ANALISIS IMPLIKASI PERPAJAKAN BIAYA BONUS INDUSTRI HULU MIGAS TERHADAP PRODUCTION SHARING CONTRACT PASCA BERLAKUNYA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 79 TAHUN 2010
ZAINUL FIKRI dan IMAN SANTOSO
Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal FISIP, Universitas Indonesia
Abstrak: Industri minyak dan gas bumi merupakan industri khusus karena perannya sangat vital bagi Indonesia. Demi menjaga amanat UUD 1945 pemerintah perlu mengatur secara khusus seluruh indikator, terutama terkait perpajakan. Pada akhir tahun 2010 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010. Pada Pasal 13 huruf (u) peraturan tersebut menjelaskan bahwa pembayaran biaya bonus kepada pemerintah tidak dapat diperhitungan dalam pajak kontraktor apabila tidak diatur secara detail dalam kontraknya yang mengacu kepada Pasal 38 huruf (b). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Peraturan tersebut pada dasar tujuan dan maksud pembuatannya baik, namun sifatnya yang berlaku retroaktif menunjukan bahwa peraturan tersebut tidak sesuai dengan azas dan prinsip hukum perpajakan. Hal tersebut membuat iklim industri migas menjadi tidak kondusif. Kata kunci: Pajak industri migas; azas perpajakan; biaya bonus; production sharing contract. Abstract: Upstream Oil and Gas Industri is a special industri for Indonesia because it’s vital role. In order to follow the constitution, government must specially regulate all every indicators, particularly related to taxation. In the end of year 2010 government published Government Regulation No. 79 year 2010. On article 13 letter (u), the regulation explained that bonus which paid to the government cannot be deducted in calculating the contractor’s income tax if the contract not provided in details. This research use descriptive qualitative method. The research shows that the objective and the purpose of the regulations is absolutely veritable, but because of its retroactive character shown that the regulation is wrong according to the principle of taxation law. That makes the environment of oil and gas industri not conduicive. Keywords: Upstream Oil Industri Taxation; principle of taxation; bonus expense; production sharing contract.
PENDAHULUAN Industri hulu minyak dan gas bumi merupakan industri khusus karena memiliki peran yang sangat vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dua tahun terakhir sektor migas menyumbang lebih dari 50% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Penerimaan dari sektor pajak atas industi hulu migas juga cukup signifika, pada tahun 2011 pemerintah mendapatkan 1
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
2
73,09 triliun rupiah dan pada tahun 2012 pemerintah memperoleh 60,91 triliun rupiah. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
PENERIMAAN N EGARA BUKAN P AJAK 324.54
350
331.91
PENERIMAAN P AJAK
300
1000
250
800
200
193.42
1011.73 7
1200
873.735
189.6 600
150 400 100 200
50
73.09
60.91
2011
2012
0
0 2011
Sektor Migas
2012
Total PNBP
PPh Migas
Total PNP
Gambar 1 Peran Industri Migas dalam APBN dan Penerimaan Pajak Sumber: NK dan APBN-P 2012
Menurut Tukirman (1988), dalam pengelolaan dan pengusahaan minyak dan gas bumi dibutuhkan 4 (empat) syarat yaitu: (1) Adanya sumber minyak dan gas bumi;(2) Adanya modal yang memadai; (3) Adanya teknologi yang canggih; (4) Adanya keterampilan professional. Indonesia
sampai saat ini baru mampu memenuhi syarat pertama dan ke-empat. Untuk
menyiasati kekurangan tersebut, pemerintah bekerja sama dengan pemilik modal yang mayoritas adalah perusahaan-perusahaan multi-nasional yang mampu memenuhi persyaratan-persyaratan lainnya, baik lokal maupun asing dengan sebuah ikatan kontrak kerja sama pengusahaan migas yang kini dikenal dengan sebutan Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Salah satu kekayaan tersebut adalah
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
3
minyak dan gas bumi, yang artinya bahwa kekayaan migas yang terkandung di dalam wilayah Republik Indonesia milik negara, bukan milik perorangan atau golongan. Sehingga tanggung jawab pengelolaannya berada di pihak pemerintah dengan tujuan utama untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Demi menjaga amanat UUD 1945 dan mengingat betapa vitalnya sektor tersebut, maka sistem pengendalian dan pengawasan terhadap industri hulu minyak dan gas bumi nasional hendaknya dibuat sebaik mungkin, agar dapat mensejahterakan rakyat dan agar investor industri hulu minyak dan gas bumi baik lokal maupun asing tidak ragu untuk berinvestasi dalam sektor hulu minyak dan gas bumi di Indonesia sehingga produksi minyak dan gas bumi nasional dapat meningkat. Pada 20 Desember 2010, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 yang mengatur mengenai Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Pasal 13 peraturan pemerintah tersebut berisi negative list atas biaya-biaya yang tidak dapat di kembalikan (Non-Recoverable Cost) dan tidak dapat diperhitungkan dalam perhitungan pajak (Non-Tax Deductible). Pada Pasal 13 huruf (u) disebutkan bahwa bonus yang dibayarkan oleh kontraktor migas merupakan salah satu dari biaya yang dimaksud. Pada Pasal 38 huruf (b) Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 mengatur mengenai Production Sharing Contract yang tidak mengatur secara detail maka harus tunduk kepada peraturan tersebut. Hal tersebut menimbulkan perbedaan pandangan (dispute) antara pemerintah dengan kontraktor migas. Penelitian ini akan meneliti mengenai: (1) Pemenuhan azas-azas perpajakan pada Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010; (2) Pengaruh dari penerapan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 pada iklim industri hulu migas; (3) Pespektif teori biaya fiskal atas biaya bonus industri hulu migas.
TINJAUAN TEORITIS Azas Pemungutan Pajak Menurut Rosdiana (2012: h.158) ada 3 azas perpajakan yang ideal, yang pertama Azas Revenue
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
4
Productivity (Produktiitas Pendapatan), azas tersebut menyangkut kepentingan pemerintah, sehingga oleh pemerintah yang bersangkutan dianggap sebagai azas yang paling penting. Yang kedua Azas Equality (Keadilan), pajak harus adil dan merata baik secara Horisontal apabila wajib pajak yang berada dalam “kondisi” yang sama diperlakukan sama (equal treatment for the equals) maupun Vertikal apabila wajib pajak yang mempunyai tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda diperlakukan tidak sama. Yang ketiga, Azas Ease of Administration (Kemudahan Administrasi), azas ini terdiri dari: (a) Azas Certainty (Kepastian), mengenai siapa-siapa yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan objek pajak, serta besarnya jumlah pajak yang harus dibayar; (b) Azas Efficiency (Efisiensi), dari sisi fiskus pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak, system pemungutan pajak dikatakan efisien jika biaya yang harus dikeluarkan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin; (c) Azas Convenience (Kenyamanan), pembayaran pajak hendaklah dimungkinkan pada saat yang menyenangkan atau memudahkan wajib pajak; dan (4) Azas Simplicity (Kesederhanaan), peraturan yang dibuat harus sederhana agar lebih pasti, jelas dan mudah dimengerti oleh wajib pajak.
Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal menurut Rahayu (2010) adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan pemerintah untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Atau dapat juga dikatakan kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengrahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Menurut Samuelson dan Nordhaus dalam bukunya Economics yang dikutip oleh Mansury (1999) mengatakan kebijakan fiskal dalam pengertian luas adalah: “Kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan menggunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, lazimnya kebijakan fiskal disertai dengan kebijakan moneter. Kebijakan moneter dilakukan melalui penentuan besarnya jumlah uang beredar dan penentuan tingkat suku bunga, yang akan mempengaruhi investasi barang-barang modal dan pengeluaran-pengeluaran masyarakat yang peka akan tingkat suku bunga.”
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
5
Kebijakan Perpajakan Menurut Simons, yang dikutip oleh Mansury (1999). Pengertian kebijakan fiskal dalam arti sempit adalah: “Kebijakan yang berhubungan dengan penentuan siapa-siapa yang akan dikenakan pajak, apa yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus dibayar dan bagaimana tata cara pembayaran pajak yang terhutang.”Menurut Subki dan Djumadi (2007: h.39), dalam membuat peraturan Perpajakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip berikut: (1) Undang-Undang tidak berlaku surut; (2) Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang tinggi pula; (3) Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum apabila pembuatnya sama; (4) Undang-Undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu; (5) Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat; (6) Undang-Undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun pribadi.Dengan terpenuhinya ke-enam prinsip tersebut, maka peraturan pajak baru dapat dikatakan baik
Teori Investasi Investasi berasal dari bahasa latin, yaitu “investire” yang artinya memakai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia investasi diartikan “penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan”. Menurut Relly dan Brown, dikutip oleh Rachbini (2008: h.11), investasi adalah: “komitmen untuk mengikatkan aspek saat ini untuk beberapa periode waktu ke masa depan guna mendapatkan penghasilan yang mampu mengkompensasikan pengorbanan investor berupa: 1.) Keterikatan aset pada waktu tertentu; 2) Tingkat Inflasi; 3) Ketidaktentuan penghasilan di masa mendatang.” Faktor-faktor yang mempengaruhi investasi menurut Ariwibowo (2009) adalah: (1) Faktor Kestabilan Politik, tidak adanya konflik yang terjadi baik secara vertikal (antar elit politik) dan horizontal (antar kelompok masyarakat) di suatu negara; (2) Faktor Ekonomi, tersedianya Sumber Daya Alam merupakan daya tarik ekonomi yang kuat. Faktor ekonomi berkaitan dengan faktor politik, karena apabila keadaan politik nasional kondusif maka kinerja perekonomian suatu negara juga
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
6
kondusif; (3) Faktor Hukum, sistem hukum disuatu negara harus mampu menciptakan kepastian (predictability), keadilan (fairness), dan efisiensi (efficiency). Menurut Malik (2007: h.16) ada 4 (empat) hal yang harus dipenuhi suatu negara untuk menarik modal asing, yaitu: (1) Peraturan-peraturan kebijakan yang tetap dan konsisten yang tidak terlalu cepat berubah dan dapat menjamin adanya kepastian hukum karena ketiadaan kepastian hukum akan menyulitkan perencanaan jangka panjang usaha mereka; (2) Prosedur perijinan yang tidak berbelit-belit yang dapat mengakibatkan biaya yang tinggi; (3) Jaminan terhadap invesasi mereka dan proteksi hukum mengenai hak atas kekayaan milik investor; (4) Sarana dan prasarana yang dapat menunjang terlaksananya investasi mereka dengan baik.
Konsep Biaya Menurut Mulyadi (2001; h.8), Biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi, sedang terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu. Menurut Gunadi (2007: h.23), menyebutkan bahwa terdapat 3 biaya yang dapat menjadi pengurang pajak yaitu: (1) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan usaha yang diatribusikan baik per basis fakta maupun force of attraction serta berdasarkan hubungan efektif; (2) Sebagian biaya administratif kantor pusat; dan (3) Bagian biaya bunga pemanfaatan dana kantor pusat untuk usaha perbankan (atau biaya lainnya sesuai dengan karakter usaha perusahaan). Jumlah biaya administrasi yang dapat dialokasi ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu sebesar yang sebenarnya dengan batasan paling banyak proporsional dengan peredaran global. Alokasi tersebut dihitung secara proporsional dengan jumlah paling besar sebanding dengan pendapatan BUT dan pendapatan perusahaan global. Menurut Harnanto (2003: h.9) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan merupakan biaya atau pengeluaran yang antara lain memenuhi karakteristik sebagai biaya rutin, diperlukan, dan wajar jumlahnya serta mempunyai hubungan langsung dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Adapun biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dalam Industri Hulu Migas, menurut Badora (2001: h. 26) terdiri dari 2 jenis,, yang pertama, Capital cost,
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
7
Biaya yang dikelompokan dalam capital cost adalah pengeluaran untuk item-item yang masa manfaatnya lebih dari 1 tahun, di luar pengeluaran non-capital cost. Sehingga capital cost ini merupakan biaya yang dibebankan secara proporsional pada tahun berjalan akibat penggunaan barang modal sesuai masa manfaatnya. Yang kedua, Non-Capital cost (expenditures), semua biaya yang dikeluarkan yang penggunaannya tidak memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun.
Metode Akuntansi Industri Hulu Migas Lubiantara (2012: h. 51) pada dasarnya terdapat 2 metode akuntansi Industri Hulu Migas, yang pertama metode Successful Effort digunakan oleh hampir seluruh perusahaan minyak sebelum tahun 1950-an. Inti dari metode ini adalah bahwa semua pengeluaran biaya yang tidak memberi manfaat ekonomi di masa yang akan datang harus dibebankan pada periode terjadinya biaya tersebut. Hal ini sesuai dengan teori dasar Akuntansi. Dengan demikian, metode Successful Effort akan membebankan biaya pemboran eksplorasi apabila terjadi sumur dry hole pada periode tersebut. Yang kedua Metode Full Costing, dikembangkan sekitar tahun 1950-an. Inti dari metode Full Costing adalah bahwa dalam kegiatan migas, eksplorasi adalah suatu kegiatan yang sangat vital bagi perusahaan. Tanpa eksplorasi, cadangan migas tidak akan pernah ditemukan. Mengingat resiko pada tahap eksplorasi ini sangat besar, maka adanya pemboran yang menghasillan sumur dry hole adalah situasi yang tidak terelakkan. Menurut Lubiantara (2012: h. 55), prosedur akuntansi Production Sharing Contract tidak sama dengan salah satu dari kedua metode tersebut. Metode Production Sharing Contract cenderung mirip dengan metode Successful Effort. Perbedaannya adalah: untuk sumur sukses apakah itu sumur eksplorasi atau sumur pengembangan, metode Successful Effort akan menganggap biaya tersebut dikapitalisasi. Sedangkan metode Production Sharing Contract akan membagi dua jenis biaya yaitu: biaya Tangible (manfaat berwujud) dan biaya Intangible (manfaat tidak berwujud). Untuk biaya Tangible, biaya tersebut akan dikapitalisasi sedangkan untuk biaya Intangible, biaya tersebut langsung akan dibebankan (expensed) pada periode biaya tersebut dikeluarkan.
Azas Kepastian Hukum
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
8
Menurut Salim (2012: h. 15), azas kepastian hukum dalam Industri Minyak dan Gas Bumi merupakan azas dalam penyelenggaraan pertambangan minyak dan gas bumi, dimana di dalam penyelenggaraan usaha minyak dan gas bumi mampu menjamin kepastian hak-hak dan kewajiban para pihak yang mengadakan kontrak kerja sama. Menurut Badrulzaman (2001: h.15), azas kepastian hukum disebut juga dengan azas Pacta Sunt Servanda yang merupakan suatu azas dalam hukum perjanjian berhubungan dengan mengikat suatu perjanjian. Azas ini meyatakan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka terima sebagai kewajiban masing-masing karena persetujuan merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakannya dan kekuatan mengikatnya dianggap sama dengan kekuatan undang-undang, sehingga istilah Pacta Sunt Servanda berarti “Janji itu Mengikat”. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendakki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral.
Azas Lex Specialis Derogat Legi Generali Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), Azas Lex Specialis Derogat Legi Generali bermakna aturan hukum yang khusus mengkesampingkan aturan hukum yang umum, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam azas lex specialis derogat legi generali, yaitu: (1) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; (2) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generali (undang-undang dengan undang-undang); (3) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generali. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang bertujuan untuk
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
9
menggambarkan mekanisme sebuah proses dan menciptakan seperangkat kategori atau pola. (Prasetyo & Jannah: 2006). Berdasarkan dimensi waktu, penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional karena dilakukan dalam satu waktu tertentu. (Prasetyo & Jannah: 2006). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan 2 cara yaitu: (1) Wawancara Mendalam dan (2) Studi Dokumen. Teknik Analisis Data penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif, yaitu dengan interpretasi kata-kata. Wawancara mendalam dilakukan pada instansi pemerintahan dan swasta terkait, serta akademisi yang ahli pada bidang perpajakan dan hukum. Penelitian ini dibatasi terhadap Production Sharing Contract yang masih berlaku dan ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Pemenuhan Azas-Azas Perpajakan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 ini mengakomodasi ketentuan Kementrian ESDM yaitu PERMEN ESDM No. 22 Tahun 2008 yang sebelumnya sudah membuat 17 negative list yang kemudian ditambah 7 poin lagi dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah tersebut yang salah satunya adalah biaya bonus. Terlebih dari itu Peraturan Pemerintah No. 79 ini juga mengakomodasi Pasal 31 D Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 bahwa ketentuan perpajakan yang salah satunya terkait dengan industri minyak dan gas bumi diatur kembali dengan Peraturan Pemerintah yaitu ialah Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010. Sehingga dapat dikataka bahwa Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2010 merupakan lex specialist dibandingkan dengan peraturan lainnya terkait dengan biaya bonus industri hulu minyak dan gas bumi. Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 merupakan kebijakan yang tepat karena memang sudah wewenang pemerintah untuk menghilangkan sesuatu yang abu-abu (grey area) dan membuat suatu kepastian hukum, agar di masa yang akan datang tidak terjadi perbedaan pandangan (dispute) di lapangan. Hal tersebut telah memenuhi azas kepastian (Certainty). Peraturan Pemerintah tersebut secara teori sudah memenuhi azas keadilan horizontal (Horizonal Equality) yaitu “equal treatment for the equals” contohnya apabila terdapat 2 (dua) Production
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
10
Sharing Contract yang sama-sama tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai pembanan biaya bonus. Kedua Production Sharing Contract ini lah yang menurut penulis disebut sesuatu yang sama (Equals) dan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 khususnya pasal 13 huruf (u) yang merupakan perlakuan yang adil (Equal Treatment)
Analisis Penerapan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 Terhadap Industri Minyak dan Gas Bumi di Indonesia Pasal 38 huruf (b) mencerminkan bahwa Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2010 tersebut bersifat retroaktif. Sifatnya yang berlaku surut tersebut telah mencimbulkan ketidakteraturan (disorder). Sifat retroaktif yang terdapat pada Pasal 38 huruf (b) akan merubah hak dan kewajiban kontraktor migas sebagai wajib pajak karena telah merubah nilai ekonomi suatu kontrak yang mana sebelumnya sudah diperhitungkan. Pemerintah seharusnya hanya memberlakukan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 hanya kepada Production Sharing Contract yang ditandatangani pasca berlakunya Peraturan Pemerintah tersebut. Peneliti menganggap Pasal 38 huruf (b) Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 bersifat lex talionis atau azas balas dendam (an eye for an eye). Pada tahun 2011 Indonesian Petroleum Association mengajukan judicial review, terhadap beberapa pasal yang salah satunya adalah Pasal 38 huruf (b) kepada Mahkamah Agung. Namun kemudian, yang anehnya sampai saat ini hasil salinan keputusan Mahkamah Agung tersebut menjadi misteri. Yang ada hanya siaran pers dari Direktorat Jenderal Pajak bahwa judicial review tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung. Tidak ada satu orang pun yang pernah memiliki salinan keputusan atau melihat apakah pertimbangan Mahkamah Agung dalam menolak judicial review yang diajukan oleh Asosiasi Perminyakan Indonesia (IPA) tersebut. Dan bagi industri menurut beliau selanjutnya, permasalahan tersebut memunculkan pertanyaan besar dikalangan industri apa yang sebenarnya terjadi dengan pemerintah? Mengapa pemerintah tidak dapat membuat suatu keputusan yang bijaksana dan tidak merugikan suatu pihak. Penerapan atas peraturan yang berlaku surut akan menimbulkan ketidakteraturan (disorder) dan kekacauan (chaos). Dengan demikian peneliti mengusulkan agar Pasal 38 huruf (b) ditinjau
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
11
kembali oleh pemerintah karena walaupun tidak sepenuhnya berlaku surut, namun masih berazas retroaktif yang melanggar azas legalitas hukum. Mengenai judicial review yang ditolak oleh Mahkamah Agung, menurut peneliti pemerintah sebaiknya dapat memberikan salinan keputusan kepada pihak-pihak terkait karena Indonesia adalah Negara yang menjunjung tinggi hukum. Fakta yang ditemukan dari laporan tahunan SKKMIGAS, menurut Grafik 1, mengenai data Investasi KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) bidang eksplorasi. Nilai investasi pada sektor industri hulu minyak dan gas bumi di Indonesia selama 5 tahun belakangan sangat fluktuatif. Investasi paling rendah terjadi pada tahun 2009 yakni hanya sejumlah 917,000,000 USD. Sementara yang paling tinggi ialah pada tahun 2011 yakni sebesar 2,120,000,000 USD. Peneliti menemukan fakta pada Grafik tersebut, tahun 2012 terjadi penurunan investasi kontraktor migas di sektor eksplorasi. Dari angka 2,120,000,000 USD menjadi 1,356,000,000 USD. Hal tersebut dapat dikarenakan akibat terbitnya Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 atau dapat dimungkinkan juga karena Working Area (Blok Migas) yang ditawarkan oleh pemerintah melalui badan pelaksana kurang ekonomis sehingga tidak menarik bagi investor.Peneliti menyarankan adanya penelitian yang lebih mendalam mengenai hal tersebut agar dapat secara rinci menjelaskan terkait dengan investasi pada industri minyak dan gas bumi pasca terbitnya Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010. Menurut peneliti, turunnya investasi pada tahun 2012 yang terlihat pada Grafik 1 tersebut merupakan indikator bahwa Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 telah mempengaruhi industri hulu minyak dan gas bumi di Indonesia baik secara signifikan atau pun tidak. ( D A L A M J U T A U S D ) 2,500
2,120
2,000 1,500
1,661
1,481
1,000
1,356 [VALUE]
500 0
2008
2009
2010
2011
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
2012
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
12
Grafik 1: Investasi KKKS Eksplorasi di Indonesia tahun 2008 -2012 Sumber: Laporan Tahunan SKKMIGAS Tahun 2012
Analisis Biaya Bonus Terhadap Teori Biaya Biaya tersebut yang mana digunakan untuk mendapatkan hak pengusahaan blok migas. Karena hak pengusahaan tersebut bukan benda berwujud maka dapat di amortisasi. Peneliti mengutip Waluyo (2005: h.56) yang mengatakan bahwa: “Beban atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi Wajib Pajak dapat dibagi kedalam 2 (dua) golongan, yaitu: (1) Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, dan (2) Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi.” Bonus yang dibayarkan kontraktor migas kepada pemerintah dilakukan dengan pembayaran tunai (cash), bonus yang dibayarkan tersebut jumlahnya bervariasi dan dapat dinegosiasikan di awal pembuatan Production Sharing Contract. Biaya Bonus yang terdapat dalam Production Sharing Contract di Indonesia biasanya hanya Bonus Produksi (Production Bonus) dan Bonus Penandatanganan (Signature Bonus). Pada hakikatnya bonus tersebut harus dikeluarkan oleh kontraktor migas agar dapat melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dengan mengharapkan revenue yang besar. Biaya bonus sudah tepat apabila dikecualikan dari biaya operasi yang dapat dikembalikan (Non-Recoverable Cost) namun kurang tepat jika tidak dapat diperhitungkan secara pajak (Non-Tax Deductible). Mulyadi (2005:13), salah satu penggolongan biaya adalah Jangka Waktu Manfaatnya, menurut beliau biaya dibagi 2 bagian, yaitu; “(1) Pengeluaran Modal (Capital Expenditure), yaitu pengeluaran yang akan memberikan manfaat/benefit pada periode akuntansi atau pengeluaran yang akan dapat memberikan manfaat pada periode akuntansi yang akan datang; (2) Pengeluaran Pendapatan (Revenue Expenditure), pengeluaran yang akan memberikan manfaat hanya pada periode akuntansi dimana pengeluaran itu terjadi.”
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
13
Dalam menghitung laba, unsur-unsur yang termasuk kategori penghasilan dikonfrontor dengan biaya-biaya untuk mendapatkan dan memperoleh penghasilan (irevenue against matching cost). Berbeda dengan konsep diatas, khusus dalam penghitungan laba kena pajak, penghasilan yang diterima atau diperoleh dapat dikurangkan dengan biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (deductible expense) atau yang lebih dikenal dengan “Biaya 3M”. Menurut aspek akuntansi, biaya bonus, baik Bonus Produksi (Production Bonus), Bonus Penandatanganan (Signature Bonus) dan bonus lainnya dengan nama dan bentuk apa pun. Menurut peneliti apabila biaya bonus tersebut dianggap bukan merupakan expense (pengeluaran) yang dianggap sebagai pengurang (deductions) lalu akan dianggap apakah biaya bonus tersebut dalam pencatatan akuntansi oleh kontraktor? Tentunya tidak mungkin akan dianggap sebagai biaya sosial (Purely Social Transfer). Menurut teori biaya bonus tersebut karena dibayarkan dalam bentuk uang tunai (cash) kepada pemerintah maka hal tersebut memperkuat pendapat peneliti bahwa biaya bonus dengan nama apapun merupakan pengeluaran yang dapat menjadi pengurang pajak. Peneliti menyimpulkan bahwa biaya bonus industri hulu migas, baik Bonus Penandatanganan (Signature Bonus), Bonus Produksi (Production Bonus) atau bonus dengan nama apapun yang terdapat pada industri hulu minyak dan gas bumi di Indonesia merupakan biaya yang menjadi syarat dalam menjalankan usaha (cost of doing business) yang bersinggungan langsung dengan penghasilan kontraktor migas sehinga seharusnya biaya bonus tersebut dapat dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak (taxable income) kontraktor migas (tax deductible). Biaya bonus menurut peneliti berkaitan erat dengan konsep biaya yang dapat dibebankan dalam perhitungan pajak atau biaya 3M (mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan).
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, kesimpulan yang didapat adalah Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 pada hakikatnya telah memenuhi azas keadilan (horizontal equality) dan lex specialist dibanding Peraturan lainnya mengenai biaya bonus. Namun, Penerapan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2010 yang bersifat retroaktif atau surut tersebut
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
14
dapat membuat ketidakteraturan (disorder) yang berpengaruh pada iklim industri migas di Indonesia, dan bonus yang dibayarkan oleh kontraktor migas kepada pemerintah menurut teori biaya fiskal merupakan biaya wajib yang harus dikeluarkan dalam menjalankan usaha atau merupakan biaya 3M (mendapatkan, menagih dan memelihara) penghasilan yang seharusnya dapat dibebankan dalam perhitungan pajak penghasilan kontraktor migas.
SARAN Peraturan yang dikeluarkan pemerintah seharusnya tidak bersifat retroaktif karena akan menimbulkan ketidakteraturan (disorder). Production Sharing Contract dimasa yang akan datang harus dibuat se-detail mungkin. Apabila terjadi perubahan atas kontrakt yang sudah berlaku sebaiknya dilakukan re-negosiasi. Pemerintah sebagai pembuat peraturan harus memperhatikan dampak pada indsutri terkait. Peraturan seharunya dibuat sebagai penggerak roda perekonomian, bukan memberatkan wajib pajak. Pasal 13 huruf (u) yang menjelaskan bahwa bonus yang dibayarkan kontraktor migas kepada pemerintah tidak dapat diperhitungkan seharusnya dihapus karena tidak sesuai dengan teori biaya 3M (mendapatkan, menagih dan memelihara) penghasilan.
DAFTAR REFERENSI Ariwibowo, Trijoyo. (2009). Implementasi Daftar Negatif Terhadap Perusahaan Publik: Studi Pada PT. Indosat TBK-QTEL. Skripsi. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Badora, (2001). Tinjauan Tentang Industri Migas di Indonesia, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing. Badrulzaman, Mariam, dkk (2001). Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Gunadi. (2007) Perpajakan Internasional, Jakarta: Grasindo. Lubiantara, Benny. (2012) Ekonomi Migas, Jakarta: Grasindo.
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013
FIKRI & SANTOSO, IMPLIKASI BIAYA BONUS HULU MIGAS
15
Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah (2006) Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persasda. Malik, Camelia (2007). UU PM No.25/2007: Globalisasi Investasi Jaminan Kepastian Hukum dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia. Jurnal Hukum Bisnis Vol.26-No.4. Manan, Bagir. (2004) Hukum positif Indonesia: satu kajian teoritik, Yogyakarta: FH UII Press. Mansury, R. (1999) Kebijakan Fiskal, Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4). Mulyadi. (2005) Akuntansi Biaya, edisi ke-6, Yogyakarta: STIE YKPN. Rachbini, Didik J. (2008) Arsitektur Hukum Investasi Indonesia. Jakarta: PT. Indeks. Rahayu, Sri Ani (2010). Pengantar Kebijakan Fiskal. Jakarta: Bumi Aksara. Rosdiana, Haula, dan Irianto E.S. (2012). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi Di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Subki, Muhammad Sukri dan Djumadi (2007). Menyelesaikan Sengketa Melalui Pengadilan Pajak. Jakarta: Elex Media Komputindo. Tukirman. (1988) Pengaruh Perpajakan terhadap Penerimaan Negara dari Kontrak Production Sharing Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Jurnal Ilmiah. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.
Analisis implikasi…, Zainul Fikri, FISIP UI, 2013