11. TINJAUAN PUSTAlKA 2.1. Inventarisasi Satwaliar
Inventarisasi secara umum diartikan sebagai kegiatan pengumpulan data atau informasi.
Istilah inventarisasi umumnya digunakan dalam bidang
pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih rnernfokuskan pada estirnasi pohon. Dalam kaitan tersebut, Husch (2003) mendefinisikan inventarisasi hutan sebagai suatu prosedw untuk mendapatkan informasi rnengenai kuantitas, kualitas, dan kondisi dari sumberdaya hutan, asosiasi vegetasi dan kornponen-kornponennya, serta karateristik lokasinya. Inventarisasi dimaksudkan sebagai kegiatan pengumpulan data mengenai tumbuhan dan satwaliar (BPPKP 1998).
Bila merujuk pada definisi yang
diberikan oleh Husch (2003) tersebut di atas, rnaka inventarisasi satwaliar dapat didefinisikan sebagai suatu prosedur untuk mendapatkan data dan informasi rnengenai kuantitas, kualitas, dan kondisi dari suatu populasi satwaliar beserta karateristik habitatnya. Dalam beberapa literatw, pengumpulan data dalam rangka pendugaan ukuran populasi menggunakan istilah yang lebih spesifik seperti sensus (Lewis 1970, Caughley & Sinclair 1994), penghitungan satwalcounting animals (Caughley & Sinclair 1994), pengukuran kelimpahanlmeasuring the abundance (Bailey 1984), pendugaan kelirnpahan/estimating abundance (Krebs 1998). Tujuan inventarisasi sahvaliar adalah rnengumpulkan data mengenai satwaliar yang rnencakup berbagai karakteristik populasi satwaliar dan karakteristik habitatnya. Menurut Tarumingkeng (1992), karakteristik yang dirniliki oleh suatu populasi satwaliar rneliputi:
kerapatan (densitas), laju
kelahiran (natalitas), laju kernatian (mortalitas), sebaran (distribusi) umur, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pernencaran (dispersi). Karakteristik habitat meliputi berbagai faktor dari unsur biologi, fisik dan edafis yang mernpengaruhi kualitas habitat seperti ketersediaan dan sebaran pakan, struktur dan tipe vegetasi, temperam, jenis tanah, dan lain-lain (Bailey 1984). Karakteristik yang bersifat numerik seringkali disebut dengan istilah parameter. Parameter populasi satwaliar yang penting, terdii atas: ukuran atau
kepadatan, laju kelahiran, laju kematian, struktur umur, komposisi jenis kelamin, dan penyebaran populasi (Caughley 1978). Menurut Caughley & Sinclair (1994), parameter populasi satwaliar yang paling mendasar adalah ukuran atau kepadatan. Ukuran atau kepadatan populasi tersebut diperlukan dalam rangka pengkajian status dan dinamika populasi satwaliar. Suatu populasi satwaliar selalu mengalami perubahan ukuran dari waktu ke waktu, sehingga penting untuk mengetahui apakah ukuran populasi pada suatu waktu tertentu kecil atau besar. Dengan membandingkan ukuran populasi dari waktu-waktu yang berbeda dapat diketahui dinamika pertumbuhan populasi tersebut yang merupakan informasi penting yang diperlukan bagi efektifbya pengelolaan populasi satwaliar. Berkaitan dengan kepentingan pengelolaan satwaliar, informasi mengenai ukuran populasi diperlukan sebagai dasar perencanaan kebijakan pengelolaan dan konservasi jenis satwaliar. Kebijakan-kebijakan pengelolaan dan konservasi satwaliar tersebut antara lain: penentuan status perlindungan species untuk tujuan pelestarian, program pemanfaatan populasi sebagai obyek rekreasi dan penentuan kuota buru untuk tujuan pemanfaatan secara lestari, program penanggulangan gangguan satwaliar, serta program pembinaan habitat seperti pengayaan tumbuhan pakan dan pembakaran terkendali semak belukar guna meningkatkan daya dukung lingkungan bagi suatu populasi satwaliar (Alikodra 1990, Bailey 1984). Menurut Caughley & Sinclair (1994),
ukuran populasi urnumnya
dinyatakan dengan jumlah total (numbers) atau kepadatan (density). Kepadatan adalah ukuran kelimpahan populasi yang dinyatakan sebagai jumlah individu atau kelompok individu per satuan luas areal tertentu. Jumlah total diperoleh dengan mengalikan nilai kepadatan dengan luas total areal. Menurut Caughley (1978), kepadatan dapat dinyatakan dalam dua bentuk, yakni kepadatan mutlak (absolute density) dan kepadatan relatif (relative density). Kepadatan mutlak merupakan ukuran populasi yang menyatakan jumlah individu satwaliar yang hidup dalam satu unit luasan areal tertentu, misalnya kepadatan rusa 4 individu/km2. Kepadatan relatif merupakan ukuran relatif suatu populasi dibandingkan dengan populasi laimya atau ukuran suatu populasi pada suatu waktu dibandingkan dengan waktu lainnya. Kepadatan relatif dinyatakan dengan
bilangan indeks tertentu, misalnya jumlah rusa teramati per satu jam berjalan. Kepadatan mutlak, kepadatan relatif, serta jumlah total secara urnum disebut sebagai kelimpahan (abundance). 2.2. Pendekatan dan Metode Inventarisasi Satwaliar Menurut Caughley & Sinclair (1994), inventarisasi satwaliar dapat dilakukan dengan dua pendekatan berdasarkan cakupan wilayah pengamatannya yaitu: (1) penghitungan total (total count), dan (2) penghitungan pada unit contoh (sampled counts).
Metode-metode penghitungan total atau sensus yang biasa
digunakan antara lain: metode drive counts dan territory mapping (Lewis 1970). Di Afrika, sensus mamalia besar dilakukan dari udara dengan menggunakan pesawat terbang.
Sensus melalui udara tersebut menjadi teknik standar
inventarisasi satwaliar pada tahun 1950-an hingga awal 1960-an (Caughley & Sinclair 1994). Menurut Caughley & Sinclair (1994), penghitungan total memiliki kelebihan antara lain teknik pelaksanaannya sederhana, tidak membutuhkan perhitungan aritmetika yang sulit, dan hasilnya mudah diinterpretasikan. Namun, dilain pihak penghitungan total memiliki kekurangan, yaitu cenderung tidak akurat dan biayanya mahal. Menurut Alikodra (1990), besarnya biaya dan tenaga yang dibutuhkan dalam penghitungan total karena suatu areal yang luas harus dibagi menjadi blok-blok kecil untuk memungkinkan dilakukan penghitungan secara keseluruhan. Cara tersebut menyebabkan peluang terjadinya penghitungan ganda terhadap individu yang sama cukup besar, sehingga hanya mungkin dilakukan terhadap satwa yang relatif menetap. Karena kesulitan-kesulitan tersebut maka pengukuran populasi dilakukan pada unit-unit contoh yang mewakili keseluruhan areal atau populasi yang akan dihitung. Menurut Caughley (1978), pengukuran populasi menggunakan unit contoh memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (1) penghitungan dengan unit contoh lebih ringan, (2) mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan penghitungan karena adanya individu yang diitung lebih dari satu kali, (3) dapat menghitung satwaliar dalam waktu yang relatif singkat, dan (4) populasi satwaliar kurang terganggu.
Pengukuran dengan unit-unit contoh dikenal dengan istilah sampling. Menurut Caughley & Sinclair (1994), sampling adalah suatu teknik menggambarkan sejumlah unit contoh (sa~nplingunit) dari keseluruhan obyek yang diamati, lalu membuat kesimpulan secara deduksi terhadap keseluruhan obyek berdasarkan unit-unit contoh tersebut. Nilai statistik yang diperoleh dari unit-unit contoh merupakan nilai dugaan bagi parameter populasi, yang dapat diuji dengan uji statistik tertentu (Krebs 1998). Beragam metode inventarisasi telah dikembangkan dalam rangka pendugaan ukuran populasi satwaliar. Metode-metode inventarisasi satwaliar tersebut pada dasamya dikembangkan dari beberapa teknik dasar, antara lain: (1) mark-recapture techniques, (2) quadrat counts methods, (3) distance methods, dan (4) removal methods (Krebs 1998). Metode-metode inventarisasi primata umumnya berbasis pada quadrat counts methods dan distance methods. Quadrat counts methods pada dasamya merupakan metode pendugaan kelimpahan populasi menggunakan unit contoh dengan ukuran dan bentuk tertentu. Bentuk dasar unit contoh ada tiga, yaitu: lingkaran, bujursangkar, dan empat persegi panjang. Caughley & Sinclair (1994) menggolongkan bentuk unit contoh dalam metode quadrat counts sebagai unit contoh dengan batas-batas yang pasti (sampling units with boundaries). Cochran (1977), menyatakan bahwa pengukuran pada unit contoh yang memiliki batas pasti merupakan suatu pendekatan penghitungan populasi terhingga (the finite population sanzpling approach), karena obyek yang diamati terbatas hanya di dalam unit contoh pengamatan. Distance method adalah metode pendugaan kelimpahan populasi yang menggunakan unit contoh pengamatan tanpa batas pasti (sampling units without boundaries). Distance method, yang juga dikenal juga dengan sebutan distance sampling (Buckland et al. 2001), merupakan pengembangan dari pendekatan pen&tungan populasi contoh terhingga. Teori distance sampling mendasarkan pada kenyataan bahwa kebanyakan satwa cendemg sulit terdeteksi karena berbagai sebab, dan kemampuan mendeteksi akan menurun seiring dengan bertambahnya jar& pengamatan (Buckland et al. 2001).
2.2.1. Metode Strip transect
Metode strip transect adalah salah satu bentuk metode inventarisasi yang berbasis pada quadrat counts method. Metode ini termasuk salah satu metode inventarisasi yang m u m digunakan dalam pendugaan ukuran populasi satwaliar di wilayah hutan hujan tropika (Nijman & Menken 2005), termasuk untuk jenisjenis primata (Wilson et al. 1996). Metode ini antara lain digunakan dalam pendugaan kepadatan populasi Macaca nigra (Rosenbaum et al. 1998) dan
Macaca fascicularis (Priyono 1998). Metode strip transect
menggunakan unit contoh pengamatan yang
herbentuk jalur memanjang dengan lebar tertentu yang ditentukan terlebih dahulu sebelum pengamatan dilakukan. Menurut Caughley (1978), penentuan lebar transek harus mempertimbangkan perilaku dan sightability dari satwa, misalnya 100 meter untuk inventarisasi mamalia besar di hutan yang kerapatannya tinggi atau 500 meter bila inventarisasi dilakukan di padang rumput. Lebar transek 100 meter antara lain digunakan oleh Priyono (1998) dalam inventarisasi Macaca
fascicularis di Sumatera Selatan dan Rosenbaum et al. (1998) dalam inventarisasi populasi Macaca n i p di Maluku dan Sulawesi Utara. Asumsi dasar dari metode strip transect adalah semua satwa yang berada di dalam transek terdeteksi (Buckland et al. 2001). Hal ini berarti bahwa semua satwa yang berada di dalam transek memiliki peluang yang sama untuk teramati dan besarnya peluang untuk teramatinya satwa tersebut sarna dengan satu. Cara pengamatan dan data yang dicatat pada metode strip transect relatif sederhana dibandiigkan dengan metode line transect atau variable circular plot. Pengamatan satwa dilakukan dengan cara berjalan menyusuri transek dan mencatat jumlah kelompok atau individu yang teramati di dalarnnya. Oleh karena itu keputusan untuk menetapkan apakah satwa berada 'di dalam' atau 'di lux' transek merupakan titik kritis yang sangat menentukan hasil pendugaan ukuran populasi yang diinventarisasi (Caughley 1978). Walaupun lebar jalur sudah ditentukan terlebih dahulu, tetapi di lapangan batas-batas transek tersebut tidak mesti ditandai.
Oleh karena itu untuk
memastikan apakah satwa berada di dalam atau di luar transek untuk satwa yang relatif tidak terganggu oleh kehadiran manusia, Caughley (1978) menyarankan
agar pengamat mencari titik sudut tegak lurus dengan satwa pada garis transek lalu mengestimasi jarak satwa dari garis tengah transek. Namun, untuk satwa yang mudah terganggu oleh manusia, maka pengamat hams mengukur sudut dari titik di mana dia pertama kali mendeteksi satwa tersebut. Berdasarkan sudut pengamatan tersebut selanjutnya dapat diialkulasi jarak satwa dari garis tengah transek.
2.2.2. Metode Line Transect Metode line transect merupakan salah satu bentuk metode inventarisasi yang berbasis pada distance methods (Buckland et al. 2001). Metode line transect merupakan metode inventarisasi yang paling banyak digunakan dalam pendugaan ukuran populasi primata (Wilson et al. 1996, Nijman & Menken 2005). Metode
line transect antara lain digunakan dalam pendugaan kepadatan beberapa jenis primata di Brazil seperti Alouatta fusca, Cebus apella, Callicebus personatus, dan
Callithrix geofioyi (Chiarello & Melo 2000), Pongo pygnaeus (Bismarck 2005), dan Hylobates moloch (Sugardjito et al. 1997). Metode line transect pada dasarnya menyerupai metode strip transect, yaitu pengamatan dilakukan dengan cara menyusuri suatu transek (jalur) yang berbentuk memanjang. Perbedaannya adalah pada lebar jalur, yakni pada strip
transect lebar jalur telah ditentukan secara langsung sebelum pengamatan dilakukan, sedangkan pada line transect lebar jalur ditentukan berdasarkan hasil pengamatan (Buckland et al. 2001). Menwut Krebs (1998), pada umumnya peluang detektabilitas individu ataupun kelompok satwa akan lebih besar pada sekitar garis tengah transek. Oleh karena itu, penggunaan metode line transect hams memenuhi asumsi-asumsi: 1). Tidak ada individu satwaliar yang berada dalam garis transek yang tidak teramati ('eluang terdeteksi = 1). 2). Satwa yang terdeteksi dicatat berdasarkan pada posisi awalnya (initial
location), yaitu sebelum satwa tersebut bergerak. 3). Jarak dan sudut diukur secara tepat dan benar tanpa adanya kesalahan pengukuran dan kesalahan akibat lingkungan sekitar.
4). Teramatinya satwaliar secara individu merupakan kejadian yang saling bebas.
Menurut Bibby et al. (1998), kesulitan utama dalam metode line transect adalah mendapatkan ukuran jarak yang tepat antara satwa dengan pengamat, terutama pada daerah dengan vegetasi
yang rapat.
Untuk mengatasi
pennasalahan tersebut Whitesides et al. (1988) mengemukakan beberapa teknik pengamatan, khususnya dalam inventarisasi jenis primata, yaitu: 1). Pengamat berjalan secara perlahan menyusuri garis transek dengan kecepatan tetap sekitar 1 km/jam. 2). Jangan keluar dari garis transek untuk mendapatkan posisi pengamatan yang baik, karena ha1 ini melanggar asumsi dari metode line transect.
3). Berhenti secara periodik untuk melakukan pengintaian atau mendengarkan tanda-tanda keberadaan satwa. 4). Pada saat kelompok atau individu satwa terdeteksi, maka pengamat perlu
meluangkan waktu sekitar 10 menit untuk mencatat data. Pengamat dapat berjalan hingga 25 meter dari posisi awalnya untuk mendapatkan posisi pengamatan yang baik. Menurut Buckland et al. (2001), pengamatan satwa dilakukan pada kedua sisi garis tengah transek. Dalam pengamatan tersebut semua satwa yang teramati dicatat, tanpa ada batasan rentang jarak pengamatan. Data yang perlu dicatat untuk keperluan penghitungan nilai dugaan kepadatan populasi
adalah jarak
terdekat antara satwa dengan garis pengamatan (perpendicular distance), tetapi bisa juga
yang diukur adalah jarak antara satwa dengan pengamat (sighting
distances) dan sudut pengamatan antara pengamat dengan satwa (sighting angles) yang kemudian dikonversi menjadi perpendicular distances. 2.2.3. Metode Variable circular plot
Metode variable circular plot
merupakan bentuk lain dari metode
inventarisasi satwaliar yang berbasis pada distance sampling. Metode variable circular plot pada dasarnya sama dengan metode point count (pengamatan titik). Metode point count adalah metode inventarisasi satwaliar yang menggunakan teknii pengamatan yang dilakukan dari suatu titik tanpa ditentukan terlebih dahulu batas radius pengamatan.
Menurut Buckland et al. (2001) titik-titik
pengamatan pada dasarnya dapat diletakkan secara acak di dalam areal survey
atau diletakkan pada satu garis lurus dengan interval tertentu.
Titik-titik pengamatan yang diletakan secara sistematis pada satu garis lurus disebut dengan metode point hansect, sedangkan dalam bidang ornitologi sering disebut dengan metode variable circular plot. Menurut
Buckland et al. (2001), metode point hansect atau variable
circular plot harus memenuhi asumsi-asumsi sebagai berikut: 1). Satwa yang berada pada titik pengamatan selalu terdeteksi
@eluang
terdeteksi = 1).
2). Satwa yang terdeteksi dicatat berdasarkan pada posisi awalnya (initial location), yaitu sebelum satwa tersebut bergerak sebagai respon atas kehadiran pengamat.
3). Jarak diukur secara tepat. Walaupun sama-sama berbasis pada distance sampling methods seperti halnya
metode line hansect, tetapi teknik pengamatan dan data yang perlu
dicatat
pada metode variable circular plot lebih sederhana karena hanya
memerlukan pengukuran jarak antara titik pengamatan dengan satwa (Buckland et
al. 2001). Menurut White & Edwards (2000), pengamatan pada tiap-tiap titik harus dilakukan dengan rentang waktu tertentu. Penentuan lamanya waktu pengamatan pada tiap-tiap titik tersebut tergantung pada kondisi habitat dan jumlah species yang akan diamati. Hal tersebut bertujuan agar: 1 ) proporsi satwa yang terdeteksi adalah maksimum, dan 2) kemungkinan adanya satwa yang mas& ke areal titik pengamatan atau berpindah posisi yang menyebabkan tejadinya penghitungan dua kali terhadap satwa tersebut adalah minimum. Lebih lanjut White & Edwards
(2000)menyarankan rentang waktu pengamatan yang dapat dipilih berkisar antara 2 hingga 20 menit. 2.3. Permasalahan Inventarisasi Satwaliar Lewis (1970), mengemukakan beberapa permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan inventarisasi satwaliar berkaitan dengan sifat dan perilaku satwa, antara lain: sifat satwa yang suka bersembunyi (secretive), pola penggunaan waktu, penyebarannya yang bersifat tidak acak dan mengelompok, sifat mobilitas satwa,
serta siklus hidup yang pendek dan tingkat reproduksi tinggi.
Sifat suka bersembunyi satwa merupakan bagian dari strategi mempertahankan hidup yang terlihat dari perilakunya hidup dibalik kerimbunm tumbuhan atau memanfaatkan vegetasi untuk menyamarkan pergerakannya. Hal tersebut menyebabkan satwa seringkali sulit terdeteksi. Kesulitan dalam mendeteksi satwa juga disebabkan oleh pola penggunaan waktu oleh satwa tersebut. Umumnya, suatu populasi jenis satwaiiar lebih aktif pada waktu-waktu tertentu dibandingkan dengan waktu-
waktu lainnya. Satwa akan lebii mudah terlihat pada waktu-waktu yang menjadi puncak aktifitas mereka. Kesulitan dalam mendeteksi satwa tersebut secara statistik diartikan bahwa peluang setiap satwa tersebut untuk dapat dihitung tidak sama.
Perbedaan
peluang untuk diiitung pada setiap satwa juga disebabkan oleh variasi inter individu yang berkaitan dengan status, kedudukan, dan fungsi yang berlainan pada setiap individu dalam kelompok atau populasinya (Santosa 2006).
Menurut
Krebs (1998), semua individu harus terlihat dengan jelas dan dihitung dengan tepat, namun pada kenyataannya penghitungan ukuran populasi sulit dilakukan dan menjadi sumber kesalahan yang sulit dihindari. Menurut Krebs (1998), kesalahan
penghitungan yang terjadi pada
inventarisasi satwaliar dapat berupa penghitungan lebih (overcount) atau penghitungan kurang (undercount). Ada dua kemungkinan yang tejadi dalam kegiatan inventarisasi tersebut, yaitu: (1) pengamat melakukan penghitungan lebih pada satu saat, dan pada saat lain menghitung kurang, (2) penghitungan yang dilakukan cenderung menghitung kurang. Kemungkinan pertama menghasilkan kesalahan yang disebut dengan kesalahan penghitungan (counting error), sedangkan yang kedua disebut dengan bias penghitungan (counting bias). Akibat dari tidak samanya peluang setiap satwa untuk terhitung adalah terjadinya bias yang besar terhadap dugaan parameter populasi (Santosa 2006). 2.4. Bio-ekologi Owa Jawa 2.4.1. Klasifikasi dan Morfologi
Secara taksonomi owa jawa diilasifikasikan ke dalam class Marnalia, ordo Primata, famili Hylobatidae, genus Hylobates, species Hylobates moloch
(Geissmann 2008).
Owa jawa
memiliki nama ilmiah Hylobates moloch
Audebert, 1798. Selain nama tersebut terdapat beberapa sinonimnya antara lain:
H. cinereus Latreille, 1804; H javanicus Matschie, 1893; H. leucisca (Schreber, 1799); dan H. pongoalsoni Sody, 1949. Owa jawa memiliki beberapa sebutan dalam bahasa inggris seperti javan gibbon, silvery gibbon, javan silvery gibbon, atau moloch gibbon (IUCN 2008). Walaupun dianggap sebagai species tunggal (tanpa sub species), tetapi owa jawa diketahui memiliki variasi genetik yang berbeda. Menurut Andayani (2001), berdasarkan variasi genetiknya owa jawa terbagi dalam dua kelompok populasi, yaitu populasi yang terdapat di Gunung Halimun (Western lineage) dan populasi yang hidup di kompleks Gunung Masigit-Simpang tilu, Gunung Gede Pangrango, dan Gunung Slamet (Central lineage). Owa jawa memiliki bantalan duduk (ischial callosities) sebagai salah satu penciri yang mudah terlihat (Fleagle 1988). Owa jawa tidak memiliki ekor, kepala kecil dan bulat, hidung tidak menonjol, rahang kecil d m pendek, dada lebar dan rambut yang tebal dan halus (Grzimek 1972). Menurut Geissmann (2008), owa jawa memiliki rambut yang berwarna abu-abu keperakan, baik pada jantan maupun betina. Beberapa individu memiliki rambut bagian dada dan perut dengan warna yang lebih gelap (abu-abu gelap atau hitam). Keningnya lebar dan berwarna keputih-putihan, membentuk garis yang jelas dan terang yang menurun ke samping mata. Janggut berwarna keputibputihan, mengarah ke depan. Menurut Massicot (2006) tidak ada perbedaan yang menyolok antara jantan dan betina dewasa dalam ha1 warna dan bobot. Perbedaan warna rambut terlihat pada owa jawa bayi yang memiliki warna rambut lebih terang. Seperti umumnya jenis-jenis gibbon (genus Hylobates), owa jawa tidak mempunyai ekor. Postur tubuhnya tegak dan mempunyai lengan yang panjang yang berguna untuk menunjang pergerakannya di pohon. Panjang tubuh individu jantan dan betina hampir sama yaitu berkisar antara 75-80 cm dengan berat tubuh sekitar 6 kg (Massicot 2006, Kuester 2000). Owa jawa memiliki gigi seri kecil yang menonjol ke depan. Bentuk gigi seperti ini memudahkannya untuk menggigit dan memotong makanan.
Gigi
taring panjang dan berbentuk seperti pedang yang berfungsi untuk menggigit dan mengupas makanan. Gigi geraham atas dan bawah digunakan untuk mengunyah makanan (Napier & Napier 1967) 2.4.2. Status Populasi Berdasarkan hasil survey antara tahun 1994-2002, Nijman (2006) memperkirakan jumlah total owa jawa yang hidup di dam berkisar 4100-4500 individu. Populasi owa jawa tersebut tersebar pada 29 areal hutan yang terletak di wilayah Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Banten. Gunung Halimun yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan salah satu dari empat lokasi penyebaran owa jawa dengan ukuran populasi terbesar, yaitu lebih dari 800 individu. Tiga wilayah penyebaran lainnya, yakni Gunung Simpang, Gunung Dieng, dan Taman Nasional Ujung Kulon memiliki populasi owa jawa yang berkisar antara 500-600 individu. Menurut Rinaldi (2003), jumlah individu owa jawa di TNGHS berkisar antara 456-1149 individu. Sementara Iskandar (2007) memperkirakan ukuran populasi owa jawa di TNGHS sebesar 2318 hingga 2695 individu. Dengan ukuran populasi yang relatif kecil (<5000 individu) tersebut, owa jawa telah dimasukan dalam red list IUCN dengan status Critically Endangered. Selain itu, owa jawa juga masuk dalam Appendix 1 CITES. 2.4.3. Perilaku Owa Jawa Seperti umurnnya jenis-jenis primata, owa jawa merupakan satwa yang hidup secara berkelompok. Menurut Iskandar (2007) susunan lengkap kelompok owa jawa terdiri atas sepasang induk (jantan dan betina dewasa), satu individu bayi dan satu individu remaja, sehingga ulcuran kelompok lengkap dari owa jawa adalah empat individu. Karena owa jawa menganut sistem hidup monogami, maka ukuran kelompok yang terkecil adalah dua individu, yakni sepasang individu jantan dan betina dewasa. Walaupun demikian, kadang-kadang ditemukan pula kelompok yang terdiri dari lima individu atau individu yang hidup soliter (Rinaldi 2003, Iskandar 2007). Owa jawa tergolong satwa yang aktif di siang hari (diurnal). Aktivitas harian
owa jawa
diisi
dengan
empat
kegiatan
utama,
yaitu:
(1)
bersuara~vocaIization,(2) mencari makadfeeding (3) berpindahlmoving, d m (4) istirahatlresting (Rinaldi 2003). Perilaku bersuara lnerupakan ciri m u m dari jenis-jenis gibbon. Nijman & Geissmann (2001) mengemukakan bahwa terdapat dua bentuk/pola bersuara dari jenis-jenis gibbon, yakni: suara duet (duet songs) dan suara tunggal (solo songs). Khusus pada owa jawa, pola bersuara yang dikeluarkan hanya suara tunggal, yang terdiri dari suara tunggal jantan dan suara tunggal betina. Perilaku bersuara menandai dimulainya aktivitas harian owa jawa. Menurut Nijman & Geissman (2001), owa jawa betina lebih banyak bersuara dibandingkan dengan owa jawa jantan.
Walaupun mengeluarkan suara yang lebih sedikit,
namun durasi suara owa jawa jantan lebih panjang dibandingkan betina. Owa jawa jantan biasanya lebih dahulu bersuara dibandingkan dengan betina. Di wilayah Pegunungan Dieng, owa jawa betina umunlnya mulai bersuara pada pukul 05.00 WIB dan mencapai puncaknya pada pukul 06.00 WIB (Nijman & Geissmann 2001).
Menurut Rinaldi
(2003) perilaku bersuara owa jawa
dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Pada kondisi cuaca cerah, aktivitas bersuara owa jawa di Cikaniki-TNGHS dimulai pada pukul06.00 WIB, sedangkan pada kondisi mendung atau hujan aktivitas bersuara dimulai pada sekitar puku107.15 WIB. Menurut Nijman & Geissman (2001), suara yang dikeluarkan oleh tiap-tiap individu owa jawa memiliki karakteristik yang spesifik, sehingga dapat bermanfaat untuk mendeteksi dan membedakan antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Suara panggiladnyanyian tersebut memiliki beberapa fungsi, seperti: menjaga jarak dengan kelompok lain, mempertahankan surnberdaya (teritori, makanan, atau pasangan), memperkuat i k a m dengan pasangan, atau mengundang pasangan. Aktivitas mencari makan dimulai segera setelah aktivitas bersuara di pagi hari. Owa jawa menggunakan 113 waktu aktivitas hariannya untuk mencari makan (Kartono et al. 2002). Menurut Rahayu (2002), owa jawa makan dengan cara d i m maupun bergerak dengan posisi tubuh duduk, menggantung, atau berdiri. Namun yang paling dominan adalah posisi duduk dan menggantung. Makanan utama owa jawa adalah buah-buahan (frugivora). Iskandar (2007), menemukan 33 jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan owa jawa di
TNGHS.
Jenis pakan yang paling dominan adalah jenis-jenis dari famili
Moraceae dan Fagaceae seperti darangdan (Ficus sinuata) dan pasang batarua (Quercus gemiliflorus), masing-masing sebesar 24% dari keseluruhan jenis pohon pakan tersebut. Selain buah-buahan, owa jawa juga memakan bagian tumbuhan lainnya seperti biji, bunga, dan dam muda. ulat pohon, rayap, madu dan beberapa jenis serangga lainnya. Owa jawa juga dikenal sebagai satwa arboreal sejati, yang hampir seluruh aktivitasnya diiabiskan di atas atau di dalam lapisan tajuk pohon. Menurut Kartono et al. (2002), owa jawa memanfaatkan ruang tajuk pohon mulai dari ketinggian lima meter hingga lebih dari 35 meter. Namun dari keseluruhan ruang tajuk tersebut yang paling dominan digunakan adalah lapisan bagian tengah (1625 meter), yakni sekitar 43% dari seluruh aktivitas owa jawa. Menurut Rinaldi (2003), owa jawa melakukan gerakan berpindah dari satu pohon ke pohon lain atau dari satu cabang ke cabang lainnya dengan cara bergelayutan (brachiasi), bipedal, memanjat (climbing), dan melompat (leaping). Sekitar % dari waktu aktivitas harian owa jawa tersebut dihabiskan untuk bergerak atau berpindah. Pada siang hari atau pada saat temperatur tinggi owa jawa akan beristirahat. Pada saat beristirahat tersebut individu muda dan remaja mengisinya dengan bcrmain-main satu sama lain, sedangkan owa jawa dewasa melakukan aktivitas menelisik (Rinaldi 2003). Bila hari mulai gelap owa jawa akan beristirahat dan tidur di percabangan pohon (Iskandar 2007). 2.4.4. Habitat Owa Jawa Menurut Alikodra (2002), habitat terdiri dari komponen fisik dan biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar. Habitat tersebut menjamin segala keperluan hidup satwaliar baik makanan, air, udara bersih, garam mineral, tempat berlindung, berkembang biak, maupun tempat mengasuh anak-anaknya. Habitat owa jawa tersebar pada ketinggian 0 sld 1600 meter dpl (Massicot 2006). Menurut Rowe (1996), habitat owa jawa adalah hutan hujan tropika yang
terletak pada ketinggian 0 sld 1500 meter dpl baik pada tipe vegetasi hutan primer maupun hutan sekunder. Daerah sebaran habitat owa jawa meliputi wilayah Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, dan sebagian wilayah Provinsi Jawa Tengah (Nijman 2006). Pada ketiga wilayah propinsi tersebut, habitat owa jawa ditemukan pada 29 lokasi yang terpisah. Empat lokasi habitat owa jawa dengan perkiraan ukwan populasi yang paling tinggi adalah Gunung Halimun, Gunung Simpang, Pegunuugan Dieng, dan Ujung Kulon. Gunung Halimun merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Menurut Rinaldi (2003) dan Iskandar (2007), di wilayah TNGHS owa jawa lebih banyak ditemukan pada areal hutan primer dan areal dengan ketinggian antara 1082 - 1132 meter dpl. Pohon pakan dan pohon tidw merupakan unsur penting dari habitat owa jawa. Pohon pakan adalah jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan. Bagian-bagian pohon yang dimanfaatkan owa jawa adalah buah, daun, dan bunga, namun yang paling dominan adalah buah yang sudah matang (Geissmann 2008). Pohon tidw adalah jenis pohon yang digunakan owa jawa sebagai tempat tidw dan tempat berlindung dari predator. Di TNGHS terdapat sekitar 33 jenis pohon pakan owa jawa (Iskandar 2007). Owa jawa menggunakan sebagian pohon pakan tersebut sebagai pohon tidw. Owa jawa sangat tergantung pada daerah jelajah yang telah dikuasainya. Walaupun banyak mengalami gangguan owa jawa
akan tetap bertahan pada
wilayah yang telah dikuasainya tersebut. Dengan perilaku tersebut kelangsungan hidup owa jawa mudah terancam jika hutan mengalami kerusakan (Geissmann 2008). Menurut Prihanto et al. (1996), daerah jelajah owa jawa terbatas pada areal dengan penutupan tajuk lebih dari 60%. Menurut Rinaldi (2003) luas daerah jelajah owa jawa di TNGHS rata-rata 16,5 ha. Iskandar (2007), menyatakan bahwa daerah jelajah owa jawa dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pakan dan air, sehingga luas daerah jelajah tersehut berbeda antara musim hujan dengan musim kemarau. Pada musim hujan, ketika makanan dan air melimpah, luas ratarata daerah jelajah owa jawa di TNGHS adalah 17,61*1,49 hektar, sedangkan pada musim kemarau luas daerah jelajahnya adalah 21,1312,91 hektar.