PENGUKURAN RANAH AFEKTIF DALAM EVALUASI MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd Abstract
If we want to know how far the teaching-learning process progressing, we should make evaluation for all audiences. There were three domains in evaluation, i.e (1) cognitive domains; (2) affective domains; and (3) psychomotor domains. Refers to Islamic education subject, affective a domain is very important, because in Islamic education subject we want to know about value, attitude, and response student toward the material. Actually, the teachers always ignore the affective domains, or if they remind it, they still used cognitive model to evaluate affective domains. This article describes how to make affective model in Islamic education subject’s evaluation.
A. Pengantar Salah satu indikator keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dari penguasaan subjek belajar terhadap materi yang diajarkan. Pada akhirnya untuk mengetahui tingkat kemampuan anak didik ini, seorang pendidik harus melakukan kegiatan evaluasi terhadap hasil belajar yang telah dilakukannya. Selain untuk memperoleh informasi tingkat kemampuan mahasiswa, kegiatan evaluasi juga dimaksudkan sebagai masukan bagi pendidik untuk memperbaiki metode ataupun strategi pembelajaran yang dilakukannya. Terkait dengan kegiatan evaluasi ini, biasanya ada 3 (tiga) ranah yang kerap dievaluasi, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Secara mudah ranah pertama ini lebih banyak menitikberatkan pada kemampuan kognitif dari siswa, biasanya untuk mengukur kemampuan ini pendidik akan menanyakan tingkat pengetahuan siswa tentang materi yang diajarkan –mulai dari recognition, comprehension, application,
1
analysis, synthesis, evaluation-. Kemampuan kognitif ini banyak dilakukaan saat pendidik ingin mengevaluasi tingkat hapalan hingga kemampuan analisis dan evaluasi subjek didik terhadap materi yang diajarkannya. Kemampuan afektif, lebih menekankan pada sisi afeksi (rasa/sikap) yang dimiliki siswa, dan untuk mengukur aspek ini biasanya pertanyaan yang diajukan menghendaki respon yang melibatkan ekspresi, perasaan, nilai-nilai ataupun pendapat pribadi.
Ranah afektif tentu saja akan sangat tepat jika pendidik
berkeinginan untuk mengukur sikap, nilai-nilai yang dimiliki siswa, sebagaimana tuntutan pada materi Pendidikan Moral Pancasila (PMP), ataupun materi Pendidikan Agama. Adapun domain terakhir lebih memfokus pada kemampuan psikomotor kerja otot –meminjam istilah yang diajukan Suharsimi Arikunto, 1986- dan domain ini lebih banyak dilakukan saat mengevaluasi yang meminta siswa untuk melakukan gerakan seperti dalam pelajaran olah raga, ketrampilan. Meski demikian, sebenarnya acuan di atas tidaklah ketat, artinya tidak harus satu materi hanya mengarahkan model evaluasinya pada satu domain saja. Ketiga domain lebih baik digunakan secara bersama pada saat mengevaluasi setiap materi yang diajarkan. Menggunakan hanya salah satu di antaranya saat mengevaluasi dapat dibenarkan jika memang materi yang diajarkannya memang model tersebutlah yang paling sesuai untuk evaluasinya.
B. Pengukuran Ranah Afektif: Suatu Realita Perubahan yang dilakukan terhadap kurikulum dari tahun ke tahun, ternyata tidak hanya mengubah silabi, sequence ataupun scope materi semata, namun juga
2
diikuti dengan perubahan pada model evaluasi yang harus dilakukan para pendidik. Pada sekolah-sekolah pra-universitas, sejak tahun 1994 strategi pengukuran hasil belajar tidak hanya terfokus pada satu ranah saja, akan tetapi mencakup keseluruhan ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Dengan begitu, untuk seluruh materi pelajaran yang diajarkan di tingkat pra-universitas model evaluasinya harus diarahkan pada sisi kognitif, afektif, dan psikomotor. Mengambil analogi hal di atas, maka bagi materi semacam PMP dan pendidikan agama, maka tingkat penekanan pada peneliaian afektif semakin kuat dibandingkan dengan materi pelajaran lainnya. Namun, dari ragam instrumen pengukuran yang disusun para guru cenderung mengabaikan ranah afektif sebagai salah satu target pencapaian belajar. Jika hendak diidentifikasi, maka setidaknya ada dua alasan utama, mengapa ranah afektif jarang dilakukan. Pertama, disadari bahwa perkembangan ranah afektif membutuhkan waktu yang relatif lama, sehingga bila suatu saat guru hendak melakukan pengukuran ranah afektif yang ia tanamkan, maka dia harus mengikuti proses perkembangan anak tersebut dalam kurun waktu tertentu. Alasan ini semakin kuat, karena proses pembelajaran di sekolah dibatasi oleh satuan waktu tertentu. Alasan tentang waktu belajar yang terbatas menjadikan guru lebih suka untuk mengukur siswa tidak dari kemampuan afektifnya. Selain itu, mungkin saja terjadi bahwa sebenarnya guru tersebut bukan hanya menilai hasil dari proses yang dia lakukan sendiri, tetapi dalam proses pengukuran tertentu dia juga menilai proses yang telah ditanamkan oleh orang (guru) yang terdahulu, sehingga guru yang bersangkutan kesulitan untuk menentukan standar keberhasilannya.
3
Kedua, dilihat dari sifatnya, ranah afektif memiliki sifat yang kompleks, multidimensional serta tidak memiliki batas yang tegas antara aspek yang satu dengan aspek lainnya. Dengan begitu, memang terasa sulit untuk melakukan pengukuran ranah afektif, terlebih lagi bagi mereka yang belum terbiasa. Selain itu, karena ketidakjelasan batas tersebut, membuat pengukuran ranah afektif terkadang menjadi rancu. Adanya berbagai kesulitan tersebut, bukan berarti bahwa guru dapat secara apologis menghindari atau bahkan menhilangkan pengukuran ranah afektif. Sebab, pada daaaasarnya ada sisi tertentu yang sebenarnya hanya mungkin didekati dari sisi afektif. Terlebih lagi bagi guru pendidikan agama Islam (PAI), tuntutan terbanyak dari kurikulum lebih banyak mengarah pada pengukuran afektif daripada ranah domain yang lain. Dengan begitu, seandainya guru PAI berorientasi pada kurikulum –dengan sendirinya pengukuran yang dilakukannya mengacu pada Criterion Reffferenced Meassurement (CRM), guru menggunakan nilai patokan yang telah disepakati sebagai acuan bagi penilaiannya (PAP)- maka keseluruhan aspek domain tersebut harus juga dinilai. Kenyataan di lapangan, pengukuran hasil belajar PAI yang dilakukan guru di sekolah, bahkan juga dalam buku-buku pelajaran PAI yang dijadikan text books diarahkan ke ranah kognitif. Meskipun disadari pengukuran untuk ranah kognitif juga diperlukan, akan tetapi hendaknya model pengukuran tersebut jangan sekaligus digunakan untuk menilai ranah afektif, atau mengukur afektif dengan model kognitif. Secara empirik yang terjadi di lapangan biasanya adalah, untuk mengukur penguasaan ranah afektif, guru memberikan pertanyaan yang sebenarnya mengarah
4
pada sisi kognitif. Sebagai contoh, guru hendak menilai tentang kerajinan ibadah shalat anak, akan tetapi pertanyaan yang muncul adalah, apakah yang dimaksud takbiratul ihram? Mungkin pada rancangan evaluasi yang dibuat, guru ingin menilai tentang kebiasaan takbir si anak, yang mungkin dapat dijadikan indikasi terbiasa atau tidak anak melakukan shalat. Jika ditelaah dengan saksama, maka sebenarnya pertanyaan tersebut lebih condong menanyakan tentang bagaimana teori melakukan takbiratul ihram yang benar, dan bukan respon sikap ataupun nilai sebagaimana diharapkan dalam model afektif. Dengan begitu meski anak yang tidak terbiasa melakukan shalat sekalipun akan tetapi pernah memperoleh pelajaran tentang tata cara melakukan shalat, akan dapat dengan mudah menjawabnya. Bagi perbaikan mutu pengukuran serta informasi yang ingin diharapkan, maka kondisi di atas harus diubah. Sebab, hal tersebut dapat merugikan siswa, karena sebenarnya guru tidak menilai apa yang seharusnya dinilai –dalam terminologi evaluasi dapat dinyatakan guru tidak menggunakan alat ukur yang valid-. Selain itu, siswa tidak memiliki pengetahuan yang komprehensif atas materi yang diajarkan guru. Apalagi jika diukur dengan standar kurikulum yang menghendaki penguasaan tuntas atas materi (mastery learning, 85% siswa menguasai 85% materi yang diterimanya).
C. Model CRM dalam Pengukuran Afektif Harus diakui bahwa hingga saat ini, guru PAI masih melakukan pengukuran dengan tetap mengacu pada kurikulum. Artinya, secara tidak langsung guru telah mengikat dirinya dengan model CRM (PAP). Pengikatan-diri ini sebenarnya
5
dilakukan guru karena ketidak-sadaran mereka tentang pola pengukuran yang ditetapkan. Pada mulanya mereka hanya menetapkan bahwa kemampuan anak diukur dengan standar tertentu, dan standar itu adalah standar yang telah disepakati di sekolah. Meski pada akhirnya karena berbagai tuntutan –harap diingat bahwa materi PAI termasuk materi penentu naik atau lulus tidaknya seorang anak-, guru PAI tetap harus memberi angka yang disepakati sebagai batas terendah lelulusan. CRM dengan berbagai kelebihannya memang mampu untuk menaikan nilai rerata yang dicapai siswa di kelas. Namun demikian, ada beberapa hal yang rasanya sulit bagi guru untuk menerapkan model CRM bagi penilaian afektif. Pertama, konsep CRM menginginkan anak memiliki penguasaan materi atas kriteria yang telah ditetapkan oleh kurikulum. Dari konsep ini guru mencoba untuk menspesifikasi tujuan instruksionalnya sesuai dengan tuntutan kurikulum sendiri. Sebenarnya tuntutan penguasaan ini lebih pada sisi kognisi anak, dibandingkan sisi afeksinya. Artinya, jika menggunakan model CRM, maka yang diukur adalah kemampuan anak didik menguasai minimal sebatas nilai standar yang telah ditetapkan. Kedua, dalam konsep CRM, tes (item) yang dibuat harus mampu memposisikan anak pada status mastery dan non-mastery dalam belajarnya. Berkaitan dengan permasalahan pertama, siswa belajar dituntut untuk menguasai materi yang diajarkan oleh gurunya secara tuntas. Jika kenyataannya ini muncul di lapangan, artinya ada siswa yang memang karena kondisinya harus masuk pada kelompok non-mastery, maka dengan sendirinya guru harus berupaya untuk menaikan derajat kemampuan siswa tersebut. Cara yang harus ditempuhnya adalah
6
dengan melaksanakan remidial bagi anak yang kurang menguasai tadi. Melakukan remidial berarti melakukan penambahan waktu untuk mempelajari materi yang sama. Penambahan waktu bagi pelaksanaan remidial, rasanya sulit untuk dapat dialokasikan secara baik. Hal ini mengingat, dalam model kurikulum yang dilaksanakan saat ini, satuan waktu belajar (tahun akademik) untuk tingkat di bawah perguruan tinggi menggunakan model catur wulan yang merupakan waktu penggalan di antara seluruh waktu selama tahun akademi tersebut. Dengan begitu, guru terikat waktu untuk melakukan pengukuran. Kenyataan ini semakin menyudutkan guru, jika model CRM yang dipakai sebagai ukuran keberhasilan belajar. Pengajaran remidi (remidial) pada banyak institusi sekolah lebih dimaknai sebagai menempuh ujian ulang, bukan memberi tambahan waktu untuk mempelajari materi tertentu, baru kemudian mengujinya kembali. Menguji ulang (kerap disebut herr) satu materi tidak sama dengan remidi, dan ini jelas menyimpang. Secara psikologis kemampuan seseorang dalam rentang waktu yang dekat tertentu tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan jika dilakukan pengujian dalam waktu yang berbeda. Lantas apa maknanya? Meski dilakukan ujian berulang kali, hasil yang dicapai anak tersebut tetap tidak akan jauh berbeda dengan hasil sebelumnya, sehingga pada sisi kerap remidi dihilangkan oleh guru, karena yang bersangkutan memahami diuji beberapa kali si anak tetap belum tentu dapat mencapai standar yang diharapkan. Jadi, mengapa harus susah-susah melakukan remidi? Selain itu, kondisi model satuan waktu yang diterapkan di sekolah-sekolah kita, juga menyebabkan guru sulit untuk melakukan pengukuran model lintas waktu untuk sisi afektif. Munculnya kesadaran bahwa persoalan afektif menjadi tema utama
7
dalam pengajaran PAI, dan pada akhirnya memunculkan semangat untuk melakukan pengukurannya. Namun demikian, kesadaran ini sekaligus memposisikan guru dalam dilema tanggung jawab yang tak terselesaikan. Sebab, pengukuran afektif membutuhkan waktu yang relatif lama, sementara itu satuan waktu pelajaran dibatasi dalam interval waktu tertentu1. Kondisi ini dengan sendirinya menyebabkan guru merancang item pengukuran afektif dengan model kognitif. Ketiga, jika ingin menerapkan model CRM, maka dengan sendirinya dalam proses belajarnya guru harus mampu membuat karakteristik penguasaan minimum dan karakteristik penguasaan maksimum. Artinya, konsep CRM menginginkan adanya standar yang jelas bagi karakteristik mereka yang mastery dalam belajarnya. Kenyataan di lapangan, guru-guru PAI hanya mampu untuk merumuskan standar minimum bagi keberhasilan belajar yang harus dicapai anak, sementara untuk standar maksimumnya guru belum mampu untuk membuat karakteristiknya. Hal umum yang sering muncul dalam desain instruksional yang dibuat oleh guru biasanya masih bersifat abstrak. Sebagai contoh, guru ingin mengetahui kerajinan shalat anak, dalam desain instruksionalnya guru menuliskan siswa dapat memahami cara melaksanakan shalat dengan benar? Kelemahan desain tersebut, selain bernuansa kognitif, juga sulit dilakukan pengukuran atasnya. Sebagai jalan pemecahannya biasanya guru mencoba
1
Di sekolah-sekolah pra-universitas (bahkan universitas, sekalipun) setiap pendidik dibatasi oleh waktu untuk melakukan proses pengajaran, baik dalam terminologi semester, catur wulan ataupun trisemester. Pembatasan ini pada akhirnya menjadikan kesepakatan bahwa setiap guru/dosen harus menyelesaikan proses pengajarannya dane evaluasinya pada kurun waktu itu, di luar waktu itu pihak institusi akan kesulitan untuk melakukan proses administrasi. Sekolah tidak dapat mengeluarkan rapor untu anak, atau mahasiswa tidak akan memperoleh nilai judisiumnya. Padahal biasanya melakukan pengukuran ranah afektif terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama, mengingat sifatnya yang individual.
8
mengoperasionalkannya dengan membuat desain sebagai berikut: siswa dapat melaksanakan sujud dengan benar?. Meskipun dibuat dalam rumusan yang berbeda, akan tetapi masih tampak bahwa guru memiliki satu kriteria pasti tentang shalat yang benar, dan kriteria ini lebih condong mengukur kognitif siswa dibanding dengan kemampuan afektifnya. Pada akhirnya terlihat guru hanya mampu membuat satu standar yang minimal dari perilaku yang hendak diukur. Dalam contoh yang diajukan dimuka, pada akhirnya guru hanya melakukan pengukuran atas bagian-bagian shalat (sujud yang benar, takbir yang benar, dan sebagainya) dan bukan seluruh rangkaian kegiatan shalat itu sendiri. Selain itu, seandainya sudah teridentifikasi kriteria minimal, guru sulit untuk menentukan kriteria tertinggi (maksimal) dari satu rangkaian kegiatan shalat. Guru hanya dapat menilai kekurangannya dan mencocokkan dengan nilai standar terendah, untuk siswa yang secara kriteria sesuai tidak dapat dinilai dengan nilai tertinggi (misalnya 10 atau 100, sebagai angka yang selama ini dijadikan ukuran tertinggi dalam evaluasi). Dari paparan di muka, nampaknya mengukur aspek afektif dengan model CRM tidak dapat dilakukan dengan mudah oleh guru PAI. Untuk itu sudah sewajarnya jika guru melakukan pengukuran afektif dengan pendekatan proses. Artinya, guru mengikuti perubahan sikap yang dialami oleh siswa. Misalnya saat waktu shalat guru dengan saksama mengamati kegiatan shalat yang dilakukan oleh individu siswa dari kejauhan, bagaimana melakukan prosesi keagamaan tersebut dengan benar dan teratur, sikap saat persiapan, sikap saat melaksanakan, sikap saat
9
selesai pelaksanaan shalat, adab yang ditampilkan dan banyak lagi kriteria yang dapat diajukan oleh guru. Mencermati hal tersebut semakin menyadarkan bahwa pengukuran untuk ranah afektif memang membutuhkan waktu yang relatif lebih lama, dibanding dengan ranah kognisi ataupun psikomotor yang dapat dilakukan dengan seketika. Meski demikian, jika dilakukan dengan model pendekatan proses sebagaimana diungkap di atas, maka setiap individu siswa akan dapat secara objektif dinilai kemampuannya, titik lemah, serta kelebihan yang bersangkutan.
D. Instrumen Ranah Afektif Seperti telah penulis paparkan pada tulisa di muka, bahwa untuk menilai ranah afektif tidaklah dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pertanyaan yang bersifat penguasaan. Untuk itu dalam proses pengukuran afektif agar diperoleh informasi yang senyatanya, harus digunakan model pengukuran yang tepat. Model tersebut dapat berupa observasi terhadap aktivitas siswa selama berada di sekolah, interaksi antar-siswa, antar siswa-guru, antar siswa-dengan personil sekolah lainnya. Observasi ini selain membutuhkan kemampuan individual guru dalam melakukan observasi, juga membutuhkan waktu yang relatif lama –mengingat harus mengamati individu satu persatu-. Cara lain dapat dilakukan dengan menggunakan menggunakan skala pengukuran sikap yang tepat. Fernandes (1984) mengelompokkan model pertanyaan sikap atas dua kelompok, yaitu model survey dan model skala. Model survey merujuk pada pertanyaan jajak pendapat (pooling) dan dicontohkannya dengan model Gallup Pool,
10
sedangkan model skala dimaksudkan untuk mengetahui sikap individu atas persoalan yang dihadapinya. Selain itu pengembangan model skala ini dapat dilakukan melalui The Judging Group dan The direct Response of Ageerement or disagreement with attitude statements. Untuk Judgment Method (Istilah yang digunakan Saifuddin Azwar, 1988) yaitu pengembangan skala sikap yang berdasarkan pada nilai atau bobot pernyataan pada keputusan sekelompok orang yang merupakan kelompok pengira (Judging Group). Kelompok pengira ini diminta untuk memberi perkiraan derajat favourable satu pernyataan menurut kontinum psikologis, bukan memberikap persetujuan atau ketidak setujuan secara pribadi. Hasil perkiraan ini kemudian digunakan untuk menetapkan skala nilai dari pernyataan (Fernandes, 1984). Skala sikap yang dikembangkan berdasarkan model ini antara lain adalah: metode perbandinganperbandingan (Method of Paired-comparasions), metode interval tempak seara (Method of Equal-apperaring intervals), meode interval berurutan (Method of successive intervals). Response method, merupakan metode pengembangan skala sikap yang tidak memerlukan kelompok pengira. Nilai skala sikap pernyataan akan diperoleh dari respon atau jawaban kelompok subyek yang menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap pernyataan. Jawaban setuju yang diberikan anak menandakan dukungan atas pernyataan, dan jawaban yang tidak setuju merupakan penolakan atas pernyataan. Adapun teknik yang dipergunakan untuk mengembangkan metode respon ini antara laiin, methode yang dijumlahkan (Method of summated ratings).
11
Saifuddin Azwar (1988) menambahkan, adanya metode kombinasi antara Judment method dan respon method, yang mendasarkan pengembangan nilai skala sikap setiap pernyataan melalui perkitaan dari kelompok pengira kemudian menggunakan hasil respon subyek. Contoh untuk metode ini adalah teknik diskriminasi skala, teknik beda semantik (semantic deifferential technique). Beberapa contoh model skala pengukuran yang dikenal antara lain: skala likert, skala pilihan ganda, skala Thurstone, skala Guttman, skala perbedaan semantik (Suharsimi Arikunto, 1986; Fernandes, 1984). d. Pengukuran Ranah Afektif dalam PAI Konsep taqwa, sebagai salah satu tujuan akhir proses pendidikan agama Islam esensinya lebih bernuansa afeksi. Dengan sendirinya, format pengukuran dalam PAI juga harus mampu memposisikan anak pada pada level yang tepat. Pada sisi ini, pengukuran ranah afektif menjadi salah satu syarat (condition sine quanon) bagi tercapainya tujuan di atas. Dengan begitu, terpaksa ataupun tidak guru PAI harus mampu melakukan pengukuran untuk ranah afektif. Berkaitan
dengan
ranah
afektif,
Anderson
(1976)
menuliskan
tiga
karakteristiknya, yaitu (1) afektif bersifat permanen, (2) afektif melibatkan perasaan, dan (3) afektif harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu target atau sasaran, intensitas atau tubian. Sebenarnya dalam PAI telah memiliki target yang jelas, yaitu perasaan, nilai-nilai, sikap serta perilaku anak didik dalam mengamalkan syariat agama di kehidupan yang nyata. Meskipun demikian, ternyata melakukan pengukuran ranah afektif bukan satu kegiatan yang mudah. Setidaknya hal ini disinyalir Anderson (1976) bahwa ranah
12
afektif berhubungan dengan ranah kognitif dan psikomotorik, dan karenanya agak susah untuk dipisahkan. Namun, bukan berarti hal ini tidak dapat dilaksanakan, untuk itu Krathwohl dan kawan-kawannya (dalam Anderson, 1976) mencoba menyusun langkah-langkah penyusunan (Krathwohl mengistilahkannya sebagai taksonomi) yaitu: 1. Receiving (attending), yaitu taraf peserta didik dihadapkan pada satu stimuli, rangsangan atas gejala yang mengandung nilai. Prosesnya, anak dihadapkan pada seperangkat nilai yang harus dipahami, disadari, untuk kemudian diseleksi serta diterimanya. Tahapan ini sebenarnya baru pada tahap pengetahuan, sehingga cara menilainyapun dapat dilakukan secara tertulis atau tes lisan. Pertanyaan yang dapat dimunculkan misalnya, mengapa kita harus shalat? Mengapa kita harus berpuasa?. 2. Responding, yaitu tahapan anak melakukan tanggapan atau respon atas nilai yang disodorkan kepadanya. Pada tahap ini, bukan hanya sekadar kognitif yang ditampilkan anak, tetapi sudah disertai dengan perasaan, dan anak dapat merasakan kepuasan atas respon yang diberikannya. Untuk menilai tahapan ini, tidak menggunakan soal tes penguasaan, tetapi instrumen yang digunakan harus dapat mengungkap perasaan atau pendapat, dan menunjuk adanya gradasi serta variasi perasaan testee. Berkaitan dengan ini model yang mungkin adalah menggunakan instrumen skala sikap yang memiliki rentang jawaban dari sangat positif hingga sangat negatif. Satu hal yang harus diperhatikan dalam model ini adalah gradasi dari pilihan yang diajukan untuk setiap butir soal yang ditulis haruslah halus, dan tidak terkesan adannya jumping. Sebagai misal jika alternatif
13
jawabannya mulai dari sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, sangat tidak setuju, jangan hanya setuju, ragu-ragu, tidak setuju; apalagi hanya jawaban ya, dan tidak.. 3. Valuing, tahapan anak mengadakan pengukuran atas nilai yang dihadapinya, untuk kemudian dilanjutkan dengan kesediaan menerima nilai, menyenangi dan muncul ketertarikan hati atas nilai yang dipilihnya. Pada tahap ini nuansa perasaan telah menyertai lebih dalam pada proses internalisasi nilai. Untuk menilai tahapan ini tidak dapat dengan menggunakan tes penguasaan, tetapi instrumen yang digunakan harus mampu mengungkap pemilikan nilai serta kecenderungan perasaan anak. Dengan begitu,cara menilai yang lebih tepat adalah dengan melakukan pengamatan atas perilaku dan sikap anak sebagai refleksi nilai yang telah dipilihnya. Proses pengamatan ini dapat dilakukan secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu, tetapi juga pada saat tertentu saja manakala anak diharuskan bersikap sebagai konsekwensi atas nilai yang dipilihnya. Misalnya, guru hendak mengukur nilai kejujuran yang telah ditanamkannya, maka hendaklah memilih situasi yang dapat merefleksikan nilai kejujuran tersebut. Salah satu di antaranya dalam menjawab soal ujian yang diberikan kepadanya, apakah anak mengerjakan sendiri atau menyontek pada temannya. Dapat juga dengan kejadian insidental, misalnya ada anak yang mengembalikan satu barang temannya yang tertinggal, atau tercecer. 4. Organizations, tahap ini ditandai dengan terkaitnya beberapa nilai yang telah dimiliki anak dan membentuk satu rangkaian sistem nilai baru. Pada taraf ini anak telah bersikap dan bertindak atas nama nilai yang dipilihnya. Dengan
14
begitu, model pengukuran dalam tahapan ini adalah pengamatan atas sikap dan perilaku anak. Dapat dicontohkan di sini nilai kejujuran, anak dapat mengorganisasi nilai kejujuran pada saat shalat, anak jujur seandainya dia batal wudlunya, maka dia akan dengan sendirinya keluar dari barisan shalat. Pengetahuan bahwa batal wudlu harus menghentikan shalat, telah dapat diinternalisasikan dalam perilakunya. 5. Characterization by a or value complex, merupakan jenjang tertinggi dan tahap terakhir taksonomi ranah afektif. Tahap ini ditandai adanya keyakinan pada diri anak atas nilai yang dipilihnya, serta menggunakan nilai tersebut sebagai kontrol diri dalam bertindak dan berperilaku. Proses pengukuran dalam tahapan ini adalah, pengamatan yang mendalam atas setiap tindakan yang dilakukan anak. Tentu saja dalam hal intensitas dan kualitas pengukuran, pada tahapan ini memiliki bobot yang lebih dibanding tahap organisasi di atas. Dengan tetap mengambil contoh di atas, maka pada tahapan ini kejujuran bagi anak akan menjadi pedoman kehidupannya, menjadi satu aktivitas kesehariannya. Jika melihat tahapan yang diajukan Kratwohl, maka nampaknya untuk mengukur ranah afektif memang memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Hal ini disebabkan, ranah afektif bukan hanya sekadar mementingkan penguasaan materi kognisi ataupun ketrampilan, lebih dari itu pengukuran afektif menginginkan terinternalisasinya nilai-nilai yang telah diajarkan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Dengan sendirinya untuk menilai sisi afektif siswa, maka yang harus dilakukan guru adalah dengan mengikuti proses anak itu sendiri secara individual.
15
e. Penutup Tujuan
dilakukannya perubahan
kurikulum salah satunya adalah
mengoptimalkan kemampuan siswa. Dalam pada itu, aktivitas evaluasi merupakan salah satu cara terbaik untuk melihat kemampuan anak didik. Tentunya dalam kegiatan evaluasi ini, seluruh domain yang memang telah dijabarkan dalam desain kurikulum tersebut harus diukur, agar informasi yang diperoleh lebih komprehensif, terlebih bagi materi pendidikan agama Islam sisi afektif menjadi penekanan utama bagi keberhasilan belajar. Pada kenyataannya, sisi afektif kerap terabaikan, dan seandainya dilakukan yang muncul justru afektif dengan bingkai kognitif. Pada akhirnya untuk melihat aspek afektif, ternyata tidak tepat hanya dengan mengukur kemampuan kognisi dan psikomotor siswa semata. Selain itu, pendekatan yang mungkin diterapkan dalam pengukuran afektif harus lebih ditekankan pada prosesnya, bukan patokan kurikulum ataupun norma teman yang setingkat di kelasnya. Kemajuan unsur afektif seseorang relatif berbeda dengan yang dimiliki oleh orang lain. Dengan sendirinya guru dituntut untuk melakukan pembedaan individual atas kemampuan siswa tersebut. Hal ini berdampak pada model pengajaran yang harus didesaiannya, sehingga dapat disimpulkan untuk lebih cermat mengukur ranah afektif, maka model pengajaran didesain secara individual, bukan klasikal seperti sekarang ini. ( M.Idrus.10032002).
PUSTAKA
16
Anderson, Scarvia,B. Samuel Ball. Richard T Murphy and Associates. Enscyclopedia of Educational Evaluation. (San Francisco: Jossey – Bass Publishers, 1976) Fernandes, H. J. X.. Testing and Measurement, (Jakarta: National Education Planning, Evaluation and Curriculum Development, 1984). Saifuddin Azwar, Sikap Manusia, teori dan pengukurannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1988). Suharsimi Arikunto. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. (Jakarta: Bina Aksara, 1986).
17