11. A.
TINJAUAN PUBTAKA
Affroekoaistem dan Dinamika Iklim
Sistem merupakan
gugus proses-proses fisik, kimia
danlatau biologi yang bekerja pada satu atau lebih peubah input (masukan) dan merobahnya men jadi
.
peubah (peubah-
peubah) output (keluaran) (Dooge dalam Mustari, 1985)
.
Sedangkan ~ko-sistem adalah suatu sistem ekologi sebagai satu unit komuniti tumbuh-tumbuhan dan binatang bersamasama dengan semua interaksi faktor-faktor fisik yang ada di dalamnya (~shby,1971). Selanjutnya agak lebih sederhana, Ismal (1979) dan Odum (1961) sama-sama mendefinisikan ekosistem sebagai tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur-unsur lingkungan abiotik
. Oleh
dan biotik yang saling mempengaruhi (berinteraksi)
karena itu dimungkinkan bahwa salah satu atau lebih komponennya dapat mencirikan atau sebagai indikator terhadap komponen yang lain pada ekosistem yang sama. Agroekosistem merupakan proses dan hubungan yang rumit dan ditandai dengan berbagai lintasan sebab akibat (interaksi) antar komponen-komponen ekosistem yang diperuntukkan bagi pertanian (Cox dan Atkins, 1979). Selanjutnya jika dikaitkan dengan def inisi sistem oleh Manetsch dan Park (1976) agroekosistem dapat juga dikatakan sebagai suatu perangkat elemen (unsur) alami yang saling ber-
kaitan dan hingga batas-batas tertentu dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk pertanian. Secara umum, pada suatu agroekosistem terdapat komponen-komponen dasar yang terdiri dari iklim dan tanah sebagai komponen abiotik, tanaman, binatang dan manusia C
sebagai komponen biotik. Disamping itu terlibat pula campur tangan manusia
(man-made) dalam bentuk pengelolaan
dan pembangunan sarana/prasarana (infrastruktur) yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
komponen-
komponen dasar. Oleh sebab itu berbagai pakar berpendapat bahwa dalam -mengevaluasi dan menganalisa suatu agroekosistem, campur tangan manusia ini kadang kala menjadi faktor yang lebih dominan (Cox dan Atkins, 1979; F . A . 0 , 1977; Ismal, 1979). Hal ini disebabkan faktor tersebut secara serempak dapat mempengaruhi seluruh komponen sekaligus dan dalam periode yang lebih pendek. Sebagai contoh, pada agroekosistem lahan kering jika dibangun jaringan irigasi dan dilakukan pencetakan sawah atau konversi hutan menjadi lahan pertanian. Pembangunan jaringan irigasi, pencetakan sawah dan penebangan hutan merupakan contoh dari campur tangan manusia yang sangat besar dampaknya terhadap perubahan atau transformasi suatu agroekosistem. Iklim (dan cuaca) merupakan salah satu komponen abiotik (fisik) yang berpengaruh terhadap semua komponen da-
10
lam suatu ekosistem. Secara global dan deskriptif dapat dinyatakan bahwa pokok pangkal dari proses dan dinamika iklim adalah perubahan neraca bahanglenergi yang berkaitan dengan embut dan keragaman energi dipermukaan bumi. karena rotasi
Embut dan keragaman tersebut disebabkan dan
revolusi bumi
dengan
posisi sumbunva mirina 2g029'
terhadap bidang normal lintasannya yang ternyata berbentuk ellips
(Barry dan Chorley,
1968;
Longley,
1970;
Oliver, 1982). Menurut ~ o l t o n (1979), gerakan atmosfir sebagai pengendali utama terjadinya proses iklim dan cuaca, sangat berkaitan dengan hukum-hukum dasar fisika tentang kekekalan
(konservasi) massa atau zat alir
(air, uap air,
udara), momentum dan energi. Ketiga unsur fisika tersebut lebih mudah dipahami dan dimanifestasikan sebagai volume, tekanan dan suhu. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa proses terjadinya iklim dan cuaca dikendalikan oleh berbagai proses fisika yang berkaitan dengan dinamika ketiga gatra tersebut. Suhu, volume dan tekanan tidak saja sebagai subjek (pengendali) proses iklim secara keseluruhan, tetapi juga inerupakan objek (unsur iklim). Hess (1959) menyimpulkan bahwa untuk mengkaji proses yang mengakibatkan dinamika dan keragaman
iklim harus
melalui tiga bidang kajian, yaitu termodinamika, radiasi dan hidrodinamika. Termodinamika adalah ilmu tentang pro-
ses atau transformasi energi menuju keadaan (status) equiblirium dalam suatu sistem.
Sedangkan radiasi adalah
kajian tentang emisi energi gelombang elektromagnetik yang merambat pada suatu ruang dan diabsorbsi oleh suatu zat atau material.
Selanjutnya bidrodinamika ilmu yang
berkaitan dengan gerakan zat alir atau massa yang disebabkan berbagai gaya yang bekerja padanya.
B. Neraca Air dan Lenuas Tanah Produktivitas lahan per tahun dan produksi tanaman setiap panen sangat ditentukan oleh ketersediaan air. Secara teknis ketersediaan
air merupakan faktor utama yang
menentukan jenis dan sebaran tanaman serta lamanya masa tanam
(growing season) di daerah tropik. Masing-masing
jenis tanaman dan sistem usahatani membutuhkan air yang beragam menurut sifat genetik, fenologi dan faktor lingkungan fisiknya. Hampir semua tanaman mendapatkan air melalui tanah, sehingga status dan keragaman lengas tanah menjadi penentu utama terhadap produksi tanaman. Lengas tanah sering menjadi kendala produksi, baik karena rendahnya masukan (curah hujan danlatau irigasi) maupun sifat fisik tanah yang poros dan bersolum tipis. Keadaan ini banyak ditemui di daerah beriklim kering danlatau pada lahan kering (te-
galan) serta sawah tadah hujan. Menurut Lettau dan Baradas (1973) dan Virmani (1983),
keragaman
dan perubahan
lengas tanah merupakan komponen neraca air yang rumit dan melibatkan berbagai faktor, baik tanah maupun iklim. Oleh karena itu, pendugaqn keragaman dan laju pertu(perubahan) lengas tanah harus didasarkan kepada
karan
pendekatanlanalisis neraca air yang komprehensif melibatkan segenap parameter yang berperan pada masing-masing komponennya. Prinsip analisis neraca air adalah menghitung masukan
(input) dan keluaran
sistem yang dikaji
.
(output) pada suatu
Persamaan sederhana neraca air pada
suatu sistem atau lahan adalah : CH
+
(Ir) = ET,
+ P, + R, + AT
atau :
dimana : CH Ir ETo PC R A@
= curah hujan
= irigasi (jika diairi) = = = =
evapotranspirasi potensial perkolasi limpasan permukaan perubahan lengas tanah
Evapotranspirast sebagai salah
satu komponen neraca
air mempunyai beberapa gatra dalam sistem tanaman, baik fisiologis maupun fisik. Menurut Bey
(1981) dan Chang
(1969), evapotranspirasi merupakan komponen neraca air yang unik karena peranannya langsung dan serempak dalam
dua proses fisika, yaitu proses pertukaran energi dan pertukaran massa air. Selanjutnya ia juga.berperan pada mobilitas berbagai hara dan ion dari tanah dan di dalam jaringan tanaman. Secara langsung kehilangan danlatau kebutuhan air tanaman sangat ditentukan oleh laju penggunaan komsumtif (compsumtive use) yang identik dengan laju evapotranspirasi tanaman. Chang (1969) dan Hillel (1971) membenarkan asumsi tersebut atas dasar bahwa proporsi air yang secara langsung terlibat dan kemudian terikat secara kimia dalam biomassa sangat rendah ( C 2 , 5 % ) . Bahkan menurut teori wsoil-plant-atmosphere systemw atau
~soil-plant-atmos-
phere continuumfl, tanaman dianalogikan sekadar tabung kapiler sebagai media/tempat air lewat dari tanah yang kemudian diuapkan melalui permukaan (stomata) daun ke atmosfir (Philip dalam Hillel, 1971). Dalam ha1 ini laju evapotranspirasi ditentukan oleh gradien tekanan uap air di dekat/dalam jaringan daun dengan lapisan perbatas. Sama halnya dengan lengas tanah, evapotranspirasi pada suatu kawasan atau wilayah, agak sulit diukur secara langsung karena sangat beragam menurut jarak (space) dan tapak (site) serta cepat berubah menurut waktu. Oleh sebab itu banyak metode atau pendekatan yang dirancang untuk menduga evapotranspirasi dalam mengevaluasi potensi dan neraca air, baik secara mikro (tapak) maupun makro
atau regional (wilayah) (Chang, 1969; Doorenbos & Pruitt, 1978; Oke, 1979). Metode-metode pendugaan tersebut antara
, dan pendekatan "neraca lain dengan "formulasi empiriktl
.
bahangw , Itwater badget", dan *@aerodinamikW
Metode yang lebih klasik untuk menduga evapotransC
pirasi dan neraca air suatu wilayah adalah cara Thornth-
. Mereka
waite dan Mather (1957) dan Mather (1978)
menya-
rankan dengan pendekatan sistem tata buku (book-kee~inq system), yaitu menghitung masukan dan keluaran air dengan analisis komponen neraca air pada periode yang sama. Cara ini hanya efektif untuk sistem neraca air mikro (petakan). Oke
(1979) menyarankan pendugaan evapotranspirasi
dengan pendekatan "water-budgetw, yaitu melalui evaluasi kuantitatif
kaskad air dalam bidang tertentu. Cara ini
dilakukan dengan dua pendekatan, tergantung kepada ketersediaan data dan aras wilayah yang dievaluasi. Untuk aras regional dengan data yang mungkin terbatas, pendekatan pemodelan telah dimungkinkan dan lebih bermanfaatguna.
C. Analisis Sistem, ~imulasiclan Model
Analisis sistem (seperti agroekosistem dan tanaman) adalah suatu studi tentang sistem danlatau organisasi dengan menggunakan azas-azas ilmiah yang dapat menghasilkan suatu konsepsi danlatau model. Konsepsi .dan model ter-
sebut dapat digunakan sebagai dasar kebijakan, perubahan struktur, taktik dan strategi pengelolaan sistem tersebut. Patten (dalam Mustari, 1985) mengemukakan bahwa analisis sistem adalah serangkaian teknik untuk : .
(1) mengidentifikasi sifat-sifat makro dari suatu sistem, yang merupakan perwujudan interaksi antar komponen ekosistem atau antar subsistem. (2) menjelaskan interaksi atau proses-proses
yang berperan pada suatu sistem secara keseluruhan akibat adanya masukan. .
(3) menduga
atau meramal apa yang mungkin terjadi pada sistem jika beberapa faktor atau komponen dalam sistem tersebut berubah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sebenar-
nya analisis sistem (dalam ha1 ini agroekosistem dan tanaman) adalah metode ilmiah yang merupakan dasar dalam pemecahan masalah dalam pengelolaan sistem tersebut. Simulasi sebagai salah satu kegiatan dalam analisis agroekosistem dan tanaman secara garis besar meliputi tiga kegiatan utama (Soerianegara, 1978), yaitu : (1) merumuskan model yang menggambarkan sistem dan proses yang terjadi di dalamnya. (2) memodifikasi/memanipulasi model atau melakukan ekspe-
rimentasi. (3) mempergunakan model dan data untuk memecahkan perso-
alan
.
Dalam analisis agroekosistem dan simulasi yang paling banyak berperan adalah model. Model dapat dianggap sebagai konsepsi mental,
hubungan empirik atau kumpulan
pernyataan-pernyataan matematik/statistik atau dapat juga dinyatakan sebagai representasi sederhana dari suatu sistem yang kompleks (Bey, 1987). Ini sejalan dengan rumusan Mize dan Cox (1968) bahwa model merupakan gambaran absstrak dari suatu sistem, dimana hubuqgan antara peubahpeubah digambarkan sebagai hubungan sebab akibat. Dalam bidang hidrologi (termasuk klimatologi/meteorologi), model kuantitatif dikelompokkan menjadi deterministik, parametrik, stokastik, dan
kombinasinya (Haan,
1977; Hillel, 1977). Dengan dasar itu, dapat dipandang bahwa model sebagai kombinasi dari komponen-komponen yang masing-masing mewakili sebuah titik dalam suatu spektrum yang kontiniu, mulai dari deterministik murni pada satu sisi hingga stokastik murni pada sisi lain (Gambar 1).
STOKASTIX MURNI
DETERMINIBTIK MURNI
PARAMETRIK Gambar 1. Bkema arah dan alternatif sifat suatu metode analisis kuantiatif dan model (Bey, 1989)
Lebih lanjut Bey
(1987) mengemukakan bahwa - untuk
tujuan #Iforecasting" (peramalan), metode analisis kuantitatif iklim dibedakan atas metode kausal dan time series. Metode Kausal mengasumsikan bahwa faktor yang akan dirama1 mempunyai hubungan sebab akibat yang konstan dengan satu atau lebih'peubah bebas. Pada tahap awal metode analisis ini menentukan bentuk hubungan tersebut. Sedangkan dalam metode Time Series (runut waktu), sistem yang dirama1 dianggap sebagai suatu kotak hitam (black box) yang mengabaikan faktor-faktor yang mempengaruhi sistem tersebut.
Jadi peramalan hanya didasarkan pada nilai-nilai
(numerik) kejadian yang telah lalu. Penggunaan model sangat bermanfaat untuk mengkaji suatu sistem yang rumit, seperti suatu ekosistem spesifik atau agroekosistem dan neraca (tata) air suatu wilayah. Menurut Soerianegara (1978) dan Walter
(dalam Mustari,
1985) keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan pendekatan analisis sistem adalah : (1) memungkinkan kita melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup lebih luas. (2) mampu menentukan tujuan kegiatan pengelolaan dan per-
baikan terhadap sistem yang dihadapi. (3) dapat dipakai untuk melakukan eksperimentasi atau
skenario tanpa mengganggulmemberikan perlakuan tertentu terhadap sistem.
(4) dapat dipakai untuk mendugalmeramal kelakuan dan keadaan sistem pada masa yang akan datang dan/atau menyusun suatu skenario yang mungkin terjadi pada sistem tersebut. (5) dari segi waktu dan biaya lebih efisien.
Bey (1989), Manetsch dan Park (dalam Soerianegara, 1978) berpendapat bahwa bagaimanapun baiknya model yang dirancang ia tetap mempunyai keterbatasan dan merupakan distorsi dari sistem yang sebenarnya. Oleh karena itu, model harus digunakan secara teliti dan seksama dengan data yang sesahih dan selengkap mungkin. Penyusunan suatu model dilakukan melalui tahapan-tahapan utama yang terdiri dari (Hillel, 1977; Soerianegara, 1978) : (1) Menspesifikasi dan identifikasi sistem dan masalah (2) Penyusunan/penentuan model konsepsi untuk sistem (3) Penyusunan dan pemeriksaan program (komputer)
(4) Pemeriksaan parameter dan pengumpulan data (5) Pelaksanaan ekspermentasi dan pengujian model (6) Penyusunan kesimpulan dan rekomendasi
Pada Gambar 2. disajikan alur kegiatan dan tahapan dari pemodelan suatu sistem.
+ &MAT1 RELAKUKAN SISTEM I
-T='
DEFINISIKAN PERMASALAHAN
FORMULASIKAN DALAM BENTUK MATEMATIK
3 SUSUN ALGORITMA
/
*I 3 TERIMA
I
SALLY KE KODE KOMPUTER \
4
4
DUGA NILAI-NILAI PARAMETER
TERMA
Prn ERIKSA PARAMETE
TERIMA
-
TERIMA GUNAKAN MODEL UNTUK TUJUAN PRAKTIS
Gambar 2. Diagram alir tahapan Model Simulasi. Disederhanakan dari Hillel (1977) dan Soerianegara (1978).
D. Hodel Iklim dan Eva~oklimatonomi Konsep neraca air (Oke, 1979) dan neraca energi oleh Hess (1959) dan Geiger (1975) dalam menilai ~ o t e n s iair dan variasi suhu suatu wilayah cukup sederhana, ternyata
.
dalam pelaksanaannya sangat rumit jika memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Demikian juga konsep neraca air dan energi lain yang membutuhkan banyak pengamatan, sehingga agak sulit diterapkan dalam kajian yang bersifat regional atau wilayah.
Sebaliknya konsep
yang terlalu sederhana tidak mampu menunjukkan diskriminasi antara keadaanlwilayah dengan.iklim, tanah atau vegetasi. Salah satu konsep yang mampu memberikan keluaran neraca air dan energi berikut hubungan antar komponen dan /
perubahannya pada suatu wilayah adalah teknik dan model klimatonomi (Bey, 1981 dan Molion, 1975). Model klimatonomi yang mulanya dikembangkan oleh Lettau (1969; 1977),
Lettau dan Lettau (1975), pada dae-
rah subtropik dan kutub bertujuan untuk (a) menjelaskan sebab-sebab (secara fisik)
keragaman iklim menurut ruang
dan waktu berdasarkan hukum-hukum
fisika
radiasi,
kon-
duksi dan konveksi, (b) mensintesis iklim lokal danlatau regional dengan model numerik (kuantitatif) dengan menggunakan prinsip konservasi energi dan massa. Model klimatonomi ini kemudian dikembangkan pula untuk daerah tropik
antara lain oleh Supornrutana (dalam Bey, 1981) di Bangkok, pengaruh pembukaan hutan ter.hadap neraca air di DAS (daerah aliran .sungai) Amazon oleh Molion (1975) dan neraca air DAS di Fipilina oleh Lettau dan Baradas (1973). Di Indonesia model ini dikembangkan oleh Bey (1981) dan r
Bey, Irsal dan Koesmaryono (1990) untuk menyusun skenario proses rekolonisasi tumbuhan hutan di pulau Krakatau dan tata air Sub-DAS Konto, Kali Brantas, Jawa Timur. Prinsip dasar dari model klimatonomi adalah menspesifikasi keseimbangan (balance requirement) dan parameterisasi aliran energi dan massa (zat alir,
khususnya air
dan uap air) dengan menurunkan runut waktu masukan (forcing input) untuk runut waktu keluaran (response function). Dalam ha1 ini studi daur (siklus) harian, bulanan dan tahunan dari suhu dan lengas tanah pada suatu lokasi atau wilayah didasarkan kepada tanggapan terhadap masukan insolasi (energi surya) dan presipitasi yang juga menyebabkan adanya proses terhadap masukan (Lettau dan Lettau, 1975;- Bey 1982). Keuntungan utama dari model ini tidak hanya dapat digunakan untuk menduga potensi dan pertukaran lengas/air tanah dan energi pada suatu lahan tetapi dimungkinkan untuk menduga perubahan yang terjadi akibat berbagai alternatif pengelolaan dan masukan pada suatu lahan. Jika data runut waktu dari berbagai parameter tersedia, model ini
lebih berdayaguna dalam perancangan pembangunan dan pengembangan pertanian suatu daerah. Hal ini semakin mudah dan efisien dilaksanakan dengan adanya berbagai kemasan program komputer Model klimatonomi terdiri dari tiga submodel klimatonomi, yaitu "short wave climatonomvw (klimatonomi gelom-
bang pendek),
weva~oclimatonomy~(evapoklimatonomi) dan
.
m@thermoclimatonom~B@ (termoklimatonomi) Submodel klimatonomi gelombang pendek yang berkaitan dengan runut waktu irradiasi ekstra-atmosfir (masukan) dan energi surya yang diserap permukaan aktif (keluaran). Submodel evapoklimatonomi berkaitan dengan yang diserap permukaan dan presipitasi
energi
(terutama curah
hujan) sebagai masukan. Sedangkan keluarannya adalah pertukaran dan pola lengas tanah. Selanjutnya masukan pada submodel termoklimatonomi adalah selisih antara variasi tahunan atau harian energi surya dengan bahang laten, dan keragamanlperubahan suhu permukaan sebagai keluaran.
E. Model 8imulasi dan Potensi Basil Tanaman Hasil panen yang ditentukan oleh produksi biomassa (bahan kering), merupakan perujudan akhir hasil proses fotosintesis. Oleh sebab itu produksi bahan kering merupakan fungsi dari radiasi aktif fotosintesis (PAR, photo-
synthetic active radiation) yang diintersepsi oleh daun, laju pertumbuhan dan tipe daun (Elston, 1983; Chang, 1968; dan de Witt, Brouwer dan Penning de Vries, 1971)
. Lebih
lanjut Rabbige (1983), Squire (1990), Thornley (1976) dan Wigham (1983) merinci bahwa produksi bahan kering berasal "
dari aliran assimilat yang besarnya tergantung kepada radiasi datang dan luas daun aktif berfotosintesis. Namun demikian faktor air (lengas tanah), suhu udara dan hara tanaman juga sangat berperan. Potensi produksi suatu tanaman menurut Alberda (1971) dan Tanaka (1983) adalah produksi bahan kering pada periode tertentu, dimana akar tumbuh pada kondisi lingkungan optimal, memperoleh pasokan air dan hara yang cukup. Laju pertumbuhan tanaman hanya tergantung kepada energi surya yang diperoleh tanaman. Oleh sebab itu unfuk menduga potensi hasil suatu tanaman pada umumnya adalah mengkonversi total PAR yang diterima tanaman menjadi bahan kering sesuai dengan kemampuan genetik tanaman, pengelolaan dan
masukan.
Dengan
teknik
simulasi
dan
modeling,
berbagai peubah tersebut dapat diintegrasikan secara langsung dalam menentukan potensi tanaman. Bakema dan Jansen (1985) menyatakan bahwa model simulasi tanaman disusun oleh satu gugus persamaan yang menghitung fotosintesis potensial tanaman sebagai fu'ngsi dari data cuaca harian dan perkembangan tanaman, luas
24
daun. Charles-Edward (1982) menuliskan persamaan laju produksi biomassa per satuan waktu sebagai berikut :
Ri adalah jumlah energi radiasi yang diintersepsi tanaman C
selama i hari dengan efisiensi tanaman menggunakan energi
.
(e)
Rs adalah kehilangan (perombakan) biomassa akibat
respirasi. Efisiensi e, merupakan fungsi dari pengelolaan, pemupukan, lengas tanah dan konstanta genetik tanaman. France dan Thornley (1984), Penning de Vries et a1 (1989) mengisyaratkan bahwa model simulasi'untuk menduga potensi hasil tanaman, setidaknya harus bertitik tolak dari peubah genetik dan cuaca. Peubah genetik yang digunakan antara lain fenologi, laju pertumbuhan potensial, dan tipe daun, sedangkan peubah cuaca adalah radiasi surya dan suhu udara. Diassumsikan bahwa air dan atmosfir (C02) tidak menjadi kendala atau dapat dimanipulasi. Sesuai dengan tujuannya, assumsi yang dipakai, jumlah dan jenis peubah yang dilibatkan,
et a1
Penning de ~ r i e s
(1989) menstratifikasi sistem simulasi pendugaan
potensi tanaman atas empat aras, yakni : 1. Aras I : potensi hasil suatu tanaman
(dengan peubah genetik tertentu) pada suatu kondisi iklim,' dengan asumsi bahwa air, faktor tanah dan hara pada kondisi optimal. Laju pertumbuhan tanaman hanya dipengaruhi oleh radiasi surya dan suhu udara.
2. Aras 11 : potensi hasil suatu tanaman pada kondisi
lengas tanah dan iklim tertentu, dimana faktor tanah dan hara dianggap dalam keadaan optimal. Laju pertumbuhan tanaman merupakan fungsi dari surya dan suhu udara, dan status lengas tanah. 3. Aras I11 : potensi suatu tanaman pada kondisi iklim, v
lengas tanah dengan aras nitrogen tertentu. Laju pertumbuhan tanaman merupakan fungsi dari radiasi surya, s&u udara, lengas tanah dan aras nitrogen dalam tanah. : potensi hasil suatu tanaman pada kondisi iklim, lengas tanah, aras nitrogen, aras fosfor dan hara lainnya. Hampir semua faktor dalam sistem produksi tanaman, kecuali konsentrasi C 0 2 di udara merupakan peubah-peubah dalam model pertumbuhan tanaman.
4. Aras IV
Lebih jauh dikatakan bahwa simulasi pada aras I lebih banyak ditujukan untuk menduga potensi genetik suatu tanaman pada suatu lahan dengan kondisi iklim tertentu. Misalnya potensi hasil suatu varietas padi pada lahan sawah beririgasi dengan masukan teknologi yang optimal. Simulasi pada aras I1 bertujuan untuk menduga potensi hasil tanaman pada musim tanam (growing season) tertentu dengan menerapkan masukan teknologi usahatani secara optimal. Kebanyakan simulasi aras I1 ini digunakan untuk menduga potensi agroekologi dan/atau produktivitas tanaman pada suatu wilayah/daerah. Keluarannya dapat digunakan dalam pewilayahan agroekologi dan komoditi. Sedangkan simulasi pada aras 111 dan IV bersifat lebih spesifik lokasi atau tapak (site), yaitu pendugaan
26
hasil tanaman dengan aras masukan teknologi usahatani, khususnya pemupukan dengan dosis tertentu. Simulasi ini banyak digunakan dalam menguji hasil nyata lapang (actual yield) dengan potensi tanamanlvarietas dengan tindakan agronomis dan sistem usahatani tertentu. C
Jagung merupakan tanaman C-4 dengan titik jenuh cahaya yang cukup tinggi, laju fotorespirasi dan titik kompensasi C02 yang rendah. Oleh sebab itu, pada kondisi intensitas radiasi surya tinggi laju pertumbuhan dan potensi hasil tinggi dengan laju fotosintesa 70-100 mg co2/dm2 per jam (F.A.O.,
1978; Hatch dan Slack, 1970).
Cuany, Swink dan Shafer (1970) bahwa hasil jagung di daerah temperate seperti di Amerika mencapai 17-22 t/ha dengan rata-rata hasil petani sekitar 11 t/ha. Selanjutnya Frey (1971) melaporkan bahwa di daerah tropik lintang menengah hasil jagung tertinggi mencapai 10-12 t/ha. Sedangkan di lintang rendah dengan pengelolaan yang optimal menghasilkan biji 5-9 t/ha. Pada radiasi surya sekitar 448-603 kal/cm2/hari, produksi
biomassa total di daerah
tropik berkisar antara 10-19 t/ha dengan ILD 3.7-4.8 ngan indeks panen 0.34-0.41
de-
(Fisher dan Palmer, 1983). Di
Indonesia hasil rata-rata jagung hanya 2.19 t/ha, namun hasil penelitian, jagung varietas Arjuna mampu menghasilkan 4.6 t/ha di Jawa (Muhajir, 1984; Puslitbangtan, 1988; Subandi, 1988)
.
Model simulasi untuk pendugaan potensi hasil jagung telah dikembangkan di Amerika, khususnya oleh Badan Litbang Pertanian USA (USDA-ARS) sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Salah satu model simulasi yang terkenal adalah IICERES-MAYZE Model1' yang terdiri dari dua versi, yaitu versi baku (standard) dan versi nitrogen. Menurut Ritchi (1986) dan
it chi et a1 (1986), versi baku mensimulasi
potensi hasil berdasarkan potensi genotipe, cuaca harian selama pertwnbuhan dan karakteristik umum tanah. Sedangkan pada versi nitrogen mensimulasi hasil jagung berdasarkan dinamika nitrogen dalam tanah dan tanaman, selain potensi genetik dan cuaca. Kedelai termasuk tanaman kelompok adaptasi C-3 yang aktivitas respirasi dipengaruhi oleh radiasi surya dengan titik jenuh cahaya sedang (FAO, 1978; dan Whigham, 1983)
.
Menurut Kassam (dalam FAO, 1978) pada saat langit cerah dengan intensitas radiasi surya 1.4 lylmenit atau kurang lebih setara 650 lylhari mempunyai laju fotosintesis sekitar 35 mg ~o~/drn~/rnenit atau 2.1-3.5
g bahan keringlhal
hari. ~erbagaipenelitian menunjukkan bahwa produksi biji kedelai mencapai 6.9 t/ha dengan produksi
bahan
kering
10.2 tlha, terutama di daerah temperatelsub-tropis. Whigham, Minor, dan Carmer (1978) melaporkan bahwa penanaman kedelai di daerah tropis dengan lintang sekitar lo0 Utara memberikan produksi biji rata-rata 2.0 t/ha de-
. ngan kisaran 0.5-4.5
t/ha. ~erangkaian penelitian terha-
dap varietas Wilis di Indonesia menghasilkan biji sekitar *
1.6-2.7 0.9
t/ha, namun pada tingkat petani masih di bawah
t/ha (Manwan et al,
1990;
dan Guhardja,
Selanjutnya penelitian pot oleh Boer
1991).
(1988), varietas
P
yang sama menghasilkan biji sekitar 17.2 glrumpun atau sekitar 3.2 t/ha dengan produksi bahan kering 9.4 t/ha. Dari banyak model simulasi tanaman yang dapat digunakan untuk menduga potensi hasil kedelai, model simulasi dan paket program SOYGRO termasuk metode yang lebih praktis namun dengan keluaran yang lebih lengkap. Model simulasi SOYGRO mulai dikembangkan sejak tahun 1980 oleh Universitas Florida dan IBSNAT (Inter. Benchmark Sites Network for Agrotech. Transfer) di Amerika Serikat (IBSNAT, 1986; Jones et all 1989). Model SOYGRO telah mengalami beberapa kali penyempurnaan sesuai dengan perubahan versinya. Versi terakhir adalah SOYGRO 4.2
yang 'lebih
sensitif terhadap peubah-peubah genetik menurut varietasl galur, tanggal dan jarak tanam, serta pengelolaan irigasi.
Setiap tanaman (komoditi) membutuhkan syarat tumbuh serta mempunyai daya adaptasi (kisaran) dan tanggap tertentu terhadap lingkungan. Di lapangan, kondisi tersebut
29
merupakan interaksi antara potensi agroekologi (alamiah) dengan paket teknologi sistem usahatani dan infrastruktur. Menurut Odum (1977), Cox dan Atkins (1979), akibat
-
interaksi antara lingkungan dengan vegetasi (tanaman) terdapat zona-zona vegetasi secara alami di muka bumi. Pada r
kondisi alami peranan iklim lebih menonjol dalam menentukan zona vegetasi tersebut. Bahkan para pakar sering menggunakan jenis dan penyebaran vegetasi alami untuk mengidentifikasi dan mendeliniasi iklim, seperti yang dilakukan oleh Koppen (dalam
Chambers 1978) serta Schmidt dan
Ferguson (1951). Namun demikian pada suatu agroekosistem, campur tangan manusia kadangkala lebih dominan, tergantung kepada kemampuan untuk menyesuaikan diri danlatau memanipulasi lingkungan tersebut. Berdasarkan prinsip ekologi di atas, studi tentang karakteristik lingkungan terutama iklim dapat digunakan untuk menentukan jehis komoditi' yang cocok pada suatu agroekosistem. Dalam ha1 ini pada suatu agroekosistem dapat dimungkinkan beberapa alternatif sistem usahatani dan komoditi. Oleh karena itu, berbagai gatra lain perlu dipertimbangkan, seperti keunggulan banding suatu komoditi, sosial ekonomi, kebijakan, infrastrutur dan lain-lain. Irsal et a1 (1990) mengemukakan konsepsi dasar dalam pewilayahan (zonasi) komoditi secara bertahap diawali dengan studi agroekologi utama yang hanya mempertimbang-
kan faktor bio-fisik, yaitu iklim, tanah, dan topofisiografi. Faktor lingkungan biologis, sosial ekonomi, kebijaksanaanlpolitik dan faktor penunjang lainnya dipertimbangkan pada' tahap-tahap berikutnya (Gambar 3 )
.
Menurut banyak pakar yang dituangkan dalam rumusan "
Seminar Sehari tentang Peningkatan Pemanfaatan Agrometeorologi Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Pengembangan Perkebunan (PERHIMPI, 1989), penggunaan faktor iklim dan topografi sebagai parameter utama dalam pewilayahan komoditi suatu daerah didasarkan kepada beberapa pertimbangan antara lain : 1. iklim dan topografi secara sangat sulit dimodifikasi.
teknis
operasional
2. iklim merupakan salah satu komponen agroekosistem
yang sulit diduga. 3. iklim dalam batas tertentu dapat digunakan untuk
mengindikasikan komponen agroekosistem lain, terutama faktor tanah dan vegetasi. Iklim tidak hanya menentukan kesesuaian lahan melalui kemungkinan tumbuh tidaknya suatu komoditi dan tinggi rendahnya
(magnitute) hasil panen, tetapi juga sangat
mempengaruhi kemantapan (stabilitas) hasil komoditi tersebut (Arsyad, 1988; Karama dan Irsal, 1988). Untuk tanaman industri dan komoditi eksport, kualitas, kemantapan produksi merupakan tuntutan dalam pengolahan dan pema-
.
Rktor Dominan 6 Spcsifik tiap TIpe A#. E P n g m &
I
Zona Apkologi Pngmatik
-
.
-K
I
A
Ekolo@. ~ o r n o d ~ uJ . .
1
Kewuaian Komoditi
Potcnsi Penanaman
I
Faktor Sosial Ekonomi
Kebijaksanaan Pemcrintah
'
Komoditi Priorifas
"'
I
(Pcailayahan Komoditi)
Gambar 3. Diagram alir tahapan studi dan pewilayahan agroekologi dan zona komoditi. saran.
Sedangkan pada tanaman pangan, kedua gatra
penting dalam menjaga keamanan pangan
ini
(food security)..
Gatra lumintu (sustainable) merupakan salah satu tuntutan dalam pembangunan pertanian tangguh berwawasan lingkungan (Satari dan Darwis, 1988).
Gatra lain'yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan zona komoditi akhir-akhir ini adalah mmwawasanlingkunganw dalam arti : cocok, sesuai dan layak untuk mendapatkan produksi optimal, mantap dan tidak menganggu kelestarian sumberdaya alam
dan lingkungan.
Dalam ha1 ini
secara ekologis sesuai dan cocok dengan syarat tumbuh komoditi dan dapat berproduksi secara optimal, layak (feasible) dalam arti secara ekonomis menguntungkan secara teknis operasional memungkinkan.
serta
Selanjutnya ma-
sukan yang diberikan dalam pembudidayaan komoditi tersebut tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan dan menjamin kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan serta menjamin keberlanjutan produktivitas lahan.
G. Aqroekoloqi dan Sistem Usahatani Kabupaten Sikka dan Kabu~atenEnde 1. Geologi, Topografi dan Tanah
Pulau Flores termasuk pulau-pulau vulkanik Nusa Tenggara bersama Bali, Lombok, Sumbawa, Alor, dan Wetar (Bemmelen, 1949)
. Kondisi
fisiografi dan topografi Kabu-
paten Sikka dan Kabupaten Ende yang berada dibagian tengah Pulau Flores beragam, terletak dari no1 hingga 1200 m. dpl (meter di atas permukaan laut).. Lebih dari 24% dari wilayahnya terletak >500 m.dpl. Sekitar 17% wilayah mempunyai kemiringan 0-15%, 34 dan 49% wilayah dengan ke-
miringan 15-40, dan >41%. Kebanyakan wilayah ini bergelombang hingga berbukit, bahkan beberapa di antaranya, khususnya bagian tengah merupakan wilayah perbukitan dengan kemiringan yang terjal atau torehan. Faktor pembentuk tanah yang dominan di daerah ini adalah iklim. Pergantian musim kemarau dan musim hujan yang sangat nyata secara intensif mempengaruhi proses pembentukan tanah (Brouwer, 1942). Pada daerah hilir dan dataran terbentuk tanah ~ l u v i a ldan Grumosol, pada daerah berombak adalah tanah Regosol, sedang di daerah bergelombang tanah Latosol, Mediteran, ~ambisol,~itosol,dan Kompleks (Regosol, Kambisol dan Litosol)
a am pi ran 1).
Sebagian besar tanah di wilayah penelitian ini mempunyai tekstur sedang hingga kasar dengan kadar bahan.organik rendah (Balittro, 1986; dan Puslittanak, 1990), sehingga kapasitas menahan air
(water holding capacity)
rendah. Menurut Blantran de Rozari (1989), Tim Rintisan Iklim BMG mendapatkan nilai kapasitas menahan air tanah di daerah ini sekitar 10% volume tanah.
2.
Hidrologi Sesuai dengan kondisi fisiografi dan geografi serta
curah hujan yang rendah, di kedua kabupaten ini tidak terdapat sungai-sungai besar dan panjang. Namun demikian di sini terdapat banyak sungai kecil yang kebanyakan ber-
34
air hanya selama musim hujan. Dari 4 sungai yang relatif besar dan panjang 3 diantaranya bermuara di selatan (laut Sawu) , Nangapanda yang bermuara di dekat Ende. Tiga sungai lainnya adalah, Mautenda, Iligetang dan Nebe (Kantor ~tattistikNTT, 1986; Sandi, 1976). "
~ a s i l studi Ditjen Pengairan dan PT (1982) menyimpulkan bahwa kedua kabupaten DAS, yakni
Indah Karya
terdiri dari 8
Lowo Rea, Nanga Panda, Lowo Dondo, Wai Wajo,
Mage Panda, Wai Doing, Wai Gete dan Nanga Gete. Masing masing DAS diberi nomor dari 12 hingga 19. Pada masingmasing DAS mengalir 18-21 sungai dan anak sungai. 3. Iklim
3.1.
Sirkulasi Udara dan Musim
Iklim Pulau Flores sangat dipengaruhi oleh sirkulasi angin musim secara latitudinal yang bergerak dari dan ke arah katulistiwa. Namun demikian dengan adanya pegunungan dibagian tengah pulau, angin lokal agak mempengaruhi curah dan distribusi hujan (Blantran de Rozari, 1986). Berdasarkan sirkulasi udara dan angin musim, periode satu tahun di Flores dibedakan atas dua musim. Selama Desember-April angin Monsoon Barat Laut bertiup melalui laut Flores dan Pulau Sumbawa. Kelembaban nisbi massa udara pada angin tersebut meningkat dengan adanya pegunungan di bagian tengah pulau Flores. Akibatnya selama
periode ini hujan tercurah di sebagian besar wilayah ini, kecuali di pantai utara sekitar teluk Pedang yang merupakan daerah bayangan hujan dan datangnya angin bersifat Selama periode Juni-September/Oktober, angin Monsoon Tenggara dari Australia bertiup secara dominan I.
dengan cepat menuju laut Flores. Angin tersebut kurang lembab, sehingga periode ini merupakan musim kemarau. Selama masa peralihan selama bulan Oktober/Nopember dan Mei angin bertiup dari berbagai jurusan dan memberikan dampak lokal yang ikut meragamkan curah hujan tergantung kepada sifat dan arah angin serta kondisi topografi dan ciri khas setiap'lokasi.(Metzner, 1982). 3.2.
Curah Hujan dan Tipe Iklim Metzner (1982) mengemukakan bahwa di Flores terdapat
tiga wilayah
(zona) curah hujan menurut pola umumnya,
yaitu : 1. Pantai
Utara Kering, curah hujan
2. Daerah Pegunungan (bagian tengah), curah hujan >2000 mm/tahun dan dua periode hujan yang cukup . panjang (~opember-Aprildan Mei-~uli); contoh : Bajawa dan Ruteng. 3. Lerenglsisi Selatan Pegunungan, curah hujan 10002000 mm/tahun; contoh : Ende, Lela dan Ladelero.
36
Blantran de Rozari (1986), membedakan NTT atas tiga klas curah hujan berdasarkan bulan basah dan kering (<60 mmlbulan) , yaitu : kemarau kering, kemarau sedang, dan kemarau basah. Sebagian besar wilayah Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende, termasuk klas curah hujan Kernarau Sedang (2-5 bulan kering), kecuali sebagian daerah pantai utara, terutama di sekitar Magepanda dan Nebe mernpunyai klas curah hujan Kemarau Kering (2 6 bulan kering). Wilayah penelitian mempunyai curah hujan yang rendah dengan periode yang relatif pendek
(<6 bulan), tetapi
tidak dapat digolongkan sebagai daerah Semi Arid Tropics, kecuali Waingapu (Blantran de Rozari, 1987). Apalagi jika kelembaban nisbi dan suhu ikut dipertimbangkan. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson (1951), sebagian besar wilayah ini mempunyai tipe iklim E dan F yang berarti jumlah bulan kering (<60 mmlbulan) lebih sedikit dari jumlah bulan basah (>60 mm/bulan). Selaras dengan itu menurut klasifikasi Koppen (dalam : Chambers, 1978 ) tipe iklirn
di Flores pada umumnya Awa, dan
sebagian Aw atau Af yaitu daerah bertipe Iklim Hujan Tropik kering dan suhu pada bulan terpanas >22,2O~. Dari peta agroklimat Oldeman,
Irsal dan Muladi
(1979), Flores terdiri dari lima wilayah tipe agroklimat, yaitu C3, D3, D4, E3 dan E4, khusus Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende
hanya terdiri dari tipe agroklimat E3 dan
37
E4. Tipe agroklimat E3 mempunyai bulan basah (>200 mm/bulan) < 3 bulan dan bulan kering (
6 bulan. Tipe E3 terutama terdapat di pedalaman dan pantai selatan Ende.
C
4. Status Sistem Usahatani dan Komoditi Pertanian 4.1.
Agroekosistem dan Bistem Usahatani
Menurut studi agroekosistem Kepas (1986), Momuat dan Malian (1988), Poffenberger dan Suryanata (1986) di wilayah penelitian terdapat empat agroekosistem lahan yang sekaligus yang mencirikan sistem usahatani (SUT) dan komoditi yang diusahakan, yakni persawahan, pekarangan, tegalan serta lahan kering dan padang pengembalaan. Lahan persawahan umumnya ditanam hanya sekali padi sawah dengan sistem pengairan teknis, sederhana dan tadah hujan. Lahan pekarangan ditanam beraneka jenis tanaman tahunan seperti kelapa, pisang, alpukat, kemiri, dan coklat. Di sela-sela tanaman tersebut selama musim hujan sering di tanam beberapa jenis tanaman pangan seperti jagung, kacang hijau dan ubi kayu. Lahan tegalan umumnya berupa lahan kering di daerah dataran atau sedikit bergelombang hingga miring.
Keba-
nyakan daerah dataran di tanam jagung sebagai tanaman utama, atau ditumpang sarikan dengan kacang hijau, kapas, dan ubi kayu. Selain itu terdapat tanaman tahunan teru-
-
38
tama kelapa, asam, dan jambu mente.
Di daerah lereng dan
perbukitan banyak juga ditanam tanaman pangan selain tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri seperti cengkeh, kemiri, kopi, kapuk, alpukat dan coklat. Lahan peladangan merupakan lahan kering di celah-celah perbukitan dan agak subur di pegunungan yang umumnya terjal, kebanyakan lahan ini ditanami selama satu atau dua tahun kemudian ditinggalkan. Pada lahan ini umumnya diusahakan tanaman pangan, terutama jagung, dan kacangkacangan. Sekarang sistem peladangan semakin berkurang, terpencar secara sporadis di beberapa wilayah di Kabupaten Ende bagian tengah dan utara atau di sekitar perbatasannya dengan Kabupaten Sikka. 4.2.
Status Sitem Usahatani Tanaman Pangan Sistem usahatani (SUT) tanaman pangan merupakan mata
pencarian sekitar 79.4% dan 83% dari penduduk Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende, dan menyerap tenaga kerja sekitar 67 790 dan 64 190 orang. Sumbangan (kontribusi) SUT tanaman pangan terhadap pendapatan daerah regional bruto (PDRB) sekitar 28.3% dan 27.5% untuk masing-masing kabupaten dengan laju pertumbuhan 4.34 dan 3.72%/tahun. Total luas panen tanaman pangan tahun 1989 di Kabupaten Sikka sekitar-30 104 ha dan di Kabupaten Ende sekitar 21 818 ha. Total 11 195 ha luas sawah yang dapat di-
airi di Kabupaten Ende hanya 3 5 0 5 ha ( 3 1 . 3 % ) yang telah digarap, dan dari 44 7 2 8 ha lahan kering hanya 2 7 2 3 0 ha ( 6 0 . 9 1 % ) yang telah digarap (Tabel 1)
.
Tabel 1. Luas panen dan produksi beberapa jenis tanaman pangan pada tahun di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende.
193? .......................................................... :
Tanaman
Luas Panen (ha) K.S K.E
Produksi (ton) K.S K.E
(tonlha) K.S K.E~) '
.......................................................... Padi sawah Padi gogo JWFng ~ b i kayu Ubi jalar Kacang tanah Kacang hijau Total areal
889
3 951
5233
10996
5.88
3.27
7 749
5 540
5792
8913
0.75
1.89
12 873
6 049
139060
24435
10.80
4.04
3 454
6 017
22350
63290
6.47
10.52
355
126
1077
1434
3.03
11.38
135
632
239
0.90
1.77
1843
td
0.50
td
1 071 3 713
,
td
3 0 104 2 1 818
175987 1 0 9 3 0 7
..........................................................
-
-
Sumber : Dipertan Kab. Sikka ( 1 9 8 9 ) , Kantor Statistik Sikka ( 1 9 9 0 ) , dan Dipertan Kab. Ende ( 1 9 8 9 ) Kantor Statistik Ende ( 1 9 9 0 ) . . 2 , K.S = Kabupaten Sikka; K.E = Kabupaten Ende td = tidak ada data atau luasnya sangat kecil
'I
Produktivitas tanaman pangan umumnya masih rendah, selain karena curah hujan yang rendah dan eratik, sebagian petani belum menggunakan verietas unggul, pemupukan dan pola tanam yang optimal. Hal ini erat .kaitannya dengan rendahnya apresiasi petani terhadap teknologi usahatani introduksi danlatau terbatasnya penyediaan
sarana
produksi (Momuat dan Malian, 1988; Poffenberger dan Suryanata, 1986; Yasin et al, 1990). 4.3.
Status Sistem Usahatani Tanaman Perkebunan/Industri Pada umumnya areal pertanaman tanaman perkebunan dan
,.
industri terpencar secara sporadis di berbagai kecamatan di kedua kabupaten. Total luas areal tanaman perkebunan di Kabupaten Sikka sekitar 47 000 ha. Hampir seperduanya adalah tanaman kelapa, sisanya tanaman coklat,jambu mente, dan kemiri. Total produksi tanaman perkebunan pada tahun 1989 adalah 16 049 ton, 12 ribu ton lebih di antaranya adalah kelapa (Tabel 2). Banyak di antara tanaman merupakan tanaman yang baru dikembangkan seperti coklat, cengkeh, dan kapas. Secara ekologis tanaman kapas mempunyai prospek yang baik di wilayah ini, namun gangguan hama penyakit dan faktor pemasaran masih merupakan kendala. Pada tahun 1989, SUT perkebunan menyumbang sekitar 6.96% PDRB Sikka dengan laju pertumbuhan rata-rata 12.5%/tahun. Luas areal tanaman perkebunan dan industri di Kabupaten Ende sekitar 23 567 ha dengan total produksi 5 765 ton aneka jenis komoditi perkebunan (Tabel 2). Tanaman perkebunan agak luas diusahakan adalah kelapa, kopi, kemiri dan jambu mente. Pada tahun 1989, sumbangan SUT perkebunan (rakyat) terhadap PDRB Kabupaten Ende adalah sebesar 3.98% dengan laju pertumbuhan sekitar 11.3%/tahun.
Tabel 2. Luas dan produksi beberapa tanaman perkebunan dan industri tahun 1989 di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Ende.
Tanaman e
Luas Areal (ha) K.S K.E
Produksi (ton) K.S K.E
Kelapa Kopi cengkeh Kemiri Kapuk Coklat Jambu Mente Kapas Tembakau Jarak ,
I' 2,
Sumber : Kantor Statistik Sikka (1990), dan Kantor Statistik Ende (1990), B . P . S (1987)
.
K. S = Kabupaten Sikka; K. E = Kabupaten Ende td = tidak ada data atau luasnya sangat kecil