VIII. DUKUNGAN ANGGARAN DAN KELEMBAGAAN DALAM PENGEMBANGAN SEKTOR–SEKTOR PEREKONOMIAN MALUKU UTARA 8.1.
Alokasi Anggaran Pembangunan Terhadap Pengembangan Sektor Perekonomian
Dalam mendorong kemajuan perekonomian daerah, setiap daerah dituntut untuk dapat mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan potensi ekonomi daerah yaitu segala sumberdaya dan instrumen yang dimiliki daerah dan terukur (datanya tersedia) serta diperhitungkan. Menurut Saifulhakim (2008), sumberdaya dan instrumen tersebut meliputi antara lain: (1) sumberdaya alam, (2) sumberdaya manusia, (3) sumberdaya sosial, (4) infrastruktur dan fasilitas publik, (5) penataan ruang, (6) penganggaran belanja, dan jejaring keterkaitan antar daerah. Dari konsep tersebut, penganggaran belanja merupakan salah satu instrumen penting dalam mendorong kemajuan perekonomian daerah.
Tabel 48. Rekapitulasi Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Maluku Utara Tahun 2005 Uraian
Nilai (Rp)
Persentase (%)
I. Pendapatan : Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Perimbangan Total I
45 102 720 500 456 616 748 500 501 719 469 000
8.99 91.01 100.00
II. Belanja : Belanja Tidak Langsung (Aparatur) Belanja Langsung (Publik) Total II Surplus (Defisit) I - II
147 422 485 250 367 754 000 816 515 176 486 066 (13 457 017 066)
28.62 71.38 100.00
Sumber: BAPPEDA Provinsi Maluku Utara, 2005, Data Diolah
Secara faktual pada tahun 2005, realisasi pendapatan yang diperoleh Pemerintah Daerah Provinsi Maluku Utara sangat kecil bila dibandingkan dengan
170
besarnya pengeluaran untuk belanja baik belanja aparatur maupun pelayanan publik. Kondisi ini menyebabkan terjadinya defisit dalam pendapatan dan belanja daerah, sebagaimana terlihat pada Tabel 48. Kecilnya pendapatan asli daerah dari total pendapatan yang diterima daerah sebesar 8.99 % mengindikasikan bahwa pemanfaatan sumberdaya sebagai sumber penerimaan daerah melalui penciptaan objek pajak dan retribusi masih sangat rendah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Untuk menjalankan roda pemerintahan maka dibentuk Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Provinsi Maluku Utara yang terdiri dari dua sekretariat, lima belas dinas, sebelas badan, dan tiga unit kerja/kantor. Unit organisasi pemerintahan tersebut dicerminkan dalam komponen alokasi anggaran dan belanja daerah Provinsi Maluku Utara yang berjumlah 33. Dengan maksud agar dalam melihat arah dan pola pembangunan dari penganggaran menjadi lebih mudah disamping keterkaitan dengan data penunjang lain seperti data PDRB, maka komponen penganggaran tersebut diaggregatkan menjadi 13 bidang sebagai berikut : Pemerintahan meliputi DPRD, Kepala Daerah dan Wakil, Sekretariat Daerah, Sekretariat Dewan, Badan Litbangda, Bawasda, Kantor Penghubung, Badan Kesbanlinmas, Dispenda, Bappeda, Kantor Satpol PP, BPMD, dan Badan Diklat; Tanaman Bahan Makanan (Tabama), Perkebunan dan Peternakan meliputi Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah; Kehutanan meliputi Dinas Kehutanan; Perikanan meliputi Dinas Perikanan dan Kelautan; Pertambangan dan Penggalian meliputi Dinas Pertambangan dan Energi; Perindustrian dan Perdagangan meliputi Dinas Perindustrian dan Perdagangan, BKPMD, dan Dinas Koperasi dan UKM; Bangunan meliputi Dinas Pemukiman dan Prasarana
171
Wilayah; Pengangkutan dan Komunikasi meliputi Dinas Perhubungan serta Badan Pengolahan Data Elektronika dan Telematika; Kesehatan meliputi Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Umum; Pendidikan meliputi Dinas Pendidikan dan Pengajaran serta Badan Kearsipan dan Perpustakaan Daerah; Lingkungan meliputi Bapedalda; Tenaga Kerja meliputi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Sosial, Budaya, Rekreasi dan Olahraga meliputi Dinas Pemuda dan Olahraga, BKKBN, Dinas Sosial, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Berdasarkan data APBD yang dilihat dari 13 (tiga belas) bidang/sektor alokasi belanja pelayanan publik di Provinsi Maluku Utara pada tahun 2005 (Tabel 47), yang menerima alokasi dana terbesar adalah bidang / sektor pemerintahan sebesar 63.72 %, diikuti oleh sektor bangunan sebesar 12.89 %, sektor kesehatan sebesar 3.95 %, sektor pertambangan dan penggalian sebesar 3.36 %, sektor perindustrian dan perdagangan sebesar 2.63 %, sektor pendidikan sebesar 2.62 %, sektor perikanan sebesar 2.47 %, sektor sosial, budaya, rekreasi dan olahraga sebesar 2.34 %, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 2.19 %, sektor tabama, perkebunan dan peternakan sebesar 1.60 %, sektor lingkungan sebesar 1.10 %, sektor tenaga kerja sebesar 0.68 %, dan sektor kehutanan sebesar 0.45 %. Alokasi belanja pembangunan yang sangat besar pada sektor pemerintahan disebabkan sektor ini menampung semua keperluan untuk biaya pembelian kendaraan dinas, renovasi/perbaikan kantor maupun rumah dinas. Selain itu, sektor ini juga digunakan untuk proyek-proyek pendidikan dan pelatihan aparatur pemerintah. Mengutip pendapat Weber yang dimodifikasikan oleh Niskanen (Mangkoesoebroto, 2001) dalam analisis ekonomi mengenai birokrasi yang
172
menyatakan bahwa birokrat adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya, yaitu gaji, jumlah karawannya, reputasi, dan status sosialnya. Karena fungsi utilitas birokrat berkaitan dengan besarnya anggaran, maka setiap usaha memaksimumkan kepuasan berarti memaksimumkan anggaran pemerintah. Oleh karena itu akan terjadi inefisiensi dalam penggunaan sumber ekonomi oleh pemerintah.
Tabel 49. Alokasi Belanja Langsung (Belanja Pelayanan Publik) Provinsi Maluku Utara Tahun 2005
No
Bidang/Sektor
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Pemerintahan Tabama, Perkebunan dan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Perindustrian dan Perdagangan Bangunan Pengangkutan dan Komunikasi Kesehatan Pendidikan Lingkungan Tenaga Kerja Sosial, Budaya, Rekreasi dan Olahraga Total
Total Alokasi Belanja Pelayanan Publik (Rp)
Persentase (%)
234 321 247 616 5 902 160 000 1 656 944 000 9 079 000 000 12 346 006 000 9 688 189 400 47 403 818 800 8 047 696 000 14 525 516 000 9 630 800 000 4 031 500 000 2 514 050 000 8 607 073 000 367 754 000 816
63.72 1.60 0.45 2.47 3.36 2.63 12.89 2.19 3.95 2.62 1.10 0.68 2.34 100.00
Sumber: BAPPEDA Provinsi Maluku Utara, 2005, Data Diolah
Sektor bangunan yang mendapatkan alokasi belanja yang cukup besar sangat konsisten dengan keberadaan sektor tersebut sebagai salah satu sektor unggulan Provinsi Maluku Utara. Selain itu, alokasi belanja yang cukup besar terhadap sektor bangunan diharapkan dapat merangsang dan membantu pertumbuhan sektor ekonomi lainnya melalui daya dukung infrastruktur fisik baik berupa gedung, jalan, jembatan, terminal, pelabuhan, dam, irigasi, maupun jaringan listrik, air minum dan telepon. Sama halnya dengan sektor bangunan,
173
sektor pengangkutan dan komunikasi yang sangat penting keberadaannya namun alokasi dana terhadap sektor tersebut masih terlalu kecil, bahkan pengembangan sektor tersebut lebih didorong oleh peranan pihak swasta baik individu maupun badan usaha. Alokasi dana yang terkait dengan pembangunan perekonomian masih sangat minim seperti sektor pertambangan dan penggalian sebesar, perindustrian dan perdagangan, sektor perikanan, sektor tabama, perkebunan dan peternakan sebesar dan sektor kehutanan. Khususnya untuk sektor kehutanan yang mendapatkan alokasi dana yang sangat rendah, sangat signifikan dengan hasil analisis input-output sebelumnya yang mengkategorikan sektor kehutanan sebagai salah satu sektor tertinggal. Minimnya alokasi pada sektor-sektor tersebut mengindikasikan perhatian pemerintah terhadap sektor tersebut sangat belum begitu tinggi. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa perhatian pemerintah masih belum berpihak kepada pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan indikatornya adalah besarnya alokasi belanja kepada sektor pemerintahan sedangkan sektor-sektor yang signifikan dengan pengembangan perekonomian Provinsi Maluku Utara sangat kecil mendapatkan alokasi dana.
8.2.
Kelembagaan Dalam Pengembangan Sektor Perekonomian Provinsi Maluku Utara
Kebijakan dan kelembagaan (institusi) sulit dipisahkan, seperti dua sisi sekeping mata uang. Kebijakan yang bagus tetapi dilandasi kelembagaan yang jelek tidak akan membawa proses pembangunan mencapai hasil secara maksimal. Demikian juga sebaliknya, kelembagaan yang bagus tetapi kebijakannya tidak
174
mendukung juga membuat tujuan pembangunan sulit dicapai sesuai harapan. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan seringkali bersumber dari kegagalan pemerintah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang benar serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang seharusnya menjadi dasar dari seluruh proses pembangunan baik sosial, ekonomi, politik, teknologi maupun pengelolaan sumber daya alam. Ringkasnya kegagalan terjadi karena tata kelola pemerintahan yang buruk. Terkait beberapa hasil analisis sebelumnya, diantaranya yaitu kontribusi sektor perekonomian yang tendensi mengalami penurunan, sektor yang memiliki comaparative advantage tetapi tidak memiliki competitive advantage, dan alokasi
anggaran belanja yang terlalu besar pada bidang pemerintahan dengan terlalu kecilnya pengalokasian terhadap sektor-sektor perekonomian yang strategis dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan penciptaan lapangan kerja, merupakan beberapa persoalan yang mengindikasikan adanya kegagalan pemerintah (governtment failure) dalam perannya sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator. Namun disamping adanya kegagalan pemerintah, kondisi tersebut juga disebabkan karena rendahnya partispasi masyarakat dan swasta dalam proses pembangunan secara proaktif. Hal
ini
karena
tidak
sejalannya
kebijakan
dengan
keberadaan
kelembagaan, yang seharusnya setiap komponen kelembagaan memahami perannya masing-masing dalam proses pembangunan Provinsi Maluku Utara. Selain itu dari hasil pengamatan yang dilakukan, terlihat bahwa koordinasi antar institusi dalam hal ini antar dinas atau badan tidak terjalin dengan baik, sehingga upaya-upaya dalam pengembangan perekonomian Provinsi Maluku Utara yang
175
dituangkan dalam Arah dan Kebijakan tidak dapat terlaksana secara optimal. Faktor lain yang sangat mempengaruhi dalam pengembangan perekonomian Maluku Utara adalah pengaruh dari kepentingan politik dan kepentingan kelompok yang terlalu mendominasi dalam setiap penyusunan kebijakan. Pengembangan sektor perekonomian terutama sektor unggulan dalam rangka pemberdayaan era otonomi adalah suatu pekerjaan yang tidak mudah disebabkan pengembangan ini terkait erat dengan kemauan politik dari pemerintah daerah. Peranan pemerintah daerah sangat diperlukan dan penting dalam pengembangan kelembagaan dalam memajukan sektor unggulan dan sektor basis sebagai salah satu tonggak dari pada ekonomi daerah, karena produk unggulan daerah terkait beberapa stakeholders yang saling berperan sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Stakeholders dimaksud adalah : (1) pemilik bahan baku, dan pengolah/penghasil bahan baku; (2) pengguna atau konsumen; (3) fasilitator atau pemerintah dan lembaga sosial masyarakat. Stakeholders tersebut saling terkait dan menunjang satu sama lain sehingga peranan koordinasi dalam pencapain tujuan menjadi faktor utama. Koordinasi ini menjadi instrumen penting dalam pengembangan sektor perekonomian. Struktur interaksi yang saling mendukung terciptanya koordinasi lintas instansi sangat dibutuhkan dalam upaya tercapainya keberhasilan pengembangan dimaksud. Boleh saja suatu instansi bekerja sesuatu dengan bidang tugas yang dipikulnya untuk melaksanakan pekerjaan mereka. Namun, yang menjadi perhatian adalah bahwa dalam menunaikan tugasnya, disamping perlu memiliki kaitan fungsional, setiap instansi juga harus mampu menjalin hubungan komplementarity atau saling mengerti, menyadari dan merasakan kepentingan
176
bersama.
Dengan
demikian,
koordinasi
tersebut
akan
dapat
menjaga
kesinambungan kerja dan dapat dicegah terjadinya kesenjangan kegiatan pengembangan karena baik setiap fasilitas maupun tenaga ahli yang tersedia dimungkinkan untuk dimanfaatkan antar instansi. Oleh karena itu, dalam melakukan pengembangan kelembagaan ini diperlukan kelembagaan yang solid dalam mendukung pengembangan sektor perekonomian terutama sektor unggulan provinsi dan sektor basis pada tingkat kabupaten/kota sebagai wadah dari pada koordinasi dimaksud. Untuk menilai kapasitas suatu kelembagaan pemerintah dan masyarakat diperlukan informasi-informasi tentang sistem kelembagaan tersebut di daerah melalui suatu proses dalam upaya melakukan pengembangan sektor unggulan daerah secara terpadu dalam jangkapanjang. Pengembangan kelembagaan dalam pengembangan sektor perekonomian pada era otonomi merupakan suatu proses yang secara terus menerus berinteraksi agar tercapai tujuan yang diharapkan, oleh karena semua stakeholders yang disebutkan diatas mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara semua stakeholders tersebut untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dan potensi daerah. Demikian juga, suatu proses yang mencakup pembentukan lembagalembaga baru seperti golongan usaha kecil dan menengah serta rumah tangga, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk unggulan yang berdaya saing handal serta mengidentifikasi dan memperoleh informasi pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan pengembangan usaha-usaha baru di wilayah tersebut. Oleh karena itu, semua stakeholders yang disebutkan diatas
177
harus secara bersama-sama mengambil inisiatif/usaha pengembangan produk unggulan daerah dengan menaksir potensi-potensi sumber daya yang diperlukan untuk merancang dan membangun ekonomi daerah secara berkelanjutan (sustainability of quality product). Dengan pengembangan kelembagaan yang handal dan melekat melalui proses secara terus menerus, koordinasi, dan kelembagaan
akan
tercipta
pemberdayaan
yaitu
memampukan
dan
memberdayakan stakeholders tersebut diatas. Pemberdayaan
dalam
artian
memampukan
dan
memberdayakan
stakeholders tersebut akan melahirkan hal-hal sebagai berikut : suatu mutu produk
unggulan; sumberdaya manusia yang tangguh dan terampil; informasi pasar yang akurat dan up to date; perubahan perilaku masyarakat ke masa depan; pemanfaatan teknologi lokal yang berkembang; pembelajaran yang terus menerus sebagai proses untuk yang terbaik; dan berorientasi pada pemakaian manajemen modern. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah sekarang, peranan perencanaan bottom planning menjadi faktor utama. Dalam pengembangan kelembagaan,
pemberdayaan terhadap masing-masing stakeholders dimana mereka mempunyai kewenangan sesuai dengan bidang tugasnya dan bebas untuk mengambil keputusan sepanjang keputusan tersebut saling mendukung dan menunjang. Produk unggulan daerah yang bernuansa datangnya dari bawah, dengan konsekuensi rancangan dari bawah akan melahirkan harga barang dan jasa yang ditentukan oleh mekanisme pasar. Pasar yang menentukan harga dari produk unggulan tersebut sehingga harus mempunyai kualitas tinggi dan berdaya saing handal dipasaran. Mekanisme pasar dapat membawa kepada persaingan bebas
178
antar supliers barang dan jasa dipasaran. Dengan demikian, harga ditentukan oleh pembeli (demand). Oleh karena itu, kelembagaan menciptakan secara konsisten keterkaitan stakeholders dengan mekanisme pasar serta persaingan (competitive) bebas dalam peningkatan produk unggulan daerah sehingga pemberdayaan (empowerment)
merupakan
pendapatan ekonomi daerah.
faktor
penentu
dalam
upaya
meningkatkan