2. Konsumsi Pakan 2.1. Intake Makanan pada Ternak Monogastrik 2.2. Intake Makanan pada Ternak Ruminansia 2.3. Pendugaan Intake Makanan
Untuk menghasilkan performan produksi yang tertinggi, ternak memerlukan nutrien. Nutrien ini dibutuhkan untuk hidup pokok (maintenance) dan berbagai produksi (production). Faktor yang harus diperhatikan adalah jumlah makanan yang diberikan, semakin banyak jumlah makanan yang dikonsumsi setiap hari, akan semakin memberikan kesempatan untuk menghasilkan produksi tinggi. Peningkatan produksi yang diperoleh dari konsumsi makanan yang lebih tinggi biasanya berkaitan dengan peningkatan efisiensi proses-proses produksi, sehingga proporsi untuk kebutuhan pokok menurun sedangkan produksi meningkat. Proses makan (feeding) adalah aktivitas yang komplek, yang meliputi mencari makanan, mengamati, pergerakan, aktifitas sensorik, memakan dan mencerna. Dalam saluran pencernaan makanan dan zat-zat makanan diserap dan dimetabolismekan. Semua proses ini dapat mempengaruhi konsumsi makanan dalam jangka pendek (short term basis). Namun demikian perlu diperhatikan bahwa, pada ternak dewasa kebutuhan pokoknya selaras dengan (berat tubuhnya) relatif konstan, walaupun makanan tersedia ad libitum. Dengan demikian konsep jangka pendek-jangka panjang dalam mengontrol konsumsi harus diperhatikan. Walaupun sistem kontrol ini sama pada setiap jenis ternak, namun ada perbedaan antar spesies yang tergantung pada struktur dan fungsi saluran pencernaannya.
Gambar 2.1 Ternak merupakan industri biologi
Bab-2: Konsumsi Pakan
II-1
Mekanisme kontrol konsumsi makanan adalah dilakukan sebagai berikut:
Level Metabolik: konsentrasi zat-zat makanan, metabolit atau hormon dapat menstimutir sisitem syaraf pusat (CNS=Central Nervous System) yang menyebabkan ternak mulai atau berhenti makan.
Level Sistem Pencernaan: jumlah digesta dapat menentukan jumlah yang dapat dicerna oleh ternak.
Pengaruh External: misalnya iklim
2.1. Intake Makanan pada Ternak Monogastrik Pusat Kontrol di Sistem Syaraf Pusat Aktivitas makan pada hewan mamalia dan unggas dikontrol oleh pusat di hipothalamus yang terletak di bagian cerebrum otak. Pada awalnya teori ini bermula dari dua aktivitas organ pusat. Pertama adalah pusat makan (lateral hipothalamus) yang menyebabkan ternak memulai aktivitas makan sampai dibatasi oleh pusat yang kedua yaitu pusat kenyang (vetro medial hipothalamus) yang menerima signal dari tubuh sebagai hasil dari konsumsi makanan. Dengan demikian ternak akan terus makan sampai mendapat signal untuk berhenti dari pusat kenyang. Namun demikian yang berperan dalam pengaturan makan tidak hanya hipothalamus saja, melainkan ada bagian lain dari CNS yang berperan.
Gambar 2.2. Bagian-bagian otak
Pengaturan Jangka Pendek Teori Khemostatik Hipotalamus mengatur berbagai pengeluaran zat makanan dari makanan dalam saluran pencernaan, penyerapan serta transportasi zat-zat makanan. Berdasarkan teori khemostatik, peningkatan konsentrasi substansi tertentu memberikan signal untuk berhenti makan, sebaliknya jika konsentrasi rendah menyebabkan ternak akan mulai makan. Glukosa merupakan indikator yang menentukan kenyang atau lapar bagi ternak. Jika konsentrasi glukosa darah rendah dan disuntik dengan insulin maka ternak akan merasa lapar. Sebaliknya setelah makan konsentrasi glukosa akan meningkat dan ternak akan berhenti makan. Mekanisme pengaturan gula darah diilustrasikan pada Gambar 2.3 berikut.
Bab-2: Konsumsi Pakan
II-2
Gambar 2.3 Mekanisme pengaturan kadar gula darah
Reseptor glukosa diduga terletak di hipothalamus. Hipotalamus dapat memonitor kadar glukosa baik di pembuluh vena maupun arteri. Penelitian yang lain menunjukan bahwa receptor tersebut saluran pencernaan dan hati. Sebagai bukti bahwa jika glukosa disuntikan di usus atau di sistem portal hepatik menyebabkan menurunan intake pakan yang lebih besar dibandingkan jika disuntikan di sirkulasi periperal. Dugaan lain yang mengatur komunikasi saluran pencernaan dan otak adalah hormon peptida cholecystokinin. Hormon ini dikeluarkan jika asam amino dan asam-asam lemak mencapai duodenum, dan ini merupakan kerja hipothalamus. Teori Thermostatik Teori ini berlandasan bahwa ternak akan makan untuk mempertahankan panas dan akan berhenti makan untuk mencegah hyperthermia. Panas yang diproduksi dari hasil pencernaan dan metabolisme makanan adalah merupakan signal dalam pengaturan makan. Thermoreceptor sensitif terhadap perubahan panas yang terjadi di anterior hipothalamus dan juga di periperal kulit. Sebagai bukti, pada daerah panas ternak akan mengurangi makannya untuk menurunkan produksi panasnya.
Pengaturan Jangka Panjang Pengaturan jangka panjang ditujukan untuk menjaga bobot badan agar tetap. Hal ini berkaitan ebergi cadangan berupa lemak tubuh. Penelitianpenelitian pada unggas mendukung teori lipostatik tersebut. Ayam yang diberi makan dua kali lebih besar dari normal akan mendeposit lemak pada abdomen dan liver. Namun ketika ayam tersebut dipuasakan selama 6-10 hari, konsumsi pakannya rendah. Hal ini memperlihatkan bahwa pada force feeding system, jaringan lemak menurun mendekati normal. Pada babi mekanisme ini kurang sensitif dibandingkan dengan uanggas.
Bab-2: Konsumsi Pakan
II-3
Peran deposisi lemak dalam pengaturan konsumsi pakan dilakukan oleh hormon leptin. Polipeptida ini disekresikan oleh jaringan adiposa putih dan aktivitas pada hipothalamus yang menstimulasi atau menekan pengeluaran neuropeptidase. Hormon ini menekan konsumsi, meningkatkan thermogenesis dan aktivitas fisik. Pada tikus yang diberi leptin, konsumsi makanannya menurun sampai ke batas normal.
Sensor Indera Penginderaan penglihatan, penciuman, perabaan dan perasa memiliki peran yang penting dalam menstimulasi selera makan manusia, dan mempengaruhi jumlah makanan yang dicerna. Pada hewan penginderaan memiliki peran yang lebih kecil dari pada manusia. Palatabilitas adalah derajat kesukaan pada makanan tertentu yang terpilih dan dimakan. Pengertian palatabilitas berbeda dengan konsumsi. Palatabilitas melibatkan indera penciuman, perabaan dan perasa. Pada ternak peliharaan memperlihatkan prilaku mengendus (sniffing) makanan. Kebanyakan hewan memiliki preferensi dalam menyukai makanan tertentu, terutama jika memiliki kesempatan memilih. Contohnya, anak babi muda lebih menyukai larutan gula dibandingkan air, sementara unggas tidak bisa membedakan rasa manis, tapi tidak dapat mencerna larutan garam dengan konsentrasi berlebih.
Faktor Fisiologi Ternak dapat mengatur jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga intake energi tetap konstan. Konsep bahwa ’ternak makan untuk memenuhi kalori’ nampak jelas terlihat pada ungas dan ternak monogastrik. Pada Tabel 2.1. diperlihatkan hasil penelitian untuk membuktikan konsep tersebut. Ayam yang diberi Ransum No 1 yang memiliki energi yang cukup 8.95 MJ/kg (atau 13,18 MJ/kg ME) mengkonsumsi ransum dalam jumlah yang normal. Jika kandungan energi ransum tersebut dikurangi dengan cara menurunkan kualitas ransum maka konsumsi ransum meningkat hingga 25% lebih banyak dari normal, sedangkan konsumsi energi menurun 29% dari normal. Pada kondisi ransum yang rendah energi, jumlah konsumsi energi dibatasi oleh kapasitas alat pencernaan. Regangan pada alat pencernaan yang meningkatkan aktivitas syaraf vagus dan menstimulir pusat kenyang di hipothalamus. Pada penelitian dengan kandungan energi dalam ransum ditingkatkan melebihi normal maka responnya akan terjadi sebaliknya. Secara umum hubungan antara konsumsi makanan dengan kebutuhan energi tidak terkait langsung dengan bobot badan, melainkan dengan bobot badan metabolik (W0.75). Hubungan ini berlaku untuk berbagai status fisiologi ternak, misalnya tikus yang sedang bunting mengkonsumsi energi tiga kali lipat dari kondisi normal.
Defesiensi Zat Makanan Penggunaan produk-produk hasil metabolisme nutrien tergantung pada efisiensi pada berbagai proses metabolik. Disamping itu defesiensi asam amino, vitamin dan mineral juga berpengaruh pada konsumsi pakan. Pada unggas, yang mengalami defisiensi AA menyebabkan penurunan konsumsi pakan.
Bab-2: Konsumsi Pakan
II-4
Namun demikian jika dalam defisiensi yang moderat (sedang) menyebabkan peningkatan konsumsi. Jika ayam diberi ransum dengan konsentrasi Ca lebih tinggi, ayam yang sedang bertelur 25% akan mengkonsumsi lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak bertelur, sedangkan jika ayam diberikan rasum dengan konsentrasi Ca yang lebih rendah dan diberikan sumber Ca berupa grit, maka konsumsi pakan tidak terlalu bervariasi, karena ayam petelur mengkonsumsi grit sebagai penambah kekurangan Ca. Artinya ayam petelur meningkatkan konsumsi untuk mendapatkan Ca. Hormon yang mengontrol kadar Ca adalah estradiol. Tabel 2.1. Pengaruh penurunan konsentrasi energi ransum terhadap intake energi dan pertumbuhan ayam
Kandungan Energi Ransum Gross Energi (MJ/kg) Metabolis Energi (MJ/kg) Metabolis Energi (% dari Ransum No.1) Performan Ayam (umur 11 minggu, % dari hasil ransum No.1) Total konsumsi ransum Total konsumsi ME Pertambahan Bobot Badan Kandungan Lemak Karkas (%DM, ayam jantan saja)
1
2
Ransum 3
4
5
8.95 13.18 100
7.91 11.59 88
6.82 10.21 78
5.73 8.91 68
4.46 7.45 57
100 100 100 26.8
101 90 99 23.1
113 88 102 21.1
117 80 98 18.1
125 71 98 16.1
2.2. Konsumsi Pakan pada Ternak Ruminansia Karakteristik Pakan yang Menentukan Intake Ruminansia dapat mencerna pakan kasar, karena memiliki kemampuan dalam menfermentasi serat. Proses fermentasi adalah proses yang lambat, serat pakan diproses dalam waktu yang lama di dalam saluran pencernaan untuk memperoleh zat-zat yang dapat dicerna. Jika terlalu banyak bahan yang tidak dapat dicerna maka intake akan menurun. Intake dipengaruhi oleh kapasitas rumen, reseptor dinding rumen menyampaikan sinyal dari isi rumen ke otak. Tapi kapasitas maksimum dan pakan yang mengisi rumen tidak dapat diketahui secara pasti. Pakan yang voluminous (bulky) seperti hay, akan mengisi rumen dengan jumlah lebih banyak dari pada konsentrat jika rumput tersebut dipotong-potong. Berdasarkan kapasitas rumennya, ternak ruminasia makan dalam jumlah yang konstan. Hal ini dibuktikan dengan beberapa eksperimen. Pada pakan dengan kandungan air yang berbeda-beda mempengaruhi kapasitas rumen serta intake pakan. Pemberian pakan dengan kandungan air tinggi dapat menurunkan intake BK bila dibandingkan dengan pakan kandungan air rendah. Intake makanan pada ruminansia berbeda dengan intake pada monogastrik. Hal tersebut dapat dilihat dari metabolisme glukosa. Pada ruminansia glukosa yang diserap dalam saluran pencernaan relatif sedikit dan level glukosa dalam darah pun rendah. Hal ini ada keterkaitannya dengan
Bab-2: Konsumsi Pakan
II-5
kebiasaan makan ruminansia. Mekanisme intake pada ruminansia berhubungan dengan proses penyerapan VFA dalam rumen. Penyerapan asetat dan propionat oleh dinding rumen dapat menurunkan intake konsentrat olet ruminansia. Hal ini menunjukan bahwa terdapat reseptorreseptor dalam lumen/dinding retikulo-rumen. Proses penyerapan VFA ke dalam hepatik vena portal juga menurunkan intake. Hal ini dilakukan dengan cara pengiriman sinyal dari hati ke hipotalamus. Butirat mempengaruhi intake dalam level lebih rendah bila dibandingkan dengan asetat dan propionat, karena butirat dapat dimetabolisme menjadi acetat. Pakan dengan kandungan BK tinggi berpengaruh terhadap intake. Pada ruminansia intake dipengaruhi oleh tingkat penyerapan dan bentuk pakan. Persentase daya cerna dan tingkat konsumsi tidak hanya dipengaruhi oleh proporsi dinding sel pakan tetapi juga bentuk fisik dari dinding sel tersebut. Hijauan yang digiling, struktur dinding selnya rusak sehingga proses pencernaannya lebih cepat dan tingkat konsumsi meningkat. Partikel hijauan yang digiling tersebut berjalan dengan cepat meninggalkan rumen, sehingga rumen cepat kosong. Hal ini yang menyebabkan terjadi peningkatan konsumsi. Bagian daun dapat dicerna dan dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan dengan batang, karena dinding sel pada daun lebih mudah dihancurkan dari pada batang. Ternak yang diberi daun dapat mengkonsumsi lebih dari 40% BK per hari bila dibandingkan dengan pemberian batang. Kekurangan zat makanan tertentu pada ransum dapat menurunkan aktivitas mikroba rumen sehingga tingkat konsumsi menurun. Beberapa nutrien yang berpengaruh terhadap intake adalah protein, sulfur, phospor, sodium dan kobal. Silase mengandung produk-produk fermentasi yang tinggi. Namun silase dengan kandungan amonia yang tinggi, karena prosesnya yang kurang baik, akan menurunkan tingkat konsumsi, walaupun silase tersebut memiliki dinding sel yang mudah dicerna. Disamping itu bentuk fisik silase juga mempengaruhi tingkat konsumsinya, silase dari hijauan yang digiling terlebih dahulu memiliki tingkat konsumsi yang lebih tinggi.
Pengaruh Ternak terhadap Tingkat Konsumsi Kapasitas rumen merupkan faktor yang menentukan tingkat konsumsi ternak ruminansia. Kapasitas rumen berbagai ternak ruminansia berbeda sehingga konsumsi ternak ruminansia berbeda-beda. Konsumsi ternak ruminansia ditentukan oleh bobot badan metabolik (BB0.75). Jumlah konsumsi pada sapi lebih besar dari pada domba per unit bobot metabolik. Contoh, sapi denga berat 300 kg, yang diberi pakan pakan mengandung 11 MJ ME/Kg BK akan mengkonsumsi sekitar 90 g BK per Kg BB0.75 per hari (6.3 kg/ekor/hari). Domba (40 Kg) akan mengkonsumsi 60 g BK per kg BB0.75 per hari (0.96 g per ekor). Ternak gemuk memiliki konsumsi yang seimbang, dengan kata lain tidak bertambah sesuai dengan pertambahan BB. Hal ini dikarenakan lemak abdomen yang dideposit menurunkan volume rumen, bisa juga karena efek metabolisme. Ternak dengan kandungan daging lean yang tinggi memiliki jumlah konsumsi per BB metabolik yang tinggi. Hal ini dapat ditunjukan oleh ternak yang mengalami pertumbuhan konpensasi karena pemberian makan yang dibatasi dan kandungan zat makanan dalam ransum yang rendah. Pada ternak yang bunting, ada dua hal yang berlawanan mempengaruhi konsumsi. Peningkatan kebutuhan nutrisi fetus meningkatkan konsumsi ransum.
Bab-2: Konsumsi Pakan
II-6
Sedangkan, akibat lain dari kebuntingan adalah menurunkan kapasitas rumen karena pertumbuhan fetus yang semakin besar. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan konsumsi terutama jika pakan terdiri dari hijauan saja. Konsumsi pada ruminansia berhubungan dengan fase laktasi. Awal laktasi, sapi perah kehilangan bobot badannya. Hal ini terganti pada fase akhir laktasi, dimana produksi susu mulai turun dan konsumsi bahan kering meningkat. Konsumsi energi bruto pada sapi laktasi 50% lebih tinggi dari pada sapi yang tidak laktasi.
Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Konsumsi Tingkat konsumsi ternak ruminansia yang digebalakan di pastura atau padang penggembalaan dipengaruhi oleh komposisi kimia dan daya cerna hijauan serta struktur dan distribusi hijauan di padang penggembalaan tersebut. Konsumsi ternak di padang penggembalaan tergantung dari : 1.
Ukuran renggutan (kuantitas/jumlah bahan kering yang dapat diperoleh dalam satu gigitan)
2.
Kecepatan renggutan (jumlah gigitan dalam satu menit)
3.
Waktu yang dibutuhkan untu merumput
Sebagai contoh, sapi (600 kg) memiliki ukuran renggutan 0.6 g BK, dengan kecepatan gigi 60 kali per menit dan mendapatkan hijauan 36 g BK per menit atau 2.16 kg BK perjam. Untuk mendapatkan konsumsi 16 kg BK perhari maka sapi harus merumput selama 16/2.16 = 7.4 jam per hari. Sapi perah biasanya merumput selama 8 jam perhari. Sapi dapat mengkonsumsi dalam jumlah banyak bila ukuran gigitan dan kecepatan gigitan tinggi yang dapat terjadi jika distribusi hijauan merata. Hijauan diusahakan pendek (12 – 15cm) dan tebal agar ukuran gigitan maksimum. Ternak lebih menyukai bagian daun dari pada batang karena batang lebih sulit dicerna. Ternak juga lebih menyukai hijauan berwarna hijau (masih segar) dari pada hijauan yang layu. Tidak semua hijauan di makan ternak karena hijauan yang berduri dan terkontaminasi feses tidak disukai ternak. Pada kondisi pastura yang baik ternak dapat mengkonsumsi hijauan sebanyak mungkin. Tetapi pada kondisi pastura yang buruk ternak hanya akan mengkonsumsi hijauan yang mudah dicerna dan dapat di metabolis. Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi. Pada temperatur dibawah temperatur netral ternak akan meningkatkan konsumsi dan pada suhu diatas suhu netral ternak akan menurunkan konsumsi. Sapi Bos Taurus akan menurunkan 2% konsumsinya setiap kenaikan suhu 1oC diatas suhu rata-rata 25oC. Panjang hari juga mempengaruhi tingkat konsumsi. Semakin pendek hari maka tingkat konsumsi pada domba semakin menurun. Panjang hari tidak terlalu berpengaruh pada tingkat konsumsi sapi. Kondisi kesehatan ternak berpengaruh terhadap tingkat konsumsi. Ternak yang sakit cenderung menurunkan tingkat konsumsinya. Hal ini dikarenakan daya serap saluran pencernaan terhadap zat makanan menurun dan sistem kekebalan tubuh ternak dengan adanya parasit yang masuk berespons untuk menurunkan tingkat konsumsi.
Bab-2: Konsumsi Pakan
II-7
2.3. Pendugaan Intake Makanan Pendugaan jumlah konsumsi perlu dilakukan baik pada ternak ruminan maupun monogastrik. Ternak cenderung mengkonsumsi bahan makanan yang sesuai dengan seleranya. Sehingga akan sulit untuk menentukan performa ternak jika tidak dapat menentukan jumlah konsumsinya. Kebutuhan BK seekor sapi diperkirakan 22 g/kg BB, untuk sapi perah dapat lebih tinggi sekitar 28 g/kg BB pada awal laktasi dan 32 g/kg BB pada puncak laktasi. Konsumsi ternak dapat ditentukan dengan rumus berikut SDMI = SDMI = CDMI = SDM = AN = DOMD=
24.96 – 0.5397 SDMI + 0.108 SDM – 0.0264 AN + 0.0458 DOMD Silage Dry Matter Intake g/kg BB0.75 per hari Concentrate Dry Matter Intake g/kg BB 0.75 per hari Silage Dry Matter Content g/kg Silage Amonia N Content g/kg Total N Digestible Organic Matter in Silage Dry Matter g/kg
Konsumsi konsentrat tergantung dari 3 hal : 1. Kandungan bahan kering, pengaruh positif 2. Kandungan bahan organik yang dapat dicerna pengaruh positif 3. Kandungan Nitrogen (amonia), pengaruh negatif. Hal lain yang mempengaruhi kualitas silase diantaranya kandungan nitrogen, asam butirat dan pH.
Sumber Bacaan McDonald, P., RA. Edwards, JFG. Greenhalgh, and CA. Morgan. 2002. Animal Nutriotion. Prentice Hall. Sutardi, 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan IPB. Bogor
Bab-2: Konsumsi Pakan
II-8