VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1.
Kesimpulan Empirik
8.1.1. Konstruksi Pengetahuan Zakat Konstruksi pengetahuan zakat LAZ Komunitas, BAZDA, dan LAZ Swasta, merupakan hasil dari bekerjanya rezim pengetahuan dan kekuasaan melalui proses objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi yang berlangsung secara dialektis dan simultan. Proses tersebut melibatkan Pengetahuan agama, Pengetahuan lokal, dan Pengetahuan modern (sains). Pertemuan pengetahuan agama dan pengetahuan lokal melahirkan tatakelola zakat berbasis komunitas (LAZ komunitas), pertemuan pengetahuan agama dan sains ekonomi politik melahirkan tatakelola zakat berbasis negara (BAZ), dan pertemuan pengetahuan agama dengan sains ekonomi industri (swasta) melahirkan lembaga tatakelola zakat berbasis swasta/industri. Konstruksi sosial pengetahuan zakat yang terbangun adalah Pengetahuan zakat berbasis budaya pada komunitas di bawah kuasa agamawan dengan dominasi pengetahuan agama, berbasis birokrasi pemerintah pada negara di bawah kuasa aparat dengan dominasi sains politik, dan berbasis manajemen industri pada coorporasi, di bawah kuasa pengusaha dengan dominasi sains ekonomi. Ketiga lembaga tatakelola tersebut mengkostruksi zakat sebagai instrumen penguatan elit lokal, penguatan elit negara dan penguatan elit industri. Dengan demikian maka konstruksi kuasa pengatahuan zakat yang merupakan sistesis dari pengetahuan agama, pengetahuan lokal dan sains modern. Konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat, dari waktu ke waktu termodifikasi oleh pergulatan rezim pengetahuan dan kekuasaan dalam berbagai level. Sehingga rezim pengetahuan yang bekerja dalam membangun pemahaman zakat ummat secara simultan mengalami dialektika yang seiring dengan perkembangan pengatahuan dan rezim pengetahuan yang berkuasa. Kemamuan mempertahankan gagasan dan pemahaman zakat oleh agamawan, tergantung pada sejauh mana rezim pengetahuan menjamah aras kognitif ummat dan sejauh mana busa ditemukan titik
329
temu antara rezim pengetahuan yang berkuasa dengan pengetahuan yang menguasai aras kognitif ummat. 8.1.2. Rasionalitas Tatakelola Zakat Tiga basis rasionalitas bekerja dalam praktek tatakelola zakat dewasa ini, yaitu : 1) rasionalitas asceticism dan altruism sebagai basis etika moral LAZ Komunitas. 2) rasionalitas develomentalism sebagai basis etika moral Bazda dengan,
3)
rasionalitas ekonomi maximization atau utility/profit maximization sebagai basis etika moral LAZ Swasta. Konstruksi rasionalitas tatakelola zakat merupakan hasil dari bekerjanya sebuah bangunan pengetahuan zakat yang bekerja membangun kekuasaan zakat, dan kekuasaan zakat membangun pengetahuan zakat. Konstruksi rasionalitas tatakelola tersebut terbangun melalui proses konstruksi dan rekonstruksi melalui tiga momen proses konstruksi sosial atas realitas Berger dan Thomas Luchmann (1990), yaitu : Objektivasi, internalisasi dan eksternalisasi yang dialektik dan simultan. Pada momen-momen ini pengetahuan dan kekuasaan saling membangun, membentuk dan saling menguatkan dan berbenturan dengan rezim rasionalitas yang lain, dan mengarah pada lahirnya satu kuasa pengetahuan melalui bangunan rasionalitas. Pergeseran rasionalitas (rationality shift) terjadi dalam tradisi berzakat dan tatakelolanya. Dinamika rasionalitas terjadi secara dialektis dan simultan mengikuti pengaruh rezim pengetahuan yang dominan bekerja dalam aras kognitif ummat. Ditemukan adanya modifikasi rasionalitas yang mengikuti wacana zakat yang dibangun oleh rezim pengetahuan yang mendominasi diskursus zakat. Rasionalitas yang terbangun dari sistem pengetahuan pinggiran melebur dan bahkan selalu terkalahkan oleh bangunan rasionalitas pengetahuan dominan. Artinya bahwa wacana zakat diarahkan oleh rezim pengetahuan yang berkuasa dan menjadi basis rasionalitas dominan. Rasionalitas yang bekerja dalam tradisi berzakat dan tatakelolanya adalah rasionalitas yang termodifikasi oleh waktu dan ruang. Sehingga terkesan rasionalitas yang berkerja adalah rasionalitas yang dinamis, setiap saat bergeser dan menyesuaikan diri dengan rezim pengetahuan dan kekuasaan.
330
8.1.3. Kepentingan dalam Tatakelola Zakat Kepentingan dalam tatakelola zakat, tidak tunggal tetapi majemuk, sehingga ada kepentingan primer dam sekunder, dan masing-masing lembaga tatakelola menonjolkan kepentingan ang berbeda berdasarkan pengetahuan dan rasionalitas yang bekerja. LAZ komunitas yang berbasis pengetahuan lokal dengan rasionalitas budaya lebih fokus pada kepentingan asketik dan altruis untuk pencapaian keshalehan, pengamanan sosial ekonomi dan penguatan ajaran. Bazda dengan basis pengetahuan politik modern dengan rasionalitas politik, menonjolkan kepentingan intergratif bagi negara dengan menekankankan pada pembangunan, pemberdayaan rakyat untuk stabilitas negara. Sedangakan LAZ-SP dengan basis pengatahuan ekonomi dengan rasionalitas ekonomi industru, menekankan pada upaya pengamana usaha dan investasi melalui pemberdayaan masyarakat sekitar perusahaan sebagai wujud upaya mengatasi masalah sosial sekitar perusahaan pembangunan Meski. Kepentingan-kepentingan tersebut lahir dan melekat pada pada setiap proses konstruksi dan rekonstruksi atas realitas. Pada momen objektivasi, melekat pada kekuasaan membentuk objek (lembaga tatakelola zakat), pada momen internalisasi bekerja pada konstruksi dan rekonstruksi gagasan (wacana tatakelola zakat), sedangkan pada momen ekternalisasi kembali bekerja membentuk gagasan dan pemahaman dalam wujud yang baru, yang kesemuanya dengan kekuasaan dan pengetahuan diarahkan pada bentuk, gagasan dan tindakan yang diinginkan oleh pemangku pengetahuan dan kekuasaan.
8.2.
Kesimpulan Teoritik Kekuasaan dan pengetahuan oleh Foucault dipandang sebagai dua sisi yang
tidak bisa dipisahkan dan saling menciptakan. Ada di mana-mana dan datang dari segala arah. Tidak ada relasi kekuasaan tanpa berhubungan dengan wilayah pengetahuan. Subjek yang mengetahui, objek yang diketahui dan modalitasmodalitas pengetahuan harus dipandang sebagai akibat dari implikasi-implikasi fundamental pengetahuan atau kekuasaan dan transformasi historis. Pengetahuan dan kekuasaan saling bertautan dengan erat,
begitu juga proses historis terkait
331
dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki relasi pengetahuan dan pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kekuasaan itu sendiri. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Untuk
mengetahui
kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan, karena setiap kekuasaan disusun, diumpamakan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Mengamati fenomena lembaga tatakelola zakat untuk menemukan konstruksi sosial kuasa pengetahuaan zakat, dengan menggunakan teori pengetahuan dan kekuasaan ala Foucault, peneliti mengalami kesulitan
untuk menjelaskan proses
bagaimana pengetahuan dan kekuasaan saling memproduksi. Kekuasaan dan Pengetahuan ala Foucault seakan datang dari langit. Fenomena tatakelola zakat merupakan kenyataan hidup sehari-hari yang memiliki dimensi objktif dan subjektif. Menjelaskan relasi dimensi objektif dan dimensi subjektif, sebagai dua dimensi yang saling menciptakan, meski disana sangat kental dengan kerja kuasa pengetahuan dalam menciptakan kekuasaan. Kegagalan penjelasan terjadi ketika menjelaskan bagaimana
kekuasaan
dan
pengetahuan
saling
menciptakan
dan
saling
mengokohkan. Untuk menjelaskan proses tersebut baru terasa mudah jika menggunakan teori konstruksi sosial atas realitas ala Bergerian (1990). Penjelasan teoritis ala Bergerian ini sangat membantu dan memudahkan penejalasan bagaimana proses kekuasaan dibangun dengan kekuatan pengetahuan atau sebaliknya. Tiga momen proses konstruksi sosial: objektivasi, internaslisasi dan ekternalisasi dialektis yang berlangsung simultan mampu memberikan penjelasan bagaimana kekuasaan dan pengetahuan saling melahirkan. Pada momen objektivasi, pengetahuan dan kekuasaan bekerja secara bersamaan, pengetahuan bekerja pada aras subjektif membangun gagasan dalam ruang kognitif dan kekuasaan bekerja menciptakan realitas pada aras objektif dalam dunia nyata. Dunia nyata kemudian ditafsirkan oleh individu-individu melalui aras subjektif dan di sini pengetahuan kembali bekerja dan diarahkan oleh kekuasaan yang datang dari berbagai arah dan dalam berbagai bentuk. Pengetahuan dan kekuasaan tersebut secara bersama-sama mempengaruhi dan mengarahkan momen internalisasi, hingga pada momen ekternalisasi kekuasaan dan pengetahuan
332
direproduksi dan di rekonstruksi. Proses ini berlangsung terus menerus tanpa henti sebagai proses terjadi perubahan sosial. Perubahan tidak liner, tapi memungkinkan dalam berbagai model,
tergantung
kekuatan
pengetahuan
dan
kekuasaan
membatasi, mengarahkan, dan membentuk perubahan itu. Dengan demikian maka, penelitian ini menyimpulkan bahwa konstruksi sosial kuasa tatakelola zakat diarahkan oleh pengetahuan dan kekuasan dominan yang berkerja dalam tiga momen, yaitu : momen objektivasi, internalisasi dan ekternalisasi kosntruksi sosial atas kuasa zakat. Proses ini berlansung tanpa henti sejalan dengan perubahan pengetahuan, rasionalitas dan kepentingan aktor yang terlibat. Rasionalitas yang bekerja dalam tradisi berzakat dan tatakelolanya mengalami pergeseran secara simultan dan dialektis yang di dipengaruhi oleh kekuatan rezim pengetahuan dan kekuasaan yang mendominasi diskursus zakat. Artinya bahwa dalam berzakat dan tatakelolanya selalu mengalami pergeseran rasionalitas (rationality shift) sesuai dengan waktu dan tempat dan digiring oleh kekuatan rezim pengetahuan dan kekuasaan yang mengarahkan.
8.3.
Kesimpulan Metodologi Meneliti konstruksi sosial kuasa pengetahuan zakat dengan menggunakan teori
Pengetahuan dan kekuasaan ala Foucault dan teori konstruksi sosial ala Bergerian, sebaiknya menggunakan multi paradigma, yaitu paradigma definisi sosial ala Weberiandan paradigma fakta sosial ala Durkhemian. Karena untuk menemukan proses terbangunnya konstruksi sosial zakat dan kuasa pengetahuan zakat hanya fitemukan dengan berfikir dialektis antara fenomena objektif dan subjektif. Dialektika objektif
dan
subjektif
mewarnai proses
objektivasi dan
internalisasi
serta
ekternalisasi, menuju terbangunnya pengetahuan dan kekuasaan zakat melalui konstruksi sosial atas zakat dan kuasa pengetahuan zakat. Seorang peneliti yang meneliti di wilayah asalnya, akan mendapatkan tantangan dalam pemburuan data yang mengandung unsur rahasia atau dilundungi untuk diketahui oleh anggota masyarakat sekitar tineliti. Persoalan muncul dalam bentuk ketertutupan tineliti karena kecurigaan terhadap peneliti dalam menjamin kerahasiaan data dan sumber data.
333
Persoalan memang diatasi, namun mengharuskan peneliti memiliki kemampun membingkar ketertutupan tineliti dan ini makan waktu yang cukup lama. Atau bisa juga dengan menggunakan pembantu penelitian dari luar, namun ini akan memakan biaya yang tidak sedikit. Oleh itu, sebaiknya peneliti menghindari meneliti diwilayah asalnya, jika topik penelitian terkait dengan hal-hal yang bersifat subjektif dan terkait dengan persoalan yang dilindungi oleh tineliti.
8.4.
Saran-Saran Berbeda basis pengetahuan, melahirkan benturan rasionalitas. Rasionalitas
agama dan sains melahirkan perbedaan kepentingan (ukhrawiyah dan duniawiyah). Sains menggiring zakat masuk ruang logika ilmiah secara objektif, sehingga terjadi rasionalisasi logika zakat dan berzakat. Zakat sebagai peraktek beragama yang bernuansa sosial untuk mendamaikan bathin muzakki, menghangatkan relasi antar ummat, menjadi kabur tergantikan oleh relasi sistemik yang inpersonal, dingin dan hambar, karena tergiring masuk dalam arena rasionalitas instrumental dan sarat kepentingan. Jika menginginkan zakat menjadi fenomena sosial beragama yang mampu memberikan : kehangatan, trust, dan keharmonisan dalam masyarakat (antara kaum kaya dan miskin serta antara agamawan dengan kaum kaya dan kaum miskin), maka kembalikan kuasa tatakelola zakat pada kearifan masyarakat berbasis jejaring Masjid dengan
mensinergiskan
agamawan
dan
elit-elit
masyarakat.
Memunculkan
efektifitas, efisiensi, dan optimalisasi cukup dengan pembenahan manajemen dalam sistem tatakeloa zakat, tanpa harus mencabut zakat kuasa masyarakat dan akar budaya. Memunculkan tatakelola yang efektif, efisien, optimal dan profesional tidak selamanya harus dengan modernisasi dan teknokratisasi. Merancang model lembaga tatakelola zakat yang bebas dari intervensi, politisasi dan komodifikasi, memerlukan penelitian lanjutan untuk mencari titik temu dan
formulasi
kelembagaan
yang
berbasis
ajaran
agama,
budaya
dan
perkembangan sains yang memberdayakan dan mampu menjadikan zakat sebagai instrument keshalehan, kemanusiAan dan pembebasan.