat netral dan hipotesa 1 yang bersifat tidak netral. Hipotesa dalam penelitian ini dapat dirumskan sebagai berikut : 1. H0 =Diduga Faktor internal dan ekternal memiliki hubungan dan pengaruh yang positif dan siginifikan terhadap keputusan pembelian mobil Xenia. 2. H1 =Diduga Faktor internal dan ekternal tidak memiliki hubungan dan pengaruh yang positif terhadap keputusan pembelian mobil Xenia. 3. Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono 2009:73). Karena jumlah populasi dalam penelitian ini belum diketahui maka ukuran atau jumlah sampel diambil dengan menggunakan rumus Pendugaan Proporsi atau Proporsi Tak Terduga :
190
Z / 2 n e Dimana : n = Jumlah konsumen yang akan dijadikan responden Z = Nilai z dari tingkat keyakinan p = Proporsi konsumen e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolelir diinginkan (error sampling) 5% Berdasarkan rumus di atas, menggunakan kaidah P = ½ atau 0,5 tingkat keyakinan Z = 95%, dan e = 5%, maka diperoleh 97 responden atau pembulatan 100 responden. 2
5.
HASIL PENELITIAN 1. Uji Reliabilitas Uji reliabilitas berguna untuk menetapkan apakah instrumen yang digunakan dalam penelitian ini dapat digunakan lebih dari satu kali untuk responden, paling tidak oleh responden yang sama akan menghasilkan data yang konsisten. Dengan kata lain, reliabilitas instrumen mencirikan tingkat konsistensi. Banyak rumus yang dapat digunakan untuk mengukur reliabilitas diantaranya adalah rumus Spearman Brown. Hasil uji reliabilitas dengan menggunakan SPSS 18 menunjukkan sebagaimana tabel 4-11. Tabel-14 Reliability Statistics Cronbach's Alpha Cronbach's Based on Alpha Standardized Items N of Items .861 .879 3 Sumber : Kuesionder di olah 2012 2. Analisis Korelasi Parsial Tabel-16 Partial Correlations Keputusan Pearson Correlation Pembelian Keputusan Pembelian 1.000 Faktor Internal .687 Faktor Ekternal .778 Sig. (1Keputusan Pembelian . tailed) Faktor Internal .000 Faktor Ekternal .000 N Keputusan Pembelian 100 Faktor Internal 100 Faktor Ekternal 100 Sumber : Kuesioner dilah 2012
191
Faktor Internal .687 1.000 .658 .000 . .000 100 100 100
Faktor Ekternal .778 .658 1.000 .000 .000 . 100 100 100
Berdasarkan pada tabel 4-12 di atas menunjukkan bahwa hubungan antara variabel Internal (X1) terhadap keputusan pembelian sebesar 0,687 artinya variabel dipenden ini memiliki hubungan kuat (acuan pada bab tiga : 0,60-0,79). Begitu juga variabel Ekternael (X2) terhadap keputusan pembelian menunjukkan angka sebesar 0,778 artinya variabel ini memiliki hubungan yang kuat. 3. Analisasi Regresi secara Simultan Pada tabel 4-13 akan dilakukan uji t dikenal dengan uji parsial, yaitu untuk menguji bagaimana pengaruh masing-masing variabel bebasnya secara sendiri-sendiri terhadap variabel terikatnya. Uji ini dapat dilakukan dengan mambandingkan t hitung dengan t tabel atau dengan melihat kolom signifikansi pada masing-masing t hitung, proses uji t identik denganUji F (lihat perhitungan SPSS-18 pada Coefficient Regression Full Model/Enter). Atau bisa diganti dengan Uji metode Stepwise. Tabel-17 Coefficient Regression Full Model/Enter Unstandardized Standardized 95.0% Confidence Uji Sig. Coefficients Coefficients Interval for B t B Beta Lower Upper Model Std. Error Bound Bound 1 (Constant) 3.131 2.110 1.484 .141 -1.057 7.318 Faktor Internal .210 .054 .309 3.924 .000 .104 .317 Faktor Ekternal .492 .067 .575 7.306 .000 .358 .625 a. Dependent Variable: Keputusan Beli Selanjutnya dari hasil perhitungan SPSS-18 dapat dilakukan uji hipotesis nyata terhadap variabel Internal maupun Ekternal terdap Keputusan pembelian yaitu : H0 = Faktor Internal di duga tidak mempunyai pengaruh yang positif atau berupa garis linier. H1= Faktor Internal di duga mempunyai pengaruh yang positif atau berupa garis linier. 1. Koefisien arah Variabel Internal bertanda positif, artinya jika jika factor-faktor yang ada dalam vafiabel internal ditingkatkan, maka keputusan pembelian semakin kuat atau sebaliknya, ceteris paribus. Hal ini terbukti dari hasil uji t dengan mengambil taraf signifikan 1% yang menunjukkan bahwa t-hitung 3.924 > dari t-tabel 2.358, sehingga hipotesis H0 ditolak. Artinya terdapat hubungan yang liner antara variabel Internal dengan keputusan pembelian. 2. Koefisien arah Variabel Ekternal bertanda positif, artinya jika jika factor-faktor yang ada dalam vafiabel internal ditingkatkan, maka keputusan pembelian semakin kuat atau sebaliknya, ceteris paribus. Hal ini terbukti dari hasil uji t dengan mengambil taraf signifikan 1% yang menunjukkan bahwa t-hitung 7,306 > dari t-tabel 2.358, sehingga hipotesis H0 ditolak. Artinya terdapat hubungan yang liner antara variabel Ekternal dengan keputusan pembelian. 3. Berdasarkan tabel 4-13 di atas dapat diperoleh rumus regresi berganda sebagai berikut: Y = 3,131 + 0,210 X1 + 0,492 X2 Dari persamaan regresi berganda tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut: a. Konstanta (a), ini berarti jika semua variabel bebas memiliki nilai nol (0) maka nilai variabel terikat keputusan pembelian sebesar 3,131. b. Variabel Internal (X1) terhadap keputusan pembelian (Y) 192
Nilai koefisien variabel Internal untuk variabel X1 sebesar 0,210. Hal ini mengandung arti bahwa setiap perubahan atau penambahan factor-faktor yang ada dalam variabel internal satu satuan maka variabel keputusan pembelian (Y) akan semakin kuat sebesar 0,210 dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model regresi adalah tetap/ceteris paribus. c. Faktor Ekternal (X2) terhadap keputusan pembelian (Y) Nilai koefisien variabel ekternal untuk variabel X2 sebesar 0,492. Hal ini menunjukkan bahwa variabel eksternal mengandung arti bahwa setiap perubahan factor-faktor dalam variabel eksternal satu satuan maka variabel keputusan pembelian (Y) akan naik sebesar 0,492 dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model regresi adalah tetap/ceteris paribus. 4. Analisis Korelasi dan Regresi Berganda Nilai R merupakan hasil perhitungan SPSS-18 yang menunjukkan kuat lemahnya hubungan kedua variabel secara bersamaan antara factor internal maupun eksternal terhadap keputusan pembelian. Sedangkan Koefisien determinasi R-Square merupakan besarnya pengaruh kedua variabel terhadap keputusan pembelian. Tabel-18 Model Summary Model dim
R .812a
Change Statistics Adjuste Std. Error dR of the R Square F Change df1 df2 Sig. F DurbinR Square Square Estimate Change Change Watson .660 .653 2.91242 .660 93.998 2 97 .000 1.723
Berdasarkan Tabel 4-14 ”Model Summary” dapat disimpulkan bahwa factor Internal dan Eksternal memiliki hubungan sangat kuat dengan nilai 81,2%. Sedangkan kedua factor tersebut juga memiliki pengaruh sebesar 66.0% terhadap keputusan pembelian Mobil Xenia, sedangkan 34.0% dipengaruhi variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Tabel-19 ANOVAb Model
Sum of Squares df Mean Square 1 Regression 1594.617 2 797.308 Residual 822.773 97 8.482 Total 2417.390 99 a. Predictors: (Constant), Faktor Ekternal, Faktor Internal b. Dependent Variable: Keputusan Beli
Uji F 93.998
Sig. .000a
Selanjutnya dari hasil perhitungan SPSS-18 dapat dilakukan uji hipotesis nyata model regresi linier dengan mengambil hipotesis : H0 = Di duga tidak terdapat hubungan dan pengaruh Variabel Internal maupun Eksternal secara bersamaan terhadap keputusan pembelian Mobil Xenia. H1= Di duga terdapat hubungan dan pengaruh Variabel Internal maupun Eksternal secara bersamaan terhadap keputusan pembelian Mobil Xenia. Untuk menguji hipotesis tersebut dapat dilihat dari hasil pengujian nilai F hitung sebesar 93,998, dengan mengambil taraf signifikansi (α) sebesar 5% maka dari tabel distribusi F di dapat nilai F sebesar F,0.05 = 3.09. Dikarenakan F-hitung sebesar 93,998 > dari F-tabel = 193
3.09, maka H0 ditolak, artinya dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan secara linier antara factor-faktor Internal dan Ekternal terhadap keputusan pembelian Mobil Xenia. 6. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari jawaban responden tentang dua factor Internal maupun Eksternal yang mampu mempengaruhi responden dalam membuat keputusan pembelian mobil Xenia adalah sebagai berikut : 1.Variabel internal X1 (independen) menunjukkan bahwa korelasi terhadap keputusan pembelian sebesar 68% memiliki hubungan yang kuat, sedangkan Variabel Ekternal X2 (independen) juga memiliki hubungan korelasi terhadap keputusan pembelian sebesar 77% atau memiliki hubungan kuat. 2. Variabel internal memiliki koefisien determinasi pengaruh terhadap keputusan pembelian sebesar, 60 % sedangkan koefisien determinasi variabel ekternal terhadap keputusan pembelian sebesar 66 % hal ini kedua variabel memiliki pengaruh cukup besar. 3. Sedangkan kedua variabel Internal dan Ekternal secara bersamaan memiliki hubungan sebesar 0,81% dengan koefisien determinasi sebesar 0,66% dan sebanyak 34% di pengaruhi oleh factor lain yang tidak termasuk di analisis dalam penelitian ini. 4. Dari hasil persamaan regresi berganda Y = 3,131 + 0,210 X1 + 0,492 X2 Memberikan arti bahwa keputusan pembelian akan semakin kuat jika kedua variabel indipenden (Internal dan Eksternal) terdapat perubahan baik jenis faktornya maupun intensitas kegiatan pada factor tersebut juga kuat. 2. Saran Jika dilihat dari hasil analisis kedua variabel indipenden Faktor Internal dan Ekternal maka factor ekternal cenderung lebih kuat dalam mempengaruhi variabel dipenden (Y) keputusan pembelian mobil Xenia. Oleh karena itu di sarankan PT. Astra Daihatsu Motor dalam melakukan pendekatan terhadap konsumennya lebih cenderung menggunakan variabel factor internal seperti : pendekatan keluarga, personal selling serta factor iklan yang terus-menerus untuk mengingatkan. Perubahan mendasar terhadap hal-hal yang sangat mempengaruhi perilaku konsumen dan secara terus menerus harus dilakukan agar lebih menarik bagi konsumen. DAFTAR PUSTAKA Algifari (2003), Statistik Induktif Untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Drumond Helga (2003), Guide to Decision Making, Getting it More Right Than Wrong; Ebert dan Griffin (1995) Consumer Behavior, Prentice Hall Inc. Engel, J. Blackweel and R. Miniard W P. 2000. Perilaku Konsumen. Binarupa Aksara. Jakarta. J. Setiadi, Nugroho, 2003, Perilaku Konsumen . Penerbit PT. Kencana Prenanda Media, Jakartra
194
Kotler Philip dan G. Armstrong G, 2000. Principles of Marketing, 7th edition. Prentice Hall Inc, Saddle New Jersey Kotler, Philip, dan Gary Amstrong. 2004. Dasar-Dasar Pemasaran. Alih Bahasa Alexander Sindoro, Penyunting Bahasa Bambang Sarwiji. EdisiKesembilan. Jakarta : PT. Index. Kolter, Philip, Keller, Kevin Lane. 2005. Marketing Management: Twelfth Edition. New Jersey: Pearson Education, inc. Loudon L David dan Albert J. Della Bitta, (1993) Consumer Behavior, Prentice Hall Inc, Saddle New Jersey Notoatmodjo S, 2005, Teknik Pengambilan Sampel, Metodologi Penelitian Edisi-3, Jakarta, PT. Rineka Cipta. Priyatno Dwi, (2008), Mandiri Belajar SPSS, Yogyakarta, Mediakom Sugiyono. (2009), Metode Penelitian Bisnis (Edisi 13). Bandung: CV Alvabeta. Schiffman, L.G dan Kanuk, L.L. 1994.Consumer Behaviour. 5thEdition. New Jersey: Prentice Hall. Schiffman, L.G dan Kanuk, L.L. 2000,Consumer Behaviour. 7th Edition. New Jersey: Prentice Hall. Swastha Bashu dan T. Hani Handoko (2000), Manajemen Pemasaran, Analisa Perilaku Konsumen, Edisi Pertama, Cekatan kedua, Yogyakarya Liberty. Schiffman dan Kanuk-http://www.e-iman.uni.cc). http://www.bps.go.id/aboutus.php?news=1&nl=1 http://www.daihatsu.co.id/products/highlight/xenia
195
PENGARUH MUTASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN ADMINISTRASI UNIVERSITAS DARMA PERSADA Oleh : Endang Tri Pujiastuti Firsan Nova ABSTRAK Mutasi termasuk dalam fungsi pengembangan karyawan yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam organisasi. Dalam pelaksanaanya harus dilakukan secara transparan dan tepat sasaran serta mengnut prinsip the right man in the right place. Mutasi merupakan tindak lanjut dari penilain kinerja, karena dengan mutasi diharapakan karyawan mampu bekerja lebih baik, lebih berprestasi dengan uraian dan sifat serta alat-alat pekerjaan yang cocok bagi karyawan yang berangkutan. Masalah pelaksanaan mutasi timbul diakibatkan pihak manajemen yang belum tepat dalam mengambil keputusan dan kebijaksanaan. Fenomena tersebut terlihat pada pelaksanaan mutasi di Unsada pada Tahun 2011 sampai dengan Tahun 2012. Melalui uji regresi, korelasi dan signifikansi dengan sampel 33 orang menunjukkan nilai koefisien determinasi sebesar 0,7% artinya kontribusi mutasi sangat kecil terhadap pembentukkan variabel kinerja. Hasil ini menunjukkan bahwa kinerja karyawan Unsada tidak dibentuk atau dipengaruhi oleh pelaksanaan mutasi, namun dipengaruhi oleh variabel lain sebesar 99,03 % seperti : kenaikan gaji, penghargaan, kepemimpinan, kepuasan kerja, lingkungan kerja dan variabel lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Sedangkan dari uji signifikansi model menunjukkan 0.633 sangat jauh diatas nilai alpha 0,05 artinya dua variabel yaitu mutasi dan kinerja tidak valid untuk ditemukan keterkaitannya. Jikapun dilakukan uji regresi hasilnya menunjukkan bahwa mutasi mengakibatkan penurunan kinerja. Oleh karena itu, jika Manajemen Unsada bertujuan meningkatkan kinerja karyawan, variabel mutasi tidak dapat digunakan sebagai variabel peningkatan kinerja. Manajemen Unsada perlu memahami variable-variabel lain yang tepat dan secara signifikan mempengaruhi kinerja dan perlu pula melakukan peninjauan terhadap relevansi SK Rektor yang berkaitan dengan kedua variabel tersebut sekaligus menyusun standar operasional prosedur sebagai dasar mengimplementasikan kedua kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan tepat, transparan dan akuntabel. Kata Kunci : Mutasi dan Kinerja 1. PENDAHULUAN Dalam manajemen organisasi, sumber daya manusia tidak hanya sebagai alat tujuan organisasi tetapi juga harus memandang sumber daya manusia sebagai aset yang harus dipelihara dan dikembangkan. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan sumber daya manusia dengan kinerja tinggi yang salah satu cara untuk meningkatkan kinerja karyawan adalah dengan mutasi karyawan. Mutasi merupakan salah satu kebijakan yang sangat penting dan perlu dilakukan baik dilihat dari kepentingan organisasi maupun karyawan. Dalam manajemen sumber daya 196
manusia, mutasi merupakan fungsi pengembangan karyawan, karena tujuannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja dalam oraganisasi, disamping itu memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman di berbagai bidang ilmu pengetahuan serta diharapkan agar pekerjaan karyawan dapat dilakukan secara lebih efektif efisien, meningkatkan kompetensi karyawan, mengembangkan motivasi, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman kerja, mutu proses pekerjaan dan produktifitas serta efisiensi organisasi. Sebagimana yang dikemukanan Nitisemito (2002 : 71) berpendapat bahwa mutasi merupakan suatu kegiatan rutin dari suatu perusahaan untuk melaksanakan prinsip “the right man in the right place” atau orang tepat pada tempat yang tepat . Terdapat beberapa alasan dan tujuan serta manfaat yang mendasari dilaksanakan kebijakan mutasi, menurut Malayu Hasibuan (2002 : 102) bahwa ketepatan dalam melaksankan mutasi disesuaikan dengan (1) kemampuan kerja karyawan, (2) Kesenangan atau keinginan karyawan, (3) Kesesuaian antara yang lama dan jabatan yang baru, (4) Kebijaksanaan atau peraturan yang berlaku, (5) Tanggung jawab atau beban kerja, (6) Tingkat pendidikan, (7) Lamanya masa menjabat. Sedangkan menurut Tanjung dan Rahmawati (2003 : 112) mutasi diperlukan karena bermanfaat untuk (1) Meningkatkan kinerja karyawan, (2) Menciptakan keseimbangan antara karuawan dengan komposisi pekerjaan/jabatan, (3) Memperluas atau menambah pengetahuan karyawan, (4) Mengatasi rasa bosan/jenuh karyawan pada pekerjaan, jabatan dan tempat kerja yang lama, (5) Memberikan motivasi kepada karyawan, (6) Mengatasi perselisihan antar sesama karyawan, (7) Memenuhi keinginan karuawan sesuai dengan minat dan bidang tugasnya masing-masing, (8) Memberikan keyakinan karyawan tidak akan diberhentikan karena kekuranganmampuan, (9) Mengusahakan prinsip orang yang tepat pada tempat yang tepat. Sedangkan kinerja mempunyai peran penting dalam pencapaian tujuan organisasi, karena merupakan salah satu faktor guna mengembangkan suatu organisasi agar efektif dan efisien. Dengan melakukan penilaiaan kinerja (performance appraisal) dapat diketahui kompetensi, kehalian dan kecakapan karyawan dalam menyelesaikan uraian pekerjaan (job description) yang dibebankan kepadanya. Terdapat beberapa alasan dan tujuan perlunya mengadakan penilaian kinerja karyawan antara lain seperti yang dikemukanan Gomes (2003:135) bahwa penilaian kinerja mempunyai tujuan untuk me-reward kinerja sebelumnya (to reward past performance) dan untuk memotivasi demi perbaikan kinerja pada masa yang akan datang (to motivate future performance improvement), serta informasi-informasi yang diperoleh dari penilaian kinerja ini dapat digunakan untuk kepentingan pemberian gaji, kenaikan gaji, promosi, pelatihan dan penempatan tugas-tugas tertentu. Sedangkan menurut John B. Menner (2000 : 18 ) dalam penilaian kinerja terdapat dimensi kinerja yaitu ukuran-ukuran dan penilaian dari perilaku yang aktual di tempat pekerjaan. Secara umum terdapat empat ukuran perbuatan yaitu : (1) Quality of output, (2) Quantity of Output, (3) Time at work, (4) Cooperation with others work. Keempat ukuran atau dimensi kinerja tersebut, secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut :
197
Organization role prescription Job analysis Organization chart Group-definet role prescription
Varying degrees of : Role ambiguity Role conflict
Self-defined role prescription
Demensions of performance (role behavior) :
Quality of output Quantity of output Time at work Cooperation with others work
Sumber : Organizational Behavior, John B. Miner, (2000) Demensi kinerja tersebut menggambarkan bahwa untuk menetapkan ukuran-ukuran kualitas dan kuantitas secara luas mencakup kedua demensi lain yaitu waktu yang digunakan di tempat kerja dan kerjasama dengan rekan kerja. Standart-standar yang berkenaan dengan waktu kerja tidak dapat dipungkiri berkaitan terhadap kualitas hasil dan kuantitas hasil. Sedangkan kerjasama dengan rekan kerja menjadi penting sekali dalam mengevaluasi terhadap pekerjaan yang harus diselesaikan, disamping pengaruh usahausaha seorang pimpinan terhadap pekerjaan bahwa harus pula dipertimbangkan dalam penilaian ektifitas pekerjaan. Dalam kaitannya degan mutasi, penilain kinerja merupakan salah satu tindak lanjut pengambilan keputusan manajemen organisasi dan merupakan fenomena yang biasa terjadi di sebuah organisasi. Namun pada prinsip umum yang seharusnya diterapkan oleh semua organisasi bahwa mutasi harus berdasarkan pada dimensi kemanusiaan, keorganisasian, pengembangan karyawan, keadilan, keterbukaan, dan akuntabilitas serta berkelanjutan, sebagai yang dikemukanan Nitisemito (2002 : 29) mutasi harus dilaksanakan secara terkoordinasi, sebab pada umumnya suatu mutasi menyangkut kegiatan lainnya secara berantai. Misalnya mutasi pada bagian A ke bagian B perlu perkiran mutasi pada bagian B ke bagian lain dan seterusnya. Karena mutasi adalah suatu rotasi atau gerak berputar, maka mutasi akan berhasil bila dilaksanakan secara terkoordinasi. Masalah dalam pelaksanaan mutasi bisa timbul diakibatkan pihak manajemen yang belum tepat dalam mengambil keputusan. Hal tersebut tampak pada fenomena pelaksanaan mutasi di Universitas Darma Persada. Oleh karena itu perlu dikaji Bagaimana pelaksanaan mutasi,Bagaimana penilaian kinerja inistrasi dan Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara mutasi dengan kinerja karyawan administrasi di Universitas Darma Persada sebagai suatu permasalahan.
198
Kerangka Pemikiran Pengaruh Mutasi Terhadap Kinerja Karyawan Administrasi Universitas Darma Persada
Bagaimana pelaksanaan mutasi karyawan administrasi di Universitas Darma Persada?
Peraturan Mutasi Pelaksanaan Mutasi
Bagaimana pelaksanaan penilain kinerja karyawan administrasi di Universitas Darma Persada?
Peraturan Penilaian kinerja Pelaksanaan Penilaian kinerja
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara Mutasi dengan kinerja Karyawan administrasi di Universitas Darma Persada ?
Indikator Mutasi : Ketepatan Mutasi Manfaat Mutasi
Indikator Kinerja: Quality or output Quantity of output Time of work Cooperation with others work
Analisa kuantitatif : Uji Regresi linear Sederhana Uji Korelasi Product Moment by Pearson Uji significancy
Analisa kualitatif
Kesimpulan
2. METODE PENELITIAN Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan sampel berjumlah 33 orang yang menempati tugas baru yang tersebar dalam 16 unit kerja di Unsada. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik sampling jenuh atau sensus. Data terdiri dari data perimer dan sekundair. Data primer diperoleh dengan alat pengumpulan data berupa kuesioenr dari responden untuk mutasi sebagai variabel independen dari karaywan adminsitarsi yang menempati tugas baru, sedangkan kinerja sebagai variabel dependen dari penilain antasan langsungnya, kemudian dari data tersebut ditransformasikan menjadi skala interval agar dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut yaitu dengan menentukan skor dengan menggunakan skal likers. Untuk penilaian mutasi karyawan menggunakan gradasi sangat setuju, setuju, kurang setuju, tidak setuju dengan skor 4,3,2,1 dan untuk penilaian kinerja menggunakan gradasi sangat baik , baik, kurang baik, tidak baik dengan skor 4,3,2,1. Sedangkan untuk mengukur kualitas data dari instrumen yang dugunakan dilakukan uji validitas dan uji reabilitas. Setelah dilakukan uji validitas, kemudian dianalasis dengan analaisi regresi, korelasi dan uji signifikansi (uji t) dengan mengunakan bantuan software SPSS release 19.0. Sedangkan data sekunder dari literature, internet dan wawancara dengan pimpinan Biro SDM tentang peraturan mutasi dan penilaian kinerja, proses mutasi dan penilaian kinerja serta data karaywan adminstarsi yang dimutasi beserta unit kerja dan masa penugasnnya dianalisis secara deskriptif.
199
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan mutasi karyawan administrasi di Unsada telah diatur dalam SK Rektor No. 04/KPTS/UNSADA/I/1996 tentang Penyempurnaan Peraturan Tata Kepegawaian Pasal 29 “Untuk kepentingan pelaksanaan tugas dan dalam rangka pembinaan karyawan dapat diadakan perpindahan jabatan atau perpindahan lingkungan kerja”, namun belum diatur teknis pelaksanaan atau standar operasional prosedurnya, sehingga dalam melaksanakan mutasi selama tahun 2011 sampai dengan 2012 terhadap 33 orang karyawan administrasi hanya didasarkan pada prediksi dan pengamatan terhadap kompetensi karyawan tanpa disertai data-data yang akurat. Ditinjau dari data mutasi karyawan administrasi beserta unit kerja sebelum dimutasikan dan penempatan pada unit kerja lain serta masa penugasan menunjukkan tidak berdasarkan data penempatan penugasan berdasarkan SK Rektor, tetapi berdasarkan tahun masuk kerja yang menunjukkan lemahnya sistem administrasi kearsipan. Dari 33 orang karyawan yang dijadikan responden 6 diantaranya menggunakan data tahun masuk kerja. Disamping itu terdapat 2 orang karyawan adminsitrasi yang dimutasi sebanyak 2 kali mutasi hanya dalam jangka waktu 6 bulan ke unit kerja lain. Sedangkan ditinjau dari tingkat pendidikan responden, tingkat pendidikan tidak merupakan syarat jabatan Kepala Bagian dan Kepala Sub Bagian terlihat dari data profil responden dan penugasan karyawan sebagai Kepala Bagian maupun Kepala Sub Bagian terlihat bahwa 17 orang kepala bagian berpendidikan S2 (1 orang ) , S1 (9 orang ), D3 (2 orang), SMA/STM (1 orang ) dan 2 kepala sub bagian berpendidikan S1 dan D3 Demikian pula dalam Pelaksanaan Penilaian Kinerja di Unsada telah diatur dengan SK Rektor Nomor : 01/KPTS/UNSADA/I/1988. Namun manajemen Unsada selama Tahun 2010 sampai dengan 2012 tidak melaksanakan penilaian kinerja sebagai dasar pengambilan keputusan untuk mengukur prestasi kerja guna pengambilan keputusan dalam rangka pembinaan dan pengembangan karyawan adminsitrasi serta pelaksanaan kebijakan mutasi karyawan. Dalam usaha pembinaan dan pengembangkan sumber daya manusia, Biro Sumber Daya Manusia dengan mengacu SK Rektor No. 04/KPTS/UNSADA/I/1996 tentang Penyempurnaan Peraturan Tata Kepegawaian Pasal 52 mengadakan pelatihan bagi karyawan administarsi pada bulan Juni – Juli 2012 berupa pelatihan komputer program Word Dasar dan Lanjutan, Excell Dasar dan Lanjutan, Power Point dan Internet . Dari 51 karyawan administrasi yang harus mengikuti pelatihan terdapat 24 orang dari 33 orang yang dimutasi periode 2011 - 2012. Hasil rekapitulasi prosentase (%) kehadirannya adalah 100 % hadir 5 orang, 75% hadir 1 orang, 66 % hadir 2 orang, 50 % hadir 1 orang, 33 % hadir 1 orang, 25 % hadir 5 orang, tidak hadir atau 0 % hadir 9 oran, sehingga rata-rata kehadiran 38,13%, artinya tingkat kehadiran sangat rendah dan tidak dilakukan evaluasi serta tindak lanjut. Sedangkan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara mutasi dengan kinerja karyawan administrasi di Unsada dengan alat anlisa regresi linier sederhana, korelasi product moment by pearson dan uji signifikansi dengan menggunakan bantuan SPSS release 19.0 dapat diketahui hubungan antara variabel mutasi dan kinerja sebagai berikut : Deskristif statistik Jumlah responden (N) yang diuji dan dianalisis dalam penelitian ini sejumlah 33 orang. Mean untuk variable kinerja sebesar 3.00 dan Mutasi 2.69 (Tabel 1) menunjukkan bahwa rata-rata jawaban responden berkisar pada skala baik (3) untuk penilaian kinerja sedangkan pada variabel mutasi rata-rata jawaban responden berkisar pada skala antara 2,00 – 3,00 200
artinya rata-rata jawaban responden kurang setuju (2.69) namun belum mencapai skala setuju (3). Tabel 1 Descriptive Statistics Kinerja Mutasi
Mean
Std. Deviation
N
3.00 2.69
.404 .573
33 33
Hubungan antara variable Mutasi dengan Kinerja. Hasil pengujian korelasi dengan menggunakan pengujian pearson correlation menunjukan bahwa hubungan antar dua variable yang diuji tingkat signifikansinya adalah sebesar -8,6 % (Tabel 2) . Artinya hubungan antara mutasi dengan kinerja sangat lemah dan hubungannya terbalik. Tabel 2 Correlations
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
Kinerja Mutasi Kinerja Mutasi Kinerja Mutasi
Kinerja
Mutasi
1.000 -.086 . .316 33 33
-.086 1.000 .316 . 33 33
Uji Regresi dan Korelasi Berdasarkan hasil uji regresi (Tabel 3) diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (R Square) adalah sebesar 0,7%. Artinya variabel mutasi berkontribusi sangat kecil terhadap pembentukkan variabel kinerja. Hasil ini menunjukkan bahwa kinerja karyawan Unsada dipengaruhi oleh variabel lain diluar mutasi sebesar 99,3 %, seperti : kenaikan gaji, penghargaan, tingkat stress, lingkungan kerja, motivasi, kepuasan, kepemimpinan dan variabel lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Tabel 3 Model Summaryb Adjusted Model R R Square Square a 1 .086 .007 -.025 a. Predictors: (Constant), Mutasi b. Dependent Variable: Kinerja
R Std. Error of the Estimate Durbin-Watson .409 1.849
Sedangkan ditinjau dari besarnya pengaruh perubahan mutasi terhadap kinerja (Tabel 4) menunjukan bahwa hasil unstandardized coefficients (constant) sebesar 3,166 dan b (nilai koefisien regresi) sebesar -0,61. Sehingga membentuk persamaan regresi Y = 3,199 – 0,61 201
X. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel mutasi menunjukkan hasil negatif jika dilakukan uji regresi terhadap variabel kinerja. Artinya setiap dilaksanakan mutasi mengakibatkan terjadinya penurunan kinerja karyawan. Tabel 4 Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B
Standardized Coefficients
Std. Error
(Constant) 3.166
.347
Mutasi
.126
-.061
Beta -.086
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
9.132
.000
-.483
.633 1.000
VIF 1.000
a. Dependent Variable: Kinerja
Uji Signifikansi Model Uji signifikansi model, menganalisis apakah variabel yang diuji valid atau signifikan sebagai variabel yang bersifat kausal atau sebab akibat. Sebuah model regresi dikatakan valid jika tingkat signifikansi antar variabel di bawah nilai alpha yang disyaratkan yaitu 0,05. Hasil uji signifikansi pada penelitian ini (Tabel 5) adalah sebesar 0.633 berarti sangat jauh diatas nilai alpha 0,05 . Artinya kedua variabel ini tidak valid untuk ditemukan keterkaitannya, oleh karena itu kedua variabel tersebut tidak signifikan sebagai variabel yang bersifat kausal atau sebab akibat. Hal ini berarti berdasarakan uji signifikansi untuk pengambilan keputusan berdasarkan probabilitas tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel mutasi terhadap variabel kinerja. Tabel E 5 ANOVAb Model
Sum of Squares Df
1
Regression .039 Residual 5.191 Total 5.230 a. Predictors: (Constant), Mutasi b. Dependent Variable: Kinerja
1 31 32
Mean Square
F
Sig.
.039 .167
.233
.633a
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap pelaksanaan mutasi karyawan, diketahui bahwa pelaksanaan mutasi di Unsada mengacu pada SK No. 04/KPTS/UNSADA/I/1996, namun dalam pelaksanaannya berdasarkan subyektif tanpa melewati proses observasi dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah. Hal ini akibat dari lemahnya sistem adminsitrasi kepegawaian dan belum adanya standar operasional prosedur tentang pelaksanaan mutasi.
202
Sedangkan dalam hal pelaksanaan penilaian kinerja, manjemen Unsada selama Tahun 2010-2012 belum pernah melaksanakannya, meskipun sudah ada peraturan yang mengaturnya yaitu SK No. 01/KPTS/UNSADA/1988. Hal yang telah dilakukan manjemen Unsada adalah pelatihan komputer, namun kegiatan tersebut tidak dapat memberikan informasi tentang daya guna dan hasil guna dari pelatihan tersebut. Hal ini terlihat tidak adanya evaluasi serta tindak lanjut dari hasil pelatihan oleh manjemen Unsada. Sehingga hasil pelatihan dapat dikatakan tidak terukur dan tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur pembinaan dan pengembangan karyawan. Disamping itu dengan tidak dilaksanakannya penilaian kinerja secara berkala akan berdampak pada tidak terukurnya prestasi kerja sebagai tolok ukur pengambilan kebijakan dalam rangka pembinaan dan pengembangan karyawan, termasuk pengangkatan karyawan pada posisi jabatan tertentu misalnya Kepala Bagian atau Kepala Sub Bagian bahkan Kepala Biro. Berdasarkan hasil uji regresi, diketahui bahwa nilai koefisien determinasi (R Square) sebesar 0,7% artinya kontribusi mutasi sangat kecil terhadap pembentukkan variabel kinerja. Hasil ini menunjukkan bahwa kinerja karyawan Unsada tidak dibentuk atau dipengaruhi oleh pelaksanaan mutasi. Sebaliknya hasil ini menjelaskan bahwa kinerja karyawan Unsada dipengaruhi oleh variabel lain sebesar 99,03 % diluar mutasi, seperti, kenaikan gaji, penghargaan, tingkat stress, lingkungan kerja dan variabel lain yang tidak diteliti pada penelitian ini. Sedangkan dari hasil Hasil uji signifikansi model pada penelitian ini adalah sebesar 0.633 artinya sangat jauh diatas nilai alpha 0,05. Dengan demikian di Unsada dua variabel ini yaitu mutasi dan kinerja tidak valid untuk ditemukan keterkaitannya. Secara sederhana, jika ingin meningkatkan kinerja karyawan administarsi Unsada, maka Mutasi bukanlah variabel yang valid untuk dilakukan. Jikapun dilakukan uji regresi terhadap kedua variabel tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa mutasi mengakibatkan penurunan kinerja. Berdasarkan hasil penelitian di atas, kami menyarankan jika Manajemen Unsada bertujuan untuk meningkatkan kinerja karyawan, maka variable mutasi tidak dapat digunakan sebagai variable yang berpengaruh terhadap peningkatan kinerja. Manajemen Unsada perlu memahami variable-variabel lain yang secara signifikan mempengaruhi kinerja. Mengetahui variable yang tepat akan membantu manajemen Unsada dalam meningkatkan kinerja karyawan. Manajemen Unsada perlu pula melakukan peninjauan terhadap relevansi SK Rektor khususnya kedua Surat Kepeutusan yang berkaitan dengan mutasi dan penilaian kinerja sekaligus menyusun standar operasional prosedur sebagai dasar implementasi pelaksanaannya agar dalam melaksanakan kedua kebiajkan tersebut dapat dilaksanakan dengan tepat, transparan dan akuntabel.
DAFTAR PUSTAKA Gomes, Faustino Cardoso, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi Offset, Yogyakarta. Handoko, Hani, 2000, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta, BPFE, UGM Hasibuan, Malayu. 2006. Manajemen Sumber daya manusia. PT. Bumi Akasara. Jakarta Miner, John B, 2000 Organization Behavior : Performent and Productivity, Random Univercity House, Inc 203
Nitisemito, Alex. S.2002. Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia), Ghalia Indonesia, Jakarta. Rivai, Vethzal, 2005, Performance Appraisal : Sistem yang tepat untuk menilai kinerja karyawan dan meningkatkan daya saing perusahaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta Robert L. Malthis, John H. Jackson, 2002, Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Pertama, Salemba Empat, Jakarta Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Bisnis, Cetakan kedua belas. Penerbit Alfabeta. Bandung Suharyadi Purwanto , 2004, Statistik : Untuk Ekonomi dan Keuangan Modern, Cetakan Pertama, Salemba Empat, Jakarta. 2004 Saydam Gouzali,2005, Manjemen Sumber Daya Manusia : Suatu Pendekatan Mikro, Edisi Ketiga, BPFE Surat Keutusan Rektor Universitas Darma Persada, Nomor 04/KPTS/UNSADA/I/1988 tentang Peraturan Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Karyawan Universitas Darma Persada. Surat Keutusan Rektor Universitas Darma Persada, Nomor 0/KPTS/UNSADA/I/1996 tentang Penyempurnaan Peraturan tata Kepegawaian Universitas Darma Persada. Tanjung dan Rahmawati, 2003, Pengembangan Sumber Daya Manusia, IPB, Bogor
204
ANALISIS KELAYAKAN PEMBIAYAAN CAPITAL LEASE ATAU OPERATING LEASE DAN DAMPAK PELAPORAN AKUNTANSI BAGI PERUSAHAAN Jombrik Universitas Darma Persada ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pembiayaan lease dalam laporan akuntansi dan apakah pembiayaan dengan operating lease maupun financial leasing layak atau tidak. Metode penelitian adalah pustaka dan dan data sekunder dan Primer dengan alat analisis Net Adventage Lease (NAL). Hasil penelitian; Pembiayaan dengan lease memberikan beberapa manfaat bagi perusahaan baik lessor maupun lessee karena memiliki beberapa keunggulan,antara lain bisa dilakukan tanpa uang muka, bisa menghindarkan resiko pemilikan, sebagai sumber dana, menjaga cash flow. Hasil analisis yang dilakukan terhadap alternative pembelian mesin oleh PT X. memperlihatkan bahwa pada tingkat diskonto 14% kedua alternatif baik operating lease maupun financial lease keduanya memberikan Net Adventage lease yang menguntungkan bagi perusahaan, namun yang paling baik adalah dengan pembiayaan melalui Fiancial lease dengan NAL yang lebiha besar. Disamping itu dari sisi perlindungan pajak perusahaan juga memperoleh manfaat perlindungan pajak yang lebih besar dibandingkan dengan operating lease. Kata kunci: Operating Lease, Financial Lease, NAL, NPV
1 1.1
PENDAHULUAN LATAR BELAKANG
Pemanfaatan suatu aset tidak selalu diperoleh dengan cara membeli bahkan aset tidak harus dibeli dan dimiliki namun dimanfaatkan secara optrimal untuk mendukung kinerja. Secara teori sewa dan utang merupakan substitusi yang sempurna, namun hanya sedikit bukti empiris yang mendukung teori tersebut. Sebaliknya perusahaan yang melakukan sewa memiliki proforsi hutang yang besar disbanding perusahaan tanpa sewa. Suatu aset yang ingin dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mendukung aktivitasnya tidak harus dimiliki oleh perusahaan tersebut. Leasing merupakan alternative paling popular yang dapat dimanfaatkan. Leasing pada dasarnya merupakan suatu penjanjian kontrak antara pihak pemilik asset (Lessor) dengan pihak yang akan memanfaatkan asset (Lessee). Karena merupakan suatu kontrak maka dengan sendirinya muncul hak dan kewajiban kedua pihak yang harus ditaati. Menyerahkan asset merupakan kewajiban pihak lessor, sebaliknya melakukan pembayaran secara rutin sesuai kontrak merupakan kewajiban bagi pihak lessee. Kontrak lease biasanya dilakukan dalam jangka waktu lebih dari satu tahun sehingga pembiayaan ini biasanya dikategorikan sebagai pembiayaan jangka menengah. Sewa (lease) merupakan cara yang nyaman bagi pembeli untuk mendanai pembelian asetnya, Pajak juga menjadi pertimbangan dalam sewa, dan sewa dapat menjadi sumber perdanaan diluar neraca, dengan tujuan mempercantik (window-dress) laporan keuangan. 205
Bentuk pembiayaan baik melalui Capital Lease maupun Operating Lease keduanya memiliki kelebihan maupun kelemahan dilihat dari sisi penyajian laporan keuangan perusahaan. Hal inilah yang menjadi masalah yang dijadikan sebagai bahan kajian dalam penelitian ini. 1.2
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Capital Lease dan Operating Lease keuangan suatu perusahaan
berdampak pada penyajian laporan
Bagaimana pelaporan tersebut menggambarkan perlakuan akuntansi terhadap leasing Apakah pembiayaan dengan leasing memberikan keuntungan atau manfaat secara financial. 1.3
TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui bagaimana dampak capital lease dan operating lesae dalam laporan keuangan Untuk mengetahui apakah apakah pembiayaan leasing tersebut layak atau tidak 1.4
TINJAUAN PUSTAKA
1.5 LEASING Sewa (Lease) merupakan penjanjian kontraktual antara pemilik (lessor) dan penyewa (lessee). Perjanjian tersebut memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan asset yang dimiliki oleh lessor. Sebagai balasannya pihak lesse membayar sewa yang disebut pembayaran sewa minimum (minimum lease payment—MLP) (K.R. Subramanyam. 175) Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Sewa (Lease) bisa juga diartikan suatu perjanjian dimana lessor memberikan hak kepada lessee untuk menggunakan suatu aset selama periode yang disepakati. Sebagai imbalannya lessee melakukan pembayaran atau serangkaian pembayaran kepada lessor. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) dalam PSAK No 30 dalam Standar Akuntansi Keuangan mengistilahkan leasing sebagai kegiatan sewa guna usaha. International Accounting Standard Comitte mendefinisikan Leasing yaitu “ Lease: An agreement where by the lessor conveys to the lessee in return for rent the right to use an asset for an agreed period on time. The definition of lease includes contracts for the heire of an asset whiech contain of provision giving the hirer an option to acquire title of the asset upon to the fufilment of agreed conditions. These contracts are described as hire purchase contracts in some countries, different names are used for agreement which have the characteristic of a lease”.
206
Sedangkan dalam keputusan bersama 3 menteri Keuangan, Perdagangan dan Perindustrian No Kep-122/MKIV/2/1974; No 32/M/SK/2/1974 mendefinisikan Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaranpembayaran secara berkala disertai dengan hap pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama
1.6
KLASIFIKASI LEASING
Ada tiga tipe perjanjian sewa yang umum dikenal yaitu penyewaan langsung (operating lease), Penjualan (financial lease) dan sewa kembali (leaseback) namun kebanyakan penjanjian sewa berada dalam satu diantara tiga kategori.atau satu diantara dua kategori ini.(keown, 779) FSAB dalam ststement no 13 tentang “Akuntansi utuk Leasing” 1. Sewa Pembiayaan (Finance Lease) adalah sewa yang mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset. Hak milik pada akhirnya dapat dialihkan, dapat juga tidak dialihkan 2. Sewa Operasi (Operating Lease) adalah sewa yang tidak mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu asset Walaupun secara umum leasing dalam klasifikasinya ada dua namun dalam penerapannya ada beberapa jenis yang disesuikan dengan kebutuhan dan luas bidang lease yaitu: Sales Type Lease: Jenis ini pada dasarnya merupakan financial lease namun dalam hal ini merupakan leased property yang pada saat permulaan lease memiliki nilai yang berbeda dengan biaya yang ditanggung lessor. Lease type ini biasanya merupakan pabrikan atau dealer yang menggunakan metode ini dengan tujuan sebagai jalur pemasaran untuk meningkatkan penjualannya. Leverage Lease: Leverage lease juga merupakan bentuk financial lease, namun dalam prosessnya melibatkan sekurang-kurangnya tiga pihak yaitu Lessor, Lessee dan Credit proveder atau debt participant yang akan membiayai sebagian besar aset yang akan dilease. Jenis ini biasanya dilakukan untuk aset yang harganya relatif besar sehingga pihak lessor tidak mampu membiayai secara keseluruhan secara langsung. Biasanya jumlah yang dapat dibiayai oleh lessor hanya sekitar 20% - 40% saja selebihnya oleh credit proveder. Direct Financing Lease: Bentuk lease ini merupakan pembiayaan yang langsung dibiayai oleh pihak lessor. Pembayaran oleh lease merupakan komponen dari investasi pihak lessor ditambah dengan keuntungan yang diisyaratkan. Direct financing lease ini biasanya untuk aset yang nilainya relatif kecil sehingga dapat discover sendiri oleh pihak lessor. Sebagai ilustrasi klasifikasi Lease dapat digambarkan dibawah ini
207
YaLease Perjanjian Tidak YaAda Transfer Hak Milik
Tidak Ya Ada kemungkinan untuk membeli aset yang disewa
Tidak Ya Jangka Waktu sewa >75% taksiran umur ekonomis
Tidak Nilai tunai pembayaran > 90% dari harga aktiva
Operating Lease
Ya
Financial Lease
Sumber: Zaki Baridwan, Akuntansi Keuangan Intermediate 1.7 KEUNGGULAN LEASING SECARA EKONOMI
Keunggulan utama bagi Lessee untuk melease daripada membeli adalah: Bisa dilakukan tanpa uang muka . Sebagian terbesar pembelian asset mengharapkan agar sebagian dari harga belinya dibayar langsung oleh peminjam pada saat transaksi dilakukan. Hal ini memberi perlindungan tambahan bagi kreditor apabila terjadi kemancetan pembayaran dan pengembalian aktiva. Bisa menghindarkan resiko pemilikan. Memiliki asset tertentu biasanya mengandung resiko seperti kerugian karena bencana, kondisi perekonomian yang berubah, kemajuan teknologi dan kerusakan fisik. Dengan model lease kerugian tersebut dapat dihindari karena Lessee boleh menghentikan Lease. Pleksibilitas ini sangat penting bagi perusahaan khususnya yang menggunakan teknologi tinggi dimana inovasi dan perubahannya sangat cepat. 208
Sebagai sumber dana; dengan leasing memungkinkan perusahaan memperoleh sumber dana untuk pembiayaan industrinya melalui mekanisme sales and leaseback atas asset yang dimiliki oleh pihak lease, tanpa mengganggu fasilitas kredir (credit line) yang sudah ada di bank. Menjaga cash flow; khususnya bagi perusahaan yang pendapatannya diperoleh secara musiman sehingga keuntungan biasanya baru dapat diperoleh pada akhir investasi sehingga besarnya sewa dapat disesuaikan dengan kemampuan cash flow perusahaan. Mengurangi pengaruh inflasi; karena pembayaran oleh lessee biasanya dalam jumlah yang sama maka dalam kondisi inflasi yang tinggi nilai sekarang dari sewa telah berkurang. Dari sisi lessor juga memperoleh manfaat dari menlease asetnya dibandingkan dengan menjualnya secara tunai antara lain: Dapat meningkatkan penjualan. Bila perusahaan menjual produknya secara tunai biasanya omset penjualan perusahaan relatif rendah, Cara yang dapat dilakukan adalah menjual produknya melalui Leasing kepada pelanggan, sehingga pembeli yang tidak memiliki dana tunai dapat memperoleh asset dengan cara leasing. Adanya keringanan pajak. Banyak ketentuan pajak yang memberikan keringanan bagi pemilik harta. Undang-undang pajak memberikan kredit pajak investasi yang memperbolehkan pemilik harta mengkreditkannya ke hutang pajak penghasilan entah pada periode berjalan ataupun pada periode mendatang sepanjang asset tersebut tetap dimilikinya. Bentunk keringanan pajaknya adalah pada saat asset tersebut dijual maka keringanan pajaknya ikut dalam asetnya. Memungkinkan Kelangsungan Hubungan Dengan Lessee. Apabila harta dijaul, pembeli kerap kali tidak mengadakan transaksi lagi dengan penjualnya. Akan tetapi dalam situasi Leasing, Lessor dan Lesse tetap berhubungan selama periode tertentu, dan hubungan bisnis jangka panjang kerap kali dapat dibina melalui Leasing. Nilai Residu Dipertahankan. Dalam kondisi ekonomi tertentu yang membuat nilai residu yang besar dari suatu asset pada ahir periode lease, sehingga lessor dapat Me-Lease aktiva itu kembali kepada Leasee lain atau menjualnya sehingga memperoleh keuntungan. Banyak Lessor yang mendapatkan laba justru dari hasil penjualan sebagai akibat kenaikan nilai residu. Disamping adanya keunggulan-keunggulan tersebut pada dasarnya leasing juga memiliki beberapa kelemahan antara lain: Pembiayaan dengan leasing relatif lebih mahal dibandingkan pembiayaan dengan kredit bank. Barang modal yang di lease tidak dapat lagi dicantumkan sebagai unsur aktiva untuk tujuan collateral dari bank 1.8 SIFAT LEASE Unsur-unsur tentang ketentuan dan denda akibat pembatalan, periode Lease, opsi pembaharuan atau pembelian dengan harga murah, umur ekonomis, aktiva, nilai residu aktiva, pembayaran Lease minimum, suku bunga yang tersirat dalam perjanjian Lease, 209
seperti pemeliharaan, asuransi, dan pajak. Fakta ini dan fakta lainnya yang relevan harus dipertimbangkan dalam menentukan perlakuan akuntansi yang tepat atas lease Masing-masing unsur ini didefinisikan sebagai berikut: Ketentuan Pembatalan: Sifat tidak dapat dibatalkan mengacu pada kontrak Lease yang ketentuan serta sanksi pembatalannya sangat mahal bagi Lesse sehingga dalam keadaan bagaimanapun tidak dilakukan pembatalan. Hanya Lease yang tidak dapat dibatalkan yang dapat dikapitalisasi. Periode Lease: Salah satu variable penting dalam perjanjian Lease adalah Periode Leasenya: yaitu, periode waktu mulai dari awal hingga ahir Lease, Tanggal pemrakasaan Lease didefinisikan sebagai tanggal perjanjian Lease, atau tanggal komitmen tertulis paling awal jika semua ketentuan pokok telah dinegosiasikan. Permulaan Periode Lease terjadi pada saat perjanjian Lease mulai berlaku, yaitu apabila harta yang dilease telah diserahkan kepada Lease. Akhir Jangka Lease: Adalah akhir periode yang ditetapkan dimana pembatalan tidak boleh dilakukan ditambah semua periode, jika ada, yang diliput opsi pembaharuan dengan harga murah ,atau ketentuan lain bahwa, pada tanggal terjadinya lease sudah ada indikasi kuat bahwa lease itu diperbarui. Jika opsi pembelian dengan harga murah dimasukkan dalam kontrak lease, sebagaimana didefinisikan dalam subbab berikut, maka periode lease meliputi semua periode pembaharuan sebelum tanggal opsi pembelian dengan harga murah tiba. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa periode lease tidak boleh melampui tanggal opsi pembelian dengan harga murah Opsi Pembelian Dengan Harga Murah: Lease kerap kali mengandung ketentuan yang memberi hak kepada lesse untuk membeli harta yang dilease pada suatu hari dimasa depan. Harga beli yang pasti harga opsi yang ditetapkan, meskipun dalam beberapa kasus harga tersebut dinyatakan sebagai nilai pasar wajar pada tanggal ,opsi dimanfaatkan. Jika harga opsi telah ditetapkan ini diperkirakan jauh lebih kecil dibandingkan dengan harga atau nilai pasar wajar pada tanggal pemanfaatan opsi pembelian, maka dalam hal ini sudah tersirat opsi pembelian dengan harga murah Nilai Sisa Atau Residu. adalah Nilai pasar harta yang dilease pada ahir periode lease. Dalam beberapa lease, periode lease melampi umur ekonomi aktiva, atau periode dimana aktiva tersebut tetap produktif, dan kadang-kadang masih ada nilai sisa . Dalam lease lainnya, periode lease lebih singkat, dan nilai residu tidak ada. Jika lesse dapat membeli aktiva itu pada ahir periode lease dengan harga murah sudah ada, dan dapat diandaikan bahwa lessee akan melaksanakan opsi ini dan dapat membeli aktiva tersebut. Beberapa kontrak lease mewajibkan lessee, atau pihak ketiga yang ditunjuk, untuk menjamin nilai residu aktiva. Jika nilai pasar wajar pada ahir periode lease turun dibawah nilai residu yang dijamin, maka lessee atau pihak ketiga harus membayar selisih tersebut. Ketentuan ini melindungi lessor dari kerugian akibat penurunan yang tidak diperkirakan dalam nilai pasar aktiva. Pembayaran Lease Minimum. Pembayaran sewa yang diminta selama periode lease ditambah dengan jumlah yang harus dibayar untuk nilai residu, entah melalui opsi pembelian dengan harga murah atau penjaminan nilai sisa, disebut sebagai Pembayaran Lease Minimum. Jika semua pembayaran ini dilakukan dengan lease saja, maka pembayaran lease minimum akan sama bagi lessee dan lessor. Akan tetapi, jika pihak 210
ketiga menjamin nilai residu, maka si lesse tidak boleh memasukkan jaminan ini sebagai bagian dari pembayaran lease minimum, tetapi lessor akan memasukkannya. Kontrak lease dapat menjadi menjadi rumit dan bervariasi dalam masa lease seperti transfer kepemilikan, dan penghentian awal. Beberapa lease merupakan perpanjangan kontrak lease, seperti lease mesin foto copy selama dua atau tiga tahun. Lease lainnya lebih menyerupai penjualan langsung dengan pendanaan seperti sewa bangunanselama 30 tahun dengan transfer kepemilikan secara langsung pada akhir masa sewa.
MEKANISME LEASE Direct Lease lessee
lessor
Indirect Lease lessor
Lembaga
Pemilik asset/
keuangan
supplier
lessee
Mekanisme lease dapat dilakukan dengan dua cara yaitu langsung dan tidak langsung. Mekanisme langsung yaitu pihak lessor membaiayai keseluruhan dari aset yang dilease oleh pihak lessee sehingga tidak melibatkan pihak ketiga, sedangkan metode tidak langsung melibatkan pihak ketiga. 1.9 AKUNTANSI DAN PELAPORAN LEASE Dalam praktek industrI perusahaan sering memilih untuk menyewa aset jangka panjang daripada membeli karena berbagai alasan. Manfaat pajak salah satu alasan yang dianggap memberikan keuntungan kepada pihak lessee maupun lessor. Sewa menawarkan lebih banyak fleksibilitas dalam hal menyesuaikan diri dengan perubahan kebutuhan teknologi dan kapasitas. Pembayaran sewa menciptakan jenis yang sama dari sisi kewajiban berupa pembayaran bunga utang Jika suatu perusahaan diperbolehkan untuk menyewa sebagian besar aset dan mempertahankannya dalam laporan keuangan perusahaan. Akibatnya adalah asset perusahaan tersebut secara relatif lebih rendah dan beban biaya berupa sewa menjadi lebih besar yang selanjutnya akan memberi dampak berkuranggnya beban pajak. Lessee sering mengatur suatu sewa agar dapat dicatat sebagai operating lese walaupun karasteristik ekonominya lebih mendekati capital lease. Dengan cara tersebut lease melakukakan pendanaan diluar neraca (of balancesheet financing) Pendanaan diluar neraca 211
ini mengacu pada kenyataan bahwa dalam operating lease, asset sewa maupun kewajiban yang terkait tidak diakui dalam neraca. Keputusan untuk mencatat sewa sebagai capital lease atau operating lease dapat berpengaruh secara signifikan terhadap laporan keuangan. Aturan akuntansi telah dirancang untuk memaksa perusahaan mengungkapkan sejauh mana kewajiban sewa mereka di bukukan. Sesuai PSAK 30 terkait dengan akuntansi leasing maka perlakuan akuntansi untuk aset dalam sewa pembiayaan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual: 1. Disajikan sebagai aset tersedia untuk dijual, jika jumlah tercatatnya terutama dapat dipulihkan melalui transaksi penjualan dari pada penggunaan lebih lanjut 2. Diukur sebesar nilai yang lebih rendah antara jumlah tercatatnya dan nilai wajar setelah dikurangi beban penjualan aset tersebut 3. Diungkapkan dalam laporan keuangan untuk memungkinkan evaluasi dampak keuangan adanya perubahan penggunaan aset. Pencatatan transaksi leasing diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 dan Surat Edaran Dirjen Pajak No SE-10/PJ.42/1994. Menurut Keputusan Menteri Keuangan ini hanya mengatur mengenai tatacara pencatatan transaksi leasing secara sale and lease back dengan hak opsi sehingga untuk jenis leasing lainnya misalnya Pembiayaan Konsumen harus mengacu kepada PSAK No. 30. Dalam praktek sehari-hari, sering ditemukan kesalahpahaman dari akuntansi perusahaan sehingga dalam perpajakan memperlakukan transaksi Pembiayaan Konsumen layaknya Sale and Lease Back dengan Hak Opsi. Menurut Keputusan Menteri Keuangan tersebut, kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha (SGU) dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut : 1. Jumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor; 2.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 huruf b Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan;
3. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee. Dalam praktek akuntansi ada dua cara akuntansi leasing yaitu operating lease dan financial lease. Dalam operating lease pihak pemilik asset (lessor) akan mentransfer hak untuk menggunakan suatu asset kepada pengguna (lessee). Dalam praktek ini pihak lessee berkewajiaban untuk membayar sejumlah tertentu baik secara tunai maupun berkala sesuai perjanjian keduanya. Pada akhir masa sewa, penyewa mengembalikan asset kepada lessor. Oleh karena lessee tidak memiliki asset tersebut atau tidak ada risiko kepemilikan, biaya sewa diperlakukan sebagai beban usaha dalam laporan laba rugi sehingga sewa tersebut tidak mempengaruhi neraca. Dalam capital lease, lessee mengasumsikan beberapa risiko kepemilikan dan menikmati beberapa manfaat. Akibatnya ketika menandatangani sewa, harus diakui baik sebagai aset maupun sebagai kewajiban (untuk pembayaran sewa) pada
212
neraca. Perusahaan akan mengklaim penyusutan setiap tahun pada aset dan juga memotong komponen beban bunga dari pembayaran sewa setiap tahun. Keputusan penggunaan pembiayaan asset baik dengan cara Capital lease maupun dengan Operating Lease pada prinsipsinya adalah keputusan keuangan yang didasari atas kalkulasi yang dapat menggambarkan apakah pemanfaatan asset akan memberikan manfaat atau nilai tambah bagi perusahaan. Lessee mengklasifikasikan dan mencatat sewa sebagai capital Lease jika Pada saat terjadinya transaksi tersebut memenuhi minimal satu dari empat kriteria sebagai berikut: Terdapat transfer kepemilikan asset kepada lesse pada akhir masa sewa Terdapat opsi untuk membeli asset pada harga murah (bargain price) Masa sewa 75% atau lebih dari estimasi umur ekonomis asset Nilai sekarang dari pembayaran sewa dan pembayaran sewa minimum lainnya sebesar 90% atau lebih dari nilai wajar asset dikurangi dengan kredit pajak investasi yang ditahan oleh lessor. Dalam hal tidak ada satupun dari kriteria tersebut diatas yang terpenuhi maka lease tersebut diklasifikasikan sebagai operating lease. Jika sewa diklasifikasikan sebagai capital lease maka pihak lessee harus mencatatnya baik asset maupun kewajiban sejumlah nilai sekarang minimum pembayaran selama masa sewa, tidak termasuk biaya eksekusi (executory cost) seperti administrasi, asuransi perawatan dan lain-lain bila dapat ditentukan atau diketahui jumlahnya. Demikian pula dengan beban bunga diakui sebagai beban sewa seperti pada kewajiban lainnya yang juga ada bunganya. Dalam Akuntansi operating lease, lessee mencatat sewa sebagai beban saat terjadinya, dan tidak ada asset atau kewajiban yang diakui dalam neraca. Bagi lessor sewa yang diterima diakui sebagai pendapatan yang dicatat dalam laba-rugi sedangkan asset yang disewakan diakui dalam neraca. 2.
METODOLOGI
2.1 TUJUAN PENELITIAN Mengetahui bagaimana Capital Lease memberikan dampak terhadap posisi keuangan sehubungan dengan penyajiannya dalam laporan keuangan Mengetahui bagiaman Operating Lease memberikan dampak terhadap posisi keuangan sehubungan dengan penyajiannya dalam laporan keuangan 2.2 MANFAAT PENELITIAN Dengan mengetahui Pembiayaan Capital Lease atau Operating Lease dan Dampak Pelaporan Keuangannya maka dapat menjadi acuan pengambilan keputusan pembiayaan asset bagi perusahaan.
213
2.3 KERANGKA PIKIR
Ide Pemilikan Asset
Alternatif Pembiayaan Capital Lease
Alternatif Pembiayaan Operating Lease
Analisis NAL
Analisis NAL Penyajian dalam Laporan Keuangan
Penyajian
Bandingkan dalam Laporan Keuangan
Kesimpulan 2.4 SUMBER DATA Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Primer dan data secunder. Data Primer berupa data nilai asset yang menjadi objek atau yang akan dibiayai dengan alternatif Capital Lease atau Operating Lease. Adapun data sekunder adalah laporan keuangan dari CV.X yang dijadikan bahan simulasi dampak pelaporan keuangannya. 2.5 METODE PENGOLAHAN DATA Untuk mengetahui besarnya pembayaran lease minimal (Minimum Lease Payment) yang akan menjadi besaran kewajiban pembayaran oleh lessee dihitung dengan menggunakan rumusan Determine Future Value Compounded Annually
214
FV = PV(1+i)n Faktor cicilan: 1 1 - ------------- = (1 + r )n ----------------r Determine Net Adventage Lease (NAL) dan NPV yaitu NAL untuk mengetahui manfaat leasing dari sisi lease NPV untuk melihat Keuntungan leasing sisi lessor yang dirumuskan sebagai berikut: Lt(1-T) + TDept NAL = Io - ∑ ------------------------(1+(1-t)Kb) = Io – PVIFA (r , n tahun) {Lt (1-T)}- PVIFA (r n thn) {TDep1} NAL Io Lt Dept Kb n
= Net Adventage of Leasing = Harga aktiva = Pembayaran Sewa secara Periodik selama umur lease = Jumlah beban penyusutan dalam periode T = Biaya hutang sebelum pajak = Umur Ekonomis
NPV = ∑(PVIF x CF) – IO PVIF = Nilai sekarang bersih dari suatu jumlah dengan factor diskonto CF = Jumlah cash inflow selama waktu tertentu
tertentu
3.
ANALISIS DATA
3.1
KALKULASI PEMBAYARAN MINIMAL LEASE DAN DAMPAK AKUNTANSI
Untuk dapat memecahkan persoalan sebagaimana dimakssud dalam bentuk leasing yaitu Operating lease dan financial lease maka perlu diasumsikan tentang asset yang akan dibeli oleh suatu perusahaan. Dalam kasus ini adalah pembelian asset teta maka perlu diasumsikan tentang asset yang akan dibeli oleh suatu perusahaan. Dalam kasus ini adalah pembelian asset tetap berupa mesin potong kertas buatan China oleh CV. X sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi alat pembungkus dari kertas. Harga Mesin tersebut adalah Rp 460.000.000,- Umur ekonomis mesin 5 tahun dengan taksiran nilai sisa 10% dari harga perolehan, tingkat suku bunga lease yang dikenakan adalah 14%. Alternatif pembiayaan ini dimulai dengan analisa skedul amortisasi pembayaran untuk asset sewa sebagaimana disajikan dalam tabel 4.1. Perhitungan ini dilakukan untuk mendapatkan berapa besarnya pembayaran baik melalui operating lease maupun financial
215
lease. Dengan menggunakan formula faktor cicilan dan MLP diperoleh minimal adalah Rp 133.990.431 ,Tabel 4.1 Komponen pokok pembayaran Dan bunga sebagai pembayaran minimal lease Tahun
Cash outflow
bunga
Pokok hutang
pembayaran
Kewajiban
14% 0
410.000.000
2012
119.426.254
57.400.000
62.026.254
347.973.746
2013
119.426.254
48.716.324
70.709.930
277.263.816
2014
119.426.254
38.816.934
80.609.320
196.654.497
2015
119.426.254
27.531.630
91.894.625
104.759.872
2016
119.426.254
14.666.382
104.759.872
(0)
Total 597.131.270 187.131.270 Sumber: data primer diolah
410.000.000
Selanjutnya bagaimana dampaknya terhadap laporan keuangan perusahaan Bila alternatif Pembiayaan Operating Lease Hasil perhitungan skedul pembayaran dengan pembiayaan operating lease selama 5 tahun sebagaimana tabel 4.1 adalah CV. X berkewajiban membayar sewa secara rutin kepada pihak leasor sejumlah Rp 119.426.254,- per tahun selama 5 tahun Bila pemanfaatan asset dengan operating lease dampaknya bagi perusahaan adalah: Perusahaan akan mencatat cicilan tersebut sebagai beban tetap berupa sewa setiap tahun yang tersaji dalam laporan laba-ruginya. Dampak pembayaran ini adalah naiknya beban perusahaan yang akan mempengaruhi besarnya keuntungan perusahaan setiap tahunnya. Artinya bahwa perusahaan akan mencatat beban sejumlah Rp 119.426.254,- setiap tahun selama 5 tahun. Disisi lain bahwa beban pembayaran sewa (lease) tersebut juga memberikan manfaat lain bagi perusahaan yaitu berkurangnya beban pajak yang dibayarkan. Dari sisi penyajian posisi keuangan perusahaan (neraca) bagi perusahaan asset yang dilease tersebut tidak mempengaruhi jumlah aset maupun hutang perusahaan walaupun mempunyai hak memanfaatkan selama 5 tahun. Bila alternatif Pembiayaan Capital Lease Bila pemanfaatan aset tersebut dengan cara capital lease maka dampaknya terhadap laba rugi maupun penyajian dalam neraca perusahaan adalah: Dalam laporan laba rugi perusahaan akan mencatat beban sebesar Rp 64.400.000 pada tahun pertama, Rp 54.657.340 pada tahun kedua dan seterusnya (tabel 4.1) sampai 216
berakhirnya periode lease. Beban bunga tersebut pada dasarnya juga mempengaruhi laba perusahaan, namun pengaruh beban bunga terhadap laba perusahaan secara akuntansi lebih kecil dari pada operating lease. Dalam laporan posisi keuangan perusahaan akan mengakui adanya penambahan aset disatu sisi sejumlah Rp 460.000.000,-(kas berkurang sebesar Rp 50.000.000 sebagai Uang muka) dan juga mengakui adanya hutang disisi lain sejumlah nilai bersih dari aset yang di lease. Dalam tabel 4. 2 berikut disajikan bagaimana metode akuntansi lease terhadap laporan keuangan Tabel 4.2 Akuntansi lease terhadap laporan keuangan Operating Lease Tahun
Beban sewa 2012 119.426.254 2013 119.426.254 2014 119.426.254 2015 119.426.254 2016 119.426.254 Total 597.131.270 Sumber: Data diolah
Capital Lease bunga 57.400.000 48.716.324 38.816.934 27.531.630 14.666.382 187.131.270
Pokok hutang 82.000.000 82.000.000 82.000.000 82.000.000 82.000.000 410.000.000
Jumlah 139.400.000 130.716.324 120.816.934 109.531.630 96.666.382 597.131.270
Dalam tabel diatas memperlihatkan bahwa dengan operating lease perusahaan tidak memiliki aset maka dalam neraca akan bersaldo nihil untuk aset yang dilease. Secara total biaya yang menjadi beban selama lima tahun adalah Rp 597.131.270,- sedangkan dalam capital lease jumlah yang menjadi beban adalah Rp 187.131.270 disatu sisi ada pengakuan asset adalah Rp 460.000.000 (hutang lease ditambah uang muka ). Gambaran dalam tabel diatas menunjukkan bahwa dampak akuntansi kedua metode seolah sama namun sebenarnya terdapat perbedaan tahunan sebelum masa sewa berakhir. Yang paling Nampak adalah capital lease mengakui aset dan kewajiban sebesar Rp 410.000.000,- saat dimulainya lease. 3.2
ANALISIS NET ADVENTAGE LEASE
Untuk memutuskan metode pembiayaan mana yang paling baik bagi CV. X atas mesin yang akan dimanfaatkan dalam operasionalnya lebih lanjut akan dihitung nilai manfaat bersih (NAL). Secara teoritis pembiayaan dengan leasing memberikan beberapa keunggulan antara lain adany tax shield baik dalam operating lease maupun financial lease. Hal tersebut dikarenakan adanya beban-beban yang berdampak pada berkurangnya keuntungan yang seterusnya mengurangi jumlah beban pajak perusahaan Adapun tax shield dimaksud dapat dihitung sebagai berikut:
217
Tabel 4.3 Net Adventage Lease dengan metode Operating Lease Tahun
Operating Lease
PViF 14%
Tax Shield 35%
2012
119.426.254
104.759.872
36.665.955
82.760.299
2013
119.426.254
91.894.624
32.163.119
87.263.135
2014
119.426.254
80.609.320
28.213.262
91.212.992
2015
119.426.254
70.709.930
24.748.475
94.677.779
2016
119.426.254
62.026.254
21.709.189
97.717.065
∑ PV cash outflow Harga Aset lease NAL
PV lease
453.631.270 60.000.000 (6.368.730)
sumber : Data diolah Dalam tabel 4.3 diatas bila pembiayaan dilakukan dengan perating lease maka besarnya perlindungan pajak yang dapat diperhitungkan adalah sebesar Rp 36. 665.955 pada tahun pertama, Rp 32.163.119 pada tahun ke dua, dan seterusnya pada akhir tahun ke lima Rp 21.709.189. Perlindungan pajak tersebut dihitung dengan terlebih dahulu menghitung nilai sekarang dari cicilan sewa pertahun dari aset yang dilease. Selanjutnya dapat dihitung Net Adventage Lease (NAL) yaitu jumlah dari nilai sekarang selama periode lease dikurangi dengan harga aset yang dilease. Dalam perhitungan diatas diperleh NAL sebesar (Rp 6.368.730) yang berarti negatif. Hal ini mengartikan bahwa nilai sekarang uang yang dikeluarkan untuk lese aset dengan operating lease lebih rendah dari harga aset, sehingga dengan cara operating lease masih memberikan nilai manfaat bagi PT. X Lebih lanjut dapat pula dihitung besarnya perlindungan pajak bagi PT X bila pembiayaannya melalui Financial Lease. Dalam tabel 4.4 memperlihatkan besarnya perlindungan pajak atas beban bunga dari cicilan lease. Dalam tabel tersebu memperlihatkan bahwa jumlah perlindungan pajak yang didapatkan lebih kecil bila dibandingkan dengan pembiayaan melalui operating lease yaitu tahun pertama Rp 17.622.807 dan pada tahun ke dua Rp 13.119.970,- dan seterusnya sebagaimana disajikan dalam tabel 4.4. Adanya perbedaan tersebut karena keseluruhan cicilan leasing dalam operating lease diakui sebagi beban dalam laporan laba rugi perusahaan, Sedangkan dalam financial lease besarnya cicilan walaupun jumlahnya sama akan tetapi didalamnya ada unsur pokok hutang dan bunga lease.
218
Tabel 4.4 Perhitungan perlindungan pajak atas bunga Cicilan Financial Lease Tahun 2012
Beban Bunga
57.400.000 2013 48.716.324 2014 38.816.934 2015 27.531.630 2016 14.666.382 187.131.270 Sumber: Data diolah
PViF 14% 50.350.877
Tax Sheld 35% 17.622.807
37.485.630 26.200.325 16.300.935 7.617.259 137.955.026
13.119.970 9.170.114 5.705.327 2.666.041 48.284.259
Selain perlindungan pajak yang diperoleh dari beban bunga yang dibayarkan, dalam pembiayaan dengan financial lease juga ada bentuk perlindungan pajak dari penyusutan asset yang di lease. Dalam kasus ini besarnya perlindungan pajak dari penyusutan dihitung dengan asumsi penyusutan metode garis lurus sehingga besarnya penyusutan pertahun adalah Rp 82.800.000. yang nilai sekarang bersih dan perlindungan pajaknya sebagaimana tabel 4.5 dengan nilai sekarang bersih selama 5 tahun Rp 99.490.686. Tabel 4.5 Perhitungan tax shield atas Depresiasi Financial Lease Tahun 2012 2013 2014 2015 2016
Beban Depresiasi 82.800.000 82.800.000 82.800.000 82.800.000 82.800.000 414.000.000 Sumber: Data diolah
PViF 14% 72.631.579 63.711.911 55.887.642 49.024.247 43.003.725 284.259.104
Tax Sheld 35% 25.421.053 22.299.169 19.560.675 17.158.486 15.051.304 99.490.686
Dengan adanya shield tersebut lebih lanjut dapat dihitung NAL dari keduanya seperti tabel 4.6. berikut.
219
Tabel 4.6 Net Adventage Lease dengan metode Financial Lease Tahun
Financial Lease
PViF 14%
Tax shield Tax shield 35% 35% Bunga Depresiasi
PV Lease
2012
119.426.254
104.759.872
17.622.807
25.421.053
61.716.012
2013
119.426.254
91.894.625
13.119.970
22.299.169
56.475.485
2014
119.426.254
80.609.320
9.170.114
19.560.675
51.878.531
2015
119.426.254
70.709.930
5.705.327
17.158.486
47.846.116
2016 Sumber:
119.426.254 Data diolah
62.026.254 ∑ PV of Lease
2.666.041
15.051.304
44.308.909 262.225.054
Uang muka 50.000.000 ∑ PV cash out flow 312.225.054 Nilai aset Lease 410.000.000 NAL (97.774.946)
Dalam tabel 4.6 diatas dengan memasukkan unsure perlindungan pajak dari bunga dan depresiasi berdasarkan nilai sekarang bersihnya selama lima tahun maka nilai sekarang bersih pembayaran lease adalah Rp 312.225.054,- sehingga bila dibandingkan dengan nilai aset diawal tahun sebesar Rp 410.000.000 setelah dikurangi uang muka, diperoleh NAL sejumlah negatif Rp 97.774.946. dengan nilai NAL negatif. Hal ini mengartikan bahwa nilai sekarang bersih uang yang dikeluarkan selama lima tahun lebih kecil dari harga aset bila dibeli dengan tunai, sehingga pembiayaan dengan metode financial lease tersebut layak dilakukan oleh perusahaan. Bila memperhatikan perhitungan NAL pada tabel 4.3 dengan metode operating lease dan tabel 4.6 dengan metode financial lease terlihat bahwa pada tingkat suku bunga 14% pada dasarnya kedua alternatif pembiayaan tersebut layak dilaksanakan, namun bila memperhatikan besarnya nilai manfaat yang diperoleh perusahaan maka pembiayaan dengan financial lease akan lebih baik. 3.3
ANALISIS NET PRESENT VALUE (NPV)
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan pembiayaan dari sisi lessor sebagai lembaga keuangan keuangan yang membiayai asset tersebut karena lembaga keuangan ataupun pemilik aset pada dasarnya adalah perusahaan yang juga mengharapkan keuntungan dari pembiayaan yang dilakukan. dengan dasar pembiayan pada tabel 4.6. diatas, NPV dari sisi lessor dapat dihitung seperti tabel 4.7 dibawah ini. 220
Tabel 4.7 Perhitungan NPV investasi oleh Lessor THN
Cash Inflow
PVif14%
PV
1
119.426.254
0,88
104.759.872
2
119.426.254
0,77
91.894.624
3
119.426.254
0,67
80.609.320
4
119.426.254
0,59
70.709.930
5
119.426.254
0,52
62.026.254
50.000.000
25.968.433 ∑PVif14%
435.968.433
IN.Inv
410.000.000
NPV
25.968.433
Sumber: Data diolah Dalam tabel 4.7 dengan NPV 25.968.433 maka pembiayaan yang diberikan oleh lessor pada dasarnya juga layak pada tingkat suku bunga 14%. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah dengan model operating lease juga memberikan keuntungan bagi pihak lessor. Bila kita hitung NPV dengan operating Lease maka hasilnya adalah NPV= 0 yang berarti bahwa nilai sekarang dari jumlah penerimaan selama 5 tahun akan kembali sama dengan nilai awal aset yang dibiayai. Keuntungan dari lessor dengan operating lease terletak pada nilai sisa aset yang dileasekan sehingga bila dihitung nilai sekarangnya pada akhir tahun ke 5 adalah sama dengan Rp 25.968.433,-. Dalam perhitungan ini baik capital lease maupun operating lease tidak memasukkan unsur-unsur biaya lainnya yang mungkin timbul seperti biaya administrasi, meterai dan lainnya. 3.4
PENYAJIAN DALAM LAPORAN KEUANGAN
Dengan pertimbangan metode financial lease merupakan alternatif yang lebih baik bila dibandingkan dengan operating lease maka aset yang di lease oleh CV X tersebut selanjutnya perlakuan akuntansi menurut SAK akan dicatat dalam neraca perusahaan sebagaimana tabel 4.7 dibawah ini
221
Tabel 4.7. Penyajian aset lease dalam Neraca CV X aset Aset lancar Beban ditangguhkan Aset tetap Mesin (Leasing) Total aset
187.131.270 460.000.000
HUTANG Hutang Jangka Panjang Hutang Leasing 460.000.000 187.131.270
Bunga yang masih harus dibayar Ekuitas Jumlah hutang dan Ekuitas Sumber: Data diolah
Artinya bahwa dengan pembiayaan aset tersebut dengan financial lease maka perusahaan akan mengakui adanya penambahan aset sejumlah harga perolehan dari mesin tersebut dan pengakuan adanya hutang leasing dan bunga leasing yang masih harus dibayar. Dampak dari pengakuan ini adalah adanya penambahan aset perusahaan sehingaga menggambarkan ukuran perusahaan dari sisi total ase menjadi lebih besar, namun disisi lain diikuti pula dengan adanya penambahan hutang yang mungkin akan berdampak pada kinerja dari sisi likuiditas maupun solvabilitasnya. Tabel 4.8 Penyajian dalam Laporan Laba Rugi Financial Lease Penjualan Persediaan akhir Harga Pokok Penjualan: Laba Operasional Beban Penyusutan Beban sewa
Operating Lease
82.800.000 119.426.254
Beban bunga Laba Usaha sebelum pajak Pajak Laba bersih sesudah pajak Sumber: Data diolah
57.400.000
222
Bila diilustrasikan kedua bentuk lease tersebut dalam laporan laba rugi perusahaan maka akan Nampak bahwa dalam operating lease, keseluruhan dari nilai lease (sebagai sewa) dicatat sebagai beban oleh CV X yaitu sebesar Rp 119.426.254,- setiap akhir tahun selama periode lease sehingga berdampak pada berkurangnya laba perusahaan. Walaupun ada dampak pada pengurangan laba perusahaan namun disatu sisi pajak perusahaan menjadi lebih kecil. Pengurangan pajak menjadi lebih kecil tersebut yang di gambarkan sebagai bentuk perlindungan pajak dalam cicilan leasing. Berbeda halnya dengan pembiayaan dengan financial lease, dalam penyajian laporan laba ruginya adalah beban bunga atas lease yang dalam kasus in dicatat pada tahun pertama sejumlah Rp 57.400.000,-. Oleh karena leasing tersebut diamortisasi maka beban bunga pada tahun kedua akan lebih rendah dibandingkan dengan tahun pertama dan seterusnya (tabel 4.4). Karena dalam financial lease mesin yang di lease diakui sebagai aset maka persusahaan juga akan membukukan beban penyusutan sebesar Rp 82.800.000,- (bila penyusutan garis lurus). Dampak keseluruhan dengan bunga dan penyusutan akan mempengaruhi besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan sehingga dengan sendirinya perusahaan juga akan memperoleh bentuk perlindungan pajak dari beban bunga dan penyusutan tersebut. Tabel 4.9 Perbandingan besarnya perlindungan pajak Financial Lease dengan Operating Lease Financial Lease Bunga Lease Penyusutan 57.400.000
82.800.000
48.716.324
82.800.000
38.816.934
82.800.000
27.531.630
82.800.000
Tax Shield
Operating Lease Cicilan lease Tax sheld 119.426.254
49.070.000
41.799.189 119.426.254
46.030.713
41.799.189 119.426.254
42.565.927
41.799.189 119.426.254
38.616.071 14.666.382
82.800.000
Jumlah
41.799.189 119.426.254
34.113.234
41.799.189
210.395.945
208.995.945
Dalam tabel 4.9 diatas terlihat bahwa pada tingkat suku bunga 14% besarnya perlindungan pajak yang didapatkan bila pembiayaan dengan metode financial lease lebih besar dibandingkan perlindungan pajak dengan metode operating lease yaitu Rp 210.395.945 : Rp 208.995.945 yang berarti bahwa pembiayaan dengan financial lease yang dilakukan oleh CV X layak baik dari sisi NAL, maupun dari sisi perlindungan pajak yang didapatkan. 4.
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 SIMPULAN Berdasarkan uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 223
Pembiayaan dengan lease sangat mempengaruhi laporan keuangan perusahaan baik posisi keuangan perusahaan maupun laporan laba ruginya. Pembiayaan operating lease akan mencatat seluruh cicilan lease sebagai beban dalam laporan laba ruginya pada setiap akhir tahun selama lease. Sedangkan dalam capital lease akan mencatan aset lease sebagai hak di satu sisi dan kewajiban cicilan lease disisi lain. Sehingga hanya bunga lease yang dicatat dalam laporan laba rugi peusahaan. Pada dasarnya pembiayaan dengan lease memberikan manfaat perlindungan pajak bagi perusahaan yaitu beban bunga lease dan penyusutan aset yang dilease bila melalui financial lease. Dari analisis NAL yang dilakukan atas dua alternatif memperlihatkan bahwa kedua alternatif tersebut menguntungkan perusahaan, namun yang paling baik adalah dengan cara financial lease karena NAL nya lebih besar dibandingkan dengan operating lease yaitu Rp 97.774.946 berbanding Rp 6.368.730. Demikian pula dengan NPV dari sisi lessor juga menguntungkan karena NPV>0 Besarnya perlindungan pajak yang didapatkan dengan financial lease lebih besar dibandingkan dengan operating lease. Dampak penyajian dalam laporan keuangan adalah bila pembiayaan dengan financial lease akan memperlihatkan penambahan jumlah aset disatu sisi dan diikuti dengan penambahan jumlah kewajiban berupa hutang leasing. Pilihan pembiayaan yang dilakukan oleh CV.X pada dasrnya layak dengan asumsi tingka suku bunga 14%. 4.2
SARAN-SARAN
Sebelum memutuskan bentuk pembiayaan lease yang akan diambil, perusahaan perlu melakukan analisis untuk mengetahui mana yang paling memberikan manfaat bagi perusahaan. Pertimbangan utama yang perlu diperhatikan adalah tingkat suku bunga, besarnya perlindungan pajak yang didapatkan serta dampak pembiayaan tersebut dalam laporan keuangan perusahaan baik laba rugi maupun neracanya. Biaya-biaya lainnya diluar beban tetap berupa cicilan leasing perlu diperhitungkan khususnya oleh pihak lessee sebelum mengambil keputusan. DAFTAR PUSTAKA Arthur J.Keown, davit F Scot,Jr Manajemen Keuangan, Salemba 4 edisi 9 2007 Fred Weston J, Copeland Thomas Manajemen keuangan Bina Aksara Edisi 10 2004 Eugene F Brigham, Joel F Houston; Manajemen Keuangan. Erlangga, edisi 8 2001 Hanafi Mamdu M. Abdul Halim; Analisis Laporan Keuangan UPP STIM YKPN Edisi IV 2009 224
International Accounting Standard Committee, International Accounting Standard No 17 Accounting for Leases, 1982 Par.2 Ikatan Akuntansi Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan, SAK no 30 . Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 dan Surat Edaran Dirjen Pajak No SE-10/PJ.42/1994. Subramanyam KR, Wild John J, Analisa Laporan Keuangan Mc Graw Hill. Salemba 4 2010 Van Horn James , John J. Wachowicz Jr. Fundamental of Financial Managemen Tent Edition 2000 Zaki Baridwan, Akuntansi Keuangan Intermediate, BPPE, Yogyakarta 1994,
225
226
227
228
229