WALASUJI ISSN: 1907-3038 Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 4, No. 2, Desember 2013
TEMUAN ARKEOLOGI PADA BEBERAPA SITUS DI KABUPATEN WAJO ARCHEOLOGICAL FINDINGS ON SEVERAL SITES IN WAJO REGENCY
+DVDQXGGLQ Balai Arkeologi Makassar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Pajjaiyang No. 13 Sudiang Raya Makassar, 90242 Telepon (0411) 510490, Faksimile (0411) 510498 Pos-el:
[email protected] Diterima: 4 Juli 2013; Direvisi: 16 Oktober 2013; Disetujui: 25 November 2013 ABSTRACT This writing examines the urban environment which is characterized by several heritage buildings in Wajo Regency. :DMRKDVDORQJFXOWXUDOKLVWRU\,WLVHYLGHQFHGE\WKH¿QGLQJVRIVHYHUDODUFKDHRORJLFDOVLWHVIURPYDULRXVNLQGV of cultural heritage material. These sites describe the cultural characteristics actualized in the material culture. This writing uses a meethod of survey with a descriptive interpretative based on historical analogy. The result RIWKHGLVFXVVLRQVKRZHGWKDWWKHUHDUHVRPHEXLOGLQJVDQGDUWLIDFWVZKLFKDUHUHÀHFWHGWKHYDULRXVDFWLYLWLHV in the past, such as: the castle ground, ammunition storage building, cannon, former mosque and a number of IRUHLJQFHUDPLFIUDJPHQWV7KHVH¿QGLQJVVKRZVWKDW,VODPHYROYHGDWOHDVWWKHHDUO\WKFHQWXU\DVHYLGHQFHG by the use of gravestones of Aceh in Lagosi and mosques in Tosora. Besides, the present of Islam in Wajo shows WKHFXOWXUDOWUDQVIRUPDWLRQDVLQGLFDWHGE\VRPHWRPEVZKLFKXVHVKHDGVWRQHRIPHQKLUPRQROLWKVWRQH VLQFH the late prehistoric period. Keywords: artifacts, archeological sites, city history ABSTRAK Tulisan ini mengkaji lingkungan perkotaan yang bercirikan beberapa peninggalan bangunan di Kabupaten Wajo. Wajo memiliki sejarah budaya yang panjang. Hal ini dibuktikan dengan temuan beberapa situs arkeologi dari berbagai jenis peninggalan budaya materi. Situs-situs tersebut menggambarkan karakteristik budaya yang teraktualisasi dalam budaya materi. Tulisan ini menggunakan metode survei berupa interpretatif deskriptif berdasarkan analogi historis. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa terdapat beberapa bangunan dan artefak yang mencerminkan berbagai aktivitas di masa lampau, seperti: benteng tanah, gedung penyimpanan amunisi, meriam, bekas bangunan masjid dan sejumlah fragmen keramik asing. Temuan-temuan tersebut menunjukkan bahwa Islam berkembang pada awal abad ke-17 Masehi yang dibuktikan dengan penggunaan nisan Aceh di Lagosi dan masjid di Tosora. Selain itu, masuknya agama Islam di Wajo menunjukkan adanya transformasi budaya sebagaimana yang ditunjukkan oleh beberapa makam yang menggunakan nisan menhir (batu monolit) sejak akhir masa prasejarah. Kata kunci: artefak, situs arkeologi, kota sejarah
141
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—151 PENDAHULUAN
W
ajo yang dikenal sekarang merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan yang telah melalui perjalanan sejarah kebudayaan begitu panjang. Kajian ini ke arah rekonstruksi sejarah kebudayaannya juga telah banyak dilakukan, baik dari kalangan peneliti, akademisi, maupun dari kalangan mahasiswa arkeologi dan sejarah dalam rangka penulisan skripsi. Para mahasiswa yang telah meneliti di antaranya Akin Duli (1988 dan 2010); Hamris (1990); Nurhikmah (1995). Sementara itu dari kalangan peneliti yang telah melakukan penelitian di antaranya Hadimulyono, et al., (1985); Kallupa (1987). Selain itu, salah satu karya yang bersifat fundamental telah dilakukan oleh Zainal Abidin (1985) yang mengulas sejarah Wajo abad XV-XVI dengan kajian naskah lontara. Berbeda dengan daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan yang sejarah kepemimpinannya diawali dengan kisah Tomanurung, di Wajo cikal bakal kerajaannya tidak diawali dengan munculnya tokoh Tomanurung, suatu gejala penyimpangan pola mitologi di Sulawesi Selatan. Secara arkeologis, kronologi munculnya belum diketahui secara pasti tetapi tampil menjadi salah satu kerajaan yang berpengaruh, dimulai pada abad ke-15. Diduga, cikal bakal terbentuknya Kerajaan Wajo berdasarkan naskah lontara pada awalnya berkedudukan di Cinnatobi. Sumber lontara ini masih harus diuji secara arkeologis melalui buktibukti budaya material yang mencerminkan sisa aktivitas masa lampau. Dalam perspektif arkeologis, untuk merekonstruksi sejarah-kebudayaan suatu daerah, harus melalui kajian yang mendalam dengan dukungan data yang lebih banyak dengan berbagai tingkat variabilitas yang tinggi. Dengan demikian untuk mengetahui eksistensi Kerajaan Wajo dan proses-proses perubahannya dalam rentang waktu yang panjang perlu dukungan data artefaktual. Diharapkan dari sejumlah variabel temuan data artefaktual akan memberikan penjelasan empiris dalam menyusun sejarah kebudayaan Wajo. Dari
142
hasil penjaringan data kepustakaan, tampaknya sangat menarik melakukan eksplorasi sistematis untuk menemukan penjelasan proses budaya pada beberapa toponim dalam wilayah bekas Kerajaan Wajo dari masa protosejarah hingga sejarah. Tulisan ini mengkaji lingkungan perkotaan yang dicirikan oleh beberapa peninggalan bangunan di wilayah Wajo. Dalam hal ini perhatian lebih diarahkan pada Kota Tosora yang terbentuk sekitar abad XIV–XVII Masehi. Berbagai pendapat mengenai kota telah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya Anthony J. Catanese (1986). Louis Wirth memiliki pandangan tentang kota sebagai sebuah pemukiman yang relatif besar, padat, dan permanen dan dihuni oleh individuindividu yang heterogen (Catanese, 1986:41). Jika Tosora sebagai suatu kota yang cukup besar pada masanya, maka beberapa komponen bangunan juga dapat ditemukan. Penelitian yang dilakukan pada sejumlah situs dalam wilayah bekas Kerajaan Wajo, merupakan bentuk penelitian eksploratif dengan teknik survei. Survei yang dilakukan berupa SHQJDPDWDQSHUPXNDDQXQWXNPHQJLQGHQWL¿NDVL temuan-temuan budaya material tersebut selanjutnya dianalisis dan menghubungkan variable data yang dimiliki oleh temuantemuannya. Selain itu digunakan pendekatan etnohistoris untuk menjelaskan fenomena budaya dan sejumlah toponimi yang tercantum dalam naskah menyiratkan kisah perjalanan sejarah budaya Wajo dengan sistem pemerintahannya. Namun permasalahannya bahwa situs-situs yang ada dalam kaitannya dengan kisah lontara telah banyak mengalami perubahan terutama disebabkan oleh semakin padatnya penduduk yang bermukim. Dengan demikian, tujuan penulisan ini adalah menggambarkan seluruh fenomena budaya materi untuk menjelaskan karakteristik budaya yang teraktualisasikan dalam budaya materi. PEMBAHASAN .RQGLVL*HRJUD¿GDQ7RSRJUD¿ Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang berada di tengah-tengah Propinsi
Temuan Arkeologi Pada... Hasanuddin
Sulawesi Selatan dengan batas wilayah di sebelah utara dengan Kabupaten Luwu dan Sidrap, sebelah selatan dengan Kabupaten Soppeng dan Bone, sebelah barat dengan Kabupaten Soppeng dan Sidrap serta sebelah timur dengan Teluk Bone. Luas wilayah Kabupaten Wajo mencapai 2.506,19 Km². Kabupaten Wajo berjarak sekitar 242 km dari Kota Makassar, dapat ditempuh sekitar 4 jam dengan menggunakan mobil. 6HFDUD JHRJUD¿V Kabupaten Wajo terletak pada koordinat antara 30º 39’ sampai 4º 16’ Lintang Selatan dan 119º 53’ sampai 120º 27’ Bujur Timur. ,GHRORJL3UDLVODP Catatan sejarah menyebutkan bahwa agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Wajo sebelum Islam adalah kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan tersebut dipengaruhi dari agama Hindu. Dalam lontara disebutkan sebagai berikut: “….Naia Puang ri Maggalatung narekko muttamai pattaungengnge mattunu tedonni, napanrei napainggi to Wajo’e napanggajariwi, makkeda aja musisalasala, iatu dua puanggeng mpawai taue ri mejae. Naia ada-ada patujue iana mpawai gau’ madecengge. Aja’ musiala tane-taneng, musiala parewa tedong, nasapa’ itu sangeasseri. Aja’ muakkawatangeng ri laorumangnge. Sitajekko ma’ bali petau, ianaritu riaseng sidangeng sibawa lao nakko massamanggi taue ri laonrumae. Napura manggala to Wajo’e napanresi tedong, napaleppe’ toni tinja’na napariancekengngi ate tedong, nagattunggi ri galungge, ianaro papparena olokolo setang ma’bonga-bongae….” Adapun Terjemahannya sebagai berikut: “….Adapun Puang ri Manggalatung, bila tiba masa kerja sawah ia membakar daging kerbau. Lalu diberinya makan dan minum orangorang Wajo, dan dinasehatinya seraya berkata: janganlah kalian bertengkar dan janganlah saling bertentangan serumah dan tobatkanlah kepada dewata perbuatan kita yang melampaui batas, kata terlanjur dan berlebihan kita. Karena dua hal itu yang membawa kita keburukan. Adapun kata-kata yang berguna ialah mengandung perbuatan yang baik. Jangan saling mengambil
tanaman dan merampas perkakas kerbau, itulah pantangan padi, jangan saling berlomba mengerjakan sawah. Saling menunggulah kalian yang berdampingan pematang, itulah yang dinamakan kebersamaan jika orang bersamaan mengerjakan sawah. Setelah selasai menuai padi, orang-orang Wajo lagi makan kerbau dan dilepaskannya nazarnya. Disimpannyalah hati kerbau dalam kulit ketupat lalu digantung di sawah dan itulah makanan binatang dan setan yang (suka) bermain-main ….” (Nurhikmah, 1995:23-24)
Istilah kata “Dewata” dan “Sanggisseri” (Sang Hyang Asri) dalam catatan lontara tersebut, sangat sering digunakan dalam agama Hindu. Pelaksanaan pembakaran mayat sejak Batara Wajo I sampai Arung Matowa XI menunjukkan pula adanya pengaruh agama Hindu terhadap kepercayaan orang Wajo. Selain itu, kebiasaan masyarakat setempat yang memberikan sasajian dalam upacara pemujaan roh dan penyembahan berhala yang dilakukan pada saat tertentu memperlihatkan, adanya kepercayaan animisme dan dinamisme yang terpengaruh dari agama Hindu (Uka Tjandrasasmita, 1977). Misalnya, upacara yang dilaksanakan sewaktu turun sawah atau sesudah panen Proses masuknya Islam dimulai sejak kepemimpinan Arung Matowa Wajo XII yang bernama La Sungkuru Patau Sultan Abdulrahman Matinroe ri Alleperenna. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat disebutkan bahwa Arung Matowa Wajo La Sungkuru Patau dan keluarganya awalnya enggan menerima agama Islam secara sukarela. Sombayya ri Gowa I Manggeranggi Daeng Manrabia Sultan Alauddin kemudian mengirim utusannya untuk menemui Arung Matoa Wajo. Pertemuan tersebut untuk mengajak Wajo menerima agama Islam secara damai. Akan tetapi pemimpin Wajo menolak hal tersebut. Dengan demikian maka peperangan antara kedua kerajaan tersebut tidak dapat terhindarkan. Peperangan tersebut kemudian berakhir dengan gencatan senjata. Raja Gowa menerima gencatan senjata tersebut dengan batas
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—151 waktu lima malam saja. Setelah gencatan senjata berlangsung semalam, Arung Matoa segera mengirim utusanya yaitu Ranreng Tua La Mappepulu Toappamole dan Toali, untuk menemui Sombayaa ri Gowa di Cenrana (Bone). Dalam pertemuan tersebut, ia menyampaikan undangan tentang kesiapan Arung Matowa untuk menerima agama Islam dengan harapan bahwa tidak menaklukkan negaranya, tidak merampas barang-barang rakyatnya, tidak membuka rahasianya dan tidak memberhentikan dari jabatannya. Dengan demikian pada 15 Safar 1020 H/6 Mei 1610 M Arung Matowa dan rakyat Wajo menerima secara resmi agama Islam. Arung Matowa La Sungkuru Patau kemudian berganti nama menjadi Sultan Abdulrahman. Datuk Sulaiman yang merupakan utusan yang diminta dari Gowa untuk menjadi guru dalam memperdalam agama Islam di Wajo. Dalam lontara disebutkan bahwa ada beberapa hal yang sering ditekankan oleh Datuk Sulaiman, yakni pertama keimanan kepada Allah dan kedua adalah larangan-larangan (Mattulada, 2011:38). %XNWL%XGD\D0DWHUL0DVD/DOX Kajian ini diawali dengan kehidupan sebelum dan awal Kerajaan Wajo, yaitu masa sebelum orang-orang Wajo memeluk agama Islam dan berhubungan dengan orang-orang asing hingga pada masa-masa kerajaan. Hal itu dipandang penting untuk mengetahui bagaimana proses budaya Wajo yang pernah berperan dalam konteks sejarah budaya Sulawesi Selatan. Dalam kajian yang bersifat eksplorasi ini, penelusuran situs-situs arkeologi di beberapa titik dimaksudkan untuk menjustifikasi beberapa toponim yang disebutkan dalam naskah lontara. Beberapa situs yang telah dieksplorasi yaitu: 6LWXV7RVRUD Situs Tosora berada di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan berada pada titik koordinat Û¶´ /LQWDQJ 6HODWDQ GDQ Û¶´ Bujur Timur dengan ketinggian 26 m dpl.
144
Untuk mencapai situs tersebut, dapat ditempuh melalui jalan darat, yaitu dari Paria sekitar 32 km dan langsung dari Kota Sengkang ibu kota Kabupaten Wajo sekitar 15 km. Dari sejak dahulu sampai sekitar tahun 1980-an, Tosora dapat pula dicapai dengan melalui jalan air yaitu dengan mempergunakan perahu dari Sengkang lewat Sungai Walannae (Cenrana) terus masuk ke danau-danau yang ada di sekitar Tosora yang berhubungan langsung dengan Sungai Walannae, dan langsung berlabuh di sisi barat Tosora. Namun jalan air tersebut, sejak tahun 1990-an sudah tidak dapat lagi dilewati karena terusan yang menghubungkan antara danau-danau yang ada di sekitar Tosora dengan Sungai Walannae sudah tetap ditimbun sehingga menyebabkan danau menjadi kering dan dijadikan penduduk sebagai areal persawahan. Secara topografis Tosora terdiri dari dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian antara 18 – 32 m dpl. Jenis tanah pada umumnya adalah tanah alluvial yang berwarna coklat tua dan coklat muda, merupakan campuran antara tanah liat dengan butiran-butiran pasir halus. Jenis tanah tersebut terbentuk dari endapan Sungai Walannae. Perbukitan Tosora sebagai pusat Kerajaan Wajo, dikelilingi oleh lima danau, yaitu Danau Latalibolong, Danau Lababa, Danau Seppengnge, Danau Latanparu, dan Danau JampuE. Kelima danau tersebut letaknya berada di sebelah barat, selatan, dan timur situs Kota Tosora, sedangkan pada arah utara terdapat perbukitan yang menghubungkannya dengan Cinottabi. Di sekitar Tosora juga mengalir beberapa sungai kecil yang merupakan anak Sungai Walannae yang sebagian bermuara ke danau. Secara geologis diketahui bahwa danau-danau yang ada di sekitar Tosora, merupakan sisa dari aliran Sungai Walannae yang bergeser ke arah barat, bahkan dari data sejarah dapat diketahui bahwa aliran sungai sekarang yang jaraknya sekitar 2 km dari Tosora, merupakan perpindahan sungai yang disengaja oleh masyarakat Kerajaan Wajo, yaitu pada 1740 Belanda menyerang Wajo lewat
Temuan Arkeologi Pada... Hasanuddin
sungai, maka rakyat dikerahkan untuk menimbun aliran Sungai Walannae agar Belanda tidak dapat menyerang secara langsung pusat Kerajaan Wajo di Tosora. Akibat dari penimbunan tersebut, maka aliran Sungai Walannae berpindah ke arah barat (Patunru, 1983). Temuan arkeologis sebagai bukti kehadiran dan kedudukan Tosora dalam pentas sejarah Kerajaan Wajo, dapat disaksikan dengan terdapatnya peninggalan budaya berupa puingpuing dan reruntuhan sisa bangunan, seperti masjid tua, musallah, geddong, gedung bunga, benteng, bekas pelabuhan, makam-makam kuno, dan peninggalan berupa sisa-sisa peralatan perang seperti meriam, peralatan untuk kehidupan seharihari seperti berbagai jenis dan bentuk keramik. Peninggalan-peninggalan tersebut banyak yang sudah mengalami kehancuran dan bahkan punah akibat faktor alam maupun manusia. Bentuk dan fungsi peninggalan arkeologis tersebut, secara ringkas dapat dibaca dalam uraian selanjutnya.
Foto 1. Bagian dinding sebelah selatan masjid tua Tosora
D3HQLQJJDODQ0DVMLG7XD7RVRUD Masjid Tua Tosora merupakan masjid raya yang pertama dibangun di wilayah Kerajaan Wajo, oleh Arung Matowa Wajo XV La Pakallongi To Allinrungi pada 1621. Pada waktu masjid tersebut diresmikan, dihadiri oleh Raja Gowa, Raja Bone, dan Datu Soppeng (Patunru, 1983). Letak sisa bangunan masjid tersebut adalah berada pada ketinggian 30,6 m dpl, persis berada di belakang Kantor Desa Tosora sekarang, di sebelah selatannya terdapat alun-alun. Sisa bangunan yang masih tampak adalah bagian mihrab (ceruk) di sisi barat yang masih utuh, sedangkan bagian dinding lainnya tinggal pondasinya. Masjid ini berdenah bujur sangkar terbuat dari batu yang disusun dengan ukuran, panjang 18,20 m, lebar 15,90 m, tinggi tembok 3,70 m, dan tebal tembok 53 cm, pintu pada bangunan ini berada di sebelah timur.
Foto 2.Mihrab yang berada di sisi utara masjid tua Tosora
Terdapat empat pintu masuk, yaitu dari depan (sisi timur), dari sisi sisi utara-selatan, dan dari sisi kanan (utara) mihrab. Pada bagian dalam masjid terdapat empat umpak batu sebagai landasan tiang penyangga atap soko guru, pada arah tenggara terdapat kolam sebagai tempat air wudhu dengan ukuran panjang 7,35 m, lebar 5,70 m, dalam 0,76 m, dan tebal tembok 0,41 m. Pada arah timur kolam terdapat sumur tua dengan kedalaman 13 m. Di bagian belakang (sisi barat) masjid terdapat beberapa makam-makam kuno, dan yang
145
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—151 terkenal adalah makam dari Ranreng Bettempola La Gau atau yang bergelar MatinroE ri Masigina. Bahan bangunan masjid tersebut, berasal dari berbagai jenis batu alam seperti batu kapur yang masih lunak, batu pasir, dan batu beku dengan ukuran yang tidak seragam. Bahan perekat (spesi) dipergunakan campuran pasir dengan kapur yang terbuat dari moluska yang dibakar.
E3HQLQJJDODQ%DQJXQDQ0XVDOODK Bangunan musallah tersebut tidak diketahui kapan dan siapa yang membangunnya, namun ada kemungkinan didirikan bersamaan dengan bangunan geddong dan gedung bunga setelah masjid tua Tosora lebih dulu dibangun. Letaknya pada ketinggian 20,8 m dpl, berada pada arah barat masjid tua dengan jarak 290 m, pada arah baratnya terdapat bangunan geddong dan Danau Seppengnge dengan jarak 30 m. Keadaan bangunan pada dinding bagian barat masih berdiri tegak sedangkan pada sisi lainnya hanya tinggal pondasinya. Bentuk bangunan adalah empat persegi panjang, dengan ukuran panjang 10,09 m, lebar 9,75 m, tinggi dinding 2,90 m, tebal dinding 0,50 m, dan luas 98,78 m2. Mihrab berupa ceruk berada di sisi barat. Bahan dan teknik bangunannya sama dengan masjid tua Tosora. 1.c Peninggalan Bangunan Gedong (Gudang $PXQLVL
Foto 3. Kompleks makam di bagian belakang Masjid tua Tosora
Foto 4. Salah satu bentuk nisan (Nisan meriam dari bahan besi) yang berada dikompleks makam Masjid tua Tosora
146
Untuk menghadapi serangan Belanda pada masa pemerintahan Arung Matowa Wajo XXX La Salawengngeng To Tenrirura (1715–1736), maka dibangunlah geddong sebanyak tiga buah yang terletak di masing-masing limpo (wilayah), yaitu di Tolotenreng, Tua, dan Bettempola (Patunru, 1983). Geddong yang diuraikan di sini adalah yang terdapat di wilayah Bettempola, yaitu di pusat Kerajaan Wajo, Tosora. Letaknya di Dusun Menge yang berada pada ketinggian 20,8 m dpl, di sebelah timur terdapat bangunan musallah dan di sebelah baratnya terdapat Danau Seppengnge dan pelabuhan tua. Dinding bangunan pada sisi timur masih tampak berdiri tegak, sedangkan sisi lainnya sudah hancur dan tinggal pondasinya. Denah bangunan berbentuk persegi panjang, dengan ukuran panjang 8,50 m, lebar 5,00 m, tinggi dinding 3,15 m, dan tebal dinding 0,61 m. Bahan dan teknik bangunan sama dengan bangunan masjid tua dan Musallah. Pada sisi utara terdapat sebuah meriam, dengan ukuran panjang 2,54 m, diam 0,42 m, dan diam lop 0,16 m.
Temuan Arkeologi Pada... Hasanuddin
Pada arah barat yang berjarak sekitar 50 m terdapat pelabuhan tua, tetapi tidak ada tanda-tanda sisa bangunan. Yang tampak menarik di sekitar tempat tersebut, adalah adanya sebaran fragmen keramik yang cukup padat. 1.d Benteng Pertahanan
tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi hal yang demikian. Untung bahwa makam-makam kuno yang terkonsentrasi berupa suatu kompleks, sebagian besar sudah dilindungi oleh pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, walaupun kelihatannya tidak terawat dengan baik. Peninggalan makam-makam kuno yang dideskripsikan dalam tulisan ini, terdiri atas tujuh kompleks yang penamaannya diberikan sesuai dengan nama tokoh yang paling berpengaruh yang dimakamkan di dalamnya, yaitu:
Pembangunan benteng pertama kali dibuat oleh Arung Matowa Wajo XVIII La Tenrilai To U’damang (1636–1639), kemudian diteruskan oleh penggantinya Arung Matowa Wajo XIX La Isigajang To Bune (1639 – 1643) (Patunru, 1983). Benteng yang masih dapat diamati yaitu di sebelah utara dan selatan, yang memanjang timur-barat. Kedaan benteng pada umumnya sudah hancur, baik yang diakibatkan oleh peperangan, faktor alam (erosi), maupun oleh aktivitas manusia sekarang. Benteng tersebut terbuat dari tanah, dengan ukuran tinggi 8 m, lebar atas 3 m, lebar dasar 15 m. Pada sisi luarnya dibuat parit, dengan ukuran lebar 6 m, dalam 4 m. Benteng yang ada di sisi utara panjangnya 2 km, dengan lima bastion, sedangkan benteng yang ada di sisi selatan panjangnya sekitar 1 km dengan dua bastion pada masing-masing ujungnya. Sebahagian dari benteng tersebut tidak dapat lagi diamati, karena sudah rata dengan tanah di sekitarnya.
Kompleks makam Arung Benteng Pola berada di sisi barat Masjid Tua Tosora (Lihat Foto 3). Kompleks makam ini berada pada ketinggian 30,6 m dpl. Terdapat 12 makam yang terlihat. Sebagian makam tersebut sudah tidak memiliki jirat. Bentuk nisan yang terlihat terdiri dari meriam, mahkota dan pipih. Menurut ceritera masyarakat bahwa makam dengan dua nisan meriam, adalah makam dari Ranreng Benteng Pola La Gau dengan gelar MatinroE ri Masigina (Lihat foto 4). Adapun ukuran nisan tipe meriam yaitu tinggi 74 cm dan diam 35 cm; nisan tipe pipih ukuran tinggi 66 cm dan lebar 35,5 cm; nisan tipe mahkota berukuran tinggi 33 cm dan diam 60 cm.
1.e Peninggalan Makam Kuno
H.RPSOHNV0DNDP7HPSH
Menurut informasi dari masyarakat mengatakan bahwa di Desa Tosora terdapat banyak sekali makam kuno yang tersebar di mana-mana, baik terkonsentrasi pada beberapa kompleks pemakaman maupun yang tersebar secara acak. Sebaran makam kuno tersebut, penulis masih dapat amati ketika pertama kali berkunjung ke Tosora pada tahun 1987. Namun kondisinya sudah berubah ketika tahun 2002 penulis berkunjung lagi ke daerah tersebut, yaitu semakin bertambah dan padatnya permukiman penduduk, sehingga sebahagian besar makam kuno tersebut sudah hilang, bahkan bagian-bagian bangunan jirat dan nisannya dipergunakan penduduk sebagai bahan membuat jalan, jembatan dan bangunan rumah. Kondisi tersebut sangat menyedihkan, namun kita
Kompleks makam (jera) Tempe secara administrasi terletak di Kelurahan Mattiro Tappareng, Kecamatan Tempe. Kompleks makam ini berada di sisi jalan raya yang berhadapan langsung dengan Danau Tempe. Kompleks makam ini terletak pada titik koordinatÛ¶´ /LQWDQJ 6HODWDQ GDQ Û¶´ %XMXU7LPXU dengan ketinggian 35 m dpl. Danau Tempe terletak di bagian barat Kabupaten Wajo. Tepatnya di Kecamatan Tempe, sekitar 7 km dari Kota Sengkang menuju tepi Sungai Walanae. Dari sungai ini, perjalanan ke Danau Tempe dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan menggunakan perahu motor NDWLQWLQJ Perkampungan nelayan bernuansa Bugis berjejer di sepanjang tepi danau. Nelayan yang menangkap ikan di tengah danau
H.RPSOHNV0DNDP$UXQJ%HQWHQJ3ROD
147
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—151 seluas 13.000 hektare itu dengan latar belakang rumah terapung, merupakan pemandangan yang sangat menarik. Dari ketinggian, Danau Tempe tampak bagaikan sebuah baskom raksasa yang diapit oleh tiga kabupaten yaitu Wajo, Soppeng, dan Sidrap. Kompleks makam Tempe merupakan daerah perbukitan yang berdekatan dengan masjid. Di sekitarnya merupakan pemukiman penduduk yang cukup padat. Di kompleks makam ini terlihat beberapa makam kuno dengan berbagai variasi nisan. Selain makam kuno juga terdapat makammakam baru. Dalam eksplorasi dikompleks makam ini, terdapat dua bentuk nisan yaitu nisan berbentuk pipih dan tipe menhir yang dibuat dari batu padas, terdapat motif garis-garis horizontal sebanyak 24 garis dan di bagian tengah pada nisan memiliki motif cakra atau lingkaran. Ukuran nisan pipihyaitu tinggi 160 cm, labar 62 cm, dan ketebalan 20 cm.
Foto 5. Bentuk nisan pipih di kompleks makam Tempe
148
H6LWXV0DNDP/DSXWH
Foto 7. Nisan berbentuk menhir pada makam Lapute
Situs makam (jera) Lapute terletak di Desa Arrajang, Kecamatan Gilireng. Situs makam /DSXWH EHUDGD SDGD WLWLN NRRUGLQDW Û¶´ /LQWDQJ 6HODWDQ GDQ Û¶´ %XMXU7LPXU dengan ketinggian 120 m dpl. Dalam kompleks ini terdapat beberapa makam baik yang memiliki subasemen maupun tanpa badan makam. Namun kelihatannya kompleks makam ini tidak terurus dengan banyaknya rumput yang tumbuh di sekitarnya. Salah satu makam yang mendapat perlakuan istimewa dari masyarakat adalah makam Lapute. Sayang sekali belum diketahui latar belakang sejarah tokoh yang dijuluki Lapute. Perlakuan istimewa itu terlihat dari pagar besi yang mengelilingi makam, dan ada beberapa bekas peziarah seperti kelapa mudan dan pedupaan yang diletakkan di bagian pangkal nisan. Makam Lapute memiliki satu nisan menhir berbentuk pipih melengkung, bagian depan terdapat garis vertikal yang menonjol. Menhir ini terbuat dari batu padas yang bentuknya menyerupai badik dengan ukuran tinggi 220 cm, lebar 43 cm, dan tebal 7 cm (lihat foto no.7).
Temuan Arkeologi Pada... Hasanuddin
H6LWXV0DNDP/DJRVL Situs makam (jera) Lagosi terletak di Desa Lagosi, Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo. Situs makam ini berada pada posisi NRRUGLQDW Û¶´ /LQWDQJ 6HODWDQ GDQ Û¶´%XMXU7LPXUGHQJDQNHWLQJJLDQP dpl. Situs makam ini merupakan area perkembunan yang ditumbuhi tanaman pohon pisan, pohon mangga, pohon jati, bambu dan ditumbuhi banyak semak belukar. Kondisi kompleks makam ini kurang terawat. Sebagian besar makam tidak memiliki jirat (foto 8)
Foto 9. Nisan tipe Mahkota yang terdapat di situs makam Lagosi
Foto 8. Kondisi situs makam Lagosi
Di situs ini ditemukan beberapa tipe nisan, di antaranya adalah tipe persegi dengan ukuran tinggi 60 cm, lebar 30 cm, tebal 25 cm. Ditengah nisan tersebut terdapat motif lingkaran berhias tulisan kaligrafi Arab. Nisan tipe mahkota berukuran tinggi 32 cm dan diam 16 cm. Nisan ini banyak dihiasi dengan motif geometris (foto 9). Selain itu, juga terdapat nisan tipe Aceh (foto 10) yang berkembang di Aceh sekitar awal abad ke-16 Masehi. Nisan tipe Aceh berbentuk pipih yang sebagian badan hingga dasar tertanam dalam tanah, berukuran tinggi 37 cm, lebar 27 cm dan tebal 10 cm.
Foto 10. Nisan tipe Aceh yang berada di situs makam Lagosi
149
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU—151 (NVLVWHQVL.HUDMDDQ:DMREHUGDVDUNDQ'DWD Artefaktual Kerajaan Wajo menurut cerita rakyat dan data kronik lontara, merupakan pelanjut dari Kerajaan Cinnottabi (Hadimulyono, 1985: 20). Wajo berarti bayangan atau bayang-bayang wajowajo (bahasa Bugis). Kata Wajo dipergunakan sebagai identitas masyarakat sekitar 605 tahun yang lalu yang merdeka dan berdaulat pada saat itu. Di bawah bayang-bayang pohon bajo, diadakan kontrak sosial antara rakyat dan pemimpin adat dan bersepakat membentuk Kerajaan Wajo. Perjanjian itu diadakan di sebuah tempat yang bernama Tosora yang kemudian menjadi ibu kota Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar Danau Lampulung yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut Puangnge ri Lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari Kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo (http://www. ujungpandangekspres.com). Munculnya nama Wajo terdapat beberapa versi, salah satu di antaranya menyebutkan bahwa Wajo berawal dari nama sebatang pohon (aju wajo) yang besar dan rindang. Di bawah pohon tersebut La Tenri Bali mengadakan musyawarah dengan rakyatnya, yang menghasilkan kesepakatan tentang pengangkatannya sebagai raja dan perubahan nama kerajaan menjadi Kerajaan Wajo yang dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Batara Wajo. Tempat diadakannya perjanjian tersebut terletak di wilayah Tosora. Masa pemerintahan La Tenri Bali sebagai Batara Wajo I, diperkirakan berlangsung sekitar awal abad ke-15 M. Raja yang bergelar sebagai Batara Wajo hanya berlangsung sampai pada raja ketiga (Batara Wajo III), kemudian gelar raja berubah menjadi Arung Matowa Wajo.
Sebagai Arung Matowa Wajo I adalah La Palowo Topalipung (1480–1488), dan gelar raja tersebut yang dipakai oleh para raja yang berkuasa di Kerajaan Wajo sampai berakhirnya pemerintahan Kerajaan Wajo pada 1888, akibat kekalahan dari pihak Belanda (Abidin, 1985:400). Pusat dari awal berdirinya Kerajaan Wajo adalah Cinnottabi, kemudian berpindah ke Tosora, dan terakhir di Tempe (Sengkang).Tosora dan beberapa daerah lainnya seperti Cinnotabbi, Pammana menurut sumber lontara disebutkan sebagai pusat dari Kerajaan Wajo pada masa lampau. Hingga sekarang masih banyak buktibukti otentik tentang eksistensi Tosora masa lampau berupa sisa-sisa peninggalan budaya, seperti makam, benteng, masjid tua, musallah, gaddong, gedung, sumur tua, alat-alat persenjataan seperti meriam dalam berbagai ukuran, dan bendabenda fragmentaris lainnya untuk keperluan hidup sehari-hari seperti berbagai jenis keramik. Selain sebagai wadah pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, temuan keramik juga mengindikasikan adanya perdagangan yang dilakukan antara daerah tersebut dengan daerah luar (Hadimulyono, 1980). Pusat Kerajaan Wajo diperkirakan berpindah dari Cinnottabi ke Tosora pada awal masuknya Islam di Wajo. Sumber sejarah menunjukkan bahwa agama Islam resmi sebagai agama Kerajaan Wajo ketika Arung Matowa Wajo XII La Sangkuru Patau Mulajaji menganut agama Islam pada 1610 dengan gelar Sultan Abdurrahman. Masjid raya pertama dibangun pada 1612 oleh Arung Matowa Wajo XV La Pakallongi To Allinrungi, yang bekas reruntuhannya masih dapat kita saksikan di Tosora. Bila sumber tersebut benar adanya, maka hal ini menunjukan bahwa pembangunan masjid sebagai pusat peribadatan, sekaligus sebagai tempat pertemuan antara raja dengan rakyatnya dan sebagai simbol kerajaan, menandakan bahwa pusat kerajaan benar-benar telah berada di tempat tersebut (Patunru, 1983:52).
Temuan Arkeologi Pada... Hasanuddin
PENUTUP Hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat variabilitas budaya material yang cukup tinggi dan tersebar di beberapa wilayah di Wajo. Temuantemuan budaya material di situs-situs arkeologi di wilayah di Wajo merupakan bukti kuat kebesaran Wajo di masa lampau. Sebagaimana dengan data sejarah yang menyebut Tosora sebagai bekas wilayah Islam yang termashur di Wajo, dibuktikan dengan temuan-temuan sisa bangunan masjid dan makam-makam kuno. Dari data yang ditemukan bahwa Islam berkembang setidaknya awal abad ke-17 Masehi. Hal itu ditandai dengan temuan nisan tipe Aceh yang berkembang di Aceh sekitar awal abad ke-17 Masehi. Selain itu, budaya material terutama makam beserta nisan-nisan kuno cukup memberi bukti adanya akulturasi dengan budaya praislam. Adanya intrusi budaya praislam tersebut dapat dilihat pada bentuk makam (jirat dan nisan), gaya (style), dan letak makam. Menhir sejak zaman prasejarah sudah dikenal sebagai simbol leluhur, dan pada masa Islam PHPLOLNLPDNQDVWUDWL¿NDVLVRVLDO\DQJWHUNDGDQJ dipadukan dengan berbagai motif ragam hias yang sudah dikenal sebelum masuknya Islam. Hal ini menunjukkan bahwa dengan masuknya agama Islam, telah terjadi transformasi budaya dengan pemaknaan lain. DAFTAR PUSTAKA Catanese, Anthony J. dan James C. Snyder. 1986. Pengantar Perencanaan Kota. Jakarta: Erlangga. Duli, Akin. 1988. “Peninggalan Arkeologi di Tosora”. (Skripsi). Ujung Pandang: Fakultas Sastra Unhas. --------------. 2010. “Peranan Tosora sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Wajo Abad XVI – XIX dalam Jurnal WalennaE Vol. 12 No. 2, hal.143-158. Hadimulyono. 1980. “Beberapa Catatan Tentang Perdagangan Keramik Cina Pada abad XVI – XVII di Indonesia”. PIA II. Jakarta: Puslitarkenas.
Hadimulyono, dkk. 1985. “Studi Kelayakan Bekas Ibu Kota Kerajaan Wajo (Abad XVII) di Tosora, Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan”. (tidak terbit).Ujung Pandang: SPSP Sulselra. Hamris. 1990. “Bentuk Nisan Kompleks Makam Raja-Raja Wajo di Tosora”.(Skripsi). Ujung Pandang: Fakultas Sastra Unhas. http://www.ujungpandangekspres.com. Diakses pada tanggal 24 Juni 2013 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wajo. Diakses pada tangga 24 Juni 2013 Kallupa, Bahru. 1987. “Laporan Ekskavasi Penyelamatan di Desa Tosora Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo”. Ujung Pandang: SPSP Sulselra.(tidak terbit) Mattulada. 1982. Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah. Ujung Pandang: Bhakti Baru. Nurhikmah. 1995. “Kepemimpinan La Tadampare Puang Ri Maggalatung sebagai Arung Matowa Wajo IV (1491-1521): Suatu Tinjauan Historis. (Skripsi). Ujung Pandang. Univiversitas Hasanuddin. Patunru, A.R. Daeng. 1983. Sejarah Wajo. Ujung Pandang: Yayasan Kebebudayaan Sulselra. Uka Tjandrasasmita. 1977. “Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia”. Sejarah Nasional Indonesia. Jld. III. Jakarta: Balai Pustaka. Zainal, Abidin Farid A. 1985. Wajo abad XV – XVII Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontara. Bandung: Alumni.
151