Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.39513/PP/M.IV/99/2012
Jenis Pajak
: Pajak Penghasilan Pasal 26
Tahun Pajak
: 2010
Pokok Sengketa
: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan gugatan terhadap Penerbitan Keputusan Tergugat Nomor: KEP-313/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 19 April 2011, Tentang Pengurangan Surat Tagihan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Februari 2010 Nomor: 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010;
Menurut Tergugat
: bahwa sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-24/PJ/2010 tentang Perubahan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, bahwa SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II (Form DGT 1) yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk Masa Pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B;
Menurut Penggugat
: bahwa formulir DGT-1 lembar kesatu yang telah disahkan oleh Pejabat yang Berwenang di luar negeri telah Penggugat laporkan sejak bulan Februari 2010 (sebagai lampiran untuk SPT Masa Januari 2010). Di dalam formulir tersebut telah dinyatakan dengan jelas bahwa penerima penghasilan (Wajib Pajak Luar NegeriWPLN) tersebut benar-benar pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner), sehingga seharusnya hal ini dapat dijadikan referensi untuk bulan-bulan berikutnya. Hal ini juga sejalan dengan Ralat Peraturan DJP No.PER-61/PJ/2009 tanggal 15 Desember 2009 yang memberlakukan Formulir DGT-1 lembar kesatu selama 12 (dua belas) bulan;
Menurut Majelis
: bahwa berdasarkan berkas gugatan, diketahui kepada penggugat diterbitkan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Februari 2010 Nomor: 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010 karena Form-DGT 1 lembar kedua disampaikan oleh WPLN Bridgestone Corporation, Japan kepada Penggugat setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT PPh Pasal 26 Masa Pajak Februari 2010, dan Penggugat menyampaikan SPT PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 pada tanggal 05 April 2010 sehingga tidak memenuhi persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf b dan Pasal 4 ayat (3) huruf e Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sebagaimana telah diralat dan diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER24/PJ/2010; bahwa dalam persidangan Penggugat menyampaikan penjelasan tertulis dengan surat Nomor 7354R/EXT/ACCH/378/2011 tanggal 14 November 2011 tentang Penjelasan Tertulis Ketidaksetujuan atas Penerbitan STP dan Pengenaan Sanksi Administrasi oleh Tergugat sehubungan dengan Permintaan Hakim Ketua Majelis IV pada Sidang Pengadilan Pajak pada tanggal 25 Oktober 2011 a.n. PT Bridgestone Tire Indonesia NPWP: 01.000.118.8-092.000 yang pada intinya sebagai berikut : bahwa asal mula STP tersebut diterbitkan adalah berdasarkan surat himbauan dari KPP Wajib Pajak Besar Dua dengan nomor S-062/WPJ.19/KP.0207/2010 tanggal 26 April 2010 untuk membetulkan SPT PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 dengan alasan bahwa Penggugat terlambat melampirkan Surat Keterangan Domisili ("SKD") pada SPT PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 sehingga tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B sesuai dengan Pasal 5 PER-61/PJ/2009; bahwa SKD tersebut dianggap terlambat karena Penggugat baru melaporkan Form DGT-1 halaman 2 untuk pembayaran royalti Masa Pajak Februari 2010 pada bulan April 2010. Form DGT-1 halaman 2 tersebut tertanggal 23 Maret 2010 dan baru dilaporkan pada bulan April 2010. Meski Form DGT-1 halaman 1 tanggal 26 Januari 2010 sudah dilaporkan di bulan Februari 2010, Penggugat tetap dianggap terlambat dalam melaporkan SKD; bahwa karena itu, menurut Tergugat, SPT PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 harus dilakukan pembetulan karena tarif PPh Pasal 26 atas royalti yang seharusnya digunakan adalah tarif normal 20% sesuai dengan UU PPh sehingga terdapat kurang setor PPh Pasal 26 atas royalti sebesar Rp 1.110.247.684,-. Tergugat menagih kekurangan pokok pajak yang harus dibayar beserta sanksi administrasi dengan menerbitkan STP PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010
Nomor 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010 sebesar Rp 1.221.372.452,- tanpa melalui pemeriksaan pajak. bahwa menurut Penggugat Dasar Hukum Penerbitan STP yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan UU KUP bahwa Penggugat tidak setuju dengan penerbitan STP PPh Pasal 23/26 yang dilakukan Tergugat. Menurut kami, yang menjadi pokok sengketa adalah perbedaan pengenaan tarif pajak (pokok pajak), dan atas perbedaan pengenaan tarif pajak tersebut menyebabkan pajak kurang disetor. Seharusnya atas perbedaan ditagih setelah dilakukan pemeriksaan diterbitkan SKPKB. bahwa Pasal 14 ayat (1) UU KUP mengatur jelas tentang penerbitan STP yang hanya dilakukan apabila: Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, yang dalam penjelasannya hanya mencakup PPh Pasal 25. Terdapat kesalahan tulis atau hitung yang mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak (bukan merupakan sengketa pajak). Wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga. Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu. Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap. Pengusaha Kena Pajak melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak; atau Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan. bahwa berdasarkan penjelasan di atas, maka penerbitan STP atas sengketa pajak (pokok pajak) PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00004/104/10/092/10 tidak sesuai dengan Pasal 14 UU KUP, mengingat STP yang diterbitkan tersebut bukan atas: PPh Pasal 25. Kesalahan hitung atau tulis, melainkan atas sengketa pajak berupa koreksi atas penerapan tarif yang menurut pendapat Penggugat seharusnya sudah benar. Sanksi administrasi saja, melainkan termasuk juga pokok pajak. Pengenaan sanksi atas pelanggaran ketentuan UU PPN. Prosedur Penerbitan STP PPh Pasal 23/26 yang Tidak Sesuai dengan Ketentuan bahwa Penggugat tidak setuju atas penerbitan STP PPh Pasal 23/26 yang dilakukan Tergugat dengan alasan STP tersebut diterbitkan hanya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Account Representative di kantor pajak dimana Penggugat terdaftar tanpa dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu; bahwa Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) Peraturan Direktur Jen deral Pajak Nomor PER-I 70/PJ/2007 tanggal 11 Desember 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konseling terhadap Wajib Pajak sebagai Tindak Lanjut Surat Himbauan, mengatur dengan jelas bahwa Petugas Konseling (Account Representative) agar memberikan rekomendasi atau usulan untuk dilakukan pemeriksaan sebagai hasil dari penelitian apabila: Dalam hal masih belum dapat dipastikan kejelasan atas data tersebut, atau dalam hal Wajib Pajak menolak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Konseling, atau hal-hal lain yang menurut analisis petugas bahwa terhadap Wajib Pajak perlu untuk dilakukan pemeriksaan. Dalam hal Wajib Pajak masih belum membetulkan SPT, agar diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan. bahwa berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Tergug at tidak melakukan prosedur sesuai dengan ketentuan dalam PER-170/PJ/2007 dan karenanya STP PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00004/104/10/092/10 menjadi cacat sehingga harus dibatalkan demi hukum; Materi Penerbitan STP PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 bahwa Pasal 5 PER-61/PJ/2009 mengatur bahwa form DGT -1 yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B. bahwa Penggugat sudah melaporkan form DGT-1 halaman 1 tertanggal 26 Januari 2010 pada bulan Februari 2010. Sedangkan form DGT -1 halaman 2 ditandatangani
penerima pembayaran royalti (WPLN) pada 23 Maret 2010 dan kemudian baru dapat Penggugat laporkan pada bulan April 2010. Dengan demikian, tidak mungkin Penggugat dapat melaporkan Form DGT-1 halaman 2 sebelum tanggal 23 Maret 2010. bahwa berdasarkan penjelasan di atas, Penggugat mohon agar STP PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00004/104/10/092/10 dibatalkan. Kesimpulan dan Penutup bahwa berdasarkan penjelasan diatas, Penggugat tetap tidak setuju dengan penerbitan STP PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010, dengan alasan sebagai berikut: Tergugat menerbitkan STP tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 14 UU KUP dan PER-170/PJ/2007 dan karenanya STP PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00004/104/10/092/10 menjadi cacat sehingga harus dibatalkan demi hukum. STP PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Februari 2010 Nomor 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010 menagih kurang bayar pokok pajak PPh Pasal 26 atas royalti yang menurut Tergugat seharusnya memakai tarif normal 20% sedangkan menurut Penggugat memakai tarif 10%. Atas sengketa pajak (pokok pajak) ini seharusnya diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) setelah melalui proses pemeriksaan. Pihak penerima pembayaran royalti baru menandatangani Form DGT-1 halaman 2 pada tanggal 23 Maret 2010. Hal tersebut adalah diluar kemampuan Penggugat sehingga Penggugat baru bisa melaporkan Form DGT-1 halaman 2 pada bulan April 2010. Sedangkan untuk Form DGT-1 halaman 1 tanggal 26 Januari 2010 sudah Penggugat laporkan pada bulan Februari 2010; Berdasarkan 3 (tiga) point di atas, Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP313/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 19 April 2011 yang menolak Permohonan Pengurangan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Februari 2010 sebesar Rp1.221.372.452,- seharusnya batal demi hukum; bahwa dalam persidangan Tergugat menyampaikan penjelasan tertulis dengan surat Nomor S-7957/PJ.07/2011 tanggal 2 Desember 2011 tentang Penjelasan Tertulis Sehubungan Dengan Sidang Gugatan atas Surat Keputusan Dir ek tur Jenderal Paj ak Nom or KEP 313/W R1.19/BD.05/2011 tanggal 19 April 2011 tentang Pengurangan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010 Nomor : 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010 a.n. PT Bridgestone Tire Indonesia NPWP 01.000.118.8-092.000 yang pada intinya sebagai berikut : Kronologis Penerbitan STP PPh Pasal 26 Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010 Nomor : 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010 diterbitkan dengan kronologis sebagai berikut: Tanggal
Uraian
5 April 2010
Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pebruari 2010 ke KPP Wajib Pajak Besar Dua. Atas pembayaran royalty kepada Bridgestone Corporation Wajib Pajak memotong PPh Pasal 26 dengan tarif 10%. Wajib Pajak melampirkan Surat Keterangan Domisili (SKD) formulir DGT-1 lembar kedua yang diterbitkan oleh Bridgestone Corporation pada tanggal 23 Maret 2010 untuk menyatakan penghasilan royalty yang diterima dalam Masa Pajak Pebruari 2010.
26 April 2010
KPP Wajib Pajak Besar Dua mengirimkan surat nomor : S-062/VVPJ.19/KP.0207/2010 tanggal 26 April 2010 tentang himbauan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa SKD yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan, karena tidak sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tanggal 15 Desember 2009 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-114/PJ/2009 tanggal 15 Desember 2009, sehingga Wajib Pajak diminta melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 26 dengan menghitung pajak terutang sebesar 20% x dasar pengenaan pajak.
22 Juli 2010
Karena tidak ada tanggapan atas himbauan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010, maka diterbitkan Undangan Konseling dengan surat nomor : S151/WPJ.19/KP.0207/2010.
26 Juli 2010
Wajib Pajak menghadiri undangan konseling yang diwakili oleh Setia Heriawan. Sedangkan dari pihak Tergugat diwakili oleh Sigit Wijanarko (AR) dan Nurkholis Husin (Kasi Pengawasan dan Konsultasi II). Pada awalnya Wajib Pajak setuju dengan pendapat Tergugat bahwa atas pembayaran royalty kepada Bridgestone Corporation dikenakan tarif 20% sehingga nilai himbauan adalah sebesar Rp 1.110.247.684,- dan dituangkan dalam kolom hasil klarifikasi menurut Wajib Pajak. Dalam perkembangannya berikutnya Wajib Pajak berubah dengan menyatakan bahwa Wajib Pajak tidak bersedia melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010, namun sebagai sarana untuk melakukan pembayaran PPh Pasal 26 tersebut dan dalam rangka memberikan penjelasan kepada Wajib Pajak di Luar Negeri, maka Wajib Pajak meminta KPP Wajib Pajak Besar Dua untuk menerbitkan STP PPh Pasal 26, sehingga kolom menurut Wajib Pajak yang semula Rp1.110.247.684,- ditulis menjadi 0
29 Juli 2010
Diterbitkan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010 Nomor : 00004/104/10/092/10
Proses Persidangan bahwa dalam persidangan tanggal 25 Oktober 2011 Majelis Hakim menanyakan dasar hukum penerbitan STP PPh Pasal 26. Tergugat menjelaskan bahwa dasar hukum penerbitan STP PPh Pasal 26 adalah Pasal 14 ayat (1) huruf b UU KUP yang mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; bahwa Majelis Hakim mempermasalahkan prosedur penerbitan STP PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010. Majelis Hakim mempertanyakan, apakah kesalahan tarif termasuk dalam termasuk ruang lingkup kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung, dihubungkan dengan pengertian dalam Pasal 16 UU KUP; bahwa selanjutnya Penggugat mempermasalahkan prosedur penerbitan STP PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010; bahwa dalam persidangan tanggal 15 Nopember 2011 Penggugat menyatakan bahwa dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-170/PJ/2007 tanggal 11 Desember 2007 diatur bahwa dalam hal setelah jangka waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan konseling berakhir Wajib Pajak belum membetulkan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak tersebut agar diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan. Alasan Gugatan Penggugat bahwa dalam surat gugatan nomor : 7354R/EXT/ACCH/132/2011 tanggal 13 Mei 2011 Penggugat mengajukan gugatan dengan alasan sebagai berikut: bahwa Formulir DGT-1 lembar kesatu yang telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang di luar negeri telah dilaporkan sejak bulan Pebruari 2010 sebagai lampiran SPT Masa Januari 2010. bahwa Surat Keterangan Domisili adalah surat keterangan yang diterbitkan bagi Wajib Pajak luar negeri yang isinya menerangkan bahwa Wajib Pajak luar negeri yang tercantum dalam surat keterangan tersebut benar-benar berkedudukan di suatu negara yang menerbitkan surat keterangan tersebut. Oleh karena itu Formulir DGT-1 lembar kesatu telah disampaikan bulan Pebruari 2010 sebagai lampiran SPT Masa Januari 2010, sudah cukup membuktikan bahwa Bridgestone Corporation merupakan beneficial owner, penduduk dan berkedudukan dari dan di negara yang menerbitkan SKD. Tidak dilaporkannya dan atau terlambat melampirkan formulir DGT-1 lembar kesatu pada data pelaporan SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010 tidaklah menghilangkan substansi bahwa Bridgestone Corporation berhak diberikan penerapan tarif Pasal PPh Pasal 26 sesuai P3B Indonesia-Jepang. Dasar Hukum dan Pertimbangan 1. bahwa berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP) diatur bahwa: Pasal 8 ayat (1): Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pemyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Pasal 14 ayat (1) huruf b:
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung. Pasal 16: Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Penjelasan: Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut: surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; Surat Tagihan Pajak; Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak; Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; Surat Keputusan Pembetulan; Surat Keputusan Keberatan; Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi; Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari: kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo; kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak. Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya. Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan. 2. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER -61/PJ/2009 tanggal 15 Desember 2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-24/PJ/2010 tanggal 30 April 2010 diatur bahwa: Pasal 3 (1) Pemotong/Pemungut Pajak harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal : Penerima penghasilan bukan Subjek Pajak dalam negeri Indonesia, Persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan Tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan penyalahgunaan P3B. (2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Pemotong/Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Pasal 4 ayat (3):
Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b adalah SKD yang disampaikan oleh WPLN kepada Pemotong/Pemungut Pajak: menggunakan formulir yang telah ditetapkan dalam Lampiran II atau Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini; telah diisi oleh WPLN dengan lengkap; telah ditandatangani oleh WPLN atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; telah disahkan oleh pejabat yang berwenang, wakilnya yang sah, atau pejabat kantor pajak yang berwenang di negara mitra P3B, yang dapat berupa tanda tangan atau diberi tanda yang setara dengan tanda tangan sesuai dengan kelaziman di negara mitra P3B; dan disampaikan sebelum berakhirnya batas waktu dengan penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak. Pasal 5: SKD yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II (FormDGT 1) yang disampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk masa pajak terutangnya pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B. Formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III (Form-DGT 2) yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) digunakan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B sejak tanggal SKD tersebut disahkan oleh pejabat pajak yang berwenang dari Negara mitra P3B dan berlaku selama 12 (dua belas) bulan. bahwa dalam ralat Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tanggal 15 Desember 2009 diatur bahwa: Angka 5: memberlakukan Form-DGT 1 lembar kesatu selama 12 (dua belas) bulan sejak formulir tersebut disahkan oleh pejabat yang Berwenang di luar negeri; Angka 6: memberlakukan Form-DGT 1 lembar kedua untuk menyatakan penghasilan yang diterima Wajib Pajak luar negeri dalam 1 (satu) bulan (Masa Pajak); Pajak 9 ayat (1) Pemotong/Pemungut Pajak wajib menyampaikan fotokopi SKD yang diterima dari WPLN sebagai lampiran SPT Masa. 3. Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-170/PJ/2007 tanggal 11 Desember 2007 diatur bahwa: Apabila Wajib Pajak/Kuasanya mengakui kebenaran data dan bersedia untuk melaksanakan pembetulan Surat Pemberitahuan, Petugas Konseling wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembetulan tersebut. Dalam hal setelah jangka waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan konseling berakhir Wajib Pajak belum membetulkan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak tersebut agar diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan. Tanggapan Tergugat Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU KUP diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung. Berdasarkan penelitian diketahui terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah hitung PPh Pasal 26 terutang dengan perhitungan sebagai berikut : Semula menurut Wajib Pajak
10% x Rp 11.102.476.840 = Rp 1.110.247.684
Seharusnya menurut Fiskus
20% x Rp 11.102.476.840 = Rp 2.220.495.368
Jumlah kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah hitung
10% x Rp 11.102.476.840 = Rp 1.110.247.684
Wajib Pajak menyatakan bahwa perbedaan tarif, tidak termasuk dalam ruang lingkup salah tulis dan atau salah hitung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 UU KUP. Sesuai dengan Pasal 16 UU KUP diatur bahwa: kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan.
kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundangundangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak. 4. Tergugat menyatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 16 UU KUP tidak dapat diterapkan untuk permohonan Wajib Pajak dengan alasan : Himbauan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 26 adalah berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU KUP, bukan berdasarkan Pasal 16 UU KUP. Kesalahan tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang dilaporkan dalam SPT Masa PPh tidak termasuk ruang lingkup Pasal 16 UU KUP karena yang dapat dibetulkan dalam Pasal 16 UU KUP adalah surat ketetapan, surat tagihan pajak dan surat keputusan. Pengertian kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung dalam Pasal 16 UU KUP tidak dapat dipergunakan untuk penerapan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU KUP. Apabila suatu pengertian dalam undang-undang dapat digunakan untuk menjelaskan dalam keseluruhan pasal, maka akan dicantumkan dalam Pasal 1 mengenai ketentuan umum. bahwa dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b UU KUP diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung. Sedangkan dalam Pasal 16 UU KUP disebutkan bahwa kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo. bahwa berdasarkan pengertian diatas, maka apabila pengertian salah tulis dalam Pasal 16 UU KUP diterapkan secara langsung kepada Pasal 14 ayat (1) huruf b UU KUP, maka kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b UU KUP tidak akan pernah dapat diterapkan, karena tidak mungkin akan ada kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat dari salah tulis tersebut. Oleh karena itu, pengertian salah tulis yang berakibat pada kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b UU KUP adalah salah tulis nominal angka, yang berbeda dengan pengertian salah tulis dalam Pasal 16 UU KUP. 5. Bahwa penerbitan STP PPh Pasal 26 adalah berdasarkan permintaan Wajib Pajak pada saat dilakukan konseling. Pada saat konseling Wajib Pajak menyatakan tidak bersedia melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010, namun sebagai sarana untuk melakukan pembayaran PPh Pasal 26 tersebut dan dalam rangka memberikan penjelasan kepada Wajib Pajak di Luar Negeri, Wajib Pajak meminta diterbitkan STP PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010. Hal ini diperkuat dengan : permohonan pengurangan STP PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010 dengan surat no Ref No: 7354R/437/2010 tanggal 18 Oktober 2010 dan permohonan gugatan atas KEP-313/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 19 April 2011 dengan surat nomor : 7354R/EXT/ACCH/132/2011 tanggal 13 Mei 2011; yang tidak mempermasalahkan formal penerbitan STP PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010, dan Penggugat memberikan alasan-alasan secara materi; Terkait dengan alasan Penggugat yang menyatakan bahwa penerbitan STP PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010 tidak sesuai prosedur karena hasil konseling tidak dilanjutkan dengan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-170/PJ/2007 tanggal 11 Desember 2007 yang mengatur bahwa dalam hal setelah jangka waktu 14 hari sejak tanggal pelaksanaan konseling berakhir Wajib Pajak belum membetulkan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak tersebut agar diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan, Tergugat berpendapat bahwa konseling dilakukan pada tanggal 26 Juli 2010 dan sebelum batas waktu 14 hari berakhir, Tergugat pada tanggal 29 Juli 2010 menerbitkan STP PPh Pasal 26 sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) UU KUP berdasarkan permintaan Wajib Pajak; bahwa selain itu, dalam Pasal 7 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-170/PJ12007 tanggal 11 Desember 2007 disebutkan agar diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan, bukan bersifat keharusan untuk dilakukan pemeriksaan;
bahwa maksud dilakukan konseling sebagaimana dimaksud dalam konsideran menimbang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-170/PJ/2007 tanggal 11 Desember 2007 adalah untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak secara sukarela, sehingga tidak seluruh pelaksanaan konseling berakhir dengan dilakukannya pemeriksaan; 7. Terkait dengan materi gugatan Tergugat menyatakan bahwa : Formulir DGT-1 lembar kesatu disahkan oleh Pejabat yang berwenang yaitu Akito Hirose, District Director of Kurume Tax Office pada tanggal 26 Januari 2010 yang mempunyai masa berlaku 12 (dua belas) bulan. Formulir DGT-1 lembar kedua diterbitkan oleh Bridgestone Corporation pada tanggal 23 Maret 2010 untuk menyatakan penghasilan royalty yang diterima dalam Masa Pajak Pebruari 2010 dan disampaikan ke KPP Wajib Pajak Besar Dua pada tanggal 5 April 2010; Mengingat Formulir DGT-1 lembar kedua disampaikan oleh Wajib Pajak Luar Negeri kepada pemotong pajak di Indonesia setelah berakhimya batas waktu penyampaian SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010, dan Wajib Pajak baru menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 26 pada tanggal 5 April 2010, maka hal tersebut tidak memenuhi persyaratan administrasi dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan Pasal 4 ayat (3) huruf e Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tanggal 15 Desember 2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-24/PJ/2010 tanggal 30 April 2010; Formulir DGT-1 lembar kedua yang disampaikan kepada pemotong pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan dalam P3B sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 tanggal 15 Desember 2009 sebagaimana telah diubah dengan PER-24/PJ/2010 tanggal 30 April 2010. Oleh karena itu Wajib Pajak wajib memotong PPh Pasal 26 dengan tarif umum sebesar 20%, sehingga penerbitan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010 Nomor : 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010 telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kesimpulan dan Usul Penerbitan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010 Nomor : 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010 telah sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf b UU KUP karena terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat adanya kesalahan hitung oleh Wajib Pajak. Penerbitan STP PPh Pasal 26 adalah berdasarkan permintaan Wajib Pajak pada saat dilakukan konseling dengan alasan untuk memudahkan Wajib Pajak dalam memberikan penjelasan kepada Wajib Pajak di Luar Negeri. Hal ini diperkuat dengan permohonan pengurangan dan permohonan gugatan yang tidak mempermasalahkan formal penerbitan STP PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010, dan Penggugat memberikan alasan-alasan secara materi. Bahwa Formulir DGT-1 lembar kedua disampaikan oleh Wajib Pajak Luar Negeri kepada pemotong pajak di Indonesia setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010, sehingga ketentuan dalam P3B tidak dapat diterapkan. Oleh karena itu, Wajib Pajak wajib memotong PPh Pasal 26 dengan tarif umum sebesar 20%. Mengusulkan kepada Majelis Hakim untuk menolak gugatan Penggugat atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 19 April 2011 tentang Pengurangan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Pebruari 2010 Nomor : 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010. bahwa berdasarkan pemeriksaan dan keterangan para pihak dalam persidangan, Majelis berpendapat sebagai berikut : Formal Penerbitan STP bahwa Pasal 14 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KetentuanUmum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009 menyebutkan : Ayat (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga; d. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu; e. pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain: 1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya;atau 2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran; f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak; atau g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Ayat (2) Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. Ayat (3) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. Bahwa sesuai Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak disebutkan : Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak dalam hal : a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. Berdasarkan hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga; d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu; e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak mengisi Faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, kecuali isian faktur Pajak tersebut telah mencantumkan : 1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000; atau 2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran; f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak. bahwa Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak disebutkan : Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diterbitkan setelah dilakukan penelitian administrasi perpajakan atau berdasarkan hasil pemeriksaan pajak. bahwa berdasarkan Pasal 7 Peraturan Diretur Jenderal Pajak Nomor PER170/PJ/2007 tanggal 11 Desember 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konseling Terhadap Wajib Pajak Sebagai Tindak Lanjut Surat Himbauan, menyebutkan : Ayat (1) Apabila Wajib Pajak/Kuasanya mengakui kebenaran data dan bersedia untuk melaksanakan pembetulan Surat Pemberitahuan, Petugas Konseling wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembetulan tersebut.
Ayat (2) Dalam hal setelah jangka waktu 14 hari sejak tanggal pelaksaan konseling berakhir Wajib Pajak belum membetulkan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak tersebut agar diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan; bahwa Tergugat menyetakan Penggugat pada saat konseling meminta secara lisan untuk diterbitkan Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang KetentuanUmum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, sedangkan Penggugat menyatakan tidak setuju untuk membetulkan SPT Masa dan jika akan diterbitkan STP seharusnya melalui pemeriksaan sesuai Pasal 7 PER170/PJ/2007 tanggal 11 Desember 2007; bahwa berdasarkan ketentuan tersebut Majelis berpendapat karena Penggugat tidak bersedia untuk melaksanakan pembetulan SPT Masa, maka ketentuan Pasal 7 PER170/PJ/2007 yang mengenai penerbitan STP yang menurut Penggugat harus melalui pemeriksaan tidak dapat diberlakukan sehingga penerbitan STP dapat dilakukan berdasarkan penelitian administrasi perpajakan sesuai Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-189/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007; Materi Sengketa bahwa berdasarkan Peraturan Diretur Jenderal Pajak Nomor : PER-24/PJ/2010 tanggal 30 April 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Diretur Jenderal Pajak Nomor : PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda menyatakan bahwa Surat Keterangan Domisili (SKD) yang menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II (Form DGT 1) yang disampaikan kepada Pemotong Pajak setelah berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Masa untuk Masa Pajak terutangnya Pajak, tidak dapat dipertimbangkan sebagai dasar penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B. bahwa Form DGT 1 lembar kesatu berlaku selama 12 (dua belas) bulan sejak formulir tersebut disahkan oleh pajabat yang berwenang di luar negeri, dan memberlakukan form DGT 1 lembar kedua untuk menyatakan penghasilan yang diterima Wajib Pajak luar negeri dalam 1(satu) bulan (Masa Pajak); bahwa berdasarkan pemeriksaan dan keterangan dalam persidangan diketahui Form DGT 1 lembar pertama disahkan tanggal 26 Januari 2010 oleh Akito Hirose, District Director of Kurume Tax Office, berlaku 12 (dua belas) bulan dan Form DGT 1 lembar kedua untuk menyatakan penghasilan royalty yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri Bridgestone Corporation dalam 1 (satu) bulan (Masa Pajak) Februari 2010 sebesar Rp 11.102.476.840,00 diterbitkan tanggal 23 Maret 2010; bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis berpendapat bahwa karena batas waktu berakhirnya penyampaian SPT Masa PPh Pasal 26 Masa Pajak Februari 2010 adalah tanggal 20 Maret 2010, sedangkan Form DGT 1 lembar kedua tanggal 23 Maret 2010 dan dilampirkan dalam SPT Masa Februari 2010 yang dilaporkan tanggal 5 April 2010, maka sesuai Peraturan Diretur Jenderal Pajak Nomor : PER24/PJ/2010 tanggal 30 April 2010 penerapan ketentuan yang diatur dalam P3B tidak dapat dipertimbangkan, sehingga atas objek PPh Pasal 26 dipotong dengan tarif 20%; bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis dalam persidangan dan data yang ada dalam berkas gugatan maka Majelis berpendapat untuk menolak gugatan Penggugat; Menimbang
: bahwa berdasarkan pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk menolak permohonan gugatan Penggugat;
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;
Memutuskan
: Menyatakan menolak gugatan Penggugat atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-313/WPJ.19/BD.05/2011 tanggal 19 April 2011, Tentang Pengurangan Surat Tagihan Pajak PPh Pasal 26 Masa Pajak Februari 2010 Nomor: 00004/104/10/092/10 tanggal 29 Juli 2010, atas nama : PT XXX;