WALASUJI ISSN: 1907-3038 Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 4, No. 2, Desember 2013
TRADISI KEPEMILIKAN TANAH MENURUT HUKUM ADAT ORANG TOLAKI DI KABUPATEN KONAWE PROVINSI SULAWESI TENGGARA THE LAND OWNERSHIP TRADITION BY THE TOLAKI CUSTOMARY LAW IN KONAWE REGENCY SOUTHEAST SULAWESI PROVINCE
$EGXO+D¿G Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119. 883748, Faksimile (0411) 865166 3RVHODEGXOKD¿G#\DKRRFRP Diterima: 4 Juli 2013; Direvisi: 23 Oktober 2013; Disetujui: 27 November 2013 ABSTRACT This writing aims to describe the land ownership tradition by the Tolaki customary law, known as sara ine wuta. This writing is a descriptive qualitative with the data collection techniques of in-depth interview, literary study, and documentation. The result of the discussion shows that the land is a vital entity in Tolaki’s culture, because it relates to land or forests as their place to life and to grow. For the society of Tolaki, the land is not only be a source of livelihood and life, but also be source of all their activities. Therefore, the land became valuable and high-value, then raises some implications of a complex right and obligation, such as the authority, ownership and use of the land. Keywords: the land ownership tradition, customary law, the society of Tolaki
ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang tradisi kepemilikan tanah menurut hukum adat Tolaki yang dikenal dengan istilah sara ine wuta. Tulisan ini bersifat deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data wawancara mendalam, studi pustaka, dan dokumentasi. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa tanah merupakan entitas yang sangat vital bagi budaya masyarakat Tolaki karena berkaitan dengan tanah atau hutan tempat mereka hidup dan tumbuh berkembang. Bagi masyarakat Tolaki, tanah tidak hanya dijadikan sebagai sumber mata pencaharian dan kehidupan, tetapi juga sebagai sumber segala aktivitas mereka. Oleh karena itu, tanah sangat berharga dan bernilai tinggi, kemudian menimbulkan berbagai implikasi hak dan kewajiban yang kompleks, seperti penguasaan, kepemilikan, dan penggunaan tanah. Kata kunci: tradisi kepemilikan tanah, hukum adat, masyarakat Tolaki
191
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—199 PENDAHULUAN
S
ecara umum kehidupan masyarakat Indonesia sampai saat ini masih sangat tergantung pada usaha-usaha dan kegiatankegiatan yang sebagian besar bersifat agraris. Hal ini menyebabkan tanah menjadi sesuatu yang sangat berarti dan menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat dalam rangka mempertahankan hidupnya. Menurut Sugiharto (1990:1-3) awal mula manusia berusaha mempertahankan hidupnya melalui usaha berburu, meramu, kemudian berkembang pada usaha-usaha bercocok tanam. Ketika manusia mulai mengenal sistem bercocok tanam, maka pada saat itulah manusia mulai menggantungkan hidupnya pada tanah yang menjadi sumber mata pencaharian dalam kehidupannya. Hingga dewasa ini, tanah tidak hanya dijadikan sebagai sumber mata pencaharian dalam kehidupan mereka, tetapi segala aktivitas manusia dalam kehidupannya berada di atas tanah. Misalnya, tanah sebagai tempat tinggal, membuat rumah tempat dilahirkan hingga dewasa bahkan sampai akhir hayat manusia, dan kadang-kadang sebagai tempat mereka dimakamkan di atas tanah miliknya. Tradisi kepemilikan tanah pada setiap suku bangsa di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda. Selain itu, kemampuan untuk mempertahankan kelanggengan sistem kepemilikan tanah itu juga berbeda, baik karena pengaruh eksternal misalnya jauh dekatnya masyarakat itu dari pusat peradaban modern maupun pengaruh internal masyarakat itu sendiri. Dalam penguasaan atas tanah merupakan hak yang dimiliki oleh suatu masyarakat yang disebut dengan hak ulayat. Hak ulayat atas tanah ini sering ditemukan di daerah-daerah yang mempunyai lingkungan wilayah hukum adat tertentu. Namun, hak ulayat atas tanah seperti itu dalam perkembangan dan kenyataannya saat ini sulit untuk dipertahankan sehingga banyak tanah yang dulunya merupakan hak ulayat sekarang ini telah dikuasai oleh negara. Menurut Taneko (2002:45) kepemilikan tanah dalam masyarakat,
192
terdapat banyak aturan yang tidak jelas. Demikian juga motivasi dan kepentingan manusia setiap saat senantiasa saling bertentangan antara yang satu dengan yang lain sehingga untuk mendapatkan suatu ketertiban yang terkait dengan sistem kepemilikan tanah hanya mungkin didapatkan jika memiliki sistem pemerintahan yang tegas. Masyarakat Sulawesi Tenggara yang merupakan masyarakat majemuk, terdiri atas beberapa suku bangsa. Salah satu di antaranya adalah suku Tolaki yang mendiami Kabupaten Kolaka dan Kendari. Suku Tolaki yang ada di Kabupaten Kolaka disebut To Mengkongga, sedangkan yang ada di Kabupaten Kendari disebut To Konawe. Kelompok etnis ini memiliki hukum adat tersendiri, di bidang kepemilikan dan penguasaan atas tanah. Hingga saat ini hukum adat kepemilikan tanah orang Tolaki tersebut masih berlaku. Berbeda dengan suku-suku lainnya yang ada di Indonesia, sistem kepemilikan tanah yang berlaku sejak dahulu karena semakin kompleksnya kehidupan masyarakat sistem tersebut sedikit banyaknya telah mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kondisi kekinian. Menyadari hal tersebut, tulisan ini berusaha mengkaji secara sistematis ”Sistem pemilikan tanah menurut hukum adat orang Tolaki,” yang merupakan khazanah budaya bangsa. Masalah pokok yang menjadi pusat perhatian dalam tulisan ini adalah bagaimana sistem kepemilikan tanah menurut hukum adat orang Tolaki yang berlaku di Kabupaten Konawe. Penelitian ini bertujuan memberi gambaran secara utuh dan komprehensip mengenai tradisi kepemilikan tanah menurut hukum adat orang Tolaki yang berlaku sejak dahulu hingga saat ini. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan dari berbagai kalangan yang berkepentingan demi terpeliharanya kelestarian nilai-nilai budaya dalam tradisi kepemilikan tanah menurut hukum adat umumnya, khususnya pada orang-orang Tolaki di Kabupaten Konawe. Di samping itu, dapat menjadi bahan apresiasi bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam pengembangan dan pembinaan
7UDGLVL.HSHPLOLNDQ7DQDK... $EGXO+D¿G
kebudayaan nasional. Serta dapat pula memberikan bahan referensi bagi peneliti, para praktisi hukum adat dan pemerhati pluralisme hukum, dan kepada para decision maker khususnya pemerintah dan legislatif dalam mengambil kebijakan-kebijakan masalah pertanahan. Untuk mewujudkan tulisan ini, diperlukan pula adanya suatu metode dalam penelitian. Sebuah penelitian ilmiah sangat diperlukan adanya kerangka berpikir dan oleh karena itu diperlukan tahapan yang dapat membantu pencarian data di lapangan. Metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langka-langka sistematis untuk memecahkan masalah. Jenis data mencakup data kualitatif yang dinyatakan dalam kalimat, pernyataan dan uraian. Teknik pengumpulan data dalam kajian ini yaitu: pertama, studi pustaka yakni unuk mendapatkan konsep-konsep ilmiah maupun teori-teori yang berkaitan dengan materi penelitian. Kedua, wawancara yang dilakukan secara mendalam (indepth interview) terhadap informan yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat, budayawan dan pemerintah setempat. Ketiga, pengamatan REVHUYDVL dilakukan secara langsung di lapangan terhadap berbagai aktivitas dan perilaku masyarakat, termasuk terhadap kondisi daerah penelitian dan hal-hal yang relevan dengan tujuan penelitian serta studi dokumentasi. Tulisan ini terdapat beberapa konsep atau pengertian oleh para ilmuwan, guna menjadi acuan atau kerangka pemikiran untuk kepentingan operasional. Konsep atau pengertian yang dimaksud adalah konsep tentang Hukum adat dan Tradisi. Konsep tentang hukum adat atau sering juga disebut dengan istilah hukum rakyat. Menurut Ihromi (1993:10) bahwa pada masa pemerintahan kolonial, sifat-sifat khas dari adat dan hukum adat dapat terungkap diberbagai wilayah di Indonesia. Sifat-sifat khas itu adalah tentang berlakunya di dalam masyarakat aturan-aturan yang telah lama berkembang dan menguasai kehidupan masyarakat. Aturan-aturan itu disebut dengan hukum rakyat dan disebut juga hukum adat. Menurut Soepomo (2007:45) dalam bukunya
mengemukakan tentang pengertian hukum adat, yakni sebagai keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum, dalam artian luas mempunyai kewajiban serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati. Selanjutnya, bahwa hukum adat adalah resapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu kaidah-kaidah kesusilaan yang telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat. Hukum adat ini ada yang diterapkan melalui lembaga peradilan dan ada pula yang tidak melalui lembaga peradilan (Koodoh, 2007:30-31). Berdasarkan konsep atau pendapat tersebut, maka hukum adat suku Tolaki merupakan keseluruhan kaidah-kaidah atau norma-norma atau aturan-aturan yang mengatur kehidupan dan perilaku yang diakui serta dilaksanakan dengan penuh ketaatan dan sepenuh hati oleh orang Tolaki. Selanjutnya, Tradisi (Bahasa Latin: traditio, ”diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini suatu tradisi dapat punah (http://id.wikipedia.org/ wiki/Tradisi). Tradisi merupakan pula sebagai salah satu bentuk kebudayaan yang mengandung sejumlah nilai yang berfungsi mengukuhkan pandangan masyarakat dan memberi arah dalam pergaulan yang diinginkan oleh norma dalam masyarakat. Sejalan dengan itu Sztompka (2007:74) mengatakan sebagai kebiasaan dan kesadaran kolektif tradisi merupakan mekanisme yang bisa memperlancar pertumbuhan pribadi masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan tradisi sebagai wadah penyimpanan norma sosial kemasyarakatan. Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas, maka sistem kepemilikan tanah pada orang Tolaki juga mengenal prinsip-prinsip kepemilikan tanah yang diatur oleh hukum adat, seperti yang diuraikan oleh Taridala dan Adijaya (2002:20)
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—199 yang mengungkapkan bahwa, kepemilikan hak atas tanah orang Tolaki pada kawasan hutan yang dikelola sebagai areal perladangan terdiri atas: O’rawu (lahan yang baru saja dipanen), Anasepu atau anahoma (bekas lahan yang ditinggalkan selama 5-9 tahun), Laliwata (bekas lahan areal yang ditinggalkan sekitar 9-15 tahun), O’sambu (bekas ladang yang ditinggalkan di atas 15 tahun) dan Inalahi (kawasan hutan yang sama sekali belum pernah diolah). Dari kelima prinsip kepemilikan tanah tersebut, merupakan sistem kepemilikan tanah pada orang Tolaki pada kawasan hutan. PEMBAHASAN Sejarah Singkat Tentang Suku Tolaki Tarimana (1993:97) mengemukakan bahwa Istilah Tolaki atas dua suku kata yakni to yang berarti orang dan laki yang berarti berani. Jadi, Tolaki diartikan sebagai orang yang berani. Suku Tolaki inilah yang mendiami daerah Kabupaten Kendari dan saat ini berubah menjadi Kabupaten Konawe (Unaaha) dan Kabupaten Kolaka. Daerah Kabupaten Kolaka lazim disebut to Mekongga karena wilayahnya adalah bekas kerajaan Mekongga, sedangkan daerah Kabupaten Kendari (Konawe) lazim pula disebut to Konawe. Adapun adat istiadat Mekongga dan Konawe pada prinsipnya sama. Demikian pula bahasa yang digunakan yakni bahasa Tolaki. Hanya saja kadang ada perbedaan terhadap istilah-istilah tertentu, namun dapat dimengerti. Secara historis, sebelum mendiami daerah Sulawesi Tenggara, Tolaki diduga sebagai penduduk asli yang mendiami daerah pesisir aliran sungai Konawe’ Eha adalah to Laiwoi. Kemudian datanglah rombongan dari arah utara yang menyebutkan dirinya sebagai orang Tolaki melalui dua jalur yakni jalur daerah Mori dan Bungku terus memasuki bahagian timur laut daratan Sulawesi Tenggara melalui danau Towati ke arah selatan. Mereka merupakan pendatang pertama di daerah itu, yang diperkirakan telah berlangsung sejak abad IX sampai pada abad XIII. Sumber lain, menyebutkan bahwa orang 194
Tolaki berasal dari wilayah sekitar danau Towuti, Matana, dan Mahalona. Namun karena desakan untuk mencari nafkah pada saat itu, mereka bergeser ke jazirah Sulawesi Tenggara untuk mencari daerah-daerah yang lebih subur. Selanjutnya, mereka bergerak menuju ke selatan melalui wilayah permukiman orangorang Mori dan Bungku, lalu menetap di wilayah Rahambuu. Dari wilayah tersebut sebagian besar di antaranya kembali melakukan perjalanan menuju suatu wilayah yang dikenal dengan nama Lambo, Laloeha, Silea dan Puuehu. Daerah inilah merupakan petualangan terakhir orang Tolaki dalam mengembangkan kehidupannya, khususnya yang telah bermukim di kawasan pegunungan Mekongga. Kabudayaan orang Tolaki sudah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan luar sekitar abad XVII, sehubungan dengan masuknya orangorang Bugis di daerah ini dengan membawa agama Islam. Pada umumnya mereka berasal dari Luwu dan Bone. Pada abad XIX orang-orang Bugis tersebut, mengembangkan agama Islam sampai ke daerah-daerah pedalaman utamanya di Mekongga (Kabupaten Kolaka) dan Konawe (Kabupaten Kendari). Dengan demikian kebudayaan orang Bugis yang mewarnai norma-norma agama Islam mempengaruhi adat istiadat dan kepercayaan suku Tolaki. Unsur–unsur hukum Islam meresap ke dalam adat istiadat mereka, termasuk dalam hal kepemilikan tanah. Pengaruh lain yakni masuknya orang– orang Belanda di daerah ini pada permulaan abad XX. Orang–orang Belanda pada saat itu telah membawa agama Kristen (Protestan) bersama dengan orang–orang Indonesia yang beragama Kristen. Dengan masuknya orang–orang Belanda di daerah ini yang membawa agama Kristen, maka norma–norma agama Kristen ikut pula mempengaruhi adat istiadat suku Tolaki pada saat itu. Masuknya agama Islam dan agama Kristen di daerah ini membawa pengaruh terhadap adat istiadat suku Tolaki, khususnya terhadap adat dan upacara perkawinan. Karena itu, dalam soal perkawinan umumnya dipengaruhi ajaran
7UDGLVL.HSHPLOLNDQ7DQDK... $EGXO+D¿G
agama masing–masing, meskipun dalam hal-hal tertentu ketentuan adat masih tetap ditaati. Dalam peresmian perkawinan misalnya, dilaksanakan akad nikah (Islam) dan bagi suku Tolaki yang beragama Kristen dilakukan kebaktian di Gereja, meskipun syarat–syarat perkawinan menurut adat tetap dilaksanakan. Demikian halnya, pola pemilikan tanah hingga saat ini masih tetap dilaksanakan menurut adat orang Tolaki. 3ROD3HQJXDVDDQGDQ.HSHPLOLNDQ+DN$WDV Tanah Tanah merupakan entitas yang sangat vital bagi orang Tolaki, karena kultur orang Tolaki berkaitan dengan tanah atau hutan tempat mereka hidup dan tumbuh berkembang. Su’ud, (2006:25) mengemukakan bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh mengenai pola penguasaan dan kepemilikan atas tanah tersebut, terlebih dahulu akan dipaparkan bagaimana orang Tolaki memandang entitas tanah dan bentukbentuk kepemilikan hak atas tanah menurut hukum adat orang Tolaki hingga saat ini. 1.
Pandangan Orang Tolaki Tentang Kedudukan Tanah
Dahulu orang Tolaki hidup dan mendiami beberapa daerah di jazirah daratan Sulawesi 7HQJJDUD\DQJVHFDUDJHRJUD¿VPHUXSDNDQZLOD\DK yang datar, bergunung-gunung, berbukit-bukit, bersungai dan berawa. Mata pencaharian mereka EHUVHVXDLDQ GHQJDQ NRQGLVL JHRJUD¿V ZLOD\DK mereka bertempat tinggal, seperti berladang secara berpindah-pindah (shifting cultivation). Selain sistem perladangan berpindah, orang Tolaki juga terikat dengan tanah tempat mereka hidup melalui bentuk kepemilikan lainnya seperti kepemilikan atas kawasan tempat melepaskan kerbau, areal tempat menangkap ikan, tempat bercocok tanam padi sawah, penguasaan atas sumber daya alam tertentu, kepemilikan atas suatu areal tanah yang ditumbuhi tanaman jangka panjang, dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada dasarnya orang Tolaki menganggap tanah sebagai entitas yang vital dalam kehidupan
mereka, terutama karena tanah berfungsi antara lain: a. Sebagai tempat lahir dan dibesarkan (titi’ano obeli) b. Sebagai tempat para leluhur dikuburkan (tano opa) c. Sebagai tempat mencari nafkah (peotoro’a) d. Sebagai tempat membangun kehidupan keluarga dan kehidupan bersama (pelaika’a) e. Sebagai tempat modal atau aset dalam hidup (pu’uno toroaha) %HQWXN%HQWXN .HSHPLOLNDQ +DN $WDV Tanah Berdasarkan hukum adat orang Tolaki, bentuk kepemilikan hak atas tanah dapat di bagi ke dalam enam kategori yakni sebagai berikut: a. Wutano wonua (tanah milik negara atau raja), adalah kawasan yang dikuasai oleh kerajaan atau negara. Dahulu, ketika pemerintahan Kerajaan Konawe masih berjaya, wutano wonua meliputi hampir seluruh wilayah kekuasaan kerajaan. Namun pada saat ini wutano wonua tidak ditemukan lagi, bahkan telah beralih penguasaannya oleh negara. Tentu saja saat ini daerah bekas Kerajaan Konawe dan Mekongga telah melebur sebagai salah satu wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga persoalan pertanahan juga diatur melalui peraturan perundang-undangan. b. Wutano onapo atau wutano toono dadio (tanah ulayat kampung), hak kepemilikan atas tanah secara bersama yang dipunyai oleh sebuah kampung (o’aso o kambo) bersama isinya seluruh termasuk air (sungai dan rawa) dalam lingkungan wilayah kampung yang bersangkutan. Wutano o kambo tersebut memiliki beberapa ketentuan sebagai berikut. (1) Hanya warga kampung yang bersangkutan (Kowonuano) yang boleh memanfaatkan tanah-tanah liar yang ada di wilayah kampung tertentu. (2) Orang dari luar kampung (Toono leu) 195
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—199 boleh saja memanfaatkan tanah tersebut atas izin pu’utobu serta atas persetujuan dari toono motu’ono o kambo. (3) Tidak boleh ada pemanfaatan tanah ulayat oleh warga dari kampung lain (pendatang) yang mengatasnamakan keluarga atau warga kampung setempat dan (4) Wutano onapo tidak boleh dialihkan kepemilikannya atau disembunyikan untuk maksud tertentu (hinii’ako) c. Wuta dowo atau wuta laa ombuno (tanah hak milik perseorangan), yaitu hak yang diberikan oleh penguasa adat setempat kepada warga desa atau pun orang luar (Toono leu) atas sebidang tanah yang berada dalam wilayah tanah persekutuan hukum/kampung yang bersangkutan. Kepemilikan atas areal tanah tersebut sebenarnya juga berada di kawasan wutano onapo dan wutano wonua. Namun, karena adanya aktivitas yang berlangsung secara terus menerus di atas kawasan tertentu, menyebabkan status atas kawasan tanah tertentu berubah bentuk kepemilikannya menjadi kepemilikan perseorangan, yang dimiliki oleh suatu keluarga inti (nuclear family), bahkan oleh kelompok kekerabatan yang lebih luas lagi (H[WHQGHGIDPLO\ . d. Wutambinotiso (tanah hak wewenang pilih), merupakan areal atau kawasan dalam hutan rimba yang kemudian di pilih oleh orang Tolaki sebagai lokasi tempat membuka ladang. Areal tanah tersebut ditandai melalui beberapa aktivitas di atas kawasan hutan tertentu yakni: Potiso, Sulahi dan Wakasi. Ketiga aktivitas ini menandai (mondandai) suatu areal tanah tertentu yang akan dijadikan lahan perladangan. Orang Tolaki jika akan mengolah suatu kawasan hutan rimba, maka dahulu harus menandai lahan yang akan diolah tersebut, yakni dengan cara membabat di sekitar areal tersebut, kemudian diberi tanda dengan menancapkan sepotong kayu yang
196
berukuran sedang di atas tanah yang telah dibabat. Dalam melakukan aktivitas pada areal tertentu yang akan diolah menjadi tanda awal kepemilikan atas areal atau kawasan tanah tertentu. Berdasarkan adat orang Tolaki maka baik potiso, sulahi maupun wakasi dapat menandai awal kepemilikan mereka atas areal lahan tertentu dengan membuat batas-batas yang jelas. Adat orang Tolaki pun tidak membolehkan pihak lain datang dan menyerobot kawasan yang telah diberi tanda. e. Wutaaripondau’a (tanah hak menikmati hasil) adalah kawasan tanah tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan atas sumber daya alam yang ada di dalamnya. Akan tetapi tanah seperti itu tidak dapat dimiliki secara penuh. Meskipun demikian, selama mereka menguasai areal itu, maka pihak lain tidak boleh mengambil alih hak penguasannya tanpa seizin dari orang yang menguasai. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: (1) Kara soema, adalah lokasi penemuan sarang lebah madu, umumnya terletak berada di atas pohon besar yang rimbun. Sejak dahulu hingga saat ini, orang Tolaki dikenal sebagai suku bangsa yang gemar berburu dan meramu. Salah satunya adalah mencari sarang lebah untuk diambil madunya. Berdasarkan adat orang Tolaki, sarang lebah madu yang telah diambil madunya tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh orang lain karena sudah ada yang memilikinya yakni orang yang pertama kali mengambil madu dari sarang lebah tadi. Jika dikemudian hari ada pihak lain yang mengambil alih sarang lebah tersebut tanpa seizin dari orang yang menemukan pertama kali, maka madu yang telah diambil tersebut harus dikembalikan kepada pemilik pertama. Kepemilikan kara soema terus diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Namun yang perlu diingat bahwa yang menjadi hak dari orang
7UDGLVL.HSHPLOLNDQ7DQDK... $EGXO+D¿G
yang menemukannya adalah hanya sarang lebah madu tersebut yang biasanya terdapat di atas di atas pepohonan yang besar. Orang tersebut tidak dapat mengklaim tanah atau lahan sebagai hak miliknya di mana pohon besar tersebut tumbuh. (2) Pondaa 0 bala itahi, Pondaha O Wuwu i Asanua, Boso Ika i Konaweeha atau Pondaa Owuwu i Aran, adalah bentuk hak memanfaatkan atas areal atau lokasi tempat menangkap ikan di sungai. Sejak zaman dahulu orang Tolaki gemar menangkap ikan, antara lain dengan menggunakan bubu atau owuwu, yakni alat penangkap ikan yang berbentuk keranjang bulat dan terbuat dari anyaman bambu. Pada saat ini, bentuk penguasaan atas sumber daya alam seperti itu oleh individu atau kelompok tidak diperkenankan lagi. Laut dan sungai merupakan kawasan yang dikuasai oleh negara, sehingga tidak seorang pun boleh memanfaatkan atau menguasai kawasan laut tertentu untuk dirinya sendiri ataupun untuk kepentingan keluarganya. Hal yang sama juga berlaku untuk beberapa aktivitas mencari ikan di sungai. f. Wuta mbonggapala (tanah Hak Imbalan Jabatan) yaitu kawasan tanah tertentu yang diberikan kepada pemimpin adat ditingkat wilayah yakni puutobu, maupun pemimpin adat di tingkat kampung atau onapo yakni toonomotuo. Pemberian areal tanah tertentu kepada kedua pemimpin adat tersebut mulai dikenal pada masa penjajahan Jepang. Di masa lalu, puutobu merupakan pemimpin adat di tingkat wilayah atau setingkat kecamatan, sedangkan toonomotuo merupakan pemimpin adat di wilayah kampung, atau setingkat daerah desa atau kelurahan pada masa sekarang. Areal tanah tersebut hanya dapat dikuasai oleh kedua pemimpin adat tersebut selama mereka masih menjabat sebagai puutobu dan toonomotuo. Jika mereka tidak mampu lagi menjalankan peran tersebut, maka areal
tanah yang dimaksud harus diserahkan kepada pengganti mereka. Namun, saat ini tidak dikenal lagi adanya tanah yang dikuasai oleh puutobu maupun toonomotuo sebagai imbalan jabatan (wutambonggapalaa). Namun kedua pemuka adat tersebut, termasuk beberapa pemuka adat lainnya tetap diakui keberadaan dan perannya oleh pemerintah daerah. Pada masa kini, baik puutobo maupun toonomotuo dikukuhkan melalui Surat Keputusan Ketua dan Sekretaris Lembaga Adat Tolaki KonaweMekongga atau LATKON di tingkat kecamatan atas usul ketua dan sekretaris LATKON di tingkat desa setempat dan harus diketahui oleh kepala desa. 6\DUDWV\DUDW0HPSHUROHK7DQDK+DN0LOLN 3HUVHRUDQJDQ Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diketahui adanya beberapa cara yang ditempuh oleh orang Tolaki di Kabupaten Konawe untuk memperoleh areal tanah hak milik perorangan, sebagai berikut: Pertama melalui pembukaan lahan belukar atau kawasan hutan (tumau’i umalahahi’i ). Pada bagian yang lalu telah dijelaskan bahwa nenek moyang orang Tolaki merupakan suku bangsa yang gemar berladang secara berpindah-pindah. Meskipun mereka berladang secara berpindahpindah, bekas areal ladang sebelumnya tidak boleh diambil alih oleh orang lain. Menurut adat, areal bekas perladangan tersebut masih merupakan hak milik dari orang yang mengolahnya pertama kali. Jika orang lain ingin memanfaatkan areal tersebut, maka harus atas izin dari pengolah yang pertama. Pada perkembangan selanjutnya, areal tanah tersebut dapat diwariskan secara turun temurun menjadi miliknya. Kedua, melalui proses pewarisan (wuta ndiari). Pada bagian awal telah dijelaskan bahwa areal bekas perladangan yang dahulu dikuasai oleh orang tua, selanjutnya diberikan kepada keturunan mereka melalui proses pewarisan. Hingga saat ini, orang Tolaki terus mewariskan 197
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—199 areal tanahnya kepada anak-anaknya kecuali tanah untuk membangun rumah tempat tinggal dengan pekarangan yang relatif sempit. Ketiga, melalui proses jual beli. Dahulu orang Tolaki tidak mengenal sistem jual beli tanah. Namun, dalam perkembangan selanjutnya proses jual beli justru menjadi sangat marak, baik di Kabupaten Konawe maupun di daerah lain yang didiami oleh mayoritas orang Tolaki. Proses jual beli tersebut terjadi baik di antara orang Tolaki itu sendiri, maupun antara orang Tolaki dengan penduduk dari suku bangsa lain. Pada saat ini proses jual beli di kalangan orang Tolaki di Kabupaten Konawe, harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain, harus disaksikan oleh puutobu dan toono motuo serta beberapa saksi lainnya. Selanjutnya agar proses jual beli tersebut memiliki kekuatan hukum, maka dibuatkanlah surat keterangan perjanjian jual beli yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan diketahui oleh pemerintah setempat Cara lain seseorang dapat memiliki areal tanah tertentu, karena diberikan secara cumacuma dari seseorang (wuta uhu-uhuo atau wuta mbinowehi), berupa hibah atau berupa mas kawin dari pihak pria melalui penjaminan oleh pihak lain melalui proses gadai (meoli mepoindi). Dalam hal ini, jika seseorang tidak dapat menebus barang jaminan (tanah) tersebut, maka areal tanah yang dijaminkan selanjutnya akan berpindah kepemilikannya kepada orang lain. PENUTUP Masyarakat Sulawesi Tenggara merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas beberapa suku bangsa, salah satu di antaranya adalah suku Tolaki yang merupakan etnis terbesar yang mendiami Tolaki Konawe dan Tolaki Mekongga. Tolaki Konawe mendiami daerah Kabupaten Konawe, Konawe Utara, dan Konawe Selatan, sedang Tolaki Mekongga mendiami daerah Kabupaten Kolaka dan Kolaka Utara. Kelompok etnis ini memiliki Sara ine wuta, yakni ketentuan-
198
ketentuan adat yang mengatur tentang kepemilikan dan penguasaan atas tanah, dan hingga saat ini hukum adat kepemilikan tanah orang Tolaki masih berlaku. Dahulu, oarang Tolaki mengenal adanya beberapa bentuk hak kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan atas tanah. Secara umum dikenal adanya tiga kategori tanah menurut hukum adat Tolaki: (1) Wutano wonua (tanah milik negara atau raja), adalah kawasan yang dikuasai oleh kekuatan negara atau kerajaan. Namun pada saat ini, bentuk kepemilikan hak atas tanah tersebut, relatif tidak ditemukan lagi dan telah beralih penguasaannya oleh negara. (2) Wutano onapo atau wutano toono dadio (tanah ulayat kampung), adalah tanah hak persekutuan bersama warga atau dalam istilah Undang-Undang Pokok Agararia (UUPA) dikenal sebagai hak ulayat atau tanah hak kepemilikan bersama yang dipunyai oleh sebuah kampung (0’aso o kambo). (3) Wuta dowo atau wuta laa ombuno (tanah hak milik perorangan), adalah tanah yang diberikan oleh penguasa adat setempat kepada seseorang yang berada dalam wilayah tanah persekutuan hukum/kampung yang bersangkutan. Adapun sistem kepemilikan hak atas tanah lainnya yang sifatnya dimiliki oleh perorangan yang dikelola sebagai areal perladangan terdiri atas: (1) O’rawu, yakni suatu lahan bekas ladang yang baru saja dipanen kemudian dibersihkan sebagai ladang pada tahun berikutnya. (2) Anasepu atau anahoma, yakni bekas ladang yang ditinggalkan sekitar 5-9 tahun untuk kemudian diolah kembali sebagai lokasi perladangan. (3) Laliwata, yakni areal bekas perladangan yang ditinggalkan dalam kurun waktu yang lama yakni 9-15 tahun. (4) O’sambu, yakni bekas perladangan yang telah ditinggalkan di atas 15 tahun dan (5) Inalahi, yakni kawasan hutan yang sama sekali belum pernah diolah atau dibuka dan masih merupakan hutan rimba. Perkembangan sekarang ini, kepemilikan hak atas tanah telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut tampak dalam bentuk kepemilikan hak atas tanah yang masih bertahan di kalangan
7UDGLVL.HSHPLOLNDQ7DQDK... $EGXO+D¿G
masyarakat orang Tolaki, seperti: (a) perubahan bentuk-bentuk kepemilikan hak atas tanah itu sendiri, (b) perubahan status kepemilikan hak atas tanah dari keluarga inti kepada kepemilikan oleh individu, (c) perubahan dalam hal klaim atas kawasan tanah tertentu, dan (d) perubahan penanganan masalah perselisihan atau sengketa hak atas tanah. DAFTAR PUSTAKA Ependi. 1989. Hak Anda Atas Tanah. Bogor: Yayasan Telapak Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi. Diakses pada tanggal 14 September 2013. Ihromi, T.O. 1993. Antropologi Sebagai Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Koodoh, Erens E, 2007. Mosehe: Cara 3HQ\HOHVDLDQ .RQÀLN 3DGD 2UDQJ 7RODNL. Makassar: Tesis Pascasarjana Unhas.
Su’ud, Muslimin. 2006. Hukum Adat Tolaki. Kendari: Lembaga Pusat Pengkajian dan Pengembangan Sejarah dan Kebudayaan Tolaki (LP3SKT). Sugiharto. 1990. Manusia dan Alam Sekitarnya. -DNDUWD375DMD*UD¿QGR3HUV Soepomo. 2007. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Sztompka. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Penerbit Prenada Media Group. Taneko, B.S. 2002. Struktur dan Proses Sosial, Suatu pengantar Sosiologi Pembangunan. Jakarta: Rajawali. Tarimana, Abdulrauf. 1998. Kebudayaan Tolaki. 6HUL (WQRJUD¿ ,QGRQHVLD 1R -DNDUWD Percetakan Nasional. Taridala, Yusran dan Sarlan Adijaya. 2002. Pranata Hutan Rakyat. Yogyakarta: Debut Press.
199