=============Dikirim untuk Harian Kedaulatan Rakyat==================
Wacana Kepemimpinan Muhammadiyah Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd
DALAM organisasi apapun posisi pemimpin merupakan unsur yang sangat menentukan bagi keberhasilan lembaga atau organisasi tersebut dalam upaya mencapai tujuan ideal yang disepakati bersama. Mengingat posisinya Purnomosidi Hadjisaroso (1996) menepatkannya sebagai elemen inti manajemen. Kegairahan dan watak organisasi setidaknya tercermin dari kiprah sang pemimpin. Hal tersebut menjadikan pucuk pimpinan organisasi menjadi kiblat dan panduan bagi anggota organisasi itu. Persoalan yang sama juga berlaku di Persyarikatan Muhammadiyah, sebagai organisasi masyarakat yang memiliki anggota hingga pada pelosok pedesaan. Bagi Muhammadiyah rembug tentang pucuk pimpinan organisasi ini akan dilakukan pada kegiatan Muktamar yang akan diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 8 - 11 Juli 2000, ini merupakan muktamar pertama bagi Muhammadiyah pada awal abad XXI ini.. Muktamar adalah forum tertinggi di persyarikatan Muhammadiyah, pada forum ini dilakukan inventarisasi kader terbaik yang akan diposisikan sebagai pimpinan pusat Muhammadiyah, yang sekaligus akan menjadi nahkoda dalam perjalanan 5 tahun mendatang.
Sejalan dengan perubahan kondisi politik yang ada di Indonesia, tentunya sebagai persyarikatan tertua Muhammadiyah berkewajiban mengambil peran. Meski untuk itu tidak harus dilakukan dengan model politik praktis, seperti selama ini yang telah disepakati dengan model high politic-nya. Tentu saja arah mana yang akan ditempuh oleh "kapal besar" Muhammadiyah ini akan banyak terpengaruhi nuansa pemikiran sang nahkoda. Pada awal pelaksanaan muktamar ke-43 di Banda Aceh tahun 1995 dahulu, pernah dikhawatirkan terjadinya "konflik" internal organisasi, mengingat beberapa kader muda yang berpotensi duduk sebagai pimpinan pusat Muhammadiyah ditengarai memiliki posisi yang bersebrangan. Belakangan kekhawatiran itu bukanlah hal yang "krusial". Meski pada awal kepemimpinan Amien Rais sempat terjadi debat hangat dengan Lukman Harun, namun pada akhirnya elit Muhammadiyah mampu meninggalkan konflik internal yang oleh A. Syafii Maarif (1993) diistilahkan sebagai konflik yang kenak-kanakan. Jika saat ini muktamar telah digelar, persoalan yang muncul adalah akankah terjadi suksesi kepemimpinan di Muhammadiyah ini berlangsung secara sukses dengan tidak lagi mempersoalkan kubu generasi tua dan generasi muda? Mampukah organisasi besar ini mempertahankan wacana high politic yang pernah dimunculkan sang ketua lama? Sementara itu di sisi lain, banyak kader Muhammadiyah saat ini juga menjadi tokoh kunci pada beberapa partai politik yang ada. Selain itu pada kondisi negara saat ini yang sedang "sakit" mampukah Muhammadiyah "menggeliat" memberi kontribusi mengatasi persoalan ekternal organisasi yang saat ini menohok kepentingan negara, disintegrasi bangsa.
Belum lagi pada misi awal yang hendak ditegakkan Muhammadiyah, yang telah menyatakan sebagai gerakan Tajdid, selain masih tetap istiqomah konsisten dengan gerakan amar ma'ruf nahi munkar, Muhammadiyah seharusnya lebih meningkatkan perannya lagi hingga dapat terwujud cita-cita idealnya membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya di Indonesia. Tentu saja pada peran kedua ini para kader Muhammadiyah dituntut untuk tampil elegan di segala lini dengan tidak meninggalkan sikap arif dan santun yang menjadi muatannya. Mazhab Syafii dan Maliki Setiap organisasi memiliki kekhasan dalam memilih calon pemimpinnya, demikian juga tradisi yang ada di Muhammadiyah. Biasanya menjelang muktamar berlangsung telah terjadi inventarisasi kader potensial yang dicalonkan untuk menjadi calon pemimpin Muhammadiyah. Kemudian nama-nama hasil inventarisasi tersebut akan diseleksi dalam sidang Tanwir yang selanjutnya meloloskan 39 nama yang direkomendasikan untuk dipilih. Dari 39 nama ini kemudian diperas kembali menjadi 13 orang yang akan menjadi ketua dan anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Jika pada kebanyakan organisasi pemilihan ketua dan para pembantunya dilakukan oleh formatur, maka dalam tradisi Muhammadiyah dilakukan oleh para peserta muktamar. Urutan posisi, disesuaikan dengan perolehan suara masing-masing nama. Sejak menjelang hari H pelaksanaan muktamar ini, muncul dua nama yang memiliki peluang untuk menjadi pimpinan puncak Muhammadiyah, yaitu Prof. Malik Fadjar, dan Prof. A.Syafii Maarif, yang kemudian diplesetkan menjadi mazhab Syafii dan Maliki. Bobot kedua calon ini dapat dikatakan sebanding, dengan kekuatan dan kelemahan masing-masing. Malik Fadjar yang pernah menduduki jabatan menteri
agama pada masa orde baru tentunya memiliki kemampuan manajerial yang baik, demikian juga A. Syafii Maarif yang menggantikan posisi M. Amien Rais --yang berkiprah di PAN-- dapat dikatakan sukses meneruskan tugas sang ketua. Sementara itu dari kalangan generasi muda muncul pula nama Din Syamsudin yang belakangan santer disebut-sebut yang berpeluang sama dengan kedua tokoh tersebut. Tulisan ini idak bermaksud untuk membandingkan masing-masing tokoh tersebut,
namun sebagai calon ketua organisasi besar beberapa kriteria haruslah
dimiliki oleh sang kandidat. Pertama, ciri gerakan Muhammadiyah adalah gerakan Tajdid, adanya ciri tersebut mempersyaratkan bahwa calon pemimpinnya kelak adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukan terobosan pembaharuan dari segala lini. Pada posisi ini kematangan berpikir, kearifan serta kejelian membaca fenomena menjadi syarat yang tidak terhindarkan. Kedua,
sebagai
gerakan
yang
berorientasi
pada
amal
usaha,
maka
Muhammadiyah membutuhkan seorang menejer yang cakap dalam mengelola amal usaha yang telah dimilikinya saat ini. Harus diakui saat ini organisasi yang memilliki jumlah lembaga pendidikan terbanyak sejak dari tingkat TK hingga perguruan tinggi masih didominasi oleh Muhammadiyah. Banyaknya lembaga-lembaga pendidikan ini memerlukan penanganan menejerial yang baik, agar tidak menjadi beban organisasi itu sendiri. Meski demikian, moral sosial harus pula ditanamkan dalam memformat lembaga pendidikan ini, agar tidak terjadi pada kader Muhammadiyah yang berpotensi baik, justru tidak dapat mengenyam pendidikan hanya karena keterbatasan dana yang dimilikinya. Pada sisi ini, sudah selayaknya amal usaha Muhammadiyah memfasilitasi
mereka yang belum sempat menikmati kesempatan belajar pada tingkat yang lebih tinggi. Di lain sisi misi gerakan tajdid yang menjadi platform gerakan Muhammadiyah mempersyaratkan kader-kader yang memiliki potensi dalam bidang keilmuan. Kaderkader semacam itu dapat diperoleh oleh persyarkitan Muhammadiyah secara lebih baik, tatkala lembaga pendidikan Muhammdiyah mampu mengahasilkan kader dengan kemampuan intelektual dan kearifan yang tinggi. Ketiga, persyarikatan Muhammadiyah selalu mengedepankan sisi amar ma'ruf nahi munkar, untuk itu dengan sendirinya gerakan ini harus dimulai dari tokoh sentral di organisasi tersebut. Artinya, sang pemimpin haruslah orang yang tidak terlibat dalam praktek-praktek yang justru ingin ditentangnya. Ironis, bak pepatah "maling teriak maling". Dengan tidak melihat baju partai yang pernah dikenakannya, dari mana mereka berasal, tua ataukah muda, seluruh kader Muhammadiyah adalah satu. Terikat dalam bahtera yang sama, tenggelam tidaknya bukan hanya karena juru mudinya saja, maka rasanya harus kerap didengung-dengungkan pesan arif KH. Ahmad Dahlan "hiduphidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah". Semoga muktamar ini menjadi salah satu arena belajar demokrasi bagi masyrakat dan bangsa ini. Selamat bermuktmar, semoga Allah merestui, Amien.
Muhammad Idrus, Peneliti dan pengamat, saat ini sedang menempuh Program Doktor di UGM. Alamat : Fak. Ilmu Agama Islam UII Jl. Demangan Baru No. 24 Yk. Telp. 515490, 519004.
sebagai tokoh sentral dalam masalah nama-nama yang m munculnya