TESIS
EFEKTIVITAS MAGNESIUM SULFAT 30 MG/KGBB INTRAVENA DIBANDINGKAN FENTANIL 2 MCG/KGBB INTRAVENA DALAM MENEKAN RESPON KARDIOVASKULAR PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI
YEHEZKIEL NIM 0914108201
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014
TESIS
EFEKTIVITAS MAGNESIUM SULFAT 30 MG/KGBB INTRAVENA DIBANDINGKAN FENTANIL 2 MCG/KGBB INTRAVENA DALAM MENEKAN RESPON KARDIOVASKULAR PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI
YEHEZKIEL NIM 0914108201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2014
TESIS
EFEKTIVITAS MAGNESIUM SULFAT 30 MG/KGB INTRAVENA DIBANDINGKAN FENTANIL 2 MCG/KGBB INTRAVENA DALAM MENEKAN RESPON KARDIOVASKULAR PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
YEHEZKIEL NIM 0914108201
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA 2014
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 5 NOVEMBER 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn. MSi NIP.19601116198803.1.003
dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, SpAn. KAR NIP : 19660930199203.1.003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof.DR.dr.Wimpie I Pangkahila,Sp.And,FAACS
Prof.DR.dr.AA.Raka Sudewi,Sp.S (K)
NIP 194612131971071001
NIP 195902151985102001
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal : 5 November 2014
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor
: 3834/UN14.4/HK/2014
Tanggal
: 14 OKTOBER 2014
Penguji : 1. Prof. Dr. dr Made Wiryana, SpAn, KIC, KAO 2. dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC 3. dr. I Made Subagiartha, SpAn, KAKV, SH 4. dr. Ida Bagus Gde Sudjana, SpAn, KAO, MSi 5. dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen, SpAn, KAR
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih yang terutama, penulis berikan pada Tuhan Yesus, yang menjadi sumber pengharapan, inspirasi, dan motivasi, yang telah memberikan kasih karunia-Nya sehingga akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis untuk memperoleh gelar spesialis di bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif. Karya tulis ini selain merupakan suatu karya akhir juga dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan bagi perkembangan keilmuan di bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif.. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof.Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree) dan PPDS-1 lmu Anestesi dan Terapi Intensif. Kepada dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes, selaku Direktur Utama RSUP Sanglah, penulis menyampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menjalani pendidikan dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. Kepada dr. I Nyoman Semadi, SpB, SpBTKV selaku Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, penulis mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis mampu menyelesaikan program pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K), selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, penulis menyampaikan terima kasih karena telah diberikan kesempatan untuk menjalani program magister pada program studi ilmu biomedik, kekhususan kedokteran klinik (combine degree) program pasca sarjana Universitas Udayana. Kepada dr. I Ketut Sinardja, SpAn, KIC. selaku Kepala Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan bimbingan selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. Ida Bagus Gde Sujana, SpAn, MSi. selaku Sekretaris Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, yang telah memberikan bimbingan selama penulis mengikuti program pendidikan dokter spesialis ini, dan khususnya selaku pembimbing satu dalam penyusunan karya akhir ini Kepada Prof.Dr. dr. Made Wiryana, SpAn, KIC. selaku Ketua Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan yang telah diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada dr. I Made Gede Widnyana, SpAn, MKes, KAR. selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan yang telah diberikan selama penulis menempuh program pendidikan dokter spesialis ini.
Kepada dr. I Gusti Putu Sukrana Sidemen,SpAn, KAR selaku pembimbing dua yang telah memberikan bimbingan dalam penulisan dan penyusunan karya akhir ini. Kepada semua guru: dr. I Wayan Sukra, SpAn, KIC; dr. I Made Subagiartha, SH, SpAn, KAKV; dr. I Gede Budiarta, SpAn, KMN; Dr. dr. I Wayan Suranadi, SpAn, KIC; Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya,SPAn, Mkes, KNA, KMN ; dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, SpAn, KAR; dr. Putu Agus Surya Panji, SpAn, KIC; dr. I Wayan Aryabiantara, SpAn, KIC; dr. I Ketut Wibawa Nada, SpAn, KAKV; dr. Dewa Ayu Mas Shintya Dewi, SpAn; dr.I Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa, SpAn, KAR; dr. IGAG Utara Hartawan, SpAn, MARS; dr. Pontisomaya Parami, SpAn, MARS; dr I Putu Kurniyanta, SpAn; dr. Kadek Agus Heryana Putra, SpAn; dr. Cynthia Dewi Sinardja, SpAn, MARS; dr. Made Agus Kresna Sucandra, SpAn; dr. Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan, SpAn, Mkes; dr. Tjahya Aryasa EM, SpAn. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya atas bimbingan yang telah diberikan selama menjalani program pendidikan dokter spesialis ini. Kepada Ni Ketut Santi Diliani, SH. dan I Nyoman Ariawan, serta seluruh staf karyawan di bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, penulis mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya selama menjalani program pendidikan dokter spesialias ini. Kepada dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid, terimakasih karena telah memberikan bimbingan statistik kepada penulis. Kepada rekan-rekan residen, kepada seluruh karyawan, pekarya, peñata, perawat, dan dokter muda yang telah membantu dan bekerjasama dalam lingkup anestesiologi dan terapi intensif, penulis ucapkan
terimakasih atas seluruh kerjasama selama pendidikan. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada semua pasien, terimakasih atas setiap kepercayaan yang diberikan, memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengamalkan ilmu yang didapat. Sembah bakti kepada papa mama , Hertony dan Beatrix Simawati, terima kasih atas kasih sayang, perhatian, dan dukungannya selama penulis menempuh pendidikan. Kepada papa mama mertua, Thian Tedjo Sugianto dan Fany, terimakasih atas motivasi dan pengertiannya selama penulis menempuh pendidikan. Kepada istri tercinta, Riana Sutedjo yang selalu berbagi suka duka serta buah hati Nathaniel Kielz Tan, terima kasih atas pengertian dan pengorbanan menemani penulis selama masa pendidikan. Kepada koko dan cici ipar, Teopilus Sutjiana dan Rina Thianujaya, terimakasih untuk motivasi dan bantuan selama penulis menjalani masa pendidikan, dan kepada adik-adik, Trivena Florentina, Frelly Angelina , Moses, dan Gisella Nathania, terimakasih atas setiap doa dan motivasi yang diberikan. Semoga Tuhan sumber segalanya, senantiasa melimpahkan karunia dan rahmatNya pada semua pihak, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, yang telah membantu pendidikan dan penyelesaian tesis ini secara langsung maupun tidak langsung. Tuhan memberkati
ABSTRAK EFEKTIVITAS MAGNESIUM SULFAT 30 MG/KGBB INTRAVENA DIBANDINGKAN FENTANIL 2 MCG/KGBB INTRAVENA DALAM MENEKAN RESPON KARDIOVASKULAR PADA TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASI
Laringoskopi dan Intubasi merupakan tindakan rutin yang beresiko menyebabkan respon kardiovaskular berupa peningkatan tekanan darah dan laju denyut jantung terutama pada pasien dengan kelainan jantung. Pemberian Fentanil untuk mencegah respon tersebut terbentur dengan resiko efek samping yang berbanding lurus dengan dosis, harganya yang cukup mahal, dan ketersediaanya yang terbatas. Magnesium Sulfat, obat murah dan cukup tersedia, diketahui memiliki kemampuan menekan respon kardiovaskular. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektivitas magnesium sulfat 30 mg/kgbb intravena dibandingkan fentanil 2 mcg/kgbb intravena dalam menekan respon kardiovaskular saat tindakan laringoskopi dan intubasi,sehingga dapat menjadi obat altenatif. Empat puluh dua pasien ASA I dan II, yang direncanakan operasi dengan anestesi umum intubasi trakea dibagi menjadi dua kelompok, Magnesium Sulfat 30 mg/kgbb (n=21) dan Fentanil 2 mcg/kgbb (n=21). Penelitian ini bersifat prospektif, acak terkontrol tersamar ganda. Perubahan tekanan darah dan laju denyut jantung yang terjadi dicatat. Dari 42 pasien tidak didapatkan adanya perbedaan antara umur, jenis kelamin, status fisik ASA, dan IMT antara kedua kelompok perlakuan. Magnesium Sulfat dan Fentanil sama-sama efektif mencegah peningkatan tekanan darah dan laju denyut jantung, secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara keduanya, dengan efek samping relatif lebih sedikit pada kelompok Magnesium Sulfat. Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemberian Magnesium Sulfat 30 mg/kgbb tidak lebih efektif dibandingkan Fentanil 2 mcg/kgbb dalam menekan respon kardiovaskular saat tindakan laringoskopi dan intubasi.
Kata kunci: Laringoskopi, Intubasi, Respon kardiovaskular, Magnesium Sulfat, Fentanil
ABSTRACT COMPARISON OF INTRAVENA MAGNESIUM SULFATE 30 MG/KGBW AND INTRAVENA FENTANIL 2 MCG/KGBW FOR ATTENUATION CARDIOVASCULAR RESPONSE IN LARYNGOSCOPY AND TRACHEAL INTUBATION
Laryngoscopy and intubation is a routine action which causes the risk of cardiovascular responses include increased blood pressure and heart rate, especially in patients with cardiac disorder. Administration of Fentanyl to prevent the response collided with the side effect is directly proportional to the dose, the price is quite expensive, and its availability is limited. Magnesium Sulfate, cheap drug and fairly available, is known to have ability to suppress cardiovascular responses. The aim of this study to determine the effectiveness of intravenous Magnesium sulfate 30 mg/kgbw compared to intravenous Fentanyl 2 mcg/kgbw in reducing the cardiovascular response to laryngoscopy and intubation , so it can become an alternative drug.. Forty-two patients, ASA I and II, that planned surgery with general anesthesia tracheal intubation, were divided into two groups, Magnesium Sulfate 30 mg/kgbw (n=21) and Fentanyl 2 mcg/kgbw (n=21). This study is a prospective, randomized double-blind controlled. Changes in blood pressure and heart rate recorded. From 42 patients, there are not any differences between age, sex, ASA physical status, and BMI between the two groups. Magnesium Sulfate and Fentanyl are equally effective in preventing the increase in blood pressure and heart rate, statistically, there was no significant difference between groups, with relatively fewer side effects in the magnesium sulfate group. From this study showed that administration of intravenous Magnesium Sulfate 30 mg/kgbw no more effective than intravenous Fentanyl 2 mcg/kgbw in suppressing the cardiovascular response in laryngoscopy and intubation.
Keywords: Laryngoscopy, Intubation, Cardiovascular response, Magnesium Sulfate, Fentanyl
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM ................................................................................. i PRASYARAT GELAR ........................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ....................................................... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................ v UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................... vi ABSTRAK .............................................................................................. x ABSTRACT ............................................................................................ xi DAFTAR ISI ........................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xvii DAFTAR TABEL ................................................................................... xix DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG.......................................... xx DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xxii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian.................................................................. 4 1.3.1 Tujuan umum ........................................................... 4 1.3.2 Tujuan khusus........................................................... 4 1.4 Manfaat Penelitian................................................................ 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................. 6 2.3 Laringoskopi dan Intubasi.......................................................... 6
2.3.1 Anatomi dan fisiologi jalan nafas ....................................... 6 2.3.2 Komplikasi tindakan laringoskopi dan intubasi ................. 9 2.2 Fentanil ...................................................................................... 10 2.2.1 Struktur kimia fentanil ....................................................... 10 2.2.2 Farmakokinetik fentanil ..................................................... 11 2.2.3 Farmakodinamik fentanil ................................................... 13 2.2.3.1 Pengaruh terhadap sistem kardiovaskuler .................. 13 2.2.3.2 Pengaruh terhadap sistem organ lainnya .................... 14 2.2.4 Penggunaan klinik fentanil ................................................ 19 2.1 Magnesium ................................................................................. 20 2.1.1 Fisiologis dan Homeostasis Magnesium ..................... 20 2.1.2 Efek Magnesium terhadap fisiologi sel……… ........... 24 2.1.2.1 Aksi pada membrane dan pompa membrane…24 2.1.2.2 Pada kanal ion……………………………… 24 2.1.2.3 Efek pada sistem kardiovaskuler…………… 25 2.1.2.4 Efek pada otot dan transmisi neuromuskuler.. 25 2.1.2.5 Efek pada susunan saraf pusat ......................... 26 2.1.2.6 Efek klinis lain ................................................ 26 2.1.3 Penggunaan pada Anestesi ......................................... 27 2.1.4 Efek samping ............................................................... 28 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ......................................................................................... 31 3.1 Kerangka Berpikir ...................................................................... 31 3.2 Kerangka Konsep ....................................................................... 34 3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................... 34 BAB IV METODE PENELITIAN ......................................................... 35
4.1 Rancangan Penelitian ................................................................... 35 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ 36 4.3 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 36 4.4 Penentuan Sumber Data ............................................................... 36 4.4.1 Populasi penelitian......................................................... 36 4.4.2 Sampel penelitian .......................................................... 36 4.4.3 Jumlah sampel ............................................................... 37 4.4.4 Tehnik pengambilan sampel .......................................... 38 4.4.5 Alokasi sampel .............................................................. 38 4.4.6 Tehnik blind................................................................... 39 4.5 Variabel Penelitian ....................................................................... 40 4.5.1 Identifikasi variabel ....................................................... 40 4.5.2 Definisi operasional variabel ......................................... 40 4.6 Instrumen Penelitian...................................................................... 42 4.7 Prosedur Penelitian........................................................................ 43 4.7.1 Cara kerja....................................................................... 43 4.8 Pengolahan dan Penyajian Data Analisis Statistik ........................ 46 4.8.1 Analisa karakteristik sampel.................................... 46 4.8.2 Uji mormalitas ......................................................... 46 4.8.3 Uji homogenitas....................................................... 46 4.8.4 Analisa perbedaan mean .......................................... 46 4.8.4.1 Perbandingan nilai tekanan darah, tekanan arteri rerata, dan laju denyut jantung……………… ... 46 BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................... 47 5.1 Karakteristik Sampel ..................................................................... 47 5.2 Uji Normalitas Data Variabel Berdasarkan Kelompok .................. 49
5.3 Perbandingan Efektifitas Mgso4 Dan Fentanil Dalam Menekan Respon Kardiovaskular Saat Tindakan Laringoskopi Dan Intubasi ................................................................................ 50 5.3.1 Perbandingan efektifitas dalam menekan peningkatan tekanan darah dan tekanan arteri rerata ........................... 50 5.3.2
Perbandingn efektifitas dalam menekan peningkatan laju denyut jantung .......................................................... 53
5.4 Perbandingan Kadar Magnesium Dan Kalsium Antar Kelompok..................................................................................... 55 5.5 Perbandingan Kejadian Efek Samping Antar Kelompok............ 56 BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................... 57 6.1 Karakteristik Sampel ........................................................ 58 6.2 Perbandingan Tekanan Darah Dan Laju Denyut Jantung 58 6.3 Pengaruh Pada Kadar Magnesium Dan Kalsium Plasma . 60 6.4 Efek Samping ................................................................... 60 6.5 Kelemahan Penelitian ....................................................... 61 BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ................................................... 62 7.1 Simpulan ........................................................................... 62 7.2 Saran ................................................................................. 62 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 64 LAMPIRAN ............................................................................................ 69
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan ............................................... 7 Gambar 2.2 Persarafan Sensoris dari Saluran Nafas............................... 8 Gambar 2.3 Struktur Kimia Fentanil ....................................................... 11 Gambar 2.4 MekanismeAksi Magnesium ............................................... 21 Gambar 2.5 Absorbsi Magnesium pada Gastrointestinal........................ 22 Gambar 2.6 Skema Representasi Magnesium pada Ginjal ..................... 23 Gambar 3.1 Bagan Kerangka Berpikir .................................................... 33 Gambar 3.2 Bagan Kerangka Konsep ..................................................... 34 Gambar 4.1 Bagan Rancangan Penelitian ............................................... 35 Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian ......................................................... 45 Gambar 5.1 Perbandingan Perubahan Tekanan Darah Sistolik Antar Kelompok ............................................................................. 50 Gambar 5.2 Perbandingan Perubahan Tekanan Darah Diastolik Antar Kelompok ............................................................................. 51 Gambar 5.3 Perubahan Tekanan Arteri Rerata Antar Kelompok ........... 52 Gambar 5.4 Perbandingan Perubahan Laju Denyut Jantung Antar Kelompok ............................................................................ 54 Gambar 5.5 Perbandingan Perubahan Laju Denyut Jantung tiap waktu pengukuran Antar Kelompok ............................. 54 Gambar 5.6 Perbandingan Perubahan Kadar Magnesium Antar Kelompok ............................................................................. 55 Gambar 5.7 Perbandingan Perubahan Kadar Calsium Antar Kelompok ............................................................................. 55
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1 Manifestasi Klinik Hipermagnesia.......................................... 29 Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian .............................................. 48 Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas ............................................................... 49 Tabel 5.3 Perbandingan Tekanan Darah Sistolik Antar Kelompok ........ 51 Tabel 5.4 Perbandingan Tekanan Darah Diastolik Antar Kelompok ..... 52 Tabel 5.5 Perbandingan Tekanan Arteri Rerata Antar Kelompok .......... 53 Tabel 5.6 Perbandingan Perubahan Laju Denyut Jantung Antar Kelompok ................................................................................. 54 Tabel 5.7 Perbandingan perubahan Kadar Magnesium dan Kalsium Antar Kelompok ........................................................ 56 Tabel 5.8 Perbandingan Kejadian Efek Samping Antar Kelompok ....... 56
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ASA
: American Society of Anesthesiology
ATPase
: Adenosin triphosphatase
Balitbangkes
: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Ca
: Calsium
EKG
: Elektro Kardiografi
gr
: gram
IMT
: Indeks Massa Tubuh
IOC
: Index of Conciousness
K
: Kalium
kg/m2
: kilogram per meter kubik
mcg/kgBB
: microgram per kilogram berat badan
mg/dL
: milligram per desiliter
mg/kgBB
: milligram per kilogram berat badan
MgSO 4
: Magnesium Sulfat
mM
: millimol
N2O
: Nitro Oksida
Na
: Natrium
NaCl 0,9%
: Natrium Chlorida 0,9%
NMDA
: N-methyl-D-aspartate
Nodus AV
: Nodus Atrioventrikel
Nodus SA
: Nodus Sinoatrial
TCI
: Target Controlled Infusion
TRPM6
: Transient Receptor Potential Melastatin subtype 6
μ
: Miu
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 : Keterangan Kelaikan Etik...................................................... 69 Lampiran 2 : Surat Izin .............................................................................. 70 Lampiran 3 : Lembar Penelitian.................................................................. 71 Lampiran 4 : Pencatatan Hasil Penelitian ................................................... 74 Lampiran 5 : Data Penelitian dan Analisa................................................... 77
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tindakan laringoskopi dan intubasi merupakan tindakan yang sering dilakukan dalam pengelolaan jalan nafas pada anestesi umum. Dalam tindakan laringoskopi dan intubasi terdapat komplikasi yang dapat dialami seorang pasien disebabkan baik oleh respon mekanik dari tindakan itu sendiri maupun respon kelenjar adrenergik. Komplikasi tersebut berupa peningkatan tekanan darah (TD) dan peningkatan laju denyut jantung (HR) (Morgan dkk, 2013). Pada tahun 1940, Reid dan Brace, pertama kali menggambarkan respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi. Peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju denyut jantung saat tindakan laringoskopi dan intubasi ini dapat merugikan pasien, terutama pasien-pasien yang memiliki faktor penyulit kardiovaskular, peningkatan tekanan intrakranial, dan anomali pembuluh darah otak (Reid.LC dkk, 1940). Hasil Riset Kesehatan Dasar Balitbangkes tahun 2007 menunjukan prevalensi hipertensi secara nasional mencapai 31,7% dan dimana hanya 7,2% penduduk yang sudah mengetahui memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat hipertensi. Ini menunjukkan, 76% kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis atau 76% masyarakat belum mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi (Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan. 2010). Sementara itu, menurut data Riset Kesehatan Dasar
2007, diabetes merupakan penyebab kematian nomor 6 dari semua kelompok umur. Prevalensi diabetes di Indonesia yang ada di perkotaan adalah sebanyak 5,7% dan sebanyak 73,7% pasien diabetes tidak terdiagnosa dengan segala komplikasinya (Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan. 2010). Dari riset ini juga, didapatkan prevalensi penyakit kardiovaskular di Indonesia pada populasi usia 15 tahun ke atas sebesar 9,2%, dan yang terdiagnosa hanya 12,7% dari seluruh kasus (Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan. 2010). Dari ketiga penyakit di atas, semuanya sangat rentan terhadap perubahan hemodinamik, sehingga tindakan laringoskopi intubasi akan menjadi tindakan yang beresiko tinggi bila tidak dikelola dengan baik. Peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju denyut jantung dianggap memiliki konsekuensi yang kecil dalam individu yang sehat tetapi bisa merugikan pada pasien yang memiliki faktor resiko (Kovac L dkk 1996). Tanggapan ini bervariasi dengan kedalaman anestesi, durasi dan kesulitan selama laringoskopi dan intubasi, dan faktor-faktor pasien tertentu termasuk riwayat diabetes dan penyakit kardiovaskular (Vohra A 1993, Low JM 1986, Figueredo E 2001). Selama tindakan laringoskopi dan intubasi, peningkatan tekanan darah berkisar 40-50% dan peningkatan laju denyut jantung berkisar 20%, hal ini berhubungan dengan pelepasan katekolamin oleh kelenjar adrenergik (K Montazeri dkk, 2005). Salah satu tehnik yang lazim dilakukan dalam menekan respon hemodinamik adalah penggunaan obat fentanil intravena. Sejumlah penelitian telah mempelajari
berbagai dosis dan waktu yang tepat dalam penggunaan fentanil dan efeknya pada respon laringoskopi dan intubasi. Pada penelitian Kautto UM dkk 1982 dan Feng CK dkk 1996, menunjukkan bahwa meskipun respon peningkatan tekanan darah ditumpulkan, namun tidak cukup untuk menekan respon laju denyut jantung.(Kautto UM dkk 1982, Feng CK dkk 1996,Martin DE dkk 1982). Efek samping fentanil berbanding lurus dengan dosis yang diberikan. Sehingga seringkali penggunaan obat fentanil masih kurang memuaskan. Fentanil merupakan obat golongan opioid. Di Indonesia, distribusi fentanil sebagai opioid untuk keperluan medis tidak tersedia secara memadai, hal ini dikarenakan pengadaannya diatur oleh
kebijakan
pengendalian obat nasional. Untuk mengantisipasi keterbatasan tersebut, maka perlu dicari obat lain yang mudah tersedia, murah, yang memiliki manfaat dalam menekan respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi intubasi. Magnesium sulfat (MgSO 4 ), obat yang murah, relatif tidak berbahaya, dan mudah didapatkan. Pertama kali dikenal efikasinya sebagai anti artimia dan terapi preeklampsia-eklampsia.
MgSO 4
dilaporkan
dapat
menghambat
pelepasan
katekolamin dari terminal saraf adrenergik dan kelenjar adrenal secara invitro melalui penghambatan kalsium. Meningkatnya magnesium didalam serum menghambat kerja kalsium sehingga menghambat pelepasan katekolamin pada manusia (K.Montazeri dkk, 2005). Dengan dihambatnya pelepasan katekolamin, maka diharapkan tidak terjadi respon peningkatan tekanan darah dan laju denyut jantung saat tindakan laringoskopi dan intubasi. Namun menurunnya kadar kalsium pada pemberian MgSO 4 juga menjadi perhatian khusus, karena efek samping dari MgSO 4 yang
timbul selain dari pengingkatan magnesium, juga diakibatkan menurunnya kadar kalsium dalam darah. Oleh sebab itu, melalui penelitian ini, akan membuktikan efektifitas MgSO 4 30 mg/kgBB sama efektifnya dibandingkan fentanil 2 mcg/kgBB dalam menekan respon kardiovaskular
tanpa
mempengaruhi
magnesium
dan
kalsium
yang dapat
menimbulkan efek samping, sehingga dapat menjadi obat alternatif yang murah dan mudah didapatkan dalam mengelola tindakan laringoskopi dan intubasi.
1.2 Rumusan Masalah Apakah MgSO 4 30 mg/kgbb sama efektif dalam berperan mencegah respon kardiovaskular berupa peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju denyut jantung dibandingkan fentanil 2 mcg/kgbb pada tindakan laringoskopi dan intubasi pada anestesi umum?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum
Mengetahui mekanisme MgSO 4 30 mg/kgbb dalam mencegah respon kardiovaskular berupa peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju denyut jantung pada tindakan laringoskopi dan intubasi dibandingkan fentanil 2 mcg/kgbb. 1.3.2
Tujuan khusus
1. Mengetahui efektifitas MgSO 4 30 mg/kgbb dalam menekan peningkatan tekanan darah dan tekanan arteri rerata pada tindakan laringoskopi dan intubasi.
2. Mengetahui efektifitas MgSO4 30 mg/kgbb dalam menekan peningkatan laju denyut jantung pada tindakan laringoskopi dan intubasi. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.
Manfaat praktis Dari penelitian ini diharapkan mendapatkan obat alternatif untuk menekan respon kardiovaskular
berupa peningkatan tekanan darah dan laju denyut jantung pada
tindakan laringoskopi dan intubasi dengan biaya murah dan mudah didapat. 2.
Manfaat akademik Hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi masukan dan tambahan ilmu pengetahuan baru bagi sejawat dokter spesialis anestesi, dokter umum dan mahasiswa kedokteran, sehingga MgSO 4 30 mg/kgbb preoperatif dapat digunakan sebagai tehnik alternatif untuk menekan respon kardiovaskular pada tindakan laringoskopi dan intubasi. Selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Laringoskopi dan Intubasi 2.1.1 Anatomi dan fisiologi jalan nafas Laringoskopi merupakan tindakan memvisualisasi laring dengan menggunakan laringoskop. Intubasi endotrakea adalah suatu tindakan memasukkan pipa khusus kedalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Indikasi endotrakeal intubasi antara lain: menjaga patensi jalan nafas dan memproteksi jalan nafas, pada pasien dengan kegagalan ventilasi dan oksigenasi. Ada dua saluran nafas manusia: hidung yang bermuara ke nasofaring (pars nasal) dan mulut yang bermuara ke orofaring (pars oral), kedua bagian ini di anterior dipisahkan oleh langit-langit dan di posterior dipisahkan oleh faring. Faring adalah suatu struktur fibromuskular berbentuk U yang memanjang dari dasar tengkorak ke tulang rawan krikoid dilubang masuk osefagus. Faring terbuka masing-masing ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring. Di dasar lidah, epiglotis secara fungsional memisahkan orofaring dan laringofaring. Jalan nafas mendapat suplai saraf sensoris dari nervus kranialis. Nervus lingual mempersarafi 2/3 bagian depan lidah, nervus glossofaringeus mempersarafi 1/3 bagian belakang lidah dan bagian atas faring, tonsil serta permukaan bawah palatum molle. Nervus vagus mempersarafi jalan nafas di bawah epiglotis dan bercabang
menjadi dua yaitu: nervus laringeus superior, laringeus rekuren dan laringeus interna. Nervus laringeus superior bercabang menjadi dua bagian yaitu cabang eksterna (motorik) mempersarafi otot-otot krikoid dan cabang interna mempersarafi epiglotis dan pita suara.
Gambar 2.1. Anatomi saluran pernafasan
Traktus respiratorius kaya akan reseptor, dengan distribusi terbanyak pada laring dan pada bagian proksimal trakeobronkial. Terdapat empat tipe reseptor sensorik pada saluran nafas: (1) reseptor regang yang terdapat pada dinding jalan nafas, lambat beradaptasi memiliki saraf berdiameter besar dan bermielin; (2) ujung saraf yang terdapat pada dan di bawah epitelium yang berespon terhadap stimulus kemikal dan mekanikal, cepat beradaptasi dan memiliki saraf dengan diameter kecil dan bermielin; (3) reseptor dengan saraf tanpa mielin, polimodal, distimulasi oleh kerusakan jaringan dan edema, berfungsi sebagai nosiseptor; (4) reseptor yang khusus untuk rasa dan menelan. Rangsang mekanik akan menstimulasi mekanoreseptor dan nosiseptor untuk dilanjutkan melalui jaras aferen. Jaras aferen somatik maupun viseral
terintegrasi penuh dengan sistem simpatis di medulla spinalis, batang otak dan pusat yang lebih tinggi (Simmon S 2002). Laringoskopi dan intubasi merupakan noksius stimuli yang melalui jalur nyeri (pain pathway) akan menghasilkan respon neuroendokrine. Jaras aferen dibawa oleh nervus glossofaringeus dari jaras trakeo bronkhial melalui nervus vagus yang akan mengaktifasi sistem simpatis. Aktifasi sistem simpatis akan melepaskan katekolamin dari medula adrenal.
Gambar 2. 2: persarafan sensoris dari saluran nafas
Stimulasi jalan nafas atas karena tindakan laringoskopi dan intubasi akan menyebabkan peningkatan aktifitas simpatis sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Peningkatan tekanan darah berkisar 40-50% dan peningkatan laju nadi berkisar 20%. Peningkatan tekanan arteri rerata saat intubasi berkorelasi dengan peningkatan katekolamin plasma terutama noradrenalin. Efeknya
terjadi sekitar 30 detik setelah intubasi, puncak nya pada menit ke 3, dan berlangsung selama kurang dari 10 menit sesudahnya (Gupta A 2009). 2.1.2 Komplikasi tindakan laringoskopi dan intubasi Komplikasi tindakan laringoskopi dan intubasi meliputi hipoksia, trauma pada gigi dan jalan nafas, posisi pipa endotrakea yang salah, respon fisiologi, dan malfungsi pipa endotrakeal, serta spasme laring. Tindakan laringoskopi dan intubasi trakea mengakibatkan peningkatan tonus simpatis yang secara klinis dapat dilihat dengan meningkatnya respon kardiovaskular berupa tekanan darah dan laju denyut jantung (Stoelting dkk, 1977). Mekanisme respon kardiovaskular terhadap intubasi merupakan reflek simpatis terhadap stimulasi mekanik pada laring dan trakea. (Montazeri dkk,2011). Peningkaan aktivitas simpatis juga berkorelasi positif dengan kadar katekolamin plasma, tetapi hemodinamik lebih cepat pulih dibandingkan kadar katekolamin plasma (Hassa dkk, 1990; Bruder dkk,1992; Slogoff dkk, 1985; Russel dkk, 1981). Tekanan darah dan laju denyut jantung naik dalam waktu 5 detik setelah laringoskopi kemudian mencapai puncak dalam waktu 1-2 menit dengan kenaikan tekanan arteri rerata berkisar 50-70 mmHg (Latto dkk,1997; Stoelting dkk, 1977). Perubahan tekanan darah dan laju denyut jantung direkomendasikan tidak boleh melebihi 20% dari nilai dasar , terutama pada penderita dengan riwayat atau memiliki resiko iskemia jantung (Morgan dkk,2013; Stoelting dan Dierdof, 2002). Laju denyut jantung berperan menyebabkan terjadinya iskemia miokard dibandingkan tekanan darah karena kenaikan laju nadi dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium dan menurunkan hantaran oksigen
miokardium, walaupun kenaikan tekanan darah meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium dan meningkatkan hantaran oksigen miokardium tetapi pada kondisi tertentu seperti terjadinya sklerotik pada arteri koronaria, hantaran oksigen ke otot miokardium juga terganggu (O’Brien dan Grogan,2006).
2.2 Fentanil Fentanil merupakan opioid sintetik derivate fenilpiperidin, agonis reseptor μ (miu), 100 kali lebih poten daripada morfin sebagai analgetik dan diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 oleh dr. Paul Jansen. Sebagai golongan obat narkotika, distribusinya terbatas sesuai dengan peraturan pemerintah, untuk menghindari penyalahgunaan dari obat ini (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 312/MENKES/SK/IX/2013). Penggunaannya dalam bidang anestesi cukup popular karena onset yang relatif singkat, durasi kerja pendek, dan tidak banyak mengganggu kestabilan hemodinamik. 2.2.1 Struktur kimia Fentanil Fentanil adalah sintetik opiod agonis yang merupakan derivat penilpiperidin (Stoelting, 2007). Fentanil disintesa pertama kali pada tahun 1960, dengan rantai kimia C23H17N dan berat molekul 336.47052 gram/mol(Stoelting, 2007). Fentanil bekerja terutama pada reseptor μ dan memiliki rasio potensi klinik 75-125 kali morpin (Stoelting, 2007).
Gambar 2.3 Struktur Kimia Fentanil
2.2.2 Farmakokinetik Fentanil Fentanil dosis tunggal diberikan intravena memiliki onset yang lebih cepat dan durasi kerja yang lebih pendek dibandingkan morfin (Stoelting,2007). Fentanil sangat larut dalam lemak sehingga cepat mengalami ambilan oleh organ yang kaya perfusi seperti otak, jantung dan paru sehingga memiliki onset kerja cepat dan durasi kerja sangat singkat setelah bolus tunggal intravena(Coda, 2006; Stoelting, 2007). Lebih besarnya potensi dan lebih cepatnya onset kerja fentanil merefleksikan lebih larutnya fentanil dalam lemak dibandingkan morfin yang memfasilitasinya melewati sawar darah otak. Pendeknya durasi kerja dosis tunggal fentanil merefleksikan cepatnya redistribusinya ke jaringan inaktif seperti otot lurik dan lemak, dihubungkan dengan menurunnya konsentrasi plasma obat (Stoelting 2006). Onset efek fentanil adalah 10 detik dan berhubungan dengan cepat meningkatnya konsentrasi fentanil dalam
jaringan otak, seimbang dengan plasma dalam 5 sampai 6,8 menit. Pemulihan dari efek fentanil dimulai dalam waktu 5 menit sampai 60 menit (Coda, 2006; Stoelting, 2007). Eliminasi fentanil dari jaringan sentral (otak, jantung dan paru-paru) juga cepat sehingga teredistribusi ke jaringan lain terutama otot dan lemak. Konsentrasi puncak pada otot adalah 5 menit, sedangkan pada lemak adalah 30 menit. Lambatnya ambilan fentanil oleh jaringan lemak walaupun kelarutannya sangat tinggi disebabkan oleh karena terbatasnya aliran darah ke jaringan tersebut (Coda, 2006).
Ketika
diberikan dosis intravena berulang atau infus kontinyu menyebabkan konsentrasi plasma fentanil tidak turun dengan cepat sehingga efek analgesia dan depresi nafasnya memanjang. Fentanil adalah substrat enzim P-450 hepar (CYP3A), dimetabolisme di hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi menjadi norfentanil , hidroksipropionil-fentanil dan hidroksipropinil-norfentanil. Secara struktural norfentanil mirip dengan normeperidin dan merupakan metabolit utama dari fentanil. Metabolit fentanil mulai terlihat di plasma 1.5 menit setelah injeksi, metabolit utamanya terdeteksi di urine sampai 72 jam setelah pemberian intravena. Kurang dari 10 % fentanil dieksresi dalam urin dalam bentuk tidak aktif (Stoelting, 2006; Morgan dkk, 2013). Waktu paruh eliminasi fentanil lebih panjang dari morpin walaupun secara klinis memiliki durasi kerja yang pendek, karena volume distribusinya yang lebih besar. Lebih dari 80% dosis yang diinjeksikan meninggalkan plasma kurang dari 5 menit. Konsentrasi plasma fentanil dipertahankan oleh ambilan yang lambat dari jaringan
inaktif (otot lurik dan jaringan lemak), dimana perhitungan untuk efek obat yang sama sejajar dengan dengan waktu paruh eliminasi obat. Fentanil berikatan dengan protein plasma sebesar 78 % sampai 87 % (Stoelting, 2007). 2.2.3 Farmakodinamik Fentanil 2.2.3.1 Pengaruh terhadap sistem kardiovaskular Area
batang
otak
yang
mengintegrasikan
respon
kardiovaskular
dan
mempertahankan homeostasis kardiovaskular adalah nukleus solitarius, dorsal nukleus vagal, nukleus ambigus dan nukleus parabrakial. Nukleus solitarius dan nukleus parabrakial memegang peran penting pada kontrol hemodinamik dan sekresi vasopresin serta merupakan area yang terdiri dari reseptor opioid dan neuron yang terdiri dari enkepalin. Ventrolateral periaqueductal grey merupakan mediasi analgesia sentral juga mempengaruhi kontrol hemodinamik. Opioid juga memodulasi stres respon melalui aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA aksis), hampir sebagian besar opioid mengurangi tonus simpatis dan meningkatkan vagal atau tonus parasimpatis Opioid menurunkan tekanan darah melalui mekanisme penurunan laju nadi , venodilatasi, dan menurunnya reflek simpatis. Hampir semua opioid kecuali meperidin tidak menekan kontraktilitas miokardium (Morgan dkk, 2006). Fentanil menyebabkan sedikit perubahan atau tidak sama sekali terhadap kontraktilitas miokardium(Mathews dkk, 1988). Konsentrasi fentanil dalam plasma 10 mcg/ml
dapat mengurangi kontraktilitas jantung sebesar 50%. Pemberian fentanil dosis tinggi sampai 75 mcg/kgbb menghasilkan konsentrasi plasma sebesar 50 mcg/ml dan dihubungkan dengan stabilitas hemodinamik yang luar biasa. Fentanil 7 mcg/kgbb sedikit menurunkan laju nadi tetapi tidak merubah tekanan arteri rerata dibandingkan kontrol (Flacke dkk, 1985). Fentanil dosis tinggi 20-25 mcg/kgbb dapat menurunkan laju nadi, tekanan arteri rerata dan pulmonarycapillary wedgepressure sebesar 15% pada pasien dengan penyakit arteri koroner. Fentanil juga dikatakan memiliki efek inotropik positif kemungkinan oleh karena pelepasan katekolamin atau aktivasi langsung adrenergik miokardium (Fukuda, 2005). Penurunan laju nadi yang disebabkan oleh opioid kecuali meperidin terutama disebabkan oleh kerjanya pada susunan saraf pusat yaitu menekan reflek baroreseptor sinus karotis, menurunkan tonus simpatis, meningkatkan tonus vagus dan juga dilaporkan efek langsung opioid pada sel pacemaker jantung yaitu dapat mendepresi konduksi jantung. Fentanil dapat memperlambat konduksi AV node, memperpanjang interval RR, memperpanjang periode AV node dan durasi aksi potensial serabut purkinye (Reisine dan Pasternak 1996). Efek ini diperkirakan oleh efek langsungnya pada membran, yang menentang kerjanya pada reseptor opioid (Weber dkk, 1995). Pengaruh hormonal memperbesar perubahan kardiovaskular. Berbeda halnya dengan morfin dan meperidin, fentanil tidak menyebabkan peningkatan histamin plasma dan jarang menyebabkan hipotensi. Ortostatik hipotensi pada penggunaan opioid sering terjadi akibat inhibisi reflek baroreseptor. Fentanil dosis besar
signifikan menyebabkan peningkatan plasma katekolamin pada anjing, tetapi dosis besar pada manusia (24-75 mcg/kg) lebih sering menurunkan katekolamin dan kortisol plasma. (Fukuda, 2005) 2.2.3.2 Pengaruh terhadap sistem organ lainnya Fentanil dapat menyebabkan neuroeksitasi mulai dari delirium sampai aktivitas kejang grand mal. Aktivitas kejang oleh fentanil terlihat pada EEG binatang tetapi minimal pada manusia. Gerakan yang menyerupai kejang tidak dihubungkan dengan aktivitas kejang pada EEG (Jamali dkk, 1997). Apabila tidak tampak aktivitas kejang pada EEG, sulit membedakanya dengan rigiditas otot atau mioklonus (Stoelting, 2006). Opioid dapat menyebabkan fokal eksitasi dibandingkan global eksitasi pada susunan saraf pusat, tetapi melalui mekanisme yang tidaki jelas (Tommasino dkk, 1984). Fentanil dapat meningkatkan tonus otot sehingga dapat menyebabkan rigiditas melalui mekanisme yang belum jelas tetapi diperkirakan melalui pengaturan sentral di nukleus raphe magnus pontin. Kejadian rigiditas oleh opiod bervariasi tergantung dosis dan kecepatan penyuntikan ditandai dengan meningkatnya tonus otot sampai kaku otot, suara serak pada pasien sadar, fleksi ekstremitas, pergerakan tonik klonik global dan menutupnya pita suara. Rigiditas dapat menurunkan compliance paru dan kapasitas residu fungsional sehingga menghalangi ventilasi yang adekuat (Reisine dan Pasternak, 1996). Secara keseluruhan opioid menurunkan metabolisme serebral dan tekanan intrakranial walaupun perubahan ini dipengaruhi oleh obat lain dan kondisi pasien. Pada manusia fentanil tunggal dapat merubah aliran darah serebral
secara regional heterogen (Adler dkk, 1997). Sebagai neuroprotektif opioid bekerja sebagai agonis reseptor kappa, selain itu aktivasi reseptor epsilon juga dapat meningkatkan survival time tikus selama hipoksia. Opioid melepas inhibisi kortikal nukleus medinger-westphal sehingga menyebabkan pupil kontriksi. Terlihatnya respon ini dihubungkan dengan level plasma opiod (Woodal dkk, 1989). Anestesia berbasis opioid kemungkinan menurunkan ambang batas termoregulasi yang sama dengan agen inhalasi (Kurz dkk, 1995), tetapi fentanil kurang efektif sebagai antishivering dibandingkan meperidin. Peptida opioid endogen terdistribusi luas pada nukleus regulasi batang otak. Semua reseptor mu-2 menstimulasi depresi nafas langsung pada pusat respirasi di batang otak oleh opiod yang tergantung dengan dosis. Efek stimulasi CO2 terhadap ventilasi dan drive ventilasi hipoksik berkurang secara signifikan oleh opioid (Fukuda, 2005). Fentanil menyebabkan derajat depresi nafas yang sama dengan dosis analgetiknya karena efek analgetik dan depresi nafas terjadi melalui mekanisme yang sama. Depresi nafas ditandai dengan meningkatnya end-tidal CO2, bergesernya kurva respon CO2 ke kanan. Opioid juga mempengaruhi pusat ventilasi di medula dan pons yang mengatur irama bernafas sehingga mengakibatkan pemanjangan waktu istirahat antara bernafas. Hal ini disebabkan oleh menurunnya pelepasan asetilkolin dari neruron pusat pengaturan ventilasi di medula akibat hiperkarbia sehingga mengurangi sensitivitas pusat nafas terhadap karbondioksida.Fentanil tunggal 2 mcg/kg menurunkan kurva respon CO2 dan VE50 50% (Coda dkk, 2006; Stoelting, 2006).
Depresi nafas akan terdeteksi pada konsentrasi plasma fentanil yang dihubungkan dengan efek analgesia yang ringan dan besarnya depres nafas berhubungan dengan intensitas analgesia (Coda dkk, 2006). Konsentrasi plasma fentanil 1,5-3,0 mg/ml biasanya berhubungkan dengan penurunan respon CO2, dosis fentanil yang lebih besar (50-100 mcg/kg) dapat menyebabkan depres nafas yang menetap dalam beberapa jam(Fukuda, 2005; Coda, 2006). Pemberian fentanil 20-50 mcg/kgbb atau dosis lebih besar potensial memerlukan ventilasi mekanik paska operasi. Faktor yang meningkatkan besar dan durasi depres nafas oleh karena opioid adalah dosis tinggi, kondisi tidur, usia tua, CNS depresan, renal insufisiensi, hiperventilasi, hipokapnia, asidosis respiratori, menurunya aliran darah hepar yang menyebabkan menurunnya klirens dan puncak level sekunder opoid di plasma (Fukuda, 2005). Opioid memiliki efek antitusif, walaupun fentanil mengakibatkan efek batuk yang berlangsung singkat sampai 50% pada pasien saat injeksi intravena. (Bohrer dkk, 1990). Opioid dapat menekan reflek jalan nafas, trakeal dan jalan nafas bagian bawah melalui mekanisme yang belum jelas sehingga menumpulkan respon somatis dan autonomik intubasi endotrakeal yang menyebabkan pasien mentoleransi pipa endotrakeal tanpa batuk. (Fukuda, 2005), Fentanil memiliki kemampuan menurunkan stres respon dengan memodulasi atau mengatur nosisepsi pada beberapa level neuroaksis yang berbeda dan memiliki kemampuan yang poten menghambat aksis pituitary adrenal (Vincent, 1996; Fukuda, 2005). Kegunaan fentanil untuk mengkontrol hormonal sebagai manifestasi dari stres
respon tergantung dari dosis (Giesecke dkk, 1988). Dosis fentanil paling sedikit 50 mcg/kgbb mencegah peningkatan konsentrasi glukosa darah, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron, kortisol, GH selama atau setelah CABG (Fukuda, 2005). Dua puluh lima persen penurunan aliran darah ke korteks renal dihubungkan dengan perubahan tekanan darah sedangkan tidak adanya peningkatan ADH, renin dan aldosteron pada plasma ditunjukan oleh fentanil. Bila fungsi renal berubah selama pemberian opioid saat anestesia dan pembedahan kemungkinan merupakan pengaruh perubahan hemodinamik sistemik dan renal. Semua opioid mempengaruhi sensasi kandung kencing, tetapi kontraksi detrusor menurun hanya setelah pemberian fentanil (Stoelting 2006; Fukuda, 2005). Opioid termasuk fentanil dapat menyebabkan spasme otot polos gastrointestinal yang mengakibatkan konstipasi, kolik bilier, dan memperlambat pengosongan lambung (Stoelting, 2006). Opioid dapat menurunkan motilitas lambung sehingga menyebabkan lambatnya pengosongan lambung dan menurunkan sekresi asam hidroklorid yang berpotensi meningkatkan resiko terjadinya aspirasi dan lambatnya absorpsi obat yang diberikan secara oral. Kontraksi peristaltik yang bersifat mendorong pada usus halus dan usus besar akan menurun, spingter pilorus, katup ileosaekal dan spingter anal akan meningkat. Lambatnya perjalanan isi usus halus menuju kolon menyebabkan peningkatan absorpsi air sehingga dapat terjadi konstipasi, terutama pada pemberian kronis. Opioid dapat mengurangi sekresi bilier, pankreas dan intestinal. Efek opioid terhadap sirkulasi gastrointestinal berlangsung
kopleks dan sulit untuk dimengerti. Semua opioid agonis meningkatkan tekanan duktus biliaris dan tonus spingter oddi melalui reseptor opiod dan terhadap fungsi hati opioid memiliki efek yang ringan (Stoelting, 2006; Fukuda, 2005; Reisine dan Pasternak, 1996).
Penggunaan opioid intraoperatif merupakan faktor resiko
terjadinya mual dan muntah karena menstimulasi reseptor dopamin di kemoreseptor trigger zone melalui reseptor delta di postrema medulla. Mual dan muntah juga disebabkan oleh meningkatnya sekresi gastrointestinal dan lambatnya hantaran isi usus halus menuju kolon (Stoelting, 2006; Reisine dan Pasternak, 1996).
2.2.4 Penggunaan klinik Fentanil Secara klinis fentanil digunakan dalam rentang dosis yang luas. Dosis rendah 1-2 mcg/kgbb intravena digunakan sebagai analgesia, 2-20 mcg/kgbb intravena diberikan sebagai tambahan anestesi inhalasi dan menumpulkan respon sirkulasi terhadap laringoskopi
intubasi
endotrakeal
serta
stimulasi
pembedahan
(Stoelting,
2006).Sejumlah penelitian telah meneliti berbagai dosis dan waktu pemberian FENTANIL dan efeknya pada respon laringoskopi dan intubasi. Pada pasien ASA I / II, berbagai peneliti menunjukkan bahwa dosis 2 μg/kg diberikan antara 3,5-5 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi dapat menekan respon (Channaiah VB dkk, 2008, Song H 1998). Penelitian Kautto dkk dan Feng dkk menunjukkan bahwa meskipun respon peningkatan tekanan darah dilemahkan pada dosis ini, respon peningkatan laju denyut jantung tidak dapat ditekan. Lainnya menunjukkan bahwa
dosis 3,5-5 μg/kg diberikan antara 3,5-5 menit sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi sepenuhnya menumpulkan respon hemodinamik. (Kauto UM dkk, 1996 Feng CK, 1996 Martin DE, 1982). Dengan dosis lebih tinggi ini ada risiko komplikasi termasuk depresi pernapasan dan memperpanjang waktu bangun dari anestesi. Fentanil dosis 3 mcg/kgbb intravena diberikan 5 menit sebelum intubasi efektif mengurangi kenaikan tekanan darah dan laju nadi tetapi masih terjadi depresi nafas pada penderita (Chung dan Evans, 1985). Waktu injeksi fentanil untuk untuk mencegah respon tersebut harus mempertimbangkan effect site equilibration. Efek puncak fentanil terlambat 3-5 menit setelah kadar puncaknya di plasma, fentanil titrasi harus lengkap sekitar 3-5 menit sebelum laringoskopi untuk maksimal mengurangi respon hemodinamik saat intubasi endotrakeal (Coda, 2006).
2.3 Magnesium 2.3.1Fisiologis dan homeostasis Magnesium Magnesium sulfat (MgSO 4 ) merupakan bahan murah yang relatif tidak berbahaya dan mudah didapatkan. Ini pertama kali dikenal efikasinya untuk aritmia dan preeclampsia. Magnesium adalah kation keempat terbanyak dalam tubuh dan kation intraseluler kedua terbanyak setelah kalium. Magnesium diperlukan dalam pelepasan asetilkolin pada ujung saraf presynaptic dan dapat menghasilkan efek yang mirip dengan obat
yang menghambat masuknya kalsium. Ion magnesium terlibat sebagai kofaktor dari sekitar 300 reaksi enzimatik dalam tubuh dan juga berperan dalam beberapa proses penting seperti pengikat reseptor
hormon, pintu saluran kalsium, masuknya ion
melewati membran, regulasi sistem adenilsiklase, aktivitas neuronal, tonus vasomotor, perangsangan jantung dan pelepasan neurotransmitter (Edmundas Širvinskas dkk 2002). Magnesium (Mg) adalah ion dengan jumlah berlimpah dalam tubuh manusia dan memainkan peranan penting dalam berbagai fungsi seluler, seperti penyimpanan, metabolisme, dan pembentukan energi. Berfungsi sebagai kofaktor untuk berbagai proses biologis, termasuk sintesis protein, neuromuskular, dan stabilisasi asam nukleat. Magnesium merupakan komponen intrinsik dari adenosin 5-triphosphatases dan regulator endogen beberapa elektrolit.(Herroeder dkk, 2011)
Gambar 2.4. Mekanisme Aksi Magnesium (Sumber : Herroeder dkk,Magnesium-Essentials for Anesthesiologists, 2011)
Magnesium termasuk non kompetitif inhibitor dari inositol trifosfat-gated saluran kalsium, magnesium berfungsi sebagai antagonis kalsium endogen dengan
mempengaruhi penyerapan dan distribusi. Magnesium juga menunjukkan efek modulasi pada saluran natrium dan kalium , sehingga mempengaruhi membran potensial.Pada sistem saraf pusat, menimbulkan efek depresi dengan bekerja sebagai antagonis pada reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) glutamat dan penghambat pelepasan katekolamin (gbr. 1).(Herroeder dkk, 2011). Tubuh manusia dewasa mengandung rata-rata 24 gr magnesium , disimpan terutama dalam tulang (60%) dan kompartemen intraselular otot (20%) dan jaringan lunak (20%), terutama terikat sebagai chelators, seperti adenosin 5-trifosfat dan DNA. 2-3% Magnesium intraselular
terionisasi dan mengatur homeostasis
magnesium intraseluler. Ruang Ekstraseluler hanya mengandung 1% dari total magnesium tubuh, termasuk 0,3% didalam plasma.Magnesium dalam plasma, dalam bentuk terionisasi (60%), dalam bentuk anion (7%), dan yang terikat protein (33%), dengan konsentrasi normal magnesium total plasma berkisar 0,7-1,0 mM (1,7-2,4 mg / dl)(Herroeder dkk, 2011). Pemeliharaan homeostasis magnesium sebagian besar diatur oleh penyerapan usus dan ekskresi ginjal. Magnesium terutama diserap di usus halus melalui dua jalur yang berbeda tergantung pada dosis dan formula dari asupan makanan. Pada konsentrasi rendah intraluminal didominasi oleh transportasi transelular penyerapan aktif dan pada konsentrasi tinggi yang tidak dapat diserap, melalui difusi pasif (tabel 1). (Herroeder dkk, 2011)
Gambar 2.5. Absorbsi Magnesium pada Gastrointestinal Ketersediaan hayati dari senyawa organik , seperti magnesium aspartat atau magnesium sitrat, lebih baik dibandingkan dengan campuran anorganik. Bila kadar magnesium normal, yang diserap sekitar 40 -50%. Mekanisme yang mendasari penyerapan magnesium tergantung kondisi hypermagnesium atau hipomagnesium. Pada ginjal, sekitar 80% magnesium plasma diultrafiltasi melalui glomerulus, dengan lebih dari 95% yang diserap di nefron (gbr. 2). (Herroeder dkk, 2011). Pada ansa Henle diserap 70%, pada tubulus proksimal dan distal 15-25% dan 5-10% dari reabsorpsi secara berurutan. Pada lengkung Henle , magnesium diserap kembali melalui difusi pasif paracellular, didorong oleh gradien elektrokimia, hasil dari reabsorpsi adalah natrium klorida. Tight junction protein claudin 16 diyakini memfasilitasi reabsorpsi magnesium paracellular karena mutasi pada pengkodean gen paracellin-1 yang menyebabkan 2011)
magnesium wasting syndrome.(Herroeder dkk,
Sedikit yang diketahui tentang mekanisme yang mendasari reabsorpsi magnesium dalam tubulus distal. Pada usus halus, transportasi transelular aktif melibatkan TRPM6. Pasien dengan mutasi pada gen hypomagnesemia TRPM6 dapat mengalami hypocalcemia. Regulation sekunder transportasi magnesium tidak memiliki kontrol endokrin khusus, meski beberapa hormon telah digunakan untuk mengubah hemostasis magnesium.(Herroeder dkk, 2011)
Gambar 2.6. Skema Representasi Magnesium padaGinjal. Parathormon dan vitamin D merangsang reabsorpsi magnesium ginjal dan usus, sedangkan insulin dapat menurunkan ekskresi magnesium di ginjal dan meningkatkan selular uptake. Tubuh manusia selalu menjaga magnesium dalam batas normal.Pada fungsi ginjal yang normal, ekskresi magnesium biasanya 5 mmol / hari,dan menurun hingga kurang dari 0,5% (0,03 mmol / hari) bila ada gangguan ekstrarenal. Sehingga
orang akan rentan terhadap hypermagnesemia bila terjadi gangguan fungsi ginjal.(Herroeder dkk, 2011) Sedíaan MgSO 4 berbentuk kristal yang tidak berbau, tidak berwarna atau serbuk kristal putih yang terasa pahit dan sejuk. MgSO 4 dilarutkan dalam cairan injeksi, kemudian larutan tersebut disaring sampai terpisah dari endapannya lalu disterilisasi dan dimasukkan ke dalam ampul yang bersih dan steril kemudian disegel. Sedíaan dalam bentuk injeksi 10%, 20%,25%, 40% dan 50% dalam kontainer dengan berbagai macam ukuran. Yang banyak tersedia di Indonesia ádalah larutan 20% dan 40% 2.3.2Efek Magnesium terhadap fisiologi sel 2.3.2.1 Aksi pada membrane dan pompa membrane Magnesium menurunkan aktifasi Ca ATPase dan Na-K ATPase yang terlibat dalam pertukaran ion selama fase depolarisasi-repolarisasi. Defisiensi magnesium akan mengganggu kerja pompa ATPase yang akan meningkatkan natrium dan kalsium ekstrasel dan menurunkan kalium intrasel. Hal ini akan mengganggu stabilitas membrane sel dan organel dalam sitoplasma. 2.3.2.2 Pada kanal ion Magnesium diyakini berperan sebagai pengatur keseimbangan perbedaan ion dalam kanal ion. Konsentrasi magnesium intrasel yang rendah akan mengakibatkan kalium keluar sel, dengan demikian akan merubah konduksi dan metabolisme sel. 2.3.2.3 Efek pada sistem kardiovaskuler
Kerja magnesium pada kanal kalsium dan pompanya sebenarnya sebagai pengatur aliran di transmembran dan intraseluler. Selain itu, magnesium juga mempunyai efek tidak langsung pada otot jantung dengan menghambat ambilan kalsium oleh troponin C di miosit dan akan mempengaruhi kontraktilitas otot jantung. Dengan meningkatnya dosis yang diberikan, akan menunjukkan efek inotropik negatif. Magnesium akan menurunkan tekanan arteri sistemik dan arteri pulmonal dengan jalan menurunkan resistensi pembuluh darah. Pemberian magnesium secara cepat pada manusia dengan dosis 3 atau 4gr akan menurunkan tekanan sistolik arteri. Gangguan
pergerakan
ion
dalam
sel
yang
diakibatkan
oleh
karena
dismagnesemia akan mempengaruhi eksitabilitas sel-sel jantung pada nodus SA yang mengakibatkan gangguan irama jantung. 2.3.2.4 Efek pada otot dan transmisi neuromuskuler Hipomagnesemia
akan
menstimulasi
kontraksi
otot,
pada
keadaan
hipomagnesemia akan menyebabkan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma, dan kadar magnesium yang tinggi dapat memblokir keadaan ini. Hipomagnesmia atau hipokalsemia
menyebabkan
hipereksitabilitas
neuromuskular,
sedangkan
hipermagnesemia atau hiperkalsemia menyebabkan kelemahan neuromuskular atau penurunan reflek tendon.
2.3.2.5 Efek pada susunan saraf pusat Efeknya sebagai antagonis reseptor NMDA merupakan dasar dari pencegahan menggigil pascaoperatif. Sebagai penghambat kalsium, menyebabkan vasodilatasi
arteriol dan mencegah vasospasme. NMDA merupakan reseptor glutamat, yaitu reseptor ligand-gated yang tersusun dari beberapa subunit yang membentuk saluran kation nonselektifdengan co-agonis asam amino glycine. Pengaturan suhu reseptor ini tedapat pada kornu posterior dari spinal cord. Kekhususan reseptor NMDA terletak pada kemampuannya memasukkan ion Ca2+ dan adanya ion Mg2+ ekstraseluler akan menutup celah tersebut pada keadaan hiperpolarisasi membrane. Sehingga aktivitas reseptor NMDA akan meningkat dengan berkurangnya konsentrasi magnesium ekstraseluler. Penghambatan kanal kalsium dan natrium secara fungsional mempunyai peran dalam pengaturan suhu. Pada percobaan dengan monyet, kelebihan ion kalsium di hipotalamus posterior menyebabkan penurunan suhu tubuh, sedangkan ion natrium meningkatkan suhu tubuh. Pada kambing, pemberian magnesium di ventrikel tiga dapat meningkatkan suhu tubuh, sedangkan kalsium menimbulkan hipotermi. 2.3.2.6 Efek klinik lain Efek bronkodilator dari magnesium dimana kerjanya menghambat kontraksi otot polos, mencegah pelepasan histamin dari sel mast, dan melepas asetilkolin dari terminal saraf kolinergik. Sedangkan efek tokolitik belum diketahui secara pasti mekanismenya, diperkirakan dengan menghambat kalsium sehingga mencegah kontraksi otot.
2.3.3 Penggunaan pada anestesi Magnesium menghambat reseptor NMDA, sehingga dapat mencegah sensitisasi sentral yang disebabkan oleh stimulasi nociceptiveperifer. Efek ini terutama didasarkan pada efek magnesium dalam regulasi masuknya kalsium ke dalam sel, yang secara fisiologis sebagai antagonis kalsium dan antagonis reseptor NMDA.
Terdapat
hubungan
terbalik
telah
ditunjukkan
antara
keparahan nyeri akibat kondisi pembedahan dan konsentrasi serum magnesium (Edmundas Širvinskas dkk 2002). Peningkatan kadar plasma yang berhubungan dengan efek samping ditunjukan pada Tabel 2.1. Oleh karena itu, perlu untuk mengamati beberapa parameter klinis untuk menjamin keamanan. Parameter meliputi: diuresis 25 mL/jam, reflek patella positif, frekuensi napas lebih dari 12 kali per menit, dan perubahan tanda-tanda vital (Tekanan darah, denyut jantung, dan tingkat kesadaran). Magnesium menurunkan 52% risiko kejang saat dibandingkan dengan diazepam, dan 67% jika dibandingkan dengan phenytoin. Penelitian ini meningkatkan penggunaan magnesium dari 2% menjadi 40% pada pasien dengan preeklampsia di Negara Inggris. Namun, Benzodiazepin tetap diindikasikan untuk pengobatan kejang (Fabiano Timbo Barbosa dkk, 2010). Magnesium merupakan antagonis alami kalsium dan antagonis non-kompetitif reseptor NMDA. Hal ini terlibat dalam beberapa proses seperti kontrol tonus vasomotor, eksitabilitas jantung, pelepasan neurotransmiter dan modulasi nyeri. Magnesium bersaing dengan kalsium pada saluran membran. Hal ini dapat
menghambat banyak respons yang dimediasi kalsium seperti pelepasan katekolamin dari kedua kelenjar adrenal dan terminal saraf adrenergik perifer dalam merespons stimulasi simpatis dan memiliki sifat vasodilatasi. Magnesium juga menghambat pelepasan asetilkolin presinap pada neuromuskular junction dan dapat mengakibatkan waktu onset dini dan potensiasi blokade neuromuskuler yang tak terduga. Selain itu, sebagai antagonis reseptor NMDA dalam sistem saraf pusat, magnesium menurunkan sensitisasi nosiseptor perifer dan respon stres pada pembedahan dan dengan demikian dapat mengurangi kebutuhan opioid dalam periode perioperatif. Kebanyakan penelitian menunjukkan bahwa magnesium perioperatif dapat mengontrol respon kardiovaskular pada intubasi trakea, mengurangi kebutuhan anestesi dan memiliki opioid sparing efek dalam periode perioperatif. 2.3.4 Efek Samping Beberapa pasien yang mendapatkan terapi magnesium menunjukkan beberapa reaksi minor seperti rasa panas saat penyuntikan intravena, badan terasa lemah,mual, muntah, pandangan kabur, penglihatan ganda dan kelemahan badan. Efek samping MgSO 4 terutama berhubungan dengan tinginya kadar magnesium meliputi hilangnya reflek patella, flushing, berkeringat, hipotensi, depresi susunan saraf pusat, jantung bahkan depresi nafas. Gejala klinis awal dilihat dari ada tidaknya reflek tendon patella/biseps. Berikut diuraikan toksisitas magnesium sulfat dilihat dari gejala klinisnya. 1.Kadar normal pada kehamilan 1,5-2,5mEq/L 2.Kadar terapetik untuk mencegah kejang 4-7 mEq/L
3.Hilangnya reflek patella 8-10 mEq/L 4.Rasa hangat, flushing, somnolen dan pandangan kabur 10-12 mEq/L 5.Depresi pernafasan 12-14 mEq/L 6.Paralisis otot, kesulitan bernafas 15-17 mEq/L 7.Henti jantung 30-35 mEq/L
Tabel 2. 1. Manifestasi Klinik Hipermagnesemia
Bila ditemukan gejala klinis toksisitas, harus dilakukan pemeriksaan kadar magnesium. Lalu berikan kalsium glukonas 1 gram iv selama 3 menit. Oksigenasi bila terdapat gangguan pernafasan ringan sampai sedang. Kalsium glukonas sebaiknya diberikan secara perlahan untuk menghindari hipotensi dan atau bradikardi. Kalsium menghambat kompetitif MgSO 4 pada neuromuscular junction. Pemberian kalsium hanya sementara sehingga untuk depresi nafas berat diperlukan intubasi trakhea dan ventilasi buatan, oleh karena itu diperlukan peralatan intubasi untuk mengantisipasi toksisitas magnesium. Karena magnesium sulfat diekskresikan melalui ginjal dan toksisitasnya maka syarat pemberian magnesium sulfat yaitu :
1.Terdapat reflek patela/biseps 2.Tidak terdapat depresi nafas, pernafasan minimal 16x/menit 3.Pengeluaran urin minimal 100 ml selama 4 jam. 4.Tersedia antidotum kalsium glukonas 1 gr (10 ml dari larutan 10%)
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir 1. Tindakan laringoskopi dan intubasi merupakan tindakan yang sering dikerjakan dalam mengelola jalan nafas pada anastesia umum, yang dapat memberikan komplikasi berupa respon kardiovaskular peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju nadi yang dapat merugikan pada pasien-pasien tertentu. 2. Stimulasi jalan nafas atas karena tindakan laringoskopi dan intubasi akan menyebabkan peningkatan aktifitas simpatis sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah dan laju nadi. Peningkatan tekanan darah berkisar 40-50% dan peningkatan laju nadi berkisar 20%. Peningkatan tekanan arteri rerata saat intubasi berkorelasi dengan peningkatan katekolamin plasma terutama noradrenalin. 3. Fentanil merupakan opioid sintetik, derivat dari fenilpiperidin, agonis reseptor µ (miu), 100 kali lebih poten daripada morfin sebagai analgetik dan diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 oleh dr. Paul Jansen. Termasuk golongan narkotika, sehingga distribusi pengadaan obat ini terbatas. Penggunaannya cukup popular karena onset yang relatif singkat, durasi kerja pendek, dan tidak banyak mengganggu kestabilan hemodinamik.
4. Penggunaannya fentanil sebagai obat yang menekan respon kardiovaskular karena adanya reseptor opioid banyak yang terdapat di daerah nucleus solitaries dan parabrakhial, terutama reseptor µ (miu), sehingga bila diberikan agonis akan menyebabkan hipotensi dan bradikardi. Fentanil cukup efektif, namun memiliki beberapa komplikasi. Efek sampingnya berbanding lurus dengan dosis. 5. MgSO 4 merupakan obat murah dan tidak berbahaya yang telah banyak digunakan untuk menangani berbagai macam kondisi medis seperti pre eklamsi, eklamsi, kejang,dan gangguan irama jantung. 6. Magnesium merupakan antagonis alami kalsium dan antagonis non-kompetitif reseptor N-methyl-D aspartat (NMDA). Magnesium bersaing dengan kalsium pada saluran membran. Hal ini dapat menghambat banyak respons yang dimediasi kalsium seperti pelepasan katekolamin dari kedua kelenjar adrenal dan terminal saraf adrenergik perifer dalam merespon stimulasi simpatis. Dengan menghambat pelepasan katekolamine diharapkan dapat menjaga stabilitas kardiovaskular saat dilakukan tindakan laringoskopi dan intubasi.
LARINGOSKOPI DAN INTUBASI
RESEPTOR DI SALURAN NAFAS
RANGSANG MEKANIKAL
NOXIUS STIMULI
NOSISEPTOR PERIFER
SARAF PERIFER
KORNU DORSALIS FENTANYL TRAKTUS SPINOTALAMIKUS
STIMULASI SIMPATIS DAN SIMPATOADRENAL MAGNESIUM SULFAT
1.
PELEPASAN KATEKOLAMIN
2. 3. 4.
RESPON HEMODINAMIK 1. TEKANAN ARTERI RERATA 2. LAJU DENYUT JANTUNG 3. KADAR MAGNESIUM-KALSIUM
3.1 Bagan Kerangka Berpikir
5. 6. 7.
MACAM DAN DOSIS OBAT INDUKSI OBAT TAMBAHAN INDUKSI KARAKTERISTIK BLADE DAN ETT KONDISI PASIEN SEBELUMNYA LAMA INTUBASI KETRAMPILAN PELAKU INTUBASI STATUS HIDRASI PASIEN
3.2 Kerangka Konsep
Perlakuan Perioperatif MgSO4 Laringoskopi-intubasi
Perlakuan Perioperatif Fentanil
Respon kardiovaskular - NilaiTekanan darah - tekanan rerata arteri - laju denyut jantung Kadar kalsium
Variabel perancu : Karakteristik : 1. ASA 2. Cormack score Pelaksana tindakan laringoskopi dan Intubasi
Gambar 3.2. Bagan Kerangka Konsep 3.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Pemberian perioperatif MgSO 4 30 mg/kgbb sama efektif dibandingkan Fentanil 2 mcg/kgbb dalam menekan respon kardiovaskular berupa peningkatan tekanan darah saat tindakan laringoskopi dan intubasi. 2. Pemberian perioperatif MgSO 4 30 mg/kgbb sama efektif dibandingkan Fentanil 2 mcg/kgbb dalam menekan respon kardiovaskular berupa peningkatan laju nadi, saat tindakan laringoskopi dan intubasi.
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah uji klinik dan alokasi subyek dilakukan dengan randomisasi blok tersamar ganda yang dilakukan secara prospektif untuk mengetahui perubahan hemodinamik saat tindakan laringoskopi dan intubasi setelah pemberian perioperatif MgSO 4 pada operasi dengan anestesi umum di RSUP Sanglah Denpasar. Subyek Penelitian
Randomisasi
Kelompok Perlakuan A : MgSO430mg/kgBB bolus pelan IV selama 5 menit via Syringe pump
Nilai Tekanan darah, tekanan rerata arteri,laju denyut jantung, dan kadar Magnesium-kalsium darah saat tindakan laringoskopi dan intubasi
Kelompok Perlakuan B : Fentanil 2 mcg/kgBB dengan volume dan cara pemberian sesuai perlakuan A
- Nilai Tekanan darah, tekanan rerata arteri, laju denyut jantung, dan kadar Magnesium- kalsium darah saat tindakan laringoskopi dan intubasi
Gambar 4.1.Bagan Rancangan Penelitian
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar dari bulan Agustus- September 2014. 4.3. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan dalam bidang Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif, khususnya dalam ranah perioperatif. 4.4 Penentuan Sumber Data 4.4.1 Populasi penelitian Populasi target dari penelitian ini adalah pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Populasi terjangkau penelitian ini diambil dari pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum di ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar periode bulan Agustus - September 2014. 4.4.2 Sampel penelitian Sampel penelitian ini adalah semua pasien yang akan dilakukan operasi dengan anestesi umum di ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar, yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sebagai berikut: Kriteria Inklusi:
1. Usia 18-55 tahun. 2. Status fisik ASA 1-2. 3. Operasi dengan anestesi umum. Kriteria Eksklusi: 1. Pasien menolak. 2. Tidak mengikuti prosedur cara kerja. 3. Tindakan bedah saraf, bedah jantung. 4. IMT <18,9 kg/m2, IMT >24,9 kg/m2. 5. Pasien memiliki alergi terhadap MgSO 4 dan NSAID. 6. Pasien riwayat menggunakan analgetika secara kronik. 7. Riwayat gangguan fungsi ginjal dan hati. 8. Ketergantungan terhadap alkohol. 4.4.3 Jumlah sampel Besar sampel dihitung berdasarkan rumus:
Keterangan: n = besar sampel s = simpangan baku
Zα = nilai Z untuk α tertentu Zβ = nilai Z untuk power (1-β) tertentu X1-X2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna secara klinis antara kelompok 1 dan 2 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gautam Piplai, 2013 diketahui nilai mean±SD perubahan tekanan arteri rerata pada menit ke 1 setelah tindakan laringoskopi dan intubasi adalah 10,2 + 9,1. Dengan tingkat kesalahan tipe I, α ditetapkan sebesar 0,05 sehingga didapatkan sampel untuk masing-masing kelompok :
20 Besar total sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 40orang. 4.4.4 Tehnik pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik consecutive sampling, dimana setiap pasien baru yang memenuhi kriteria eligibilitas dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.
4.4.5 Alokasi sampel Penentuan alokasi sampel yang masuk ke dalam kelompok perlakuan atau kelompok kontrol dilakukan dengan metode Quickcalcs (Graphpad, Software, Inc), dengan hasil sebagai berikut: 1
B
9
A
17
A
25
B
33
A
2
A
10
A
18
B
26
B
34
A
3
A
11
B
19
A
27
B
35
A
4
B
12
B
20
B
28
A
36
B
5
A
13
B
21
B
29
A
37
A
6
A
14
A
22
A
30
A
38
B
7
B
15
B
23
B
31
A
39
B
8
B
16
A
24
B
32
A
40
B
4.4.6. Tehnik blind Persiapan blind obat dengan membuat cairan yang identik untuk kedua jenis obat. Kelompok A mendapatkan MgSO 4 30mg/kgBByang diencerkan NaCl 0,9% menjadi 20 cc , diberikan selama 5 menit sebelum induksi menggunakan syringe pump, sedangkan kelompok B mendapatkan fentanil 2 mcg/kg yang diencerkan NaCl
0,9 % dengan volume yang sama dengan volume cairan pada kelompok A. Setiap pasien baru yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi. Penentuan sampel yang mendapat intervensi dilakukan secara random menggunakan computer generated permutted block randomization of graphpad quickcalcs software untuk menentukan subyek penelitian masuk ke kelompok perlakuan A atau kelompok perlakuan B. Digunakan amplop tertutup yang berisi kelompok intervensi mana yang akan diberikan, nomor sampel, dan instruksi pelaksanaan. Pada pagi hari sebelum operasi, seorang dokter residen anestesi pertama yang membantu penelitian akan membuka amplop tersebut, membaca isinya, dan menyiapkan intervensi yang diberikan sesuai instruksi dalam amplop. Kemudian dokter residen anestesi kedua akan memberikan obat yang telah disiapkan oleh dokter residen anestesi pertama tanpa mengetahui apa isi cairan tersebut. Kedua dokter residen anestesi ini kemudian tidak ikut terlibat dalam evaluasi dan pengumpulan data selanjutnya. 4.5 Variabel Penelitian 4.5.1 Identifikasi variabel Variabel bebas
: perioperatif MgSO 4 30 mg/kgBB bolus intra vena selama 5
menit atau perioperatif Fentanil 2 mcg/kgBB bolus intra vena selama 5 menit. Variabel tergantung : nilai tekanan darah, tekanan rerata arteri, laju denyut jantung, dan kadar magnesium-kalsium.
Variabel perancu
: status fisik ASA, kesulitan intubasi (Cormack Score),
pelaksana tindakan laringoskopi dan intubasi. 4.5.2 Definisi operasional Variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut: 1. Perioperatif MgSO 4 adalah MgSO 4 intravena 20 % yang diberikan dalam tindakan anestesi umum. 2. Perioperatif fentanil adalah fentanil intravena yang diberikan dalam tindakan anestesi umum. 3. Operasi dengan anestesi umum adalah tindakan operasi yang didahului dengan prosedur memberikan obat yang memiliki efek amnesia, analgesia, melumpuhkan otot, dan hipnotika. 4. Tekanan darah adalah tekanan yang dialami darah pada pembuluh darah arteri ketika darah dipompa oleh jantung ke seluruh tubuh manusia, dicatat dari monitor tekanan darah non invasif. 5. Tekanan arteri rerata adalah variable turunan dari tekanan darah yang dihitung dengan rumus
6. Laju denyut jantung adalah jumlah kontraksi jantung dalam 1 menit yang dicatat dari monitor laju denyut jantung.
7. Kadar kalsium darah adalah kadar kalsium yang dinilai dari hasil pemeriksaan darah pasien di laboratorium. 8. Kadar magnesium darah adalah kadar magnesium yang dinilai dari hasil pemeriksaan darah pasien di laboratorium. 9. Status fisik ASA adalah suatu sistem penilaian status fisik pasien praoperasi menurut klasifikasi berdasarkan American Society of Anesthesiologists,kalsifikasi status fisik menurut American Society of Anestesiologist (ASA). Hal ini merupakan ukuran umum keadaan pasien. Klasifikasi status fisik menurut ASA adalah sebagai berikut : ASA 1 : Pasien tidak memiliki kelainan organik maupun sistemik selain penyakit yang akan dioperasi. ASA 2 : Pasien yang memiliki kelainan sistemik ringan sampai dengan sedang selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya diabetes mellitus yang terkontrol atau hipertensi ringan ASA 3 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat selain penyakit yang akan dioperasi, tetapi belum mengancam jiwa. Misalnya diabetes mellitus yang tak terkontrol, asma bronkial, hipertensi tak terkontrol ASA 4 : Pasien memiliki kelainan sistemik berat yang mengancam jiwa selain penyakit yang akan dioperasi. Misalnya asma bronkial yang berat, koma diabetikum ASA 5 : Pasien dalam kondisi yang sangat jelek dimana tindakan anestesi mungkin saja dapat menyelamatkan tapi risiko kematian tetap jauh lebih besar. Misalnya operasi pada pasien koma berat
ASA 6 : Pasien yang telah dinyatakan telah mati otaknya yang mana organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor bagi yang membutuhkan. (Morgan et al., 2013). 10. Cormack Score adalah penilaian jalan nafas saat dilakukan
laringoskopi untuk
memprediksi kesulitan intubasi. Dibagi menjadi 4, dimana : Cormack 1 : epiglotis dan pita suara tervisualisasi dengan sempurna Cormack II : Epiglotis tervisualisasi sempurna, pita suara tidak tervisualisasi sempurna Cormack III : Epiglotis tervisualisasi sempurna, pita suara tidak tervisualisasi Cormack IV : Epiglotis tidak tervisualisasi 11. Pelaksana tindakan laringoskopi intubasi adalah residen semester 4 ke atas , yang sudah memiliki kompetensi melakukan tindakan laringoskopi dan intubasi. 4.6 Instrumen Penelitian 1. Laringoskop, ETT sesuai ukuran pasien 2. Lembar pengumpulan data penelitian. 3. Target Controlled InfusionMachine (Perfusor®Space dari B Braun) farmakokinetika model software Schnider dengan target konsentrasi efek. 4. Index of Conciousness- view dari Morpheus Medical. 5. Syringe pump. 6. Elektroda IOC. 7. Three way stopcock.
4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Cara kerja Cara kerja dalam melakukan penelitian dan pengumpulan data adalah sebagai berikut: Penelitian ini harus mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian kedokteran FK UNUD. Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra anestesi sehari sebelum tindakan operasi. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan sebagai sampel. Setelah mendapatkan penjelasan dan pasien setuju dilanjutkan dengan menandatangani informed consent. Subyek dipuasakan selama 6 jam praoperasi dan dilakukan pemeriksaan kadar magnesium dan kalsium. Obat diberikan di ruang operasi dengan pengawasan dokter residen anestesi. Setelah sampel berada di ruang persiapan kamar operasi dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan infus dengan menggunakan kateter intravena G18. Sampel dimasukkan ke dalam ruang operasi, kemudian dilakukan pemasangan alat monitor non invasif (tekanan darah otomatis, EKG, dan pulse oksimetri). Tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, laju denyut jantung, dan kadar magnesium-kalsium diukur sebagai data dasar. Kedua kelompok perlakuan mendapat anestesi umum menggunakan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgbb, ondansetron 0,15 mg/kgbb. Pada kelompok MgSO 4 , pasien diberikan MgSO 4 20 % 30 mg/kgBB diencerkan menjadi 20 ml dengan NaCl 0,9%, sedangkan pada kelompok kontrol, pasien diberikan fentanil 2mcg/kg yang diencerkan menjadi 20 ml dengan NaCl 0,9%, lalu obat dibolus intra vena selama 5 menit menggunakan
syringe pump. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3 menit. Selanjutnya dilakukan induksi dengan menggunakan propofol TCI model Schnider target konsentrasi efek 4 mcg/ml sampai nilai IoC 50±5. Kebutuhan propofol yang diperlukan saat induksi dicatat. Kemudian diberikan obat pelumpuh otot Atracurium 0,5 mg/kgbb intravena. Suplemen analgesia diberikan ketorolac 0,5 mg/kgBB intravena. Penderita diberikan ventilasi tekanan positif melalui sungkup muka dengan oksigen 100% 12 kali per menit setelah tidak bernafas. Setelah onset pelumpuh otot tercapai dalam 3 menit,dilakukan pencatatan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut jantung, kemudian dilakukan laringoskopi dan intubasi trakea pada menit ke-5 oleh residen anestesi yang sudah kompeten (semester 4 ke atas). Selanjutnya dilakukan pencatatan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut jantung pada menit 1, 3, 5, dan 10 setelah tindakan laringoskopi dan intubasi, serta memeriksakan kadar kalsium dan magnesium darah post operasi. Pada kedua kelompok, anestesi dipelihara sesuai dengan kebutuhan operasi pasien. Dilakukan pemeriksaan tandatanda keracunan magnesium. Jika tekanan sistolik < 90 mmHg atau MAP menurun > 20 % dari awal, berikan efedrin 5 mg intra vena. Jika nadi kurang dari 45 kali/menit berikan 0,5 mg atropine intra vena. Jika terjadi keluhan pada pasien akibat pemberian MgS0 4 seperti: badan terasa panas, scotomata, mual, muntah, pandangan kabur, penglihatan ganda dan kelemahan otot, gangguan irama jantung sebagai komplikasi pemberian MgSO 4 , diberikan 1 gr Ca Glukonas intra vena.
Populasi Kriteria Inklusi
Populasi Terjangkau Kriteria Eksklusi Subyek operasi bedah mayor Pemeriksaan kadar magnesium-kalsium preoperatif
Randomisasi Kelompok Perlakuan B : Fentanil 2 mcg/kg
Kelompok Perlakuan A : MgSO4 30 mg/kgBB
Standar Operasional Prosedur Anestesi umum di RSUP Sanglah
-Rehidrasi dengan cairan RL 15 ml/kgBB sebagai pengganti puasa selama 20 menit -Premedikasi midazolam 0,05 mg/kgBB, ondansetron 0,15 mg/kgBB intravena. - Perlakuan sesuai kelompok (MgSO4 30 mg/kgBB atau Fentanil 2 mcg/kgBB) - induksi propofol TCI target konsentrasi efek 4 mcg/ml sampai nilai IoC 50±5, catat total konsumsi propofol saat induksi. -fasilitas intubasi: atracurium 0,5 mg/kgBB intravena.Suplemen analgesia ketorolak 0,5 mg/kgBB intravena.
Catat tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan rerata arteri, dan laju denyut jantung sesaat sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi, lalu pada menit 1,3, 5, dan 10 setelah tindakan laringoskopi dan intubasi ik
k d
i
k li
d h i d k
Analisis Statistik
Gambar 4.2. Alur Penelitian
i
b i
4.8 Pengolahan dan Penyajian Data Analisis Statistik 4.8.1 Analisis karakteristik sampel Karakteristik sampel terdiri atas usia, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh, status fisik ASA, lama operasi, dan jenis operasi. Variable yang berskala data numerical dipresentasikan dalam rerata±simpang baku. Variable yang berskala data kategorikal dipresentasikan dalam distribusi frekuensi. 4.8.2 Uji normalitas Untuk mengetahui sebaran data dari variabel tergantung yang berskala data numerical. Data perubahan respon kardiovaskular berupa tekanan diastolik, tekanan sistolik, tekanan rerata arteri, dan laju denyut jantung saat tindakan laringoskopi dan intubasi dilakukan dengan menggunakan Shapiro-Wilk test pada tingkat kemaknaan 0,05, dimana bila p>0,05data dinyatakan berdistribusi normal, dan bila p<0,05data dinyatakan tidak berdistribusi normal. 4.8.3 Uji homogenitas Untuk mengetahui varian hemodinamik antara kelompok A dan kelompok B dilakukan dengan menggunakan Levene test untuk mengetahui homogenitas pada tingkat kemaknaan p>0,05. 4.8.4 Analisa perbedaan mean
4.8.4.1 Perbandingan nilai tekanan darah, tekanan arteri rerata dan laju denyut jantung Perbandingan nilai tekanan darah, tekanan arteri rerata dan laju denyut jantung dipresentasikan dalam rerata ± simpang baku. Karakteristik ini dianalisis dengan menggunakan uji repeated anova.
BAB V HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan uji klinis yang dikerjakan mulai bulan Agustus 2014 sampai dengan September 2014 pada pasien-pasien yang memenuhi kriteria inklusi di Ruang Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah Denpasar. Selama periode tersebut didapatkan 42 pasien yang telah memenuhi kriteria eligibilitas. Keempatpuluhdua sampel yang diikutsertakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok masing-masing berjumlah 21 orang, yaitu kelompok perlakuan memperoleh MgSO 4 30 mg/kgbb intravena dan kelompok pembanding memperoleh fentanil 2 mcg/kgbb intravena.. 5.1 Karakteristik Sampel Karakteristik sampel penelitian ini dilaporkan dalam bentuk tabel (tabel 5.1). Sampel dengan jenis kelamin laki-laki pada kelompok MgSO 4 berjumlah 6 orang (28,6%) dan perempuan berjumlah 15 orang (71,4%), sedangkan pada kelompok Fentanil, laki-laki berjumlah 7 orang (33,3%) dan perempuan berjumlah 14 orang (66,7%). Rentang umur sampel pada kelompok MgSO 4 berkisar antara 18-55 tahun, dengan rata-rata 35,7 tahun dan simpang baku sebesar 12,7, sedangkan pada kelompok fentanil berkisar antara 18-55 tahun, dengan rata-rata 36,8 tahun dan simpang baku sebesar 12,2.
Rata-rata berat badan pada kelompok MgSO 4 adalah 59,4 kg dengan simpang baku 9,4, sedangkan pada kelompok fentanil adalah 60,1 kg dengan simpang baku 7,7. Rata-rata tinggi badan pada kelompok MgSO 4 adalah 161,8 cm, dengan simpang baku,9,2 sedangkan pada kelompok fentanil adalah 162,3 cm dengan simpang baku 7,7. Indeks Masa Tubuh pada kelompok MgSO 4 memiliki rata-rata sebesar 22,6 kg/m2 dengan simpang baku 1,6 dan pada kelompok fentanil adalah 22,5 kg/m2 dengan simpang baku 1,6. Karakteristik sampel lebih rinci dapat dilihat pada table 5.1 di bawah. Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna pada
jenis kelamin (p=
0,739), umur (p= 0,767), berat badan (p=0,809), tinggi badan (p=0,693), indeks masa tubuh (p=0,849),dan status fisik ASA (p=0,355), sehingga
kedua kelompok
penelitian adalah sebanding (comparable). Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik
MgSO4 (n=21)
Fentanil (n=21)
Nilai p
Umur, rerata±SD
35,7±12,7
36,8±12,2
0,767a
Laki-laki n(%)
6 (28,6)
7 (33,3)
0,739b
Perempuan n(%)
15 (71,4)
14 (66,7)
Berat badan, rerata±SD
59,4±9,4
60,1±7,7
0,809c
Tinggi badan, rerata±SD
161,8±9,2
162,3±7,7
0,693c
Indek masa tubuh, rerata±SD
22,6±1,6
22,5±1,6
0,849a
Jenis Kelamin
Status Fisik ASA
1 n(%)
9 (42,9)
12 (57,1)
2 n(%)
12 (57,1)
9 (42,9)
1 n(%)
9 (42,9)
11 (52,4)
2 n(%)
12 (57,1)
10 (47,6)
1 n(%)
6 (28,6)
8 (38,1)
2 n(%)
15 (71,4)
13 (61,9)
0,355b
Cormack score 0,379b
Copenhagen Score 0,372b
a = Independent T-test, b= Chi square test, c= Mann-Whitney test
5.2 Uji Normalitas Data Variabel Berdasarkan Kelompok Sebelum menilai perbandingan variabel terlebih dahulu dilakukan uji normalitas pada masing-masing kelompok. Hasil uji normalitas yang menggunakan uji Shapiro-Wilk ditampilkan pada tabel 5.2. Berdasarkan uji normalitas tersebut didapatkan variabel yang berdistribusi normal pada kedua kelompok, yaitu umur dan berat badan. Selanjunya variabel yang berdistribusi normal ini uji rerata menggunakan uji parametrik, yaitu uji t. Untuk variabel yang tidak berdistribusi normal maka uji rerata dengan menggunakan uji non parametrik yaitu uji Mann Whitney.
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Variabel
MgSO 4
Fentanil
Nilai p
Nilai p
Umur
0,06
0,109
Berat badan
0,176
0,005
Tinggi Badan
0,129
0,046
IMT
0,456
0,309
TD Sistolik 0
0,078
0,658
TD Diastolik 0
0,967
0,652
Tekanan Arteri rerata 0
0,385
0,949
Laju denyut jantung 0
0,721
0,067
TD Sistolik 1
0,743
0,127
TD Diastolik 1
0,775
0,912
Tekanan Arteri rerata 1
0,686
0,386
Laju Denyut Jantung 1
0,401
0,080
TD Sistolik 3
0,705
0,000
TD Diastolik 3
0,485
0,270
Tekanan Arteri rerata 3
0,030
0,059
Laju denyut jantung 3
0,718
0,440
TD Sistolik 5
0,139
0,923
TD Diastolik 5
0,842
0,966
Tekanan Arteri rerata 5
0,267
0,752
Laju Denyut Jantung 5
0,825
0,608
TD Sistolik 10
0,437
0,789
TD Diastolik 10
0,512
0,168
Tekanan Arteri rerata 10
0,549
0,537
Laju denyut jantung 10
0,627
0,379
Kadar Mg Sebelum
0,000
0,472
Kadar Mg Sesudah
0,051
0,130
Kadar Ca Sebelum
0,522
0,333
Kadar Ca Sesudah
0,148
0,229
5.3 Perbandingan Efektifitas MgSO 4 dan Fentanil Dalam Menekan Respon Kardiovaskular Saat Tindakan Laringoskopi dan Intubasi 5.3.1 Perbandingan efektivitas dalam menekan respon tekanan darah dan tekanan arteri rerata Perbandingan perubahan tekanan darah dalam analisa statistik dibagi menjadi 2 kelompok yaitu perbandingan pada tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Berdasarkan grafik perbandingan perubahan tekanan darah sistolik (gambar 5.1), pada kelompok MgSO 4 yang ditunjukan dengan garis biru, tekanan darah sistolik tampak relatif stabil pada tiap waktu pengukuran. Sedangkan pada kelompok Fentanil, yang ditunjukkan dengan garis merah, perubahan tekanan darah juga tampak
stabil, secara statistik, perubahan tekanan darah sistolik pada kedua
kelompok ini tidak berbeda bermakna (P>0,05).
Gambar 5.1 Perbandingan Perubahan Tekanan Darah Sistolik Antar Kelompok Tabel 5.3 Perbandingan Tekanan Darah Sistolik Antar Kelompok Variabel
MgSO 4 (n=21)
Fentanil (n=21)
Nilai p
Tekanan darah sistolik (mmHg)
109,6±12,8
104,1±14,8
0,791
Tekanan darah sistolik menit 1(mmHg)
112,6±11,8
110,9±13,5
Tekanan darah sistolik menit 3(mmHg)
109,2±11
109±10
Tekanan darah sistolik menit 5(mmHg)
106,3±11,2
107,7±12,9
Tekanan darah sistolik menit 10(mmHg)
103±9,4
105,4±11,1
Perubahan tekanan darah diastolik ditunjukan dalam gambar grafik 5.2. Perubahan tekanan darah diastolik pada kelompok MgSO 4 yang ditunjukkan oleh garis biru, tampak tekanan darah diastolik meningkat pada menit ke-1, lalu perlahan menurun pada menit ke-3 sampai menit ke-10. Pada kelompok fentanil, tekanan darah diastolik tampak stabil pada menit ke-1, lalu meningkat pada menit ke-3, dan
mengalami penurunan pada menit ke-5 sampai ke-10. Pada pengukuran tampak tekanan darah diastolik pada kelompok MgSO 4 lebih rendah dibandingkan kelompok fentanil. Namun, secara statistik, perubahan tekanan darah diastolik pada kedua kelompok ini tidak berbeda bermakna.
Gambar 5.2 Perbandingan Perubahan Tekanan Darah Diastolik Antar Kelompok
Tabel 5.4 Perbandingan Tekanan Darah Diastolik Antar Kelompok Variabel
MgSO4 (n=21)
Fentanil (n=21)
Nilai p
Tekanan darah diastolik (mmHg)
66,6±7
68,6±10
0,307
Tekanan darah diastolik menit 1(mmHg)
70,4±8,3
69±7,8
Tekanan darah diastolik menit 3(mmHg)
66,3±7,4
69,8±8,5
Tekanan darah diastolik menit 5(mmHg)
65,1±6,1
66,4±10,6
Tekanan darah diastolik menit 10(mmHg)
62±5
65,9±8,9
Perubahan tekanan arteri rerata ditunjukkan pada gambar 5.3. Pengukuran tekanan arteri rerata dari induksi sampai menit pertama tampak tidak ada perbedaan, lalu mulai mengalami perbedaan pada menit ke-3 sampai ke-10, dimana kelompok MgSO 4 cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok Fentanil. Tekanan arteri rerata tampak tidak meningkat baik pada kelompok MgSO 4 dan fentanil, dan tampak MgSO 4 relatif lebih baik dalam menekan respon peningkatan tekanan arteri rerata dibandingkan fentanil. Tetapi secara statistik, penurunan tekanan arteri rerata kedua kelompok tidak berbeda bermakna.
Gambar 5.3 Perubahan Tekanan Arteri Rerata Antar Kelompok
Tabel 5.5 Perbandingan Perubahan Tekanan Arteri Rerata Antar Kelompok Variabel
MgSO 4 (n=21)
Fentanil (n=21)
Nilai p
0,205
Tekanan arteri rerata dasar (mmHg)
79,3±9,9
79,8±10,5
Tekanan arteri rerata menit 1(mmHg)
81,9±9,8
82,5±8,6
Tekanan arteri rerata menit 3(mmHg)
78±7
82,8±8,5
Tekanan arteri rerata menit 5(mmHg)
75,8±7,8
80,1±9,8
Tekanan arteri rerata menit 10(mmHg)
74,7±5,5
76,9±9,2
5.3.2 Perbandingan efektifitas dalam menekan laju denyut jantung Perubahan laju denyut jantung digambarkan dalam grafik gambar 5.4. Pada kelompok MgSO 4 , laju denyut jantung sebesar 89,2 kali permenit naik menjadi 93,9 kali per menit pada menit ke-1, sedangkan pada kelompok fentanil, laju denyut jantung sebesar 71,5 kali per menit naik menjadi 75,5 kali per menit pada menit ke-1. Dari menit ke-1 terjadi penurunan laju denyut jantung pada menit ke-3 menjadi 90,8 kali per menit pada kelompok MgSO 4 namun pada kelompok Fentanil meningkat menjadi 77 kali per menit. Penurunan laju nadi berlanjut pada menit ke-5 menjadi 88,3 kali per menit pada kelompok MgSO 4 dan menjadi 74,5 kali per menit pada kelompok fentanil, dan selanjutnya pada menit ke-10 menjadi 84,9 kali per menit pada kelompok MgSO 4 dan menjadi 68,7 kali per menit pada kelompok fentanil (Tabel 5.3).
Pada grafik tampak pengukuran laju denyut jantung dimulai dari perbedaan angka yang cukup jauh, sehingga seakan-akan menggambarkan Fentanil lebih unggul (Gambar 5.4), namun bila kita melihat perbedaan perubahan tiap waktu (gambar 5.5), tampak MgSO 4 lebih stabil dalam menekan respon laju denyut jantung, dan secara statistik, perubahan laju denyut jantung ini tidak berbeda bermakna baik pada kelompok MgSO 4 , maupun pada kelompok Fentanil.
Gambar 5.4 Perbandingan Perubahan Laju Denyut Jantung Antar Kelompok
Gambar 5.5 Perbandingan Perubahan Trend Laju Denyut Jantung Tiap Waktu Pengukuran Antar Kelompok
Tabel 5.6. Perbandingan Perubahan Laju Denyut Jantung Antar Kelompok Variabel
MgSO 4 (n=21)
Fentanil (n=21)
Nilai p
Laju denyut jantung dasar (kali/menit)
89,2±13,6
71,5±15,6
0,633
Laju denyut jantung menit ke-1 (kali/menit)
93,9±13,4
75,5±11
Laju denyut jantung menit ke-3 (kali/menit)
90,8±14,7
77±10,9
Laju denyut jantung menit ke-5 (kali/menit)
88,3±13,8
74,6±12,9
Laju denyut jantung menit ke-10 (kali/menit)
84,9±13,2
68,7±9,8
5.4 Perbandingan Kadar Magnesium dan Kalsium Darah Antar Kelompok Pemberian MgSO 4 akan menyebabkan peningkatan kadar Magnesium darah yang pada level tertentu juga akan menyebabkan penurunan kadar kalsium darah.
Pada kelompok MgSO 4 secara signifikan terdapat peningkatan kadar magnesium darah dari 2 menjadi 2,2. Bila dibandingkan dengan kelompok fentanil, peningkatan ini
bermakna namun tidak sampai menyebabkan komplikasi ( nilai normal
Magnesium 1.5 – 2.5, mEq/L). Dari segi menurunnya kadar kalsium, pada kelompok MgSO 4 terjadi penurunan dari 9,1 menjadi 8,5, bila dibandingkan dengan kelompok fentanyl, penurunan ini bermakna namun tidak sampai menyebabkan suatu komplikasi yang berarti terhadap pasien. ( Nilai normal Kalsium 8.5 – 10.5, mE/L).
Gambar 5.6 Perbandingan Perubahan Kadar Magnesium Antar Kelompok
Gambar 5.7 Perbandingan Perubahan Kadar Kalsium Antar Kelompok
Tabel 5.7 Perbandingan Perubahan Kadar Magnesium dan Kalsium Antar Kelompok Variable
MgSO 4
Fentanil
(n=21)
(n=21)
Kadar Magnesium
Nilai p
0,001
Sebelum perlakuan (mg/dL)
2±0,2
2±0,2
Sesudah perlakuan (mg/dL)
2,2±0,3
1,8±0,2
Kadar Kalsium
0,011
Sebelum perlakuan (mg/dL)
9,1±0,6
9,1±0,4
Sesudah perlakuan (mg/dL)
8,5±0,4
8,7±0,5
5.5 Perbandingan Kejadian Efek Samping Antar Kelompok Dari semua subyek penelitian, tidak ada yang mengalami efek samping depresi pernafasan. Kejadian efek samping yang terjadi berupa nyeri saat penyuntikan dan vertigo pada kelompok MgSO 4 , mual-muntah dan vertigo pada kelompok Fentanil . Kejadian efek samping secara akumulasi lebih banyak terjadi pada kelompok Fentanil, namun secara statistik, efek samping ini tidak berbeda bermakna. Tabel 5.8 Perbandingan Kejadian Efek Samping Antar Kelompok Komplikasi
Ya
n(%)
Tidak n(%)
*Chi-Square test
MgSO 4
Fentanil
(n=21)
(n=21)
2(9,6)
3 ( 14,3)
19 (90,5)
18 (85,7)
Nilai p
O,387*
BAB VI PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektifitas MgSO 4 30 mg/kgbb intravena dibandingkan Fentanil 2 mcg/kgbb intravena dalam menekan respon kardiovaskular saat tindakan laringoskopi dan intubasi. Tindakan laringoskopi dan intubasi trakea mengakibatkan peningkatan tonus simpatis yang secara klinis dapat dilihat dengan meningkatnya respon kardiovaskular berupa tekanan darah dan laju denyut jantung (Stoelting dkk, 1977). Penelitian ini membagi sampel dalam dua kelompok, dengan membaginya secara acak. Masing-masing
kelompok mendapatkan perlakuan yang berbeda
sebelum dilakukan induksi, yaitu
kelompok yang satu mendapatkan MgSO 4 30
mg/kgbb intravena, sedangkan kelompok lain mendapat Fentanil 2 mcg/kgbb. Obat tersebut diencerkan menjadi 20 ml, dan diberikan bolus habis dalam 5 menit dengan menggunakan syringe pump. Selanjutnya semua kelompok mendapat perlakuan premedikasi Midazolam 2 mg dan induksi yang sama, dengan monitoring hemodinamik, saturasi, dan IOC. Induksi dengan Propofol TCI model Schnider target konsentrasi efek 4 mcg/ml sampai nilai IoC 50±5, dilanjutkan Atracurium 0,5 mg/kgbb. Setelah onset Atracurium tercapai, dilakukan tindakan laringoskopi intubasi. Data penelitian berupa tekanan darah dan laju denyut jantung dicatat pada waktu-waktu yang telah ditetapkan, yaitu sebelum induksi, sebelum intubasi, menit
ke-1, ke-3, ke-5, dan menit ke-10 setelah intubasi. Pada akhir operasi pasien dievaluasi efek samping dari obat yang diteliti serta hal-hal khusus yang mungkin berhubungan dengan perlakuan yang diberikan. Pemeriksaan kadar magnesium dan kalsium dilakukan sebelum operasi dan sesudah operasi untuk menilai efek dari magnesium eksogen yang diberikan.
6.1 Karakteristik Sampel Dari karakteristik data penelitian antara kelompok sampel yang mendapatkan MgSO 4 dan kelompok yang mendapatkan Fentanil tidak didapatkan perbedaan bermakna dalam segi jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan, IMT, status fisik ASA, Cormack score dan Copenhagen score, sehingga sampel ini dapat dibandingkan (comparable).
6.2 Perbandingan Tekanan Darah dan Laju Denyut Jantung Pada penelitian ini, hipotesis bahwa pemberian perioperatif MgSO 4 30 mg/kgbb sama efektif dibandingkan Fentanil 2 mcg/kgbb dalam
menekan respon
kardiovaskular berupa peningkatan tekanan darah dan peningkatan laju denyut jantung saat tindakan laringoskopi dan intubasi, secara klinis dan statsitik dapat diterima. Hasil dari pengukuran tekanan darah dan laju denyut jantung pada tiap kelompok , tampak terdapat perbedaan dari kedua kelompok perlakuan. Dan
kelompok
perlakuan
MgSO 4
tampak
lebih
baik
dalam
menekan
respon
kardiovaskular berupa peningkatan tekanan darah. Namun secara statistik, perbedaan tersebut tidak bermakna. Hasil penelitian ini menunjukkan MgSO 4 30 mg/kgbb sama efektif bila dibandingkan dengan fentanil 2 mcg/kgbb dalam menekan respon hemodinamik pada tindakan laringoskopi dan intubasi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dikerjakan oleh Dipil Kothari dkk, 2008, yang melakukan penelitian dengan membandingkan pemberian MgSO 4 20 mg/kgbb dibandingkan dengan Fentanil 1,25 mcg/kgbb masing-masing
5 menit sebelum induksi. Pada penelitian tersebut didapatkan
perubahan hemodinamik antar kedua kelompok secara statistik tidak berbeda bermakna. dan disimpulkan MgSO 4 sama efektifnya dengan Fentanil dalam menekan respon laringoskopi dan intubasi. Penelitian lain yang hampir serupa, namun membandingkan MgSO 4 dengan obat lain seperti yang dikerjakan oleh Navid Noorael dkk, 2013, yang meneliti efek dari pemberian MgSO 4 60 mg/kgbb 3 menit saat induksi dibandingkan dengan pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb intravena 3 menit sebelum induksi pada hemodinamik saat tindakan laringoskopi dan intubasi, didapatkan pemberian MgSO4 lebih efektif dibandingkan lidokain dalam mengontrol hemodinamik. Penelitian Gautam Piplai dkk, 2013, yang membandingkan antara pemberian MgSO 4 30 mg/kgg dilanjutkan MgSO 4 secara kontinyu 10 mg/kg/jam dibandingkan dengan plasebo NaCl 0,9%, menunjukkan pemberian MgSO 4 perioperatif 30 mg/kgbb bermakna
signifikan dalam menekan respon kardiovaskular saat tindakan laringoskopi dan intubasi, selain itu juga mengurangi kebutuhan obat anestesi durante operasi dan mengurangi kebutuhan obat analgetik post operasi. Dari penelitian Gautam juga didapatkan tidak ada efek samping dari pemberian MgSO 4. Berdasarkan pengukuran tekanan darah dan laju denyut jantung, pada kelompok MgSO 4 tampak lebih stabil. Hal ini dikarenakan MgSO 4 bekerja sebagai antagonis kalsium, antargonis reseptor NMDA, menginhibisi pelepasan katekolamin atau efek vasodilatasi dari ion magnesium atau efek dari gabungan. Fentanil memainkan peranan penting pada anestesi umum. Memiliki hampir semua aspek dalam penggunaan balance anesthesia , baik itu efek narkosa, analgesia, maupun menekan respon stress.
6.3 Pengaruh Pada Kadar Magnesium dan Kalsium Plasma Pemberian
MgSO 4
dapat
menimbulkan
komplikasi
yang
diakibatkan
meningkatnya kadar Magnesium dalam darah (Herroeder dkk, 2011). Selain itu, pemberian MgSO 4 juga dapat menurunkan kadar kalsium darah yang disebabkan karena dihambatnya pelepasan paratiroid hormon yang meregulasi kalsium dalam tubuh (Joyce Wu,2007), sehingga turunnya kadar kalsium dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan terhadap pasien. Pada penelitian ini didapatkan pemberian MgSO 4 30 mg/kgbb terjadi perubahan kadar magnesium dan kalsium, namun tidak
signifikan meningkatan kadar magnesium dan menurunkan kadar kalsium darah yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi terhadap pasien. Hal ini menggambarkan bahwa pemberian MgSO 4 30 mg/kgbb aman digunakan. Kalsium 8.5 – 10.5, mEq/L. Magnesium 1.5 – 2.5, mEq/L.
6.4 Efek Samping Pada penelitian ini kami dapatkan beberapa efek samping dari pemberian obat. Efek samping dari MgSO 4 berupa nyeri saat pemberian dan vertigo terjadi pada masing-masing 1 sampel. Efek samping pemberian Fentanil ditemukan pada 2 sampel yang mengalami mual, dan 1 sampel yang mengalami vertigo. Dilaporkan juga terjadi pemanjangan durasi dari obat pelumpuh otot pada beberapa pasien di kelompok MgSO 4 , namun tidak menimbulkan hal yang serius, hanya penambahan obat pelumpuh otot saat durante operasi memerlukan waktu yang lebih lama. Dari segi biaya menguntungkan, karena mengurangi kebutuhan obat pelumpuh otot. Walaupun secara statistik kejadian komplikasi antar kelompok tidak bermakna, namun secara kumulatif didapatkan komplikasi pada kelompok Fentanil lebih banyak daripada kelompok MgSO 4 . Fentanil yang merupakan golongan opioid, memiliki kemungkinan efek samping yang berbanding lurus dengan besarnya dosis yang diberikan.
6.5 Kelemahan Penelitian Kelemahan dari penelitian ini adalah tidak mempergunakan monitoring invasif dalam mengukur variabel tekanan darah dan laju denyut jantung, dimana pada penggunaan monitor non invasif, terdapat jeda waktu antara mulai dilakukan pengukuran sampai hasil ditampilkan, sehingga tidak dapat menilai perubahan tekanan darah, tekanan arteri rerata, dan laju denyut nadi dari detik demi detik.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Berdasarkan analisa dan pembahasan penelitian mengenai efektifitas magnesium sulfat 30 mg/kgbb intravena dibandingkan dengan fentanil 2 mcg/kgbb intravena dalam menekan respon kardiovaskular saat tindakan laringoskopi dan intubasi dapat disimpulkan, bahwa magnesium sulfat 30 mg/kgbb sama efektifnya dengan fentanil 2 mcg/kgbb dalam menekan respon kardiovaskular berupa peningkatan tekanan darah pada tindakan laringoskopi dan intubasi dilakukan. MgSO 4 30 mg/kgbb intravena juga sama efektifnya dengan fentanil 2 mcg/kgbb intravena dalam menekan respon kardiovaskular berupa peningkatan laju denyut jantung saat tindakan laringoskopi dan intubasi. 7.2 Saran Hasil penelitian ini menunjukkan MgSO 4 sama efektifnya dengan fentanil dalam menekan respon hemodinamik saat tindakan laringoskopi dan intubasi, namun untuk melihat lebih jelas keefektifan, dapat dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar. Dari kelemahan penelitian ini, disarankan penggunaan monitor invasif untuk memonitor perubahan tekanan darah dan laju denyut jantung pada penelitian selanjutnya, sehingga data yang didapat lebih akurat.
Magnesium bekerja sebagai antagonis kalsium,
pemberian MgSO 4 dapat
mempengaruhi kerja dari pelumpuh otot. Dari beberapa pasien yang diteliti, tampak terdapat pemanjangan durasi pelumpuh otot. Sehingga mungkin dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh MgSO 4 pada obat pelumpuh otot dalam tindakan anestesi. MgSO 4 dapat dipertimbangkan penggunaannya sebagai obat alternatif dalam keadaan terbatasnya ketersediaan fentanil
pada pengelolaan anestesi umum
pemasangan pipa endotrakeal, dan penggunaannya aman, dimana pemberian MgSO 4 30 mg/kgbb ini tidak banyak mempengaruhi kadar magnesium dan kalsium darah, sehingga resiko efek samping yang tidak diinginkan tidak terjadi.
DAFTAR PUSTAKA Allen RW, James MF, Uys PC. Attenuation Of The Pressor Response To Tracheal Intubation In Hypertensive Proteinuric Pregnant Patients By Lignocaine, Alfentanil And Magnesium Sulphate. Br. J. Anaesth, 1991 Feb,66(2):216–23. Ashton WB, James MF, Janicki P, Uys PC. Attenuation Of The Pressor Response To Tracheal Intubation By Magnesium Sulphate With And Without Alfentanil In Hypertensive Proteinuric Patients Undergoing Caesarean Section. Br. J. Anaesth 1991 Dec 67(6):741–7. Channaiah VB, Chary K, Vlk JL, Low-dose Fenatnyl : Hemodynamic Response To Endotracheal
Intubation
In
Normotensive
Patients.
Arch
Med
Sci.
2008;3(september):293–9. Coda BA,Opioids, in : Clinical Anesthesia, 4 th Edition, Wilkins Publisher, 2001 : 266-9. David E.Longnecker, David L.Brown : Airway Management, In : Anesthesiology, McGraw-Hill Companies, Inc, 2008:685. Edmundas Sirvinkas, Rokas Laurinaitis 2002. Use of Magnesium Sulfate in Anesthesiology. Medicina (2002) Vol 38, No 7 : 695-8. Feng CK, Chan KH, Liu KN, Or CH, Lee TY. A Comparison Of Lidocaine, Fentanyl, And Esmolol For Attenuation Of Cardiovascular Response To
Laryngoscopy And Tracheal Intubation. Acta Anaesthesiol.1996 Jun 34(2):61– 7. Figueredo E and Garcia-Fuentes E. M. Assessment Of The Efficacy Of Esmolol On The Haemodynamic Changes Induced By Laryngoscopy And Tracheal Intubation : A meta-analysis. Acta Anaesthesiol Scand. 2001;1(11):1011–22. Gautam Piplai, Madhumita Mukhopadhyay 2013. Effects of Magnesium Sulphate on Haemodynamic Response to Endotracheal Intubation, Anaesthetic Requirement and Postoperative Opioid Consumption in Patients Undergoing Spine Surgery. International Journal Of Pharmacology and Therapeutics Volume 3 Issue 3 2013:73-83. Gupta A, Wakhloo R, Gupta V, Mehta A, Kapoor BB. Comparison of Esmolol and Lignocaine for Atttenuation of Cardiovascular Stress response to Laryngoscopy and Endotracheal Intubation. 2009;11(2):0–3. Hassan HG, el-Sharkawy TY, Renck H, Mansour G, Fouda A. Hemodynamic And Catecholamine Responses To Laryngoscopy With Vs. Without Endotracheal Intubation. Acta Anaesthesiol. Scand. 1991 p. 442–7. Herroeder S. Magnesium-Essentials for Anesthesiologists. Anesthesiology 2011April 114(4):971-93.
James MF, Beer RE, Esser JD. Intravenous Magnesium Sulfate Inhibits Catecholamine Release Associated With Tracheal Intubation. Anesth. Analg. 1989 Jun;68(6):772–6. Joyce Wu, Registrar. Magnesium The Forgotten Electrolyte. Ausralian Presciber 2007 Agustus 30 (4). K.Montazeri MD, M.Fallah MD 2005. A Dose-Response Study of Magnesium Sulfate in Suppresing Cardiovascular Responses to Laryngoscopy & Endotracheal
Intubation.
Journal
of
Research
in
Medical
Sciences
2005;10(2):82. Kautto UM. Attenuation Of The Circulatory Response To Laryngoscopy And Intubation by Fentanyl. Acta Anaesthesiol. Scand. 1982 Jun;26(3):217–21. King BD, Harris LC,. Reflex Circulatory Responses To Direct Laryngoscopy And Tracheal Intubation Performed During General Anesthesia. Anesthesiology. 1951 Sep,12(5):556–66 Kovac L. Controlling The Hemodynamic Response To Laryngoscopy And Endotracheal Intubation. J. Clin. Anesth. Anesth. 1996 Feb;8(1):63–79. L.Telci, F.Esen 2002. Evaluation of Effects of Magnesium Sulphate in Reducing Intraoperative Anaesthetic Requirements. British Jounal of Anaesthesia 89 (4) : 594-8.
Low JM, Harvey JT, Prys-Roberts C, Studies Of Anaesthesia In Relation To Hypertension. VII: Adrenergic responses to laryngoscopy. Br. J. Anaesth. [Internet]. 1986 May;58(5):471–7. M.R Pipelzadeh. Does Magnesium Sulfate Attenuate Hypertensive Response To Laryngoscopy And Intubation. Acta Medica Iranica 2001 39(3) : 150-2 Martin DE, Rosenberg H, Aukburg SJ,Low-dose Fentanyl Blunts Circulatory Responses To Tracheal Intubation. Anesth. Analg 1982 Aug61(8):680–4. Morgan, Mikhail: Airway Management. In: Clinical Anesthesiology,5th ed. McGrawHill Education,2013:309. Morgan, Mikhail: Analgesic Agents. In: Clinical Anesthesiology,5th ed. McGraw-Hill Education,2013:189. Navid Noorael, Masih Ebrahimi. 2013. Effects of Intravenous Magnesium Sulfate and Lidocaine on Hemodynamic Variables Following Direct Laryngoscopy and Intubation in Elective Surgery Patients. Tanaffos 2013; 12(1):57-63. Panda NB, Bharti N, Prasad S. Minimal Effective Dose Of Magnesium Sulfate For Attenuation Of Intubation Response In Hypertensive Patients. J. Clin. Anesth. [Internet]. Elsevier; 2013 Mar;25(2):92–7.
Perkins ZB, Gunning M, Crilly J, Lockey D, O’Brien B. The Haemodynamic Response To Pre-Hospital RSI In Injured Patients Injury, Elsevier Ltd; 2013 May 44(5):618–23. Puri GD, Marudhachalam KS, Chari P, Suri RK. The Effect of Magnesium Sulphate on Hemodynamics and Its Efficacy in Attenuating the Response to Endotracheal Intubation in Patients with Coronary Artery Disease. Anesth. Analg. 1998;87(4):808–11. Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan. 2010. Hipertensi Penyebab Kematian Nomor Tiga. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta.
Dalam
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-
release/810-hipertensi-penyebab-kematian-nomor-tiga.html. Shinji T, Mizutani T, Masayuki M. Hemodynamic Responses To Tracheal Intubation With Laryngoscope Versus Lightwand Intubating Device (Trachlight) In Adults With Normal Airway. Anesth. Analg. 2002 p. 480–484. Shribman AJ, Smith G, Achola KJ. Cardiovascular And Catecholamine Responses To Laryngoscopy With And Without Tracheal Intubation. Br. J. Anaesth. 1987 p. 295–9. Simmons S, Schleich A. Airway Regional Anesthesia For Awake Fiberoptic Intubation. Reg. Anesth. 2002 Mar;27(2):180–92.
Singh S. Cardiovascular Changes After The Three Stages Of Nasotracheal Intubation. Br. J. Anaesth 2003 Nov 1,91(5):667–71. Song H. Small-Dose Fentanyl: Optimal Time of Injection for Blunting the Circulatory Responses to Tracheal Intubation. Anesth. Analg. 1998;86:658–61 Thomson I. Editorial The Haemodynamic Response To Intubation : A Perspective Response Hemodynamic In Intubation : un perspective. Can. J. Anaesth. 1989;36(4):367–9. Stoelting RK, Opioids, in : Baiscs of Anesthesia, 5th ed, Churchill Livingstone Elsevier, 2007 : 118-9. Vohra A, Kumar S, Charlton AJ,.Effect Of Diabetes Mellitus On The Cardiovascular Responses To Induction Of Anaesthesia And Tracheal Intubation. Br. J. Anaesth 1993 Aug [71(2):258–61. W.J. Fawcett, E.J.Haxby 1999: Magnesium : Physiology And Pharmacology. British Journal Of Anaesthesia 83 (2),1999: 302-15.
Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3 LEMBAR PENELITIAN EFEKTIVITAS MAGNESIUM SULFAT 30 MG/KGBB INTRAVENA DIBANDINGKAN FENTANIL 2 MCG/KGBB INTRAVENA DALAM MENEKAN RESPON KARDIOVASKULAR SAAT TINDAKAN LARINGOSKOPI DAN INTUBASIDI RSUP SANGLAH DENPASAR
Data Umum 1.
No sampel
: ...........................................................................................
2.
No Rekam Medis
: ...........................................................................................
3.
Nama
: ...........................................................................................
4.
Umur
: ...........................................................................................
5.
Tingkat pendidikan
: ...........................................................................................
6.
Tanggal
: ...........................................................................................
Data Khusus 1.
Diagnosis
: ...........................................................................................
2.
Jenis Operasi
: ...........................................................................................
3.
Berat Badan
: ............kg,
4.
Tinggi badan
: ............cm,
5.
IMT
: ............kg/m2
6.
Status Fisik ASA
: ...........................................................................................
Prosedur kerja : 1. Penelitian ini harus mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian kedokteran FK UNUD. Seleksi dilakukan pada saat kunjungan pra anestesi sehari sebelum tindakan operasi. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan sebagai sampel. 2. Setelah
mendapatkan
penjelasan
dan
pasien
setuju
dilanjutkan
dengan
menandatangani informed consent. 3. Subyek dipuasakan selama 6-8 jam dan dilakukan pemeriksaan kadar kalsium. 4. Kedua kelompok perlakuan A maupun B menerima obat pada waktu yang sama yaitu 5 menit sebelum operasi, selanjutnya di maintenance selama durante operasi. 5. Setelah sampel berada di ruang persiapan kamar operasi dilakukan pencatatan identitas kembali, kemudian dilakukan pemasangan infus dengan menggunakan kateter intravena G18 dilanjutkan dengan pemberian cairan RL 15 ml/kgBB selama 20 menit. 6. Sampel dimasukkan ke dalam ruang operasi, kemudian dilakukan pemasangan alat monitor non invasif (tekanan darah otomatis, EKG, dan pulse oksimetri). 7. Pada kelompok MgSO 4 , pasien diberikan MgSO 4 20 % 30 mg/kgBB diencerkan menjadi 20 cc dengan NaCl 0,9%, lalu dibolus intra vena selama 5 menit menggunakan syringe pump. Sedangkan pada kelompok kontrol dengan fentanil, pasien diberikan fentanil 2 mcg/kg yang diencerkan menjadi 20 cc dengan NaCl 0,9%, lalu dibolus intra vena selama 5 menit menggunakan syringe pump. Kedua
kelompok perlakuan mendapat anestesi umum menggunakan premedikasi midazolam 0,05 mg/kgBB dan ondansetron 0,15 mg/kgBBintravena. Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3 menit. Selanjutnya dilakukan induksi dengan menggunakan propofol TCI model Schnider target konsentrasi efek 4 mcg/ml sampai nilai IoC 50±5. Catat kebutuhan propofol yang diperlukan saat induksi. Kemudian diberikan obat pelumpuh otot atracurium 0,5 mg/kgBB intravena. Suplemen analgesia diberikan ketorolac 0,5 mg/kgBB intravena. Penderita diberikan ventilasi tekanan positif melalui sungkup muka dengan oksigen 100% 12 kali per menit setelah tidak bernafas. Setelah onset Fentanil tercapai dalam 5 menit dan pelumpuh otot tercapai dalam 3 menit, dilakukan laringoskopi dan intubasi trakea pada menit ke-5 didahului dengan
pemberian
lidokain
1,5
mg/kgBB
intratrakea.
Pencatatan
respon
hemodinamik pada waktu sebelum tindakan laringoskopi dan intubasi, dilanjutkan pencatatan pada menit 1, 3, 5, dan 10 setelah intubasi dan dilakukan pemeriksaan kalsium darah. 8. Kemudian anestesi dipelihara sesuai kebutuhan pasien 9. Catat efek samping yang muncul pada kedua kelompok.
Lampiran 4 PENCATATAN HASIL EVALUASI 1. Waktu pemberian perlakuan: pukul: ..........Wita 2. Waktu mulai anestesi umum: pukul: ..........Wita 3. Waktu tercapainya nilai IoC 50±5: ...........menit, Jumlah propofol saat induksi: ..........mg 4. Nilai hemodinamiksebelum tindakan , menit ke-1, ke-3, ke-5, dan ke-10 setelah tindakan dicatat di tabel 1. 5. Nilai kadar kalsium preoperative dan sesudah tindakan dicatat di table 2 6. Kejadian efek samping diobservasi selama 24 jam dalam interval waktu pengamatan 0–4 jam, 4-8 jam, dan 8-24 jam.
Tabel 1. Nilai hemodinamiksetelah laringoskopi dan intubasi mpel no.
Nilai hemodinamik
Sebelum induksi tolik astolik AP di
Sebelum laringoskopi
Menit ke 1 setelah tindakan
Menit ke 3 setelah tindakan
Menit ke 5 setelah tindakan
Menit ke 10setelah tindakan
Tabel 2. Nilai kadar Kalsium preopratif dan setelah tindakan preoperatif
Setelah tindakan intubasi
Kadar magnesium Kadar kalsium
Durasi Intubasi
:………..detik
Cormack Score
:1/2*
Score Copenhagen
: sangat baik/baik/buruk *
Efek samping: 1. Depresi nafas : YA/TIDAK* 2. Somnolen
: YA/TIDAK*
3. Sakit kepala
: YA/TIDAK*
4. Vertigo
: YA/TIDAK*
5. Pruritus
: YA/TIDAK*
6. Mual
: YA/TIDAK*
7. Muntah
: YA/TIDAK*
8. Konstipasi
: YA/TIDAK*
9. Lainnya
: ...................................(sebutkan)
Intubator
:………………………..
Observer
: ....................................
*Lingkari & coret yang lain
Tabel 3. Kondisi Intubasi Skor Copenhagen Komponen
Skor intubasi Dapat diterima secara klinis
Tidak dapat diterima secara klinis
Sangat baik
baik
buruk
Relaksasi rahang
Relaksasi
Kurang relaksasi
Tidak relaksasi
Tahanan terhadap laringoskop
Tidak ada
Ringan
Aktif
Abduksi
Setengah abduksi
Tertutup
Laringoskopi
Pita Suara Posisi
Bergerak Gerakan
Tidak ada
Menutup
Reaksi terhadap insersi pipa endotrakea atau pengembangan balon Gerakan dari tungkai Batuk
Gerakan ringan Tidak ada
Batuk ringan
Tidak ada
Skor Kondisi Intubasi Copenhagen : Sangat baik
= Semua komponen sangat baik
Baik
= Komponen sangat baik atau baik
Buruk
= bila ada salah satu komponen buruk
Gerakan kuat Batuk keras dan lama
Lampiran5
Case Processing Summary Cases Valid klp umur
bb
tb
imt
N
Missing Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova klp umur
bb
Statistic
df
Shapiro-Wilk Sig.
Statistic
df
Sig.
Perlakuan
.139
21
.200*
.912
21
.060
Kontrol
.189
21
.050
.925
21
.109
Perlakuan
.143
21
.200*
.935
21
.176
tb
imt
Kontrol
.268
21
.000
.855
21
.005
Perlakuan
.152
21
.200*
.929
21
.129
Kontrol
.284
21
.000
.906
21
.046
Perlakuan
.148
21
.200*
.957
21
.456
Kontrol
.098
21
.200*
.948
21
.309
T-Test Group Statistics klp umur
imt
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Perlakuan
21
35.67
12.654
2.761
Kontrol
21
36.81
12.197
2.662
Perlakuan
21
22.5762
1.59182
.34736
Kontrol
21
22.4810
1.62991
.35568
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F umur
Equal variances assumed
t-test for Equality of Means
Sig. .046
t .832
Equal variances not assumed imt
Equal variances assumed
.109
.743
df -.298
40
-.298
39.946
.192
40
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F umur
Equal variances assumed
t-test for Equality of Means
Sig. .046
t .832
Equal variances not assumed imt
Equal variances assumed
.109
.743
Equal variances not assumed
df -.298
40
-.298
39.946
.192
40
.192
39.978
Independent Samples Test t-test for Equality of Means
Std. Error Sig. (2-tailed) umur
Imt
Mean Difference
Difference
Equal variances assumed
.767
-1.143
3.835
Equal variances not assumed
.767
-1.143
3.835
Equal variances assumed
.849
.09524
.49716
Equal variances not assumed
.849
.09524
.49716
Mann-Whitney Test Ranks klp Bb
Tb
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Perlakuan
21
21.05
442.00
Kontrol
21
21.95
461.00
Total
42
Perlakuan
21
20.76
436.00
Kontrol
21
22.24
467.00
Total
42
Jenis Kelamin Crosstab klp Perlakuan Jk
laki-laki
Count % within klp
perempuan
Count % within klp
Total
Count % within klp
Kontrol
Total
6
7
13
28.6%
33.3%
31.0%
15
14
29
71.4%
66.7%
69.0%
21
21
42
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
.111a
1
.739
Continuity Correctionb
.000
1
1.000
Likelihood Ratio
.111
1
.738
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.109
1
.742
42
Status fisik ASA Crosstab klp Perlakuan Asa
1
Count % within klp
2
Count % within klp
Total
Count % within klp
Kontrol
Total
9
12
21
42.9%
57.1%
50.0%
12
9
21
57.1%
42.9%
50.0%
21
21
42
100.0%
100.0%
100.0%
.500
Chi-Square Tests
Value
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df
Pearson Chi-Square
.857a
1
.355
Continuity Correctionb
.381
1
.537
Likelihood Ratio
.860
1
.354
Fisher's Exact Test
.538
Linear-by-Linear Association
.837
N of Valid Cases
1
.360
42
Cormack Score Crosstab
klp
cormak_score
1
2
Total
Perlakuan
Kontrol
Total
Count
9
11
20
% within klp
42.9%
52.4%
47.6%
Count
12
10
22
% within klp
57.1%
47.6%
52.4%
Count
21
21
42
% within klp
100.0%
100.0%
100.0%
.269
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
.758
.379
Value
Df
sided)
Pearson Chi-Square
.382a
1
.537
Continuity Correctionb
.095
1
.757
Likelihood Ratio
.382
1
.536
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
.373
N of Valid Cases
42
1
.542
Compehagen Score Crosstab
klp
Covehagen_score
Sangat baik
Baik
Total
Perlakuan
Kontrol
Total
Count
6
8
14
% within klp
28.6%
38.1%
33.3%
Count
15
13
28
% within klp
71.4%
61.9%
66.7%
Count
21
21
42
Crosstab
klp
Covehagen_score
Sangat baik
Baik
Total
Perlakuan
Kontrol
Total
Count
6
8
14
% within klp
28.6%
38.1%
33.3%
Count
15
13
28
% within klp
71.4%
61.9%
66.7%
Count
21
21
42
% within klp
100.0%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
.744
.372
Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
.429a
1
.513
Continuity Correctionb
.107
1
.743
Likelihood Ratio
.430
1
.512
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear Association
.418
N of Valid Cases
42
1
.518
klp
Case Processing Summary Cases Valid klp tdsis0
tddias0
MAP0
HR0
TDsis1
TDdias1
MAP1
HR1
N
Missing Percent
N
Total
Percent
N
Percent
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
TDsis3
TDdias3
MAP3
HR3
TDsis5
TDdias5
MAP5
HR5
TDsis10
TDdias10
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
MAP10
HR10
mgsebelum
mgsesudah
casebelum
casesudah
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Perlakuan
21
100.0%
0
.0%
21
100.0%
Kontrol
20
95.2%
1
4.8%
21
100.0%
Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova klp tdsis0
tddias0
Statistic
df
Shapiro-Wilk Sig.
Statistic
df
Sig.
Perlakuan
.204
21
.023
.918
21
.078
Kontrol
.097
20
.200*
.965
20
.658
Perlakuan
.080
21
.200*
.984
21
.967
MAP0
HR0
TDsis1
TDdias1
MAP1
HR1
TDsis3
TDdias3
MAP3
HR3
Kontrol
.119
20
.200*
.965
20
.652
Perlakuan
.131
21
.200*
.953
21
.385
Kontrol
.091
20
.200*
.981
20
.949
Perlakuan
.106
21
.200*
.969
21
.721
Kontrol
.203
20
.031
.911
20
.067
Perlakuan
.136
21
.200*
.970
21
.743
Kontrol
.114
20
.200*
.926
20
.127
Perlakuan
.099
21
.200*
.972
21
.775
Kontrol
.121
20
.200*
.978
20
.912
Perlakuan
.112
21
.200*
.968
21
.686
Kontrol
.141
20
.200*
.951
20
.386
Perlakuan
.103
21
.200*
.954
21
.401
Kontrol
.152
20
.200*
.915
20
.080
Perlakuan
.094
21
.200*
.969
21
.705
Kontrol
.503
20
.000
.270
20
.000
Perlakuan
.150
21
.200*
.958
21
.485
Kontrol
.182
20
.080
.943
20
.270
Perlakuan
.169
21
.119
.896
21
.030
Kontrol
.180
20
.090
.908
20
.059
Perlakuan
.122
21
.200*
.969
21
.718
Kontrol
.118
20
.200*
.954
20
.440
TDsis5
TDdias5
MAP5
HR5
TDsis10
TDdias10
MAP10
HR10
mgsebelum
mgsesudah
casebelum
Perlakuan
.154
21
.200*
.930
21
.139
Kontrol
.109
20
.200*
.979
20
.923
Perlakuan
.096
21
.200*
.975
21
.842
Kontrol
.100
20
.200*
.983
20
.966
Perlakuan
.165
21
.137
.944
21
.267
Kontrol
.108
20
.200*
.970
20
.752
Perlakuan
.091
21
.200*
.974
21
.825
Kontrol
.141
20
.200*
.963
20
.608
Perlakuan
.198
21
.031
.956
21
.437
Kontrol
.164
20
.161
.972
20
.789
Perlakuan
.163
21
.150
.960
21
.512
Kontrol
.165
20
.157
.932
20
.168
Perlakuan
.102
21
.200*
.962
21
.549
Kontrol
.125
20
.200*
.960
20
.537
Perlakuan
.135
21
.200*
.965
21
.627
Kontrol
.118
20
.200*
.951
20
.379
Perlakuan
.269
21
.000
.782
21
.000
Kontrol
.156
20
.200*
.956
20
.472
Perlakuan
.208
21
.019
.908
21
.051
Kontrol
.142
20
.200*
.926
20
.130
Perlakuan
.123
21
.200*
.960
21
.522
casesudah
Kontrol
.136
20
.200*
.948
20
.333
Perlakuan
.163
21
.151
.932
21
.148
Kontrol
.134
20
.200*
.939
20
.229
Tekanan Darah Sistolik Descriptive Statistics klp tdsis0
TDsis1
TDsis3
TDsis5
TDsis10
Mean
Std. Deviation
N
Perlakuan
109.67
12.780
21
Kontrol
104.10
14.859
21
Total
106.88
13.976
42
Perlakuan
112.62
11.809
21
Kontrol
110.95
13.533
21
Total
111.79
12.573
42
Perlakuan
109.24
11.072
21
Kontrol
109.05
10.062
21
Total
109.14
10.450
42
Perlakuan
106.29
11.230
21
Kontrol
107.76
12.888
21
Total
107.02
11.962
42
Perlakuan
103.05
9.421
21
Kontrol
105.38
11.165
21
Descriptive Statistics klp tdsis0
TDsis1
TDsis3
TDsis5
TDsis10
Mean
Std. Deviation
N
Perlakuan
109.67
12.780
21
Kontrol
104.10
14.859
21
Total
106.88
13.976
42
Perlakuan
112.62
11.809
21
Kontrol
110.95
13.533
21
Total
111.79
12.573
42
Perlakuan
109.24
11.072
21
Kontrol
109.05
10.062
21
Total
109.14
10.450
42
Perlakuan
106.29
11.230
21
Kontrol
107.76
12.888
21
Total
107.02
11.962
42
Perlakuan
103.05
9.421
21
Kontrol
105.38
11.165
21
Total
104.21
10.271
42
Multivariate Testsb Effect factor1
factor1 * klp
Value
F
Hypothesis df
Error df
Pillai's Trace
.311
4.180a
4.000
37.000
.007
Wilks' Lambda
.689
4.180a
4.000
37.000
.007
Hotelling's Trace
.452
4.180a
4.000
37.000
.007
Roy's Largest Root
.452
4.180a
4.000
37.000
.007
Pillai's Trace
.078
.785a
4.000
37.000
.542
Wilks' Lambda
.922
.785a
4.000
37.000
.542
Hotelling's Trace
.085
.785a
4.000
37.000
.542
Roy's Largest Root
.085
.785a
4.000
37.000
.542
Tests of Within-Subjects Effects
Type III Sum of Source factor1
factor1 * klp
Sig.
Squares
df
Mean Square
Sphericity Assumed
1343.714
4
335.929
Greenhouse-Geisser
1343.714
2.614
514.015
Huynh-Feldt
1343.714
2.883
466.034
Lower-bound
1343.714
1.000
1343.714
Sphericity Assumed
408.019
4
102.005
Greenhouse-Geisser
408.019
2.614
156.081
Error(factor1)
Huynh-Feldt
408.019
2.883
141.511
Lower-bound
408.019
1.000
408.019
Sphericity Assumed
13217.067
160
82.607
Greenhouse-Geisser
13217.067
104.566
126.399
Huynh-Feldt
13217.067
115.332
114.600
Lower-bound
13217.067
40.000
330.427
Tests of Within-Subjects Effects
Source factor1
factor1 * klp
F
Sig.
Sphericity Assumed
4.067
.004
Greenhouse-Geisser
4.067
.012
Huynh-Feldt
4.067
.010
Lower-bound
4.067
.050
Sphericity Assumed
1.235
.298
Greenhouse-Geisser
1.235
.300
Huynh-Feldt
1.235
.300
Lower-bound
1.235
.273
Tests of Within-Subjects Contrasts
Type III Sum of Source
factor1
factor1
Linear
428.038
1
428.038
3.200
.081
Quadratic
666.456
1
666.456
8.185
.007
Cubic
197.486
1
197.486
2.050
.160
Order 4
51.735
1
51.735
2.736
.106
Linear
377.152
1
377.152
2.819
.101
26.150
1
26.150
.321
.574
Cubic
2.752
1
2.752
.029
.867
Order 4
1.965
1
1.965
.104
.749
Linear
5350.810
40
133.770
Quadratic
3257.109
40
81.428
Cubic
3852.762
40
96.319
756.386
40
18.910
factor1 * klp
Quadratic
Error(factor1)
Order 4
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Levene's Test of Equality of Error Variancesa F
df1
df2
Sig.
tdsis0
.606
1
40
.441
TDsis1
.018
1
40
.895
TDsis3
.740
1
40
.395
TDsis5
1.023
1
40
.318
TDsis10
.511
1
40
.479
Tests of Between-Subjects Effects
Type III Sum of Source
Squares
Intercept
2440807.619
1
2440807.619
6296.390
.000
27.505
1
27.505
.071
.791
15506.076
40
387.652
klp Error
df
Mean Square
F
Sig.
Tekanan Darah Diastolik
Descriptive Statistics klp tddias0
TDdias1
TDdias3
TDdias5
TDdias10
Mean
Std. Deviation
N
Perlakuan
66.67
7.031
21
Kontrol
68.57
10.078
21
Total
67.62
8.636
42
Perlakuan
70.43
8.346
21
Kontrol
69.05
7.794
21
Total
69.74
8.006
42
Perlakuan
66.38
7.419
21
Kontrol
69.86
8.505
21
Total
68.12
8.076
42
Perlakuan
65.10
6.188
21
Kontrol
66.43
10.600
21
Total
65.76
8.599
42
Perlakuan
62.05
5.015
21
Kontrol
65.95
8.919
21
Total
64.00
7.415
42
Levene's Test of Equality of Error Variancesa F
df1
df2
Sig.
tddias0
1.189
1
40
.282
TDdias1
.052
1
40
.821
TDdias3
.056
1
40
.814
TDdias5
6.067
1
40
.018
TDdias10
3.454
1
40
.070
Tests of Between-Subjects Effects Measure:MEASURE_1 Transformed Variable:Average Type III Sum of Source
Squares
Intercept
df
Mean Square
F
944030.476
1
944030.476
5633.729
.000
179.219
1
179.219
1.070
.307
6702.705
40
167.568
klp Error
Arteri Rerata Descriptive Statistics klp MAP0
Sig.
Mean
Std. Deviation
N
Perlakuan
79.29
9.905
21
Kontrol
79.86
10.508
21
MAP1
MAP3
MAP5
MAP10
Total
79.57
10.090
42
Perlakuan
81.95
9.805
21
Kontrol
82.52
8.652
21
Total
82.24
9.138
42
Perlakuan
78.05
7.081
21
Kontrol
82.86
8.557
21
Total
80.45
8.131
42
Perlakuan
75.86
7.806
21
Kontrol
80.14
9.830
21
Total
78.00
9.031
42
Perlakuan
74.76
5.513
21
Kontrol
76.95
9.276
21
Total
75.86
7.618
42
Levene's Test of Equality of Error Variancesa F
df1
df2
Sig.
MAP0
.145
1
40
.706
MAP1
.183
1
40
.671
MAP3
1.060
1
40
.309
MAP5
2.048
1
40
.160
MAP10
5.197
1
40
.028
Tests of Between-Subjects Effects
Type III Sum of Source
Squares
Intercept
1318046.519
1
1318046.519
6751.513
.000
.994
324.386
1
324.386
1.662
.205
.040
7808.895
40
195.222
klp Error
df
Mean Square
F
Laju Denyut Jantung
Descriptive Statistics Klp HR0
HR1
HR3
Mean
Std. Deviation
N
Perlakuan
89.19
13.644
21
Kontrol
71.52
15.680
21
Total
80.36
17.049
42
Perlakuan
93.90
13.450
21
Kontrol
75.52
11.012
21
Total
84.71
15.294
42
Perlakuan
90.86
14.742
21
Kontrol
77.05
10.934
21
Sig.
Partial Eta Squared
HR5
HR10
Total
83.95
14.600
42
Perlakuan
88.33
13.850
21
Kontrol
74.57
12.995
21
Total
81.45
14.982
42
Perlakuan
84.95
13.193
21
Kontrol
68.76
9.818
21
Total
76.86
14.109
42
Tests of Within-Subjects Effects Measure:MEASURE_1 Source factor1
factor1 * klp
Sig.
Partial Eta Squared
Sphericity Assumed
.000
.216
Greenhouse-Geisser
.000
.216
Huynh-Feldt
.000
.216
Lower-bound
.002
.216
Sphericity Assumed
.277
.031
Greenhouse-Geisser
.282
.031
Huynh-Feldt
.282
.031
Lower-bound
.263
.031
Tests of Within-Subjects Contrasts Type III Sum of Source
factor1
factor1
Linear
Squares
F
1
442.288
9.753
1157.526
1
1157.526
21.189
38.402
1
38.402
1.086
Order 4
8.384
1
8.384
.611
Linear
60.193
1
60.193
1.327
Quadratic
47.430
1
47.430
.868
Cubic
63.260
1
63.260
1.790
Order 4
21.089
1
21.089
1.536
Linear
1814.019
40
45.350
Quadratic
2185.116
40
54.628
Cubic
1413.838
40
35.346
549.256
40
13.731
Cubic
Error(factor1)
Mean Square
442.288
Quadratic
factor1 * klp
df
Order 4
Tests of Within-Subjects Contrasts Measure:MEASURE_1 Source
factor1
Sig.
Partial Eta Squared
factor1
Linear
.003
.196
Quadratic
.000
.346
factor1 * klp
Cubic
.304
.026
Order 4
.439
.015
Linear
.256
.032
Quadratic
.357
.021
Cubic
.189
.043
Order 4
.222
.037
Levene's Test of Equality of Error Variancesa F
df1
df2
Sig.
HR0
.099
1
40
.755
HR1
1.633
1
40
.209
HR3
3.081
1
40
.087
HR5
.200
1
40
.657
HR10
1.114
1
40
.297
Tests of Between-Subjects Effects
Type III Sum of Source
Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Intercept
1393731.733
1
1393731.733
1985.275
.000
.980
klp
13376.076
1
13376.076
19.053
.000
.323
Error
28081.390
40
702.035
Kadar Magnesium Descriptive Statistics klp mgsebelum
mgsesudah
Mean
Std. Deviation
N
Perlakuan
2.0524
.21359
21
Kontrol
2.0095
.19469
21
Total
2.0310
.20301
42
Perlakuan
2.2381
.37078
21
Kontrol
1.8286
.21010
21
Total
2.0333
.36269
42
Partial Eta Squared
Tests of Within-Subjects Contrasts
Type III Sum of Source
factor1
Squares
df
Mean Square
factor1
Linear
.000
1
.000
.003
factor1 * klp
Linear
.706
1
.706
15.870
Error(factor1)
Linear
1.779
40
.044
Tests of Within-Subjects Contrasts
Source
factor1
Sig.
Partial Eta Squared
factor1
Linear
.959
.000
factor1 * klp
Linear
.000
.284
Levene's Test of Equality of Error Variancesa F
df1
df2
Sig.
mgsebelum
.011
1
40
.918
mgsesudah
4.660
1
40
.037
F
Tests of Between-Subjects Effects
Type III Sum of Source
Squares
Intercept
df
Mean Square
F
Sig.
Partial Eta Squared
346.887
1
346.887
3937.634
.000
.990
klp
1.074
1
1.074
12.196
.001
.234
Error
3.524
40
.088
Kadar Calsium
Descriptive Statistics klp casebelum
casesudah
Mean
Std. Deviation
N
Perlakuan
9.1376
.59531
21
Kontrol
9.1595
.41964
21
Total
9.1486
.50882
42
Perlakuan
8.5595
.39227
21
Kontrol
8.7095
.51280
21
Total
8.6345
.45727
42
Tests of Within-Subjects Contrasts Measure:MEASURE_1 Type III Sum of Source
factor1
Squares
df
Mean Square
factor1
Linear
5.549
1
5.549
40.194
factor1 * klp
Linear
.086
1
.086
.624
Error(factor1)
Linear
5.522
40
.138
Tests of Within-Subjects Contrasts Measure:MEASURE_1 Source
factor1
Sig.
Partial Eta Squared
factor1
Linear
.000
.501
factor1 * klp
Linear
.434
.015
Levene's Test of Equality of Error Variancesa F
df1
df2
Sig.
casebelum
1.788
1
40
.189
casesudah
.165
1
40
.687
F
Tests of Between-Subjects Effects Type III Sum of Source
Squares
Intercept
Partial Eta df
Mean Square
F
Sig.
6641.008
1
6641.008
19788.016
.000
.998
.155
1
.155
.462
.500
.011
13.424
40
.336
klp Error
Komplikasi * klp Crosstabulation
klp
komplikasi
Tidak ada
Mual/muntah
Nyeri penyuntikan
Vertigo
Total
Squared
Perlakuan
Kontrol
Total
Count
19
18
37
% within klp
90.5%
85.7%
88.1%
Count
0
2
2
% within klp
.0%
9.5%
4.8%
Count
1
0
1
% within klp
4.8%
.0%
2.4%
Count
1
1
2
% within klp
4.8%
4.8%
4.8%
Count
21
21
42
Tests of Between-Subjects Effects Type III Sum of Source
Partial Eta
Squares
Intercept klp
df
Mean Square
F
Sig.
Squared
6641.008
1
6641.008
19788.016
.000
.998
.155
1
.155
.462
.500
.011
% within klp
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. (2Value
df
sided)
Pearson Chi-Square
3.027a
3
.387
Likelihood Ratio
4.186
3
.242
Linear-by-Linear Association
.000
1
1.000
N of Valid Cases
42
100.0%