4
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Reproduksi Domba Jantan Sistem reproduksi jantan terdiri atas skrotum, spermatic cord, testes, kelenjar asesorius, penis, preputium, dan saluran reproduksi (Bearden et al. 2004). Testes merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi penting: gametogenesis dan steroidogenesis (Pineda 2003). Testes domba mengandung banyak tubulus seminiferus yang berkelok-kelok dengan panjang 4000 meter (Wodzicka-Tomaszewska et al. 2001). Tubulus seminiferus testes terdiri atas sel spermatogenik (sel kecambah) yang berdiferensiasi membentuk spermatozoa dan sel Sertoli yang memproduksi cairan kaya protein. Diantara tubulus seminiferus terdapat jaringan interstitial dengan komposisi pembuluh darah, limfe, saraf, dan sel Leydig yang mensekresikan
hormon
androgen
terutama
testosteron.
Spermatozoa
meninggalkan testes melalui duktus eferen dilanjutkan menuju duktus epididimis yang nantinya berlanjut ke duktus deferen (Hafez dan Hafez 2000). Epididimis mengandung duktus epididimis yaitu saluran berliku yang dibagi atas kepala (kaput), badan (korpus), dan ekor (kauda).
Duktus epididimis
memiliki diameter 100 sampai 300 µm dan memiliki epitel yang khas berupa sel sekretoris dan sel bersilia. Epididimis memiliki fungsi utama yaitu pengangkutan spermatozoa dari rere testis ke duktus eferen, pengkonsentrasian spermatozoa, pematangan spermatozoa, dan penyimpanan spermatozoa (Toelihere 1993). Mukosa duktus epididimis mamalia tidak bersilia dan terutama tersusun dari sel basal (apikal, tipis, dan jernih) dan leukosit intrapitel (sel halo) yang beradaptasi dalam sekresi dan reabsorbsi cairan, protein, dan cairan organik lainnya (Robaire dan Hinton 2002).
Epididimis memiliki blood-epididymis
barrier yang berfungsi sebagai penghalang anatomis yang menahan molekul dan sel masuk atau keluar lumen secara ketat. Barrier tersebut secara fisiologis terdiri dari pengangkut yang mengatur gerakan bahan kimia masuk atau keluar lumen sehingga membentuk lingkungan mikro yang penting dalam perkembangan dan pematangan sel kecambah. Secara imunologis barrier tersebut mencegah spermatozoa diserang oleh sistem imun tubuh (Mital et al. 2011).
5
2.2 Fisiologi Reproduksi Jantan 2.2.1 Masa Reproduksi Hewan mengalami masa tumbuh yang merupakan masa terjadinya proses pertambahan ukuran (volume, bobot, dan jumlah sel) yang terjadi selama fetus hingga akhir pubertas. Masa setelahnya merupakan masa perkembangan yaitu terjadinya diferensiasi sel menuju keadaan yang lebih dewasa sehingga mencapai dewasa penuh.
Pubertas akan muncul di masa tumbuh yang secara umum
diartikan sebagai perkembangan seksual dimana hewan dapat bereproduksi ditandai dengan ditemukannya spermatozoa motil dalam ejakulat pada jantan tetapi hewan belum matang penuh secara seksual (belum dewasa kelamin). Dewasa kelamin adalah masa dimana hewan menunjukkan kemampuan penuh reproduksinya (Hafez dan Hafez 2000). Pubertas pada domba terjadi pada usia 6 bulan tetapi ada kemungkinan tertunda hingga usia 9 sampai 12 bulan yang dapat dipengaruhi oleh genetik, nutrisi, dan lingkungan (Pineda 2003), selain itu pubertas juga dapat dipengaruhi oleh ras, komposisi tubuh, bobot badan, jenis kelamin, manajemen perawatan, dan pertumbuhan kerangka tubuh (Hafez dan Hafez 2000).
Sutama (1992)
berpendapat bahwa domba Priangan mencapai pubertas pada umur 6 sampai 8 bulan. Sementara itu dewasa kelamin akan tercapai beberapa bulan setelahnya (Cunningham dan Klein 2007). Sebelum pubertas sekresi gonadothropin-releasing hormone (GnRH) dan gonadotropin dijaga dalam konsentrasi yang tetap karena hipotalamus sangat sensitif terhadap efek umpan balik negatif hormon steroid, yang akan menjadi kurang sensitif setelah hewan mengalami dewasa penuh. Mekanisme efek umpan balik negatif yang sensitif terlihat pada hewan jantan muda atau pada masa tumbuh sehingga pemberian hormon steroid dari luar dapat menurunkan kadar follicle-stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Hewan yang telah mengalami pubertas akan mengalami peningkatan sekresi gonadotropin hingga tahapan terjadinya spermatogenesis untuk pertama kalinya.
Lamanya
proses spermatogenesis kemungkinan besar menyebabkan pejantan biasanya baru berhasil membuahi betina setelah berumur lebih dari 30 minggu (Cunningham dan Klein 2007).
6
Terdapat perbedaan fisiologis reproduksi pada pejantan di masa belum pubertas dan telah pubertas sehingga menyebabkan perbedaan karakteristik reproduksi yang nyata pula. White et al. (2005) mengamati karakteristik testis dan epididimis beruang pada umur belum pubertas dan telah pubertas. Bobot dan volume testis, volume tubulus seminiferus dan interstitial, dan diameter tubulus seminiferus lebih rendah pada umur belum pubertas dibandingkan telah pubertas. Bobot epididimis juga lebih rendah pada umur belum pubertas. Wildeus (1993) juga menyatakan bahwa lingkar skrotum berkorelasi positif terhadap umur dan bobot badan sapi. Sementara itu lingkar skrotum berkorelasi positif terhadap bobot, panjang, dan lebar testis. Dinyatakan pula produksi harian sperma dan jumlah sperma pada eppididimis lebih besar pada umur dewasa kelamin. Karakteristik spermatozoa dipengaruhi oleh umur, bangsa, dan efek iklim juga stress akibat perlakuan yang berulang-ulang.
Sementara itu kejadian
abnormalitas spermatozoa berupa abnormalitas kepala dan akrosom, proximal cytoplasmic droplet, dan total abnormalitas secara nyata dipengaruhi oleh umur (Söderquist et al. 1996).
2.2.2 Pengaturan Hormonal pada Jantan Hormon primer mengatur berbagai proses reproduksi sedangkan hormon sekunder atau metabolitnya berpengaruh secara tidak langsung. Hormon dari hipotalamus yang mengatur reproduksi adalah GnRH. GnRH secara langsung maupun melalui sistem peredaran darah menstimulasi (umpan balik positif) kelenjar hipofise anterior sehingga mensekresikan FSH dan LH. LH berperan dalam proses pematangan spermatozoa dengan menstimulasi sekresi hormon androgen.
Hormon androgen terdiri atas testosteron,
dihydrotestosterone (DHT), dan 17-ketosteroids seperti dehydroepian-drosterone (DHEA) yang disintesis di sel Leydig testis sebanyak 95% dan sisanya disintesis di adrenal korteks hipofise anterior (Despopoulos dan Silbernagl 2003). FSH bekerja menstimulasi sintesis dan sekresi androgen-binding protein (ABP), inhibin, aktivin, dan estrogen yang berperan dalam penyediaan nutrisi ke sel kecambah; meiosis; pematangan spermatocyte; spermiation (Cunningham dan
7
Klein 2007); dan menginduksi pembentukan reseptor LH pada sel Leydig (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Testosteron yang disintesis oleh sel Leydig berdifusi ke darah dan limfe, dimana akan diikat oleh ABP yang diproduksi sel Sertoli sehingga dapat masuk ke dalam lumen tubulus seminiferus testis. ABP berfungsi mengatur konsentrasi testosteron dalam testis sehingga konsentrasi testosteron yang tinggi dalam tubulus seminiferus akan menyebabkan terjadinya spermatogenesis. ABP juga menfasilitasi transportasi testosteron ke epididimis dimana testosteron akan diubah menjadi DHT yang berperan dalam perjalanan dan pematangan lebih lanjut spermatozoa di epididimis (Cunningham dan Klein 2007). Hormon steroid seperti testosteron, DHT, dan estradiol diketahui menekan pelepasan FSH dan LH melalui efek umpan balik negatif. Pemberian testosteron dari luar untuk meningkatkan fertilitas dapat menimbulkan kontraindikasi karena dapat mengganggu sekresi hormon hipofise yang berfungsi memelihara lingkungan spermatogenik yang optimal (Pineda 2003). Inhibin bekerja bersama testosteron terlibat dalam umpan balik negatif terhadap hipofise, sedangkan aktivin dalam cairan rete testes bekerja sebagai umpan balik positif terhadap hipofise (Hafez dan Hafez 2000). Prostaglandin pada jantan mengatur beberapa aktivitas fisiologis seperti kontraksi otot polos saluran organ reproduksi, ereksi, ejakulasi, dan transportasi sperma (Pineda 2003). Testes menghasilkan spermatozoa melalui proses spermatogenesis. Waktu yang diperlukan domba dalam proses tersebut adalah 37 hari (WodzickaTomaszewska et al. 2001).
Spermatogonia akan membelah secara mitosis
sebanyak empat kali sehingga dihasilkan spermatosit primer. Spermatosit primer kemudian mengalami meiosis (jumlah kromosom menjadi setengahnya) menjadi spermatosit sekunder. Proses tersebut disebut spermatocytogenesis (Hafez dan Hafez 2000) yang dikendalikan oleh FSH dan testosteron (Toelihere 1993). Hasil akhir berupa spermatid mengalami proses perkembangan struktur dan perubahan bentuk menjadi spermatozoa. Perubahan tersebut disebut spermiogenesis (Hafez dan Hafez 2000) yang berada di bawah pengaruh DHT (Toelihere 1993).
8
Gambar 1 Hubungan hormon yang mengontrol fungsi testikuler (Despopoulos dan Silbernagl 2003) Menurut Sagi (1994), secara garis besar aktifitas testes dalam kaitannya dengan spermatogenesis dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain temperatur tubuh, lokasi testes dan kontrol hipofisis. Faktor eksternal yang mempengaruhi adalah rangsang psikis, dan perubahanperubahan lingkungan seperti temperatur lingkungan, makanan, zat-zat kimia tertentu, dan kontak-kontak sosial.
2.3 Karakteristik Botani Tanaman Katuk Tanaman katuk termasuk divisi Spermatophyta, kelas Dicotyledoneae, Bangsa Euphorbiales, Suku Euphorbiaceae, Marga Sauropus, Jenis Sauropus androgynus (L.) Merr.. Namanya beragam di berbagai daerah seperti Simani di Minangkabau, Cekop manis di Melayu, Katuk di Sunda, Katu di Jawa Tengah, dan Karekur di Madura. Habitus berupa perdu setinggi 2.5-5 m, batang tegak,
9
bulat, dan berwarna hijau. Batang berkayu, tegak, saat masih muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna coklat kehijauan. Daun berupa daun majemuk, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing dan pangkal tumpul, jumlah daun per cabang berkisar antara 11-12 helai. Daunnya mempunyai pertulangan menyirip, bertangkai pendek, dan berwarna hijau keputihan pada bagian atas, hijau terang pada bagian bawah dan kadang-kadang terlihat ada bercak keputih-putihan Tanaman ini tumbuh baik pada daerah denngan ketinggian 1300 meter di bawah permukaan laut dan di daerah yang terbuka tetapi tidak langsung terkena sinar matahari (BPOM RI 2008).
Gambar 2 Daun katuk
2.4 Manfaat Tanaman Katuk Tanaman katuk telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tanaman sayuran, tanaman pagar, dan tanaman obat. Daunnya digunakan untuk memperlancar keluarnya air susu (ASI). Daun katuk juga dapat dipakai sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah, frekuensi dan amplitude denyut jantung, meningkatkan kontraksi usus dan uterus. Selain itu, daun katuk juga digunakan untuk pewarna makanan dan menurunkan demam. Jus daun katuk dapat digunakan untuk menyembuhan penyakit mata dan pelangsing tubuh pada manusia (Rukmana dan Indra 2003).
10
Daun dan akar katuk sering digunakan sebagai obat luar untuk mengobati borok, bisul, koreng, demam, darah kotor, dan frambusia. Zat yang berfungsi sebagai antikuman pada daun katuk diduga adalah tanin dan flavonoid. Tanin bersifat racun terhadap mikroba. Mekanisme kerjanya adalah sebagai berikut, yaitu berdasarkan sifat astrigensinya dapat menghambat enzim tertentu; berreaksi terhadap membran; dan pembentukan kompleks tanin dengan ion logam. Selain itu, dalam daun katuk juga terdapat senyawa alkaloid yang juga bersifat antiprotozoa dan antikuman (Santoso et al. 2002). Penelitian terhadap aspek fisiologis dan farmakologis terhadap berbagai hewan coba telah banyak dilakukan. Suprayogi (2000) melaporkan bahwa pemberian secara oral sediaan daun katuk kering giling 7.74 g/hari pada domba laktasi selama 35 hari mampu meningkatkan produksi susu sebesar 7.75%, lebih besar dibandingkan sediaan ekstrak alkohol daun katuk 1.89 g/hari yaitu hanya 0.89% dibandingkan kontrol.
Peningkatan produksi susu ini diduga karena
senyawa aktif daun katuk yang mampu meningkatkan populasi dan aktifitas sintesis sel-sel kelenjar ambing. Sementara itu di saat yang sama senyawa aktif daun katuk juga mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi di dalam darah yang berperan dalam produksi susu.
Suprayogi et al. (2009) menyatakan terjadi
peningkatan produksi air susu pada pemberian fraksi heksan (non-polar) sedangkan terjadi penurunan bobot badan pada pemberian fraksi etilasetat, fraksi air, dan fraksi etanol (polar dan semipolar) pada tikus. Manfaat katuk pada unggas juga telah diteliti oleh Subekti (2007) yang mengemukakan terjadi peningkatan sistem reproduksi yang ditandai dengan peningkatan organ reproduksi, percepatan umur dewasa kelamin, peningkatan fertilitas, dan daya tetas pada puyuh baik pada pemberian ransum dengan 9% ekstrak daun katuk maupun tepung daun katuk. Santoso et al. (2002) menemukan bahwa pemberian masing-masing ekstrak daun katuk (EDK)-air panas, EDKetanol, EDK-metanol pada ayam petelur umur 40 minggu mampu meningkatkan mutu telur seperti meningkatkan haugh unit (HU), tebal kerabang dan warna kuning telur, menurunkan jumlah mikroba dalam feses seperti Staphylococcus sp., Salmonella sp., Lactobacillus sp., Streptococcus sp., dan Escherichia coli. Produksi dan kadar nitrogen feses juga mengalami penurunan.
11
2.5 Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Daun Katuk Katuk banyak mengandung nutrisi yang bermanfaat yaitu protein, lemak, kalsium, fosfat, besi, steroid, flavonoid, polifenol (Agusta et al. 1997), vitamin A, B, C (244 mg/100 mg), dan E (4.16%) yang baik bagi fungsi reproduksi (Agusta et al. 1997; Subekti 2007). Hasil penelitian Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia menunjukkan bahwa tanaman katuk mengandung beberapa golongan senyawa kimia, antara lain alkaloid, protein, lemak, vitamin, mineral, saponin, flavonoid, dan tanin (Rukmana dan Indra 2003). Katuk mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh, serta kelompok fitosterol yang lebih banyak dibandingkan jenis sayuran lainnya sehingga dapat dijadikan sumber fitosterol yaitu sebesar 2.14% yang terdiri atas stigmasterol, sitosterol, dan fukosterol (Subekti 2007). Suprayogi (2000) menemukan 7 kandungan utama daun katuk yang dapat mempengaruhi fisiologis tubuh yaitu 5 senyawa asam lemak tak jenuh (octadecanoic acids, 9-eicosyne, 5,8,11-heptadecatrienoic acid methyl ester, 9,12,15-octadecatrienoic acid ethyl ester, dan 11,14,17-eicosatrienoic acid methyl ester), 17-ketosteroid (androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha), dan 3,4dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid. Senyawa-senyawa tersebut mampu memodulasi hormon-hormon laktogenesis dan laktasi pada betina, serta sebagai eksogenous asam asetat dari saluran pencernaan dan terlibat dalam metabolisme seluler melalui siklus Krebs. Penelitian yang dilakukan Subekti (2007) dengan menggunakan gas chromatography and mas spectrometers (GCMS) menemukan beberapa golongan senyawa kimia dalam ekstrak daun katuk (dengan etanol 70%) yaitu 5 senyawa asam lemak, klorofil (phytol), tokoferol (vitamin E), stigmasterol, sitosterol, dan fukosterol. Wang dan Lee (1997) menemukan senyawa flavonol yaitu
3-O-β-D-
glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-kaemferol, 3-O-β-D-glucosyl-(1→6)-β-D-glucosylkaemferol,
dan
3-O-β-D-glucosyl-(1→6)-β-D-glucosyl-7-O-α-L-rhamnosyl-
kaemferol yang mudah dipisahkan dengan pelarut polar (etanol).
Hal ini
diperkuat oleh Zuhra et al. (2008) yang juga menemukan adanya senyawa flavonoid jenis flavonon dalam ekstrak daun katuk.
12
2.6 Mekanisme Senyawa Aktif Daun Katuk terhadap Fungsi Reproduksi Terdapat pengaruh positif senyawa-senyawa aktif dalam daun katuk terhadap fungsi reproduksi pada hewan.
Daun katuk dapat meningkatkan
produksi air susu dan produksi telur pada hewan betina. Penelitian Suprayogi et al. (2009) menunjukkan bahwa senyawa fraksi heksan (non-polar) memiliki respon peningkatan produksi air susu pada tikus betina bunting. Suprayogi (2000) menerangkan mengeni mekanisme peningkatan air susu terjadi melalui aksi hormonal serta aksi metabolik. Aksi hormonal daun katuk dalam meningkatkan prosuksi susu terjadi secara langsung maupun tak langsung. Menurut Suprayogi (2000), ekstrak daun katuk mengandung asam lemak tak jenuh yang kemungkinan diubah menjadi asam lemak tak jenuh 20-C (aracchidonic,
di-homo-γ-linolenic,
dan
eicosapentaenoic
acids)
melalui
desaturasi dan elongasi. Asam lemak tak jenuh 20-C tersebut memiliki peran penting sebagai prekursor biosintesis eicosanoid seperti: prostaglandin, prostacycline, thromboxane, lipoxines, dan leukotrienes melalui mekanisme siklooksigenase atau lipoksigenase.
Prostaglandin hasil biosintesis senyawa
eicosanoids bekerja langsung pada sel-sel sekretoris kelenjar ambing dengan meningkatkan populasi dan aktifitas sekretisnya.
Selain senyawa tersebut,
terdapat pula senyawa 17-ketosteroid, androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha yang merupakan prekursor atau intermediate dalam biosintesis hormon steroid. Peningkatan konsentrasi hormon steroid dalam plasma darah secara tidak langsung menstimulasi sel-sel kelenjar hipofise anterior dan posterior untuk melepaskan hormon prolaktin, hormon pertumbuhan, dan oksitosin. Selain aksi hormonal, ditemukan pula aksi metabolit dalam peningkatan prosuksi susu yang melibatkan senyawa 3,4-dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid, monomethyl suksinat, phenylmalonic acid, cyclopentanol, 2-methyl-acetate dan methylpyroglutaman yang terdapat dalam ekstrak daun katuk.
Senyawa-
senyawa tersebut dapat mengalami hidrolisis di dalam saluran pencernaan menghasilkan produk metabolit berupa suksinat, asam malonik, asetat, dan glutamate yang berperan dalam siklus Krebs dalam produksi energi. Menurut Despopoulos dan Silbernagl (2003) senyawa-senyawa 17ketosteroi
secara
langsung
diubah
menjadi
testosteron
atau
13
dehidroepiandrosterone
(DHEA),
selanjutnya
dapat
diubah
menjadi
androstenedion, estron, estradiol, atau dihidrotestosteron secara enzimatis dalam biosintesis hormon steroid.
Hal ini diperkuat penelitian Saragih (2005) dan
Subekti (2007) yang menyatakan terjadinya peningkatan konsentrasi estradiol serum pada pemberian daun katuk dalam ransum unggas petelur. Fitosterol dalam ekstrak daun katuk (Subekti 2007) diduga juga dapat mempengaruhi fungsi reproduksi. Wu et al. (2005) menyatakan bahwa konsumsi fitosterol meningkatkan konsentrasi estradiol, estron, dan SHBG pada serum darah, sedangkan Al Zyood dan Shawakfa (2006) menyatakan bahwa sitosterol melalui
metabolisme
mampu
diubah
menjadi
pregnolon
dan
dehidroepiandrosteron yang merupakan prekursor hormon-hormon steroid. Dapat diyakini bahwa terdapat respon yang serupa pada hewan jantan akibat kedua senyawa di atas yaitu dapat memacu peningkatan hormon steroid terutama testosteron dalam plasma darah. Senyawa 17-ketosteroid, androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha juga dapat meningkatkan konsentrasi ABP melalui peningkatan konsentrasi hormon steroid dalam plasma darah.
Menurut Munell et al. (2002), produksi ABP
dipengaruhi oleh hormon reproduksi dimana respon yang timbul tergantung pada faktor usia, dosis hormon, dan hormon lain. Tindal et al. (1978) menemukan terjadi peningkatan daerah pengikatan ABP pada tikus dewasa terhadap pemberian hormon steroid (testosteron, 5α-gihidrotestosteron, dan prekursorprekursornya) baik secara in vivo maupun in vitro. Hal tersebut diperkuat oleh Danzo et al. (1990) bahwa testosteron merupakan hormon primer yang poten dalam menstimulasi ABP/SHBG pada tikus dewasa.
Peningkatan ABP-
testosteron akan meningkatkan konsentrasi testosteron dan DHT meningkat dalam testis dan epididimis.
Testosteron berperan dalam menstimulasi tahap akhir
spermatogenesis dan memperpanjang masa hidup spermatozoa epididimis (Hafez dan Hafez 2000) Selain itu peningkatan hormon steroid yang tinggi dalam plasma darah dapat menyebabkan umpan balik negatif terhadap sintesis dan sekresi hormon hipotalamus-hipofise sehingga akan terjadi penurunan GnRH yang menyebabkan penurunan kadar FSH-LH pula (Pineda 2003). Efek tersebut sangat terlihat pada
14
hewan dimasa tumbuh dimana sangat sensitif terhadap efek tersebut sehingga kemungkinan besar dapat menyebabkan hambatan sekresi hormon hipotalamushipofise. Efek tersebut menjadi semakin kurang sensitif setelah hewan dewasa (Cunningham dan Klein 2007) sehingga diduga menyebabkan perubahan yang kurang berarti terhadap sekresi hormon hipotalamus-hipofise.
Kolesterol
Pregnolon
Progesteron 17α-OH progesterone
Mineralcorticoids
17α-OH-pregnolone Dehydroepiandrosterone (DHEA)
Glucocorticoid
Androstenedione
Estron Fitosterol2
Sitosterol1
Estradiol
Sitosterol1
Other 17-ketosteroids
Testosteron
Androstan3
Dihydrotestosteron
Gambar 3 Biosintesis hormon steroid (Despopoulos dan Silbernagl 2003) yang dipengaruhi sterol dan androstan Keterangan: 1 Sitosterol dimetabolis menjadi pregnolon dan DHEA (Al Zyood dan Shawakfa 2006) 2 Fitosterol meningkatkan konsentrasi estradiol (Wu et al. 2005) 3 Senyawa 17-ketosteroid, androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha diubah menjadi testosteron atau DHEA (Suprayogi 2000) Suprayogi (2000) menemukan adanya senyawa alkaloid isoquinolone pada ekstrak daun katuk yang memiliki kemiripan struktur kimia, efek farmakologi dan biologi seperti Papaverine (Papaverine Like Compound).
Alkaloid dapat
menghambat sekresi gonadotropin, menyebabkan hambatan pada pertumbuhan dan perkembangan folikel dan ovulasi pada tikus betina dan spermatogenesis pada tikus jantan. Hal ini disebabkan alkaloid dapat menyebabkan gangguan
15
pada hubungan hipotalamus-hipofise-testis dalam sekresi FSH dan LH sehingga berpengaruh terhadap hormon seksual lainnya seperti testosteron (Gomez et al. 2001). Daun katuk juga mengandung senyawa-senyawa yang bersifat sebagai antioksidan kuat (Wang dan Lee 1997; Subekti 2007; Zuhra et al. 2008) tetapi belum diketahui pasti mekanisme kerjanya terhadap organ reproduksi. Kandungan vitamin C yang tinggi dalam daun katuk (Subekti 2007) bermanfaat dalam sintesa kolagen, meningkatkan steroidogenesis, dan antioksidan (Murray et al. 2001).
Vitamin C bekerja sebagai reduktir yang akan mendonorkan satu
elektron membentuk semidehidroaskorbat yang tidak bersifat reaktif dan selanjutnya mengalami reaksi disproporsionasi membentuk dehidroaskorbat. Dehidroaskorbat akan terdegradasi membentuk asam oksalat dan asam treonat. Peranannya sangat penting dalam menjaga integritas membran sel (Suhartono et al. 2007). Kandungan vitamin E dalam ekstrak daun katuk juga tinggi (Subekti 2007). Vitamin E berfungsi sebagai antioksidan dan dapat meningkatkan fungsi reproduksi. Vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak pada membran dan LDL dengan menyumbangkan ion H. Vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi Poly Unsaturated Faty Acids (PUFAs) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas (Hariyatmi 2004).
2.7 Ekstraksi dan Fraksinasi Ekstraksi atau penyarian adalah penarikan zat pokok yang dinginkan dari bahan mentah (simplisia) dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga zat yang diinginkan akan larut (Ansel dan Howard 1995).
Menurut Depkes RI
simplisia adalah bahan alami yang digunakan sebagai obat dan belum mengalami perubahan proses apa pun, kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Proses pengeringan simplisia bertujuan menurunkan kadar air sehingga tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri; menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif; dan mempermudah dalam pengolahan selanjutnya (Gunawan dan Mulyani 2004).
16
Beberapa metode ekstraksi yaitu maserasi, perkolasi, soxhletasi, dan infundasi.
Penelitian ini menggunakan metode maserasi untuk ekstraksi
kandungan senyawa aktif daun katuk. Maserasi merupakan proses paling tepat dimana obat yang sudah halus memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan susunan sel sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Ansel dan Howard 1995). Fraksinasi (partisi) bertujuan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang ada dalam ekstrak kasar. Fraksinasi merujuk pada pemisahan lebih halus. Prinsipnya dengan melakukan pemisahan komponen kimia di antara dua fase pelarut yang tidak saling bercampur di mana sebagian komponen larut pada fase pertama dan sebagian larut pada fase kedua, lalu kedua fase yang mengandung zat terdispersi dikocok, lalu didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua lapisan fase cair, dan komponen kimia akan terpisah ke dalam kedua fase tersebut sesuai dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap (Sudjadi 1986). Menurut Winarno et al. (1973), pelarut adalah suatu cairan yang digunakan dalam proses pemecahan ikatan suatu senyawa untuk selanjutnya membentuk larutan. Pelarut polar akan lebih mudah melarutkan senyawa polar dan sebaliknya senyawa nonplar lebih mudah larut dalam senyawa non-polar. Jenis pelarut akan mempengaruhi kandungan senyawa yang terekstrak karena kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugus yang terikat pada pelarut tersebut. Alkohol adalah pelarut serbaguna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan. Etanol (etil alkohol atau meril karboksil) merupakan cairan bening tidak berwarna, mudah menguap, mudah larut dalam air dan mudah melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, dan senyawa organik lainnya. Etanol juga merupakan pelarut yang paling aman dalam arti tidak bersifat racun. Sementara itu heksan merupakan pelarut yang bersifat non-polar, berwarna putih agak coklat, agak berbau fenol, dan tidak larut air (Winarno et al. 1973). Mencermati hal tersebut etanol merupakan pelarut yang lebih polar dibandingkan heksan sehingga sennyawa-senyawa polar akan lebih banyak ditemukan dalam larutan etanol sedangkan senyawa-senyawa non-polar akan lebih banyak ditemukan dalam larutan heksan.