4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kelembagaan Kelembagaan dalam pengertian sederhana dapat diartikan sebagai hal ikhwal tentang lembaga, baik lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga judikatif (peradilan), lembaga legislatif (pembuat undang-undang), lembaga swasta maupun lembaga masyarakat. Hal penting tentang lembaga tersebut meliputi (Purwaka 2008): 1) Landasan hukum kelembagaan yang terdiri dari seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga dalam rangka mencapai tujuan; 2) Tujuan yang hendak dicapai, strategi untuk mencapai tujuan, dan pedoman untuk melaksanakan strategi sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan landasan hukum yang rasional; 3) Keberadaan atau eksistensi dari kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagiamana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum dengan argumentasi yang rasional; 4) Sarana dan prasarana untuk melaksanakan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi rasional; 5) Sumberdaya manusia yang dibutuhkan sebagai pelaksana kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasar hukum serta dengan argumentasi yang rasional; 6) Sumberdaya manusia memiliki kemampuan untuk menentukan tingkat keberhasilan dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembagal; 7) Mekanisme atau kerangka kerja dari pelaksanaan kewenangan, tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan
5 penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi yang
rasional; 8) Jejaring kerja antar lembaga sebagaimana dapat dipahami melalui penafsiran dan penalaran terhadap lendasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional; dan 9) Hasil kerja dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi lembaga sebagaimana dapat diketahui melalui penafsiran dan penalaran terhadap landasan hukum disertai dengan argumentasi yang rasional. Hal penting tentang lembaga pertama sampai dengan keenam merupakan aspek statik (static aspects) dari kelembagaan yang disebut tata kelembagaan, sedangkan hal penting tentang lembaga ketujuh, kedelapan dan kesembilan merupakan aspek dinamik (dynamic aspects) dari kelembagaan yang disebut sebagai kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan (Purwaka 2008). Struktur kelembagaan dari suatu organisasi kelembagaan terdiri dari dua substruktur utama, yaitu tata kelembagaan dan kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan. Masing-masing substruktur kelembagaan tersebut mengandung komponen-komponen kapasitas potensial (potensial capacity), daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (absorptive capacity) (Purwaka 2008). Mekanisme kelembagaan adalah tata kelembagaan dalam keadaan bekerja atau bergerak. Oleh karena itu mekenisme kelembagaan bersifat dinamis, sedang tata kelembagaan bersifat statis. Tata kelembagaan terdiri dari (Purwaka 2008): 1) Kapasitas potensial (potensial capasity), yaitu kemampuan potensial dari tata kelembagaan yang harus dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Kapasitas potensial mencangkup: (1) Perumusan landasan hukum yang terdiri dari peraturan perundang- undangan yang diberlakukan sebagai aturan main kelembagaan; (2) Penetapan tujuan, perumusan strategi, untuk mencapai tujuan, dan perumusan pedoman untuk melaksanakan strategi, serta perumusan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan dari unsur-unsur kelembagaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6
(3) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan (4) Penempatan sumberdaya yang berkualitas untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Daya dukung (carrying capacity), yaitu kemampuan tata kelembagaan untuk mendukung suatu aktivitas tertentu dalam rangka mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan. Daya dukung kelembagaan meliputi: (1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap utaian tugas pokok dan fungsi, dan landasan hukum kelembagaan yang berlaku, serta usaha pemberian argumentasi yang rasional terhadap hasil penafsiran dan penalaran tersebut; (2) Penempatan sejumlah sumberdaya manusia sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional; (3) Penempatan sejumlah sumberdaya buatan sesuai dengan kualifikasi berdasarkan hasil penafsiran, penalaran dan pemberiakn argumentasi yang rasional; dan (4) Pemberian beban tugas pokok dan fungsi sesuai dengan kapasitas terpasang atau kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan yang ditempatkan, serta tujuan yang ingin dicapai. 3) Daya tampung (absorptive capasity), yaitu kemampuan menyerap dan/atau mengantisipasi setiap perubahan lingkungan yang terjadi tanpa harus mengubah jati diri kelembagaan yang sudah ada. Daya tampung disebut juga daya lentur kelembagaan meliputi: (1) Upaya penafsiran dan penalaran terhadap perubaha lingkungan yang terjadi, serta pemberian argumentasi yang rasioanal terhadap hasil penafsiran dan penalaran tersebut; dan (2) Upaya penyerasian, penyelarasan dan penyesuaian antara kondisi kelembagaan yang ada (existing condition) dan perubahan lingkungan kelembagaan.
7
Kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan yang merupakan tata kelembagaan dalam keadaan bergerak atau bekerja meliputi (Purwaka 2008): 1) Kapasitas
potensial mekanisme kelembagaan untuk melakukan dan
mengembangkan komunikasi, interaksi dan jejaring kerja kelembagaan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, sebagai perwujudan dari oprasionalisasi kapasitas potensial tata kelembagaan sesuai dengan daya dukung dan daya tampung kelembagaan; 2) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi; 3) Operasionalisasi dan optimalisasi daya dukung kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan dalam mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi yang berdampak pada organisasi kelembagaan; dan 4) Optimalisasi sisa tata kelembagaan yang belum dikonversikan menjadi mekanisme kelembagaan melalui upaya penafsiran, penalaran dan argumentasi rasional untuk didaya gunakan menjadi kapasitas potensial, daya dukung dan daya tampung dalam kerangka interaksi kerangka kerja atau mekanisme kelembagaan yang dinamis. Menurut Purwaka (2008) kapasitas yang harus ada dalam tata kelembagaan harus dituangkan dalam wujud sebagai berikut: 1) Visi, misi, tujuan dan objek; 2) Bentuk lembaga; 3) Struktur organisasi; 4) Uraian tugas pokok dan fungsi; 5) Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia yang diperlukan; dan 6) Kualitas dan kuantitas sumberdaya buatan yang diperlukan. Keberlanjutan suatu kegiatan yang mensyaratkan pentingnya partisipasi banyak pihak, mutlak memerlukan kerangka hukum (legal framework), agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Berkaitan dengan kerangka hukum, perlu diperhatikan pentingnya struktur hukum (legal structure), pelaksanaan mandat hukum (legal mendate) dan penegakan hukum (legal enforcement) (Purwaka 2008).
8
2.2 Penegakan Hukum Penegakan hukum dalam tataran teoritis, bukan hanya memberikan sanksi kepada orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap suatu peraturan perundang-undangan, tetapi perlu pula dipahami bahwa penegakan hukum tersebut berkaitan dengan konsep penegakan hukum yang bersifat preventif. Namun demikian, terminologi penegakan hukum saat ini telah mengarah pada suatu tindakan yakni menjatuhkan sanksi pidana. Penegakan hukum yang ada kaitannya dengan kegiatan usaha perikanan, dikaitkan dengan suatu tindakan yang akan memberikan sanksi kepada setiap orang atau badan hukum yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pelanggaran hukum ini sama halnya dengan pelanggaran pidana pada umumnya, yang prosesnya sama dengan pidana biasa yang sebelum diajukan ke pengadilan, maka terlebih dahulu didahului oleh suatu proses hukum yang lazim disebut penyidikan (Supriadi dan Alimudin 2011). Ketentuan pidana di bidang perikanan diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, terdapat pada Pasal 84 sampai dengan Pasal 104. Ketentuan pidana tersebut merupakan tindak pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diatur menyimpang, karena tindak pidananya dapat menimbulkan kerusakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia yang berakibat merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Hukuman pidananya tinggi dan berat sebagai salah satu cara untuk dapat menanggulangi tindak pidana di bidang perikanan (Supratomo 2011). Ketentuan pidana terhadap sesuatu pelanggaran merupakan hal mutlak perlu bagi negara hukum. Menurut Supratomo (2011), berdasarkan ketentuan pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 84 sampai dengan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dapat digolongkan sebagai berikut: 1) Tindak
pidana yang menyangkut penggunaan bahan yang dapat
membahayakan kelestarian sumberdaya ikan (SDI) dan/atau lingkungannya;
9
2) Tindak pidana sengaja menggunakan alat penangkapan ikan (API) yang mengganggu dan merusak SDI di kapal perikanan; 3) Tindak pidana yang berkaitan dengan pencemaran atau kerusakan SDI dan/atau lingkungannya; 4) Tindak pidana yang berhubungan dengan pembudidayaan ikan; 5) Tindak pidana yang berhubungan dengan merusak plasma nutfah; 6) Tindak pidana yang menyangkut pengelolaan perikanan yang merugikan masyarakat; 7) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengelolaan ikan yang kurang dan/atau tidak memenuhi syarat; 8) Tindak pidana yang berhubungan dengan pemasukan atau pengeluaran hasil perikanan dari atau ke wilayah negara Indonesia tanpa dilengkapi sertifikat kesehatan; 9) Tindak pidana yang berkaitan dengan penggunaan bahan/alat yang membahayakan manusia dalam melakukan pengolahan ikan; 10) Tindak pidana yang berkaitan dengan melakukan usaha perikanan tanpa SIUP; 11) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIPI; 12) Tindak pidana melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki SIKPI; 13) Tindak pidana memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; 14) Tindak pidana membangun, mengimpor, memodifikasi kapal perikanan tanpa izin; 15) Tindak pidana tidak melakukan pendaftaran kapal perikanan; 16) Tindak pidana yang berkaitan dengan pengoperasian kapal perikanan asing; 17) Tindak pidana tanpa memiliki surat persetjuan berlayar; 18) Tindak pidana melakukan penelitian tanpa izin pemerintah; 19) Tindak pidana melakukan usaha pengelolaan perikanan yang tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan UU Perikanan; 20) Tindak pidana yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan kecil; dan tindak pidana melanggar kebijakan pengelolaan SDI yang dilakukan oleh nelayan atau pembudidaya ikan kecil.
10
Penegakan hukum secara lebih rinci dijabarkan pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kapal pengawasan perikanan pada Pasal 69 dijelaskan berfungsi untuk melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan RI, kapal juga dapat dilengkapi dengan senjata api. Kapal dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di WPP RI ke pelabuhan terdekat untuk proses lebih lanjut. Penyidik dan.atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pasal 71 memberikan jabaran bahwa akan bibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan tindak pidana di bidang perikanan yang merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum dan berkedudukan di pengadilan negeri. Pengadilan akan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Dijelaskan pada Pasal 73 bahwa penyidik tindak pidana di bidang perikanan di WPP RI dilakukan oleh PPNS Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau penyidik kepolisian. Penyidik dapat melakukan koordinasi pada forum koordinasi yang dibentuk oleh menteri dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan. Selain penyidik TNI AL, PPNS Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI. Penyidik terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh PPNS Perikanan. Wewenang penyidik perikanan sebagaimana Pasal 73A antara lain menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan, memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya, membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya, menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan, menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan, memeriksa kelengkapan dan
11 keabsahan dokumen usaha perikanan, memotret tersangka dan/atau barang bukti
tindak pidana di bidang perikanan, mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan, membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan, melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana, melakukan penghentian penyidikan,dan mengadakan tindakan lain yang menurut hukum
dapat
dipertanggungjawabkan. Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh jaksa agung hal ini sesuai dengan Pasal 75. Pada Pasal 76A dapat dilihat bahwa benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persejutuan ketua pengadilan negeri, dan pada Pasal 76B ayat 2 ditambahkan apabila berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan. Sedangkan barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri sesuai yang tercantum dalam Pasal 76B ayat 1. Ditambahkan pada Pasal 76C bahwa benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan dapat dilelang untuk negara. Pelaksana lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Uang hasil pelelangan disetor ke kas negara sebagai penerimaan bukan pajak. Aparat penegak hukum di bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugas dengan baik dan pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP. Sedangkan apabila benda yang dirampas berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan. Seluruh pelanggaran mengenai perikanan yang telah disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikananakan dikenakan sanksi pidana dengan pembayaran denda minimal Rp.200.000.000,00 hingga Rp.20.000.000.000,00 dimana besaran denda ini ditentukan dengan melihat jenis pelanggaran yang terjadi.
12
2.3 Wilayah Laut Indonesia Indonesia menurut Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS ’82) memiliki beberapa rezim laut yang dibedakan berdasarkan derajat dan tingkat kewenangan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan (Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara). 2.3.1 Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh Wilayah laut dengan hak kedaulatan penuh bagi Indonesia atau dapat disebut juga sebutan wilayah kedaulatan Indonesia. Indonesia memiliki kedaulatan mutlak atas ruang udara dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Wilayah ini meliputi perairan pedalaman, perairan nusantara, dan laut teritorial. 1) Perairan Pedalaman (Internal Waters). Perairan pedalaman merupakan wilayah Indonesia dimana terdapat kedaulatan mutlak dan kapal-kapal asing tidak mempunyai hak lintas. Perairan Indonesia merupakan laut yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal, atau laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup teluk di perairan kepulauan. 2) Perairan Nusantara atau Perairan Kepulauan (Archipelagic Water). Wilayah perairan ini dapat dipahami sebagai laut yang terletak di antara pulau, dibatasi atau dikelilingi oleh garis pangkal, tanpa memperhatikan kedalaman dan lebar laut tersebut. Kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan prinsip lintas damai (innocent passage) dan bagi kepentingan pelayaran intenasional kapal asing juga memiliki hak lintas melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) atau sea lanes. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002, Indonesia memiliki tiga ALKI. Hak lintas kapal asing berdasarkan prinsip Lintas Damai dan ALKI memberdakan antara hak dan kewenangan antara perairan pedalaman dan perairan nusantara. 3) Laut Teritorial (Territorial Sea). Laut Teritorial merupakan wilayah perairan di luar perairan kepulauan yang lebarnya tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal pantai. Indonesia memiliki kedaulatan penuh terhadapnya. Seperti halnya yang berlaku di wilayah perairan kepulauan, kapal asing memiliki hak lintas berdasarkan Lintas Damai dan hak lintas berdasarakn ALKI.
13
2.3.2 Wilayah laut dengan hak berdaulat Wilayah laut dengan hak berdaulat adalah wilayah laut dimana suatu negara memiliki hak terhadap kekayaan alam yang dikandung serta memiliki kewenangan untuk mengatur beberapa hal di wilayah tersebut. 1) Zona Tambahan (Contiguous Zone). Zona tambahan ditetapkan sampai dengan 12 mil laut di luar laut teritorial atau sampai dengan 24 mil laut diukur dari garis pangkal pantai terluar. Pada zona ini Indonesia memiliki hak untuk dapat melaksanakan kewenangan tertentu dalam mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea cukai, keuangan/fiskal, kerantina kesehatan, pengawasan imigrasi, dan menjamin pelaksanaan hukum di wilayahnya. 2) Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economi Zone). Konvensi hukum laut 1982 Pasal 55 dan 56 ayat (1a) menyebutkan bahwa Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial. Lebar ZEE tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal pantai terluar. Indonesia di perairan ZEE memiliki hak berdaulat atas eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, baik hayati maupun non hayati yang terdapat di kolom perairan. Hak berdaulat lainnya adalah berkenaan dengan kegiatan untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi seperti produk energi dari air, arus, dan angin. Indonesia juga memiliki kewajiban untuk memelihara lingkungan laut, mengatur dan mengizinkan penelitian ilmiah kelautan, serta memberikan izin pembangunan pulau buatan, instalasi, dan bangunan laut lainnya. Pemerintah telah mengeluarkan dasar hukum untuk mengatur wilayah ini yakni pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEEI. Zonasi dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Zona ratifikasi UNCLOS 1982
14
3) Landas Kontinental (Continental Shelf). Landas kontinen merupakan wilayah dimana suatu negara pantai memiliki kewenangan atas kekayaan alam yang terkandung di dasar laut dan tanah di bawahnya. Daerah di bawah permukaan yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinental (continental margin), atau hingga jarak 200 mil dari garing pangkal dari lebar laut teritorial diukur. Negara pentai diperbolehkan untuk menetapkan batasan luar landas kontinental lebih dari 200 mil dengan ketentuan: (1) Lebar maksimum tidak boleh lebih dari 350 mil laut diukur dari garis pangkal; (2) Tidak melebihi 100 mil laut diukur dari garis kedalaman 2500 m; (3) Tidak melebihi lebar 60 mil laut dari kaki lereng kontinen; (4) Garis terluar dengan titik-titik ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik-titik terluar dan kaki lereng kontinen. 2.3.3 Wilayah laut tanpa kedaulatan wilayah Wilayah laut tanpa kedaulatan adalah wilayah dimana negara tidak memiliki kewenangan. Wilayah ini meliputi perairan laut lepas dan kawasan dasar laut dalam Internasional 1) Laut Lepas (High Seas). Laut lepas merupakan bagian laut yang bukan wilayah negara maupun ZEE. Jadi Indonesia tidak memiliki kedaulatan atau hak berdaulat terhadapnya. Laut lepas bersifat terbuka, yakni terdapat kebebasan berlayar, penerbangan, memasang kabel dan pipa di dasar laut, membangun pulau buatan dan instansi lainnya yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, menangkan ikan hingga riset ilmiah. Kebebasan ini harus memperhatikan kepentingan negara lain di laut lepas dan memperhatikan hak-hak dalam konvensi hukum laut 1982 yang bertalian dengan kegiatan kawasan. 2) Kawasan Dasar Laut Dalam Internasional (Internasional Sea-Bed Area). Dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di luar yurisdiksi nasional. Kekayaan alamnya diperuntukan bagi warisan umum umat manusia (common heritage of mankind).
15
2.4 Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) Analisis SWOT merupakan suatu metode yang dapat membantu dalam pengambilan keputusan. Analisis SWOT dapat melihat seluruh kemungkinan perubahan masa depan sebuah organisasi melalui pendekatan sistematik dengan proses intropeksi dan mawas diri ke dalam, baik bersifat positif maupun negatif. Metode ini digunakan untuk meneliti adanya kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) bagi pelaksanaan kebijakan. Sehingga dalam pelaksanaannya, SWOT mengandung prinsip “kembangkan kekuatan, minimalkan kelemahan, tangkap peluang, dan hilangkan ancaman”. Kerangka formulasi strategis dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengumpulan Data 1) Faktor internal 2) Faktor Eksternal
Analisis data (Matriks SWOT)
Pengambilan keputusan
Gambar 2 Kerangka formulasi strategis Faktor internal merupakan aspek dari dalam yang mempengaruhi suatu organisasi dalam pengambilan suatu keputusan. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki akan dijadikan suatu kekuatan dalam perumusan suatu kebijakan. Sedangkan kelemahan-kelemahan yang ada digunakan sebagai pertimbangan untuk memperbaiki kinerja yang akan atau sedang dijalankan. Faktor eksternal merupakan aspek diluar organisasi yang mampu memberi pengaruh nyata terhadap proses penyusunan suatu kebijakan. Faktor ini meliputi peluang dan ancaman dari pelaksanaan kebijakan yang diambil. Aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, demografi dan teknologi erupakan hal yang sangat penting dalam perumusan kebijakan yang digunakan untuk pengembangan perikanan tangkap.
16
Peluang 3. Mendukung strategi turn around
1. Mendukung strategi agresif
Kelemahan
Kekuatan
4. Mendukung strategi defensif
2. Mendukung strategi diversifikasi
Ancaman
Gambar 3 Analisis SWOT (Rangkuti 2005)
Keterangan : Kuadran 1
: Pada kuadran satu merupakan situasi yang menguntungkan, dimana lembaga penegak hukum mempunyai peluang dan kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan fungsi pengawasan. Contoh strategi yang dapat diterapkan disituasi ini adalah kerjasama pengadaan
kapal patroli oleh lembaga
Internasional; Kuadran 2
: Pada kuadran dua merupakan situasi terdapatnya ancaman, namun masih terdapat kekuatan internal yang mendukung dalam menjalankan fungsi pengawasan. Contoh strategi yang dapat diterapkan adalah penempatan kapal patroli pada titik rawan sering terjadi tindak pidana perikanan;
Kuadran 3
: Kuadran tiga menggambarkan bahwa lembaga penegak hukum mempunyai peluang, akan tetapi masih terdapat kelemahan- kelemahan yang harus dihadapi. Cocok strategi yang dapat diterapkan adalah penguatan lembaga masyarakat untuk membantu pengawasan;
Kuadran 4
: Kuadran keempat merupakan situasi yang sangat tidak menguntungkan karena dalam dalam menjalankan fungsi pengawasan terdapat berbagai kelemahan yang berasal dari pihak
17 internal dan juga terdapat ancaman-ancaman dari pihak eksternal.
Contoh strategi yang dapat dijalankan adalah menjalankan operasional yang sudah dijalankan selama ini. Keputusan yang dihasilkan merupakan suatu strategi dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Strategi tersebut mempunyai empat kemungkinan: 1) Strategi SO : Strategi
ini
memanfaatkan
seluruh
kekuatan
unuk
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya; 2) Strategi ST : Strategi ini memanfaatkan kekuatan yang dimiliki untuk untuk mengatasi ancaman; 3) Strategi WO : Strategi ini bertujuan untuk memanfatkan peluang untuk meminimalkan kelemahan yang ada; 4) Strategi WT : Strategi yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Tahap pertama adalah pembuatan tabel internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (ancaman dan peluang). Tabel 1 Faktor Internal dan Eksternal Faktor internal Kekuatan ............ ............ Kelemahan ............ ............
Faktor Eksternal Ancaman ............ ............ Peluang ............. .............
Tahap kedua yaitu pembuatan matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) dan Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Menurut Rangkuti (2005) pembuatan matriks dilakukan sebagai berikut: 1) Pada kolom satu tabel diisi dengan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan (matriks strategi internal) serta peluang dan ancaman (matriks strategi eksternal); 2) Beri bobot pada masing-masing faktor pada kolom 2, dimulai dari 0,0 (tidak penting) hingga 1,0 (sangat penting); 3) Pada kolom tiga diisi rating dari masing-masing faktor, dimulai dari 4 (pengaruhnya sangat besar) sampai 1 (pengaruhnya sangat kecil). Untuk
18
ancaman dan kelemahan adalah sebaliknya. Apabila ancaman dan kelemahan sangat besar, maka diberi nilai 1 sedangkan apabila ancaman dan kelemahannya sangat kecil maka nilainya 4 ; 4) Pada kolom 4 diisi perkalian antara bobot dengan rating; 5) Jumlahkan total skor yang didapatkan dari kolom 4. Nilai total yang dihasilkan akan menunjukkan bagaimana reaksi suatu organisasi atau instansi terhadap faktor internal dan eksternal yang ada. Perhitungan nilai dimulai dari skala 1 sampai dengan skala 4. Tabel 2 Faktor Strategi Internal (IFAS) Faktor Internal 1. Kekuatan ..... ..... 2.Kelemahan ..... .....
Bobot
Rating
Bobot x rating
Tabel 3 Faktor Strategi Eksternal (EFAS) Faktor Eksternal 1. Peluang ..... ..... 2.Ancaman ..... .....
Bobot
Rating
Bobot x rating
Tahap ketiga adalah analisis data yang dilakukan dengan pembuatan tabel strategi SWOT. Tabel 4 Tabel SWOT IFAS
EFAS Oportunities (O) ............... .............. Threats (T) ................. .................
Strengths (S) .................. .................
Weaknesses (W) .................. ...................
Strategi SO Strategi WO
Strategi ST Strategi WT
19
Pada analisis SWOT, semakin tinggi nilai total (bobot x rating) yang diperoleh dalam perhitungan maka kebijakan yang ditetapkan semakin tepat. Hal ini memberikan pengertian bahwa kebijakan tersebut dapat mengatasi adanya kelemahan dan ancaman yang ada. Sebaliknya, bila semakin kecil nilai totalnya, maka kebijakan yang dilaksanakan kemungkinan besar akan memberikan dampak yang tidak memuaskan bagi objek yang menjadi sasaran pelaksanaan kebijakan.
2.5 Matriks Perencanaan Strategis Kualitatif (QSPM) Matriks Quantitative Strategic Planning Management (QSPM) digunakan untuk membuat perangkat strategi dengan memperoleh daftar prioritas yang ada. QSPM merupakan suatu alat yang membuat para perencana strategi dapat menilai secara objektif strategi alternatif berdasarkan faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal yang telah diketahui terlebih dahulu. Matriks QSPM menentukan daya tarik relatif dari berbagai strategi yang disasarkan sampai seberapa jauh faktor-faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal kunci dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing-masing strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor keberhasilan kritis eksternal dan internal. Setiap jumlah rangkaian strategi alternatif dapat diikutkan dalam QSPM dan setiap jumlah strategi dapat menyusun suatu rangkaian strategi tertentu. Namun, hanya strategi dari suatu rangkaian tertentu yang dapat dinilai relatif terhadap satu sama lain. Pengembangan QSPM membuat kemungkinan kecil faktor-faktor kunci terabaikan atau diberi bobot secara tidak sesuai. Meskipun dalam mengembangkan QSPM membutuhkan sejumlah keputusan subjektif, hal ini dapat membuat beberapa keputusan kecil sepanjang proses akan meningkatkan kemungkinan keputusan strategis akhir yang baik untuk organisasi (David, 2003).
2.6 Landasan Penegakan Hukum di Bidang Perikanan 2.6.1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
Pemerintah Republik Indonesia (RI) pada tanggal 21 Maret 1980 mengeluarkan pengumuman pemerintah tentang Zona Ekonomi Ekslusif
20
Indonesia (ZEEI). Undang-undang ini didasari atas pentingnya melindungi kepentingan nasional, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia serta kepentingan nasional di bidang pemanfaatan sumberdaya alam non hayati, pelindungan dan pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan. Pengembangan ZEEI juga dimaksud untuk melindungi kepentingan-kepentingan negara pantai di bidang pelestarian lingkungan laut serta penelitian ilmiah kelautan dalam rangka menopang pemanfaatan sumberdaya alam di zona tersebut. Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia merupakan jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang- undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia (Pasal 2). Hak berdaulat dapat dilihat pada Pasal 4, bahwa Indonesia berhak melakukan kegiatan di ZEEI, antara lain Indonesia berhak untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya, pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin. Indonesia berhak atas juridiksi yang berhubungan dengan pembuatan dan penggunaan pulau buatan, instalasi, dan bangunan lainnya, penelitian ilmiah mengenai kelautan, serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut juga diakui dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku. Selain bahwa kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi yang dilakukan harus berdasarkan izin dari Pemerintah RI atau berdasarkan persetujuan Internasional dengan Pemerintah RI dan dilaksanakan menurut syarat- syarat perizinan atau persetujuan internasional tersebut, kegiatan tersebut juga harus mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang ditetapkan oleh Pemerintan RI. Eksplorasi dan/atau eksploitasi sumberdaya alam hayati dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah RI untuk jenis tersebut melebihi kemampuan Indonesia hal ini berdasarkan BAB IV tentang kegiatan-kegiatan di ZEEI Indonesia.
21
Aparatur penegak hukum di bidang perikanan berdasarkan Pasal 13, dapat melakukan tindakan berupa penangkapan terhadap kapal dan/atau orang yang diduga melakukan pelanggaran di ZEEI yang meliputi tindakan penghentian kapal sampai menyerahkan kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan dimana perkara dapat diproses lebih lanjut. Tindakan penangkapan oleh aparatur penegakan hukum ini harus dilaksanakan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu tujuh hari kecuali bila terdapat keadaan mendesak. Pasal 14 menjabarkan bahwa aparatur penegak hukum adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang yang melanggar tersebut. Pasal 15 menjelaskan bahwa permohonan pembebasan terhadap pihak yang melanggar tersebut dapat dilakukan setiap saat sebelum ada keputusan dari pengadilan negeri yang berwenang. Permohonan dapat dikabulkan apabila sudah menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya dilakukan oleh pengadilan. Ketentuan pidana dapat dilihat pada Pasal 16 dicabut, hal ini berdasarkan Pasal 110 ayat (b) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. 2.6.2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain: 1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) Menegakkan hukum; dan 3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok pada Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki tugas antara lain: 1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
22 2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan; 3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; 4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; 5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; 6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; 7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; 8) Menyelenggarakan
identifikasi
kepolisian,
kedokteran
kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; 9) Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 10) Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; 11) Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; 12) Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dikatakan bahwa dalam rangka menyelenggarakan tugasnya, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan. Tindakan bertujuan untuk membantu tugas Kepolisian Begara Republik Indonesia dalam memberantas tindak kejahatan yang ada. Tindakan tersebut antara lain sebagai berikut: 1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; 2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
23
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8) Mengadakan penghentian penyidikan; 9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; 10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau Mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; 11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan 12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2.6.3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan junto Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang juga merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tersebut belum sepenuhnya mampu mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya ikan. Selain itu, undang-undang ini disahkan juga dalam rangka pemanfaatan sumberdaya ikan yang belum memberikan peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang optimal. Pasal 5 menerangkan bahwa Wilayah pengelolaan perikanan (WPP) merupakan wilayah untuk penangkapan ikan dan budidaya ikan meliputi perairan Indonesia, ZEEI, dan sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang
24 dapat diusahakan sebagai lahan budidaya ikan. Pengelolaan perikanan di luar
wilayah tersebut dapat dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan/atau standar internasional yang diterima secara umum. Dijelaskan pada Pasal 8 bahwa setiap orang baik nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, Anak Buah Kapal (ABK) yang melakukan penangkapan ikan, pemilik kapal, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan serta pemilik perusahaan pembididaya ikan, kuasa pemilik perusahaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan pembudidaya ikan yang melakukan usaha pembudidayaan ikan dilarang menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bengunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di WWP Republik Indonesia. Penggunaan alat, cara, bangunan dan bahan-bahan tersebut diperbolehkan hanya untuk penelitian yang diatur dalam peraturan pemerintah. Ketentuan selanjutnya pada Pasal 9 bahwa setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan di kapal penangkapan ikan di WPP Republik Indonesia. Ketentuan mengenai API dan/atau alat bantu penangkapan ikan tersebut diatur dengan peraturan menteri. Pada Pasal 12 dikatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya di WPP Republik Indonesia. Setiap orang juga dilarang membudidayakan ikan, membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika dan menggunakan obat-obatan dalam pembudidayakan ikan yang dapat membahakan sumberdaya ikan, lingkungan sumberdaya ikan, dan/atau kesehatan manusia di WPP Republik Indonesia yang lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah. Ketentuan larangan selanjutnya pada Pasal 16 bahwa setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidaya ikan, sumberdaya ikan, dan/atau lingkungan sumberdaya ikan ke dalam dan/atau ke laut WPP Republik Indonesia
25
yang ketentuan lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah. Ikan hasil tangkapan dan/atau pembudidayaan harus memenuhi standar mutu dan keamanan hasil perikanan hal ini ada pada Pasal 20 ayat (6). Dijelaskan pada Pasal 26, bahwa setiap orang yang melakukan usaha perikanan di bidang penengkapan, pembudidaya ikan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan di WPP RI wajib memiliki Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dimana kewajiban ini tidak berlaku untuk nalayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil. Ditambahkan pada Pasal 27 ayat (1), bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk penangkapan ikan di WPP RI dan/atau laut lepas wajib memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), namun SIPI ini tidak berlaku untuk nelayan kecil seperti dijelaskan pada ayat 5 Pasal yang sama. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memiliki SIPI. Pada ayat (3) kembali diperjelas bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera Indonesia di WPP RI atau mengoperasikan kapal asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli. Sedangkan pada ayat (4) dijabarkan bahwa kapal penangkapan ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkpan ikan di wilayah yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah. Menurut Pasal 28 ayat (1), bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkutan ikan berbendera Indonesia di WPP Republik Indonesia wajib memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), namun SIKPI ini tidak berlaku untuk nelayan kecil dan/atau pembudidaya ikan kecil seperti dijelaskan pada ayat (4) Pasal yang sama. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkutan ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di WPP Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. Pada ayat (3) kembali diperjelas bahwa setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkutan ikan di WPP Republik Indonesia wajib membawa SIKPI asli. Pada
26 Pasal 28A ditekankan bahwa setiap orang dilarang memalsukan dan
menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu. Pasal 29 menjelaskan bahwa usaha perikanan di WPP RI hanya boleh dilakukan oleh warga negara RI atau badan hukum Indonesia. Pengecualian diberikan kepada orang atau badan hukum asing yang melakukan usaha penangkapan ikan di ZEEI, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban RI berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum internasional yang berlaku. Pada Pasal 30 dikatakan bahwa pemberian SIUP kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI harus didahului dengan perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya antara Pemerintah RI dan Pemerintah negara bendera kapal. Perjanjian ini harus mencantumkan kewajiban Pemerintah negara berbendera kapal untuk bertanggung jawab atas kepatuhan orang atau badan hukum negara berbendera kapal untuk mematuhi perjanjian perikanan tersebut. Selain itu Pemerintah RI juga menetapkan peraturan mengenai pemberian izin usaha perikanan kepada orang dan/atau badan hukum asing yang beroperasi di ZEEI, perjanjian perikanan, pengaturan akses, atau pengaturan lainnya. Dijelaskan pada Pasal 35A ayat (1) bahwa kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di WPP RI wajib menggunakan nakhoda dan ABK berkeluarganegaraan Indonesia. Sedangkan pada ayat 2 ditambahkan bahwa kapal perikanan berbendera saing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan ABK berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% dari jumlah ABK. Pelanggaran terhadap kapal perikanan berbendera asing tentang ABK ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin dimana mengenai pengenaan sanksi
administratif diatur dalam peraturan pemerintah, hal ini
terdapat pada ayat (3) dan (4). Ketentuan pada Pasal 38 ayat 1 bahwa setiap kapal penangkapan ikan berbendera asing yang tidak memiliki SIUP selama berada di WPP RI wajib menyimpan API di dalam palka. Kemudian pada ayat (2) dikatakan bahwa kapal penangkapan ikan berbendera asing yang telah memiliki SIUP dengan satu jenis API tertentu pada bagian tertentu di ZEEI dilarang membawa API lainnya.
27
Sedangkan pada ayat (3) menambahkan bahwa setiap kapal penangkapan ikan berbendera asing yang telah memiliki SIUP wajib menyimpan API dalam palka selama berada di luar daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang diizinkan di WPP RI. Pada Pasal 39 dijelaskan bahwa kapal penangkapan ikan berbendera Indonesia dengan ukuran dan jenis tertentu dimungkinkan menggunakan 2 jenis API yang diizinkan secara bergantian berdasarkan musim dan daerah penangkapan ikan. Pasal 43 dan Pasal 44 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis, dimana
mengenai persyaratan
administrasi dan kelayakan teknis diatur dalam peraturan menteri. Pada Pasal 44 ayat (1) surat persetujuan berlayar juga harus dimiliki oleh kapal perikanan sesuai dengan Pasal 42 ayat (2) yang dikeluarkan oleh syahbandar pelabuhan setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi. Pungutan perikanan diatur dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumberdaya ikan dan lingkungannya di WPP RI dan di luar WPP RI dikenakan pungutan perikanan. Pungutan ini merupakan penerimaan negara bukan pajak dan tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. Sesuai dengan Pasal 49, setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI juga dikenakan pungutan perikanan. Pada Pasal 50 dijelaskan bahwa pungutan perikanan digunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan lingkungannya. Ketentuan mengenai pungutan perikanan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah sesuai dengan Pasal 51. Dijelaskan pada Pasal 66 bahwa pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan. Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang meliputi kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, perbenihan, pengolahan, distribusi keluar masuk ikan, mutu hasil perikanan, distribusi keluar masuk obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan manusia, plasma nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan,dan ikan hasil rekayasa genetik.
28 Dilanjutkan pada Pasal 66A bahwa pengawas perikanan merupakan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk, mereka dapat dididik untuk menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perikanan. Pengawas perikanan yang dimaksud dapat ditetapkan sebagai pejabat fungsional pengawas perikanan yang diatur pada peraturan menteri. Pasal 66B menjabarkan bahwa pengawas perikanan melaksanakan tugasnya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kapal perikanan, pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk, pelabuhan tangkahan, sentra kegiatan perikanan, area pembenihan ikan, area pembudidayaan ikan, unit pengolahan ikan, dan/atau kawasan konservasi perairan. Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas diatur dalam peraturan menteri. Wewenang pengawas perikanan terdapat pada Pasal 66C antara lain memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha perikanan, memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan, memeriksa kegiatan usaha perikanan, memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan perikanan, memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI, mendokumentasikan hasil pemeriksaan, mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk keperluan pengujian laboratorium, memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal perikanan, menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dan menangkap kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan tempat perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik, menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan, dan/atau mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pengawas perikanan dalam melaksanakan tugasnya dapat dilengkapi dengan kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.
29
Masyarakat dapat diikutsertakan dalam membantu pengawasan perikanan hal ini sesuai dengan Pasal 67. Pasal 68 dikatakan bahwa Pemerintah mengadakan sarana dan prasarana pengawasan perikanan. 2.6.4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 34 Tahun
20004 tentang
Tentara Nasional Indonesia disebutkan bahwa Angkatan Laut yang merupakan bagian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) bertugas antara lain: 1) Melaksanakan tugas Tentara Nasional Indonesia (TNI) matra laut di bidang pertahanan; 2) Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; 3) Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; 4) Melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; dan 5) Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. 2.6.5 Keputusan Bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia No: 10/KB/Dep.KP/2003 atau No.Pol: B/4042/VIII/2003 tentang Penegakan Hukum di Bidang Kelautan dan Perikanan.
Keputusan Menteri merupakan kesepakatan bersama antara Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang diwakili oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Kepolisian Negara yang diwakili oleh Kepala Kepolisian Negara. Kesepakatan ini didasari bahwa pihak DKP merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kegiatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan, peningkatan kapasitas kelembagaan dan pemasaran, pemberdayaan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta riset kelautan dan perikanan. Sedangkan pihak kepolisian merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam memelihara keamanan dan ketertiban msayarakat, menagakan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta melindungi kepentingan nasional. Salah satu tujuan dari
30 kesepakatan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 adalah meningkatkan
kooordinasi dan kerjasama dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang terkait dengan bidang kelautan dan perikanan di wilayah perairan Indonesia.
Beberapa kesepakatan yang dapat diambil antara lain adalah bahwa dalam rangka mendorong dan mengembangakn sistem pengamanan di lingkunagn DKP, maka Kepolisian menyiapkan tenaga pelatih profesional guna melakukan pembinaan dan pelatihan satuan pengamanan yang dimiliki jajaran DKP. Pihak Kepolisian juga membantu piranti lunak dan keras untuk meningkatkan sarana dan prasarana dalam rangka pelaksanan sistem pengawasan. Dalam rangka peningkatan kemampuan Penyidik Pegawai Begeri Sipil (PPNS) DKP, maka kepolisian dapat menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sesuai Pasal 4. Bidang operasional pada Pasal 5 dikatakan bahwa DKP dan kepolisian mendahulukan tindakan preventif dan persuasif dalam menangani kasus-kasus yang merugikan atau mengganggu pelaksanaan tugas dibidang kelautan dan perikanan, sepanjang tidak atau belum dikategorikan tindakan pidana. Pasal 6 dan Pasal 7 melanjutkan bahwa kedua pihak dapat saling memberitahukan mengenai informasi adanya perbuatan dari pihak tertentu yang merugikan dan/atau mengganggu pelaksanaan tugas di bidang kelautan dan perikanan. Informasi tersebut dapat disampaikan oleh jajaran DKP kepada jajaran Kepolisian setempat untuk ditendak lanjuti yang dalam prosesnya DKP wajib membantu Kepolisian. Tindak lanjut pada Pasal 8, apabila terjadi tindak pidana membuat kepolisian memerlukan penyitaan barang bukti berupa dokumen kelautan dan perikanan, dapat meminta bantuan kepada DKP. Pelanggaran yang memerlukan kesaksian dari pejabat DKP atau dinas, maka pemanggilan sebagai saksi disampaikan kepada yang bersangkutan di tingkat pusat melalui menteri KP dan di tingkat Daerah melalui dinas, kabupaten/kota yang bersangkutan. Pejabat dapat menunjuk anggota yang membidangi permasalahannya atau apabila diperlukan dapat memberikan keterangan tertulis.
31
2.6.6 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.11/Men/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
Pasal 1 mengatakan bahwa guna mendukung kelancaran pelaksanaan tugas penyidik dan untuk memperlancar komunikasi serta tukar menukar data, informasi dan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana di bidang perikanan secara terpadu, dibentuk Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan. Dilanjutkan pada Pasal 2 dikatakan bahwa Forum tersebut mempunyai tugas mensinkronisasikan dan mengkoordinasikan kegiatan penanganan tindak pidana di bidang perikanan yang dilaksanakan oleh masing-masing instansi terkait agar efektif, efisien, dan memenuhi rasa keadilan. Pasal 3 menjelaskan bahwa forum menyelenggarakan fungsi antara lain: 1) Koordinasi kegiatan penyidikan tindak pidana perikanan; 2) Identifikasi, jenis, modus operandi, volume/frekwensi, dan penyebaran praktik- praktik tindak pidana di bidang perikanan; 3) Penetapan jenis tindak pidana di bidang perikanan yang diprioritaskan untuk diproses secara bertahap; 4) Penyuluh dan pembinaan kepada masyarakat untuk mencegah terjasinya tindak pidana di bidang perikanan; 5) Identifikasi, pengukuran, dan analisis signifikansi tindak pidana di bidang perikanan secara periodik; 6) Perancangan bentuk-bentuk koordinasi kegiatan-kegiatan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan; 7) Perumusan dan pemutakhiran strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan; 8) Pemantauan dan penyajian laporan pelaksanaan pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan; dan 9) Pengkajian dan evaluasi efektivitas strategi pemberantasan tindak pidana di bidang perikanan secara berkelanjutan. Susunan anggota Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan pada Pasal 4 adalah sebagai berikut:
32
1) Ketua
: Menteri Kelautan dan Perikanan
2) Wakil Ketua I
: Kepala Kepolisian Negara RI
3) Wakil Ketua II
: Kepala Staf TNI AL
4) Sekretaris I merangkap anggota
: Direktur Jendral Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, DKP
5) Sekretaris I merangkap anggota
:Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Kepolisian Negara Republik Indonesia
6) Anggota
:
(1) Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus, Kejaksaan Agung (2) Asisten Operasi Kepala Staf TNI AL (3) Direktur Jendral Imigrasi, Departeman Hukum dan HAM (4) Direktur Jendral Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan (5) Direktur Jendral Bea dan Cukai, Departemen Keuangan (6) Direktur Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (7) Direktur Pidana, Mahkamah Agung (8) Direktur Polisi Parairan, Badan Pembinaan Keamanan, Mabes Polri Pasal 5 menjelaskan bahwa untuk mendukung tugas forum, dibentuk tim teknis sesuai dengan kebutuhan yang keanggotaannya terdiri dari instansi terkait dan ditetapkan oleh ketua forum. Tim bertugas menyampaikan laporan dan bertanggung jawab kepada ketua forum. Pada Pasal 6 dilanjutkan bahwa forum di daerah ditetapkan oleh gubernur untuk provinsi dan bupati/walikota untuk kabupaten/kota. Keanggotaan forum di daerah terdiri dari instansi terkait di provinsi atau kabupaten/kota setempat. Pembiayaan dijabarkan pada Pasal 8 yaitu dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) DKP.