ZONASI GEMPA INDONESIA BERDASARKAN FUNGSI FUNGSI ATENUASI TERBARU
TUGAS AKHIR
Diajukan Sebagai Syarat untuk Menyelesaikan Pendidikan Tahap Sarjana pada Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung
Oleh : KUNTJARA
DENNY
150 90 038
150 91 082
Pembimbing Ir. I Wayan Sengara, MSCE, Ph.D
Ir. Hendra Jitno, MASc.,Ph.D
JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 1995
ABSTRAK Gempabumi merupakan bencana alam yang sangat dahsyat dan banyak memakan korban baik jiwa maupun material, karena selama bertahun tahun beberapa kerusakan yang hebat dan sejumlah besar kerugian bagi umat manusia ditimbulkan oleh bencana gempabumi. Sehubungan dengan tingginya angka kerugian akibat gempa, maka perlu dilakukan studi yang komprehensif dari berbagai instansi yang terkait tentang gempa di Indonesia. Dari hasil studi ini diharapkan bisa dihasilkan suatu hasil yang terpercaya yang bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menciptakan suatu peraturan bangunan tahan gempa yang handal dalam upaya mitigasi bencana alam akibat gempabumi. Salahsatu pihak yang terlibat langsung dalam praktek rekayasa gempa ini adalah insinyur sipil geoteknik, karena kebanyakan kerusakan akibat gempabumi dihubungkan atau disebabkan oleh perilaku tanah selama gempa berlangsung. Telah lama diketahui bahwa Indonesia terletak pada daerah yang rawan terhadap berbagai bencana alam seperti gempabumi, letusan gunung api dan tanah Iongsor. Bencana bencana ini disebabkan karena di Indonesia terjadi pertemuan tiga lempeng kerakbumi yang berbenturan (triple junction), yang mana sangat potensial untuk mengakibatkan gempabumi tektonik. Berdasarkan hasil penyelidikan geologi dan inventarisasi bahaya gempabumi (risk assesment) maka tingkat kerawanan suatu daerah terhadap ancaman gempabumi dapat diperkirakan. Tingkat kerawanan ini dapat digambarkan dalam peta zonasi yang memuat zona-zona yang rawan ataupun yang sering terlanda gempabumi, sehingga secara statistik dari magnituda gempa yang pernah terjadi dapat diperkirakan berapa intensitas yang akan terjadi untuk perioda ulang tertentu. Dalam melakukan studi zonasi gempa hal yang harus diperhatikan adalah penentuan daerah daerah sumber gempa berdasarkan kondisi seismotektonik daerah yang ditinjau. Dari hasil test sensitivitas terhadap bentuk daerah sumber didapatkan bahwa bila satu unit lempeng tektonik dijadikan sebagai satu daerah sumber maka akan dihasilkan intensitas yang sangat tinggi. Tingginya intensitas ini disebabkan karena lempeng tadi memiliki luas yang sangat besar dan aktivitas kegempaannya dianggap seragam untuk keseluruhan unit, padahal kenyataannya dalam unit tersebut menurut catatan kegempaan di masa lalu ada beberapa lokasi yang sama sekali tidak pemah mengalami gempa Berdasarkan kondisi tersebut dalam studi ini, pendekatan model bentuk daerah sumber yang diambil ialah satu unit seismotektonik yang besar
dikelompokkan lagi menjadi beberapa daerah sumber gempa yang lebih kecil berdasarkan keseragaman kerapatan terjadinya dan kedalaman fokus. Dengan pendekatan seperti ini diharapkan hasil yang didapatkan cukup representatif dengan kondisi yang sebenarnya. Tahap selanjutnya adalah pemilihan fungsi atenuasi yang akan digunakan dalam evaluasi resiko gempa. Fungsi-fungsi ini diambil dari literatur yang sudah dipublikasikan, yang mana dalam pengambilannya disesuaikan dengan mekanisme penyebab gempa di masing-masing unit seismotektonik yang menjadi daerah sumber gempa. Penyesuaian ini perlu dilakukan karena masing-masing fungsi atenuasi diturunkan berdasarkan mekanisme penyebab gempa di daerah di mana fungsi tersebut diturunkan, apakah itu akibat mekanisma patahan (faulting) ataupun penunjaman (subduction). Pengambilan fungsi atenuasi tadi dilakukan karena Indonesia belum memiliki suatu fungsi atenuasi tersendiri. Untuk mendeduksi suatu fungsi atenuasi tersendiri diperlukan catatan gempa yang bagus dimana hal itu belum ada di Indonesia. Dalam studi ini untuk zona gempa yang didominasi oleh mekanisme patahan (faulting) seperti wilayah Sumatera dan Indonesia Timur digunakan fungsi atenuasi dari Joyner dan Boore (1988) yang diturunkan berdasarkan gempa-gempa dengan mekanisme patahan di pantai Barat Amerika Untuk wilayah Iainnya seperti Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kepulauan Halmahera, karena penyebab gempanya didominasi oleh mekanisme penunjaman (subduction) maka digunakan fungsi atenuasi dari Crouse (1991) yang mana diturunkan berdasarkan gempa-gempa dengan mekanisme subduction dari Cascadia di Pasifik Utara bagian barat beserta zona subduction lainnya di dunia.