TINJAUAN PUSTAKA Aktivitas Reproduksi Domba Siklus Estrus Siklus estrus domba berkisar antara 14-19 hari (Jainudeen et al. 2000). Domba garut yang dipelihara secara intensif mempunyai siklus estrus antara 17-20 hari sedangkan yang dipelihara secara tradisional adalah 14-30 hari (Hastono & Masbulan 2001). Siklus estrus terdiri dari dua fase yaitu fase folikuler dan luteal. Fase folikuler terbagi menjadi proestrus dan estrus sedangkan fase luteal terbagi menjadi metesrus dan diestrus. Fase folikeluler paling dominan ditandai dengan produksi hormon estrogen oleh folikel sedangkan fase luteal didominasi oleh pertumbuhan korpus luteum yang ditandai dengan diproduksinya progesteron (Senger 1999). Masa Kebuntingan Kebuntingan adalah serangkaian proses fisiologis yang dimulai dari terjadinya fertilisasi dan diakhiri dengan kelahiran (Jainudeen & Hafez 2000). Lama kebuntingan pada domba bervariasi bergantung pada bangsanya yaitu berkisar antara 144 – 153 hari (Johnson & Everitt 2000; Senger 1999) dengan rata-rata 148 hari.
Fertilisasi Pembentukan suatu individu baru dimulai dari penggabungan antara spermatozoa dan ovum yang dikenal dengan fertilisasi yang terjadi di dalam oviduk. Fertilisasi diakhiri dengan terbentuknya satu sel kompleks yang disebut embrio. Embrio akan mengalami pembelahan sel sampai terbentuk suatu jaringan yang berbeda disebut dengan blastosis. Blastosis memiliki dua populasi sel yang berbeda,
yaitu inner cell mass (ICM)
dan selapis sel trofektoderm yang
6
mengelilingi ICM. Embrio akan tumbuh dari perkembangan ICM sedangkan plasenta dan membran ekstraembrionik tumbuh dari trofektoderm.
Interaksi
antara blastosis dan epitel endometrium induk merupakan awal terjadinya implantasi (Senger 1999: Dey et al. 2004). Konseptus memasuki uterus pada hari ke-4, blastosit terbentuk pada hari ke-6 dan menetas dari zona pelusida pada hari ke 8-9 (Gambar 1). Blastosit berkembang dari bentuk sperikal menjadi tubuler pada hari ke-11 kemudian mengalami elongasi
berbentuk filamen antara hari ke-12 dan 16. Elongasi dari
blastosit menandakan terjadinya implantasi yang melibatkan proses aposisi dan penempelan (hari 12-15) serta mengalami adesi secara ketat pada hari ke-16 (Spencer et al. 2004). Pembentukan trofektoderm yang diikuti dengan perkembangan lebih lanjut menjadi trofoblas merupakan tahapan yang penting untuk dimulainya implantasi dan terjadinya kebuntingan. Sebelum embrio menempel pada dinding uterus, embrio akan mengalami tiga tahapan penting yaitu : perkembangan awal embrio, preimplantasi yang meliputi perkembangan embrio lebih lanjut serta terjadinya membran ekstraembrionik, dan terbentuknya fetus (telah mempunyai bentuk yang definitif spesies tertentu) serta plasenta (Senger 1999). Implantasi Implantasi pada ruminansia (sapi, domba, kambing) terjadi pada tahap blastosis. Waktu terjadinya implantasi berbeda-beda pada setiap spesies yaitu pada babi hari ke-13, sapi hari ke-20, domba hari ke-16 dan kambing hari ke-19 (Dey et al. 2004; Spencer & Bazer 2004). Implantasi merupakan proses yang sangat rumit dan melibatkan interaksi yang sangat dekat antara blastosit dan penerimaan uterus terhadap embrio. Tempat terjadinya implantasi terletak pada area karunkular (Johnson & Everitt 2000; Dey et al. 2004; Lee & DeMayo 2004). Blastosis berkembang dari embrio tahap awal, morula, sebagai hasil dari penyatuan dan mengisi blastocoele yang dikelilingi oleh selapis sel embrio atau trofektoderm (Gambar 2). Trofektoderm terlibat dalam adhesi dengan epitel endometrium sehingga terjadi implantasi. Penerimaan uterus yang terjadi pada periode yang terbatas didefinisikan sebagai waktu dimana lingkungan uterus
7
sangat kondusif untuk menerima blastosis dan implantasi. Interaksi dua arah antara blastosis dan epitel endometrium induk memicu terjadinya implantasi, suatu proses dimana pembuluh darah embrio berkomunikasi dengan sirkulasi darah induk untuk meneguhkan fungsi plasenta dan kebuntingan. Sirkulasi induk mempunyai
barier khusus yang dapat menyeleksi dengan jalan menembus
plasenta untuk melindungi dan memberi makan embrio (Dey et al.
2004;
Wodzicka-Tomaszewka et al. 1991). Plasentasi pada ruminansia seperti sapi dan domba adalah superfisial, yang dikenal sebagai kotiledon sinepiteliokhorial (Wooding 1992). Sinepiteliokhorial adalah sinsisium feto-maternal yang merupakan fusi sel binukleat trofoblas dan sel epitel uterus.
Sedang kotiledon merupakan struktur kasar dari plasenta dan
vili trofoblas yang membentuk kripta karunkel induk. Fusi seluruhnya atau sebagian kotiledon fetus dengan karunkel induk disebut plasentom yang merupakan tempat utama terjadinya pertukaran nutrien dan gas dalam plasenta (Green et al. 1998; Xie et al. 1996). Domba dengan tipe plasenta sinepiteliochorial akan mengalami preimplantasi pada hari ke 8-15 diikuti dengan pemanjangan periode aposisi dan penempelan. Menurut Spencer et al. (2004), pada domba implantasi dan plasentasi dimulai pada hari ke 15-16 tetapi prosesnya akan terus berlanjut sampai hari ke 50-60 usia kebuntingan. Keberhasilan implantasi dapat dideteksi paling lambat 14 hari setelah ovulasi atau sekitar hari ke 5-15
(Wilcox et al. 1999;
Johnson & Everitt 2000; Aplin & Kimber 2004). Sejak terjadinya fertilisasi sampai implantasi, aktivitas ini juga dipengaruhi oleh aktivitas hormonal terutama progesteron dan estrogen (Gambar 1). Estradiol mencapai konsentrasi 10 pg/ml pada saat puncak estrus yang merupakan saat yang paling baik untuk perkawinan, yang konsentrasinya berfluktuasi sampai terjadi implantasi. Sementara konsentrasi progesteron sejak terjadinya fertilisasi sampai terbentuk blastosis pada hari ke-8 mengalai peningkatan konsentrasi sampai mencapai 10 ng/ml. Konsentrasi ini tetap bertahan sampai terjadinya implantasi. Keberhasilan implantasi dan kebuntingan didukung oleh adanya interaksi antara progesteron dan estrogen yang disekresikan oleh ovarium (Spencer et al. 2004; Wen-ge Ma et al. 2003).
8
C Terlepas dari ZP
Pemanjangan
Aposisi
Adhesi
A
Lumen uteri Uterotubal Kornua uteri
Pertumguhan dan Perkembangan blastosis
Oviduk
B
Progesteron
Hari Sesudah Perkawinan Gambar 2 Tahapan awal kebuntingan domba (Spencer et al. 2004). Keterangan : Gambar 2 A. Tahapan awalterjadi kebuntingan domba. di dalam tuba Fertilisasi di dalam tubaFertilisasi Fallopii terjadi dan tahap morula Fallopii dan tahap morula memasuki uterus pada hari ke-4. memasuki uterus pada hari ke-4. Blastosis dibentuk pada harihari ke-6ke-6 dandan ditetaskan daridari ZP pada hari B. Blastosis dibentuk pada ditetaskan ZP pada ke hari 8-9. ke Berkembang dari bentuk spherical menjadi tubular pada 8-9. Berkembang dari bentuk spherical menjadi tubular haripada ke-11, perpanjangan ke filamenus pada 12-15. hari ke-11, perpanjangan ke filamenus padahari hari ke ke 12-15. Perpanjangan blastosis menandakan dimulainya implantasi yang C. Perpanjangan blastosis menandakan dimulainya implantasi melibatkan aposisi dan penempelan secara cepat pada hari ke 12-15 yang melibatkan aposisi dan penempelan secara cepat pada hari dankepelekatan secara kuat pada hari ke-16 et al. 2004). 12-15 dan pelekatan secara kuat pada(Spencer hari ke-16
Penanda Kebuntingan Saat yang paling kritis dalam siklus reproduksi ternak ditentukan oleh kemampuan induk untuk menerima sinyal yang dikirimkan oleh konseptus untuk menghalangi terjadinya luteolisis dan mempertahankan kebuntingan yang disebut dengan maternal recognition of pregnancy atau MRP (Senger 1999; Geisert & Malayer 2000) . Pada ruminansia sinyal penanda kebuntingan yang utama adalah interferon tau (Johnson & Everitt 2000; Spencer & Bazer 2004).
Progesteron (ng/ml)
Posisi Uterus
Masuk ke uterus
9
Penanda kebuntingan berbeda-beda sesuai dengan bangsanya akan tetapi mempunyai fungsi yang sama yaitu mencegah terjadinya luteolisis agar tidak terjadi abortus. Pada primata (CG); manusia (HCG) maupun kuda (PMSG) sekresinya berupa choriogonadotrophin. Domba maupun sapi disekresikan interferon-tau maupun early pregnancy factor yang berfungsi untuk menekan peningkatan reseptor oksitosin, sedangkan pada babi disekresikan estrogen untuk menekan sekresi prostaglandin. Substansi penand akebuntingan ini akan menurun konsentrasinya atau bahkan menghilang pada saat implantasi telah terjadi bersamaan dengan mulai terbentuknya plasenta. Pada saat implantasi sempurna, akan diikuti dengan plasentasi yaitu proses terbentuknya plasenta (chorion, alantois dan amnion). Plasenta berfungsi sebagai pelindung konseptus dengan jalan mensekresikan cairan plasenta. Sekresi plasenta
berupa
steroid
(progesteron
dan
estrogen),
laktogen
plasenta
(Devlin 2002) serta PAG (Green et al. 1998, Xie et al. 1996). Substansi yang disekresikan oleh plasenta akan bertahan sampai kebuntingan berakhir.
Sekresi Plasenta Progesteron Progesteron merupakan hormon penjaga kebuntingan.
Keberadaan
progesteron di dalam uterus akan menstimulir dan menjaga fungsi uterus sehingga dapat dipergunakan untuk tempat perkembangan embrio dini, implantasi, plasentasi serta keberhasilan perkembangan fetus dan plasenta sampai akhir masa kebuntingan (Spencer et al. 2004). Pada ternak domba, sudah dapat dinyatakan bunting jika
konsentrasi
progesteron dalam darah minimal 2,5 ng/ml (Boscos et al. 2003) sedangkan peneliti lainnya menyatakan bahwa konsentrasi tertinggi progesteron pada fase luteal pada 2-4 ng/ml dibandingkan dengan saat estrus pada 1,5-0,8 ng/ml (Ranilla et al. 1994). Peningkatan yang drastis dari 2-4 ng/ml menjadi 12-20 ng/ml terjadi pada kebuntingan hari ke 60-125 (Edqvist & Stabenfeldt 1980), karena plasenta dan atau konseptus sudah memproduksi progesteron. Hal yang
10
sama terlihat level progesteron meningkat dengan konsentrasi tertinggi 16 ng/ml (Johnson & Everitt 2000). Korpus luteum domba memproduksi progesteron dalam jumlah yang relatif rendah pada 50 hari pertama kebuntingan, tetapi setelah melewati masa ini plasenta merespon terhadap lueteinizing hormon maupun prolaktin, untuk mempersiapkan diri sebagai sumber utama progesteron sampai kebuntingan berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi progesteron baru terukur setelah hari ke-60 (Schoenecker et al. 2004). Apabila plasenta telah berfungsi dengan
sempurna maka meskipun
dilakukan ovariektomi produksi hormon yang menjaga kebuntingan tetap disekresikan karena fungsinya telah digantikan oleh plasenta (Gambar 3). Domba apabila dilakukan ovariektomi setelah hari ke-50 tidak akan menyebabkan terjadinya abortus (Senger 1999; Johnson & Everitt 2000).
Estrogen Aktivitas utama estrogen adalah menunjukkan tanda berahi saat estrus, meningkatkan ukuran uterus, aliran darah uterus, meningkatkan ekspresi reseptor progesteron
terhadap
oksitosin,
mendorong
perkembangan
organ
fetus,
menstimulir produksi protein hepar induk serta meningkatkan massa jaringan mammae dan adipose (Hirako et al. 2003; Senger 1999; Johnson & Everitt 2000). Estrogen merupakan hormon yang selain diproduksi oleh ovarium juga diproduksi oleh kotiledon fetus bersama-sama dengan karunkula induk (Teng et al. 2002). Salah satu produk deteksi kebuntingan (DEEA Gestdect®) dengan memanfaatkan ikatan fenol yang terikat pada gugus estrogen dalam urin, mempunyai mempunyai akurasi pada domba dan sapi berturut-turut 60-70 % dan 90 % (Samsudewa et al. 2005). Hal ini menunjukan bahwa estrogen terukur dalam urin domba bunting maupun tidak bunting.
11
0
50
100
150
200
Usia kebuntingan (hari) Gambar 3 Pola hormon dalam plasma darah domba saat bunting. Garis panah menunjukkan saat dimana ovariektomi (Johnson & Everitt 2000).
Pregnancy-Associated Glycoprotein (PAG) Pregnancy-Associated Glycoprotein (PAG) merupakan glikoprotein asam (pI 4.4-5.4), sebagai anggota famili aspartik proteinase yang memperlihatkan sekuen yang paling dekat dengan pepsin (Green et al. 2000). Pregnancyassociated glycoprotein disintesa oleh sel mono- dan binukleat trofoblas (Gambar 3). Sel binukleik (SBN) fetus merupakan sel unik pada ruminansia, sumber utama protein plasenta
seperti laktogen plasenta dan hormon steroid yang
bertanggungjawab terhadap keberhasilan kebuntingan (Atkinson et al. 1993). Selanjutnya SBN
migrasi melalui apical tight junction epitelium chorion,
melintasi microvillar junction fetomaternal, kemudian fusi ke dalam sinsisium uterus. Sinsisium berhubungan erat dengan sirkulasi darah induk, pada fusi lebih lanjut granula SBN dilepas oleh proses eksositosis ke dalam sinsisium. Adanya perpindahan produk plasenta sepanjang kebuntingan kemungkinan erat kaitannya
12
dengan keberhasilan proses metabolisme dan atau imunologi antara induk dan fetus (Wooding 1992). Perubahan pada sistem ini akan menurunkan kapasitas konseptus dalam memproduksi sinyal biologis yang berkaitan dengan kebuntingan yang
diperlukan
untuk
perkembangan
dan
pertumbuhan
fetus
(Regnault et al. 1999). Pada domba, sel-sel ini berdiferensiasi dari sel mononukleik trofektoderm sesaat sebelum kontak antara epitel uterus dengan plasenta yang umumnya terjadi pada hari ke-13 (Green et al. 2000) atau ke 14-15
kebuntingan
(Dunlap et al. 2005).
Mekanisme Sintesis Protein Ovine Pregnancy-Associated Glycoprotein (ovPAG) Asam amino bereaksi dengan ATP membentuk kompleks AMP dan pirofosfat. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim aminoacyl-tRNA synthetase dengan adanya Mg2+. Enzim yang dipergunakan berbeda untuk setiap asam amino . Pada pemisahan fosfat grup dari ATP akan melepas banyak energi yang tersimpan dalam kompleks asam amino AMP. Kompleks asam amino AMP-enzim disebut asam amino teraktivasi sementara pirofosfat dihidrolisis menjadi dua organik fosfat ( Zubay 1993; Champe et al. 2008). Kompleks asam amino AMP-enzim berikatan dengan tempat pengikatan asam amino ( AA binding site) dari spesifik tRNAnya sementara COOH berikatan dengan OH.
Katalisator dari reaksi ini adalah enzim yang sama yaitu yang
menghasilkan tRNA-amino acid complex disebut sebagai charged tRNA. Sementara AMP dan enzim dilepaskan yang dapat dipergunakan untuk mengaktivasi dan mengikat molekul tRNA lainnya. Selanjutnya kompleks asam amino-tRNA bergerak menuju ribosom sebagai tempat sintesa protein. Aktivasi ribosom oleh mRNA memerlukan Mg2+ pada konsentrasi yang sesuai. Sel trofoblas menyimpan protein ini dalam granula
(Gambar 4) dan
melepaskannya ke dalam organisme induk setelah terjadinya fusi dengan sel epitel endometrium induk (Dunlap et al. 2006). Molekul mRNA terletak pada sel monomaupun binukleat trofoblas. Dengan memanfaatkan antibodi monoklonal terdeteksi bahwa sel binukleat trofoblas mempunyai epitop terhadap karbohidrat
13
(Garbayo et al. 2008), selanjutnya melalui
proses glikolisasi terbentuk PAG
(Klisch et al. 2008). Pregnancy-Associated Glycoprotein dilepaskan dari sel trofoblas dan terikat pada reseptor sel permukaan spesifik pada sel target induk. Embrio memulai transkripsi gen spesifik di dalam massa sel bagian dalam blastosis, mRNA yang mengatur sintesis PAG di dalam trofoblas. Selanjutnya PAG akan mendorong respon induk melalui reseptor pada endometrium (Lambert et al. 2005). Variasi derajat glikosilasi pada PAG berbeda-beda tergantung dari kadar karbohidrat yang berkaitan dengan usia kebuntingan, yang merupakan faktor penting pada saat menentukan waktu paruhnya dalam plasma induk (Klisch et al. 2005; Sousa et al. 2006).
Gambar 4 Sel binukleat, kontribusinya terhadap plasenta ruminansia yang definitif dan karakteristik endokrinnya (Wooding 1992) Keterangan : (a) Bagian plasenta matang yang memperlihatkan vili kotiledon fetus memasuki kripta karunkel induk (b) Domba dan kambing, sinsisium feto-maternal dibentuk sebagai hasil migrasi sel binukleat (tahap 1 dan 2) dan fusi (tahap 3 dan 4)
14
Pregnancy-Associated Glycoprotein,
awalnya dikenal sebagai antigen
plasenta yang ditemukan pada serum induk sapi sesaat setelah implantasi (Zoli et al. 1992, Sousa et al. 2006). Perkembangan lebih lanjut PAG telah berhasil dipurifikasi dari plasenta domba; kambing; sapi; babi; kerbau; zebu, dan bison (El Amiri et al. 2004; Garbayo et al. 1998; Zoli et al. 1991; Szafranska et al. 2003; Sousa et al. 2002; Kiewisz et al. 2008). Berat molekul PAG
berbeda pada
beberapa
spesies
yaitu domba pada 55-66 kDa
(El Amiri et al. 2004) bahkan mempunyai berat molekul lebih tinggi pada 70 kDa (Xie et al. 1996); kambing pada 55; 59, dan 62 kDa (Garbayo et al. 1998); sapi pada 67 kDa (Zoli et al. 1992); babi pada 35-72 kDa (Szafranska et al. 2003); kerbau pada 59,5-75,8 kDa pada pertengahan kebuntingan dan 57,8-73,3 kDa pada akhir kebuntingan (Szafranska et al. 2003); zebu pada 51-69 kDa (Sousa et al. 2002), dan bison pada 50;55;60;67, dan 71 (Kiewisz et al. 2009). Profil PAG domba garut belum ditemukan oleh karena itu, sebagai pembanding dipilih domba Merino. Konsentrasi ovPAG pada domba Merino mulai terukur pada minggu ketiga
yang terlihat setara konsentrasinya pada
minggu ke-23 atau dua minggu setelah melahirkan (Gambar 5). Setelah minggu ke-3 , konsentrasinya terus meningkat secara signifikan dan mencapai puncak pertama pada minggu ke-9. Kemudian mengalami penurunan sampai minggu ke13, tetapi konsentrasinya masih lebih tinggi dari minggu ke-3 maupun minggu ke-23. Selanjutnya konsentrasi ovPAG meningkat kembali dan mencapai puncak kedua pada minggu ke-17. Mulai minggu ke 17-21 konsentrasinya terlihat sama dan tetap bertahan sampai seminggu setelah melahirkan kemudian menurun dan mencapai konsentrasi basal sekitar tiga minggu setelah partus (Ranilla et al. 1994) dibandingkan dengan sapi pada hari ke 80-90 (Haugejorden et al. 2006). Peneliti ini menemukan bahwa waktu paruh ovPAG dalam plasma adalah 4,5 hari setelah partus dibandingkan sapi selama 9 hari. Berdasarkan fluktuasi konsentrasi ovPAG sepanjang usia kebuntingan maka pada domba mengikuti pola sekresi dua fluktuasi (Szafranska et al. 2006) yaitu meningkat (300 – 400 ng/ml) di sepanjang dua bulan awal kebuntingan yaitu ketika sel chorion secara intensif berproliferasi serta terbentuknya plasenta. Pada pertengahan kebuntingan terjadi penurunan sampai < 100 ng/ml, kemudian
15
meningkat sampai akhir masa kebuntingan yaitu 300 ng/ml pada Merino dan 600 ng/ml pada Churra (Ranilla et al. 1994). Pregnancy-Associated Glycoprotein dikenal sebagai antigen spesifik yang disekresikan oleh plasenta sehingga keberadaannya dalam serum dapat dipergunakan sebagai metode serologis untuk menguji kebuntingan dini pada sapi dimulai dari 28 hari setelah dikawinkan (Zoli et al. 1992). Pada domba, konsentrasi ovPAG dapat didiagnosa pada hari ke-22 setelah IB menggunakan metode RIA (Karen et al. 2003), sedangkan peneliti lain menemukan bahwa analisis PAG dapat dilakukan pada saat usia kebuntingan dimulai pada minggu ke4
setelah
IB
menggunakan
heterologous
(anti-caPAG(55+59)
antisera
(Ledezma-Torres et al. 2006). Waktu pengukuran yang lebih cepat pada akhirnya ditemukan oleh Green et al. (2000) menggunakan metode
ribonuclease
protection assay pada hai ke-13 setelah dikawinkan.
Gambar 5 Konsentrasi rata-rata ovPAG dalam plasama (± SEM) selama kebuntingan dan postpartus pada domba (Ranilla et al. 1994) Keterangan : (A) Churra (B) Merino
16
Green et al. (2000) melaporkan berdasarkan ekspresi gen pada cDNA menggunakan analisis filogenetik dengan metode ribonuclease protection assay (RPA) terdapat 9 ovPAG yang muncul sepanjang lapisan luar epitel. Pada saat terbentuknya PAG, sekuen DNA mengalami perubahan pada tiga kodon dari CAG AAT CTC menjadi GAG CCT GTC (Hughes et al. 2003). Ekspresi gen ini erat kaitannya dengan pembentukan granul dari sel binukleat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai dasar deteksi kebuntingan. Teknik ini sangat sensitif dan spesifik sehingga
dapat
mendeteksi keberadaan ovPAG sepanjang usia
kebuntingan (Gambar 6). Prinsip teknik RPA adalah mendeteksi keberadaan mRNA dengan cara melabel cDNA menggunakan bahan radio aktif. Tangan DNA yang sekuennya tidak homolog akan gagal berhibridasi dengan mRNA, dengan pemberian RNAse akan didapat satu sekuen gel yang terdiri dari RNA yang terlindungi dan tidak. Adanya pita protein yang terlindungi menunjukkan adanya mRNA yang diidentifikasi berdasarkan ukurannya. Meskipun teknik ini dapat mendeteksi keberadaan mRNA secara spesifik dan sensitif tetapi selama proses dapat terjadi denaturasi RNA serta kemungkian terjadinya kontaminasi terhadap bahan radioaktif yang dipergunakan. Berdasarkan ekspresi ovPAG (Gambar 5), ovPAG-2 terdeteksi paling cepat yaitu pada hari ke-13 (Green et al. 2000) atau hari ke-14 sebagai PAG tunggal. Pada hari ke-16, dapat terdeteksi ovPAG-1; ovPAG-5 dan ovPAG-7 (Green et al. 2000) serta pada hari ke-17, selain ovPAG-1 juga ditemukan ovPAG-10 dan ovPAG-11 (Garbayo et al. 2008). Setelah kebuntingan hari ke-88 semua ovPAG dapat terdeteksi. Metode ini memberikan gambaran bahwa ovPAG dapat dideteksi sebelum memasuki siklus berahi terutama pada ovPAG-1; ovPAG-2; ovPAG-5; ovPAG-7; ovPAG-10 dan ovPAG-11. Dengan demikian dimungkinkan untuk melakukan isolasi ovPAG pada semua fase kebuntingan. Selain bertambahnya usia kebuntingan, konsentrasi PAG dipengaruhi juga oleh jumlah
maupun jenis kelamin fetus. Induk domba dan kambing yang
mengandung 2 fetus mempunyai konsentrasi PAG
lebih tinggi dari yang
mengandung fetus satu. Perbedaannya, pada domba konsentrasi PAG meningkat dimulai dari minggu ke-12 sampai lahir sedangkan pada kambing konsentrasi PAG meningkat secara
nyata pada saat implantasi seperti yang terjadi pada sapi
17
ovPAG-9 ovPAG-8 ovPAG-7 ovPAG-6 ovPAG-5 ovPAG-3 ovPAG-2 ovPAG-1
13
16
25
88
100
130
Usia Kebuntingan (hari) Gambar 6 Diagram ekspresi ovPAG sepanjang usia kebuntingan (Green et al. 2000) dimulai dari minggu ke-12 sampai lahir sedangkan pada kambing konsentrasi PAG meningkat secara nyata pada saat implantasi seperti yang terjadi pada sapi (Ranilla et al. 1994; González et al. 2004; Ledezma-Torres et al. 2006). Induk yang mengandung fetus jantan mempunyai konsentrasi PAG akan lebih tinggi pada 3 minggu terakhir masa kebuntingan dibandingkan dengan yang mengandung fetus betina (Ranilla et al. 1994 ). Sedangkan peneliti lain mengungkapkan bahwa jenis kelamin tidak mempengaruhi konsentrasi ovPAG tetapi dipengaruhi oleh total berat fetus saat dilahirkan (Vandaele et al. 2003; Bertolini et al. 2006). Konsentrasi ovPAG diukur dengan menggunakan semi-purified ovPAG sebagai standar, tracer maupun imunogen untuk memproduksi antibodi pada kelinci. Antisera R780 (campuran α-ovPAG(57+59kDa)) dan R805 (campuran αovPAG5(58+61kDa) pada metode RIA merupakan antisera homolog yang sesuai untuk mengukur konsentrasi ovPAG dalam plasma dari hari ke-18 setelah inseminasi (El Amiri et al. 2007). Konsentrasi PAG dalam air susu maupun plasma darah
pada sapi (boPAG) maupun kambing (caPAG) menunjukan
18
peningkatan setelah hari ke-28 dan peningkatan konsentrasi secara cepat terjadi menjelang melahirkan (Gajewski et al. 2008). Konsentrasi
ovPAG
dimungkinkan
untuk
diukur
dengan
jalan
memproduksi anti-ovPAG. Molekul PAG yang diuji terhadap protein lain (caPAG maupun ovPAG) memberikan hasil yang spesifik (Perényi et al. 2002; Green et al. 2000). Perkiraan waktu paruh ovPAG dalam plasma adalah 9 dan 4.5 hari pada sapi dan domba, sedangkan konsentrasi basal baru tercapai pada hari ke 80-90 pada sapi dan hari ke 17-21 domba (Haugejorden et al. 2006).
Isolasi ovPAG Isolasi ovPAG meliputi pemisahan dan karakterisasi protein. Pemisahan protein dapat dilakukan menggunakan metode sentrifugasi, presipitasi garam dan kolom kromatografi. Kolom kromatografi terdiri dari filtrasi gel dan pertukaran ion (Nelson & Cox 2000; Abbas et al. 2007; Lodish et al. 2000). Filtrasi Gel Filtrasi gel merupakan metode yang umum dilakukan untuk menyeleksi protein berdasarkan ukuran dan bentuk protein (Nelson & Cox 2000; Lodish et al. 2000). Protein dengan berat molekul besar akan tertahan pada lapisan serabut yang membentuk gel sedangkan protein yang akan diisolasi akan lepas dan tertampung dalam fraksi yang dielusi dari kolom (Gambar 7).
Kromatografi Pertukaran Anion Kromatografi pertukaran ion (Nelson & Cox 2000; Lodish et al. 2000). bergantung pada interaksi muatan-muatan ion antara protein dalam sampel (protein terikat pada molekul ovPAG) dengan muatan imobil dalam resin dari kolom yang dipilih. Ada dua jenis kromatografi pertukaran ion yaitu kation dan anion yang ditentukan dari karakter protein atau enzim juga pH bufer yang digunakan untuk melarutkan enzim. Kekuatan ikatan ion larutan dan total konsentrasi garam merupakan faktor penentu agar kromatografi pertukaran ion dapat bekerja dengan baik. Kromatografi pertukaran anion (KPA) ditandai dengan
19
adanya interaksi antara muatan negatif protein sampel dan muatan positif resin yang dipergunakan sedangkan kromatografi pertukaran kation bekerja sebaliknya.
Gambar 7 Proses Filtrasi Gel (Lodish et al. 2000)
Gambar 8 Proses Kromatografi Pertukaran Anion (Lodish et al. 2000)
20
Kromatografi pertukaran anion seperti DEAE (diethylaminoethyl) mempunyai muatan positif sehingga akan mengikat ion bermuatan negatif. Grup pertukaran anion akan terikat secara kovalen pada matriks selulosa atau sephadex (modifikasi serbuk). Protein dapat dielusi dengan konsentrasi garam bertingkat yang memungkinkan ion untuk berkompetisi pada fase ini. Oleh karena itu, seluruh hasil elusi (fraksi) harus didialis untuk menghilangkan garam yang terkandung di dalamnya. Resin diethylaminoethane merupakan salah satu resin yang umum dipergunakan sebagai kolom kromatografi pertukaran anion. Matrik resin dalam kolom DEAE dapat mengikat 10 sampai 100 mg protein per ml dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kemampuan dan memisahkan fragmen protein dari ’slurry’ pembuka. Bufer yang dipergunakan mempunyai pH antara 7-10 dan larutan yang dipergunakan sebagai ’runnning gradient’ adalah 1 M NaCl. Garam dalam larutan berkompetisi untuk mengikatan muatan imobil dalam matrik dan melepas protein dari tempat ikatan pada konsentrasi yang telah dikondisikan. Variasi konsentrasi garam diperlukan untuk memisahkan muatan protein yang diisolasi dari protein kontaminan (Gambar 8). Elektroforesis Gel pada Monogel Sodium Dedocyl Sulfate-Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) Protein yang ada dalam fraksi terikat dengan SDS dalam ikatan yang telah didenaturasi. Selama elektroforesis komplek protein-SDS melewati PAGE. Protein yang lebih kecil akan lebih mudah melewati pori dan cepat dibandingkan dengan yang lebih besar. Protein terpisahkan dalam gel berdasarkan ukurannya sepanjang melewati gel. Pita protein yang terbentuk diwarnai dengan Commassie Brilliant Blue (El Amiri et al. 2004). Sodium dedocyl sulfate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) berfungsi untuk menghilangkan protein yang mengkontaminasi enzim yang dipergunakan untuk purifikasi protein. Protein yang akan dipurifikasi ditambah mercaptoethanol kemudian dipanaskan dengan tujuan untuk memotong ikatan disulfid dan denaturasi protein. Sedangkan SDS sebagai suatu deterjen untuk menyamakan muatan listrik (SDS mengikat stoichiometrically, 1 SDS per 1.4 asam amino). Ketika protein dialirkan ke dalam gel kemudian aliran listrik
21
tersambung, protein akan bermigrasi melalui pori-pori di dalam gel poliakrilamid. Gel akan memisahkan protein berdasarkan kemampuan protein untuk bergerak yang
setara
dengan
nilai
logaritmik
berat
molekulnya
(Stryer
1995;
Champe et al. 2008). Pewarnaan Commassie Brilliant Blue Commassie Brilliant Blue (CBB) merupakan pewarnaan anion yang umum dipergunakan untuk pewarnaan protein. Struktur CBB adalah non-polar sehingga biasanya digunakan dalam campuran metanol 40 % dan asam asetat 7 %. Protein dalam gel difiksir oleh asam asetat dan secara simultan diwarnai. Zat warna yang berlebih dihilangkan dengan larutan yang sama tanpa ditambah CBB. Protein terdeteksi dengan terbentuknya pita biru, akan tetapi karena SDS bersifat anion juga maka untuk menghindari intervensinya pada saat pewarnaan maka volume larutan harus benar-benar merendam gel. Pita protein yang terlihat pada monogel diukur jaraknya untuk menentukan migrasi relatifnya. Selanjutnya berdasarkan berat molekul standar (Broad Range Standard®) dapat ditentukan persamaan regresinya dan dari migrasi relatif yang diperoleh dapat ditentukan estimasi berat molekul protein yang diuji.
Pengukuran Konsentrasi Protein Bicinchoninic Acid (BCA) Protein Assay merupakan metode deteksi kolorimetri dan penghitungan total protein, yang dimodifikasi dari metode Lowry. Prinsip utamanya adalah reduksi Cu2+ menjadi Cu1+ oleh protein dalam medium alkalin oleh asam bichinconinic. Tahap awal, dikenal sebagai reaksi biuret yaitu peptida yang mengandung beberapa asam amino berikatan dengan ion Cu1+ membentuk warna biru. Tahap kedua adalah reaksi perubahan warna menggunakan BCA. Warna kuning terbentuk dari pengikatan dua molekul BCA dengan satu ion Cu1+ (Pierce ®). Warna yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 590 nm.
22
Antibodi Poliklonal Antigen adalah molekul yang bereaksi dengan antibodi sedangkan imunogen merupakan molekul yang dapat memberikan respon imum. Keduanya mempunyai makna yang sama. Substansi yang mempunyai kemampuan untuk menghasilkan respon imun yang spesifik, seperti protein. Antigen baru akan dikenali oleh limfosit B maupun T apabila epitopnya dikenali. Epitop merupakan sisi aktif antigen yang dapat berikatan dengan reseptor sel B maupun T (Goldsby et al. 2000) . Respon imun yang dihasilkan bergantung dosis dan rute penyuntikan antigen atau imunogen. Respon imun merupakan upaya inang untuk mempertahankan diri yang prosesnya terdiri atas 1) pengenalan, organisme asing dikenali oleh sel imun spesifik, 2) aktivasi, mengaktivasi sel imun untuk memproduksi respon spesifik seperti antibodi, 3) respon, yang secara spesifik merusak organisme (Goldsby et al. 2000; Lordish et al. 2000 ). Respon imun primer adalah IgM, antigen reseptor pada sel B, sedangkan IgG adalah respon imun IgG yang melintas plasenta. Respon imun primer berjalan lambat sekitar 7-10 hari tergantung kemunian dan dosis Ag serta rute penyuntikannya. Ig M levelnya lebih cepat turun dibadingkan dengan IgG. Apabila hewan diberi booster dengan antigen yang sama setelah respon primer, respon imun yang terbentuk cepat (3-5 hari) dan mempunyai level respon imun yang lebih tinggi dari respon primer. Selama respon sekunder, IgM yang diproduksi sama dengan setelah kontak dengan Ag (Gambar 9). Sementara, IgG lebih besar diproduksi dan levelnya tertahan jauh lebih lama dari respon primer (Abbas et al. 2007; Goldsby et al. 2000). Pada produksi antibodi diperlukan adjuvant untuk meningkatkan respon imun terhadap aktivitas sel imunogen. Adjuvant merupakan campuran mineral oil, linoloid dan mikrobakteria yang telah dilemahkan (Freud’s adjuvant) yang menstimulasi pembentukan granuloma lokal agar pembentukan antibodi berjalan dengan baik. Apabila hewan disuntik antigen yang telah ditambah adjuvant maka normalnya limfosit B akan menghasilkan satu tipe antibodi yang mengenali determinan spesifik atau epitop molekul antigen, disebut antibodi monoklonal.
23
Akan tetapi karena secara alami antigen mempunyai beberapa epitop sehingga apabila antigen disuntikkan pada hewan maka akan menstimulasi beberapa klonal limfosit yang berbeda
dan masing-masing akan menghasilkan antibodi yang
berbeda. Campuran antibodi yang dapat mengenali beberapa epitop pada antigen yang sama disebut antibodi poliklonal (Goldsby et al. 2000; Abbas et al. 2007). Kekuatan interaksi antigen dan antibodi bergantung dari seberapa dekat kecocokan antara antigen dan antibodi. Total kekuatan interaksi nonkovalen antara tempat terikatnya antigen (single antigen-binding site) pada antibodi dengan suatu epitop tersebut afinitas antibodi. Semakin tinggi afinitas antibodi, kemampuan antibodi untuk mengikat semakin kuat dan ikatannya bertahan lama, sebaliknya semakin rendah afinitas ikatan antibodi dan epitop makin lemah dan ikatannya mudah lepas. Reaksi silang (cross-reactivity ) terjadi apabila antigen yang sama muncul pada tipe sel atau jaringan yang berbeda, munculnya epitop yang identik pada permukaan dua antigen yang tidak identik, dua antigen memiliki dua epitop sama tetapi tidak identik sehingga bisa terjadi salah satu epitop akan mengikat lebih kuat daripada epitop lainnya, dua bahan yang berbeda secara kimiawi seperti protein dan karbohidrat tetapi mempunyai epitop yang sama atau bisa juga terjadi dua antibodi yang satu memiliki epitop A sedangkan yang satunya memiliki epitop A dan B (Huebner 2004). Prosedur pembuatan antibodi poliklonal sangat sederhana dibandingkan dengan antibodi monoklonal meskipun demikian antibodi yang dihasilkan sangat bermanfaat. Kelebihan antibodi poliklonal selain metode produksi yang sederhana juga
dapat mengikat semua antigen yang menjadi target reaksi. Sedangkan
kelemahan antibodi poliklonal yang utama adalah karena antibodinya dapat bereaksi dengan semua epitop yang ada pada antigen yang direaksikan maka akan mendapatkan reaksi silang yang tinggi. Oleh karena itu hal yang harus diperhatikan
saat
memproduksi
antibodi
poliklonal,
isolat
diimunisasikan harus dalam keadaan yang murni (Abbas et al. 2007).
yang
akan
24
B
A
Level Antibodi Serum
Respon Anti-A Kedua
Respon Anti-B Primer
Respon Anti-A Primer
Hari Gambar 9 9Perbedaan respon primer dandan sekunder antigen yang disuntikkan Gambar Perbedaan respon primer sekunder antigen yang disuntikkan (humoral response). Hewan disuntik antigen akan memproduksi (Goldsby et al. 2000) antibodi primer Keterangan : serum pada konsentrasi rendah dan waktu yang singkat dengan puncak pada ke 10-17 . Imunisasi kedua A. Antigen A disuntikan, akanhari diproduksi antibodi primer anti-A pada dengankonsentrasi antigen yang sama akan menghasilkan respon imunpada yanghari rendah dan waktu yang singkat dengan puncak lebih ke besar dengan puncak yang diperoleh dalam waktu lebih 10-17 . singkat hari ke dan B, lebih bertahanrespon (bulanan sampai B. Antigen A +2-7 Antigen akanlama menghasilkan imun yang lebih besar dengan puncak yang diperoleh dalam waktu lebih lama tahunan daripada antibodi primer (Goldsby et al. 2000) bertahan (bulanan sampai tahunan daripada antibodi primer (anti-A), imun respon antibodi primer anti-B lebih singkat hari ke 2-7
Determinasi Rabbit anti-ovPAG menggunakan Metode Western Blot Western Blot (WB) merupakan teknik analisis untuk mendeteksi protein spesifik yang terkandung dalam ekstrak atau jaringan. Dimulai dengan elektroforesis untuk memisahkan protein yang kemudian ditransfer ke dalam membran, umumnya digunakan membran nitroselulose (Gambar 10). Prinsipnya adalah protein dideteksi menggunakan antibodi spesifik (monoklonal maupun poliklonal) terhadap protein target (Lodish et al. 2000; Majewska et al. 2005; Bella et al. 2009).
25
Gambar 10 Prosedur Metode Western Blot (Lodish et al. 2000)
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Enzyme Linked Immunosorbent Assay
secara umum dikenal sebagai
ELISA atau EIA. Prinsip dasarnya sama dengan Radio immuno assay (RIA) tetapi pada ELISA digunakan enzim sedangkan pada RIA menggunakan bahan radioaktif yang dilabel.
Enzim yang dikonjugasikan pada antibodi bereaksi
dengan substrat untuk menghasilkan reaksi warna sehingga disebut sebagai chromogen substrat. Beberapa enzim yang umum dipakai pada ELISA antara lain alkalin
fosfatase
dan
horseradish
peroxidase
(Crowther
2001;
O’Connor et al. 2003; Goldsby et al. 2000). Keunggulan metode ELISA dibandingkan dengan metode RIA selain memiliki sensitifitas yang sama juga waktu pengukuran cepat karena diperlukan kira-kira 15 menit untuk 100 sampel; aman karena tidak memerlukan substansi radioaktif; relatif murah, hasil yang diperoleh setara meskipun material yang
26
dipergunakan berbeda (serum, plasma, urine maupun feses), peralatan yang diperlukan
sederhana
terutama
untuk
membaca
hasil
menggunakan
spektrofotometer (O’Connor et al. 2003; Munro et al. 1991). Ada bermacam-macam tipe ELISA yang dikembangkan berdasarkan deteksi
kualitatif dan kuantitatif terhadap antigen dan antibodi yang
dikandungnya (Goldsby et al. 2000, Crowther 2001, Pier et al. 2004). Ada tiga metode yang mendasari semua metode ELISA yaitu Direct ELISA; Indirect ELISA dan Sandwich ELISA.
Direct ELISA Teknik Direct ELISA merupakan teknik ELISA yang paling sederhana. Antigen diencerkan dalam bufer karbonat-bikarbonat atau phosphate buffer saline (PBS).
Bufer yang digunakan tidak mengandung protein lain yang dapat
berkompetisi dengan antigen target yang akan ditempelkan pada fase solid lempeng ELISA. Setelah diikunbasi, antigen yang tidak terikat pada fase solid dicuci menggunakan bufer. Antibodi spesifik terhadap antigen (Ab1), dilabel dengan enzim (konjugasi), ditambahkan dan diinkubasi. Antibodi terkonjugasi (Ab2) diencerkan dalam bufer yang mengandung substansi yang dapat menghambat penyerapan protein secara pasif. Substansi yang ditambahkan untuk berkompetisi dengan pori-pori dalam fase solid yang tidak terisi antigen disebut dengan bufer penahan atau blocking buffer. Selama inkubasi antibodi akan berikatan dengan antigen. Antibodi yang tidak berikatan dengan antigen dihilangkan dengan cara dicuci menggunakan bufer. Kemudin ditambahkan substrat atau chromogen antispesies. Reaksi ini bertujuan untuk mengembangkan reaksi warna melalui proses katalisis enzim. Interaksi antara antigen dan antibodi yang dideteksi dengan menggunakan konjugat (enzim yang dikonjugasikan ke antibodi), antara lain horseradish peroxidase dan substrat disebut chromogen karena mempunyai kemampuan untuk menyerap warna antara lain benzidin akan menimbulkan warna biru. Reaksi dihentikan apabila sudah terjadi perubahan warna dari biru menjadi kuning dengan menambahkan larutan yang menghambat reaksi. Perubahan warna yang
27
terjadi diukur menggunakan spektrofotometer (ELISA Reader, Biorad®) pada panjang gelombang 450 nm (O’Connor et al. 2003; Crowther 2001 ).
Indirect ELISA Tahap awal teknik ini sama dengan Direct ELISA, hanya Ab1 yang ditambahkan adalah antibodi yang tidak dilabel enzim. Antibodi diencerkan menggunakan bufer penghambat untuk menjaga adanya penempelan nonspesifik dari protein antiserum. Diinkubasi dan dicuci untuk menghilangkan kelebihan antibodi yang tidak terikat agar didapatkan ikatan yang spesifik. Antibodi yang telah dilabel (Ab2 atau konjugat) berupa antibodi antispesies yang telah diencerkan dalam bufer, selanjutnya diinkubasi dan dicuci untuk mendapatkan ikatan yang spesifik. Substrat ditambahkan untuk mengikat konjugat dan setelah terjadi perubahan warna, reaksi dihentikan. Selanjutnya warna yang terjadi dibaca pada spektrofometer (O’Connor et al. 2003; Crowther 2001) .
Sandwich ELISA Teknik ini dibagi menjadi dua yaitu Direct Sandwich dan Indirect Sandwich ELISA (Crowther 2001, Harlow & Lane 1988).
Direct Sandwich ELISA Prinsip utamanya adalah memaksimalkan aktivitas antibodi (Ab1) yang ditempelkan pada fase solid lempeng ELISA untuk menangkap antigen. Kemudian antigen dideteksi menggunakan serum spesifik yang telah dilabel enzim (Ab2), diinkubasi dan dicuci. Antibodi yang menangkap antigen (capture antibody) dan antibodi yang mendeteksi (detecting antibody) bisa sama atau dari hewan berbeda dari spesies yang sama atau berbeda spesies. Setelah ditambahkan konjugat (Ab3 ), diinkubasi, konjugat bebas dicuci. Penambahan substrat sampai terjadi perubahan warna kemudian reaksi dihentikan dan diukur kuantitas
28
warnanya menggunakan spektrofotometer. Antigen yang dipergunakan paling tidak harus memiliki dua epitop (Crowther 2001; Harlow & Lane 1988).
Indirect Sandwich ELISA Prinsip utamanya sama hanya antibodi untuk mendeteksi antigen tidak dilabel enzim. Setelah antigen berikatan dengan antibodi (Ab1) pada fase solid lempeng ELISA, ditambahkan antibodi (Ab2) yang berasal dari spesies yang berbeda dengan Ab1. Selama inkubasi terjadi ikatan Ag-Ab, antibodi bebas dicuci. Konjugat antispesies (Ab3) ditambahkan yang dapat mengikat serum yang berasal dari spesies yang sama dengan Ab2 tetapi tidak dapat bereaksi dengan antibodi fase solid ELISA. Penambahan substrat sampai terjadi perubahan warna kemudian reaksi dihentikan dan diukur kuantitas warnanya menggunakan spektrofotometer (Crowther 2001; Harlow & Lane 1988).
Uji Validasi Ada beberapa uji validasi asai untuk mengukur yaitu paralelisme, efisiensi ekstraksi contoh maupun presisi asai. Uji paralelisme dilakukan dengan menguji respon konsentrasi terhadap standar. Konsentrasi diuji dengan membandingkan faktor pengencerannya. Apabila hasil yang diperoleh paralel terhadap standar maka pengenceran yang akan dilakukan dapat dipergunakan untuk mengukur konsentrasi antigen atau antibodi sampel. Efisiensi ekstraksi dilakukan dengan melakukan pelabelan radioaktif, dilakukan sebelum proses ekstraksi sampel ekskreta. Presisi ditentukan dengan menghitung nilai kontrol kualitas tinggi dan rendah pada satu asai (intra-assay coefficient of variant) dan pada beberapa asai (inter-assay coefficient of variant) yang telah dilakukan. Apabila asai menunjukan nilai koefisien variasi ≤ 15% maka asai tersebut dinyatakan memiliki nilai presisi yang baik (Maheswari 2007).