1. Ketidak-adilan dalam pengadaan dan pemanfaatan tanah: pengembangan industri-pariwisata dan peminggiran masyarakat kampung kota di Bandung. Tristam P. Moeliono 2. Abstract Paper ini menyoal ketidakadilan yang muncul dari kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang kota. Ketidakadilan demikian berawal dari ikhtiar pemerintah dan swasta untuk memanfaatkan lahan perkotaan untuk membangun hotel bintang lima sebagai bagian dari pengembangan pariwisata Kota Bandung. Lahan yang sama, dari dokumen perencaan tata ruang yang ada (di tingkat propinsi) dikualifikasikan sebagai kawasan lindung (bagian dari Kawasan Bandung Utara dan yang memberikan perlindungan bagi kawasan di bawahnya). Di sekitar lahan yang sama tumbuh kembang masyarakat kampung kota, Sangian santen. Dalam sengketa yang kemudian muncul tentang bagaimana seharusnya lahan perkotaan yang terbatas dimanfaatkan mencuat persoalan bagaimana pemerintah harus menyikapi perbedaan paham tentang kemanfaatan pembangunan hotel di kawasan tersebut bagi masyarakat setempat maupun masyarakat umumnya. Terkait terkelindan dengan itu ialah persoalan seberapa jauh hak masyarakat kampung kota dan perseorangan lainnya sebagai tetangga dan juga kepentingan masyarakat kota sebagai keseluruhan (dirumuskan sebagai kepentingan publik) berpengaruh terhadap kebijakan pemanfaatan lahan. Ini juga menyangkut persoalan yang lebih besar seberapa jauhkah pemerintah kota Bandung berhasil mengembangkan kota yang inklusif, dalam arti membuka kesempatan penuh bagi warga kota untuk berperan serta dalam pengembangan kebijakan pemanfaatan lahan dan menarik manfaat dari kebijakan yang ada. Kajian akan difokuskan pada upaya-upaya apa yang terbuka bagi masyarakat kampung kota untuk mempertahankan lahan atau keberlanjutan pemukiman mereka berhadapan dengan kebijakan pengembangan kota sebagaimana terwujud dalam izinizin pembangunan (berkenaan dengan proses pengadaan tanah serta kemudian pemanfaatannya). Ditenggarai bahwa proses hukum yang mengatur pengadaan dan pemanfaatan tanah (termasuk ke dalamnya proses perizinan) secara jelas mengandung bias pembangunan dan bias perkotaan. Kedua bias tersebut menjadi titik tolak dari mana ketidakadilan akibat peminggiran masyarakat kampung kota dari perumusan dan implementasi kebijakan pembangunan perkotaan dapat dimaknai. Namun demikian dalam kenyataan ketidak-adilan yang nyata muncul tidak ternyatakan dengan tegas oleh para pihak yang bersengketa, yaitu pada satu pihak masyarakat kampung kota, lembaga-swadaya masyarakat yang peduli lingkungan dan pada lain pihak investor (pemegang izin) dan pemerintah (dinas-dinas pemberi izin). Kesulitan merumuskan apa yang sebenarnya menjadi persoalan (grievances) dalam bahasa hukum menjadi satu kendala bagi masyarakat kampung kota untuk menuntut keadilan dan memilih forum yang terbaik untuk menyelesaikan sengketa tentang pemfaatan tanah. Kendala kedua terkait dengan terus berkembang dan berubahnya persoalan yang menyambangi mereka. Mulai dari sekadar urusan bertetangga dengan pemborong bangunan, perolehan izin secara tidak sah, pelanggaran tataruang, sampai dengan yang paling abstrak keterpinggiran mereka sebagai warga kota.
1
Satu temuan utama ialah bahwa kegiatan pembangunan (pengadaan pemanfaatan tanah demi pembangunan hotel) di sekitar pemukiman warga kampung kota, berpotensi menimbulkan sengketa. Pertanyaan yang selalu muncul dari mereka, terutama masyarakat kampung kota, dengan exit dan voice option yang sangat terbatas, sekalipun tidak pernah diungkap secara tegas, ialah siapa sebenarnya hendak diuntugkan dengan kebijakan pembangunan kota dan mengapa mereka terus diminta untuk berkorban? Ketidakadilan di sini dimaknai dalam kaitan dengan kecenderungan kebijakan pemanfaatan tanah yang cenderung hanya menguntungkan pengusaha-pemerintah dan sebaliknya tidak menghasilkan keuntungan bagi masyarakat kampung kota disekitarnya. Sebaliknya ditenggarai bahwa proyek-proyek pembangunan demikian justru merupakan faktor penyebab utama dari proses panjang pemiskinan masyarakat kampung kota.
2
3. Pengantar Tulisan ini bermaksud mengangkat dan menganalisis ragam bentuk ketidakadilan yang muncul (atau justru yang tidak muncul ke permukaan) yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan pemanfaatan ruang dan peluang apa yang dimiliki masyarakat kampung kota untuk melawan ketidakadilan demikian. Satu kasus utama yang menjadi fokus dari kajian ini ialah konflik dan sengketa antara masyarakat kampung kota, Sangian Santen (Kelurahan Ciumbuleuit; Kecamatan Cidadap) di pinggiran kota Bandung, pada satu pihak, dengan pemilik dan pengembang hotel, Henry Palace, dan pemerintah kota Bandung (dan dinas-dinas pemberi izin), pada lain pihak. Satu persoalan penting yang hendak dikaji berkenaan dengan keberpihakan pemerintah kota Bandung yang seharusnya berperan sebagai pihak yang mewakili kepentingan bersama masyarakat kota dan membuka diri bagi peran serta aktif seluruh lapisan masyarakat kota tanpa kecuali.1 Apalagi ketika desentralisasi dicanangkan tahun 1999, harapan yang muncul akan terbentuk dan bekerjanya pemerintahan local (tingkat kota/kabupaten) yang demokratis dan partisipatif.2 Pemerintah dengan demikian diharapkan mampu menyuarakan aspirasi masyarakat lokal (local voice) dan merumuskannya ke dalam kebijakan dan peraturan yang dilandasi kepentingan bersama, termasuk cara bagaimana lahan perkotaan dapat dimanfaatkan dengan memajukan kepentingan umum. Di sini untuk sementara kepentingan umum dikontraskan dengan kepentingan komersiil. Keberpihakan pemerintah pada kepentingan umum adalah janji yang termuat tidak saja dalam peraturan perundang-undangan tingkat nasional, tetapi juga di dalam peraturan 1 Peran serta demikian dapat dikaji dengan menggunakan tangga/tingkatan partisipasi (ladder of citizen participation). Lihat lebih lanjut B. Setiawan, 2005. Hak Masyarakat dalam Proses Penyusunan dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang, Forum Perencanaan Pembangunan, Edisi Khusus, January 2005. 2 Lihat Pilliang. Indra J. et al., (eds.) 2003, Otonomi Daerah; Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa. Tujuan umum dari gerakan desentralisasi, namun demikian harus ditelaah terpisah dari upaya hukum dan non-hukum apa yang diberdayakan untuk mencapai atau menghalangi tujuan tersebut.
3
daerah.3 Keberpihakan inilah yang akan diuji di sini karena persoalan utama, serupa yang muncul dalam konflik atau sengketa yang muncul dari pengadaan tanah demi kepentingan umum, berkenaan tidak saja dengan kepemilikan lahan (siapa yang akan memiliki dan menguasai lahan), tapi lebih bagaimana lahan, khususnya di perkotaan yang memang sangat terbatas, dimanfaatkan dan siapakah yang akan mendapat keuntungan paling besar darinya. Ini kerap kali merupakan persoalan keadilan atau ketidakadilan yang luput dari perhatian ketika perhatian terutama hanya diberikan pada kelayakan kompensasi yang seharusnya diterima pemilik tanah atau seberapa besarnya manfaat pembangunan bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional. Kasus di atas tentang sengketa pemanfaatan lahan dan ketidakadilan yang muncul darinya akan ditelisik dari sudut pandang bahwa kebijakan resmi pemerintah berkenaan dengan pemanfaatan lahan perkotaan serta-merta akan bersentuhan langsung dengan bagaimana lahan perkotaan dimanfaatkan dan siapa yang berhak menikmati hasil akhir dari kegiatan pembangunan fisik perkotaan. Persoalan mendasar yang tersembunyi berkenaan dengan seberapa jauh pembangunan kota dilakukan dengan berkeadilan dan berkelanjutan.
Dalam pandangan Ergüden4,
persoalannya menyangkut tingkat inklusivitas suatu kota yang dapat diukur dengan menggunakan dua paramater, yaitu dengan menguji: “how and to what extent citizens have access to potential benefits of the city, such as employment opportuninities, housing, infrastructure and services such as education, health and cultural events”. Kedua adalah: “the level of participation in the decision making process and activities taking place in the city.” 3 Lihat Perda Kota Bandung no. 02/2001 tentang Kewenangan Daerah Kota Bandung sebagai Daerah Otonom. Tentang upaya mewujudkan pemerintahan yang partisipatif dan demokratif secara umum baca lebih lanjut Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan Yang Baik/Bapenas, 2005, Tata Kepemerintahan yang Baik, Jakarta: Bappenas. 4 Persoalan ini dengan gamblang diungkap oleh Ergüden. Selman (2004), Cities for All, Habitat Debate 4 (4) www.unhabitat.org diunduh 11/3/2004.
4
Kedua parameter di atas – yang akan secara umum diuji dalam paper ini – juga berkait dengan persoalan apa yang dapat dilakukan masyarakat pinggiran kota, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok untuk melawan kebijakan pemanfaatan tanah yang dirasakan merugikan atau menimbulkan ketidakadilan? Persoalan ini, dari sudut pandang lain, berkaitan dengan exit and voice option5 yang dimiliki masyarakat kampung kota. Seperti diindikasikan di atas harus dicermati pula bahwa banyak konflik pertanahan, seperti juga terjadi dalam kasus yang akan diangkat, bukan semata soal sengketa kepemilikan, tumpang tindih atau tidak jelasnya batas-batas tanah, konflik keluarga akibat pembagian harta-warisan, ataupun ketidak-jelasan status tanah karena mal-administrasi pertanahan. Dalam rangka menempatkan konflik pertanahan dalam konteks lebih luas, sangatlah berguna skema yang dikembangkan oleh Wehrmann untuk memilah-milah konflik dan sengketa pertanahan.6 Skema dan pemilahan yang ia lakukan memudahkan kita untuk memahami mengapa sejumlah konflik dan/atau sengketa pertanahan (dalam arti luas) tidak dapat atau begitu sulit untuk diselesaikan. Satu dan lain karena bukan hanya soal kepemilikan, namun terkait pada kebijakan, struktur hukum dan pemerintahan. Seorang pengamat menyatakan berkaitan dengan ini bahwa7: “land disputes undermine efforts to establish civil peace and good governance and (karena itu) are incapable of being addressed in the existing policy and legal environment.”
5 Konsep (exit and voice) ini bagian dari model exit and voice-loyalty model of dissatisfaction yang dikembangkan Hirschmann tahun 1970. Menurut Hirschmann orang yang tidak puas akan exit (meninggalkan relasi yang tidak memuaskan atau berhenti menggunakan jasa yang ditawarkan instansi-organisasi) atau voice (mencoba untuk mengubah pola relasi dari dalam dengan menyuarakan ‘grievances’ pada pihak yang tepat atau kepada siapapun yang mau mendengar). Pilihan untuk exit atau voice dalam banyak hal tergantung pada loyalitas warga pada entitas (masyarakat atau pemerintah local). Baca Hirschman, Albert O. 1970 Exit, Voice and Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations, and States, Cambridge: Harvard University Press. 6 Wehrmann. Babette, (2008) ‘Land Conflicts: A Practical guide to dealing with land disputes’, GTZ Land Management: Eschborn, 14-20. 7 Wallace. Jude. 2008. Indonesian land law and administration. In Tim Lindsey (ed.), Pp. 191-223. Indonesia: Law and Society, 2nd edition, The Federation Press.
5
Tentunya sudut pandang demikian yang mengesampingkan sepenuhnya sistem hukum yang berlaku tidak dapat sepenuhnya diterima. Namun demikian, jelas bahwa hubungan kekuasaan yang asimetris dan tertutup bagi partisipasi publik berpengaruh terhadap posisi hukum dan pilihan-pilihan yang terbuka dan dapat diambil masyarakat kampung kota yang mengalami ketidak-adilan.8 Beranjak dari itu, menurut hemat penulis itu – dan pandangan ini melandasi kajian di bawah – akar masalah harus dicari dalam cara bagaimana Negara (atau secara konkrit pemerintah kota) mengelola (dalam arti merencanakan, memanfaatkan dan mengawasi) sumberdaya agraria untuk memajukan kepentingan bersama masyarakat. Ini pula yang menjadi titik tolak pandangan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto tatkala menyatakan bahwa:9 “Perencanaan dan pembangunan perkotaan itu sekarang bertumpu pada kapasitas pemerintah daerah. Perencanaan ditekankan untuk pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan, yang diharapkan mampu merealisasikan agenda penting habitat Indonesia pada 2015, meraih 350 kota tanpa kekumuhan.” Ini juga dikatakan dengan memperhatikan bahwa:10 “Tanpa tata pemerintahan yang baik, tanpa pelibatan aktif masyarakat miskin perkotaan dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan nasib mereka, dan tanpa penanggulangan korupsi, perencanaan kota di segenap tanah pelosok Tanah Air tidak akan banyak manfaatnya.”
Maka itu, kesemua di atas seharusnya merefleksikan pada satu sisi tanggungjawab dan keberpihakan (normative) Negara cq Pemerintah Kota terhadap kelompok rentan (yang dengan mudah kehilangan access terhadap sumberdaya akibat proses social politik yang tidak sepenuhnya dapat mereka kendalikan) dan, pada lain pihak, kebutuhan konkrit Negara (atau pemerintah) untuk mendayagunakan 8
Bdgkan juga dengan pendekatan tulisan John F. McCarthy, “Sold down the river: Renegotiating public power over nature in Central Kalimantan, dalam Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds), 2007, Renegotiating Boundaries: local politics in post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. 9 2009, Hari Habitat Dunia, Kawasan Kumuh Kota 54.000 hektar, Kompas, October 6. 10 Eko Budihardjo, 2009, Menyelamatkan Kota, Kompas, October 6.
6
sumberdaya alam untuk kepentingan pembangunan dengan memberdayakan peran swasta.11
3.1.Ketidakadilan dalam Pembangunan dan Pemanfaatan Tanah Bagaimana itu semua secara konkrit terkait dengan kasus yang akan ditelaah akan diuraikan di bawah ini.
Untuk itu, dirasa perlu untuk memberikan suatu
gambaran umum tentang masyarakat kampung Sangiang Santen dan ketidakadilan yang menimpa mereka baik yang muncul kasat mata maupun sebagaimana dirasakan dan diungkapkan mereka sendiri. Ini akan menjadi titik tolak untuk merumuskan masalah utama yang akan menjadi fokus kajian paper ini. 3.1.1. Persentuhan masyarakat kampung kota dengan kegiatan pembangunan Ihwalnya ialah bahwa kegiatan investasi demi pembangunan pariwisata (pembangunan hotel bintang lima) yang menyambangi kehidupan keseharian penduduk kampung kota (Sangiang Santen) ditenggarai memunculkan sejumlah gangguan konkrit terhadap ketenangan dan kenyamanan kehidupan warga. Di mulai dari gangguan konkrit muncul kesadaran bahwa kebijakan tentang pemanfaatan tanah yang dilandasi gagasan tentang Bandung sebagai kota jasa dan pariwisata akan berdampak jauh terhadap lingkungan dan kehidupan sosial warga masyarakat. Pembangunan hotel di lingkungan masyarakat tidak serta merta dianggap bermanfaat bahwa ekonomi local. Sebaliknya, rencana pemanfaatan lahan dan realisasinya akan mengubah bentang alam dan mengurangi kenyamanan atas lingkungan yang bersih dan tenang. Beberapa warga mulai berpikir lebih jauh dan mempertanyakan apa untungnya bertetangga dengan hotel. Bukanlah lingkungan sekitar bagi hotel hanya 11
Ini sejalan dengan pandangan Irwan Abdullah and Abdul Saleh dalam Edi. Ashari Cahyo. 2005, ‘Kisruh Air, Kemelut Republik’, Majalah Berita Mahkamah Konstitusi Edisi Khusus 2 (11). Mereka antara lain menyatakan bahwa sumberdaya alam secara konstitutif memang dikuasai Negara, namun Negara yang sama wajib menyediakan mekanisme yang tepat untuk menjamin masyarakat tidak kehilangan hak dan kesejahteraan pada saat formasi Negara berlangsung dalam segala bentuknya.
7
berguna sebagai tempat pembuangan limbah dan hanya segelintir orang yang akan menikmati keuntungan ekonomi dari peluang ekonomi yang dibangkitkan hotel? Kesemua itu kemudian bermuara menjadi kesadaran bahwa ada sesuatu yang salah dengan keputusan pemerintah yang membolehkan dibangunnya hotel di kawasan mereka. Disebutkan bahwa ada sejumlah hak dari warga yang dilanggar, terutama hak untuk turut menentukan dan menjaga lingkungan hunian yang bersih dan nyaman.
Juga dipertanyakan keabsahan keputusan sepihak pemerintah atas
permohonan investor untuk menetapkan peruntukan tanah tanpa melibatkan dan bertanya terlebih dahulu kepada tetangga dan masyarakat sekitar. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa ketidakadilan muncul dan dirasakan karena warga masyarakat kampung kota Sangian Santen, sebagai tetangga yang akan langsung terkena dampak pembangunan hotel, tidak cukup dilibatkan dan diperhatikan suaranya. Pada tingkat yang lebih abstrak sebenarnya yang dipersoalkan adalah aspek keadilan dari kegiatan pembangunan yang terwujud dalam kegiatan pemanfaatan ruang perkotaan.
Dalam bahasa lebih sederhana, untuk siapa sebenarnya
pembangunan perkotaan dilaksanakan?
Terkait dengan ini persoalan bagaimana
pemerintah mempertimbangkan untung rugi suatu keputusan, tidak saja dari sudut pandang kemanfaatan ekonomi tapi terutama dari dampak sosial dan lingkungannya. 3.1.2. Profil Masyarakat Kampung Sangian Santen. Kampung Sangian Santen, serupa dengan kampung kota lainnya yang banyak ditemukan di kota-kota besar Indonesia, adalah masyarakat perkampungan yang berada dipinggiran kota dan secara perlahan terserap ke dalam kehidupan perkotaan. Kampung Sangiang Santen, yang secara administratif dikelompokan ke dalam Rukun Warga 05 kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, terbagi ke dalam 5 rukun tetangga (RT). Setiap RT diperkirakan mencakup 100-150 kepala keluarga.
8
Perkiraaan ini dibuat karena data resmi yang ditemukan di kelurahan ternyata tidak akurat. Terdata hanya jumlah penduduk yang memiliki hak pilih untuk kepentingan pemilihan umum. Namun dari apa yang ada juga dapat diperkirakan bahwa penduduk kampung Sangian Santen mencapai 250-300 jiwa (termasuk ke dalamnya anak-anak di bawah umur yang belum memiliki kartu tanda penduduk). Tapi pembagian secara administratif ini agak mengecoh karena dalam pembicaraan sehari-hari, mereka yang menempati rumah-rumah besar (gedongan) di pinggir jalan besar atau satu-dua menjadi enclave kecil ditengah hunian masyarakat kampung kota Sangiang Santen tidak seketika dianggap tercakup dan menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Secara faktual, kumpulan rumah-rumah kecil yang tersembunyi di balik dan di sekeliling rumah-rumah gedong itulah yang disebut dengan kampung Sangiang Santen. Kampung ini menempati lembah-lembah terjal dan perbukitan. Hanya ada sedikit kawasan landai dan itupun dipinggiran anak sungai Cikapundung. Lokasi terbaik ini, RT 04, ditempati banyak mandor dan buruh bangunan. Ini tercermin juga dari kemampuan mereka membangun rumah yang lebih kokoh dan permanen dibanding dengan rumah-rumah lain di kawasan itu. Di pinggir salah satu akses jalan masuk perkampungan ini dengan jalan besar terletak lokasi proyek pembangunan hotel. RT 05 terletak paling dekat dengan bangunan hotel. Sedangkan RT lainnya (01 sd. 04) letaknya tersebar semakin jauh dari lokasi proyek. Dari data resmi yang dikeluarkan kelurahan Ciumbuleuit12 tampak bahwa penduduk di Kecamatan Cidadap (kurang lebih 2000 jiwa), sebagian besar (75-80%) pernah mengenyam pendidikan dasar. Data ini menunjukkan bahwa mereka pernah belajar bahasa Indonesia di sekolah. Namun lulus dari sekolah dasar tidak menjamin 12 Daftar Rekapitulasi Jumlah Penduduk Kota Bandung berdasarkan pendidikan dan mata pencaharian, Desember 2003. Namun anehnya tanggal tandatangan lurah adalah 6 Januari 2009.
9
bahwa mereka bisa mencari pekerjaan kantoran atau menjadi pegawai negeri. Ini tampak dari kenyataan bahwa mayoritas dari populasi penduduk laki-laki (51%) bekerja sebagai buruh bangunan. Hanya sedikit dari mereka yang masih bekerja di bidang pertanian. Kenyataan ini juga disebabkan semakin berkurangnya lahan sawah atau huma di sekitar kampung Sangiang Santen. Hanya tersisa sedikit petak sawah di daerah aliran sungai Cikapundung dan huma (ladang kering) di sejumlah lerenglereng di belakang kampung tersebut. Di beberapa rumah, namun demikian, masih dapat kita temukan warga yang memelihara domba.
Kegiatan yang masih
menguntungkan karena setidak-tidaknya setiap tahun secara rutin akan ada permintaan akan domba untuk dikorbankan pada saat iedul adha (hari raya korban). Sebagian dari pemuda tanggung (yang belum menikah dan belum punya tanggungan tapi sudah putus sekolah) di Sangiang Santen memilih menjadi tukang ojek atau bekerja serabutan. Hanya sedikit dari mereka yang berhasil menjadi wiraswasta. Satu yang berhasil membuka usaha menjahit di wilayah kampung lain mengeluhkan keengganan para pemuda tanggung pengangguran untuk bekerja sungguh-sungguh. Di beberapa di Sangian Santen juga dapat kita temukan warungwarung kecil yang menjual barang kebutuhan sehari-hari. Menunggu dan mengelola warung namun demikian adalah pekerjaan ibu-ibu rumah tangga. Beranjak dari data kependudukan yang ada dan dari pengamatan lapanan, maka kampung Sangian Santen dapat digolongkan sebagai pemukiman dengan tingkat kepadatan tinggi. Karena lahan disekitar dan disekeliling kampung tidak lagi dapat mereka bangun, seringkali rumah-rumah dibangun dengan pola tumbuh kembang. Alhasil seringkali satu rumah dengan rumah lain saling berhimpitan atau hanya dibatasi oleh gang sempit yang berkelok-kelok. Dari kacamata orang luar, jaringan jalan dan gang yang berliku-liku serta bangunan yang ada terkesan kacau-
10
balau dan tidak beraturan. Setiap lahan sempit yang tersedia, termasuk lereng bukit yang sebenarnya rawan longsor dimanfaatkan untuk membangun rumah dan hanya sedikit lahan disisakan untuk ruang terbuka (kebun), akses jalan bagi tetangga, termasuk jalan-jalan utama kampung. Keterbatasan lahan juga mengakibatkan bahwa banyak rumah-rumah di kampung Sangiang Santen dihuni sekaligus oleh 2 atau 3 keluarga yang saling berkerabat. Seperti dapat dibayangkan di perkampungan padat, maka ruang publik maupun ruang terbuka hijau jarang ditemukan. Sebagai gantinya gang di depan rumah-rumah yang saling berhimpitan menjadi ruang terbuka publik, tempat anakanak kecil atau remaja bermain dan, tempat terutama ibu-ibu dan anak-anak muda bercengkerama sore hari. Di luar jalur-jalur jalan, jalan kadang juga difungsikan sekaligus sebagai dapur atau tempat memandikan anak dan tempat jemuran. Pusat kegiatan sosial utama masyarakat Sangiang Santen bukanlah organisasi masyarakat bentukan pemerintah, seperti rukun tetangga atau rukun warga melainkan mesjid. Mesjid menjadi simpul penting dalam kehidupan sosial warga yang mayoritas beragama Islam. Dapat dimengerti pula mengapa ketokohan warga masyarakat tergantung pada keaktifan di kegiatan-kegiatan keagamaan dan non-keagamaan mesjid. Tercatat bahwa ada 2 mesjid yang cukup besar – dikecualikan dari itu adalah langgar-langgar kecil - yang menjadi pusat kegiatan kehidupan sosial di kampung Sangiang Santen. Namun yang satu lebih dominan dari yang lain. Perseorangan yang bergiat dan berkarir di mesjid itulah yang kemudian menjadi tokoh masyarakat dan juga kemudian terbukti lebih berani menyuarakan tidak saja kepentingan dirinya sendiri melainkan juga kepentingan warga ketika berhadapan dengan hukum dan lembaga peradilan Negara.
11
Sama seperti di kebanyakan kampung kota, penguasaan tanah untuk rumah tinggal di kampung Sangiang Santen, kebanyakan dilandaskan sekadar pada pendudukan fisik (okupasi) secara damai untuk waktu lama dikombinasikan dengan penerimaan dan pengakuan tetangga terdekat. Mereka mem-bahasa-kannya sebagai tanah milik adat. Sebagai pihak yang memanfaatkan tanah mereka diwajibkan membayar pajak bumi bangunan yang kerap disatukan dengan iuran desa, dahulu iuran pembangunan/retribusi daerah (Ipeda/Ireda). Bukti pembayaran pajak itulah yang kerap memunculkan persepsi bahwa penguasaan mereka sudah diakui oleh Negara. Termasuk ke dalammya kategori pengakuan ialah layanan administrasi dalam bentuk pemberian kartu tanda penduduk (KTP) dan pemberian akses pada listrik (PLN). Apalagi penguasaan fisik dan pelunasan pajak dalam proses pendaftaran tanah dianggap memberi hak prioritas bagi yang menduduki tanah untuk mengajukan permohonan mendapatkan sertifikat kepemilikan sesuai UUPA. Dengan berjalannya waktu, beberapa dari mereka berkat program-program adjudikasi yang secara tidak teratur dicanangkan pemerintah berhasil mengukuhkan hak mereka atas tanah sebagai tanah milik berdasarkan UUPA. Namun di sini patut disadari bahwa formalitas kepemilikan atau penguasaan atas tanah tidaklah otomatis dapat ditafsirkan sebagai meningkatnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan. Juga bukan jaminan bahwa memiliki sertifikat tanah sekaligus berarti meningkatnya tenurial security atau meningkatnya potensi warga untuk menarik manfaat ekonomi dari tanah.13
13
Soehendera, Djaka. 2002 “Sertipikat Tanah dan Orang Miskin: Kasus Kampung Rawa Jakarta”. Disertasi Doktoral, Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta. Namun pandangan berbeda dapat ditemukan dalam: Smeru. 2002, “An Impact Evaluation of Systematic Land Titling”, Research Report. diunduh dari www.smeru.or.id/report/lap/lap.htm, tanggal 5/9/05) Mereka menyatakan bahwa: “approximately 70% of respondents belive that they now have greater security of tenure because a land certificate recognizes their ownership rights”. Namun pada saat diakui pula bahwa “the LAP caused the PBB tax to rise by an average of 33.2%. The highest increase was in urban areas and the lowest in semi-urban areas”.
12
Lepas dari itu, ternyata pula bahwa layanan air bersih dari perusahaan daerah air minum (PDAM) tidak atau belum menjangkau kehidupan mereka. Sampai dengan akhir tahun 1980’an masyarakat kampung masih memanfaatkan mata air sebagai “common property” dan membangun kolam penampungan sebagai sumber air bersih, dan pancuran sebagai pusat mandi-cuci-kakus untuk dimanfaatkan bersama. Dengan meningkatnya kebutuhan lahan dan perubahan kesadaran tentang pemanfaatan sumberdaya air, sumber air bersih bersama tersebut ditutup dan setiap rumah tangga mengusahakan sendiri penyediaan air untuk kebutuhan rumah tangga. Sejak awal tahun 1990’an, setiap rumah tangga di kampung Sangian Santen baik sendiri-sendiri menggali sumur atau mendatangkan air (bersih) dari tempat lain (secara swadaya dengan memasang pipa penyaluran air). Ini juga mengindikasikan perubahan pandangan terhadap sumber mata air, bukan lagi sebagai milik bersama melainkan sebagai milik pribadi. Seiring dengan itu terjadi privatisasi dan komersialisasi penyediaan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga warga masyarakat Sangian Santen. Beranjak dari gambaran umum di atas, maka dapat dikatakan bahwa kampung kota Sangian Santen cenderung berkembang menjadi kampung kumuh (slum area) dalam lingkup perkotaan dengan kombinasi penguasaan tanah secara formal dan informal. Berkenaan dengan itu, Sangiang Santen memenuhi kriteria permukiman kumuh, di antaranya ukuran bangunan yang sempit dan tidak memenuhi standar kesehatan, berimpitan sehingga rawan kebakaran, kurangnya penyediaan air bersih serta jaringan listrik tidak tertata dengan baik, dan sistem drainase yang buruk.14
14
Kriteria sebagaimana dirujuk Direktur Jenderal Cipta Karya Dept. Pekerjaan Umum, Budi Yuwono dalam
2009, Hari Habitat Dunia, Kawasan Kumuh Kota 54.000 hektar. Kompas, October 6. Bdgkan juga dengan Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat (1999), Penataan Kawasan Kumuh di Kodya Bandung dan Kodya / Kabupaten di Kawasan Botabek, Bandung: Pt. Multicipta Rancana Selaras.
13
Dengan kata lain, masyarakat kampung kota Sangian Santen dapat kita golongkan sebagai masyarakat yang mengalami:15 1. 2. 3. 4. 5.
lack of durable housing; lack of sufficient living area; lack of access to improved water; lack of access to improved sanitazion and lack of secure tenure.
Untuk yang terakhir disebut (lack of secure tenure), kerentanan mereka terhadap penyingkiran dan peminggiran dari tempat tinggal muncul dari kebijakan pengadaan dan pemanfaatan lahan demi pembangunan kota. Dalam artian itu mereka adalah kelompok rentan, sekalipun tidak serta merta dapat digolongkan miskin.16 Pengkategorian masyarakat kampung Sangian Santen sebagai kelompok rentan (vulnerable atau disadvantaged) merujuk pada pandangan bahwa: “(…) that access to justice is not only a matter of money, but also about scarcity of other forms of capital. Other terms that could be used here are ‘subaltern’, ‘vulnerable, or ‘deprived’, but we prefer ‘disadvantaged’ as it helps to indicate the relative nature of a position, pointing at the setbacks a person may suffer by his belonging to a certain category .” Namun keluhan-keluhan mereka tentang urban inequality di atas tidak serta merta muncul dalam kasus yang ditelaah. Seperti akan digambarkan di bawah keluhan dan ketidak-adilan mereka sangat dipengaruhi oleh banyak factor lain. 3.1.3. Tingkat pengetahuan dan kesadaran Hukum Masyarakat Informalitas
penguasan
tanah
dan
pola
pembangunan
pemukiman
menunjukkan pula tingkat pengetahuan atau setidak-tidaknya pemahaman masyarakat kampung-kota Sangiang Santen akan hukum Negara yang (seharusnya) berlaku serta forum-forum resmi penyelesaian sengketa yang tersedia. Sebaliknya dapat dikatakan dari pengamatan sehari-hari bahwa kehidupan keseharian warga lebih dicirikan oleh 15
UN Habitat, 2006. The State of the World’s Cities Report 2006/2007: The millennium development goals and urban sustainability; 30 years of shaping the Habitat Agenda. UN Human Settlement Programme. 16 Lihat (unpublished) paper Adriaan Bedner dan Jacqueline Vel, ‘Conceptual Paper No 1: Access to Justce and Rule of Law’, hlm 5 dan versi terjemahan bahasa Indonesianya
14
ketidak-hadiran (relatif) dari Negara dan hukum Negara. Mereka adalah kaum pinggiran dan yang juga akan terus mengalami peminggiran akibat kebijakan pembangunan kota. Ini dikatakan dengan mengesampingkan intervensi Negara dalam bentuk pendataan penduduk atau upaya-upaya lain berkenaan dengan program pendaftaran tanah (PRONA atau Larasita) yang diprakarsai Badan Pertanahan Negara (BPN). Lepas dari itu, secara umum kehidupan keseharian mereka dicirikan oleh ketidakpedulian pemerintah kota untuk secara konsisten menerapkan kebijakan dan aturan khususnya berkenaan dengan legitimasi kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan ruang. Jika persentuhan dengan hukum Negara sudah sedemikian kecil, juga dapat terbayangkan bahwa pengetahuan warga tentang hukum Negara, aturan-aturan tata ruang dan tata lingkungan, termasuk juga forum dan mekanisme penyelesaian sengketa formal yang muncul dalam bidang-bidang hukum tersebut adalah juga minim. Hanya satu-dua warga di kampung Sangiang Santen yang mengaku pernah pergi ke pengadilan (agama) – di Bandung Selatan - dan itupun hanya untuk mendapatkan surat cerai. Sementara itu, dari kacamata warga, institusi kelurahan dan kecamatan hanya diperlukan untuk sejumlah urusan administrasi belaka, seperti pembuatan kartu keluarga, kartu tanda penduduk, keterangan serba guna, surat “miskin” atau ketika mereka merasa perlu atau demi kepentingan lain (mendaftarkan anak sekolah, misalnya) dipaksa mencatatkan pernikahan, kelahiran anak atau kematian. Kelurahan/kecamatan lagipula kerap dipandang bukan sebagai forum yang mewakili suara masyarakat melainkan lebih sebagai representasi pemerintah kota ditingkat lokal. Sebagaimana ternyata dalam kasus ini kedua institusi itu pula yang didayagunakan oleh pemerintah kota untuk menyampaikan (men-sosial-lisasikan) kebijakan dan program pembangunan, termasuk yang diprakarsai oleh swasta.
15
Kesemua itu memunculkan pertanyaan utama sejauh mana masyarakat Sangiang Santen tatkala mereka terus terpinggirkan, oleh kombinasi dari kebijakan pembangunan dan ketakacuhan pemerintah kota, akan dan dapat secara mandiri memanfaatkan institusi seperti kelurahan atau kecamatan apalagi forum pengadilan untuk menyuarakan kepentingan mereka dan melawan kebijakan pembangunan kota yang cenderung meminggirkan mereka? 3.1.4. Rumusan masalah Dari uraian di atas, mengemuka satu pertanyaan penting: hak apa yang dimiliki warga kampung kota baik sebagai individu ataupun kelompok untuk berperan-serta menentukan dan menjaga kenyamanan lingkungan tinggal mereka? Aturan dan aktor-aktor apakah yang berpengaruh terhadap derajat peluang masyarakat kampung kota (yang terpinggirkan akibat program pembangunan hotel) untuk dapat menuntut dan memperoleh keadilan berkenaan dengan tanah dan lingkungan? Kemana mereka dapat menyuarakan keluhan dan menuntut keadilan? Terkait dengan ini adalah hak untuk mendapatkan informasi dan berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan dan penataan ruang di wilayah pemukimam mereka sendiri. Jelas sosialisasi sebagai suatu upaya menyampaikan informasi masih jauh dari mewujudkan peran serta masyararakat dalam kegiatan penataan ruang (yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan). Upaya-upaya hukum apa yang tersedia bagi mereka untuk menolak suatu kegiatan pembangunan atau bila kegiatan demikian sudah berjalan untuk turut mengawasi kegiatan pembangunan? Apa pilihan dan strategi atau upaya-upaya hukum yang tersedia dan digunakan oleh penghuni kampung kota untuk mempengaruhi kebijakan penataan ruang dan pemanfaatan tanah? Voice and exit options apa yang dimiliki masyarakat kampung kota?
16
4. Berawal dari keluhan dan berujung di ketidakadilan Di bawah ini akan diuraikan bagaimana warga masyarakat Sangiang Santen merumuskan keluhan-keluhan mereka. Akan tampak bahwa ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi kapan dan bilamana warga masyarakat mulai berani mengungkapkan keluhan dan merumuskannya sebagai ketidak-adilan.
Di sini
keluhan muncul berkenaan dengan dua tahapan berbeda: satu ketika rencana baru disosialiasikan, kedua ketika proyek pembangunan fisik hotel mulai dilaksanakan. Dengan kata lain, dapat dibedakan antara keluhan yang muncul berkaitan dengan proses pengadaan tanah dan sosialisasi rencana pemanfaatan tanah dan keluhan yang muncul setelah proyek pembangunan mulai menunjukkan wujud konkrit dalam bentuk pemagaran, pematangan lahan dan pengerjaan pembangunan fisik. Namun dalam kasus ini tidak akan ditelaah dan bagaimana keluhan warga setelah hotel mulai dioperasikan. Singkat kata apa yang dikeluhkan terkait erat dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang apa yang terjadi dalam setiap tahapan perencanaan
pembangunan:
pengadaan
tanah,
sosialisasi,
pengurusan
izin,
pematangan lahan, pembangunan gedung sampai dengan pemanfaatan gedung. Satu hal lain yang juga sangat berpengaruh ialah peran dari orang-orang di luar masyarakat (Adnan Buyung Nasoetion) dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di layanan bantuan hukum atau lingkungan. Pihak-pihak luar inilah yang membantu warga masyarakat merumuskan dan menyuarakan keluhan mereka ke dalam bahasa Indonesia dan membuatnya lebih diperhatikan masyarakat luas dan pemerintah kota. 4.1. Perumusan dan Pemaknaan Ketidakadilan oleh Warga Masyarakat Ketika kehidupan masyarakat pinggiran bersinggungan dengan hukum Negara, dalam bentuk sosialisasi rencana kegiatan dan kemudian kegiatan
17
pembangunan hotel yang (akan) merugikan kepentingan mereka secara langsung, banyak dari warga hanya mampu mengeluh diam-diam, atau memilih untuk pasrah dan menghindari konflik terbuka dengan pengusaha (pengelola dan/atau pemborong). Beberapa warga bahkan begitu enggan atau takut untuk mengalami konflik dengan pihak luar siapapun itu (pemerintah atau pengusaha) yang selalu dikesankan lebih kuat dan mampu berbuat apa saja. Dari mereka yang berhasil diwawancarai, salah satunya, Ruslan seorang warga Sangiang Santen, bekerja sebagai tukang kebun, menyatakan: “teu wantun (tidak berani) dan lebih baik ia menjauhkan diri dari konflik antara masyarakat dengan pemerintah lokal dan pengelola proyek. Sejumlah warga lain yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan bersuamikan pekerja serabutan juga memilih untuk tidak terlibat. Dari obrolan dengan mereka terkesan bahwa bagi mereka “orang-orang kecil” konflik dengan pemerintah lebih baik dihindari dan berdiam diri dan menyimpan keluhan adalah pilihan yang lebih aman. Kesan demikian sekalipun tidak eksplisit diungkapkan akan mudah dijumpai jika kita berbicara dengan warga biasa yang bukan tokoh masyarakat. Ketidakadilan apapun yang dirasakan akan cenderung dipendam daripada diungkap dan menyebabkan ketidakharmonisan dan risiko harus berurusan dengan pihak penguasa atau orang kuat. Mudah pula dibayangkan bahwa masyarakat umum sejak dari semula menduga bahwa pemerintah (kelurahan, kecamatan) tidak akan berpihak pada mereka.
Tidak terdengar bahwa dalam proses sosialisasi yang diprakarsai oleh
pengusaha atas dukungan kelurahan terjadi perdebatan panjang tentang kemanfaatan proyek bagi masyarakat setempat. Dari informasi yang terkumpul, maka acara
18
sosialisasi – silaturahim – memang dimaksudkan hanya sebagai ajang pemberitahuan belaka. Pada prinsipnya dari masyarakat tidak diminta pendapat atau masukan. 17 Pada tahapan ini, keluhan warga akan proses sosialisasi yang tidak layak atau perasaan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah (penguasa) dan pemilik hotel atau pemborong hanya muncul dalam bentuk gossip. Kontrol sosial yang mungkin efektif bila sasarannya adalah sesama warga, namun bukan pihak pemrakarsa dan kelurahan dan
kecamatan.18
Padahal
mereka
menyelenggarakan
kegiatan
sosialisasi
(pemberitahuan) sebagai satu pra-syarat untuk mendapatkan izin-izin pemanfaatan lahan (izin peruntukan pemanfaatan lahan dan izin mendirikan bangunan). Itu berarti bahwa sebenarnya mereka berkewajiban untuk menjelaskan tidak hanya rencana tapi juga risiko dan dampak yang akan ditimbulkan secara gamblang. Ini akan dijelaskan di bagian lain tulisan ini. Baru dalam forum sosialisasi tandingan yang diprakarsai oleh Buyung pada bulan Agustus 2006, warga – mereka yang diam-diam atau secara terbuka tidak setuju dengan rencana pembangunan hotel besar di lingkungan mereka - mulai berani mengungkapkan pandangan dan kekuatiran mereka. Sayangnya, pembicaraan didominasi oleh tuan rumah yang mengakibatkan tidak terjadi forum dialog dua arah yang wigati. Kemungkinan besar karena pertemuan tersebut sebenarnya merupakan undangan resmi hasil dari pendekatan-pendekatan informal yang sudah dijalin
17
Sejumlah proyek serupa dilaksanakan juga di kawasan kecamatan Cidadap, kelurahan Ciumbuleuit dengan hasil berbeda-beda. Di beberapa tempat pembangunan demikian tidak menuai protes terbuka dari masyarakat. Satu contoh ialah pembangunan apartemen-hotel Ciumbuleuit. Terkecuali jika masyarakat yang bertetangga mendapat perhatian dan dukungan LSM. Satu contoh ialah gugatan ke PTUN yang diajukan oleh Walhi-Jabar dan LBH Bandung tahun 2004 terhadap (rencana) pembangunan Century Hills Hotel dan Apartemen setinggi 26 lantai (kapasitas 600 unit apartemen dan 360 kamar hotel) (2003-2005). Dari cerita yang disampaikan seorang pengacara-relawan di BBH-UNPAD-Bandung, masyarakat yang mengajukan persoalan ini kehadapan pengadilan, antara lain, beranjak dari keluhan bahwa pembangunan hotel (dan pengoperasiannya) mengakibatkan masyarakat kehilanggan akses terhadap air bersih. Menurut cerita pengacara yang mendampingi tergugat (warga masyarakat), Hakim di pengadilan mengesampingkan keluhan ini dengan mengatakan bahwa di musim kemarau, air memang sulit diperoleh. Ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keberlanjutan sedian air bersih tercermin pula dalam gejala pembangunan gedung pencakar langit (termasuk apartemen) di Bandung. Lihat: Dadan, Sirojul & Hilman, 2008 Gedung-gedung Jangkung ‘Menyerbu’ Bandung’. Bisnis Indonesia, November 23. 18 Lihat Bergmann. Jörg 1993, Discreet Indiscretion: the social organization of gossip. New York: Aldene de Gruyter. pp. 140-141.
19
sebelumnya. Kehadiran warga masyarakat sekitar 25-30 orang, namun demikian, sudah mengindikasikan bahwa sejumlah masyarakat merasa tidak nyaman dan kuatir. Dari sejumlah orang yang angkat bicara juga terkesan bahwa mereka merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan rencana pembangunan hotel dan kegiatan sosialisasi terdahulu. Tidak semua ternyata bersikap pasrah atau yakin dengan kemanfaatan rencana pembangunan hotel yang disampaikan pada acara sosialisasi pertama kali di kelurahan Ciumbuleuit. Dalam rangkaian pertemuan lanjutan, maka disepakati bahwa Adnan Buyung Nasoetion sebagai tetangga langsung maupun (sebagian) warga masyarakat akan mengajukan gugatan terhadap proses pemberian IPPT (izin penggunaan-pemanfaatan tanah) sebagai pendahulu IMB (izin mendirikan bangunan) yang dianggap telah mengabaikan hak masyarakat sebagai tetangga. Langkah konkrit yang kemudian diambil ialah mengajukan gugatan kehadapan Pengadilan Tata Usaha Negara di Bandung, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Sebagai penggugat ialah sejumlah warga (80 orang) yang membentuk forum bersama dan Buyung Nasoetion dan gugatan diajukan terhadap IPPT yang diterbitkan 8 September 2006 pada tanggal 6 Februari 2007 kehadapan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Dari kacamata warga masyarakat yang menjadi penggugat inti gugatan ialah tidak absahnya proses penerbitan IPPT. Menurut para penggugat, izin penggunaan pemanfaatan tanah tersebut seharusnya belum boleh diterbitkan karena masih ada tetangga yang belum ditanya dan masih banyak keberatan terhadap rencana proyek pembangunan hotel.
H. Sugandariya, tokoh masyarakat setempat, misalnya,
menyatakan bahwa 160-183 warga menolak berdirinya hotel. Pihak hotel dalam pandangannya tidak berhasil melakukan sosialisasi yang sebenarnya dan karena itu Pemkot Bandung harus mencabut izin peruntukan penggunaan tanah. Dalam hal ini
20
persoalannya ialah perbedaan persepsi tentang makna dan tujuan dari sosialisasi antara warga masyarakat (yang punya keberatan dan keraguan) dengan pemerintah kota
(kelurahan/kecamatan,
dinas
tata
kota
dan
dinas
bangunan)
serta
pengusaha/pemrakarsa kegiatan. Namun pada tahap ini tidak seluruh masyarakat kampung Sangiang Santen mendukung upaya Buyung. Ada sebagian terutama yang berharap dipekerjakan sebagai buruh bangunan bersikap mendukung.
Sebahagian masyarakat lainnya,
menurut data yang ada bekerja di sektor informal, bersikap pasrah, tidak mau terlibat dan enggan berkonfrontasi dengan pihak hotel dan pemerintah. Satu orang penduduk di RT 05 (dengan lokasi rumah lebih jauh dari hotel yang akan/sedang dibangun) menyatakan19:
“da abdina moal diuntungkeun, moal dirugikeun, abdi mah ngingiring teh hoyong terang hungkul we”. (saya tidak akan diuntungkan atau dirugikan, saya datang ke pertemuan di rumah bang Buyung hanya untuk mengetahui apa yang menjadi persoalan).
Terlepas dari itu upaya hukum mengajukan gugatan terhadap IPPT ternyata kandas karena PTUN Bandung tahun 2006-7 menyatakan bahwa IPPT sudah memenuhi semua syarat formal dan tetap absah sebagai keputusan tata usaha Negara. Gugatan ditolak dengan alasan belum ada kerugian yang ditimbulkan terhadap warga. Alhasil semua perizinan yang tertunda diproses dan pihak pengelola hotel dengan segera mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB) dan izin-izin lainnya (antara lain, izin pematangan lahan) dan memulai kegiatan pembangunan fisik hotel. Dalam tahapan ini dimulailah kegiatan pematangan lahan, pemasangan paku bumi, dan pembuangan tanah dan berangkal ke luar daerah proyek. Pada tahapan inilah baru masyarakat kampung mulai merasakan secara konkrit dampak kegiatan 19
Berdasarkan hasil wawancara dengan Amir (bukan nama sebenarnya), Sangian Santen-Bandung 20 Februari 2009.
21
pembangunan terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Ini juga ternyata dari keluhankeluhan yang mereka sampaikan tentang gangguan kegiatan proyek terhadap kenyamanan hidup mereka dan bagaimana kegiatan yang sama “mulai disadari” memunculkan sejumlah dampak lingkungan. Dalam satu kunjungan ke lokasi penelitian, Ketua RT 05 (yang tinggal kira-kira 50100 meter dari lokasi proyek) bercerita tentang kesulitannya untuk tidur karena kebisingan proyek yang dikerjakan 24 jam sehari. Ia juga menunjukkan dinding rumahnya yang retak dan menyatakan bahwa di beberapa rumah lainnya yang berdekatan dengan lokasi proyek keretakan sama dapat dilihat. Keluhan serupa disampaikan seorang warga, Yeti. Ia bercerita bahwa20: “pembangunan hotel yang dilakukan 24 jam tanpa henti menyebabkan ketidaknyamanan warga sekitar” dan rumahnya yang terletak bersebelahan dengan lokasi proyek: “bukan itu saja, rumah-rumah warga mulai retak dengan adanya pembangunan hotel”. Satu dua penghuni lainnya yang langsung bertetangga dengan hotel yang akan dibangun mengkuatirkan jumlah limbah cair yang dihasilkan hotel dan kemana limbah tersebut akan dibuang. Seorang anggota masyarakat yang ditokohkan di kampung Sangiang Santen (H. Soegandariya) menyuarakan kekuatiran ini: “Kawasan RT 04 (yang ada dibelakang bangunan hotel) akan menjadi tempat pengelontoran. Habis buangnya kemana lagi?” Seorang lain mengkuatirkan dampak sosial dari pembangunan hotel. “Kalau jadi hotel nanti ada akan ada kemaksiatan dan kemungkaran” dan “lalulintas akan ramai dan bahaya bagi anak-anak”. Bahkan juga Ketua RT 03 yang sebenarnya mengaku: “abdi mah kurang paham” dan mencoba bersikap netral: “wajar aya nu pro jeung kontra. Nu kontra berusaha menyampaikan aspirasi dimotoran ku pa Buyung. Bukan masalah meunang atau kalah tapi aspirasi”, menyuarakan kekuatirannya akan keberlanjutan pasokan air bersih dan pembuangan limbah cair hotel. Sebagai ketua RT ia juga menyayangkan terjadinya “gontok-gontokan warga”. Kehadiran proyek pembangunan hotel dirasakan lebih sebagai gangguan terhadap ketenangan dan kedamaian kehidupan warga. Sekalipun begitu ia juga mengeluh tentang getaran dan kebisingan. Ia ketika ditanya pendapatnya tentang kegiatan pembangunan menyatakan “nu karaos getaran sareng gandeng” Apa reaksi pemerintah kota dan pemrakarsa proyek terhadap keluhan-keluhan tersebut? Sayangnya itu semua direduksi menjadi sekadar persoalan warga belum cukup mengerti dan kompensasi. Ini tergambar dari
tanggapan dan jawaban
pemerintah dan pengusaha terhadap tudingan-tudingan di atas. Ini menjadi penting 20 Tya Eka Yuliati, 2009 Warga Tolak Pembangunan Hotel 15 Lantai. Diunduh dari http://bandung.detik.com; January 18.
22
dalam kaitan dengan penarikan kesimpulan bahwa ihwalnya bukan semata-mata soal terpenuhinya prosedur perizinan, namun lebih dari itu, yakni terkaitnya rasa keadilan masyarakat. Satu dan lain, ketidak-adilan yang tidak lagi dianggap relevan oleh pemerintah maupun pemrakarsa proyek. Berkenaan dengan tuduhan bahwa pengusaha telah merekayasa persetujuan warga mereka berkilah bahwa tandatangan warga sebagai bukti hadir dalam acara silaturahim atau sosialisasi telah dipisahkan dari lembar tandatangan warga sebagai pernyataan sudah diberitahu dan menyetujui rencana pembangunan hotel. Dari gambaran di atas tampaknya persoalannya bukan semata-mata tidak terjalinnya komunikasi yang baik antara pemerintah/pengusaha dengan masyarakat. Kegiatan sosialisasi keduakalinya atau berulangkali tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan juga tawaran ganti rugi tidak akan disambut bilamana warga yang menderita kerugian tidak pernah dengan sungguh-sungguh diberi kesempatan menyuarakan kepentingannya dan didengarkan. Kiranya ini tidak disadari oleh pemerintah kota Bandung maupun pengusaha (investor), ketika mereka bersikukuh dengan sudah ditempuhnya prosedur penerbitan izin dan rekomendasi amdal atau andalalin secara layak. 4.2. Latarbelakang keberpihakan pemerintah kota dan penyebab ketidakadilan Mengapa keberpihakan yang memunculkan ketidak-adilan ini dapat terjadi dan warga kampung kota kepentingan-kepentingannya tidak terperhatikan dalam keputusan pemerintah kota? Di bawah ini akan diberikan gambaran umum mengapa pemerintah kota cenderung berpihak pada investor dan apa akibatnya terhadap kebijakan penataan ruang kota.
23
4.2.1. Pengembangan Kepariwisataan dan Pembangunan Hotel di Bandung Sejak lama Kota Bandung menjadi tujuan wisata belanja dan wisata akhir pekan dari masyarakat Jakarta.
Arus wisatawan terutama meningkat semenjak
pembukaan tol purbaleunyi dan cipularang akhir tahun 1990’an yang secara signifikan mengurangi jarak tempuh Bandung-Jakarta hanya menjadi 2-3 jam saja. Menyikapi kecenderungan peningkatan arus wisata ke kota Bandung, Pemerintah Daerah Kota (pemkot) Bandung tahun-tahun terakhir ini mencanangkan program peningkatan pelayanan pariwisata. Salah satunya dengan mendorong pembangunan hotel untuk menampung arus wisatawan yang berakhir pekan dan berbelanja di sentra-sentra belanja di sepanjang jalan-jalan kota Bandung. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung mengakui jumlah hotel bintang dan melati di kota Bandung sudah terbilang banyak 251 hotel dengan jumlah kamar 10.430. Namun sarana ini belum seimbang dengan jumlah wisatawan ke Bandung yang rata-rata mencapai 21.000/hari dan jumlah tersebut diperkirakan selalu melonjak tiap akhir pekan menjadi rata-rata 61.000 per hari.
Ia juga
memperkirakan bahwa21: “dengan kapasitas rata-rata setiap hotel sekitar 50 orang, seluruh hotel di Bandung baru mampu menampung 12.500 tamu. Kondisi ini yang memunculkan banyak keluhan dari calon wisatawan yang mengaku kehabisan kamar hotel saat berkunjung ke kota Bandung”.
Beranjak dari pengamatan demikian, maka tidaklah mengherankan bilamana Pemkot Bandung mengembangkan kebijakan untuk menambah jumlah kamar hotel dan/atau hotel untuk menampung arus wisatawan ke Bandung.22
Rencana
pengembangan kepariwisataan demikian, seperti akan digambarkan di bawah, 21
Pernyataan Askary Wirantaatmadja, kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, dalam 2008. Bandung Masih Butuh Hotel: Waspadai Keseimbangan Lingkungan. Kompas, July 31. 22 Amaliya/Lia Marlia 2008. Bandung Butuh 15.000 Kamar (www.pikiran-rakyat.com). Namun bandingkan juga dengan Andi Haryanto 2008 2 Tahun Lagi, Diprediksi Persaingan Hotel di Bandung Tak Sehat (http://bandung.detik.com; December 18.
24
memiliki konsekuensi terhadap kebijakan pemanfaatan lahan perkotaan yang tercakup dalam rencana penataan ruang kota. 4.2.2. Kerjasama untuk membangun antara pemerintah kota dan swasta Pencukupan kebutuhan kamar hotel tidak mungkin dipenuhi langsung oleh pemerintah kota, juga tidak oleh Dinas Pariwisata. Pilihan konkrit yang terbuka ialah mendukung investasi di bidang perhotelan. Sebagai bagian dari upaya mendukung kegiatan investasi di bidang ini dan juga di bidang perdagangan dan industri pada umumnnya, pemerintah kota Bandung, serupa dengan sejumlah pemerintah kota/kabupaten lain, mengembangkan sistem pelayanan investasi yang terpadu, baik dalam bentuk sistem pelayanan satu pintu atau satu atap.23 Tujuan pokok kebijakan pengembangan unit pelayanan terpadu ialah memudahkan pengusaha atau investor dalam mengembangkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang mendukung pembangunan kota/kabupaten. Dalam praktik itu dapat diterjemahkan sebagai langkah konkrit memudahkan investor mengurus dan memperoleh perizinan yang dipersyaratkan dalam menjalankan kegiatan usaha, termasuk ke dalamnya izin-izin yang diperlukan dalam rangka pengadaan dan pemanfaatan tanah. Di samping itu juga dapat dikatakan bahwa kebijakan tersebut juga dikembangkan dalam kerangka kehendak untuk menyelenggarakan pelayanan public sesuai dengan prinsip-prinsip “good governance”24 dan meningkatkan kepastian hukum, terutama bagi para investor.
23 Dasar hukum kebijakan pelayanan terpadu satu pintu ialah Undang-undang no. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Sedangkan sistem pelayanan satu pintu dikembangkan melalui Keputusan Menteri PAN no. 63/Kep.M.Pan/7/2003. Juga berlaku sebagai dasar hukum Peraturan Pemerintah no. 47/2007 tentang organisasi perangkat daerah. Di dalam PP ini (Pasal 47) ditegaskan opsi bagi pemerintah propinsi atau kabupaten kota untuk membentuk unit pelayanan terpadu. 24 Untuk catatan lebih kritis apa itu unit pelayanan terpadu dan bagaimana memaknainya: apakah sebagai kebijakan satu pintu atau satu atap baca: Jaweng. Robert Endi. 2008. Pelayanan Satu Pintu atau Satu Atap? Sinar Harapan, Desember 18. Dinyatakan bahwa berdasarkan Instruksi Presiden no. 3/2006 tentang Paket kebijakan perbaikan iklim investasi yang ditindaklanjuti dengan Permendagri no. 24/2006 (pedoman penyelenggaraan PPTSP semua daerah diwajibkan membentuk pusat pelayanan terpadu satu pintu (PPTSP), dan dalam perkembangannya sudah berdiri di sekitar 185 kabupaten/kota. Periksa juga: 2006. Izin Satu Pintu di 29 Daerah:
25
Maka juga dapat dimengerti mengapa camat dan lurah keduanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah kota (kabupaten) dikerahkan untuk mendukung kebijakan memudahkan investasi. Kecamatan dan kelurahan, tampaknya, kemudian terposisikan sebagai sekadar unit pelaksana kebijakan pemerintah kota. Bukan sebagai wujud representasi masyarakat local.25 Beranjak dari semua itu jelas mengapa investor yang berniat membangun pusat-pusat perbelanjaan (daya tarik utama kepariwisataan di Bandung) dan hotel di Bandung mendapat dukungan penuh pemerintah kota Bandung.
Bagaimana
kebijakan tersebut yang berujung pada pemberian izin-izin pemanfaatan dan penggunaan tanah berbenturan dengan kepentingan pelestarian lingkungan dan terutama memunculkan sejumlah gangguan bagi masyarakat kampung kota yang bertetangga akan dibahas di bawah. 5. Peran Perantara untuk merumuskan kesadaran dan pengetahuan hukum Peran dari tokoh-tokoh masyarakat sangat penting. Terutama “orang luar” yang kebetulan memiliki tanah dan rumah di lingkungan Sangian Santen sangat berperan. Satu orang seperti Adnan Buyung Nasoetion, sebagai pihak yang berkepentingan – ia memiliki rumah dan tanah yang langsung bersebelahan dengan tanah lokasi proyek pembangunan hotel tingkat 15 – besar dampaknya dalam membentuk “kesadaran hukum” masyarakat dan langkah-langkah hukum serta nonhukum yang mereka ambil. Ia melakukannya, antara lain, dengan mengorganisasikan suatu kegiatan pertemuan atau sosialisasi tandingan pada bulan agustus 2005. Atas
Beberapa Kabupaten Terbuka Tentukan Tarif Resmi. Kompas, November 6; 2009. Pelayanan Satu Atap Diubah Menjadi Satu Pintu. Kominfo-Newsroom, July 16. 25 Bdgkan dengan Peraturan Pemerintah no. 72/2005 tentang desa. Menurut PP ini desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengurus kepentingan masyarakat setempat. Kelurahah sebagai bandingan, berdasarkan UU no. 32/2004 jo PP no. 73/2005 tentang kelurahan, adalah perangkat daerah kabupaten/kota dalam wilayah kerja kecamatan. Lurah ditunjuk oleh Bupati/Walikota dan dipilih dari calon-calon yang diajukan oleh camat (Pasal 127 ayat (4) & (5) UU no. 32/2004.
26
prakarsanya juga ia merumuskan persoalan ini sebagai pelanggaran asas kepatutan dalam pemberian izin penggunaan pemanfaatan tanah. Berkat upayanya juga, sejumlah lembaga swadaya masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS),26 mengetahui adanya persoalan ini dan kemudian mengangkatnya sebagai persoalan pelanggaran hukum khususnya tentang aturan penataan ruang kota Bandung. Itu berarti bahwa keterlibatan lembaga-lembaga tersebut dalam kasus ini dipicu terutama karena mereka adalah bagian dari jejaring sosial (social capital) yang dimiliki Buyung Nasoetion yang memang dikenal sebagai pengacara vocal dan oposan pemerintah Orde Baru dahulu. Lembaga-lembaga tersebut jugalah yang kemudian mendukung masyarakat untuk melakukan aksi perlawanan dalam bentuk demonstrasi termasuk ke pengadilan maupun kehadapan kantor DPRD Propinsi Jawa Barat, termasuk aksi pemasangan portal-besi untuk menghentikan kegiatan pembangunan hotel. Pemihakan LBH dan DPKLTS kepada rakyat pencari keadilan juga dapat dirumuskan sebagai upaya menjadi lembaga perwakilan masyarakat yang bertugas memantau dampak kegiatan pembangunan terhadap rakyat kecil. Lebih dari itu, DPKLTS memberi perhatian pada masalah ini dengan motivasi memperjuangkan kepentingan pelestarian lingkungan perkotaan. Peran penting dari intermediaries, dalam hal ini LBH-Bandung juga tampak dari cara bagaimana lembaga tersebut merumuskan apa yang seharusnya terjadi menurut hukum dan menunjukkan pada warga apa yang sebenarnya dilanggar. Gatot Rianto, kuasa hukum warga, mengatakan bahwa:27
26
Lembaga Swadaya Masyarakat yang didirikan atas prakarsa Solihin GP, tokoh masyarakat sunda, pernah menjabat sebagai sesdalopbang di zaman Orde Baru, gubernur Jawa Barat dan panglima kodam V Siliwangi. 27 Marsiela. Adi. 2009. Warga Ciumbuleuit Tolak Pembangunan Hotel. Suara Pembaharuan, January 19.
27
“pemilik proyek sama sekali tidak melibatkan warga di sekitar lokasi pembangunan. Malah pemilik proyek memanipulasi tandatangan warga untuk kepentingan pemenuhan syarat perizinan (…) tadinya hanya absensi dalam sebuah pertemuan karena warga diundang, tapi kemudian diubah jadi persetujuan pembangunan”.
Atas dorongan dan bantuan LBH Bandung jugalah maka warga tampaknya memutuskan untuk melaporkan Henry Husada, pemilik proyek pembangunan hotel ke polisi. Henry, menurut Gatot Rianto, dinilai: “mengganggu ketertiban umum dan memalsukan keterangan (…) juga pencemaran nama baik 100 warga yang namanya dicatut pemilik proyek.28
Upaya hukum yang tidak terbayangkan akan diambil oleh warga masyarakat dengan tingkat pengetahuan hukum (Negara) terbatas secara mandiri. Individu yang dtokohkan dan dianggap penting oleh masyarakat juga turut merumuskan dan menyuarakan kepentingan anngota masyarakat baik yang pro maupun kontra dengan rencana pembangunan hotel. Dari pihak yang kontra tercatat Bpk Sugandariya (pekerjaan pegawai negeri) dan aktivis di salah satu mesjid kampung Sangian Santen. Ia yang tergabung dalam Forum Komunikasi Peduli Lingkungan (214 warga), menyatakan bahwa warga sekitar lokasi proyek yang dimiliki PT. Intan Tiara Nusantara tidak pernah dilibatkan dalam hal perencanaan, pelaksanaan, sampai perizinan tentang analisis dampak lingkungannya.29 Sedangkan dari pihak yang pro terdata seorang tokoh masyarakat (Bpk Bari) dan sejumlah 800 keluarga lainnya. Ia, begitu dikatakan warga, karena kedekatannya dengan Bpk Henry (pemilik hotel) termasuk salah seorang yang akan sangvat diuntungkan oleh pembangunan hotel. Disebutkan bahwa melalui perantaraannya
28
2009. Warga Adukan Pemilik Hotel Four ke Polisi. Diunduh dari http://www.tempointeraktif.com, January 19. Laporan tersebut diajukan atas nama 225 anggota komunikasi warga ciumbuleuit peduli lingkungan. Laporan ini merupakan laporan kedua kali. Pengaduan pertama kehadapan polisi ditolak karena proses persidangan PTUN untuk perkara ini sedang berlangsung. 29 Marsiela, loc.cit.
28
juga para pemuda di kampung dijanjikan akan mendapat pekerjaan jika hotel tuntas terbangun. Bahkan ia juga menjadi juru bicara pihak pengelola hotel berhadapan dengan masyarakat kampung Sangian Santen. Namun ketika oleh mass media ia diberitakan berpihak pada pembangunan hotel, dan itu artinya pengusaha, Bpk Bari memutuskan untuk menyatakan diri berada di luar sengketa. Bahkan ia menyatakan karena pemberitaan tersebut merasa perlu menyempatkan diri menghadap H. Sugandariya (tokoh lainnya) untuk menjelaskan posisinya terdahulu dan sekarang. Keduanya, begitu ia menggambarkannya, menyayangkan terpecahnya warga masyarakat ke dalam dua kubu yang berseberangan. 30 6. Kesadaran dan pengetahuan hukum warga Sangian Santen Dari pengamatan sehari-hari terkesan bahwa persentuhan mayoritas warga kampung Sangiang Santen dengan hukum Negara, pemerintah bahkan juga pengadilan sangat terbatas. Persentuhan mereka dengan pemerintah lagipula hanya sebatas masalah-masalah administrasi. Inipun diselesaikan melalui perantaraan Ketua RT/RW yang kerap menjadi penghubung antara pihak kelurahan/kecamatan dengan masyarakat. Sebagaimana telah digambarkan sebelumnya dalam kenyataan hubungan masyarakat kampung kota dengan pemerintahan terdekat (lurah atau camat) biasanya bersifat insidental, hanya berkaitan dengan urusan pembuatan kartu keluarga, kartu tanda penduduk, keterangan serba guna atau kartu miskin, dan mungkin ketika masyarakat memanfaatkan proses adjudikasi pertanahan. Di samping itu, layanan publik yang masuk ke dalam wilayah/kawasan kampung terbatas pada penyediaan listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kesigapan pelayanan di bidang ketenagalistrikan ini berbanding terbalik dengan penyediaan dan pemeliharaan fasilitas umum dan sosial lainnya, termasuk tata
30
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bari. Kampung Sangiang Santen, 23 Januari 2009.
29
lingkungan dan hunian yang sehat dan aman secara teknis.
Negara tidak
menyediakan dan masyarakat atas inisiatif sendiri harus mengatur itu semua. Banyak dari jalan di kampung Sangian Santen, dan ini juga umum terlihat di banyak kampung kota lainnya di Bandung – adalah jalanan dari semen, dibuat dan dibiayai masyarakat sendiri.
Informalitas pengelolaan dan pemeliharaan jalanan publik juga tercermin
dari mayoritas bangunan warga masyarakat kampung kota yang jelas dibangun tanpa mengikuti aturan-aturan tentang pemanfaatan lahan atau ketentuan teknis bangunan yang aman dan sehat. Tidak tampak adanya kepatuhan terhadap syarat-syarat teknis berkenaan dengan batasan penggunaan lahan (koefisien dasar bangunan ataupun koefisien lahan bangunan) maupun teknis bangunan berkenaan dengan keselamatan dan kesehatan bangunan. Ketentuan-ketentuan demikian, antara lain, tercakup dalam Perda Kota Bandung tentang IPPT31 dan IMB.32 Maka itu tampaknya warga masyarakat bebas memanfaatkan secara optimal lahan terbatas yang ada untuk kepentingan pembangunan rumah dan jalan, tanpa perduli akan aturan-aturan yang ada. Kemungkinan besar ketidakpedulian ini dipicu lebih oleh ketidaktahuan akan aturan-aturan bangunan dan pemanfaatan tanah yang sangat teknis dan lagipula tidak “realistis” dari sudut pandang keterbatasan lahan, kemampuan financial (untuk mengurus perizinan dan menaati aturan) dan kebutuhan nyata masyarakat kampung kota.
Ini terindikasikan dari kenyataan bahwa lereng paling curam-pun (dengan
kemiringan 60-70º) dimanfaatkan untuk membangun rumah. Dilihat dari bawah, tumpukan bangunan di lereng-lereng curam tersebut terkesan seperti rumah susun.
31 Perda Kota Bandung no. 04/1996 tentang izin perencanaan penggunaan lahan). Direvisi oleh Perda no. 25/1998 tentang izin peruntukan penggunaan tanah) dan terakhir oleh Perda no. 4/2002. 32 Perda Kota Bangunan tentang bangunan (bouwverordening van Bandoeng), lembaran Propinsi tanggal 29 February 1932 no. 2. Aturan bangunan yang diberlakukan di Bandung dapat dikatakan masih merujuk pada aturanaturan yang diberlakukan oleh gemeente Bandung sekalipun kemudian setelah kemerdekaan dan Bandung menjadi kotamadya tingkat II di zaman orde baru dan daerah otonom pasca 1999 telah diamandemen berkali-kali.
30
Lagipula, jika dilihat dari udara, akan teramati bahwa pola pemanfaatan ruang di kampung Sangian Santen tidak menyisakan sedikitpun ruang terbuka hijau. Ruang publik yang ada hanyalah jalanan dan gang-gang sempit yang menghubungkan rumah-rumah di kawasan kampung tersebut. Maka itu, jikapun ada aturan atau norma yang mengatur hubungan antar tetangga, hal itu tidak berkaitan dengan aturan jarak antar bangunan ataupun akses tetangga menuju jalan umum. Tingkat kesadaran dan pengetahuan hukum warga tentang aturan-aturan tata ruang atau tata lingkungan, bahkan tentang peran seharusnya dari pemerintah kota juga tampak dari “informalitas” dalam penyediaan jasa dan kebutuhan publik lainnya. Ini seperti sebelumnya telah disinggung di atas kasat mata kentara dalam bidang jasa layanan air bersih. Sebelum menjadi kampung kota, masyarakat Sangiang Santen memiliki dan memelihara mata air yang dipergunakan sebagai tempat mandi bersama dan sumber air bersih. Pada zaman itu, tahun 70-80, mata air, pancuran dan tempat mandi bersama dapat dikategorikan sebagai common property yang dikelola dan dipelihara bersama. Namun dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk rumah dan mungkin juga pengaruh konsep kamar mandi tertutup di rumah, penyediaan air bersih dilakukan atas prakarsa masing-masing penghuni. Tidak ada lagi ‘sumber air yang dikelola dan dipelihara bersama.
Mulailah masing-masing warga membuat dan
memiliki sumur timba untuk kepentingan sendiri. Tentu tidak semua seberuntung itu dapat menggali sumur dan memiliki pasokan air sendiri. Solusinya adalah membuat dan memelihara jaringan penyediaan air bersih dari sumber lain di luar wilayah kampung. Berbeda dengan jaringan resmi penyaluran air bersih yang dikelola perusahaan daerah (PDAM), jaringan swadaya masyarakat menunjukkan bagaimana mereka mengapresiasi kebersamaan. Tidak ada satu pipa
31
dan bak penampung utama, namun masing-masing warga harus membeli dan memasang sendiri pipa dari sumber air ke rumah masing-masing. Tidak tersedia dan dibutuhkan adanya organisasi khusus yang mengatur soal penyediaan air bersih tersebut. Dari itu semua apa yang hendak dikatakan ialah bahwa masyarakat kampung kota Sangiang Santen mengembangkan norma dan aturan yang berbeda dari aturan Negara
perihal
bagaimana
hidup
bertetangga
yang
baik,
mengelola
dan
memanfaatkan tanah untuk kepentingan sendiri dan tetangga. Aturan-aturan resmi Negara dan norma serta prinsip-prinsip hukum yang melandasinya tidaklah relevan di wilayah kampung kota Sangian Santen. Dari sudut pandang Negara dan Hukum Negara dapat dikatakan bahwa masyarakat kampung Sangiang Santen tidak atau belum mengembangkan kesadaran akan hak mereka atas lingkungan dan hunian yang bersih dan sehat.
Kesadaran demikian baru terbentuk ketika sejumlah warga
masyarakat bersentuhan dengan orang-orang kota yang melek hukum Negara. Ilustrasi dari pembentukan kesadaran hukum dari luar yang kebetulan “keliru” dapat kita temukan dalam kasus lain. Pemerintah Kota Bandung dalam rangka memenuhi ketentuan tentang kewajiban menghijaukan kawasan Bandung Utara, sebagaimana muncul dalam Perda Kota Bandung no. 02/2004 diperbaharui dengan Perda no. 3/2006 (RTRW Kota Bandung) menetapkan adanya jalur hijau di kawasan tersebut. Jalur hijau yang ditetapkan kebetulan melintasi tanah milik penduduk. Kewenangan menetapkan fungsi dan peruntukan kawasan memang diperbolehkan oleh Undang-undang tentang tata ruang (UU no. 24/1992 jo UU no. 26/2007) dan tidak mengurangi klaim kepemilikan warga atas tanah. Konsekuensi dari itu ialah bahwa kebebasan warga untuk membangun di atas tanahnya, sekalipun penguasaannya dikukuhkan sertifikat tanah dari BPN boleh dibatasi. Pembatasan serupa sebenarnya juga akan muncul dalam bentuk penetapan koefisien dasar bangunan (KDB) jika pemilik tanah mengajukan permohonan untuk mendapatkan IPPT dan IMB di kawasan yang sama. Dengan ditetapkannya KDB, kebebasan pemilik tanah untuk membangun di atas tanah miliknya akan dibatasi. Dasar pembatasan tersebut dari sudut pandang hukum ialah bahwa semua hak atas tanah punya fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Namun kemungkinan bahwa pemanfaatan tanah “milik” boleh dibatasi demi kepentingan publik (masyarakat kota dalam artian abstrak dan umum) ternyata tidak masuk akal bagi masyarakat kampung kota. Ini tidak saja terindikasikan dari pola tata
32
letak rumah dan pemanfaatan lahan, namun juga dari protes yang diajukan warga terhadap “larangan” membangun di atas tanah miliknya. Warga kampung Nyalindung-Punclut ternyata memiliki pemahaman lain tentang “kebebasan” yang terkandung dalam hak milik atas tanah. Salah satu warga, Syamsudin, warga kampung nyalindung RT 03/09 menyatakan:33 “Kami semua punya sertifikat. Karena kawasan hijau, kami tidak bisa membangun lahan kami sendiri. Kalau pemerintah kota Bandung mau menghijaukan silakan, tapi tanah kami harus dibeli dulu”
Tingkat kesadaran hukum yang rendah termasuk kepercayaan yang melekat bahwa warga masyarakat adalah “rakyat kecil” yang harus selalu mengalah juga berpengaruh terhadap bagaimana tawaran terbuka untuk menuntut ganti rugi yang disampaikan pengacara investor di mass media dimaknai oleh warga masyarakat yang merasa dirugikan. Lagipula dari pengamatan sehari-hari tidaklah mudah untuk begitu saja masuk dan membuat janji bertemu dengan orang-orang penting di lokasi proyek pembangunan. Setiap tamu diharuskan melapor di pos penjaga yang dijaga satpam, organisasi massa berseragam ataupun polisi/tentara.34 Keduanya nyata tidak dipersiapkan sebagai pos penerima dan pengelola pengaduan. Tertulis dengan jelas di pintu pos satpam: “Tamu harap lapor ke pos satpam” dan di tempat-tempat lain tertulis: “Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk”. Lagipula belum tentu pula penjaga atau satpam akan berbaik hati menyampaikan keluhan masyarakat kepada mandor atau pemborong atau siapapun yang kebetulan berada di tempat. Satu kendala lain ialah bahwa di lokasi proyek, warga masyarakat yang hendak mengadu akan berhadapan dengan pemborong atau mandor dan mereka itu selalu dapat berkilah tidak tahu menahu urusan ganti rugi,
33
2009. Warga Kampung Nyalindung-Punclut Tagih Ganti Rugi Pemkot.Harian Seputar Indonesia. Mei 14. Dalam kasus lain yang ditangani LBH-FH Unpar, tahun 2005, warga masyarakat yang terganggu dan memprotes satu proyek pembangunan hotel di pusat kota bandung, mendapat kunjungan dari sejumlah orang (“oknum” tentara) yang mengaku bertugas atau dipekerjakan untuk mengamankan proyek. “Oknum” tentara ini mencoba mengintimidasi ‘warga’ (tetangga) yang berkeberatan terhadap gangguan yang ditimbulkan hotel selama pengerjaan proyek maupun sesudahnya. 34
33
bahwa mereka-pun hanya pelaksana dan tidak berwenang menerima dan membicarakan keluhan. Tidak ada informasi tentang apakah warga masyarakat betul pernah mencoba upaya ini. Kemungkinan besar undangan hanya berhenti sebagai pernyataan di surat kabar belaka. Ini dikatakan karena undangan atau tawaran tersebut disampaikan kepada wartawan namun tidak secara langsung kepada warga. 7. Bagaimana Warga Merumuskan Keluhan dan Memaknainya Dari gambaran di atas tentang tingkat kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat, menarik mencermati dalam kasus ini bagaimana masyarakat Sangiang Santen – terutama mereka yang sebagai kelompok menentang rencana pembangunan hotel – merumuskan (dengan bantuan penyadaran dari LBH-Bandung atau DPKLTS) rencana tersebut sebagai pelanggaran aturan tata ruang dan tidak dipatuhinya prosedur yang seharusnya berkenaan dengan persyaratan meminta izin tetangga sebelum memohonkan izin peruntukan pemanfaatan tanah dan izin membangun.
Atas dasar
itu pula, warga masyarakat sebagai kelompok mencari “keadilan” ke pengadilan, melakukan demo ke hadapan wakil rakyat (DPRD Propinsi), dan membawa perkara ini sebagai kehadapan polisi sebagai suatu tindak pidana: penipuan dan pemalsuan keterangan warga untuk mendapatkan izin tetangga. Orang-orang dari Kota itulah yang juga “mem-buka-kan-mata” warga masyarakat yang menolak atas sejumlah peluang dan jalan untuk menuntut keadilan dengan menempuh jalur hukum atau non-hukum. Di sini pada tataran teori kita berhadapan dengan keterkaitan legal empowerment dengan access to justice.35 Terlepas dari itu, bagaimanapun juga masyarakat tidak lagi mengandalkan pemimpin resmi terdekat (lurah/camat) untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang muncul melainkan langsung membawa masalah mereka ke dewan perwakilan, baik tingkat
35
Adriaan Bedner & Jacqueline Vel, op.cit. p.4.
34
kota maupun propinsi. Jalur hukum, administrasi dan pidana, juga ditempuh karena mendapat dukungan dari “lembaga swadaya masyarakat”. Seberapa jauh kepentingan lembaga-lembaga demikian sejalan dengan kepentingan masyarakat adalah persoalan lain. Tapi yang jelas pemilihan forum sangat ditentukan oleh pengalaman lembagalembaga ini ketika mereka dengan alasan membela kepentingan rakyat berhadapan dengan pemerintah local dan pengusaha. Lagipula, keluhan dari warga, sebagaimana digambarkan sebelumnya, lebih berkenaan dengan hal-hal yang konkrit seperti kebisingan, getaran dan limbah tanah dan debu hasil penggalian pondasi. Beberapa dari mereka menyoal kerugian di masa depan: lingkungan yang menjadi tidak aman dan nyaman, kurangnya pasokan air, atau dijadikan tempat tinggal mereka sebagai pembuangan dan penggelontoran air limbah. Namun semua keluhan-keluhan tersebut tidak beranjak menjadi tuntutan hukum yang jelas. Terasa dari perbincangan dengan sejumlah warga bahwa ada keengganan untuk berkonflik secara terbuka dengan penguasa ataupun pengusaha (yang dipandang dekat dengan penguasa). Bagaimakah kita dapat memahami sikap pasrah atau “keengganan berkonflik”? Pada tingkat individu, perubahan alih fungsi pemanfaatan lahan tidak serta merta mendatangkan gangguan atau gangguan yang ada tidak/belum dianggap penting. Satu dan lain karena masih abstrak dan berupa kemungkinan (risiko) di masa depan yang bisa terjadi atau tidak. Kebanyakan penduduk di Sangiang Santen, dan juga di banyak tempat lain bersikap pasrah terhadap pembangunan yang mendatangi mereka. Penyebabnya mungkin budaya someah. Ini dikatakan Usep Romli (sastrawan dan budayawan sunda). Ia menunjuk pada kecenderungan masyarakat sunda (atau rakyat kecil) untuk: “mempertahankan nilai-nilai kasomeahan (someah hade ka semah” (ramah tamah terhadap tamu, baik tamu dalam artian orang luar dari etnis lain, atau dalam arti simbolik, budaya lain).
35
Ia selanjutnya menyimpulkan bahwa masyarakat sunda karena itu sering mengalah dalam berbagai hal sehingga tanpa sadar menjadi jati kasilih ku junti. (terpinggirkan): Sawah ladang bahkan lembur matuh banjar karang pamidangan (kampung halaman) berpindah kepemilikan kepada orang lain”.36
Kesimpulan serupa ditarik oleh seorang antropolog yang meneliti interaksi masyarakat sunda (Cipaheut) dengan pengelola padang golf dago di Bandung pinggiran37. Keluhan-keluhan mereka (grievances), namun demikian baru di beri nama (naming)
sebagai
pelanggaran
hukum
dan
disadari
siapa
yang
harus
bertanggungjawab untuk itu (blaming) setelah pihak luar, termasuk Buyung Nasoetion, merumuskannya ke dalam bahasa resmi hukum dan mempertanyakan kebijakan dan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha dihadapan pengadilan. Istilah yang kerap digunakan dalam pergaulan sehari-hari di antara warga masyarakat yang menolak rencana pembangunan hotel ialah “dizolimi” (mendapat perlakuan tidak adil/ditindas). Secara konkrit warga masyarakat merasa telah diperlakukan tidak adil oleh pemerintah kota dan pengusaha. Perasaan diperlakukan tidak adil ini kemudian menguat karena pemborong rupanya tidak merasa berkepentingan melibatkan masyarakat lokal sebagai buruh. Padahal itu adalah janji yang dipercaya masyarakat telah terucap pada acara sosialisasi atau silaturahim untuk memperkenalkan rencana secara resmi pada masyarakat RW O5 di kelurahan dahulu. Pemborong yang ditunjuk pengusaha lebih memilih mendatangkan buruh dari Jawa. Ini juga menjadi pemicu berbaliknya haluan warga masyarakat yang dahulu mendukung menjadi kontra. Kelompok yang dahulu 36
Romli. Usep. 2009. Watak Buruk dalam Babasan. Kompas, Maret 5: d. Riawanti. Selly. 2002. “Kehidupan Orang Pinggiran Kota di Cipaheut Kaler, Bandung Utara. Disertasi Doctoral, Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta. 37
36
mendukung (terutama dari satu rukun tetangga yang mayoritas warganya adalah buruh bangunan: baik tingkatan mandor, tukang tembok/kayu maupun laden) merasa hak mereka sebagai warga local untuk mendapatkan keuntungan dipekerjakan sebagai buruh telah dilanggar. Janji yang disampaikan pada waktu kegiatan sosialisasi ternyata diingkari. Namun itu kesulitan merumuskan keluhan tidak dialami oleh Dr. Adnan Buyung Nasoetion. Ia yang mengajukan gugatan pembatalan IPPT tidak mengalami kesulitan demikian untuk langsung merumuskan keluhannya sebagai satu bentuk penyimpangan hukum, terutama pengabaian asas-asas umum pemerintahan yang baik. Ia juga kemudian berhasil meyakinkan sebagian masyarakat (80 orang) untuk bersama-sama dengannya, sekalipun sebagai pihak berbeda, mengajukan gugatan terhadap IPPT yang diterbitkan 8 September 2006 pada tanggal 6 Februari 2007. Sebagaimana dikutip oleh Kompas, menurut ketua Tim penasehat hukum Adnan Buyung Nasution dan bertindak sebagai perwakilan warga lainnya, gugatan difokuskan kepada tidak adanya studi analisis mengenai dampak lingkungan dalam rencana pembangunan hotel tersebut.38 Dengan kata lain, penerbitan IPPT tersebut melanggar UU no. 23/1997 tentang lingkungan hidup, PP no. 29/1997 tentang analisis mengenai dampak lingkungan hidup. Selain itu, IPPT tersebut menyimpang dari izin prinsip yang dikeluarkan walikota Bandung sendiri. Ketua tim pembela Adnan Buyung Nasution menjelaskan bahwa:39 “dalam menerbitkan izin untuk melakukan usaha atau kegiatan haruslah memperhatikan rencana tata ruang, pendapat masyarakat, serta pertimbangan dan rekomendasi dari yang berwenang dengan usahanya tersebut”
38
Herlambang. Cornelius Helmy. 2007. Warga Tolak Pembangunan Hotel 10 Tingkat. Kompas Cybermedia, January 16. 39 2007. Adnan Buyung Gugat Wali Kota Bandung, (www.gatra.com/2007-01-25/versi_cetak.php.). Ditambahkan bahwa izin prinsip diberikan kepada Iman Luciana selaku Direktur Utama PT. Serena Seriti, sedangkan IPPT diberikan kepada Hendry Husada sebagai perorangan berdasarkan status kepemilikan tanah.
37
Pada waktu itu reaksi resmi pemerintah kota Bandung ialah menyatakan akan menunda pengurusan izin-izin lainnya. Kepala Dinas Bangunan Kota Bandung, menyatakan bahwa:40” PT. Intan Tiara Nusantara baru memiliki izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT). Adapun izin mendirikan bangunan (IMB), izin gangguan (HO) dan surat izin kepariwisataan (SIUK) belum keluar (…) Hotelnya juga belum dibangun, baru tahap rencana akan dibangun sepuluh lantai. Nah, izinnya baru diurus, tapi ada penolakan dari warga.”
Artinya pemerintah kota tidak akan mengeluarkan izin-izin tersebut di atas sebelum ada putusan final dari PTUN. Di samping itu ia merencanakan melakukan sosialisasi ulang mengenai pembangunan hotel tersebut. Sebab terbukti masih ada warga yang keberatan dan bahkan menolak. Sayangnya penolakan hanya dianggap sebagai indikasi warga belum berhasil dibuat mengerti dan perlu diyakinkan kembali. Namun lepas dari niatan baik itu ternyata PTUN Bandung menolak gugatan Buyung cs. Juga pada tingkat terakhir Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya (9 juli 2008 no. 124K/TUN/2008) menolak permohonan kasasi dari Buyung cs. Majelis memandang proses IPPT itu belum final. Putusan demikian sebenarnya tidak mengejutkan karena sejalan dengan putusan-putusan PTUN lainnya dalam kasus serupa yang diajukan terhadap penerbitan izin yang untuk realisasinya digantungkan pada perolehan serangkaian izin lain. Keseluruhan proses di PTUN ternyata juga berhasil menarik perhatian mass media dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (DPKLTS dan LBH-Bandung). Kedua lembaga swadaya masyarakat ini merumuskan peristiwa ini sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha dan pengabaian hak-hak masyarakat kampung Sangiang Santen. Di samping itu juga pemerintah kota Bandung dikecam
40
2007. Tunggu Keputusan PTUN Jabar: Bongkar Hotel di Kawasan Punclut. Kompas, January 27.
38
karena dalam kebijakan-kebijakan pemanfaatan ruangnya abai terhadap kepentingan pelestarian dan daya dukung lingkungan. Ketika dirumuskan sebagai pelanggaran prosesur pemberian izin, maka pencari keadilan mau tidak mau harus membawa keluhan mereka kehadapan Pengadilan Tata Usaha Negara. Forum inilah yang dalam hukum formal yang ada paling tepat untuk menguji keabsahan perizinan yang telah diberikan dan yang dianggap merugikan kepentingan umum masyarakat.
Namun ini tidak menutup
kemungkinan bagi masyarakat untuk menuntut ganti rugi dihadapan pengadilan perdata atau memberdayakan mekanisme peradilan pidana. Untuk yang terakhir ini, maka pihak LBH-Bandung berhasil meyakinkan sejumlah warga (atas nama 225 anggota forum komunikasi warga ciumbuleuit peduli lingkungan) untuk melaporkan tindakan pemalsuan tandatangan atau rekayasa persetujuan tetangga kehadapan polisi. Pelaporan yang kemudian diterima setelah sebelumnya ditolak oleh polwiltabes Bandung. Kuasa hukum para pelapor, Gatot Rianto dari LBH Bandung menyatakan bahwa Henry diadukan ke polisi atas dasar sangkaan41: “menggangu ketertiban umum (pembangunan yang dimulai sejak juni 2008 tidak henti selama 24 jam), memalsukan keterangan dan pencemaran nama baik 100 warga yang namanya dicatut pemilik hotel (tandatangan kehadiran yang dipelintirkan menjadi persetujuan warga terhadap pembangunan hotel hotel)”
Ditambahkan oleh Gator bahwa: “warga akan bersikukuh untuk menolak pembangunan hotel, meski dengan cara sendiri”. Selain itu, pihak LBH juga akan meninjau ulang aturan pidana kegiatan pembangunan yang melanggar tata ruang. Dalam kesempatan sama, salah seorang warga, Arie Ahmad, menuturkan bahwa,
41
2009. Warga Adukan Pemilik Hotel Four ke Polisi. Tempo Interaktif, January 19.
39
pihak pengembang hotel: “sudah mengkhianati warga RW 05 Kelurahan Ciumbuleuit”.
Masyarakat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Peduli Lingkungan (FKPL) pada suatu hari di bulan Januari 2009 melakukan aksi demonstrasi.42 Dalam aksi tersebut sejumlah warga melakukan aksi jalan kaki beriring-ringan dengan membawa dua spanduk hijau dan putih. Tulisan di salah satu spanduk menyatakan: “Kami tidak butuh hotel dan segala bualanmu, yang kami butuhkan hanya kehidupan yang genah, merenah, dan tumaninah”. Spanduk lainnya bertuliskan: “Warga Ciumbuleuit mendukung Kang Dada jadi walikota, tapi warga tidak setuju jika Kang Dada memberikan izin untuk hotel Four R”. Di samping itu, masyarakat yang tergabung dalam Forum Masyarakat Ciumbuleuit Peduli Lingkungan yang menolak rencana pembangunan juga melakukan demonstrasi ke kantor DPRD Kota Bandung awal Januari 2009. Seperti dinyatakan oleh Koordinator aksi Andabinidi, penolakan warga dilakukan karena khawatir pembangunan hotel akan mengganggu suasana dan ketertiban warga sekitar. Dalam bahasa sederhana: menjadi pemicu sengketa antar warga dan menimbulkan ketidaknyamanan antar tetangga. Selain itu juga mereka hendak mengadukan pengembang hotel ke polisi (mapowiltabes Bandung) karena pengembang dituding telah memanipulasi data dan tandatangan warga sekitar yang diperuntukan sebagai tanda persetujuan.43 Juga dikatakan bahwa “pembangunan hotel tersebut banyak manipulasi dan kebohongan public”. Apa dan bagaimana tanggapan pengusaha terhadap tudingan-tudingan di atas? Hendri, juru bicara dan penasihat hukum pemilik/pengelola hotel menanggapi tuduhan-tuduhan di atas menjelaskan bahwa:44 “pembangunan hotel sudah sesuai dengan prosedur resmi. Mereka sudah melakukan sosialisasi kepada warga sebanyak tiga kali sejak 8 Agustus 2006. Bahkan, Adnan Buyung Nasution-pun diundang namun tidak hadir dan diwakilkan (…) Kami tidak memanipulasi kehadiran warga seperti dituduhkan, kami justru melakukan sosialisasi terhadap warga mulai dari seluruh RT yang ada di sekitar pembangunan hotel. Warga yang hadir umumnya tidak keberatan pembangunan hotel itu”. Di samping itu ia juga menegaskan: “Bila warga mengalami kerugian akibat pembangunan ini, silahkan lapor kepada kami”. 42
Yulianti. Tya Eka. loc.cit. Pratama. Arief. 2009. Tolak Pembangunan Hotel, Warga Bandung Demo. Kompas, Januari 19. 44 2009. Henry Minta Pemkot Membuka Portal. Diunduh dari http://newspaper.pikiran-rakyat.com. January 23. 43
40
Ia selanjutnya menjelaskan bahwa:45 “pembangunan hotel tidak merusak lingkungan seperti yang dituduhkan warga. (…) Tidak ada longsor ataupun limbah malah dapat membuka lowongan kerja bagi warga sekitar dan mendorong pemasukan daerah”.
Dengan cara sosialisasi di atas yang lagipula dipandang sekadar formalitas belaka jelas bahwa suara warga masyarakat yang tidak setuju dianggap tidak penting dan dapat diabaikan.
Dalam pandangan demikian, dapat kita mengerti mengapa
warga yang berkeberatan dianggap belum paham dan konflik kepentingan cukup diselesaikan dengan melakukan sosialisasi. Lagipula dari sudut pandang pengusaha, rekomendasi amdal (dari Bapedalda Kota Bandung) dan rekomendasi analisis dampak lingkungan (andalalin) dari dinas perhubungan sudah merupakan bukti final bahwa “dampak apapun di masa depan sudah diperhitungkan” dan proyek pembangunan hotel layak diteruskan. Warga masyarakat juga mencoba menarik perhatian DPRD Kota Bandung dan menuntut dialog dengan ketua DPRD. Demonstrasi ini dipicu juga oleh keputusan ketua DPRD untuk membatalkan kunjungan lapangan ke lokasi46. Seberapa jauh tuntutan demikian realistis? Untuk itu maka, kesemuanya harus ditempatkan dalam kerangka hukum (substantive dan procedural) yang ada. Hanya dengan melakukan itu dapat ditelaah seberapa jauh kemungkinan tuntutan warga akan didengar dan diperhatikan oleh pemerintah kota. Di bawah ini akan diberikan analisis tentang kerangka hukum demikian.
8. Analisis hukum Penataan Ruang Kota dan Kebijakan Pemanfaatan Tanah
45
Rolit. 2009. Pemilik Hotel Four R Terima Ancaman, diunduh dari http://www.lifestyle.roll.co.id/fashionista/25latest/21477. January 22. 46 2009. Warga Tagih Janji Ketua DPRD. Kompas, January 28.
41
Salah satu kawasan yang banyak dilirik pengusaha/investor untuk membangun hotel untuk mendukung kebijakan pengembangan kota Bandung sebagai kota wisata adalah kawasan Bandung Utara.47 Satu dan lain kawasan ini karena terletak diperbukitan dianggap cocok untuk hotel dan lagipula tidak terlalu jauh dari pusat keramaian kota. Satu hambatan kecil ialah adanya peraturan pemerintah tentang rencana tata ruang wilayah (tingkat propinsi) yang menyatakan kawasan tersebut sebagai kawasan lindung dan kegiatan pembangunan sebenarnya dilarang atau bahkan harus diawasai dengan sangat ketat. Alasannya ialah untuk mencegah berkurangnya kemampuan kawasan tersebut berfungsi sebagai kawasan resapan air dan pengendali iklim mikro kota Bandung.48 Namun ini sebenarnya bukan persoalan besar, karena pemerintah Propinsi tidak memiliki kewenangan langsung untuk memproses permohonan perizinan investasi termasuk ke dalamnya izin pemanfaatan ruang. Kewenangan demikian ada di tingkat pemerintah kota cq dinas-dinas terkait. Empat daerah otonom yang berbagi kewenangan di Kawasan Bandung Utara, yaitu kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi lagipula memiliki kebijakan berbeda perihal perencanaan kawasan tersebut. Ketika perda tiga daerah otonom itu diperbandingkan nyata bahwa masing-masing daerah otonom menyatakan kawasan Bandung Utara bukan sebagai kawasan lindung melainkan sebagai kawasan budidaya.49 Satu daerah otonom lainnya, kabupaten Bandung Barat baru terbentuk tahun 2008 dan belum tampak beroperasi. 47
Kawasan Bandung Utara adalah wilayah ekologis seluas 30.000 hektar yang batas-batasnya dan peruntukannya ditetapkan di dalam SK Gub. Jawa Barat no. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang peruntukan lahan di wilayah inti Bandung Raya Bagian Utara. Di dalam SK tersebut dinyatakan bahwa KBU mempunyai fungsi konservasi air tanah untuk kepentingan seluruh masyarakat yang tinggal di cekungan Bandung. 48 Perda Propinsi Jawa Barat tentang RTRW Propinsi no. 2/2003; Perda Propinsi Jawa Barat tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara no. 1/2008 (dan Peraturan Gubernur tentang petunjuk teknis pengendalian pemanfaatan ruang kawasan Bandung Utara no. 21/2009) dan Perda RTRW Kota Bandung no. 2/2004 diamandemen oleh Perda no. 3/2006. 49 Perda RTRW Kota Bandung (no. 2/2004 diubah dan ditambah oleh Perda no./2006) menetapkan KBU sebagai kawasan lindung terbatas (hanya 20% boleh dibangun). Perda Kabupaten Bandung no. 12/2001, diubah dengan
42
Di samping itu kasat mata dari penelitian lapangan juga tampak bahwa Kawasan Bandung Utara terbuka sepenuhnya untuk kegiatan “pembangunan”, baik dalam bentuk pembangunan rumah oleh perseorangan atau masyarakat desa maupun untuk kepentingan kegiatan investasi kepariwisataan, termasuk pengembangan perumahan.50 Khususnya untuk Kawasan Bandung Utara yang berada di bawah kewenangan pemerintah kota, maka satu preseden yang memuluskan pemanfaatan lahan di kawasan Bandung Utara untuk pembangunan hotel adalah kemenangan pemerintah kota dan investor menghadapi tentangan dan gugatan di hadapan Pengadilan Tata Usaha Negara atas rencana pengembangan kawasan itu sebagai kawasan wisata terpadu Bukit Dago Raya (perumahan, padang golf, hotel dan sekolah).51 Lagipula seperti dinyatakan Taufan dari DPKLTS, data yang ada menunjukkan bahwa tanah di KBU hampir sepenuhnya dikuasai dan/atau dimiliki oleh pengembang. Mereka itu juga sudah memiliki izin pembangunan (rangkaian berkaitan dengan pengadaan tanah: izin prinsip-izin lokasi, maupun pemanfaatannya: IPPT-IMB).52 Singkat kata, prakara pemanfaatan ruang di KBU sepenuhnya ada ditangan pihak pengembang yang sudah menguasai lahan dengan seizin pemerintah kota/kabupaten. Bahkan berkaitan dengan penegakan aturan tata ruang, dikatakan oleh Kepala Seksi Pengusutan Pembongkaran Dinas Bangunan Pemerintah Kota Bandung, Endo
Perda no. 3/2008) menetapkan KBU sebagai kawasan tertentu. Perda RTRW Kota Cimahi (no. 23/2003) menetapkan KBU sebagai kawasan budidaya. 50 2004. Di Era Otonomi Daerah Kawasan Bandung Utara Tercabik-cabik. Kompas June 19.; 2005. Konsep KBU yang Tumpang Tindih Akan Diseragamkan. Kompas, April 30. 51 2005. DPKLTS Gugat Walikota, Terkait Pemberian Izin Pembangunan Jalan di Punclut. Pikiran Rakyat, February 17. PTUN Bandung memutus perkara ini bulan Juli 2005. Pemerintah Kota Bandung dinyatakan tidak melanggar hukum tatkala menerbitkan IPPT untuk PT. DAM. 52 Yudiawan. Dewi. 2006, Sekarang Menjadi Milik Pengembang. Pikiran Rakyat, Desember 18. Data yang ada menunjukkan bahwa di KBU 87 pengembang menguasai lahan seluas 3774.82 hektar. Ini belum termasuk lahanlahan kecil (di bawah 5000 meter persegi) yang dikuasai oleh pengembang hotel atau apartemen atau perumahanperumahan mewah dalam enclave. Kusiman. Erwin. 2007. Quo Vadis Pengendalian KBU”, Pikiran Rakyat, January 25.
43
Sukanda bahwa pembongkaran bangunan di KBU yang melanggar aturan tidak mudah, karena KBU terdapat di Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan juga sebagian kecil di Kabupaten Sumedang. Ia menambahkan bahwa:
“Kalau bangunan yang menyalahi aturan dibongkar, tentu Pemkot Bandung akan bertanya-tanya mengapa permukiman di kawasan Lembang, Kabupaten Bandung tidak ikut ditertibkan? Penertiban ini kewenangan kepala daerah yang bersangkutan”. Kutipan di atas setidak-tidaknya menunjukkan keengganan pemerintah kota Bandung untuk mendayagunakan perizinan pembangunan dan upaya paksa pembongkaran untuk mengendalikan pemanfaatan lahan di KBU. Sekalipun terkesan agak janggal terkesan pula bahwa masing-masing pemerintah kabupaten/kota yang berbagi kewenangan mengelola Kawasan Bandung Utara justru bersepakat untuk membiarkan terus berlanjutnya pembangunan Kawasan Bandung Utara yang melanggar aturan tata ruang. Padahal dari hasil penelitian Departemen Teknik Planologi ITB, ditunjukkan bahwa dari 2.422 hektare lahan yang sudah memiliki izin di Bandung Utara, hanya 15 persen atau 357 hektare yang mengikuti kaidah penataan ruang ditetapkan.53 Ini juga mengindikasikan bahwa ada toleransi tinggi terhadap pelanggaran tata ruang atau sekurang-kurangnya pelanggaran tata ruang tidak dianggap penting. Maka ketika tahun 2005, salah satu investor (Henry Husada, seorang pengusaha besar dan terkenal di kota Bandung) menyatakan ingin membangun hotel di jalan Rancabentang, Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, kawasan yang termasuk dalam kawasan Bandung Utara, ia mendapat dukungan penuh pemerintah kota Bandung. Lagipula berbeda dengan kegiatan pengadaan tanah untuk proyek perumahan dalam skala besar, pengadaan tanah untuk kegiatan hotel, karena hanya
53
2004. MoU Bandung Utara tak Berguna. Pikiran Rakyat, June 2.
44
dalam skala relatif kecil kerap luput dari perhatian masyarakat luas maupun pengamat lingkungan. Ini dapat terjadi karena proses jual beli tidak mensyaratkan persetujuan dari tetangga terdekat dan juga tidak dikontrol oleh pemerintah daerah.54 Hubungan hukum yang ada hanya mengikat penjual dan pembeli dan di sini kiranya berlaku asas kebebasan berkontrak dengan sejumlah pembatasan.55 Dalam hal ini Negara hanya mensyaratkan dibuatkannya akta jual beli dalam bentuk akta notariil dan pelunasan pajak penjual (pajak penghasilan) dan pajak pembeli (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).56 Bahkan juga bila tanah belum bersertifikat dapat berpindah kepemilikan dengan cara membuat akta pengikatan jual beli yang mensyaratkan bahwa: 1. pembeli akan kemudian atas biayanya sendiri mengurus pensertifikatan tanah, dan 2. jika proses ini gagal karena sebab apapun, maka jual beli dinyatakan tidak terjadi dan pembeli harus mengembalikan uang yang sudah diterimanya. Singkat kata rumah dan bangunan tempat hotel akan dibangun berpindah tangan tanpa hambatan dan luput dari perhatian masyarakat sekitar.
Apa yang
selanjutnya pengusaha perlu urus hanyalah sejumlah izin dari pemerintah daerah yang memberinya wewenang untuk membangun sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, mulai dari peraturan tata ruang, penggunaan tanah sampai dengan bangunan serta pemanfaatan bangunan. Satu syarat yang harus dipenuhi pengusaha atau investor hanyalah mendapatkan izin tetangga sebagai syarat untuk mendapatkan 54
Berbeda jika pengusaha belum memperoleh/menguasai tanah. Sebelum melakukan transaksi dalam rangka pengadaan tanah ia harus memohon persetujuan pemanfaatan ruang/penggunaan lahan untuk pembangunan dari Bappeda Kota Bandung. Untuk mendapatkan persetujuan tersebut pemohon harus melampirkan: pernyataan dari masyarakat pemilik tanah bahwa mereka bersedia menjual tanah kepada pemohon dan pernyataan kesanggupan membebaskan/membayar gantirugi tanah kepada pemilik tanah. Namun itu tidak serta merta berarti bahwa tidak ada pemaksaan secara halus atau kasar terhadap para pemilik tanah untuk melepas tanah mereka pada pengembang. Lihat: 2007. Laporan Khusus. Pikiran Rakyat. January 25. tentang pengelolaan kawasan Bandung Utara. 55 Ketentuan Pasal 1320 jo. 1338(1) BW: perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 56 Ketentuan hukum yang mengatur proses dan persyaratan jual beli tanah dapat kita temui dalam UUPA (no. 5/1960); UU no. 21/1997 jo. UU no. 20/2000; PP no. 24/1997 (pendaftaran tanah); PerMenAg/Kep. BPN no. 3/1997 (ketentuan pelaksanaan PP no. 24/1997); PP no. 46/2002 (tentang tariff atas jenis penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada BPN) dan Surat Edaran Kepala BPN no. 600-1900 (31 juli 2003).
45
IPPT-IMB dan juga izin gangguan. Dalam praktik permohonan izin diterjemahkan lebih sebagai upaya pemberitahuan/pengumuman belaka. Keberatan lagipula harus diajukan kepada dinas terkait bukan pada pengusaha atau pemerintah setempat (kelurahan/kecamatan) yang memprakarsai kegiatan sosialisasi. Dengan berbekal sejumlah perizinan tersebut dan bukti bahwa pemberitahuan tentang rencana proyek atau kegiatan telah diberitahukan kepada tetangga terdekat, pengusaha (pemilik lahan) mulai mengadakan perjanjian pemborongan. Berdasarkan perjanjian itulah, pemborong (pihak ketiga) melakukan kegiatan pembangunan fisik, berupa pemagaran lahan, pematangan lahan dan pemasangan pondasi. Pada tahapan itulah, baru masyarakat kampung kota Sangian Santen berhadapan secara konkrit dengan dampak dari kegiatan pembangunan hotel di kawasan hunian mereka. Namun suara mereka seperti telah diindikasikan seringkali tidak terdengar atau bahkan tidak disampaikan secara jelas kepada pemerintah apalagi pengusaha. Berbeda dengan itu rencana pemanfaatan lahan dan pembangunan hotel di kawasan Bandung Utara oleh LBH Bandung dan Buyung Nasoetion dipahami sebagai pelanggaran aturan rencana tata ruang. Dinyatakan bahwa pemerintah kota Bandung telah keliru menerbitkan IPPT dan IMB dengan merujuk pada peraturan daerah kota tentang rencana tata ruang kota. Kedua izin tersebut seharusnya tidak boleh diterbitkan karena melanggar ketentuan tentang penetapan peruntukan kawasan di dalam aturan-aturan penataan ruang di luar Perda RTRW Kota Bandung. Menurut LBH dan Buyung Nasoetion, kawasan Bandung Utara telah ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh Surat Keputusan Gubernur dan dua Perda Propinsi Jawa Barat, yakni Perda no. 2/2003 tentang RTRW Propinsi dan Perda . Di sini dapat diangkat dua persoalan hukum. Pertama kekuatan mengikat dari surat keputusan Gubernur
46
terhadap Pemda Kota Bandung, dan kedua, acuan hukum dari perizinan pemanfaatan ruang. Untuk yang pertama dapat dikatakan bahwa setelah diterbitkannya UU Otonomi Daerah tahun 1999, kedudukan propinsi dan gubernur tidaklah sekuat dahulu. Gubernur dan pemerintah propinsi dalam hierarki kepemerintahan tidak lagi berkedudukan lebih tinggi di atas kabupaten/kota yang otonom. Kemandirian ini ditunjukkan dengan diabaikannya semua “larangan atau himbauan untuk tidak membangun di kawasan lindung Bandung Utara” dan menetapkan sendiri melalui Perda RTRW Kota Bandung tahun 2004 bahwa Punclut dan kawasan Ciumbuleuit (termasuk di dalamnya lahan yang hendak dibangun sebagai Hotel Four R atau Henry Palace) adalah kawasan lindung terbatas.57 Artinya di kawasan tersebut boleh dibangun
dengan
sejumlah
pembatasan.
Dada
Rosada,
walikota
Bandung
berkeyakinan bahwa:58 “Pembangunan di kawasan Punclut akan terus dilanjutkan karena pembangunan tersebut diinginkan warga Punclut” Argumen yang sama kiranya akan dianggap berlaku bagi masyarakat kampung kota Sangiang Santen, yakni bahwa mereka membutuhkan pembangunan yang akan datang bersama dengan pembangunan hotel berbintang di wilayah mereka. Lagipula kebijakan pemanfaatan lahan kota Bandung (termasuk di kawasan Bandung Utara yang dianggap belum padat terbangun) dicermati sebagai hal yang wajar, yakni implikasi dari posisi geografis kota Bandung yang sangat dekat dengan Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi nasional, penetapannya sebagai kota utama di Jawa Barat dan sebagaimana muncul di rencana tata ruang sebagai “Kota Jasa”. Itu semua akan memaksa masyarakat, terutama masyarakat kampung kota yang menempati lahan tidak tertata untuk rela menerima “penggusuran” demi dan untuk 57 58
2004. Ada Manipulasi Peta RTRW Kota Bandung. Kompas, June 22. Ibidem
47
“pembangunan”. Bahkan dikatakan bahwa kampung kota bukan lagi konsep hunian kota yang ideal. Sebaliknya pemerintah kota seyogianya mengembangkan konsep hunian vertical sebagai ganti landed house.59 Argumen di atas dilandaskan pada pandangan yang berlaku umum dikalangan pemerintahan bahwa pembangunan fisik di manapun juga selalu demi kepentingan publik. Maka itu sulit bagi pejabat pemerintah untuk memahami bahwa masyarakat pemilik tanah “menolak” pembangunan yang mendatangi mereka, bahkan menolak untuk melihat dinamika dan realistas tuntutan pembangunan kota. Terlepas dari itu, ini berkenaan dengan persoalan hukum kedua, kemungkinan untuk membangun sekalipun dengan sejumlah pembatasan itulah yang kemudian melatarbelakangi kebijakan pemerintah kota dan dinas-dinas terkait untuk terus memproses dan menerbitkan izin-izin pengadaan tanah dan pemanfaatan ruang yang diajukan swasta demi kepentingan pembangunan, termasuk salah satunya yang diterima pihak pengelola hotel Four R di jalan Rancabentang, Ciumbuleuit yang termasuk ke dalam Kawasan Bandung Utara. Pandangan hukum demikian jelas ditentang oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat yang kemudian mencoba menegaskan kembali posisi hukumnya dengan menerbitkan Peraturan Daerah tentang RTRW tingkat Propinsi no. 2/2003 dan Perda no 1/2008 tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara. Dinyatakan pula bahwa – kontras dengan apa yang diyakini dan dilakukan pemerintah kota dan kabupaten yang berbagi kewenangan di Kawasan Bandung Utara – bahwa kedudukan RTRW Jawa Barat adalah sebagai pedoman bagi pelaksanaan perencanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten/Kota harus se-
59 Tigor Sinaga. 2004. Belajar dari Johon Baru: Mencari Konsep Hunian Perkotaan yang Ideal. Pikiran Rakyat, July 23.
48
Jawa Barat. Ini berarti bahwa dokumen RTRW Kabupaten/Kota harus disesuaikan dengan RTRW Propinsi.60 Beranjak dari pandangan ini tidak mengherankan bila dalam kasus sengketa pemanfaatan lahan yang berbeda di wilayah Bandung Utara, para advokat yang peduli pada kasus-kasus lingkungan di tahun 2008 mendaftarkan gugatan legal standing di pengadilan negeri Bandung. Gugatan itu ditujukan kepada pemerintah dan DPRD Kota Bandung dan PT. DAM (penguasa lahan yang hendak memanfaatkan lahan) atas kerusakan lingkungan yang terjadi di Bandung Utara. IE Yogaswara, Ketua Komite Advokasi Lingkungan Hidup dan Hak-hak Sipil (koalisi) menyatakan bahwa niat mereka adalah:61 “Kami ingin memberi proses pembelajaran pada pejabat pemerintahan, hatihati memberikan izin” dan sekaligus meminta agar: “semua kegiatan usaha fisik di kawasan itu dihentikan.” Selanjutnya ia menyatakan bahwa dasar gugatan mereka cukup jelas, yaitu bahwa Perda Kota Bandung Nomor 3/2006 (RTRW) yang mengatur tata ruang wilayah kota, bertentangan dengan perudang-undangan di atasnya. Di dalam Peraturan daerah itu peruntukan wilayah Punclut di kawasan Bandung Utara diubah dari warna hijau (kawasan lindung) menjadi kuning (perumahan dengan kepadatan rendah).
Argumen yang sama berlaku juga dalam kasus yang ditelaah di sini.
Ringkas kata, izin pemanfaatan ruang yang diberikan dilandaskan pada Perda tata ruang kota yang bertentangan dengan peraturan yang seharusnya menjadi rujukan (Perda RTRW Propinsi Jawa Barat). Persoalannya ialah bahwa selama Perda RTRW Kota Bandung yang sudah disetujui DPRD tidak dinyatakan batal demi hukum karena pertentangannya dengan 60
Sekretariat Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Propinsi Jawa Barat, 2003. Evaluasi Berkala Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat tahun 2003. Bandung: Bappeda Propinsi Jawa Barat. 61 Fikri. Akhmad. 2008. Bandung Utara Rusak, Pengacara Lingkungan Ajukan Gugatan. Tempointeraktif, August 7.
49
Peraturan lebih tinggi, maka itulah yang tetap dianggap berlaku sebagai rujukan ketika dinas-dinas pemberi izin pemanfaatan ruang memproses permohonan izin tersebut yang diajukan pemrakarsa. Dalam proses pemberian izin pemanfaatan lahan, dinas-dinas terkait (dinas tata kota dan dinas bangunan) terikat dan berpatokan pada peraturan daerah kota/kabupaten tentang rencana tata ruang yang berlaku. Lagipula Peraturan Daerah Kota yang secara resmi merupakan wujud kesepakatan antara pemerintah kota Bandung dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Karena itu pula di sini penting untuk mencermati bagaimana dalam praktik izin dimohonkan, diproses dan diterbitkan. Ketika satu izin (investasi) telah diberikan (persetujuan prinsip oleh BKPMD dan Dinas terkait/Pariwisata), maka apakah dinas atau badan pemerintah lainnya yang berwenang menerima dan memproses permohonan rekomendasi (advis planning, amdal, persetujuan pemanfaatan ruang) atau izin (IPPT, IMB) memiliki peluang dan berani untuk menolak? Apalagi pemerintah daerah kota sangat berkepentingan untuk tidak saja memberikan pelayanan public terbaik, namun juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan investasi di daerah. Pada prinsipnya pemanfaatan tanah di kawasan kota diatur secara ketat. Warga ataupun korporasi (public-privat) yang menguasai lahan atas dasar alas hak formal ataupun tidak formal tidak dapat dengan sebebas-bebasnya memanfaatkan tanah demi kepentingannya sendiri. Ketentuan pasal 6 UUPA jelas menyatakan bahwa tanah memiliki fungsi sosial.62 Betul bahwa fungsi sosial tanah kerap dimaknai hanya dalam kaitan dengan proses pengadaan tanah, baik karena pelepasan hak secara sukarela ataupun karena pencabutan hak atas tanah, keduanya dilakukan untuk
62
UU No. 5 tahun 1960 (UUPA ) : Pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
50
kepentingan umum.63 Dalam ragam regulasi yang mengatur kegiatan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pemaknaan fungsi sosial tanah ditujukan untuk menegaskan kewajiban pemilik tanah untuk rela melepas tanahnya yang akan dimanfaatkan pemerintah untuk “pembangunan” infrastruktur (jaringan jalan, waduk, gedung pemerintah) yang akan dimanfaatkan oleh “umum”. Namun, fungsi sosial tanah juga dapat kita maknai dalam kaitannya dengan penataan ruang dan/atau pemanfaatan tanah. Instumen-instrumen penataan ruang (dari rencana tata ruang nasional sampai dengan rencana rinci ditingkat kota serta zonasi) ditujukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang serta menjaga daya dukung lingkungan. Keduanya dapat kita maknai sebagai juga “fungsi sosial tanah” yang sedianya membatasi kebebasan seseorang untuk memanfaatkan tanah yang berada di bawah penguasaannya. Ikhwalnya di sini adalah mencari keseimbangan antara kepentingan pribadi dan umum. Di dalam Penjelasan Umum (II angka 4) terhadap ketentuan Pasal 6 UUPA ditegaskan bahwa: “ (.....) tetapi dalam ketentuan tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya ( pasal 2 ayat (3)).”
Beranjak dari situ dapat dikatakan bahwa seyogianya semua peraturan penataan ruang yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan, dilakukan demi kepentingan umum. Dengan kata lain, perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan (pemanfaatan tanah) ditujukan terutama untuk mewujudkan fungsi sosial tanah.
63
Lihat UU no.20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda yang ada di atasnya. Menurut UU No 20/1961, pencabutan hak atas tanah dilakukan untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat. Demikian pula kepentingan pembangunan. Karena itu, Presiden dalam keadaan yang memaksa-setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan menteri yang bersangkutandapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang di atasnya. Kewenangan serupa ditegaskan kembali di dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Ditegaskan bahwa demi kepentingan umum, hak atas tanah milik seseorang atau institusi dapat dicabut oleh Negara. Baca lebih lanjut: 2005. Presiden Bisa Mencabut Hak atas Tanah. Kompas, Mei 7. Untuk kritikan terhadap penyamaan fungsi sosial dengan kepentingan umum dalam pengadaan tanah, baca Adi. Rianto. Pencabutan Hak atas Tanah. Kompas. June 10. Lihat juga surat terbuka Perhimpunan Bantuan hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) dengan judul “Tanggapan terhadap Perpres no. 36/2005” tanpa tanggal, ditandatangani oleh Johnson Panjaitan (ketua PBHI).
51
Persoalan muncul ketika lahan yang sudah dikuasai pihak pengusaha hendak dimanfaatkan sesuai niat awal pembelian lahan tersebut: menjadi bangunan hotel lantai 10 (Four R atau Henry Palace Hotel). Untuk itu sebenarnya menurut aturan hukum dan praktik kebiasaan yang berkembang darinya, pihak yang membuat rencana pembangunan hotel, seandainyapun ketentuan tata ruang kota tidak menghalangi ikhtiar pemanfaatan tanah tersebut, harus meminta persetujuan tetangga terlebih dahulu, termasuk dari masyarakat sekitar.64
Kewajiban ini termuat pula
dalam ketentuan tentang tata cara peroleh izin mendirikan bangunan yang merupakan lanjutan dari izin peruntukan penggunaan tanah. Ini harus dibedakan dari ketentuan serupa dalam Undang-undang (izin gangguan) dan turunannya. Persetujuan tetangga dalam hal ini dimaksudkan sebagai satu syarat yang harus dipenuhi jika suatu bangunan menimbulkan “gangguan kebisingan atau bau atau keramaian” yang akan mengganggu ketenangan dan kenyamanan lingkungan. Berdasarkan peraturan daerah kota Bandung no. 14/199865 yang diturunkan dari UU Bangunan, setiap orang sebelum membangun wajib mengajukan dan memperoleh izin peruntukan penggunaan lahan dari dinas tata kota dan izin mendirikan bangunan dari dinas bangunan pemerintah kota. Khususnya berkenaan dengan izin mendirikan bangunan dengan tegas disyaratkan bahwa pemohon sebelum mengajukan permohonan IMB harus mendapat persetujuan dari tetangga.66 Persetujuan tetangga sebagai alat control dalam pemanfaatan tanah juga dapat ditemukan disyaratkan dalam pendirian dan pemanfaatan bangunan yang tidak sesuai 64 Prinsip yang termuat di dalam UU no. 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Tujuan pengaturan bangunan gedung adalah untuk mewujudkan gedung (termasuk hunian) yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya (Pasal 3). 65 Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung no. 14/1998 tentang Bangunan di Wilayah Kotamadya Bandung. Perda ini mencabut Bouwen en Woningverordening (perda bangunan yang diberlakukan oleh pemerintah kota Bandung pada zaman colonial). 66 Dasar Hukum persyaratan IMB adalah UU no. 28/2002 tentang Bangunan Gedung; Perda Kota Bandung no. 5/2001 tentang SOTK Dinas Bandung; Perda Kota Bandung no. 14/1998 tentang Bangunan di Wilayah Kota Bandung. Informasi tentang prosedur dan persyaratan permohonan izin-izin demikian, IPPT, IMB, Izin Gangguan dll dapat diperoleh dari www.bandung.go.id/yantap/kanan_gangguan.htm atau www.bandung.go.id/dinasbangunan.simb.htm.
52
peruntukannya dalam tata ruang. Itu berarti bahwa warga masyarakat kampung Sangiang Santen memiliki posisi hukum yang kuat untuk dari semula menolak rencana pemanfaatan tanah yang tidak mereka sukai atau berpotensi merugikan mereka.
Namun di sini pertanyaannya ialah seberapa jauh warga masyarakat yang
sama memahami hak mereka sebagai warga berkenaan dengan rencana-rencana yang melatarbelakangi pemberian izin pemanfaatan tanah kepada pengusaha?
Rencana adalah perbuatan hukum sepihak (eenzijdige rechtshandeling) di bidang hukum administrasi Negara yang dilakukan oleh organ administrasi Negara yang berwenang serta berwajib untuk itu. (….) setiap rencana menyinggung atau mencakup berbagai macam kepentingan daripada berbagai pihak dalam masyarakat, dan kepentingan-kepentingan tersebut selalu kait mengkait satu dengan yang lain. Jadi penting sekali bagi setiap pihak yang berkepentingan untuk selalu diberitahu oleh pihak penguasa dan mengetahui sampai di mana mereka terkena oleh rencana yang sedang dibuat atau akan dibuat, dan sampai di mana hak-hak mereka atas obyek-obyek pemilikan mereka telah atau akan mengalami perubahan. Asas hukumnya adalah bahwa sebelum pemerintah/administrasi Negara menetapkan suatu rencana secara definitif (misalnya rencana tata kota) semua pihak atau warga masyarakat yang akan terkena rencana tersebut wajib diajak berunding, paling sedikitnya didengar pendapat mereka. Inilah konsekuensi daripada asas legitimitas, asas yudikitas, asas legalitas, dan asas moralitas. Bagi seorang pemilik tanah tidak hanya penting untuk mengetahui bahwa dia boleh membangun villa atau rumah bungalow di atas tanahnya, akan tetapi apakah juga apakah para tetangganya kelak akan diperkenankan mendirikan gedung kantor atau pabrik yang akan mengganggu ketentraman. Asas ini sebenarnya telah dimuat di dalam Undang-Undang Gangguan (LN 26-226, 1926) di mana ditetapkan bahwa sebelum penguasa memberi izin kepada seorang pemohon untuk mendirikan suatu perusahaan kepada para tetangga wajib diberi kesempatan untuk dalam waktu satu bulan mengajukan komentar atau keberatan mereka. Dan izin yang akan diberikan oleh pemerintah/administrasi Negara tersebut wajib sesuai dengan rencana tata kota.67 Dapat dibayangkan bahwa persetujuan-persetujuan demikian tidaklah sepenuhnya terletak di bidang hukum keperdataan dan juga bukan komiditi yang dapat diperjualbelikan. Kewenangan demikian diberikan dengan pemikiran bahwa tetangga sebagai individu dan bukan sebagai komunitas yang terlebih dahulu ada di suatu lingkungan tertentu-lah yang berhak turut menentukan (menyetujui atau
67
Atmosudirdjo. Prajudi. 1981. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia. pp. 96-97
53
menolak secara sukarela dan tanpa adanya paksaan) adanya bangunan baru yang akan mengubah lingkungan tempat tinggal mereka. Tetangga demikian dianggap paling tahu dan mampu mempertimbangkan untung rugi dari proyek pembangunan baru, bahkan juga alih fungsi penggunaan suatu bangunan, di lingkungan mereka. Kendali demikian diakui dan diatur di dalam hukum sekalipun sekadar sebagai salah satu syarat yang diwajibkan kepada pemohon izin. Sayangnya di Bandung pada umumnya dan juga dalam kasus ini pada khususnya terjadi pergeseran makna atas syarat persetujuan tetangga. Tetangga terdekat (termasuk ke dalamnya adalah warga kampung kota yang bermukim di sekitar lahan yang akan dibangun) tidak lagi dimintai persetujuan tapi cukup diberitahu melalui suatu kegiatan pemberitahuan atau sosialisasi yang diprakarsai pemerintah setempat (kecamatan atau kelurahan bekerjasama dengan pemrakarsa). Seperti juga banyak terjadi dengan pengembang lainnya, dalam kasus yang ditelaah tampaknya pihak pengelola hotel melalui aparat kecamatan memanggil (mengundang) masyarakat kampung Sangiang Santen (yang letaknya bersebelahan dengan lokasi hotel) dan melakukan kegiatan sosialisasi.68 Inti dari kegiatan sosialisasi ialah bahwa masyarakat yang hadir diberitahu bahwa akan dibangun hotel dan bahwa kegiatan pembangunan tersebut akan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Pihak yang tidak hadir dianggap melepas hak mereka untuk diberitahu. Dalam kesempatan itu juga masyarakat mendapat penegasan bahwa tenaga local akan diperkerjakan dalam proyek sebagai buruh bangunan. Sekalipun seperti diindikasikan di atas, tafsiran ini masih diperdebatkan, warga masyarakat menuduh bahwa tandatangan mereka di lembar kehadiran kemudian
68
Camat Cidadap mengaku hanya menfasilitasi sosialisasi dengan warga atas permintaan pemilik hotel Four R, Henri Husada. Pertemuan itu dilakukan warga dan pemilik hotel Four R pada 2007 ketika bulan puasa. Hardi. Erick P. & Alwan Ridha. 2009. Buntut Penolakan Pembangunan Hotel 15 Lantai: Pengusaha Dilaporkan ke Polisi. Koran Tempo, January 20.
54
dianggap sebagai bukti persetujuan tetangga.
Di dalam praktik bahkan juga dapat
terjadi pemberitahuan dilakukan setelah pengusaha mendapatkan izin mendirikan bangunan.
Tidak adanya protes dari tetangga kemudian ditafsirkan sebagai
“persetujuan diam-diam”. Dalam kasus yang ditelaah, bahkan tandatangan tetangga sama sekali tidak dibutuhkan. Pemohon cukup menyampaikan catatan bahwa tetangga seperti Buyung Nasoetion telah secara layak diundang, namun kemudian memutuskan tidak hadir. Kenyataan ini ditafsirkan sebagai melepaskan hak untuk bicara bahkan juga untuk mengajukan keberatan. Di dalam praktik terkesan bahwa izin atau persetujuan tetangga dianggap hanya sekadar formalitas yang bahkan dapat disusulkan kemudian. Keberatan lagipula harus disampaikan warga kepada dinas pemberi izin. Kecil kemungkinan bahwa warga biasa apalagi warga masyarakat kampung Sangiang Santen mengetahui adanya upaya administrasi seperti ini. Dengan cara-cara seperti itu, kewajiban pemohon izin dianggap sudah dipenuhi dengan layak oleh pemerintah atau dinas terkait. Pegawai di dinas terkait cukup memeriksa kelengkapan berkas, memaraf dan meneruskannya kepada atasan yang lebih tinggi yang akan menandatangani dan menerbitkan izin. Secara yuridis formal, semua persyaratan untuk mendapatkan izin telah dipenuhi dan pemerintah telah menerbitkan izin dengan memenuhi asas kecermatan. Ini sekadar gambaran bagaimana dari sudut pandang birokrasi dan pengusaha, rangkaian perizinan pemanfaatan tanah (IPPT, IMB dan izin gangguan) diperoleh. Izin-izin demikian dari kacamata pengusaha juga merupakan bukti formal dukungan pemerintah atas rencana pemanfaatan tanah. Khususnya dalam pembangunan Henry Palace Hotel, tampaknya pengelola dan pemerintah ternyata tidak sabar menunggu diberikannya persetujuan oleh tetangga sebagai individu. Mengikuti preseden yang berkenaan dengan cara perolehan
55
persetujuan tetangga dalam kegiatan pengadaan tanah, gagasan persetujuan tetangga dipahami sedemikian rupa sehingga menjadi sekadar hak dari suatu kelompok masyarakat untuk diberitahu secara masal. Itupun bukan sebagai kewajiban yang dijalankan dengan kesadaran bahwa masyarakat sebagai individu (tetangga) berhak berpartisipasi menentukan masa depan lingkungannya sendiri.69 Lepas dari itu tingkat pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat umum berbanding terbalik dengan pejabat pemerintah kota dan pengusaha. Mereka sebaliknya lebih fasih menyitir undang-undang ataupun aturan-aturan hukum dan melegitimasi semua keputusan dan kebijakan dalam bahasa pembangunan. Ini terjadi karena sebelum terjadi proses sosialisasi, pihak pengusaha (atau bagian hukum perusahaan) – suatu hal yang umum terjadi dan pasti dilakukan - sudah melakukan pendekatan dan berbicara dengan pejabat-pejabat pemerintah terkait. Proses yang terjadi berkaitan dengan pengurusan izin dan rekomendasi yang harus dikantongi pengusaha sebelum mulai membangun. Dengan demikian, tidak mengherankan bilamana kegiatan sosialisasi bukan lagi
ajang
mencari
masukan.
Melainkan
ajang
mengumumkan
rencana
“pembangunan” pada masyarakat, yakni bahwa pembangunan hotel yang didanai swasta adalah demi kemajuan rakyat bersama dan akan menguntungkan masyarakat kota Bandung.
Dengan kata lain, dihadapan pemerintah (dan pengusaha) warga
masyarakat akan berhadapan dengan tuntutan untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan. Artinya ketidakhadiran seseorang atau penolakan satu dua bahkan sekelompok warga selalu dapat dikesampingkan, atau, alternatif lain, dapat diurus belakangan melalui sosialisasi susulan. Pertanyaan yang muncul di sini ialah apakah
69
Kesan demikian terasa kuat ketika penulis mewawancarai pejabat di lingkungan dinas tata kota dan bangunan di kota bandung dan cimahi. Dikatakan bahwa keberatan (tidak diberikannya persetujuan) hanyalah masalah administrasi dan jangan sampai menghalangi kebutuhan pengembang atau orang lain untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan.
56
darinya kita dapat simpulkan bahwa inilah cara pemerintah kota memandang dan memahami hak dan kewajiban serta peran serta masyarakat dalam penataan ruang.70
9. Ketersediaan dan Keterjangkauan Forum bagi Masyarakat Pencari Keadilan Forum apa yang sebenarnya tersedia bagi masyarakat kampung kota atau bahkan bagi warga biasa berhadapan dengan “rencana pembangunan” yang mendatangkan gangguan ketidaknyamanan dan kebisingan dalam jangka pendek ataupun ketidaknyawaman dalam jangka panjang, seperti berkurangnya access terhadap sumberdaya air atau menurunnya kualitas lingkungan hidup? Bagaimana pula bila pihak yang dilawan adalah pengusaha yang berbekal izin? Tatkala terjadi perbedaan pandangan yang mengerucut menjadi konflik dan sengketa tentang pemanfaatan ruang, maka kerap kali yang dipersoalkan adalah “keberpihakan pemerintah” pemberi izin” pada masyarakat banyak, terutama warga yang paling dirugikan oleh perubahan pemanfaatan ruang. Legitimitas dari izin yang menjadi landasan hukum pengusaha/investor untuk “membangun” dan “mengganggu ketentraman masyarakat” dipertanyakan. Kerap juga keseluruhan kebijakan pemerintah turut dipertanyakan.
Namun bagaimana pemerintah merumuskan
kebijakan tidak dapat diuji langsung dihadapan pengadilan. Hanya tindakan pemerintah, penerbitan “beschikking” saja yang dapat dibawa dan diuji dihadapan pengadilan. Satu-satunya forum yang ada untuk menguji validitas dari perizinan ialah pengadilan tata usaha Negara yang dibentuk berdasarkan UU no. 5/1986 sebagaimana 70
Hak dan kewajiban serta peran serta masyarakat dalam penataan ruang diatur di dalam UU no. 24/1992 yang pada tahun 2007 digantikan oleh UU no. 26/2007 dan turunannya (peraturan pemerintah no. 69/1996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang; permendagri no. 8/1998 tentang penyelenggaraan penataan ruang di daerah dan permendagri no. 9/1998 tentang peran serta masyarakat dalam perencanaan ruang di daerah). Di dalam ketentuan Pasal 65 UU no. 26/2007 dirumuskan dalam kalimat netral bahwa penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat yang dilakukan dalam partisipasi dalam penyusunan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ayat (2) menegaskan bahwa tata cara dan bentuk peran masyarakat akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
57
diubah dengan UU no. 9/2004 tentang peradilan tata usana negara.
UU PTUN
memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN, yakni upaya administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke pengadilan tata usaha Negara (PTUN). Itu berarti bahwa warga kampung Sangian Santen sebagai warga perseorangan berhak mengajukan keluhan mereka ke hadapan dinas pemberi izin atau langsung mengajukan gugatan kehadapan PTUN. Tuntutan yang biasa diajukan penggugat ialah agar putusan TUN yang dipersengketakan dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.Keduanya mensyaratkan pemahaman masyarakat tentang prosedur birokrasi di dalam struktur dan sistem pemerintahan serta pengetahuan hukum acara Tata Usaha Negara yang memadai. Masyarakat juga baik sebagai kelompok maupun sendiri-sendiri berhak mengajukan gugatan ganti rugi kehadapan pengadilan negeri dengan dasar perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian (gugatan ex ketentuan Pasal 1365 s/d 1367 KUHPerdata). Namun di sinipun masyarakat akan memerlukan bantuan hukum untuk merumuskan gugatan dan mengajukannya kehadapan pengadilan. Juga terbuka peluang, sepanjang ada indikasi telah terjadi tindak pidana untuk melaporkan dugaan telah terjadinya tindak pidana tersebut ke kantor polisi untuk disidik dan bila memungkinkan diserahkan kepada kejaksaan dan kemudian kepada pengadilan pidana untuk diperiksa dan diputus. Namun tidak terbayangkan bahwa masyarakat pinggiran kelas bawah kampung kota Sangiang Santen akan dari dirinya sendiri berinisiatif mengupayakan gugatan kehadapan PTUN atau merumuskan ketidakadilan yang mereka rasakan dalam bentuk gugatan gantirugi dan/atau sebagai tindak pidana yang layak dilaporkan kehadapan polisi.
Kendala utama ialah ‘rendahnya’ pengetahuan (dan kesadaran)
58
mereka akan jangkauan hukum Negara dan cara bagaimana kebijakan penataan ruang dan perizinan saling terkait. Sesuatu yang bahkan tidak bisa dipandang terberi bagi masyarakat kota sekalipun. DPKLTS yang sebelumnya pernah bersengketa dengan pemerintah kota berkenaan dengan penerbitan izin lokasi untuk PT. DAM di wilayah Punclut, ternyata gagal. Kekalahan mereka ternyata kemudian terbukti karena mereka abai terhadap ketentuan bahwa gugatan tidak dapat diajukan terhadap keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan lanjutan, seperti izin lokasi yang diterbitkan untuk kepentingan PT. DAM dalam rangka pengadaan tanah di kawasan Punclut. Juga kiranya menjadi preseden bahwa gugatan Tata Usaha Negara akan ditolak bilamana belum ada kerugian nyata yang diderita penggugat. Lagipula sebagian besar dari masyarakat kampung Sangian Santen bukan penutur asli bahasa Indonesia. Dalam keseharian mereka berbahasa sunda. Tidak terbayangkan bahwa mereka harus berargumentasi dengan “orang luar” (pemerintah dan pengusaha) dalam bahasa Indonesia baik dalam forum sosialisasi atau di luar itu. Bahwa mereka kemudian “berani” membawa masalah mereka kehadapan polisi juga dapat terbayangkan hanya mungkin berkat bantuan dan dorongan dari lembagalembaga swadaya yang “turun kelapangan” dan melakukan “advokasi”. Tidak boleh dikesampingkan di sini, peran dan pengaruh tokoh-tokoh, satu dua individu, yang mampu berkomunikasi dengan dunia luar.
Social capital mereka dan kegigihan
mereka mengangkat isyu ini turut memicu campur tangan dan bantuan lembagalembaga swadaya masyarakat seperti DPKLTS dan LBH-Bandung. Beranjak dari situ tidak pula mengherankan bahwa yang berani dan sanggup mengupayakan perlawanan hukum dari sejak awal kegiatan sosialisasi dilakukan hanyalah Buyung Nasution. Ia juga membujuk warga untuk mendukungnya. Sebagian warga ternyata benar menaruh harapan besar terhadap keberpihakan orang besar ini
59
kepada nasib rakyat kecil.
Harapan yang muncul dalam wujud melakukan
demonstrasi di gedung pengadilan Tata Usaha Negara menuntut pengadilan segera memutus agar kegiatan proyek pembangunan hotel dihentikan. Namun gugatannya kehadapan PTUN ditolak di tingkat pertama dan ditingkat kasasi.
Warga yang
mengalami kekalahan jelas kecewa dan menuduh hakim PTUN telah berpihak. Salah satu warga yang turut hadir dalam sidang pembacaan putusan mengamati bahwa:71 “hakim ada yang diganti .. tuh kan itu artinya pengadilan sudah terbeli oleh pengusaha”.
Berbeda dengan masyarakat umum, dua LSM yang paling berperan dalam kasus ini, DPKLTS dan Lembaga Bantuan Hukum Bandung justru berinisiatif mendayagunakan semua upaya hukum yang terbuka. Mereka juga mendorong masyarakat untuk berdemo baik di lingkungan sekitar maupun dengan mendatangi kantor DPRD Kota Bandung dan menuntut dialog. Tekanan politik ini mensyaratkan kemampuan dan kemauan mengorganisasikan diri dan juga butuh stamina panjang karena dampaknya tidak akan langsung dapat dirasakan kontan-konkrit. Sekalipun demikian, bagi masyarakat jelas kasus ini merupakan proses pembelajaran hukum dan politik akan hak-hak mereka sebagai warga kota. Dapat dikatakan bahwa dengan peningkatan kesadaran ini warga masyarakat juga mendapatkan pengetahuan tambahan tentang apa saja upaya hukum yang dapat dilakukan untuk membela hak-hak mereka. Persoalannya ialah apakah warga masyarakat mempunyai daya tahan yang sama panjangnya serta kemampuan finansial yang memadai untuk mendayagunakan upaya-upaya hukum tata usaha Negara, perdata atau pidana yang tersedia? 10. Respons terhadap Upaya Hukum Masyarakat Sangian Santen 71 Sebagaimana dikatakan Ali (bukan nama sebenarnya) dalam wawancara dengan penulis di Sangiang Santen, 2 February 2009.
60
Di samping itu dari pengamatan juga terkesan bahwa tidak semua warga masyarakat dapat mengikuti dan memahami apa yang sebenarnya diperdebatkan di dalam acara sidang pengadilan. Sesuai prosedur hukum yang berlaku di pengadilan tata usaha negara yang dipersoalkan hanyalah keabsahan IPPT. Maka di dalam persidangan sebenarnya tidak dipersoalkan oleh hakim apakah “kebijakan umum” yang melandasi penerbitan izin tersebut sudah berkeadilan atau tidak.
PTUN
Bandung menyatakan bahwa IPPT sudah memenuhi semua syarat formal dan tetap absah sebagai keputusan tata usaha Negara. Gugatan ditolak dengan alasan belum ada kerugian yang ditimbulkan terhadap warga.72
Mahkamah Agung dalam putusan
kasasinya (9 juli 2008 no. 124K/TUN/2008) menolak permohonan kasasi dari Buyung cs. Majelis memandang proses IPPT itu belum final. Putusan demikian sebenarnya tidak mengejutkan karena sejalan dengan putusan PTUN lainnya dalam kasus serupa tahun 2005.73 Singkat kata, dengan mudah kemudian diputuskan bahwa keseluruhan proses pemberian izin sudah memenuhi prosedur yang benar dan karena itu secara yuridis formal tidak cacat.
Keputusan demikian, hanya dibaca oleh warga masyarakat
sebagai pengadilan PTUN tidak berpihak kepada mereka dan bahwa pemerintah kota tidak peduli pada nasib mereka di masa depan. Apa yang mereka perhatikan hanyalah soal siapa yang dikalahkan dan siapa yang dimenangkan atau diuntungkan. Ketika mereka dikalahkan serta merta muncul pandangan bahwa pengadilan telah berpihak dan bertindak tidak adil. Sikap dan pandangan ini jelas jauh berbeda dengan kesadaran pengacara (LBH) yang melihat upaya hukum hanya sebagai bagian kecil dari strategi dan agenda perlawanan atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
72
2009. FKPL Akan Menuntut Pidana dan Perdata. http://newspaper.pikiran-rakyat.com, January 23. Dalam kasus ini satu LSM, Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda yang dimotori Let Jen (purn.) Solihin GP mengajukan gugatan terhadap IPPT yang diberikan kepada suatu perusahaan pengembang di kawasan yang sama. Lihat: 2005. DPKLTS Gugat Walikota, loc.cit.
73
61
Setelah kekalahan di PTUN juga dihembuskan cerita bahwa Buyung memutuskan menjual rumahnya. Sejulah warga yang mendengar dan mempercayai kebenaran gossip itu, merasa dikhianati dan putus asa. Bagi mereka ini adalah afirmasi bahwa sampai kapan-pun suara rakyat kecil tidak diperhatikan dan mereka tidak akan pernah menang melawan pemerintah dan pengusaha. Bagi sebagian lainnya gossip tersebut adalah juga pembenaran tambahan untuk tidak ikut campur dan lebih baik diam saja. Perlawanan warga masyarakat kembali muncul setelah Buyung dengan bantuan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat local (DPKLTS. LBH Bandung) kembali muncul. Masyarakat juga kembali bersatu karena pihak pemborong ingkar janji. Maka sebagian masyarakat (di RT 04) yang dahulu mendukung, karena dijanjikan akan diberi pekerjaan sebagai buruh bangunan, sekarang mendukung warga yang menolak pembangunan. Maka terbentuklah Koalisi Warga Anti Pembangunan Hotel Rancabentang. Dengan dukungan Buyung Nasoetion dan sejumlah LSM (antara lain DPKLTS; LBH Bandung) mereka kemudian melakukan aksi sabotase. Apa yang dilakukan pada awal tahun 2009 adalah pemasangan portal di dua jalan masuk ke lokasi proyek. Alhasil proyek terhenti untuk sementara. Setelah memasang portal di dua tempat di jalan yang menjadi jalur utama kendaraan berat proyek, maka sejumlah ibu-ibu dengan dibantu anak-anak mereka, dengan demonstratif, menata kembali sempadan jalan yang rusak karena kendaraan berat dan menanaminya dengan tanaman hias. Bila dirusak, maka itu menjadi alasan untuk, “marah” dan menuntut ganti rugi, demikian dinyatakan seorang warga. Seperti yang diindikasikan di atas, pengusaha terhadap pemasangan portal bereaksi dengan menuntut pemerintah kota untuk membongkar portal dan membiarkan-membolehkannya meneruskan pembangunan. Mereka berdalih bahwa
62
semua izin telah diperoleh dengan sah. Seperti dikatakan kuasa hukum Henry Husada selaku pemilik Henry Palace Hotel74: “Sebelum membangun hotel, Henry Husada sudah menyosialisasikan kepada warga setempat. Tidak cuma itu, proses penelitian dan pengkajian terhadap amdal juga telah dilakukan. Begitu pula dengan dampaknya, sudah dianalisis secara cermat dan seksama. Pembangunan hotel ini juga sudah mengantongi IMB. (….) mengenai portal tersebut, kami sudah mengirim surat ke pemkot dan meminta agar portal dicabut. Mudah-mudahan pemkot bisa menanggapinya dengan cepat”.
Di samping itu, pihak pengacara juga menyatakan bahwa pemasangan portal termasuk aksi anarkis dan mengganggu pelaksanaan proyek hotel. Ini dikatakan dengan merujuk pada fakta bahwa pihak pemrakarsa pembangunan hotel75: “prosedur formal juga ditempuh mulai dari IPPT dari Dinas Tata Kota, Dihub (analisis dampak lalulintas), dan Lingkungan Hidup (amdal) serta izin mendirikan bangunan (IMB). Izin-izin tersebut juga telah diuji di PTUN Bandung, yaitu dengan adanya gugatan dari Adnan Buyung Nasution. Putusannya, PTUN Bandung menolak gugatan. Begitu juga putusan permohonan kasasi dari MA tanggal 9 juli 2008 no. 124K./TUN/2008 yang menolak Adnan Buyung Nasution sehingga perkara itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Kondisi terakhir yang teramati ialah bahwa satu portal ternyata sudah dibongkar. Satu portal lagi yang berada langsung dihadapan rumah Adnan Buyung Nasoetion tidak dibongkar.
Pembangunan hotel, sampai dengan pengamatan
lapangan diakhiri, masih terhenti. Seperti diindikasikan sebelumnya warga masyarakat juga melaporkan pemilik hotel kehadapan polisi. Upaya hukum pidana juga hendak diupayakan. Sayangnnya sampai saat ini tidak ada berita tentang perkembangan perkara itu ditangan polisi76. Pengaduan serupa sebenarnya pernah diajukan oleh Buyung Nasoetion. Pada saat itu 74
2009. Hotel Henry Palace Sudah Sesuai Prosedur. Galamedia, January 23. 2009. Henry Minta Pemkot Membuka Portal. Pikiran Rakyat, August 7; Ridha. Alwan. 2009. Pemilik Hotel Four Minta Portal Dibongkar. Koran Tempo, January 28. 76 Satreskrim Polwiltabes Bandung, namun demikian, menyediakan peluang bagi masyarakat untuk memantau perkembangan perkara yang diadukannya. Satuan ini mengelola website http://satreskrim.polwiltabesbandung.com/sp2hp-online.html. Tetapi diragukan bahwa masyarakat Sangiang Santen akan mendayagunakan peluang ini untuk memantau perkembangan perkaranya. 75
63
polisi menolak menindaklanjuti pengaduan karena pada saat yang sama Buyung sedang mengajukan perkara kehadapan PTUN.77
Namun, juga di sini kecil
kemungkinan bahwa polisi akan bersedia “menekan” pengusaha yang dilaporkan melakukan tindak pidana dan pemerintah kota Bandung untuk lebih memperhatikan suara dan kepentingan warga masyarakat Sangian Santen. 11. Bias Perkotaan dan Pembangunan dalam Kebijakan Pemanfaatan Ruang Apa yang juga harus diperhatikan ialah bagaimana pemkot sendiri memandang posisinya berhadapan dengan pengusaha/investor dan masyarakat kota pada umumnya atau warga kampung kota pada khususnya. Keberpihakan pemkot Bandung jelas terindikasikan dari keterbukaan mereka pada inisiatif swasta untuk menanamkan modal di bidang pembangunan hotel dan pengembangan kepariwisataan dan ketidaksanggupan mereka menahan laju urbanisasi.
Kesemua ini kembali
tercermin ke dalam kebijakan pemanfaatan ruang yang dikembangkan lebih demi kepentingan mewujudkan Bandung sebagai kota pariwisata dan sebagai bagian penting dari Bandung Metropolitan Area.78 Dari pengamatan ini dapat dimengerti mengapa sosialisasi sekadar menjadi ajang “pengumuman”, bukan mekanisme untuk mencari masukan secara sungguh-sungguh dari masyarakat local. Dari kacamata pemerintah dan swasta, satu dampak ikutan lain yang jelas berpengaruh terhadap kebijakan pemanfaatan ruang ialah “the blurring distinction between the rural and urban”.79 Seperti yang terjadi dalam kasus yang ditelaah kota berkembang mencakup dan menelan kawasan perdesaan, terutama di pinggiran (peri-
77
2009. Warga Laporkan ke Polwiltabes Bandung. Galamedia, January 20. Bandung Metropolitan Area adalah kawasan metropolitan yang mengelilingi kota bandung. Jaraknya kurang dari 20 km dari ujung Jabotabek dan bersambung dengan batas Jabodetabek-Cirangkarta yang tercakup ke dalam lingkup metropolitan Jakarta. Jumlah populasinya kedua di bawah metropolitan Jakarta. 79 Lihat Jones. Gavin W. & Pravin Visaria. 1997. Urbanization in Large Developing Countries: China, Indonesia, Brazil, and India: International Studies in Demography. Clarendon Press: Oxford. Disebutkan bahwa aglomerasi utama terjadi di pulau jawa, di kawasan Jabodetabek dan di Jawa Timur (Surabaya-sidoarjo-mojokerto-malang). Pp 10-11. Namun kota Bandung juga mengalami hal yang sama dan mengembangkan konsep Bandung Metropolitan Region. 78
64
urban areas). Namtun tidak sekaligus berarti bahwa kawasan perdesaan sepenuhnya terserap ke dalam perkotaan. Bisa jadi seperti juga terjadi dalam kasus-kasus sejenis, desa berubah wujud menjadi desa-kota dan tercipta slum area.
Alhasil
“pembangunan perkotaan” yang dicanangkan pemerintah kota Bandung justru baik disadari atau tidak mengakibatkan pemiskinan masyarakat perkotaan.80 Dapatkah gejala pemiskinan demikian dihindari? Pertanyaan yang relevan karena perencana kota dan pengambil kebijakan di pemerintah kota akan berhadapan dengan kenyataan bahwa:81 “(…)faster metropolitan growth meant seriously widened regional income disparities, or lowered quality of life in ways not captured in income measures, or sheer problems of governance and political instability, or suspect environmental sustainability of mega-cities in the longer run. But to opt for slower metropolitan growth implies interventions to slow that growth; the record of such intervention to date does not inspire confidence that planner can always achieve their goals in matters of mega-city growth”.
Terlepas dari itu, tidak pula mengherankan bahwa dari sudut pandang kepentingan kepastian hukum dan keadilan, pemerintah kota tampaknya tidak punya pilihan lain terkecuali menciptakan iklim kondusif bagi inisiatif swasta untuk memanfaatkan ruang perkotaan yang terbatas. Dalam kasus yang dibahas di sini berarti bahwa pengadilan-pun akan terdorong untuk menyatakan bahwa semua izin dan rekomendasi yang diberikan dinas-dinas pemerintah kota sudah sesuai dengan aturan yang lebih tinggi dan asas-asas pemerintahan yang baik. Ini semua kiranya wujud lain dari urban bias yang ditelaah Lipton akhir tahun 1970’an.82 Risikonya namun demikian ialah bahwa kepastian hukum, terutama bagi investor, lebih
80 Gejala yang dinamakan urbanization of poverty oleh Davis. Mike, 2004, Planet of Slums: Urban Involution and the Informal Ploretariat, New Left Review 26: pp. 5-34 81 Gavin W & Pravin Pissaria. op.cit. 82 Lipton, N, 1997, Why poor people stay poor: uban bias in developing countries, Templeton: London & Lipton, M, 1982, Why poor people stay poor in Harris, J. (ed), Rural Development Theories of Peasant Economy and Agrarian Change. Hutchinson & Co (publishers) Ltd: London.
65
dikedepankan dengan mengesampingkan rasa keadilan dari warga masyarakat kampung kota yang sudah terusik. 12. Kesimpulan dan Rekomendasi Dalam kasus di atas belum ada solusi hukum ajeg yang dapat memenuhi rasa keadilan
masyarakat
sekaligus
menjamin
kepastian
hukum
yang
dituntut
pengusaha/investor, mitra pembangunan pemerintah kota. Jika forum yang dipilih adalah pengadilan tata usaha Negara, kecenderungannnya keluhan masyarakat belum dianggap nyata dan dari kacamata hukum belum menimbulkan kerugian yang dapat dihitung dan dimintakan gantiruginya. Proses pelaporan pidana-pun tidak akan serta merta membuahkan hasil. Di luar itu, apakah keberhasilan menghentikan sementara kegiatan pembangunan hotel memunculkan kepuasan, atau memenuhi rasa keadilan masyarakat? Penulis hanya dapat berspekulasi bahwa untuk sebagian orang mungkin kepuasan muncul dari ‘keberhasilan’ mengalahkan sistem, dengan tindakan sederhana memasang portal, dan membuat rugi pengembang. Namun demo dan tuntutan agar DPRD memperhatikan nasib mereka mengindikasikan bahwa buat sebagian besar warga masyarakat penghentian (sementara waktu) tidaklah cukup. Portal sewaktuwaktu dapat dicabut dan kegiatan pembangunan dilanjutkan. Apa yang mereka tuntut dan belum dapatkan adalah solusi final yang memuaskan. Kemungkinan bahwa pembangunan akan kembali berlanjut sangat nyata. Sudah pasti bahwa bilamana pembangunan hotel terwujud dan mulai beroperasi, maka akan terjadi perubahan lingkungan yang luar biasa besar dampaknya terhadap kehidupan masyarakat kampung kota. Ini terjadi di banyak tempat di Bandung dan dapat diamati dengan mata telanjang. Apa yang akan segera muncul ialah tembok pemisah antara lingkungan masyarakat kampung dengan hotel. Masyarakat juga akan
66
hidup di bawah ‘bayang-bayang bangunan tinggi” dan menjadi “pemandangan gratis bagi penghuni hotel”. Demi keamanan dan ketertiban, penduduk kampung tidak lagi boleh sembarang lalu lalang di sekitar hotel apalagi masuk ke dalam lobby hotel. Dari pengalaman tinggal bersebelahan dengan hotel bintang lima lainnya di kawasan sama, masyarakat kampung hanya dilibatkan sebagai bagian corporate social responsibility ketika perayaan tujuhbelas Agustusan.83 Maka karyawan hotel untuk sehari akan berbaur dengan masyarakat kampung sekitar. Dari sudut pandang masyarakat kampung-pun, hotel menjadi sekadar sumber pendanaan tetap untuk sejumlah kegiatan. RT/RW setahun sekali atau dua kali untuk acara-acara khusus (tujuhbelasan atau lebaran/iedul fitri) akan menuntut sumbangan (wajib) dari pengelola hotel. Ini serupa praktik rent seeking yang merupakan tiruan dalam bentuk kecil dari apa yang dalam bentuk dan skala berbeda marak dipraktikan di Indonesia.84 Sejumlah warga yang lebih punya bakat wirausaha mungkin akan menangguk untung, misalnya dengan membuka warung atau menjajakan tunggangan kuda untuk para tamu hotel.
Apakah praktik-praktik demikian dapat kita pahami sebagai strategi
masyarakat bawah untuk mendapatkan keadilan? Satu perubahan lain yang tidak teramati namun akan dirasakan oleh masyarakat kampung kota Sangiang Santen dan juga tetangga hotel ialah sulitnya mendapatkan air bersih. Permukaan air tanah akan menyusut dan bagi mereka yang mampu, maka harus dibuat sumur bor yang lebih dalam dengan pompa yang lebih kuat. Diam-diam terjadi the race to the bottom dalam mendapatkan access terhadap sumber mata air bersih (air bawah tanah). Satu dan lain karena PDAM di kota 83
Ini agak berbeda dengan CSR yang dibicarakan di forum resmi lain. Untuk itu lihat Kemp. Melody. 2001. Corporate Social Responsibility in Indonesia: Quixotic Dream or Confident Expectation? Programme paper number 6, December 2001, UN Research Institute for Social Development. 84 Untuk ulasan singkat baca Jones. Evan. 2005, How rent seeking flourishes in Indonesia. Jakarta Post, November 10. Untuk ulasan yang lebih serius tentang rent seeking di Indones baca: McIntyre. Andrew, 2000. Funny Money: Fiscal Policy, Rent-seeking and Economic Performance in Indonesia. In Mushtaq H. Khan and Jomo KS eds. Pp.. 248-273 Rents, Rent-Seeking and Economic Development: Theory and Evidence in Asia. Cambridge: Cambridge University Press.
67
Bandung dalam kenyataan tidak mampu memenuhi kebutuhan warga biasa (juga yang tinggal di pinggir jalan besar) akan air bersih apalagi memenuhi pasokan rutin hotel akan air bersih. Ini kerugian “masa depan” yang sayangnya tidak pernah masuk ke dalam agenda rapat badan-badan yang memberikan izin dan rekomendasi berkenaan dengan pemanfaatan ruang. Satu faktor lain yang juga diam-diam akan berubah di masa depan, ialah meningkatnya nilai jual obyek pajak bumi bangunan yang harus dibayar tiap tahun. Ini juga terjadi karena pemerintah daerah menetapkan target penerimaan Negara dari pajak bumi bangunan dan target penerimaan Negara dari pajak setiap tahun ditetapkan semakin tinggi. Diam-diam artinya mekanisme pasar yang akan menentukan berapa taksiran nilai tanah di suatu kawasan. Selanjutnya mekanisme inilah yang kemudian menjadi insentif atau disinsentif bagi warga untuk bertahan atau melepas tanah. Maka itu di Bandung kerap terlihat menciutnya kawasan kampung kota ketika terkepung perumahan, bangunan perkantoran atau mall, termasuk hotel. Kenyataan tidak adanya urusan ganti rugi berbeda dengan banyak kasus pengadaan tanah lainnya (misalnya pembangunan jalan layang pasopati yang menggusur sekian kepala keluarga dari kampung padat di kawasan Taman Sari) atau demi kepentingan komersial (pembangunan hotel di Dago, mall (Bandung SuperMall; Sultan Plaza, Bandung Electronic Center atau real estate: Dago Resor Pakar, Kota Baru Parahyangan) sengketa tentang pemanfaatan lahan diselesaikan dengan pemberian gantirugi atau ganti-untung. Pemilik-pengarap lahan melepas hak mereka atas tanah mendapatkan uang dan persoalan dari kacamata hukum dianggap selesai. Begitu kepemilikan dan penguasaan tanah berpindah, maka sekaligus juga kewenangan perencanaan dan pemanfaatan sepenuhnya berpindah pada pemrakarsa. Pemilik tanah yang dapat menunjukan sertifikat barang tentu akan mendapatkan
68
gantirugi lebih daripada yang sekadar menunjukan letter c atau kikitir sebagai klaim tanah berdasarkan hak milik adat. Bahkan juga kerap penggarap, bahkan mereka yang jelas menguasai lahan secara melawan hukum – mendirikan lapak di sempadan jalan atau di lapangan kosong yang berstatus tanah Negara atau milik orang lain – mendapatkan uang berupa uang pengganti atau kerohiman. Khususnya untuk kegiatan pengadaan tanah demi kepentingan umum, maka kompensasi yang ditawarkan bisa jadi bukan hanya gantirugi atau ganti-untung namun juga relokasi atau transmigrasi. Dalam kasus pembangunan jalan layang pasopati, maka mereka yang tergusur mendapat kesempatan untuk membeli rumah BTN di kawasan Gede Bage (sawah beririgasi di pinggiran tenggara Kota Bandung yang dialihfungsikan menjadi kawasan pemukiman dan pusat kota Bandung). Bahkan dalam satu peristiwa pembanguan satu kawasan pemukiman besar (Kompleks Muara/Tegalega), pemilik tanah (dan sejumlah ahli warisnya) berhasil mendapatkan kompesasi rumah tinggal di kawasan perumahan yang sama atau ditempat lain yang dibangun atas biaya pengembang.
Namun ini bisa terjadi karena pemilik lahan
memiliki orang kuat (kenalan eks bupati bekasi dan juga punya pengalaman sebagai pengembang/kontraktor) yang dapat menekan pengembang Kompleks Muara (Tegalega Bandung). Di dalam kedua kasus di atas pemilik tanah yang tergusur tidak merasa dirugikan. Sebaliknya mereka mungkin dalam jangka pendek merasa diuntungkan. Namun relokasi tidak menyelesaikan semua masalah. Banyak warga tidak ingin direlokasi karena tempat tinggal mereka sangat menguntungkan dari kesampaian daerah dan keterjangkuan fasilitas pendidikan-kesehatan dan kesempatan kerja. Ketika mereka terpinggirkan atau demi mendapatkan keuntungan lokasi berpindah ke pemukiman padat di perkotaan, maka banyak hal yang dikorbankan. Persoalannya
69
ialah apakah kerugian mereka turut diperhitungkan dalam kebijakan pemanfaatan tanah perkotaan. Dari itu semua, dan dengan membandingkan kasus yang diangkat (tidak ada ganti rugi dalam hal pembangunan hotel di Rancabentang-kampung Sangian Santen) dengan kasus-kasus lain (adanya ganti rugi yang diberikan tanpa melalui pengadilan), maka satu persoalan utama yang sulit dicarikan solusinya ialah bagaimana mengubah kebijakan pemanfaatan ruang agar tidak serta merta mendiksriminasi masyarakat kelas bawah (kampung kota)? Secara umum dapat dikatakan bahwa penataan ruang kota yang mencakup kegiatan perencanaan, pemanfaatan lahan dan pengawasan seharusnya menjadi landasan bagi pemerintah kota untuk menciptakan kota inklusif yang nyaman bagi seluruh warga kota85. Tak pelak lagi ketiga rangkaian kegiatan tersebut langsung bersentuhan dengan hak warga kota untuk turut berperan serta dan turut menikmati hasil akhir kegiatan penataan ruang kota. Ini artinya bahwa penataan ruang jangan hanya berhenti pada soal bagaimana menjamin tenurial security warga kota86. Satu dan lain karena kegiatan perencanaan secara langsung menetapkan bagaimana lahan kota yang terbatas di kelola di masa depan dan, selanjutnya, siapa yang sebaiknya menguasai dan mengelola lahan tersebut. Sebaliknya ketiadaan perencanaan kawasan
85
Dirjen Penataan Ruang dalam Pidato Sambutannya, “Peran Penataan Ruang dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan di Indonesia” Semarang 2 Mei 2006. 86 Securtiy of tenure dapat didefinisikan secara ringkas sebagai: “the certainty that a person’s right to land will be recognized by others and protected in cases of specific challenges”. Lihat FAO. 2002. Land Tenure and Rural Development. FAO Land Tenure Studies, Rome. Cf. Augustinus. Clarissa. & Marjolein Benschop, Security of Tenure: Best Practices. Diunduh dari www.unhabitat.org/downloads/docs/; tanggal 1 Agustus 2009. Disebutkan bahwa secure tenure dapat didefinisikan sebagai “the right of all individuals and groups to effective protection by the state against forced evictions”. Namun dapat ditambahkan pula bahwa “claims to a plot of land are not only a legal affair but are also a matter of perception of the occupier of the land”. Colombijn. Freek. Solid as a rock or ephemeral as a handful of dust: the security of land tenure in Indonesian towns, 1930-1960. Paper presented at the conference “Decolonising societies: the reorientation of Asian and African livelihoods under changing regimes, NIOD, Amsterdam, 11-13 December 2003.
70
kota dapat memunculkan bencana lingkungan dan ketegangan-ketegangan social yang merupakan ancaman serius terhadap keberlanjutan pembangunan kota.87 Dari sudut pandang lain, rencana tata ruang menjadi arahan bagi kegiatan pengadaan dan pemanfaatan tanah oleh warga biasa, pengusaha maupun pemerintah kota.
Artinya di sini bahwa struktur pemanfaatan lahan (yang diatur di dalam
dokumen-dokumen perencanaan tata ruang) akan berpengaruh dan menentukan strukur pemilikan dan penguasaan lahan. Maka itu, keseluruhan rangkaian kegiatan penataan ruang, terutama ketika terwujud dalam rangkaian izin pengadaan dan pemanfaatan lahan, akan langsung bersentuhan dengan hak-hak dasar warga berkenaan dengan access warga kota terhadap rumah tinggal dan/atau lingkungan yang bersih dan sehat. Faktor terpenting yang menentukan posisi tawar penduduk kampung kota (Sangiang Santen) tatkala mereka berhadapan dengan proyek pembangunan hotel yang didukung pemerintah adalah rendahnya (dan tidak tersedianya akses pada) pengetahuan tentang hukum-hukum apa yang menjadi rujukan pemerintah-investor. Lagipula proses perizinan kerap hanya melibatkan pihak pemohon dan pemberi izin. Masyarakat pemilik tanah atau mereka yang turut memanfaatkan lahan (tetangga atau dalam hal ini masyarakat kampung Sangian Santen baik sebagai kelompok maupun individu) tidak pernah dapat mengetahui apa yang menjadi landasan kebijakan pemerintah dan apa dasar hukum yang digunakan ketika izin diberikan (atau ditolak). Juga kerap terjadi (seperti dalam kasus yang diangkat) pengesampingan hak masyarakat sebagai tetangga, yaitu untuk ditanya persetujuan bebasnya baik dalam rangka permohonan IPPT/IMB atau pihak yang akan terganggu dalam proses permohonan izin gangguan/Hinder Ordonnantie. 87
Sebagaimana dijelaskan Gupta. Shreekant & Indu Rajadurgan, Urban Growth and Governance in South Asia. Unpublished. South Asian Perspective, Institute of South Asian Studies, Singapore. Sekalipun mereka menulis tentang India pengamatan mereka untuk bagian terbesar juga relevan bagi Indonesia.
71
Merumuskan sengketa yang ada sebagai gugatan perbuatan melawan hukum (proses perizinan yang cacat) sebagaimana dilakukan oleh Buyung dkk dan juga pernah menjadi strategi DPKLTD dalam kasus lain, pada akhirnya bukan strategi terbaik. Karena ketika dibawa kehadapan pengadilan tata usaha Negara, akar masalah sama (penyebab munculnya ketidak adilan social sekarang ini atau potensi ketidak adilan di masa depan) sekali tidak akan dibahas karena berada di luar jangkauan kompentensi pengadilan. Gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad) juga secara teknis-hukum bukan optie terbaik. Satu inovasi yang muncul dalam kasus adalah pemasangan portal untuk mencegah dilanjutkannya kegiatan pembangunan. Namun seberapa efektifnya ini sebagai strategi jangka panjang belum dapat dinilai. Satu rekomendasi yang dapat diberikan sebagai saripati analisis terhadap kasus di atas ialah mengubah pola sosialisasi. Peran serta masyarakat dalam penataan ruang, dalam mengendalikan masa depan mereka sendiri di lingkungan mereka, tidak boleh terus direduksi menjadi sekadar pemberitahuan atau kegiatan sosialisasi. Untuk ini perlu dijalin proses komunikasi dan dibangun kepercayaan antara masyarakat dengan pemerintah kota. Mungkin itu artinya bahwa akan ada perlambatan dalam pertumbuhan ekonomi, dan bahwa izin dan rekomendasi tidak dapat diterbitkan secepat yang dituntut investor pemohon izin. Namun pemberian izin demi kepastian hukum, sebagaimana ditunjukkan dalam kasus di atas, ternyata terbukti menghasilkan biaya sosial yang besar.
Bahan Pustaka: 1. Buku Atmosudirdjo. Prajudi. 1981 Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
72
Bergmann. Jörg 1993 Discreet Indiscretion: the social organization of gossip. New York: Aldene de Gruyter. pp. 140-141. Gavin W. & Pravin Visaria 1997 Urbanization in Large Developing Countries: China, Indonesia, Brazil, and India: International Studies in Demography. Clarendon Press Oxford. Hirschman, Albert O. 1970 Exit, Voice and Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations, and States, Cambridge: Harvard University Press. Lipton, N. 1997 Why poor people stay poor: urban bias in developing countries. London: Templeton. Lipton, M. 1982 Why poor people stay poor in developing countries in Harris, J. (ed) Rural Development Theories of Peasant Economy and Agrarian Change. London: Hirtchman & Co. (publishers) ltd. McIntyre. Andrew 2000 Funny Money: Fiscal Policy, Rent-seeking and Economic Performance in Indonesia. In Mushtaq H. Khan and Jomo KS eds. Pp.. 248-273 Rents, Rent-Seeking and Economic Development: Theory and Evidence in Asia. Cambridge: Cambridge University Press. Pilliang. Indra J. et al., (eds.) 2003 Otonomi Daerah; Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta: Yayasan Harkat Bangsa. Wehrmann. Babette. 2008 “Land Conflicts: A Practical guide to dealing with land disputes”, GTZ Land Management: Eschborn, 14-20. Wallace. Jude 2008 ‘Indonesian land law and administration’ in Tim Lindsey (ed.), Indonesia: Law and Society, 2nd edition, The Federation Press, 191-223. Soehendera, Djaka 2002 “Sertipikat Tanah dan Orang Miskin: Kasus Kampung Rawa Jakarta”. Disertasi Doktoral, Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta
2. Artikel/Laporan Augustinus. Clarissa. Marjolein Benschop, 2009 Security of Tenure: Best Practices. www.unhabitat.org/downloads/docs/; diunduh tanggal 1 Agustus 2009. B. Setiawan 2005 Hak Masyarakat dalam Proses Penyusunan dan Implementasi Kebijakan Tata Ruang, Forum Perencanaan Pembangunan, Edisi Khusus, Januari. Bedner. Adriaan & Jacqueline Vel, Forthcoming ‘Conceptual Paper No 1: Access to Justce and Rule of Law’. Colombijn. Freek. 2003 Solid as a rock or ephemeral as a handful of dust: the security of land tenure in Indonesian towns, 19301960. Paper presented at the conference “Decolonising societies: the reorientation of Asian and African livelihoods under changing regimes, NIOD, Amsterdam, 11-13 December. Davis. Mike. 2004. Planet of Slums: Urban Involution and the Informal Ploretariat, New Left Review 26: pp. 5-34 Ergüden. Selman. 2004 Cities for All, Habitat Debate 4 (4) www.unhabitat.org diunduh 11/3/2004. FAO 2002
Land Tenure and Rural Development. FAO Land Tenure Studies, Rome.
Gupta. Shreekant. & Indu Rajadurgan,
73
Unpublished
Urban Growth and Governance in South Asia. South Asian Perspective, Institute of South Asian Studies, Singapore.
Kemp. Melody. 2001 Corporate Social Responsibility in Indonesia: Quixotic Dream or Confident Expectation? Programme paper number 6, December 2001, UN Research Institute for Social Development. Riawanti. Selly. 2002 “Kehidupan Orang Pinggiran Kota di Cipaheut Kaler, Bandung Utara. Disertasi Doctoral, Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia, Jakarta. Smeru 2002
“An Impact Evaluation of Systematic www.smeru.or.id/report/lap/lap.htm
Land
Titling”,
Research
Report.
diunduh
dari
Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan Yang Baik/Bapenas. 2005 Tata Kepemerintahan yang Baik, Jakarta: Bappenas Sekretariat Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah (TKPRD) Propinsi Jawa Barat 2003 Evaluasi Berkala Perencanaan Tata Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat tahun 2003. Bandung: Bappeda Propinsi Jawa Barat UN Habitat 2006 The State of the World’s Cities Report 2006/2007: The millennium development goals and urban sustainability; 30 years of shaping the Habitat Agenda. UN Human Settlement Programme.
3. Koran/Majalah Budihardjo. Eko. 2009 Menyelamatkan Kota, Kompas, 6 Oktober. Dadan, Sirojul & Hilman 2008 Gedung-gedung Jangkung ‘Menyerbu’ Bandung’. Bisnis Indonesia, November 23 Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Wilayah Provinsi Jawa Barat. 1999. Penataan Kawasan Kumuh di Kodya Bandung dan Kodya / Kabupaten di Kawasan Botabek, Bandung: Pt. Multicipta Rancana Selaras. Dirjen Penataan Ruang 2006 Pidato Sambutan: “Peran Penataan Ruang dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan di Indonesia” Semarang. 2 Mei Fikri. Akhmad. 2008 Bandung Utara Rusak, Pengacara Lingkungan Ajukan Gugatan. Tempointeraktif, 7 Agustus Galamedia 2009 Hotel Henry Palace Sudah Sesuai Prosedur. 23 Januari Galamedia 2009 Warga Laporkan ke Polwiltabes Bandung. 20 Januari Gatra (www.gatra.com/2007-01-25/versi_cetak.php 2006 Adnan Buyung Gugat Wali Kota Bandung. 25 Januari Harian Seputar Indonesia 2009 Warga Kampung Nyalindung-Punclut Tagih Ganti Rugi Pemkot. 14 Mei Hardi. Erick P. & Alwan Ridha. 2009. Buntut Penolakan Pembangunan Hotel 15 Lantai: Pengusaha Dilaporkan ke Polisi. Koran Tempo, January 20. Haryanto. Andi. 2008 2 Tahun Lagi, Diprediksi Persaingan Hotel di Bandung Tak Sehat (http://bandung.detik.com; December 18 Herlambang. Cornelius Helmy. 2007 Warga Tolak Pembangunan Hotel 10 Tingkat. Kompas Cybermedia, January 16.
74
Jaweng. Robert Endi 2008 Pelayanan Satu Pintu atau Satu Atap? Sinar Harapan, Desember 18 Jones. Evan. 2005 How rent seeking flourishes in Indonesia. Jakarta Post, November 10 Kominfo-Newsroom 2009 Pelayanan Satu Atap Diubah Menjadi Satu Pintu. 16 Juli Kompas 2004 Adi. Rianto. Pencabutan Hak atas Tanah. 10 Juni Kompas 2004 Ada Manipulasi Peta RTRW Kota Bandung. 22 Juni Kompas 2004 Di Era Otonomi Daerah Kawasan Bandung Utara Tercabik-cabik. 19 Juni Kompas 2005 Konsep KBU yang Tumpang Tindih Akan Diseragamkan. 30 April. Kompas 2005 Presiden Bisa Mencabut Hak atas Tanah. 7 Mei. Kompas 2007 Tunggu Keputusan PTUN Jabar: Bongkar Hotel di Kawasan Punclut. 27 Januari. Kompas 2007 Izin Satu Pintu di 29 Daerah: Beberapa Kabupaten Terbuka Tentukan Tarif Resmi. 6 November. Kompas 2008 Bandung Masih Butuh Hotel: Waspadai Keseimbangan Lingkungan. 31 Juli Kompas 2009 Warga Tagih Janji Ketua DPRD. 28 Januari Kompas 2009 Hari Habitat Dunia, Kawasan Kumuh Kota 54.000 hektar, 6 Oktober Kusiman. Erwin. 2007. Quo Vadis Pengendalian KBU”, Pikiran Rakyat, January 25. Majalah Berita Konstitusi 2005 Abdullah. Irwan & Abdul Saleh. ‘Kisruh Air, Kemelut Republik’, Edisi Khusus (2(11). Marsiela. Adi. 2009. Warga Ciumbuleuit Tolak Pembangunan Hotel. Suara Pembaharuan, January 19. McCarthy. John. F. 2007 “Sold down the river: Renegotiating public power over nature in Central Kalimantan, dalam Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken (eds), Renegotiating Boundaries: local politics in post-Soeharto Indonesia. Leiden: KITLV Press. Panjaitan. Johnson, Tanpa tahun Surat terbuka Perhimpunan Bantuan hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). ‘Tanggapan terhadap Perpres no. 36/2005”. Pratama. Arief 2009 Tolak Pembangunan Hotel, Warga Bandung Demo. Kompas, 19 Januari. Pikiran Rakyat 2004 MoU Bandung Utara tak Berguna. 2 Juni Pikiran Rakyat 2005 DPKLTS Gugat Walikota, Terkait Pemberian Izin Pembangunan Jalan di Punclut. 17 Februari Pikiran Rakyat 2007 Laporan Khusus. 25 Januari
75
Pikiran Rakyat (www.pikiran-rakyat.com) 2008 Amaliya/Lia Marlia. Bandung Butuh 15.000 Kamar. Pikiran Rakyat (http://newspaper.pikiran-rakyat.com) 2009 FKPL Akan Menuntut Pidana dan Perdata. 15 Januari Pikiran Rakyat (http://newspaper.pikiran-rakyat.com) 2009 FKPL Akan Menuntut Pidana dan Perdata. 23 Januari. Pikiran Rakyat (http://newspaper.pikiran-rakyat.com) 2009 Henry Minta Pemkot Membuka Portal. 23 Januari. Pikiran Rakyat 2009 Henry Minta Pemkot Membuka Portal. 7 Agustus Ridha. Alwan. 2009. Pemilik Hotel Four Minta Portal Dibongkar. Koran Tempo, January 28. Rolit. 2009. Pemilik Hotel Four R Terima Ancaman.http://www.lifestyle.roll.co.id/fashionista/25-latest/21477. January 22. Romli. Usep. 2009. Watak Buruk dalam Babasan. Kompas, Maret 5: d. Tempo (http://www.tempointeraktif.com) 2009 Warga Adukan Pemilik Hotel Four ke Polisi. 19 Januari Tigor Sinaga 2004 Belajar dari Johon Baru: Mencari Konsep Hunian Perkotaan yang Ideal. Pikiran Rakyat, 23 Juli Yudiawan. Dewi. 2006 Sekarang Menjadi Milik Pengembang. Pikiran Rakyat, 18 Desember. Yuliati. Tya Eka. 2009 Warga Tolak Pembangunan Hotel 15 Lantai. http://bandung.detik.com; 18 Januari
4. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) no. 5/1960 Undang-Undang (UU) no.20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda yang ada di atasnya. Undang-Undang (UU) no. 21/1997 Undang-Undang (UU) no. 24/1992 tentang Penataan Ruang sebagaimana diubah dengan UU no. 26/2007 Undang-Undang (UU) no. 20/2000 Undang-Undang (UU) no. 28/2002 tentang Bangunan Gedung Undang-Undang (UU) no. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang (UU) no. 25/2007 tentang Penanaman Modal Peraturan Pemerintah (PP) no. 69/1996 tentang pelaksanaan hak dan kewajiban, serta bentuk dan tata cara peran serta masyarakat dalam penataan ruang Peraturan Pemerintah (PP) no. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintanh (PP) no. 46/2002 (tentang tariff atas jenis penerimaan Negara bukan Pajak yang berlaku pada BPN); Peraturan Pemerintah (PP) no. 72/2005 tentang desa. Peraturan Pemerintah (PP) no. 73/2005 tentang Kelurahan Peraturan Pemerintah (PP) no. 47/2007 tentang organisasi perangkat daerah
76
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Instruksi Presiden no. 3/2006 tentang Paket kebijakan perbaikan iklim investasi Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN (PerMenAg/Kep. BPN) no. 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP no. 24/1997. Surat Edaran Kepala BPN no. 600-1900 (31 juli 2003). Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) no. 8/1998 tentang penyelenggaraan penataan ruang di daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) no. 9/1998 tentang peran serta masyarakat dalam perencanaan ruang di daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri (permendagri) no. 24/2006 tentang pedoman penyelenggaraan PPTSP Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) no. 63/Kep.M.Pan/7/2003. Peaturan Daerah (PerDa) Propinsi Jawa Barat tentang RTRW Propinsi no. 2/2003. Perda Propinsi Jawa Barat tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara no. 1/2008 Peraturan Gubernur (PerGub) tentang petunjuk teknis pengendalian pemanfaatan ruang kawasan Bandung Utara no. 21/2009. Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat no. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang peruntukan lahan di wilayah inti Bandung Raya Bagian Utara. Perda Kota Bangunan tentang bangunan (bouwverordening van Bandoeng), lembaran Propinsi tanggal 29 February 1932 no. 2. Peraturan Daerah (PerDa) Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung no. 04/1996 tentang izin perencanaan penggunaan lahan Peraturan Daerah (PerDa) Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung no. 14/1998 tentang Bangunan di Wilayah Kotamadya Bandung Peraturan Daerah (PerDa) Kota Bandung no. 25/1998 sebagaimana ditambah dan diubah dengan PerDa. 4/2002 tentang izin peruntukan penggunaan tanah) Peraturan Daerah (PerDa) Kota Bandung no. 02/2001 tentang Kewenangan Daerah Kota Bandung sebagai Daerah Otonom Peraturan Daerah (PerDa) Kota Bandung no. 5/2001 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Dinas Bandung. Peraturan Daerah (PerDa) Kabupaten Bandung no. 12/2001 tentang RTRW Kabupaten Bandung sebagaimana diubah dengan Perda no. 3/2008 Peraturan Daerah (PerDa) Kota Cimahi no. 23/2003 tentang RTRW Kota Cimahi. Peraturan Daerah (PerDa)Kota Bandung no. 2/2004 tentang RTRW Kota Bandung sebagaimana diamandemen oleh Perda no. 3/2006.
77