1.
Kisah Sukses McDonald’s
2.
Deden, Sarjana yang Lebih Memilih Mengembangkan Usaha Kecap Ketimbang Jadi PNS, Kini Sukses Raup Omzet Ratusan Juta
3.
Kisah Sukses Indomaret
4.
Kiat Jitu Sosro Rebut Pasar Teh Celup
5.
Soedomo Mergonoto, Pengusaha Sukses Dibalik Kebesaran Kopi Kapal Api
6.
Rokok Gurem Sukses di Rantau Orang
7.
Kopi Medan Ingin Kuasai Jakarta
8.
Tak Cukup Cuma Beriklan
9.
Kawan yang Menjelma Jadi Lawan
10. Si Kolonel yang Tiada Lawan 11. Keunikan dan Ciri Khas Produk Kunci Sukses Berbisnis Tahu Ikan Tuna ala Aditya Roby 12. Bersaing Mendongkrak Pangsa Si Pedas 13. Mereka yang (Mencoba) Bangkit Kembali 14. Menerawang Masa Depan
http://kisahsukses.vienska.com/2009/05/kisah-sukses-mcdonald%E2%80%99s/
a.
Kisah Sukses McDonald’s
May 30th, 2009 Goto comments Leave a comment
McDonal Inilah kisah sukses restoran siap saji Mc Donald dimulai di tahun 1940 dengan dibukanya sebuah restoran oleh Dick dan Mac McDonald, di San Bernardino, California. Mereka memperkenalkan “Speedee Service System” pada tahun 1948, yang kemudian menjadi pinsip dasar restoran siap-saji moderen. Maskot awal McDonald’s, yang bernama Speede, adalah seorang pria dengan kepala berbentuk hamburger yang menggunakan topi koki. Speede kemudian digantikan oleh Ronald McDonald di tahun 1963. McDonald’s saat ini tidak menjadikan tahun 1940 sebagai tahun kelahiran restoran McDonald’s dan awal dari semua kisah suksesnya. Mereka memilih 15 April 1955, ketika Ray Kroc membeli lisensi waralaba McDonald’s dari Dick dan Mac di Des Plaines, Illinois, sebagai hari kelahirannya. Kroc kemudian membeli saham dari McDonald’s bersaudara dan memimpin perusahaan ini melakukan ekspansi ke seluruh dunia. Saham McDonald’s mulai dijual kepada publik tahun 1965. Sifat agresif yang dimiliki Kroc bertentangan dengan keinginan McDonald bersaudara. Kroc dan McDonald bersaudara bertikai untuk mengontrol bisnis ini, namun akhirnya McDonald bersaudara lah yang pergi meninggalkan perusahaan. Pertikaian ini didokumentasikan baik dalam otobiografi Kroc maupun otobiografi McDonald bersaudara. Situs di mana McDonald bersaudara pertama kali mendirikan restoran kini dijadikan monumen. Dengan ekspansi agresifnya ke seluruh penjuru dunia, McDonald’s dijadikan sebagai simbol globalisasi dan penyebar gaya hidup orang Amerika.
Pada tahun 1960, terdapat lebih dari 200 saluran McDonald’s di seluruh Amerika, perluasan cepat yang dikobarkan oleh biaya franchise yang rendah. Ray Kroc telah menciptakan salah satu merek yang paling kuat sepanjang masa. Tetapi dia nyaris tidak mendapat keuntungan. Akhirnya, dia memutuskan untuk menggunakan real estate sebagai pendukung keuangan yang menyebabkan McDonald’s menjadi operasi yang menguntungkan dan sukses. Pada tahun 1956, Kroc mendirikan Franchise Realty Corporation, membeli tanah dan bertindak selaku pemilik restoran bagi pembeli franchise yang penuh minat. Dengan langkah ini, McDonald’s mulai memperoleh penghasilan yang sesungguhnya, dan perusahaan pun lepas landas. Kroc kemudian memperkenalkan program periklanan nasional untuk mendukung franchise yang tersebar dengan cepat, dan setelah tampak bahwa pertumbuhan di wilayah asal perusahaan ini melambat pada awal tahun 1970-an, dia memulai dorongan yang penuh semangat dan sukses untuk membuat kehadiran global bagi McDonald’s. Sepanjang pertumbuhan perusahaan yang spektakuler, Kroc melakukan akrobat keseimbangan berjalan di atas rentangan tali yang sulit, memberlakukan standar yang keras di seluruh sistem sementara mendorong semangat wirausaha yang menyambut baik gagasan dari semua tingkat. Banyak gagasan ini yang memberikan sumbangan kepada keberhasilan perusahaan yang menakjubkan. Dalam mengumpulkan kekayaan sebesar $500 juta, raja hamburger ini mengubah lansekap budaya bangsa dan menempa sebuah industri yang termasuk di kalangan ekspor Amerika yang terbesar. Keberhasilan dan kesuksesan McDonald’s yang ditiru secara meluas menawarkan contoh yang baik sekali bagi manajer dan eksekutif zaman sekarang yang berusaha mencari efisiensi produksi yang lebih besar. Dengan menempatkan hamburger yang bersahaja di atas jalur perakitan, Kroc menunjukkan kepada seluruh dunia bagaimana cara menerapkan pross manajemen yang maju pada usaha yang paling membosankan. Supaya bisa maju dengan cara McDonald’s, perusahaan-perusahaan harus menetapkan prinsip dasar pelayanan yang mereka tawarkan, memecah-mecah pekerjaan menjadi bagian-bagian, dan kemudian terus-menerus merakitnya kembali dan menyempurnakan banyak langkah sampai sistem berjalan tanpa kekangan. Hari ini, perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam antara pizza, pemrosesan klaim asuransi, atau menjual mainan mendapat keuntungan dari jenis sistem yang dipelopori oleh Ray Kroc. Sampai tingkat ketika operasi seperti ini menjaga pengendalian mutu, dan memelihara kepuasan pelanggan, keuntungan akan mengalir. Sebagai salesman mesin susu kocok, Raymond Kroc secara rutin mengunjungi kliennya. Tetapi ketika salesman berumur lima puluh dua tahun ini pergi dari rumahnya dekat Chicago ke California selatan untuk menemui dua kliennya yang terbesar, hasilnya sama sekali bukan hal rutin. Maurice
dan Richard McDonald meninggalkan New Hampshire pada tahun 1930, berusaha mencari peruntungan di Hollywood. Karena tidak bisa mendapatkan hasil besar di Tinseltown, kakak beradik ini akhirnya menjadi pemilik restoran drive-in di San Bernardino, kota kecil berdebu sejauh lima puluh lima mil di sebelah timur Los Angeles. Sementara kebanyakan restoran membeli satu atau dua Prince Castle Multimixer, yang bisa mencampur lima gelas susu kocok sekaligus, McDonald bersaudara membeli delapan buah. Dan Kroc ingin tahu jenis operasi apa yang membutuhkan kemampuan membuat empat puluh gelas susu kocok pada saat saat yang bersamaan. Maka dia pergi ke San Bernardino, dan apa yang dilihatnya di sana mengubah kehidupannya. Kroc berdiri di keteduhan dua gerbang lengkung keemasan restoran yang gemerlapan, yang menerangi langit di senja kala, dan melihat antrian orang-orang yang berkelok-kelok seperti ular di luar restoran yang berbentuk segi delapan. Melalui dinding bangunan yang selurunya terbuat dari kaca, dia memandangi para karyawan pria, yang memakai topi kertas dan seragam putih, sibuk di restoran yang sangat bersih, menyajikan burger dalam piring, kentang goreng dan susu kocok kepada keluarga-keluarga kelas pekerja yang berdatangan naik mobil. “Sesuatu pasti sedang terjadi di sini, saya mengatakan kepada diri sendiri,” Kroc kemudian menulis dalam otobiografinya, Grinding It Out. “Ini pasti operasi perdagangan paling menakjubkan yang pernah saya lihat.” Tidak seperti begitu banyak operasi pelayanan makanan yang pernah ditemui oleh Krock, tempat ini mendengung seperti mesin yang ditun-up dengan sempurna. Sebagaimana Forbes menyatakannya, “singkatnya, kakak-beradik ini mendatangkan efisiensi kepada bisnis yang cepat.” Mereka menawarkan menu sembilan jenis makanan - burger, kentang goreng, susu kocok, dan pai - menyingkirkan tempat duduk, serta menggunakan alat makan kertas dan bukannya kaca atau porselen. Mereka juga merancang jalur perakitan kasaran sehingga mereka bisa melayani pesanan dalam waktu kurang dari enam puluh detik. Kroc seketika tahu bahwa dia telah melihat masa depan. “Malam itu dalam kamar motel saya, saya berpikir keras tentang apa yang saya lihat siang harinyal. Bayangan restoran McDoland’s yang tersebar di sekitar perempatan jalan di seluruh negara berpawai melalui otak saya.” Dengan persetujuan di tangan, Kroc mulai memenuhi bayangannya tentang restoran McDonald’s yang meledak dari pantai ke pantai. Dia memulai dengan membangun mata rantai pertama kongsi restoran ini - sebuah model eksperimewntal di Des Plaines, illinois, di luar kota Chicago, yang bersifatkan harga rendah yang sama, demikian pula menu yang terbatas, dan pelayanan cepat seperti di restoran San Bernardino. Restoran yang dibuka pada tanggal 15 April 1955 ini mencapai penjualan yang terhormat sebesar $366,12 dengan cepat memasukkan keuntungan. Kroc mengawasi restoran ini dengan waspada seperti seorang ibu baru, secara pribadi memimpin
kegiatan dapur dan mengorek sisa permen karet dari pelataran parkir dengan pisau raut. Bagi Kroc, meniru satu kedai tunggal kakak-beradik McDonald baru permulaannya. Supaya bisa membangun kongsi restoran, Kroc tahu bahwa dia harus memberlakukan disiplin atas industri restoran yang dikelola secara longgar. Dan itu berarti menyempurnakan prosedur operasi yang distandarkan dalam proses yang bisa ditiru. Empat puluh tahun sebelumnya, Henry Ford sudah menyadari bahwa produksi masal mobil memerlukan perkawinan antara presisi bagian-bagian mobil dan proses perakitan yang efisien. Wawan Kroc adalah menerapkan disiplin yang sama pada pembuatan sandwich. Dengan menggunakan gagasan bahwa “ada ilmu untuk membuat dan menyajikan hamburger,” Kroc memberikan kepada kepingan daging sapi gilingnya spesifikasi yang tepat - kandungan lemak: di bawah 19 persen; berat: 1,6 ons: garis tengah: 3,875 inci; bawang: ¼ ons . Kroc bahkan membangun sebuah laboratorium di pinggiran kota Chicago untuk merancang metode pembuatan kentang goreng yang sempurna pada akhir tahun 1950-an. Bukannya sekedar memasok pembeli franchise dengan rumus susu kocok dan eskrim, Kroc ingin menjual kepada mitra barunya satu sistem operasi. Dengan lain perkataan, dia membuat cap satu pelayanan. Dan ini sarana revolusioner yang akan digunakan oleh McDonald’s untuk menciptakan kongsi restoran yang di dalamnya satu restoran di Delaware dan satu restoran di Nevada akan menyajikan burger yang tepat sama ukuran dan mutunya, masing-masing berisi potongan acar yang sama, setiap burger disajikan dalam talam yang serupa bersama kentang goreng yang dimasak dengan lamanya waktu yang sama. Sebagaimana yang diingat oleh Kroc, “Kesempurnaan sulit sekali dicapai, dan kesempurnaanlah yang saya inginkan dalam McDonald’s. Segala hal lainnya sekunder bagi saya.” Tetapi tuntutan yang serba tepat melayani satu tujuan strategis. “Tujuan kami, tentu saja, adalah memastikan bisnis yang berulang berdasarkan reputasi sistem dan bukannya mutu satu restoran atau operator tunggal,” kata Kroc. Walaupun franchise McDonald’s bertumbuhan dimana-mana di seluruh daerah di Barat Tengah dan Barat seperti bunga liar setelah hujan musim semi, keberhasilan perusahaan rupanya berumur pendek. Sementara persetujuan asli yang dijalin dengan kakak-beradik McDonalds menyebabkan Kroc menyayangi pembeli franchise yang paling awal, ini juga menyebabkan perusahaan yang baru lahir ini langsung menuju kemungkinan bangkrut. Selama tahun 1960, ketika kongsi restoran ini mengeruk uang $75 juta dalam penjualan, penghasilan McDonald’s hanya $159.000. “Singkatnya, konsep Kroc untuk membangun McDonald’s, John Love. Dan rumah kartu impian Kroc mulai runtuh di bawah bobotnya sendiri. Sementara terbenam dalam utang dan tanpa pertumbuhan keuntungan yang bisa dibayangkan, Kroc menghadapi satu dilema yang klasik. Dia tidak mampu memperluas usaha. Dan dia tidak bisa tetap terapung.
Untunglah, Harry Sonnenborn menemukan pemecahan. Dia berpikir McDonald’s harus mendapatkan uang dengan menyewa atau membeli lokasi yang akan dijadikan kedai dan kemudian menyewakannya kembali kepada pembeli franchise mula-mula dengan peningkatan harga 20 persen, dan kemudian 40 persen. Di bawah rencana ini, McDonald’s akan mencari lokasi yang sesuai dan menandatangani perjanjian sewa dengan bunga yang ditentukan. Strategi real estate pas sekali dengan tujuan penguasaan Kroc yang lebih besar. Bukannya menjual franchise geografis sebagai selubung, yang akan memberikan kepada pemegangnya hak untuk membangun sebanyak-banyaknya atau sesedikit-sedikitnya kedai sekehendak hatinya disuatu kawasan tertentu, Kroc hanya menjual franchise individual, dengan biaya rendah $950. Ini mematikan bahwa operator yang tidak bersedia bermain mengikuti aturannya hanya bisa membuka tidak lebih dari satu saluran. Setelah menyerahkan urusan keuangan yang stabil ke tangan Harry Sonnenborn yang ahli, Kroc mulai memperluas dan memprofesionalkan kerajaan industri yang sedang tumbuh ini. Di bawah konsepsinya yang baru, setiap pembeli franchise dan operator seperti seorang manajer pabrik. Karena mengetahui bahwa ukuran bagi kompleks industri yang maju adalah manajemen profesional, pada tahun 1961 Kroc meluncurkan satu program latihan-di restoran baru di Elk Grove Village, Illinoiss. Di sana, kelompok pelaksana melatih pembeli franchise dan operator dalam metode ilmiah mengelola McDonald’s yang sukses dan melatih mereka dalam ajaran kroc tentang Mutu, Pelayanan, Kebersihan dan Nilai. “Saya menaruh hamburger pada jalur perakitan,” Kroc suka mengatakan. Hamburger juga berisi laboratorium penelitian dan pengembangan untuk mengembangkan mekanisme memasak, membekukan, menyimpan, dan menyajikan. Di mana pun juga tidak ada dikotomi antara pengendalian pusat dan otonomi operasi yang lebih kentara daripada dalam iklan. Pada hari Natal akhir tahun 1950-an, Turner dan para manajer lainnya bisa berkeliling Chicago Loop dengan “Kereta Sinterklas,” sebuah truk eskrim yang diubah menjadi restoran drive-in McDonal’s yang beroda. Namun kendati sangat menyukai cara menjajakan barang dagangan model kini ini, McDonald’s tidak mempunyai strategi periklanan untuk seluruh perusahaan. Sebaliknya, ketika operator Minneapolis Jim Zein melihat penjualannya meledak pada tahun 1959 setelah memasang iklan radio, Kroc mendorong para operator untuk memanfaatkan gelombang udara dengan kampanye mereka sendiri. Iklan yang sukses membantu penggalakan pertumbuhan yang lebih besar. Dan pada tahun 1965, dengan 710 restoran McDonald’s tersebar dalam empat puluh empat negara bagian, $171 juta dalam penjualan, dan neraca yang relatif mantap, akhirnya McDonald’s mekar sepenuhnya. Perusahaan ini go public pada tanggal 15 April, tepat sepuluh tahun sampai ke harinya setelah Kroc membuka kedai Des Plaines, menjual 300.000 saham dengan harga per lembar $22,50. Banyak saham ini yang ditawarkan oleh Kroc, yang mengeruk uang $3 juta dalam penjualan. Kroc mengerahkan uang tunai ini untuk memperluas perusahaan dan melawan
pesaing yang dengan cepat menyebar di mana-mana, sebab keberhasilan perusahaan telah melahirkan banyak imitasi yang berusaha memanfaatkan industrialisasi fast food yang semakin meningkat. Melalui pertumbuhan yang pesat dan iklan yang meluas, McDonald’s pada awal tahun 1970-an menjadi kongsi restoran fast food yang terbesar di seluruh negara dan sifat yang mudah dikenali dari lansekap budaya Amerika. Dan penguasa tertinggi McDonaldland, Ray Kroc, menjadi seorang tokoh yang bertingkat nasional. Pada tahun 1972, ketika lebih dari 2.200 saluran McDonald’s mengeruk penjualan $1 milyar, kroc menerima hadiah Horatio Alger dari Norman Vincent Peale. Sementara nilai saham pemilikannya meningkat menjadi kira-kira $500 juta. Sementara produk McDonald’s menjadi makanan pokok Amerika, hal ini membangkitkan keinginan menyelidiki wartawan dan politikus pembaharuan yang suka mencari-cari kejelekan, raksasa industri profil tinggi Ray Kroc juga menarik perhatian dari banyak pihak. Sementara produk McDonald’s menjadi makanan pokok Amerika, hal ini membangkitkan sikap tinggi hati kaum elit industri makanan. Mimi Sheraton dari New york magazine menyatakan: “Makanan McDonald’s mengerikan secara tidak ketulungan, tanpa keindahan apa pun.” Para politikus juga memperhatikan. Pada tahun 1974, ketika nilai pasar perusahaan ini melampaui nilai U.S. Steel yang maju dengan lambat, Senator Lloyd Bentsen mengeluh: “Ada sesuatu yang tidak beres dengan ekonomi kita kalau pasar saham lebih banyak dalam hamburger dan lebih sedikit dalam baja.” Banyak analis yang memandang pertumbuhan McDonald’s yang pesat sebagai hal yang tidak akan bisa dipertahankan. Tetapi Kroc merasa yakin bahwa perusahaan perlu terus berkembang supaya bisa bertahan hidup. “Saya tidak percaya dengan kejenuhan,” dia berkata. “Kami berpikir dan bicara dalam tingkat seluruh dunia.” Kroc membayangkan sebuah dunia yang di dalamnya 12.000 pasang Gerbang Lengkung Keemasan akan berdiri sebagai pos luar sebuah kerajaan perdagangan yang perkasa. Mendirikan pangkalan di ibu kota negara-negara Eropa baru permulaannya. Dengan berlalunya waktu sepuluh tahun, seribu restoran yang dibuka oleh perusahaan di luar negeri menggalakkan 27 persen tingkat pertumbuhan tahunan. Kongsi restoran ini begitu universal dikenal sebagai lambang usaha Amerika dan berpengaruh, sehingga ketika gerilyawan Marxis meledakkan sebuah restoran McDonald’s di San Salvador pada tahun 1979, mereka menyatakan bahwa tindakan teroris ini sebuah pukulan mematikan terhadap “imperialis Amerika.” “Walaupun McDonald’s mencapai sukes, dan kekayaan pribadinya mencapai $340 juta, dia selalu khawatir,” Forbes menulis pada tahun 1975, “Kalau Kroc bepergian, dia bersikeras menyuruh sopirnya membawanya paling sedikit ke enam restoran McDonald’s untuk melakukan inspeksi kejutan.”. Walaupun dia membunuh persaingan, persaingan tidak membunuh Ray Kroc. Dia meninggal dunia
dalam usia lanjut pada bulan Januari 1984, pada umur delapan puluh satu tahun, tepat sepuluh bulan sebelum McDonald’s menjual hamburger yang ke-50 milyar. Sampai pada tahun 2004, McDonald’s memiliki 30.000 rumah makan di seluruh dunia dengan jumlah pengunjung rata-rata 50.000.000 orang dan pengunjung per hari dan rumah makan 1.700 orang. Lambang McDonald’s adalah dua busur berwarna kuning yang biasanya dipajang di luar rumah-rumah makan mereka dan dapat segera dikenali oleh masyarakat luas. Restoran McDonald’s pertama di Indonesia terletak di Sarinah, Jakarta dan dibuka pada 23 Februari 1991. Berbeda dari kebanyakan restoran McDonald’s di luar negeri, McDonald’s juga menjual ayam goreng dan nasi di restoran-restorannya di Indonesia.
http://wirasmada.wordpress.com/2013/04/13/deden-sarjana-yang-lebih-memilih-mengembangkanusaha-kecap-ketimbang-jadi-pns-kini-sukses-raup-omzet-ratusan-juta/
b. Deden, Sarjana yang Lebih Memilih Mengembangkan Usaha Kecap Ketimbang Jadi PNS, Kini Sukses Raup Omzet Ratusan Juta Dalam bisnis kecap, namanya cukup dikenal sebagai pemilik perusahaan Kecap Segi Tiga yang ternama di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Usahanya memang bergerak perlahan Namun pasti dan tengah merambah ke Jakarta, Bekasi, dan Bandung. Harapannya tidak mu1uk-mu1uk, ia hanya ingin bersentuhan langsung dengan tukang siomay, tukang sate, dan tukang bakso yang jumlahnya ribuan. Nama Kecap Segi Tiga mungkin belum terlalu dikenal jika dibandingkan dengan kecap-kecap nasional lainnya. Namun, ini adalah salah satu perusahaan kecap di Majalengka yang masih bertahan sejak tahun 1958. Kecap Segi Tiga didirikan oleh almarhum Haji Lukman, kakek Deden, bersama 2 mitranya, yaitu Aman dan Endek. Haji Lukman tidak memberikan pengelolaan perusahaannya kepada anaknya, tetapi ke Deden, yang notabene adalah cucunya. Hal itu terjadi tahun 2000, setahun setelah Deden menyelesaikan kuliahnya. Deden tidak bisa mengelak ketika kakeknya menanyakan gaji yang dikehendakinya saat hendak melamar pekerjaan. “Emang mau digaji berapa, gitu? Di sini ada pekerjaan yang harus dikerjakan, kok malah mau cari ke luar?’ Ini yang menyentak, bukan karena berapa nilai gajinya. Tapi makna pertanyaan itu yang menyentak. Sehingga saya pun tidak jadi mencari kerja. Jadi, sampai sekarang saya belum pernah melamar pekerjaan sama sekali. Melamar ke istri doang,” kenang Deden saat memutuskan untuk melanjutkan usaha kakeknya.
MELANJUTKAN TONGKAT ESTAFET Saat berpindah tangan, aset perusahaan tersebut baru bernilai Rp 1 Miliar. Berbekal pengalaman membantu kakeknya sejak duduk di bangku SMP hingga kuliah, Deden melanjutkan usaha itu dengan memperbaiki
manajemen, dari tradisional menjadi lebih modern. Deden ingat betul betapa sibuk kakeknya mengurus segala sesuatu untuk mempertahankan usahanya. Berbagai urusan dipikirkan dan dikerjakan sendiri.
Manajemen seperti inilah yang menurutnya sulit membuat perusahaan berkembang. Deden memperbaikinya dengan merekrut orang untuk mengurus administrasi, produksi, keuangan, hingga pemasaran. “Jadi bukan hanya pimpinan saja yang harus memikirkan. Tapi ada yang memikirkan bagian-bagiannya. Ini alhamdulillah sudah berjalan,” ucapnya bersyukur.
Pabrik yang awalnya berlokasi di rumah, kemudian pindah ke lahan yang kecil pada tahun 1980. Kini, lahan tersebut sudah diperluas. Pertumbuhan penduduk Majalengka yang cepat membuat Deden pun cepat bertindak dengan membeli lahan kosong di belakang pabrik tahun 2002. Tujuannya, untuk melakukan perluasan sehingga kapasitas produksi bisa ditingkatkan. Total karyawan pun diperbesar menjadi 38 orang, kebanyakan diambil dari masyarakat sekitar. Para pemula biasanya hanya ditempatkan di bagian pengisian kecap. Jika sudah menguasai kemampuan ini, mereka bisa diajarkan keahlian baru, seperti pemasakan. Syarat menjadi pegawainya pun cuma satu, bisa membedakan rasa, mana yang Kecap Segi Tiga dan mana yang bukan.
Khusus urusan produksi, Deden tidak mau meninggalkan kekhasan Kecap Segi Tiga yang kental dengan rasa kedelainya. Awalnya Kecap Segi Tiga hanya memproduksi kecap rasa asin dan manis sedang, sebab hanya 2 rasa itulah yang disukai masyarakat Majalengka. Selain itu, masyarakat Majalengka amat menyukai kecap dengan rasa kedelai yang kental.
Deden memang tidak main-main untuk urusan rasa. Kecapnya berbahan baku 50 persen kedelai dan gula merah atau gula aren yang berkualitas. Dan wanginya pun, menurut Deden, masyarakat Majalengka sudah bisa membedakan mana kecap Segi Tiga dan yang bukan.
Deden juga menanggung beban moral untuk mempertahankan tradisi kecap Majalengka yangkian tergusur. Di tahun 1980-an ada 50-an pengusaha kecap. Namun, kini tinggal 10 yang bertahan. “Ini sangat mengkhawatirkan, karena kecap adalah produk unggulan Majalengka juga. Harus benar-benar dijaga. Bayangkan kalau anak cucu kita nanti tidak tahu produk kecap Majalengka,” ujar bapak 2 anak ini.
Belajar dari rontoknya banyak perusahaan kecap yang dulu tumbuh bersama, Deden menyadari bahwa jika tidak mengikuti perkembangan pasar, dia akan tergerus oleh perusahaan-perusahaan kecap besar. Selagi memperbaiki manajemen, Deden pun mulai memikirkan inovasi untuk ekspansi keluar Majalengka. Deden mulai dengan mendaftarkan produknya ke Departemen Kesehatan, meraih SNI, sertifikasi halai, bahkan mendaftarkan hak cipta mereknya. Menurutnya, meskipun UKM, perusahaannya harus mengikuti apa yang menjadi perhatian masyarakat, termasuk packaging.
Selama ini, Kecap Segi Tiga hanya mengandalkan botol bekas pakai yang dicuci dan diisi ulang. Namun seiring waktu, banyak botol yang tidak kembali karena hilang atau pecah. Maka, mulai pertengahan tahun 2011, dibuat kemasan standing pouch dari bahan plastik dengan volume 225 ml. “Masyarakat sekarang kan sudah berbeda, walaupun masih ada orang yang pikirannya masih di sana, tapi kan sekarang masyarakat memikirkan kesehatan. Itu harus kita ikuti,” imbuh pria berusia 36 tahun ini. Ketika ditanyakan tentang sampah plastik, Deden mengatakan bahwa plastik bekas tetap bisa didaur ulang untuk dijadikan barang lain, sehingga tidak mengotori lingkungan.
DIVERSIFIKASI USAHA
Untuk merambah pasar di luar Majalengka, Kecap Segi Tiga mulai memproduksi kecap manis. Pengalaman mereka menunjukkan ketika menjual kecap asin dan manis sedang ke daerah Bandung, produk tersebut ternyata tidak dilirik sama sekali. Deden pun memperhatikan, rupanya masyarakat kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, tidak senang
dengan kecap asin, manis sedang, dan encer. Mereka lebih suka rasa manis dan kental. Dia pun meminta kokinya untuk meracik kecap manis khas Kecap Segi Tiga.
Dengan pengalaman meracik kecap sejak tahun 1958, kokinya mampu membuat kecap manis. Kelihaian sang koki sangat teruji. Terbukti setiap ada kecap terbaru muncul di pasaran selalu dicicipi, lalu dicoba meracik hingga mendapatkan rasa yang sama, dan berhasil. “Alhamdulillah kita bisa mendekati rasa begitu. Jadi, walaupun tidak didukung keilmuan, karena pengalaman, dia sudah paham; kurangi ni, kurang itu,” tutur lulusan manajemen teknik industri Universitas Pasundan Bandung ini.
Selain memproduksi kecap, Deden sempat melakukan diversifikasi usaha dengan membuat minuman kemasan. Bahan bakunya dari jambu merah yang berlimpah di Majalengka. Untuk meraciknya, dia bekerja sama dengan pihak ketiga. Sayangnya, ketika pihak ketiga itu jatuh, perusahaan minumannya pun bangkrut karena Deden tidak mengetahui bahan-bahan yang perlu diracik. Namun, karena usaha ini dimulai dari nol, Deden tidak merasa terbebani.
Setelah itu, Deden fokus mengembangkan usaha kecapnya. Dia menargetkan pada 2013 kecapnya sudah menguasai pasar Jawa Barat. Mulai dari rasa hingga ukuran akan disesuaikan dengan produk yang beredar di Jawa Barat. Sejak awal, produknya memang langsung ditujukan ke pemakai—yakni langsung ke rumah tangga— bukan ke toko-toko.
Sementara, pengguna kecap bukan hanya rumah tangga. Bisnis makanan pun membutuhkan kecap. Misalnya saja tukang siomay, bakso, dan sate. Pangsa pasar ini belum tersentuh oleh Kecap Segi Tiga yang berada pada kisaran harga cukup mahal. Oleh karena itu, kini Kecap Segi Tiga juga memproduksi second line yang diberi nama Samara. Di sinilah suntikan modal dibutuhkan. Sejak tahun 2009, perusahaannya mendapat pinjaman secara bertahap mulai dari Rp 500 juta hingga Rp 1,5 miliar dari bank bjb. Namun, ternyata inovasi tak selalu mulus.
Pernah ada kejadian Deden kekurangan bahan baku. Ia pun mengganti kedelai hitam yang kurang itu dengan kedelai kuning. Hasilnya cukup mengejutkan. Para pelanggan setianya komplain karena mereka tahu rasa kecapnya berubah. Untung saja perputarannya cepat, sehingga setelah barang habis, Deden langsung kembali menggunakan bahan-bahan racikan seperti biasa.
Kejadian lain adalah saat Deden meng-update label. Karena konsumen setia sudah hafal di luar kepala label lamanya, maka ketika beredarlabel baru, mereka malah mengira itu produk palsu. Lagi-lagi Deden belajar arti penting sosialisasi. Dia kemudian menyebar pamfiet dan mengembalikan label ke model lamanya lagi.
“Namun saya berani berinovasi dan mendiferensiasikan produk. Karena Kecap SegiTiga memiliki harga cukup tinggi, saya membuat label Kecap Samara untuk segmen di bawahnya. Saat ekonomi terganggu, saya ciptakan merek Samara untuk mengatasi masalah harga jual. Konsumen Segi Tiga tidak terganggu, dan saya mendapat pelanggan baru, termasuk pelanggan Segi Tiga yang merasa harganya terlalu tinggi,” urai Deden. Cara ini ternyata berhasil. Dengan menyasar Pedagang-pedagang kecil, dalam waktu 2 tahun, omzet Samara sudah menyamai Segi Tiga. Pendekatan dijajaki ke para penjual siomay, bakso, dan sate di Bandung dan Bekasi, bahkan saati ni sedang menjajaki Jakarta dan Tangerang. Di Bandung, Kecap Samara bekerja sama dengan asosiasi tukang sate. Menurut Deden, seorang tukang sate bisa menghabiskan 20 krat kecap dalam sebulan. Sementara di Jakarta, Deden sedang menjajaki kerja sama dengan perkumpulan tukang siomay, yang kebanyakan memang berasal dari Majalengka. “Itu sampai ribuan orang. Di satu desa saja sampai seribu orang yang pergi ke Jakarta untuk jualan siomay. Sebotol habis dalam 2 hari. Kemarin kita sudah ngobrol, ternyata mereka tertarik. Selama ini mereka menggunakan kecap merek terkenal, tapi jatuhnya mahal. Kita tawarin kecap kita. Kualitas sama, tetapi harganya lebih murah,” terang Deden.
PRODUKSI & PROMOSI TRADISIONAL
Selain itu, Kecap Segi Tiga juga menggandeng pengusaha yang memasok ke toko-toko atau ke warung-warung kecil. Deden berhasil menggaet seorang pengusaha yang memiliki jaringan toko dan warung se-Jawa Barat. “Dia punya jaringan 500 outlet di satu kabupaten saja. Jadi kalau di Jawa Barat ada 26 kabupaten atau kota berarti kan lumayan,” hitungnya.
Menurut Deden, langkah tersebut dilakukan mengingat biaya promosi yang sangat minim, yakni 2 persen saja dari jumlah biaya-biaya lainnya. Deden menyadari henar bahwa perusahaan kecapnya lemah dari segi promosi. Mereka hanya promosi di daerah lokal, melalui radio dan koran. Kalaupun televisi, mereka masih mencari yang gratis, misalnya dari liputan media. Kecap Segi Tiga sudah pernah diliput TVOne dan TPI (Sekarang MNC TV).
Menurutnya, ketimbang beriklan lebih efektif mengikuti pameran. Misalnya saja pameran Agro dari Dinas Industri dan Perdagangan. Deden juga pernah mengikuti 2 kali pameran di Singapura dan mendapat sambutan bagus dari perusahaan negeri singa itu, sebab kecap di sana terasa hambar. Namun untuk memasarkan ke sana, penyalurnya belum didapat.
Pengalaman pahit pun pernah dialami Deden dalam usahanya ini. Saat mengikuti pameran, dia pernah mendapat pembeli dari Jakarta yang memesan langsung 1 truk, dengan pembayaran giro. Namun setelah kecap dikirim, giro tidak bisa dicairkan. Selama sebulan menunggu, hasilnya tetap sama. Ketika didatangi kembali kantor tersebut sudah kosong. Deden pun harus menelan pu pahit, rugi Rp 20 juta.
Selain itu, Kecap Segi Tiga pernah bekerja sama dengan sebuah pesantren terkenal binaan dai kondang di Bandung yang banyak memberikan pelatihan pada tahun 2000. Deden berani berinvestasi karena pesantren itu tumbuh pesat sekali. Kecapnya pun banyak yang memesan, hingga mencapai 100 ribu botol. Namun sayang, manajemen di dalam pesantren itu rupanya belum bagus. Infrastruktur di bawahnya belum siap, yang pada akhirnya malah menimbulkan kekacauan dan harus dihentikan.
Hal itu pun berimbas pada perusahaan Deden. “Tapi itu tidak membuat kita putus asa,” ucapnya. Kelemahan bukan hanya dari promosi saja, melainkan juga dari bagian produksi. Misalnya, alat produksi yang digunakan masih sangat tradisional. Untuk pengisian pun belum semi otomatis. Walaupun sadar bahwa ada proses yang memang tidak bisa dilakukan oleh mesin, seperti fermentasi, Deden tidak ingin menggunakan bakteri sintesis. Dia tetap menggunakan jamur yang biangnya disimpan dalam lemari sejak tahun 198o—meski prosesnya membutuhkan waktu sebulan. Menurutnya, penggunaan bahan sintesis akan mengubah kekhasan rasa kecap Segi Tiga.
“Untuk fermentasi di tong pun bisa saja kita pakai wadah stainless, tapi rasanya akan berbeda. Makanya kita tetap pakai tong dari kayu jati. Pokoknya untuk proses produksi sebelum digodok itu tetap dipertahankan. Kalau tidak ada jamur itu, kita tidak bisa produksi. Karena bahan utamanya di situ,” paparnya.
Untuk bahan baku, Deden mengambil kedelai hitam dari Jawa Tengah karena kualitasnya lebih baik ketimbang kedelai impor dari Cina. Apalagi bahan kedelai yang memakai bahan pengawet sangat berpengaruh pada kualitas kecap. Namun, proses mendapatkan bahan baku ini tidak selalu berjalan mulus. Misalnya, ketika petani yang menyuplai kedelai mengalami gagal panen. Untuk itulah, Deden berencana bermitra dengan petani Majalengka.
Deden memprediksi bahwa bermitra dengan petani Majalengka untuk menanam kedelai hitam di daerah tersebut akan memecahkan permasalahan. Ongkos produksi otomatis banyak terpangkas. Berdasarkan uji coba, hasilnya memuaskan. Bahkan lebih baik dari kedelai hitam Jawa Tengah. “Kotoran tanahnya itu enggak ada karena proses panennya juga beda. Kalau di sana dirabut sehingga tanahnya ikut. Kalau di Majalengka diarit,”jelasnya. Sementara untuk gula, Deden mengambil dari beberapa daerah seperti Bandung, Purwokerto, dan Ciamis, karena ketiganya merupakan penghasil gula aren berkualitas.
Dalam sebulan, pabrik kecap Deden menghasilkan 30 ribu botol berbagai ukuran, yakni 140 ml, 250 ml, dan 500 ml. Sementara untuk standing pouch dibuat ukuran 350 ml dan 600 ml. Ukuran lama, yakni 250 ml dan 500 ml juga tetap diproduksi. Omzetnya berkisar Rp 300-400 juta sebulan. Deden juga memasok produknya ke koperasi bersama yang berada di dekat pabriknya, selain menjual ke agen di Subang, Jakarta, Bandung, dan Bekasi. Untuk pasar di luar Majalengka itu, pengiriman dilakukan secara langsung.
MANAJEMEN PERSAINGAN
Di Majalengka sendiri peta persaingan kecap lokal tidak terlalu ketat, mengingat pelakunya tinggal 10 perusahaan. Selain itu, tidak ada pengusaha lokal yang memasuki segmen yang dibidik oleh Kecap Segi Tiga. Persaingan baru terlihat pada segmen yang didiami Kecap Samara. Di sanalah ke-10 produsen yang masih bertahan memperebutkan segmen yang diambil Kecap Samara.
Namun, persaingan tentu saja muncul dari merek-merek kecap nasional. Dan, yang membuat Deden tersanjung, dia sempat diajak bekerja sama menyuplai produksi untuk memenuhi permintaan pasar mereka. Namun, tawaran tersebut ditolaknya secara halus, melihat pengalaman beberapa UKM di sekitarnya yang berakhir hanya sebagai penyedia produk semata atau diambil alih. Menipisnya persaingan membuat Deden senang bercampur sedih. Senang, karena tidak banyak pesaing. Sedih, karena hal ini menunjukkan tidak adanya persatuan di antara pengusaha lokal. Pernah Deden menggagas asosiasi pengusaha kecap di tahun 2000, namun yang terjadi hanya penolakan. Dia malah dicap sebagai pesaing yang akan mengambil lahan pasar mereka. “Ternyata mereka takut karena hanya melihat kita sebagai pesaing, takut lahannya diambil. Itu masih ada yang kayak gitu. Kalau saya mah, walaupun pesaing masih teman juga,” sesalnya. Padahal, misi yang diusung Deden adalah membuat koperasi pemasaran kecap bersama. Dengan adanya koperasi, masalah tersebut bisa diatasi lebih mudah. Sesama pengusaha kecap bisa bahu-membahu mempertahankan usahanya sehingga tidak mudah gulung tikar. Apalagi, ada kalanya datang masa-masa suram musiman untuk pengusaha kecap. Misalnya, ketika kedelai hitam sulit didapat.
Sejak diterpa badai krisis tahun 2007 hingga kini, kedelai cenderung lebih sulit dicari. Kalaupun ada, harganya naik hingga 20 persen, sementara harga kecapnya hanya naik 5 persen setahun sekali, yakni menjelang Lebaran. Padahal, bahan baku memakan 50 persen ongkos produksi. Jika saat krisis moneter 1997 tetap laris manis dengan keuntungan bisa mencapai 50 persen, pada krisis global ini mendapatkan keuntungan 10-20 persen sudah sangat bagus.
Tak ingin usahanya hanya bermanfaat untuk keluarga pribadi, Deden menaati ajaran kakeknya agar perusahaan Kecap Segi Tiga juga banyak memberi manfaat bagi masyarakat melalui Yayasan Al Lukman. Laba perusahaan dipakai untuk membangun gedung sekolah (TK dan Madrasah Diniyah).
Agar semakin menyentuh masyarakat, Kecap Segi Tiga harus terus mengikuti perkembangan masyarakat. Seperti kisah terciptanya jenis kecap rasa manis, ke depannya pun Deden siap membentuk varian apa saja, jika memang diinginkan pasar. “Kita mau bikin rasa stroberi. Enggak ada, kan? Misalkan masyarakat suka, kenapa kita enggak buat?” cetusnya sambil tersenyum lebar.
Deden juga sudah mulai membiasakan kedua anaknya berwirausaha, agar jangan hanya mencari pekerjaan saja. Apalagi menjadi pegawai negeri sipil (PNS). “Saya sering dipanggil sharing, sama teman-teman perguruan tinggi. Kita mencoba membuka mindset, jangan sampai para kaum terpelajar hanya terpaku menjadi PNS saja. Dari 10 pintu rezeki, 9 di antaranya berasal dari usaha. PNS hanya ada di 1 pintu itu. Jadi, kita harus buka kemandirian,” demikian tutup pelaku usaha mikro ini.
Catatan Rhenald Kasali
DI SELURUH WILAYAH Nusantara selalu ditemui dua tipe pengusaha. Pengusaha nasional yang berambisi menjadi market leader dengan modal besar dan serbe massal, dan pengusaha lokal yang hanya berambisi mengisi ceruk-ceruk kecil di wilayahnya. Yang partama dibangun dengan kekuatan merek dan televisi, sedangkan yang kedua dibangun dengan kekuatan rasa (produk) dan radio (atau kekerabatan pedagang). Pengusaha-pengusaha mikro yang bekerja dengan dua hingga tiga orang pekerja, dengan perabotan produksi seadanya, akan punah dengan sendirinya kalau merek tidak mengikuti irama evolusi. Selera pasar akan berubah, kendati jaringan distribusi tetap diam di tempat dan loyal memasarkan produk-produk buatan mereka. Demikian pula alam semesta ini ikut berubah membuat peta perjalanan dan pasokan bahan baku dan metode pembayaran berubah. Ini berarti pengusaha-pengusaha mikro dan kecil harus ikut berubah, beradaptasi, dan tentu saja harus naik kelas.
Demikian pulalah dengan produk kecap. Setiap daerah memiliki lidah yang tidak sama karena mereka mengonsumsi makanan-makanan lokal yang berbeda-beda. Di satu daerah seleranya manis, di daerah lain tidak suka yang manis, melainkan pedas, dan daerah lainnya senang yang ada rasa cuka dan seterusnya. Namun, masing-masing mereka bisa mengalami masalah yang sama yaitu serbuan makanan nasional yang dipasarkan melalui jaringan waralaba dan beralihnya kedelai ka tangan produsenprodusen besar.
Dari perjalanan Kecap Segi Tiga kita belajar bahwa usaha mikro memang tangguh dan tahan banting, namun juga ringkih dan mudah gugur kalau fondasinya dibangun di atas pasar yang rapuh. Di masa depan, UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) memerlukan lebih dari sekadar semangat dan kerja keras, melainkan visi besar, ambisi untuk maju, dan pengetahuan yang memadai untuk memperbaiki produk, melakukan adaptasi, memperbaiki manajemen, dan seterusnya.
Dari Buku: Cracking Entrepreneurs, Penyusun: Rhenald Kasali. Penerbit: Gramedia: 2012
http://noorx.wordpress.com/2011/03/21/kisah-sukses-indomaret/
c.Kisah Sukses Indomaret Posted on 21/03/2011 by begadang| Tinggalkan komentar
Di tangannya, jaringan Alfamart menggurita dengan ribuan gerai. Jejak gemilangnya juga terekam di Indomaret. Jangan heran, ia kerap disebut sebagai sosok di balik sukses kedua minimarket itu. Apa jurus ampuhnya? Menyebut nama Chief Operating Officer PT Sumber Alfaria Trijaya (SAT), Pudjianto, orang pun — terutama kalangan eksekutif dan pentolan bisnis ritel nasional — akan mengacungkan jempol padanya. Maklum, kelahiran Gombong, Jawa Tengah, 4 Mei 1954, ini dikenal sebagai sosok di balik keberhasilan Indomaret dan Alfamart. Berkat konsep yang dibesutnya, kedua minimarket ini terus menggelinding ke berbagai pelosok kota. Setelah sukses membesarkan Indomaret, di tangannya, Alfamart juga terus mengepakkan sayapnya. Saat dipinang Djoko Susanto, pemilik Alfamart, pada 2001, gerai Alfamart baru 34. Pada akhir 2001, jumlah gerai menjadi 145. Setahun kemudian, jumlah gerai membengkak menjadi 350. Sampai akhir tahun lalu, jumlah gerai sudah mencapai 2.266. Dan, saat ini gerai Alfamart mencapai 2.600 dengan 26 ribu karyawan. Sampai akhir tahun ini, gerai Alfamart ditargetkan mencapai 2.750. Tak hanya dari sisi kuantitas, dari sisi ekuitas merek, Alfamart juga tercatat sebagai minimarket nomor satu menurut data AC Nielsen. Ketepatan memilih lokasi menjadi faktor utama keberhasilan bisnis waralaba minimarket. Jangan heran jika beberapa merek waralaba minimarket yang berbeda tetap ramai dikunjungi pembeli meski berdiri berdampingan hanya dalam jarak ratusan atau bahkan puluhan meter saja. Namun lokasi bukan satu-satunya penentu keberhasilan bisnis waralaba ritel modern ini. Lokasi, Lokasi dan Lokasi Lokasi memang penting dan menentukan keberhasilan bisnis waralaba minimarket Anda, namun juga bisa membuat Anda merugi. Syarat utama dalam memilih lokasi di antaranya berdekatan dengan pusat bisnis lain seperti restoran atau bank. Lokasi dekat ruko dan perumahan juga bisa menjadi pertimbangan, selain juga akses yang mudah.
“Memilih lokasi di mana wilayahnya belum berkembang, potensi belum ada bisa menyebabkan kegagalan,” kata Wiwiek Yusuf, Marketing Director Indomaret. Memiliki jiwa entrepreneurship Keberhasilan bisnis waralaba yang sudah tertata sistemnya tak lepas dari kepiawaan pewaralabanya. Laurensius Tirta Widjaja, Merchandise Development Director Indomaret mengatakan, pewaralaba harus siap berwirausaha dan memiliki jiwa kewirausahaan. Tim survei dari Indomaret misalnya, selalu melakukan wawancara terhadap calon pewaralaba. Biasanya dua orang pewawancara akan menilai dan mempertimbangkan karakter personal untuk melihat jiwa entrepreneurship-nya. Selain itu juga untuk mencari alasan yang mendasari calon investor untuk berwaralaba. Pengalaman berbisnis sebelum mengajukan waralaba minimarket juga dipertanyakan. Jeli menyasar pangsa pasar Minimarket yang berdiri berdampingan tak lantas menjadi ancaman kegagalan bisnis waralaba ritel. Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan bisnis waralaba minimarket yang berkompetisi dengan pesaing di satu wilayah. “Kebanyakan polanya adalah siapa yang lebih dahulu mendirikan toko dia yang akan bertahan. Mindset masyarakat setempat sudah terbangun karena sudah lebih dahulu mengenalnya,” jelas Wiwiek. Selain itu, ceruk pasar di wilayah tersebut juga memang potensial. Tak jadi soal jika ada minimarket tumbuh berdampingan namun tetap ramai pengunjung. “Marketnya cukup besar jadi kalau dibagi 2 atau 3 juga tak jadi masalah,” lanjutnya. Untuk mengukur potensi pasar, Indomaret misalnya, menyaratkan pendirian waralaba minimarket di wilayah dengan jumlah 2.000-3.000 kepala keluarga. Yang bikin gagal Faktor kegagalan bisnis minimarket dengan sistem waralaba di antaranya:
Lokasi belum berkembang. Perubahan akses jalan.
Muncul pesaing lebih besar seperti supermarket.
Lebih dari lima pesaing ritel modern berdiri di sekitar wilayah yang sama.
“Namun meski dikeroyok, kalau daerahnya ramai dan potensial tetap bisa bertahan. Jadi tergantung daerahnya,” tandas Wiwiek. swa.co.id
http://idegilabisnis.blogspot.com/2011/01/kiat-jitu-sosro-rebut-pasar-teh-celup.html
d. Kiat Jitu Sosro Rebut Pasar Teh Celup 06:44
Kang Sukrok
PT Gunung Slamat, unit bisnis A Rekso Company, sebagai produsen teh celup Sosro meluncurkan 12 seri teh warisan budaya atau dikenal dengan Sosro Heritage. Upaya ini dilakukan Gunung Slamat untuk menggeser posisi market leader teh celup di Indonesia yang saat ini dipegang teh celup Sariwangi.
Keduabelas seri tersebut menggambarkan keindahan alam nusantara, yakni Borobudur, Danau Kelimutu, Bunaken, Tanah Toraja, Pasar Terapung, Tanah Lot, Masjid Raya Baiturrahman, Liang Kabori,Lembah Baliem, Gunung Bromo, Ngarai Sihanok, dan Danau Toba. "Kedua belas seri itu jika dirangkai akan membentuk miniatur peta Indonesia," kata Marketing Director PT Gunung Slamat Soehartono Gunawan usai Business Strategy Workshop di Jakarta. Soehartono menjelaskan, kedua belas seri itu telah didaftarkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI). "Kami meluncurkan Sosro Heritage yang menampilkan kekayaan alam wisata dari 12 daerah di Indonesia. 12 seri Sosro Heritage terdiri atas tiga jenis yakni teh hitam, teh hijau, dan teh melati. Sosro Heritage menampilkan keaslian teh Indonesia yang berkualitas secara unik," katanya. Seri nusantara tersebut termuat di bungkus teh celup kemasan seharga Rp 6 ribu per kotak ini, dan dapat dinikmati dalam bentuk tiga dimensi. Caranya, cukup mengunduh aplikasi software di situs www.qualitea.com dan dekatkan bungkus Sosro Heritage di webcame. "Konsumen akan bisa menikmati langsung pengalaman wisata Indonesia. Dan dunia bisa
lihat kekayaan Indonesia," ujar Soehartono. Seri Tanah Lot misalnya, akan tervisualisasikan tarian Kecak khas Bali, baik itu gerakan penarinya maupun suara khas tarian. Soehartono menjelaskan, posisi produk teh kering dalam kemasannya saat ini hanya berjarak tipis dengan kompetitornya. "Dengan slogan, Sosro Ahlinya Teh, kami mengejar posisi nomor satu. Jika kompetitor menggenjot pemasaran lewat beriklan jor-joran, kami lebih ke below the line. Yakni, mengedukasi masyarakat tidak sekedar minum tapi juga mencintai teh," katanya. Edukasi tersebut, kata dia, menyasar langsung ke masyarakat. Dia mencontohkan, komunitas konsumen teh di warung-warung angkringan sego kucing di Semarang dan Yogyakarta. Sementara itu, lanjut dia, Gunung Slamat berambisi mempertegas posisi Indonesia dengan kekayaan teh terbaik. Saat ini, kata dia, Indonesia pemasok teh terbesar nomor empat setelah China, Inggris, dan Sri Lanka. Soehartono menjelaskan, tahun 2000, Sosro Heritage pertama kali diluncurkan sebagai Sosro Premium dengan kemasan seragam yakni Batik. Namun, lanjut dia, BPOM kemudian melarang menggunakan kata superlatif seperti premium pada merek produk. Sehingga, ujar dia, pihaknya merilis kembali dengan Sosro Heritage pada 2009. Sosro Heritage diklaimnya sebagai satu-satunya di dunia untuk produk konsumsi dengan dukungan aplikasi tiga dimensi pada setiap gambar kotak kemasan. Sosro Heritage sudah diekspor ke Asia Tenggara dan Timur Tengah. Konsumen di sana lebih menyukai teh hitam. Sumber : vivanews.com
http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/11043-soedomomergonoto-sang-raja-kopi.html
e. Soedomo Mergonoto, Pengusaha Sukses Dibalik Kebesaran Kopi Kapal Api APR 10 Posted by wirasmada Di sejumlah kalangan, Soedomo Mergonoto amat dikenal sebagai raja kopi. Setelah sukses belasan tahun mengembangkan bisnis kopinya, pengusaha asal Surabaya ini melebarkan kepak sayap bisnisnya dengan salah satunya menekuni bisnis klinik kecantikan.
Tak ada yang meragukan kepiawaian bisnis Soedomo Mergonoto, salah satu pewaris pencipta merek kopi Kapal Api. Di samping populer sebagai raja kopi Indonesia, Soedomo juga dikenal memiliki lini bisnis lainnya. Sejak akhir 1970-an dipercaya memegang perusahaan orangtuanya, Soedomo mulai merambah ke bisnis ‘beraroma kopi’ sejak tahun 1986. Ia mendirikan PT Sulotco Jaya Abadi, perusahaan yang memproduksi Kalosi Toraja Coffee sembari mengiringi langkah suksesnya mengembangkan nama Kapal Api (PT Santos Jaya Abadi). Empat tahun kemudian, Soedomo pun mulai merambah bisnis kedai kopi melalui PT Excelso Multi Rasa yang membawahkan bisnis kedai kopi Excelso. Lantas di 1991 ia meluncurkan permen merek Relaxa dan Dorini di bawah bendera PT Agel Langgeng.
Pada 1994, ia mendirikan Monysaga Prima, produsen minuman dalam kemasan, di antaranya Ice Mony, Jelly Juice, Coffee Cream, Milk Coffee dan Soy Bean Milk. Tidak ketinggalan, ia pun menggarap ladang distribusi consumer goods (PT Fastrata Buana), dan pada 2000 mengakuisisi PT Inasentra Unisatya produsen aneka permen. Bisnis klinik kecantikan pun ia masuki melalui Miracle dan Meliderma. Di Surabaya, kedua klinik kecantikan ini melayani dua kelompok masyarakat, Miracle di kelas atas, sedangkan Meliderma menyasar golongan menengah-bawah. Di samping itu, ia
mendirikan pabrik mesin kopi mini. Mesin seduh kopi itu dijual ke sejumlah hotel-hotel berbintang.
Tak heran Soedomo sangat ulet dalam berbisnis. Nurani bisnis pria bernama asli Go Tek Whie ini sudah terasah sejak ia masih muda. Meski ia tak bisa menamatkan pendidikan di SMA Sin Cong yang berada di Jl Ngaglik Surabaya karena terburu ditutup pemerintah, Soedomo tetap sukses membesarkan bisnis kopi yang dirintis orang tuanya ke panggung internasional. Tak bisa bersekolah, pria kelahiran Surabaya 3 Juni 1950 itu tidak putus asa. Ia pun membantu orangtuanya berjualan kopi dengan sepeda ontel keliling di Pelabuhan Tanjung Perak dan keluar-masuk kampung. Selama inilah, ia belajar otodidak tentang cara berbisnis kopi. Ia banyak mengamati dan bertanya tentang seluk-beluk kopi dan mesin produksinya.
Soedomo sebenarnya memiliki tujuh orang saudara. Namun, bakat dagang orangtuanya agaknya lebih banyak diwarisi Soedomo. Tak heran, akhirnya anak pasangan Go Soe Loet dan Poo Guan Cuan ini dipercaya memegang tongkat estafet bisnis keluarga. Sekedar diketahui, Go Soe Loet (almarhum) mendirikan cikal bakal perusahaan Kapal Api pada tahun 1927. Bukannya tanpa maksud Go Soe Loet memilih nama Kapal Api untuk produk kopinya. Pria asal Fujian China ini berlayar dari negara asalnya dan sampai di Indonesia ternyata menggunakan kapal api sebagai sarana transportasi.
Babak baru perkembangan bisnis kopi Soedomo ini dimulai pada 1975, ketika Soedomo ditunjuk mengendalikan Kapal Api. Investasi awal dibenamkan dalam bentuk sewa pabrik di Jalan Panggung IX/12 Surabaya, beli mesin goreng lokal Rp 150 ribu dan mesin giling Rp 10 ribu. Saat itu, Kapal Api baru mempekerjakan 10 orang. Keinginan untuk terus berkembang membuat Soedomo merasa perlu melakukan sejumlah terobosan, antara lain, pengadaan mesin penggorengan yang lebih canggih guna meningkatkan kapasitas produksi, pembuatan kemasan eceran, promosi yang agresif dan lainnya, kebutuhan lahan luas untuk pabrik dan kantor.
Sempat tersandung pengadaan mesin penggorengan buatan Jerman seharga Rp 130 juta karena cekaknya modal, Soedomo pun akhirnya berhasil
mendapatkannya setelah ia bertemu personel PT Triasa agen mesin Jerman itu di Jakarta. Soedomo hanya dipersyaratkan membayar uang muka 20%. Sisanya dibayar tiap 6 bulan selama 1,5 tahun. “Saya memberanikan diri ambil kredit yang hanya Rp 5 juta demi mendapatkan mesin itu,” ia menjelaskan. Dengan mesin baru tadi, kapasitas produksi Kapal Api melonjak dari 300 kg/hari menjadi 500 kg/jam. Selain itu, kualitas produknya pun makin bagus dan aroma kopi lebih harum.
Persoalan mesin sedikit tertanggulangi, Soedomo pun memikirkan cara praktis memasarkan produk kopi buatannya. Ia pun terinspirasi oleh kesuksesan Unilever pada 1970-an yang berhasil memasarkan produk sabunnya dalam kemasan apik, tapi dijual eceran. “Saat itu saya berpikir mengapa tidak mencoba kopi dipasarkan dengan kemasan ritel,” ujarnya. Maka, kopi bubuk yang sebelumnya diproduksi ukuran 50 kg per kaleng, selanjutnya dijual ketengan dengan cara ditimbang dan dibungkus kertas koran itu, disulap dalam kemasan plastik 1 ons. Variasi kemasan ini berikutnya dikembangkan 250 gram, 500 gram, sachet dan lainnya.
Mesin sudah lumayan bagus, kemasan pun menarik, Soedomo pun mulai mempertimbangkan luasan cakupan. Salah satu cara waktu itu yang ditempuh dengan beriklan di TV dengan mennggandeng tokoh populer saat itu di Surabaya. “Untuk itu, dipilihlah Paimo (almarhum) pelawak Srimulat kondang sebagai bintang iklan Kapal Api pada 1978,” ujar Soedomo. Apa yang dilakukan Soedomo boleh disebut merupakan gebrakan dunia pemasaran kala itu. Disebut inovasi karena waktu itu tidak satu pun produsen kopi berpromosi di TVRI. Beberapa tahun kemudian Kopi Gelatik mencoba mengikuti, tapi tidak berlangsung lama karena pemerintah menghentikan acara Siaran Niaga (iklan) di TVRI. Maklum, saat itu teve swasta belum ada.
Meski iklan TV hanya satu tahun, ternyata pengaruhnya luar biasa. Di mata masyarakat, merek Kapal Api banyak dikenal. Karena merek Kapal Api sudah kondang, otomatis Soedomo mulai kewalahan memenuhi permintaan konsumen. Peluang ini tak disia-siakan. Maka, ia pun memutuskan memperluas pabrik dan merasa butuh kantor yang layak. Pada 1978 ia membeli tanah seluas 1 hektare di Jalan Raya Gilang, Sidoarjo dengan harga
Rp 1.250/meter2. Sekarang, total lahan industri yang dimiliki Kapal Api mencapai 10 ha. Pabriknya sendiri menempati areal 3 ha. Sementara itu, kantornya menempati gedung berlantai tiga, berdiri di atas lahan 15 x 50 meter.
Berkat kemajuan yang dicapai Kapal Api, pada 1982 produk ini masuk pasar Jakarta. Lalu, pada 1984 meluaskan jaringan pemasaran ke Bandung, Semarang, Palembang, Medan, Pontianak Makassar dan Denpasar. Pendeknya, hampir semua provinsi di tanah Air sudah dirambah Kapal Api. Hebatnya, tidak hanya pasar dalam negeri yang direngkuh. “Kami tidak bisa cuma berdiam diri di Indonesia. Bisa-bisa nanti orang luar yang akan menyerang kita terus,” ujar Soedomo tentang alasan perlunya ekspansi ke mancanegara. Pada 1985, Kapal Api memenetrasi pasar Arab Saudi. Mulamula ekspor itu hanya 500-600 kg, sekarang 6-7 kontainer/tahun. Pasar Hong Kong ditaklukkan pada 1987, lalu menyusul Taiwan dan Malaysia (1990). “Kapal Api adalah yang pertama kali mengajari orang Taiwan cara membuat kopi yang praktis,” Soedomo mengklaim.
Namun, merek Kapal Api tak selalu bisa diterima di pasar mancanegara. Di Hong Kong, Kapal Api mengganti mereknya menjadi Wenz, dan di Taiwan mengibarkan merek Excelso. Hanya pasar Malaysia dan Arab Saudi yang bisa menerima merek Kapal Api. Kini, di pasar dalam negeri, Kapal Api tampil sebagai pemimpin pasar. Merek ini menaklukkan para pendahulunya, misalnya Kopi Kedung Laju, Kopi Cap Gadis, Kopi Supiah, Kopi Wanita Utama, Kopi Gelatik dan Kopi Cap Oto Terbang. (*/SurabayaPost)
http://www.majalahtrust.com/bisnis/strategi/364.php
f. Rokok Gurem Sukses di Rantau Orang Agar bisa bertahan, sejumlah pabrik rokok gurem memasarkan produknya di luar Jawa. Ada juga yang membidik para simpatisan NU. Irawati Maxi, Winuranto Adhi (Malang), dan Ardiyansyah Harjunantio (Semarang)
DI TENGAH dominasi pabrik rokok besar seperti PT HM Sampoerna, PT Gudang Garam, dan PT Djarum Kudus, beberapa pabrik rokok gurem masih mampu bertahan. Padahal, persaingan juga datang dari pabrik rokok gurem lainnya. Berbagai strategi pun dilakukan, mulai dari menjajakan langsung rokoknya ke konsumen, sampai mencari pasar baru. Memang, ada pula yang pasrah dengan kondisi seadanya. Pabrik rokok Garuda Mas yang berlokasi di Lumajang, Jawa Timur, misalnya, menjual rokoknya pada acaraacara hajatan, baik dalam acara pernikahan maupun khitanan. Selain itu, rokok ini juga dipasarkan di lokasi perkebunan di Jember dan Wonosari, Lawang, Malang. Lantaran harganya relatif murah, Rp 3.000 per bungkus dengan isi 12 batang, Garuda Mas bisa laris manis. Cuma, pabrik rokok ini tak bisa berproduksi secara kontinu karena belum memiliki pita cukai. â€Birokrasinya ngejelimet. Mereka menjanjikan antara bulan Juli atau Agustus nanti,†kata Sugeng Triatmo, pemilik Garuda Mas. Untuk saat ini, produksinya memang masih kecil: cuma 3.500 batang per hari. Dengan proses manual, pabrik rokok itu memiliki delapan orang buruh linting. Untuk 100 batang, masing-masing buruh mendapat upah Rp 7 ribu. Kelak, jika pita cukai sudah dikantongi, Sugeng berencana melempar produknya ke para buruh perkebunan di luar Jawa. Ia tahu benar bahwa mereka ini tak memikirkan rasa, yang penting asap bisa mengepul dari mulut. MEMBIDIK BURUH DAN WARGA NU Para buruh perkebunan di luar Jawa itu memang sudah menjadi target pemasaran mayoritas pabrik rokok gurem di Jawa Timur. Maklum, pasar di Jatim sudah dikuasai pabrik rokok besar. Maka, bidikan ke pulau seberang itu pun dilakukan rokok Gandum Jaya, Arum Manis, Arum Manis Mild, Supra, Tiga Gajah, Madona, Simphoni Super, dan Mega Mas. Dengan harga murah—tak sampai Rp 5.000 per bungkus (satu bungkus berisi 12-16 batang)—rokok gurem itu diserbu para buruh perkebunan. Pabrik rokok Banyu Biru yang berlokasi di Malang, misalnya. Pabrik itu memproduksi rokok filter dan kretek beragam merek, seperti Arum Manis, Arum Manis Mild,
Supra, dan Tiga Gajah. Dengan mematok harga Rp 3.200-Rp 4.600 per bungkus, mereka mengirim 50 boks (satu boks berisi 125 pak rokok) ke Jambi, Palu, dan Riau. â€Dalam seminggu bisa dua kali kirim,†kata Boby, staf bagian gudang Banyu Biru. Sementara itu, pabrik rokok PT Gandum yang juga berlokasi di Malang, memasarkan rokok merek Gandum Jaya di kalangan buruh perkebunan di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. â€Di Malang, pasarannya sulit, perokoknya punya gengsi gede. Tukang becak pun tak mau mengisap rokok murah,†ujar Yohanes, Humas PT Gandum. Dengan cara itu, setidaknya, PT Gandum bisa bertahan selama 24 tahun dan memiliki 1.500 pekerja. Toh, ada juga produsen rokok di Jatim yang tetap melempar produknya ke wilayahnya sendiri. Pabrik rokok Bintang Bola Dunia yang baru saja me-launching rokok merek Sapu Jagat pada Januari lalu itu, justru memasarkan produknya di sekitar Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Kediri, Surabaya, dan Madura. Tentu saja, untuk menembus pasar yang sudah sesak dengan rokok lainnya, pabrik rokok hasil kolaborasi Nahdlatul Ulama (NU) dengan PT Bentoel itu, memiliki strategi jitu. Di samping dengan harga murah, Rp 3.500 per bungkus, mereka juga memiliki target menggaet warga NU. Karena itu, kemasannya dibuat sama dengan lambang NU dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): sembilan bintang dengan tali melingkari bola dunia. Promosinya pun tak tanggung-tanggung, Ketua NU K.H. Hasyim Muzadi pun langsung membubuhi tanda tangannya pada pamflet-pamflet yang tersebar di wilayah Jatim. Spanduknya juga terpasang di Kantor Cabang NU, GP Ansor dan Fatayat. Dan hampir sepanjang jalan Kota Malang dipasangi umbul-umbul rokok Sapu Jagat, termasuk pesantren mahasiswa Al-Hikam, Malang, milik Muzadi. †Ke depan, kami akan mengembangkan pasar ke Jawa Tengah, Jawa Barat, dan luar Pulau Jawa,†kata Andrianto Suwondo, Manajer Produksi Bintang. Mungkin dengan strategi menggaet simpatisan NU, rokok Sapu Jagat yang sekarang memproduksi 1 juta batang per hari itu bisa juga masuk ke pasar luar Jatim, termasuk Jateng. Sebab, di Jateng, pabrik rokok sekelasnya banyak yang kembang kempis. Mereka kalah bersaing dengan pabrik rokok besar. Di samping itu, kenaikan harga kebutuhan pokok dan cukai rokok setiap tahun juga ikut memukul pabrik rokok gurem yang memiliki pangsa pasar kelas bawah. †Jangankan membeli rokok, untuk makan saja sudah susah,†ujar Guntur, Sekjen Forum Pengusaha Rokok Kudus. Melemahnya daya serap pasar memang dirasakan Guntur yang juga Direktur pabrik rokok Janur Kuning yang berlokasi di Semarang. Pada 2001, rokok kretek ini masih bisa memproduksi 39.500 batang per hari. Tapi, pada 2002, jumlah itu turun
menjadi 25.000 batang per hari. MENGANDALKAN NOSTALGIA Guntur sudah berusaha mendongkrak penjualan. Setidaknya, pabrik rokok yang berdiri pada 1993 ini mematok harga sesuai kantong masyarakat kelas bawah: Rp 1.500 per bungkus. Kemasannya dibuat mirip rokok †legendaris†Dji Sam Soe, produksi HM Sampoerna. Tapi bedanya, di tengah kemasan rokok itu ada gambar kecil berupa daun kelapa atau janur. Toh, itu tak menolong. Akhirnya, ia cuma bisa menurunkan kualitas rokoknya dengan membeli tembakau murah hasil sortiran pabrik rokok Djarum dan pabrik besar lainnya. Nasib serupa juga dialami pabrik rokok Cap Pompa. Meski masih bertahan di wilayah pemasaran Purwodadi, Mrangen, Demak, dan Blora, toh rokok seharga Rp 3.200 per bungkus dengan kemasan berwarna putih bergambar pompa sepeda itu juga mengalami penurunan penjualan. Kondisi pabrik rokok gurem di Yogyakarta ternyata setali tiga uang dengan Janur Kuning dan Cap Pompa. Rokok Cap Djeruk, misalnya, sekarang cuma bisa ditemukan di Kedu dan Yogyakarta sendiri. Padahal, rokok berkemasan bergambar jeruk biji itu pernah berjaya pada 1950-an. Penurunan produksi itu mulai terasa pada 1970. Untungnya, rokok ini masih memiliki konsumen yang fanatik. †Mereka perokok masa lalu yang senang bernostalgia,†kata seorang karyawan pabrik yang enggan menyebutkan namanya. Hal itulah yang membuat pabrik ini masih memproduksi sekitar 20 ribu batang rokok per hari dengan harga Rp 3.400 per bungkus. Namun, demi efisiensi, perusahaan hanya mempekerjakan buruhnya tiga hari dalam seminggu, pabrik rokok inipun kerap meliburkan 50 orang buruhnya kalau stok masih banyak. â€Mereka dipanggil kembali jika stok rokok sudah menipis,†kata karyawan itu kepada Heru Prasetya dari TRUST. Mungkin kondisi produsen rokok gurem tersebut tak akan seperti itu kalau saja mereka lebih berinisiatif mencari pasar-pasar baru yang masih kosong seperti yang dilakukan pabrik rokok dari Jatim. Toh, mereka pasrah. †Kenyataannya, rokok kami laku dan masih bisa bertahan walaupun keuntungannya tidak sebesar tahuntahun sebelumnya,†tutur Guntur. Padahal, tidak gampang bersaing dengan pabrik rokok besar plus sekitar 200 pabrik rokok gurem di Jateng.
http://www.majalahtrust.com/bisnis/strategi/364.php
g.
Kopi Medan Ingin Kuasai Jakarta
Dari eksportir kopi mentah, Opal Coffee pun sukses memproduksi kopi siap minum.
Empat tahun silam tak banyak orang yang mengenal Opal Coffee. Bahkan, pabrik kopi milik PT Sari Makmur Tunggal Mandiri (Sari Makmur) ini dulu hanya memiliki tiga karyawan untuk menangani semuanya, mulai dari produksi hingga pemasaran. Tapi sekarang pabrik kopi asal Medan ini sudah memiliki 100 karyawan tetap dan 500 buruh harian lepas. Dan merek Opal Coffee pun sudah dikenal hingga mancanegara. Irawati Maxi dan Denny Sitohang (Medan)
Kini pabrik seluas 4,2 hektare yang berlokasi di Desa Rujimulio, Kecamatan Sungai, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, itu mampu memproduksi kopi dengan kapasitas 60 kilogram setiap 23 menit. Berarti, Sari Makmur mampu memproduksi 25 ton per bulan. Total produksi pabrik habis diserap pasar, 75% pasar lokal, sisanya ekspor. Maka dengan harga jual rata-rata Rp 55 ribu per kilogram, omzet perusahaan yang dimiliki pengusaha daerah Suryo Pranoto itu mencapai Rp 1,4 miliar per bulan. Keberhasilan Opal Coffee merengkuh pasar dalam waktu relatif singkat itu termasuk luar biasa. Untuk korporat lokal Sumatra Utara, mereka sudah menguasai pasar 100%. Sementara itu, untuk pasar Jakarta yang sudah dipadati kopi impor ataupun lokal—seperti Zega Fredo (Italia), Bon Coffee (Swiss), dan Excelso (Indonesia)—Opal Coffee tengah menggenjot target dari 45% menjadi 60%. Uniknya, bila brand lain gencar beriklan, Opal Coffee justru minim iklan. MEREKRUT AHLI KOPI Dunia kopi memang bukan hal asing lagi bagi Suryo. Sejak 1973, ia sudah mengekspor kopi ke mancanegara seperti Amerika, Jepang, Eropa, dan Timur Tengah. Jenis kopi robusta dan arabica yang diekspornya terkenal bagus. Tak heran bila pebisnis kopi kelas atas seperti Starbucks (Amerika) juga memakai kopi Medan ini. Lantaran ekspor kopi mentah cenderung stagnan, pada 1997 Suryo melakukan diversifikasi dengan memproduksi kopi siap konsumsi. Maka, selama setahun ia mengunjungi sentra-sentra kopi, terutama di Eropa, untuk melakukan riset dan mempelajari karakteristik kopi. Maklum, setiap daerah berbeda karakteristik dan kebiasaan masyarakatnya dalam minum kopi.
Untuk berdagang kopi siap konsumsi, ia harus memiliki kemampuan dalam meracik kopi dan mempunyai jurus jitu dalam memasarkannya. Karena itu, Suryo merekrut ahli di bidang kopi dan marketing, Daniel Vianco, 38 tahun, untuk menjadi Business Development Manager & Personal Assistance to Director Opal Coffee. Daniel memang â€akrab†dengan dunia kopi. Mantan staf marketing di Hotel Tiara Medan yang bergabung dengan Opal Coffee pada 2000 ini mendapat pengetahuan soal kopi dari kakeknya yang pernah menjadi penggoreng kopi di Malaysia. â€Dia punya 80 batang kopi yang diolah untuk konsumsi keluarga kami,†kata pria berkulit putih kelahiran Batu Pahat, Johor Baru, Malaysia, itu. Ketika kuliah di Cornell University, AS, Daniel pernah menjadi barista (pembuat kopi) freelancer di Train Coffee House, kafe milik pengusaha Yahudi di Ithaca, AS. Di tempat ini pengetahuan Daniel soal kopi semakin terasah, apalagi kemudian dia dipercaya menjadi kepala bagian quality control. Selain Daniel, Opal Coffee memiliki Maria Gorehty, 45 tahun. Sejak berumur 17 tahun, istri Suryo ini sudah belajar dengan ahli-ahli kopi kelas dunia dari Amerika dan Italia. Maria pernah bekerja di Seattle Based Coffee yang sekarang menjadi salah satu anak perusahaan Starbucks. Di Opal Coffee, Maria sering menjadi last quality control fase. Hanya dengan melihat, dia tahu kualitas kopi. Tak jarang Maria menolak kopi yang sudah siap olah karena kualitasnya jelek, meski kopi tersebut sudah lolos sortir super-automatic machine. Tak salah kalau Suryo mengandalkan kedua tenaga ahli perkopian itu. Soalnya, bisnis kopi siap konsumsi sangat tergantung pada rasa (taste). Untuk ini Opal Coffee memiliki 150 karakter kopi yang berbeda. â€Kami menyebut Opal Coffee sebagai personalized product (sesuai selera). Rasa, warna, dan aromanya disesuaikan dengan pesanan pelanggan,†kata Daniel sembari menyebutkan asal nama opal itu dari batu mulia yang ada di Australia. Maklum, selera konsumen setiap negara berbeda. Contohnya di Indonesia, iklimnya tidak cocok dengan kopi roasted (kopi yang digoreng/panggang sebelum digiling). Biasanya orang Indonesia lebih melihat warna kopi daripada aroma atau rasa, meskipun orang Sumatra lebih suka pada kopi yang hitam pekat, tidak terlalu pahit, dan beraroma. Sementara itu orang Jepang lebih suka kopi yang digoreng saat masih sangat muda dan digiling tak terlalu halus. Orang Eropa lain lagi. Mereka senang kopi yang berkarakter seperti French Roasted o’ Blend. Kopi seperti ini, saat dihirup terasa lebih halus, tidak meninggalkan rasa kopi di tenggorokan.
Untuk memperoleh biji kopi berkualitas, hampir 60% bahan bakunya dipasok petani kopi dari Tapanuli Utara, Dairi, Simalungun, dan Tapanuli Selatan. Sisanya dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII, Bali, Flores, dan Pulau Jawa. MENEKAN IKLAN Untuk memasarkan kopi tersebut, sejak awal Suryo menekankan agar Daniel—yang juga mengurus marketing itu—tak gencar beriklan. Cara ini tak gampang, harus dipilih kiat berpromosi yang efektif. Misalnya, menjadi sponsor suatu event yang cocok dengan produknya, yaitu dengan mensponsori kedatangan Miss Universe 2002, Oxana Fedorova, tahun lalu. Selain itu, Opal Coffee langsung memasarkan produknya ke hotel-hotel, resto, dan bistro di kota Medan. Orientasinya pada tamu yang banyak mengunjungi tempat tersebut. Bila banyak tamu Jepang, mereka menawarkan kopi yang disukai orang Jepang, begitu pula kalau tamunya orang Eropa. Benar saja. Dengan cara itu akhirnya Opal Coffee diterima. Kini hampir 100% hotel di Medan menggunakan produk tersebut. Pada 2000, mereka meluaskan pemasaran dengan membuka cabang di Jakarta, Batam (2001), dan Surabaya (2002). Selain itu, mereka juga menjadi pemasok kopi tak langsung pada beberapa airline, di antaranya Singapore Airlines dan Cathay Pacific. Opal Coffee memang lebih banyak menjaring pasar corporate ketimbang eceran, sebab pasarnya potensial. Untuk ini, mereka menyediakan mesin pembuat kopi dengan merek Carimali asal Italia. Pesaing terbesarnya adalah kopi Excelso asal Surabaya. Namun, Opal Coffee punya kiat menarik simpati pelanggan dengan cara menyediakan fasilitas after sales service selama 24 jam. †Jadi jika mesin klien mendapat gangguan, kami segera mengirim teknisi,†kata Daniel. Agar lebih memasyarakat lagi, bulan ini mereka bakal meluncurkan produk Mochas Gourmet Coffee dan instant coffee yang dijual dalam kemasan sachet dengan harga terjangkau. Aromanya, kacang hazel dan cokelat. Distribusinya pun sampai ke warung-warung. Dengan semua strategi itu, Opal Coffee optimistis pada perkembangan usahanya.
http://www.majalahtrust.com/bisnis/strategi/446.php
h.
Tak Cukup Cuma Beriklan
Anlene masih memimpin pasar susu berkalsium tinggi. Kuncinya adalah inovasi dan keterlibatan dalam kampanye mencegah kerapuhan tulang. Yus Ariyanto, Eko Setyo Budi, dan Kartina Ika Sari
Betapa merepotkan ketika usia beranjak tua. Stabilitas emosi memang boleh jadi kian mantap. Tapi, kemampuan organ fisik berangsur menurun, tak terkecuali kesanggupan tulang untuk menopang aktivitas sehari-hari. Celah inilah yang lantas diendus sejumlah produsen susu dan menjadi peluang bisnis menggiurkan. Di Indonesia, pasar susu yang ditujukan untuk merawat kemampuan tulang dengan kalsium dosis tinggi terbilang marak. Lihat saja merek-merek yang beredar seperti Anlene, Prolene, Calcimex, Produgen, atau Nestle Omega. Produk-produk ini berjuang keras memperebutkan atensi puluhan juta kaum dewasa di Nusantara. Sampai akhir tahun ini, Anlene masih berada di depan. Menurut data Marketing Research Indonesia (MRI), pada 2003 ini, Anlene menguasai 55% pasar. Pencapaian ini jauh di atas—misalnya—Calcimex yang hanya 5%.
Pantaslah bila prestasi PT New Zealand Milk Indonesia (NZMI) dalam memasarkan Anlene diganjar dengan penghargaan status Superbrands dari Superbrands International, sebuah lembaga independen yang rutin memantau dan memberikan penghargaan terhadap merek-merek yang beredar di pasar. Penghargaan itu didasarkan atas dominasi, daya tahan, loyalitas konsumen, iktikad baik, dan pandangan pasar secara keseluruhan. Di tahun ini pula, Anlene meraih Indonesia Customer Satisfaction Award (ICSA) untuk kategori susu bubuk. Pengejaran kualitas tertinggi menjadi kunci sukses Anlene. Menurut Benny Setiawan, Manajer Merek Anlene, susu ini merupakan satu-satunya produk yang teruji secara klinis mencegah kerapuhan tulang atau osteoporosis. Pihak yang menguji adalah Edith Lau, Guru Besar Chinese University of Hong Kong. Penelitian itu melibatkan 400 responden: separuh mengonsumsi Anlene, separuhnya tidak. Setelah 2 tahun, ternyata kondisi tulang mereka yang meminum Anlene jauh lebih baik dibandingkan mereka yang tak mengonsumsinya. Bukan cuma itu keunggulan Anlene. Benny Setiawan juga berpromosi bahwa kandungan kalsium pada Anlene lebih tinggi dibandingkan kalsium pada susu
lainnya. Susu ini diperkaya vitamin D3 dan magnesium yang mampu mencegah osteoporosis jika berkolaborasi dengan kalsium. Anlene juga minus lemak. Karena itu, â€Aman bagi mereka yang takut gemuk, gangguan kolesterol, jantung dan penyakit-penyakit lain yang ada hubungannya dengan lemak,“ katanya. Iming-iming berikutnya, Anlene langsung diimpor dari Selandia Baru, negara penghasil susu yang diyakini paling berkualitas di dunia. Segenap keunggulan itu dicobatonjolkan sejak Anlene merangsek pasar Indonesia pada tahun 1996. Sebelum periode ini, pasar susu cuma dimarakkan susu yang ditujukan untuk anak-anak. Anlene datang dengan †propaganda†bahwa susu juga amat penting bagi kalangan dewasa, terutama wanita, karena mereka rentan terhadap osteoporosis. Kepeloporan itu diteruskan dengan memilah dua kategori usia: 19-50 tahun dan 50 tahun ke atas. Sebelumnya, cuma terdapat satu kategori: 19-50 tahun. Untuk kategori ini, tersedia Anlene Actifit. Sementara itu, untuk 50 tahun ke atas, disajikan Anlene Gold. Baru-baru ini juga ditawarkan Anlene Plus yang juga berguna menjaga kesehatan jantung. Inovasi-inovasi inilah yang menjadikan Anlene semakin kokoh di puncak. Memang, inovasi jelas diperlukan. Tapi itu semua menjadi tak berguna jika tidak dikampanyekan. Tak heran jika pada tahun 2002, menurut AC Nielsen Media Research, NZMI menggelontorkan duit Rp 11,3 miliar untuk belanja iklan di media massa. Kampanye above the line hanya satu metode. Jurus lain yang dilakoni NZMI adalah menggandeng kalangan medis, khususnya Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (Perosi), kelompok dokter yang memfokuskan kegiatannya pada hal osteoporosis. Salah satu bentuk nyata keterlibatan itu adalah keikutsertaan dalam kampanye Departemen Kesehatan RI dan Perosi untuk mencegah osteoporosis. Secara konkret, NZMI menggelar acara pemeriksaan osteoporosis atau bone scan secara gratis untuk masyarakat dengan melibatkan para ahli gizi untuk memberikan konsultasi. Menurut Benny, â€Sejak 1999, sudah ada 20 ribu orang yang mengikuti pemeriksaan ini.†NZMI juga mendukung penelitian Puslitbang Gizi Departemen Kesehatan RI pada tahun 2002 untuk mendapatkan gambaran mengenai prevalensi atau angka risiko orang Indonesia terhadap ancaman osteoporosis. Hasilnya, terdapat 19,7% orang Indonesia yang berisiko menderita osteoporosis. †Sampai sekarang, hasil penelitian tersebut merupakan gambaran paling lengkap dan akurat mengenai bahaya osteoporosis di Indonesia,“ kata Benny yang bergabung di NZMI sejak tahun 1998 itu.
Strategi kampanye ini seiring dengan penguatan distribusi. Maka, konsumen bisa mendapatkan Anlene mulai dari kota besar hingga kota-kota kecil di seluruh Indonesia, dari hypermarket hingga pasar-pasar tradisional. Hal ini terjadi karena NZMI didukung sekitar 30 distributor dan adanya 60 titik distribusi di seluruh Indonesia. MEMANFAATKAN FIGUR KONDANG Dominasi Anlene bukannya zonder ancaman. Jika mencermati media massa, salah satu pesaing Anlene yang paling agresif beriklan adalah Calcimex, susu berkalsium tinggi yang diproduksi PT Frisian Flag Indonesia. Pada 1997, saat pertama diluncurkan, hanya ada satu ragam produk, tapi pada Mei 2003 lalu, ada produk baru bernama Calcimex Extra. Bila Calcimex ditujukan untuk 19-50 tahun, Calcimex Extra untuk mereka yang telah menjejak usia 50 tahun ke atas. Seiring dengan kategorisasi tersebut, Calcimex memanfaatkan kepopuleran figur Rae Sita Supit dan Georgiana atau Oji, putri mantan aktris ngetop di era 1970-an itu. â€Kami memilih mereka karena menganggap mereka sebagai figur tepat bagi perusahaan kami,“ kata Venita Agus, Manajer Pemasaran Calcimex. Keputusan memilih dua perempuan kondang itu cukup pas. Paling tidak, lantaran hampir 70% konsumen Calcimex adalah kaum wanita. â€Sebenarnya, kami tak membatasi. Namun wanita lebih banyak mengonsumsinya karena mereka memang lebih berisiko terkena osteoporosis,†ujar Venita. Ia menjelaskan, prinsip Calcimex adalah membantu orang Indonesia untuk hidup sehat, baik di kala muda maupun di masa tua. Nah, untuk memperoleh tulang kuat, harus dimulai sejak muda. Jadi, â€Kampanye kami adalah hidup sehat harus dimulai sejak masih muda, sehingga ketika menginjak tua kita masih bisa aktif seperti Rae Sita,†kata Venita. Menyangkut soal kandungan, Frisian Flag Indonesia juga menekankan Calcimex memuat komposisi seimbang antara kalsium, magnesium, dan vitamin D3. Selain itu, Calcimex juga dilengkapi unsur inulin dan serat makanan. Kandungan ini membantu pengguna Calcimex terbebas dari problem pencernaan makanan. Akan halnya inovasi lain, Calcimex pun melakoninya. Dalam waktu dekat, Frisian Flag Indonesia bakal meluncurkan Calcimex cair yang langsung dapat diminum. Ini tak sulit lantaran perusahaan asal Belanda tersebut telah memiliki mesin untuk memproduksi susu cair. Bagaimana dengan strategi kampanye lain? Calcimex juga dipromosikan dengan cara memberikan sampel susu dan brosur. Pada brosur-brosur tersebut disampaikan pula bahwa keliru jika menganggap minum susu identik dengan membuat gemuk. Sebab, susu untuk orang dewasa seperti Calcimex dirancang untuk tidak membuat tubuh melar.
http://www.majalahtrust.com/bisnis/strategi/914.php
i. Kawan yang Menjelma Jadi Lawan Eko Edhi Caroko, Hendra Gunawan, Marah Sutan Nasution, dan Teguh Usia Imam
Meniagakan produk susu berkalsium di negeri ini tampaknya tergolong bisnis yang menjanjikan. Indikasinya, lihat saja perputaran dananya, ada yang menaksir ratarata mencapai Rp 3,5 triliun per tahun. Fenomena lainnya, berdasarkan penelitian Puslitbang Gizi Departemen Kesehatan dua tahun lalu, penduduk Indonesia yang berisiko mengidap keropos tulang (osteoporosis) ternyata cukup tinggi, yakni sekitar 19,7%. Artinya pula, dari setiap lima orang penduduk, hampir dipastikan satu di antaranya berisiko mengidap penyakit ini. Nah, salah satu ikhtiar agar tidak terserang penyakit keropos tulang adalah mengonsumsi kalsium--yang notabene bisa diperoleh dari sejumlah produk susu berkalsium--dalam jumlah yang memadai. Dan perlu diingat, penyakit ini cenderung menyerang mereka yang telah berusia di atas 40 tahun. Sampai di situ, tampaknya sulit dibantah bahwa sektor bisnis ini bermasa depan kinclong. Nyatanya pula, hingga saat ini, pasar sudah dijejali berbagai produk susu berkalsium dari sejumlah industri. Dan yang tergolong agresif adalah produk bermerek Anlene. Bahkan, produk buatan PT New Zealand Milk Indonesia ini berhasil mendominasi pasar hingga mencapai 55%. Yang menyusul di belakangnya adalah Calcimex (5%) yang diproduksi oleh PT Frisian Flag Indonesia, serta Produgen--hasil kerja sama Tigaraksa Satria dengan Sari Husada--yang hanya menguasai pangsa kurang dari 4%. Lantaran melihat potensi pasarnya yang begitu menganga, belakangan Tigaraksa memutuskan bakal mengail peruntungan sendiri di jalur ini, alias bertekad menjadi produsen sekaligus distributor Produgen. Menurut Agustini Muwarni, General Manager Marketing & Product Supply Tigaraksa, peluangnya memang masih sangat terbuka. Nyatanya, “Total produk susu berkalsium baru menjangkau 5% dari potensi pasar yang ada,†ujarnya. Lagi pula, selama ini, pasar susu berkalsium cenderung didominasi oleh produk yang dibuat oleh perusahaan asing. Dus, kalau produk lokal mulai bangkit menjadi tuan rumah di negeri sendiri, mengapa tidak? Sampai di situ, semakin jelas mengapa Tigaraksa begitu serius masuk ke bisnis ini sendirian. Dan kabarnya pula, kerja sama bisnis dengan perusahaan mitranya itu akan berakhir pada awal tahun 2006. Seiring dengan itu, perusahaan ini juga akan mengoperasikan pabriknya yang berkapasitas 3.750 ton per tahun di Sleman, Yogyakarta. Untuk itu, sang pemiliknya rela menggelontorkan modal sebesar Rp 15 miliar.
Langkah bisnis tadi boleh dibilang brilian. Sebab, dengan investasi sebesar itu, menurut Fauzy, salah seorang Direktur Tigaraksa, pihaknya sangat optimistis langkah ekspansinya tadi akan memetik sukses. Diprediksikan, “Pendapatan perusahaan dari bisnis ini kelak akan naik menjadi Rp 150 miliar,†ujarnya. Jika Fauzy sangat optimistis, itu memang ada dasarnya. Sebenarnya pula, bagi Tigaraksa, bermain di jalur susu bukanlah mainan baru. Sebelumnya, perusahaan ini dikenal sebagai distributor berbagai merek susu seperti SGM, Nutrilon, Promise Gold, serta Lactamil. Selain itu, Tigaraksa juga dikenal andal dalam mendistribusikan berbagai produk minuman, makanan, sabun, serta buku pendidikan.
Sekitar 70% Omzetnya Dipetik dari Jasa Distribusi Hampir selama 18 tahun Tigaraksa berpengalaman di jasa distribusi. Kini rantai distribusinya telah mencapai lebih dari 100 kantor cabang yang berserak di seluruh Nusantara. Tak heran jika sekitar 70% pendapatannya berasal dari jalur ini. Hingga Oktober lalu, pendapatan yang berhasil dibukukan perusahaan ini mencapai sekitar Rp 2 triliun. Artinya, sekitar Rp 1,4 triliun adalah kontribusi dari sektor distribusi. Dengan omzet sebesar itu, keuntungan bersih yang dipetiknya tak kurang dari Rp 238 miliar. Tapi masalahnya, bagaimana kemampuannya di sektor produksi? Juga tak perlu diragukan. Ternyata Tigaraksa pernah kesohor sebagai produsen berbagai produk fashion, seperti pakaian bermerek Tira, H&R, dan Ocean Line. Dan lewat anak perusahaannya, PT Blue Gas Indonesia, perusahaan ini juga memproduksi kompor gas. Kalau begitu, semuanya beres dong? Tidak juga. Soalnya, bermain sendirian juga bisa diartikan muncul sebagai pesaing baru. Artinya pula, bisa saja pemasaran Produgen versi Tigaraksa akan terganjal oleh “gempuran†sejumlah pemain lama yang tidak rela pangsanya dicuri. Tak terkecuali dari “bekas†mitranya, Sari Husada. Apalagi, berdasarkan rumor yang beredar, hal yang juga menjadi pemicu pecahnya kongsi di antara mereka adalah adanya “konflik†terselubung yang telah berlangsung lama. Benarkah? Memang belum jelas. Yang jelas, menurut salah seorang staf di Corporate Secretary Sari Husada, pihaknya memang telah mengambil sikap untuk menghentikan kerja sama dengan Tigaraksa. Hal itu sesuai dengan keputusan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) yang belum lama digelar. Dan berakhirnya kerja sama ini, bagi Sari Husada, nyaris tidak menimbulkan dampak buruk pada kinerjanya. Sebab, perusahaan yang bermarkas di Yogyakarta ini memiliki sejumlah produk--di antaranya SGM--yang telah menancap cukup kuat di pasar. Sejatinya pula, menurut Handi Irawan, seorang pengamat pemasaran, pisah kongsi
seperti yang dialami oleh Tigaraksa dan perusahaan mitranya itu adalah hal yang lazim terjadi. Bisa saja perpecahan itu dipicu oleh kepentingan yang saling bertentangan. Biasanya, pihak prinsipal (pemegang merek) cenderung menginginkan rabat setinggi mungkin. Sebaliknya, distributor--lantaran untuk kepentingan promosi--lebih gemar mengobral diskon, yang notabene akan mengurangi rabatnya. Oleh karena itu, kata Handi, wajar jika banyak distributor selalu berangan-angan ingin menjadi produsen. “Itu hal yang sangat normal,†ujarnya. Tapi jangan lupa, distributor dan prinsipal adalah dua kegiatan yang berbeda. Oleh sebab itu, bila perubahan tersebut tidak dilakukan dengan hati-hati, maka bisa menimbulkan akibat yang sangat berbahaya. “Mereka harus sadar bahwa “gear†distributor dan principal memang sangat berbeda,†tutur Handi. Dari kebanyakan kasus yang terjadi, biasanya kinerja distributor yang ditinggalkan oleh prinsipalnya bakal menurun. Hal itu pernah dialami oleh Wicaksana Overseas International, perusahaan yang pernah terkenal sebagai distributor sejumlah produk, seperti Indomie, Ekstrajos, serta berbagai produk lain dari P&G. Suatu ketika, karena ditinggalkan oleh prinsipalnya, perusahaan ini banting setir menjadi produsen berbagai produk makanan bermerek Gaga (di antaranya mi instan dan ikan dalam kemasan kaleng). Tapi, boleh jadi lantaran pamornya kalah oleh industri pesaing, “kinerja perusahaan ini pun cenderung terus menurun,†Kata Handi. Nasib serupa tadi juga akan dialami Tigaraksa? Lihat saja nanti.
http://www.majalahtrust.com/bisnis/strategi/1050.php
j. Si Kolonel yang Tiada Lawan KENTUCKY Fried Chicken (KFC) adalah jagonya ayam goreng. Jargon ini bukanlah sekadar pujian. Lihat saja, realitasnya pun sulit terbantahkan. Dari sisi penjualan, restoran cepat saji ini memang tiada yang bisa mengungguli. Hingga Oktober silam, jaringan waralaba milik kelompok PT Fastfood Indonesia ini berhasil meraup omzet Rp 1 triliun— hampir menyamai rekor penjualan selama 2005 yang mencapai Rp 1,03 triliun. Dengan pencapaian sebesar itu, tak pelak, KFC layak menguasai pangsa industri fast food di negeri ini hingga sebesar 40%. Kedigdayaan tersebut bisa dicapainya, sulit dimungkiri, terutama karena ditopang oleh strategi pemasaran yang amat kuat. Jaringan gerainya menggurita di mana-mana nyaris tiada tempat strategis yang tak dirambah. Hingga September lalu, gerai KFC—yang mulai beroperasi sejak 1979—sudah sebanyak 250 unit dan tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Agar bisa tetap bertahan di puncak klasemen, KFC bertekad terus memperkuat lini pemasarannya. Untuk itu, ”Kami akan terus berekspansi,” ujar Mario B. Ledres, General Manager Finance & Administration Fastfood Indonesia. Nyatanya pula, hingga akhir tahun ini KFC sudah berancang-ancang akan menambah gerainya hingga sebanyak 20 unit. Dikky Setiawan, M. Agus Yozami, dan Diah Amelia
Memang, bukan perkara yang mudah untuk mewujudkan semua itu. Paling tidak dibutuhkan anggaran yang tak sedikit. Pasalnya, untuk membangun sebuah gerai baru yang memenuhi standar kelayakan, diperlukan dana investasi rata-rata hingga sebesar Rp 2,3 miliar. ”Agar tetap eksis, memang dibutuhkan investasi yang besar,” ujar Mario. Apalah arti nilai sebesar itu jika akan mendatangkan hasil yang lebih berlipat-lipat. Jelas, hal itu tak perlu diragukan. Soalnya, jika rencana perluasan tadi berhasil direalisasikan, niscaya total omzet KFC selama 2006 akan mencapai target sebesar Rp 1,27 triliun, atau naik 23,5% dibandingkan tahun lalu. Dus, yang memicu KFC begitu agresif, dasarnya adalah potensi bisnis di sektor ini yang memang cerah. Apalagi, itu didukung oleh kecenderungan gaya hidup masyarakat belakangan ini yang makin mengarah ke hal-hal lebih praktis. Tak terkecuali pada pola makannya, mereka mulai gemar menyantap sajian yang serbainstan. Kecenderungan ini, tak pelak, ”Mendorong bisnis fast food menjadi berprospek cerah,” ujar Anang Sukandar, Ketua Umum Asosiasi Franchise Indonesia. Lebih dari itu, memperluas jaringan juga berarti semakin mendekatkan diri ke pasar. Hanya saja, ada sejumlah pegangan yang menjadi acuan agar langkah ekspansi berjalan sesuai target. Soalnya, jika strategi ini dijalankan secara membabi buta, tak tertutup kemungkinan malah akan menuai masalah. Boro-boro akan memetik untung, yang terjadi malah sebaliknya, modal akan amblas. Fakta di lapangan
memang sulit dihindari. Selama 2005, KFC terpaksa menutup sembilan gerainya karena terus merugi. Acuan tersebut, di antaranya dalam menentukan lokasi. Untuk soal yang satu ini, bisa dibilang, manajemen Fastfood Indonesia—yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh Keluarga Gelael dan Kelompok Salim—memiliki kiat tergolong jeli. Biar tak salah memilih, salah satu pertimbangannya adalah ”Tren pertumbuhan populasi dan ekonomi di suatu daerah,” tutur Mario. Sederhananya, jika jumlah penduduk di suatu daerah sudah mencapai minimal 4.000 orang, maka gerai sudah layak dibangun di sana. Banyak cara untuk mengintip potensi suatu daerah. Di antaranya yang berlaku umum adalah pendekatan survei. Untuk itu, ”Kami memiliki tiga unit mobile catering yang bertugas menyurvei sebuah lokasi,” tutur Mario. Tahapan awalnya adalah menentukan lokasi yang diincar. Lalu, tim segera diterjunkan ke sana. Agar hasil survei mendekati gambaran yang akurat, tim ini akan beroperasi hingga selama satu bulan. SETIAP BULAN BERHASIL MENJARING 6,5 JUTA PEMBELI Dengan metode seperti itulah, antara lain, KFC berhasil mengembangkan sayapnya di sejumlah daerah. Tapi, menjadi yang terkuat hanya mengandalkan jaringan pemasaran saja, tentu belum cukup. Guna menjaga loyalitas pelanggan, juga perlu dukungan dari segenap kalangan yang menangani produksi, terutama menyangkut kualitas produk dan rasa. Terutama soal bumbu yang menjadi ciri khasnya, manajemen Fastfood Indonesia akan selalu menggunakan original recipe from Colonel Sanders yang masih dipasok langsung dari prinsipalnya. Lain halnya dengan bahan baku utama, yakni daging ayam. Demi menjaga kualitas, KFC hanya mengandalkan pasokan dari 15 peternak besar seperti Charoen Phokphand dan Sierad. ”Setiap hari kami mendapat pasokan ayam sebanyak 70 ribu ekor untuk semua gerai,” ujar Mario. Lewat strategi itu, tampaknya KFC berhasil melayani selera pasar. Nyatanya pula, nyaris setiap gerainya selalu dipadati pengunjung. Ada yang menaksir, setiap bulan, seluruh gerai waralaba ini berhasil menjaring sekitar 6,5 juta pembeli. Skala nan luar biasa. Kendati begitu, bukan berarti KFC tak menyimpan masalah. Ibarat pepatah kuno ”tak ada gading yang tak retak”, demikian pula yang dialami KFC, tak jarang kepentok oleh berbagai persoalan. Yang terbaru seiring dengan merebaknya isu flu burung di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Selain itu, isu klasik yang hingga saat ini masih menghantui sebagian besar kalangan adalah bahwa produk makanan cepat saji—notabene digolongkan sebagai junk food—merupakan pemicu timbulnya berbagai penyakit. Kekhawatiran itu bukannya tanpa dasar. Menurut Maya Lestari, dokter ahli gizi, tudingan tersebut bisa ada benarnya. Itu karena dalam makanan siap saji, kata Maya, lazim ditemukan bumbu penyedap yang mengandung unsur monosodium glutamat atau vetsin, yang dituding sebagai biang penyebab berbagai macam penyakit, seperti obesitas, diabetes, hipertensi, pengerasan pembuluh darah,
penyakit jantung, stroke, bahkan kanker. Tentu saja, bukan KFC jika harus pasrah dengan semua tadi. Untuk menangkal berbagai tudingan tak sedap itu, manajemen Fastfood Indonesia menggandeng Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian melakukan kampanye bersama agar masyarakat tak perlu takut mengonsumsi daging ayam. Salah satu kampanyenya adalah menetapkan standardisasi cara mengolah masakan. Contohnya, daging ayam harus digoreng dalam minyak bersuhu 171 derajat celsius. Dalilnya, ”Virus flu burung akan mati di atas suhu 80 derajat,” tutur Mario. Untuk semua itu, setiap tahunnya, perusahaan ini menganggarkan biaya promosi sebesar 5% dari total pendapatannya. ”Ternyata promosi ini bisa diterima masyarakat,” tutur Mario. KFC pun jadi berkibar makin kencang. Jika tak ada hambatan, target selama 2007, waralaba ini akan menambah gerainya hingga sebanyak 30 unit. Dus, jika berhasil, gerai KFC pada 2007 akan genap menjadi 300 unit. O
http://www.ciputraentrepreneurship.com/kuliner/7459-aditya-roby-suksesberisnis-tahu-ikan-tuna.html
k. Keunikan dan Ciri Khas Produk Kunci Sukses Berbisnis Tahu Ikan Tuna ala Aditya Roby APR 18 Posted by wirasmada Tahu telah menjadi salah satu makanan favorit masyarakat Indonesia. Meskipun terkesan murah, makanan yang terbuat dari kacang kedelai ini merupakan favorit berbagai kalangan. Bahkan, saat ini, konsumsi tahu terbilang tinggi. Maklum, selain punya kandungan protein nabati yang tinggi, harga tahu juga masih murah. Dan kini, para pengusaha camilan berbahan tahu pun mengemasnya dengan beragam rasa. Di Ponorogo, Jawa Timur, tahu merupakan camilan yang memiliki cita rasa agak beda karena dibuat dengan menambahkan ikan tuna sebagai bahan baku. Adalah Aditya Roby si pemilik Tahu Ikan Tuna ini. Ia menyadari bahwa untuk menjual produk yang lebih menarik di pasaran, ia perlu menambahkan suatu ciri khas sebagai pembeda. “Perbedaan rasa akan membuat tahu saya memiliki ciri khas,” ujarnya. Karena itu, Aditya meramu rasa tahu dengan tambahan ikan tuna dan racikan bumbu serta tepung agar tahunya terasa gurih dan enak. “Para pembeli tahu tidak hanya mengenal tahu buatan saya terasa enak tapi juga sarat akan gizi karena mengandung ikan tuna,” ungkap Aditya. Selama ini, ia tak pernah kesulitan memperoleh stok ikan tuna karena ia bekerja sama dengan temannya untuk memperoleh bahan baku ikan tuna. Meskipun tahu buatan Aditya agak lebih mahal dibandingkan dengan tahu biasa, tapi produknya ini tetap menjadi pilihan karena kandungan gizi yang tinggi. Aditya pun telah menawarkan kemitraan Tahu Ikan Tuna sejak setahun lalu. Kini ia telah memiliki 18 mitra. Para mitra itu tersebar di Pulau Jawa, Jambi dan Kalimantan. Mitra yang bergabung dengan Tahu Ikan Tuna tertarik karena rasa tahu yang berbeda. “Mitra kami yakin mampu bersaing dengan para penjual tahu yang lain,” jelas Aditya. Selain itu, nilai investasi kemitraan ini cukup murah. Aditya mematok nilai investasi Tahu Ikan Tuna sebesar Rp 2,5 juta. Ia tak mengutip biaya royalti pada calon mitra. “Mereka cukup membeli bahan baku ke pusat setiap minggu, dengan nominal sebesar Rp 1,5 juta hingga 2 juta,” ujarnya.
Dari dapurnya, Aditnya mengirimkan bahan baku per paket sebanyak 300 bungkus. Jumlah ini sengaja dibatasi supaya bahan baku tak cepat basi, mengingat Aditya tak memakai pengawet. Calon mitra sendiri harus menyiapkan dana sebesar Rp 5 juta. Mereka akan mendapatkan satu unit gerai atau gerobak, satu set kompor gas, satu tungku, dan tabung gas tiga kilogram. Selain itu, mitranya juga mendapatkan satu set alat penggorengan dan paket promosi usaha. Nilai ini, tentu sudah termasuk bahan baku sebanyak 300 bungkus. Dengan asumsi penjualan Tahu Ikan Tuna sebanyak 50 porsi sehari, dengan harga jual Rp 5.500 hingga Rp 6.000 per porsi, maka mitra bisa meraup omzet Rp 300.000 per hari. Dengan hitungan ini, mitra hanya butuh waktu dua hingga bulan untuk mengembalikan modalnya. Karena tidak mematok royalti kemitraan, mitra hanya perlu membeli bahan baku sesuai dengan kebutuhan mereka. Setiap bulannya, paket pembelian bahan bakunya mulai dari Rp 4 juta sampai Rp 5 juta. Aditya pun memaparkan perhitungan, pengeluaran mitra tiap bulan mencapai Rp 7 juta tiap bulan. Rinciannya, pembelian bahan baku Rp 5 juta, gaji pegawai Rp 1 juta dan sewa tempat Rp 1 juta. Dari sini, mitra bisa memperoleh laba sekitar Rp 2 juta setiap bulan. (*/Kontan.co.id)
http://www.majalahtrust.com/bisnis/strategi/1230.php
l. Bersaing Mendongkrak Pangsa Si Pedas SAMBAL, siapa yang tak suka. Terutama di kalangan penggemarnya, bersantap tanpa diramaikan oleh jenis menu ini, niscaya terasa kurang ”nonjok.” Dan buat mereka, sambal menjadi begitu istimewa karena memiliki aroma dan kombinasi rasa amat khas (pedas, manis, dan asin), yang diyakini mampu menggugah selera makan. Boleh jadi karena itu, tren penggemarnya—yang nyaris tak mengenal batas usia dan sosial—terus berkembang. Dulu, sambal hanya dibuat secara manual, dicobekcobek. Tapi, kini sambal telah menjadi komoditi industri. Skala bisnisnya pun tergolong menjanjikan. Sambal yang diproduksi di banyak pabrik di negeri ini, ada yang menghitung, kini volumenya mencapai lebih dari 120 ribu ton per tahun. Tapi yang lebih mencengangkan lagi adalah nilai fulusnya, setiap tahun perputarannya diperkirakan mencapai Rp 600 miliar. Jadi, jangan heran bila banyak pemodal yang tergiur bermain di sektor ini. Mulai dari kelas home industry hingga pemain kakap sekaliber PT Indofood Sukses Makmur dan Grup ABC. Bahkan, kondisinya pun mengesankan sudah begitu sesak. Dus, bisa dibayangkan, bagaimana panasnya persaingan di antara mereka. Eko Edhi Caroko, Saswitariski, Diah Amelia, dan Tedy Gumilar
Memang, ada berbagai taktik yang dilakukan kalangan produsen sambal agar bisa bertahan melawan persaingan yang begitu ketat. Salah satunya, layaknya strategi bisnis yang belum lama ini dilakukan oleh Indofood. Pada awal April lalu, kelompok usaha ini menggandeng Nestle SA—juga gergasi di industri makanan—berpatungan mendirikan PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia (PT NICI). Perusahaan baru ini juga akan menghasilkan berbagai produk bahan keperluan dapur, termasuk sambal. Bila dua gergasi berjodoh, lazimnya akan melahirkan bayi raksasa yang tangguh. Syukur-syukur bisa berkembang menjadi industri yang terkuat. Tampaknya, ”mimpi” itulah yang diharapkan oleh kedua induk tadi. Atau dengan skenario yang sederhana, paling tidak, ”si anak” diharapkan bisa memperbesar pangsa yang telah dicapai oleh kedua induknya. Pada kenyataannya, memang tidak jauh berbeda. Menurut Eliezer H. Hardjo, Presiden Direktur PT NICI, lahirnya perusahaan patungan ini, antara lain, merupakan strategi untuk mendongkrak pangsa. Peluangnya tampak dari kecenderungan bisnis sambal industri yang terus tumbuh. Hal itu bisa dilihat dari tren selama 2006 yang naik sekitar 13% ketimbang tahun sebelumnya. Bahkan pertumbuhannya tergolong yang terbesar di antara produk makanan lainnya, yang tumbuh hanya sekitar 7%10%.
Makin kinclongnya pasar sambal, tentu tak bisa dilepaskan dari selera kalangan penggemarnya yang juga terus berkembang. Makanya, ”Kami menghadirkan produk sambal dengan enam varian rasa,” kata Eliezer. Dan tekad mendongkrak pangsa tak semata-mata hanya mengandalkan pasar di dalam negeri. Juga tak tertutup kemungkinan merambah hingga ke pasaran ekspor. Untuk yang terakhir itu, peluangnya akan mengandalkan nama besar Nestle yang telah memiliki jaringan pemasaran di sejumlah negara. Sampai di situ semakin jelas, mengapa Indofood tak ragu-ragu bermitra dengan perusahaan asal Swiss itu. Begitu pula buat Nestle, kerja sama itu tentunya akan memberi keuntungan tersendiri. Menurut Michael WO Garrett (Head of Nestle zona Afrika, Timur Tengah, Oceania, dan Asia), strategi kemitraan ini akan membuka kesempatan bagi Nestle untuk memperluas sayap bisnisnya di Indonesia. Perlu diketahui, selama ini Nestle Indonesia hanya berkutat di bisnis susu dan makanan bayi. Usaha patungan itu mulai digagas sejak dua tahun lalu. Dengan modal awal Rp 50 miliar—masing-masing induk perusahaan memberikan kontribusi yang sama— industri ini ditargetkan bisa menghasilkan sekitar 30 ribu ton sambal per tahun. Sekitar 80% akan dialokasikan untuk mengisi kebutuhan di dalam negeri, sisanya (20%) akan diekspor. Sebenarnya pula, strategi yang tengah dikembangkan oleh Indofood itu bukanlah yang pertama. Malah, pesaing terberatnya, Grup ABC, jauh sebelumnya (pada 1999) berhasil menggaet HJ Heinz—salah satu produsen saus asal Amerika— sebagai mitra usaha. Tapi, model kemitraan yang dilakukan Grup ABC agak berbeda —jika tak mau dibilang lebih cerdik. Maklum saja, ”merger” di antara keduanya bisa terjadi setelah HJ Heinz sepakat membeli sekitar 65% saham Grup ABC senilai US$ 70 juta. Sejak itu, kedua perusahaan ini pun melebur menjadi PT Heinz ABC Indonesia. KIAT MENJARING PENGGEMAR FANATIK Dan langkah yang telah dilakukan ABC itu, terbukti tak sia-sia. Nyatanya, setelah bergabung dengan mitra dari Amerika itu, perusahaan ini berhasil mendongkrak pangsa produk sambalnya, bahkan hingga menjadi yang terbesar di negeri ini, yakni mencapai 50%. Perlawanan yang tak kalah sengitnya pun digencarkan kalangan industri kelas menengah—yang notabene populasi pemainnya paling banyak. Dibilang skala menengah karena kapasitas produksi mereka tak lebih dari 3 ton per hari. Tapi, keunikan yang dimiliki kalangan industri di level ini, kebanyakan sudah memiliki penggemar fanatik. Karena hal itu, rupanya, mereka mampu bertahan. Ada berbagai kiat yang dilakukan mereka hingga mampu menjaga loyalitas pasar. Salah satunya dan yang terutama, mereka tergolong piawai meracik cita rasa sambal yang dikembangkan dari tradisi lama. Contoh sederhananya, racikan sambal untuk menyantap masakan yang diolah dari seafood, sejatinya akan dibedakan dengan sambal yang biasa dicampur dengan mi. Taktik serupa itu, antara lain, telah dikembangkan oleh Sambal Cap Dua Belibis sejak 15 tahun lalu. Berkat strategi itu pula, ”Kami tak gentar bersaing dengan
industri kakap,” kata Firman Hidayat, Marketing Manager PT Gunacipta Multi Rasa, produsen Sambal Cap Dua Belibis. Bahkan berdasarkan polling yang dilakukan belum lama ini, dari aspek cita rasa, sambal yang diproduksi oleh perusahaan ini berhasil menyabet rating tertinggi sebagai sambal yang paling disukai. Kendati begitu, bukan berarti sambal merek ini tergolong memiliki pangsa luas. Maklum saja, selain skala produksinya tergolong rendah—diperkirakan tak lebih dari 10 ton per hari—pendistribusiannya juga masih terbatas, baru sekitar Jakarta dan sekitarnya. Tapi yang menarik, kebanyakan konsumennya (60%) adalah kalangan pengelola restoran seafood. Yang tak kalah mengesankannya, juga diperlihatkan oleh Sambal Cap Pohon Cabe. Produk sambal yang diproduksi industri kelas menengah ini, bisa dibilang, sudah kesohor di wilayah sekitar Jakarta-Bandung. Tapi hebatnya, Sambal Pohon Cabe juga telah merambah hingga ke berbagai negara, antara lain Korea Selatan, Thailand, dan Amerika Serikat. Keistimewaannya, di antaranya cita rasa yang alami. Sejatinya, Sambal Pohon Cabe diolah hanya dari cabai dan bawang yang berkualitas. Karena itu, wajar jika Subandy Rachman, pemilik Sambal Pohon Cabe, mengaku setiap bulan bisa memetik pendapatan hingga Rp 100 juta dari usaha yang telah ditekuninya sejak 37 tahun lalu itu. Pedas nan menguntungkan. O http://www.majalahtrust.com/bisnis/strategi/1269.php
m. Mereka yang (Mencoba) Bangkit Kembali Eko Edhi Caroko, Saswitariski, M. Agus Yozami, dan Diah Pitaloka S
TIMBUL, terpuruk, dan bangkit kembali. Begitulah kira-kira ”romantika” yang terjadi dalam dunia usaha. Misalnya saja yang dialami sejumlah merek, setelah dikenal pasar, kecenderungannya akan oleng karena terimbas badai persaingan. Ada yang kokoh, tapi ada pula yang terpuruk. Beberapa memang mencoba bangkit kembali. Salah satu contohnya adalah peristiwa yang sempat menghebohkan yang terjadi pada tahun lalu. Sebut saja di antaranya yang dialami HIT (merek produk obat nyamuk) dan Mizone (merek produk minuman isotonik). Sebelumnya, kedua merek ini sempat popular. Hanya saja, gara-gara ”terpeleset” masalah, peredarannya sempat dihentikan. HIT (khususnya produk cair dan aerosol) terpaksa ditarik oleh produsennya, PT Megasari Makmur, karena ketahuan masih menggunakan diklorvos, yakni pestisida yang telah dilarang penggunaannya oleh WHO sejak 2003. Sedangkan PT Tirta Investama terpaksa menarik Mizone lantaran tidak mencantumkan bahan pengawet natrium benzoat di kemasannya. Tak pelak, akibat peristiwa itu, kedua perusahaan tadi dibuatnya terpuruk. Bahkan mereka harus menanggung kerugian yang cukup besar. Tirta Investama misalnya,
selama penarikan Mizone yang dimulai sejak pertengahan Desember lalu mengalami kerugian sekitar Rp 35 miliar per hari. Dan angka itu hanya dihitung dari angka penjualan saja, belum termasuk ongkos operasional yang terbuang percuma untuk penarikan produk dari pasar. Begitu pula yang dialami Megasari Makmur. Industri ini sempat menghentikan produksi obat nyamuk semprot dan cairnya sebanyak 7,2 juta liter, atau setara dengan Rp 375 miliar. Skala sebesar itu lebih dari 25% dari total perputaran dana di bisnis obat nyamuk yang mencapai Rp 1,5 triliun per tahun. Selain kerugian materi, mereka juga masih harus menanggung kerugian nonmateri yang nilainya sulit diukur, yakni citranya luntur di mata konsumen. Kendati begitu, mereka tak lalu menyerah begitu saja. Kedua perusahaan ini kembali menyusun barisan agar terlepas dari keterpurukan. Seperti yang dilakukan oleh manajemen Megasari Makmur misalnya, mereka tak mau menunggu lama. Beberapa bulan lalu perusahaan ini kembali memasarkan HIT cair dengan ”kemasan” baru tanpa diklorvos. Peluncuran produk HIT dengan formula yang lebih aman itu juga menandai bahwa produsennya siap bertarung kembali di kancah persaingan. Untuk mengoreksi citra yang sempat ternoda, perusahaan ini gencar berkampanye bahwa obat nyamuk HIT kali ini telah menggunakan formula baru yang telah disempurnakan. Formula ini telah diuji dan mendapat persetujuan dari pemerintah. ”Sekarang semua produk HIT telah lulus proses pengujian dan mendapatkan izin dari pemerintah,” ungkap Fenny Alimin, General Manager PT Megasari Makmur. Strategi lainnya, produk tersebut tetap diposisikan sebagai produk pembasmi serangga berkualitas dengan harga terjangkau. Dengan modal itu, ”Kini kami siap merebut kembali pangsa pasar yang dulu pernah mencapai 35%,” tambah Fenny. Upaya yang hampir serupa pun dilakukan Tirta Investama. Pasca-“musibah” yang lalu, menurut Ratna Indrayani, Corporate Communication Director Tirta Investama, pihaknya segera mengambil langkah-langkah penyelamatan. Di antaranya memproduksi Mizone baru dengan kemasan yang lebih sempurna. Dalam kemasan baru ini, bahan pengawet yang digunakannya dicantumkan lebih rinci. Dan agar segera bisa diserap pasar, Tirta Investama tak ragu-ragu berkampanye lewat berbagai media. Lebih dari itu, sejak bulan lalu perusahaan ini pun memasarkan varian baru, yakni Mizone (rasa) lyche lemon, melengkapi varian sebelumnya (orange lime dan passion fruit). Selain sebagai langkah diversifikasi, strategi ini perlu ditempuh juga untuk menyegarkan pasar. Paling tidak, pasar jadi memiliki pilihan yang lebih beragam. Intinya, ”Strategi ini dilakukan agar Mizone makin diingat oleh konsumen,” kata Ratna. MEMULIHKAN CITRA LEWAT PRESIDEN Nah, persoalannya sekarang, dengan cara-cara tersebut mereka berhasil mengangkat kembali citra produknya dari keterpurukan? Berdasarkan perhitungan di atas kertas, menurut sejumlah pakar pemasaran, langkah yang tengah dilakukan kedua perusahaan itu bisa dibilang sudah cukup efektif. Dalilnya, ”Karena mereka cepat mengakui kesalahan, yakni segera melakukan perubahan terhadap
produknya,” ujar Himawan Wijanarko, pengamat pemasaran dari The Jakarta Consulting Group. Hanya saja masalahnya, cantik di atas kertas belum menjadi jaminan juga efektif di lapangan. Pasalnya, cepat atau lambatnya usaha pemulihan citra sebuah produk hingga bisa diterima pasar, bergantung dari faktor yang lain. Di antaranya, seberapa besar intensitas si produsen dalam mengomunikasikan kepada konsumen bahwa produknya itu kini sudah lebih baik. Selain itu, masih tergantung dari jenis produk itu sendiri. Bila berkaitan dengan keselamatan, kesehatan, dan makanan, ”Kecenderungannya akan lebih sulit,” tambah Himawan. Sebenarnya pula, masalah yang dialami HIT dan Mizone, menurut Yuswohady, pengamat marketing dari MarkPlus Institute of Marketing, masih tergolong ringan. Itu jika dibandingkan dengan kasus yang dialami oleh Dancow (produk susu bubuk) dan Ajinomoto (penyedap masakan) yang meletup di awal milenium kedua yang lalu. Malapetaka yang dialami Dancow dan Ajinomoto bisa dibilang lebih berat karena diisukan ”tercemar” bahan baku yang mengandung lemak babi. Pasalnya, mayoritas pasar di negeri ini adalah penduduk beragama Islam, yang notabene mengharamkan segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis hewan itu. Meski begitu, Nestle (produsen Dancow) dan Ajinomoto Indonesia (produsen Ajinomoto) tak serta merta tinggal diam. Untuk memulihkan citra produknya, mereka melakukan berbagai langkah. Nestle misalnya, segera mengundang sejumlah tokoh agama, di antaranya para kiai dari berbagai pondok pesantren, untuk melihat proses produksi Dancow. Kiat itu dilakukan dengan tujuan untuk meyakinkan pasar bahwa tidak benar Dancow mengandung lemak babi. Hal serupa juga dilakukan oleh Ajinomoto. Bahkan tak tanggung-tanggung, mereka menggunakan Gus Dur—yang kala itu menjabat sebagai Presiden—untuk memberikan pernyataan bawa Ajinomoto tergolong produk halal. Dengan strategi itu, lumayan ada hasilnya. Dancow misalnya, bisa dibilang berhasil merebut kembali citranya. Kabarnya, saat ini produk susu bubuk itu telah berhasil ke puncak kejayaannya, yakni menguasai pangsa pasar terbesar di negeri ini. Sebaliknya dengan Ajinomoto, yang sempat merajai pasar produk penyedap di negeri ini. Kendati saat ni masih beredar di pasaran, tapi pamornya masih kalah jauh ketimbang produk kompetitornya. Kabarnya, yang menguasai pangsa pasar terbesar produk penyedap masakan di Tanah Air saat ini adalah produk buatan Indofood. Nah, agar tak terpuruk, seyogianya kalangan produsen tetap waspada terhadap ”serangan” yang berpotensi merusak citra produknya. Masalahnya, jika hal buruk itu terjadi jua, untuk memulihkannya bukanlah pekerjaan yang mudah. Toh, hakikinya mendaki jauh lebih sulit ketimbang jatuh.
http://www.majalahtrust.com/bisnis/strategi/1465.php
n.
Menerawang Masa Depan
Nurul Kolbi dan M. Agus Yozami
DI MATA kalangan penyuplai, PT Davomas Abadi dikenal sebagai perusahaan menyenangkan. Produsen kakao lemak dan kakao bubuk terbesar di Indonesia ini punya track record baik dalam memperlakukan para mitra bisnisnya, terutama para pemasok bahan baku. ”Mereka tidak pernah curang. Kalau barangnya bagus, ya mereka bilang bagus,” kata Halim Abdul Razak. Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) itu tak sedang berbasa-basi. Ia memuji karena telah merasakan langsung kebaikan mitra dagangnya itu. Maklum, Halim memang salah seorang mitra pemasok Davomas. ”Setiap tahunnya kami memasok sekitar 200 ton biji kakao,” katanya. Untuk menghindarkan prasangka buruk, tambah Halim, dalam melakukan penilaian barang, mereka selalu menyerahkannya ke pihak ketiga. Selain profesional, lanjut Halim, Davomas juga bersikap fair dalam pembayaran. ”Hari ini saya kirim barang, tiga hari kemudian pembayarannya sudah masuk rekening,” katanya, seraya membandingkan dengan perusahaan lain yang pelunasannya bisa membutuhkan waktu paling cepat 10 hari. Dan tampaknya, dalam waktu dekat, gelar dari kalangan pemasok mungkin segera bertambah satu: Davomas sebagai perusahaan visioner. Julukan ini terkait dengan rencana investasi mereka senilai US$ 125 juta. Dana tersebut, di antaranya, akan dialokasikan untuk pembelian mesin pembuat produk olahan baru. Memang, belum pasti kapan persisnya ide itu akan dieksekusi. Dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) yang digelar medio Agustus lalu, manajemen hanya memberi ancar-ancar bahwa mesin baru itu baru akan beroperasi sekitar dua sampai tiga tahun mendatang. Mesin baru ini nantinya memproduksi kakao bubuk alkalize dan kakao lemak deodorize, tak lain serbuk cokelat dengan kualitas premium. Jika rencana itu benar terealisasi, niscaya Davomas akan mampu mendongkrak kapasitas produksinya hingga sebesar 50 ribu ton per tahun. Sungguh, target pencapaian tergolong luar biasa. Berdasarkan catatan yang ada sampai Mei lalu, kapasitas produksi perusahaan ini baru mencapai 30 ribu ton. ”Kalau kami bisa memfinalisasi pendanaan pada Agustus ini, maka pembangunannya akan dilakukan dua bulan setelah itu,” kata Corporate Secretary Davomas Abadi Rully Junaidi. Seiring dengan itu, margin perusahaan diharapkan akan meningkat hingga sebesar 30%-50% dari total dana yang diinvestasikan. Persoalannya sekarang, dari mana sumber pembiayaannya? Pihak perseroan mengaku tengah menjajaki dari pihak ketiga. Harapannya, dari sana, mereka bisa memperoleh dukungan pembiayaan
sekitar 30%-70% dari total investasi. Sisanya, baru ditutup dari internal kas perusahaan. Hanya saja, langkah bisnis yang tengah dirintis Davomas itu, bukannya tak berisiko. Persoalannya, mengingat pasar kakao di dalam negeri yang masih belum pulih. Pemicunya adalah peraturan pemerintah yang memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% di sektor perniagaan ini tempo lalu. Akibatnya, produk buatan dalam negeri menjadi tak kompetitif di pasar dunia. Hal itu berdampak terhadap pendapatan Davomas selama tahun lalu yang cenderung menurun. THE SHOW MUST GO ON Akhirnya pemerintah mencabut kebijakan tersebut pada awal tahun ini. Kendati penentuan harga sudah dikembalikan ke mekanisme pasar, kata Rully, imbasnya masih dirasakan sampai sekarang. Artinya, tak tertutup kemungkinan, kondisi pasar yang belum membaik itu akan menjadi ganjalan terlaksananya rencana ekspansi Davomas? Tampaknya the show must go on. ”Kami sedang melihat mana yang terbaik untuk mendapatkan pendanaan dengan cara yang paling murah,” kata Rully. Peluang untuk itu bukannya tak ada. Nyatanya, sudah ada beberapa bank yang menawarkan pinjaman. Rencana pembelian mesin tadi, pun baru langkah permulaan. Sebab, target besar dari ekspansi itu adalah memiliki perkebunan kakao dan masuk ke usaha makanan jadi. Perseroan telah melakukan studi pengembangan usaha ini sejak 1997 hingga 1998. Boleh jadi juga, dorongannya dari kondisi pasar saat ini. Terutama di pasaran dunia, kakao merupakan produk yang tengah naik daun. Permintaannya selalu bergerak lebih cepat dari suplai. Saat ini permintaan selalu tumbuh sebesar 3,6% per tahun, sementara pasokan hanya naik sekitar 2,5%. Jika situasi ini berlangsung konstan, maka dalam kurun 5 hingga 10 tahun mendatang, pasokan dunia akan minus sebesar 500.000-1 juta ton. Dengan rata-rata produksi 550 ribu ton per tahun, saat ini Indonesia merupakan produsen kakao ketiga terbesar di dunia. Hanya kalah dari Pantai Gading (1,3 juta ton) dan Ghana (750 ribu ton). Dari total produksi itu, sebanyak 400 ribu ton dilepas ke pasar ekspor. Tahun lalu, devisa yang dijaring dari sektor perniagaan ini sebesar US$ 800 juta. Jika program pemberdayaan petani berjalan baik, diharapkan pada tahun 2010, angka tersebut dapat digenjot menjadi US$ 1 miliar. Meski menjadi penghasil kakao terbesar ketiga di dunia, uniknya, Indonesia juga dikenal sebagai negara pengimpor. Per tahunnya, negeri ini mengimpor sekitar 30.000 ton biji kakao yang mempunyai karakteristik tersendiri untuk menciptakan aroma baru. Ada beberapa perusahaan yang mengimpor biji kakao, antara lain, PT General Food dan PT Bumi Tangerang. Peta persaingan bisnis kakao dunia, kata Halim, tak susah untuk diubah. Bahkan, tanpa perlu menambah areal perkebunan baru, bukan sesuatu yang sulit bagi Indonesia untuk menyamai Ghana. Menurut kajian asosiasi yang diketuainya, persoalan mendasar industri kakao di dalam negeri ada di kalangan petani. Mereka
kurang produktif. Produktivitas lahan mereka hanya 0,6-0,7 ton per hektare per tahun. Masih di bawah standar. Cara bertanam yang baik, sebuah lahan bisa digenjot produktivitasnya hingga 2-2,5 ton per hektare per tahun. Halim sudah mampu membuktikan itu. Dari 2.700 hektare kebun kakao percontohan Askindo, rata-rata petani binaannya berhasil memanen 1,8 hingga 3 ton per tahun per hektare. ”Kalau kita sepakat membenahi persoalan yang ada di kalangan petani, tak sampai dua tahun kita bisa menembus 650 ribu ton per tahun. Dalam tempo empat hingga lima tahun, bukan sesuatu yang berlebihan jika kita menargetkan menjadi produsen kakao terbesar di dunia,” ujar Halim. Bagi Halim, di situlah letak keunggulan yang tengah dirintis Davomas. Perusahaan ini, katanya, tengah membuat lompatan besar. Sektor ini memang masih tertekan oleh persoalan pasokan bahan baku dan tingginya biaya produksi. Tapi dalam dua tahun ke depan, diperkirakan akan terjadi booming permintaan kakao dunia. Artinya, strategi pengembangan yang tengah dilakukan perusahaan itu, bisa jadi, merupakan keputusan yang sangat tepat.