Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia Volume 5, Nomor 1, April 2008
Diterbitkan Oleh: Jurusan Pendidikan Olahraga Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Yogyakarta
Mustika Fitri
PENGUKURAN DAN PENILAIAN RANAH AFEKTIF DALAM PENDIDIKAN JASMANI Oleh Ngatman Universitas Negeri Yogyakarta
Abstract Physical education programs designed and implemented from preschool to post secondary level are principally for achieving the goals of physical education consist of four aspects. Those aspects are cognitive, psychomotor, affective, and physical domains. The measurement and evaluation of affective domain, like other domains, can be done through physical education teaching programs. The psychological development in the affective domain context such as attitude, behavior, interest, sportsmanship, leadership, social behavior, personality can be measured. Although these psychological features have been seen as side impacts, they become the main purpose in teaching physical education which eventually helps character building. Some instruments that can be used to measure and evaluate affective domain have been constructed to measure those psychological features. They are attitude, behavior, interest, sportsmanship, leadership, social behavior, personality inventory. There are also some established methods and types of scale such as quantitative methods (Likert Scale), semantic differential scale, serial level scale) and qualitative methods (interview and observation). Kata kunci: Pengukuran, Penilaian, Ranah Afektif, Pendidikan Jasmani.
PENDAHULUAN Dalam pengajaran pendidikan jasmani terdapat sejumlah rumusan tujuan pendidikan jasmani yang ingin dicapai. Rumusan-rumusan tujuan pendidikan jasmani tersebut terdiri atas: (1) untuk mengembangkan alat-alat atau organ-organ tubuh, (2) untuk mengembangkan neuro muskuler (keterampilan dalam aktivitas jasmani), (3) untuk 66
mengembangkan interpretif (pengetahuan, pertimbangan, pengertian dan lain-lain yang sejenis), (4) untuk mengembangkan personal sosial (sikap, sportivitas, kerjasama, percaya diri, dan lain-lain). Apabila rumusan-rumusan tujuan pendidikan jasmani tersebut diklasifikasikan ke dalam ranah kognitif, ranah psikomotor dan ranah afektif, maka tujuan nomor satu digolongkan ke dalam ranah fisik, tujuan nomor dua digolongkan ke dalam ranah psikomotor, tujuan nomor tiga digolongkan ke dalam ranah kognitif, dan tujuan nomor empat digolongkan ke dalam ranah afektif (Annarino dkk., 1980: 65). Pengajaran pendidikan jasmani yang dirancang dan dilaksanakan mulai dari TK sampai tingkat Perguruan Tinggi pada prinsipnya berupaya untuk mencapai tujuan ke empat ranah tersebut. Untuk mengetahui seberapa jauh tujuan pengajaran pendidikan jasmani tersebut sudah mencapai ranahranah tersebut, perlu diadakan evaluasi atau penilaian. Secara ringkas langkah-langkah dalam penilaian menurut Arma Abdoellah (1988: 2) terdiri dari: (1) merumuskan tujuan, (2) membuat atau memilih alat penilai sesuai dengan tujuan, (3) menggunakan alat penilai untuk memperoleh data, dan (4) mengolah data untuk memperoleh satu penilaian. Dalam pengajaran pendidikan jasmani, pengembangan ranah afektif ini perlu di angkat sebagai salah satu tujuan yang sangat penting untuk diperhatikan dan ditangani secara sungguh-sungguh sebagai langkah awal pembentukan character building, meskipun dalam realitanya masih ada beberapa guru pendidikan jasmani yang memahaminya hanya sebagai tujuan pengiring. Hal ini dipertegas oleh pendapat Arma Abdoellah (1989: 7) yang mengatakan bahwa ranah afektif harus dinilai karena telah disepakati sebagai salah satu tujuan JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
Pengukuran Penilaian Ranah Afektif Dalam Pendidikan Jasmani
pendidikan jasmani dan program pendidikan jasmani telah dirancang untuk mencapai tujuan ranah afektif. Tingkat keberhasilan pencapaian tujuan ranah afektif memang harus diakui “sukar untuk diajarkan” dan “sukar diukur”, namun dalam kenyataannya rangsangan begitu melimpah untuk mengembangkannya apabila pelaksanaan pengajaran pendidikan jasmani ini dikelola dengan baik. Tanpa disadari, melalui pengelolaan perilaku siswa banyak adegan pengembangan ranah afektif itu benar-benar tersaji dalam lingkup pelaksanaan pendidikan jasmani, seperti: dalam cetusan aspirasi tentang pentingnya “pembentukan watak” (character building) atau perlunya pengembangan “fairplay” dalam sebuah pertandingan. Permasalahan yang timbul sampai saat ini adalah pengembangan ranah afektif itu menjadi terlantar dan seakan-akan terabaikan. Hal ini disebabkan oleh falsafah yang keliru, yakni: “pengembangan dan penilaian dalam ranah afektif sulit dilaksanakan dan sukar untuk diukur kebenarannya”. Terlebih karena kebiasaan sebagian besar guru pendidikan jasmani yang hanya memfokuskan penilaian pada kemampuan kognisi (ranah kognitif) dan penguasaan keterampilan gerak (ranah psikomotor) semata-mata sebagai tujuan instruksionalnya. Oleh karena itu, melalui artikel ini akan dibahas lebih mendalam mengenai aspek pengukuran dan penilaian ranah afektif dalam pengajaran pendidikan jasmani.
HIERARKI PENGUKURAN RANAH AFEKTIF Salah satu prinsip dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dipegang teguh dalam memberikan penilaian adalah prinsip kebulatan (komprehensif). Dengan menggunakan dasar ini guru pendidikan jasmani dalam memberikan penilaian terhadap hasil belajar siswa dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh, baik dari ranah kognitif, ranah psikomotor, ranah fisik maupun ranah afektif. Pengembangan ranah afektif merupakan sumbangan paling unik dari pendidikan jasmani. Menurut Rusli Lutan dkk., (2000: 124) melalui pengelolaan perilaku siswa beberapa adegan pendidikan ranah afektif dalam pendidikan jasmani JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
dapat berlangsung, seperti: (1) belajar dan mematuhi peraturan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan beberapa permainan atau pertandingan olahraga, (2) aktivitas dalam kelompok dan pengalaman kreatif dalam pendidikan jasmani merupakan sebuah laboratorium yang menyenangkan untuk mengembangkan sikap kerja sama, kepemimpinan, dan kesiapan untuk mematuhi kepemimpinan, (3) pelaksanaan tugas gerak menyadarkan siswa terhadap kelebihan dan keterbatasannya, hal ini merupakan landasan bagi pembentukan konsep dirinya, dan (4) aktivitas jasmani dapat mengajarkan siswa tentang pentingnya makna ketekunan yang melandasi berbagai kegiatan. Pada ranah afektif ini, seorang individu memiliki sistem nilai yang telah mengontrol perilakunya cukup lama untuk mengembangkan suatu “gaya hidup”. Hasil belajar pada tingkat ini mencakup kegiatan yang sangat luas, tetapi penekanan yang utama adalah pada kenyataan bahwa tingkah laku tersebut adalah khas bagi siswa-siswa tersebut. Tujuan instruksional yang berkenaan dengan pola umum penyesuaian siswa yang meliputi: personal, sosial, dan emosional merupakan cakupan utama dalam ranah afektif ini. Menurut Kirkendall dkk., (1982: 319) ada lima jenjang pengukuran ranah afektif dalam pendidikan jasmani dalam usaha guru pendidikan jasmani mengembangkan jiwa sportivitas atau “sense of fairplay”. Adapun hierarki ranah afektif tersebut terdiri atas: (1) penerimaan atau receiving, (2) jawaban atau responding, (3) penilaian atau valuing, (4) organisasi atau arganization, dan (5) karakterisasi sebuah nilai atau seperangkat nilai atau characterization by a value or value complex.
Penerimaan (Receiving) Penerimaan berkaitan dengan kesediaan siswa mengikuti gejala atau rangsangan tertentu. Ditinjau dari sudut pandang kegiatan belajar mengajar, hal ini berkenaan dengan siswa mendapat contoh/peragaan langsung dari guru pendidikan jasmani, kemudian siswa memfokuskan perhatiannya ketika mengikuti pelajaran pendidikan jasmani sehingga siswa memperoleh pengetahuan dan pengalaman. Hasil belajar dalam bidang ini bergerak mulai dari kewaspadaan yang bersifat sederhana sampai perhatian siswa bersifat selektif. Penerimaan 67
Ngatman
merupakan hasil belajar dari tingkat yang paling rendah dalam ranah afektif ini.
Jawaban (Responding) Jawaban berkaitan dengan partisipasi aktif siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani. Dalam jenjang ranah efektif yang kedua ini, siswa tidak hanya berpartisipasi saja, tetapi juga bereaksi dalam mengikuti pelajaran pendidikan jasmani mulai dari mengamati semua peraturan yang harus dipatuhi termasuk pelanggarannya, sampai siswa mulai terlibat secara emosional dan mulai merasa senang dengan berbuat baik kepada orang lain. Hasil belajar dalam bidang ini mungkin menekankan kemauan siswa untuk menjawab pertanyaan dan kepuasan dalam menjawab siswa. Tingkat lebih tinggi dalam kategori ini mencakup tujuan instruksional yang biasanya diklasifikasikan dibawah “minat”, yaitu jawaban yang menekankan pencarian dan penikmatan kegiatan tertentu dalam mengikuti pelajaran pendidikan jasmani.
Penilaian (Valuing) Penilaian berkenaan dengan usaha siswa memberikan nilai terhadap suatu objek, gejala atau tingkah laku yang satu dengan yang lain, dimulai dari penerimaan yang bersifat sederhana sampai pada komitmen yang komplek. Menilai didasarkan atas internalisasi dari sejumlah nilai-nilai, tetapi petunjuk atas nilai-nilai ini dinyatakan dalam tingkah laku siswa yang nyata. Hasil belajar dalam bidang ini berkenaan dengan tingkah laku yang tetap, sehingga nilai tersebut dapat diidentifikasi. Contohnya, siswa akan menerima nilai ketika beberbuat sportif, karena berbuat sportif itu adalah baik dan diperlukan dalam pengajaran pendidikan jasmani. Mengingat akan pentingnya sikap sportif ini, maka siswa tersebut akan berbuat mematuhi peraturan dan menganggap berbuat sportif itu merupakan sesuatu yang benar. Disamping itu, siswa akan menghayati dengan jelas dan memperlihatkan bahwa pengamalan sportivitas itu bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga meyakinkan orang lain. Tujuan instruksional yang biasanya ditekankan pada kategori tahap penilaian atau valuing ini adalah “penanaman sikap” dan “apresiasi”.
68
Organisasi (Organization) Organisasai berkenaan dengan mempersatukan nilai-nilai yang berbeda, memecahkan pertentangan sesama mereka dalam mengikuti pembelajaran pendidikan jasmani dan mulai membangun suatu nilai batiniah yang tetap. Penekanan dalam kontek organisiai ini, berkaitan dengan menghubungkan dan mensintesakan nilai-nilai. Pada tahap organisasi ini, siswa melihat bahwa konsep kebajikan dan sportivitas atau fair play itu dapat dipakai dalam aspek kehidupan lainnya serta menempatkan pengamalan sportivitas itu ke dalam sistem nilai. Tujuan instruksional yang berhubungan dengan “pengembangan filsafat hidup” termasuk dalam kategori ini.
Karakterisasi Sebuah Nilai atau Seperangkat Nilai (Characterization by a Value or Value Complex) Karakterisasi sebuah nilai atau seperangkat nilai merupakan keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki oleh siswa yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Pada tahap ini proses internalisasi nilai telah menempati nilai tertinggi dalam suatu hierarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Hal ini merupakan tingkatan ranah afektif tertinggi, karena sikap batin siswa telah benar-benar bijaksana. Siswa telah memiliki philosophy of life yang mapan. Jadi pada jenjang ini siswa telah memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya dalam waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakteristik “pola hidup”, tingkah lakunya yang menetap, konsisten, dan dapat diramalkan. Dalam manifestasi pengajaran pendidikan jasmani, siswa selalu berperilaku konsisten dalam semua aspek kehidupan dengan memperlihatkan perilaku sportif dan selalu memiliki kesediaan untuk mengambil jenis aksi tertentu. Aksi tersebut terdiri dari atas: (1) mental set atau kesediaan mental beraksi, (2) physical set atau kesediaan fisik beraksi, dan (3) emotional set atau kemauan untuk beraksi.
JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
Pengukuran Penilaian Ranah Afektif Dalam Pendidikan Jasmani
PERSOALAN-PERSOALAN DALAM PENGUKURAN DAN PENILAIAN RANAH AFEKTIF Alat penilaian/evaluasi, memang telah banyak dibuat untuk mengukur perilaku afektif yang menjadi perhatian bagi guru pendidikan jasmani, namun hanya sedikit yang telah dibuat menurut standar untuk pembuatan tes pendidikan jasmani dan psikologi. Berbagai macam kasus, walaupun keterandalan tes sikap dapat diterima, namun dari aspek kesahihan isi (content validity) sangat minim dan kesahihan konsep (construct validity) tidak memadai dan sering tidak mendapat perhatian (Safrit, 1986: 372). Menurut Arma Abdoellah (1989: 173-176) ada beberapa permasalahan yang perlu dicermati oleh para guru pendidikan jasmani dalam melaksanakan pengukuran dan penilaian ranah afektif. Permasalahan tersebut terdiri atas: (1) kebanyakan instrumen untuk menilai perilaku afektif mengandung kemungkinan distorsi jawaban. Siswa mungkin tidak selalu menjawab dengan penuh kejujuran sesuai dengan apa yang ada dalam perasaan atau intuisinya, (2) kegagalan untuk menetapkan suatu kerangka kerja teoritis yang memadai untuk konsep minat, (3) alat penilaian untuk mengukur ranah afektif masih jarang, sehingga penilaian sikap sejauh ini agak diabaikan. Hal ini dimungkinkan oleh asumsi guru pendidikan jasmani yang menganggap penilaian sikap kurang begitu penting. Persoalan-persoalan senada juga dikemukakan oleh Rusli Lutan, dkk., (2000: 129-131) yang mengatakan bahwa: (1) ada perbedaan yang amat mendasar antara skor pengukuran dalam pendidikan jasmani, keterampilan gerak, skor tes kemampuan kognitif, dan skor tes kemampuan ranah afektif. Skor pengukuran terhadap aspek fisik seseorang dan kognitif mengungkap kemampuan maksimal seseorang sebagai implementasi tingkat penguasaan bahan, sedangkan skor afektif lebih menunjukkan tentang apa yang dirasakan seseorang dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, variasinya akan banyak dan bersifat situasional, (2) hasil pengukuran ranah afektif juga dipengaruhi oleh faktor situasional, terutama motif pemanfaatan hasilnya. Apabila hasil pengukuran dimaksudkan untuk membuat keputusan penting,
JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
yang akan mempengaruhi keadaan diri responden atau apabila responden tidak mengerti untuk apa data itu digunakan, maka hal itu dapat berakibat data yang diperoleh tidak valid, (3) pengukuran ranah afektif terkait dengan latar belakang budaya yang membentuk jawaban responden, seperti halnya ukuran-ukuran kepatutan perilaku di suatu daerah, (4) siswa cenderung mengemukakan jawaban yang tidak sesungguhnya dengan kenyataan yang ada, apabila mengetahui dirinya sedang dinilai, (5) hasil pengukuran ranah afektif tidak stabil, hal ini terkait dengan variasi dari hari ke hari yang dialami oleh siswa, (6) konstruksi butir tes dalam menilai ranah afektif cenderung mengecoh responden, (7) konstruksi butir tes dalam penilaian ranah afektif cenderung mendorong responden menjawab bagaimana yang ideal dan terbaik, (8) pengukuran ranah afektif yang terdiri dari respon berupa kategori yang menunjukkan derajat, seperti: sering, kadang-kadang, dan jarang sekali. Makna yang dikenakan oleh seseorang terhadap kata “sering “ atau “jarang sekali” sungguh dapat berbedabeda, (9) kriteria pengukuran ranah afektif tidak memadai. Kriteria yang seperti apa dan bagaimana memperoleh skor kriteria bagi sebuah instrumen pengukuran ranah afektif sungguh amat sulit, hal ini terkait dengan ketidakjujuran responden untuk mengemukakan jawabannya.
INSTRUMEN PENILAIAN RANAH AFEKTIF Beberapa instrumen yang efektif telah disusun untuk mengukur perilaku sosial, sikap, dan penyesuaian diri terhadap pengajaran pendidikan jasmani. Menurut Miller (2002: 285-286) ada tujuh jenis inventori yang dapat dipergunakan sebagai instrumen untuk menilai ranah afektif, diantaranya: (1) inventori untuk mengukur sikap/ attitude inventories, (2) inventori minat/interest inventories, (3) inventori sportivitas/sportmanship, (4) inventori kepemimpinan/ leadership, (5) inventori perkembangan sosial/social behaviour, (6) inventori perilaku/behaviour rating, dan (7) inventori kepribadian/personality inventories.
Inventori Sikap atau Attitude Inventories Banyak penelitian terdahulu dalam pendidikan jasmani tentang ranah afektif berfokus pada sikap dan pengukurannya. Sikap adalah kesiapan untuk berbuat
69
Ngatman
yang masih pada taraf mental sehingga disebut juga dalam istilah predisposisi mental untuk berbuat. Namun demikian, perilaku nyata dapat diartikan sebagai cerminan dari sikap. Sikap itu biasanya terentang antara dua kutub, mulai dari kutub negatif sampai kutub positif. Kutub negatif merupakan cerminan dari sikap seseorang yang tidak menyukai suatu objek, namun sebaliknya kutub positif merupakan cerminan dari sikap seseorang yang menyukai suatu objek. Inventori sikap merupakan salah satu jenis inventori yang bertujuan untuk mengungkap “perasaan suka atau tidak suka “ dan dijawab sendiri oleh responden. Objek sikap biasanya berupa perasaan tentang objek-objek yang berkaitan dengan jasmani/ fisik, tipe-tipe orang, orang/individu tertentu, institusi sosial, dan kebijakan pemerintah (Morrow, 2005: 357). Inventori sikap biasanya tertuju pada pengungkapan kedua kecenderungan itu yang dipahami bergerak dalam sebuah garis kontinum. Kecenderungan sikap bergerak di antara kedua kutub dan kemudian berubah ke arah makin positif atau makin negatif. Perubahan seperti itu disebut perubahan yang selaras (kongruen), sebaliknya perubahan sikap dapat terjadi dari positif ke negatif atau sebaliknya dari negatif ke positif (inkongruen). Berkenaan dengan kontek pendidikan jasmani, inventori sikap sebenarnya dikembangkan untuk mengukur enam dimensi keterlibatan aktif dan pasif dalam aktivitas jasmani, yaitu: (1) aktivitas jasmani sebagai pengalaman sosial, (2) aktivitas jasmani untuk kesehatan dan kebugaran, (3) aktivitas jasmani sebagai pengejaran kepentingan (sensasi atau kebahagiaan), (4) aktivitas jasmani sebagai pengalaman estetis, (5) aktivitas jasmani sebagai katarsis (perasaan terharu), dan (6).aktivitas jasmani sebagai pengalaman asetis atau pertapa (Morrow, 2005: 358).
Inventori Minat atau Interest Inventories Bagaimana kecenderungan minat siswa terhadap proses belajar mengajar pendidikan jasmani dapat diungkap melalui inventori minat yang bisa dijawab sendiri oleh responden. Instrumen ini bermanfaat untuk memotret kecenderungan minat siswa sehingga didapatkan umpan balik yang dapat dipakai sebagai bahan untuk merencanakan program pengajaran 70
pendidikan jasmani yang sesuai dengan minat para siswa. Program tersebut dapat berkenaan dengan kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut juga dapat diungkapkan faktor-faktor penyebab mengapa siswa menyukai atau tidak menyukai terhadap suatu program, seperti: karena pengaruh pengalaman masa lalu, tekanan teman sepermainan, rangsangan guru atau orang tua, dan faktor sosial budaya yang lain. Jawaban terhadap inventori minat dapat ditafsirkan sebagai gambaran sikap seseorang.
Inventori Sportivitas (sportmanship) Instrumen ini tertuju pada beberapa aspek perilaku sportif, seperti: ketaatan seseorang terhadap peraturan, penerimaan kekalahan dan kemenangan secara terhormat, dan puas apabila berbuat sesuatu hal yang baik bagi kelompok maupun terhadap pihak lawan (Miller, 2002: 267). Sportivitas seringkali sebagai bagian dari cerminan watak seseorang yang ditampilkannya ketika terlibat dalam situasi pertandingan atau perlombaan. Guru pendidikan jasmani dapat menerapkan penilaian berskala untuk mengamati perkembangan sikap sportivitas para siswa. Inventori sportivitas dapat dipergunakan oleh guru pendidikan jasmani untuk mengamati perilaku siswanya manakala mengikuti berbagai perlombaan dan pertandingan antar kelas (class meeting), maupun pada waktu mengikuti festival olahraga seperti: Porseni, Popda, maupun Popnas.
Inventori Kepemimpinan (Leadership) Inventori kepemimpinan dimaksudkan untuk mengidentifikasi siapa di antara siswa yang dapat ditunjuk sebagai pemimpin, seperti: ketua kelas, ketua regu, kapten tim, dan kepentingan lain yang berkaitan dengan kepemimpinan di kelas maupun di sekolah. Inventori kepemimpinan ini mengukur tingkat kecakapan atau keterampilan memimpin. Kemajuan keterampilan memimpin dapat dinilai dengan penilaian berskala, hasilnya dapat dibahas dan didiskusikan bersama-sama dengan para siswa. Pengisian inventori kepemimpinan dilakukan sendiri oleh siswa agar bisa objektif dan tidak ada unsur campur tangan dari pihak luar (guru pendidikan jasmani).
JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
Pengukuran Penilaian Ranah Afektif Dalam Pendidikan Jasmani
Inventori Perkembangan Sosial (Social
Inventori Kepribadian (Personality
Behaviour)
Inventory)
Inventori perkembangan sosial bertujuan untuk mengukur sejauh mana seorang siswa itu dapat diterima oleh siswa lainnya, atau dapat pula digunakan untuk mengukur seberapa jauh siswa mampu menyesuaikan diri (adaptasi) dengan lingkungan di kelas atau di sekolah. Siswa yang baru masuk ke lingkungan yang baru, seperti: awal masuk di kelas, sekolah, ataupun pindah sekolah, biasanya ada yang mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Kecemasan siswa seringkali timbul karena siswa tersebut bukan hanya menyesuaikan dengan lingkungan baru, namun mungkin juga temantemannya mengalami kesulitan untuk menerimanya secara tulus sebagai kawan baru. Pengisian inventori perkembangan sosial dapat dilakukan sendiri oleh siswa, teman sejawat, maupun rating yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani.
Inventori kepribadian diarahkan untuk mengukur sifat-sifat atau ciri-ciri, seperti: kontrol emosi, kepercayaan diri, motivasi, sifat agresif, determinasi, ketenangan (poise), dan ketegaran mental (mental toughness) (Miller, 2002: 267). Inventori ini terdiri dari sejumlah butir tes yang diisi atau diselesaikan sendiri oleh siswa. Instrumen ini tergolong sangat sulit dalam pelaksanaannya, oleh karena itu seyogyanya guru pendidikan jasmani sebaiknya dibantu oleh tenaga ahli/professional dalam bidangnya dan sudah memiliki bekal pengalaman yang cukup memadai dalam pelaksanaannya.
Rating Perilaku (Behavior Rating) Setelah melakukan pengamatan/observasi terhadap siswa dalam waktu yang cukup lama, guru pendidikan jasmani kemudian mengamati perilaku siswa. Rating yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani meliputi beberapa aspek perilaku yang berbeda, di antaranya: sportivitas, kepemimpinan, sikap, pengendalian diri (self control), motivasi intrinsik, kerjasama, dan hubungan antara teman sejawat (Miller, 2002: 267). Validitas, reliabilitas, dan objektivitas hasil penilaian memang dapat dipertanyakan. Seringkali hasil penilaian itu dipengaruhi oleh “hallo effect”, yaitu: penilaian dipengaruhi oleh sifat-sifat lain yang telah diketahui berkenaan dengan siswa yang bersangkutan. Contoh: “Si A”diketahui sejak dahulu identik dengan sikap dan perilakunya yang sering bikin gaduh/ribut di kelas, meskipun ia berbuat baik dan menunjukkan kerjasama yang bagus dalam permainan, bisa saja penilaian guru pendidikan jasmani dipengaruhi oleh perilakunya terdahulu yang seolah-olah sudah menjadi trade mark pada diri “Si A” tersebut.
JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
TIPE-TIPE SKALA PENGUKURAN DAN PENILAIAN RANAH AFEKTIF Untuk mengungkap data yang berkenaan dengan ranah afektif lazimnya dapat menggunakan skala. Skala adalah seperangkat set angka-angka yang menyatakan nilai-nilai tentang suatu objek atau perilaku, dan atas dasar itu nilai kualitatif dinyatakan secara kuantitatif (Nurhasan, 2001: 113). Skala sering dipergunakan untuk mengukur sikap dan karakteristik lainnya, misalnya: skala dipergunakan untuk mengukur sikap para siswa terhadap pendidikan jasmani atau topik-topik lainnya. Menurut Arma Abdoellah (1988: 193) ukuran perilaku afektif/sikap dalam pendidikan jasmani telah digunakan paling kurang dalam tiga cara, yaitu: (1) untuk menilai tingkat perilaku afektif, (2) untuk menilai tingkat perilaku afektif dalam satu kelas, dan (3) untuk mengontrol perasaan dalam melakukan satu proyek penelitian. Pengukuran sikap bertujuan ingin mengungkapkan kecenderungan seseorang dalam menetapkan pilihannya dalam sebuah rentang penilaian, “sangat suka” sampai dengan “sangat tidak suka” terhadap suatu objek. Terpusatnya perhatian pada pengukuran sikap terhadap pendidikan jasmani tidaklah mengherankan, karena banyak guru pendidikan jasmani berasumsi bahwa seorang siswa dengan sikap yang positif lebih cenderung untuk berpartisipasi dalam aktivitas jasmani.
71
Ngatman
Untuk mengumpulkan data yang mengungkapkan aspek dari ranah afektif, dapat mempergunakan instrumen yang bervariasi. Dua metode yang paling populer dan semakin sering dipergunakan sebagai instrumen untuk pengukuran dan penilaian ranah afektif dalam pendidikan jasmani adalah metode kuantitatif (jenis kuesioner) dengan berbagai tipe skalanya dan metode kualitatif. Metode kuantitatif jenis kuesioner yang paling sering dipergunakan meliputi: (1) skala likert/summated rating scales, (2) skala diferensial semantik, (3) skala urutan peringkat (rank order), dan (4) skala butir pilihan paksa (forced choice). Sedangkan metode kualitatif terdiri dari wawancara dan observasi (Morrow, 2005: 345-349).
Metode Kuantitatif Skala Likert Salah satu di antara bentuk skala yang paling banyak dipergunakan untuk mengukur sikap adalah Skala Likert. Skala Likert merupakan skala nilai 5 atau 9 (nilai 1-5 atau nilai 1-9) yang mengasumsikan sama di antara tanggapan. Responden menentukan jawabannya sendiri sesuai dengan pendapat atau perasaannya. Pada contoh di bawah ini, perbedaan antara sangat setuju dengan setuju dianggap equivalent/sama dengan perbedaan antara tidak setuju dengan sangat tidak setuju. Tipe skala ini dipergunakan untuk menilai tingkat setuju dan tidak setuju dengan pernyataan yang dipergunakan secara luas pada inventori sikap. Pada tabel 1 di bawah ini adalah salah satu contoh item yang digunakan pada Skala Likert. Tabel 1. Contoh item pernyataan pada Skala Likert
Contoh pernyataan: “Semua siswa SMA diharuskan untuk mengikuti pendidikan jasmani selama 2 tahun”. Keunggulan utama tanggapan/jawaban yang diskala adalah bahwa tanggapan tersebut memungkinkan pilihan pernyataan yang lebih luas dibandingkan dengan tanggapan dalam bentuk kategori yang pada umumnya bersifat dikotomi, yaitu: yang memberikan pilihan jawaban seperti “ya” dan
72
“tidak” atau jawaban “benar” dan “salah”. Penggunaan lima, tujuh, atau lebih interval jawaban, juga akan semakin meningkatkan reliabilitas instrumen tersebut. Disamping itu, penggunaan kata-kata tanggapan yang berbeda dapat digunakan dalam tanggapan berskala, seperti: sangat bagus, bagus, cukup, jelek, dan sangat jelek, atau sangat penting, penting, agak penting, tidak penting, dan sangat tidak penting. Berikut ini adalah contoh tanggapan berskala dengan menggunakan interval 5, interval 7, dan interval 11. Tabel 2. Contoh penggunaan kata-kata tanggapan yang berbeda dengan 5 interval. 1
2
3
4
5
Tidak Pernah
Kadang-Kadang
Agak Sering
Sering
Selalu
Tabel 3. Contoh penggunaan kata-kata tanggapan yang berbeda dengan 7 interval 1
2
3
4
5
6
Selalu
7 Tidak Pernah
Tabel 4: Contoh penggunaan kata-kata tanggapan yang berbeda dengan 11 interval 1
2
3
4
5
Setuju
6
7
8
9
10
11 Tidak Setuju
(Morrow, 2005: 346).
Skala Diferensial Semantik (Semantic Differential Scales) Tipe pengukuran skala terkenal lainnya adalah penggunaan skala diferensial semantik. Pada skala ini siswa/responden diminta untuk menanggapi kata sifat bipolar, pasangan kata sifat dengan makna yang berbeda, seperti: lemah-kuat, rilek-tegang, cepatlambat, berat-ringan, aktif-pasif dan lain-lain. Penggunaan kata sifat bipolar ini, responden diminta untuk memilih nilai pada rangkaian tersebut yang paling menggambarkan perasaan mereka tentang konsep tertentu. Berdasarkan hasil penelitian, skala diferensial semantik mengukur tiga faktor utama, yaitu: (1) komponen evaluasi (baik-buruk), (2) komponen potensi (kuat-lemah), dan (3) komponen aktivitas (aktif-pasif) (Morrow, 2005: 346). Daftar berikut ini menunjukkan beberapa contoh kata sifat bipolar yang mengukur ketiga komponen tersebut:
JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
Pengukuran Penilaian Ranah Afektif Dalam Pendidikan Jasmani
Tabel 5. Contoh komponen evaluasi Menyenangkan
Tabel 8. Skala diferensial semantik untuk mengukur sikap terhadap aktivitas jasmani
Tidak Menyenangkan Aktivitas Jasmani
Adil
Tidak Adil
Jujur
Tidak Jujur
Baik
Buruk
Berhasil
Gagal
Berguna
Tidak Berguna
Tabel 6. Contoh komponen potensi
1
2
3
4
5
6
7
Jelek
Bagus
Tidak Menyenangkan
Menyenangkan
Tegang
Santai
Dingin
Panas
Tidak Sehat
Sehat
Mengerikan
Baik
Kasar
Lembut
Pasif
Aktif
Kuat
Lemah
Keras
Lunak
Berat
Ringan
Dominan/Otoriter
Pengikut/Submissive
Lembut
Kasar
Skala tersebut di atas terdiri dari 8 pasangan sifat dengan rentang skor 1 sampai dengan skor 7, apabila jawaban/respon negatif berada di sebelah kiri dan jawaban/respon positif di sebelah kanan (misalnya: jelek – bagus). Penggunaan dengan cara ini, maka akan diperoleh skor keseluruhan, sehingga akan diperoleh skor yang berbeda-beda dari setiap siswa.
Kotor
Bersih
Skala Urutan Peringkat (Rank Order)
Tabel 7. Contoh komponen aktivitas Siap
Gemetar/Nervous
Bahagia
Sedih
Aktif
Pasif
Dinamis
Statis
Tetap
Bergerak
Skala urutan peringkat mensyaratkan bahwa butirbutir harus diberi peringkat oleh penjawab sesuai dengan kriteria tertentu. Sebuah contoh dari skala urutan peringkat adalah Rokeach Value Survey, yang telah dipakai untuk mempelajari nilai dari pelatih dan administrator. Dalam instrumen ini, satu seri konsep satu nilai ( single value ), seperti: kesamaan, kebebasan, dan pengakuan sosial diberikan individu untuk diberi peringkat menurut pentingnya bagi individu (Arma Abdoellah, 1988: 175-176).
Skala Butir Pilihan Paksa (Forced Choice) Cepat
Lambat
Pada tabel 8 berikut ini, akan disajikan contoh skala diferensial semantik yang dipergunakan untuk mengukur sikap terhadap aktivitas jasmani.
Menurut Arma Abdoellah (1988: 176) dengan skala pilihan paksa individu diminta untuk memilih di antara dua atau lebih alternatif yang kelihatannya sama baik atau sama tidak baik. Diskriminasi dan nilai butir yang disenangi ditentukan dan alternatif digabungkan sedemikian rupa untuk menyeimbangkan nilai-nilai.
Metode Kualitatif Metode yang semakin populer akhir-akhir ini untuk mengukur dan menilai ranah afektif adalah metode kualitatif karena metode tersebut memberikan kekayaan informasi yang biasanya tidak dimanfaatkan JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
73
Ngatman
ketika digunakan kuesioner tradisional. Dua cara yang paling sering dipergunakan oleh metode kualitatif untuk pengukuran dan penilaian ranah afektif dalam pendidikan jasmani adalah wawancara (interview) dan observasi (Morrow, 2005: 348).
Wawancara (Interview) Tidak diragukan lagi bahwa wawancara merupakan sumber data yang paling umum pada metode kualitatif. Wawancara berkisar dari jenis wawancara yang terstruktur, dimana butir-butir pertanyaan ditentukan sebelum wawancara benar-benar dimulai, sampai wawancara terbuka yang memungkinkan responden memberikan tanggapan secara bebas. Interviewer atau pewawancara yang bagus pertama kali harus menciptakan hubungan dengan responden untuk memungkinkan mereka saling terbuka dan menggambarkan pemikiran dan perasaan mereka yang sesungguhnya. Pewawancara tidak diperkenankan menilai terkait dengan isi tanggapan responden, serta harus menjadi seorang pendengar yang baik. Menggunakan alat bantu tape recorder mungkin merupakan metode perekaman wawancara yang paling umum, karena metode tersebut mempertahankan keseluruhan wawancara untuk analisis data selanjutnya. Walaupun persentase subjek yang kecil awalnya tidak nyaman untuk direkam, kesulitan ini biasanya hilang dengan cepat. Mencatat selama melakukan wawancara merupakan metode lain yang sering digunakan untuk merekam data, kadang-kadang digunakan untuk bantuan perekaman ketika pewawancara ingin menekankan hal penting tertentu. Salah satu kekurangan mencatat tanpa perekaman akan mengakibatkan pewawancara sangat sibuk sehingga mengganggu pemikiran dan pengamatan terhadap responden.
Observasi Observasi juga merupakan salah satu teknik pengukuran dan penilaian ranah afektif dalam pendidikan jasmani dari metode kualitatif. Walaupun sebagian besar penelitian sebelumnya sangat bergantung pada observasi langsung dengan pencatatan dan pengkodean kategori tingkah laku tertentu, kecenderungan yang sekarang adalah
74
melakukan observasi dengan menggunakan video tape. Seperti halnya penggunaan tape recorder, untuk melakukan wawancara yang memungkinkan observer meninjau ulang setiap apa yang dikatakan oleh subjek, peranan pemakaian video tape berfungsi mengambil tingkah laku subjek untuk dianalisis lebih lanjut. Dalam observasi lapangan sangatlah penting bahwa observer berusaha bersikap rendah hati terhadap subjek yang sedang diteliti. Subjek yang mengetahui bahwa dia sedang diamati dan direkam bisa mengubah perilaku mereka. Oleh karena itu, hal terpenting dari observasi ini adalah membuat suasana agar perilaku subjek yang diamati dan direkam itu benar-benar merupakan cerminan perilaku alamiah subjek.
PENUTUP Pengukuran dan penilaian ranah afektif, seperti halnya pengukuran dan penilaian terhadap ranah kognitif dan psikomotor dapat dilaksanakan dalam pengajaran pendidikan jasmani. Perkembangan sifatsifat psikologis dalam kontek ranah afektif, seperti: sikap, minat, sportivitas, kepemimpinan, sikap sosial, kepribadian, dan lain-lain dapat diukur. Justru sifatsifat psikologis tersebut walaupun masih tergolong dampak pengiring menjadi tujuan utama dalam pengajaran pendidikan jasmani yang pada akhirnya akan sangat membantu pembentukan watak bangsa (character building). Beberapa instrumen yang dapat dipergunakan untuk mengukur dan menilai ranah afektif telah dikonstruksi untuk mengukur sifat-sifat psikologis tersebut, antara lain: inventori sikap, inventori minat, inventori sportivitas, inventori kepemimpinan, inventori perkembangan sosial, dan inventori kepribadian. Demikian pula halnya dengan metode dan tipe-tipe skala yang dipergunakan untuk mengukur dan menilai ranah afektif yang dibakukan sudah tersedia, diantaranya: (1) metode kuantitatif (skala likert, skala diferensial semantik, skala urutan peringkat, skala butir pilihan paksa), dan (2) metode kualitatif (wawancara dan observasi).
JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
Pengukuran Penilaian Ranah Afektif Dalam Pendidikan Jasmani
DAFTAR PUSTAKA Abdoellah, Arma. (1988). Penilaian Sikap dan Nilai dalam Pendidikan Olahraga. Semarang: KSPKOR PUSLIT IKIP Semarang. ______, (1988). Evaluasi dalam Pendidikan Jasmani. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Annarino, Cowell, dan Hazelton. (1980). Curriculum Theory and Design In Physical Education. St. Louis: The CV. Mosby Company. Kirkendall, E. G. dan Johnson, R. (1987). Measurement and Evaluation for Physical Education. Champaign, Illinois: Human Kinetics. Lutan, Rusli dan Suherman, Adang. (2000). Pengukuran dan Evaluasi Penjaskes. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Miller, David K. (2002). Measurement by The Physical Educator (Why and How). New York: The Mc. GrawHill Companies, Inc. Morrow, James R. (2005). Measurement and Evaluation in Human Performance (Second Edition). United States of America: Champaign, Human Kinetics. Nurhasan, (2001). Tes dan Pengukuran dalam Pendidikan Jasmani Prinsip-Prinsip dan Penerapannya. Jakarta: Depdiknas. Safrit, Margareth J. (1981). Evaluation in Physical Education (Second Edition). Englewood Cliffs, New York: Prentice Hall, Inc. ______. (1986). Introduction to Measurement in Physical Education and Exercise Science. St. Louis, Missouri: CV Mosby Company. Sudijono, Anas. (2005). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
JPJI, Volume 5, Nomor 1, April 2008
75