8
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi dan Konsep Kawasan Kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik dan
ekonomi tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat (Bappenas, 2004). Definisi kawasan menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. Menurut UU No. 26 Tahun 2007, penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan menurut besarannya, dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang, kawasan perkotaan besar, kawasan metropolitan, dan kawasan megapolitan. Penataan ruang kawasan
metropolitan
dan
kawasan
megapolitan,
khususnya
kawasan
metropolitan yang berupa kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional dan dihubungkan dengan jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi, merupakan pedoman untuk keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah administrasi di dalam kawasan, dan merupakan alat untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pembangunan lintas wilayah administratif yang bersangkutan. Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau pada kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa kawasan agropolitan. Definisi pembangunan kawasan menurut Bappenas (2004) adalah usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan hubungan kesalingtergantungan dan interaksi antara sistem ekonomi (economic system), masyarakat (sosial system), dan lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya (ecosystem). Setiap sistem ini memiliki tujuannya masing masing, sehingga tujuan dari pengembangan kawasan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
9
1. Membangun masyarakat pedesaan, beserta sarana dan prasarana yang mendukungnya; 2. Mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; 3. Mengurangi
tingkat
kemiskinan
melalui
peningkatan
pendapatan
masyarakat; 4. Mendorong pemerataan pertumbuhan dengan mengurangi disparitas antar daerah; 5. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan konservasi sumberdaya alam demi kesinambungan pembangunan daerah; 6. Mendorong pemanfaatan ruang desa yang efisien dan berkelanjutan. Pengembangan kawasan dilaksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip yang sesuai dengan arah kebijakan ekonomi nasional, yaitu: 1. Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. 2. Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global, sesuai dengan kemajuan
teknologi,
dengan
membangun
keunggulan
kompetitif
berdasarkan kompetensi produk unggulan di setiap daerah. 3. Memberdayakan pengusaha kecil, menengah dan koperasi, agar mampu bekerjasama secara efektif, efisien dan berdaya saing global. 4. Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan dan hortikultura, kelembagaan, dan budaya lokal. 5. Mempercepat pembangunan ekonomi daerah dengan memberdayakan para pelakunya sesuai dengan semangat otonomi daerah. 6. Mempercepat pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat daerah, khususnya para petaninya, dengan kepastian dan kejelasan hak dan kewajiban semua pihak. 7. Memaksimalkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau seluruh kegiatan pembangunan di daerah.
10
2.2
Jenis-Jenis Kawasan Kawasan produktif dibangun berdasarkan basis sektor yang ada, sesuai
dengan kondisi dan potensi lahan serta ekosistem-nya. Menurut Bappenas (2004), terdapat 10 (sepuluh) jenis kawasan, yaitu: 1. Kawasan Hutan Rakyat, suatu kawasan yang dibangun dan dikembangkan dengan berbasis pada sub sektor kehutanan, dengan konsep pemanfaatan dan pelestarian hutan bagi kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. 2. Kawasan Perkebunan Rakyat, suatu kawasan yang dikembangkan berdasarkan sub sektor perkebunan dengan wewenang pegelolaan berada di
tangan
masyarakat
atau
rakyat
dalam
rangka
meningkatkan
kesejahteraannya. 3. Kawasan Tanaman Pangan dan Hortikultura, suatu kawasan yang dibagun berbasiskan subsektor tanaman pangan dan hortikultura, dengan konsep peningkatan produtifitas dan kualitas hasil pertanian dan swasembada pangan, demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. 4. Kawasan Peternakan Rakyat, suatu kawasan yang dibangun berdasarkan sub sektor peternakan dengan pendekatan agribisnis yang berkelanjutan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. 5. Kawasan Perikanan, suatu kawasan yang dikembangkan berdasarkan sub sektor perikanan dengan wewenang manajemen di tangan rakyat, dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. 6. Kawasan Pertambangan Rakyat, suatu kawasan yang dikembangkan berbasiskan pada sektor pertambangan dengan wewenang manajerial ada di tangan rakyat, demi peningkatan kesejahteraan rakyat sekitarnya. 7. Kawasan Agro-wisata, suatu kawasan yang dikembangkan berbasiskan pada sektor kepariwisataan, dengan manajemen di tangan rakyat, demi peningkatan kesejahteraan rakyat. 8. Kawasan Technopark, suatu kawasan yang dibangun berbasiskan sub sektor techno-wisata, untuk meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
11
9. Kawasan Industri Kecil, suatu kawasan yang dikembangkan berbasiskan pada industri kecil dan menengah untuk meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat. 10. Kawasan Kerajinan, suatu kawasan yang dikembangkan berbasis pada industri kerajinan tangan (handmade), untuk penciptaan dan perluasan lapangan kerja di daerah, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan pendapatan pemerintah daerah.
2.3
Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan
untuk suatu penggunaan tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan pada hakekatnya berhubungan dengan evaluasi untuk suatu penggunaan tertentu, seperti untuk budidaya padi, jagung, dan sebagainya (Sitorus, 1985). Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement), lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi, dan atau drainase sesuai untuk suatu usaha tani atau komoditas tertentu yang produktif (Djaenudin et al. 2003). Menurut Djaenudin et al. (2003) struktur klasifikasi kesesuaian lahan dapat dibedakan menurut tingkatannya sebagai berikut: Ordo : Keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S) dan lahan yang tergolong tidak sesuai (N). - Ordo S (sesuai) adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. - Ordo N (tidak sesuai) adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan dikarenakan adanya suatu penghambat. Kelas : Keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu lahan yang sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (N). Lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas.
12
- Kelas S1 (sangat sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas yang bersifat minor dan tidak akan mereduksi produktifitas lahan secara nyata. - Kelas S2 (cukup sesuai): Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktifitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. - Kelas S3 (sesuai marginal): Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktifitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Tanpa bantuan tersebut petani tidak mampu mengatasinya. - Kelas N (tidak sesuai): Lahan yang tidak sesuai (N) karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan atau sulit diatasi. Saat ini, banyak berkembang metode analisis kesesuaian lahan. Beberapa metode diantaranya sudah mulai mengintegrasikan antara aspek ekonomi, biofisik, dan spasial (Geographical Information System/GIS). Analisis kesesuaian lahan dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu manual maupun expert system. Cara manual yang umum dilakukan adalah matching antara kriteria komoditas dengan kondisi eksisting lahan dengan menggunakan data tabular seperti yang digunakan dalam penelitian ini, sedangkan cara analisis yang berupa expert system diantaranya adalah Automated Land Evaluation System (ALES), kombinasi EconSuit dan GIS (Samranpong, C. et al, 2009), LEIGIS dan lain sebagainya.
2.4
Konsep Hirarki Wilayah Konsep pusat dan daerah belakang (hinterland) dalam suatu wilayah nodal
mempunyai hubungan yang bersifat simbiotik dan mempunyai fungsi yang spesifik sehingga keduanya tergantung secara internal. Johnston (1976) dalam Rustiadi et al. (2009) memandang wilayah sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi
13
spasial dan merekomendasikan dua tipe wilayah: (1) wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik, dan (2) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi/tempat. Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yakni kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju); (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Perkembangan suatu pusat sangat tergantung pada perkembangan daerah belakang atau sebaliknya. Pusat wilayah menjadi pusat kegiatan masyarakat yang terbentuk sebagai kawasan yang paling dinamis, merupakan denyut nadi perkembangan suatu wilayah. Ia memiliki kecenderungan untuk menjadi besar dan berkembang dengan dukungan wilayah sekitarnya atau hinterland-nya. Berbagai fasilitas dan lapangan kerja yang lebih bervariasi membuat suatu wilayah sebagai tempat yang menarik bagi masyarakat di luar kawasan. Menurut Sutomo (2008) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya pusat-pusat wilayah adalah: • Faktor Lokasi Ekonomi. Letak wilayah yang strategis menyebabkan suatu wilayah dapat menjadi suatu pusat. • Faktor Ketersediaan Sumber Daya. Ketersediaan sumber daya alam pada suatu wilayah akan menyebabkan wilayah tersebut menjadi pusat. • Kekuatan Aglomerasi. Kekuatan aglomerasi terjadi karena ada sesuatu yang mendorong kegiatan ekonomi sejenis untuk mengelompok pada suatu lokasi karena adanya sesuatu keuntungan. Selanjutnya akan menyebabkan timbulnya pusat-pusat wilayah. • Faktor Investasi Pemerintah. Pusat wilayah mempunyai hirarki. Hirarki dari suatu pusat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
14
• Jumlah penduduk yang bermukim pada pusat tersebut; • Jumlah fasilitas pelayanan umum yang tersedia; dan • Jumlah jenis fasilitas pelayanan umum yang tersedia. Tujuan identifikasi pusat pelayanan menurut Rustiadi et al. (2009) adalah: (1) mengidentifikasi pusat pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang berbeda; (2) penentuan dan fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan kebutuhan beragam sektor dan penduduk; dan (3) pengintegrasian atau pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbeda dan penentuan dan keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan aksesibilitas dan efisiensi.
2.5
Konsep Transmigrasi dan Kota Terpadu Mandiri Pembangunan transmigrasi merupakan upaya penyebaran penduduk dari
satu daerah ke daerah lainnya, yang ditujukan antara lain untuk mendukung pembangunan daerah dan sekaligus memperluas lapangan kerja, memperbaiki taraf hidup rakyat serta memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Usaha tersebut dilakukan karena penyebaran penduduk yang kurang seimbang, khususnya bilamana dikaitkan dengan penyebaran potensi sumberdaya alam. Tujuan pembangunan transmigrasi antara lain adalah membangun permukiman baru yang mampu tumbuh dan berkembang secara mandiri dan berkelanjutan, sehingga menjadi pusat produksi, pusat pertumbuhan dan pusat pemerintahan. Tujuan tersebut harus dicapai dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian, agar masyarakat dapat mencapai kesejahteraan dalam waktu yang telah ditentukan, namun juga tetap mempertimbangkan keberlanjutan penggunaan sumberdaya. Dengan demikian penanganan pembinaan masyarakat transmigrasi mencakup aspek bio-fisik lingkungan maupun sosial budaya dan kelembagaan. Widiatmaka et al. (2010) menyatakan bahwa tahap awal pembangunan di lokasi transmigrasi merupakan tahap inisiasi, pembentukan dan pembangunan awal. Tahap awal, telah dilakukan berbagai kegiatan seperti berbagai persiapan pencadangan lokasi, studi RTSP, RKSKP, penempatan, pembentukan UPT, sampai transmigran dapat hidup di atas lahan yang tadinya berupa hutan atau penggunaan non-budidaya lain. Selanjutnya, berbagai dinamika pembangunan di
15
lokasi berlangsung. Semua hal tersebut diarahkan agar kehidupan transmigran dapat berlangsung secara sustainable. Pusdatintrans (2004) dalam Widiatmaka et al. (2009) menyatakan bahwa program transmigrasi telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pembangunan bangsa dan negara. Hal tersebut terbukti dari kenyataan bahwa transmigrasi telah mendorong tumbuh dan berkembangnya berbagai peluang usaha dan peluang kerja. Program transmigrasi telah berhasil mengembangkan sekitar 3.000-an Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dengan berbagai infrastrukturnya, 945 UPT diantaranya telah berkembang menjadi desa baru. Desa-desa baru tersebut sekarang dihuni oleh kurang lebih 12 juta jiwa dan telah tumbuh mendorong terbentuknya kecamatan dan kabupaten baru. Dari data yang ada, eks-UPT yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat pemerintahan adalah sebanyak 235 kecamatan dan 66 kabupaten. Terkait konteks pengembangan kawasan transmigrasi, sekitar tahun 2000an telah berkembang konsep pengembangan wilayah berbasis kawasan transmigrasi, yaitu Kota Terpadu Mandiri (KTM). Definisi KTM menurut Depnakertrans (2010) adalah kawasan yang pertumbuhannya dirancang untuk menjadi pusat pertumbuhan melalui pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang mempunyai fungsi sebagai: (i) pusat kegiatan pertanian berupa pengolahan barang pertanian jadi dan setengah jadi serta kegiatan agribisnis; (ii) Pusat pelayanan agroindustri khusus (special agroindustry services), dan pemuliaan tanaman unggul; (iii) Pusat pendidikan, pelatihan di sektor pertanian, industri dan jasa; dan (iv) Pusat perdagangan wilayah yang ditandai dengan adanya pasarpasar grosir dan pergudangan komoditas sejenis.
2.6
Perencanaan Kawasan Berbasis Komoditas Unggulan Komoditas unggulan merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis
berdasarkan pertimbangan fisik (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur, kondisi sosial budaya) untuk dikembangkan di suatu wilayah. Keberadaan komoditas unggulan pada suatu daerah dapat memudahkan upaya pengembangan agribisnis. Hanya saja, persepsi dan memposisikan kriteria serta
16
instrumen terhadap komoditas unggulan belum sama. Akibatnya, pengembangan komoditas tersebut menjadi salah urus bahkan menjadi kontra produktif bagi peningkatan produksi komoditas unggulan dimaksud. Menurut Dirjen Bangda, Departemen Dalam Negeri menentukan kriteria komoditas unggulan sebagai berikut : 1. Mempunyai kandungan lokal yang menonjol dan inovatif di sektor pertanian, industri dan jasa; 2. Mempunyai daya saing tinggi di pasaran, baik ciri, kualitas maupun harga yang kompetitif serta jangkauan pemasaran yang luas, baik di dalam negeri maupun global; 3. Mempunyai ciri khas daerah karena melibatkan masyarakat banyak (tenaga kerja setempat); 4. Mempunyai jaminan dan kandungan bahan baku lokal yang cukup banyak, stabil dan berkelanjutan; 5. Fokus pada produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi, baik dalam kemasan maupun pengolahannya; 6. Secara ekonomi menguntungkan dan bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan dan kemampuan SDM masyarakat; 7. Ramah lingkungan, tidak merusak lingkungan, berkelanjutan serta tidak merusak budaya setempat; Sementara itu, pengelompokan komoditas unggulan, sebagai rujukan untuk menempatkan posisi produk pertanian dari sisi teori keunggulan komoditas, antara lain: 1. Komoditas unggulan komparatif : komoditas yang diproduksi melalui dominasi dukungan sumber daya alam, di mana daerah lain tak mampu memproduksi
produk sejenis. Komoditas hasil olahan yang memiliki
dukungan bahan baku yang tersedia pada lokasi usaha tersebut. 2. Komoditas unggulan kompetitif : komoditas yang diproduksi dengan cara yang efisien dan efektif. Komoditas tersebut telah memiliki nilai tambah dan daya saing usaha, baik dari aspek kualitas, kuantitas, maupun kontinuitas dan harga.
17
3. Komoditas unggulan spesifik : komoditas yang dihasilkan dari hasil inovasi dan kompetensi pengusaha. Produk yang dihasilkan memiliki keunggulan karena karakter spesifiknya. 4. Komoditas unggulan strategis : komoditas yang unggul karena memiliki peran penting dalam kegiatan sosial dan ekonomi. Hal terpenting bagi ukuran komoditas adalah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga mampu bersaing di pasar dengan komoditas pesaingnya. Oleh karena itu, sangat perlu diketahui apakah komoditas yang ada saat ini memiliki salah satu atau keduanya dari kriteria tersebut. Keunggulan komparatif beberapa komoditas pertanian didefinisikan sebagai kemampuan sistem komoditas untuk memperoleh produksi secara optimal karena komoditas yang dibudidayakan memiliki kesesuaian lahan yang tinggi dibanding komoditas lain. Berbeda dari keunggulan komparatif, keunggulan kompetitif didefinisikan sebagai kemampuan sistem agribisnis dalam menghasilkan keuntungan finansial pada produsen dan pelaku ekonomi lain yang terlibat secara riil. Analisis keunggulan kompetitif didasarkan pada sistem harga-harga pada pasar yang berlaku (dihadapi). Hal ini berarti sistem pasar baik pasar input, pasar output maupun pasar komoditas telah dipengaruhi oleh intervensi kebijakan pemerintah. Teknik penilaian komoditas unggulan dapat dilakukan melalui beberapa cara diantaranya adalah index komoditas unggulan, multi criteria analysis, Model Perbandingan Eksponensial (MPE), dan analisis bertahap (fisik dan non fisik).
2.7
Interaksi Spasial Wilayah Aspek spasial adalah fenomena yang alami. Sangat wajar apabila
perkembangan suatu wilayah lebih dipengaruhi oleh wilayah di sebelahnya atau lebih dekat dibandingkan wilayah lain yang lebih berjauhan akibat adanya interaksi sosial-ekonomi antar penduduk. Selain itu, interaksi spasial merupakan suatu mekanisme yang menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena aktifitas yang dilakukan oleh sumberdaya manusia didalam atau diluar wilayah tersebut. Aktifitas-aktifitas yang dimaksud dapat berupa mobilitas kerja, migrasi, seminar atau kegiatan sejenis lainnya, pemanfaatan fasilitas pribadi atau
18
pelayanan publik, arus informasi atau komunikasi lainnya dan bahkan tukarmenukar pengetahuan (Rustiadi et al. 2009). Interaksi spasial dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu internal dan eksternal. Interaksi spasial internal wilayah berarti bahwa dinamika terjadi pada sub-sub wilayah (desa) dalam suatu wilayah tertentu (kecamatan). Interaksi spasial eksternal wilayah adalah interaksi suatu wilayah dengan wilayah lain yang ditunjuk oleh aliran-aliran keluar masuk diantara wilayah tersebut.
2.8
Kelembagaan Masyarakat Kelembagaan
memiliki
beberapa
pengertian,
diantaranya
adalah
kelembagaan sebagai satuan aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal dan kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki, sebagai aturan main maka kelembagaan akan mengatur berbagai aktifitas antar pihak/individu dalam satu sistem sosial baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Tata nilai norma yang ada dalam masyarakat, adat istiadat, dan peraturanperaturan yang tertulis ataupun tidak tertulis merupakan bagian dari kelembagaan sebagai aturan main. Kelembagaan berasal dari kata dasar lembaga atau institusi, yang merupakan organisasi formal yang menghasilkan dan melindungi perubahan atau secara sosiologis, menunjuk pada pola-pola normatif yang merumuskan cara-cara bertindak atau hubungan-hubungan sosial yang wajar, sah atau yang diharapkan. Organisasi adalah suatu sistem yang terdiri dari orang-orang dan hubungan terstruktur di antara mereka, yang diciptakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (Eaton, 1986). Organisasi dapat dinamakan institusi (lembaga) jika telah mengembangkan kemampuan untuk bertindak sebagai wakil masyarakat yang lebih luas dengan menyediakan fungsi-fungsi dan pelayanan-pelayanan berharga. Lebih dari itu, institusi merupakan model untuk menentukan pola-pola normatif dan nilai-nilai yang sah, melestarikan dan melindunginya bagi masyarakat yang lebih besar. Pengertian kelembagaan sebagai ekonomi, adalah kelembagaan sebagai organisasi
yang
menggambarkan
aktivitas
ekonomi,
dimana
mengkoordinasikannya bukan oleh sistem harga-harga tetapi oleh mekanisme
19
kewenangan dan administrasi. Kelembagaan inilah yang akan mengkoordinasikan seluruh aktivitas yang terjadi dalam kehidupan sosial ekonomi maupun politik masyarakat (Yasin, 2005). Sehubungan dengan alokasi sumberdaya, Anwar (1999) menyatakan bahwa penentuan pilihan kelembagaan (institution) yang tepat akan dapat mengukur penggunaan dan alokasi sumberdaya atau input kearah efisien yang tinggi, keadilan (fairness) ke arah pembagian yang lebih merata, aktifitas ekonomi dapat langgeng (sustainable).
2.9
Struktur Keterkaitan Komoditas Unggulan, Rekomendasi Penggunaan Lahan dan Kelembagaan dalam Pengembangan Wilayah Masalah pemilihan lahan yang tepat untuk budidaya agribisnis komoditas
tertentu sudah lama dan telah menjadi isu empiris yang utama. Meskipun banyak peneliti, organisasi, lembaga dan pemerintah telah berusaha untuk menyediakan sebuah kerangka pemanfaatan lahan pertanian yang optimal, ditengarai bahwa banyak lahan pertanian yang digunakan di bawah kemampuan yang optimal (Kalogirou S, 2001). Kondisi ini menyebabkan kerusakan lahan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sementara itu, dalam penelitian ini akan merekomendasikan suatu lahan yang berbasis desa dengan tujuan pemanfaatan lahan pertanian yang optimal. Rekomendasi penggunaan lahan merupakan upaya mencapai efisiensi ekonomi, sosial, ekologi dan lingkungan, yang seharusnya menjadi hasil akhir dari pemanfaatan sumber daya lahan. Evaluasi efisiensi penggunaan lahan secara umum sangat penting dalam revisi perencanaan dan peraturan penggunaan lahan. Evaluasi ini diharapkan dapat memberi pengaruh yang besar pada penggunaan lahan, pembangunan masyarakat, dan ekonomi secara berkelanjutan (Chen SY et al. 2007). Pengembangan suatu kawasan bergantung pada kondisi sumberdaya alam masing-masing lokasi (spesifik lokasi). Lokasi penelitian yang mencakup wilayah kecamatan tergolong pada wilayah perencanaan yang tidak terlalu luas. Namun demikian, kondisi sumber daya manusia, ekonomi, sosial dan kelembagaan di masing-masing
desa
memiliki
kondisi
yang
berbeda-beda
tingkat
20
perkembangannya. Oleh karena itu, memerlukan formulasi yang tepat untuk masing-masing desa dalam mengkombinasikan aspek-aspek tersebut. Teridentifikasikannya komoditas unggulan di masing-masing desa dapat menjadi modal dasar dalam pengembangan kawasan. Masing-masing desa memiliki komoditas unggulan tertentu. Selanjutnya adalah menghitung potensi lahan untuk pengembangan komoditas unggulan tersebut. Fokus prioritas pembangunan kawasan melalui penguatan pertanian dapat diutamakan, sehingga lebih tepat sasaran. Teridentifikasinya kelembagaan dan model kelembagaan yang diharapkan masyarakat dapat mendukung aktifitas-aktifitas pertanian yang ada di masing-masing desa, terutama dalam hal pengembangan komoditas unggulan. Kelembagaan masyarakat ini diarahkan untuk mendukung pengembangan komoditas unggulan, sehingga selain dari fisik, aspek sosial ekonomi juga diperhatikan agar sinergitas pengembangan dapat efektif dan efisien dan mencapai tujuan yang diinginkan, yaitu kesejahteraan masyarakat.