IMPLEMENTASI KAJIAN KEAGAMAAN BAGI PEMBINAAN UMAT1 Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd2 IFTITAH Sebagaimana dilukiskan dalam teori “domino”, perubahan apapun di satu belahan dunia ini, akan dengan sendirinya menyebabkan perubahan pada belahan dunia lainnya, dan tidak ada satupun negara yang mampu mengelakkan dari fenomena ini. Pada akhirnya perubahan yang begitu cepat (baik iptek, komunikasi, sistem politik, ekonomi, sosial budaya) kerap menjadikan banyak orang terperangah dan tidak siap mengantisipasinya, sehingga banyak dijumpai orang gagap dengan perubahan. Disadari bahwa perubahan yang terjadi bukan hanya menyergap institusi (lembaga) tetapi juga menyerang individu-individu, dan menempatkan mereka pada konflik dilema yang terkadang sulit dipecahkan sendiri. Pada kasus yang terakhir ini banyak dijumpai individu yang tidak siap dengan jawaban atas persoalan yang mereka hadapi --sehingga memerlukan bantuan pihak lain untuk menyelesaikannya-- dan jika masalah tersebut menyentuh sisi keagamaan, maka dengan sendirinya dibutuhkan jawaban keagamaan yang sesuai dengan individu dan masalah yang dihadapinya. Tampaknya pada posisi ini dibutuhkan satu lembaga kajian keagamaan yang memiliki kualifikasi memadai untuk mengantisipasi persoalan kemasyarakatan dan keagamaan, serta mampu mengahantarkan individu “bermasalah” pada kondisi pencerahan. Persoalannya adalah, sudahkah lembaga kajian keagamaan yang ada mencitrakan seperti yang diinginkan? apakah persoalan yang dikaji lembaga tersebut
1
Makalah disampaikan dalam diskusi rutin 3 bulanan PPSPU Ramadania Yogyakarta tanggal 15 Maret 2002 2
Dosen Jurusan Tarbiyah FIAI UII by DRS_M_IDRUS_M_Pd
Page 1 of 7
memang persoalan dasar yang dibutuhkan jawabannya oleh masyarakat umatnya? Meski banyak pertanyaan lain yang seharusnya dimunculkan, setidaknya dua persoalan awal di atas dapat sebagai penghantar diskusi ini. Lembaga Pengkaji Agama dan Persoalan yang dihadapinya Sejarah hadirnya agama-agama di nusantara ini memiliki variasi khas sesuai dengan asal agama, ataupun karakteristik penyebar agama tersebut di nusantara. Islam yang hadir di Nusantara, yang kemudian dianut oleh sebahagian besar penduduk negeri ini, sebenarnya tidak jauh banyak meninggalkan tradisi budaya negara asalnya. Bahkan A. Syafii Maarif, mentengarainya sebagai tidak steril dari kubangan dosa sejarah. Meski demikian, hadirnya Islam di negeri ini dapat dikatakan relatif lebih damai dibanding dengan kondisi di negeri asalnya, sehingga banyak menarik simpati masyarakat untuk memeluknya. Kenyataan sejarah tersebut tentunya bukan menjadi penjamin bahwa masyarakat muslim dalam kehidupannya terlepas dari persoalan kemasyarakatan. Sebab harus pula diakui bahwa masyarakat muslim yang hidup di negeri ini, kerap mengalami persoalan keagamaan yang menuntut jawaban segera. Benturan dengan nilai budaya, sistem politik tentunya membutuhkan penyelesaian manis yang melegakan semua pihak. Di saat itulah sebenarnya diharapkan munculnya lembaga pemberi fatwa yang memahami situasi umat. Dengan begitu adanya tuntutan kualifikasi pada lembaga ini baik dari sisi kelembagaan ataupun personalianya, memang sudah seharusnya, terlebih menjelang datangnya abad baru (kurang lebih sekitar 25 hari lagi). Saat ini, salah satu lembaga pengkaji masalah keagamaan Islam yang dibentuk secara nasional dikenal dengan nama Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai badan
by DRS_M_IDRUS_M_Pd
Page 2 of 7
resmi bentukan pemerintah untuk mengkaji masalah-masalah yang terkait dengan agama Islam. Jika dibenturkan dengan hadirnya milenium baru, maka persoalan bagi MUI adalah apakah fatwa yang diberikan (dikeluarkannya) dapat menyentuh persoalan dasar yang dihadapi umat? mungkinkah fatwa yang dikeluarkan terlepas dari nuansa politik --sebagaimana beberapa fatwa terdahulu--? Mencermati sejarah pembentukannya, tampak betapa begitu dekat lembaga ini dengan pihak pemerintah. Kedekatan ini pada akhirnya menyebabkan betapa sulitnya lembaga ini memberi fatwa yang lepas dari kepentingan penguasa. Ataupun jika ada keberanian MUI memaksa, maka dengan tangan kekuasaannya dilakukan pelbagai upaya oleh pemerintah untuk “mengasingkan” mereka yang dissident. Fenomena tersebut tampak menguat tatkala berkuasanya rezim orde baru. Sejarah mencatat betapa Prof. Hamka harus melepas jabatan ketua MUI tatkala berkeinginan mengeluarkan fatwa haram bagi pelaksanaan Undian Harapan. Maraknya aksi protes masyarakat terhadap keberadaan undian harapan tersebut, hanya menjadikannya bersalin nama menjadi Porkas, ataupun SDSB, dll, namun tetap bermuara pada hal yang sama, MUI tidak mampu memberi kepastian hukum atas bentuk perjudian tersebut. Kooptasi pemegang kekuasaan pada MUI begitu kuat, dan menjadikannya “sekadar” lembaga legitimasi kebijakan pemerintah. Ironisnya kedekatan MUI ternyata bukan hanya pada pemegang kekuasaan (pemerintah), bahkan juga pada pengusaha. Fenomena tersebut tampak tatkala meruyaknya kasus lemak babi pada beberapa produk makanan tertentu. Untuk melegitimasi produk susu tertentu bebas dari lemak babi, secara demonstratif rombongan MUI yang dipimpin ketuanya saat meninjau
by DRS_M_IDRUS_M_Pd
Page 3 of 7
pabrik tersebut minum susu sambil berdiri, dan setelah itu menyatakan bahwa susu tersebut bebas dari lemak babi, tanpa terlebih dahulu melakukan uji klinis laborat. Dari dua contoh di atas --sebenarnya banyak contoh lain-- tampak betapa fatwa yang dikeluarkan MUI --sebagai lembaga pengkaji persoalan kemasyarakatan yang terkait dengan agama Islam-- belum sepenuhnya independen, dan bahkan terkesan reaktif. Beberapa fatwa yang dikeluarkannya cenderung mendukung sikap politik golongan tertentu. Jika begini ceritanya, tentu saja harapan masyarakat untuk memperoleh fatwa “segar” tentang persoalan yang mereka hadapi sulit dapat terwujud secara baik. Dengan begitu, perlu dicari alternatif lain selain lembaga yang ada, yang mampu memberikan kontribusi kepada umat dalam produk kajian keagamaan. Lembaga lain, yang memiliki peluang untuk melakukan kajian keagamaan adalah organisasi kemasyarakatan (NU, Muhammadiyah, Persis, dll), ataupun lembaga perguruan tinggi Islam (PTAIS), serta tidak menutup peluang organisasi semacam LSM. sebenarnyalah umat banyak menunggu produk kajian keagamaan dari mereka ini. Namun tampaknya, produk kajian yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga yang disebut terakhir ini terkadang mengangkat persoalan yang bukan dirasakan masyarakat kebanyakan, dan cenderung reaksioner. Makna Hasil Kajian Keagamaan bagi Pembinaan Umat Paparan di atas sebanarnya lebih merekomendasikan betapa saat ini diperlukan satu lembaga pengkaji agama yang memiliki kredibilitas yang tinggi, serta tidak bersikap reaksioner atas persoalan yang dihadapi umat, namun mereka lebih melakukan kajian sebagai upaya antisipasi.
by DRS_M_IDRUS_M_Pd
Selain itu, dibutuhkan pula tingkat
Page 4 of 7
independensi yang tinggi, sehingga dalam melakukan kajian, tidak dimaksudkan untuk kepentingan politis tertentu3. Disadari bahwa pemahaman umat atas satu persoalan tertentu memiliki variasi yang salah satunya disebabkan oleh pendidikan dan pengalaman yang dimilikinya. Dengan begitu ada beberapa hal yang tampaknya perlu diperhatikan oleh lembaga pengkaji masalah keagamaan, yaitu masalah materi kajian yang didiskusikan. Jika pada masa sebelumnya, Nietsche memproklamirkan tuhan telah mati, dan kaum Marxis memandang agama sebagai candu kehidupan masyarakat, maka perubahan masyarakat saat ini
menghasilkan pandangan yang bertolak belakang
dengan pendapat mereka berdua. Naisbitt (1994) mentengarai abad ini sebagai kebangkitan agama, hal ini secara tidak langsung merekomendasikan bahwa kajiankajian keagamaan sudah selayaknya tidak berkutat pada persoalan teologi semata, yang lebih disempitkan dengan klaim kebenaran atas agama. Setidaknya Abdullah (1995) merasakan betapa pemikiran Islam kontemporer, pemikiran positif dan pemikiran empiris terhadap realitias sosial masyarakat dan realitas alam semesta tidak mendapat tempat yang sebanding-proporsional dengan alur pemikiran teologi klasik. Secara sederhana pola pemikiran Islam dan kajian-kajian Islam yang menyertainya masih berkutat pada wilayah epistemologinya (Abdullah, 1995). Merujuk pada tulisan Abdullah, maka tampak betapa kajian keagamaan saat ini telah banyak tereduksi hingga sebatas kajian teologi semata. Padahal beragama dengan sendirinya akan terjadi interaksi antar umat seagama dan lain agama, serta dengan 3
Disinilah tampaknya peluang lembaga-lembaga keislaman untuk mendirikan lembaga pengkaji masalah keislaman secara mandiri. Peluang ini dapat juga ditangkap oleh institusi seperti UII dengan LPPAI-nya ataupun FIAI dengan pusat-pusat yang dimilikinya. by DRS_M_IDRUS_M_Pd
Page 5 of 7
komunitas pemegang kekuasaan. Secara lebih sederhana persoalan keagamaan tidak terbatas pada klaim agama yang benar semata, tetapi melampau itu pada sisi manusia dan kemanusiaan. Untuk itu kajian ataupun materi yang harusnya didiskusikan oleh lembaga pengkaji agama adalah persoalan-persoalan yang menyangkut hidup dan kehidupan umat, sebab bagi Islam kehidupan selalu beroreintasi pada konsep “ongoing process dan ongoing formation”. Jika kajian keagamaan oleh lembaga pengkaji agama dapat difokuskan bukan hanya pada sisi klaim kebenaran agama, maka umat akan memperoleh jawaban atas persoalan kehidupan yang dihadapinya. Sebab bagi umat kajian keagamaan akan memiliki makna sebagai: 1. pencerahan (enlightment) bagi umat, pada posisi ini umat memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas persoalan yang dihadapinya, serta dengan pemahaman yang dimilikinya mereka mampu memecahkan persoalan yang tengah dihdapinya, tanpa keraguan; 2. pemberdayaan (empowerment), secara tidak langsung adanya fatwa ataupun rumusan hasil kajian keagamaan yang diperolehnya, umat akan memiliki kemampuan untuk menentukan tindakannya yang sesuai dengan norma-norma agama yang dianutnya; 3. rujukan umat dalam menentukan hukum atas kasus yang hadir kemudian, dan memiliki spesifikasi yang sama atau hampir sama dengan kasus sebelumnya (jurisprudensi); 4. menentramkan umat, harus dipahami bahwa tidak semua masyarakat umat Islam memiliki pengetahuan yang cukup, yang dengan pengetahuan tersebut menjadikan dirinya mampu menganalisis persoalan yang dihadapinya serta memutuskan cara
by DRS_M_IDRUS_M_Pd
Page 6 of 7
terbaik untuk mengatasinya; dengan sendirinya hadirnya hasil kajian tersebut dapat menentramkan umat dalam melakukan kegiatan yang sesuai dengan tema yang dikaji lembaga kegamaan tersebut. Menyadari betapa pentingnya makna kajian keagamaan bagi umat, maka dengan sendirinya lembaga pengkaji agama harus memperhatikan beberapa hal berikut: 1. menjaga jarak dengan pihak pemegang kekuasaan, hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kooptasi atas kelembagaan; 2. menghindari tema kajian yang hanya mementingkan sekelompok golongan (individu tertentu), terlebih bagi kepentingan legitimasi politis; 3. menyesuaikan tema kajian dengan kebutuhan riil umat, dan tidak bersifat reaksioner atas satu kasus tertentu, namun diupayakan sebagai antisipasi atas persoalan yang akan hadir di tentah umat; 4. mengangkat tema-tema kajian dengan menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dan telaah secara manusiawi. Pada posisi ini memang sudah selayaknya tidak membatasi wilayah kajian hanya pada persoalan teologi semata, tetapi juga membuka peluang bahasan secara lebih luas. Demikian makalah sederhana ini, semoga mendapat respon positif Wallahu’alamu bi ash showab (Muhammad Idrus, 04121999) Bacaan: Abdullah, M. Amin., 1995. Falsafah Kalam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hutington, S.P.,Benturan antar perdaban, masa depan politik dunia? dalam Ulumul Qur’an. Nomor 5 Vol IV th 1993. hal 11-15. Naisbit, J. 1994. Global Paradox. Jakarta: Binarupa Aksara.
by DRS_M_IDRUS_M_Pd
Page 7 of 7