-------------------------dikirim untuk JAWA POS ---------------------------PERILAKU POLITISI BY ACCIDENT Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd
ISTILAH reformasi merupakan kata wajib bagi seluruh komponen bangsa menjelang lengsernya kepemimpinan orde baru. Bahkan menjadi satu conditio sine quoanon bagi para politisi yang ingin merebut simpati rakyat dalam pemilu pasca orde baru. Setiap program yang dicanangkan harus selalu berlabel reformasi, seperti juga kata pembangunan pada dekade awal orde baru. Reformasi pada akhirnya punya banyak makna, sejak keinginan untuk kenaikan upah bagi para buruh, perubahan sturuktur jabatan, pejabat, hingga jatuhnya pemerintahan orde baru, semua punya muara yang sama reformasi. Dengan dalih itu pula kabinet pemerintahan KH. Abdurrahman Wahir (Gus Dur) dibentuk. Bahkan dengan dalih gagal menjalankan reformasi banyak tuntutan pada pemerintahan bahkan diri Gus Dur sendiri untuk mengundurkan diri. Persoalan yang kemudian mengemuka adalah euphoria reformasi saat ini identik dengan unjuk rasa (demontrasi), yang bukan hanya sekadar menyuarakan kepentingan diri, golongan, bahkan kerap dibarengi dengan perilaku agresi, baik berupa ungkapan dalam kalimat-kalimat yang cenderung menghina atau melecehkan hingga pada agresi fisik berupa perusakan-perusakan sarana umum dan individu. Setidaknya kejadian pada beberapa minggu ini membenarkan sinyalemen tersebut.
1
Mencermati persoalan di atas, persoalan apakah yang melatar belakangi munculnya pelbagai aksi yang marak tersebut? Bermuara pada elite politik, atau karena kekurang-matangan sikap kader pendukung partai? Ketidaktahuan atawa kefrustasian? Mencermati perjalanan para politisi saat ini, maka harus diakui banyak tokoh politik baru lainnya yang menjadi elite pengambil keputusan di DPR/MPR adalah orang-orang “political accident”. Pada posisi ini tampak secara psikologis betapa kerap dijumpai pernyataan-pernyataan yang terkadang mengesankan ketidakmatangan dalam menganalisis situasi politik, atau komentar-komentar yang cenderung membingungkan rakyat pendukungnya. Selain itu, dampak lebih jauh terjadinya mobilitas vertikal “ndandakan” selain dari gaya hidup –salah satunya ditengarai dengan meningkatnya aset kepemilikan pribadi-, juga kegagapan berperilaku. Pada akhirnya, tatkala perilaku politiknya keliru yang muncul adalah rasa frustasi yang diwujudkan dalam beberapa situasi. Pertama rasa frustasi tersebut diwujudkan dengan cara rasionalisasi. Artinya pada kondisi ini sang politikus “sim salabim” berusaha mencari pembenar tentang perilaku yang telah dilakukannya, bukan menyadari lalu (barangkali) sekadar mengucap maaf atas kekeliruannya. Secara psikologis dalam diri manusia memang ada mekanisme mempertahankan diri (self defence mechanism) yang merupakan senjata “endo-nisasi” (Jawa: mengelak, sambil memberi alibi untuk membenarkan pendiriannya). Setiap individu memiliki kecenderungan melakukan hal ini, sebagai upaya untuk membenarkan perbuatan yang dilakukannya. Perilaku ini tampak begitu kentara bagi para politisi awal reformasi.
2
Kedua, sikap frustasi juga kerap diwujudkan dengan fiksasi (nekat). Pada situasi ini biasanya yang muncul adalah filsafat “pokok’e”,
sehingga segala upaya
dilakukan untuk membenarkan perilakunya. Persoalannya adalah anggota dewan kerap dijadikan rujukan perilaku bagi para kader atau simpatisan partainya, sehingga sikap “pokok’e” ini juga merasuk dalam darah setiap individu kader pendukungnya. Peristiwa pasca keluarnya memorandum I
dari DPR kepada presiden
tampaknya menjadi contoh jelas yang menggambarkan situasi dan sikap ini. Bagi para kader pendukung politisi yang setuju dengan memorandum, maka bergaunglah dukungan kepada para politisi itu untuk terus melanjutkannya, bahkan kalau mungkin untuk sesegera mungkin sampai pada terminal akhir Sidang Istimewa (SI). Sementara itu, bagi para masyarakat kader pendukung yang menolak memorandum, upaya yang sama juga dilakukan agar tidak pernah akan sampai pada SI. Kedua kelompok ini sama-sama merasa benar sendiri, dan tidak ada kebenaran di luar kelompok mereka. Filsafat “pokok’e” begitu merasuk dalam sanubari mereka, sehingga yang ada adalah kebenaran mutlak menurut dirinya. Perilaku kedua ini pada ujung-ujungnya akan memunculkan sikap ketiga yaitu agresi, baik secara fisik maupun non fisik. Barangkali tidaklah berlebihan jika Breakwell (1997) membuka tulisannya dengan kalimat “ini adalah dunia yang penuh kekerasan, kita dikelilingi dengan agresi dan kita semua secara pribadi pernah mengalami serangan-serangan fisik maupun emosional. Tampaknya pernyataan Breakwell tersebut tidaklah terlalu berlebihan, setidaknya banyak situasi sosial politik yang terjadi akhir-akhir ini dapat dijadikan pembenarnya.
3
Meski bagi Freud dorongan agresi ini merupakan kebutuhan dasar bagi manusia dan suatu derivasi dari insting-insting mati. Namun, setidaknya keinginan berunjuk rasa sebagai sarana untuk demokrasi hendaklah tidak menjurus pada perilaku anarki. Betapa saat ini kita disuguhi tontonan “mengerikan” dari bangsa sendiri yang hampir-hampir kehilangan rasa kesantunan, sebagai norma yang pernah dibanggakan. Lazimnya dalam nuansa demokrasi, unjuk rasa dijadikan sebagai bumbu pemanisnya. Namun, dapatkah dibenarkan jika unjuk rasa tersebut dilakukan dengan makian kata-kata yang tidak pantas, apalagi dengan perbuatan merusak sarana milik invidu ataupun masyarakat. Tragisnya, hal itu bukan hanya dilakukan oleh kalangan kader saja, tapi juga kerap dilakukan para elit pimpinan partai. Memang mereka tidak secara fisik mewujudkannya, namun ungkapan-ungkapan yang dilontarkan sudah cukup untuk menggelorakan kader pendukungnya melakukan aksi-aksi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Jika pada tahapan itu telah terjadi, lantas bagaimana reaksi sang pemimpin? Dengan dalih bahwa pimpinan pusat tidak pernah menyuruh anggotanya melakukan aksi tersebut, mereka lepas tanggung jawab. Benarkah hal ini tidak terkait dengan diri sang pemimpin? Dalam budaya kolektif seperti kita sekarang ini, tradisi yang muncul adalah kuatnya nuansa patrilinial dalam segala situasi. Pada situasi ini kedudukan pemimpin begitu agung, begitu tinggi, sehingga sabdanya adalah hukum, perilakunya adalah etika yang harus ditiru, isyarat-isyaratnya adalah situasi yang harus diwujudkan. Akhirnya, yang muncul adalah budaya kepatuhan psikologis (taqlid).
4
Jika saat
ini para kader pendukung partai melakukan aksi-aksi dengan
segala variasinya. Maka hal itu dapat dibenarkan dalam kajian budaya kolektif semacam ini. Artinya secara psikologis adanya kepatuhan pada pimpinan adalah merupakan keharusan yang tidak boleh ditawar-tawar.
Karena kepatuhan inilah
terkadang mereka tidak lagi menggunakan banyak pertimbangan untuk melakukan aksi-aksi yang jauh dari rasa kesantunan dan mungkin dapat membahayakan orang lain atau bahkan dirinya sendiri. Bagi kader, apapun adanya sang pemimpin, kebenaran ada di tangan pemimpin mereka. Putih, ucap sang pemimpin, putih pula ungkapan mereka, hitam kata sang pemimpin, hitam pula bagi mereka. Jadi, siapa yang turut menyumbang semangat jika aksi kader begitu “menggila”? Siapa juga yang harus ikut bertanggung jawab, jika kerusakan dan korban berjatuhan karena aksi para kader yang ingin “berbakti” pada pemimpinnya? Menyadari betapa besar pengaruh kelompok pimpinan ini, maka hendaklah para elit pemimpin berupaya menjaga kesantunan dalam berpolitik, berempati pada kelompok lain. Demokrasi memang membutuhkan kebesaran jiwa, bahwa mungkin ada kebenaran lain, selain kebenaran yang kita miliki. Terlebih saat negara dan bangsa ini sedang mengalami krisis, tentulah tidak kita tambah dengan ungkapan ataupun aksi yang justru menjadikan masyarakat bangsa ini semakin terpuruk. Semoga, lebih banyak lagi anak bangsa yang ikut menyumbang penyelesaian krisis saat ini, semoga. Penulis, adalah Dosen FIAI UII, kandidat Doktor Psikologi UGM Alamat: Kampus FIAI UII Yogyakarta Jl. Demangan Baru No. 24 Yogyakarta Telp. (0274) 519004; 515490
5