ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN DARI KMK 254/KMK.03/2001 MENJADI PMK 154/PMK.03/2010 DALAM PEMUNGUTAN PPH 22: TINJAUAN MELALUI STUDI KASUS PADA PT. KRAKATAU STEEL Stephen Sinalsal Tubagus Ch. Amakhi Program Studi S1 Reguler Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ABSTRAK PT. Krakatau Steel merupakan salah satu BUMN yang ditunjuk negara untuk memungut PPh 22 atas pembeliannya. Hal ini didasarkan pada UU Nomor 36 Tahun 2008. Agustus 2010 terbit peraturan baru yang mengubah posisi PT. Krakatau Steel sebagai pemungut pajak yaitu PMK Nomor 154/PMK.03/2010. Perubahan ini juga menimbulkan dampak lain bagi PT. Krakatau Steel. Melalui penelitian ini penulis mencoba menganalisa dampak – dampak yang dihadapi oleh PT. Krakatau Steel selaku pemungut PPh 22 dan asas – asas dari penerapan peraturan baru tersebut. Dampak yang dihadapi oleh PT. Krakatau Steel adalah berupa perubahan subjek dan objek pajak, mekanisme penghitungan, mekanisme penyetoran dan pelaporan, serta masalah lain terkait aktivitas PPh 22. Penulis menganalisa bagaimana PT. Krakatau Steel menghadapi dampak ini dan menganalisa kewajiban perpajakan PPh 22 PT. Krakatau Steel untuk melihat keseuaian asas penerapan dari peraturan baru. Penulis menemukan bahwa perubahan ini secara umum telah sesuai dengan asas – asas pemungutan pajak. Kata kunci: PPh 22, peraturan, dampak, asas
ABSTRACT PT. Krakatau Steel is one of state-owned enterprise that selected to collectIncome Tax Article 22 for their purchase. This is based on UU Nomor 36 Tahun 2008. At August 2010 new rule was released and that change PT. Krakatau Steel position as Income Tax Article 22 collector. The rule is PMK No. 154/No.03/2010. The rule causes some impacts for PT. Krakatau Steel. This research is aimed to analyze the impacts to PT. Krakatau Steel as income tax article 22 collector and the principle in the changed rule.The impact that faced by PT. Krakatau Steel is the change in tax subject and object, calculation mechanism, deposit and report mechanism, and other problem according to tax activity. It also analyze principle of changed rule by analyze PT. Krakatau Steel income tax especially article 22. According to the research results principle is well prepared and well placed in the change. Keyword: PPh 22, rule, impact, principle
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
A.
Pendahuluan Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak. Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22) merupakan pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik pusat maupun daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga negara lainnya sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, atau badan – badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Dasar hukum dari PPh 22 adalah Undang - Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2008. Peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan PPh 22 adalah PMK 154/PMK.03/2010. Peraturan tersebut baru saja menggantikan peraturan lama yaitu KMK 254/KMK.03/2001. Sebagai sebuah instansi atau lembaga pemerintah, BUMN beserta BUMD sebagaimana dimaksud KMK 254/KMK.03/2001 memiliki kewajiban sebagai pemungut pajak dalam aktivitas – aktivitas tertentu seperti pembelian atau pengadaan barang yang menggunakan APBN. Dalam peraturan tersebut, PT. Krakatau Steel termasuk dalam beberapa BUMN dan badan negara lainnya yang wajib melakukan pemungutan PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang yang menggunakan APBN dan non-APBN. Dalam setiap pembelian atau pengadaan barang yang dilakukan oleh PT. Krakatau Steel, PT. Krakatau Steel wajib memungut pajak sebesar yang telah ditetapkan oleh undang – undang tersebut. Selain pemungutan terhadap pembelian atau pengadaan barang, PT. Krakatau Steel juga memiliki kewajiban pemungutan PPh 22 lainnya yaitu terhadap penjualan atas hasil produksi di dalam negeri berupa penjualan baja. Hal ini sesuai dengan isi KMK 254/KMK.03/2001 pasal 1 ayat 5. Di dalam bagian tersebut, dijelaskan bahwa industri – industri tertentu seperti industri baja wajib melakukan pemungutan atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri. Dengan demikian, pemungutan PPh 22 PT. Krakatau Steel dilakukan dari 2 (dua) proses bisnis yang berbeda yaitu pembelian dan penjualan. Pada tahun 2010, pemerintah melakukan perubahan kebijakan pajak dengan menerbitkan peraturan baru terkait PPh 22 yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Peraturan ini menghapus penggunaan dari peraturan sebelumnya yaitu
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
KMK 254/KMK.03/2001 sehingga KMK 254/KMK.03/2001 tersebut tidak berlaku lagi. Berdasarkan perubahan tersebut penulis mengajukan berbagai rumusan masalah yang mendasari penelitian ini. Rumusan – rumusan masalah tersebut adalah: 1) Bagaimana gambaran dari perubahan dari KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010 dalam pemungutan PPh 22? 2) Apa yang menjadi dampak terhadap mekanisme pemungutan PPh 22 oleh PT. Krakatau Steel dari KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010? 3) Apakah perubahan dari KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010 berdasarkan kasus – kasus di dalam PT. Krakatau Steel ini seseuai dengan asas – asas dalam pemungutan pajak? 4) Apakah perubahan kebijakan dari KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010 berdasarkan kasus – kasus di dalam PT. Krakatau Steel memberikan dampak yang signifikan? Penelitian ini menggunakan metode studi kasus di mana objek penelitian merupakan hasil dari baik observasi langsung maupun tidak langsung. B.
Tinjauan Teoritis Pajak Penghasilan Pasal 22 atau disingkat PPh 22 adalah salah satu bentuk
pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan yang dilakukan oleh pihak lain terhadap Wajib Pajak. Pengenaan PPh 22 dikenakan terhadap kegiatan perdagangan barang. Titik pengenaannya ada yang dilakukan pada saat penjualan ada pula pada saat pembelian. Pada umumnya pengenaan PPh 22 ini dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap “menguntungkan” sehingga penjual atau pembelinya kemungkinan besar akan mengalami keuntungan dan dengan demikian, pantaslah atas Wajib Pajak tersebut dikenakan cicilan pembayaran Pajak Penghasilan. Dasar – dasar hukum dari PPh 22 yang menjadi variabel utama dari penelitian ini adalah Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2008, Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor
254/KMK.03/2001
dan
Peraturan
Menteri
Keuangan
(PMK)
Nomor
154/PMK.03/2010. Di dalam isi peraturan - peraturan tersebut dijelaskan mengenai pemungut dan objek PPh 22, tarif PPh 22, pengecualian dari PPh 22, saat terutang dan pelunasan PPh 22, dan tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh 22. Perubahan dari KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010 ini dapat dilihat dari adanya perbedaan dari isi – isi peraturan tersebut.
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
C.
Metode Penelitian Peneliti memilih metode penelitian kualitatif dalam melakukan penelitian ini.
Penggunaan metode kualitatif dalam penelitian ini didasari pada tujuan untuk mencapai pemahaman mengenai perubahan kebijakan pajak dari KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010 dalam pemungutan PPh 22 di dalam sebuah perusahaan atau badan usaha yang ditunjuk sebagai pemungut. Penelitian dilakukan dengan cara melibatkan diri secara aktif melalui observasi dan wawancara dengan berbagai narasumber untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan untuk membangun pemahaman tersebut. Penelitian juga dilakukan melalui studi literatur baik melalui karya - karya cetak maupun sumber digital untuk melakukan analisis secara lebih mendalam. Dengan informasi yang telah didapat tersebut, peneliti akan melakukan analisis untuk mencapai kesimpulan tentang perubahan kebijakan pajak dari KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010 dalam pemungutan PPh 22 melalui tinjauan studi kasus ini. Pada hal ini terdapat poin di mana diperlukan sebuah metode kualitatif untuk memperoleh comprehension evidence atas topik yang diangkat,berdasarkan pada teori - teori pilihan yang relevan. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang perubahan kebijakan pajak dari KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010 dalam pemungutan PPh 22 yang ditinjau melalui studi kasus pada PT. Krakatau Steel Sesuai dengan judul penelitian, yang menjadi objek dari penelitian ini PT. Krakatau Steel yang merupakan suatu perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usahanya berupa besi dan baja. PT. Krakatau Steel didirikan berdasarkan Akta Perseroan No. 34 tanggal 27 Oktober 1971, sebagaimana diubah dengan Akta Perubahan Anggaran Dasar No.25 tanggal 29 Desember 1971. Akta-akta tersebut telah memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia berdasarkan Penetapan No. J.A/5/224/4 tanggal 31 Desember 1971, telah didaftarkan di dalam buku register yang berada di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta berturut-turut di bawah No..22 dan No. 23 tanggal 6 Januari 1972, diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia No.11 tanggal 8 Pebruari 1972, Tambahan No.44. PT. Krakatau Steel didirikan dalam kerangka penanaman modal dalam negeri berdasarkan Undang - Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri juncto Undangundang No.12 tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (saat ini telah digantikan oleh Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal), dan telah memperoleh
persetujuan penanaman modal berdasarkan Surat Persetujuan Tetap Penanaman Modal Dalam
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
Negeri 47/1/PMDN/1980 tanggal 15 April 1980. Perseroan didirikan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 Tahun 1970 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan PT. “Krakatau Steel”. Pada tahun 2010, PT. Krakatau Steel melakukan IPO dan berubah menjadi PT. Krakatau Steel, Tbk. Gambar 3.1 Logo PT. Krakatau Steel
Secara lebih spesifik, penelitian dipusatkan pada Dinas Perpajakan PT. Krakatau Steel. Dinas Perpajakan PT. Krakatau Steel berada di bawah Sub Direktorat Keuangan (Corporate Finance). Sub Direktorat Corporate Finance (Subdit CF) dikepalai oleh seorang General Manager. Subdit CF sendiri memiliki lima divisi yang masing masing divisi diipimpin oleh seorang manager. D.
Analisis dan Pembahasan Berdasarkan KMK 254/KMK.03/2001 posisi PT. Krakatau Steel adalah sebagai
pemungut pajak yaitu PPh 22 dari 2 sisi operasional perusahaan yaitu pembelian atau pengadaan barang dan penjualan baja. Untuk pembelian atau pengadaan barang, hal tersebut diungkapkan dalam pasal 1 ayat 4 di mana PT. Krakatau Steel bersama dengan Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN dianggap sebagai pemungut pajak. Besaran tarif yang dipungut berdasarkan KMK 254/KMK.03/2001 tersebut adalah sebesar 1,5% (satu setengah persen). Dengan demikian PT. Krakatau Steel beserta BUMN lain yang telah disebutkan di atas mendapatkan keistimewaan tersendiri untuk dapat memungut PPh 22 dari pembelian yang menggunakan APBN maupun yang tidak menggunakan APBN. Sedangkan BUMN beserta BUMD lainnya yang tidak disebutkan
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
dalam pasal 1 ayat 4 tersebut hanya melakukan pemungutan PPh 22 terhadap pembelian yang menggunakan APBN. Sementara itu di dalam pasal 1 ayat 5 dari KMK 254/KMK.03/2001 disebutkan pemungutan PPh 22 juga dilakukan terhadap industri – industri tertentu seperti industri kertas, industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri.PT. Krakatau Steel termasuk dalam industri yang ditunjuk yaitu industri baja untuk melakukan pungutan atas penjualan hasil produksinya berupa baja di dalam negeri. Hal ini sesuai dengan KEP-01/PJ./1996 tanggal 15 Januari 1996. Besaran tarif untuk pemungutan PPh 22 atas penjualan baja ini adalah sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). Dengan
terbitnya
peraturan
lain
yaitu
PMK
154/PMK.03/2010,
KMK
254/KMK.03/2001 yang ditetapkan sebagai dasar pemungutan PPh 22 dinyatakan tidak berlaku lagi dan menyebabkan perubahan – perubahan terkait aktivitas perpajakan yaitu pemungutan PPh 22 di dalam PT. Krakatau Steel. Pada peraturan baru tersebut, PT. Krakatau Steel tidak lagi memungut PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang. Sejak berlakunya PMK 154/PMK.03/2010, PT. Krakatau Steel hanya memungut PPh 22 atas setiap penjualanbaja saja. Di dalam PMK Nomor 154/PMK.03/2010 tersebut, kalimat yang menyatakan bahwa PT. Krakatau Steel bersama dengan Bank Indonesia (BI), PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Pertamina, dan bank - bank BUMN harus memungut pajak dari pembelian atau pengadaan barang sebagaimana tertulis di dalam KMK 254/KMK.03/2001 pasal 1 ayat 4 telah dihapus. Selain itu, penunjukkan BUMN dan BUMD sebagai pemungut PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang yang menggunakan APBN sebagaimana tertulis dalam pasal 1 ayat 3 KMK 254/KMK.03/2001 juga telah dihapus. Di dalam PMK 154/PMK.03/2010 tersebut yang berkaitan dengan PT. Krakatau Steel,hanya terdapat kalimat yang menyatakan bahwa badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri. Hal yang menunjukkan PT. Krakatau Steel sebagai pemungut pajak PPh 22 atas penjualan tersebut juga telah tertulis KMK 254/KMK.03/2001 pasal 1 ayat 5. Yang menjadi objek pemungutan dari PPh 22 tersebut adalah tetap penjualan baja di dalam
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
negeri dengan tarif sebesar 0,3 % (nol koma tiga persen) sebagaimana tertulis dalam pasal 2d PMK 154/PMK.03/2010. Perubahan peraturan ini tentu saja berdampak bagi mekanisme pemungutan PPh 22 di dalam PT. Krakatau Steel yaitu: 1) Subjek dan objek pajak PPh 22, 2)Mekanisme pemungutan PPh 22, 3) Prosedur pemungutan PPh 22, 4) Proses pelaksanaan pemotongan/pemungutan di dalam Dinas Perpajakan PT. Krakatau Steel 5) Penyetoran dan pelaporan PPh 22. Perubahan KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/201yang menjadi landasan hukum pemungutan PPh 22 ini tentu memiliki pertimbangan tersendiri. Pertimbangan tersebut dapat didasarkan pada asas – asas pemungutan pajak ataupun asas hukum pajak. Pertimbangan dari asas – asas ini juga diselaraskandengan tujuan penerapan peraturan itu sendiri. Perubahan KMK 254/KMK.03/2001 ini juga memiliki dampak – dampak yang kemudian disesuaikan dengan asas – asas pemungutan pajak. 1) Perubahan Mekanisme Pemungutan PPh 22 a) Perubahan Subjek dan Objek Pemungutan PPh 22 Setelah terbitnya PMK 154/PMK.03/2010, yang menjadi subjek pajak dari pemungutan PPh 22 oleh PT. Krakatau Steel adalah hanya pihak pembeli baja sebagai core-industry dari PT. Krakatau Steel yaitu industri baja. Tidak ada lagi pemungutan yang dilakukan terhadap pembelian atau pengadaan barang yang dilakukan oleh PT. Krakatau Steel sebagai BUMN ataupun BUMN yang ditunjuk secara khusus. Yang menjadi objek pajak adalah nilai kontrak dari setiap penjualan baja. b) Mekanisme Penghitungan Pungutan PPh 22 Berdasarkan KMK 254/KMK.03/2001, PPh yang dipungut oleh PT. Krakatau Steel salah satunya adalah atas dasar pembelian atau pengadaan barang. Pemungutan ini akan mengurangi jumlah yang dibayarkan kepada perusahaan rekananan. Tarif yang digunakan untuk PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang adalah sebesar 1,5% (satu koma lima persen). Tarif yang berlaku untuk PPh 22 atas penjualan hasil produksi berupa besi dan baja di dalam negeri adalah sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). Sesuai PMK 154/PMK.03/2010 tersebut dasar pemungutan pajak adalah hanya pada penjualan baja dalam negeri sehingga mekanisme penghitungan menggunakan tarif sebesar 1,5% persen tidak berlaku lagi. c)
Prosedur Pemotongan/Pemungutan PPh 22 Dalam prosedur pemungutan, terdapat perubahan terutama karena hilangnya kewajiban
pemungutan
terhadap
pembelian
atau
pengadaan
barang.
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
Berdasarkan
KMK
254/KMK.03/2001 terdapat 2 prosedur pemungutan yaitu pemungutan PPh 22 atas pembelian barang dan pemungutan PPh 22 atas penjualan hasil produksi yaitu baja. Secara garis besar, dalam prosedur pemungutan PPh 22 setelah penerapan PMK 154/PMK.03/2010 berubah dari sisi subjek pajak selaku wajib pajak. Jika dalam prosedur sebelumnya dilakukan terhadap pihak penjual dan pembeli baja selaku perusahaan rekanan, maka dalam prosedur setelah penerapan hanya dilakukan pada penjualan baja. Prosedur terkait pembelian barang tidak berlaku lagi. Prosedur yang tetap berlaku dan digunakan oleh PT. Krakatau Steel hanyalah prosedur pemungutan yang dilakukan terhadap penjualan baja. d) Proses Pelaksanaan Pemotongan/Pemungutan PPh 22 Dalam Dinas Perpajakan PT. Krakatau Steel Setelah diterapkannya PMK 154/PMK.03/2010, proses pelaksanaan pemungutan PPh 22 terkait pembelian atau pengadaan barang ditiadakan karena tidak adanya pemungutan PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang lagi oleh PT. Krakatau Steel. Sedangkan proses pelaksanaan pemungutan PPh 22 terhadap penjualan tetap berjalan seperti sebelum penerapan PMK 154/PMK.03/2010. Dengan demikian Dinas Perpajakan PT. Krakatau Steel tidak memiliki hubungan lagi dengan Dinas Pembelian PT. Krakatau Steel. e)
Penyetoran dan Pelaporan PPh 22 Sebelum PMK 154/PMK.03/2010 diterapkan, PT. Krakatau Steel wajib menyetorkan PPh
22 terkait pembelian yang telah dipungut melalui Bank Mandiri pada hari yang sama saat terjadinya pembayaran. Proses penyetoran ini menggunakan formulir SSP yang juga dapat digunakan sebagai bukti pungut. PT. Krakatau Steel wajib melaporkan pungutan tersebut menggunakan lembar 3 SSP yang disertai dengan SPT Masa paling lambat 14 hari setelah masa pajak berakhir. Terkait penjualan baja, PT. Krakatau Steel wajib menyetorkan PPh 22 melalui Bank Mandiri paling lambat 15 hari setelah penjualan disetujui oleh kedua belah pihak baik oleh PT. Krakatau Steel maupun perusahaan rekanan. Proses penyetoran menggunakan formulir SSP. PT. Krakatau Steel wajib melaporkan pemungutan tersebut menggunakan lembar 3 SSP dan laporan bulanan dengan lampiran lembaran 2 BPP yang disertai dengan SPT Masa paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir. PT. Krakatau Steel hanya perlu melakukan kewajiban penyetoran dan pelaporan PPh 22 terkait penjualan baja saja. Seluruh kriteria penyetoran dan pelaporan yang baik, seperti batas waktu penyetoran dan pelaporan juga sama dengan kriteria sebelum PMK 154/PMK.03/2010 diterapkan
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
2) Asas Penghapusan Penunjukkan PT. Krakatau Steel Sebagai Pemungut PPh 22 Pemungutan PPh 22 berdasarkan ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan pengenaan pajak yang tepat waktu. PPh 22 yang dipungut atas pembelian atau pengadaan barang oleh PT. Krakatau Steel dianggap memenuhi kriteria – kriteria yang menjadi bahan pertimbangan oleh Menteri Keuangan. Sebagai salah satu BUMN yang menggunakan anggaran negara dalam pengeluarannya, PT. Krakatau Steel diharapkan dapat membantu negara untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemungutan pajak. Sebagai industri besar PT. Krakatau Steel memiliki banyak transaksi baik terkait pembelian maupun penjualan sehingga memudahkan dalam melakukan pengumpulan dana. Seiring berjalannya waktu, banyak perubahan – perubahan yang terjadi sehingga mengakibatkan
adanya
ketidaksesuaian
antara
peraturan
tersebut
yaitu
KMK
254/KMK.03/2001 dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Peraturan baru yang mengatur pemungutan PPh 22 adalah PMK 154/PMK.03/2010. Terkait Krakatau Steel terdapat berbagai kesesuaian antara penghapusan penunjukkan pemungut PPh 22 dengan tujuan pembuatan peraturan tersebut. Penghapusan PT. Krakatau Steel sebagai salah satu BUMN yang ditunjuk beserta BUMN dan BUMD lainnya juga dapat didasarkan pada tujuan – tujuan di atas yang dilandaskan asas – asas pemungutan pajak dalam penerapan peraturan tersebut. Asas – asas ini kemudian menjadi bahan pertimbangan dalam membuat peraturan baru. Sebagaimana disebutkan di dalam landasan teori, asas – asas yang menjadi bahan pertimbangan pada analisis ini adalah asas – asas yang dikemukakan oleh Adam Smith dan Adolf Wagner. a) Asas Persamaan Perlakuan (Keadilan) Di dalam salah satu rencana strategis Kementerian BUMN, BUMN ke depannya diharapkan semakin mampu untuk memenuhi kebutuhan finansialnya secara mandiri. Dengan demikian, dari waktu ke waktu BUMN dapat mengurangi ketergantungannya terhadap anggaran negara. Di dalam kebijakan pemungutan PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang sebagaimana tertulis KMK 254/KMK.03/2001, BUMN dan BUMD melakukan pemungutan yang menggunakan anggaran negara (APBN). PT. Krakatau Steel sendiri dapat memungut baik yang menggunakan APBN dan non APBN. Seiring dengan rencana strategis Kementerian BUMN, BUMN – BUMN di Indonesia mulai melakukan rencana kemandirian finansial tersebut. PT. Krakatau Steel dalam hal ini juga berada dalam proses rencana strategis
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
tersebut. PT. Krakatau Steel sendiri telah melakukan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2010 lalu sebagai salah satu langkah awal dalam kemandirian finansial. Oleh karena hal – hal tersebut, beberapa BUMN selain PT. Krakatau Steel dan BUMN yang ditunjuk, memungut PPh 22 hanya atas APBN saja. Hal ini tentu saja menunjukkan tanda ketidakadilan karena adanya perbedaan perlakuan antara 2 (dua) Wajib Pajak yang secara identik memiliki kesamaan dalam bentuk hukum. Rekan kerja selaku penyedia barang dari BUMN selain PT. Krakatau Steel ada yang dipungut PPh 22 dan ada yang tidak dipungut. Jika ditinjau dari rencana strategis Kementerian BUMN, PT. Krakatau Steel dan BUMN lainnya ingin menerapkan kemandirian finansial dengan tidak menggunakan APBN, tidak adil jika keistimewaan tersebut hanya diberikan kepada PT. Krakatau Steel dan beberapa BUMN lainnya. Oleh karena itu, penerapan PMK 154/PMK.03 2010 ini memberikan persamaan perlakuan di dalam pemungutan PPh 22 oleh BUMN dan sesusai dengan asas keadilan (persamaan perlakuan). Dengan demikian, sesuai dengan tujuan penerapan PMK 154/PMK/03/2010 yaitu mengakomodir perkembangan dinamika perubahan di lapangan di mana BUMN – BUMN di Indonesia secara perlahan tidak lagi menggunakan APBN dari pemerintah. Selain itu, di dalam rencana strategis tersebut juga tertulis bahwa BUMN ingin membantu mendorong tumbuhnya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia. Berdasarkan daftar supplier yang dimiliki PT. Krakatau Steel yang diperoleh melalui hasil observasi, selain supplier bahan baku, mitra PT. Krakatau Steel sebagai penyedia barang berbentuk UKM (Tabel Daftar Supplier di dalam Lampiran 3). Di dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar dari supplier
berbentuk UKM. Penulis juga telah melakukan observasi
langsung untuk melihat secara jelas dan nyata bentuk dari supplier tersebut. Observasi dilakukan menggunakan tekhnik sampling secara acak. Berdasarkan hasil observasi, dapat disimpulkan bahwa supplier PT. Krakatau Steel berbentuk usaha jenis kecil ataupun menengah. Dengan demikian, penerapan PMK 154/PMK.03/2010 dapat membantu UKM tersebut dalam meningkatkan arus kas operasional sehingga berdampak juga dalam keberlangsungan usahanya. Seiring dengan itu, kebijakan peraturan baru juga membantu PT. Krakatau Steel menjalankan rencana strategis dari Kementerian BUMN yaitu untuk membantu tumbuhnya UKM di Indonesia UKM – UKM ini juga bukan UKM potensial pajak jika dilihat dari sisi pendapatannya. Seperti yang terlihat di dalam pembayaran PPh 22, bahwa sebagian besar didasarkan padasupplier bahan baku. Penyedia bahan baku sendiri merupakan salah satu industri dengan
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
pendapatan besar. Berdasarkan hasil observasi, jika 10 persen dari bahan baku dapat disediakan, pendapatan dari supplier bahan baku mencapai 1 triliun rupiah dalam 1 tahun. Hal ini tentu berbeda dengan jenis UKM yang pendapatannya tidaklah besar. Oleh karena itu, tidak adil jika ada persamaan perlakuan antara pembelian atau pengadaan barang oleh UKM ini dengan supplier bahan baku. b) Asas Administrasi (Kesederhanaan) Penghapusan pungutan ini juga membantu memudahkan supplier dalam melakukan kewajiban pajaknya sebagai Wajib Pajak. Supplier tersebut tidak perlu lagi melakukan pemisahan atas penghasilan yang dipungut PPh 22 yang harus dilakukan karena sifat pemungutan PPh 22 itu sendiri bersifat tidak final. PT. Krakatau Steel sebagai Wajib Pajak pemungut PPh 22 juga tidak perlu lagi melakukan pemisahan PPh 22 untuk pembelian dan penjualan. Hal ini memudahkan PT. Krakatau Steel dalam melaporkan pungutan PPh 22. Kemudahan yang diperoleh baik oleh supplier maupun PT. Krakatau Steel juga sesuai dengan tujuan diterapkan peraturan baru ini yaitu memberikan kesederhanaan dan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban pembayaran PPh 22. Hal ini sesusai dengan asas administrasi sehingga peraturan perpajakan dapat lebih mudah djalankan, baik oleh PT. Krakatau Steel ataupun supplier selaku Wajib Pajak. Sebelum PMK 154/PMK.03/2010, terdapat perbedaan dalam penentuan BUMN baik BUMD mana yang melakukan pemungutan PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang. Sebelum peraturan baru, PT. Krakatau Steel bersama dengan Bank Indonesia (BI), PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan Urusan Logistik (BULOG), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT Indosat, PT. Pertamina, dan bank - bank BUMN memungut PPh 22 atas pembelian yang berasal dari APBN maupun non APBN. Sedangkan BUMN atau BUMD lain hanya melakukan pemungutan terhadap pembelian yang dilakukan dengan menggunakan APBN. Melalui peraturan baru ini, akan ada keseragaman terhadap BUMN atau BUMD sebagai pemungut pajak PPh 22. Hal ini juga akan memudahkan pihak fiskus untuk melakukan pemeriksaan atas pungutan PPh 22 karena perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak yang menjadi mitra dari BUMN. Hal – hal menyangkut asas administrasi ini sesuai dengan tujuan penerapan PMK 154/PMK.03/2010 agar adanya keseragamaan dalam praktik pemungutan di lapangan. Tujuan keseragaman ini memunculkan kesederhanaan dalam praktik pemungutan PPh 22 bagi
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
seluruh BUMN ataupun BUMD sehingga menghilangkan isu diskriminasi yang juga kerap muncul dari peraturan sebelum PMK 154/PMK.03/2010 yaitu KMK 254/KMK.03/2001. Isu diskriminasi ini muncul karena adanya Wajib Pajak yang tidak dipungut PPh 22. Sebagai tambahan, penerapan PMK 154/PMK.03 ini juga berdampak baik bagi BUMN dan BUMD selain PT. Krakatau Steel beserta badan yang ditunjuk lainnya. BUMN dan BUMD lain tidak perlu lagi melakukan pemisahan antara pembelian atau pengadaan barang yang dilakukan dengan menggunakan APBN dengan yang tidak menggunakan APBN untuk dilakukan proses pemungutan PPh 22. Hal ini tentu saja memberikan kemudahan bagi BUMN dan BUMD sehingga sesuai dengan asas administrasi. Selain itu, sesuai dengan tujuan dari penerapan KMK 254/KMK.03/2001, bahwa pemungutan PPh 22 ini bertujuan memudahkan pemungutan pajak oleh pemerintah. Dengan sifat pemungutan PPh 22 yang tidak final, maka pihak rekanan selaku Wajib Pajak akan melaporkan pendapatannya. Hal ini bertujuan untuk mengkreditkan PPh 22 tersebut. Dengan demikian setiap pendapatan oleh rekanan tersebut akan dilaporkan dan tidak ada pendapatan yang tidak dilaporkan. Hal ini tentu akan mempermudah pihak fiskus untuk melihat pendapatan sebenarnya dari Wajib Pajak terpungut. Dengan dihapusnya penunjukkan PT. Krakatau Steel sebagai pemungut PPh 22 berdasarkan PMK 154/PMK.03/2010, ada potensi ada pendapatan yang tidak dilaporkan. Hal ini karena tidak adanya kewajiban bagi rekan PT. Krakatau Steel untuk melakukan pengkreditan atas PPh 22 tersebut. Ada potensi kehilangan pajak atas pendapatan yang tidak dilaporkan oleh rekan kerja PT. Krakatau Steel selaku Wajib Pajak sehingga pemungutan tidak berjalan dengan baik dan negara mendapat kerugian karena tidak memadainya sistem pemungutan pajak PPh 22 ini.“Celah” ini dapat tertutupi dengan kebijakan pajak lain yang telah diterapkan yaitu PPN dan Surat Keterangan Fiskal (SKF). Setiap pembelian atau pengadaan barang secara pasti dipungut PPN kecuali barang – barang tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan hasil observasi langsung, keseluruhan pembelian atau pengadaan barang oleh PT. Krakatau Steel dipungut PPN. Dengan demikian setiap PPN dari pembelian tersebut akan dimasukkan ke dalam laporan untuk menghitung PPN masukan dan PPN keluaran sehingga pendapatan dapat terlihat dan dipertanggungjawabkan oleh rekan dari PT. Krakatau Steel sebagai penyedia barang. Dalam kondisi tertentu seperti dalam proses pengajuan tender untuk pengadaan barang/jasa di instansi pemerintah, seringkali disebutkan adanya persyaratan bahwa calon
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
penyedia barang/jasa harus memenuhi seluruh kewajiban perpajakannya terlebih dahulu. Untuk keperluan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keterangan Fiskal (SKF) untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang membutuhkan data pemenuhan kewajiban perpajakan atas Wajib Pajak tertentu (peserta tender). Dengan adanya SKF, hal ini membantu pemerintah dalam mengantisipasi adanya pendapatan yang tidak dilaporkan dalam proses pembelian barang. c)
Asas Politik Finansial Jika PT. Krakatau Steel melakukan impor atas seluruh bahan bakunya, maka potential
loss oleh negara hanya sekitar 271 juta rupiah. Nilai sangat jauh apabila dibandingkan dengan nilai penghitungan jika didasarkan bahwa bahan baku terdapat dari supplier dalam negeri. Sesuai dengan prinsip akuntansi secara konservatif, maka nilai yang nilai sebagai potensi kehilangan adalah nilai kerugian paling maksimal yaitu sebesar 18 miliar rupiah. Nilai ini secara relatife memiliki nilai signifikan. Berdasarkan hasil penghitungan yang membandingkan antara PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang dengan penjualan baja, didapatkan potensi pendapatan dari penjualan hasil produksi berupa baja di dalam negeri sebesar 42,5 miliar rupiah. Nilai ini lebih dari 2 kali lipat lebih besar apabila dibandingkan dengan PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang pada kondisi supplier bahan baku dapat memasok bahan baku dari PT. Krakatau Steel dan sangat jauh lebih besar apabila dibandingkan ketika seluruh bahan baku diimpor. Berdasarkan nilai ini pemungutan terhadap penjualan baja jauh lebih potensial daripada pemungutan atas pembelian atau pengadaan barang. Nilai yang sangat besar ini tetap dipertahankan pemerintah dengan tidak merubah kebijakan pajak terkait penjualan kendati merubah KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010. Dengan demikian perubahan ini masih sesuai dengan asas politik finansial. Berdasarkan hasil penghitungan yang membandingkan antara PPh 22 mengenai pembelian barang dan PPh 23 mengenai pembelian jasa, nilai PPh 23 yang dipotong oleh PT. Krakatau Steel lebih kecil dibandingkan dengan pemungutan PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang. Nilai PPh 23 yang dipungut oleh PT. Krakatau Steel berkisar 495 juta rupiah, hanya sekitar 5% (lima persen) dari PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang. Secara relatif, nilai kerugian yang diterima Negara dari penerapan PMK 154/PMK.03/2010 ini sangat signifikan bila dibandingkan dengan PPh untuk pembelian jasa yaitu PPh 23.
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
E.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) Berdasarkan KMK 254/KMK.03/2001 pemungutan PPh 22 dilakukan pada pembelian atau pengadaan barang dan penjualan produksi di dalam negeri. 2) Dampak utama yang ditimbulkan dari perubahan KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010 pada PT. Krakatau Steel adalah penghapusan atas pemungutan PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang oleh PT. Krakatau Steel. 3) Dampak terhadap mekanisme pemungutan PPh 22 oleh PT. Krakatau Steel adalah adanya perubahan subjek dan objek pajak, mekanisme penghitungan, penyetoran dan pelaporan, serta proses pelaksaan pemungutan di dalam Dinas Perpajakan PT. Krakatau Steel. 4) Berdasarkan hasil analisis, dampak perubahan peraturan ini telah sesuai dengan beberapa asas dasar dalam penentuan hukum pajak. Asas – asas yang berhasil dipenuhi antara lain asas persamaan perlakuan dan asas administrasi. 5) Asas – asas tersebut secara umum juga telah selaras dengan tujuan perubahan KMK 254/KMK.03/2001 menjadi PMK 154/PMK.03/2010. 6) Dalam asas politik finansial, ada berbagai metode yang dilakukan untuk melakukan penilaian. Berdasarkan hasil penilaian, PPh 22 atas pembelian memiliki nilai 18 miliar yang merupakan nilai yang secara relative besar. Nilai PPh 22 dari penjualan baja memiliki nilai yang cukup tinggi, 2 kali lipat lebih besar bila dibandingkan PPh 22 atas pembelian atau pengadaan barang. Akan tetapi nilai PPh 22 atas pembelian barang memiliki nilai yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan PPh 23 atas Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk menganalisis kembali kebijakan ini. 7) Dalam asas administrasi, masih ada bentuk PPN dan Surat Keterangan Fiskal yang membantu pemerintah untuk membuat pihak Wajib Pajak melaporkan pendapatannya. 8) Secara umum asas – asas dalam penerapan PMK 154/PMK.03/2010 ini sudah terpenuhi dengan baik dan sesuai dengan teori yang berlaku.
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
F.
Saran Hasil penelitian ini memberikan saran kepada beberapa pihak dan diharapkan untuk
dapat dilakukan agar hasil penelitian ini dapat berguna demi kepentingan pihak-pihak tersebut, saran dari penelitian ini ialah: 1) PT. Krakatau Steel agar menggunakan Surat Keterangan Fiskal dalam melakukan kegiatan pembelian atau pengadaan barang agar tidak ada pembelian atau pengadaan barang yang tidak dilaporkan dan para penyedia barang dan jasa melakukan kewajiban pajaknya dengan baik, 2) Pihak akademisi untuk terus memperhatikan kondisi perpajakan di Indonesia. Penelitian ini juga dapat membuka mata bagi para setiap mahasiswa untuk melihat bahwa tidak semua bidang perpajakan tidak terkoordinasi dengan baik seperti yang umum terjadi di Indonesia. G.
Daftar Referensi
Agung, Mulyo,2009, Perpajakan Indonesia Seri PPN,PPnBM, dan PPh Badan Teori dan Aplikasi Edisi 2, Mitra Wacana Media, Jakarta. Djuanda, Gustian, SE., MM dan Lubis, Irwansyah, SE., 2010, Pelaporan Pajak Penghasilan Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fitriandi, Primandita, Tejo Birowo, dan Yuda Aryanto. 2009. Kompilasi Undang - Undang Perpajakan. Jakarta: Salemba 4. Iskandar., Dr. M.Pd., Metodologi Penelitian Kualitatif, Gaung Persada, Jakarta. Hutomo, Y.B. Sigit, Drs. M.BAcc, Akt. 2009. Pajak Penghasilan, Konsep Dan Aplikasi. Yogyakarta: Universitas Atmajaya. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 254/KMK.03/2001
Mardiasmo, Prof. Dr. MBA., Ak. 2008. Perpajakan. Yogyakarta: Andi. Muljono, Djoko. 2007. PPh Dan PPN Untuk Berbagai Kegiatan Usaha. Yogyakarta: Andi. Muljono, Djoko., 2010, Panduan Brevet Pajak Penghasilan, Andi Yogyakarta, Yogyakarta. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 154/PMK.03/2010 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak Penghasilan, BPFE Yogyakarta.
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah RI tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia, Jakarta. Waluyo. 2010. Perpajakan Indonesia. Edisi 9. Salemba Empat.
Analisis dampak ..., Stephen Sinalsal, FE UI, 2013