2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Belanak (Liza subviridis) Kingdom Animalia Filum Chordata Class Actinopterygii Order Mugiliformes Family Mugilidae Genus Liza Spesies subviridis (Valenciennes 1836).
Ikan belanak L. subviridis yang biasa dikenal dengan nama Greenback mullet, dicirikan dengan tubuh bagian atas berwarna putih kehijauan dan cenderung abu-abu, sisi samping perutnya berwarna putih keperakan dengan sirip dada yang relatif pendek dan sirip ekornya berbentuk huruf 'V' besar, kepala bagian atas agak rata, bibir tipis serta lembut (Gambar 2).
Gambar 2 Ikan belanak, Liza subviridis (Valenciennes 1836). Ikan belanak, L. subviridis dari famili mugilidae penyebarannya luas dan mampu bertoleransi pada kondisi yang ekstrim terhadap salinitas, suhu dan juga dapat menyesuaikan terhadap keadaan makanan di berbagi macam habitat, tersebar di estuari dan perairan pantai tropik dan subtropik. Famili ini diperkirakan mempunyai 64 spesies (Tomson 1964, diacu dalam Effendie 1984). Di Indonesia terdapat 21 spesies (Weber dan de Beaufort 1922, diacu dalam Effendie 1984).
Ikan belanak adalah sejenis ikan yang banyak dijumpai di perairan laut tropik dan subtropik yang bentuknya hampir menyerupai bandeng. Secara umum bentuknya memanjang agak langsing dan gepeng. Sirip punggung terdiri dari satu jari-jari keras dan delapan jari-jari lemah. Sirip dubur berwarna putih kotor terdiri dari satu jari-jari keras dan sembilan jari-jari lemah. Bibir bagian atas lebih tebal daripada bagian bawahnya ini berguna untuk mencari makan di dasar/organisme yang terbenam dalam lumpur (Kriswantoro dan Sunyoto 1986). Ciri lain dari ikan belanak yaitu mempunyai gigi yang amat kecil, tetapi kadang-kadang pada beberapa spesies tidak ditemukan sama sekali. Ikan belanak secara ekologis sangat penting dalam rantai makanan yang berperan dalam transfer energi dalam kehidupan di perairan estuari. Ikan belanak setiap hari mengkonsumsi sisa tanaman yang mati, detritus, sedimen berpasir, memakan epifit dan epifauna dari padang lamun juga mencernakan buih permukaan berisi microalgae. Jumlah kandungan pasir dan detritus dalam isi perut meningkat dengan meningkatnya ukuran panjang tubuhnya, menunjukkan lebih banyak makanan dicernakkan dari dasar substrat ketika ikan menjadi dewasa. Carl Linnaeus, seorang naturalis berkebangsaan Swedia, mula-mula menggambarkan ikan belanak (mullet) yang berbelang sebagai Mugil cephalus dalam tahun 1758. Disebut Mugil berasal dari bahasa Latin "mugil" artinya seekor ikan, mungkin ikan mullet. Beberapa nama sinonim yang mengacu pada Liza subviridis antara lain : Chelon subviridis, Ceramensis liza, Liza ceramensis, Liza dussumieri, Liza melinopterus, Liza parmatus, Liza parsia, Mugil alcocki, Mugil dussumieri, Mugil javanicus, Mugil jerdoni, Mugil melinopterus, Mugil stevensi, Mugil subviridis, Mugil sundanensis, Mugil tadopsis. Beberapa nama yang umum digunakan dalam bahasa Inggeris yaitu striped mullet, black mullet, black true mullet, bright mullet, bully mullet, callifaver mullet, common grey mullet, common mullet, flathead grey mullet, flathead mullet, gray mullet, haarder, hardgut mullet, mangrove mullet, mullet, river mullet, sea mullet, dan springer.
2.1.1 Habitat dan daerah sebaran Ikan Belanak adalah jenis ikan yang hidup di perairan pantai, sering kali masuk di perairan laguna, muara-muara dan air tawar. Sifatnya yang selalu hidup bergerombol di perairan pantai yang dangkal untuk mencari makan. Makanannya berupa mikro alga, zooplankton dan material detritus. Ikan belanak
juga
memakan pasir dan lumpur. Djajadiredja dan Purnomo (1974), diacu dalam Effendie (1984) mengemukakan bahwa jenis mugilidae yang dominan dijumpai di perairan Indonesia adalah L. subviridis. Ikan belanak jenis ini juga banyak dijumpai di perairan Thailan, Filipina dan Malaysia (Chan 1976). Ikan belanak dewasa
dan muda (panjang dari 4 cm-7 cm) memiliki
toleransi pada kadar garam cukup lebar/luas (0 ppt -35 ppt). Setelah besar akan membentuk gerombol/kelompok besar pada daerah permukaan pantai berlumpur, berpasir dan perairan yang berhutan mangrove. Ikan belanak dalam kelompok yang besar akan beruaya ke lepas pantai untuk bertelur. Larvanya akan bergerak ke perairan pantai dangkal
dan bervegetasi yang kaya akan makanan serta
menghindari predator. Ikan belanak seringkali
melompat ke permukaan air
diduga karena menghindar dari pemangsa, namun kemungkinan lainnya adalah karena ikan ini waktunya lebih banyak dihabiskan pada daerah dengan kelarutan oksigen yang rendah. Ikan belanak tersebar di perairan tropik dan subtropik (FAO 1974, diacu dalam Adrim et al. 1988), ditemukan di air payau dan kadang-kadang di air tawar. Tersebar di Indo-Pasifik dari Laut Merah sampai Samoa, ke utara menuju Jepang.
Di kawasan Pasifik ikan belanak ditemukan di Fiji, Samoa, New
Caledonia dan Australia. Di Asia, banyak ditemukan di Indonesia, India, Philipina, Thailan, Malaysia dan Srilangka. 2.1.2 Ontogenetik makanan ikan belanak Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh ikan belanak sangat erat kaitanya dengan upaya untuk mencari kondisi terbaik bagi kelangsungan hidupnya. Pada dasarnya pemanfaaan ekosistem mangrove sebagai habitat oleh ikan belanak biasanya disesuaikan dengan orientasi untuk mencari makan, berpijah atau untuk berlindung dari predator. Namun demikian, ikan belanak
memanfaatkan habitat mangrove sesuai dengan tahap perkembangannya. Dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara perkembangan ontogenetik ikan belanak dengan pemanfaatan ekositem mangrove sebagai habitatnya sangat erat. Dalam pola pemanfaatan habitat, ikan yang berukuran kecil akan membutuhkan kondisi yag lebih spesifik bila dibandingkan dengan ikan yang sudah besar (Reichard et al. 2002). Misalnya ikan belanak yang berada pada stadia larva maka kehadirannya di ekoistem mangrove lebih ditujukan untuk mendapatkan perlindungan dan kecocokan makanan sesuai dengan bukaan mulutnya. Sementara pada ikan dewasa penempatan habitat lebih ditujukan untuk mencari makan, sehingga ekosistem mangrove yang dipilih merupakan habitat dengan ketersediaan makanan yang melimpah. Diketahui ikan belanak adalah suatu jenis ikan yang hidup di perairan pantai, sering masuk di perairan muara dan air tawar. Dalam siklus hidup ikan belanak berbagai variasi strategi telah dikembangkan dan
seringkali
menunjukkan fleksibilitas fenotipik dalam merespon pola dan proses faktorfaktor abiotik dan biotik. Strategi yang digunakan menggambarkan pola perpindahan ikan belanak berdasarkan ruang dan waktu (misalnya migrasi pemijahan dari daerah laut lepas menuju habitat pengasuhan di daerah pantai). Ikan belanak saat juvenil kebiasaan makanannya berbeda dengan ikan belanak yang dewasa. Perubahan ontogenetik dalam variasi makanan yang terjadi berhubungan dengan habitatnya di estuari, saat juvenil ke remaja atau dewasa meninggalkan daerah estuari yang berhubungan dengan perubahan morfologi rahang atau gigi atau ukuran. Ikan pemakan makro dan mikrobentik dan detritus seperti ikan belanak, akan mengalami perubahan pada jenis makanannya selama proses pertumbuhan, hal ini disebabkan : 1) perubahan ukuran mulut, ukuran bukaan mulut akan berubah sejalan dengan perubahan ukuran ikan, dengan demikian ukuran yang dapat dimakan ditentukan oleh ukuran bukaan mulut, 2) selera serta kebutuhan ikan, dan
3) kemampuan dalam mencerna suatu material makanan.
Bertambahnya umur ikan serta makin sempurnanya organ-organ tubuh maka ikan akan merubah makanannya sesuai dengan kebutuhan, yang berarti bahwa kebiasaan makanan ikan akan mengalami perubahan komposisi sesuai dengan
tingkat pertumbuhannya atau kelompok ukuran, dan 4) ketersediaan makanan di dalam perairan, ditentukan oleh kehadiran dan kelimpahan relatif dari tipe makanan tertentu. Blaber (1997) mengemukakan bahwa juvenil ikan belanak mengalami perubahan ontogenetik antara ukuran
10 dan 50 mm dan setelah dewasa
makanannya tidak lagi mengalami perubahan.
Di estuari makanannya
mengalami perubahan; ukuran 10-15 mm dari pemakan zooplankton menjadi pemakan bentik zooplankton, ukuran 10-20 mm pemakan meiobentos, ukuran 15-25 mm pemakan meiobentos pada partikel pasir dan mikrobentik. Setelah berukuran 40 mm, makanannya tidak lagi mengalami perubahan yaitu hanya mengkonsumsi mikrobentik namun pada saat matang gonad pada ukuran 23 cm makanannya didominasi oleh detritus. Ikan belanak sebagai pemakan detritus dari tanaman, cara mengambil makanannya sangat khas. Ikan belanak yang berukuran sampai 30 mm sebagai pemakan larva nyamuk, copepoda dan zooplankton.
Effendie (1997)
mengemukakan bahwa ikan belanak pada ukuran dewasa mengambil makanannya atau memilih makanannya dengan tiga cara yaitu: 1. Menghisap lapisan atas permukaan air dengan menonjolkan mulutnya untuk memakan mikro alga, 2. Sambil berenang melakukan penghisapan bagian atas permukaan lumpur, dan 3. Untuk makan butiran pasir, ikan menukikan tubuh dan kepalanya membentuk sudut 15–20 derajat sambil menonjolkan premaxilla. Spesialisasi kebiasaan makanan ikan tidak terlepas dari kualitas dan kuantitas makanan yang akan dimakan serta bagaimana cara pengambilan makanan tersebut di dalam perairan. Hal tersebut disebabkan kebiasaan atau kesukaan ikan terhadap macam-macam makanan yang ada di perairan berhubungan dengan morfologi fungsional dari tengkorak, rahang dan alat pencernaan makanan suatu jenis ikan yang merupakan faktor pembatas dari kebiasaan makan yang timbul selama masa pertumbuhan ikan. Proses pencernaan di lambung dilakukan pada ikan ada yang kimiawi dan ada pula pencernaan secara mekanik juga dilakukan di lambung. Pada ikan hebivora contohnya ikan ini menggerus makanan pada lambung, lambung tersebut
sering disebut gizzard atau lambung khusus (Fujaya 2004). Ikan belanak sebagai pemakan detritus yang banyak berasal dari serasah mangrove yang memiliki kandungan selulosa yang tinggi dan sulit dicerna. Pada
ikan
belanak
bagian
pylorus
dan
lambung
membesar
(menggelembung) dan menebal akibat terjadi penebalan otot melingkarnya dan pada bagian epitelumnya sering terdapat lapisan yang mengeras seperti zat tanduk. Untuk memudahkan pencernaan, lambung ikan belanak bermodifikasi menjadi alat penggiling, yang disebut gizzard. Gizzard yang dindingnya tebal dan berotot berfungsi untuk menggerus makanan. Dalam proses penggiligan makanan dalam gizzard menggunakan pasir. Pasir dalam lambung bertindak sebagai “gigi” untuk memotong dan menggiling makanan dengan demikian sangat membantu pencernaan. Affandi et al. (2009) mengemukakan bahwa pada bagian gizzard tidak terdapat kelenjar macam apapun, sehingga gizzard benar benar berfungsi untuk menggerus makanan (pencernaan secara fisik). Gizzard merupakan kompensasi ketidaksempurnaan atau ketidak beradaan gigi pada rongga mulut. Gizzard ini dianggap sebagai lambung khusus pada golongan ikan mikrofagus (makanannya berukuran kecil).
2.2 Ekosistem Mangrove Kata “mangrove” berkaitan sebagai tumbuhan tropis yang komunitas tumbuhnya didaerah pasang surut dan sepanjang garis pantai (seperti : tepi pantai, muara laguna dan tepi sungai) yang dipengaruhi oleh kondisi pasang surut air laut. Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut.
Snedaker (1978) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob. Aksornkoe (1993) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat dengan kadar garam tinggi) yang hidup disepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.
Nybakken (1992) mengemukakan bahwa hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove dapat dijumpai di daerah tropik dan sub tropik yang hidupnya berkembang baik pada temperatur dari 19 oC sampai 40 oC, dengan toleransi fluktuasi suhu tidak lebih dari 10 oC. Berbagai jenis tanaman bakau yang tumbuh di bibir pantai dan merambah tumbuh menjorok ke zona berair laut, merupakan suatu ekosistem yang khas, karena bertahan hidup di dua zona transisi antara daratan dan lautan, sementara tanaman lain tidak mampu bertahan. Kumpulan berbagai jenis pohon yang seolah menjadi garda depan garis pantai yang secara kolektif disebut hutan mangrove, memberikan perlindungan kepada berbagai organisme lain baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan berkembang biak. Hutan mangrove selain melindungi pantai dari gelombang dan angin juga merupakan tempat yang dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati, ekosistem bakau juga sebagai plasma nutfah dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Melalui kelenjar garamnya, beberapa spesies mangrove menghasilkan sistem yang memungkinkan mereka untuk tumbuh pada kondisi berkadar garam tinggi. Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegalitis dapat mengontrol keseimbangan garam dengan mengeluarkan garam dari kelenjar tersebut (Tomlinson 1986). Sebagian kelenjar garam terdapat dipermukaan daun yang tampak berkristal dan mudah diamati.
Spesies lain seperti Rhizopora spp.,
Bruguiera spp., Ceriops spp., Sonneratia spp. dan Lumnitzera spp. dapat mengontrol keseimbangan garam dengan menggugurkan daun tua yang mengandung garam yang terakumulasi, atau dengan melakukan tekanan osmotic akar. Struktur, fungsi ekosistem, komposisi dan distribusi spesies dan pola pertumbuhan mangrove sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan diantaranya;
Fisiografi pantai, iklim, pasang surut, gelombang/arus, salinitas,
oksigen terlarut, tanah, nutrient dan proteksi.
2.2.1 Jenis dan Penyebaran Mangrove Chapman (1975) mengemukakan bahwa ada 90 jenis tumbuhan mangrove utama di dunia. Hutan mangrove di daerah Indo-Pasifik mempunyai keanekaragaman jenis yang lebih tinggi (63 jenis) dibanding dengan hutan mangrove di Amerika dan Afrika bagian Barat (43 jenis). Sedangkan daerah-daerah dari bagian ekuator dari Asia Timur jauh mempunyai hutan mangrove dengan keanekaragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan hutan mangrove di daerah manapun juga.
Hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang diurnal memiliki struktur dan kesuburan yang berbeda dari hutan mangrove yang tumbuh di daerah semidiurnal, dan berbeda juga dengan hutan mangrove yang tumbuh di daerah pasang campuran. Di daerah dengan rentang pasang yang lebar, akar tunjang dari Rhizophora spp. tumbuh lebih tinggi, sedangkan di daerah yang rentangnya sempit memiliki akar yang lebih rendah. Aegialites rotundifolia dan Sonneratia spp. menunjukkan perilaku perakaran yang pneumatoforanya besar, kuat dan panjang di atas permukaan tanah di zona peralihan pasang. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen 2000). Di Indonesia diperkirakan terdapat 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jneis pohon, 5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku yang terbagi meknadi 2 kelompok yaitu mangrove sejati (true mangrove) dan mangrove ikutan (asociate) (Khazali et al. 1999). Tomlinson (1984) membagi flora mangrove menjadi 3 kelompok, yaitu : a) Kelompok mayor Komponen ini memperlihatkan karakteristik morfologi, seperti : sistem perakaran udara dan mekanisme fisiologis khusus untuk mengeluarkan garam agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan mangrove. Komponennya adalah pemisahan taksonomi dari hubungan daratan dan hanya terjadi dihutan mangrove serta membentuk tegakan murni, tetapi tidak pernah meluas kedalam komunitas daratan. Contohnya adalah Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia dan Nypa.
b) Kelompok minor (tumbuhan pantai) Dalam kelompok ini tidak termasuk elemen yang mencolok dari tumbuh – tumbuhan yang mungkin terdapat disekitar habitatnya dan yang jarang berbentuk tegakan murni. c) Kelompok asosiasi mangrove Dalam komponen ini jarang ditemukan species yang tumbuh didalam komunitas mangrove yang sebenarnya dan kebanyakan sering ditemukan dalam tumbuh – tumbuhan darat. Komponen mayor dan minor spesies mangrove tumbuh dengan baik tanpa dipengaruhi oleh kadar garam air. Namun jika air terlalu asin maka pohon mangrove tidak dapat tumbuh terlalu tinggi. Hal yang harus diperhatikan bahwa species mangrove dapat tumbuh lebih cepat pada air tawar daripada air yang mengandung garam (asin). Manfaat dan fungsi hutan mangrove
2.2.2
Melana et al. (2000) mengemukakan bahwa fungsi hutan mangrove adalah: 1.
Sebagai tempat hidup dan mencari makan berbagai jenis ikan, kepiting, udang dan tempat ikan-ikan melakukan proses reproduksi,
2.
Menyuplai bahan makanan bagi spesies-spesies didaerah estuari yang hidup dibawahnya karena mangrove menghasilkan bahan organik,
3.
sebagai pelindung lingkungan dengan melindungi erosi pantai dan ekosistemnya dari tsunami, gelombang, arus laut dan angin topan,
4.
sebagai penghasil biomas organik dan penyerap polutan disekitar pantai dengan penyerapan dan penjerapan,
5.
sebagai tempat rekreasi khususnya untuk pemandangan kehidupan burung dan satwa liar lainnya,
6.
sebagai sumber bahan kayu untuk perumahan, kayu bakar, arang dan kayu perangkap ikan,
7.
tempat penagkaran dan penangkapan bibit ikan, dan
8.
sebagai bahan obat-obatan dan alcohol.
Bengen dan dutton (2004) mengemukakn bahwa hutan mangrove memiliki fungsi : 1.
Peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, dan
2.
Penghasil sejumlah detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan oleh bakteri menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove
menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Dengan rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya.
Mangrove menyediakan tempat perkembang-biakan dan pembesaran
bagi beberapa spesies hewan khususnya udang, sehingga biasa disebut “tidak ada mangrove tidak ada udang” (Macnae 1968). Turner (1977) mengemukakan bahwa disamping fungsi hutan mangrove sebagai 'waste land' juga berfungsi sebagai kesatuan fungsi dari ekosistem estuari yang bersifat: Sebagai daerah yang menyediakan habitat untuk ikan dan udang muda serta biota air lainnya dalam suatu daerah dangkal yang kaya akan makanan dengan predator yang sangat jarang. Sebagai tumbuhan halofita, mangrove merupakan pusat penghisapan zat-zat hara dari dalam tanah, memberikan bahan organik pada ekosistem perairan. Merupakan proses yang penting dimana tumbuhan
menjadi
seimbang
dengan
tekanan
garam
di
akar
dan
mengeluarkannya. Hutan mangrove sebagai penghasil detritus atau bahan organik dalam jumlah yang besar dan bermanfaat bagi mikroba dan dapat langsung dimakan oleh biota yang lebih tinggi tingkat. Pentingnya 'detritus food web' sangat berguna dilingkungannya.
Mangrove memproduksi nutrien yang dapat menyuburkan perairan laut, mangrove membantu dalam perputaran karbon, nitrogen dan sulfur, serta perairan mengrove kaya akan nutrien baik nutrien organik maupun anorganik. Rata-rata produksi primer yang tinggi mangrove dapat menjaga keberlangsungan populasi ikan, kerang dan lainnya. Nilai produktivitas primer hutan mangrove adalah 20 kali lebih besar dari pada produktivitas laut dalam dan 5 kali lebih besar pula berbanding dengan kawasan perairan pantai (Soeroyo 1988). Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove berperan penting dalam menyediakan habitat bagi aneka ragam jenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya. Dari sudut fungsi ekologis dan ekonomi, mangrove tak ternilai harganya. Berbagai biota pesisir dan laut (ikan, udang, kerang, dan lain-lain) menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai daerah pemijahan/bertelur (spawning ground). Mangrove juga menjadi kawasan tempat berlindung (nursery ground) untuk tumbuh dan berkembangnya berbagai biota. Dedaunan, ranting, dan bagian lainnya yang menjadi sampah dan jatuh ke air tidak sia-sia, bahkan menjadi unsur hara yang amat menentukan produktivitas perikanan sebagai feeding ground.
Jaringan sistem akar memberikan banyak nutrien bagi larva dan juvenil ikan, juga menghidupkan komunitas invertebrata laut dan algae. Sebagai gambaran tentang tingginya produktivitas habitat pantai berbakau ini, dikatakan bahwa satu sendok teh lumpur dari daerah bakau di pantai utara Queensland (Australia) mengandung lebih dari 10 milyar bakteri, suatu densitas bakteri tertinggi di dunia. Peran terpenting dari pohon mangrove adalah serasah daun yang jatuh ke dalam air. Serasah ini merupakan sumber bahan organik yang penting dalam rantai makanan yang bisa mencapai 7 – 8 ton /ha/tahun. Sumber kesuburan di sekitar hutan mangrove tergantung pada serasahnya. Mangrove mempunyai nilai produksi bersih (NPB), yakni biomassa (62.9 – 398.8 ton/ha), guguran serasah (5.8 – 25.8 ton/ha/tahun), pada hutan tanaman mangrove umur 20 tahun. Besarnya nilai produksi primer pada hutan mangrove cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan jenis organisme akuatik di pesisir. Dalam satu kilometer bujur sangkar, hutan mangrove menyumbangkan kurang lebih 600 ton material tanaman setiap tahun ke dalam rantai makanan di perairan estuari. Mengingat beberapa fungsi dan manfaat penting kawasan mengrove, perlu diterapkan serta digalakkan prinsip save it (lindungi), study it (pelajari), dan use it (manfaatkan). Untuk itu, diperlukan faktor-faktor pendukung agar pemanfaatan kawasan mangrove berjalan sesuai dengan tujuan pengelolaan mangrove yang lestari.
2.2.3 Produktivitas dan Serasah Mangrove Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa ada 7 (tujuh) faktor penting yang menentukan produktifitas tumbuhan mangrove, yang selanjutnya dibagi atas dua kelompok utama, yakni: A. Fluktuasi pasang, terdiri dari empat faktor: (1)
Transpor oksigen sistem perakaran,
(2)
Air tanah dan jumlah pertukaran air yang digunakan untuk menghalau zat racun sulfit,
(3)
Arus pasang surut dan pengaruhnya terhadap deposisi dan erosi substrat dasar, dan
(4)
Fluktuasi air yang berkaitan dengan keberadaan unsur hara di daerah hutan mangrove.
B. Kimia air, terdiri dari tiga faktor: (1)
Kandungan garam (salinitas) pada substrat dasar dan kemampuan daundaun bertahan,
(2)
Kandungan unsur hara makro (makro nutrien) dalam tanah, dan
(3)
Jumlah aliran permukaan (surface run-off) yang membawa unsur hara makro dari tanah.
Eong et al. (1983), diacu dalam Hilmi (2003) mengemukakan bahwa produktivitas primer adalah produktivitas primer bersih ditambah respirasi. Produktivitas primer perairan dinyatakan sebagai berat dari fiksasi karbon/unit volume atau perunit luas permukaan/waktu. Pada produktivitas primer proses fotosintesis merupakan suatu proses yang sangat efisien yang dapat mengabsorbsi energi sekitar 95 - 99 %. Energi yang disimpan akan membentuk biomassa. Sedangkan produktivitas primer bersih adalah nilai total energi yang disimpan perunit luas per waktu. Komponen-komponen produksi primer bersih adalah keseluruhan dari organ utama tumbuhan meliputi daun, batang dan akar. Selain itu, tumbuhan epifit seperti alga pada pneumatofor, dasar pohon dan permukaan tanah juga memberikan sumbangan kepada produksi primer bersih (Nirwani 1999). Clough (1986), diacu dalam Nirwani (1999) mengemukakan bahwa produksi primer bersih mangrove berupa materi yang tergabung dalam biomassa tumbuhan yang selanjutnya akan lepas sebagai serasah atau dikonsumsi oleh organisme heterotrof atau dapat juga dinyatakan sebagai akumulasi materi organik baru dalam jaringan tumbuhan sebagai kelebihan dari respirasi yang biasanya dinyatakan dalam berat kering materi organik. Sebagai produser primer, mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah (Head 1969, diacu dalam Nirwani 1999). Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk menggambarkan produktivitas (Chapman 1976).
Serasah adalah bahan organik dari bagian pohon yang mati yang jatuh di lantai-hutan (daun, ranting dan alat reproduksi). Produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu. Brown (1984)
mengemukakan bahwa serasah adalah guguran struktur
vegetatif dan reproduktif yang disebabkan oleh faktor ketuaan, stress, faktor mekanik (misalnya angin), ataupun kombinasi dari keduanya dan kematian serta kerusakan dari keseluruhan tumbuhan oleh iklim (hujan dan angin). Produksi serasah diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada dasar hutan yang selanjutnya mengalami remineralisasi melalui tahapan-tahapan dekomposisi. Daun-daun mangrove yang jatuh didefinisikan oleh Chapman (1976) sebagai bobot materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah dalam periode waktu tertentu. Produksi serasah dapat diketahui dengan memperkirakan komponen-komponen dari produksi primer bersih yang dapat terakumulasi pada lantai hutan yang selanjutnya mengalami remineralisasi melalui tahapan-tahapan dekomposisi yang selanjutnya menghasilkan energi potensial bagi kehidupan konsumer. Serasah dari pohon mangrove merupakan sumber bahan organik yang penting. Melalui proses dekomposisi akan dirombak oleh mikroba menjadi energi dan berbagai senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain lain (Alrasjid 1988). Sebagian serasah terdekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, alga ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2002). Dari berbagai penelitian mengenai serasah nampaknya terdapat perbedaan mengenai hasil yang diperoleh di masing-masing tempat. Perbedaan ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove di setiap tempat tidaklah sama. Cracc (1964) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gugur mangrove adalah sebagai berikut: (1) Iklim, (2) Ketinggian tempat, (3) Kesuburan tanah, (4) Kelembaban tanah, (5) Kerapatan pohon dan bidang dasar, (6) Pengaruh waktu (musim), (7) Variasi tahunan, dan (8) Umur pohon.
Besarnya produktivitas serasah pada ekosistem mangrove dipengaruhi oleh (1) besarnya diameter pohon, (2) produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat fluktuasi pasang surut air laut, dan (3) keterbukaan dari pasang surut dimana makin terbuka makin optimal (Kusmana et al. 2000). Snedaker (1974), diacu dalam Nirwani (1999) mengemukakan bahwa produksi serasah daun
untuk setiap kawasan
mangrove adalah
berbeda.
Perbedaan jumlah serasah ini dapat disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk dan morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah. Sebutan serasah biasanya digunakan untuk bahan dalam ekosistem daratan khususnya bahan yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi, sedang detritus digunakan untuk bahan dalam ekosistem perairan (Mason 1977). Lear dan Turner (1977) mengemukakan bahwa bagian terbesar dari serasah merupakan bahan pokok tempat berkumpulnya bakteri dan fungi. Kemudian bahanbahan tersebut mangalami penguraian dan merupakan rantai makanan dari hewanhewan laut. Bagian partikel daun yang kaya akan protein ini dirombak oleh bakteri dan seterusnya dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan berlanjut sampai menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil (detritus) dan akhirnya dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustasea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari serasah sebagian dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan.
Sediadi dan Pamudji (1987) mengemukakan bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan mangrove. Mangrove dengan tegakan tua akan menghasilkan jatuhan serasah lebih banyak, dan tegakan Rhizophora
spp. menghasilkan serasah lebih banyak dibandingkan tegakan
Avicennia spp. Jumlah jatuhan serasah Rhizophora spp. meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimumnya didapatkan pada usia 10 tahun.
Pelepasan nutrisi selama dekomposisi serasah sangat penting dalam mempertahankan keberlangsungan siklus nutrisi di lingkungan alam.
Dengan
terpeliharanya siklus nutrisi maka pertumbuhan makrofita dapat berlangsung secara lestari. Produksi hara dalam siklus ini tidak saja sebagai faktor penting bagi produksi makrofita, akan tetapi juga untuk pertumbuhan plankton pada perairan pantai yang mempunyai hubungan dengan ekosistem mangrove. Odum (1971) menggambarkan peranan serasah daun mangrove dalam rantai makanan di daerah Florida Selatan seperti disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3
Rantai pangan berdasarkan pada daun-daun mangrove yang jatuh ke dalam perairan muara di Florida Selatan (Odum 1971).
Brown (1984) mengemukakan bahwa ada perbedaan antara serasah pada suatu waktu (litter-layer) dan serasah yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall) yaitu : 1. Standing crop atau litter-layer (serasah di lantai hutan) merupakan serasah yang ada pada suatu waktu pada wilayah tertentu dan dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan ( gram/m2, kcal/ha/tahun), dan 2. Produksi litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalan jangka waktu tertentu ( gram/m2/hari, kcal/ha/tahun).
Turnover rate (rata-rata perputaran unsur hara) dinyatakan sebagai tingkat total dari sejumlah zat yang dilepas atau yang dimasukkan dalam suatu bagian untuk suatu periode (misal, gram/ha). Konsep turnover rate berguna membandingkan tingkat/nilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu ekosistem. Odum (1971) mendefinisikan Turnover rate sebagai rasio dari kandungan yang ada (misal rasio produksi serasah terhadap standing crop atau litter-layer). Serasah yang telah terurai merupakan sumber utama unsur karbon, nitrogen baik untuk ekosistem hutan itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya. 2.2.4 Proses Dekomposisi Serasah Serasah dari dedaunan mangrove menyumbang unsur hara ke perairan yang dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme. Serasah yang kaya unsur hara lebih cepat terdekomposisi daripada serasah yang mengandung sedikit unsur hara. Residu tumbuhan yang mempunyai kandungan dinding sel yang tinggi memiliki konsentrasi unsur hara yang rendah.
Satchell (1974) dan Hornby et al. (1987), diacu dalam Yunasfi (2006) mengemukakan bahwa dekomposisi adalah kegiatan atau proses penguraian, pemisahan bahan-bahan organik atau resolusi (dan sesuatu) menjadi bagianbagian
kecil;
hancuran;
busuk.
Dekomposisi
bisa
berarti
mekanisme
penghancuran struktur tanaman mati dari tahap masih melekat pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan struktur sel yang kasar menjadi bentuk yang hancur. Mason (1977) membagi proses-proses dekomposisi menjadi tiga yaitu pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut berlangsung secara simultan. Leaching adalah mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organik oleh hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik, seperti pengikisan dan penguapan air dari serasah oleh angin dan pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan pecahan-pecahan detritus bahan organik secara bertahap oleh mahluk hidup. Mahluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai dekomposer, pengurai atau saproba.
Dengan dekomposisi, komponen serasah yang berukuran besar ini kemudian dipecah menjadi molekul-molekul organik. Molekul-molekul ini antara lain seperti polisakarida, asam organik, lignin, senyawa aromatik dan hidrokarbon alifatik, gula, alkohol, purin, asam amino, lipid protein dan asam nukleat yang merupakan ciri dari kehidupan (Landecker 1996). Keefektifan bakteri, fungi dan hewan tanah lainnya dalam proses dekomposisi ditentukan dari cepat atau lambatnya penyusutan bobot serasah yang telah terdekomposisi. Air dan CO2 merupakan senyawa sederhana yang mudah dihasilkan melalui dekomposisi. Proses dekomposisi serasah mangrove menghasilkan unsur hara yang diserap kembali oleh tumbuhan dan sebagian larut terbawa oleh air surut ke perairan sekitarnya. Penguraian serasah mangrove dalam perairan pantai menghasilkan unsur hara seperti nitrogen organik dan senyawa fosfat.
Di
Victoria, Australia materi yang berasal dari mangrove api-api (A. marina) ternyata sangat kaya unsur hara tersebut, terutama senyawa fosfat. Peranan mangrove begitu aktif dan penting dalam proses daur unsur hara. 2.2.5 Rantai makanan Detritus Hasil dekomposisi mangrove menghasilkan detritus, yang didefinisikan sebagai bahan organik yang masih dalam proses dekomposisi yang kaya akan energi karena mengandung populasi mikroba yang besar (Odum dan Heald 1975; Bano et al. 1997). Selain bakteri dan jamur, organisme lain juga berkontribusi untuk pembentukan detritus (D'Croz et al. 1989). Penulis menyimpulkan bahwa, detritus adalah semua sisa-sisa materi (partikel) bahan organik yang dihuni oleh organisme dekomposer (seperti jamur, bakteri, protozoa dan mikroalga). Aktivitas jamur yang mengurai serasah bakau mengluarkan pektinase, protease, dan amilase untuk menurunkan senyawa lignoselulosa (Findlay et al. 1986.). Detritus berfungsi sebagai sumber nutrisi dan merupakan dasar dari jaring makanan yang luas untuk organisme perairan yang memiliki nilai komersil. Melimpahnya material tanaman yang dihasilkan oleh mangrove adalah merupakan sumber makanan untuk organisme estuari. Namun demikian, umumnya biota tersebut tidak secara langsung memanfaatkan tetapi dimanfaatkan dalam bentuk detritus. Detritus mangrove menunjang populasi ikan setelah terbawa arus sepanjang pantai.
Pada ekosistem mangrove, rantai makanan yang terjadi adalah rantai makanan detritus. Rantai makanan detritus (detritus food chain) berawal dari proses dekomposisi luruhan daun dan ranting mangrove (bahan organik yang telah mati) yang dipecah oleh mikroorganisme (bakteri dan fungi) menghasilkan detritus. Detritus kemudian dimakan oleh hewan pemakan detritus, kemudian dimakan predatornya. Rantai makanan detritus adalah rantai memakan selalu lebih pendek dari rantai makanan penggembalaan secara umum. Dalam beberapa perkiraan, sebanyak 10 kali lebih banyak energi mengalir melalui rantai makanan detritus sebagai rantai makanan merumput. Rantai detritus, kurang energi yang hilang secara signifikan pada setiap tingkat piramida pada setiap transfer energi dari mangsa konsumen. Selama proses dekomposisi, serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme pemakan
deposit
seperti
moluska,
kepiting
dang
cacing
polychaeta.
Sumber utama detritus diperoleh dari guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan kemudian mengalami penguraian dan berubah menjadi partikel kecil yang dilakukan oleh mikroorganisme seperti bakteri dan jamur dan menghasilkan detritus. Hancuran bahan organik (detritus) ini menjadi bahan makanan penting (nutrien) bagi cacing, crustaceae, moluska dan hewan lainnya. Bengen (2002) mengemukakan bahwa sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi dan selanjutnya mengalami mineralisasi menjadi nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan sebagai makanannya. Bakteri dan fungi yang berperan dalam proses dekomposisi serasah mangrove akan melepas zat hara (nutrien) anorganik terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae, ataupun tumbuhan mangrove sendiri dalam proses fotosintesis; sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang, dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu jala/rantai makanan (Bengen dan Dutton 2004).