Modul ke:
04 Fakultas
FDSK Program Studi
Desain Produk
Folklore Penjelasan mengenai kontrak perkuliahan yang didalamnya dijelaskan mengenai tata tertib, teknis, serta bahan untuk perkuliahan di Universitas Mercu Buana
Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si.
Relativitas Budaya Modul Folklore
Pendahuluan Relativitas budaya begitu menarik perhatian banyak kalangan pemikir, salah satunya, karena pemikiran tersebut berani menolak kemapanan dan menisbikan budaya yang ketika kemunculannya sudah establish, terutama pada masyarakat Eropa. Ia menilai tidak ada suatu komunitas masyarakat yang berhak mengklaim budayanya lebih unggul dibanding yang lain. Keunggulan suatu budaya sangat relatif, karenanya tidak ada produk budaya yang mesti dianggap sebagai budaya unggulan, apalagi diyakini memiliki nilai yang bersifat universal, sehingga setiap orang harus menghargai budaya yang berbeda dengan budaya leluhurnya atau dengan budaya dari daerah lain yang berbeda. Abdala (2008) menyatakan bahwa relativitas budaya adalah paham bahwa semua budaya baik; tidak ada budaya yang dianggap superior, sementara yang lain inferior; budaya adalah hasil dari kesepakatan sosial (social construction). Budaya tidak mengandung esensi tertentu yang membuatnya “baik” atau “buruk”. Mungkin saja sebuah perilaku budaya dinilai baik pada suatu komunitas masyarakat tertentu, tetapi sebaliknya ia dinilai aneh, ganjil, atau bahkan lucu oleh komunitas masyarakat yang lain. Jadi, kalaupun mungkin ada keunggulan budaya, ia hanya sebatas unggul pada konteks masyarakatnya, bukan karena dibandingkan dengan budaya-budaya lainnya.
Pendahuluan Dengan demikian, relativitas budaya menawarkan sebuah pemikiran bahwa sesederhana apapun bentuk atau wujud produk budaya, ia harus dihargai. Sebab secara substantif tidak ada suatu produk budaya yang dapat dinilai baik, buruk, lebih baik, atau lebih buruk dibanding budaya-budaya lainnya. Ia patut dihargai bukan dilihat dari sisi penilaian kualitas yang didasarkan pada budaya yang berebeda, tetapi karena ia memiliki arti (meaningful) pada konteks masyarakat yang melahirkannya, sekalipun mungkin hal itu dalam pandangan komunitas masyarakat lain dianggap sangat tidak berarti (meaningless).
Permasalahan Masalah utama yang ingin dipecahkan dalam mengkaji aliran pemikiran relativitas budaya ini adalah terkait dengan kenyataan bahwa masih terdapat komunitas masyarakat yang merasa diri unggul dan berhak memegang hegemoni, mengukur budaya orang lain berdasarkan budayanya (etnosentris). Karenanya beragam stereotip pun muncul: tradisional-modern, desa-kota, masyarakat maju dan masyarakat terbelakang, suku pedalaman, suku terasing, dan lain-lain. Pandangan-pandangan yang bersifat klise ini tentu saja menjadi ironi ketika muncul sebuah pemikiran bahwa tidak ada seorangpun yang berhak melakukan pengkotak-kotakan masyarakat berdasarkan kepada penilaian kualitas produk budayanya yang didasarkan pada budaya yang berbeda. Selain itu, dalam kehidupan nyata, di satu sisi semua orang meyakini bahwa budaya lain perlu dihargai dan dihormati, tetapi di sisi lain masih sering terjadi benturan antarbudaya bahkan benturan antarperadaban seperti yang diramalkan Huntington akan terjadi secara dahsyat yang pada akhirnya akan menghancurkan seluruh peradaban manusia.
Lahirnya Relativitas Budaya Istilah relativitas budaya dapat dilihat dari ragamnya. Relativitas terbagi ke dalam relativitas individual, disebut subjektivisme dan relativitas sosial, disebut konvensionalisme (Pojman:1990). Relativitas individual adalah bahwa setiap individu menentukan kaidah moralnya sendiri. Subjektivisme (istitilah lain dari relativitas individual) memandang bahwa pilihan-pilihan individu menentukan validitas sebuah prinsip moral. Penegasannya adalah moralitas bersemayam di mata orang yang melihatnya (Shomali, 2005). Relativitas sosial adalah sebuah teori yang menyatakan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan normanorma moralnya sendiri. Hal ini seperti dinyatakan (Donaldson, 1989) bahwa kebenaran moral hanyalah kesepakatan kultural di masyarakat. Konvensionalisme (istilah lain dari relativitas sosial) memandang bahwa prinsip-prinsip moral secara relatif benar, sesuai dengan kovensi budaya atau masyarakat tertentu. Nama lain dari relativitas sosial adalah Relativitas budaya (Shomali, 2005).
Lahirnya Relativitas Budaya Relativitas budaya, secara Epistemologi, berasal dari Jerman, sebagai tanggapan terhadap adanya etnosentrisme[1] barat, yang jika dibiarkan berkembang akan melahirkan rasisme, yaitu adanya kebencian dari suku bangsa terhadap suku bangsa yang lain, atau istilah Mulyana (1996) etnosentrisme adalah akar rasisme. Kita bisa melihat pengaruh dari rasisme di Jerman, terutama di bawah kekuasaan Hitler, yang menghasilkan kebencian dari Ras Jerman terhadap Ras Yahudi yang menimbulkan pembantaian jutaan manusia yang tidak berdosa. Secara teoritis, relativitas budaya didasarkan pada pemikiran bahwa perkembangan budaya tidak sama dari setiap wilayah di belahan bumi. Ada batas relatif antara budaya yang satu dengan yang lain. Lingkungan sosial, lingkungan fisik, dan perilaku manusia adalah sebuah sistem yang membentuk budaya seseorang atau sekelompok orang (Koentjaraningrat: . Jadi jika suatu budaya tidak sama, berarti ada perbedaan secara relatif antara budaya yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada kondisi lingkungan sosial, perilaku dari manusianya, dan kondisi lingkungan fisik.
Lahirnya Relativitas Budaya Relativitas budaya memandang bahwa tidak ada budaya yang lebih baik dari budaya lainya. Karenanya tidak ada kebenaran atau kesalahan yang bersifat internasional. Ia menolak pandangan bahwa terdapat kebenaran yang bersifat universal dari budaya-budaya tertentu. Relativitas budaya adalah suatu prinsip bahwa kepercayaan dan aktivitas individu harus difahami berdasarkan kebudayaannya. Prinsip ini didasarkan pada hasil penelitian Frans Boaz[2] dalam dekade awal abad ke 20 dan kemudian dipopulerkan oleh murid-muridnya. Boaz sendiri tidak menggunakan istilah itu, tetapi istilah tersebut menjadi umum antar ahli antropologi setelah kematian Boas tahun 1942. Istilah tersebut pertama kali digunakan dalam jurnal Antropologi Amerika tahun 1948; yang isinya merepresentasikan bagaimana muridmurid Boas meringkas dari berbagai prinsip pemikiran Boas.
Lahirnya Relativitas Budaya Di dalam konteks ini, relativism budaya menjadi sangat penting sebagai metodologis, karenanya perlu perhatian kita semua bahwa betapa pentingnya memahami budaya lokal berdasarkan keyakinan masyarakat tertentu. Heyer menyatakan: Cultural relativity, to phrase it in starkest abstraction, states the relativity of the part to the whole. The part gains its cultural significance by its place in the whole, and cannot retain its integrity in a different situation (1948: 163); "Relatifitas budaya, untuk mengutarakan nya dalam kondisi paling abstrak, menyatakan bahwa relativitas merupakan bagian dari keseluruhan. Bagian yang diperoleh pada makna budaya berdasarkan wilayah di dalam keseluruhannya dan tidak dapat mempertahankan keutuhannya dalam situasi yang berbeda.
Kajian Relativitas Budaya 1. Gilbert Harman Gilbert Harman merupakah salah satu tokoh yang berpengaruh di era modern dalam memperkokoh ekstensi paham relativitas budaya, khususnya di bidang moral sebagai bagian dari unsur budaya. Dalam pandangan Harman, versi strandar relativitas yang ada selama ini tidak lagi efektif. Oleh karena itu, dia bersama-sama dengan David Wong – tokoh relavisme yang juga akan dikaji dalam makalah ini – mengembangkan bentuk relativitas yang rumit dan moderat untuk menghadapi kelompok-kelompok yang menentang paham ini (Shomali: 2005, 178). Harman mengkaji relativitas moral dengan cara yang sangat berbeda dengan absolutisme moral. Namun demikian, melalui pendekatan internalistinya, dia tetap menganggap absolitisme moral sebagai pendapat tentang alasan moral yang mendasari manusia. Dia mengatakan “Saya akan memahami keyakinan terhadap nilai-nilai mutlak sebagai keyakinan bahwa setiap orang memiliki alasan untuk berharap atau bercitacita. Mengatakan adanya hukum moral yang berlaku pada setiap orang menurut saya berarti mengatakan setiap orang mempunyai alasan yang memadai untuk mengikuti hukum itu” (Harman: 1989, 370).
Kajian Relativitas Budaya Harman berupaya menampilkan relativitas moral sebagai sebuah tesis logika. Dia menyatakan bahwa dia tdak menolak bahwa sebagian moralitas “secara objektif” lebih benar daripada yang lain atau bahwa ada ukuran-ukuran obyektif terhadap moral. Baginya, sesuatu itu besar hanya berarti dalam hubungan dengan perbandingan yang lain. Demikian juga, seseorang bersalah dalam melakukan sesuatu hanya berarti dalam hubungan dengan sebuah kesepakatan atau pemahaman. Tesis logika yang dimaksud Harman itu menurut Pojman (1990), bagi Harman, internalisme merupakan sebuah tesis logika tentang bentuk sebuah putusan moral. Harman menyatakan bahwa putusan moral mempunyai dua putusan logika atau dua macam implikasi: keduanya mengisyaratkan bahwa sang agen mempunyai alasan yang baik untuk berbuat menurut cara tertentu, dan bahwa sang pembicara menyetujui alasan itu dan mengira si pendengar atau subjek putusan itu juga melakukan hal yang serupa. Dengan demikian, Harman mengatakan bahwa secara logis tidaklah pantas mengatakan, “Hitler tidak boleh berbuat menurut caranya sendiri”, karena dia tidak mempunyai prinsip yang sama dengan kita.
Kajian Relativitas Budaya •
Tesis logika Harman di atas harus dicermati lebih jeli karena ada ruangruang logikanya yang cenderung dipaksakan dan ketidakpastian. Di antaranya, adalah benar sulit mendapatkan konsep “besar” tanpa dipersandingan/diperbadingkan dengan konsep “kecil”. Tapi, hal yang sama tidak terjadi pada moral. Tidaklah sulit bagi seseorang untuk mendefinisikan “benar” tanpa merujuk pada konsep “salah”. Hal lain yang harus dikritisi dalam tesis logika Harman adalah tentang putusan moral dalam kaitan dengan perbuatan seseorang. Sangat diragukan bahwa keputusan moral yang diambil oleh seseorang bersifat linier dengan perbuatan yang dilakukan.
Kajian Relativitas Budaya 2. David Wong Teori relatisme etika Wong disadarkan atas pernyataan tidak adanya satu pun moralitas yang benar, dan bahwa moralitas merupakan kreasi sosial yang dirancang untuk mengatasi pertentangan batin dan antrapribadi. Menurutnya, kesulitan utama dalam menjelaskan pengalaman moral adalah mendamaikan ciri pengalaman kita yang menyatakan objektivitas moralitas dengan ciri lain yang menyatakan subjektivitas moralitas.Secara teoritis, Wong menerima konsep “kebenaran”, tetapi membuat “keberanaran” itu menjadi relatif. Secara tegas dia menyatakan bahwa tidak ada dasar objektif dan independen bagi moralitas karena moralitas didasarkan atas kepentingan dan keinginan manusia (Moh. A. Shomali: 2005, 242)
Kajian Relativitas Budaya Relativitas moral Wong berpijak pada tiga jenis ketakterbandingan (incommensurability); pertama, ketakterbandingan menyangkut penerjemahan. Menurutnya, ada beberapa istilah dari berbagai bahasa tertentu yang tidak dapat diterjemahkan ke dalam istilah bahasa kita sendiri; kedua, ketakterbandingan menyangkut justifikasi. Adanya beberapa teori yang masuk akal yang mempunyai premis yang berbeda mengenai hakekat dunia atau bentuk-bentuk penalaran; ketiga, ketakterbangingan evaluatif. Katanya, seseorang tidak dapat mengatakan bahwa teorinya sendiri lebih baik daripada teori orang lain.
Terima Kasih Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si