Menimbang Standar Profesi dan Kesejahteraan Guru Oleh Dr. Drs Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd1
Pengantar Bagi kebanyakan negara yang sedang berkembang --bahkan negara maju sekalipun-- pendidikan berfungsi uintuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM).2 Secara normatif pendidikan diharapkan dapat memberi petunjuk bagi keberlangsungan kehidupan sesuai dengan tata nilai ideologis dan kultural bangsa. Dengan begitu, proses yang berlangsung dalam dunia pendidikan harus dapat memberi kesadaran kepada manusia akan potensi ―kemanusiaan‖ yang dimilikinya, dan lebih dari itu pendidikan harus mampu merangsang manusia untuk mempergunakan potensi tersebut sesuai dengan tata nilai kemanusia sesuai dengan masa peradabannya. Selain itu, secara material pendidikan harusnya dapat memberikan pengetahuan yang memajukan dan mempertinggi kualitas hidup, baik dalam skala kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun bernegara. Menengarai hal tersebut, bagi masyarakat bangsa Indonesia, masalah pendidikan dengan sendirinya menjadi salah satu agenda yang menduduki posisi penting. Kesadaran akan hal inilah yang menjadikan pemerintah (negara) memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan proses pendidikan bagi warga negaranya. Hanya saja terkadang kesadaran tersebut tidak menjadikan pendidikan dan elemen yang menyertai menjadi prioritas utama pemerintah dalam mengalokasikan anggaran negara3. Banyak gugatan atas pelbagai kegagalan dunia pendidikan dalam meyiapkan SDM yang memadai bagi pembangunan. Beberapa masalah yang dapat teridentifikasi dan muncul sebagai potret buram dunia pendidikan seperti terjadinya tawuran antar pelajar, aksi graffiti, perilaku menyimpang, pelanggaran disiplin lalu lintas. Kasus terakhir yang mencoreng dunia pendidikan adalah terjadinya pesta seks di kelas yang dilakukan sekelompok anak SMU di salah satu daerah di Jawa Barat. Sementara di kalangan pendidik terjadi kasus yang tidak kalah nggegirisi 1
Dosen FIAI UII saat ini sebagai Direktur Direktorat Perpustakaan UII.
2
Berdasarkan World Competitiveness Report 1996, daya saing SDM Indonesia baru berada pada urutan ke-45, jauh di bawah Singapura yang menempati urutan ke-8, Malaysia ke-34, China ke-35, Filipina ke-38 serta Thailand ke-40. Rendahnya daya saing SDM Indonesia, berkaitan erat dengan alokasi anggaran yang diberikan pada sektor pendidikan. Antara tahun 1983 hingga 1993, alokasi anggaran pendidikan di Indonesia sebesar 10 persen, sedang Singapura telah mengalokasikan anggarannya sebesar 22 persen, Thailand 21 persen, Malaysia 20 persen serta Filipina 15 persen. 3
Secara umum anggaran untuk pendidikan dalam APBN masih relatif rendah jika dibanding dengan anggaran bagi militer. Lihat Perubahan Keempat UUD 1945 BAB XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Ayat (4) secara lebih tegas mengharuskan Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang—kurangnya 20% dari APBN sendiri disyahkan, hanya saja hingga hari ini situasi ini belum dapat terpenuhi secara baik.
1
seperti perlakuan amoral terhadap siswa, pemberian hukuman yang keliwat batas, penyelewengan dana, dan banyak lagi kasus yang terasa tidak layak dilakukan oleh seorang pendidik. Dengan tidak menafikan bahwa hal tersebut memang menjadi sisi lemah mereka yang secara aktif terlibat secara praktis dalam dunia pendidikan. Namun, seharusnyalah gugatan kegagalan proses pendidikan tersebut tidak hanya tertuju pada kalangan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan semata, sebab pada dasarnya ada banyak faktor lain yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki kontribusi atas persoalan tersebut. Terlebih dengan memojokkan guru sebagai tertuduh utamanya. Kompetensi, Kualifikasi dan Kesejahteraan Profesi Guru Dalam kehidupan setiap orang, pasti pernah hadir orang lain yang disebutnya sebagai guru4. Meski personifikasinya dapat bermacam-macam, namun yang utama adalah dari gurulah seseorang memperoleh pengetahuan yang kini dikuasainya. Harus diakui bahwa dalam komunitas masyarakat kita, guru menjadi bagian penting dalam kehidupan seseorang. Paulo Freire, tokoh pendidikan Brasil, pernah mengungkap every place is a school, every one is teacher. Ungkapan ini lebih menjelaskan bahwa guru itu bukan siapa-siapa, tetapi dia bisa siapa saja, dimana saja, serta hadir kapan saja, tanpa batas ruang, waktu, kondisi apapun. Dengan begitu, siapa saja dapat menjadi guru, serta mungkin menjadi guru untuk seseorang. Sebab orang jahat sekalipun, suatu saat pernah mengajarkan ilmu yang dimilikinya. Persoalannya, siapa yang sebenarnya layak untuk jadi guru bagi anak-anak bangsa ini? Persoalan ini terkait dengan kualifikasi yang dipersyaratkan bagi calon guru. Tentu saja kualifikasi ini bukan sekadar mau semata, tapi harus dibarengi dengan serangkaian kemampuan yang memenuhi persyaratan baik administratif ataupun keilmuan, serta memenuhi harapan anak bangsa. Sebab masa depan yang akan dihadapi anak, tidak sama dengan pengalaman masa lalu orangtuanya, sehingga untuk mengajarkan ilmu masa depan bukan cuma sekadar pernah menjalani masa lalu. Artinya, jika ada pendidik yang hanya berbekal pengetahuan dari para gurunya dahulu, maka yang bersangkutan sebenarnya belum layak jadi pendidik masa depan bagi anak bangsa ini. Kerap ditemui secara empiris, pendidik yang hanya mengandalkan catatan semasa dia kuliah dahulu, tanpa ada keinginan untuk melakukan pembaharuan atau pelacakan informasi yang terbaru. Padahal bisa jadi saat dirinya kuliah dahulu, belum semua informasi yang disampaikan ―sang guru sepuh‖ dapat dicatatnya, tentu saja keterputusan ini akan berdampak pada hilangnya rantai kognitif saat ilmu tersebut disampaikan pada anak didiknya yang sekarang. Pada akhirnya, implikasi lebih jauh dari fenomena tersebut adalah sulitnya untuk mendapatkan lulusan yang berkualitas baik. Sebab, ilmu yang diajarkannya hanya sekadar ilmu ―copy paste”, tanpa tambahan informasi bahkan kemungkinan 4
Saat Jepang mengalami kehancuran karena Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh pihak Sekutu. Kaisar Jepang segera mengumpulkan para bawahannya. Saat pertemuan tersebut bukanlah persoalan seberapa kerusakan atau kehancuran negara yang pertama kali ditanyakan, tetapi berapa orang guru yang masih dimiliki. Sebuah pertanyaan yang menyiratkan betapa sosok yang bergelut dalam dunia pendidikan ini memiliki peran strategis dalam proses kebangkitan sebuah negara.
2
terjadinya reduksi informasi begitu jelas-jelas nyata. Tentunya kodisi ini tidak dapat dibiarkan berlarut, sebab masyarakat bangsa ini membutuhkan generasi yang dapat mengakses perkembangan agar dapat tampil di percaturan internasioal. Kekurang-mutuan pendidik5 ini pada akhirnya berdampak pada banyak hal salah satunya terwujud dengan model belajar yang cenderung tradisional. Dalam proses pendidikan tradisional, pendidik selalu menganggap siswa sebagai objek yang tidak memiliki potensi apapun (impotensi akademik) (Idrus, 1997c). Hal ini menyebabkan anak tidak terbiasa menghadapi permasalahan yang muncul secara kritis. Pada tahapan selanjutnya akan dipastikan terjadinya kegagalan akademik pasca proses pendidikan. Potret buram alumni pendidikan menampakkan sisi gagal proses yang berlangsung di dalamnya. Tampaknya alumni pendidikan banyak yang terperangkap dengan model sekolah "ambtenaar" yang diadakan untuk memenuhi kebutuhan pekerja (pegawai klas rendahan –sebagaimana harapan penjajah Belanda dahulu), hanya saat ini muncul dalam bentuk yang lebih terhormat. Lantas muncul pertanyaan, bagaimana seharusnya sang guru? Siapakah yang pantas menjadi guru? Dalam salah satu tulisannya Tilaar (1991) mengungkap peran ideal seorang guru dalam era industrial. Menurut Tilaar, guru adalah seorang resi dalam arti modern. Resi dalam konteks kemodernan yang ia maksud adalah guru harus menguasai sains dan teknologi sesuai kondisi saat ini6. Hal tersebut dapat dipahami pada konteks kekinian, sebab dan hanya dengan itulah guru dapat membawa peserta didik untuk mempersiapkan diri menghadapi dunia yang cepat berubah ini. Selain itu, salah satu hal yang juga mendapat tekanan lebih dari kehadiran guru adalah makna ontologisnya. Pada posisi ini guru merupakan sosok personifikasi dari moral dan keyakinan agama, serta budaya satu bangsa (Idrus, 1997b). Di sini tampak betapa strategisnya kehadiran guru yang bukan saja muncul pada satu situasi belajar-mengajar di kelas, tetapi melampauinya (beyond the phenomenon). Sebab, selain harus membawa anak didik pada pemahaman akan kebermaknaan sains bagi diri dan lingkungannya, guru juga harus mampu menyampaikan pesan moral dan keyakinan agama atas sikap dan perilaku yang dilakukannya. Artinya dalam setiap performance individualnya, guru harus dapat membawa pesan kepada anak didik untuk menyadari akan adanya dimensi moral dan religius dalam dinamika kehidupan ini. Selanjutnya dengan bahasa tutur dan gerak tubuhnya, guru harus dapat meyakinkan siswanya tentang ajaran-ajaran kebenaran dan sisi keilmiahan materi yang disampaikannya. Kedua dimensi (baik 5
Banyak dijumpai indikasi kekurang-mutuan ini seperti: model belajar yang cenderung otoriter, materi yang sekadar mengulang dari catatannya terdahulu, keenggenan untuk membahas tema aktual, ketidakmampuan untuk mengubah paradigma mengajar yang selama ini digunakan, keterpakuan pada kurikulum, dan banyak lagi. Hal itu pada akhirnya menimbulkan stagnasi akademik dan kemapanan intelektual --dalam artian negatif--di kalangan pendidik. Untuk memperbaiki serta menjaga mutu akademik pendidik salah satu di antaranya adalah dengan melakukan uji kompetensi atas para pendidik. Bahasan secara lengkap tentang ini pernah penulis lontarkan dalam tulisan UII Mengemban Amanah Sejarah, dalam buku Setengah Abad UII, Yogyakarta: UII Press. 1994. 6 Ironinya kerap terjadi banyak guru yang mengalami ―gagap teknologi‖. Jangankan untuk menguasai teknologi yang amat teramat canggih, mengetik dengan menggunakan komputer saja terpaksa harus ―direntalkan‖.
3
moral dan religius) itu harus menjadi acuan dalam pola pikir, pola tindak serta perilaku yang dilakukan guru. Mengingat peran strategisnya, Robert J Menges mengelarinya sebagai helper. Pada posisi tersebut tampak betapa mulianya guru sebagaimana digambarkan dalam tembang hymne guru. Jika demikian, tabukah kita untuk mempersoalkan kemampuan mengajarnya? Mengingat sekian jasa yang pernah ditanamkan kepada kita. Namun, dengan tidak bermaksud untuk menghilangkan citra baiknya, perlu rasanya memperbaiki praktek menyimpang yang terjadi di lingkungan pendidikan saat ini (Idrus, 1997a) Secara empirik, banyak ditemui guru yang bukan berasal dari lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK7; IKIP, STIKIP, STIT, Fakultas Tarbiyah). Entah sadar ataupun karena bermaksud mengabaikannya, banyak lembaga pengguna jasa guru tersebut berkilah bahwa yang penting secara materi mereka menguasai, bahkan penguasaan ilmu murni mereka lebih baik dari mereka yang berasal dari LPTK. Terkait dengan hal ini Idrus (2005) melihat akar persoalannya bukan hanya pada sisi tersebut, tetapi ada unsur lain yang juga lebih penting yaitu kewenangan mengajar. Terkait dengan kewenangan mengajar atau dalam bahasa pendidikan diistilahkan dengan kompetensi menjadi satu syarat mutlak bagi guru untuk mengajar di depan kelas formal. Kompetensi ini layaknya surat ijin mengemudi (SIM) bagi para sopir atau pengendara kendaraan bermotor. Jadi dengan menganalogi hal di atas, maka dapat dinyatakan bahwa semua orang (mungkin) bisa mengajar, tetapi ada yang lebih berhak secara formal diakui negara untuk mengajar. Merujuk pada analogi tersebut, maka sebenarnya, tidak semua orang dapat menjadi guru di muka kelas-kelas formal, dan setiap orang yang hendak menjadi guru haruslah memiliki SIM yang diwujudkan dalam bentuk ijazah dan Akta Mengajar, yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan pendidikan sekolah. Lazimnya, tanpa kewenangan tersebut, individu yang bersangkutan tidak diperkenankan untuk mengajar di sekolah manapun, meski yang bersangkutan memiliki kemampuan dan pengetahuan yang baik dalam satu bidang ilmu tertentu. Harus pula diakui terasa sulit untuk menghindari penyimpangan seperti di atas, mengingat situasi di lapangan berlaku hukum ekonomi ‗supply and demand”. Untuk menyiasatinya, Idrus (1997a) mengajukan perlunya untuk dilakukan uji ulang (akreditasi) kompetensi mengajar bagi para guru di sekolah8. Dengan model yang demikian, maka jelas tidak semua orang bisa menjadi guru. Model ini memungkinkan profesi guru menjadi elit dengan tingkat selektivitas yang tinggi, hingga bukan sekadar mau tetapi mampu dan juga berwenang. Lebih jauh lagi jika hendak dicermati lebih dalam, persoalan rendahnya 7
Istilah LPTK memeliki banyak kepanjangan arti. Salah satunya adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan tapi bagi penulis istilah yang terbaik adalah Kependidikan, sehingga kepanjangannya adalah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan 8
Sulit rasanya membayangkan betapa banyak guru-guru kita yang akan mengalami stress menghadapi uji kompetensi ini. Model kenaikan dengan angka kredit saja sudah menjadi beban yang cukup menyulitkan. Apalagi ditambah dengan model uji kompetensi ini, tentunya banyak guru yang merasa tidak siap atau menolak dengan banyak dalih yang sebenarnya hanya sekadar untuk menghindari dirinya di tes ulang. Jika hal ini diterapkan, maka dipastikan terjadi pro dan kontra di antara guru.
4
mutu guru beberapa di antaranya justru bersumber dari guru itu sendiri, yang secara eksplisit muncul gejala: 1) lemahnya penguasaan materi bahan yang diajarkan; 2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dikuasai dengan yang diajarkannya; 3) kelemahan dalam desain pembelajaran; 4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; 5) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguhsungguh; 6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap; 7) kesibukan kerja ‖sampingan‖ yang justru menjadi pekerjaan utama sang guru. Pada sisi ini tampak perlunya merumuskan sebuah standar profesi bagi guru. Harus diakui, jika dibandingkan dengan profesi-profesi lain seperti dokter, perawat, apoteker, akuntan, arsitek, psikolog, lawyer,dll., maka standar profesi pendidik ini disusun relatif sangat terlambat. Profesi yang disebut terdahulu telah lama memiliki ukuran-ukuran yang dijadikan patokan layak tidaknya seseorang menyandang profesi tersebut. Dengan demikian standar profesi pendidik merupakan pertanggung jawaban pendidik terhadap semua pihak terkait (stakeholders). Fungsi standar profesi pendidik ini secara umum adalah: 1) Memberi pedoman kepada para pengelola pendidikan dalam menyusun berbagai kebijakan yang berkenaan dengan seleksi, rekrutmen, penempatan, pembinaan, penghargaan dan sistem karir pendidik dan tenaga kependidikan. 2) Menyediakan acuan bagi lembaga pendidikan prajabatan dalam mengembangkan program pendidikan persiapan calon pendidik dan tenaga kependidikan yang lulusannya memenuhi standar yang berlaku di seluruh tanah air. 3) Menyediakan acuan dalam mengembangkan program pendidikan pada lembaga yang bertanggungjawab untuk membina secara terus menerus peningkatan kemampuan pendidik dan tenaga kependidikan yang telah bekerja. 4) Menyediakan pedoman bagi para pendidik dan tenaga kependidikan untuk selalu menyelaraskan unjuk kerjanya dengan ukuran-ukuran kualitas yang berlaku secara nasional. 5) Membantu masyarakat untuk menilai mutu layanan pendidik dan tenaga kependidikan yang bertugas pada satuan-satuan penyelenggara pendidikan. 6) Menyelaraskan salah satu komponen sistem pendidikan yaitu pendidik dan tenaga kependidikan dengan komponen-komponen lain dalam sistem pendidikan seperti standar isi dan standar kompetensi lulusan pada tiap jenis dan jenis pendidikan. 7) Menyediakan acuan bagi penyusun instrumen kinerja profesional pendidik dan tenaga kependidikan sehingga dapat diperoleh alat dan prosedur penilaian yang sahih dan handal. 8) Memungkinkan mereka yang bertanggungjawab dalam peningkatan mutu pendidikan mengukur upaya untuk melakukan perbandingan antara kinerjanya sendiri dengan tuntutan sebagaimana tertera dalam standar nasional pendidik dan tenaga kependidikan Lantas bagaimana posisi calon guru maupun bagi mereka yang menjadi praktisi pendidikan, namun belum memenuhi standar yang ditetapkan? Tentunya standar ini berfungsi sebagai antisipasi, mengukur kekuatan diri dalam memenuhi persyaratan-persyaratan agar dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan.
5
Bagi Pemerintah dan pemerintah daerah, standar ini berfungsi sebagai acuan untuk menyiapkan dukungan baik kebijakan dalam paradigma rekrutmen, penempatan, pembinaan karir, peningkatan kualitas profesional, serta penyiapan sarana dan prasarana yang menunjang. Pertanyaannya kemudian, apakah dengan hadirnya standar profesi ini akan dengan sendirinya dapat meningkatkan mutu pendidikan? Lazimnya, sertifikasi profesi guru sebagai bukti formal kompetensi profesionalitas memang harus ditegakkan. Hanya saja, ketika kondisi masyarakat sekarang sedang didominasi habitus (kebiasaan dan perilaku) tidak beradab (nonpolitical civility), memungkinkan terjadinya moral hazard, sehingga sangat mudah sertifikasi tersebut diperoleh secara manipulatif. Pada sisi ini, hendaklah dirancang sebuah aturan yang secara rigid mengatur proses pemberian sertifikasi guru yang sesuai dengan kondisi daerah. Bukan hanya itu, secara jelas pula dibentuk lembaga yang secara hukum memiliki kewenangan mengeluarkan sertifikasi, dan tentunya lembaga ini harus bebas dari segala bentuk penyimpangan. Selain itu, hendaklah dipahami bahwa penerapan standar profesi ini memiliki elan untuk meningkatkan mutu guru, dan kesejahteraan guru. Artinya, penerapan standar profesi harus pula diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Rasanya tidak adil, jika kepada guru dituntut untuk memenuhi kualifikasi maksimal, sementara upaya tersebut tidak dihargai. Harus diakui selama ini penghasilan yang diperoleh guru belum mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan hidup harian guru dan keluarganya9. Ki Supriyoko (dalam Sularto, 2006) mengungkap perbandingan gaji guru di Indonesia dengan gaji guru di beberapa negara tetangga. Gaji guru baru setingkat SD di Indonesia paling-paling Rp 500.000 sebulan, sedangkan di Jepang, misalnya, setara Rp 17 juta, sementara tunjangan pengangguran di Belanda Rp 9,1 juta. Tampaknya, masih cukup sulit bagi pemerintah untuk mengarah ke sana. Meski juga dipahami, bahwa makna kesejahteraan tidak hanya berkonotasi pada gaji semata. Dikeluarkannya UU No. 14 tahun 2005, dirasa cukup melegakan bagi kalangan pendidik. Untuk meningkatkan kesejahteraan guru, Pasal 15 UU No 14 Tahun 2005 mengamanatkan, agar guru mendapat penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum, maka guru menerima penghasilan yang meliputi gaji pokok, tunjangan melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus dan maslahat tambahan. Pasal berikutnya hingga pasal 19 menjelaskan mengenai pemberian tunjangan-tunjangan tersebut. 9
Roos Parera (45)-guru SD Pertiwi di Ambon- kepada Pembaruan, Senin (1/5/2006), mengaku, gajinya tidak cukup karena profesinya tidak seperti PNS lain yang masih bisa mencari tambahan lewat proyek atau program-program tertentu di lingkungan kerjanya. Sedangkan, Katje Latuheru (45), guru olahraga SMPN 3 Ambon mengatakan, dia mampu membiayai keluarga bila bergaji Rp 1,6 juta per bulan (golongan IV A). Namun, tuturnya, dengan gaji Rp 1,1 juta per bulan (golongan II C), sulit mencukupi kehidupan sehari-hari. Begitu pula Bachri Arief, Kepala Sekolah Dasar Sambung Jawa, Kelurahan Tamparangkeke, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar mengatakan, "Gaji yang kami terima tidak pernah mencukupi sejak kenaikan BBM dan komponen lainnya. Hal itu lebih terasa lagi bagi guru yang masih mengontrak rumah," ungkapnya (Suara Pembaruan Daily, http://www.suarapembaruan.com/News/2006/05/02/Utama/ut01.htm. Iwan Fals secara satire mengungkap gaji guru hanya cukup untuk beli tahu, simak lagunya yang berjudul Guru Zirah, atau lagu fenomenalnya Umar Bakrie.
6
Tunjangan profesi diberikan kepada guru yang telah mempunyai sertifikat pendidik. Kemudian tunjangan fungsional diberikan kepada semua guru, dan tunjangan khusus diberikan pada guru yang bertugas di daerah khusus. Untuk maslahat tambahan diberikan dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa dan penghargaan bagi guru serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra-putri guru. Tentunya produk hukum tersebut memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk mendesain tunjangan-tunjangan khusus yang terkait dengan kondisi daerahnya. Pemberian tunjangan khusus ini lebih dimaksudkan untuk mengikat para guru agar tidak terjadi mobilisasi ke arah kota, sehingga penyebaran guru dapat tetap merata. Alangkah tidak adil, jika mereka yang berada di perkotaan, dengan tingkat kesulitan yang rendah mendapat gaji dan tunjangan yang sama dengan mereka yang setiap harinya bergelut dengan tingkat kesukaran yang tinggi. Pada sisi ini, perlu secara khusus diberi penghargaan yang dapat menentramkan para guru, sehingga tidak terpikir untuk pindah ke pusat kabupaten, sebab pemerataan jumlah guru memungkinkan terjadinya percepatan dalam peningkatan mutu pendidikan. Profesi keguruan sudah sarat pujian dan janji. Lagu Hymne guru bukanlah alasan bagi pemerintah untuk membiarkan profesi ini terpuruk. Rasanya memang sudah masanya untuk memperhatikan kualitas dan kesejahteraan para guru. Besar harapan saya, para pendidik ini dapat menikmati sebuah realita kesejahteraan, dan bukan sekadar pujian kosong sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang mempersamakan para guru sebagai pahlawan yang tak dikenal.
PUSTAKA Freire, Paulo, 1977. Pedagogy of The Oppresed. Harmondsworth, England: Penguin. Idrus, Muhammad. 1994. UII Mengemban Amanah Sejarah. Dalam Setengah Abad UII. Yogyakarta: UII Press Idrus, Muhammad. 1997a. Akreditasi Komptensi Mengajar Bagi Guru di Sekolah. Kedaulatan Rakyat, Rabu Pon 2 Juli 1997. halaman 8. Idrus, Muhammad. 1997b. Guru Masa Depan, Masa Depan Guru. Surabaya Post, 24 November 1997. Halaman VI: 6-9 Idrus, Muhammad. 1997c. Karakteristik dan Dimensi Moral Anak Didik dalam Pendidikan. dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Edit). Yogyakarta: Aditya Media. Idrus. Muhammad. 1997d. Perubahan Masyarakat dan Peran Pendidikan Islam: Kajian Pemberdayaan dan Pembebasan Keterbelakangan. dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (Edit). Yogyakarta: Aditya Media. Idrus, Muhammad. 2005. Persoalan Di Sekitar Ruu Guru Dan Dosen. Makalah Disampaikan Pada Acara Diskusi Membahas Tentang Kualitas Dan Kesejahteraan Guru & Dosen Dalam Ruu Guru Dan Dosen. Jum‘at 25 November 2005 Di Ruang Sidang Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Mujiran, P. (2005). Prioritaskan Kesejahteraan Guru. Suara Pembaruan Daily.
7
Retrived From: http://www.suarapembaruan.com/News/2005/05/10/Editor/edit01.htm. 11 September 2006. Suara Pembaruan (2006). Guru Tunggu Tunjangan Fungsional. Retrived From: http://www.suarapembaruan.com/News/2006/05/02/Utama/ut01.htm. 11 September 2006. Sularto., ST. (2006). Cerita tentang Arogansi Kekuasaan.Retrived From: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0512/16/humaniora/2290314.htm. 12 September 2006. Tilaar, H.A.R., 1991. Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila. Jakarta: LIPI Riwayat Hidup Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd., lahir di Purworejo, 23 Agustus 1965. Dosen FIAI UII Yogyakarta, juga mengajar di MSI UII, F.Psikologi UII, juga sebagai Dosen Pembimbing Tesis di Univeristas Negeri Yogyakarta. Sejak tahun 1990 sudah mengaktifkan diri dalam dunia praktis pendidikan dengan mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) PP Sunan Pandanaran Yogyakarta, dan tahun 19911992 mengajar di SMA Al-Chasanah Jakarta. Sejak tahun 1992 menjadi dosen Fakultas Tarbiyah UII Yogyakarta, dan pada tahun 1993 menjadi pengelola UPPL Fak. Tarbiyah UII. Menjadi Kepala Pusat Pendidikan Agama di Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Agama Islam (LPPAI) UII Yogyakarta (19941995). Sejak tahun 1994 aktif menulis dan tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa. Pernah menjadi calon penatar terbaik P4 Propinsi DIY (1996). Menjadi salah satu Dosen Paling produktif UII tahun 1996,1997,1998,1999,2000, 2001 dan 2002. Pernah menjadi Konsultan Badan Standar Nasional (BSNP) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Jakarta Juli – Desember 2006. Saat ini selain sebagai Direktur Perpustakaan UII Email :
[email protected] [email protected] HP : 081-578675-999 Phone : 0274-7494135 Alamat : Griya Kencana Permai B 5/6, Jl. Wates KM 11, Argorejo, Sedayu, Bantul, DIY
8