WALASUJI ISSN: 1907-3038 Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 4, No. 2, Desember 2013
PENGEMBARAAN ORANG BAJO DI LAUT NUSANTARA THE ODYSSEY OF THE PEOPLE OF BAJO AT THE SEA
Abd Rahman Hamid Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Kampus UI Depok Jawa Barat, 16424 Telepon (021) 7270009, Faksimile (021) 7270038 Pos-el:
[email protected] Diterima: 9 Juli 2013; Direvisi: 2 Oktober 2013; Disetujui: 25 November 2013 ABSTRACT
This writing describes the odyssey of the people of Bajo in the sea of the archipelago. This writing uses KLVWRULFDOPHWKRGZKLFKLVEDVHGRQWKHOLWHUDWXUH7KH¿QGLQJRIWKHGLVFXVVLRQVKRZVWKDWWKHOLIH of the people of Bajo are inseparable from the sea and boat. In relation with the king and kingdoms in the archipelago, they are very loyal and pragmatic. It is based on the play of their life as nomads ZKRDOZD\VZDQWWREHIUHHDQGQRWKLQJEHQH¿WIRUWKHPLIWKH\UHODWHHDFKRWKHU7KHVHFKDUDFWHULVWLFV make the people of Bajo spread widely and can be found in almost all over the sea of the archipelago. Keywords: the people of Bajo, boat, the sea of the archipelago ABSTRAK Tulisan ini menjelaskan tentang pengembaraan oang Bajo dalam mengarungi laut di nusantara. Tulisan ini menggunakan metode sejarah yng bertumpu pada studi pustaka. Hasil kajian menunjukkan bahwa kehidupan orang Bajo tidak terpisahkan dari laut dan perahu. Hubungannya dengan raja dan kerajaan di nusantara, mereka sangat setia dan pragmatis. Hal itu dilandasi oleh lakon hidup mereka yang ingin bebas sebagai pengembara dan tidak menguntungkan bagi mereka jika berhubungan dengan orang lain. Sifat demikian membuat orang Bajo tersebar luas dan dapat dijumpai pada hampir seluruh laut di nusantara. Kata kunci: orang Bajo, perahu, laut nusantara PENDAHULUAN
P
ada 3 April 2010, harian Kompas menurunkan berita tentang Manusia Perahu. Sejak 12 Maret, terdapat 103 manusia SHUDKX \DQJ GLLGHQWL¿NDVL VHEDJDL RUDQJ %DMDX Palau, diungsikan di sebuah gedung Dinas Sosial Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Mereka
merupakan penghuni 16 perahu, terdiri atas 19 keluarga yang ditangkap oleh Kepolisian Resor Berau ketika melakukan penangkapan ikan di perairan Balaikup, Batuputih Berau, dengan alasan tidak memiliki identitas. Akibat penangkapan itu, mereka sudah tidak bisa melaut. Kebutuhan hidup mereka
121
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— yang selama ini mereka peroleh di laut tidak dapat diperolehnya lagi. Bahkan, kondisi mereka semakin hari semakin terpuruk. Darat bagi mereka adalah tempat yang asing dari kehidupannya di laut dan perahu sehingga mereka ingin kembali ke kampungnya. Imbal, salah seorang wakil mereka yang bisa berbahasa Indonesia, mengimbau kepada pemerintah agar mereka dikembalikan ke laut. Kami belahi nipa balik padi laut (kami hanya mau dikembalikan ke laut), ungkapnya. Namun, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Inspektur Jenderal Matheus Salempang, ketika GLNRQ¿UPDVLPHQJHQDLKDOLWXPHQJDWDNDQDNDQ mengecek terlebih dahulu penanganan masalah ini sebelum mengambil keputusan (Kompas, 5/4/2010). Kelompok manusia perahu itu dipandang sebagai orang Philipina dan Malaysia. Tetapi, kedua negara itu tidak mengakauinya sebagai warga negara. Kini, di antara mereka terdapat empat perempuan yang hamil tua, sementara dua orang lagi kondisinya tidak sehat (perut dan kakinya bengkak). Haruskah mereka meratapi nasibnya yang malang itu? Kisah ini hanya sedikit dari narasi besar kehidupan masyarakat bahari di Indonesia. )DNWDJHRJUD¿VHEDJDLQHJDUDPDULWLPWHUEHVDUGL dunia dan Wawasan Nusantara belum sepenuhnya mewarnai cara pandang dan perilaku kita. Pada masa Orde Baru pemerintah sangat giat mengembangan sektor pertanian dan perkebunan dalam slogan swasembada pangan. Semua kegiatan ekonomis produktif penduduk diarahkan pada pencapaian pembangunan pertanian. Demikian juga pembangunan sarana dan prasarana menunjangnya. Langkah tersebut telah mengeliminasi penduduk dari laut. Mata kita dibatasi menatap ke laut, apalagi melaut. Kita diajak menatap ke darat dan bekerja sepenuh hati, dengan harapan potensi darat lebih menjanjikan masa depan. Meskipun demikian, ternyata tidak sepenuhnya penduduk meninggalkan laut. Orang Bajo misalnya, hingga kini masih eksis dengan cara hidupnya, meski harus menuai berbagai persoalan terutama identitas, wilayah jelajah, 122
dan legalitas aktivitasnya. Berpijak dari wacana tersebut, tulisan ini bertujuan menjelaskan pola pengembaraan orang Bajo dan hubungan mereka dengan penguasa lokal. Proses pengungkapan kisahnya menggunakan metode sejarah dengan bertumpu pada kajian pustaka. PEMBAHASAN %HEHUDSD,GHQWL¿NDVL Dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia terdapat kata Bajau pada entri ke-231. Mereka digambarkan sebagai suku bangsa yang sangat pandai menyesuiakan diri dengan kehidupan laut Nusantara, bahkan sampai perairan Kepulauan Philipina bagian selatan. Mereka berpindah-pindah di perairan laut dan teluk. Sistem pengetahuan mereka tentang laut serta perbintangan sangat luas (Hidayat, 1996:32-34). Ada sejumlah kata yang digunakan oleh orang luar (exonym) untuk menyebut suku pengembara laut ini seperti orang laut, Bajau atau Bajo, Sama, dan Bagai. Kata orang laut telah menjadi nama salah satu suku bangsa di perairan Sumatra Timur dan Selat Malaka, yang corak kehidupannya bergantung pada laut. Mereka tinggal di atas perahu dan hidup mengembara di perairan Provinsi Kepulauan Riau. Dahulu, mereka tunduk kepada Sultan Riau-Johor, tetapi pada abad ke-19 mereka terbagi dua. Sebagian ikut pada sultan dan yang lainnya mengembara di pulau sekitarnya, baik di darat maupun di teluk serta muara sungai atau di laut. Mereka yang disebut terakhir disebut orang laut. Dalam hubungan dengan Riau dan Johor, orang laut dikenal sebagai rakyat laut yang wajib mengayuh dan menyediakan perahu. Karena kewajiban itulah mereka disebut orang kerahan (Lapian, 2009:79). Orang Jawa menyebut mereka Bujuus dan orang Melayu menyebutnya Celates (Cortesao, 1944:227). Di perairan Selat Makassar, mereka dikenal sebagai Bajau atau Bajo. Mereka sendiri menyebut dirinya orang Sama (Zacot 2008). Orang Gorontalo menyebut mereka Bodu. Kata Sammah digunakan bagi suku ini di Pulau Laut Kalimantan Selatan. Orang Eropa menyebut mereka sea gyps
Perkembangan Orang Bajo... Abd. Rahman Hamid
atau sea nomads. Di Kepulauan Sulu, Philipina bagian selatan, mereka disebut Samal Bajau Laut. Kata itu juga digunakan oleh masyarakat di Kalimantan Utara dan Sulawesi. Di bagian timur Sulu, mereka disebut orang Balangingi atau Balangingi Samal, Balanini, Samal, dan Sama. Di bagian barat, mereka dinamakan Bajau Laut atau Bajo, Bajaw, Luwaan, Sama, dan Palau. Mereka dapat dijumpai di dekat pulau-pulau besar seperti Jolo, Pata, Lungus, Siassi, dan Taput. Konsentrasi mereka terutama di kawasan Tawi-Tawi (Warren, 1981:6769). Menurut Lapian (2009), nama-nama tersebut dapat dikembalikan pada tiga bentuk awalnya: orang Laut, Bajau, dan Sama. Warren (1981) menyebutnya The Boat People. Di Myanmar, mereka disebut orang Mawken atau orang yang tenggelam di laut. Sedangkan di Thailand disebut chao nam atau orang air dan chao le atau orang laut (Ahimsa-Putra, 2001:194). Dalam kepercayaan orang Bajo, mereka yang masih hidup di laut disebut orang Sama, dan yang sudah berada di darat dinamakan orang Bagai (Zacot, 2008). ,GHQWL¿NDVL WHUDNKLU LQL PHUXMXN pada ruang kehidupan mereka, antara yang masih di laut dan sudah berada di darat. Perahu dan Keluarga Bajo Fungsi perahu bagi orang Bajo adalah alat transportasi dan rumah. Di atas perahu mereka bersosialisasi, berkeluarga, berketurunan, dan menjaga kebudayan. Masa paling indah ialah ketika mereka di dalam perahu bersama keluarga. Perahu didesain seperti rumah. Meskipun tidak persis sama, karena ruang yang terbatas, namun komponen-komponennya seperti rumah di darat. Zacot (2008) mendeskripsikan dengan baik ‘rumah terapung’ ini. Panjangnya enam sampai tujuh meter, dan lebar satu meter atau lebih. Atapnya terbuat dari daun rumbia kering. Pengaturan dan peralatannya sederhana, namun dapat memenuhi kebutuhan mereka selama mengembara di laut. Bagian pinggir leppa, dari atap sampai badan perahu, ditutupi potongan-
potongan penyekat yang terbuat dari bambu yang dianyam. Beberapa leppa mempunyai cadik. Pada ruang yang memisahkan kedua galah horizontal, yang tegak lurus pada badan perahu, dipasang sebuah panggung yang dapat dipindahkan dan digunakan untuk mengeringkan ikan dan menjemur pakaian. Setiap perahu dihuni oleh seluruh keluarga, berjumlah antara lima sampai tujuh orang. Dua papan di kedua sisinya dipasang memanjang di bagian paling lebar dari badan perahu. Kecuali tempayan air dan tungku api yang ditempatkan di ujung perahu, semua peralatan ditempatkan di bagian dalam perahu. Badan perahu ditutupi papan-papan yang sekaligus berfungsi sebagai lantai perahu. Rumah-rumah perahu berpindah tempat, dengan jarak yang lebih jauh. Karena itulah mereka terpisah dari yang lain, tetapi tidak selamanya. Pada waktu tertentu, mereka kembali menyusuri tapak-tapak kehidupan yang pernah dilaluinya. Mereka sangat terikat pada keluarganya. Sebagai pengembara, mereka menolak segala bentuk kebijakan untuk menetap di suatu tempat dan tunduk kepada penguasa jika tidak menguntungkan.Mereka menyadari bahwa di akhir pengembaraan mereka terdapat desa Bajo lainnya (Zacot, 2008:131). Kehidupan keluarga Bajo dalam sebuah leppa terdiri atas beberapa keluarga inti. Juga kerap diperluas dan terdiri atas ipar-ipar, sepupu-sepupu, dan sebagainya. Untuk memudahkan pengertian dan hubungan-hubungan antara anggota keluarga tersebut, berikut tiga kategori keluarga Bajo. 1. Bares yakni keluarga dalam arti umum, dibedakan atas bares teo (keluarga jauh) dan bares tutuku (keluarga dekat). Alas kategori ini adalah budaya. 2. Dapparanakan ialah sebuah keluarga yang tinggal dalam satu rumah, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan keluarganya. Simpul konsep ini adalah JHRJUD¿VUXDQJ 3. Dambarisan adalah sebuah keluarga
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— besar atau desa, yang tidak dibatasi oleh pengertian keluarga atau isi rumah (Zacot, 2008:195-196). Peran keluarga inti adalah untuk menjamin keturunan dan pengasuhan anak-anak. Keluarga, atau paling tidak individu, berperan memberikan keturunan dan wajib mempertahankan kehidupan, kebudayaan, dan sejarah Bajo. Kelangsungan budaya merupakan satu-satunya kewajiban bagi setiap orang Bajo (Zacot, 2008:198). Karena itu, ikatan dan interaksi sosial sesama keluarga Bajo harus dijaga terus, dan mengembara merupakan salah satu metode menjaga keutuhan anggota keluarga dan budaya mereka di tengah perubahan zaman. Organisasi sosial orang Bajo menurut Nimmo terbagi tiga unit sosial yang saling berinteraksi, dari yang paling kecil sampai yang besar yaitu: mataan, pagmudah, dan dakampungan (Lapian, 2009:91). Unit sosial pertama, mataan yang terdiri atas satu keluarga inti yakni suami, istri, dan anak-anak mereka yang belum berkeluarga. Mereka menempati satu unit perahu, yang ratarata jumlahnya lima orang. Suami istri yang tidak punya anak biasanya mengambil anak angkat dari keluarganya yang banyak anak. Seorang janda atau duda yang telah lanjut usia tinggal di perahu anak, cucu, kemanakan atau keluarga lainnya. Unit sosial kedua, pagmudah, terdiri atas beberapa mataan atau sekelompok perahu yang berlayar bersama-sama. Biasanya terdapat hubungan kekerabatan yang dekat antara mereka, misalnya suadara kandung dari suami atau istri, atau orang tua bersama anak-anaknya yang sudah berkeluarga dan menempati perahu sendiri. Pemimpin kelompok ini, yang disebut nakura, tidak dipilih secara formal dan bersifat fleksibel. Seorang pemimpin tampil karena sifat-sifat kepemimpinannya serta keahlian dan pengalamannya dalam mengerjakan suatu kegiatan dengan hasil yang baik. Pergantian pemimpin terjadi jika ada perubahan dalam anggota kelompok.
124
Ikatan antara anggota unit sosial ini sangat luwes. Selain karena hubungan kekeluargaan, faktor pembentuk utama ikatan ini adalah kecocokan anggota dan kepentingannya. Setiap anggota dapat berpindah ke unit sosial yang lain, jika dipandang tidak sesuai dengan keinginannya. Meskipun demikian, jika diadakan upacara dari salah satu anggota pagmudah, mereka akan bergabung kembali dengan unit sosial sebelumnya. Unit sosial ketiga, dakampungan, merupakan gabungan dari beberapa pagmudah, yang dipimpin seorang panglima. Tugas utama panglima adalah menengahi perselisihan dan memimpin upacara-upacara besar atau kegiatan yang melibatkan anggota dakampungan. Kedudukan panglima tidak banyak memberikan kekuasaan penuh. Keputusannya dalam suatu perkara, yang kadang mengharuskan pihak yang bersalah membayar denda kepadanya, tidak dilaksanakan. Kadang, kedua pihak memutuskan berdamai dan menyelesaikan masalah di antara mereka. Tidak ada sanksi tegas dari panglima, kecuali pengucilan pihak yang bersalah dari unit sosialnya. Pada kondisi ini, yang bersakutan dapat melepaskan diri dan mencari dakampungan lain sebagai unit VRVLDOEDUXQ\D,QLODKÀHNVLELOLWDVNHKLGXSDQEDJL keluarga Bajo. +XEXQJDQ'HQJDQ3HQJXDVD Asal usul orang Bajo belum diketahui secara pasti. Para peneliti memberikan keterangan berdasarkan tradisi lisan yang berkembang, sehingga kadang muncul beragam pendapat mengenai sejarah mereka. Pendapat umum mengatakan bahwa asal mereka dari Semenanjung Malaka, kemudian bermigrasi ke berbagai penjuru di Nusantara. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka berasal dari Sulawesi Selatan, tepatnya di Teluk Bone. Dari daerah inilah orang Bajo bermula dan menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Lakon kehidupan sebagai pengembara laut mengantar mereka pada ruang kehidupan laut yang sangat luas, tidak hanya di Nusantara tetapi juga mancanegara. Pengembaraan mereka tidak mengenal batas territorial. Arah dan tujuan
Perkembangan Orang Bajo... Abd. Rahman Hamid
pengembaraannya dikondisikan oleh alam dan potensi perikanan yang mereka butuhkan. Pola kehidupan ini menyebabkan jejak masa lalu tidak terekam secara tertulis. Karena itu juga status kependudukan mereka kadang menimbulkan polemik seperti kasus manusia perahu di Kalimantan Timur tahun 2010. 0HVNLSXQSRODKLGXSPHUHNDVDQJDWÀHNVLEHO mereka tetap berinteraksi dengan penduduk di darat, karena tidak semua kebutuhannya diperoleh di laut. Secara khusus pembahasan ini mengaitkan hubungan orang Bajo dengan penguasa-penguasa lokal dan peran mereka dalam hubungan itu. Pada masa Sriwijaya abad ke-7 sampai ke-13, mereka berperan sebagai pasukan laut kerajaan yang bertugas menjaga kedaulatan maritim dan mengerahkan potensi perdagangan di wilayah Sriwijaya. Kapal-kapal yang melintas di periaran laut kerajaan dipaksa singgah untuk membayar pajak. Singkatnya, kebesaran maritim kerajaan ini tidak lepas dari kontribusi orang Bajo (Hamid, 2013:55-56). Peran orang Bajo sangat tampak dalam sejarah Malaka. Parameswara (dari Bukit Siguntang Mahameru, Palembang) bekerja sama dengan orang laut di Semenanjung mendirikan permukiman awal yang kelak menjadi wilayah Kerajaan Malaka pada awal abad ke-15. Terdapat 30 orang laut yang menyertainya ketika pindah dari Singapura (Tumasik) ke Muar.Merekalah yang menemukan tempat di Sungai Bertam yang kemudian menjadi Melaka. Sebagai bentuk balas jasa, Raja Parameswara menjadikan mereka sebagai pembesar negeri (mandarin) atau bangsawan.Semua mandarin Melaka adalah keturunan dari orang laut tersebut (Lapian, 2009:104). Dalam waktu tidak terlalu lama atau sebelum meninggal tahun 1414, Parameswara berhasil membangun Malaka sebagai pusat perdagangan internasional terutama rempahrempah dan bahan-bahan logam. Barang-barang tersebut ditukar dengan sutera dari Koromandel dan Benggala. Usaha itu dibangun dengan taktik paksaan terhadap semua kapal yang melintas
di Selat Malaka, dengan mengerahkan kekuatan orang laut atau Celates (Halimi, 2006:22-23). Andaya (dalam Lapian, 2009) menyatakan orang laut merupakan salah satu komponen vital dalam struktur kekuasaan Kerajaan Malaka dan Johor sesudah sultan, para menteri, dan orang kaya. Loyalitas mereka sangat kuat dan ramah terhadap sultan. Mereka merupakan kekuatan bahari yang sangat diandalkan, baik terhadap ancaman dari luar maupun dari dalam khususnya peningkatan kekuatan orang kaya. Loyalitas orang laut terhadap sultan tidak diragukan. Ketika Malaka dikuasai oleh Portugis tahun 1511, mereka mendukung dan mendampingi Sultan Mahmud Shah menyingkir dari negerinya kemudian ke Muar, selanjutnya ke Johor dan Riau. Penyingkiran itu ternyata tidak menghentikan upaya penghancuran (pengejaran) pasukan Portugis terhadap sultan dan pengikutnya. Pada tahun 1525, sultan diserang dan terdesak oleh Portugis. Akibatnya, sultan harus meninggalkan tempat persembunyiannya. Pada peristiwa ini, sekali lagi orang laut datang menjemput sultan untuk mengungsi ke luar kota. Demikian seterusnya, kesetiaan orang laut ditunjukkan dalam pengabdian mereka pada penguasa Melayu keturunan Parameswara. Ketika terjadi perselisihan dalam Kesultanan Johor tahun 1688, antara Tun Habib Abdul Madjid (Bendahara dengan gelar Sri Maharaja) dan Tun Abdul Jamil (mantan Laksamana, bergelar Paduka Raja), orang laut berpihak pada Sultan Mahmud Shah yang mendukung Bendahara. Tetapi, setelah Sultan Mahmud Shah meninggal dunia tahun 1699 akibat pembunuhan oleh komplotan orang kaya, mereka tidak mau lagi tunduk terhadap Sultan Johor yang tidak sah atau bukan keturunan Parameswara. Karena tindakan itu, orang laut sangat marah dan merencanakan melakukan serangan balik, tetapi tidak terlaksana karena pemimpinnya Sri Bija Wangsa, telah dibunuh oleh orang kaya. Sejak itu, mereka kehilangan tujuan pengabdian. Kebanyakan dari mereka kembali mengembara dan menyebar jauh dari pusat kekuasaan. Posisi mereka di Johor dan Riau semakin terpinggir 125
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— dalam abad ke-18 seiring datangnya orang Bugis dalam percaturan di sana. Peran sentral mereka digantikan oleh pelaut-pelaut Bugis (Lapian, 2009:105-107; Dick-Read, 2008:100). Keberadaan orang Bajo di kawasan timur Nusantara selalu dikaitkan dengan Johor. Dalam cerita rakyat Kalimantan Utara disebutkan bahwa orang Bajo merupakan keturunan dari pelaut Johor yang ditugaskan oleh sultan untuk mengantar putrinya, Dayang Ayesha, ke Sulu. Dalam pelayaran itu, mereka diserang oleh kapal Brunei dan berhasil menculik sang putri. Karena tidak dapat melindungi sang putri, mereka tidak mau kembali ke Johor atau meneruskan pelayaran ke Sulu. Sejak itulah mereka hidup mengembara (Lapian, 2009:108). Asal usul orang Bajo di Kalimantan Timur dikaitkan dengan seorang pangeran Johor. Dikisahkan bahwa saat pangeran berlayar, perahunya diterpa angin topan sehingga tidak bisa kembali. Karena kejadian itu, sultan memerintahkan orang Bajo untuk mencari putranya.Tetapi usaha tersebut tidak berhasil karena mereka juga terbawa oleh angin dan gelombang. Karena tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, mereka akhirnya menetap di perairan antara Kalimantan, Kepulauan Sulu, dan Sulawesi. Sumber lokal di Sulu menyebutkan bahwa orang Samal datang dari Johor. Beberapa dari mereka diambil oleh orang Sulu, dan dibagi ke tiga bagian pulau, sedangkan yang lainnya terdampar di Brunai dan Manguindano. Beberapa waktu kemudian, Karimul Makdum tiba di sana untuk menyiarkan Islam. Kedatangan mereka di sana sebelum runtuhnya dinasti pendiri Malaka pada tahun 1699. Dari sumber Tarsilah diketahui bahwa penyiar Islam di Manguindano, Sarif Kabungsuwan, adalah keturunan putri Johor yang menikah dengan putra Syarif dari Arab. Dari sinilah para datu di Manguindano menganggap diri mereka sebagai keturunan Sultan Johor. Orang Samal sendiri datang bersama Sarif Kabungsuwan (Lapian, 2009:109). Kehadiran orang Samal di Philipina Selatan terekam dalam catatan harian Antonio Pigafetta 126
yang ikut dalam ekspedisi maritim Spanyol pimpinan Ferdinand Magellan tahun 1521. Mereka ditemukan di sebuah pulau, Monoripa, yang hidup di dalam perahu. Sumber lain dari Francisco Combes (1667) yang menyebut mereka sebagai Lutao yakni orang yang berenang dan terapung di air. Menurut Combes, mereka berada di bawah raja-raja Manguindano dan Sulu, serta datu Basilan yang tunduk pada raja-raja tersebut. Peran mereka sangat penting sebagai pembuat perahu dan navigator kapal perang di laut. Mereka menjadi tulang punggung kekuatan maritim kerajaan-kerajaan tersebut (Lapian, 2009:110). Kedekatan orang Bajo dengan penguasa lokal juga tampak dalam sejarahnya di Sulawesi Selatan. Menurut cerita, tempat tinggal mereka di Bone terdapat banyak burung bertelur di atas pohon. Suatu waktu semua pohon itu ditebang. Telur-telur tersebut pecah sehingga menyebabkan banjir. Mereka terpaksa menggunakan pohonpohon tersebut untuk membuat perahu sebagai tempat tinggal mereka. Dengan perahu-perahu itu juga mereka menangkap ikan. Dalam perkembangannya, mereka menikah dengan orang Bone. Relasi kedua suku sangat erat yang disimpul dalam ungkapan “orang Bugis menjadi kakak laki-laki dan orang Bajo menjadi adik perempuan” (Zacot, 2008:77). Pada kisah lain dikatakan bahwa seorang gadis Bajo melarikan diri dari Malaka. Perahunya hanyut sampai di Bone. Di sana dia dipungut oleh raja. Karena sudah beberapa hari tidak kembali, keluarganya pergi mencarinya sampai ke Bone. Ternyata ditemukan bahwa anak itu telah dinikahkan oleh raja dengan putranya. Karena itulah kemudian Raja Bone menghadiahkan kepada mereka sebuah pelabuhan (sekarang Pelabuhan Bajoe). Sejak itu, orang Bajo dan Bugis memiliki adat perkawinan yang sama. Orang Bajo mendapat perlakukan khusus di kalangan istana. Dalam upacara-upacara besar Kerajaan Bone, hanya mereka yang mendapat pengecualian untuk tidak membungkukkan badan saat memberi hormat (Zacot, 2008:76). Orang Bajo yang sekarang mendiami Desa Saluho Kolaka berasal
Perkembangan Orang Bajo... Abd. Rahman Hamid
dari Bone (Suyuti, 2011: 35-37). Kisah sejarah awal orang Bajo di Selayar terkait dengan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan yakni Kerajaan Luwu, serta Kerajaan Gowa. Kisah tersebut dikemas oleh Liebner (2005) dalam tiga versi cerita. Ve r s i p e r t a m a ( J a m p e a ) , y a n g menghubungkan asal mula orang Bajo dengan hilangnya payung Kerajaan Gowa. Raja memerintahkan prajurit untuk mencarinya. Payung itu ditemukan di Luwu pada seorang gadis cantik bernama Caddi’-Caddi’ Yami yang tinggal di Calloh. Raja memerintahkan agar anak gadis itu dan orang tuanya dibawa ke istana. Ia kemudian dinikahi oleh raja. Dari perkawinan ini lahir seorang anak, Rommeng, yang kelak menjadi Lolo Bajo pertama yang tiba di Jampea. Versi kedua (Kayuadi), bermula ketika dua anak (laki-lali dan perempuan) yang lahir kembar dipisahkan oleh orang tuanya. Setelah beranjak dewasa, sang kakak (laki-laki) jatuh cinta dan ingin menikahi adiknya, tetapi dilarang oleh ibunya karena masih bersaudara. Sang pemuda terus memaksakan kehendaknya. Kemudian, adiknya menunjuk seorang putri di sebuah negeri bernama Cina dan pohon besar bernama bulanreh. Pohon itu digunakan membuat perahu untuk pemuda itu ke Cina. Setelah pohon itu ditebang, telur-telur burung yang banyak di pucuknya pecah sehingga menyebabkan banjir, lalu terbentuklah Sungai Palopo. Pada waktu itu, seorang gadis Bajo, Basse, yang sedang mencari teripang di pantai terbawa oleh banjir bersama perahunya. Dia terhanyut antara Kabaena dan negeri-negeri Bugis. Setelah arah angin berubah, perahunya melewati Selat Selayar dan tiba di Gowa.Dia terperangkap oleh jaring nelayan. Berita itu diketahui oleh raja. Lalu dia dibawa ke istana.Raja menikahkan gadis itu dengan putranya. Ayah Basse, yang merupakan raja Bajo, memerintahkan rakyatnya untuk mencari putrinya. Setelah ditemukan, ternyata dia telah menikah dengan putra raja. Orang tuanya kemudian pindah dan menetap di Gowa. Versi ketiga (Apa Tana), berkaitan dengan perahu Sawerigading yang tenggelam di Selat
Selayar. Diceritakan bahwa ketika pohon yang ditebang untuk membuat perahu itu tumbang, telur-telur yang ada di atas pohon tersebut pecah dan menyebabkan banjir, sehingga menghanyutan sepotong bambu ke perangkap ikan. Pemilik perangkap ikan itu berulang kali membuang bambu itu ke laut, tetapi selalu kembali. Dia lalu membawanya ke pantai. Ketika bambu itu dibelah, maka ditemukan seorang gadis cantik. Peritiswa itu diketahui oleh sang raja dan dia dipanggil ke istana. Raja kemudian menikahinya. Keturunannya menjadi orang Bajo. Berdasarkan cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa: pertama, orang Bajo ditempatkan sebagai perempuan (anak gadis) yang dinikahi oleh raja (dan putra raja) Gowa; kedua, hubungan awal orang Bajo dengan kekuasan lokal di Sulawesi Selatan dibina dengan Kerajaan Luwu yang diwakili oleh tokoh Sawerigading, selanjutnya pindah ke Gowa (Makassar). Hubungan orang Bajo dengan Kerajaan Luwu terkait dalam perdagangan maritim kerajaan itu dengan Jawa. Mereka bertindak sebagai pedagang lokal dan regional. Sedangkan pedagang Jawa dan Melayu menghubungkan mareka dengan pelabuhan-pelabuhan di Selat Malaka dan pantai utara Jawa (Ammarell, 2008:14). Pada zaman Majapahit, Sulawesi merupakan pemasok sebagian besar besi yang diolah di Jawa. Biji besinya yang digunakan untuk membuat keris Majapahit, berasal dari Sulawesi bagian tengah. Ekspor besi tersebut dikuasai oleh Kerajaan Luwu. Pengangkutannya dilakukan lewat Teluk Bone. Dalam abad ke-14, Luwu merupakan tempat peleburan logam bagi kerajaan-kerajaan Bugis.Besi ditambang oleh penduduk perbukitan untuk para pedagang dari Jawa dan tempat-tempat lainnya. Pada awal abad ke-16, wilayah bawahan dan taklukan Kerajaan Luwu tersebar sangat luas, termasuk wilayah Teluk Bone, mulai dari Cenrana terus ke utara, serta ujung tenggara dan pantai selatan semenanjung, bahkan sampai Maros. Pada pertengahan abad ke-17, besi Luwu masih tetap merupakan salah satu ekspor utama dari Makassar ke Jawa bagian timur. Meskipun pada masa ini terdapat besi yang 127
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— lebih murah dari China dan Eropa, pembuat keris di Jawa tetap lebih menyukai besi Sulawesi yang banyak kandungan nikelnya untuk membuat keris yang berpamor (Reid, 1992:125-126; Pelras 2006:124,130). Sebelum kebangkitan Makassar sebagai bandar internasional, kegiatan perdagangan tersebar di berbagai tempat dan pelabuhan. Salah satunya di Kerajaan Siang, yang terletak dekat Pangkajene sekarang, yang tidak terlalu lama berkuasa. Pada awal abad ke-16, orang Bajo berada di bawah pengaruh Siang (Pelras, 2006:123; Ammarell, 2008:13). Bandar niaga ini dikunjungi oleh para pedagang, termasuk orang Melayu yang meninggalkan negerinya setelah dikuasainya Malaka oleh Portugis tahun 1511. Karena tidak terkonsentrasi perdagangan maritim, Raja Tunipalangga Ulaweng (1546-1565) menaklukkan kerajaan-kerajaan yang bergiat dalam perdagangan di antaranya Siang, Bacukiki, Suppa, dan Sidenreng. Raja memaksa mereka yang semula berniaga di kerajaan-kerajaan tersebut berdagang di bandar Makassar (Poelinggomang dkk, 2004:56). Berkat usaha itu, bandar Makassar berkembang pesat dan mengukir kisah suksesnya yang spektakuler dalam abad ke-16 sampai paruh pertama abad ke-17 (Reid, 2004:132). Perkembangan Makassar sebagai kekuatan maritim tidak terlepas dari kontribusi orang Bajo. Speelman mencatat bahwa jauh sebelum perang, orang Bajo berada di bawah kekuasaan Makassar. Mereka menetap di hampir semua pulau dekat Labakkang (Pangkajene) terutama di Salemo. Mereka berlayar ke seluruh pulau yang terletak jauh ke tengah laut. Mereka mengumpulkan penyu dan menyetorkannya kepada raja. Mereka selalu siap berangkat, dengan perahu-perahu, ke mana pun diperintahkan dan dipandang mendatangkan banyak keuntungan oleh Raja Makassar (Reid, 2004:145). Menurut Andaya (2004:396), orang Bajo yang dikenal Turije’ne di kalangan orang Makassar, mengabdi kepada Raja Makassar sebagai pendayung, petarung di laut dan armada, seperti halnya orang-orang laut di bagian barat Nusantara yang mengabdi kepada raja-raja 128
Melayu. Kata Makassar, selain merujuk pada kelompok etnis, bahasa, dan kerajaan kembar Gowa-Tallo, juga sebutan geografis untuk sejumlah pulau. Dalam peta Portugis yang dibuat Francisco Rodrigues (1515), Borneo (Kalimantan) disebut A gramde Ilha de maquacer (the great Island of Macassar). Daerah-daerah Makassar, seperti pada sebuah globe tahun 1541, mencakup bagian selatan Borneo dan utara Sumbawa (Bima dan sebagainya). Dari peta yang dibuat Eredia diketahui bahwa kata Macazar digunakan untuk semua pulau yang dibagi atas tiga regiam: (1) Celebes regiam di bagian utara, (2) Bugvis regiam di bagian tengah, dan (3) Macazar regiam di EDJLDQVHODWDQ&RUWHVDR ,GHQWL¿NDVL daerah-daerah tersebut mengacu pada wilayah Kerajaan Makassar, tempat orang Bajo melakukan pengembaraan baharinya. Anthony Reid (2004) mencatat bahwa kata “Makassar” muncul pertama kali sebagai pulau pangkalan para pelaut Bajo. Awalnya, pulau-pulau tersebut dipergunakan sebagai tempat berkumpul untuk menjelajah lebih jauh ke segala penjuru. Dari sana mereka mengekspor berbagai produk dari pulau-pulau yang berdekatan dengan Makassar dan membuat perjanjian dagang dengan banyak karaeng kecil di Pangkajene, Gowa, dan Takalar. Pada paruh kedua abad ke-17, orang Bajo tidak lagi mengabdi pada istana Makassar. Mereka ikut dalam pasukan Arung Palakka sebagai pasukan pribumi dalam ekspedisi maritim VOC ke Makassar di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Janzoon Speelman. Ketika pasukan tersebut tiba di Makassar bulan Desember 1667, Speelman mengirimkan surat kepada Raja Makassar untuk berunding. Surat tersebut di bawa oleh seorang Bajo, namun tidak berhasil karena tertangkap. Setelah gagal melakukan perundingan, maka terjadilah Perang Makassar (Andaya, 2004:91). Sampai tahun 1669, orang-orang Bajo di Teluk Bone merupakan pengikut Arung Palakka (Lapian, 2009:111). Berdasarkan penjelasan tersebut jelas bahwa orang Bajo pernah berinteraksi dan menjadi bagian
Perkembangan Orang Bajo... Abd. Rahman Hamid
penting dalam istana Luwu, Makassar, dan Bone, khususnya dalam mobilisasi armada dan perang di laut. Kesetiaan mereka tidak sepenuhnya pada suatu penguasa. Mereka berpindah dari satu penguasa ke penguasa lain, tergantung pada keuntungan yang dapat mereka peroleh dari hubungan itu. Memang, seperti kata Zacot (2008), orang Bajo tidak mau tunduk pada kekuasaan (penguasa) siapa pun. Mereka lebih memilih meninggalkan suatu daerah daripada tunduk pada penguasa yang tidak menguntungkan mereka. Sikap itulah yang melandasi hubungan mereka dengan penduduk dan penguasa. PENUTUP Sejauh ini asal usul orang Bajo belum diketahui secara pasti. Namun, rekam jejaknya dapat ditelusuri melalui hubungannya dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Malaka, Luwu, Siang, Makassar, dan Bone. Wilayah pengembaraan mereka sangat luas, sehingga tapaktapak kebudayaannya dapat dijumpai pada hampir seluruh laut Nusantara dalam berbagai identitas sosialnya. Secara umum sebutan sebagai orang laut digunakan oleh orang luar untuk menyebut orang Bajo, sesuai dengan tempat dan lakon kehidupannya di laut. Mereka sendiri menyebut dirinya sebagai orang Sama. Sebutan ini digunakan untuk membedakan mereka dengan orang Bajo lainnya yang sudah mendarat (menetap atau menikah dengan orang darat) yang disebut orang Bagai. Perbedaaan identitas itu tidak membatasi ruang komunikasinya. Mereka tetap menjaga ikatan sosial budayanya sebagai orang Bajo melalui bahasa dan pengembaraan bahari. Dalam konteks yang terakhir ini, laut bagi mereka adalah segalanya, sebagai awal kehidupan dan ruang menjaga identitas dan budaya. Itulah sebabnya mereka sering dijuluki oleh orang darat sebagai orang laut atau manusia perahu.
DAFTAR PUSTAKA Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Galang Press. Ammarell, Gene. 2008. Navigasi Bugis. Diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok. Makassar: Hasanuddin University Press. Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka; Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke17. Diterjemahkan oleh Nurhady Sirimorok. Makassar: Ininnawa. Cortesao, Armando. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires.London: Hakluyt Society. Dick-Read, Robert. 2008. Penjelajah Bahari; Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. Diterjemahkan oleh Edrijani Aswaldi. Bandung: Mizan. Halimi, Ahmad Jelani. 2006. Perdagangan dan Perkapalan Melayu di Selat Malaka Abad ke-15 hingga ke-18. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hamid, Abd Rahman, 2011. Orang Buton: Suku Bangsa Bahari Indonesia. Yogyakarta: Ombak. ________________, 2013. Sejarah Maritim Indonesia.Yogyakarta: Ombak. Hidayah, Zulyani, 1996. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Kompas, 3 & 5 April 2010. Lapian, Adrian B, 2009. Orang Laut-Bajak LautRaja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Jakarta: Komunitas Bambu. Liebner, Horst H. 2005. “Empat Versi Lisan Cerita Leluhur Orang Bajo di Selayar Selatan” dalam Kathryn Robinson dan Mukhlis PaEni (penyunting), Tapak-Tapak Waktu Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa. Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Diterjemahkan oleh Abdul Rahman Abu dkk. Jakarta: Nalar-Forum Jakarta-Paris. Poelinggomang, Edward L, dkk. 2004. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Makassar: Badan
129
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— Penelitian dan Pengembangan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan. Reid, Anthony Reid. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Diterjemahkan oleh Mochtar Pabotinggi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ________________. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Diterjemahkan oleh Sori Siregar dkk. Jakarta: LP3ES. Suyuti, Nasaruddin. 2011. Orang Bajo di Tengah Perubahan. Yogyakarta: Ombak.
Warren, James Francis. 1981. The Sulu Zone 17681898; The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime State. Singapore: Singapore University Press. Zacot, Francois-Robert. 2008. Orang Bajo: Suku Pengembara Laut.Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-Forum Jakarta Paris.
WALASUJI ISSN: 1907-3038 Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 4, No. 2, Desember 2013
PERANAN ORGANISASI KELASKARAN DALAM PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI SULAWESI SELATAN THE STRUGGLE OF SOLDIER ORGANIZATION TO MAINTAIN THE INDEPENDENCE IN SOUTH SULAWESI
Sritimuryati Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Diterima: 10 Juni 2013; Direvisi: 23 September 2013; Disetujui: 25 November 2013 ABSTRACT This writing aims to outline the struggle of soldier organizations to maintain the Proclamation of Independence in South Sulawesi. The writer uses is the historical method, which explains the issue from the historical perspectively. 7KLVSURFHGXUHLQYROYHVIRXUVWDJHVQDPHO\¿QGLQJDQGFROOHFWLQJVRXUFHVKHXULVWLF WKHFULWLFVRXUFHVGDWD VHOHFWLRQ LQWHUSUHWDWLRQDQGWKHSUHVHQWDWLRQRIKLVWRU\KLVWRULRJUDSK\ 7KHUHVXOWRIWKHUHVHDUFKVKRZVWKDWWKH struggle of the people of South Sulawesi through the soldier organization since the beginning requires the nation integration in a form of a unity of Republic Indonesia. Their struggles are not only focused on the recognition of sovereignty in order to live in a freedom atmosphere, but also do not want a split in life of the nation. Keywords: proclamation, independence, struggle, soldier ABSTRAK Artikel ini bertujuan menguraikan perjuangan organisasi kelaskaran dalam mempertahankan Proklamasi kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Penulis menggunakan metode sejarah, yakni metode yang menjelaskan masalah penelitian berdasarkan perspektif sejarah. Prosedurnya meliputi empat tahap, yaitu mencari dan mengumpulkan sumber (heuristik), kritik sumber (seleksi data), interpretasi (penafsiran), dan penyajian atau penulisan sejarah KLVWRULRJUD¿ +DVLONDMLDQPHQXQMXNNDQEDKZDSHUMXDQJDQUDN\DW6XODZHVL6HODWDQPHODOXLZDGDKSHUMXDQJDQ organisasi kelaskaran sejak awal menghendaki integrasi bangsa dalam bentuk negara kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan mereka bukan hanya tertuju pada pengakuan kedaulatn agar hidup dalam suasana kemerdekaan, melainkan tidak menghendaki adanya perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata kunci: proklamasi, kemerdekaan, perjuangan, kelaskaran