WALASUJI ISSN: 1907-3038 Jurnal Sejarah dan Budaya Volume 4, No. 2, Desember 2013
PERANAN ORGANISASI KELASKARAN DALAM PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DI SULAWESI SELATAN THE STRUGGLE OF SOLDIER ORGANIZATION TO MAINTAIN THE INDEPENDENCE IN SOUTH SULAWESI
Sritimuryati Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km. 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 885119, 883748, Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Diterima: 10 Juni 2013; Direvisi: 23 September 2013; Disetujui: 25 November 2013 ABSTRACT This writing aims to outline the struggle of soldier organizations to maintain the Proclamation of Independence in South Sulawesi. The writer uses is the historical method, which explains the issue from the historical perspectively. 7KLVSURFHGXUHLQYROYHVIRXUVWDJHVQDPHO\¿QGLQJDQGFROOHFWLQJVRXUFHVKHXULVWLF WKHFULWLFVRXUFHVGDWD VHOHFWLRQ LQWHUSUHWDWLRQDQGWKHSUHVHQWDWLRQRIKLVWRU\KLVWRULRJUDSK\ 7KHUHVXOWRIWKHUHVHDUFKVKRZVWKDWWKH struggle of the people of South Sulawesi through the soldier organization since the beginning requires the nation integration in a form of a unity of Republic Indonesia. Their struggles are not only focused on the recognition of sovereignty in order to live in a freedom atmosphere, but also do not want a split in life of the nation. Keywords: proclamation, independence, struggle, soldier ABSTRAK Artikel ini bertujuan menguraikan perjuangan organisasi kelaskaran dalam mempertahankan Proklamasi kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Penulis menggunakan metode sejarah, yakni metode yang menjelaskan masalah penelitian berdasarkan perspektif sejarah. Prosedurnya meliputi empat tahap, yaitu mencari dan mengumpulkan sumber (heuristik), kritik sumber (seleksi data), interpretasi (penafsiran), dan penyajian atau penulisan sejarah KLVWRULRJUD¿ +DVLONDMLDQPHQXQMXNNDQEDKZDSHUMXDQJDQUDN\DW6XODZHVL6HODWDQPHODOXLZDGDKSHUMXDQJDQ organisasi kelaskaran sejak awal menghendaki integrasi bangsa dalam bentuk negara kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan mereka bukan hanya tertuju pada pengakuan kedaulatn agar hidup dalam suasana kemerdekaan, melainkan tidak menghendaki adanya perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata kunci: proklamasi, kemerdekaan, perjuangan, kelaskaran
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— PENDAHULUAN
P
erjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan titik kulminasi perjuangan bangsan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda. Salah satu pusat perlawanan yang paling sengit terhadap Belanda di luar Pulau Jawa seusai proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah daerah Sulawesi Selatan. Daerah yang terletak di tengah-tengah Kepulauan Indonesia dengan ibukota Makkassar, tidak hanya menjadi salah satu pusat perlawanan menentang kehadiran dan usaha NICA (Nederland Indische Civil Administratie) yang hendak memulihkan kembali kedudukan dan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Tetapi juga menjadi salah satu pusat perjuangan dalam membela dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal itu dimungkinkan karena terbentuknya berbagai organisasi perjuangan, terutama organisasi kelaskaran pada sejumlah wilayah pemerintahan di daerah ini. Pembentukan organisasi perjuangan tersebut, tidak terlepas dari dukungan rakyat dan para penguasa lokal (raja-raja) yang senantiasa mendorong para pemuda pejuang, baik dalam perjuangan menentang kehadiran dan usaha NICA, maupun dalam perjuangan membela dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Berdasarkan uraian singkat itu, maka yang menjadi pokok persoalan dalam kajian ini adalah bagaimana peranan organisasi kelaskaran dalam perjuangan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di daerah Sulawesi Selatan. Dalam hal ini, fokus kajian diarahkan untuk mengungkapkan dan menjelaskan peranan organisasi kelaskaran dalam perjuangan menentang kehadiran dan usaha NICA yang hendak memulihkan kembali kedudukan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda di Sulawesi Selatan. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah peranan organisasi kelaskaran dalam perjuangan membela dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia serta dalam mewujudkan negara kesatuan Republik
Indonesia. Untuk itu, maka diperlukan suatu metode yang disebut dengan metode sejarah, yaitu suatu proses pengungkapan dan penjelasan suatu persoalan berdasarkan perspektif sejarah. Pada intinya metode sejarah ini, meliputi empat tahap yaitu heuristik (pencarian dan pengumpulan sumber), kritik sumber (analisa dan seleksi data), LQWHUSUHWDVLSHQDIVLUDQ GDQKLVWRULRJUD¿GDODP bentuk kisah. PEMBAHASAN 3HPEHQWXNDQ2UJDQLVDVL3HUMXDQJDQ Perjuangan mewujudkan negara Republik Indonesia sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, berdasarkan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sebab, pemerintah Belanda menolak memberikan pengakuan kepada bangsa Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya. Selain itu karena pemerintah Belanda juga berusaha untuk memulihkan kembali pengaruh dan kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di wilayah bekas jajahannya (Hindia Belanda), termasuk di daerah Sulawesi Selatan. Hal ini tentunya berkaitan dengan sikap Sekutu yang tampil sebagai pemenang dalam Perang Dunia II, yang tidak mengakui sepenuhnya proklamasi kemerdekaan dan Pemerintah Republik Indonesia. Sikap Sekutu itu tidak terlepas dari proses persiapan kemerdekaan Republik Indonesia yang mendapat dukungan dari Jepang, dan proklamasi kemerdekaan serta penyelenggara Pemerintahan Republik Indonesia, merupakan tokoh-tokoh yang terlibat kerjasama dengan pihak Jepang. Selain itu, perumusan pembentukan negara yang dilaksanakan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), merupakan wadah ciptaan pemerintah militer Jepang. Itulah sebabnya Inggris dan Australia yang mewakili Sekutu untuk menyelesaikan persoalan di Indonesia, tampaknya membenarkan keinginan NICA yang hendak memulihkan kembali pengaruh dan kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia (Poelinggomang, 2002:6; Ijzeeref,
3HUDQ2UJDQLVDVL.HODVNDUDQSritimuryati
1984:17). Dukungan Sekutu terhadap NICA itu tentu dilandasakan pada kesepakatan yang telah dicapai antara Inggris dengan Pemerintah Belanda yang tertuang dalan Civil Affaire Agreement pada tanggal 24 Agustus 1945, yang pada dasarnya menerima dan menempatkan NICA menjadi bagian yang integral dari pasukan Sekutu dalam melaksanakan tugas di Indonesia. Itulah sebabnya ketika tentara Australia atas nama pasukan Sekutu mendarat di Sulawesi Selatan pada bulan September 1945, terdapat pula aparat-aparat NICA di bawah pimpinan Mayor J. G. Wegner, yang bertugas untuk memulihkan kembali pengaruh dan kedudukan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda di daerah Sulawesi Selatan. Patut dicatat bahwa kehadiran pasukan Sekutu (Tentara Australia) yang semula hanya bertugas untuk membebaskan para tawanan Perang Dunia II, melucuti dan memulangkan tentara Jepang, serta memulihkan keamanan dan ketertiban, tetapi dalam kenyataannya banyak membantu aparataparat NICA dalam mewujudkan keinginannya itu (Poelinggomang, 2000:44).1 Kebijakan Sekutu tersebut, jelas memberikan keuntungan politis yang luar biasa kepada NICA (Belanda), sehingga dalam waktu yang singkat mereka berhasil memperkuat kedudukan kekuasaannya di Sulawesi Selatan (Harvey, 1989:112; Agung, 1985:4). Atas kebijakan itu, sehingga dalam perkembangan selanjutnya beberapa raja dan tokoh-tokoh politik bersedia bekerjasama dengan NICA (Belanda) untuk mewujudkan gagasan politik federal Van Mook. Terlebih-lebih setelah naskah Perjanjian Linggarjati disetujui. Sementara raja-raja yang menolak kerjasama dengan NICA dipecat dari kedudukannya, ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan ke daerah tempat pembuangan yang menyengsarakan. Mereka lalu digantikan dengan bangsawan yang pro Belanda. Demikian pula tokoh-tokoh politik yang tidak bersedia bekerjasama dengan NICA ditangkap dan dipenjarakan atau diasingkan.
Kenyataan itulah yang menyebabkan terjadinya berbagai pergolakan rakyat yang bertujuan menentang kehadiran NICA dan terbentuknya berbagai organisasi kelaskaran yang bertujuan menentang usaha-usaha NICA yang hendak memulihkan kembali pengaruh dan kedudukan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda di daerah Sulawesi Selatan. Reaksi rakyat itu tentu tidak terlepas dari dukungan dan peran penguasa-penguasa tradisional (rajaraja) yang bergiat mendorong rakyatnya untuk tampil dengan gigih menentang usaha NICA. Hal ini dibuktikan ketika raja-raja di Sulawesi Selatan melaksanakan serangkaian pertemuan, termasuk yang diselenggarakan di Jongaya pada tanggal 15 Oktober 1945. Dalam pertemuan itu dicapai kesepakan untuk menyampaikan kepada wakil Sekutu di Makassar, bahwa rajaraja di Sulawesi Selatan mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan menyatakan wilayah kekuasaan dan aparata-aparat pemerintahannya adalah bagian dari wilayah Republik Indonesia dan aparat pemerintahan Republik Indonesia. Pernyataan sikap itulah yang memotivasi rakyat di daerah ini bergiat membangun kekuatan untuk menentang usaha NICA. Usaha-usaha itu akhirnya melapangkan pembentukan-pembentukan kelaskaran di berbagai wilayah pemerintahan di Sulawesi Selatan (Arfah, 1993:170; Poelinggomang, 2002:7). Organisasi-organisasi kelaskaran itu, antara lain: Penunjang Republik Indonesia (PRI), Pusat Keselamatan Rakyat (PKR), Pemuda Nasional Indonesia (PNI), Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI), Harimau Indonesia (HI), Pemuda Pemberontak Kota Makassar (PPKM), Barisan Pemberontak Indonesia (BPI), Badan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), Angkatan
1
Sesungguhnya kesepakatan antara Inggris dengan Belanda yang tertuang dalam Civil Affaire Agreement tersebut, telah dilakukan antara Van Mook dengan Mac Athuur sejak bulan Desember 1944. Namun kesepakatan itu baru disahkan pada tanggal 24 Agustus 1945.
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— Laskar Rakyat (ALR), dan Pasukan Rahasia Republik Indonesia (PARRIS) di Makassar; PRI dan PNI di Parepare; Soekarno Muda dan PNI – Pusat Keselamatan Rakyat (PKR) di Luwu; PRI dan PNI – PKR di Wajo; Gerakan Keamanan Daerah Gowa (GKDG) di Gowa; Berjuang Untuk Merdeka (BUKA) di Limbung; Kebaktian Rakyat Pallangga (KERAP) di Pallangga; Gerakan Muda Bajeng (GMB) – Lipan Bajeng di Polombangkeng; Gerakan Pemuda Turatea (GPT) – Laskar Pemberontak Turatea (LAPTUR) di Jeneponto dan Bangkala; Pengawal Tanah Bone (PTB) – Badan Pemberontak Rakyat Bone (BPRB) di Bone; Kebaktian Rahasia Islam Muda (KRIS-Muda) dan Gabungan Pemberontak Rakyat Indonesia (GAPRI) di Mandar; Pemuda Nasional Indonesia (PNI) – Gabungan Pemuda Indonesia Soppeng (GAPIS) di Soppeng; Pemuda Merah Putih (PMP), Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI), dan Penerjang Penjajah Indonesia (PPI) di Bantaeng; PPNI dan Barisan Merah Putih (BMP) – Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) di Bulukumba; Pemuda Pendukung Kemerdekaan (PPK), Pusat Keselamatan Rakyat (PKR), dan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Sinjai; Pusat Keselamatan Rakyat (PKR) dan Barisan Merah Putih (BMP) – Angkatan Muda Rakyat Indonesia Selayar (AMRIS) di Selayar; Angkatan Muda Maros (AMM), Pemuda Merah Putih Camba, Benteng Indonesia Sulawesi (BIS), serta Cabang PPNI dan KRIS-Muda di daerah Maros; Barisan Pemuda Merah Putih (BPMP) dan Harimau Indonesia (HI), serta Cabang PPNI dan KRIS-Muda di daerah Pangkep; Gerakan Pemuda Tanete (GPT) di Tenete-Barru; Pemuda Merah Putih (PMP) – Kebaktian Rakyat Indonesia (KRIS) di Soppeng Riaja-Barru; Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) di Suppa-Parepare; Barisan Pemberontak Merah Putih (BPMP) di Pinrang; Gerakan Pemuda Merah Putih (GPMP) dan PNI – BP Ganggawa di Sidrap; PRI, PNI, dan HI – BPRI di Enrekang (Kadir, 1984:137; Pawiloy, 1980:110; Harvey, 1989:115).
3HUODZDQDQ2UJDQLVDVL.HODVNDUDQ Pembentukan organisasi kelaskaran dan perlawanan yang ditampilkan untuk menentang pemulihan kembali kedudukan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda tetap tidak memudarkan keinginan NICA. Itulah sebabnya berbagai usaha yang dilakukan NICA untuk mematahkan dan memudarkan perlawanan rakyat, namun kenyataannya usaha perlawanan semakin berapi-api. Bahkan organisasi-organisasi kelaskaran yang selama ini berjuang secara terpisah di daerah masing-masing, berusaha mengorganisir kekuatan dalam satu wadah komando, agar langkah perjuangan lebih kuat dan mantap dalam menghadapi NICA. Keinginan dan usaha itulah yang mendorong pembentukan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) yang berpusat di Polombangkeng (Arfah, 1991:88). Sejak pemusatan koordinasi perjuangan pada LAPRIS, kegiatan perjuangan semakin keras dan terorganisasi baik sehingga pihak NICA semakin tampak tidak berdaya memaksakan keinginannya untuk memulihkan kembali kedudukan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Organisasi kelaskaran yang tergabung dalam Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) yang terbentuk pada tanggal 17 Juli 1946 tersebut, tercatat sembilan belas organisasi kelaskaran, yaitu; Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) Bulukumba, Penerjang Penjajah Indonesia (PPI) Bantaeng, Angkatan Muda Rakyat Indonesia Selayar (AMRIS) Selayar, Laskar Pemberontak Turatea (LAPTUR A) Jeneponto, Laskar Pemberontak Turatea (LAPTUR B) Bangkala Lipan Bajeng (LB) Polombangkeng, Berjuang Untuk Merdeka (BUKA) Limbung, Kebaktian Rakyat Pallangga (KERAP) Pallangga, Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI) Makassar, Angkatan Laskar Rakyat (ALR) Makassar, KPS (Makassar), Pemuda Camba (Maros), Harimau Indonesia (Pangkep), GPT (Tanete), GAPIS (Soppeng),
3HUDQ2UJDQLVDVL.HODVNDUDQSritimuryati
BPRI (Suppa-Parepare), KRIS Muda (Mandar), TPRI (Makassar), dan BPI Makassar (Amir, 2012:119; Kadir, 1984:137-182). Selain pembentukan wadah LAPRIS itu, dilakukan pula jaringan hubungan dengan pemerintahan pusat di Yogyakarta. Jaringan hubungan itu bukan hanya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa rakyat Sulawesi Selatan mendukung sepenuhnya proklamasi kemerdekaan dan kedudukan pemerintah pusat Republik Indonesia, tetapi juga untuk dapat melaksanakan perjuangan secara menyeluruh dan penentangan total terhadap usaha NICA. Di samping itu, untuk menjalin kerjasama dalam pembinaan perjuangan (bantuan latihan militer dan persenjataan) dan sebagai sarana diplomasi politik bahwa seluruh rakyat Indonesia mendukung proklamasi kemerdekaan dan pembentukan negara Republik Indonesia. Usaha-usaha itulah yang kemudian melapangkan terbentuknya Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) pada bulan April 1946 dan pembentukan TRI Divisi Hasanuddin pada Konferensi Paccekke pada bulan Januari 1947 (Djarwadi, 1972:33; Kadir, 1984:172; Amir, 2008:143). Sesungguhnya perjuangan dalam menegakkan, membela, dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan, bukan saja dilakukan dengan diplomasi politik, tetapi juga dengan perjuangan bersenjata. Hal itu ditandai dengan lahirnya berbagai organisasi perjuangan, baik organisasi politik maupun organisasi kelaskaran. Bahkan sebelum terbentuknya LAPRIS dan TRI Divisi Hasanuddin, telah terjadi tindak perlawanan bersenjata terhadap NICA yang hendak memulihkan kembali kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda di Sulawesi Selatan. Itulah sebabnya setelah kedua organisasi perjuangan itu terbentuk, perlawanan terhadap NICA semakin terorganisir dan semakin meningkat. Para pemuda pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang mengalihkan kegiatan perjuangannya ke
sebelah selatan Kota Makassar misalnya, menempatkan Polombangkeng dan daerahdaerah sekitarnya sebagai pusat perlawanan bersenjata yang kuat terhadap NICA. Demikian pula jiwa dan semangat perjuangan rakyat Polombangkeng dan sekitarnya yang sejak awal telah bertekad untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan, semakin bangkit dan bergelora ketika pemuda-pemuda pejuang dari Makassar datang ke daerah itu untuk bergabung dalam rangka memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. Kehadiran para pemuda pejuang di Polombangkeng dan daerah sekitarnya, bukan saja telah memperkuat organisasi perjuangan di daerah itu, sehingga menjadi pusat perlawanan bersenjata yang kuat dan paling bertahan di Sulawesi Selatan, tetap juga telah merubah taktik perjuangan ke arah yang lebih offensif. Itulah sebabnya terjadi serangkaian peristiwa berupa pertempuran antara para pemuda pejuang yang tergabung dalam berbagai organisasi kelaskaran dengan serdadu KNIL, serta penyergapan dan penghadangan-penghadangan, beserta aksiaksi sabotase lainnya yang dilakukan oleh para pemuda pejuang terhadap aparat-aparat NICA dan kaki tangannya di wilayah Afdeling Makassar. Adapun serangkaian peristiwa itu antara lain pertempuran di Batunipa-Polombangkeng (7 Januari 1946), penyerangan terhadap polisi NICA di Pappa-Takalar (21 Februari 1946), pertempuran di Bulukunyi (23 Maret 1946), penghadangan terhadap patroli serdadu KNIL di Pa’lilang (27 April 1946), pertempuran di Salukan dan Pungkebo (Mei 1946), penyerangan terhadap pos NICA di Malolo (Juni 1946), dan pertempuran di Borongmati (Juli 1946). Intensitas perlawanan terhadap pasukan Belanda semakin meningkat terutama setelah LAPRIS terbentuk, yaitu pertempuran di Ko’mara-Rannaya (8 Agustus 1946). Menurut laporan R.W. Mongosidi, bahwa serangan-serangan yang dilakukan terhadap
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— kedudukan NICA dari tanggal 15 hingga 31 Agustus 1946, antara lain Tangsi Militer di Mariso (pihak NICA kehilangan 100 orang tentara, dan beberapa senjata mereka berhasil dirampas oleh pasukan LAPRIS, serta 50 orang tentara NICA mengalami lukaluka); Tangsi Polisi (4 orang polisi tewas); Pertahanan Militer di Labuangbaji (hasilnya tidak diketahui); menggranati kubu tentara NICA di Ujung Tanah (25 orang mati, 10 luka berat, dan 10 luka ringan di pihak NICA); penghadangan dan penggranatan 3 buah mobil jeep musuh di Jalan Maros (14 orang meninggal, 5 orang luka berat, dan 3 orang luka ringan); dan menggranati 2 mobil jeep musuh di bagian utara Kampung Baru (8 orang meninggal, 4 orang luka berat, dan 2 orang luka ringan). Selain itu, juga melakukan aksi pembakaran gudang-gudang musuh dan rumah-rumah orang yang bekerjasama dengan NICA serta bangsal yang diperuntukkan bagi kelompok yang dilindungi oleh NICA. Hal ini menunjukkan bahwa tidak sedikit kerugian yang diderita oleh pihak NICA, baik kekuatan militernya, maupun perlengkapan dan perbekalan lainnya (Arsip NIT, No. 162; Kadir, 1984:166; Amir, 2012:168-176). Demikian pula pada bulan-bulan berikutnya, terjadi serangkain pertempuran di Barombong dan Parasanganbera (September 1946), penghadangan terhadap patroli KNIL di Tabbing-Suwaliya dan polisi NICA di Panciro (Oktober 1946), penyerangan terhadap pos NICA di Malakaji dan pertempuran di Batorang (November 1946), dan pertempuran di Buluballea (17 Desember 1946). Sementara di wilayah Afdelling Parepare dan daerah sekitarnya, para pemuda pejuang bangkit dan melakukan pula perlawanan terhadap NICA. Perlawanan yang diorganisir oleh berbagai organisasi kelaskaran di wilayah itu, mengakibatkan terjadinya serangkaian kontak senjata yang tidak kalah serunya dengan peristiwa yang terjadi di wilayah Afdeling Makassar dan daerah sekitarnya.
Perlawanan terhadap NICA dan kaki tangannya semakin meningkat setelah adanya jalinan kerjasama dan bantuan dari pejuang di Jawa yang ditandai dengan pendaratan pasukan ekspedisi Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di Suppa. Sejak itu terjadi berbagai insiden dan peristiwa berupa aksi-aksi sabotase, penggranatan, dan penghadangan. Tangsi KNIL Cappa Galung, Bulu Lacori, ToE Alitta, Wae SibokorongngE, Bungi Kelapa Dua, Buttu (Suppa), LarukinruE, LabuangngE, AllameangngE, Lajojoreng, Leppangeng, Bulu Terpedo, Lamajakka, TeppoE (Alitta), Lasekko (Suppa), Lamaulu, Kariango, Ka-rabello, PucuE, AllakarajaE, dan Garessi. Pada kontak senjata di Garessi Suppa tersebut, laskar BPRI di bawah pimpinan Andi Selle yang dibantu laskar BP-Ganggawa, bertempur melawan serdadu KNIL yang menyerang markas BPRI. Pada pertempuran ini, 3 orang anggota BPRI gugur. Sedangkan pasukan KNIL, Mayor F. La Roy terluka berat dan meninggal dalam perjalanan ke Parepare. Oleh karena itu, bendera Belanda setengah tiang dinaikkan. Perlawanan pemuda pejuang terhadap NICA bukan saja dilakukan pada kedua wilayah afdeling itu, tetapi juga pada wilayah afdeling lainnya, seperti Afdeling Bantaeng, Mandar, Luwu, dan Bone (Said, 1980:248; Amir, 2005: 59-60; Kila, 1995:33-12). Rentetan Peristiwa yang telah dikemukakan tersebut, merupakan suatu bukti betapa gigihnya perlawanan rakyat Sulawesi Selatan terhadap NICA. Meningkatnya perlawanan itu menyebabkan semakin merosotnya kedudukan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda, bahkan dapat dikatakan mencapai titik kehancuran. Keadaan itu bukan saja dinyatakan oleh para pejuang Sulawesi Selatan, seperti yang dilaporkan oleh R. W. Monginsidi, bahwa lapisan masyarakat di Sulawesi Selatan pada umumnya menghendaki negara Indonesia dalam bentuk republik dan tidak tergoyahkan hingga akhir
3HUDQ2UJDQLVDVL.HODVNDUDQSritimuryati
1946. Tetapi pihak pemerintah kolonial Belanda juga mengakui bahwa perlawanan rakyat semakin meningkat, sehingga kedudukan kekuasaannya semakin merosot dan hampir tidak berdaya. Meningkatnya perlawanan rakyat itu disebabkan semakin berkembangnya jalinan kerjasama dan bertambah kuatnya organisasi kelaskaran. Selain itu, semakin terorganisirnya kelaskaran dalam satu wadah perjuangan LAPRIS, serta adanya bantuan kekuatan dari Jawa, yang kemudian melapangkan terbentuknya Divisi Tentara Republik Indonesia di Sulawesi Selatan (Kadir, 1984:198; Amir, 2001:31). 3HUMXDQJDQ0HZXMXGNDQ1HJDUD.HVDWXDQ Perjuangan dan perlawanan rakyat Sulawesi Selatan terhadap keinginan NICA itu, menyebabkan NICA merasakan bahwa rencana untuk memulihkan kembali pengaruh dan kedudukan kekuasaan Belanda berada pada ambang ketidakberhasilan. Dalam laporan pemberitaannya dinyatakan bahwa perlawanan yang paling keras dan berapi-api menentang kekuasaannya berada di Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah Afdeling Makassar yang berpusat di Polombangkeng, dan wilayah Afdeling Parepare yang berpusat di Suppa. Oleh karena itu, jika perjuangan dan perlawanan rakyat tersebut tidak dapat diakhiri, maka pasti usaha pemulihan kedudukan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda akan mengalami kegagalan. Kenyataan itulah yang mendasari pemerintah Belanda mengumumkan Staat van Orloog en Beleg (Negara dalam Keadaan Darurat dan Perang, disingkat SOB) atas wilayah Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Desember 1946. Pernyataan SOB itu kemudian disusul dengan “Perintah Harian” (Dag Order) dari Letjen S. Spoor kepada seluruh jajaran militer Belanda untuk melaksanakan aksi militer (Staatsblad, No. 139; Poelinggomang, 2002:7). Patut dikemukakan bahwa beberapa hari sebelum pernyataan SOB dan Perintah Harian dikeluarkan, telah didatangkan bantuan tentara dari Devisi 7 Desember langsung dari Negeri Belanda. Bantuan ini tiba di Makassar pada tanggal
1 Desember 1946, dan Detaschemen Speciale Troepen (DST), yang kemudian disebut Depot Speciale Troepen di bawah pimpinan Letnan I Rijmond P. P. Westerling (kemudian lebih dikenal dengan Kapten Westerling) yang tiba di Makassar pada tangal 5 Desember 1946. Pasukan militer Belanda inilah yang kemudian mengemban tugas pelaksanaan aksi militer yang tertuang dalam Perintah Harian Letjen S. Spoor. Aksi militer yang dilakukan itu mengakibatkan terjadinya peristiwa penting di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan “Korban Empat Puluh Ribu Jiwa” Pernyataan SOB itu diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) No. 139 (Poelinggomang, 2002:8; Kadir, 1984:200-205; Harvey, 1989:119-139). Pernyataan SOB dan aksi militer tersebut, ternyata berhasil menunda kegagalan NICA memulihkan kedudukan kekuasaan Belanda. Bahkan pemerintah Belanda berhasil memaksakan gagasan politik federalnya pada Konperensi Denpasar, sehingga terbentuklah Negara Indonesia Timur (NIT). Pembentukan NIT yang kemudian disusul pula dengan pembentukan negara-negara bagian lainnya dari pecahan wilayah Republik Indonesia, bukan hanya merupakan strategi politik Belanda untuk mewujudkan negara federal di bawah Uni Belanda, tetapi pada hakekatnya juga dimaksudkan untuk membubarkan negara Republik Indonesia. Namun usaha-usaha Belanda itu telah menggugah dunia internasional untuk memaksa pemerintah Belanda melaksanakan konferensi guna penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda di Den Haag – Belanda, yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan utama yang dicapai dalam konferensi itu, bahwa Pemerintah Belanda bersedia memberikan pengakuan kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia yang berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Pengakuan atau penyerahan kedaulatan itu akhirnya terealisasi pada tanggal 27 Desember 1949. Kesepakatan itu ternyata tidak memberikan kepuasan kepada para pejuang di Sulawesi Selatan. Itulah sebabnya setelah pengakuan kedaulatan, mereka menyelenggarakan rapat
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— akbar untuk merumuskan kembali keinginan yang telah mendasari perjuangannya. Dalam pertemuan akbar yang diselenggarakan di Polombangkeng pada tanggal 5-7 Februari 1950, berhasil disepakati pembentukan Biro Pejuang Pengikut Republik Indonesia (BPPRI). Selain itu, juga dicapai kesepakatan untuk menuntut pembubaran NIT dan RIS serta menuntut pemerintah untuk mewujudkan kembali negara kesatuan Republik Indonesia (Arsip A. R. Tamma, No. 12; Djarwadi, 1972:45; Kadir, 1984:245). Untuk merealisasikan perjuangan itu, maka diutuslah Makkaraeng Daeng Mandjarungi dan M. Riri Amin Daud sebagai wakil BPPRI ke Yogyakarta pada tanggal 23 Februari 1950, untuk menyampaikan sikap para pejuang di Sulawesi Selatan kepada pemerintah RIS dan Republik Indonesia, yang pada intinya menghendaki RIS dibubarkan dan kembali kepada negara kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, tokoh-tokoh BPPRI lainnya juga bergiat mengorganisir partai-partai politik dan organisasi perjuangan untuk berjuang membubarkan NIT dan RIS. Usaha-usaha itu akhirnya mendorong GAPKI (Gabungan Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia) menyelenggarakan pertemuan dengan organisasi perjuangan lainnya pada tanggal 16 Maret 1950. Dalam pertemuan itu berhasil dicapai kesepakatan untuk melaksanakan demonstrasi secara besar-besaran menuntut pembubaran NIT dan RIS pada tanggal 17 Maret 1950 (Arsip NIT, No. 129; Provinsi Sulawesi, 1953:162). Perjuangan yang sama juga dilakukan oleh raja-raja dan bangsawan di Sulawesi Selatan, yang tidak ingin memperoleh kedaulatan dalam bentuk negara federasi (RIS). Mereka tampaknya berusaha membubarkan RIS melalui Pemerintah Republik Indonesia dan melalui Hadat Tinggi Sulawesi Selatan untuk membubarkan NIT. Itulah sebabnya Andi Mappanyukki, Andi Djemma, Padjonga Daeng Ngalle, Andi Sultan Daeng Radja, dan lain-lain berangkat ke Yogyakarta pada akhir Maret 1950, untuk menyampaikan sikap rajaraja dan bangsawan di Sulawesi Selatan, yang pada intinya menuntut agar RIS dibubarkan dan terwujudnya kembali negara kesatuan Republik
Indonesia. Hal inilah yang mendasari pernyataan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan dan Dewan Sulawesi Selatan, yang masing-masing diwakili oleh Andi Idjo Karaeng Lalolang (Wakil Ketua Hadat Tinggi Sulawesi Selatan ) dan Andi Burhanuddin (Ketua Dewan Sulawesi Selatan), bahwa sesuai dengan kehendak rakyat Sulawesi Selatan, “dengan ini mengatakan bahwa Sulawesi Selatan lepas dari NIT dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia sebagai satu provinsi” pada tanggal 26 April 1950 (Pemda, 1991:306; Provinsi Sulawesi, 1953:169). Usaha-usaha yang dilaksanakan itu, akhirnya melapangkan jalan bagi terwujudnya kembali negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno, dalam pidato kenegaraannya dalam rangka menyambut peringatan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang kelima, tanggal 17 Agustus 1950, mengumumkan pembubaran RIS dan menyatakan kembali kepada negara kesatuan Republik Indonesia. PENUTUP Gambaran kesejarahan tersebut, menunjukkan bahwa Sulawesi Selatan merupakan salah satu pusat perlawanan paling sengit terhadap kehadiran NICA di luar Pulau Jawa. Selain itu, merupakan penentang yang gigih terhadap usaha NICA yang hendak memulihkan kembali kedudukan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda di Sulawesi Selatan. Oleh karena, perjuangan rakyat Sulawesi Selatan melalui wadah perjuangan atau organisasi kelaskaran, sejak awal menghendaki integrasi bangsa dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Perjuangan mereka bukan hanya tertuju pada pengakuan kedaulatan agar hidup dalam suasana kemerdekaan, tetapi mereka juga tidak menghendaki adanya perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu, merupakan suatu bukti bahwa proklamasi kemerdekaan dan pembentukan negara Republik Indonesia yang dicanangkan oleh tokoh-tokoh pendiri negara, adalah merupakan
3HUDQ2UJDQLVDVL.HODVNDUDQSritimuryati
perjuangan seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya keinginan dan peran dari para tokoh pendiri negara semata, melainkan juga keinginan dan peran dari seluruh rakyat Indonesia, termasuk rakyat di Sulawesi Selatan. Perjuangan rakyat secara menyeluruh itulah yang telah melegitimasikan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, dan sekaligus terhadap hasil keputusan dari rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) setelah proklamasi. Sebab, jika rakyat Indonesia tidak bangkit berjuang dengan jiwa kesatria dan semangat nasionalisme Indonesia, maka niscaya kemerdekaan dan pembentukan negara Republik Indonesia dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA Agung, Ide Anak Agung Gde. 1985. Dari Negara Indonesia Timur Ke Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Amir, Muhammad. 2001. Pertentangan Antara Golongan Uniteris dan Federalis di Sulawesi Selatan 1945-1950. Makassar: Depdikbud, Laporan Penelitian Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. Amir, Muhammad. 2005. Monumen Sejarah Perjuangan Bangsa di Sulawesi Selatan Jilid II. Makassar: Eramedia. Amir, Muhammad. 2008. Andi Abdullah Bau 0DVVHSH 3UR¿O 3DWULRW \DQJ .RQVHNXHQ Hingga Tetesan Darah Terakhir. Makassar: Matapena. Amir, Muhammad dan Kila, Syahrir. 2012. Membela Republik Indonesia, Kajian Perjuangan Kelaskaran Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Makassar: de la macca. Arfah, Muhammad, dkk. 1991. %LRJUD¿5DQJJRQJ Daeng Romo. Ujung Pandang: Depdikbud. Arfah, Muhammad dan Amir, Muhammad. 1993. Biografi Haji Andi Mappanyuki Sultan Ibrahim. Ujung Pandang: Depdikbud. Arsip A.R. Tamma, Nomor; 12 dan 13. Koleksi Badan Arsip dan Perpustakaan Propinsi
Sulawesi Selatan. Arsip NIT (Negara Indonesia Timur) No. 129. Koleksi Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan. Arsip NIT (Negara Indonesia Timur) No. 162. Koleksi Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan. Djarwadi, Radik. 1972. Naskah Sedjarah Corps Hasanuddin, Prajurit Tempur dan Pembangunan. Makassar: Corhas. Harvey, Barbara Sillars. 1989 Pemberontakan Kahar Muzakkar Dari Tradisi Ke DI/TII. -DNDUWD*UD¿WL Ijzereff, Willem. 1984. De Zuid Celebes Affaire, Kapiten Westerling en de Standrechtelijhe Executie. De Bataafsche Leew. Kadir, Harun, dkk. 1984. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia di Sulawesi Selatan 1945-1950. Ujung Pandang: Kerjasama Unhas dengan Pemda Tk. I Provinsi Sulawesi Selatan. Kila, Syahrir. 1995. Kelaskaran 45 di Sulawesi 6HODWDQ%35,6XSSDGDQ%3*DQJJDZD Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. Pawiloy, Sarita. 1980. Sejarah Revolusi .HPHUGHNDDQ 'DHUDK6XODZHVL Selatan. Ujung Pandang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pemda. 1991. Sejarah Perkebangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri di Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Makassar: Pemda Provinsi Sulawesi Selatan. Poelingomang, Edward L. 1996. Strategi Politik Pemerintah Kolonial Belanda dan Peristiwa Sulawesi Selatan. Makalah pada Seminar Regional Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Depdikbud, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. Poelinggomang, Edward L. 2000. Militer dan Budaya Politik Indonesia, “Dunia Militer di Indonesia Keberadaan dan Peran Militer di Sulawesi”. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
WALASUJI 9ROXPH1R'HVHPEHU— Poelinggomang, Edward L. 2002. Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Makalah pada Seminar dan Temu Tokoh, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar pada tanggal 27 Juli 2002. Provinsi Sulawesi. 1953. Kementerian Penerangan Republik Indonesia. Djakarta: Djawatan Kementerian Penerangan Republik Indonesia.
Said, M. Natzir. 1980. Lahirnya TRI Divisi Hasanuddin di Sulawesi Selatan dan Tenggara, Jilid I. Ujung Pandang: Kerjasama Kodam XIV Hasanuddin, UNHAS dan IKIP Ujung Pandang. Said, M. Natzir. 1984. SOB 11 Desember 1946 Penyebab Banjir Darah dan Lautan Api, Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Yayasan Penerbit Udin. Staatsblad (lembaran negara), Tahun 1945, No. 139.