MODEL KEPEMIMPINAN GUS DUR-MEGA Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd
Pada awal tulisan ini akan direview sedikit tentang perjalanan anak bangsa ini menjelang detik-detik pemilihan presiden RI keempat. Tulisan ini dimaksudkan untuk menghantarkan dan memaparkan kondisi senyatanya dua figur saat ini yang menjadi figur puncak pemegang kekuasaan di negeri ini. Pemilihan umum di era pasca orde baru telah dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 lalu, dengan hasil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memperoleh suara sekitar 35 persen yang merupakan suara terbanyak di antara 6 partai besar lain seperti Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan. Meski mendapat suara terbanyak, PDI-P bukanlah partai pemenang pemilu dengan mayoritas tunggal, seperti yang penah dicapai Golkar pada era sebelumnya. Berbeda dengan Pemilu pada era orde baru dan sebelumnya, Pemilu kali ini diwarnai dengan maraknya calon presiden yang dijagokan masing-masing partai. Dari ketujuh partai dengan suara terbanyak tersebut masing-masing memiliki calon presiden yang berbeda satu sama lainnya. Sudah barang tentu bursa calon presiden menjadi wacana marak pasca pemilu. Meski pada akhirnya, lima partai lain menyadari kecilnya suara yang diperoleh --berakibat pada sedikitnya kursi di
MPR--, tetapi bursa pencalonan
presiden bukannya mereda, bahkan semakin mengkrucut dengan dua kutub yang saling berhadapan, PDI-P dengan Megawatinya, dan Golkar dengan B.J Habibie.
1
Meski tidak menguasai separuh --apalagi seluruh, untuk dikatakan sebagai mayoritas tunggal--
suara dalam pemilu, tampaknya simpatisan PDI-P telah
mengklaim bahwa partainyalah yang menjadi pemenang dalam pemilu 1999 ini. Pada akhirnya hal tersebut menjadikan mereka --para simpatisan PDI-P-- menempuh pelbagai upaya untuk menggolkan Megawati menjadi presiden ke 4 republik ini. Salah satu aksi yang sempat menggegerkan adalah aksi cap jempol darah di beberapa daerah. Tentu aksi tersebut bukannya meredakan suhu pencalonan presiden, malah justru menaikkannya. Meruncingnya persaingan antara kubu Habibie dan Megawati, pada akhirnya menimbulkan gagasan lahirnya poros tengah, yang dimaksudkan sebagai kekuatan penyeimbang. Selain itu, Amien Rais --sang pencetus ide poros tengah-- juga mengajukan Abdurrahman Wahid --Gus Dur-- sebagai calon presiden alternatif di luar lingkaran Habibie, Megawati. Meski minus PKB, kekuatan poros tengah yang dimotori PAN, yang menggalang kekuatan bersama beberapa partai Islam1 lainnya tampaknya memiliki kekuatan tawar yang memadai dengan paling tidak sekitar 130-an kursi (PAN, PBB, PK, PPP)., sementara PDI-P 153 kursi dan Golkar 120 kursi. Bahkan jumlah tersebut akan menjadi sekitar 180-an jika PKB turut bergabung dalam poros ini2. Sejarah membuktikan bahwa pada akhirnya bangsa ini mampu untuk menjadikan proses pemilihan umum sebagai suatu proses yang "demokratis" dan lebih
1
Sesuai yang dideklarasikannya pada tanggal 23 Agustus 1998, PAN bukanlah partai yang berazaskan Islam. Meski demikian, hadirnya Prof. Amien Rais sebagai ketua umumnya mampu menjadi perekat antara PAN dengan partai Islam yang ada. 2
Pada akhirnya sejarah membuktikan bahwa meski pada awal-awal Mathori tetap bersikukuh untuk mendukung Megawati sebagai calon presiden, namun menjelang detik-detik akhir dukungan itu diberikannya kepada sang guru bangsa Abdurahman Wahid, Gus Dur, yang akhirnya terpilih menjadi presiden Republik ini yang keempat dan Megawati Sukarno Putri menjadi wakil presiden untuk masa
2
baik dibanding pada sejarah-sejarah sebelumnya. Jika pada akhirnya Gus Dur, --sang guru bangsa-- terpilih menjadi presiden RI keempat. Apakah hal ini mentengarai hadirnya kembali politikus dari kalangan santri., atau jika Megawati yang didukung dengan kelompoknya berhasil mengungguli dalam perolehan suara di pemilu tahun 1999 juga mengisyaratkan hadirnya kelompok nasionalis yang non-muslim dan kelompok Islam lain yang oleh kalangan 'alim diistilahkan kelompok abangan?3 Dukungan Massa dan Dampak Politisnya Hadirnya dua figur yang sama-sama memiliki dukungan massa yang banyak pada satu sisi menjadikan duet tersebut dapat kukuh dalam menjalankan roda pemerintahan, namun pada banyak situasi ke-fanatikan massa pengikut ini menjadi salah satu hambatan dalam membangun wacana demorasi yang lebih baik Kita saksikan saat-saat menjelang Sidang Umum (SU) MPR 1999, betapa fanatiknya pengikut Megawati dalam mendukung sang pemimpinnya untuk menjadi presiden, sehingga rasa kesetiaan tersebut diwujudkan dalam aksi cap jempol darah di beberapa kota di Jawa. Atau kita juga menyaksikan betapa marahnya para nahdhiyin tatkala Bagito (group lawak terkenal) melecehkan Gus Dar dalam salah satu episode lawakannya,
lima (5) tahun mendatang. 3
Terlepas dari kritik yang diungkap Parsudi Suparlan dalam pengantar buku "the religion of Java-nya Clifford Geertz bahwa terminologi santri abangan dan priyayi yang digunakan dalam tesis Geertz, tampaknya dalam masyarakat kita istilah-istilah tersebut begitu lekat. Sehingga dalam banyak situasi, kita juga mempergunakan model dikotomis yang diajukan Geertz, jika tidak santri, maka abangan. Meski demikian jika dalam tulisan ini digunakan istilah abangan hal tersebut tidak bermaksud untuk merendahkan secara teologis satu kelompok tertentu, hanya saja penggunaan terminologi abangan dalam tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi sekelompok umat Islam yang di samping melaksanakan ritual ibadah keagamaan menurut syariat Islam, tetapi juga mengikuti prosesi adat yang diturunkan oleh nenek moyang mereka dahulu.
3
dan tidak tanggung-tanggung sebagai ungkapan rasa bersalah Bagito diharuskan untuk mengungkapkan permohonan maafnya lewat layar kaca dan media cetak. Rasa marah tersebut baru mereda setelah Bagito bersama pimpinan televisi swasta tersebut sowan ke istana. Mungkin kita akan menyatakan bahwa para pendukung sang pemimpin itu terlalu berlebihan, sebab Gus Dur sendiri mensikapi fenomena tersebut dengan santai sambil berucap "biarin, ngapain sih repot-repot, begitu saja kok repot". Atau sikap Mbak Mega yang hanya senyum menyaksikan ulah para pendukungnya, saat mereka melakukan aksi cap jempol darah. Terasa ada dua kutub yang paradoks di antara pemimpin dan pengikutnya. Jika pada banyak situasi, kritikan yang dialamatkan pada para pemimpin ditanggapi oleh pemimpin itu sendiri dengan santai dan relak, namun tidak begitu untuk para pengikutnya. Sebab bagi mereka kedua pemimpin tersebut memiliki kedudukan yang mulia di mata mereka, bahkan Gus Dur dimitoskan sebagai "wali" oleh para pengikutnya yang tidak mungkin melakukan kesalahan. Lantas apa dampak dari situasi ini bagi jalannya roda pemerintahan Gus DurMega? Jika pada mereka tidak dapat dilakukan kontrol oleh masyarakat lain --di luar pengikutnya-- apakah perbedaan pemerintahan reformasi saat ini dengan dinasti Orde Baru lalu yang pseudo-demokratis? Dalam nuansa demokrasi senyatanya, setiap orang dalam negara dapat memberi masukan dan mekritik pemimpinnya tanpa hambatan. Tentu saja bingkai budaya terkadang menjadi salah satu pembeda model demokrasi yang dijalankan di negara barat dengan di negara lainnya. Meski demikian, esensi dari wacana ini adalah,
4
setiap individu boleh melakukan kontrol pada aparatur pemerintahan bahkan pada pucuk pimpinan tertingginya sekalipun. Artinya, meski berposisi sebagai presiden dan wakil presiden RI, kedua figur baik Gus Dur ataupun Mega tidak kebal dari kritik. Jika melihat sejarah, betapa kita saksikan model demokrasi "Pancasila" yang dikembangkan pemerintahan orde baru lebih cenderung pada model pseudo demokrasi. Bahkan Mas'oed (1989) cenderung mengkatagorikannya sebagai model yang otoritarian, dengan indikasi tingginya represivitas negara terhadap masyarakat. 4 Dan itu dapat disaksikan pada beberapa kasus yang hingga hari ini belum tuntas terselesaikan, seperti peristiwa Aceh, penyerbuan kantor PDI tahun 1996, dan banyak kasus lainnya. Selain itu, kecenderungan pola politik orde baru salah satunya menjurus pada model yang dikembangkan oleh Emmerson yang disebutnya dengan istilah model patrimonial (Kaisiepo, 1987). Pada model ini ciri-ciri birokrasi modern memang telah ada, namun perilaku di dalamnya masih menunjukkan dominasi warisan masa lalu yang lebih bernuansa pada budaya Jawa. Ciri-ciri semacam itu sangat lekat pada rezim orde baru, dimana "restu" penguasa begitu dominan dalam segala situasi, dan begitu mentukan status ataupun posisi seseorang. Bgaimanakah dengan era saat ini? Memasuki kepemimpinan Gus Dur Mega kali ini, meski intensitas represivitas tersebut mulai menurun, namun pada banyak situasi model demokrasi5 yang diinginkan belum dapat terlaksana secara baik. Hingga
4
Sekitar awal-awal tahun 1990-an, Denny J.A mengemukakan satu tesis"negara kuat. masyarakat lemah". Dengan sendirinya tesis ini saling menghadapkan antara negara di satu sisi dan masyarakat di lain sisi, yang memiliki hubungan keinginan saling menindas. Bahkan ada joke masa orde baru, bahwa Tuhan tidak mampu berbuat apa-apa, karena tulisan Allah di masjid-masjid dikukungi segilima sebagaimana yang ada pada menara masjid-masjid sumbangan Yayasan Amal Bhkati Muslim Pancasila yang diketuai Presiden Suharto saat itu. 5 Dalam mendefinisikan makna demokrasi Diamont, Linz dan Lipset (Mas'oed, 1994) mengajukan tiga
5
hari ini, masyarakat belum berani secara terbuka untuk melakukan kritik pada pucuk pimpinan tersebut. Jika situasi ini dipandang dari sisi makna demokrasi seperti yang diungkap Diamond dkk (Mas'oed, 1994) maka jelas tidak ada kebebasan sipil dalam mengekspresikan pemikirannya. Hal ini karena, manakala seseorang melakukan kritik terhadap mereka, maka massa di belakang merekalah yang bergolak. Seperti dipahami bahwa jika kumpulan massa yang bergerak, model dialog tidak dapat berjalan secara lebih baik. Salah satunya tampak saat massa PDI-P melakukan unjuk rasa di gedung DPR/MPR yang secara langsung mendemo Amien Rais, selaku ketua MPR. Namun yang terjadi justru vandalisme terhadap mobil sang ketua MPR tersebut, bukan dialog. Demikian juga yang terjadi pada Gus Dur, selama ini warga nahdiyin menganggap bahwa Gus Dur adalah wali, yang seluruh tindak tanduknya maksum dari kesalahan6. Sehingga tatkala ada individu yang berusaha mengkritik Gus Dur, dan individu itu di luar kelompok mereka, maka yang terjadi adalah demo tandingan menghujat yang bersangkutan. Model demo tandingan, adalah salah satu model warisan dari politik pemerintahan orde baru, yang selalu memobilisasi massa untuk kepentingan penguasa, tanpa massa tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Hal itu karena selama masa pemerintahan orde baru, masyarakat telah dijauhkan dari wacana politik dengan
syarat suatu pemerintahan disebut demokrasi, yaitu adanya kompetisi terbuka, partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dan kebebasan sipil dan politik yang menyangkut kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk atau bergabung dalam organisasi tertentu. 6 Ada cerita menarik tentang fenomena Gus Dur sebagai wali, salah seorang teman penulis adalah nahdiyin ndeke' pada saat sebelum Gus Dur terpilih menjadi presiden begitu kakunya berpendapat tentang kelompok lain agama, yang baginya --saat itu-- haram hukumnya orang Islam berbaikan dengan kelompok di luar agama Islam. Namun, tatkala Gus Dur hadir pada satu perayaan agama lain, komentarnya adalah, "sebagai umat Islam, kita harus menjadi rahmat untuk seluruh dunia, dan menjaga persaudaran tidak hanya intern umat agama, tetapi juga antar agama". Komentar ini menunjukkan
6
model massa mengambang (floating mass). Sekali lagi, jika model tersebut masih dikembangkan dinasti Gus Dur-Mega, maka pertanyaannya adalah, apa bedanya dengan pemerintahan Suharto masa itu? Selain itu, dipahami bahwa naiknya Gus Dur merupakan hasil kesepakatan seluruh fraksi yang ada di MPR. Dengan sendirinya sebagai wakil dari kelompoknya, para anggota fraksi juga sedikit banyak menyuarakan keinginan dari anggotanya. Pada posisi ini dipahami bahwa pembagian jatah kekuasaan tidak lagi dapat dihindari. Dan ini dapat disaksikan pada beberapa jabatan yang dipegang dari kalangan praktisi politik bukan berasal dari kalangan karir. Meski lagi-lagi hak preogratif presiden untuk menentukan siapa berada di mana, namun model penjatahan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan praktik politik masa orde baru. Hanya saja pada masa lalu sang pengatur --presiden Suharto-mensyaratkan calonnya dari satu golongan tertentu, jika tidak ABRI maka Golkar, maka saat ini kue kekuasaan dibagi sesuai kontribusi partai dalam mendukung sang pemimpin. Lain dari itu, pengangkatan kalangan dekat juga setidaknya berpola sama dengan model lama yang mengembangkan nepotisme. Namun, kritik atas itu semua lagi-lagi dijawab dengan logat santai, biarin, ngapain sih repot-repot, begitu saja kok repot.
Gus Dur-Mega, Indikasi Kebangkitan kelompok Santri-Abangan? Dinamika politik di tanah air memang selalu menyertakan kelompok Islam
selalu ada alasan dari para pendukung Gus Dur untuk membenarkan perilaku sang guru.
7
sebagai salah satu kelompok yang turut bermain dalam menentukan format negara bangsa ini. Sejarah masa lalu telah mencatat banyak negarawan Islam yang turut berperan meletakkan dasar-dasar strategis dalam penyusunan negara. Namun, ritme politik tidak selamanya memberi tempat kepada kelompok Islam --garis keras-- untuk berpartisipasi aktif dalam pemerintahan. Struktur politik bergeser begitu jauh, dan meninggalkan kelompok Islam sebagai kelompok yang marginal. Kenangan pemerintahan orde lama, mencatat betapa sisa "kebencian" pada Islam ini menjadikan politikus Islam pada masa kepemimpinan orde baru dipasung dalam keranda yang tak bertepi. Salah satu kebijakan yang diambil pemerintahan orde baru terhadap Islam adalah melemahkan Islam sebagai ideologi yang menentang Pancasila sebagai falsafah negara atau Islam sebagai alternatif terhadap negara Pancasila (Nugroho, 1999).
Harapan akhir dari paradigma tersebut adalah menjadikan Islam sebagai
ideologi mandul dalam menggalang massa. Paradigma itulah yang menjadikan pemerintahan orde baru terlihat begitu "benci" dengan yang berbau Islam. Meski sebenarnya mereka juga "rindu" dengan Islam sebagai kelompok mayoritas dalam negara ini. Mengapa itu terjadi? Sebab sejarah telah membuktikan betapa efektifnya Islam sebagai agama dalam mempersatukan komunitas masyarakatnya dalam upaya perjuangan membela bangsa dan negara ini pada masa penjajahan lalu. Latar belakang sejarah itulah yang sebenarnya menjadi titik kerinduan pemerintah untuk merengkuh kelompokkelompok Islam dalam wadah yang sama. Diharapkan dengan dukungan masyarakat Islam seluruh program yang
8
dijalankan oleh pemerintah dapat terlaksana dengan baik. Lagi-lagi sejarah membuktikan betapa saat sebelum ada restu dari ulama, program pemerintah tentang keluarga berencana tidak mendapat respon masyarakat secara positif. Di mana-mana terjadi penolakan masyarakat karena doktrin agama tidak membolehkan model keluarga berencana yang dianggap sebagai "pembunuhan calon manusia". Respon masyarakat berbalik 360 derajat tatkala ulama menyatakan bahwa merencanakan anak lebih baik daripada memiliki anak banyak tapi tidak mampu untuk menghidupi secara baik. Secara singkat ulama menyatakan oke pada program keluarga berencana, dan respon masyarakat begitu positif hingga angka pertumbuhan penduduk dapat ditekan sekecil mungkin. Barangkali inilah sisi kerinduan pemerintah orde baru terhadap Islam, hingga betapa gencarnya para tokoh pemerintahan mendatangi kalangan ulama untuk bersilaturahmi dan meminta dukungan.7 Pada sisi lain, harus diakui pula kebencian pemerintah orde baru terhadap sekelompok kalangan politisi Islam, yaitu kalangan yang menurut pemerintah orde baru bertanggungjawab atas bangkitnya radikalisme di kalangan umat Islam. Sebut saja beberapa tokoh yang saat itu terlibat (menurut versi penguasa orde baru) dalam beberapa kasus peledakan bom, seperti HR. Dharsono, Toni Ardi, Abdul Kadir Jaelani, AM. Fatwa,--dua disebut terakhir saat ini sebagai anggota MPR RI-- dan banyak lagi ulama yang harus mendekam di penjara tanpa sempat mendapat pengadilan yang "fair". Selain itu seperti Amir Biki, Tengku Bantaqiyah yang memiliki massa dan dianggap potensial untuk melakukan pemberontakan, juga
7
Fenomena ini begitu jelas tatkala Harmoko menjadi ketua umum Golkar --yang identik sebagai partai pemerintah orde baru-- banyak mendatangi pesantren-pesantren di seluruh tanah air.
9
menerima "timah panas" tanpa ada pembuktian bahwa mereka memang memiliki niat semacam itu.8 Rasa kebencian itu terus subur hingga tahun 1990-an, dan tampaknya baru mereda setelah Prof. B.J. Habibie sebagai ketua umum ICMI terpilih sebagai wakil presiden masa pemerintahan Suharto yang terakhir. Pada masa itulah kesenjangan antara Islam dan penguasa sedikit demi sedikit memudar, meski tidak hilang seluruhnya. Lengsernya Suharto dari kursi keprisedenan memang membuat iklim politik berubah drastis9, --jika tidak ingin menyatakan sebagai perubahan total--. Pada masa orde baru salah satu tokoh politikus yang mendapat tekanan cukup kuat adalah Megawati Sukarno Putri, yang berstatus sebagai ketua umum PDI. Peristiwa yang membuat simpati masyarakat kepada Mega adalah peristiwa penyerangan terhadap kantor DPP PDI pada media tahu 1996. Peristiwa itulah yang sedikit banyak meraih simpati masyarakat, sebab Mega --apapun adanya adalah anak sang proklamator negara ini-- bagi masyarakat merupakan simbol perlawanan rakyat kecil terhadap penguasa. Dukungan terhadap Mega semakin menggelembung pada masa kejatuhan Suharto. Terlebih pada masa pemerintahan Habibie, pemerintah membuka keran lebar-lebar untuk munculnya partai politik baru di luar 3 partai politik dan golongan 8
Terkait dengan hal ini, Idrus (1997) mempertanyakan pelbagai kasus kerusuhan yang bernuansa agama dan didukung oleh masyarakat Islam apakah merupakan indikasi bangkitnya solidaritas di kalangan umat Islam? atau justru mentengarai Islam sebagai kelompok yang selalu disident 9 Sebebanrnya sejarah tengah berulang, sama seperti lengsernya Sukakrno yang pada masa kejayaanya memiliki seperangkat simbol kebesaran dengan sebutan Panglima Besar Revolusi Presiden Seumur Hidup, Suharto dengan sebutan sang Jendral Besar dan Bapak Pembangunan juga memiliki setumpuk gelar lainnya. Keduanya saat jatuh seluruh masyarakat mencaci, mengkuyo-kuyo, seolah-olah tidak ada sejarah kebaikan pada mereka. Bahkan seorang anak SD saat pawai kebangkitan 20 Mei 1997 dengan santai bernyanyi di depan aparat "gantung suharto di tugu monas". Sesuatu yang pada masa kejayaan mereka untuk menyebut nama saja harus didahului minimal sebutan bapak, saat ini menyebut nama
10
yang ada. Mengambil peluang tersebut, Mega mendeklarasi hadirnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang merupakan sempalan dari dari PDI yang dipimpin Budi Harjono. Berbasis dukungan massa
itulah, PDI-P meraih suara yang mengungguli
Golkar sebagai pemenang pada pemilu-pemilu sebelumnya. Kemenangan PDI-P --jika boleh menyatakannya demikian-- secara tidak langsung membuat resah banyak kalangan politisi, terutama umat Islam. Sebab mayoritas Caleg PDI-P adalah dari kalangan non muslim, dan jika ada yang beragama Islam maka sedikit di antara mereka yang secara baik menguasai agamanya. Dikhawatirkan jika calig tersebut berkiprah sebagai anggota dewan, maka akan mempersulit posisi umat Islam.10 Reaksi umat Islam memang spontan, terjadi perdebatan sengit tentang boleh tidaknya perempuan memimpin negara. Banyak forum yang membicarakan hal itu, bahkan kelompok ulama
juga membincangkannya dan pada akhirnya keluar
pernyataan yang mengatasnamakan ulama, bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin negara.
Tentu saja bagi massa PDI-P keputusan itu bersifat
politis
dibanding nuansa agamanya, dan reaksi keras dari mereka begitu "ngegirisi" dengan menggelar aksi cap jempol darah, sebagai simbol mereka akan mempertahankan Mega untuk tetap menjadi presiden sampai titik darah penghabisan. Belum lagi muncul peristiwa Bali, tatkala Mega terlihat berada di tengahtengah upacara keagamaan, dan serta merta seorang politikus senior mengungkap
mereka sama seperti memanggil anak kecil, tanpa rasa hormat sedikitpun. 10 Harus diakui secara jujur, bahwa begitu hasil pemilu diumumkan dan PDI-P memperoleh suara terbanyak di antara partai peserta pemilu lainnya, beberapa kalangan umat Islam memiliki kekhawatiran jangan-jangan kebijakan yang dihasilkan para anggota dewan dengan anggota terbanyak dari PDI-P --mayoritas calegnya non-muslim-- nanti akan mempersulit umat Islam. Rasanya sinyalemen ini mungkin saja terjadi, sebab pada dasarnya dalam politik peluang perubahan dapat terjadi dalam bilangan detik. Artinya, segala kemungkinan memiliki probabilitas yang sama.
11
bahwa agama Mega tidak jelas, Islam atau Hindu. Untuk menepis isu tersebut muncul rumor Mega akan berangkat haji pada tahun itu, meski hingga hari ini belum ada kejelasan tentang rumor ini. Tepisan itu secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa Mega adalah orang Islam, legalitas ini dibutuhkan sebagai salah satu jaminan kepada umat Islam, meski pengetahuan agamanya tidak sebaik santri. Apapun adanya, saat ini yang duduk di kursi presiden dan wakil presiden adalah Gus Dur sebagai simbol kalangan santri dan Megawati
sebagai simbol
kalangan abangan. Tampaknya dua kultur berbeda besar harus duduk dalam satu wadah yang sama membina negara ini. Seperti dipahami bahwa kultur santri memiliki tradisi-tradisi keagaaan yang kental, dengan budaya pesantren yang kolektif. Sementara itu tradisi abangan menjalankan ritual agama di samping itu tetap pula mempertahankan budaya -khususnya Jawa--. Benarkah simbolisasi Gus Dur-Mega sebagai simbol kebangkitan santri dan abangan? Meski harus diakui bahwa Gus Dur sepanjang sejarah hidupnya lekat dengan pesantren, dan Megawati juga lekat dengan pendidikan persekolahan, namun tampaknya arus pemikiran keduanya tidak secara rigid mewakili kedua unsur tersebut. Pada banyak situasi model analisis yang kerap dikemukakan Gus Dur adalah model spiral dengan target tertentu, yang kerap diistilahkan oleh para pengikutnya Gus Dur ke Timur bukan berarti ke Timur tetapi sebenarnya tujuannya adalah ke Barat. Model target operasi (TO) Gus Dur memang bukan dilakukan secara frontal, tetapi lebih sering dengan model gesek-gesek. Meski demikian seharusnya sebagai presiden saat ini model yang
12
dikembangkan Gus Dur harus mulai bergeser. Sebab kerap pernyataan yang diucapkannya menjadikan tanda tanya besar bagi banyak kalangan --kecuali untuk pendukungnya yang mahfum dengan model berpikir sang kyai--. Sebagai misal barubaru ini tiba-tiba Gus Dur menyatakan bahwa Jakarta dalam kondisi siaga I, dan sambil guyon11 Gus Dur bilang "meski begitu anda-anda yang di sini (di forum pertemuan itu) khan tidak merasakannya". Pada akhirnya pernyataan ini memerlukan ferivikasi, dan tentu saja untuk mendukung pernyataan itu pihak keamanan harus merekayasa bahwa memang kondisinya demikian. Namun dampaknya cukup luar biasa, siang hari harga-harga saham di bursa efek langsung menurun. Selain dari itu, sesungguhnya Gus Dur tidak seluruhnya mewakili kelompok santri tradisional, meski dirinya lekat dengan pesantren. Sebab, pemahaman akan situasi sosial-politik yang dimilikinya sepertinya melebih kemampuan santri-santri pada umumnya. Jika termonologi pesantren sebagai indikasi tradisional, memang harus diakui Gus Dur masuk dalam katagori ini. Namun tentunya parameter lainnya seperti intelektual, keluasan pemahaman menjadikan dirinya juga dapat dikatagorikan sebagai santri modern. Pada kelompok ini dapat disebut beberapa nama seperti Prof. Nurcholis Madjid (Cak Nur), atau bahkan Prof. Amien Rais, Prof. Ysril Ihza Mahendra, juga si abang Akbar Tanjung yang note bene tidak mengalami kehidupan pesantren, namun lekat dengan nuansa keagamaan dalam berbagai aktivitasnya. Sementara itu Mega dalam banyak situasi lebih memilih sikap diam, yang menurut para pendukungnya merupakan sikap perlawanannya terhadap situasi. Namun, tampaknya sikap tersebut tidak lagi diperlukan saat ini. Hal tersebut
11
Kemampuan guyon Gus Dur begitu mumpuni hingga Jaya Suprana sang kelirumologi mengakui menyerah dalam salah sacara talk show dengan Gus Dur di televisi swasta baru-baru ini. Namun tampaknya selera humor Gus Dur ini tidak banyak dimiliki kalangan pendukungnya, setidaknya
13
mengingat sebagai seorang wakil presiden Mega harus banyak memberi masukan pada Gus Dur --sang kakak-- dan lebih dari itu secara aktif menyelesaikan banyak persoalan yang menjadi agenda reformasi. Semua itu tidak cukup dilakukan dari kursi singgasananya hanya sekadar dengan senyum. Sebagai orang Jawa, kultur yang ada pada Mega memang begitu nJawani. Namun, hingga hari ini ritual kehidupan kesehariannya memang tidak dapat seluruhnya tersibak secara transparan. Sehingga untuk mengkatagorikannya sebagai seorang abangan jelas tidak dapat begitu saja. Namun jika ukurannya adalah seperti yang diungkap Geertz, yaitu pada dimensi ketaatan tampaknya ukuran yang dipakai sangat sulit. Ketaqwaan, apa tolok ukurnya? Terlebih saat membuat katagori tersebut Geertz melakukannya pada masyarakat petani, Mega tentu saja belum pernah sekalipun terjun dalam dunia pertanian secara praktis. Dengan begitu sulit untuk mengkatagorikan Mega dalam kelompok abangan, seperti diungkap beberapa pakar. Jika konteks pembicaraannya pada pendukung dari kedua figur Gus Dur dan Mega, mungkin pengkatagorian tersebut dapat dilakukan. Setidaknya sebagai inspirator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Gus Dur memiliki dukungan kuat dari kalangan pesantren, sementara itu basis massa dari PDI-P banyak yang berasal dari pedesaan dan kalangan bawah. Lantas jika saat ini kedua kelompok pendukung figur pimpinan tersebut masuk dalam kelompok dewan, apakah hal ini membenarkan isyarat bangkitnya kelompok santri-abangan? Tentunya jawaban pertanyaan itu akan kembali dari mana sisi pandangnya?
peristiwa Bagito mengindikasikan hal itu.
14
PUSTAKA
Geerts, Clifford. 1981. Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya. Idrus, Muhammad., 1997. Ukhuwah Islamiyah Sebuah Peradaban Baru?. Dalam Jurnal Studi Islam Mukaddimah. Nomor 4 th. III. 1997. Yogyakarta: Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY Kaisiepo, M. 1987. Dari Kepolitikan birokrastik ke korporatisme negara, dalam Jurnal Ilmu Politik Nomor 2. Jakarta: PT. Gramedia. Mas'oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan struktur politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES. ------------------------, 1994. Negara, Kapital dan Demokrasi. Yogyakarta: Pusstaka Pelajar. Nugroho, Taufik., 1999. Hubungan Islam dan Negara di Indonesia era orde baru. Jurnal Studi Islam Mukaddimah. Nomor 7 th. V. 1999. Yogyakarta: Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY. Suparlan, Parsudi. 1981. Kata Pengantar dalam Geerts, C. 1981. Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya.
15