Membentuk generasi penerus bangsa yang berkarakter tentunya membutuhkan suatu proses yang panjang, maka sudah seharusnya karakter tersebut dibangun sedini mungkin sejak masa kanak-kanak. Setiawan (seorang Psikolog Anak) dalam artikel yang ditulis oleh Pratiwi (2012) menyatakan bahwa anak-anak dalam kesehariannya mengalami hal-hal yang menantang, terutama ketika mereka mulai memasuki prasekolah (taman kanak-kanak). Namun, hasil observasi di suatu taman kanak-kanak (TK) ketika peneliti menjalani Praktek Kerja Profesi Psikologi (PKPP) menunjukkan bahwa sebagian anak begitu mudah menyerah selama proses pembelajaran dan cenderung cepat mengeluh lalu berhenti meninggalkan aktivitasnya ketika mengalami kesulitan, meskipun aktivitas-aktivitas dalam proses pembelajaran tersebut telah sesuai dengan kemampuan anak-anak seusianya. Hasil wawancara dengan beberapa guru TK juga menunjukkan hal yang sama, yakni sebagian anak cenderung pasif saat mengalami kesulitan dan kemudian memutuskan untuk berhenti dari aktivitas pembelajaran tanpa berkeinginan untuk melakukan usaha yang optimal dalam mengatasi kesulitannya, meskipun sebenarnya aktivitas-aktivitas tersebut telah sesuai dengan karakteristik anak susianya serta mampu dilakukan dan diselesaikan oleh anak-anak sebayanya. Ketika
menjalani
aktivitas
sehari-hari,
sebaiknya
anak-anak
mampu
menunjukkan sikap pantang menyerah, sabar, tekun, memiliki semangat juang yang tinggi, serta memiliki keberanian dalam menghadapi tantangan untuk mempelajari hal-hal baru dalam hidupnya. Hal tersebut akan menjadi bekal mereka dalam menghadapi kesulitan ataupun segala situasi yang kurang menyenangkan. Emeline 3
yang juga seorang Psikolog Anak dalam artikel yang ditulis oleh Fazriati (2012) menyatakan bahwa anak yang pantang menyerah akan tumbuh menjadi pribadi yang optimis, pemberani, mampu melihat kegagalan secara positif, serta siap dalam menghadapi berbagai tantangan. Lebih lanjut Rahmania (2013) menyatakan bahwa orangtua hendaknya membentuk anak menjadi tangguh sejak usia dini, karena saat ini persaingan tidak hanya di tingkat regional tapi juga internasional. Anak-anak kita kelak akan menjadi warga dunia yang harus mampu bersaing dengan seluruh individu di dunia yang memiliki kemampuan, sikap kerja, dan karakter yang bermacam-macam. Oleh karena itu, sangat perlu menstimulasi anak sedini mungkin untuk memiliki karakter tangguh dalam menjalani kesehariannya, yakni anak dengan persistensi yang baik (tekun), dan tidak mudah menyerah sekaligus kreatif dalam melakukan pemecahan-pemecahan masalah. Koesoema (2011) menyatakan bahwa karakter tangguh akan mampu mencetak generasi penerus bangsa yang maju dan unggul di mata dunia. Pemerintah telah mencanangkan pendidikan karakter sejak usia dini sebagaimana tertuang dalam batang tubuh UUD 1945 yakni UU No. 20 Tahun 2003. Pendidikan karakter sejak usia dini dinilai mampu mencetak anak-anak yang berakhlak mulia dengan kematangan emosi dan spiritual yang baik, kemampuan mengelola stres dengan baik, serta memiliki semangat belajar yang tinggi (Kemendiknas, 2012). Karakter merupakan karakteristik dalam diri seseorang yang menunjukkan adanya pengetahuan dan keinginan untuk selalu berperilaku moral (Lickona, 2012). 4
Karakter akan mempengaruhi seseorang dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku yang kemudian akan menentukan setiap keputusan yang diambil untuk dirinya sendiri serta menentukan perilakunya saat berinteraksi dengan orang lain (Berkowitz & Bier, 2004; Bulach, 2002; Sudaryanti, 2010). Seseorang yang berkarakter adalah seseorang yang mampu berperilaku baik, dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta selalu berusaha untuk melakukan segala hal yang benar (Sarros & Cooper, 2006). Karakter yang baik tidak akan terbentuk secara otomatis. Anak-anak membangun karakter melalui interaksinya dengan keluarga, teman sebaya, guru, dan anggota masyarakat. Karakter yang baik harus dikembangkan sepanjang waktu melalui proses belajar, salah satunya melalui pendidikan karakter yakni dengan mengajarkan dan mempraktikkan karakter-karakter positif pada anak (Smith, 2006). Mengembangkan karakter peserta didik agar menjadi pribadi yang baik merupakan salah satu misi penting dalam pendidikan (Bryan, 2005). Pendidikan harus mampu mengembangkan seluruh aspek (fisik, sosial, emosi, kognitif, spiritual) dan potensi manusia sehingga mampu membentuk manusia seutuhnya (whole person) yang memiliki kecakapan dalam menghadapi perubahan dunia yang penuh tantangan (Megawangi, Latifah, & Dina, 2008). Pendidikan karakter merupakan salah satu cara untuk mengembangkan aspek sosial dan emosi dalam rangka membentuk manusia seutuhnya (Santrock, 2007). Pendidikan karakter merupakan suatu program yang dirancang oleh institusi pemerintah dan dalam proses pelaksanannya bekerjasama dengan pihak sekolah, yang 5
secara langsung dan sistematis berusaha untuk menanamkan nilai-nilai etika pada para generasi muda agar terbentuk perilaku positif yang akan memandu mereka menuju kehidupan yang sukses dan produktif (Allred, 2005; Bier & Berkowitz, 2005; Bryan, 2005; Schwartz, Beatty, & Dachnowicz, 2006; Sommer, 2006). Pendidikan karakter pada anak usia dini adalah upaya penanaman nilai-nilai karakter kepada anak yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai kebaikan dan kebajikan, baik kepada Tuhan YME, diri sendiri, maupun kepada sesama agar menjadi manusia yang berakhlak (Kemendiknas, 2012). Pendidikan karakater pada dasarnya merupakan tanggung jawab orangtua, sekolah, masyarakat, dan media massa (Brannon, 2008). Sekolah sebagai tempat kedua bagi anak-anak untuk menghabiskan sebagian besar waktunya, dinilai memiliki peran yang sangat penting dalam menanamkan karakter-karakter positif (Berkowitz & Bier, 2004). Dalam hal ini, guru sangat berperan dalam membimbing peserta didiknya untuk dapat bertanggungjawab atas segala tindakannya, serta membantu mereka agar dapat membedakan antara yang baik dan buruk sehingga terbentuk anakanak yang berkarakter (Brannon, 2008). Pendidikan karakter pada anak usia dini tidak dalam bentuk pembelajaran tersendiri, namun dilakukan dengan mengintegrasikan nilai-nilai karakter positif pada seluruh aktivitas harian anak (Abourjilie, 2002; Kemendiknas, 2012). Pendidikan karakter merupakan primary prevention. Pendidikan karakter secara efektif terbukti mampu mengurangi resiko munculnya perilaku-perilaku negatif dan 6
menstimulasi perkembangan karakter positif dalam diri anak (Berkowitz & Bier, 2004; Parker, Nelson, & Burns, 2010). Pendidikan karakter memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan pendidikan akademis. Pendidikan karakter mampu berperan sebagai fondasi yang kuat bagi seseorang untuk dapat mencapai prestasi akademis yang lebih baik (KatilmiŞ, EkŞi, & ÖztÜrk, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter dapat meningkatkan motivasi belajar, perilaku altruisme, kompetensi sosio-emosional, dan perilaku prososial serta mencegah terjadinya pelanggaran disiplin, kegagalan sekolah, dan kecemasan sekolah (Berkowitz & Bier, 2004; Bier & Berkowitz, 2005; Brannon, 2008; Bulach, 2002). Pendidikan karakter juga dapat mengembangkan kemampuan anak dalam berpikir rasional, mengambil keputusan yang sesuai dengan etika, kemampuan memecahkan masalah, dan keterampilan menyelesaikan konflik (Berkowitz & Bier, 2004; White & Warfa, 2011). Pendidikan karakter akan mampu mengarahkan anak-anak menjadi individu yang bijaksana dalam melakukan segala hal (Sommer, 2006). Dalam rangka mencetak generasi muda penerus bangsa yang tidak mudah menyerah, selalu optimis, dan berani dalam menghadapi tantangan globalisasi dunia, maka perlu ditanamkan karakter tangguh (hardiness) dalam diri anak sedini mungkin. Maddi dan Kobasa (1984) menyatakan bahwa ketangguhan (hardiness) merupakan salah satu karakter yang sebaiknya ditanamkan sejak usia dini. Ketangguhan ditandai oleh tiga hal, yaitu: komitmen, kontrol, dan tantangan.
7
Komitmen merupakan kemampuan individu untuk melihat dunia sebagai sesuatu yang menarik dan penuh arti, serta memiliki keinginan untuk terlibat dalam aktivitas disekitarnya tanpa berusaha menghindar (Hystad, Eid, Laberg, Johnsen, & Bartone, 2009). Komitmen menunjukkan bahwa seseorang terlibat secara mendalam dan aktif pada setiap aktivitas dalam hidupnya. Seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan selalu berusaha untuk melibatkan dirinya dan tidak menghindari aktivitas yang harus ia hadapi dalam kehidupannya, serta merasa bahwa keterlibatannya tersebut merupakan cara terbaik untuk menunjukkan kapabilitasnya terhadap lingkungan sosial. Pengalaman-pengalaman yang ia peroleh dilihat sebagai sesuatu yang menarik, berharga, dan penting, tanpa merasa terbebani dengan situasi-situasi yang akan menimbulkan tekanan terhadap dirinya (Maddi dalam Sheard, 2009). Seseorang dengan komitmen yang kuat akan memiliki keyakinan terhadap nilai ataupun prinsip hidup yang ia pegang dan yakin dengan apa yang ia lakukan. Ia memiliki makna dan tujuan atas hubungannya dengan sesama maupun aktivitas yang ia lakukan, dan tidak berusaha untuk mengasingkan diri yang disertai rasa takut, ketidakpastian, maupun kebosanan akan kehidupan yang ia jalani (Soderstrom, Dolbier, Leiferman, & Steinhardt, 2000). Kontrol menunjukkan keinginan seseorang untuk dapat mengendalikan segala sesuatu tanpa merasa takut akan kesulitan ataupun tekanan-tekanan yang ia hadapi (Hystad, dkk., 2009; Maddi dalam Sheard, 2009). Kemampuan kontrol yang baik menunjukkan bahwa ia yakin dapat mengendalikan segala situasi yang terjadi dalam
8
hidupnya, dan mampu merubah situasi-situasi yang menekannya menjadi lebih terkendali (Soderstrom, dkk., 2000). Seseorang yang mampu melakukan kontrol akan tumbuh menjadi individu yang optimis dalam menghadapi segala situasi di hidupnya (Bissonnette, 1998). Seseorang dengan kemampuan kontrol yang baik akan mampu menentukan respon-respon yang tepat ketika menghadapi setiap hal dalam hidupnya dan mampu memaknai situasisituasi yang memiliki potensi untuk memunculkan banyak tekanan sebagai sesuatu yang menyenangkan (Maddi dalam Sheard, 2009). Seseorang yang tidak memiliki kontrol yang baik akan menimbulkan adanya rasa tidak berdaya (Bissonnette, 1998). Tantangan merupakan keyakinan dalam diri seseorang bahwa perubahan bukanlah sesuatu yang mengancam rasa aman dalam dirinya, namun sebagai suatu kesempatan untuk mengembangkan diri (Hystad, dkk., 2009). Perubahan-perubahan yang ia alami akan dilihat sebagai sesuatu yang wajar dalam kehidupan dan mampu bertahan dengan perubahan-perubahan tersebut (Soderstrom, dkk., 2000). Seseorang akan menyadari bahwa banyak hal dalam hidup ini yang tidak dapat diprediksi dan perubahan tersebut akan mampu menstimulasi dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih berkembang. Perasaan ini menunjukkan adanya sikap positif seseorang terhadap perubahan dan yakin bahwa kegagalan merupakan jalan menuju kesuksesan (Maddi dalam Sheard, 2009). Hasil penelitian mengenai karakter tangguh dengan berbagai populasi dan profesi, menunjukkan bahwa ketangguhan yang ada dalam diri seseorang dapat membantu individu dalam mengendalikan tekanan psikologis yang sedang ia alami 9
dan selanjutnya akan berdampak positif terhadap kesejahteraan psikologis dan kesehatan fisik individu tersebut dalam jangka panjang (Cole, Feild, & Harris, 2004; Hystad, dkk., 2009; Sheard, 2009). Seseorang yang memiliki karakter tangguh akan berani mengambil tindakan atas masalah-masalah yang ia hadapi (tidak berusaha untuk menghindarinya), memiliki sense of personal mastery, memiliki keberanian untuk menghadapi masalah-masalahnya dengan percaya diri (Soderstrom, dkk., 2000) dan cenderung aktif atau tidak merasa terbatasi aktivitasnya (Magai, Consedine, King, & Gillespie, 2003). Dalam situasi yang membingungkan (ambigu), karakter tangguh akan mengarahkan seseorang untuk mampu mengambil keputusan dan berusaha mencapai target yang telah ia tentukan (Cole, dkk., 2004). Karakter tangguh berkembang sejak usia dini dan muncul sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman yang kaya, bervariasi, dan bermanfaat (Maddi & Kobasa, 1984). Intervensi perlu dilakukan sedini mungkin untuk membentuk karakter tangguh sejak masa kanak-kanak dengan mengembangkan ketiga komponen (komitmen, kontrol, dan tantangan). Anak-anak yang memiliki karakter tangguh akan mampu memulai proses pembelajaran dengan baik, memiliki interaksi yang baik dengan teman-teman sebayanya, serta memiliki penilaian atau persepsi yang positif terhadap dirinya, sedangkan anak-anak yang tidak memiliki karakter tangguh pada umumnya akan memiliki regulasi emosi yang buruk serta tidak adanya kepercayaan dengan orang dewasa disekitarnya, sehingga akan berdampak negatif pada tugas-tugas perkembangannya dan cenderung mengalami hambatan secara kognitif, regulasi diri 10
yang buruk, prestasi akademik yang rendah, dan hambatan dalam hubungan interpersonal (Bissonnette, 1998). Benishek, Feldman, Shipon, dan Mecham (2005) menyatakan bahwa seorang anak dengan karakter tangguh akan berusaha sepenuhnya terlibat dalam proses pembelajaran demi menguasai segala hal yang sedang ia pelajari (komitmen), dan memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu mencapai target-target belajarnya dengan usaha yang maksimal disertai regulasi emosi yang baik (kontrol), serta bersedia menghadapi kesulitan maupun hambatan yang muncul selama proses belajar tersebut (tantangan). Seorang anak dengan komitmen yang tinggi akan menunjukkan keterlibatannya pada semua proses belajar yang sedang dijalani, sedangkan anak dengan komitmen yang rendah cenderung tidak konsisten dan hanya melibatkan diri pada kegiatan belajar yang ia sukai. Anak dengan kontrol yang baik akan mampu mengendalikan tekanan-tekanan, kesulitan, maupun hambatan yang ia hadapi selama proses belajar serta terus berusaha bangkit atas kegagalan yang ia hadapi. Anak yang melihat tantangan sebagai suatu hal yang positif akan menerima resiko ataupun kegagalan sebagai suatu proses yang harus dilalui, sedangkan anak yang menilai tantangan secara negatif, maka ia akan melihat tantangan sebagai suatu ancaman yang harus dihindari (Benishek & Lopez, 2001). Hasil penelitian Cole, dkk (2004) menunjukkan bahwa karakter tangguh memiliki korelasi positif dengan motivasi belajar, learning goal orientation, serta reaksi-reaksi positif anak selama mengikuti aktivitas-aktivitas yang terkait dengan 11
proses belajar. Anak-anak yang memiliki karakter tangguh akan menikmati tantangan selama proses belajarnya dan terbukti bahwa mereka memiliki perilaku belajar yang positif dan hampir tidak pernah mengalami psikosomatis, dan menikmati saat mempelajari hal-hal yang baru, serta mampu melihat secara positif segala kejadian yang ia alami selama proses belajar tersebut. Anak dengan ketangguhan yang tinggi akan mampu menemukan minatnya selama menjalani proses belajar, serta menerima dan menjalani ketentutan-ketentuan proses pembelajaran dengan rasa antusias yang tinggi. Ketangguhan yang tinggi mampu
membuat
seseorang
menghadapi
tuntutan-tuntutan
selama
proses
pembelajaran dengan usaha terbesar yang mampu ia lakukan, dan akan berusaha mencari cara terbaik untuk dapat keluar dari tekanan-tekanan yang sedang ia hadapi hingga sukses dalam mencapai target-targetnya, serta berusaha membentuk pemikiran bahwa tekanan-tekanan selama proses belajar tersebut merupakan sesuatu yang menarik dan berharga (Hystad, dkk., 2009). Rahmania (2013) mengemukakan mengenai beberapa karakteristik anak usia dini yang memiliki karakter tangguh, yaitu: anak mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk mencapai tujuannya, mampu mengatasi kesulitan yang ia hadapi, yakin akan kemampuan dirinya sendiri, tidak segan meminta bantuan orang lain ketika mengalami kesulitan setelah ia berusaha dengan gigih dalam mengatasi kesulitannya tersebut, mempunyai motivasi untuk maju, mampu fokus pada masalah yang sedang dihadapinya dan dapat menerima kelebihan serta kekurangan dirinya sendiri (misal: anak tidak harus menjadi juara tetapi usaha yang ia lakukan merupakan bentuk 12
motivasi yang baik untuk maju), mampu membina hubungan yang baik dengan orang lain meski ia mengalami kekecewaan pada orang tersebut. Menurut Maddi dan Kobasa (1984), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakter tangguh (komitmen, kontrol, tantangan) dalam diri seseorang sejak usia dini, yaitu: 1. Interaksi yang penuh dukungan terhadap anak sejak dini. Interaksi orangtua yang penuh penerimaan dan dukungan terhadap anak merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pembentukan komitmen dalam diri anak. Ketika orangtua menunjukkan penerimaan, ketertarikan, dan dukungan atas usaha-usaha yang dilakukan anak saat bereksplorasi dalam rangka memenuhi kebutuhan ataupun mengembangkan potensi yang ia miliki, maka anak akan merasa memperoleh dukungan dan menilai dirinya serta lingkungannya sebagai sesuatu yang menarik dan berharga. Hal tersebut akan mampu menunjukkan minat dan kemampuan anak yang sebenarnya. 2. Lingkungan yang menumbuhkan rasa penguasaan (mampu) dalam diri anak. Lingkungan maupun orangtua hendaknya memberikan kesempatan pada anak untuk berusaha mengatasi kesulitan yang ia hadapi selama hal tersebut masih memungkinkan untuk dapat diselesaikan oleh anak sesuai dengan tahapan perkembangannya. Kesempatan tersebut dapat dilakukan dengan tidak banyak memberikan bantuan ketika anak sedikit mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Ketika anak berhasil mengatasi kesulitannya tersebut, maka akan tumbuh rasa kompeten dalam dirinya. Perasaan tersebut akan membuat 13
anak lebih mandiri, dan merasa yakin serta tetap optimis ketika menghadapi kesulitan ataupun hambatan dalam mencapai segala tujuannya dalam aktivitasnya sehari-hari. 3. Membantu anak untuk memaknai perubahan-perubahan hidup yang dialami. Kemungkinan besar setiap anak akan mengalami banyak perubahan situasi maupun kondisi dalam hidupnya, misalnya: perpindahan tempat tinggal ke kota atau negara yang berbeda, berubahnya peran dalam keanggotaan keluarga, keberhasilan dan kegagalan yang silih berganti, dan sebagainya. Dalam hal ini, orangtua dan lingkungan memiliki peran yang penting untuk memotivasi anak dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut dan mengkomunikasikan perubahan tersebut sebagai sesuatu yang akan memperkaya pengalaman anak, sehingga anak mampu menerima perubahan atas segala situasi yang sedang ia hadapi terutama situasi-situasi yang kurang menyenangkan dalam hidupnya. Damon (dalam Berkowitz & Bier, 2004) menyatakan bahwa karakter berkembang sepanjang hidup manusia, khususnya pada pada masa kanak-kanak dan remaja. Pendidikan karakter membutuhkan proses yang panjang untuk menanamkan nilai-nilai dan etika. Pendidikan karakter dapat diterapkan pada berbagai usia dan seluruh jenjang pendidikan, namun sangat penting untuk diterapkan sejak usia dini sebagai fondasi yang kuat bagi karakter anak hingga mereka dewasa. Anak usia dini menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 14 adalah anak-anak yang berusia 0-6 tahun (Depdiknas, 2003). Masa usia dini merupakan periode emas 14
(golden age) sekaligus periode kritis bagi perkembangan anak. Pada masa usia dini perkembangan otak anak berkembang dengan pesat yakni mencapai hingga 80%. Perkembangan otak ini akan mempengaruhi kemampuan kognitif, kemampuan belajar, berpikir, dan mengingat pada anak (Bloom dalam Aisyah, dkk., 2008) serta mengembangkan aspek afeksi dalam rangka menumbuhkan sikap-sikap positif pada diri anak (Lenox, 2000). Oleh karena itu, usia dini merupakan periode penting untuk mengembangkan keahlian dan kompetensi anak dalam rangka membangun fondasi yang kuat bagi tahapan perkembangan selanjutnya. Stimulasi yang tepat pada masa usia dini akan menentukan kemampuan mereka pada periode-periode selanjutnya hingga masa dewasa (Santrock, 2007). Stimulasi yang mampu memberikan pengalaman-pengalaman positif bagi anak akan semakin memperkuat kualitas perkembangannya di masa yang akan datang (Umek, Peklaj, GrgiČ, SoČan, & Pfifer, 2012). Stimulasi tersebut harus sesuai dengan konsep Developmentally Appropriate Practice (DAP). Konsep ini menekankan bahwa stimulasi pada proses pembelajaran harus mempertimbangkan tahapan perkembangan anak dan menggunakan cara yang sesuai dengan usia, keunikan, kebutuhan, minat, serta lingkungan sosial budaya anak (Berdekamp & Copple dalam Berns, 2007). Proses pembelajaran yang sesuai dengan konsep DAP tersebut terbukti mampu mempertahankan bahkan meningkatkan semangat belajar anak (Megawangi, dkk., 2008). Usia taman kanak-kanak 5-6 tahun merupakan periode kritis karena merupakan periode yang penting untuk proses belajar anak dalam rangka mempersiapkan mereka 15
untuk menghadapi tantangan akademis di sekolah dasar. Pada masa ini, hendaknya lingkungan mampu menstimulasi anak dengan kegaitan-kegiatan yang menantang, dan mengasah kemampuan anak dalam berpikir kritis ataupun mengungkapkan pendapat-pendapatnya, serta memecahkan dan memaknai kesulitan-kesulitan yang ia hadapi. Oleh karena itu, sangat penting bagi guru untuk mengembangkan perilaku belajar yang positif pada periode usia ini (Copple & Bredekamp, 2009). Hurlock (1978) menyatakan bahwa tugas perkembangan anak usia 5 tahun antara lain: mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang umum, membangun sikap yang sehat dalam mengenali diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh, belajar menyesuaikan diri dengan teman seusianya, mulai mengembangkan peran sosial sebagai seorang pria atau wanita dengan tepat, mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung, mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, mengembangkan hati nurani, dan pengertian moral. Tugas-tugas perkembangan individu melibatkan seluruh aspek perkembangan, baik perkembangan fisik (motorik kasar dan motorik halus), kognitif, bahasa, maupun perkembangan sosial dan emosi. Pada usia 5-6 tahun, aspek-aspek perkembangan anak yang meliputi motorik kasar, motorik halus, sosial, emosi, dan bahasa telah berkembang dengan cukup baik. Perkembangan fisik yang terkait dengan motorik kasar merupakan gerakan tubuh yang melibatkan otot-otot besar pada seluruh anggota tubuh individu. Tugas perkembangan pada aspek motorik kasar anak usia 5-6 tahun meliputi kemampuan untuk berlari, berjinjit, melompat, bergelantungan, melempar 16
dan menangkap, serta menjaga keseimbangan (Levine & Munsch, 2011). Anak pada usia ini, pada umumnya menunjukkan bahwa mereka telah mampu berlari dengan cepat, lincah, dan cukup terampil dalam merubah arah gerakannya. Mereka juga telah mampu memanjat objek-objek disekitarnya, melempar, menangkap, dan menendang bola dengan gerakan tubuh yang cukup lincah (Copple & Bredekamp, 2009; Hurlock, 1978). Anak pada usia ini juga mulai menyukai kegiatan lomba, seperti lomba lari, dan balap sepeda (Levine & Munsch, 2011). Selain motorik kasar, terdapat pula perkembangan fisik yang terkait dengan motorik halus. Motorik halus merupakan gerakan yang melibatkan otot-otot halus dan sebagian anggota tubuh tertentu. Perkembangan motorik halus anak usia 5-6 tahun ditekankan pada kemampuan anak dalam meletakkan atau memegang suatu objek dengan menggunakan jari-jari tangannya. Pada usia ini, anak telah mampu mengkoordinasikan gerakan visual-motorik, seperti mengkoordinasikan gerakan mata dengan tangan, lengan, dan tubuh secara bersamaan (Levine & Munsch, 2011). Anak usia 5-6 tahun telah memiliki koordinasi motorik halus yang semakin meningkat karena rentang perhatian anak semakin panjang pada usia ini, dan kemampuannya untuk mengontrol gerakan tangan dan jari juga semakin berkembang. Anak yang berada pada usia ini telah mampu bertahan dengan tugas-tugas yang menuntut kesabaran dan ketekunan, seperti: menulis, menggambar, menggunting, menyusun lego, memilah benda-benda kecil, meronce, menarik ritsleting, mengancing pakaian, menuang air ke gelas, dan menuyusun peralatan makan di meja (Copple & Bredekamp, 2009), menyusun balok-balok menjadi beberapa bentuk 17
bangunan (rumah atau istana beserta menaranya), mengelem, dan memalu (Santrock, 2007). Perkembangan sosial anak usia 5-6 tahun ditandai dengan adanya ketertarikan untuk berinteraksi dengan teman sebaya, serta mampu menjalin kerja sama dan membentuk pertemanan dengan teman sebayanya. Anak-anak pada usia ini juga sudah mulai mampu mengontrol dirinya untuk mematuhi aturan-aturan yang berlaku. Mereka mulai menginternalisasikan standar-standar norma yang berlaku dan memonitor perilakunya. Anak cenderung memiliki keinginan yang besar untuk masuk dalam kategori “anak yang baik” dan merasa bersalah ketika ia melanggar standar yang telah ditetapkan. Meskipun begitu, anak pada usia ini masih membutuhkan teladan dan arahan dari orang dewasa disekitarnya (McCartney & Phillips, 2006). Pada hubungan sosial, anak usia 5-6 tahun cenderung mencari kecocokan dalam hubungan pertemanannya. Mereka akan lebih memilih teman yang memiliki banyak kesamaan dengan dirinya, baik jenis kelamin, usia, etnis, maupun kepribadian (ramah, suka menolong, atau agresif). Anak pada usia ini akan lebih sering memilih teman bermain yang memiliki jenis kelamin sama. Mereka akan memilih teman bermain yang memiliki kesamaan minat dan kecocokan dalam berperilaku. Mereka juga sudah mengenal perbedaan stereotype antara permainan laki-laki dan permainan perempuan, misalnya: truk hanya untuk laki-laki, dan perawat hanya cocok diperankan oleh perempuan (Copple & Bredekamp, 2009; Santrock, 2007). Perkembangan emosi anak pada usia 5-6 tahun menunjukkan bahwa mereka telah mampu menginterpretasi, memahami atau mengenali emosi yang ditampakkan 18
oleh orang lain, serta mulai mampu mengembangkan rasa empati dan simpati (McCartney & Phillips, 2006). Copple dan Bredekamp (2009) menyatakan bahwa anak-anak pada usia ini juga mulai mengembangkan kemampuan kontrol dalam dirinya saat menghadapi situasi-situasi yang kurang menyenangkan baginya (seperti berusaha melakukan ataupun menyelesaikan suatu aktivitas meski ia kurang menyukai aktivitas tersebut). Perkembangan bahasa dan literasi anak usia 5-6 tahun ditandai dengan munculnya kesadaran anak akan buku. Anak telah mengetahui bagian-bagian dari buku yakni berupa kata-kata yang dapat dibaca dengan suara nyaring. Anak juga mengetahui beberapa bentuk tulisan (seperti: surat ataupun buku cerita). Anak telah memiliki kesadaran fonologis yakni mampu membedakan bunyi antara huruf atau kata yang satu dengan huruf atau kata yang lainnya yang akan meningkatkan kemampuannya dalam membaca. Kemampuan anak dalam berbahasa, pemahaman, dan kemampuan merespon suatu bacaan pada usia ini membutuhkan banyak dorongan atau stimulasi dari lingkungannya yang dapat dilakukan melalui kegiatan membaca buku cerita bersama yang disertai dengan tanya-jawab untuk melatih sejauhmana pemahaman anak terhadap materi bacaan. Pada usia ini anak juga sudah mulai mampu untuk merangkai suatu tulisan dalam bentuk kalimat-kalimat singkat meski bentuk tulisannya belum sempurna dan teratatur (Copple & Bredekamp, 2009). Pada situasi kelas yang mendukung, tenang dan terstruktur, anak usia 5-6 tahun mampu memusatkan perhatian selama 15 hingga 20 menit (Copple & Bredekamp, 2009) bahkan hingga 30 menit saat anak menonton televisi (Giavecchio dalam 19
Santrock, 2007). Selain itu, anak pada usia ini akan memiliki memori yang baik terhadap informasi-informasi yang penuh makna atau menyenangkan baginya (Santrock, 2007). Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif Piaget, anak-anak pada usia tersebut berada pada masa praoperasional. Pada masa ini, anak belajar menggunakan simbol-simbol, yakni melalui kata-kata, gambar, maket, miniatur, dan gestur yang mewakili objek-objek ataupun kejadian-kejadian di dunia (McCartney & Phillips, 2006; Parke & Hetherington, 1999; Santrock, 2007). Apabila anak berhasil melalui tugas perkembangannya maka ia akan bahagia dan cenderung akan berhasil dalam melalui tugas perkembangan pada tahapantahapan berikutnya. Namun, jika anak mengalami kegagalan dalam melalui tugas perkembangnnya, maka ia akan mengalami kesedihan, cenderung memperoleh penolakan dari lingkungan sosialnya, serta
akan mengalami hambatan dalam
mencapai tugas perkembangan pada tahapan-tahapan periode selanjutnya. Berhasil atau tidaknya individu dalam melalui tugas perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi tugas perkembangan antara lain: normal atau tidaknya pertumbuhan dan perkembangan anak, kondisi kesehatan anak, motivasi untuk berkembang, dan kelancaran dalam menguasai tugastugas perkembangan sebelumnya, sedangkan faktor eksternal terkait dengan pola asuh orangtua, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat ataupun lingkungan pergaulannya.
20
Mengembangkan karakter atau nilai-nilai moral dalam diri anak merupakan salah satu tugas perkembangan yang terkait dengan aspek sosial dan emosi anak (Santrock, 2007). Terbentuknya karakter dalam diri seseorang meliputi tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu: pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Dalam proses pembentukan karakter yang baik, maka terlebih dahulu seseorang harus mengetahui hal yang baik, dan kemudian menginginkan hal yang baik, selanjutnya berusaha melakukan hal yang baik tersebut dalam kehidupannya sehari-hari hingga menjadi karakter dalam dirinya (Lickona, 2012). Lickona
(2012)
menggambarkan
pendekatan
yang
digunakan
untuk
menanamkan nilai-nilai sebagai bagian dari pembentukan karakter anak usia dini yakni dengan terlebih dahulu memberikan konsep nilai-nilai tersebut sebagai pengetahuan, hingga kemudian terbentuk sikap dalam pemikiran anak. Sikap tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku melalui pembiasaan baik ketika di rumah maupun di sekolah sehingga terbentuk karakter yang kuat dalam diri anak. Hal ini sejalan dengan Taksonomi Bloom (dalam Woolfolk, 2004) yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan tahapan pertama yang harus ditanamkan dalam diri seseorang hingga kemudian terbentuk suatu pemahaman, aplikasi dalam bentuk perilaku, kemampuan menganalisis, sintesis, dan evaluasi. Pengetahuan merupakan hasil dari proses belajar maupun pengalaman yang mampu memberikan informasi-informasi pada seseorang. Pengetahuan diperoleh setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba). 21
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata (penglihatan) dan telinga (pendengaran). Guru, orangtua, buku, ataupun media massa merupakan beberapa sumber yang dapat memberikan informasi sebagai dasar terbentuknya pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan yang dimiliki akan mampu meningkatkan perasaan yang kuat. Pengetahuan mengenai suatu nilai akan membantu seseorang untuk dapat membedakan benar atau salah atas suatu tindakan, dan mampu mengarahkan dirinya dalam mengambil suatu tindakan dengan mempertimbangkan segala konsekuensinya, serta melakukan evaluasi atas tindakan tersebut secara kritis. Pengetahuan juga mampu membantu seseorang untuk memahami dunia dari sudut pandang orang lain, dan mengetahui pentingnya untuk berperilaku baik dan benar bagi dirinya maupun orang lain. Selanjutnya, pengetahuan maupun perasaan tersebut akan memotivasi seseorang untuk melakukan tidakan sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam dirinya hingga membentuk suatu karakter (Lickona, 2012). Dalam rangka membentuk pengetahuan mengenai suatu karakter positif pada anak, maka konsep mengenai karakter tersebut terlebih dahulu disampaikan dengan memberikan informasi pada anak mengenai nilai-nilai postif yang mencerminkan karakter (Bloom dalam Woolfolk, 2004). Informasi-informasi mengenai nilai-nilai ketangguhan yang disampaikan pada anak akan membentuk suatu konsep yang dapat diperoleh anak dari beberapa hal, antara lain: kegiatan eksplorasi sensori (sensory exploration) yang melibatkan panca indra baik penglihatan maupun pendengaran untuk
dapat
menangkap informasi
dari lingkungannya; 22
aktivitas
bertanya
(questioning) yang pada umumnya banyak dilakukan sejak anak berusia 3 tahun karena pada usia itu anak telah memiliki rasa ingin tahu yang besar; media massa (pictorial mass media) berupa televisi, film, buku cerita (komik) juga memiliki peran yang besar dalam memberikan informasi pada anak; serta aktivitas membaca ataupun mendengarkan cerita yang disertai dengan diskusi untuk memaknai nilai-nilai yang terkandung dalam cerita tersebut. Agar informasi-informasi yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut dapat membentuk suatu konsep yang tepat pada anak usia dini (5-6 tahun) maka informasi tersebut harus disampaikan melalui media yang sifatnya konkrit dan terdapat peran orang dewasa untuk membantu dalam memahami dan memaknai informasi yang telah diterima oleh anak, selain itu informasi juga harus disampaikan dengan cara menyenangkan bagi anak sehingga dapat memotivasi anak untuk bertindak positif sesuai dengan nilai-nilai (konsep) yang telah disampaikan (Hurlock, 1978). Proses yang terjadi dalam diri anak ketika memperoleh informasi-informasi dari lingkungannya dapat dijelaskan melalui teori pemrosesan informasi. Atkinson dan Shiffrin (dalam Slavin 2012) mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen yang berperan dalam pemrosesan informasi hingga terbentuknya pengetahuan, yaitu: sensory register (registrasi pengindraan), working memory/ short-term memory (memori jangka pendek), dan long-term memory (memori jangka panjang). Sensory register (registrasi pengindraan) merupakan komponen pertama yang ditemui oleh informasi yang masuk. Registrasi pengindraan berperan dalam menahan sejumlah informasi yang diterima oleh sistem indra serta mencatat informasi atau 23
stimuli yang masuk melalui salah satu atau kombinasi dari beberapa panca indra dan menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, yakni tidak lebih dari dua detik. Bila informasi atau stimuli tersebut tidak diperhatikan maka akan mudah terlupakan, namun bila diperhatikan maka informasi tersebut akan diteruskan ke sistem memori jangka pendek. Memori jangka pendek juga memiliki keterbatasan dalam hal mempertahankan informasi. Informasi yang masuk dapat hilang dalam kurun 15 – 30 detik. Namun, proses ini dapat dicegah dengan melakukan pengulangan terhadap informasi-informasi yang telah diterima (rehearsal). Semakin cepat pengulangan dilakukan, semakin banyak informasi yang dapat dikelola di dalam memori jangka pendek. Pengulangan merupakan hal yang penting selama proses belajar karena aktivitas pengulangan mampu mempertahankan informasi dalam waktu yang lebih lama di memori jangka pendek, sehingga informasi tersebut akan memiliki kemungkinan besar untuk dapat diteruskan ke memori jangka panjang. Memori jangka panjang merupakan bagian dari sistem memori yang mampu menyimpan banyak informasi dalam waktu yang lama. Tulving dan Craik (dalam Slavin, 2012) menyatakan banyak ahli yang percaya bahwa informasi yang telah tersimpan di dalam memori jangka panjang tidak akan terlupakan, kecuali individu yang bersangkutan mengalami sesuatu yang menyebabkan ia kehilangan kemampuan untuk memunculkan kembali informasi-informasi dalam ingatannya. Informasiinformasi yang telah diterima, diproses, dan tersimpan dalam memori itulah yang kemudian membentuk suatu pengetahuan bagi individu yang menerimanya.
24
Pemberian konsep nilai-nilai karakter pada anak usia dini dapat dilakukan melalui kegiatan olahraga, seni musik, seni tari, bermain, dan dongeng (Musfiroh, 2011). Dongeng sejak zaman dahulu hingga kini masih memiliki daya tarik yang besar dan merupakan hal yang penting terutama di bidang pendidikan. Dongeng merupakan suatu media yang menyenangkan dan dapat menginspirasi minat anak dalam belajar untuk memperluas wawasan dan pengetahuannya (Eades, 2006). Dongeng merupakan karya seni untuk menggambarkan suatu kejadian yang nyata maupun fiksi melalui kata-kata, suara, serta penggambaran situasi cerita. Anne Pellowski mendefinisikan dongeng sebagai seni dan keterampilan untuk menarasikan suatu cerita dalam bentuk kalimat ataupun prosa, yang disusun atau dikarang oleh seseorang sebelum disampaikan kepada para pendengarnya. Dongeng dapat disampaikan dengan berbicara ataupun menyanyi, dengan atau tanpa disertai musik, gambar atau yang lainnya. Dongeng dapat diperoleh langsung dari pembawa cerita yang menyampaikannya secara oral, atau dari suatu buku cerita. Selain itu, dongeng dapat pula diperoleh dari suatu rekaman yang dapat didengar serta dilihat oleh pendengarnya (World of Storytelling, 15 dalam Tingöy, Güneser, Öngün, Demirag, & Köroglu, 2007).
25
Dongeng selalu menjadi media yang disukai oleh para pendidik untuk menanamkan nilai-nilai moral dalam rangka membentuk karakter anak. Dongeng memiliki daya tarik tersendiri bagi anak-anak, karena dongeng lebih bersifat mengajak dari pada menuntut dan mampu meyakinkan para pendengarnya, sehingga dongeng menjadi suatu cara yang alami untuk mengikat dan mengembangkan sisi emosi dalam proses pembentukan karakter anak (Lickona, 2012). Melalui dongeng, sedikit demi sedikit anak akan membentuk ide-ide, imaginasi, sikap, serta persepsinya atas informasi-informasi yang ia peroleh dari cerita-cerita yang ia dengar (Eckhoff & Urbach, 2008; Lenox, 2000) serta memberi kesempatan pada pendidik dalam mengembangkan nilai-nilai etika, sosial, budaya, agama, etos kerja, dan berbagai konsep moral lainnya agar menjadi sikap yang dapat diwujudkan dalam perilaku hingga terbentuk karakter dalam diri anak (Bryan, 2005; Nelson & Arthur, 2003; Sanchez & Stewart, 2006; Wiyatmi, 2011). Melalui dongeng seseorang dapat memahami diri sendiri dan orang lain (Lenox, 2000) serta mampu mempertimbangan dampak atas setiap perilakunya (Lempke, 2005). Dongeng yang disertai diskusi ataupun dialog untuk memperdalam isi cerita sebagai proses refleksi mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan salah satu metode yang efektif dalam proses pendidikan karakter (Carauthers, 2006; Edgington, 2002; Singer, 2010). Diskusi yang dilakukan mampu mengajak para pendengar untuk memaknai dan menangkap pesan-pesan moral yang terkandung dalam dongeng (Lickona, 2012). Komponen dalam dongeng menurut Knapp (2000), antara lain: 26
1. Setting (where & when) yaitu kapan dan dimana cerita tersebut digambarkan. Terkait dengan cuaca dan bunyi-bunyi yang dapat menggambarkan suasana dari cerita yang disajikan.
2. Characters (who) yakni siapa dan tokoh apa yang hendak digambarkan dalam cerita tersebut. Terkait dengan tokoh utama, tokoh pendukung, bagaimana mereka berbicara, gerak tubuhnya, serta perilaku masing-masing tokoh. 3. Commplication (what/ partly why) Menggambarkan apa yang terjadi dalam isi cerita tersebut, kapan, dimana, dan mengapa hal tersebut terjadi. 4. Process of responding/ resolving (more what) Mendeskripsikan respon para tokoh atas segala hal yang terjadi pada cerita tersebut. 5. Resolution (how) Menggambarkan karakter tokoh-tokoh pada cerita tersebut dalam menyelesaikan masalahnya. 6. Closure Melakukan follow up dengan mengajak para pendengar untuk merefleksi pesanpesan ataupun nilai-nilai moral yang terkandung pada cerita tersebut. Langkah-langkah metode dongeng yang digunakan dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari modul metode dongeng yang disusun oleh Ahyani (2010) 27
untuk meningkatkan perkembangan kecerdasan moral anak usia prasekolah. Metode dongeng tersebut terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Kegiatan awal (Pendahuluan) Pada sesi ini, anak-anak diminta untuk duduk tenang dan diajak untuk mendengarkan dongeng yang akan disampaikan. 2. Kegiatan inti. Menyampaikan isi dongeng yang didalamnya terkandung nilai-nilai karakter pada anak-anak. 3. Evaluasi. Pada sesi ini, anak-anak diberi beberapa pertanyaan untuk melakukan pengulangan dan mengetahui sejauh mana pemahaman mereka mengenai isi dongeng yang telah disampaikan. 4. Kegiatan penutup. Pada sesi ini, anak-anak diajak untuk menyimpulkan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam dongeng tersebut. Menurut Alterio & McDrury (2002), tahapan proses belajar melalui dongeng, yaitu: 1) Menyampaikan suatu konsep yang belum diketahui oleh pendengar; 2) Berusaha menyampaikan konsep atau ide-ide dari cerita tersebut kepada pendengar; 3) Masing-masing peserta memiliki makna atas konsep yang disampaikan, hingga kemudian; 4) Membentuk sikap; dan 5) Merubah perilaku melalui proses belajar. 28
Dongeng yang didengar oleh anak mampu berperan sebagai sumber informasi yang dapat menambah ataupun memperluas pengetahuan anak. Dalam penelitian ini, proses terbentuknya pengetahuan melalui dongeng yang disampaikan oleh guru pada anak usia dini (5-6 tahun) dapat dilihat melalui teori pemrosesan informasi yang dikemukakan oleh Atkinson dan Shiffrin (dalam Slavin, 2012). Pada proses tahap pertama, dongeng yang disampaikan oleh guru akan diterima oleh indera pendengaran (sensory register) anak. Guru berusaha menarik perhatian anak dengan menunjukkan gambar sebagai pembuka dongeng lalu memunculkan rasa ingin tahu anak mengenai isi dan akhir cerita dari dongeng tersebut. Tahap yang kedua, setelah selesai menyampaikan dongeng, maka guru melalukan pengulangan terhadap informasi-informasi yang telah diterima anak melalui indera pendengarannya. Pengulangan tersebut dilakukan guru dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan pada anak mengenai isi dongeng beserta nilai-nilai yang terkandung dalam dongeng tersebut (working memory/ short-term memory). Setelah itu, maka informasi tersebut akan diteruskan ke dalam long-term memory dan kemudian disimpan dalam ingatan anak sebagai pengetahuan mengenai nilai-nilai suatu karakter. Dongeng yang digunakan dalam penelitian ini merupakan dongeng bertema “Aku Anak Hebat” yang terdiri dari sepuluh judul dongeng. Setiap dongeng memuat nilai-nilai yang mencerminkan karakter tangguh (komitmen, kontrol, dan tantangan). Tokoh-tokoh dalam dongeng digambarkan sebagai anak-anak yang memiliki karakter tangguh (ketangguhan) dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari, sehingga dinilai sebagai anak yang hebat, yakni anak yang mampu berperan serta aktif pada setiap 29
aktivitas yang sedang dilakukan, bersedia menyelesaikan setiap aktivitas yang telah dilakukan, memiliki inisiatif dan alternatif dalam mengatasi kesulitan maupun hambatan yang sedang dialami, pantang menyerah saat menghadapi kegagalan dalam mencapai tujuan, bersikap positif terhadap perubahan yang terjadi dalam hidupnya, dan bersedia untuk mencoba hal-hal baru dalam hidupnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Metode Dongeng “Aku Anak Hebat” dalam meningkatkan pengetahuan anak usia dini mengenai karakter tangguh. Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat perbedaan tingkat pengetahuan mengenai karakter tangguh antara anak-anak yang memperoleh Metode Dongeng “Aku Anak Hebat” dengan anak-anak yang tidak memperoleh Metode dongeng “Aku Anak Hebat.” Anak-anak yang memperoleh Metode Dongeng “Aku Anak Hebat” memiliki tingkat pengetahuan mengenai karakter tangguh yang lebih tinggi dari pada anak-anak yang tidak memperoleh Metode Dongeng “Aku Anak Hebat”, dan terdapat peningkatan pengetahuan mengenai karakter tangguh pada anak-anak setelah mereka memperoleh Metode Dongeng “Aku Anak Hebat.”
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan keilmuan psikologi, khususnya psikologi pendidikan dalam usaha mengembangkan pendidikan karakter melalui metode dongeng. Manfaat praktis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi para pendidik (guru) taman kanak-kanak (TK) dalam menerapkan pendidikan karakter di sekolah, khususnya melalui metode dongeng untuk meningkatkan pengetahuan anak usia dini
30