WALASUJI ISSN: 1907-3038 Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 4, No. 2, Desember 2013
TOMAKAKA: DEMOKRASI LOKAL DAN KEKUASAAN TOMAKAKA: LOCAL DEMOCRATION AND POWER
Muh. Yamin Sani Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin Kampus Tamalanrea Km. 10 Makassar
[email protected] Diterima: 11 Juli 2013; Direvisi: 7 Oktober 2013; Disetujui: 27 November 2013 ABSTRACT This aim of this research was to describe the political system Ilan Batu, the kingdom, to reveal the knowledge and local wisdom Ilan Batu that serves to drive the social dynamics of the community, and to reveal the local legal system is set up so that people’s lives able to be a more peaceful society.In this study it was revealed, that the traditional leadership To Ilan Batu actually UHÀHFW a lot about cultural wisdom in managing the social life of citizens with dignity and justice. Tomakaka as traditional leaders chosen and supported by people with certain conditions, and only the EHVWTXDOL¿HG person acting department Tomakaka. And with its credibility and integrity, causing Tomakaka able to lead the country in peace and dignity. Keywords: tomakaka, local democracy, power ABSTRAK Penelitian ini bertujuan (1) untuk mendeskripsikan sistem politik masyarakat Ilan Batu, masa kerajaan, (2) untuk mengungkapkan pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat Ilan Batu yang berfungsi menjadi penggerak dinamika sosial masyarakat dan (3) untuk mengungkapkan sistem hukum lokal yang menata kehidupan masyarakat sehingga mampu menjadi masyarakat yang lebih damai. Dalam penelitian ini terungkap, bahwa kepemimpinan tradisional To Ilan BatuVHMDWLQ\DPHUHÀHNVLNDQEDQ\DNKDOWHQWDQJNHDULIDQEXGD\DGDODPPHQDWDNHKLGXSDQVRVLDOZDUJD masyarakat secara bermartabat dan berkeadilan. Tomakaka sebagai pemimpin tradisional dipilih dan didukung oleh masyarakat dengan syarat-syarat tertentu, dan hanya orang terbaiklah yang memenuhi syarat memangku jawaban Tomakaka. Dan dengan kredibilitas dan integritas yang dimilikinya, menyebabkan Tomakaka mampu memimpin negeri secara damai dan bermartabat. Kata kunci: tomakaka, demokrasi lokal dan kekuasan
PENDAHULUAN
K
ekuasaan sejatinya adalah imanen, dan selalu ada dalam urusan manusia. Hal ini disebabkan manusia adalah hewan politik, sehingga dalam pengertian paling dasar kekuasaan selalu terkait dengan politik untuk mendapatkan sesuatu melalui cara-cara tertentu. Menurut Mc
Glynn dan Arthur (2000:3), dalam membangun kekuasaan itu, elit-elit lokal mengembangkan organisasi politik, yaitu sarana yang digunakan oleh masyarakat untuk memelihara tata tertib yang memungkinkan penguasa memperoleh dukungan secara luas. Haviland (1988:159) mengemukakan, organisasi seperti itu mungkin terdesentralisasi
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— dan bersifat informal, seperti pada masyarakat kecil, kaum maupun kelompok-kelompok etnik yang dipimpin oleh kepala suku atau raja. Dengan demikian, organisasi politik merupakan suatu hubungan sosial mengenai koordinasi dan pengaturan perilaku, sejauh perilaku itu ada hubungannya dengan pemeliharaan tata tertib umum. Pentingnya organisasi politik, karena dalam masyarakat rumpun WULEH yang terisolasi dan stabil selalu muncul permasalahan tertentu, dan permasalahan tersebut hanya dapat dipecahkan melalui aturan-aturan, maupun tugas-tugas yang tegas (Keesing, 1992:38). Artinya, dalam setiap kekuasaan dan kepemimpinan selalu terdapat sebuah mekanisme kontrol sosial yang berfungsi menjaga tata tertib masyarakat, sekaligus menjadi sarana untuk melegitimasi kekuasaan para penguasa. Tulisan ini sedikit memaparkan tentang Tomakaka, penguasa masa lalu yang menjalankan kepemimpinan tradisional pada komunitas To Ilan Batu yang berada dalam wilayah Kecamatan Walenrang, Kabupaten Luwu. Kepemimpinan WUDGLVLRQDO WHUVHEXW MXJD PHUHÀHNVLNDQ SUDNWLN demokrasi lokal yang menyebabkan Tomakaka mendapatkan dukungan masyarakat secara penuh. Penelitian ini tergolong dalam tipe penelitian deskriptif, yakni tipe penelitian yang diupayakan untuk memberi suatu uraian deskriptif mengenai realitas sosial suatu komunitas yang memiliki relevansi sosio-antropologis (Vredenbreght, 1978:34). Penelitian dilakukan pada komunitas sebuah desa bernama Desa Ilan Batu Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu, dengan teknik pengumpulan data berupa: (1) Wawancara, dan (2) Observasi. Wawancara dilakukan terhadap informan, di antaranya adalah kepala desa yang juga seorang turunan Tomakaka dan beberapa orang tokoh masyarakat. Sementara observasi dilakukan dengan mengamati lingkungan permukiman, dan situasi keseharian masyarakat. Pemilihan informan yang tepat dapat membangun kerjasama untuk menghasilkan deskripsi kebudayaan yang baik
(Spradley, 1997:35). PEMBAHASAN To Ilan Batu di Dataran Tinggi Walenrang Luwu Ilan Batu, sebuah desa tua dalam wilayah Kecamatan Walenrang Kabupaten Luwu. Desa ini diapit oleh gunung (buttu) Serre, Buttu Batawase, Buttu Sikuku dan Buttu Sangapuntak sehingga terkesan terisolir. Padahal desa Ilan Batu hanya berada kurang lebih 9 km dari ibukota Kecamatan Walenrang; Batu Sitanduk yang menjadi kota kecamatan atau kira-kira lebih kurang dari 30 km dari Kota Palopo. Penduduk desa yang dikenal sebagai To Ilan Batu adalah masyarakat asli desa tersebut. Mereka mendiami wilayah Ilan Batu secara turun temurun, jauh sebelum Belanda tiba di Luwu. Desa Ilan Batu karenanya adalah sebuah desa tua yang dihuni sejak dahulu kala oleh nenek moyang To Ilan Batu. Dalam mitologi, nenek moyang To Ilan Batu berasal dari sebuah gua batu bergelar “Datu Tau” atau raja manusia. Keturunan Datu Tau inilah kemudian beranak-pinak dan memerintah dengan gelar Tomakaka. Pemerintahan Tomakaka dapat disebut sebagai pemerintahan monarchy. Menurut Balandier (1986:178), sistem politik monarchy menyebabkan penguasa senantiasa diharapkan memberi perlindungan yang pada gilirannya menciptakan hubungan patron-klien. Sistem kekuasaan yang patrimonial ini mendasari budaya politik yang DI¿UPDWLYH, yaitu budaya kerajaan. Namun demikian budaya kerajaan pada masyarakat Ilan Batu, tidak selalu berkonotasi negatif. Hal ini disebabkan pemerintah Tomakaka, juga didasari oleh praktik demokrasi lokal yang mendapat legitimasi masyarakat. Pada umumnya masyarakat Ilan Batu beragama Islam, kecuali orang Toraja sebagai pendatang yang beragama Kristen. Pendidikan agama Islam dilakukan melalui pengajianpengajian keluarga dan mendidik sendiri anakanaknya. Hal ini dapat dimaklumi karena wilayah ini pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an
7RPDNDND'HPRNUDVL/RNDO... Muh. Yamin Sani
pernah menjadi basis gerombolan DI/TII. Sebuah gerakan separatis yang memperjuangkan berdirinya syariat Islam yang dipelopori oleh Kahar Muzakkar. Seorang putra Luwu sendiri sehingga memiliki banyak simpati, khususnya oleh penduduk di daerah pegunungan. Letak wilayah yang relatif terpencil, menyebabkan tingkat solidaritas warga cukup tinggi. Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu dan anak-anak yang dilahirkan dari hubungan perkawinan dalam komunitas To Ilan Batu disebut sang erunan. Sedangkan hubungan kekerabatan yang lebih luas H[WHQGHG IDPLO\ disebut sang ongi. Dalam keluarga luas terdapat golongan kerabat dekat yang disebut bati mendapi atau rengke kale. Sementara keluarga luas yang relatif jauh, disebut bati mambella. Keluarga inti maupun keluarga luas berada dalam suatu rumpun kerabat yang disebut sang rupu. Jika dalam keluarga inti tinggal bersama beberapa anggota keluarga dalam suatu rumah tangga, disebut sang kurin. Hubungan-hubungan kerabat tersebut, baik dalam bentuk keluarga inti maupun keluarga luas, sangat berpengaruh terhadap aktivitas sosial ekonomi, maupun dalam menjalankan fungsi keagamaan dalam komunitas. Selain itu, masyarakat pedesaan di Ilan Batu mempunyai kewajiban untuk memerankan fungsi-fungsi tersebut berdasarkan jenis kelamin dan berdasarkan usia. Namun demikian, dalam bidang pekerjaan tertentu, seperti penanaman PHWDUXN dan penuaian padi sawah, para penuai WRPHSDUH¶) dapat saja dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki. Pekerjaan yang dirasa lebih berat, seperti penebasan, penebangan dan pembakaran pohon dan semak-semak, semua dilakukan oleh lakilaki. Dalam proses pekerjaan tersebut, perempuan hanya membantu mempersiapkan makanan untuk dikonsumsi oleh para pekerja. Sebaliknya pekerjaan yang berhubungan dengan persiapan dan memproses bahan makanan, pemeliharaan dan pekerjaan lainnya di sektor rumah tangga, dilakukan oleh perempuan secara bertanggung jawab.
Hubungan kekerabatan dalam komunitas To Ilan Batu berfungsi untuk menjalankan lembaga distribusi tradisional yang memungkinkan terpeliharanya tatanan kehidupan komunitas secara tertib. Seorang warga atau anggota keluarga tidak akan mati kelaparan di desa karena kekurangan pangan. Hal ini disebabkan, warga atau anggota kerabat lainnya yang merasa memiliki persediaan bahan makanan yang masih tersimpan di palipu, batutu dan alang atau tempat penyimpanan padi ladang, pasti akan diberikan kepada siapapun di antara warga yang memerlukan. Lembaga distribusi tradisional yang dikenal dengan nama me’bobbo menjamin terciptanya suatu tatanan kehidupan yang berkeadilan. Walaupun apa yang diberikan itu harus dikembalikan pada waktuwaktu yang akan datang, itu bukan masalah. Hal ini disebabkan karena warga atau kerabat yang menerima bantuan atau pinjaman tersebut amat bertanggung jawab sehingga ia merasa berkewajiban untuk mengembalikannya tanpa harus ditagih. Distribusi ekonomi dalam komunitas rumpun menurut Claessen (1987:81) dijalankan berdasarkan landasan material kepemimpinan tradisional melalui prinsip penggunaan organisasi ketenagaan di bidang produksi dan distribusi yang selanjutnya melahirkan kelompok-kelompok sosial yang kemudian mengesahkan dan mengkoordinasikan kegiatan berdasarkan sistem nilai dan kepercayaan local, dan fenomena ini terjadi pada komunitas Ilan Batu. Tomakaka: Elit Lokal di Tana Luwu Tomakaka, sejatinya adalah penguasa yang diakui oleh para warga masyarakat, dan karenanya mendapat legitimasi untuk menjadi pemimpin atau kepala suku. Sudah barang tentu, pengangkatan atau pemilihan Tomakaka sebagai kepala suku, bukan tanpa syarat. Uraian lebih lanjut tentang Tomakaka dikemukakan sebagai berikut (Sallatang dan Sani, 2000:39). a. Kepemimpinan Tomakaka Kepemimpinan Tomakaka dalam komunitas
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— To Ilan Batu, hanya dapat dipahami dari perspektif mitologi asal-usul To Ilan Batu itu sendiri. Dalam mitologi, To Ilan Batu berasal dari sebuah gua batu yang dihuni oleh Datu Tau yang menjadi nenek moyang To Ilan Batu. Ilan Batu berarti di dalam, sedang batu diartikan sebagai sebuah lubang dalam batu. Jadi To Ilan Batu berarti orang yang berada di dalam gua batu yang sampai saat ini gua tersebut masih dapat disaksikan di Desa Ilan Batu. Di luar gua batu, tinggallah raja kera 'DWX6HED raja babi 'DWX%DL raja semut 'DWX6LUULQ), serta jin-jin di alam tersendiri. Menurut yang empunya cerita 2VRQJ makhluk-makhluk jin tunduk pada Datu Tau karena kesaktiannya. Pada suatu ketika, turunan Datu Tau berpindah dari gua batu ke sebuah permukiman baru di Gunung Bolong %XWWX %RORQJ yang saat ini menjadi salah satu dusun dalam wilayah Desa Ilan Batu. Di permukiman baru ini, mereka mendirikan rumah-rumah sederhana yang disebut kalalumba. Bentuk rumah yang disebut kalulumba inilah kemudian berkembang menjadi rumah yang disebut Lantang tuko. Dalam perkembangannya kemudian, rumah-rumah yang dulu hanya dirakit dengan tali-temali dan dahan-dahan kayu serta alang-alang, kemudian lebih berkembang lagi karena telah dibangun dengan sentuhan teknologi pahat. Rumah ini disebut sebagai banua sedangkan rumah Tomakaka disebut banua pa’rada atau rumah besar yang diberi cat berwarna. Cat tersebut konon dibuat dari kikisan batu yang berwarna-warni. Diceritakan kemudian, adanya seorang perempuan di Kampung Bolong yang turun dari langit (Tomanurung). Tomanurung inilah kemudian dipersunting oleh salah seorang anak dari penguasa setempat, yakni keturunan Datu Tau. Keturunan mereka ini kemudian memerintah di tiga wilayah yang berbeda dengan gelar yang berbeda pula. Tomakaka adalah gelar bangsawan yang memimpin penduduk di wilayah pegunungan, sementara yang bergelar Datu dan Ma’dika memerintah di wilayah lain, termasuk di daerah pesisir. Konon, pada zaman dahulu kelompokkelompok masyarakat di wilayah pegunungan
masih hidup demikian sederhananya. Namun demikian, mereka telah memiliki identitas budaya yang menjadi sarana perekat dan mempedomani jalan hidup mereka. Sementara Tomakaka yang menjadi pemimpin tradisional, menjadi simbol pemersatu yang dipatuhi oleh masyarakatnya. Menurut Laksono (1985:34) sebenarnya pada masyarakat lain, seperti masyarakat Jawa, sadar bahwa kedudukan seseorang, termasuk raja dalam tatanan dunia ditentukan oleh faktor-faktor esensial imanen karena terpengaruh oleh hal-hal berdimensi supranatural. Hal yang sama terjadi pada masyarakat Ilan Batu yang berkembang dari bentuk-bentuk kelompok yang sederhana menjadi suatu kerajaan lokal di wilayah pegunungan. Kerajaan tersebut berada di bawah kepemimpinan Tomakaka sebagai kepala suku. Walaupun Tomakaka adalah elit lokal yang berasal dari keturunan pemimpin tradisional sebelumnya, tetapi pengangkatannya dilakukan secara demokratis oleh masyarakat. Jabatan sebagai Tomakaka adalah jabatan tertinggi dalam komunitas sehingga kepadanyalah masyarakat mengharap atau memperoleh perlindungan, rasa aman dan keadilan dalam menjalani hidup keseharian. Karenanya, ada beberapa hal penting yang menjadi pertimbangan dalam pengangkatan Tomakaka, yaitu: (1) Tomakaka harus berasal dari turunan Tomakaka atau kajajian, (2) Tomakaka harus mempunyai NHGHZDVDDQ EHU¿NLU \DQJ GLVHEXW kamatuaan, (3) Harus memiliki kekayaan atau kasugiran, (4) dan memiliki kebijakan dan kepintaran atau kakainawaan, (5) memiliki keberanian atau kabaranian (6) serta memiliki rumpun keluarga yang besar (ma’rapun). Dalam hal ini seorang Tomakaka dianggap sebagai “Tau memanna massipa tau meman” yang artinya, Tomakaka sebagai keturunan orang baik-baik dengan sifatsifatnya yang juga baik (Ervina, 2004:27). Demokratisasi dalam pengangkatan Tomakaka, membangun kesadaran masyarakat, bahwa pemimpin mereka memiliki kelebihan dan keistimewaan, sehingga perintah Tomakaka harus
7RPDNDND'HPRNUDVL/RNDO... Muh. Yamin Sani
dipatuhi. Karena itu pula, dalam menduduki jabatan sebagai Tomakaka harus dilegitimasi melalui sebuah upacara sakral. Dalam upacara tersebut, Tomakaka akan mengenakan ikat kepala SDVVDSX sebagai suatu simbol kebesaran. Tomakaka sebagai pemimpin kaum, perannya demikian penting dalam komunitas. Kepemimpinan tradisional ini biasa juga disebut kepala kaum atau kepala suku 7RNDVXNXDQ yang berkewajiban untuk menegakkan keadilan sosial dan memberi rasa aman serta menjamin agar situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan tetap harmonis. Aparat Tomakaka yang paling utama adalah Tomatowa. Tomatowa yang kedudukannya di bawah Tomakaka, berperan membantu jalannya pemerintahan tradisional, seperti mengatur kehidupan masyarakat, menjaga terlaksananya adat-istiadat, termasuk berperan dalam menyelesaikan pertentangan antar warga dalam komunitas. Tomatowa adalah orang yang dituakan dan karena pengetahuan dan pengalamannya ia amat dihormati dan disegani oleh warga masyarakat. Namun demikian, pandangan dan saran-saran berkenaan dengan fungsinya dalam masyarakat, senantiasa disampaikan terlebih dahulu kepada Tomakaka untuk dipertimbangkan, sebelum diputuskan. Hal ini penting, karena setiap keputusan secara otomatis memiliki kekuatan hukum dan karena itu harus dilaksanakan. Sanksi dari sebuah pelanggaran, harus berlaku umum kepada semua warga, tanpa mengenal siapapun, termasuk kepada keluarga dan kerabat Tomakaka sendiri. Karena itu pula, sanksi tersebut harus bersifat konsisten manakala peristiwa serupa terjadi. Dengan demikian, hukuman yang diberikan akan senantiasa memiliki rasa keadilan. Pembantu Tomakaka lainnya dalam menjalankan pemerintahan tradisional adalah Bungalalan. Dalam komunitas To Ilan Batu, Bungalalan dikenal sebagai orang yang memiliki sistem pengetahuan lokal tentang pertanian. Pengetahuannya tentang astronomi memungkinkan Bungalalan untuk mengetahui tentang masalah cuaca, sementara pengetahuannya tentang ruang
dan waktu menyebabkan Bungalalan dimintai pendapatnya untuk menentukan hari-hari baik untuk membuka ladang atau menanam. Demikian juga halnya dengan masalah hama tanaman, Bungalalan adalah orang yang biasa diminta untuk memecahkan masalah tersebut. Tometari adalah pembantu Tomakaka yang berperan untuk menjaga agar kampung tetap dingin sehingga terhindar dari bahaya dari penyakit tertentu atau hal-hal yang memungkinkan terjadinya bencana bagi masyarakat. Sementara Tomainawa yang juga disebut sandro berfungsi untuk memberikan pengobatan kepada para warga yang menderita penyakit tertentu. Baik karena penyakit yang disebabkan oleh masalah biasa, maupun penyakit yang terjadi karena magis. Pa’takin bertugas khusus menjaga keamanan Tomakaka maupun warga kampung lainnya. Karena itu, kemanapun Tomakaka pergi Pa’takin harus bersiap mengawalnya. Hal ini disebabkan keselamatan Tomakaka adalah tanggung jawab Pa’takin. Dia ini dapat dikatakan sebagai ajudan Tomakaka. Namun demikian, mereka bukan sebagai ajudan biasa, karena Pa’takin pun biasa diberi tugas oleh Tomakaka untuk mengatasi dan menjaga keamanan warga desa secara bertanggung jawab. Harmonisasi kehidupan warga desa, sedikit banyaknya ditentukan oleh hasil kerja Pa’takin ini. Seorang pembantu Tomakaka yang tidak kurang penting adalah Ana Tomakaka yang diberi tugas untuk membantu Tomakaka dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Termasuk membantu Tomakaka untuk menyampaikan perintah-perintahnya kepada para warga. Ana Tomakaka berkewajiban menyebarluaskan informasi penting kepada rakyatnya. Jika Tomakaka memerintahkan rakyatnya bergotong royong memperbaiki jalanan (PDMDPDEDWD¶WDQD maka paling tidak tiga hari sebelum tiba saatnya bergotong royong, Ana’Tomakaka akan menyuruh pembantu-pembantunya menyampaikan informasi tersebut secara detail kepada warga sehingga para warga dapat mempersiapkan diri dengan baik, termasuk mempersiapkan bahan makanan yang
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— diperlukan selama berlangsungnya pekerjaan tersebut. Ana’Tomakaka juga bertugas untuk menetapkan besar kecilnya bagian dari hewan yang harus diberikan kepada para pemangku adat, termasuk kepada Tomakaka dan Tomatowa. Setiap pemotongan kerbau, Tomakaka akan mendapat bagian tulang punggung EDVVHEDVVH hati DWH dan bagian perut. Sementara Tomatowa akan mendapat bagian limpah EDMD hati DWH bagian perut WHPEXVXPXVX dan sedikit bagian punggung EDVVHEDVVH %XQJDODODQ akan memperoleh bagian daging lainnya, demikian pula Pa’Takin dan Ana’Tomakaka, serta bagian untuk Tometari maupun Tomeinawa. Tomakaka sebenarnya tergolong keluarga yang memiliki kekayaan NDVXJLUDQ dalam komunitasnya. Namun demikian, rakyatnya senantiasa berusaha memperlihatkan rasa baktinya dengan memberikan sebagian hasil-hasil bumi yang dihasilkannya kepada Tomakaka. (Hijjang,1998:54). Nilai-nilai budaya kepemimpinan Tomakaka dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Baik dalam bertutur kata (malabbi pau), yang ditandai dengan sifat-sifat seperti: baik dalam memulai percakapan (mawelo penawa), orang yang santun (malamma kada-kada), orang yang memegang teguh perjanjian (mabbicara totosik), orang yang tidak iri hati (to tang malambe nawa-nawa). (2) Baik dalam perbuatan (malabbi kedo) yang ditandai oleh sifat seperti: berpandangan luas (kaluwa nawa-nawa), melihat jauh ke depan (kalando pikkiri), berdiri di atas kebenaran (mattowe kantonganan), orang yang memberi perhatian penuh kepada (tau mammesa penawa to tau buda), amannya negri (kasalamaran wanua), memperhatikan berbagai syarat utuhnya agama (mapasande dio sara), orang yang tak akan merusak persatuan dan kesatuan, orang yang menyayangi rakyat banyak (tau kamasei kaunangna), orang yang tak
merampas tanah orang lain. (3) Baik dalam bertindak (malabbi gau), yang ditandai oleh sifat-sifat seperti: orang yang tidak berkhianat (tau tang massipa malacui), orang yang selalu berjalan pada jalan kebenaran (tau sande dio katonganan), orang yang tidak mau menyebabkan terjadinya perpecahan (tau tang bali balla’), orang yang takut pada Tuhan (tomataku dio puang), baik dalam berniat (maballo ateka), berbudi luhur (mangampe bulawan), berhati ikhlas (malambu penawa), berpikir yang jernih PDSSLQDZDZHOR teguh pada keputusan (tau tang PDEELFDUDSHQGXDQ tegas dalam pendirian SDVVXNDLVXNX¶QD Dalam pandangan masyarakat, Tomakaka menjadi tempat bergantung dan berlindung bagi masyarakat. Apabila terjadi sesuatu perselisihan di antara keluarga atau kerabat, maka Tomakaka selalu berperan menyelesaikan perselisihan tersebut. Dalam penyelesaian itu, Tomakaka akan bersikap adil, jujur sehingga dapat mengambil keputusan yang seadil-adilnya. Karena itu pula, Tomakaka diminta pendapatnya tentang banyak hal, seperti perkawinan, mulai dari proses pelamaran sampai dengan penentuan hari, waktu yang baik dan jam pernikahan, maupun tentang hal-hal lain dalam kehidupan sosial. Sementara untuk meningkatkan kemajuan masyarakat, Tomakaka berperan untuk mengadakan kegiatan -kegiatan di antara keluarga dan kerabat agar dapat mempererat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan. Di samping itu, keluarga dan kerabat tetap menjunjung tinggi kehormatan Tomakaka, dan tidak akan membicarakan kejelekannya WHUOHELKXQWXNPHP¿WQDKQ\D+DOKDOVHSHUWLLQL sangat dipantangkan dalam komunitas To Ilan Batu. E 3ULQVLS 3HQHJDNDQ +XNXP 'DODP Pemerintahan Tomakaka Beberapa prinsip hukum yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat Ilan Batu oleh
7RPDNDND'HPRNUDVL/RNDO... Muh. Yamin Sani
(Sallatang dan Sani, 2000:43) 6LORQGRQJDQ Dalam menyelesaikan perkara, akan dijalankan berdasarkan prinsip silondongan, dimana masing-masing orang yang bertikai menyiapkan ayam jantan. Setelah ayam jantan diperoleh, mereka kemudian kembali kepada Tomatowa yang juga dihadiri oleh Tomakaka dengan aparatnya yang lain. Ayam jantan kemudian dimantrai oleh Tomainawa sebelum ayam jantan tersebut dilepas atau diadu. Ayam yang kalah akan lari atau bahkan mati. Pemilik ayam jantan yang lari atau mati dengan sendirinya dinyatakan sebagai pihak yang bersalah. 6LSDNRNR Prinsip penegakan hukum dengan cara sipakoko, dilakukan oleh pemangku adat dengan mendirikan dapur khusus. Di situ terdapat tungku dan sebuah kuali tanah XULQJWDQD Kuali tersebut kemudian diisi air dengan sebuah batu kali di dalamnya lalu memasaknya sampai air tersebut mendidih. Pada saat itulah Sandro atau Tomainawa memantrai air dalam kuali itu. Setelah air dimantrai, kedua orang yang bersengketa itu disuruh secara bergantian memasukkan tangannya ke dalam kuali. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, ada salah seorang pihak yang bersengketa yang enggan memasukkan tangannya dalam kuali karena memang merasa bersalah. Kedua, jika salah seorang yang bersalah memasukkan tangannya ke dalam kuali, maka tangan orang bersalah akan melepuh terkena air mendidih. Sebaliknya, pihak yang tidak bersalah tidak akan gentar sehingga mampu mengambil batu dalam kuali yang berisi air panas tanpa mengalami cedera sedikit pun. 6LWDQDPDQ%DUUD Dalam menjalankan prinsip sitanaman barra, pemangku adat memberikan segenggam
beras yang telah dimantrai oleh Tomainawa dengan jumlah yang sama kepada masingmasing pihak yang bersengketa. Segenggam beras kemudian harus dikunyah oleh pihak yang bersengketa sampai beras tersebut hancur dalam mulut. Kunyahan beras yang telah berair dalam mulut kemudian dimuntahkan ke masing-masing lengan pihak yang bersengketa. Siapa diantara mereka yang air liurnya meleleh lebih panjang, akan menjadi indikasi kebenaran. Sementara lainnya dianggap bersalah dan harus dikenai sanksi hukum. Dalam berbagai kejadian, ada kemungkinan seseorang akan mengunyah beras lebih lama, tetapi tidak akan menghasilkan air liur dari mulutnya bahkan tetap saja mulutnya kering karena dia adalah orang yang bersalah. 6LXNNXQDQ Prinsip siukkunan dilaksanakan di sungai yang airnya tenang tetapi dalam OLNX Dalam kesempatan memutuskan perkara tersebut juga dihadiri para pemangku adat, khususnya Tomakaka, Tomatowa dan Tomainawa yang disaksikan oleh warga setempat. Dalam pelaksanaan Siukkunan, kedua pihak yang bersengketa dimantrai oleh Sandro atau Tomainawa, kemudian disuruh membenamkan kepalanya ke dalam sungai secara serempak bersamaan. Pihak yang bersalah tidak mampu mempertahankan kepalanya berlama-lama dalam air sehingga akan segera mengangkatnya. Hal ini menjadi pertanda bahwa orang tersebut yang bersalah. Berbeda halnya pada orang yang tidak bersalah, mampu membenamkan kepalanya dalam air lebih lama, sampai pemangku adat memberinya tanda untuk mengangkat kepalanya. 6LSHSDGGXDQ Dalam melaksanakan prinsip sipepadduan, kedua belah pihak yang bersengketa diharuskan membawa ayam besar atau kecil.
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— Kedua ayam tersebut kemudian dimantrai dan dipotong oleh Tomainawa. Setelah ayam dipotong, ayam tersebut dikuliti dan dibakar, kemudian dipotong-potong VDPSDQ sampai menemukan bagian perutnya untuk diambil empedunya. Ayam dengan empedu yang paling besar dianggap sebagai pemenang perkara, sementara pemilik ayam dengan empedu kecil dianggap kalah. Dalam sipepadduan ini, ayam lebih besar belum tentu empedunya juga lebih besar. Konon empedu ayam tersebut akan membesar akibat mantra sehingga perkara dapat dimenangkan oleh pihak yang benar. Sanksi yang diberikan kepada pihak yang bersalah, tergantung kepada berat ringannya kesalahan yang diperbuat. Namun demikian, dalam komunitas To Ilan Batu pada umumnya pemberian sanksi kepada mereka yang melanggar hukum adat, paling ringan adalah denda atau sanksi pemotongan hewan berupa ayam dan kerbau. Dahulu, juga dilakukan pemotongan babi. 1* Pemotongan hewan, khususnya kerbau tidak dipotong sembarangan, tetapi dilakukan secara seremonial oleh Tomainawa selaku dukun kampung di hadapan para pemangku adat lainnya seperti Tomakaka, Tomatowa, Bungalalan dan aparat lainnya. Pemotongan hewan dilakukan di tempat-tempat khusus bersama keluarga terhukum dan warga lainnya yang ikut menyaksikan peristiwa tersebut. Di tempat ini, si terhukum disumpah oleh Tomainawa atas nama dewata untuk tidak lagi melakukan pelanggaran yang sama. Sumpah yang dilakukan oleh si terhukum di tempat dan dalam suasana yang sakral, disaksikan oleh pemangku adat dan keluarga serta orang-orang yang hadir di tempat tersebut. Pemotongan kerbau kemudian dilakukan, lalu dikuliti untuk kemudian dimasak dan dimakan bersama. Pelanggaran yang sifatnya berat adalah pelanggaran hukum adat berkali-kali dan pelanggaran terhadap hal-hal yang dianggap sumbang. Mereka ini akan dikenakan hukuman berat dalam bentuk dirambuang langi. Bentuk-
bentuk hukuman seperti ini antara lain adalah dipolai passaluan atau disalangkada, yakni diusir dari lingkungan keluarga. Bahkan dapat dihukum mati dengan cara dipakololoi jali, yakni dibungkus dengan tikar rotan kemudian ditenggelamkan di sungai yang dalam (liku). Ketaatan To Ilan Batu terhadap hukumhukum lokal, sejatinya terjadi karena prinsip hukum tersebut menjadi bagian integral dari adat. Sebagaimana dikemukan oleh Malinowski (1988:3), bahwa pada masyarakat rumpun terhadap penghargaan yang mendalam terhadap tradisi dan adat, suatu ketaatan yang otomatis dan spontan yang juga terjadi karena rasa takut terhadap hukuman gaib. Hal ini dipertegas oleh Claessen (1987:51), bahwa di belakang “atas nama hukum” ada sesuatu kekuatan mistik. PENUTUP Kepemimpinan tradisional To Ilan Batu, VHMDWLQ\DPHUHÀHNVLNDQEDQ\DNKDOWHQWDQJNHDULIDQ budaya dalam menata kehidupan sosial warga masyarakat secara bermartabat dan berkeadilan. Tomakaka sebagai pemimpin tradisional dipilih dan didukung oleh masyarakat berdasarkan persyaratan-persyaratan baku yang hanya orang terbaiklah yang memiliki persyaratan tersebut. Lagi pula para pembantu Tomakaka adalah orang yang mempunyai kredibilitas dan integritas, dan ini menyebabkan kepemimpinan Tomakaka sangat didukung dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Hal ini pula menyebabkan kebijakan-kebijakan yang dijalankan dalam menciptakan kemakmuran dan harmoni sosial senantiasa dipatuhi.
1 Dahulu ketika To Ilan Batu belum memeluk agama Islam, mereka juga mengkonsumsi daging babi. Apalagi populasi babi pada masa lalu cukup banyak.
7RPDNDND'HPRNUDVL/RNDO... Muh. Yamin Sani
DAFTAR PUSTAKA Balandier, George S. 1986. Antropologi Politik (Terj.) Jakarta: Rajawali Press. Claessen., H. J. M. 1987. Antropologi Politik: Suatu Orientasi. Jakarta: Erlangga. Ervina. 2004. Tomakaka Masamba di Luwu Utara. (Skripsi). Makassar: Fisipol Unhas. Haviland A. William. 1988. Antropologi. Edisi Keempat. (Soekodjo. Terj.). Jakarta: Penerbit Erlangga. Hijjang, Pawennari, dkk. 1998. Pengembangan Model Pemukiman Kembali Masyarakat Perambah Hutan di Sulawesi Selatan. Makassar: Universitas Hasanuddin. Keesing, Roger, M. 1992. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga. Laksono, P. M. 1985. Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Malinowski, Bronislow. 1988. Tertib Hukum Dalam Masyarakat Terasing. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mc. Glynn F dan Arthur, Tuden. 2000. Pendekatan Antropologi Pada Perilaku Politik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Sallatang Arifin dan Sani M. Yamin. 2000. Revitalisasi Fungsi dan Peranan Lembaga Sosial di Pedesaan Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan. Spradley P. James. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Vredenbreght, J. 1978. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.