2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi dan Pembagian Risiko Terminologi risiko dalam kamus besar Bahasa Indonesia didefinisikan
sebagai suatu kondisi yang mengandung ketidak pastian (Diknas, 2003). Pada definisi tersebut tersirat dua kata yang serupa namun memiliki makna yang berbeda yaitu risiko dan ketidakpastian. Roumasset (1979) membedakan kondisi risiko dengan ketidakpastian berdasarkan ada tidaknya probabilitas yang dapat dijadikan pegangan atas kemungkinan terjadinya suatu kejadian. Menurut Roumasset (1979), risiko didefinisikan sebagai situasi dimana kemungkinan hasil dari suatu peristiwa yang sifatnya acak (random) dapat ditentukan dan besarnya probabilitas dari setiap peristiwa tersebut telah diketahui, sedangkan ketidakpastian adalah situasi dimana hasil dari suatu kegiatan dapat diketahui namun tingkat probabilitasnya tidak dapat diestimasi. Menurut Kountur (2006), risiko adalah kemungkinan kejadian yang merugikan. Berdasarkan pemahaman tersebut, ada tiga unsur yang terkait dalam sebuah risiko, yaitu: (1) kejadian, (2) kemungkinan dan (3) akibat. Jika diuraikan lebih jauh maka masih ada tiga unsur lagi yang dapat menjadi penentu besaran suatu risiko, pertama: eksposur, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan peluang keterlibatan pada suatu atau beberapa kejadian. Pada konteks ini maka semakin terekspos sesuatu maka risikonya akan semakin besar. Kedua: waktu, semakin lama sesuatu terekspos maka risikonya akan semakin besar dan ketiga: rentan, semakin mudah rusak/usang sesuatu maka semakin risikonya akan semakin besar. Secara umum, risiko dapat dikelompokkan berdasarkan akibat yang ditimbulkan dan penyebab timbulnya risiko (Kountur, 2006). Berdasarkan akibat yang ditimbulkan risiko dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu 1) risiko spekulatif dan 2) risiko murni. Risiko spekulatif adalah jenis risiko yang akibatnya selain merugikan dapat pula mendatangkan keuntungan, sedangkan risiko yang hanya mengakibatkan kerugian digolongkan kedalam risiko murni.
12
Ditinjau dari penyebabnya
maka risiko juga dibedakan menjadi risiko
keuangan dan risiko operasional. Risiko keuangan adalah jenis risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor keuangan seperti perubahan harga, perubahan mata uang dan perubahan tingkat bunga. Adapun risiko operasional adalah jenis risiko yang disebabkan oleh faktor-faktor operasional seperti manusia, teknologi, alam dan aturan. Risiko yang telah disebutkan oleh Kountur (2006) merupakan jenis-jenis risiko yang sifatnya umum. Secara spesifik Tjoekam (1993) mengemukakan beberapa risiko yang melekat pada suatu usaha, yaitu: (1) risiko alamiah: yaitu risiko yang timbul oleh keadaan alam seperti gempa bumi, perubahan iklim atau musim, gelombang besar dan lain-lain yang akan mempengaruhi jalannya usaha. (2) risiko manusia, yaitu risiko yang timbul karena perbuatan manusia, seperti persaingan usaha, temuan teknologi baru, politik, inflasi, dampak lingkungan, spekulasi, ekonomi dan moneter, keamanan, sosial budaya dan sebagainya yang dapat mempengaruhi jalannya usaha yang dibiayai; dan (3) risiko ketidakpastian, yaitu risiko yang ditimbulkan oleh ketidakpastian yang pada gilirannya menimbulkan spekulasi. Istilah risiko juga telah jamak disebutkan dalam kegiatan perbankan. Teori portofolio mendefinisikan risiko sebagai deviasi standar tingkat keuntungan. Hal ini disebabkan karena deviasi menunjukkan seberapa jauh kemungkinan nilai yang diperoleh menyimpang dari yang diharapkan (expected value). Semakin besar penyimpangan maka kemungkinan risiko yang dihadapi semakin tinggi. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI tahun 2003, terdapat delapan jenis risiko yang harus dikelola secara baik oleh bank, yaitu risiko kredit, pasar, likuiditas, operasional, hukum, strategis, reputasi dan risiko kepatuhan. Risiko kredit adalah resiko yang terjadi karena kegagalan pihak lawan (counterparty) untuk memenuhi kewajibannya. Risiko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti perkreditan, aktivitas treasury, dan investasi, pembiayaan perdagangan yang tercatat dalam banking book maupun trading book. Kerugian risiko kredit ini meliputi eksposur atau sejumlah tertentu
13
yang terkena risiko, tingkat pengembalian atau recovery rate, investasi dalam obligasi dan pinjaman yang terkena risiko kredit (Bank Indonesia, 2003). Risiko pasar adalah risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki bank, yang sifatnya merugikan (adverse movement). Faktor-faktor yang termasuk variabel pasar diantaranya suku bunga, harga dan nilai tukar. Secara dimensional risiko pasar dapat diuraikan dalam bentuk risiko tingkat suku bunga (interest rate risk) dan risiko nilai tukar valuta asing (foreign excange rate). Risiko suku bunga adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat pergerakan suku bunga di pasar yang berlawanan dengan posisi atau transaksi bank yang mengandung risiko suku bunga (Bank Indonesia, 2003). Menurut Bank Indonesia (2003), risiko nilai tukar adalah risiko kerugian akibat pergerakan yang berlawanan dari nilai tukar pada saat bank memiliki posisi terbuka. Risiko harga adalah risiko dimana bank harus membayar lebih untuk membeli suatu instrumen keuangan dan harga instrumen tersebut telah menurun. Definisi lain dari risiko harga adalah nilai aset keuangan yang dibeli dan dipegang pada harga yang lebih tinggi namun dijual dengan harga yang lebih rendah sehingga menimbulkan kerugian. Dari perspektif nasabah bank yang produksi dari komoditinya mendapat pembiayaan kredit dari bank, maka fluktuasi dan volatilitas harga komoditi di pasar dapat menimbulkan terjadinya risiko gagal bayar atau default akibar menurunnya repayment capacity nasabah. 2.2 Risiko Usaha Perikanan Tangkap Terdapat keterkaitan yang erat antara risiko dengan karakterisitik usaha. Karakterisitik khusus yang terdapat pada kegiatan perikanan tangkap diantaranya: 1) sumberdaya ikan yang selalu bermigrasi pada ruang yang tidak terbatas; 2) common property resource, yaitu merupakan milik bersama atau tidak mengenal hak kepemilikan yang dapat dimanfaatkan oleh semua orang (open access); 3) adanya pengaruh dalam kondisi alami dalam melakukan eksploitasinya, seperti: musim, arus, gelombang; 4) jenis sumberdaya ikan yang dieksploitasi sangat beragam dengan jumlah yang tidak terlalu besar; 5) lahan tangkap ikan (fishing ground) semakin menurun bagi kegiatan penangkapan, karena kegiatan
14
pemukiman dan industri limbahnya secara langsung maupun tidak langsung, mencemari perairan pantai; 6) sering terjadi konflik kepentingan antara nelayan skala kecil dengan industri perikanan skala besar; 7) dynamic resource, yaitu stok ikan bisa berubah; 8) vulnarable resource, yaitu rentan terhadap perubahan ekosistem pesisir dan lautan; 9) usaha perikanan masih didominasi perikanan rakyat kecil yang masih tradisional; 10) kemampuan usaha permodalan lemah (Ritonga, 2004). Selanjutnya
Ritonga
(2004)
mengemukakan
bahwa
berdasarkan
karakteristik khusus perikanan tangkap tersebut, maka beberapa risiko yang melekat pada usaha perikanan tangkap antara lain: (1) production risk, yaitu meliputi risiko atas hasil tangkapan nelayan yang diharapkan, seperti gangguan alam (cuaca, arus), stok ikan yang makin tipis; (2) natural risk, yaitu risiko akibat kondisi alam, biasanya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya risiko produksi, seperti terjadinya angin badai atau topan; (3) price risk, yaitu harga hasil tangkapan ikan tidak sesuai dengan yang diharapkan, misalnya karena ada permainan tengkulak; (4) technology risk, yaitu perubahan-perubahan yang terjadi
oleh
pesatnya
kemajuan
teknologi,
yang
dapat
menimbulkan
ketidakpastian; (5) other risk, yaitu macam risiko lainnya . 2.3 Pengukuran Risiko Seperti telah dikemukakan pada bagian definisi, risiko mengandung tiga unsur penting yaitu 1) kejadian, 2) kemungkinan dan 3) akibat. Bersandar dari ketiga unsur inilah dapat dilakukan pengukuran risiko. Menurut Kountur (2006), ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengukur kemungkinan dan akibat dari suatu kejadian diantaranya metode Poisson, binomial, z-score, weightaverage approximation, value at risk (VAR) dan individual/group approximation. Metode Poisson, binomial, z-score dan VAR hanya dapat dilakukan apabila tersedia data histories berupa catatan kejadian di masa lalu.
Untuk kondisi
keterbatasan data historis maka dapat dilakukan analisis secara perkiraan atau metode approximation. Pengelompokan dari masing-masing metode disajikan pada gambar berikut:
15
Kejadian
Kemungkinan
Peristiwa
Akibat
Penyimpangan
- Poisson - Binomial - Weight average approximation
- VAR - Individual/group approximation
z-score
Sumber: Kountur (2006)
Gambar 3 Metode yang digunakan dalam pengukuran risiko.
2.4
Definisi dan Klasifikasi Usaha Perikanan Tangkap Usaha perikanan tangkap didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang
bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak di budidayakan dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah, dan mengawetkan (Alhidayat, 2002). Menurut Charles (2001) skala usaha perikanan tangkap dapat ditinjau dari berbagai aspek diantaranya ukuran kapal yang dioperasikan, lokasi fishing ground dan
tujuan
produksinya.
Pengelompokan
tersebut
dilakukan
melalui
perbandingan perikanan skala kecil (small scale fisheries) dengan perikanan skala besar (large scale fisheries). Selanjutnya Smith (1983) mengemukakan bahwa skala usaha perikanan dapat dilihat dengan cara membandingkan perikanan berdasarkan situasi technico-socio-economic nelayan.
Berdasarkan situasi
tersebut kegiatan perikanan dapat digolongkan kedalam skala industri dan skala tradisional. Kesteven (1973) mengelompokkan nelayan kedalam tiga kelompok yaitu industri, artisanal dan subsisten.
Nelayan industri dan artisanal berorientasi
komersil sedangkan nelayan subsisten umumnya memanfaatkan hasil tangkapan untuk konsumsi harian (Tabel 1).
16
Tabel 1 Perbandingan nelayan industri dan tradisional dari sisi technicio-socioeconomic Pembanding
Tradisional
Industri
Subsisten
Tepat, kecil, spesialisasi yang tidak terbagi Biasanya dimiliki oleh nelayan yang berpengalaman atau nelayan gabungan Seringkali merupakan pekerjaan sampingan Kecil; dengan motor dalam atau motor tempel kecil di luar Sebahagian/seluruhnya memakai materialmaterial buatan mesin Bantuan mesin minim
Tenaga sendiri atau keluarga, atau kelompok masyarakat Tersebar diantara partisipan-partisipan
1
Unit Penangkapan
2
Kepemilikan
3 4
Komitmen waktu Kapal
5
Perlengkapan
6
Sifat pekerjaan
7
Investasi
8
Penangkapan (per unit penangkapan) Produktivitas (per orang nelayan) Pengaturan hasil tangkapan
Besar
Rendah; penghasilan nelayan (seringkali diambil dari pembeli hasil tangkapan) Menengah atau rendah
Tinggi
Menengah atau rendah
Rendah hingga sangat rendah
Dijual ke pasar yang terorganisir
11
Pengelolaan hasil tangkapan
12
Keberadaan ekonomi nelayan Kondisi sosial
Diolah menjadi tepung ikan atau untuk bahan konsumsi bukan untuk manusia Seringkali kaya
Penjualan untuk lokal yang tak terorganisir; sebahagian dikonsumsi sendiri Beberapa dikeringkan, diasap, diasinkan untuk kebutuhan manusia Menengah kebawah
Umumnya dikonsumsi nelayan itu sendiri, keluarganya atau dibarter Kecil atau tidak ada sama sekali; semuanya untuk dikonsumsi Minimal
Terpadu
Kadang terpisah
Masyarakat yang terisolasi
9
10
13
Tepat, dengan divisi pekerjaan dan prospek jelas Dikonsentrasikan pada beberapa pengusaha, kadang bukan nelayan Biasanya penuh waktu
Artisanal
Bertenaga dengan peralatan yang memadai Buatan mesin atau pemasangan lainnya Dengan bantuan mesin Tingi dengan proporsi yang besar diluar nelayan
Kebanyakan paruh waktu Tidak ada taua berbentuk kano Material-material buatan tangan, dipasang pemiliknya Dioperasikan dengan tangan Sangat rendah sekali
Rendah hingga sangat rendah
Pengklasifikasian usaha perikanan tangkap juga terdapat dalam statistik perikanan tangkap. Berdasarkan statistik perikanan, usaha penangkapan ikan dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran perahu/kapal yang digunakan. Usaha penangkapan ikan yang menggunakan kapal ukuran <30 GT dikategorikan sebagai usaha kecil, sedangkan usaha yang menggunakan perahu berukuran >30 GT digolongkan sebagai usaha besar.
17
2.5 Kebijakan Kredit Sektor Perikanan dan Kelautan Kredit merupakan salah satu kebijakan publik berupa subsidi yang dalam definisi WTO merupakan kontribusi finansial pemerintah dalam bentuk fund transfer (loan, grant dan sebagainya) maupun pelayanan umum (pembangunan infrastruktur). Pada sektor perikanan khususnya subsektor perikanan tangkap, kredit dibutuhkan untuk investasi sarana penangkapan ikan, biaya operasional penangkapan ikan, kegiatan pasca panen, fasilitas pemasaran dan jasa serta pembangunan infrastrktur (Fauzi, 2005). Perkreditan kegiatan perikanan dimulai sejak dilakukannya konversi perahu layar ke perahu motor tempel atau kapal motor pada awal dekade 80-an. Ketidakberdayaan nelayan untuk memodernisasi armada penangkapannya menjadi dasar dilakukannya program perkreditan tersebut (Bailey, 1988). Salah satu bentuk program bantuan kredit yang terkait dengan bidang perikanan adalah KIK/KMKP (kredit investasi kecil/kredit modal kerja permanen) yang merupakan kredit jangka menengah dan panjang. Kredit ini diperuntukkan untuk rehabilitasi, modernisasi dan perluasan proyek (Facthuddin, 2006). Selanjutnya Fatchuddin (2006) menambahkan bahwa perbankan sebagai industri yang high risk dan high regulated senantiasa dihadapkan pada risiko yang berkaitan erat dengan fungsi dan tanggungjawab dalam mengelola dana masyarakat maupun sebagai lembaga intermediasi yang juga harus mampu memberikan kredit kepada sektor usaha yang membutuhkan. Sesuai penjelasan pasal 8 UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan jo pasal 8 UU No.10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan ditegaskan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko sehingga dalam pelaksanaanya harus memperhatikan prinsip kehati-hatian (Prudencial Banking Practices) dan asas pemberian kredit yang sehat (Sound Banking Credit). Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.7/2/PBI/2005 menekankan bahwa dalam melakukan penilaian prospek usaha debitur harus selalu dikaitkan dengan upaya memelihara lingkungan. Oleh karena itu, model inovasi pembiayaan perbankan memperhitungkan keberlanjutan sumberdaya
18
menjadi sangat penting disadari karena ongkos pemeliharaan lingkungan jauh lebih murah dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk risiko hukum, risiko reputasi dan risiko lainnya. Fauzi (2005) menguraikan bahwa selain skim kredit KIK/KMKP, pemerintah melalui Departemen Koperasi dan lembaga keuanga terkait kemudian mengeluarkan berbagai skim kredit. Departemen Koperasi telah meluncurkan sekitar 17 skim kredit, walaupun banyak diantaranya tidak menyentuh langsung kegiatan perikanan tangkap.
Jumlah kredit yang diberikan dalam skim ini
dibawah Rp.50 juta. Pemerintah menetapkan program pengentasan kemiskinan sebagai fokus kebijakan untuk mencapai pembangunan ekonomi. Bentuk implementasi dari kebijakan tersebut adalah pemberian kredit taskin kepada kelompok miskin termasuk nelayan yang dianggap sebagai kelompok yang termiskin. Sampai akhir tahun 2000 sudah tersalurkan sebanyak Rp 22 milyar yang tersebar di 22 propinsi, namun belum diketahui secara pasti proporsi kredit yang disalurkan pada nelayan (Fatchuddin, 2006). Selain bersumber dari dana dalam negeri, pemerintah Indonesia melalui bantuan dari lembaga donor seperti ADB meluncurkan program RIGP (Rural Income Generating Project) yang diperuntukkan untuk memberdayakan masyarakat pedesaan khususnya yang menyangkut aspek finansial.
Besarnya
kredit yang telah disebarkan untuk perikanan hingga saat ini belum terinci dengan jelas, misalnya Departemen Keuangan melalui BRI telah menyalurkan kredit peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil (P4K). Pada tahun 1991 dan 1992 penyaluran kredit P4K yang terealisasi untuk masyarakat sosial ekonominya berada dibawah garis kemiskinan adalah Rp.1.047.000, dengan plafon sebesar Rp. 265.244.000 (BRI, 1991). Berdasarkan laporan Bank Indonesia diketahui bahwa selama periode 19911996 penyaluran kredit untuk sektor perikanan mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Pada tahun 1991 tersalurkan kredit sebesar Rp.1.149,7 milyar dan meningkat menjadi hampir Rp. 2 trilyun pada tahun 1996. Namun jika
19
dibandingkan dengan sektor lainnya, penyaluran kredit pada sektor perikanan masih relatif kecil (Praptosuhardjo, 1996). Selanjutnya Praptosuhardjo (1996) menjelaskan bahwa selama periode tersebut kredit yang disalurkan pada sektor perikanan diarahkan untuk pembiayaan usaha perikanan laut termasuk udang (50% dari total kredit perikanan). Berdasarkan data pinjaman keuangan sektor perikanan dari BRI terlihat bahwa proporsi pinjaman yang macet relatif kecil namun secara nominal jumlah kredit yang macet masih diatas Rp.500 juta. Hal ini menunjukkan bahwa sifat kegiatan penangkapan yang cenderung berburu dapat menjadi salah satu faktor penyebab tingginya kemacetan kredit di sektor perikanan. Tabel 2 Data pinjaman sektor perikanan 2004-2005 (Rp.juta) Bidang usaha Perikanan laut
Perikanan laut lainnya
Kolektibilitas Lancar DPK Kurang lancar Diragukan Macet Total Lancar DPK Kurang lancar Diragukan Macet Total
2004 12.962 1.095 672 66 1.041 15.583 8.986 770 262 0 619 10.637
2005 15.394 1.234 50 11 739 17.427 37.753 761 0 11 710 39.236
Sumber: Bank Rakyat Indonesia (2005), dikutip dalam Fatchuddin (2006)
Sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 pola pengembangan kredit perikanan secara institusional telah berubah.
Program
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan program yang ditujukan langsung untuk menjembatani kendala modal sektor perikanan pesisir. Salah satu mitra DKP dalam kegiatan PEMP adalah Bank BUKOPIN. Pada tahun 2005, program PEMP menawarkan pola syariah melalui kerjasama dengan Bank Mandiri. Program ini diberi nama Kegiatan Usaha Lembaga Keuangan Mikro Syariah/Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Berbeda dengan pola konvensional
20
pengembangan kredit mikro ini mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan perbankan syariah dimana penyaluran dana dapat berupa unit simpan pinjam, Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) maupun Baitul Qirad (DKP, 2006). Selain melalui program PEMP, DKP juga telah bekerjasama dengan Bank Mandiri untuk menyalurkan program kredit perikanan yang disebut kredit mina mandiri. Hingga triwulan I dan II tahun 2005 kredit mina mandiri ini telah mencapai Rp. 5,6 trilyun. Namun demikian hanya sekitar 20% dari total kredit yang disalurkan untuk kegiatan perikanan tangkap sisanya untuk pergudangan, konstruksi pelabuhan, perdagangan dan kegiatan lainnya (Kompas, 2005). 2.6 Manajemen Risiko dalam Perencanaan Pemberian Kredit Perbankan Implementasi manajemen risiko bagi bank bertujuan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan setiap risiko yang dapat muncul dari semua aktivitas dan transaksi operasional bank. Penerapan manajemen risiko yang baik mengindikasikan bahwa bank dalam kegiatan operasionalnya telah memenuhi ketentuan internal maupun ketentuan Bank Indonesia (Bank Indonesia, 2003). Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Risiko bagi Bank Umum dikemukakan bahwa ruang lingkup manajemen risiko dalam kegiatan perbankan sangat komprehensif meliputi pengawasan aktif komisaris dan direksi terhadap operasionalisasi bank, kecukupan kebijakan, prosedur dan penetapan batas, kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko dan pengendalian internnya.
Operasionalisasi
lingkup tersebut diwujudkan dalam bentuk proses sebagai berikut: (1) Penetapan kriteria risiko yang dapat diterima oleh bank berdasarkan tujuan kelayakan kredit dan aktivitas usaha lainnya. Batas risiko maksimum kredit yang dapat ditolerir harus dikaitkan dengan jumlah total modal bank yang akan terkena risiko, baik secara keseluruhan maupun per jenis produk layanannya
21
(2) Penilaian dan analisis keseluruhan risiko bank harus selalu dilakukan setiap periode tertentu sesuai dengan jenis risiko, kebutuhan dan pengembangan bank (3) Pengambilan keputusan yang berhubungan dengan produk dan aktivitas kegiatan usaha yang baru serta perubahan dari keseluruhan profil risiko bank Dengan demikian dalam konsep perencanaan pemberian kredit sudah memasukkan unsur manajemen risiko baik risiko suku bunga, risiko harga dan risiko kredit. Menurut Caouette et al., (1998) risiko kredit dapat diklasifikasi menjadi 2 hal yaitu: 1) Expected Loss (EL), adalah kerugian kredit yang telah diantisipasi dan merupakan biaya yang harus ditanggung oleh bank akibat melakukan aktivitas bisnis perkreditan. 2) Unexpected Loss (UL) merupakan volatilitas dari kerugian kredit dimana UL inilah yang merupakan risiko kredit yang hatus ditanggung oleh bank karena melakukan aktivitas bisnis perkreditan. Menurut Bank for International Settlements (BIS) tahun 2005, expected loss dapat dibagi menjadi empat faktor yaitu: (1) Probability of Default (PD) ialah probabilitas dari borrower counterparty terjadi default. (2) Exposure at Default (EAD) adalah estimasi dari jumlah outstanding kredit ketika terjadi default. (3) Loss Given Default (LGD) adalah estimasi dari jumlah kerugian dalam prosentase dari EAD, yang didasarkan pada jaminan dan lending seniority. (4) Maturity merupakan faktor kunci yang mempengaruhi risiko kredit dari obligasi dan loan.
22
2.7 Kondisi Umum Palabuhanratu 2.7.1 Letak geografis, kondisi topografis serta kondisi oceanografis Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah pesisir di Provinsi Jawa Barat yang memiliki 9 kecamatan pesisir. Istilah kecamatan pesisir didefinisikan sebagai wilayah kecamatan yang sebahagian atau seluruh wilayahnya berbatasan langsung dengan lautan. Kesembilan kecamatan pesisir yang berada dalam lingkup administrasi Kabupaten Sukabumi adalah 1) Kecamatan Simpenan, 2) Palabuhanratu, 3) Cikakak, 4) Cisolok, 5) Ciemas, 6) Ciracap, 7) Surade, 8) Cibitung dan 9) Tegalbuleud. Salah satu kecamatan yang memiliki sumber daya perikanan yang cukup potensial adalah Kecamatan Palabuhanratu. Kecamatan Palabuhanratu merupakan ibukota Kabupaten Sukabumi, dengan luas wilayah kurang lebih 27.210,13 Ha atau sekitar 6,59 % dari total luas wilayah Kabupaten Sukabumi. Kecamatan ini kemudian terbagi menjadi 13 desa dan satu kelurahan, yaitu Kelurahan Palabuhanratu, Desa Citepus, Tonjong, Citarik, Pasirsuren, Cidadap, Loji, Cibuntu, Mekarasih, Kertajaya, Cihaur, Biruwangi dan Desa Cibodas. Secara administratif batas wilayah Kecamatan Palabuhanratu adalah sebagai berikut: (1) Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia; (2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Warung Kiara dan Lengkong; (3) Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Cisolok; dan (4) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ciemas dan Ciracap. Ditinjau dari sisi geografis, Perairan Palabuhanratu terletak pada posisi 6°57’-7°7’ LS dan 106°22’-106°33’ BT, dengan panjang garis pantai ± 105 km. Perairan Palabuhanratu berbentuk teluk yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Teluk Palabuhanratu merupakan tempat bermuaranya beberapa sungai, yaitu Sungai Cimandiri, Cibareno, Cibuntu, Cikantak, Citepus, Cimaja, dan Sungai Cipalabuhan. Dua sungai pertama dapat digolongkan sebagai sungai besar, sedangkan sungai-sungai lainnya tergolong sungai kecil. demikian memberi pengaruh yang sangat besar terhadap Teluk Palabuhanratu.
Keadaan
kesuburan Perairan
23
Secara topografis wilayah Palabuhanratu mempunyai tekstur daerah yang kasar. Hal tersebut ditandai dengan kondisi daerah yang sebagian besar berbukit dengan kemiringan 40 %, berupa lereng pegunungan, dataran rendah yang sempit dan banyak didapat daerah aliran sungai. Kondisi topografis seperti demikian merupakan ciri khas dari daerah pesisir pantai selatan Pulau Jawa. Ditinjau dari topografi dasar laut, kedalaman 200 m dari teluk tersebut dapat dijumpai hingga jarak 300 m dari garis pantai. Bagian tengah Teluk Palabuhanratu merupakan lereng kontinental (continental shelf) dengan kedalaman mencapai 600 m. Menurut Pariono (1988), sifat arus di Teluk Palabuhanratu berlawanan arah dengan arus laut di Samudera Hindia. Antara bulan Februari sampai Juni, arus permukaan di selatan jawa bergerak ke arah timur sepanjang pantai Jawa, sedangkan arus di Samudera Hindia menuju ke arah barat. Kecepatan arus pada bulan Februari sekitar 75 cm/detik. Kecepatan ini berkurang menjadi 50 cm/detik selama bulan April sampai Juni. Pergerakan arus pantai di selatan Jawa selama Agustus cenderung mengarah ke barat dengan kecepatan 75 cm/detik. Kecepatan dan arah arus tersebut ternyata bersamaan dengan kecepatan dan arah arus di Samudera Hindia.
Sampai bulan Oktober, arah arus masih menuju ke barat
dengan kecepatan 50 cm/detik. Pasang surut di perairan Palabuhanratu bersifat campuran dominasi pasang surut ganda. Arus menyusur pantai pantai (longshore current) yang diakibatkan gelombang berkisar antara 0,5 sampai 1 m/detik.
Arah arus berubah sesuai
dengan perubahan arah gelombang datang. Gelombang yang datang dari arah barat mengakibatkan arah arus yang meyusur pantai bergerak ke utara dan arah gelombang dari barat daya menyebabkan arah arus pantai bergerak ke selatan. 2.7.2 Keadaan Umum Perikanan Laut Fokus kegiatan perikanan tangkap di wilayah Kabupaten Sukabumi terletak di Kecamatan Palabuhanratu dan Cisolok.
Keberadaan fasilitas perikanan
perikanan yang cukup besar di wilayah tersebut, yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu di Kecamatan Palabuhanratu dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Cisolok di Kecamatan Cisolok merupakan faktor penentu. Pemanfaatan sumberdaya ikan perairan laut di Kabupaten Sukabumi diduga baru
24
mencapai 36%, sehingga peluang pengembangan perikanan tangkap di perairan ini masih besar apalagi untuk daerah lepas pantai dan ZEEI (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, 2005). 1) Volume dan nilai produksi perikanan laut Terminologi produksi perikanan laut adalah semua hasil penangkapan ikan atau binatang air lainnya yang ditangkap dari sumber perikanan alami (laut) yang diusahakan oleh perusahaan perikanan. Selama lima tahun terakhir (2002-2006), volume produksi perikanan di Palabuhanratu cenderung berfluktuasi. Volume produksi tertinggi dicapai pada tahun 2005 sebesar 6.600.530 kg. Nilai tersebut meningkat 42,04 % dibandingkan volume produksi tahun 2004. Adapun volume produksi terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar 2.890.118 kg (Tabel 3). Meskipun volume produksi cenderung berfluktuasi namun nilai produksi perikanan menunjukkan tren peningkatan.
Nilai produksi perikanan laut di
Palabuhanratu yang tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar Rp 32.550.912.620 meningkat 1,27 % dibandingkan nilai produksi tahun 2005. Peningkatan nilai produksi paling drastis terjadi pada tahun 2005, dimana persentase peningkatan nilai produksi mencapai 105,18% dibandingkan tahun 2004. Kondisi ini diduga disebabkan karena kenaikan harga BBM yang sempat terjadi beberapa kali dalam selang waktu yang tidak lama sehingga harga-harga berbagai barang meningkat drastis, begitu pula dengan harga ikan. Nilai produksi terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar Rp 9.885.365.315. Perkembangan volume dan nilai produksi selengkapnya tertera pada Tabel 3 Tabel 3
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
Perkembangan volume dan nilai produksi perikanan laut di Palabuhanratu tahun 2002– 2006 Volume Ikan ( Kg)
Perkembangan ( %)
Nilai Produksi (Rp)
Perkembangan (%)
42,04 -17,97 96,00 -17,25
9.885.365.315 15.273.292.568 15.670.740.946 32.153.934.823 32.550.912.620
54,50 2,60 105,18 1,23
2.890.118 4.105.260 3.367.517 6.600.530 5.461.561
Sumber : PPN Palabuhanratu (2007)
25
2) Unit penangkapan ikan Unit penangkapan ikan merupakan suatu kesatuan teknis yang saling terkait dan menunjang dalam operasi penangkapan yang terdiri dari alat tangkap, kapal dan nelayan. Kegiatan perikanan tangkap di Palabuhanratu ditunjang oleh berbagai jenis unit penangkapan ikan dengan jumlah relatif besar. Unit penangkapan ikan tersebut meliputi jaring insang (gillnet), jaring lingkar (purse seine), payang, pancing, jaring angkat (liftnet), dan jaring kantong (bagnet). Ditinjau dari segi metode pengoperasian alat tangkap, maka teknologi dan peralatan yang digunakan nelayan di Palabuhanratu masih tergolong tradisional. Jangkauan operasi unit penangkapan pun masih terbatas di daerah pantai sehingga nelayan sangat tergantung pada sumberdaya di daerah pantai.
Berdasarkan
catatan kantor PPN Palabuhanratu, keberadaan alat tangkap di wilayah Palabuhanratu cenderung meningkat selama periode 2002-2006, meskipun pada tahun 2003 sempat mengalami penurunan. Penggunaan alat tangkap terbesar tercapai pada tahun 2006 yaitu 943 unit. Empat jenis alat tangkap yang dominan digunakan nelayan di wilayah ini pada tahun 2006 adalah: (1) bagan (27,88%), (2) pancing ulur (27,04%), (3) payang (17,60%) dan gillnet (9,96%). Uraian tentang perkembangan alat tangkap selama periode 2002-2006 disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4
Perkembangan jumlah alat tangkap di PPN Palabuhanratu tahun 2002 – 2006
Jenis Alat Tangkap Payang Pancing Ulur Bagan Gillnet Purse Seine Rawai Tuna Long line
Rampus Trammel net Jaring Klitik Pancing Layur Pancing tonda Jumlah
2002 64 204 102 135 1 12 39 -
2003 85 168 107 151 3 6 17 11 -
Tahun 2004 89 203 96 147 8 25 36 48 27 22 17
2005 101 162 288 40 7 10 71 26 23 14 74
557
548
718
816
Sumber : PPN Palabuhanratu (2007)
2006 166 255 263 94 2 7 34 46 31 25 20 943
26
Beragamnya jenis alat tangkap yang digunakan nelayan berdampak pada jenis ikan hasil tangkapan yang diperoleh. Pada tahun 2006, jenis ikan hasil tangkapan yang dominan diperoleh nelayan diantaranya cakalang (Katsuwonus pelamis), yellow fin tuna, tuna big eye, eteman, tongkol lisong, tongkol abu-abu, tembang (Sardinella fimbrata), rebon (Mysis sp), layur (Trichiurus sp), dan peperek (PPN Palabuhanratu, 2007). Prosentase hasil tangkapan ikan dominan meliputi 84,93% dari total tangkapan tahun 2006 yang jumlahnya 5.461.561 ton (Gambar 4).
TMB 6,8%
LYR 4,1%
PPR 2,6%
RBN 3,9%
LAIN 15,1% CKL 18,3%
TAA 9,3%
TL 8,3% ETM 8,9%
Keterangan: CKL : cakalang RBN : rebon TMB : tembang
TBE 10,3%
TL : tongkol lisong ETM : eteman TAA : tongkol abu-abu
TYF 12,4%
PPR : peperek TBE : tuna big eye TYF : tuna yellow fin LYR : layur
Sumber : PPN Palabuhanratu (2007)
Gambar 4 Jenis ikan yang ditangkap nelayan di Palabuhanratu pada tahun 2006. Kapal merupakan faktor penting diantara komponen unit penangkapan ikan lainnya dan merupakan modal terbesar yang ditawarkan pada usaha penangkapan ikan. Kapal penangkap ikan berguna sebagai wahana transportasi yang membawa seluruh unit penangkapan ikan menuju fishing ground atau daerah penangkapan ikan, serta membawa pulang kembali ke fishing base atau pangkalan beserta hasil tangkapan yang diperoleh. Ada dua jenis kapal atau perahu yang digunakan nelayan di Palabuhanratu yaitu perahu motor tempel (PMT) dan kapal motor (KM). Kedua jenis kapal tersebut terbuat dari material kayu. Perahu motor tempel menggunakan motor tempel (outboard engine) yang diletakkan di bagian luar kapal, umumnya perahu motor tempel ini digunakan dalam usaha perikanan skala kecil karena harga
27
perahu yang relatif terjangkau. Kapal motor menggunakan mesin yang diletakkan di bagian dalam badan kapal (inboard engine). Umumnya kapal motor digunakan untuk usaha perikanan yang mempunyai skala cukup besar.
Perkembangan
jumlah kapal/perahu di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perkembangan jumlah perahu atau kapal di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu periode 2002 – 2006
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
Perahu Motor Tempel 317 253 266 428 511
Jenis Perahu atau Kapal Perikanan Kapal Motor (GT) < 10 11 - 20 21 – 30 106 106 111 124 153
3 3 4 9 4
13 8 10 28 53
Jumlah (Unit) > 30 13 11 13 68 77
452 381 404 657 798
Sumber : PPN Palabuhanratu (2007)
Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa jumlah unit kapal di Palabuhanratu banyak mengalami fluktuasi. Jumlah unit tertinggi terdapat pada tahun 2006 dengan komposisi PMT sebanyak 511 unit (64%) dan kapal motor sebanyak 287 unit (36%), sedangkan jumlah unit terendah terdapat pada tahun 2003 dengan komposisi PMT sebanyak 253 unit (66,40%) dan kapal motor sebanyak 128 unit (33,60%). Nelayan merupakan salah satu komponen penting dalam unit penangkapan ikan, karena nelayan adalah orang-orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan. Berdasarkan asal daerahnya, nelayan yang ada di wilayah Palabuhanratu dapat dikategorikan sebagai nelayan asli dan nelayan pendatang. Nelayan asli adalah penduduk setempat yang telah turun temurun berprofesi sebagai nelayan sedangkan nelayan pendatang adalah penduduk yang berasal dari wilayah lain yang berprofesi sebagai nelayan. Nelayan pendatang umumnya berasal dari Cirebon, Cilacap, Cidaun, Binuangen dan Indramayu. Ditinjau dari sisi waktu kerja, nelayan di Palabuhanratu dapat dikelompokkan menjadi nelayan penuh dan sambilan. Nelayan penuh merupakan nelayan yang sehari-harinya berprofesi sebagai nelayan, sedangkan nelayan sambilan adalah
28
nelayan yang hanya pada waktu-waktu tertentu saja melakukan pekerjaan menangkap ikan. Selain dikotomi seperti di atas, nelayan Palabuhanratu juga dapat dibedakan atas nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memilki armada penangkapan ikan atau disebut juga juragan. Adapun nelayan buruh adalah orang yang bekerja kru atau anak buah kapal (ABK) diatas kapal. Juragan ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) Juragan laut adalah pemilik armada/perahu penangkapan yang ikut dalam operasi penangkapan. (2) Juragan perahu adalah pemilik armada atau perahu penangkapan tetapi tidak ikut dalam operasi penangkapan ikan. Jumlah nelayan di Palabuhanratu selama periode 2002-2006 cenderung meningkat setiap tahunnya. Jumlah terbesar nelayan yang beraktivitas di Palabuhanratu terjadi pada tahun 2006 sebesar 4.371 jiwa, jumlah ini meningkat sebesar 25% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 3.498 jiwa. Data lengkap mengenai perkembangan jumlah nelayan yang beraktivitas di Palabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Perkembangan jumlah nelayan (jiwa) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu periode 2002 – 2006 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006
Nelayan (Jiwa) 2.519 3.340 3.439 3.498 4.371
Perkembangan (%) 33,0 % 3,0 % 2,0 % 25,0 %
Sumber : PPN Palabuharatu (2007)
3) Daerah penangkapan ikan, musim dan iklim Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan nelayan Palabuhanratu umumnya dilakukan di sekitar perairan artisanal (di bawah 3 mil) terutama disekitar perairan yang membentuk satu kawasan teluk seperti Teluk Palabuhanratu, Teluk Ciletuh, serta beberapa teluk yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kedua teluk tersebut.
29
Penentuan daerah penangkapan ikan (fishing ground) biasanya dilakukan berdasarkan pengalaman nelayan yang melakukan trip sebelumnya dimana banyak diperoleh hasil tangkapan, dan juga disesuaikan dengan ukuran kapal dan jenis alat tangkap yang digunakan. Hampir semua kapal dengan ukuran <10 GT dan perahu motor tempel melakukan aktivitas penangkapan di sekitar Teluk Palabuhanratu. Informasi detail tentang lokasi penangkapan ikan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7
Daerah penangkapan ikan (DPI) beberapa alat tangkap ikan di Palabuhanratu
No
Jenis/ukuran kapal
1
Perahu motor tempel
2
Kapal Motor (<10 GT)
Jenis alat tangkap Payang Pancing Rampus Jaring klitik Trammel net Purse seine Bagan Gillnet
Pancing 3 4 5
Kapal Motor (11-21 GT) Kapal Motor (21-30 GT) Kapal Motor (>30 GT)
Gillnet Rawai tuna Gillnet Rawai tuna Gillnet Rawai tuna Tuna longline
Daerah Penagkapan Ikan Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Ujung Genteng, Cidaun, Ujung Kulon (perairan selatan Jawa) Teluk Palabuhanratu, Ujung Genteng Sumatera, Jawa Tengah Sumatera Sumatera, Jawa Tengah Sumatera Sumatera, Jawa Tengah Sumatera, Jawa Tengah Samudera Hidia
Sumber : PPN Palabuhanratu (2005)
Operasi penangkapan ikan dengan payang, pancing, rampus, jaring klitik dan trammel net yang menggunakan perahu motor tempel menjadikan Teluk Palabuhanratu sebagai fishing ground sewaktu melakukan penangkapan ikan. Kapal motor dengan dimensi <10 GT mulai memperlebar jangkauan daerah penangkapan ikan (DPI) hingga ke daerah Ujung Genteng, Ujung Kulon dan Cidaun. Kapal motor dengan ukuran >11-30 GT mempunyai jangkauan DPI yang lebih jauh, beberapa diantaranya dapat melakukan operasi penangkapan hingga Perairan Sumatera, Jawa Tengah bahkan Samudera Hindia.
30
Berdasarkan data klimatologi stasiun Maranginan Palabuhanratu, musim hujan di Palabuhanratu berlangsung dari bulan November sampai April. Sekitar 71% curah hujan tahunan dalam periode tersebut mencapai 1.662 mm dan ratarata curah hujan bulanan mencapai 192 mm. Curah hujan tahunannya termasuk besar yaitu sebesar 2.565 mm dan rata-rata bulanan berkisar 84-376 mm. Hampir setiap bulan di Palabuhanratu terjadi hujan. Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 25,8°C sampai 28,8°C. Kawasan Palabuhanratu mempunyai iklim Monsoon dan pola angin di sekitar Palabuhanratu dipengaruhi oleh musim tersebut, yaitu musim barat selama bulan November-Maret dan musim timur pada bulan Mei-September. Kecepatan angin berkisar antara 4,4-23,5 km/jam. Kecepatan angin cukup kencang (>20 km/jam) bertiup pada bulan-bulan Agustus-Desember. Secara keseluruhan angin dominan bertiup dari tenggara (22,6 %) dan barat (13,6 %). Bila dipilah menurut bulannya, angin dominan bertiup dari arah barat dan barat laut (Januari), dari barat laut (Februari), barat laut (Maret), dari tenggara (April-Oktober), dari tenggara dan barat (November), dan barat laut (Desember). Kegiatan penangkapan ikan di Teluk Palabuhanratu sangat dipengaruhi oleh kondisi musim. Selain musim timur dan musim barat di kawasan tersebut dikenal musim peralihan, yaitu peralihan dari musim barat ke musim timur dan dari musim timur ke musim barat.
Penduduk setempat menyebut keadaan
demikian dengan sebutan musim liwung. Kondisi Teluk Palabuhanratu pada musim barat ditandai dengan intensitas hujan yang sangat tinggi dengan angin yang sangat kencang disertai dengan ombak yang besar, hal ini menyebabkan pada musim ini biasanya sebagian besar nelayan tidak berangkat melaut dengan alasan kemanan, kalaupun terdapat kapal yang beroperasi jumlahnya tidak banyak dan daerah penangkapan yang dituju pun terbatas di fishing ground yang tidak terlalu jauh.
Kondisi tersebut wajar
dilakukan oleh nelayan setempat khususnya nelayan tradisional, karena unit penangkapan ikan yang mereka miliki cenderung berukuran sedang sampai kecil. Lain halnya dengan musim timur yang berlangsung sekitar bulan Mei sampai September, keadaan perairan biasanya tenang, jarang terjadi hujan dan
31
ombak yang relatif kecil sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut dan biasanya pada musim timur ini merupakan musim puncak ikan. Kelimpahan ikan pada bulan-bulan tersebut diduga akibat adanya upwelling yang terjadi pada perairan di Teluk Palabuhanratu dan sekitarnya yang menyebabkan kesuburan perairan oleh plankton yang pada posisinya di ekosistem adalah sebagai produsen, karena pada musim timur gerakan arus air laut datang dari arah timur menuju ke barat sehingga mengakibatkan pada musim timur arus air bergerak menjauh dari pulau dan terjadi kekosongan massa air di daerah tersebut, kemudian air dari bawah naik ke atas sehingga terjadi upwelling (PPN Palabuhanratu, 1999). 4) Sarana dan prasarana Dukungan
terhadap
kegiatan
perikanan
tangkap
di
Palabuhanratu
diwujudkan dalam bentuk penyediaan prasarana berupa pelabuhan perikanan bertipe B yang lazim dikenal dengan istilah pelabuhan perikanan nusantara (PPN). Prasarana ini diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi melalui Dinas Kelautan dan Perikanan beserta Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). PPN Palabuhanratu didirikan pada tahun 1992 di Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. PPN Palabuhanratu merupakan salah satu unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Kelautan dan Perikanan, yang diresmikan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 13 Februari 1993. Selama proses pembangunan PPN Palabuhanratu, diperoleh bantuan dari Asian Development Bank (ADB) dan Islamic Development Bank (ISDB). Tujuan dari pembangunan pelabuhan perikanan pada hakekatnya adalah untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usaha perikanan dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan melalui pemberian kemudahan beraktivitas yang diharapkan pula akan memberikan multiplier effect dan sekaligus pusat pelaksanaan pengawasan sumberdaya ikan (SDI) dan untuk menjaga kelestarian SDI serta lingkungannya. Seiring dengan perkembangan usaha perikanan yang terjadi di lapangan telah tumbuh permasalahan sebagai akibat dari usaha yang berkembang tersebut, maka untuk meningkatkan kinerjanya PPN Palabuhanratu telah mengadakan perluasan kolam dan dermaganya untuk mengakomodir dan membantu masyarakat
32
perikanan sesuai fungsi dan peranannya ( PPN Palabuhanratu, 2005). Sarana dan prasarana yang ada di PPN Palabuhanratu terbagi dalam fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. (1) Fasilitas pokok Fasilitas pokok merupakan fasilitas fisik yang utama di pelabuhan perikanan. Fasilitas pokok yang ada di PPN Palabuhanratu adalah 2 buah dermaga; 2 kolam pelabuhan dengan kedalaman masing-masing (-3) m – (-4) m dan (-6) m- (-8) m. Kolam pertama dengan kedalaman (-3) m – (-4) m disediakan untuk jenis kapal yang berukuran kurang dari 30 Gross Tonase (GT), seperti kapal congkreng, payang, dan diesel, sedangkan kolam kedua dengan ukuran kedalaman (-6) m – (-8) m diperuntukkan untuk kapal motor yang berukuran lebih dari 30 GT seperti longline dan gillnet ; dan dua bagian bangunan break water.
Gambar 5 Darmaga untuk tambat labuh di PPN Palabuhanratu (2) Fasilitas fungsional Fasilitas fungsional merupakan fasilitas yang berfungsi untuk menjalankan kegiatan operasional di pelabuhan perikanan. Fasilitas fungsional yang tersedia di PPN Palabuhanratu antara lain tempat pelelangan ikan, balai pertemuan nelayan, kantor pelabuhan perikanan, gedung utility, rumah pompa, tangki air bersih, tangki BBM, tempat perbaikan jaring, gardu jaga dan lahan pelabuhan yang digunakan sebagai area tambat, pembongkaran, perbekalan dan logistik kapal, perbaikan serta area industri perikanan.
33
Gambar 6 Fasilitas fungsional yang terdapat di PPN Palabuhanratu. (3) Fasilitas penunjang Fasilitas penunjang merupakan fasilitas yang mendukung kegiatan operasional pelabuhan perikanan. Fasilitas penunjang yang tersedia di PPN Palabuhanratu antara lain pasar ikan seluas 352 m2, 7 buah rumah operator, dan guest house seluas 150 m2. 2.8 Penelitian-Penelitian yang Relevan Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan sub sektor perikanan telah banyak dilakukan di Palabuhanratu. Bahkan wilayah ini merupakan area favorit untuk melakukan penelitian oleh mahasiswa maupun lembaga penelitian lainnya karena
aksesibilitas
dan
kompleksnya
permasalahan
yang
ditemui.
Sepengetahuan penulis penelitian tentang risiko usaha perikanan tangkap belum pernah dilakukan di Palabuhanratu.
Berdasarkan hasil inventarisasi topik
penelitian yang kebanyakan diambil terkait teknis alat tangkap, manajemen, dan ekonomi (Tabel 8).